Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH “ ‘Azimah dan Rukhshah”

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Ilmu fiqh yang merupakan panduan ubudiah para mukallaf selalu berhadapan dengan
kondisi dimana seorang mukallaf berada dan situasi yang dihadapinya, dimana kondisi dan
situasi tersebut dapat mempengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi
kewajibannya terutama dalam hal ubudiah.
Mengenai situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan hambatan dalam
melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu berasal dari dirinya maupun luar
dirinya, ushul fiqh mengatur konsep ketetapan dan keringanan yang dikenal dengan istilah
Azimah dan rukhshah. Makalah ini berusaha memaparkan secara singkat tentang azimah dan
rukhsoh tersebut.

B.       Rumusan Masalah


1.         Apa yang dimaksud ‘Azimah dan Rukhsah itu?
2.         Apa saja macam-macam ‘azimah dan rukhsah itu?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH


Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :

‫الْ ُكلِّيَّ ِة ِإبْتِ َد ًاء‬ ‫ع ِم َن اْﻷَ ْح َك ِم‬


َ ‫َما ُشَر‬
Artinya : “Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.”
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum
bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum
lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh
dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini berlaku sebagai
hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengandung arti berlaku untuk semua
mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi
dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat,  puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum ‘azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara
umum sejak semula yang tidak terbatas kepada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf)
tertentu.1[1])
Shalat lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap waktu dan keadaan, asal saja
orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib shalat lima waktu
itu yang dimaksud ‘azimah.
Sedangkan tentang rukhshah ialah :

‫ف الدَّلِْي ِل لِ ًعُ ْذ ٍر‬


ِ ‫اَحْل ْكم الثَّابِت علَى ِخاَل‬
َ ُ ُ ُ
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”

1
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.
Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil
yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar
mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang
menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang
menghendaki hukum sunah seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.
Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang umum berlaku selama ada uzur
yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah.
Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini
datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti
dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa shalat dhuhur, ashar dan
isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala lapar jika tidak ada makanan yang lain.
Asy Syathibi menetapkan bahwa hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak
dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya.
Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah SWT :

)١٧٣ : ‫( البقرة‬ ‫اغ َوالَ َع ٍاد فَالَ اِمْثَ َعلَْي ِة‬ ْ ‫فَ َم ِن‬
0ٍ َ‫ضطَُّر َعْيَرب‬
 Artinya : “. . .tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”. (QS. Al
Baqarah : 173)

Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu bila rukhshah
itu untuk melawan sesuatu kesukaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan
berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka
itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bila berpuasa dalam safar itu, mengakibatkan
kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagi kita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi SAW:

)‫(رزاه امحد‬ ‫الس َف ِر‬ ِّ ِّ ‫س ِم َن الْرِب‬


َّ ‫الصيَ ُام ىِف‬ َ ‫لَْي‬
Artinya : “Tidak dipandang kebajikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dari uraian di atas maka yang dimaksud dengan rukhshah adalah keringanan hukum yang
telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan
keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan karena ada udzur yang memberatkan dalam
keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun
larangan itu tetap berlaku.2[2])

B.       MACAM-MACAM ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH


1.         Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa azimah ada empat macam, yaitu :
a.         Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seutuhnya, seperti
ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh hukum yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
umat di dunia dan di akhirat.
b.        Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci maki
berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang oleh Allah, karena orang yang menyembah
berhala atau sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat Al-An’aam ayat 108;
Artinya :“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…”
c.         Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya, sehingga
mansukh seakan – akan tidak pernah ada. Status nasikh dalam kasus seperti ini adalah ‘azimah.
Misalnya, firman Allah SWT :

) ١٤٤ : ‫(البقرة‬ ‫ك َشطَْر الْ َم ْس ِج ِد احْلََر ِام‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ ِّ


‫ل‬ ‫و‬‫ف‬َ ,‫ا‬ ‫ه‬‫ض‬ ‫ر‬‫ت‬َ
َ َ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ َُ ‫ة‬
ً ‫ل‬
َ ‫ب‬ِ‫َفلَنولِّينَّك ق‬
Artinya :“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah : 144).
Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-
nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah yang sebelumnya
berkiblat ke Baitul Maqdis.
d.        Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman Allah SWT :

2
ِ ِ ‫والْمحصنت ِمن الن‬
) ٢٤ :‫(النساء‬ ْ ‫ِّساء االَّ َم َاملَ َك‬
‫ت اَمْيَنُ ُك ْم‬ َ َ ُ ََ ْ ُ َ
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki”. (QS. An-Nisa : 24)
Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan
lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.

