Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Di dalam tata cara peradilan di Indonesia, pembuktian adalah salah satu dari
tata cara peradilan Indonesia yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim
dalam mengambil sebuah keputusan hukum, yang didasarkan atas keyakinan
hakim yang didasarkan kepada fakta-fakta yang telah di berikan oleh Jaksa
Penuntut Umum dan juga Penasehat Hukum dan sang terdakwa itu sendiri,
adapun keyakinan hakim yang akan terbentuk pada akhirnya nanti hanya terdiri
dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau
sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku nya Pembahasan Permasalahan
Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan mengungkapkan
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-
cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan
Sebagai dasar hukum pembuktian, alat-alat bukti dalam perkara pidana
terdapat dalam pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana). Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan secara rinci atau limitatif alat
bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.1 Namun, seiring dengan perkembangan
jaman dan perkembangan peraturan, dalam beberapa undang-undang terjadi
perluasan alat bukti, misalnya pada Undang-Undang ITE dijelaskan mengenai alat
bukti berupa dokumen elektronik.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam
perkara perdata. Hukum acara pidana itu:

1
M. Yahya Hrahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cetakan 4/Edisi 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hal 283.

1
a) Bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau yang
sesungguhnya yang mana hal ini di ungkapkan oleh Andi Hamzah dalam
bukunya Pengantar Hukum acara Pidana ;
b) Hakimnya bersifat aktif. Hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti
yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh ; dan
c) Alat buktinya bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa.
Makalah ini membahas lebih lanjut tentang keterangan ahli, dimana
menyorot masalah tentang pengertian keterangan ahli, kedudukannya,
perbandingannya dengan hukum pidana acara lain, dan yurisprudensi yang terkait
dengan keterangan ahli dan visum et repertum.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Makalah ini akan membahas mengenai:
1. Apakah yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai alat bukti?
2. Bagaimanakah kedudukan alat bukti keterangan ahli di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?
3. Bagaimanakah perbandingan alat bukti keterangan ahli di negara lain?
4. Apa sajakah yurisprudensi yang terkait dengan keterangan ahli?

2
BAB II
PEMBAHASAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI

2.1. DEFINISI ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI


2.1.1 Konsep Ahli dalam Bahasa
Ahli secara awam dapat didefinikan sebagai orang yang menguasai suatu
bidang ilmu tertentu. Oleh karena seorang ahli biasanya dianggap dapat
memecahkan masalah yang terkait dengan bidang keilmuannya.
Dalam Collins Encyclopedia and Dictionary, expert (ahli) diartikan sebagai
tought by use, practice, or experience having a facility from practice, adroit,
dexterous, skilful (ahli buah pikiran yang berasal dari praktek atau pengalaman,
diperoleh dari kesempatan praktek, ketangkasan, kecekatan, kepandaian) 2.
Definisi ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan atau keahlian seorang ahli tidak
hanya didapat dari pendidikan formal saja, melainkan juga dapat diperoleh dari
pengalaman dan praktik.
W. J. S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
memberikan dua pengertian mengenai ahli, yaitu
a. Orang yang mahir atau paham sekali pada suatu ilmu (pengetahuan,
kepandaian); misalnya ahli bahasa.
b. Tenaga ahli diartikan sebagai orang (pekerja yang mahir dalam suatu
pekerjaan. Dan keahlian adalah kemahiran dalam suatu ilmu (kepandaian,
pekerjaan)3.
Merriam Webster mengartikan ahli sebagai berikut:
a. Orang yang mempunyai kepandaian atau pengetahuan khusus yang
diperoleh dari latihan atau pengalaman praktis (having special skill or
knowledge derived from training or experience).
b. Orang yang mencapai kepandaian khusus atau pengetahuan istimewa
mengenai sesuatu masalah melalui latihan profesional atau pengalaman
praktis (one who has acquired special skill in or knowledge or particular
subject through professional training or practical experience)4.

2
Collin & Collin. Double Book Encyclopedia & Dictionary. London. 1968, hal. 185.
3
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. 1976, hal. 19.
4
Merriam Webster. Webster Third New International Dictionary. Springfield. 1968, hal. 800.

