PENDAHULUAN
1|Makalah kelompok 2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al – Qur’an
Pengertian Al-Qur’an Sebagaimana telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil
dalam hukum Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan
hukum Islam. Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan mashdar (kata benda) dari kata
kerja Qoro-‘a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a
(mengumpulkan, mengoleksi). Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Naas.
2|Makalah kelompok 2
pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas
kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar
datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an
merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-
ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya
(Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya
Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta,
sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30) Ayat diatas juga diperkuat
oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
3|Makalah kelompok 2
1) Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci
batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua
itu telah dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya.
2) Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh
kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh
sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu
Daud, dan Baihaqi)
3. Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu:
a. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalam surat
Yusuf ayat 15:
Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
b. Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat
71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan beberapa definisi, yaitu
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad
secara khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini
memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu
seluruh umat islam. Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan,
4|Makalah kelompok 2
dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu
sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi
masih hidup, al-Qur’an yang menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an
kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’,
sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh
seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid
semua sampai hari kiamat.
Dengan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum
syariat.
Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu
Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya
sebagian ulama).
Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu
masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka,
baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau
dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara)
dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum
tersebut.
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan
pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut
Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu
menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana
pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa
sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap
lebih senior.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan
sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami
sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru
5|Makalah kelompok 2
mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara
tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama
mujtahid tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih
kuat dari pendapat perorangan.
4. Aqal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql ()العقل,
yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy ()الوحى, tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (وهMM)عقل
dalam 1 ayat, ta’qilun (ونMM )تعقل24 ayat, na’qil ( )نعقل1 ayat, ya’qiluha ( )يعقلها1 ayat
dan ya’qilun ( )يعقلون22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Kalau
kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan
menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang
berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal ()عقال, dan menahan orang
di dalam penjara disebut i’taqala ( )اعتقلdan tempat tahanan mu’taqal ()معتقل.
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut
sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus
bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki
makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa
tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga
memiliki arti “nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu
cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang
tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati
sanubari.
Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan
bahwa akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan dari
padanya seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari
mata.
1. Fungsi Akal
a. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan
b. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang
c. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
6|Makalah kelompok 2
2. Kekuatan Akal
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya
b. Mengetahui adanya hidup akhirat
c. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal
tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjahui
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mnegenai kewajiban-kewajiban itu.
“... dan Allah memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian
mengerti.” (QS. AL-Baqarah [2]:73)
Islam adalah agama yang memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal
dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang
kehilangan akal-nya maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai
orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan
oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemashlahatan dunia dan akhirat amat
disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu; agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Tidak ada agama yang begitu memuliakan dan menghormati akal manusia, selain agama
Islam. Juga tidak ada Kitab Suci selain Al-Qur’an yang begitu menghargai nilai akal. Ayat-
ayat diatas adalah contoh, betapa Allah menyeru manusia untuk menunaikan peranan
7|Makalah kelompok 2
akalnya yang telah Ia ciptakan. Ketika seorang manusia mewujudkan fungsi akalnya dengan
benar, maka ia akan mendapatkan kemuliaan kemanusiaannya.
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki
kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Akal tidak mampu menjangkau hal-hal yang ghaib,
yang memang berada diluar wilayahnya. Bahkan bukan hanya itu, betapa banyak
permasalahan dalam kehidupan manusia di alam zhahir ini yang tidak mampu ditemukan
jawaban dan solusinya oleh akal manusia. Banyaknya rahasia di alam semesta yang sampai
saat ini belum terungkap, dan berbagai penemuan mutakhir yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya oleh kita, menjadi bukti betapa akal manusia memiliki banyak keterbatasan.
Oleh karena itulah, Allah menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Didalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia
melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan
manusia. Tanpa ada cahaya yang menyinari tak akan mungkin manusia mampu melihat
benda-benda disekitarnya. Indera penglihatan baru bisa berfungsi setelah ada cahaya. Tanpa
ada cahaya, indera penglihatan dianggap tak pernah ada. Manusia bukan hanya tidak dapat
melihat apa-apa, bahkan tidak akan pernah mengenal apa-apa.
