Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

hakikatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran Materiil (materiile

waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai

usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti

yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan

pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan

perkara tersebut.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari

kebenaran materil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana

ditentukan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

pasal 6 ayat 2 yang menyatakan :

“Tiada seorang pun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbutan yang didakwakan atas dirinya”.1

Sesuai ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses

penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan

bukti maupun fakta mengernai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap

mungkin. Adapun Mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas

dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah

1
Tim Redaksi Fokusmedia, 2004, Lima Undang-undang Hukum dan Keadilan, Fokusmedia,
Bandung.

1
2

sebagiamana diatur dalam undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1:

Alat Bukti yang sah ialah :

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa

Di dalam usaha memperoleh Bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada

suatu permasalahan atau hal lain yang tidak dapat diselesaikan sendiri karena

masalah tersebut berada diluar kemampuan atau keahlianya. Dalam hal ini sehingga

dibutuhkan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari kebenaran materiil

selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.

Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan

bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP untuk permintaan

bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1) yang

menyatakan :

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang


ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”

Sedangkan untuk permintaan bantuan Keterangan ahli pada tahap

pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan :
3

“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persolan yang timbul


di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”2

Adapun lebih lanjut mengenai pengertian keterangan ahli sebagaiman yang

telah disebutkan diatas, diatur dalam pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang

menyatakan:

“Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang


memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang sutau perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”3

Menjadi saksi atau ahli merupakan kewajiban dari setiap warga Negara,

dengan prinsip bahwa setiap ahli dalam memberikan keterangan harus mempunyai

kebebasan, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Namun sekalipun ahli bebas

memberikan keterangan, saksi juga dapat dituntut berdasarkan pasal 242 kitab

undang-undang hukum pidana, apabila saksi memberikan keterangan yang tidak

sesuai dengan pengetahuan dalam bidang keahlian yang dimilikinya atau tidak

memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya.

Keterangan ahli ini, biasanya sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan

dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Manakala hal itu diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut

umum, maka pada pemeriksaan disidang, diminta untuk memberikan keterangan

dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah

ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

2
R. Soesilo, 2014, KUHP DAN KUHAP LENKAP, Pustaka Buana, Hlm 239
3
Ibid Soesilo, hlm 184
4

Sedangka menurut Soeparmono, menyatakan bahwa keterangan ahli sangat

diperlukan dalam proses pemeriksaan, sehingga ahli tersebut diperlukan dalam

tahap penyelidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan. pengetahuan dan

pengalaman dari para ahli berdasarkan bidang keilmuannya masing-masing

menjadi dasar jaminan akurasi data, fakta, dan pendapatnya dari hasil pemeriksaan

yang dilakukan. Keterangan ahli tersebut selanjutnya menjadi bahan pertimbangan

hakim untuk memutuskan perkara.4

Sehingga berdasarkan penjelasan diatas bahwa dalam proses pemeriksaan

perkara pidana, seseorang yang memilik keahlian khusus terkait suatu keilmuan

berperan untuk membantu pihak berwenang dalam menerangkan atau menjelaskan

suatu perkara pidana untuk mendukung bukti-bukti perkara lainnya, yang pada

akhirnya memberikan keyakinan atau petunjuk bagi hakim untuk menjatuhkan

putusan yang tepat kepada pelaku tindak pidana atas suatu perkara.

Sebagiamana diketahui bahwa Proses peradilan yang dicita-citakan bangsa

Indonesia adalah proses peradilan yang adil, dalam artian kepentingan semua pihak

yang terlibat didalamnya dapat terlindungi. Proses hukum yang adil disini

mengandung arti dilindunginya kepentingan dari para pihak yang terlibat

didalamnya sehingga ada keseimbangan dalam pencapaian keadilan. Hal in juga

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara

bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal

yang sangat penting. Seperti yang jelas diurauikan dalam Pasal 28I ayat (4)

4
R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana,
Mandar Maju, Bandung hal. 2
5

Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab

negara, terutama pemerintah.”

Upaya mewujudkan proses peradilan pidana yang adil cenderung lebih

dikaitkan pada pihak saksi, tersangka atau terdakwa. Orientasinya adalah saksi,

tersangka atau terdakwa tidak kehilangan hak-hak dasarnya sebagai manusia atau

tidak mengalami tindakan yang sewenang-wenang pada saat menjalani

pemeriksaan. Dalam kenyataannya, selain saksi, tersangka atau terdakwa ada pula

pihak-pihak lain yang juga perlu guna mendapatkan perhatian yakni ahli. Ahli

dalam kapasitasnya sebagai pemberi keterangan mengenai pengetahuan dalam

bidang keilmuwan yang dimilikinya yang juga merupakan salah satu alat bukti yang

sah dalam persidanga selain keterangan saksi dan keterangan terdakwa jadi sudah

sewajarnya bila perlindungan yang diberikan terhap saksi dan terdakwa juga

diberikan terhadap seoerang ahli.

