2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunianya, sehingga
sayadapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul "Kaidah-kaidah Ushuliyyah".
Adapuntujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fikih.
Kami menyadari bahwa sepenuhnya di dunia ini tidak ada yang sempurna begitu juga
denganpenulisan makalah ini yang mungkin masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
denganketulusan hati kami penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangundemi kesempurnaan makalah penulis di masa mendatang. Akhirnya semoga makalah
inibermanfaat bagi penulis khususnya, bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Daftar isi..............................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...............................................................................................................1
C.Tujuan..............................................................................................................................4
Bab II Pembahasan..............................................................................................................5
Kesimpulan .........................................................................................................................9
Daftar pustaka......................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Seorang mujtahid harus memahami nash alquran dan sunah. Berbagai bentuk ungkapan
hukum harus dikuasai, dengan itu seorang mujtahid dituntut menguasai gramatika bahasa Arab
dan semestinya memahami maqasyid syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian ia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak
terdapat dalam nash perintah dan larangan ( )االمروالنهىtetapi dalam konteks kalimat tertentu tidak
selalu berarti hukum halal haram. Maka disinilah pentingnya kita mempelajari amar nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum/’am,
tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata
tersebut dalam ushul fiqih disebut khas. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba menjelaskan
tentang kaidah ushul fiqih bagian amar, nahi dan ‘am, khas. Harapan pemakalah lain untuk
memenuhi tugas juga digunakan sebagai tambahan pengetahuan atau wawasan pembaca tentang
ushul fiqih.
B.RumusanMasalah
C.Tujuan
PEMBAHASAN
1. Amr ()امر
Amr secara bahasa berasal dar bahasa Arab, yaitu suruhan, perintah, dan perbuatan. Sedangkan
secara istilah, tuntutan perbuatan dari atasan kepada bawahan yang didalamnya terdapat kaidah
istimbat hukum.[1]
Jadi, amar adalah suatu lafal yang digunakan oleh orang lebih tinggi kedududkannya kepada
orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Begitu juga perintah Allah
SWT kepada manusia.
a. Bentuk-bentuk Amr
Untuk mengetahui bentuk amr dalam bahasa Arab, ada beberapa bentuk yang menunjukkan arti
perintah. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:[2] 1) Fi’il amr, contoh: َواَقِ ْي ُموْ ا الصال
َةَ َواتُوْ ا الزكاَة
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqoroh: 43)
َ ضرُّ ُك ْم َم ْن
......ض َّل اِ َذا ا ْهتَ َد ْيتُ ْم َ ََت َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنفُ َس ُك ْم ال....
Dan kepada kedua orang tuamu berbuat kebaikan (QS. Al-Baqoroh: 83)
b. Kaidah-kaidah Amr
Kaidah merupakan ketentuan seorang mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah dalam lima bentuk:
1) Kaidah pertama (Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib)
[3] a) Nadb, anjuran sunnah. Contoh: (QS. An-Nur: 33)
“Hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada mereka”.
b) Irsyad, membimbing atau memberi petunjuk. Contoh (QS. Al-Baqoroh: 282) “Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan antara bentuk nadb dan irsyad. Nadb diharapkan mendapat pahala, sedangkan
Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat istiadat atau sopan
santun.
c) Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: (QS-Al-Baqoroh: 60). “Makan dan
minumlah”.
e) Taskhir, menghina atau merendahkan derajat. Seperti (QS. Al-Baqoroh: 65). “jadilah kamu
kera yang hina”.
f) Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara. (QS. Al-Baqoroh: 23) “Buatlah satu surat
(saja) yang semisal Alquran”.
g) Taswiyah, menerangkan sama saja antara dikerjakan dan tidak. Seperti: (QS. At-Thur: 16).
“masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas api) maka baik kamu bersabar atau tidak
sama saja”.
Apabila ada perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka
perintah tersebut bukan perintah wajib, tetapi bersifat membolehkan. Contoh QS. Al-Jumuah: 10:
“Apabila halat jumat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah karunia
(rezeki) Allah”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi berdasarkan ayat 10 adalah wajib, tapi
hanya dibolehkan.
3) Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan)
Misalnya tentang haji. “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”. Jumhur ulama’ sepakat
perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dilaksanakan sesuai
waktu yang ditetapkan.
Perbuatan yang diperintahkan tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain
yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Misalnya kewajiban shalat. Shalat
tidak bisa dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu, karena perintah shalat berarti juga perintah suci.
2. Nahi ()نهى
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau melarang, sedangkan secara istilah tuntunan untuk
meninggalkan perbuatan orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya.[5]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa pada asalnya nahi menghasilkan hukum haram, karena semua
bentuk larangan dapat dikatakan dengan mendatangkan kerusakan. Seperti: larangan merusak
alam, larangan berzina, larangan riba,dan sebagainya. a. Bentuk-bentuk Nahi
1) Fi’il mudhari’ yang didahului la nahiyah/lam nahi (jangan).
Nahi merupakan keharusan dalam meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti perbuatan zian.
Kadang-kadang nahi digunakan beberapa arti (maksud) sesuai dengan larangan perkataan itu,
antara lain sebagai berikut:[6] a) Karahah (makruh) صلُّوْ ا فِ ْى اَ ْعطَا ِن ااْل ِ بِ ِل
َ َُوال َ ت
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, namun hanya makruh, karena tempatnya
yang kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’. b) Doa
َربَّنَا ال َ تُ ِز ْغ قُلُوْ بَنَا بَ ْع َد ِإ ْذ هَ َد ْيتَنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah engkau
beri petunjuk kepada kami”.