3
Pendapatnya Merriam Webster yang kedua lebih menekankan pada keahlian
seseorang hanya diperoleh melalui pendidikan formal yang kemudian ditambah
dengan pengalaman praktek.
Menurut A. S. Hornby dalam kamus An English-Reader’s Dictionary
menyatakan bahwa expert (ahli) person with special knowledge, skill, or training 5.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ahli adalah orang yang
memiliki pengetahuan khusus, kepandaian yang khusus, atau kemahiran tertentu.
Perkembangan istilah ahli saat ini sudah tidak lagi mengacu pada orang-
orang yang memiliki keahlian pada bidang ilmu yang diperoleh dari pendidikan
formal saja, tetapi sebuah keahlian itu juga dapat berasal dari pengalaman dan
praktik dalam masyarakat.

2.1.2 Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti


Dalam sebuah proses peradilan, baik pidana maupun perdata, kita mengenal
sebuah tahap yang disebut tahap pembuktian. Pembuktian adalah tahap
pemeriksaan alat-alat bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang telah
diajukan. Pada tahap ini, alat-alat bukti beserta barang bukti diajukan ke seidang
pengadilan. Hal ini bertujuan untuk menguatkan keyakinan Hakim dalam hal
memutus perkara yang diajukan tersebut. Pemeriksaan alat-alat bukti ini diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk perkara
pidana dan dalam HIR untuk perkara perdata. Namun makalah ini hanya akan
membahas mengenai pembuktian yang ada dalam perkara pidana.
M. Yahya Harahap, S.H. menyebutkan bahwa pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.6 Dapat kita lihat bahwa definisi tersebut lebih mengacu kepada KUHAP
karena dalam memberikan definisi tersebut M. Yahya Harahap, S.H.
menitikberatkan pembuktian dengan sebutan “ketentuan-ketentuan”.
Sebelum diundangkannya KUHAP tahun 1981, hukum acara pidana di
Indonesia mengacu pada HIR yang juga mengatur mengenai hukum acara perdata

5
A. S. Hornby and E.C. Parnwell. An English-Reader’s Dictionary. Jakarta. 1961, hal. 149
6
M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika: 2008, hlm. 273.

4
sampai saat ini. HIR juga mengatur secara limitatif mengenai alat-alat bukti yang
sah seperti halnya KUHAP saat ini. Alat-alat bukti yang sah, yang diatur dalam
Pasal 295 HIR, adalah
1. Kesaksian-kesaksian;
2. Surat-surat;
3. Pengakuan;
4. Isyarat-isyarat.
Sementara itu KUHAP mengatur hal yang agak berbeda mengenai alat bukti.
KUHAP, dalam Pasal 184 ayat (1) dan (2), mengatur dua jenis alat bukti yaitu:
1. Alat bukti yang sah
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
2. Hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan
Pada bagian alat bukti yang sah, kita dapat lihat perbedaan antara HIR dengan
KUHAP. KUHAP menambahkan satu buah alat bukti yang sah yaitu alat bukti
keterangan ahli (verklaringen van een deskundige/expert testimony). Keterangan
ahli sebagai alat bukti juga terdapat pada Pasal 339 Ned.Sv.
Secara harfiah frasa keterangan ahli dapat dibagi menjadi dua kata, yaitu
keterangan dan ahli. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata keterangan
memiliki tiga pengertian, yaitu:
1. uraian dan sebagainya untuk menerangkan sesuatu penjelasan;
2. sesuatu yang menjadi petunjuk, seperti bukti, tanda; segala sesuatu yang
sudah diketahui atau yang menyebabkan tahu; segala alasan;
3. kata atau kelompok kata yang menerangkan (menentukan) kata atau
bagian kalimat lain.
Menurut Handoko Tjondroputranto di dalam suatu proses peradilan terlibat
3 macam ahli, yaitu:
a. Deskundige (ahli), orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang
suatu persoalan yang ditanyakan padanya, tanpa melakukan pemeriksaan.