Selama berlangsungnya proses peradilan perlu diupayakan agar ahli juga

memerlukan jaminan keamanan karena tidak jarang dalam posisinya ahli terancam

keselamatan jiwanya. Ahli mempunyai peranan penting membantu aparat penegak

dalam menggali dan menerangkan perkara pidana, oleh karena itu kepentingan

seorang ahli harus betul-betul diperhatikan. Dan juga sebagaimana diketahui dalam

memberi kesaksian Seorang ahli senantiasa menanggung resiko kesalamatan diri,

keluarga, harta bendanya, selain itu resiko terhadap pekerjaan, jabatan dan karier.

Oleh karena itu perlindungan terhadap ahli tidak hanya terbatas pada perlinudungan

hukum tetapi mencakup juga dalam bentuk perlindungan fisik maupun psikologis.
6

Ancaman yang diterima oleh ahli pun sangatlah beragam, bukan hanya diri

pribadinya yang terancam akan tetapi ancaman tersebut ditujukan pula kepada

keluarga maupun kerabatnya sehingga akan mempengaruhi keterangan yang dia

berikan dalam proses perkara pidana. Hal-hal yang esensial terhadap perlindungan

ahli adalah agar mereka bebas dari tekanan pihak luar yang mencoba

mengintimidasi berkenaan dengan kesaksiannya dalam suatu perkara pidana.

Mereka telah secara sadar dan suka rela bersedia menjadi seorang ahli dalam suatu

perkara sekaligus berani mengatakan yang sebenarnya tanpa diliputi rasa takut, dan

mereka telah mematuhi sebagai warga negara yang baik dan taat hukum. Oleh

karena itu, melihat dari kenyataan yang ada perlindungan terhadap ahli sangat

penting kaitannya bagi penyelesaian perkara pidana.

Olehnya itu perlindungan terhadap ahli sangat diperlukan mengingat

belakangan ini kewajiban hukum seorang ahli untuk memberikan keterangan

dalam persidangan mengalami suatu anomali, dimana terjadi serangkaian gugatan

yang dilayangkan terhadap para ahli yang memberikan keterangan pada proses

peradilan pidana. Misalnya saja, kasus yang menimpa Prof. Bambang Hero dan Dr.

Basuki Wasis yang menjadi Ahli dalam persidangan. Prof.Bambang menjadi ahli

atas permintaan Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk kasus

kebakaran hutan yang dibuat oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP), Sementara itu, Dr

Basuki Wasis menjadi ahli untuk Kasus korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur

Alam. Kemudian, keduanya digugat kembali oleh pihak lawan atas keterangan

ahlinya.
7

Namun di sisi lain terdapat pengaturan terkait perlindungan hukum terhadap

saksi atau ahli dalam memberikan kesakssian yang dijabarkan dalam pasal 10 ayat

(1) Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-undang

No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , pasal tersebut

menyebutkan:

“Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau
telah diberikanya, Kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak
dengan itikad baik.”5

Dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa Ketentuan ini dimaksudkan guna

memberikan perlindungan dalam hal terjadinya tindakan pembalasan dari terlapor

melalui pemidanaan dan/atau gugatan yang ditempuh secara perdata.

Sementara itu, menurut Herlambang P Wiratraman secara khusus hal ini

diperkuat dengan prinsip kebebasan akademik, merujuk perlindunganya pada pasal

8 jis 9 jis 54 (3) Undang-undang No.12 tahun 2013 tentang Pendidikan Tinggi.

Berdasarkan UU itu, kebebasan akademik didefinisikan sebagai kebebasan sivitas

akademik dalam Pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan

Tridarma (Pasal 9 ayat 1). Artinya bahwa, menyampaikan keterangan ahli berbasis

karya atau pemikiranya di muka pengadilan merupakan kegiatan akademik yang

seharusnya di lindungi.6

5
Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban
6
Herlambang P Wiratama, Memperkuat Tradisi Kebebasan Akademik, dalam
http://m.mediaindonesia.com diakses 27 Maret 2019
8

Dengan demikan, dapat dikatakan bahwa terdapat kesenjangan antara

rumusan yuridis dalam beberapa Undang-undang diatas yang mengatur

perlindungan terhadap keterangan ahli yang tidak dapat dituntut secara hukum baik

pidana maupun perdata atas kesaksiannya dalam persidangan dengan kenyataan

tentang adanya beberapa ahli yang digugat secara perdata atas keterangan yang

diberikanya pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu , berdasarkan uraian dari

latar belakang ini penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini menjadi

penulisan skripsi dengan judul Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Ahli

dalam Memberikan Keterangan Di Persidangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Ahli dalam memberikan

keterangan di persidangan ?