Perkataan janganlah tidak menunjukkan larangan, melainkan permintaan hamba kepada Allah. c)
Irsyad
“Janganlah kamu tanyakan segala sesuatu, bila dilahirkan (jawabannya) akan menyusahkanmu”.
(Qs.Al-Maidah: 101)
d) Tahqir (menghina)
“janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidupmu”. (QS. Al-
Hijr: 88)
e) I’tinas (menghibur)
“janganlah engkau bersedih, karena sesunguhnya Allah bersama dengan kita”. (QS. At- Taubah)
“dan janganlah engkau membela diri pada hari kiamat”. (QS. At-Tahrim: 7)
g) Tahdid (ancaman)
Seperti perkataan seorang kepada pelayannya, tidak usah kamu turuti perintahku.
2) Kaidah kedua (pada dasarnya larangan mutlak, namun menghendaki pengulangan dalam
segala zaman)
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)
Tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu maka larangan itu berlaku jika ada sebabnya saja
(muqayyad).
“dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan berlagak sombong”. (QS. Al-Luqman: 18)
Larangan tersebut memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan
sikap sopan.
4) Kaidah keempat (pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang, baik
ibadah maupun mu’amalah)
Seperti: larangan sholat dan puasa bagi wanita haid dan nifas, jual beli binatang yang masih
dalam kandungan. Hal tersebut dilarang oleh syara’.
.1 Am ‘)(العام
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan menurut
istilah ‘ama dalah lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas dengan jumlah tertentu.[7]
Jadi lafadz ‘am ini adalah bersifat umum, seperti kata al insan (manusia), maka didalam kata al
insan termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil ataupun besar, merdeka
maupun golongan budak.
a. Lafadz-lafadz ‘Am
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”.
Baqarah:29).-(Al
Lafadz كلdan حامtersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak
terbatas jumlahnya.
ض ْعنَ َأوْ اَل َده َُّن َحوْ لَي ِْن َكا ِملَي ِْن ُ َو ْال َوالِد
ِ َْات يُر
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang
walidat dalam ayat tersebut -Baqarah:233). Kata al-ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al
bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz al
riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, -bai’ (jual beli) dan
alsatuan yang dapat dimasukkan -keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan
kedalamnya.
ال ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعيرًا
َ ِإ َّن الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ َأ ْم َو
ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, -orang yang (al-“Sesungguhnya orang
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang
Nisa:10)-nyala”. (An-menyala
5) Isim isyarah, seperti siapa ()من, apa saja ()ما
َّ ََو َم ْن قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا خَ طًَأ فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ ِإلَى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأ ْن ي
ص َّدقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada
Nisa’:92) -keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.
(An
( َواَل6 Isim nakirah terletak setelah nafi
َُّجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم َأ ْن تَ ْن ِكحُوه َُّن ِإ َذا َآتَ ْيتُ ُموه َُّن ُأجُو َرهُن
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
Mumtahanah:10).-maharnya”. (Al
b. Macam-macam Lafadz
‘Am
1) Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa ditakhsis.
lah yang memberi -“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah
rezekinya.” (QS.Hud:6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
2) Lafadz ‘am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang
menunjukkan kekhususannya.
3) Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang
tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis.
ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء
ُ ََو ْال ُمطَلَّق
Baqarah: -wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. ( Al-“Wanita
wanita yang ditalak), -muthallaqat (wanita-228). Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau
sebagian cakupannya.[9]
2. Khas ()الخاص
Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am. Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh
yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau
menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga
belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain
sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan
terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian
tertentu. a. Lafadz Khas
1) Berbentuk muthlak yaitu lafal khas yang tidak ditentukan dengan sesuatu.Contohnya,
hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
3) Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar,dan hukumnya
wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Dalalahnya
atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah di-takhshish, sisa
satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah
ushuliyah yang berbunyi: صَ َِّام ِإال َّ ُخص
ٍ “ َما ِم ْن عSetiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya.
Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy
dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena
lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di
dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging
yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum,
yang berbunyi:
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:ال ْم ْسلِ ُم
ِ َس َّمى َأوْ ل َم يُ َس ِّم يَ ْذبَ ُح َعلَى اس ِْم ﷲ
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya,
sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits
tersebut. Karena kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy
dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.[10]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau
lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah
qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas
harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
ٌفِ ْي ُكلِّ َأرْ بَ ِع ْينَ َشاةً َشاة
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing,
keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau
kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah,
dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa
fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya
dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor
kambing yang dizakatkan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’i yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus
dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni
bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di
pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya
adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa
dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar.FiqihdanUshulFiqih.Jakarta:RajawaliPers.1993.
Karim,Syafi’i.Fiqih-Ushulfiqih.Bandung:PustakaSetia.1997.
Muhammad,TeukuHasbi.PengantarHukumIslam.Semarang:PustakaRizkiPutra.2001.
Syafe’i,Rachmad.IlmuushulFiqih.Bandung:Pustakasetia.1999.
WahhabKhallaf,Abdul.IlmuUshulfiqi.Semarang:DinaUtama.1994.