2.         Macam-Macam Rukhshah


a.         Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut kebutuhan. Misalnya
seseorang yang menahan lapar atau dahaga yang amat sangat, maka ia boleh memakan bangkai
atau arak. Allah SWT berfirman :

)١١٩ : 0‫(االنعام‬ ‫ااضطُِر ْرمُتْ اِلَْي ِه‬ ِ


ْ ‫احَّر َم َعلَْي ُك ْم االَّ َم‬
َ ‫ص َل لَ ُك ْم َم‬
َّ َ‫َوقَ ْد ف‬
Artinya : “...padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksakan memakannya.” (QS. Al-An’am : 119)
b.        Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur kesulitan
menunaikannya. Barangsiapa yang sakit di siang hari bulan Ramadhan atau sedang bepergian
maka ia boleh berbuka. Barang siapa yang dalam perjalanan maka boleh meringkas shalat yang
empat rakaat. Allah SWT berfirman :

) ١٨٤: ‫(البقرة‬ ‫ضا اَْو َعلَى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِم ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر‬ ِ
ً ْ‫فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِري‬
Artinya : “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al-Baqarah : 184)
c.         Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagai
sahnya akad tersebut, namun itu berlaku dalam muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan
mereka. Seperti akad salam (pesanan), ia adalah jual beli yang pada saat akad barang tidak ada.
Tetapi hal ini sudah menjadi kebutuhan. Rasulullah SAW bersabda :
‫ص‬‫خ‬َّ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫د‬
َ ‫ن‬
ْ ِ ‫ان مالَيس‬
‫ع‬ ِ ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم عن بي ِع ااْلِ نْس‬
ِ ‫َنهى رسو ُل‬
َ ََ ُ ْ
َ َ َ ْ َ
َْ َ ََ ْ َ ُ َ ُْ َ َ
ِّ ِ‫ف‬
‫الس ْل ِم‬
Artinya : “Rasulullah SAW melarang jual beli barang yang tidak ada padanya, tetapi Rasulullah SAW
memberikan keringanan pada akad salam (pesanan).”
d.        Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah di angkat dari kita. Sedangkan hukum itu
adalah termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita. Allah SWT berfirman :

‫صًرا َك َمامَحَْلتَهُ َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِنَا‬ِ‫ربَّنا واَل حَت ِمل علَينا ا‬
) ٢٨٦ : ‫(البقرة‬ ْ َْ َ ْ ْ َ َ َ
Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.” (QS. Al-Baqarah : 286)

C.      HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH


Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan
hukum ‘azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam
mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal
menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu tergantung kepada
bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu. Dengan demikian menggunakan hukum
ruskhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan
yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan
dirinya. Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang
sakit atau dalam perjalanan.
1.    Kata rukhshah, berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib
atau nadh selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan lebih
ringan.
2.    Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi
hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang
berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.
D.      KEUTAMAAN ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH 3[3])
Para ulama berbeda pendapat tentang tarajjuh (mengutamakan) mengambil rukhshah atau
‘azimah. Tetapi sebenarnya perbedaan mereka pada masalah-masalah parsial yang berhubungan
dengan rukhshah dan ‘azimah saja, seperti mengqashar shalat dalam perjalanan, atau menjamak
antara dua shalat, atau shalat Jum’at dan shalat Ied jika terjadi pada satu hari dan sebagainya.
Perbedaan pendapat antara mereka dalam masalah-masalah di atas adalah dikarenakan perbedaan
mereka dalam mencari asal masalah dan penyesuaiannya. Dalam hal ini, Syathibi menjelaskan
masalah ini secara umum, membandingkan antara rukhshah dan ‘azimah. Lalu menyebutkan
beberapa dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah, dan juga menyebutkan beberapa dalil
yang menguatkan pengambilan rukhshah.

1.         Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah:


a.         ‘Azimah adalah hukum asal yang tetap, yang disepakati dan pasti kebenarannya. Sedangkan
Rukhshah walaupun pemberian hukumnya pasti, tetapi dia bersifat zhanni dalam penerapannya,
karena rukhshah berdiri di atas masyaqqah (kesulitan). Kemungkinan penerapan rukhshah dalam
realitas dapat dikatakan tidak ada jika dinisbatkan kepada ‘azimah, dengan begitu ‘azimah lebih
kuat daripada rukhshah.
b.        Mengambil rukhshah dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak melaksanakan ‘azimah dalam
ibadah. Sedangkan mengambil ‘azimah itu membiasakan kuat dan sabar dalam beribadah, dan
bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya
c.         Asal dari tasyri’ adalah taklif (pembebanan) dan dalam taklif ada suatu beban dan kesulitan bagi
seorang hamba. Merupakan hikmah Allah bahwa pembebanan tersebut disesuaikan dengan
kemampuan manusia dan kebiasaannya. Jika muncul suatu kesulitan yang sangat pada sebagian
orang, atau pada kondisi tertentu, ‘azimah tidak keluar dari tujuan Allah semula, tidak juga
mempengaruhi pelaksanaannya. Hukum asal tetap pada ‘azimah, tidak keluar darinya kecuali
karena sebab yang sangat kuat.

2.         Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah:


a.         Bahwa asal hukum rukhshah walaupun bersifat parsial, tetapi jika dinisbatkan pada ‘azimah ia
tidak terpengaruh, karena ia dianggap sebagai suatu pengecualian dari ‘azimah.

3
b.        Banyak terdapat dalil yang menjelaskan tentang diangkatnya kesulitan dari umat, seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj:78) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman
yang artinya, “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…” (QS. Al-Baqarah:185) Berdasarkan hal di atas, maka agama ini terdapat kemudahan .

BAB II
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan hukum fiqh tidak monoton dan
kaku tetapi fleksibel dan dinamis tergantung situasi dan kondisi para mukallaf itu sendiri, Hal ini
sejalan dengan firman Allah : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
‘azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula
yang tidak terbatas kepada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf) tertentu. Sedangkan
rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam
keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut.
Hukum ‘azimah berupa hukum yang disyariatkan sejak semula, hukum yang disyariatkan
karena adanya suatu sebab, hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum
sebelumnya dan hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum. Rukhshah hukum
yang diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat, kebolehan meninggalkan
kewajiban ketika terdapat uzur, sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian dan menghapus
hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah di angkat dari kita.

DAFTAR PUSTAKA
http://bazmalla.blogspot.com//makalah-azimah-dan-rukhshah.html

Azimah dan Rukhshah


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Islam sebagai agama samawai dijadikan Allah sebagai agama yang tidak
membebani bagi pemeluknya. Dalam Islam terdapat hukum syara’ yang wajib
diketahui dan ditaati oleh setiap muslim. Hukum syara’ yang diturunkan Allah
merupakan rahmat bagi semua hamba-Nya. Dan dalam syara’ yang ditentukan tidak
ada paksaan dalam melaksanakannya. (Al-baqarah: 256)
Kedatangan hukum Islam merupakan tuntunan untuk menjalani keseimbangan
hidup baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Dan dalam prakteknya, Islam tidak menghendaki kesulitan dalam mengamalkannya
(Al-Mukminun: 78).
Islam merupakan agama yang mempunyai toleransi tinggi pada semua
pemeluknya. Setiap muslim tentunya memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Untuk itu, Islam tidak membebani
seorang muslim dalam beribadah melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-
Baqarah: 286). Dalam kondisi dan situasi tertentu, Islam memberikan keringanan pada
setiap muslim dalam menjalankan ibadah. Inilah indahnya Islam, toleransi diberikan
untuk menjadikan setiap muslim tetap menjalankan ibadah dalam keadaan apapun
dengan memberikan keringanan agar ibadah tidak dinafikan.
Dalam setiap ibadah, ada tata cara yang harus dipahami. Begitu pula dalam
keringanan ibadah (rukhshah) yang merupakan bentuk sikap toleransi Islam. Berikut
adalah hal-hal yang berhubungan dengan rukhshah.

B.  Rumusan masalah


1. Apa pengertian ‘Azimah?
2. Apa pengertian rukhshah?

3. Apa batasan-batasan menggunakan rukhshah?

4. Apa macam-macam rukhshah?

5. Bagaimana hukum menggunakan Rukhshah?

PEMBAHASAN
A.  Pengertian ‘Azimah
Azimah atau hukum azimah ialah:

‫ ما شرع من اال حكام العامة ابتداء ال يختص ببعض المكلفين من حيث هم مكلفين وال ببعض االحوال‬: ‫العزىمة‬
“sesuatu hukum yang dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak ditentukan terhadap suatu
golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang dikecualikan”[1]

Hukum ‘azimah bersifat umum (kuliyah), hal ini mengandung arti berlaku untuk
semua mukallaf, bukan untuk golongan tertentu maupun sebagian kelompok.
Misalnya, sholat lima waktu. Sholat lima waktu diwajibkan bagi semua orang Islam,
yang mampu, dan kuasa mengerjakannya. Hukum mengerjakan shalat lima waktu,
dinamakan ‘azimah.

B.  Pengertian Rukhshah


Rukhshah atau hukum rukhshah adalah
‫ما استثنى من اصل كلى لعذر شاق‬
”sesuatu hukum yang diatur oleh syara’karena ada suatu keúdzuran yang berat yang
menyukarkan”[2]
Hukum rukhshah memudahkan hukum bagi seorang mukallaf karena sebuah
alasan. Namun ada juga yang berpendapat selain itu. Karena, rukhshah itu tiada lain
menolak kesombongan dalam bentuk hal yang dibolehkan oleh syariat. Barang siapa
yang menolak hal yang dibolehkan oleh syariat dan merasa benar, agamanya telah
rusak. Dengan demikian, Allah memerintahkan melaksanakan rukhshah untuk
menolak kesombongan yang ada dalam diri seseorang.
Al-Ghazali berkata, “rukhshah tiada lain adalah kebaikan bagi hati yang lemah.
Sehingga kelemahan tersebut menjadi putus asa. Akhirnya, orang-orang pun
meninggalkan kebaikan yang dimudahkan untuk mereka dengan sebab kelemahan
mereka. Rasulullah tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam
dengan golongan dan derajat mereka yang berbeda.”
Sesunggunya, Allah mencintai ketika rukhshah-Nya dilakukan sebagaimana
kewajiban-Nya dilakukan. Perintah Allah dalam rukhshah dan azimah adalah satu.
Perintah untuk wudlu bukan berarti lebih utama dari tayammum, sedangkan perintah
untuk menyempurnakan   shalat bukan berarti lebih utama dari meringkas shalat. [3]
Rukhshah termasuk dalam kaidah keenam belas pada kaidah kulliyah fiqh Islam
yang berbunyi ‫ورات‬bb‫بيح المحض‬bb‫رورات ت‬bb‫( الض‬keadaan darurat membolehkan hal-hal yang
dilarang).[4]
Rukhshah atau darurat merupakan keringanan ibadah yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu yang terlarang dan meninggalkan sesuatu yang
diperintahkan. Diperbolehkannya melakukan rukhshah adalah ketika dalam keadaan
terpaksa.

C.  Batasan-batasan Rukhshah


Dalam menjalankan hukum rukhshah, tidak bisa dilakukan begitu saja. Terdapat
aturan dan batasan untuk dapat menjalankan rukhshah [5]. Diantara batasan-
batasannya, yaitu;
1.        Rukhshah harus sudah ada dan bukan ditunggu. Keadaan yang mengharuskan
rukhshah memang benar adanya dan merupakan kenyataan. Jika seseorang merasa
yakin akan adanya bahaya yang hakiki terhadap lima kebutuhan yang sangat mendasar
yang juga dipelihara oleh syariat langit, yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta.
Maka orang tersebut boleh berpegang pada ketentuan hukum rukhshah.
2.         Orang yang terpaksa tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain            
melanggar perintah atau larangan syara’.
3.        Rukhshah tidak dibenarkan dapat melanggar prinsip-prinsip syara’ yang pokok,
berupa memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah,
menghindari kemudharatan, dan memelihara prinsip keberagaman, serta pokok-pokok
akidah Islam. Misalnya diharamkan zina, pembunuhan, dan merampas dalam keadaan
apapun. Karena ini adalah mafsadat yang dikarenakan oleh esensinya.
4.        Dalam keadaan darurat berobat, hendaknya yang haram itu dipakai berdasarkan resep
dokter yang adil dan dipercaya baik dalam masalah agama maupun ilmunya

D. Macam-macam Rukhshah
Ada beberapa macam keringanan dari Allah (Rukhshah) yang terbagi dalam beberapa
segi sebagai berikut;
1.    Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum  asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat
dan rukhshah meninggalkan.[6]
a.    Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang
menurut asalnya harus ditinggalkan. Hukum azimah-nya adalah haram dan terlarang.
Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang tersebut boleh dilakukan.
Contohnya, memakan bangkai dalam keadaan darurat, karena dikhawatirkan jika tidak
memakan dapat menyebabkan kematian. Sebagaimana firman Allah:

‫اغ َوال عَا ٍد فَال ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ِإنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ ْ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما ُأ ِه َّل بِ ِه لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ فَ َم ِن‬
ٍ َ‫اضطُ َّر َغ ْي َر ب‬
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang disembelih dengan (menyebut) nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa
(memakannya,  sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. al-
Baqarah: 173)
b.   Rukhshah meninggalkan yaitu keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang
menurut hukum azimah-nya adalah wajib. Dalam keadaan asalnya, hukumnya adalah
wajib atau sunnah. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang tidak dapat
melakukannya dikarenakan membahayakan dirinya atau merasa berat untuk
melakukannya. Maka dari itu orang tersebut diperbolehkan melakukan rukhshah.
Firman Allah dalam (QS.al-Baqarah: 184) tentang kebolehan meninggalkan puasa
ramadlan bagi orang yang skait atau dalam perjalanan.

‫ين فَ َمن تَطَ َّو َع َخ ْي ًرا‬ ْ ‫سفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّمنْ َأيَّ ٍام ُأ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةُ طَ َعا ُم ِم‬
ٍ ‫س ِك‬ َ ‫ضا َأ ْو َعلَى‬ ً ‫ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِري‬ ٍ ‫َأيَّا ًما َّم ْعدُودَا‬
ُ َ‫فَ ُه َو َخ ْي ُر لَّهُ َوَأن ت‬
َ‫صو ُموا َخ ْي ُر لَّ ُك ْم ِإن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

”(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
c.    Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum
ialam yang dinilai terlalu berat bagi umat Muhammad. Contohnya, keharusan
melakukan sembahyang di masjid yang berlaku pada masa syariat Nabi Musa. Hukum
tersebut lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam arti luas disebut
rukhshah. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah: 286.

ْ ‫سينَا َأ ْو َأ ْخطَْأنَا ۚ َربَّنَا َواَل ت َْح ِم ْل َعلَ ْينَا ِإ‬


‫ص ًرا‬ ِ ‫سبَتْ ۗ َربَّنَا اَل تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإنْ َن‬
َ َ‫سبَتْ َو َعلَ ْي َها َما ا ْكت‬
َ ‫س َع َها ۚ لَ َها َما َك‬ ً ‫اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْف‬
ْ ‫سا ِإاَّل ُو‬
‫ص ْرنَا َعلَى‬ ُ ‫ار َح ْمنَا ۚ َأ ْنتَ َم ْواَل نَا فَا ْن‬
ْ ‫َك َما َح َم ْلتَهُ َعلَى الَّ ِذينَ ِمنْ قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َواَل ت َُح ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِ ِه ۖ َواعْفُ َعنَّا َوا ْغفِ ْر لَنَا َو‬
َ‫ا ْلقَ ْو ِم ا ْل َكافِ ِرين‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir".
d.   Rukhshah  dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan. Adanya rukhshah ini disebabkan oleh kebutuhan
umum. Misalnya jual beli salam.
2.    Rukhshah ditinjau dari segi keringanan yang diberikan. Terdapat tujuh bentuk
keringanan, diantaranya:
a.    Keringanan dalam bentuk meninggalkan kewajiban, seperti bolehnya     
meninggalkan shalat jum’at, berjihad, haji, dan umrah dalam keadaan          udzur.
b.   Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti mengqasar       shalat bagi
yang memenuhi persyaratan.
c.    Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperi mengganti wudlu         
dengan tayammum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri          dalam
shalat dengan duduk karena sedang sakit.
d.   Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti            
pelaksannan shalat dzuhur pada waktu ashar dengan jama’ ta’khir karena            
sedang dalam perjalanan.
e.    Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban,            misalnya
membayar zakat fitrah pada awal ramadlan, padahal waktu          wajibnya adalah akhir
ramadlan.
f.Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, misalnya melakukan       shalat khauf 
ketika dalam keadaan genting. Tentu saja tata cara       pelaksanaannya berbeda dengan
tata cara shalat dalam keadaan normal.
g.   Keringanan dalam bentuk meninggalkan perbuatan wajib dan       membolehkan
mengerjakan perbuatan haram karena adanya udzur, sebagaimana dijelaskan diatas.

