Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, kita memiliki sumber
hukum atau pedoman hidup sebagai pengatur kehidupan kita di dunia. Sumber
hukum islam merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam pembagian
hukum islam. Sumber hukum islam, artinya sesuatu yang menjadi pokok dari
ajaran islam. Sumber hukum islam bersifat dinamis, benar, dan mutlak, srta tidak
pernah mengalami kefanaan, atau kehancuran. Adapun yang menjadi sumber
hukum islam, yaitu Al Quran, hadis, dan ijtihad.
Al-Hadis adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin)
yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-
Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya
bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang
menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Namun, kita
juga perlu mengetahui sejauh mana kedudukan al-Qur’an dan hadist sebagai
sumber hukum. Untuk itu di makalah ini kami akan membahas mengenai
kedudukan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum islam.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini ditemukan beberapa permasalahan yang
akan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum islam?
2. Bagaimanakah kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Kedudukan al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum Islam.
2. Mengetahui hubungan hadist dengan al-Qur’an.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan al-Qur’an
Secara etimologi menurut Al-lihyani, salah seorang ahli Bahasa (Wafat
215) berpendapat bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata benda (mashdar) dari
kata kerja (fi‟il) ‫ قرأنا‬- ‫ قرأة‬- ‫ يقرأ‬- ‫ قرأ‬yang berarti membaca atau bacaan. Kata

‫ قرأنا‬yang berwazan ‫ فعالن‬bermakna ‫ مفعول‬yakni ‫ مقروء‬yang berarti yang dibaca.


Sedangkan menurut Az-zajjaj, kata al-Qur’an berasal dari kata ‫ القرأ‬yang

memiliki arti himpunan. Asy’ari al–Qur’an berasal dari ‫ قرن‬yang berarti


menggabungkan.
Menurut Subhi As-salih, dari berbagai pendapat di atas, pendapat Al-
Lihyani lah yang didukung oleh jumhur ulama karena dipandang paling kuat.
Dengan dasar bahwa al-Qur’an sendiri juga menggunakan kata ‫ قرأن‬tanpa

‫ ال‬dengan arti bacaan. Misalnya firman Allah SWT di dalam QS. Al-Walqiah
ayat 77:
(78) ٍ ُ‫ب َم ْكن‬
‫ون‬ ٍ ‫فِي ِكتَا‬ ) 77 ( ‫انَّهُ لَقُ ْرآنٌ ك َِري ٌم‬

“Sesungguhnya Al-Qur’an adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (LauhilMahfudz)”.1

Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril yang merupakan mukjizat,
dengan menggunakan bahasa Arab, berisi tentang petunjuk dan pedoman hidup
bagi manusia, umat islam wajib mempercayaiNya, dan bagi orang yang
membacaNya merupakan ibadah dan terhitung pahala.

Al Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan utama dalam


Islam sehingga semua penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman
1
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Study Al-Qur’an, (Surabaya)
Hal.1-2

2
kepadanya. Berbagai persoalan yang tumbuh dan berpedoman pada Al Quran,
tidak boleh ada satu aturan yang bertentangan dengan Al Quran, sebagaimana
firman Allah dalam surah An-Nisa [4] ayat 105 berikut:

َ َ‫اس ِب َما أ َ َراك‬


‫ّللاه‬ ِ ‫َاب ِب ْال َح‬
ِ َ‫ق ِلتَحْ هك َم بَيْنَ الن‬ َ ‫إِنَا أ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْكَ ْال ِكت‬

Artinya : “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu


(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu”

Al Qur’an merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan


ketentraman umat munusia menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun
diakhirat. Al Qur’an akan membimbing manusia ke jalan yang benar. Al Quran
sebagai Asy-Syifa merupakan obat penawar yang dapat menenangkan dan
menentramkan batin. Al Quran sebagai An Nur merupakan cahaya yang dapat
menerangi manusia dalam kegelapan. Al Quran sebagai Al Furqon merupakan
sumber hukum yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Keaslian Al-Qur’an sudah terbukti dari dahulu hingga sekarang, dan Allah telah
berjanji akan menjaga keaslian Al-Qur’an ini sesuai dengan firman allah swt
dalam surah Al-Hijr ayat 9:

ِ ‫إِنَا نَحْ هن ْلنَا ََنَز‬


‫الذ ْك َر َوإِنَا لَهه لَ َحافِ ه‬
َ‫ظون‬

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami


benar-benar memeliharanya”.

