Anda di halaman 1dari 9

1.

Alat Bukti

Alat-alat bukti merupakan alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah adalah :

1. Keterangan saksi
Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP “Keterangan saksi adalah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”. Dan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Seseorang yang
akan menjadi saksi harus terlebih dahulu memenuhi syarat syarat menjadi saksi. Pada umumnya
semua orang dapat menjadi saksi terkecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 168
KUHAP yakni:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
samapai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai
terdakwa.
Adapun Jenis-Jenis Saksi sebagai berikut :
1. Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa). Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih
dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan
memberatkan terdakwa, yang terdapat dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.
2. Saksi A De Charge (saksi yang meringankan terdakwa). Saksi ini dipilih atau diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian
yang diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa, yang terdapat dalam pasal
160 ayat (1) huruf c KUHAP.
3. Saksi Ahli, yaitu seseorang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian khusus mengenai
sesuatu yang menjadi sengketa yang memberikan penjelasan dan bahan baru bagi hakim dalam
memutuskan perkara.
4. Saksi Korban, korban dalam hal ini disebut sebagai saksi karena status korban di pengadilan
adalah sebagai saksi yang kebetulan mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti
mengalami sendiri peristiwa tersebut.
5. Saksi de Auditu dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau sering
disebut juga dengan saksi hearsay, adalah keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari
orang lain atau bisa disebut dengan report, gosip, atau rumor.
Saksi ini merupakan saksi yang keterangannya bukan ia lihat, ia dengar maupun ia alami sendiri,
melainkan pengetahuannya tersebut didasarkan dari orang lain. Saksi ini bukanlah alat bukti
yang sah, akan tetapi keterangannya perlu di dengar oleh hakim untuk memperkuat
keyakinannya.
Kemudian jenis-jenis saksi yang secara langsung melihat, mendengar maupun ia alami sendiri
ialah sebagai berikut :
1. Saksi Mahkota (Kroongetuide). Menurut Firma Wijaya, saksi mahkota atau crown witnes
adalah salah satu seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan
perbuatan pidana yang ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku- pelaku lain
dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman.
2. Saksi pelapor (Whistleblower) adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau
terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana
kepada penyelidik atau penyidik.
3. Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah saksi yang juga sebagai pelaku
suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau
hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak
hukum serta memberikan kesaksian dalam proses peradilan.

