PERTEMUAN 15:
JENIS-JENIS ALAT BUKTI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Jenis-jenis Alat Bukti.
Anda diharapkan harus mampu:
1.1 Menentukan Alat Bukti Tulisan
1.2 Menentukan Alat Bukti Saksi
1.3 Menjelaskan Alat Bukti Persangkaan
1.4 Menjelaskan Alat Bukti Pengakuan
1.5 Menjelaskan Alat Bukti Sumpah
B. URAIAN MATERI
Pembelajaran 1.1
Alat Bukti Tulisan
Dalam hukum acara pidana, alat bukti yang paling utama adalah keterangan
saksi.1 Hal ini dikarenakan seseorang yang melakukan tindak pidana berupaya
untuk menyingkirkan atau menghilangkan alat-alat bukti tulisan dan apa saja yang
memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga
dapat menyulitkan penyidik, penuntut umum serta hakim dalam mengungkapkan
kebenaran perbuatan pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dicari dari keterangan
orang-orang yang secara kebetulan melihat, mendengar atau mengalami sendiri
kejadian yang merupakan tindak pidana aquo.
Menjadi hal yang berbeda jika di dalam hukum acara perdata, bukti tertulis
merupakan alat bukti yang paling utama, sehingga dalam praktek berbisnis dalam
masyarakat, para pihak harus datang kepada notaris untuk membuat akta-akta
sesuai dengan yang mereka butuhkan dalam hubungan bisnisnya. Jika pihak yang
membutuhkan tidak memiliki bukti-bukti berupa tulisan maka orang yang
1
Dalam Pasal 184 KUHAP dinyatakan alat-alat bukti dalam perkara pidana adalah:a.keterangan
saksi:b.keterangan ahli:c.surat:d.petunjuk:e.keterangan terdakwa.
2
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h.118-119
3
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT.
Pelita Aditama, Bandung, 2005, h. 100.
3. Material Evidence
a. Perdata (tidak dikenal)
b. Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang
yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan
hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak
pidana dan informasi dalam arti khusus)
4. Electronic Evidence
Konsep pengelompokan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik.
Konsep ini terutama berkembang di negara-negara common law.
Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan
alat bukti yang termasuk kategori documentary evidence.
Adapun menurut BW maupun RBg atau HIR, pengelompokan alat-alat bukti
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu antara lain:4
1. Bukti Tulisan (surat)
Dalam menjalankan kegiatan usaha, para pihak sering membuat surat-surat
atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, baik yang
bersifat administrasi maupun yang bernilai uang. Surat yang bernilai uang disebut
surat berharga ( warde paier atau negonable instrument) serta surat berharga yang
tidak bernilai uang ( papier van warda atau latter of velue )5
Dari uraian di atas, maka lahirlah beberapa bentuk surat berharga sebagai alat
bukti, antara lain sebagai berikut:
1). Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh
pembuatnya.6 Unsur penting yang digolongkan dalam pengertian akta adalah
kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti. Oleh karena itu, unsur yang
paling penting terkait dengan pembuktian adalah tandatangan. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 1874 BW, mengatur tentang syarat penandatanganan, dengan
penegasan bahwa barangsiapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap
mengetahui isinya dan bertanggung jawab. dan unsur tandatangan itu, diperlukan
4
Zainal Asikin, Op.Cit, h.120-121.
5
Zainal Asikin, Hukum Dagang, PT. RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2013, h.78.
6
Riduan Syahrani, Sistem Peradilan dan Hukum Acara Perdata di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2016, h. 88.
sebagai identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu
dengan akta lainnya. Perlu diingat bahwa tidak semua surat dapat dikatakan
sebagai akta. Jadi dengan adanya tandatangan seseorang di dalam suatu akta
dapat menjamin kebenaran tentang apa yang ditulis dalam akta tersebut. Maksud
dari penandatanganan adalah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang
merupakan spesialisasi suatu surat atas nama pembuat. Perbuatan tandatangan
harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan atas kehendaknya. Disamping itu,
sidik jari atau cap jempol dianggap identik dengan tandatangan, asalkan dikuatkan
dengan surat keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh undang-undang (waarmerking).
Fungsi akta ditinjau dari segi hukum pembuktian, antara lain yaitu:
(a) Akta berfungsi sebagai formalitas kausa
Maksud dari fungsi akta sebagai formalitas kausa adalah suatu akta berfungsi
sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Jadi jika
perbuatan hukum itu, tidak dibuat dalam bentuk akta maka perbuatan hukum
tersebut dianggap tidak pernah terjadi.7
(b) Akta berfungsi sebagai alat bukti
Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Jadi tujuan utama pembuatan
suatu akta adalah diperuntukan dan dipergunakan sebagai alat bukti.