2. Apakah gugatan/tuntutan yang ditujukan terhadap Ahli dalam memberikan

keterangan dipersidangan dibenarkan dalam hukum positif ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap keterangan Ahli dalam

memberikan keterangan di persidangan

2. Mengetahui sudah tepatkah gugatan/tuntutan yang ditujukan kepada Ahli

yang memberikan keterangan dalam persidangan

D. Manfaat Penelitan

Manfaat dari penelitian hukum ini dapat dikemukakan menjadi dua baik secara

teoritis maupun secara praktis yakni:

1. Manfaat teoritis
9

Dari penulisan penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi gambaran

tentang bagaiamana perlindungan yang diberikan terhadap keterangan

seorang ahli yang digugat secara perdata dalam Undang-undang yang ada.

Dengan demikan diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan referensi di

masa depan dalam penelitian sejenis.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan petimbangan bagi

para pemangku kepentingan guna dapat merumuskan suatu prodak hukum

yang baik dan tidak mutitafsir. Selain itu bagi penulis sendiri dapat

Menambah wawasan mengenai nilai pendidikan khususnya pendidikan

hukum dan Untuk memenuhi persyaratan guna meraih gelar sarjana.

E. Kegunaan Penelitian

1. Bagi Penulis

Pada diri penulis penelitian ini tentunya dapat menjadi pembelajaran dan

wawasan yang sanga bermanfaat bagi penulis dalam menunjang karir dan

Pendidikan kedepanya.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi masyarakat untuk memberikan

gambaran dalam menelaah permasalahan-permasalahan yang berkaitan

dengan Perlindungan seorang ahli dalam memberikan keterangan di

persidangan.

3. Bagi Akademisi
10

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dan

memberikan wacana baru serta refrensi dalam penelitian lebi lanjut

mengenai konsep perlindungan terhadap keterangan ahli dalam

persidangan.

F. Metode Penelitan

1) Metode Pendekatan

Jenis Penelitan yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini

adalah penelitan yuridis normatif atau legal research. Artinya penelitan ini

akan menelaah norma-norma hukum, teori-teori, serta asas-asas yang

berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Pada penelitian hukum terdapat

beberapa pendekatan yaitu, pendekatan undang-undang ( Statute approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan historis

(historical approach),7. Dari beberapa pendekatan tersebut, dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan

pendekatan komparatif yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum serta

membandingkan dengan masalah yang sedang diteliti dalam berbagai

literatur yang dapat menjadi penunjang dalam penulisan ini.

2) Bahan hukum

a. Primer

7
Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum , Jakarta. Prenada kencana Media
Group, Hlm. 93.
11

Bahan Hukum Primer merupakan data yang diperoleh dari Undang-

undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 28 tahun

1999 tentang penyelenggara negara yang bersih bebas dari korupsi,

kolusi dan nepotisme, dan Undang-undang No.12 tahun 2013 tentang

Pendidikan Tinggi. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang

perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

b. Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari beberapa

publikasi bidang hukum seperti, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus

hukum, Literatur berupa buku-buku dan komentar-komentar atas

Keterangan ahli.

c. Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan atau pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan

hukum tersier kamus dan ensiklopedia hukum dan lain-lain.

3) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik Pengumpulan Bahan hukum dalam penelitian ini yaitu dengan

melakukan penulusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan

terhadap isu yang dihadapi, mencari peraturan perundang-undangan

mengenai atau berkaitan dengan isu yang akan dibahas serta ditambah
12

dengan Analisa substansi undang-undang terkait, dan melakukan

penelusuran dan pencarian bahan-bahan melalui internet atau website untuk

melengkapi bahan hukum lainya.

4) Teknik analisis bahan hukum

Analisis terhadap bahan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif

analitis yakni, dengan penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau

memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat

penelitan dilaksanakan, hasil penelitan yang kemudian diolah dan dianalisis

untuk diambil kesimpulannya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam Sistematika penulisan ini terbagi dalam empat bab yang disusun

secara sistematis untuk memudahkan pemahaman tarhadap hasil penelitian ini.

Adapun sistematika penulisanya sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi beberapa sub bab yaitu, latar belakang yang

mendiskripsikan terkait permasalahan-permasalahan yang menjadi dasar dalam

penulisan hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan yang ada guna

mengetahui apakah sudah sesuai dengan peraturan yang ada atau tidak.

Selanjutnya ada rumusan masalah yang dalam penulisan dibagi menjadi dua

permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang menjadi fokus


13

dalam penulisan ini. Kemudian dalam sub ini juga dirumuskan Tujuan

Penulisan, Kegunaan, Metode dan Sistematikan Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan terkait konsep-konsep hukum, teori-teori

hukum serta doktrin-doktrin dari para ahli hukum yang berkenaan dengan

permasalahan yang diteliti yang kemudian dijadikan suatu rujukan dalam

pembahasan permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB III : PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi jawaban atau pembahasan dari masalah yang

sebelumnya telah dirumuskan oleh penulis dalam bab I yang dianalsis

berlandaskan dari peraturan-peraturan dan teori-teori yang berkenaan dengan

permasalahan yang diteliti.

BAB IV : PENUTUP

Bagian ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini yang

menguraikan kesimpulan dan saran terhadap pembahasan permasalahan yang

telah diuraikan pada bab sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai