USHUL FIQH II
Dosen Pengampu :
ANDRIYALDI, MA
Di Susun Oleh :
1 Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh,Darul Hikmah, JawaTimur . 2008. hal. 52.
1
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka
makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli
dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.2
ِ ت ْال َعتِي
Misalnya, firman Allah: ْق ِ َو ْليَطَّ َّوفُوْ ا بِ ْالبَ ْي
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al
Hal: 29)
2 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia,Bandung.2001.hal
3 Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib,Ilmu Ushul Fiqih,Toha Putra Group.semarang.1994.hal.306.
2
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi’il, seperti: َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن اِحْ َسانًا
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya. قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َرضْ نَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ْي اَ ْز َوا ِج ِه ْم
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk
makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
a. Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan
keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah
sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna
sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (wajib)
2. Nadb (anjuran)
3. Takdzib (mendustakan)
4. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
5. Ibahah (kebolehan)
6. Tahdid (Ancaman)
7. Inzhar (peringatan)
8. Ikram (memuliakan)
3
9. Taskhir (penghinaan)
10. Ta’jiz (melemahkan)
11. Taswiyah (mempersamakan)
12. Tamanni (angan-angan)
13. Do’a
14. Ihanah (meremehkan)
15. Imtinan
b. Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari
kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang
perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat
membolehkan. Seperti Firman Allah swt yang artinya “apabila shalat telah
dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia allah{ QS.al-
jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas,
hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
c. Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan.
Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu
yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab
yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya akan berdosa.
d. Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-
kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup
namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau
kalimat yang menunjukan pada pengulangan. Allah berfirman: dan artinya “dan
Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan
sekali saja sudah cukup.5
e. Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak
bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan
5 Ibid,.hal.113.
4
perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini
tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama
menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali
dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan
yang mutlak. Seperti firman Allah:
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
5
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
a) Untuk do’a
b) Untuk pelajaran
c) Putus asa
d) Untuk menyenangkan (menghibur)
2. Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya,
seperti:
اَل تُ ْش ِر ْك بِاهّلل
1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat
Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at
yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.6
C. Dilalah dan Tuntutan Amar dan Nahi
6
1. Dilalah dan Tuntutan Amar
a. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa
jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu
tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa
arti pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh:
س َ َس ُجد ُْوا َأِل َد َم ف
َ س َجد ُْوا ااَّل اِ ْبلِ ْي ْ ُا
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis”.
(QS. Al Baqarah : 34)
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi
sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut,
sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk
yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah
yang memengaruhinya.
7
a) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya
yang secara bahasa berarti melarang.
b) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan,
c) Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan,
d) Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk
sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan
larangan,
e) Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan
f) Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih
g) Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan,
h) Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri,
D. Syarat – syarat Amar dan Nahi
1. Syarat Amar
a) Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b) Harus berbentuk kata permintaan.
c) Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.
d) Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a. Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b. Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta,
seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka
maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya,
dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja,
karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang
sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.
8
2. Syarat – Syarat Nahi
a. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi. Arti nahi
yang pokok.
i. Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah,
akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera
dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula
pemahaman lama salaf. Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan,
yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
ii. Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan
yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.7
iii. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang
dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”.
Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa
“nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak
pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal
ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab
shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara
9
ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram
hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).8
10