3.           Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah,
apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah
ini terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah isqath.
a.  Rukhshah tarfih ialah yang meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi huum
azimah tetap berlaku hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau
mengerjakannya sebagai keringanan baginya. Misalnya mengucapkan ucapan yang
mengkafirkan, merupakan bentuk hukum azimah yang terlarng, Namun dalam
keadaan terpaksa, diperbolehkan selama hatinya tetap dalam keimanan dan pelakunya
tidak mendapatkan kemurkaan dari Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-
Nahl: 106.
b.  Rukhshah isqath ialah rukhshah yang menggugurkan hukum azimah terhadap
pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. Misalnya, orang yang dalam
perjalanan berlaku padanya hukum qasar shalat dan hilanglah kewajiban
menyempurnakan bilangan shalat yang empat rakaat. Sebagaimana firman Allah
dalam QS an-Nisa: 101.
Dalam hal ini ulama hanafiyah tidak menganggap hukum azimah gugur, Karena orang
dalam perjalanan itu dapat memilih antara qasar atau tidak meskipun memilih qashar
lebih utama dari menyempurnakannya.

E.   Hukum Menggunakan Rukhshah


Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah tergantung
kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah tersebut. Dengan demikian,
menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai pada
situasi terpaksa bagi yang tidak mendapat makanan yang halal. Sedangkan hukum
rukhshah menjadi sunah ketika seseorang berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang
sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jal beli salam.
Imam al-syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah adalah ibahah atau
boleh. Pendapat al-syatibi ini menimbulkan polemik diantara jumhur ulama, pertama,
rukhshah dihukumi mubah, karena pada aslnya rukhshah hanyalah keringanan atau
mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan pilihan antara
memilih azimah atau rukhshah. Kedua, kalau menggunakan rukhshah itu
diperintahkan, baik dalam bentuk sunah atau wajib, maka hukumnya akan berubah
menjadi ‘azimah, bukan lagi rukhshah. Karena hukum wajib itu merupakan keharusan
pasti yang tidak mengandung pilihan lain.
Perbedaan pendapat antara al-Syathibi dan jumhur ulama sangat terlihat
pengaruhnya. Misalnya, dalam hal memakan makanan haram dalam keadaan darurat.
Al-Syathibi menghukumi mubah, namun jumhur ulama menyatakan lebih baik mati
kelaparan daripada memakan makanan haram.

PENUTUP
A.  Kesimpulan
Azimah ialah sesuatu hukum yang dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak
ditentukan terhadap suatu golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang
dikecualikan
Rukhshah ialah sesuatu hukum yang diatur oleh syara’karena ada suatu
keúdzuran yang berat yang menyukarkan
Macam-macam rukhshah, diantaranya; Rukhshah dilihat dari segi bentuk
hukum  asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah,
apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah
ini terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah isqath.
Hukum menggunakan rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai
pada situasi terpaksa bagi yang tidak mendapat makanan yang halal. Sedangkan
hukum rukhshah menjadi sunah ketika seseorang berbuka puasa Ramadhan bagi orang
yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jal beli
salam.

Anda mungkin juga menyukai