5
Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah seseorang yang mempunyai
keahlian khusus, keahlian khusus tersebut tidak dipunyai oleh hakim.
Contoh: ahli balistik, ahli tulis tangan.
b. Getuige deskundige (saksi ahli), orang ini menyaksikan barang bukti atau
“saksi diam”, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya.
Contoh: dokter yang melakukan pemeriksaan mayat. Karena ia
menyaksikan dan memeriksa barang bukti sesuai dengan keahliannya, maka
kemudian orang tersebut dikatakan sebagai saksi ahli di bidangnya.
c. Zaakkundige, orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang
sebenarnya, juga dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi memakan waktu
agak lama. Contohh: seorang Bea dan Cukai yang dimintai keterangannya
tentang prosedur pengeluaran barang dari pelabuhan. Contoh lain: seorang
karyawan Bank yang dimintakan keterangannya tentang prosedur untuk
mendapatkan kredit bank7.
Handoko Tjondroputranto menyatakan bahwa ahli dibedakan antara ahli dan
saksi ahli. Ahli adalah orang yang dimintakan keterangan itu hanya
mengemukakan pendapatnya saja tanpa melakukan pemeriksaan di persidangan.
Sedangkan saksi ahli adalah orang yang memberikan keterangan di hadapan
hakim dengan disumpah baik sebelum atau sesudah memberikan keterangannya.
Dalam KUHAP dibutuhkannya keterangan ahli terdapat dalam Pasal 120
ayat (1) KUHAP yang isinya mengatakan bahwa apabila penyidik menganggap
perlu maka penyidik dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus. Hal yang sama juga disebut dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi “dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan
yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan
ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Keterangan ahli ini urgensinya terlihat jelas pada tindak pidana-tindak
pidana yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan tubuh. Menurut pasal 133
ayat (1) dengan sendirinya penyidik harus meminta pendapat ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya yang menyangkut tindak pidana
terhadap nyawa dan tubuh.

7
Dr. Handoko Tjondroputranto, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik, hal 4-5

6
Dalam pemecahan tindak kriminal, ahli-ahli yang banyak membantu adalah
ahli-ahli di bidang ilmu forensik, di antaranya:
1. Ilmu Kedokteran Forensik;
2. Ilmu Kimia Forensik;
3. Ilmu Racun Forensik;
4. Ilmu Fisika Forensik;
5. Psikiatri/Neurologi Forensik
Menurut Abdul Mun’im Idris pada tahap penyidikan di tempat kejadian
perkara, khususnya di dalam perkara yang memakan korban jiwa, seperti dalam
kasus pembunuhan atau dalam kasus kematian yang mencurigakan, ilmu
kedokteran kehakiman dibutuhkan untuk dapat memberikan kejelasan-kejelasan
dalam hal:
1. Identitas korban;
2. Perkiraan saat kematian;
3. Perkiraan sebab kematian;
4. Perkiraan cara kematian8.
Pada tahap interogasi dan rekonstruksi terhadap tersangka, bantuan ahli
kedokteran kehakiman dapat membantu tujuan interogasi, yaitu mendapatkan
keyakinan dan keterangan salah atau tidaknya seorang tersangka, mendapat
pengakuan yang benar dari tersangka, mengkaji fakta-fakta serta keadaan yang
berkaitan dengan kejahatan, mengembangkan informasi yang menjadi dasar dari
keberhasilan penyidikan dan mendapatkan fakta dari tindak pidana lain di mana
tersangka juga merupaka pelaku atau turut serta di dalamnya.
Mengenai bentuk dari keterangan ahli secara lisan atau dalam bentuk tertulis
tidak dijelaskan secara rinci dalam KUHAP. Keterangan ahli yang diberikan
secara lisan dapat dilihat dalam pasal 186 KUHAP yang menyatakan “Keterangan
ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di persidangan.” Ketika kita
membicarakan mengenai keterangan yang diberikan oleh ahli secara tertulis,
khususnya visum et repertum atau expertise (laporan), maka akan timbul
pertanyaan apakah keterangan dalam bentuk tertulis tersebut dapat dikategorikan

8
Abdul Mun’im Idries, Visum et repertum dan Proses Peradilan Pidana, Hukum dan
Pembangunan, (November, 1984)

7
sebagai alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat seperti yang dinyatakan
pada pasal 187 huruf c KUHAP.
Dalam bukunya, Soeparmono mengatakan, kedudukan visum et repertum di
dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana, dapat berkedudukan
sebagai:
a. Alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187 huruf c KUHAP);
b. Keterangan ahli (Pasal 1. Stb 1937-350 jo. 184 ayat (1) huruf b KUHAP).9

Yahya Harahap juga mempunyai pendapatnya sendiri mengenai alat bukti


keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum ini. Menurut
beliau alat bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah:
a. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum
et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini
dengan jelas ditegaskan oleh penjelasan pasal 186 KUHAP alinea pertama
yang selengkapnya berbunyi: “Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan.” Bentuk alat bukti keterangan yang seperti
itulah yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP, yakni laporan yang dibuat oleh
seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan.
Oleh penjelasan Pasal 186 alinea pertama, laporan seperti itu bernilai sebagai
alat bukti keterangan ahli yang diberi nama alat bukti keterangan ahli
berbentuk laporan.
b. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga
menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP
telah menentukan salah satu di antara alat bukti surat adalah: “Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya,
mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi
kepadanya.10
2.1.3 Perbedaan Keterangan Ahli dengan Keterangan Saksi
9
Ibid, hal 142.
10
M. Yahya Hrahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cetakan 4/Edisi 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hal 303.