Selain itu, Al-quran sebagai Al-huda merupakan petunjuk ke jalan yang


lurus. Al-quran juga merupakan rahmat bagi orang yang selalu membacanya.
Banyak ayat Al – Qur’an yang menerangkan mempercayai dan menerima segala

3
sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya untuk
dijadikan pedoman hidup.2

B. Kedudukan Hadits
Menurut para ahli, Hadis identik dengan sunnah, yaitu segala perkataan,
perbuatan, takrir (ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah
(perjalanan hidup) Nabi Muhammad SAW. Baik yang berkaitan dengan masalah
hukum atau tidak, namun menurut bahasa hadis berarti ucapan atau perkataan.
Adapun menurut istilah, hadis adalah ucapan, perbuatan, atau takrir Rasullullah
SAW yang di ikuti (di contoh) oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin)
yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-
Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya
bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang
menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai
sumber hukum Islam.3
Sunnah atau Hadis Nabi Saw merupakan salah satu sumber ajaran agama
Islam sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti Al-Qur’an, hanya saja
perbedaan antara keduanya terletak pada sisi lafaz dan makna. dimana lafaz dan
makna al-Qur’an berasal dari Allah Swt semetara Hadis maknanya dari Allah
Swt dan lafaznya dari Rasulullah Saw, kedudukannya dalam ajaran agama
sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara
satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana
wajibnya mentaati Al-Qur’an.4

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2008), hal.65
3
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang: Rasail Media Group: 2007),
hal. 30
4
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith, (Ponorogo: STAIN Press: 2010), hal. 29

4
Sebagai sumber hukum islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al-
Quran. Allah berfirman dalam surah Al Hasyr [59] ayat 7 sebagai berikut.

َ ‫سو هل فَ هخذهوهه َو َما نَ َها هك ْم‬


‫ع ْنهه فَا ْنت َ ههوا‬ َ ‫َو َما آت َا هك هم ا‬
‫لر ه‬
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarang bagi kamu maka tinggalkanlah”
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang mempercayai dan
menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada
umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah dalam surat Ali
Imran ayat: 179 yang artinya “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-
orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia memisahkan
yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi, Allah akan
memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara Rasul-Rasulnya. Karena itu,
berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan jika kamu beriman dan
bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar”.
Dalam surat An-Nisa ayat 136 Allah SWT. Berfirman sebagai berikut:

‫سو ِل ِه َو ْال ِكتَاب الَّذِي‬ ُ ‫ع َل ٰى َر‬ َ ‫ب الَّذِي ن ََّز َل‬ ِ ‫سو ِل ِه َو ْال ِكتَا‬ ُ ‫اَّللِ َو َر‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِب‬
‫ض َال اًل بَ ِعيد‬ َ ‫س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَقَ ْد‬
َ ‫ض َّل‬ َّ ‫أ َ ْنزَ َل ِم ْن قَ ْب ُل ۚ َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ِب‬
ُ ‫اَّللِ َو َم َالئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang
Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-
Malaikat-Nya, Rasul-Rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
Selain memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW,
Allah juga menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-
undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun
larangan.

