Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad. Secara istilah ada
beberapa pengertian yang dihimpun oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya “Ushul Fiqh”, yang
diambil dari berbagai sumber, yaitu:
1. Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau
beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2.Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa
memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu
menurut apa adanya.
3. Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq adalah
lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya.
Contohfirman Allah berikut ini:
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.” (Al-Mujadalah:3)
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafadz mutlaq yang mencakup semua jenis
raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup
raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman. Jika dilihat dari segi cakupannya,
maka lafadz mutlaqadalah sama dengan lafadz ‘am. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan
yang prinsip, yaitu lafadz ‘am mempunyai sifat syumuli (melingkupi) atau kulli (keseluruhan)
yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan keumuman dalam lafadz mutlaq bersifat badali
(pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan
satuan yang meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yangberbentuk mutlaq, harus diamalkan berdasarkan
kemutlaq-annya, sebagaimana contoh ayat 3 surat al-Mujadalah di atas. Dengan demikian
kesimpulan hukumnya adalah bahwa seorang suami yang men-dzihar istrinya kemudian ingin
menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman
ataupun yang tidak beriman.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu.
Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat
dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang
beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman” (An-nisa:93)
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu
mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan
atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus
memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan
berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
Kemudian, dalam nash syara’ terdapat salah satu bentuk ‘amr dan beberapa kaidah-
kaidah ushul yang berhubungan juga mungkin bisa diberlakukan, yaitu:
1. Al-Amr menunjukkan kepada wajib
األصل في األمر للوجوب
”Artinya: “Yang asal perintah untuk wajib
Pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan, kecuali ada
indikasi atua dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Seperti firman Allah dalam Q.S.
Al-Baqarah ayat 43:
Suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?
Menurut jumhur, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan,
kecuali ada dalil untuk itu. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 196:
َ َوأَتِ ُّموا
ِالح َّج َوال ُع ْم َرةَ هلل
3. Al-Amr tidak menunjukkan untuk bersegera
Suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Pada
dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain
yang menunjukkan untuk itu. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 148:
Hal ini dimaksudkan adanya suatu perintah tertentu pada waktu yang tertentu pula,
dengan kata lain memerintahkan suatu perbuatan dalam waktunya sendiri. Dengan demikian, bila
waktu tertentu telah berlalu, maka masih ada waktu lain untuk mengerjakannya. Misalnya,
seorang dalam keadaan haid pada bulan Ramadhan, maka ia meninggalkan puasa selama dalam
keadaan haid dan wajib menggantinya, pada bulan yang lain.
9. Martabat Al-Amr
Arti amr menunjukkan wajib yang berarti wajibnya perbuatan yang diperintahkan atau
dnegan kata lain tuntutan wajib mengerjakan segala pekerjaan yang diperintahkan daripada tidak
mengerjakan. Oleh karena itu seorang mujtahid harus mengetahui apa sesungguhnya yang
dikehendaki oleh lafal tersebut agar lafal yang dikehendaki dengannya supaya orang
mengerjakan apa yang dimaksudkan atau bisa juga dipahami makna amr sebagai perintah adalah
merupakan suatu lafal yang dipergunakan oleh yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta
kepada bawahannya agar mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak ditolak jadi jika Allah
memerintahkan kepada hambanya untuk mengerjakan suatu perbuatan maka kita sebagai hamba
mematuhi perintah tersebut.
Nahi
Nahi merupakan suatu lafal yang menunjukkan suatu tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu yang dikerjakan dari atasan kepada bawahannya. Nahi juga merupakan ungkapan yang
meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang kedudukannya lebih
tintti kepada orang yang berkedudukan lebih rendah. Larangan seperti halnya perintah,
membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman atau
tahrim tetapi nahi juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah), tuntutan
(irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan permohonan (do’a). Oleh karena itu, nahi membawa
berbagai makna, maka para ulama berbeda pendapat tentang manakah diantara makna-makna ini
yang merupakan makna pokok sebagai lawan dari makna sekedar/ metaforsinya.
Kemudian, dalam nash syara’ terdapat salah satu bentuk nahi dan beberapa kaidah-kaidah
ushul yang berhubungan juga mungkin bisa diberlakukan, yaitu:
1.
األصل في النهي للتحريم
Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan terlarang
itu, kecuali ada indikasi atau dalil yang menunjukkan hukum lain. Seperti firman Allah dalam
Q.S. Al-An’am ayat 151:
3.
النهي عن الشيئ أمر بضده
Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti
firman Allah dalam Q.S. Luqman ayat 18:
Sumber
Fakhru al-din Muhammad bin Umar bin Husyain al-Razi, al-Mashul fi Usul al-Fiqh