Anda di halaman 1dari 18

Makalah

Kedudukan Hadits Dalam Islam


Dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran

Dosen Pembimbing : Hartini Azhar, Lc M. Us,

Disusun:

Fazlul Azmi (210402080)


Nurul khazinah ( )

UNIVERSITAS AR-RANIRY BANDA ACEH


FAKUSTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,

Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam

memahami Kedudukandanfungsihadits.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca,sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi

makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami

miliki masih kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan

masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru,     September 16

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..

A. Latar Belakang……………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………

C. Tujuan………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..

A. Hadits sebagai sumber hukum islam…………………………………

B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an……………………………………

C. Hubungan Alquran dengan sunnah…………………………………...

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………

A. Simpulan…………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki peranan sangat penting

dalam membentuk peradaban manusia yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja hanya

mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia,

hubungan manusia dan alam sekitarnya.

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah wahyu Allah SWT yang berisikan

sejarah, hukum, dan syariat-syariat yang menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan

yang benar, yang pada akhirnya akan memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran juga

membenarkan Kitab-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.

Sebagai kitab suci tentu saja Al-Quran merupakan sumber hukum utama bagi umat

Islam dalam menjalankan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah.

Untuk menjelaskan banyak hal yang bersifat umum dalam Al-Quran, maka Hadis memiliki

peran penting dalam menuntun dan dan mengarahkan manusia dalam menjalankan ajaran Al-

Quran.

Kata “Hadis” secara bahasa dapat diartikan “baru” (al-jadid), yang merupakan lawan

kata dari al-qadim (lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita yang disandarkan

kepada Nabi Saw, karena pembaruannya sebagai perimbangan dengan berita yang

terkandung dalam Al-Quran yang sifatnya qadim. Dengan demikian hadis memiliki peran

yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam sebagai sumber hukum atau penjelasan dari

sumber hukum yang ada di Al-Quran.

Terkadang, banyak yang memahami agama setengah-setengah, dengan dalih kembali

pada ajaran Islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatullah atau Al-Quran

saja dan meniadakan peranan hadis, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat,

mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, peranan
hadis terhadap Al-Quran dalam melahirkan hukum syariat Islam tidak bisa dikesampingkan

lagi, karena tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya

merujuk pada Al-Quran saja, melainkan harus diimbangi dengan hadis.

Di sisi lain Imam Syafi’i telah menanamkan fondasi epistemologis yang sangat kokoh

ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa

mazhabi, bahwa ketika “jika sebuah hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”.

Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari

kontek kajian hadis.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam ?

2. Apa Fungsi Hadits terhadap Al-Quran ?

3. Bagaimanahubungan Al-qurandenganSunnah?

C. Tujuan

1. Menjelaskan kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam.

2. Menjelaskan Fungsi Hadits terhadap Al-Quran.

3. Menjelaskan hubungan Al-qurandenganSunnah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits sebagai sumber hukum islam

            Kedudukan sunnah (hadis) dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah

berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Quran dan sunnah (hadis). Dari segi

urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah (hadis) menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah)

kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:

a.       Fungsi sunnah (hadis) sebagai penjelas terhadap Al-Quran

Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya pihak

penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran sebagai

pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan

demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Quran.

b.      Mayoritas sunnah relatif kebenarannya.

Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya diriwiyatakan

secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi

faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk

makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah (hadis),

diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut kebenarannya, dan di

antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya secara individual) memberikan faedah

relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi meskipun secara umum dapat dikatakan absolut

kebenarannya.

Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadis dijadikan sebagai sumber

hukum Islam, yaitu sebagai berikut:


1.      Dalil Al-Qur’an

Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban

mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti

firman Allah berikut ini:

‫فَإ ِ ْن‬ ۖ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

‫ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخر‬


ِ ‫تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬

َ ِ‫ٰ َذل‬
‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬

       “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih

baik akibatnya.  (QS. An-Nisa: 59).

Selain itu banyak dalil Al-Quran yang memerintahkan ketaatan kepada rasul dan

mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti sunah sebagai

hujah. Antara lain:

a.   Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya. Sebagaimana perintah Allah dalam

surat Ali Imran: 179

‫ۚ َوإِ ْنتُ ْؤ ِمنُوا َوتَتَّقُوا فَلَ ُك ْم أَجْ ٌر َع ِظيم‬ ‫فَآ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه‬

  “Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan

bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”


b.  Perintah iman kepada rasul beserta iman kepada Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam

surat An-Nisa: 136

ِ ‫يَا أَيُّهَاالَّ ِذينَ آ َمنُوا آ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َو ْال ِكتَا‬


‫ب الَّ ِذي نَ َّزلَ َعلَ ٰى َرسُولِ ِه‬

‫َو ْال ِكتَابِالَّ ِذي أَ ْن َز َل ِم ْن قَ ْب ُل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan

kepada kitab yang Alllah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan

sebelumnya.”

Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul secara

khusus dan terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada Allah

SWT, yaitu:

1. Q.S An-Nisa (4) ayat 65 dan 80

2. Q.S Ali Imran (3) ayat 31

3. Q.S AN-Nur (24) ayat 56, 62 dan 63

4. Q.S Al-A’raf (7) ayat 158.  

Selain Allah memerintahkan agar umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga

menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya,

baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama

halnya dengan tuntutan taat kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan

dengan masalah itu.


2.      Dalil Hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan

hadis sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman utamanya. Beliau

bersabda:

َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬


َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ ‫ال تَ َر ْك‬
‫ت‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬

.‫َاب هَّللا ِ َو ُسنَّةَ نَبِيِّ ِه‬ ِ َ‫فِي ُك ْم أَ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت‬


َ ‫ضلُّوا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما ِكت‬

)‫(اإلمام مالك‬ 

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah Aku

tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara sehingga kamu tidak akan sesat selama

kamu berpegang teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R. Malik).

3.      Dalil Ijma Ulama

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari

Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai landasan  untuk

menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka menolak tentang kewajiban untuk

menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah. Kewajiban untuk menaati sunnah rasul

dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para

sahabat selanjutnya diikuti oleh para tabi’in, tabi’ tabi’in dan generasi berikutnya hingga

sampai saat ini.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai

sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini:

1)   Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan

sedikit pun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut

tersesat bila meninggalkan perintahnya”.


2)      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu.

Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.

3)      Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-

Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada

kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya

Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sahalat

sebagaimana shalatnya Rasul”.

4)      Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk

sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan

saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.

4.      Dalil Akal (Rasio)

Maksud dari dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk

menjelaskan kedudukan hadis. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa seorang manusia

tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik Mu’amalah dengan benar bila

mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa mengetahui  keterangan dan penjabaran

dari hadis terhadap ayat-ayat mengenai hal-hal tersebut.

Kerasulan Nabi Muhammad SAW teah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di

dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa

yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif

sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil

ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu  dan juga tidak

dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang

menasakhnya.
B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an

1.      Hadis sebagai Bayan Tafshil

Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini adalah bahwa hadits itu menjelaskan

atau memperinci kemujmalan Al-Quran. Karena Al-Quran bersifat mujmal (global), maka

agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun diperlakukan

perincian. Maka dari itu diperlukan adanya hadis atau sunnah.

Dalam kedudukannya sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, hadis berfungsi

sebagai pemerinci atau penafsir hal-hal yang masih disebutkan secara mujmal oleh Al-Quran.

Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas dilalahnya atau masih

bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadis diharapkan dapat diketahui dengan jelas

maksud dan penunjukannya.

Dalam  Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,

mengerjakan ibadah haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai didalam Al-Quran, teknik

pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadis.

2.      Hadis sebagai Bayan Takhshish

Dalam hal ini hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang

masih bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang menunjukkan suatu

makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas dalam satuan tertentu.

Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna yang pantasdengan suatu

ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun (orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak laki-

lakimu), dan lain-lain. Misalnya, terkait informasi Al-Quran tentang ketentuan anak laki-laki

yang dapat mewarisi orang tua dari keluarganya, di dalam Al-Quran dijelaskan sebagai

berikut: “Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-

laki sama dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak

menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga. Selanjutnya hal itu
dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang persyaratan khusus tentang kebisaan saling

mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama dan tidak ada tindakan pembunuhan di

antara mereka.

3.      Hadis Sebagai Bayan Taqyid

Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-

ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya

adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki

limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun contoh hadits yang

memiliki pembatasan hukum adalah:

 ) ‫اعدًا‬
ِ ‫ص‬ ٍ ‫ق إِاَّل فِي ُرب ُِع ِدين‬
َ َ‫َار ف‬ ِ ‫ ( اَل تُ ْقطَ ُع يَ ُد َس‬: ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم‬:‫ت‬
ٍ ‫ار‬ ْ َ‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهَا قَال‬
ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬

‫ َواللَّ ْفظُ لِ ُم ْسلِم‬.‫ق َعلَ ْي ِه‬


ٌ َ‫ٍ ُمتَّف‬.

ٍ ‫ َوفِي ِر َوايَ ٍة أِل َحْ َم َد اِ ْقطَعُوا فِي ُرب ُِع ِدين‬ ‫صا ِعدًا‬
‫ َواَل تَ ْقطَعُوا فِي َما ه َُو‬,‫َار‬ ٍ ‫ تُ ْقطَ ُع اَ ْليَ ُد فِي ُرب ُِع ِدين‬:ِّ‫اري‬
َ َ‫َار ف‬ ِ ‫َولَ ْفظُ اَ ْلبُ َخ‬

َ ِ‫أَ ْدنَى ِم ْن َذل‬


‫ك‬

“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh

dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih." Muttafaq

Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut Lafadz Bukhari: "Tangan seorang

pencuri dipotong (jika mengambil sebesar seperempat dinar atau lebih." Menurut riwayat

Ahmad: "Potonglah jika mengambil seperempat dinar dan jangan memotong jika mengambil

lebih kurang daripada itu”.

Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara

hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫والس‬ ۗ
َ

‫َواللَّهُ َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38).

Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki

dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan

potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang untuk membatasi hukum bahwa

yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat dinar atau

lebih.

4.      Hadis sebagai Bayan Ta’kid

Hadis berfungsi juga sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran.

Suatu ketetapan hukum tentang suatu masalah memiliki dua sumber atau argumentasi, yakni

Al-Quran dan Sunnah. Selain itu sunnah dalam konteks ini melengkapi sebagian cabang-

cabang hukum yang berasal dari Al-Quran.

Dalam Al-Quran banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah. Misalnya

ayat Al-Quran tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi petunjuk

bagi manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak

dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah dia

berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15).

Ayat ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah

melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim).

5.      Hadis sebagai Bayan Tasyri’

Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang mendefenisikan suatu ketetapan

hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Quran secara tekstual.


Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di

antara masyarakat. Di sinilah hadis Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan

dengan tidak berorientsi terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang

pemilik semesta, Allah SWT.  Misalnya hadits Nabi:

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ال اَل يُجْ َم ُع‬ َ ‫ج ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫و َح َّدثَنِي يَحْ يَى ع َْن َمالِك ع َْن أَبِي ال ِّزنَا ِد ع َْن اأْل َ ْع َر‬

‫ ْال َمرْ أَ ِة َوخَالَتِهَا‬  ‫بَ ْينَ ْال َمرْ أَ ِة َو َع َّمتِهَا َواَل بَيْن‬

“Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak

bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak

ibunya”. (HR. Malik No.977).

Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan

bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam

Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan

dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-

keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara,

anak dan sebagainya. Disinilah hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang

dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Quran dalam  membuat keputusan itu.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW

tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga, sebagaimana

Allah berfirman:

“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu

jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. Al-

Syura: 52).
C. Hubungan Alquran dengan sunnah

1.      As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an. Dengan

demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-

dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati

perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang

tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke

Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta

banyak lagi yang lainnya.

2.      Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut

secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan

ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish

yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam

Al-Qur-an.

Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :

َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْميَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫الزب ُِر ۗ َوأَنزَ ْلنَا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َرلِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ ‫بِ ْالبَيِّنَا‬
ُّ ‫ت َو‬

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-

an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada

mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:

‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُنثَيَ ْي ِن‬


َّ ِ‫ُوصي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم ۖ ل‬
ِ ‫ي‬

“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama

dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’: 11]

As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:


‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya…” [Al-Maa-idah:

38]

Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari

as-Sunnahlah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan.

Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu

merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya

dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului

Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati

Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan

kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-

apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya

yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫ُول فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا‬


َ ‫َّمن يُ ِط ِع ال َّرس‬

‘Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’: 80].
BAB III
PENUTUP

3.1.  Simpulan

Al-Quran memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan

redaksi dari Al-Quran itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari itu

kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang

masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para

sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril.

Peran kedua adalah agar hadis menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan

yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Quran. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-

Quran dan Hadis dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan

lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan

datang berhubungan dengan hukum dalam Al-Quran.

Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan

dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah

sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam

oleh para ulama.

Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah

pencitraan dari Al-Quran. Sehingga umat Islam yang mengikuti hadis-hadis Rasulullah

adalah mereka yang juga taat kepada Al-Quran.

                                                                                               
DAFTAR PUSTAKA

Agus Solehudin, M dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis.  Bandung: Pustaka Setia

Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara

Noer Sulaiman, M. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press

Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Supian, Aan. 2014. Ulumul Hadis. Bogor: IPB Press

Ahmad Agus Tijani. http://tijaniagus.blogspot.com/2012/11/fungsi-hadits-terhadap-al-quran-

di.html/ .

Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-

alquran.html.

Awan Al-Faiz, http://awanaalfaizy.blogspot.com/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-

dalam-agama_2.html,.

Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis No. 1255. 

http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html.

Anda mungkin juga menyukai