5
1. Dalil al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadist sebagai pedoman hidup di samping Al- Qur’an sebagai
pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya :
‫سنَّ ِة نَبِيَّ ِه (رواه مالك‬ َّ ‫َضلُّ ْوا َما ت َ َم‬
َ َ ‫س ْكت ُ ْم بِ ِه َما ِكت‬
ُ ‫اب هللااِ َو‬ ِ ‫ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬
Artinya :“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.” (H.R Hakim /
Malik)

Hadist tersebut diatas, menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh


kepada hadist atau menjadikan hadist, sebagai pegangan dan pedoman hidup
adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an. Selain
itu, hadis yang diriwayatkan Imam Malik dan Hakim menyebutkan bahwa
Rasulullah meninggalkan dua hal yang jika berpegang teguh kepada duanya
manusia tidak akan tersesat. Dua hal tersebut, yaitu Al Quran dan sunnah
Rasulullah SAW atau hadis.

Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran. Dalam


perkembangan dunia yang serba global ini, berbagai ketidakpastian selalu
menerpa kehidupan umat manusia sehingga banyak orang yang bingung dan
menemui kesesatan. Rasulullah SAW sudah mengantisipasinya dengan
menurunkan atau mewariskan dua pustaka istimewa, yaitu Kitabullah (Al
Quran) dan sunnah (hadist). Barang siapa yang memegang teguh kedua pusaka
tersebut, dia akan selamat di dunia dan di akhirat nanti. Manusia yang
berpedoman kepada hadis akan selamat. Maksudnya, ia senantiasa menjalankan
kehidupan ini sesuai dengan Al Quran dan hadis Rasulullah SAW.

Al Quran sudah dijamin kemurniannya oleh Allah. Namun, tidak


demikian dengan hadis. Oleh karena itu, sampai saat ini anda mengenal adanya

6
hadis sahih (benar) dan hadis maudu’ (palsu). Berbeda dengan Al Quran yang
sampai saat ini tidak ada pembagian ayat sahih dan ayat maudu’, karena semua
ayat dala, Al Quran adalah benar.

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain
memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam
menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci
atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum
utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata
cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-
ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum,
dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga
akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang
musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan
sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya.
Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada
pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran
yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

2. Macam-macam Hadis

Dalam disiplin Ilmu Hadis, para Ulama ahli hadis telah membagi hadis
dari segi jumlah rawi atau kuantitas periwayat menjadi dua macam yaitu Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad. Pembagian keduanya berdasarkan batasan jumlah
rawi pada setiap thobaqoh. Jika jumlah rawi pada setiap thobaqoh tak terbatasi,
maka disebut hadis Mutawwatir. Sedangkan hadis Ahad, yaitu apabila jumlah
rawi yang pada setiap thobaqoh (tingkatan) terbatas.

a). Hadis Mutawatir

7
Definisi Hadis Mutawwatir menurut bahasa, ialah isim fa’il dari At-
Tawatur (dalam bahasa Arab ‫)التواتر‬. Sedangkan menurut istilah, ialah Hadis
yang diriwayatkan oleh rowi yang banyak pada setiap tingkatan sanad-nya yang
menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk memalsukan
Hadis.5

Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani memberikan syarat untuk Hadis


Mutawwatir dengan beberapa syarat:

1). Diriwayatkan oleh jumlah perawi yang banyak.

Hadis Mutawatir tidak dibatasi dengan jumlah perawi. Oleh sebab itu, wajib
mengamalkan dengannya tanpa menyelusuri para perawinya. Para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi.
Menurut Imam Al-Baqilany jumlah perawi tidak cukup empat orang, paling
sedikit lima orang. Sedangkan menurut Imam Al-Isthokhry jumlah perawi paling
sedikit sepuluh orang, pendapat inilah yang dipilih para Ulama, karena jumlah
tersebut permulaan jumlah yang banyak.

2). Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol atau bersepakat


untuk dusta.

Syaikh Al-Halibi menjelaskan dalam kitabnya Fi Nuktihi ‘alan Nuhjah hal 56


tentang perbedaan diantara kata At-Tawathuu dan At-Tawafuq. Kata At-
Tawathu’ (dalam bahasa Arab ‫ )التواطؤ‬ialah, suatu kelompok bersepakat untuk
memalsukan hadis setelah musyawarah, sehingga perkataan seorang dari mereka
tidak berbeda dengan lainnya, sedangkan kata At-Tawafuq (dalam bahasa Arab
‫ )التوافق‬ialah terjadinya pemalsuan hadis tanpa musyawarah disebabkan lupa,
dusta atau disengaja untuk memalsukan hadis.

5
Mahmud At-Tahhan, Taisir Mustholahul Hadits, Al-Haromain, hal 19.

8
3). Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan sanad.

Pengertian dari syarat ini ialah jumlah yang banyak pada semua tingkatan
sanad dari awal sampai akhir sanad kepada seorang yang meriwayatkannya baik
secara qouliyyah ataupun fi’iliyyah. Akan tetapi maksud dari itu bukan semua
tingkatan dengan jumlah yang sama.

4). Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan denga
sesuatu yang dipikirkan .

Syaikh As-Samahi menjelaskan pada kitab Ar-Riwayah hal 51 hadis yang


diriwayatkan dengan panca indera secara yakin bukan dengan akal. Seperti kata:
‫ ( سمعنا‬kami telah mendengar), ‫( رأينا‬kami telah melihat) dan semacamnya
dengan menggunkan panca indera. Jika tidak diriwayatkan dengan panca indera,
maka bukan Hadis Mutawatir.6

b). Hadis Ahad

Pembagian hadis berdasarkan jumlah rowi di tiap thobaqohnya yang


kedua ialah Hadis Ahad (dalam bahasa arab ‫) اآلحاد‬. Secara etimologi kata

“‫ ”اآلحاد‬adalah bentuk jamak dari kata "‫ "أحد‬yang berarti “satu”. Adapun
pengertian Hadis Ahad menurut istilah ialah hadis yang tidak sampai pada
derajat mutawatir. Sebagaimana yang diapaparkan ulama berikut ini:

‫ما لم يجمع شروط المتواتر‬

“Suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”

6
Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Musthofa bin Abdul Lathif, Syarh
Mukhtashor lin Nukhbatul Fikri li ibni Hajar Al-Asqolany, Soft Ware Al-Maktabah As-
Asyamilah, hal 8-9.

9
“Suatu hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir di dalamnya, maka
setiap hadis yang di riwayatkan oleh satu rowi di setiap thobaqoh atau di semua
thobaqoh. Dan setiap hadis yang di riwayatkan oleh dua atau tiga rowi atau
lebih dan belum sampai pada batas mutawatir”.

Berdasarkan jumlah rowi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis


Ahad menjadi tiga macam, diantaranya:

1. Hadis Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perowi atau lebih
di setiap thobaqohnya dan tidak sampai batas mutawatir. Para ulama
fiqih juga menamai hadis masyhur dengan nama “Al-Mustafidl” yaitu
suatu hadis yang mempunyai jalan terbatas lebih dari dua dan tidak
sampai pada batas mutawatir.
2. Hadis Aziz: Yaitu hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang
dalam semua tingkatan thobaqoh.
3. Hadis Gharib: Yaitu suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
sendirian, atau oleh satu orang rawi saja di setiap thobaqoh.7

Ditinjau dari segi kualitas perawinya, hadis dapat di bagi empat, yaitu
sebagai berikut:

a. Hadis Shahih

Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya
ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para
ulama mengatakan hadis shahih hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh
orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah
SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan
terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah hadist yang
7
Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Mustofa bin Abdillathif Al-Manyawi,
Syarhul Mukhtashar li nukhbatil fikhri li ibn hajarin Al- Asqalani , (Mesir:1432 H), software
Maktabah Syamilah,Juz 1 hal 12

10
bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis tersebut tidak
terdapat kejanggalan dan cacat.8

b. Hadis Hasan

Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya
hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat. hadis hasan ialah hadis yang
muttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit tetapi kadar
kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadis itu tidak syadz dan
tidak pula terdapat ‘illat. Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu;

1) Sanadnya bersambung

2) Para periwayat bersifat adil

3) Diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith

4) Sanad dan Matan hadits terhindar dari kejanggalan

5) Tidak ber- illat.9

c. Hadis Da’if

Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah SAW. Secara terminologi hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak
terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu
hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits,

8
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
9
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008) hal. 97

11
oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak
terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.

d. Hadis Maudu’

Hadis Maudu’ adalah hadis yang dibuat-buat oleh manusia, yang


dianggap hadis padahal itu bukan Hadis.

C. Hubungan al-Qur’an dengan al-Hadis

Rasullullah SAW sebagai pembawa risalah Allah bertugas menjelaskan


ajaran yang di turunkan Allah SWT melalui Al-Quran kepada umat manusia.
Sunnah Rasullullah SAW tersebut mendukung atau menguatkan dan
menjelaskan hukum yang ada dalam Al-Quran.

Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-


firman Allah SWT di dalam Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-
fungsi hadist dalam islam adalah sebagai berikut:

1. Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al Quran)

Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-
Quran. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim
terkait perintah berwudhu, yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats


sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)

Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

‫س هح ْوا‬ ِ ِ‫يَااَيُّ َهاالَ ِذ يْنَ َمنه ْوا َ ااِذَاقه ْمت ه ْم الصلَوةِاِلَى اَْفَا ْغ ِسلهو هو هج ْو َه هك ْم َوأ َ ْي ِد يَ هك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
َ ‫ق َو ْام‬

12
‫َوا َ ْر هجلَ هك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ِْن‬
‫ِب هر هء ْو ِس هك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6).

2. Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al Quran)

Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran


(perincian) terhadap isi al quran yang masih bersifat umum (mujmal) serta
memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak
(taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At tafsir adalah penjelasan nabi
Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.

ِ ‫ص ِل ْال َك‬
‫ف‬ َ ‫ط َع يَدَهه ِم ْن ِم ْف‬
َ َ‫ق فَق‬ َ ِ‫أَت َى ب‬
ِ ‫سا ِر‬

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau


memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

ِ‫سبَا نَ َكاالا ِمنَ للا‬ َ ‫ارقَةه فَا ْق‬


َ ‫طعه ْوَِااَيْد يَ هه َما َجزَ ا اء بِ َما َك‬ ِ ‫س‬َ ‫َوال‬
‫ار هق‬
ِ ‫س‬َ ‫َوال‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)

Dalam AlQuran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri


dengan memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi
SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.

13
3. Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di Al
Quran)

Hadist sebagai bayan At tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum


atau ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al
Quran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana contohnya
hadist mengenai zakat fitrah, dibawah ini:

‫عا‬
‫صا ا‬ ِ َ‫علَى الن‬
َ ‫اس‬ َ َ‫ضان‬ ْ ‫ض زَ َكا ة َ ال ِف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫سلَ َم فَ َر‬ َ ‫صلَى للاه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫ا َِن َر ه‬
َ ِ‫س ْو هل للا‬

َ‫عبْد ذَ َكر أ َ ْو أ ه ْنثَى ِمنَ اْل هم ْس ِل ِميْن‬


َ ‫علَى هك ِل هحر ا َ ْو‬ َ ‫ام ْن‬
َ ‫ش ِعيْر‬ ِ ‫ع‬ َ ‫َمن ا َ ْوت َ َمر‬
‫صا ا‬ ِ ْ

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).

4. Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)

Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir


(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah
(menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti
ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu,
sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan
lebih luas. Salah satu contohnya yakni:

‫صيَةَ ِل َو ِارث‬
ِ ‫الَ َو‬

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

14
‫صي ِل ْل َوا ِلدَ َواْألَي ِْن ِب ْال َم ْع هر ْوفِ ْق َر ِبيْنَ َحقًّا‬ َ ‫ض َر هك ْم ال َم ْوته ا ِْن ت ََركَ ة ه َََ َخي َْر‬
ِ ‫الو‬ َ ‫ا َ َحدَاِذَا َح‬
َ ِ‫ع َل ْي هك ْم هكت‬
‫ب‬ َ

َ‫علَى ال همت َ ِقيْن‬


َ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)

Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan
di kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan
menasakh al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok
Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus
matawatir. Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat
hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh
bukanlah fungsi hadist.

D. Hadis Sebagai Penentu Hukum


Dalam pembicaraan hubungan al-Hadis dengan Al-Qur’an telah
disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits ada kalanya menentukan suatu
peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh
Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal
ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian
Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa
sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus
merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak
menetapkan hukum.

15
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas,
maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah
terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang
maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci,
pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah
SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup
menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi
pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan,
beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa
yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
َ‫اس َما نه ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَعَلَ هه ْم يَتَفَ َك هرون‬ ِ َ‫َوال ۗز َوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْك‬
ِ َ‫الذ ْك َر يِنَ ََ ِلتهب ِللن‬ َ َ‫ب ِهر ه‬
ِ ‫ِب ْالبَ ِينَا‬
‫ت‬
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam
Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan:
َ‫َي ۚء ث ه َم إِلَى َربِ ِه ْم يهحْ ش هَرون‬ ِ ‫طنَا فِي ْال ِكت َا‬
ْ ‫ب ِم ْن ش‬ ْ ‫َما فَ َر‬
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok.
Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama.
Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri.
Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak
membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak
pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi
ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang
membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui

16
tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah
Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah
saja).
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang
ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-
Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena
itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

E. Nabi Muhammad sebagai sandaran hadis


Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya.
Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan
dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi
menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya
perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan
tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi
wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh
Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi
bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh
Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam
beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW,
sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram
hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
a. Berpuasa Wishal: Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat
Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi
Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau,
sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita: Contoh lainnya adalah masalah
kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan.

17
Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan
umatnya justru diharamkan bila melakukannya.

2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi Ummatnya


Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib
dikerjakan oleh Rasulullah SAW namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya,
diantaranya adalah: Shalat Dhuha’, Qiyamullail, bersiwak, bermusyawarah, dan
Menyembelih kurban (udhhiyah).
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
a. Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta
zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b. Makan makanan yang berbau Segala jenis makanan yang berbau kurang
sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu
karena menyebabkan tidak mau datangnya malaikat kepadanya untuk
membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya hukumnya makruh. Maka
jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila
dimakan oleh umat Muhammad SAW.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi
Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak
wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan
Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin.
Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang
sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita
mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar
Islam sekalipun. Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para

18
ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran
maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. 10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan utama dalam
Islam sehingga semua penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman
kepadanya. Berbagai persoalan yang tumbuh dan berpedoman pada Al Quran,
tidak boleh ada satu aturan yang bertentangan dengan Al Quran.
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita).
Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir
atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Peran dan
kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga
menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa
fungsi seperti: Bayan Tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum,
mujmal dan musytarak, Bayan Taqrir berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an, Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian
hukum islam yang tidak ada di Al Quran), dan Bayan Nasakh (mengganti
ketentuan terdahulu).

10
https://www.eramuslim.com/hadits/perbuatan-nabi-yang-tidak-harus-diikuti

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Study Al-Qur’an, (Surabaya)
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2008)
Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadis. (Semarang: Rasail Media Group:
2007)
Khusniati Rofiah. Studi Ilmu Hadith. (Ponorogo: STAIN Press: 2010)
Mahmud At-Tahhan. Taisir Mustholahul Hadits. Al-Haromain.
Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Musthofa bin Abdul Lathif. Syarh
Mukhtashor lin Nukhbatul Fikri li ibni Hajar Al-Asqolany. Soft Ware Al-
Maktabah As-Asyamilah
Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Mustofa bin Abdillathif Al-
Manyawi. Syarhul Mukhtashar li nukhbatil fikhri li ibn hajarin Al-
Asqalani. (Mesir:1432 H). software Maktabah Syamilah,Juz 1
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008)
https://www.eramuslim.com/hadits/perbuatan-nabi-yang-tidak-harus-diikuti

20

Anda mungkin juga menyukai