8
Apabila dibandingkan keterangan saksi dan keterangan ahli, maka
perbedaan antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli antara lain:
1. Saksi memberikan keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia
alami, ia dengar, ia lihat, ia rasakan dengan alat panca inderanya,
sedangkan ahli memberikan keterangan mengenai penghargaan dari hal-
hal yang sudah ada dan mengambil kesimpulan mengenai sebab dan
akibat dalam suatu perbuatan terdakwa;
2. Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak
dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja hakim
membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain;
3. Saksi dapat memberikan keterangan dengan lisan, sedangkan ahli dapat
member keterangan lisan maupun tulisan;
4. Hakim bebas menilai keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut
kepada pendapat, kesimpulan dan saksi ahli bilamana bertentangan
dengan keyakinan hakim;
5. Kedua alat bukti, saksi dan saksi ahli digunakan hakim dalam mengejar
dan mencari kebenaran sejati.11

2.2. KOMPARASI KETERANGAN AHLI DALAM KUHAP DAN R-


KUHAP
Sebelum adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8
Tahun 1981), acara hukum pidana di Indonesia menggunakan HIR. Sekian lama
HIR menjadi pedoman dalam beracara di Indonesia, akhirnya pada tahun 1981,
dibuatlah pedoman beracara untuk perkara pidana di Indonesia yang baru, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perubahan yang ada berdampak
pada proses beracara dalam hukum pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai
putusan pengadilan.
Disadari bahwa Penyidik, Jaksa, dan bahkan Hakim adalah manusia biasa.
Mereka bukan orang yang serba tahu, serba memahami, segala perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk memperlancar proses pembuktian,
diperlukanlah seorang ahli yang memang menguasai keahlian tertentu di suatu
11
Martiman Prodjohamidjojo, SH, Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1988, hal. 146-147.

9
bidang. Hal inilah yang diusung oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tahun 1981. Sebagai bukti, dalam pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana menetapkan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah.
Sejak tahun 1981 sampai sekarang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana telah digunakan untuk menyelesaikan banyak kasus tindak pidana di
Indonesia. Ada pihak yang merasa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
telah mengakomodir kebutuhan beracara di pengadilan. Tetapi, ada pula pihak-
pihak yang menginginkan suatu pembaharuan.
Pandangan-pandangan demikian membuat suatu gagasan baru untuk merubah
ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana agar
sesuai dengan perkembangan zaman.
Untuk itu, dibuatlah suatu tim yang akan mengubah Undang-Undang nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rancangan undang-undang ini sudah
dimulai dan sampai sekarang masih belum juga mendapat pengesahan. Di dalam
rancangan undang-undang hukum acara pidana terdapat beberapa perubahan dan
ada pula hal-hal yang masih dipertahankan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana . Misalnya saja, di dalam rancangan undang-undang hukum acara
pidana diperkenalkan adanya hakim komisaris dan penambahan alat bukti seperti
barang bukti, bukti elektronik, dan pengamatan hakim.
Oleh Dr. Lilik Mulyadi dalam tulisan beliau yang berjudul RUU KUHAP
dalam Perspektif Seorang Hakim yang disampaikan dalam Diskusi Panel “QUO
VADIS RUU KUHAP: Catatan Kritis atas RUU KUHAP” Merayakan 60 Tahun
Denny Kailimang, S.H., M.H. pada tanggal 26 November 2008 di Hotel Shangri-
la, Jakarta, mengomentari beberapa pasal dalam RUU KUHAP. Dalam kaitannya
dengan pengaturan keterangan ahli sebagai alat bukti, beliau mengomentari pasal
179 RUU KUHAP. Beliau berpendapat, “ketentuan pasal tersebut hendaknya
diperlukan adanya penambahan. Hendaknya, harus adanya keahlian khusus
tersebut mempunyai hubungan keterangan ahlinya dengan perkara serta hubungan
keahliannya dengan keterangan yang diberikannya. Selain itu, hendaknya perlu
adanya kretaria umum terhadap seorang ahli, misalnya kerena bidang

