BAB I
PENDAHULUAN
1
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.
Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil
yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar
mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang
menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang
menghendaki hukum sunah seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.
Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang umum berlaku selama ada uzur
yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah.
Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini
datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti
dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa shalat dhuhur, ashar dan
isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala lapar jika tidak ada makanan yang lain.
Asy Syathibi menetapkan bahwa hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak
dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya.
Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah SWT :
)١٧٣ : ( البقرة اغ َوالَ َع ٍاد فَالَ اِمْثَ َعلَْي ِة ْ فَ َم ِن
0ٍ َضطَُّر َعْيَرب
Artinya : “. . .tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”. (QS. Al
Baqarah : 173)
Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu bila rukhshah
itu untuk melawan sesuatu kesukaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan
berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka
itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bila berpuasa dalam safar itu, mengakibatkan
kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagi kita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi SAW:
2
ِ ِ والْمحصنت ِمن الن
) ٢٤ :(النساء ْ ِّساء االَّ َم َاملَ َك
ت اَمْيَنُ ُك ْم َ َ ُ ََ ْ ُ َ
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki”. (QS. An-Nisa : 24)
Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan
lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.
) ١٨٤: (البقرة ضا اَْو َعلَى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِم ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر ِ
ً ْفَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِري
Artinya : “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al-Baqarah : 184)
c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagai
sahnya akad tersebut, namun itu berlaku dalam muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan
mereka. Seperti akad salam (pesanan), ia adalah jual beli yang pada saat akad barang tidak ada.
Tetapi hal ini sudah menjadi kebutuhan. Rasulullah SAW bersabda :
صخَّ ر و ه د
َ ن
ْ ِ ان مالَيس
ع ِ اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم عن بي ِع ااْلِ نْس
ِ َنهى رسو ُل
َ ََ ُ ْ
َ َ َ ْ َ
َْ َ ََ ْ َ ُ َ ُْ َ َ
ِّ ِف
الس ْل ِم
Artinya : “Rasulullah SAW melarang jual beli barang yang tidak ada padanya, tetapi Rasulullah SAW
memberikan keringanan pada akad salam (pesanan).”
d. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah di angkat dari kita. Sedangkan hukum itu
adalah termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita. Allah SWT berfirman :
صًرا َك َمامَحَْلتَهُ َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِنَاِربَّنا واَل حَت ِمل علَينا ا
) ٢٨٦ : (البقرة ْ َْ َ ْ ْ َ َ َ
Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.” (QS. Al-Baqarah : 286)
3
b. Banyak terdapat dalil yang menjelaskan tentang diangkatnya kesulitan dari umat, seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj:78) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman
yang artinya, “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…” (QS. Al-Baqarah:185) Berdasarkan hal di atas, maka agama ini terdapat kemudahan .
BAB II
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan hukum fiqh tidak monoton dan
kaku tetapi fleksibel dan dinamis tergantung situasi dan kondisi para mukallaf itu sendiri, Hal ini
sejalan dengan firman Allah : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
‘azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula
yang tidak terbatas kepada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf) tertentu. Sedangkan
rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam
keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut.
Hukum ‘azimah berupa hukum yang disyariatkan sejak semula, hukum yang disyariatkan
karena adanya suatu sebab, hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum
sebelumnya dan hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum. Rukhshah hukum
yang diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat, kebolehan meninggalkan
kewajiban ketika terdapat uzur, sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian dan menghapus
hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah di angkat dari kita.
DAFTAR PUSTAKA
http://bazmalla.blogspot.com//makalah-azimah-dan-rukhshah.html
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Azimah
Azimah atau hukum azimah ialah:
ما شرع من اال حكام العامة ابتداء ال يختص ببعض المكلفين من حيث هم مكلفين وال ببعض االحوال: العزىمة
“sesuatu hukum yang dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak ditentukan terhadap suatu
golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang dikecualikan”[1]
Hukum ‘azimah bersifat umum (kuliyah), hal ini mengandung arti berlaku untuk
semua mukallaf, bukan untuk golongan tertentu maupun sebagian kelompok.