2. Keterangan ahli
Keterangan ahli menjadi bagian yang memang secara KUHAP mendapatkan satu
prioritas untuk menjadi bagian dalam proses pencarian dan pemeriksaan suatu kebenaran
materiil dalam konteks pidana untuk mengidentifikasi siapa pelaku yang sesungguhnya.
Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP, Keterangan Ahli ialah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang
diperlukan untuk membuat percakapan suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Kemudian dalam ketentuan pasal 186 KUHAP, keterangan ahli merupakan apa yang seorang ahli
nyatakan di dalam persidangan. Menurut Pasal 186 KUHAP, disebutkan dalam penjelasan bahwa
keterangan ahli mungkin juga telah diberikan pada saat pemeriksaan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum yang dibuat dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah pada saat menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh Penyidik dan Penuntut Umum, maka selama pemeriksaan di sidang ahli, perlu
diminta untuk memberikan keterangan dan catatan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Hakim.
Sesuai pada ketentuan dalam KUHAP, keahlian dari seseorang yang memberikan keterangan ahli
tidak hanya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal, namun keahlian
itu juga dapat diterimanya berdasarkan pengalamannya. Perlu dicatat bahwa KUHAP
membedakan keterangan seorang ahli di persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang
disampaikan di depan sidang pengadilan. Ketentuan lain memberikan suatu pendefinisian
tentang saksi ahli yaitu dari California Evidence Code definisi tentang “seorang ahli” sebagai
berikut; “A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill,
experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which
his testimony relates”. Seseorang dapat menyatakan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai
pengetahuan, keahlian atau keterampilan, kemampuan, pelatihan, atau pendidikan khusus yang
diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan
keterangannya). Sebagaimana telah disinggung diatas, Hal yang demikian juga perlu
diperhatikan menyangkut kekuatan alat bukti saksi ahli adalah tidak lepas dari ketentuan Pasal
161 ayat (1) KUHAP, saksi ahli harus disumpah dalam memberikan keterangannya, karena tanpa
disumpah maka dalam keterangannya dianggap sebagai bentuk tambahan hakim dalam
keyakinannya yang dapat mengakibatkan terjadinya kekuatan pembuktian tersebut. Dalam Pasal
1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah: “Keterangan yang diberikan
oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
tentang sesuatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pengertian keterangan ahli ini,
diperjelas kembali dalam Pasal 120 KUHAP yang berkesimpulan bahwa: “Keterangan ahli adalah
orang yang memiliki keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan sesuai dengan
pemahaman yang jelas dan juga yang sebaik-baiknya”. Sedangkan keterangan ahli dinilai sebagai
alat bukti, disebutkan dalam pasal 186 KUHAP, yaitu”Keterangan ahli adalah apa yang seorang
ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
3. Surat
Bukti surat dalam kontek pidana maka yang menjadi dasar dalam kekuatan pembuktikan
yang dibebankan kepada alat bukti surat tentu harus mengacu pada dasar hukum yang
berpatokan pada ketentuan KUHAP. Kekuatan dalam alat bukti surat tentu harus diartikan surat
secara bentuk kekuatan dalam pembuktian yang dengan kriteria surat yang dimaksudkan dalam
ketentuan KUHAP yaitu disebut surat dalam proses perdata juga berlaku bagi proses pidana
yaitu dengan pengertian sebagai berikut. “Surat-surat adalah semua benda yang berisi
tandatanda baca yang dapat dimengerti yang dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”.
Dengan demikian, maka foto-foto dari benda-benda lain, denah-denah (plattegrond), gambar-
gambar keadaan (situatie tekening), bukanlah termasuk surat dalam proses pidana, tetapi
merupakan tanda bukti umpama surat-surat yang dicuri atau dipalsukan.
Surat Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengani sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. Surat lain
yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk
Ketentuan alat bukti menyangkut alat bukti petunjuk yang menjadi dasar adalah pasal
Pasal 188 KUHAP. Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya. Ayat (2) alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat,
dan keterangan terdakwa. Ayat (3) penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Dalam penjelasan Pasal 188 ayat (3) KUHAP, merupakan anjuran kepada hakim untuk
lebih baik menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam hal penilaian pembuktian
kesalahan terdakwa. Karena hanya dalam keadaan mendesak alat bukti ddapat dipergunakan.
Sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan terkait kekuatan pembuktian keterangan
saksi, keterangan ahli, dan alat bukti surat, hanya memiliki sifat kekuatan pembuktian yang
bebas. Yang dimaksudkan adalah:
a) Hakim terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh sebab itu
hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya dalam pembuktian.
b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia
terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Karenanya, agar petunjuk memiliki nilai
kekuatan pembuktian yang cukup maka harus didukung dengan sekurangkurangnya satu alat
bukti lain.
Menurut Ansori Sabuan, bahwa pengakuan terdakwa adalah pernyataan terdakwa bahwa ia
melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah yang bersalah. Namun, karena keterangan
terdakwa bukan merupakan pengakuan bersalah, pemungkiran pun dapat diklasifikasikan
sebagai bukti, sehingga pengertiannya lebih luas dari pengakuan terdakwa. Hal tersebut
dijelaskan pula oleh Andi Hamzah, bahwa dalam pengakuan terdakwa sebagai alat bukti
mempunyai syaratsyarat yaitu:
1) Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan
2) Mengaku ia bersalah Dari kedua syarat inilah dapat disimpulkan bahwa keterangan terdakwa
yang memberikan arti yang lebih ekspansif pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa itu
sendiri.

5. Keterangan terdakwa
Proses pembuktian yang terakhir setelah rangkaian telah dilakukan baik itu barang
bukti, alat bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan termasuk alat
bukti dan barang bukti yang diajukan oleh Terdakwa atau kuasa hukum dari terdakwa itu
sendiri, oleh karena itu, keterangan terdakwa diberikan hak untuk memberikan keterangan di
depan persidangan. Pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan keterangan terdakwa yaitu Pasal
189 KUHAP yang berbunyi:
(1) Keterangan terdakwa adalah apa yang Terdakwa nyatakan dalam sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau bahwa ia telah memahami sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai
berikut:
a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas Hakim tidak terpengaruh oleh nilai kekuatan yang
ada dalam alat bukti untuk keterangan terdakwa. Hakim bebas untuk mengidentifikasi
kebenaran tersembunyi di dalamnya. Jika hakim hendak menjadikan alat bukti keterangan
terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, maka harus dilengkapi
dengan argumentatfi beserta menghubungkan dengan alat bukti yang lain.
b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian Sebagaimana dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
Sejalan dengan asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP. Asas
batas minimumpembuktian menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi pidana kecuali
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
c) Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambil sesuai dengan sistem
pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP yaitu: “Pembuktian menurut undang-undang
secara negatif. Artinya disamping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang
sah maka dalam pembuktian tersebut harus diibarengi dengan keyakinan hakim bahwa
terdakwalah yang benar-benar bersalah melakukan tindak pidana.
2. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang
apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai
apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1)
KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal.
14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam
Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan
mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang
dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.
Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)
b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)
d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan
kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian
mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi
Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik
tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk
melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
a. Merupakan objek materiil
b. Berbicara untuk diri sendiri
c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan.
Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang
memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang
digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh
penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan
barang bukti adalah :
a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana
c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik
berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana,
karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti,
seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang
Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut
sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau
alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi
Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling
bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara
pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat
bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya
harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat
menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

Anda mungkin juga menyukai