10
pekerjaannya atau tugasnya, pendidikannya, surat dari instansi dimana ahli
tersebut mengabdikan keahliannya”12.
Disamping itu seperti halnya pada Rusia, kompetensi seorang ahli jelas
dikarenakan adanya keharusan bahwa yang dapat dianggap sebagai ahli harus
terdaftar di Mahkamah Agung ataupun di Pengadilan Tinggi dengan catatan
khusus. Hanya kasus tertentu yang dapat mendatangkan ahli yang tidak terdaftar.
Beda halnya dengan Indonesia yang tidak jelas apa yang dimaksud atau apakah
yang menjadi standar dari “ seseorang yang memiliki keahlian khusus”.

2.3 YURISPRUDENSI PENGGUNAAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI


ALAT BUKTI
Berikut ini kutipan beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan
keterangan ahli dan visum et repertum:
a. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 10-11-1959, No. 182/K/Kr/1959
tentang Visum et repertum
“Hal tidak disebut tanggal dan jam pemeriksaan mayat dan dan tidak disebut
sebabnya si korban meninggal dunia, tidak menghalangi Hakim untuk
menarik kesimpulan bahwa dari luka-luka yang disebutkan di dalam Visum
et repertum, si korban telah meninggal dunia.”
b. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 15-11-1969, No. 10/K/Kr/1969
“Sebagai pengganti Visum et repertum dapat juga didengar keterangan saksi
ahli”.
c. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 17-3-1962, No. 72/K/Kr/1961
tentang Keterangan Ahli
“Menurut Pasal 306 (2) HIR Hakim tidak terikat pada pendapat seorang ahli
(i.c. Pendapat dokter sie Swie Dong dengan Visum et repertum) jika
pendapat ini bertentangan dengan keyakinannya”.
d. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 27-6-1984, Regno.
600/K/Pid/1969 tentang kasus dr. Setianingrum

12
http://www.pn-jepara.go.id/ungguhan/
134_ruu_kuhap_dari_perspektif_seorang_hakim.pdf. Diunggah pada tanggal 12 Maret
2012.

11
“Bahwa untuk memberikan keterangan dari segi ilmu Pengetahuan Medis,
Pengadilan telah mendasarkan diri pada kesaksian enam orang dokter
sebagai Saksi Ahli dan kemudian dapat disimpulkan sebagai petunjuk,
bahwa terdakwa telah melakukan segala upaya yang sewajarnya dapat
dituntut dari padanya sebagai seorang dokter dengan pengalaman empat
tahun dan sedang melaksanakan tugasnya pada Puskesmas dengan sarana
yang serba terbatas, sehingga tidak mungkin melaksanakan tugasnya dengan
memerlukan sarana yang lebih rumit (canggih) sehingga dengan demikian,
unsur kealpaan pada Pasal 359 KUHP tidak terbukti dan oleh karena itu
terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan”. (Varia PERADILAN, hal 42-45)
e. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 14-12-1967, Regno.
61158/K/Pid/1985
“Bahwa judex facti (Pengadilan Negeri, karena Jaksa mengajukan (kasasi)
telah salah menerapkan hukum, yaitu salah menafsirkan Hukum
Pembuktian, karena meskipun terdakwa memungkiri tuduhan Jaksa, akan
tetapi keterangan beberapa orang saksi, terutama saksi. I. Nirwana, maka
apa yang diceritakan saksi tersebut mengandung kebenaran dan diperkuat
oleh hasil Visum et repertum: dr. Ahyar Wibowo dari Puskesmas
Kecamatan Kasui Tanggal 24 September 1984, cukup membuktikan
kesalahan terdakwa pada dakwaan primair atau melanggar Pasal 285 KUHP
dan harus dijatuhi hukuman pidana”. (Varia PERADILAN, hal 39-45)

