Anda di halaman 1dari 48

Rukun/ Unsur Hukum Islam

Al-Hakim
Sumber Hukum Islam
Mahkum Fih
Mahkum ‘Alaih
Al-Hakim
Hakim

 Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:


‫ وا ضع االحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها‬
 Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.

‫ الذي يدرك االحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها‬


 Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan
hukum.

 Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan
peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun
wahyu dalam bentuk sunnah
Hakim (Pembuat Hukum / Allah)

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan


hukum. Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi.
Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu
dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.
Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau
pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. (QS. Al-
An’am: 57)
‫إن الحك ُم إال هّلِل يقصّ الحق وهو خير الفاصلين‬
ِ
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam masalah:
Apakah hukum-hukum yang dibuat Allah Swt hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah
Saw, atau apakah akal mempunyai kewenangan dalam
penetapan hukum-hukum syari’at?
Perbedaan ini berpangkal dari perbedaan pandangan tentang
fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal (tahsīn
‘aqli wa taqbīh ‘aqli).
Perbedaan Tentang Baik dan Buruk
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi
kepada dua kategori: (1) Perbuatan yang sifat baik atau buruknya
bersifat esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih). Kekuatan akal
yang sehat secara independen mampu mengetahuinya. Fungsi
wahyu untuk memberitahukan suatu perbuatan adalah baik atau
buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan.
(2) Perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal terhadap nilai
baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya. Secara
mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik buruknya.
Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada:
Hasan lidzātih, qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara
keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah
Swt. Menurut mereka, akal semata tidak dapat dijadikan landasan
hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik
dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah
sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang
membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan
Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan menetapkannya.
Sumber Hukum dan Dalil Hukum
yang disepakati
Sumber :
Al-Qur’an
Sunah/ Hadist
Ijtihad : Ijma’ dan qiyas
Definisi Dalil & al-Quran
DEFINISI DALIL
Secara bahasa adalah “yang menunjukkan terhadap
sesuatu”. Dalil diartikan pula dengan ‫ما ف يه دال لة وإرشاد‬
artinya perkara yang di dalamnya terdapat petunjuk. Ulama
Ushul mendefinisikan dalil dengan istilah
‫توصل ب صحيح ا لنظر ف يه ا لىا لعلم ب مطلوبخبري‬
ّ ‫ ا لذيي مكناني‬artinya
sesuatu yang dengan penelaahan yang shahih bisa
menghantarkan kepada pengetahuan terhadap mathlub
khabari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status
hukumnya).

TA’RIF AL-QURAN
bentuk mashdar dari fi’il madhi qara`a yang berarti bacaan.
Menurut istilah Ushul Fiqh, al-Quran berarti kalam
(perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw dengan bahasa
Arab serta dianggap beribadah membacanya.
Informasi tentang al-Quran

 Mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira` pada tahun 611


M., dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M. dalam rentang waktu
22 tahun lebih beberapa bulan.
 Al-Quran turun secara berangsur-angsur, tidak secara sekaligus.
Mengapa? Untuk menguatkan hati (menghujamkan makna serta
hukum-hukumnya) dan mentartilkan al-Quran, seperti dikisahkan
dalam al-Quran surat al-Furqan ayat 32
‫َو َقال َ ا َّلذِينَ َك َف ُروا َل ْوال ُن ِّزل َ َع َل ْي ِه ا ْلقُ ْرآنُ ُج ْم َل ًة َواحِدَ ًة َك َذلِ َك لِ ُن َث ِّب َت ِب ِه فُ َؤادَ َك َو َر َّت ْل َناهُ َت ْرتِيال‬
 Ayat pertama ditunkan adalah ayat 1 sampai 5 dari Surat al-’Alaq.
Sedangkan ayat terakhir diturunkan ada ikhtilaf ulama. Pendapat
yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum
al-Quran yang dinukilnya dari Ibnu ‘Abbas adalah Surat al-Baqarah
ayat 281.‫واتقوا ي وما ت رجع ونف يه ا لىهللا ث م ت وفىك لن فسما ك سبتوهم ال يظلمون‬
Setelah ayat ini diturunkan Rasulullah Saw masih hidup sembilan
malam, kemudian beliau wafat pada hari Senin 3 Rabi’ al-awwal,
dan berkahirlah turunnya wahyu. Ada pula yang mengatakan bahwa
ayat terakhir turun adalah Surat al-Maidah ayat 3 ‫ا ليوم أكملتل كم دينكم‬
AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH

 Al-Quran turun dalam dua periode: Pertama, periode Mekkah, yaitu sebelum
Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, dikenal dengan ayat-ayat Makkiyyah.
Kedua, periode setelah Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, dikenal dengan
ayat-ayat Madaniyyah.
 Inti Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya berbicara seputar masalah akidah
untuk meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran
tauhid. Selain itu juga menceritakan kisah umat-umat masa lampau sebagai
pelajaran bagi umat Nabi Muhammad Saw. Dalam masalah hukum belum
banyak ayat yang diturunkan di Mekkah kecuali beberapa hal, seperti menjaga
kehormatan (faraj) QS. al-Mukminun: 5-7, diharamkan memakan harta anak
yatim QS. al-Nisa`: 10, larangan mubazir QS. al-Isra`: 26, larangan
mengurangi timbangan QS. Hud: 85, larangan membuat kerusakan di muka
bumi QS. al-A’raf: 56, dan ayat tentang kewajiban shalat QS. Hud: 114.
Rahasia mengapa di Mekkah belum banyak ayat hukum, karena di Mekkah
belum terbentuk satu masyarakat atau komunitas Islam seperti halnya di
Madinah setelah Rasulullah Saw hijrah.
AYAT MADANIYYAH

Banyak terkait dengan hukum dan berbagai aspeknya.