Pada saman sekarang ini, seluruh aspek kehidupan manusia yang terkait
dengan kepentingan hukumnya, acap kali dibuat dalam bentuk akta.
Misalnya, jual-beli, harus dibuat dengan Akta Jual beli dan lainya.
(c) Akta berfungsi sebagai probationis kausa
Fungsi akta sebagai probationis kausa berarti, akta sebagai satu-satunya alat
bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Dengan
demikian, fungsi akta tersebut merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal
atau peristiwa tertentu. Tanpa akta suatu peristiwa atau hubungan hukum
yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta tersebut
bersifat spesifik. Misalnya, suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
adanya akta perkawinan. Atau hak tanggungan hanya dapat dibuktikan
dengan akta hak tanggungan sesuai ketentuan pasal 10 Undang-undang
7
M.Yahyah Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 565.
Nomor 4 Tahun 1996. Begitu juga jaminan fidusia dapat dibuktikan dengan
adanya akta fidusia berdasarkan ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 4
Tahun 1999.
Mengenai Akta ini, dapat dibedakan menjadi beberapa akta yaitu:
(a) Akta Autentik
Pengaturan terkait akta autentik ditegaskan dalam Pasal 1868 BW, yang
berbunyi: Suatu akta autentik akta adalah akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. 8
Oleh karena itu, jika suatu
akta dibuat tidak dihadapan pejabat yang berwenang atau bentuknya cacat,
maka akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
autentik, namun akta tersebut hanya bernilai sebagai akta dibawah tangan,
jika akta tersebut ditandatangani.9 Disamping itu, mengenai akta autentik juga
diatur dalam ketentuan Pasal 285 RBg Jo Pasal 165 HIR, menyebutkan
bahwa; “ Akta autentik adalah suatu surat yang dibuat menurut ketentuan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang
segala hal yang tersebut di dalam surat itu sebagai pemberitahuan.10
(b) Akta dibawah tangan
Pengaturan mengenai akta dibawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur di
dalam Stb. 1867 No. 29, tidak diatur dalam HIR. Namun untuk luar Jawa dan
Madura diatur dalam Pasal 286 – 305 RBg. 11
Dalam Pasal 286 Ayat (1) RBg, dinyatakan bahwa:
“dipandang sebagai akta dibawah tangan yaitu; surat, daftar, surat urusan
rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak
memakai bantuan seorang pejabat umum”.
Pasal 1874 BW, menyatakan bahwa:
8
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Internusa, Jakarta, 1992, h. 585
9
M.Yahyah Harahap, Op.Cit,h.566
10
Zainal Asikin, Op.Cit, h.123.
11
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV.
Mandar Maju, Bandung 2005, h. 56.
12
M.Yahyah Harahap, Op.Cit,h.607
oleh yang bersangkutan tetapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat
pembuktian di kemudian hari. 13
Pembelajaran 1.2
Alat Bukti Saksi
13
Zainal Asikin, Op.Cit, h.127.
14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yoyakarta, 1981,h.166.
ditentukan. Mengenai ketidak hadiran seorang saksi dalam perkara perdata, secara
tegas telah diatur dalam Pasal 139-142 HIR, apabila seorang saksi tidak datang
maka para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
walaupun secara paksa sesuai ketentuan Pasal 141 Ayat (2) HIR.
Syarat-syarat alat bukti saksi, sebagai berikut:
1. Orang yang cakap
Cakap adalah orang yang bertindak menjadi saksi itu, tidak dilarang menurut
Pasal 145 HIR Jo Pasal 172 RBg dan Pasal 1909 BW, antara lain yaitu:
1) Keluarga sedarah dan semendah menurut garis lurus dari salah satu
pihak.
2) Suami istri dari salah satu pihak meskipun telah bercerai, namun dalam
perkara tertentu dapat menjadi saksi sesuai Pasal 145 Ayat (2) HIR Jo
Pasal 1910 Ayat (2) BW.
3) Anak yang belum cukup umum 15 Tahun sesuai Pasal 145 ke-3 HIR Jo
Pasal 1912 BW.
4) Orang gila, sesuai Pasal 1912 BW.
5) Orang yang dalam tahanan selama proses persidangan berlangsung atas
perintah hakim, sesuai Pasal 1912 BW,
2. Keterangan disampaikan di muka persidangan pengadilan
Keterangan saksi sebagai alat bukti itu, harus disampaikan di muka
persidangan sesuai ketentuan Pasal 144 HIR Jo Pasal 171 RBg dan Pasal
1905 BW.
3. Diperiksa satu per satu
Saksi yang dihadirkan di persidangan dapat diperiksa satu per satu, mengenai
identitas, serta hubungan keluarga dengan para pihak, sesuai Pasal 144 Ayat
(1) dan (2) HIR Jo Pasal 171 Ayat(1) RBg.
4. Mengucapkan sumpah
Pengucapan sumpah dari saksi sebelum dimintai keterangan di muka
persidangan merupakan syarat formil. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 147 HIR
Jo Pasal 175 RBg dan Pasal 1911 BW. Pengucapan sumpah menurut
Agamanya sebelum bersaksi merupakan kewajiban untuk menerangkan yang
sebenar-benarnya dari apa yang sebenarnya (sistem promisoris).
Pembelajaran 1.3
Alat Bukti Persangkaan
16
Zainal Asikin, Ibid, h. 132
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR Jo Pasal 284 RBg, Pasal 1866 BW,
mengatur tentang persangkaan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara perdata.
Dan pengaturan mengenai persangkaan, ditegaskan dalam Pasal 173 HIR Jo Pasal
130 RBg dan Pasal 1915 – Pasal 1922 BW. Jika ditinjau dari ketentuan tersebut
di atas maka yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan yang oleh
undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum
ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Dan menurut Prof. Subekti,
S.H., Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa
yang sudah terang dan nyata.17
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagai berikut:
1. Persangkaan undang-undang (wattelijke vermoeden)
Persangkaan undang-undang merupakan suatu peristiwa yang oleh undang-
undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Persangkaan yang lahir dari
ketentuan undang-undang, sehingga kesimpulan yang dilakukan oleh hakim
atas dasar undang-undang itu, disebut juga sebagai persangkaan undang-
undang. Misalnya, mengenai pembayaran sewa. Apabila terdapat bukti
pembayaran selama tiga kali terturut-turut, maka hal itu dapat membuktikan
bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
2. Persangkaan hakim (rechtelijke vermoeden)
Persangkaan hakim adalah suatu peristiwa yang oleh hakim disumpulkan
untuk membuktikan peristiwa lain. Misalnya dalam suatu perkara perceraian
yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini oleh
tergugat dibantah maka penggugat mengajukan saksi yang menerangkan
bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan
menjalani hidup masing-masing selama bertahun-tahun.18
17
Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari http:/ / po-
box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html di Dalam Zainal Asikin,
Ibid, h.133.
18
Zainal Asikin, Ibid, 133
didasarkan pada alasan perzinaan itu, sangat sulit untuk dibuktikan baik melalui
bukti surat maupun bukti saksi, maka untuk membuktikan peristiwa perzinaan,
hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan. Persangkaan merupakan
kesimpulan yang ditarik oleh hakim atas konstruksi berpikir yang sistematis dari
suatu peristiwa yang disengketakan, maka disebut persangkaan hakim.
Persangkaan merupakan kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau
majelis hakim terhadap suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa
yang belum terang kenyataannya. Dengan kata lain persangkaan adalah
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang sudah terbukti ke arah peristiwa
yang belum terbukti.
Berikut ini adalah contoh-contoh persangkaan undang-undang;
1) Setiap tembok yang dipakai sebagai pembatas antara 2 (dua) pekarangan maka
tembok itu dianggap sebagai milik bersama antara 2 (dua) pemilik pekarangan
yang berbatasan itu, kecuali ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang
menunjukkan sebaliknya. (Pasal 633BW)
2) Setiap anak yang dilahirkan selama perkawinan maka suami dari perempuan
yang melahirkan adalah ayahnya (Pasal 250 BW)
3) Tiap benda bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang harus dibayar
kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai
pemiliknya (Pasal 1977 Ayat (1) BW) 19
Apabila ditinjau dari persangkaan undang-undang dan persangkaan hakim
maka dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Persangkaan atas dasar kenyataan (feitelijke /rechtelijke vermoedens atau
praesumptiones facti).
Dalam hal ini, hakim memutuskan berdasarkan kenyataan bahwa persangkaan
tersebut berkaitan erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan
pembuktian. Misalnya, persangkaan dalam perkara perzinaan, seorang pria
dan wanita dewasa yang bukan suami istri, tidur bersama di satu tempat tidur
dalam suatu kamar, perzinaan itu telah terjadi menurut persangkaan hakim.20
b. Persangkaan atas dasar hukum atau undang-undang (wattelijke vermoeden
atau rechtsvermoedens atau praesumptiones juris)
19
Riduan Syahrani,Op.Cit, h. 104.
20
Hari Sasangka, Op.Cit, h. 96.
Pembelajaran 1.4
Alat Bukti Pengakuan
21
Zainal Asikin, Op.Cit, h.134
22
Philip Huxley, Law of Evidence: Sases and Materials, Blackstone Press, London,h.167, Dalam
M.Yahyah Harahap, Op.Cit,h.722.
Apabila pengakuan yang tetjadi di luar sidang pengadilan yang dibuat secara
tertulis tentang pengakuan tersebut maka pengakuan tertulis itu dapat digolongkan
sebagai bukti tulisan bukan akta, yang juga mempunyai kekuatan pembuktian
yang bersifat bebas. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang pengadilan dapat
ditarik kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 176 HIR Jo Pasal 1924 BW, yang secara
substansi kedua pasal itu, menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya dan hakim tidak bebas untuk
menerima sebagiannya saja dan menolak sebagian lain, sehingga merugikan
orang yang mengakui itu: yang demikian itu hanya boleh dilakukan, kalau orang
yang berutang dengan maksud untuk melepaskan dirinya, menyebutkan peristiwa
yang terbukti tidak benar”. Jika ditinjau dari ketentuan di atas, maka pengakuan
harus diterima secara bulat. Hakim tidak boleh memisah-misahkan pengakuan
dengan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu dibuktikan lagi
dan menolak sebagian dari pengakuan sehingga masih perlu dibuktikan lebih
lanjut. Misalnya, Penggugat, Tuan A menyatakan dalam gugatannya bahwa telah
menjual dan menyerahkan sejumlah barang kepada Tergugat, Tuan B. Oleh
karenanya Tuan A selaku penjual menuntut pembayaran harga barang terhadap
Tuan B. Dalam jawaban, Tuan B mengakui membeli sejumlah barang dari Tuan A
dan telah menerimanya tetapi harganya telah dibayar. Dalam contoh kasus di
atas, pengakuan Tuan B, tidak boleh dianggap mengakui dalil-dalil yang
dikemukakan Tuan A, tentang penjualan dan penyerahan barang. Jadi Tuan A,
tetap diwajibkan untuk membuktikan adanya kontrak penjualan dan penyerahan
barang, meskipun telah diakui Tuan B. Menurut ketentuan tersebut di atas,
Kewajiban Tuan A membuktikan apa yang menjadi beban pembuktian bagi
pihaknya, terkait kontrak jual beli dan bukti penyerahan barang. Akan tetapi jika
surat kontrak dan bukti penyerahan barang tidak dapat dibuktikan karena telah
hilang, namun menurut kedua ketentuan tersebut, terkait kontrak jual beli dan
bukti penyerahan barang walaupun telah diakui Tuan B, Tuan A tetap
berkewajiban untuk membuktikannya.
Apabila ketentuan Pasal 1924 BW, dihubungkan dengan ketentuan Pasal
1925 BW, secara hukum terdapat klasifikasi pengakuan, antara lain yaitu:
Pembelajaran 1.5
Alat Bukti Sumpah
23
Riduan Syahrani, Op.Cit, h.109
24
M.Yahyah Harahap, Op.Cit,h.735-736.
1929-1945 BW. Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ditempatkan di
bagian akhir, yang memberikan kesan bahwa alat bukti sumpah ini tidak penting.
Akan tetapi dalam praktek hukum acara perdata, alat bukti sumpah sering
diterapkan untuk mengakhiri sengketa.
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau
pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan,25 dengan tujuan:
1. Agar orang yang bersumpah dalam memberikan keterangan atau pernyataan
itu, takut atas murka Tuhan, jika dia berbohong;
2. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong
bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya;
Takut atas murka atau hukuman Tuhan ada benarnya bagi orang yang jujur
untuk menerangkan dengan sebenarnya. Akan tetapi sebaliknya, bagi yang tidak
jujur sumpah bukan merupakan jaminan akan berkata benar, karena bagi mereka
kebohongan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan
mereka. Apa lagi bagi yang tidak percaya kepada Tuhan, kebohongan merupakan
hal biasa. Karena orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak takut akan murka
atau hukuman Tuhan.
Secara teori maupun praktek, seseorang tidak dapat menjamin tentang
kebenaran atau kebohongan sumpah sebagai alat bukti. Dan secara materiil juga
tidak seorangpun dapat menjamin kebenaran ikrar atau lafal sumpah yang
diucapkan dalam persidangan. Akan tetapi undang-undang telah menentukan, jika
seseorang telah mengucapkan sumpah dalam persidangan dalam kedudukan dan
kapasitasnya sebagai pihak dalam perkara yang sedang diperiksa, secara formil,
keterangan yang diucapkannya itu wajib dianggap benar. Dalam ketentuan Pasal
1936 BW, melarang untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu. Dan juga
ditegaskan dalam Pasal 177 HIR, yang menyatakan bahwa tidak boleh diminta
alat bukti lain untuk membuktikan hal yang sudah diikrarkan dalam sumpah. Oleh
karena itu, sumpah memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, hakim
dilarang menilainya sebagai sumpah palsu, kecuali telah dibuktikan dengan
putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
25
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h.147
Syarat formil sumpah sebagai alat bukti yang sah menurut hukum, antara lain
sebagai berikut:
1) Sumpah Diucapkan Dengan Lisan
Sumpah sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata adalah ikrar yang
diucapkan oleh yang bersumpah. Ikrar tidak mungkin dilakukan selain
diucapkan secara lisan. Oleh karena itu, sumpah sebagai alat bukti:
a. Mesti berbentuk lisan yaitu diucapkan secara lisan
b. Tidak sah jika dilakukan dalam bentuk tertulis
Karena di dalam teori pembuktian, bentuk tertulis merupakan alat bukti
tulisan atau akta (surat) bukan sumpah. Jika bagi yang tuna rungu atau
bisu pelaksanaan sumpah dapat dilakukan dengan bahasa isyarat yang
didampingi oleh orang yang mengerti bahasa isyarat dari yang
bersangkutan.
2) Diucapkan di Muka Hakim dalam Persidangan
Mengenai pengaturan syarat yang kedua, telah ditegaskan dalam Pasal 1929
dan 1944 BW, sumpah diucapkan di hadapan hakim yang memeriksa perkara.
Atau menurut Pasal 158 Ayat (1) HIR, sumpah selalu dilakukan dalam sidang
Pengadilan Negeri.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1929 BW, menegaskan tentang klasifikasi
sumpah, yang terdiri dari sumpah pemutus atau penentuh (decisoir eed) dan
sumpah tambahan (suppletoir eed) serta sumpah penaksir (aestimatoire eed),26
berikut dapat dijelaskan antara lain:
a) Sumpah Pemutus (decisoir eed),
Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu
pihak yang berperkara kepada lawannya. Sumpah penutus ini dapat dibebankan
atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali pada setiap saat
selama pemeriksaan perkara berjalan di Pengadilan Negeri.
Inisiatif untuk membebani sumpah pemutus adalah salah satu pihak yang
berperkara dan dialah yang menyusun rumusan-rumusan sumpahnya.
26
M.Yahyah Harahap, Op.Cit,h.750
27
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, h.61
bahwa, hakim karena jabatannya dapat memerintahkan salah satu pihak yang
berperkara untuk mengangkat sumpah supaya dengan sumpah itu dapat
diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
c) Sumpah Penaksir (aestimatoire eed)
Pengaturan mengenai sumpah penaksir diatur dalam Pasal 155 Ayat (1) HIR
Jo Pasal 1940 BW. Sumpah penaksir diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti
rugi atau harga barang yang akan dikabulkan. Sumpah penaksir merupakan salah
satu alat bukti sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa
jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Jika dalam
persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang
sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntut, begitu juga bagi tergugat
tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang
sebenarnya. Taksiran mengenai nilai ganti rugi atau harga barang itu dapat
ditetapkan melalui pembebanan sumpah penaksir. Tujuan dari sumpah ini, untuk
menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Dengan
demikian, penerapan sumpah ini dapat dilakukan jika sama sekali tidak ada bukti
dari kedua belah pihak yang dapat membuktikan jumlah yang sebenarnya. Apabila
ada bukti mengenai berapa harga barang atau nilai barang maka sumpah penaksir
tidak boleh diterapkan.
Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010
dari http:/ / po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-
bukti.html di Dalam Zainal Asikin,
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, PT. Pelita Aditama, Bandung, 2005.
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Internusa,
Jakarta, 1992.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk
Mahasiswa dan Praktisi, CV. Mandar Maju, Bandung 2005.
M.Yahyah Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta,
2005.
Philip Huxley, Law of Evidence: Sases and Materials, Blackstone Press,
London,h.167, Dalam M.Yahyah Harahap,
Riduan Syahrani, Sistem Peradilan dan Hukum Acara Perdata di Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yoyakarta, 1981.
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2015.