Misalnya, sholat lima waktu. Sholat lima waktu diwajibkan bagi semua orang Islam,
yang mampu, dan kuasa mengerjakannya. Hukum mengerjakan shalat lima waktu,
dinamakan ‘azimah.
D. Macam-macam Rukhshah
Ada beberapa macam keringanan dari Allah (Rukhshah) yang terbagi dalam beberapa
segi sebagai berikut;
1. Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat
dan rukhshah meninggalkan.[6]
a. Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang
menurut asalnya harus ditinggalkan. Hukum azimah-nya adalah haram dan terlarang.
Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang tersebut boleh dilakukan.
Contohnya, memakan bangkai dalam keadaan darurat, karena dikhawatirkan jika tidak
memakan dapat menyebabkan kematian. Sebagaimana firman Allah:
اغ َوال عَا ٍد فَال ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ِإنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم ْ ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما ُأ ِه َّل بِ ِه لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ فَ َم ِن
ٍ َاضطُ َّر َغ ْي َر ب
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang disembelih dengan (menyebut) nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa
(memakannya, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. al-
Baqarah: 173)
b. Rukhshah meninggalkan yaitu keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang
menurut hukum azimah-nya adalah wajib. Dalam keadaan asalnya, hukumnya adalah
wajib atau sunnah. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang tidak dapat
melakukannya dikarenakan membahayakan dirinya atau merasa berat untuk
melakukannya. Maka dari itu orang tersebut diperbolehkan melakukan rukhshah.
Firman Allah dalam (QS.al-Baqarah: 184) tentang kebolehan meninggalkan puasa
ramadlan bagi orang yang skait atau dalam perjalanan.
ين فَ َمن تَطَ َّو َع َخ ْي ًرا ْ سفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّمنْ َأيَّ ٍام ُأ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةُ طَ َعا ُم ِم
ٍ س ِك َ ضا َأ ْو َعلَى ً ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِري ٍ َأيَّا ًما َّم ْعدُودَا
ُ َفَ ُه َو َخ ْي ُر لَّهُ َوَأن ت
َصو ُموا َخ ْي ُر لَّ ُك ْم ِإن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون
”(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
c. Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum
ialam yang dinilai terlalu berat bagi umat Muhammad. Contohnya, keharusan
melakukan sembahyang di masjid yang berlaku pada masa syariat Nabi Musa. Hukum
tersebut lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam arti luas disebut
rukhshah. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah: 286.
3. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah,
apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah
ini terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah isqath.
a. Rukhshah tarfih ialah yang meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi huum
azimah tetap berlaku hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau
mengerjakannya sebagai keringanan baginya. Misalnya mengucapkan ucapan yang
mengkafirkan, merupakan bentuk hukum azimah yang terlarng, Namun dalam
keadaan terpaksa, diperbolehkan selama hatinya tetap dalam keimanan dan pelakunya
tidak mendapatkan kemurkaan dari Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-
Nahl: 106.
b. Rukhshah isqath ialah rukhshah yang menggugurkan hukum azimah terhadap
pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. Misalnya, orang yang dalam
perjalanan berlaku padanya hukum qasar shalat dan hilanglah kewajiban
menyempurnakan bilangan shalat yang empat rakaat. Sebagaimana firman Allah
dalam QS an-Nisa: 101.
Dalam hal ini ulama hanafiyah tidak menganggap hukum azimah gugur, Karena orang
dalam perjalanan itu dapat memilih antara qasar atau tidak meskipun memilih qashar
lebih utama dari menyempurnakannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Azimah ialah sesuatu hukum yang dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak
ditentukan terhadap suatu golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang
dikecualikan
Rukhshah ialah sesuatu hukum yang diatur oleh syara’karena ada suatu
keúdzuran yang berat yang menyukarkan
Macam-macam rukhshah, diantaranya; Rukhshah dilihat dari segi bentuk
hukum asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah,
apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah
ini terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah isqath.
Hukum menggunakan rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai
pada situasi terpaksa bagi yang tidak mendapat makanan yang halal. Sedangkan
hukum rukhshah menjadi sunah ketika seseorang berbuka puasa Ramadhan bagi orang
yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jal beli
salam.