 Perintah membayar zakat, QS. al-Baqarah: 43
 Kewajiban puasa Ramadhan, QS. al-Baqarah: 183
 Kewajiban haji, QS. al-Baqarah: 196
 Pengharaman riba, QS. al-Baqarah: 275
 Larangan memakan harta orang lain secara batil, al-Baqarah: 188
 Wanita-wanita yang haram dinikahi, QS. al-Nisa`: 23
 Hukum thalaq dan ‘iddah, QS. al-Thalaq: 65
 Pembagian warisan, QS. al-Nisa`: 11-12
 Cara pembagian harta rampasan perang, QS. al-Anfal: 1
 Qishash & ‘uqubat (sanksi hukum), QS. al-Baqarah: 178
 Larangan merampok & mengacau keamanan, QS. al-Maidah: 33
 Memutuskan hukum secara adil, QS. al-Nisa`: 58
 Dan lain sebagainya.
HUKUM-HUKUM DALAM AL-QURAN

 Al-Quran sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung 3 doktrin:


Akidah, akhlak, dan hukum-hukum amaliyah.
 Hukum-hukum amaliyah dalam al-Quran terdiri dari dua cabang: Hukum
ibadah dan muamalah.
 Abdul Wahab Khallaf memerinci macam hukum bidang muamalah dan
jumlah ayatnya.
1. Hukum keluarga, mulai dari pernikahan, talak, rujuk, ‘iddah, hingga
masalah warisan, seluruhnya ada 70 ayat.
2. Hukum perdata ada sekitar 70 ayat.
3. Hukum jinayat (pidana) ada 30 ayat.
4. Hukum murafa’at (acara atau peradilan) ada 13 ayat.
5. Hukum ketatanegaraan ada 10 ayat.
6. Hukum antara bangsa (internasional) ada 25 ayat.
7. Hukum ekonomi dan keuangan ada sekitar 10 ayat.
‫‪CONTOH AYAT-AYAT HUKUM‬‬

‫‪‬‬ ‫‪Dari segi rinci atau tidaknya ayat-ayat hukum dalam al-Quran, Muhammad Abu Zahrah‬‬
‫‪menjelaskan sbb.:‬‬
‫‪1.‬‬ ‫‪Ibadah, dalam Quran dikemukakan secara mujmal (global) tanpa merinci kaifiyatnya,‬‬
‫‪seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk menjelaskan tatacaranya dilimpahkan kepada‬‬
‫‪Nabi Muhammad Saw dengan sunnahnya.‬‬
‫‪2.‬‬ ‫‪Kaffarat, yaitu semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi‬‬
‫‪sebagian dosa. Ada 3 bentuk kaffarat, yaitu: Kaffarat zihar (seperti ungkapan suami‬‬
‫‪kepada istrinya “kau bagiku bagaikan punggung ibuku”). Istri yang sudah di zihar tidak‬‬
‫‪boleh digauli oleh suaminya kecuali setelah membayar kaffarat, QS. Al-Mujadilah: 3-4.‬‬
‫ون َخ ِبيرٌ * َف َمنْ َل ْم َي ِج ْد‬ ‫ون ِب ِه َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل ُ َ‬ ‫ظ َ‬ ‫وع ُ‬ ‫ون لِ َما َقالُوا َف َتحْ ِريرُ َر َق َب ٍة ِمنْ َقب ِْل أَنْ َي َت َماسَّا َذلِ ُك ْم ُت َ‬ ‫ِرُون ِمنْ ن َِسائ ِِه ْم ُث َّم َيعُو ُد َ‬ ‫ِين ي َُظاه َ‬ ‫َوالَّذ َ‬
‫ين‬‫ك ُح ُدو ُد هَّللا ِ َول ِْل َكاف ِِر َ‬ ‫ين ِمسْ كِي ًنا َذل َِك لِ ُت ْؤ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوت ِْل َ‬ ‫ْن ِمنْ َقب ِْل أَنْ َي َت َماسَّا َف َمنْ َل ْم َيسْ َتطِ عْ َفإِ ْط َعا ُم سِ ِّت َ‬ ‫ْن ُم َت َت ِاب َعي ِ‬
‫َفصِ َيا ُم َ َشه َْري ِ‬
‫َع َذابٌ ألِي ٌم‬
‫‪Kaffarat sumpah, QS. Al-Maidah: 89.‬‬
‫ُون أَهْ لِي ُك ْم أَ ْو ِكسْ َوت ُه ْم‬
‫ُ‬ ‫ِين ِمنْ أَ ْو َسطِ َما ُت ْط ِعم َ‬ ‫ار ُت ُه إِ ْط َعا ُم َع َش َر ِة َم َساك َ‬ ‫ان َف َك َّف َ‬ ‫ال ي َُؤاخ ُِذ ُك ُم هَّللا ُ ِباللَّ ْغ ِو فِي أَ ْي َما ِن ُك ْم َو َل ِكنْ ي َُؤاخ ُِذ ُك ْم ِب َما َع َّق ْد ُت ُم األ ْي َم َ‬
‫ك ُي َبيِّنُ هَّللا ُ َل ُك ْم آ َيا ِت ِه َل َعلَّ ُك ْم َت ْش ُكر َ‬
‫ُون‬ ‫ظوا أَ ْي َما َن ُك ْم َك َذلِ َ‬
‫ارةُ أَ ْي َما ِن ُك ْم إِ َذا َحلَ ْف ُت ْم َواحْ َف ُ‬
‫َّام َذل َِك َك َّف َ‬ ‫َ‬
‫أ ْو َتحْ ِري ُر َر َق َب ٍة َف َمنْ لَ ْم َي ِج ْد َفصِ َيا ُم َثال َث ِة أي ٍ‬
‫َ‬
‫‪Kaffarat qatl al-khata` (membunuh mukmin secara tersalah). al-Nisa`: 92‬‬
‫ِن أَنْ َي ْق ُت َل م ُْؤ ِم ًنا إِال َخ َطأ ً َو َمنْ َق َت َل م ُْؤ ِم ًنا َخ َطأ ً َف َتحْ ِري ُر َر َق َب ٍة م ُْؤ ِم َن ٍة َو ِد َي ٌة م َُسلَّ َم ٌة إِ َلى أَهْ لِ ِه إِال أَنْ َيص ََّّدقُوا َفإِنْ َك َ‬
‫ان ِمنْ َق ْو ٍم‬ ‫ان لِم ُْؤم ٍ‬ ‫َو َما َك َ‬
‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫َّ‬
‫اق َف ِد َية م َُسل َمة إِلَى أهْ لِ ِه َو َتحْ ِريرُ َر َق َب ٍة م ُْؤ ِم َن ٍة َف َمنْ َل ْم َي ِج ْد‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫ان ِمنْ َق ْو ٍم َب ْي َنك ْم َو َب ْي َن ُه ْم مِيث ٌ‬ ‫َع ُدوٍّ َلك ْم َوه َُو م ُْؤ ِمنٌ َف َتحْ ِري ُر َر َق َب ٍة م ُْؤ ِم َن ٍة َوإِنْ َك َ‬‫ُ‬
‫ان هَّللا ُ َعلِيمًا َحكِيمًا‬ ‫ْن َت ْو َب ًة م َِن هَّللا ِ َو َك َ‬‫ْن ُم َت َت ِاب َعي ِ‬
‫َفصِ َيا ُم َشه َْري ِ‬
‫‪CONTOH AYAT-AYAT HUKUM‬‬

‫‪3.‬‬ ‫‪Hukum mu’amalat. Al-Quran hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, sunnah berperan‬‬
‫‪merincinya, dan ijtihad para ulama berperan dalam mengembangkan perinciannya. Seperti‬‬
‫‪larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, QS. Al-Nisa`: 29, dan larangan memakan‬‬
‫‪riba, QS. Al-Baqarah: 275‬‬
‫اض ِم ْن ُك ْم …‬ ‫ار ًة َعنْ َت َر ٍ‬ ‫ون ت َِج َ‬ ‫مْوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل إِال أَنْ َت ُك َ‬‫ِين آ َم ُنوا ال َتأْ ُكلُوا أَ َ‬ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ َ‬
‫ْ‬
‫ْطانُ م َِن ْال َمسِّ َذل َِك ِبأ َ َّن ُه ْم َقالُوا إِ َّن َما ْال َب ْي ُع مِث ُل الرِّ َبا َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْال َبي َْع َو َحرَّ َم الرِّ َبا َف َمنْ‬ ‫َّط ُه ال َّشي َ‬‫ُون إِال َك َما َيقُو ُم الَّذِي َي َت َخب ُ‬ ‫ون الرِّ َبا ال َيقُوم َ‬ ‫ِين َيأْ ُكل ُ َ‬ ‫الَّذ َ‬
‫َ‬ ‫ُ‬ ‫هَّللا‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ٌ‬ ‫َ‬
‫ار‪...‬‬‫ِك أصْ َحابُ ال َّن ِ‬ ‫ف َوأمْ ُرهُ إِ َلى ِ َو َمنْ َعادَ َفأو َلئ َ‬ ‫َجا َءهُ َم ْوعِ ظة ِمنْ َر ِّب ِه َفان َت َهى َف َل ُه َما َسلَ َ‬
‫‪4.‬‬ ‫‪Hukum Keluarga, Al-Quran berbicara agak rinci, misalnya penjelasan wanita-wanita yang‬‬
‫‪haram dinikahi, QS. Al-Nisa`: 23‬‬
‫اع ِة َوأ ُ َّم َهاتُ‬ ‫ض َ‬ ‫ضعْ َن ُك ْم َوأَ َخ َوا ُت ُك ْم م َِن الرَّ َ‬ ‫ت َوأ ُ َّم َها ُت ُك ُم الالتِي أَرْ َ‬‫األخ ِ‬ ‫ات ْ‬ ‫األخ َو َب َن ُ‬
‫ِ‬ ‫ت َع َل ْي ُك ْم أ ُ َّم َها ُت ُك ْم َو َب َنا ُت ُك ْم َوأَ َخ َوا ُت ُك ْم َو َعمَّا ُت ُك ْم َو َخاال ُت ُك ْم َو َب َن ُ‬
‫ات‬ ‫حُرِّ َم ْ‬
‫َّ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ُور ُك ْم ِمنْ ِن َسا ِئ ُك ُم الالتِي دَ َخل ُت ْم ِب ِهنَّ َفإِنْ َل ْم َت ُكو ُنوا َد َخل ُت ْم ِب ِهنَّ َفال ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم َو َحال ِئ ُل أ ْب َنا ِئ ُك ُم الذ َ‬
‫ِين ِمنْ‬ ‫َِن َسا ِئ ُك ْم َو َر َب َا ِئ ُب ُك ُم الالتِي فِي ُحج ِ‬
‫ف…‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫ْن إِال َما قد َسل َ‬ ‫الب ُك ْم َوأنْ َتجْ َمعُوا َبي َْن ْ‬
‫األخ َتي ِ‬ ‫أصْ ِ‬
‫‪Masalah thalaq (QS. Al-thalaq: 1), rujuk (QS. Al-Baqarah: 228), ‘iddah karena meninggal‬‬
‫)‪suami (QS. Al-Baqarah: 234) dan ‘iddah karena terjadinya perceraian (QS. Al-Baqarah: 228‬‬
‫ح َش ٍة ُم َب ِّي َن ٍة‬ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّن ِبيُّ إِ َذا َطلَّ ْق ُت ُم ال ِّن َسا َء َف َطلِّقُوهُنَّ لِ ِع َّدت ِِهنَّ َوأَحْ صُوا ْال ِع َّد َة َوا َّتقُوا هَّللا َ َر َّب ُك ْم ال ُت ْخ ِرجُوهُنَّ ِمنْ ُبيُوت ِِهنَّ َوال َي ْخرُجْ َن إِال أَنْ َيأْت َ‬
‫ِين ِب َفا ِ‬
‫ِث َبعْ َد َذل َِك أَمْ رً ا‬ ‫ك ُح ُدو ُد هَّللا ِ َو َمنْ َي َت َع َّد ُح ُدودَ هَّللا ِ َف َق ْد َظ َل َم َن ْف َس ُه ال َت ْد ِري َل َع َّل هَّللا َ يُحْ د ُ‬ ‫َوت ِْل َ‬
‫مْن َما َخ َل َق هَّللا ُ فِي أَرْ َحام ِِهنَّ إِنْ ُكنَّ ي ُْؤمِنَّ ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآلخ ِِر َو ُبعُو َل ُتهُنَّ أَ َح ُّق ِب َر ِّدهِنَّ‬ ‫ح ُّل َلهُنَّ أَنْ َي ْك ُت َ‬ ‫ات َي َت َربَّصْ َن ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّ َثال َث َة ُقرُو ٍء َوال َي ِ‬ ‫ُطلَّ َق ُ‬‫َو ْالم َ‬
‫ال َع َلي ِْهنَّ دَ َر َجةٌ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫فِي َذل َِك إِنْ أ َرا ُدوا إِصْ الحً ا َو َلهُنَّ مِث ُل الَّذِي َع َلي ِْهنَّ ِبال َمعْ رُوفِ َولِلرِّ َج ِ‬ ‫َ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫اح َع َل ْي ُك ْم فِي َما َف َعل َن فِي أ ْنفُسِ ِهنَّ ِبال َمعْ رُوفِ‬ ‫ُون أَ ْز َواجً ا َي َت َربَّصْ َن ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّ أَرْ َب َع َة أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرً ا َفإِ َذا َبلَ ْغ َن أ َج َلهُنَّ َفال ُج َن َ‬
‫َ‬ ‫ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر َ‬ ‫َوالَّذ َ‬
‫َ‬
‫ون خ ِبي ٌر‬ ‫ُ‬ ‫َ‬
‫َو ُ ِب َما تعْ َمل َ‬ ‫هَّللا‬
‫‪CONTOH AYAT-AYAT HUKUM‬‬

‫‪5.‬‬ ‫‪Hukum pidana. Al-Quran melarang tindak kejahatan secara umum. Seperti larangan‬‬
‫‪pembunuhan (Al-An’am: 151), larangan minum khamar (QS. Al-Maidah: 90) dan rincian‬‬
‫جلد ا لنبيص م أربعينوجلد أبو ‪hukumannya dijelaskan oleh sunnah dengan cambuk 40 kali sesuai hadis‬‬
‫وكلس نة‬ ‫‪, larangan berzina (Al-Nur: 2), hukuman bagi pencuri (Al-Maidah: 38),‬ب كر أربعينوعمر ث مانين ْ‬
‫)‪hukuman pelaku qazaf atau menuduh orang lain berzina tanpa saksi (QS. Al-Nur: 4‬‬
‫س الَّتِي َحرَّ َم هَّللا ُ إِال ِب ْال َح ِّق َذلِ ُك ْم َوصَّاك ْمُ‬ ‫ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َوال َت ْق ُتلُوا ال َّن ْف َ‬ ‫الق َنحْ نُ َنرْ ُز ُق ُك ْم َوإِيَّا ُه ْم َوال َت ْق َربُوا ْال َف َواح َ‬ ‫َوال َت ْق ُتلُوا أَ ْوالدَ ُك ْم ِمنْ إِمْ ٍ‬
‫ون‬‫ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم َتعْ قِلُ َ‬
‫ان َفاجْ َت ِنبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح َ‬
‫ُون‬ ‫ْط ِ‬ ‫األزال ُم ِرجْ سٌ مِنْ َع َم ِل ال َّشي َ‬ ‫صابُ َو ْ‬ ‫ِين آ َم ُنوا إِ َّن َما ْال َخمْ رُ َو ْال َميْسِ ُر َواأل ْن َ‬ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ َ‬
‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآلخ ِِر َو ْل َي ْش َه ْد َع َذا َب ُه َما َطا ِئ َف ٌة م َِن‬ ‫ِين هَّللا ِ إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن َ‬ ‫الزانِي َفاجْ لِ ُدوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْن ُه َما مِا َئ َة َج ْلدَ ٍة َوال َتأ ُخ ْذ ُك ْم ِب ِه َما َرأ َف ٌة فِي د ِ‬ ‫الزا ِن َي ُة َو َّ‬
‫َّ‬
‫الم ُْؤ ِمن َ‬
‫ِين‬ ‫ْ‬
‫ٌ‬ ‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬
‫َّار َقة َفاقطعُوا أ ْي ِد َي ُه َما َج َزا ًء ِب َما َك َس َبا َن َكاال م َِن ِ َو ُ َع ِزيز َحكِي ٌم‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬
‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫َّار ُق َوالس ِ‬ ‫َوالس ِ‬
‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ِك ُه ُم ال َفاسِ ق َ‬
‫ون‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ً‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ِين َجلدَ ة َوال َتق َبلوا ل ُه ْم َش َهادَ ة أ َب ًدا َوأولئ َ‬ ‫ً‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫ت ث َّم ل ْم َيأتوا ِبأرْ َب َع ِة ش َهدَا َء َفاجْ لِ ُدو ُه ْم ث َمان َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ص َنا ِ‬ ‫ْ‬
‫ُون المُحْ َ‬ ‫ِين َيرْ م َ‬ ‫َوالَّذ َ‬
‫‪6.‬‬ ‫‪Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat (QS. Al-Nahl: 90 dan Ali ‘Imran: 159).‬‬
‫ِظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر َ‬
‫ُون‬ ‫ان َوإِي َتا ِء ذِي ْالقُرْ َبى َو َي ْن َهى َع ِن ْال َفحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َكر َو ْال َب ْغي َيع ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫إِنَّ هَّللا َ َيأْ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواإلحْ َس‬
‫اورْ ُه ْم فِي األمْ ِر‬ ‫ب ال ْن َفضُّوا مِنْ َح ْول َِك َفاعْ فُ َع ْن ُه ْم َواسْ َت ْغفِرْ لَ ُه ْم َو َش ِ‬ ‫ت َف ًًّّظا َغل َ‬
‫ِيظ ْال َق ْل ِ‬ ‫ت لَ ُه ْم َولَ ْو ُك ْن َ‬ ‫َف ِب َما َرحْ َم ٍة م َِن هَّللا ِ لِ ْن َ‬
‫‪7.‬‬ ‫‪Hukum yang mengatur hubungan muslin dan non-muslim (QS. Al-Hujurat: 13 dan al-Baqarah:‬‬
‫‪194).‬‬
‫ار ُفوا إِنَّ أَ ْك َر َم ُك ْم عِ ْن َد هَّللا ِ أَ ْت َقا ُك ْم إِنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم َخ ِبي ٌر‬ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ إِ َّنا َخلَ ْق َنا ُك ْم مِنْ َذ َك ٍر َوأ ُ ْن َثى َو َج َع ْل َنا ُك ْم ُ‬
‫شعُوبًا َو َق َبا ِئ َل لِ َت َع َ‬
‫ِصاصٌ َف َم ِن اعْ َت َدى َعلَ ْي ُك ْم َفاعْ َت ُدوا َعلَ ْي ِه ِبم ِْث ِل َما اعْ َتدَ ى َعلَ ْي ُك ْم َوا َّتقُوا هَّللا َ‪..‬‬ ‫ات ق َ‬ ‫ال َّش ْه ُر ْال َح َرا ُم ِبال َّشه ِْر ْال َح َر ِام َو ْالحُ ُر َم ُ‬
DALALAH AL-QURAN

 Dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami.
Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala
al-ma’na.
 Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur
lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan
istilah qath’iy dan zanniy. Tentang terma qath’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul
membaginya kepada dua macam yaitu :
1. Qath’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi
karena diterima secara mutawatir.
2. Qath’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu
lagi penjelasan lebih lanjut.
 Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua pula:
1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil
secara mutawatir
2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan
atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
DALALAH AL-QURAN

 Bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena
al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya.
Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
 Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan
kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
... ‫ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد‬
 Disamping qat’iy al-dalalah ada juga nash al-Quran yang zanniy al-dalalah. Yang
dikategorikan pada kelompok ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am,
musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna
atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak
nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak
menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contohnya ‫وا لمطلقاتي تربصنب انفسهنث الثة‬
‫ ق روء‬...
SUNNAH

 Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, termasuk perilaku yang baik atau
perilaku yang buruk”. Secara istilah, sunnah adalah “segala perilaku Rasulullah Saw yang
berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah qawliyyah), perbuatan (sunnah
fi’liyyah), atau pengakuan (sunnah taqririyyah).
 Contoh sunnah qawliyyah, sabda Rasul Saw ‫ال ضرر وال ض رار‬. Contoh sunnah fi’liyyah seperti hadis
tentang rincian tatacara shalat, haji, dsb. Contoh sunnah taqririyyah ialah pengakuan Rasul Saw
atas perilaku dua sahabat ketika dalam perjalanan mereka tidak menemukan air, lalu mereka
bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat
masih berlanjut. Lalu salah satunya berwudhu’ dan mengulangi shalat, satunya lagi tidak.
Keduanya diakui oleh Rasul Saw.
 Dalil keabsahan sunnah, QS. Al-Nisa`: 59, Al-Ahzab: 21, Al-Nisa`: 80
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآلخ ِِر‬ ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬
َ ‫ُول إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا أَطِ يعُوا هَّللا َ َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوأُولِي األ ْم ِر ِم ْن ُك ْم َفإِنْ َت َن‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ َتأْ ِويال‬ َ ِ‫َذل‬
‫ان َيرْ جُو هَّللا َ َو ْال َي ْو َم اآلخ َِر َو َذ َك َر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬ َ ‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِ َمنْ َك‬
ِ ‫ان لَ ُك ْم فِي َرس‬ َ ‫لَ َق ْد َك‬
ً ‫ك َعلَي ِْه ْم َحف‬
‫ِيظا‬ َ ‫اع هَّللا َ َو َمنْ َت َولَّى َف َما أَرْ َس ْل َنا‬
َ ‫ُول َف َق ْد أَ َط‬
َ ‫َمنْ يُطِ ِع الرَّ س‬
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AYAT HUKUM

 Secara umum fungsi sunnah sebagai bayān (penjelasan) atau tabyīn


(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam al-Quran). Secara khusus fungsi
sunnah:
1. Menjelaskan isi al-Quran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
Disamping itu berfungsi mentakhshish ayat-ayat yang sifatnya umum.
2. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu
kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya dalam al-Quran.
3. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Quran. Misalnya
hadis ‫ ك ل ذين ابمنا لسباع ف أكله حرام‬artinya semua jenis binatang buruan
yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka
hukum memakannya adalah haram. (HR. Nasa`i)
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QURAN

 Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-
Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula
hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir
dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
 Bayan Taqrir, yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat
pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru
liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya)
adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
 Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an,
seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi
baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat
Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-
orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan
Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini
turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka
mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
PEMBAGIAN SUNNAH

 Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian Ushul Fiqh
dibagi kepada 2 macam: hadis mutawatir dan hadis ahad. MUTAWATIR adalah hadis
yang diriwayatkan dari Rasul oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan
individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah
mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat
antara satu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh
kelompok berikutnya yang jumlahnya juga banyak, begitulah seterusnya hingga sampai
kepada pentadwin (orang yang membukukan). Hadis mutawatir terbagi dua: mutawatir
lafzi (diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafaznya), dan
mutawatir ma’nawi (hadis yang beragam redaksinya tapi maknanya sama).
 Hadis AHAD, diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai ke batas hadis
mutawatir. Hadis Ahad terbagi 3: Masyhur (hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan
oleh 3 perawi tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi
mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya), ‘aziz (hadis yang pada satu periode
diriwayatkan oleh dua perawi meskipun pada periode yang lain diriwayatkan olwh
banyak orang), gharib (hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap
periode).
IJMA’

 Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu


persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Secara
terminologi, menurut ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah “kesepakatan
para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada
satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
 Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil hukum.
Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat
dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap
ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah
(ijma’ ahl al-madinah). Menurut Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para
imam di kalangan mereka. Menurut jumhur, ijma’ sudah dianggap sah
dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
Dalil Keabsahan Ijma’

 QS. Al-Nisa`: 115


‫اء ْت‬
َ ‫س‬ ْ ‫يل ا ْل ُم ْؤ ِمنِينَ ُن َولِّ ِه َما َت َو َّلى َو ُن‬
َ ‫صلِ ِه َج َه َّن َم َو‬ َ ‫سول َ مِنْ َب ْع ِد َما َت َب َّينَ لَ ُه ا ْل ُهدَ ى وَ َي َّت ِب ْع َغ ْي َر‬
ِ ‫س ِب‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫شاق ِِق‬َ ‫َو َمنْ ُي‬
ً ِ‫َمص‬
‫يرا‬
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali.
Ayat tsb mengancam golongan yang menentang Rasul Saw dan mengikuti jalan orang2
non-mukmin. Artinya, wajib hukumnya mengikuti jalan orang2 mukmin, yaitu mengikuti
kesepakatan (ijma’) mereka.
 Hadis Rasulullah Saw riwayat Abu Daud dan Tirmizi:
َ َ ‫عن ابن عمر أن رسول هللا ص م قال إن هللا اليجمع أمتي اَو قال‬
‫أمة محم ٍد ص م على ضاللة‬
Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau
berkata umat Muhammad Saw, atas kesesatan.
Landasan (Sanad) Ijma’ dan Contoh
Ijma’
 Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil jika dalam pembentukannya mempunyai
landasan, yaitu Quran dan Sunnah.
 Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan, walau tidak disebut tegas dalam QS.
Al-Nisa`: 23.
ْ ‫ات‬
ِ ‫األخ‬
... ‫ت‬ ُ ‫األخ َو َب َن‬
ِ ‫ات‬ ُ ‫ُح ِّر َم ْت َع َل ْي ُك ْم أ ُ َّم َها ُت ُك ْم َو َب َنا ُت ُك ْم َوأَ َخ َوا ُت ُك ْم َو َع َّما ُت ُك ْم َو َخاال ُت ُك ْم َو َب َن‬
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu kandung dan
nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup anak dan juga cucu
perempuan.
 Contoh ijma’ yang disanadkan atas sunnah, kesepakatan para ulama bahwa nenek
menggantikan hak ibu, jika ibu kandung si mayit sudah wafat, dalam hal mendapat
harta warisan. Dalam hadis disebutkan, ketika ada nenek datang bertanya kepada Abu
Bakar, lalu Abu Bakar bertanya kepada khalayak, dan Mughirah lah yang bisa
memberitahu bahwa Rasul pernah memberi nenek 1/6 dari harta warisan cucunya.
َ
‫شعبة أنّ رسول هللا ص م‬ ‫الناس فشه َد المغيرةُ بن‬
َ ‫عن ابن عمر قال جاءت الجدة أ ُّم األ ْم وأ ّم األب الى ابي بكر فسأل‬
)‫أعطاها (رواه الترمذي‬
Macam-macam Ijma’ IJMA’

IJMA’ SHARIH IJMA’ SUKUTI


(TEGAS) (DIAM)

Ijma’ sharih adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana
masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap
kesimpulan hukum.
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian ulama belum tentu
menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana
pendapat itu telah didukung penguasa, atau boleh jadi disebabkan merasa
sungkan menentang pendapat mujtahid karena dianggap lebih senior.
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum,
karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai persetujuan. Jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara tegas menentangnya.
QIYAS (ANALOGI)

 Secara bahasa, qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”.
 Secara istilah, DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan:
‫إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه الشتراكهما فى علة الحكم‬
Qiyas adalah: Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada
ketentuan hukumnya, dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena
ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Dalil Keabsahan Qiyas

 QS. Al-Nisa`: 59
‫ول‬
ِ ‫س‬ َّ ‫ش ْي ٍء َف ُردُّوهُ إِ َلى هَّللا ِ َو‬
ُ ‫الر‬ َ ‫از ْع ُت ْم فِي‬ ْ ‫سول َ َوأُولِي‬
َ ‫األم ِر ِم ْن ُك ْم َفإِنْ َت َن‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫ َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنوا أَطِ ي ُعوا هَّللا َ َوأَطِ ي ُعوا‬
َ ‫إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُنونَ ِباهَّلل ِ َوا ْل َي ْو ِم اآلخ ِِر َذلِ َك َخ ْي ٌر َوأَ ْح‬
‫سنُ َتأْ ِويال‬
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat tentang hukum suatu
masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikan kepada Allah (Al-Quran)
dan Sunnah Rasulullah Saw. Nah, cara mengembalikannya antara lain dengan
metode qiyas.
 Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah Saw dan Mu’az bin Jabal ketika ia
akan dikirim menjadi hakim di Yaman, dan merupakan pengakuan Rasul
terhadap praktik qiyas.
‫ كيف تقضي فقال أقضي بما في كتاب هللا قال فإن لم يكن في كتاب هللا قال فبسنة رسول هللا ص م قال فإن لم‬
)‫رسول هللا ص م (رواه الترمذي‬
ِ َ‫يكن في سنة رسول هللا ص م قال أجتهد برأيي قال الحمد هلل الذي و ّفق رسول‬
Rukun Qiyas

 Qiyas dianggap sah jika lengkap rukun-rukunnya. Ada 4 rukun qiyas:


1. ‫( األصل‬pokok tempat meng-qiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah ditetapkan
hukumnya, baik dalam al-Quran atau dalam sunnah. ‫ األصل‬disebut juga ‫( المقيس عليه‬yang
menjadi ukuran). Misalnya khamer ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 90
ْ ‫ان َف‬
ُ‫اج َت ِن ُبوه‬ ِ ‫ش ْي َط‬
َّ ‫س مِنْ َع َم ِل ال‬ ْ ‫اب َو‬
ٌ ‫األزال ُم ِر ْج‬ ُ ‫ص‬َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنوا إِ َّن َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيسِ ُر َواأل ْن‬
2. Adanya ‫ حكم ا ألصل‬yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ‫ ا ألصل‬yang hendak ditetapkan pada
‫( ا لفرع‬cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haramnya khamer.
3. Adanya cabang (‫ )ا لفرع‬yaitu sesutau yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Quran,
sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Misalnya hukum
wisky, bir.
4. ‘illat (‫ )علة‬yang merupakan inti bagi praktik qiyas, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan
sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Contoh Qiyas

 Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis )


kepada orang tua. Maka hukum memukul, membentak, meneror dsb
terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap
hukum cis tadi. Karena ‘illatnya sama-sama menyakiti orang tua.
 Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam
menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut, yaitu ketika Umar
bin Khathab berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah
melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal
saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana
kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar :
tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
Mahkum Fih
Mahkūm Fīh berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara’. Misal, dalam QS. Al-Maidah: 1
‫ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود‬
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tsb adalah perbuatan orang
mukallaf, yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan.

SYARAT-SYARAT MAHKŪM FĪH :


1.Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf
sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang
dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat
global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci
tatacaranya dari Rasulullah Saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb.
2.Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari
Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari
pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah pembahasan
tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.
3.Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan
yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
Hukum

Perbuatan atau pekerjaan itu


mungkin terjadinya
Dapat diusahakan oleh hamba,
dan pekrjaan itu menurut
Syarat ukuran biasa sanggup
pekerjaan dilakukan oleh orang yang
menerimka khitab itu
yang Diketahui bahwa perbuatan itu
dapat dibedakan oleh orang
ditaklifkan yang diberi tugas

kepada Mungkin dapat diketahui oleh


mukallaf orang yang diberi tugas bahwa
pekerjaan itu perintah Allah

Dapat dikerjakan dengan


ketaatan
Macam-Macam Mahkum Fih
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya, ada
beberapa macam, yaitu:

Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-


mata

Pekerjaan yang dipandang/dihukumi hak hamba semata-


mata

Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah


dan hak hamba, akan tetapi hak Allah yang lebih kuat

Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah


dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat
Mahkum ‘Alaih
Syaifuddin Zuhdi, S.HI., M.HI
Pengertian

 Mahkum ‘alaih = subyek hukum


 Dalam istilah Ushul fiqh adalah Mukallaf (orang yang dibebani hukum)
 Orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk melakukan sesuatu dan segala
sesuatunya sudah sesuai dengan tuntutan Allah
Syarat

 Balig
 Berakal ;
 Mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
Balig dan Berakal

 Paham terhadap titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena


tuntutan Allah.
 Berakal dan balig memiliki kaitan, yaitu dalam tingkat kesempurnaan jasmani
 Ketika sudah balig maka akal seseorang semakin sempurna
 Pada dasarnya seiring dewasa dan sempurna nya akal, maka manusia akan
dapat memahami titah Allah sehingga menyebabkan dia dapat memenuhi
sebagai subyek hukum
Mampu

 Ia telah mampu untuk menerima beban hukum


 Dalam Ushul fiqh disebut ahlul al-taklif
 Kecakapan untuk menerima taklif disebut sebagai ahliyah; yaitu kepantasan
untuk menerima pembebanan hukum.
 Kepantasan dibagi menjadi dua macam:
1. Kepantasan untuk dikenai hukum (ahliyah al-wujub)
2. kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyah al-ada’)
Kecakapan untuk dikenai hukum
(ahliyah al-wujub)
 Pengertian Yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan
dikenai kewajiban.
 Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi manusia ditinjau dari segi ia adalah
manusia, sejak dia lahir hingga meninggal, dalam segala sifat, kondisi dan
keadaannya.
 Para ahli Ushul membagi menjadi dua kategori/tingkatan:
1. Ahliyah al-wujub naqishah
2. Ahliyah al-wujub kamilah
Ahliyah al-wujub naqishah

 Kecakapan dikenai hukum secara lemah


 Yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak menerima
kewajiban contoh : bayi dalam kandungan dia berhak atas warisan tetapi dia
tidak dikenai kewajiban apa-apa karena blum lahir/ belum menjadi manusia
sempurna
 Atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak menerima hak contoh :
orang yang mati tetapi masih meninggalkan hutang
Ahliyah al-wujub kamilah

 Kecakapan dikenai hukum secara sempurna


 Yaitu kecakapan untuk dikenai kewajiban dan menerima hak
 Contoh bayi yang baru lahir, dia berhak atas warisan dan dia wajib membayar
zakat fitrah
Kecakapan untuk melakukan hukum
(ahliyah al-ada’)
 Kecakapan manusia untuk menjalankan hukum
 Yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan tindakannya
menurut hukum
 Sehingga dalam artian segala tindakannya memiliki implikasi huku
 Dalam bab ini terbagi menjadi tiga:
1. ‘Adim al-ahliyyah
2. Ahliyah al-’ada’ naqishah
3. Ahliyah al-’ada’ kamilah
‘adim ahliyyah

 Tidak cakap sama sekali


 Yaitu manusia semenjak lahir sampai umur tamyiz sekitar 7 tahun
Ahliyah al-’ada’ naqishah

 Cakap berbuat hukum secara lemah


 Yaitu manusia yang telah tamyiz hingga dewasa
 Naqishah/lemah disini dikarenakan akalnya masih lemah dan belum sempurna
 Karena pembebanan taklif berlaku pada akal yang sempurna
 Implikasinya sebagian tindakan memiliki implikasi hukum sebagian yang lain
tidak
 Dalam hal ini terbagi 3 tingkatan:
1. semata-mata menguntukan kepadanya
2. Ada unsur menguntungkan dan merugikan
3. Merugikan kepadanya
Ahliyah al-ada kamilah

 Cakap hukum secara sempurna


 Memiliki akibat hukum yang sempurna
Hal-hal yang mempengaruhi kecakapan
berbuat hukum (‘awaridh)

Awarid samawiyah Awarid muktasabah


 Gila  Mabuk
 Dungu  Terpaksa
 Lupa  Bodoh
 Ketiduran  Jahil (tidak tahu)
 pingsan  Tersalah (khata’)

Anda mungkin juga menyukai