Begitu pula halnya dengan akal manusia, ia tidak akan bisa berfungsi dengan benar tanpa
bimbingan wahyu Allah . Manusia tak akan bisa mengenal baik dan buruk, serta
membedakan mana yang bermanfaat dari yang mudharat tanpa bimbingan wahyu. Akal atau
logika yang tidak mau mengikuti bimbingan wahyu hanya akan mengantarkan pemiliknya
terperosok ke dalam jurang kebinasaan.
“Pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauhul Mahfuz).” (QS. Al-An’am: 59).
8|Makalah kelompok 2
Tidak ada sedikitpun hal yang tersembunyi bagi Allah . Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Begitu pula, semua jalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan manusia maupun
kesengsaraannya telah diketahui oleh Allah . Dan Ia telah menjelaskan semua jalan itu
melalui wahyu yang telah Ia turunkan kepada Rasul-Nya. Ketika akal manusia menolak
bimbingan wahyu-Nya atau bahkan menyelisihinya, maka itu berarti manusia tengah
menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.
Kata akal berasal dari bahasa arab, yakni al-‘aql ( ) العقل, yang berarti paham, mengerti
atau berpikir. Menurut pemahaman Profesor Izutzu, pada zaman jahiliyah,term akal
digunakan dalam arti kecerdasan praktis yang dalam istilah psikologi modern disebut dengan
kecakapan memecahkan masalah ( problem solving capacity ).Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah setiap
kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang
ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.
Menurut Dr.Zaki Nazib Mahmud, akal adalah menghubungkan peristiwa dengan sebab akibat
atau konklusinya. Hubungan sebab akibat maksudnya akal mengembalikan peristiwa yang
Nampak kepada sebab terjadinya peristiwa itu.Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan
konklusi ialah akal melihat masa depan dengan memusatkannya pada peristiwa-peristiwa
serupa.
Di samping akal, dalam islam dikenal pula istilah wahyu . Wahyu berasal dari kata auha (
) اوحىyang berarti member tahu tentang sesuatu ( baik perkataan ataupun penjelasan ) dari
jarak jauh, dengan cepat dan rahasia. Yang menggunakan media atau perantara.
Sedangakan definisi dari wahyu adalah pemberitahuan dari Allah kepada nabi-Nya yang
berisis hukum syara’ atau lainnya dengan perantaraan atau tanpa perantaraan. Wahyu
merupakan sesuatau yang mungkin menurut hukum akal dan bukan sesuatu yang mustahil.
Wahyu hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Jadi, wahyu merupakan bentuk komunikasi antara Tuhan dengan hamba-Nya. Tentang
cara terjadinya komunikasi tersebut, Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya
QS As-syuura ayat 51 :
9|Makalah kelompok 2
ا ُء إِنَّهُ َعلِ ٌّي َح ِكي ٌمMMا يَ َشMM ِه َمMMِو ِح َي بِإ ِ ْذنMMُوال فَيMM َل َر ُسMMب أَوْ يُرْ ِس
ٍ اMMا أَوْ ِم ْن َو َرا ِء ِح َجMMً هُ هَّللا ُ إِال َوحْ يMM ٍر أَ ْن يُ َكلِّ َمMMانَ لِبَ َشMMا َكMMَو َم
Artinya : Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahy, atau dari
belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang ia
kehendaki dengan seizing-Nya. Sungguh Ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan ayat diatas, ada tiga cara penyampain wahyu yaitu melalui jantung hati
seseorang dalam bentuk ilham , dari belakang tabir seperti yang dialami oleh Nabi Musa, dan
melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Penghargaan yang tinggi terhadap akal terdapat dalam wahyu Allah yakni Al-Qur’an
sendiri. Tidak sedikit ayat-ayat yangmenganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak
berfikir dan mempergunakan akalnya.
1. Nadzara () نظر, melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan, terdapat
dalam 30 ayat lebih di Al-Qur’an.
2. Tadabbara ( ) تدبرyang berarti merenungkan dan juga terdapat dalam beberapa ayat al-
qur’an.
3. Tafakkara ( ) تفكرberarti berfikir.Terdapat dalam 16 ayat Al-Qur’an.
4. Faqiha ( ) فقه, berarti mengerti, faham dan terdapat dalam 16 ayat Al-qur’an
5. Tazakkara ( ) تدكر, yang berarti mengingat, memperoleh peringatan, memperhatikan
dan mempelajari, yang semuanya mengandung perbuatan berfikir. Terdapat di lebih
dari 40 ayat.
6. Fahima ( ) فهمyang berarti memahami.
7. Kata-kata yang berasal dari ‘aqala ( ) عقلsendiri terdapat dalam lebih dari 45 ayat.
Selain itu, terdapat pula kata-kata lain yang member sifat berfikir pada orang islam,
yaitu ulul albab ( orang berfikiran ), ulu al-‘alim (orang berilmu),ulu al-absar (orang
mempunyai pandangan), dan ulu al-nuha yang berarti orang bijaksana.
Dari uraian tersebut jelas bahwa kedudukan akal dalam islam sangatlah tinggi, dan akal
pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Karena akalnyalah
10 | M a k a l a h kelompok 2
manusia dapat bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal dalam diri manusia
itulah yang digunakan Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pahala atau hukuman
pada seseorang.
Sesungguhnya wahyu illahi merupakan sesuatu yang amat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia. Manusia perlu belajar untuk mengatur hidupnya. Untuk itu, ia sangatlah
memerlukan petunjuk ( hidayah-Nya ). Bagaimana hal itu akan terwujud jika tanpa wahyu
illahi?Jadi jelaslah bahwa wahyu ilahi merupakan suatu kebutuhan manusia yang amat
penting disetiap saat.
Persoalan akal dan wahyu telah lama menjadi wacana dan perdebatan dikalangan
intelektual muslim sejak abad ke-3 H, bahkan sampai sekarang masalah tersebut masih jadi
bahan perbuncangan. Namun, keduanya menjadi sangat hangat diperdebatkan oleh para
mutakalimin dan filosof. Isu ini menjadi sangat penting karena ia memiliki kaitan dengan
argumentasi-argumentasi mereka dalam pembahasan konsep Tuhan, konsep ilmu, konsep
etika dan lain sebagainya.
Menurut aliran-aliran dalam ilmu kalam, fungsi daripada akal dan wahyu adalah sebagai
berikut :
11 | M a k a l a h kelompok 2
Mereka memegang pendirian faham Asyariyah yang berpendapat bahwa fungsi
wahyu yang berupa al-Qur’an dan hadits Nabi menjadi pokok utama sedangkan akal
sebagai penguat nash wahyu dan hadits.
Al-asyari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal tetapi ia menentang keras
terhadap orang yang menganggap bahwa pemakaian akal tidak pernah disinggung oleh
Nabi dalam membahas masala-masalah agama bahwa akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dibandingkan wahyu.
Jadi menurut Asyari, bahwa bagaimanapun juga wahyu dalam bentuk al-Qur’an dan
hadist adalah dasar yang pokok disamping menggunakan akal pikiran agar dapat
menguatkan nash dan hadits tersebut.
12 | M a k a l a h kelompok 2
DAFTAR PUSTAKA
http://khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/akankah-akal-dan-wahyu-
bertentangan.html
https://media-hmj-pgmi-uim.blogspot.com/2016/04/makalah-hukum-dalam-islam-al-
quran.html
https://elsaniacom.wordpress.com/2017/01/21/makalah-ilmu-kalam-hubungan-antara-
akal-dan-wahyu/
https://elsaniacom.wordpress.com/2017/01/21/makalah-ilmu-kalam-hubungan-antara-
akal-dan-wahyu/
13 | M a k a l a h kelompok 2