12
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
1. Ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus, kepandaian yang
khusus, atau kemahiran tertentu. Dalam proses persidangan, seorang ahli dapat
memberikan keterangannya di pangadilan untuk membuat terang sebuah
kasus. Keterangan yang dikemukakan oleh seorang ahli ini bukanlah
keterangan yang berkaitan dengan pokok perkara namun murni keterangan
umum yang berkaitan dengan pengetahuan dan pengalamannya. Keterangan
yang dikemukakan oleh ahli di pengadilan inilah yang disebut dengan
keterangan ahli. Keterangan ahli inilah yang merupakan salah satu alat bukti
yang diakui oleh KUHAP kita, yaitu tercantum dalam pasal 184 ayat (1) ;
2. Dalam pengaturannya di Indonesia, pengaturan mengenai ahli dan keterangan
ahli sebagai alat bukti yang sah ini masih menimbulkan banyak pertanyaan.
Hal ini disebabkan oleh pengaturan di Indonesia mengenai saksi ahli ini masih
sangat sedikit sekali. Termasuk dalam peraturan pedoman beracara kita,
KUHAP. Untuk itu, hal inilah yang diperbaiki dalam Rancangan KUHAP.
Terdapat beberapa pengaturan yang diperjelas dalam R-KUHAP ini.
Diantaranya adalah perubahan redaksional “Keterangan ahli” menjadi “Ahli”.
Selanjutnya adalah dalam R-KUHAP ini diperjelas dimana saja keterangan
ahli ini dibutuhkan. Dalam KUHAP yang berlaku sekarang hanya dijelaskan
bahwa keterangan ahli membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan, sementara di R-KUHAP telah dijelaskan lebih rinci yaitu ahli ini
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan ;
3. Pengaturan mengenai alat bukti ahli di Indonesia masih terlampau sederhana
dibandingkan dengan pengaturan di negara lain. Misalnya saja terkait
pengaturan mengenai kompetensi seorang ahli. Di Rusia dan Perancis,
pengaturan ini jelas dikarenakan adanya keharusan bahwa yang dapat

13
dianggap sebagai ahli harus terdaftar di Mahkamah Agung ataupun di
Pengadilan Tinggi dengan catatan khusus. Di Indonesia belum ada pengaturan
mengenai hal ini. Selanjutnya, di Rusia prosedur pemanggilan Ahli ke sidang
Pengadilan dan juga proses pengangkatan Ahli diatur secara jelas dalam
Criminal Procedural Code of The Russian Federation. Hal ini juga belum
diatur di Indonesia. Terakhir yang paling krusial menurut kami adalah di
Rusia ada pengaturan mengenai hak dan kewajiban seorang saksi ahli ini,
sementara di Indonesia belum ada. Hal ini menimbulkan kemungkinan
perbuatan sewenang-wenang dari dan terhadap saksi ahli ini sendiri ;
4. Pengaturan sederhana tentang alat bukti ahli di Indonesia dilengkapi dengan
beberapa yurispudensi mengenai alat bukti ahli ini yang dapat menjadi sumber
hukum. Diantaranya adalah bahwa Visum et repertum dapat juga didengar
keterangan saksi ahli. Mengenai keyakinan hakim, yurisprudensi mengatakan
bahwa hakim boleh tidak terikat dengan pendapat seorang ahli apabila
bertentangan dengan keyakinannya.

3.2 SARAN
Berdasarkan penjelasan kami diatas, maka menurut kami ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dari alat bukti ahli dan hal ini mungkin dapat menjadi
masukan untuk perkembangan pembuktian menggunakan alat bukti ahli
kedepannya :
1. Perlu dibuat suatu lembaga khusus yang menangani masalah pembuktian
dengan ahli. Lembaga ini berdiri lebih ke arah untuk pembenahan secara
teknis dan yuridis terhadap alat bukti ahli yang dari masa ke masa semakin
dibutuhkan eksistensinya.
2. Perlu disusun suatu pengaturan yang lebih khusus dan mendalam mengenai
kedudukan para ahli yang dijadikan sebagai alat bukti. Pengaturan ini
meliputi hak, kewajiban, larangan, batasan, hingga kewenangan yang
dimiliki oleh seorang ahli dalam memberikan keterangannya di persidangan.
Pengaturan ini tidak dijelasakan di Indonesia. Dengan adanya pengaturan
ini, dapat menghindari kesewenang-wenangan seorang ahli dalam
melaksanakan pekerjaannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Apul, Yan. Kuliah Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Unika Atma Jaya), 1976.
Goesniadhie, Kusna.Tata Hukum Indonesia, (Surabaya : Nasa Media), 2010.
Muhammad, Abdulkadir.Hukum acara perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
bakti, 2005.
Sarwono, HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika,
2011
Taufik, Moh.Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai