Anda di halaman 1dari 4

Pembuktian dalam acara perdata di Indonesia

Pembuktian termasuk alat bukti yang digunakan, semuanya berdasarkan hukum acara
persidangan masing-masing perkara. Demikian pula halnya dalam persidangan perkara perdata,
mengenai apa saja alat bukti yang sah dan bagaimana cara pembuktiannya, telah diatur dalam
hukum acara perdata.

Dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh karena itu, hakim terikat
hanya kepada alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, hakim dalam
pemeriksaan perkara perdata bersifat pasif, tergantung dari para pihak yang bersengketa. Akan
tetapi, dalam rangka mencari kebenaran materiil atas perkara yang diajukan oleh para pihak, hakim
perdatapun bersifat aktif.

Pembuktian dalam perkara perdata, khususnya di Indonesia tidaklah terlepas dari buku ke
4 KUHPerdata yang mengatur mengenai pembuktian dan daluwarsa. Selain KUHPerdata, masalah
pembuktian perkara perdata di Indonesia juga diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibaharui,
Staatblad 1941, no 44 (RIB/HIR), dan di dalam Reglement Buiten Gewesten (RBG) atau
Reglement Daerah Seberang (RDS).

Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS disebutkan alat-alat bukti terdiri dari bukti tulisan
atau bukti dengan surat; bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan dan sumpah.
Sementara itu, alat bukti ahli atau keterangan ahli berdasarkan hukumnya terdapat dalam RIB dan
RDS berikut ini adalah alat-alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia.

Bukti Tulisan / Bukti dengan Surat


Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam
pemeriksaan perkara perdata di dalam pengadilan. Secara garis besar, bukti tulisan atau bukti
dengan surat terdiri atas 2 macam, yaitu akta dan tulisan atau surat-surat lain.
Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
dipahami bahwa suatu surat dapat dianggap akta jika memiliki ciri sengaja dibuat dan
ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Akta
diatur dalam KUHPerdata Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1880 dan dalam RIB serta RDS.

Ada 2 macam akta yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan. Pertama, akta autentik
atau akta resmi yang berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang dibuat oleh atau
dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-
surat akta tersebut di tempat dimana akta itu dibuat. Pejabat umum yang dimaksud ialah notaris,
hakim, pegawai pencatatan sipil, panitera pengadilan, jurusita, dsb. Berdasarkan undang-undang,
suatu akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena jika suatu pihak
mengajukan akta autentik hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan dalam
akta itu sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan
pembuktian lagi.

Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS akta autentik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
autentik yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta yang dibuat oleh
pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang memang diberi wewenang untuk itu yang mana
pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengar, serta apa yang dilakukan oleh pejabat
tersebut. Intinya pembuatan akta itu dating dari pejabat itu sendiri atau merupakan kewajibannya
pekerjaannya, bukan dari pihak yang namanya tercantum dalam akta tersebut. Misalnya berita
acara lelang oleh pejabat lelang, berita acara rapat oleh notaris, dsb. Sedangkan akta para pihak
adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, bisa dilakukan oleh
para pihak sendiri di hadapan pejabat berwenang ataupun dibuatkan oleh pejabat berwenang
berdasarkan permintaan para pihak. Dengan demikian akta itu mengandung keterangan-
keterangan dari 2 pihak yang menghadap di hadapan pejabat umum misalnya notaris. Sehingga
pejabat umum ini sebenarnya hanya membantu menetapkan apa yang diterangkan oleh para pihak
yang menghadap tersebut. Misalnya akta jual beli, sewa menyewa, dsb.

Kedua, akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan
perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat
perjanjian atau akta itu mengakui atau tidak menyangkal tanda tangannya, berarti ia mengakui atau
tidak menyangkal kebenaran hal yang tertulis dalam surat perjanjian atau akta itu, akta di bawah
tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta autentik.
Sebaliknya, jika tanda tangan itu di sangkal, pihak yang mengajukan surat perjanjian atau akta
tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta tersebut.
Singkatnya, yang dibebani beban pembuktian adalah orang yang akan mempergunakan akta di
bawah tangan tersebut.

Oleh karena itu akta memang merupakan cara pembuktian yang paling utama. Misalnya
Pasal 1851 KUHPerdata mengharuskan bahwa suatu perdamaian hanyalah sah jika dibuat secara
tertulis. Artinya untuk suatu akta perdamaian paling tidak harus dibuktikan dengan akta di bawah
tangan. Contoh lain pasal 1682 KUHPerdata yang menyatakan suatu hibah dapat dilakukan dengan
akta autentik yang dibuat oleh notaris artinya, pembuktian terhadap adanya hibah berpegang pada
ada atau tidaknya akta autentik notaris.

Selain akta, bukti semua tulisan seperti surat-surat pada dasarnya merupakan suatu bukti
terhadap siapa yang membuatnya. Kekuatan pembuktian surat-surat atau tulisan tersebut adalah
sebagai alat bukti bebas. Artinya hakim tidak harus mempercayai surat-surat atau tulisan-tulisan
tersebut kecuali diperkuat oleh alat bukti lainnya.
Saksi
Saksi yang dimaksudkan adalah saksi fakta. Dalam perkara perdata, jika bukti tulisan
kurang cukup, pembuktian selanjutnya adalah dengan menggunakan saksi yang dapat
membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang. Ada saksi yang
dihadirkan ke pengadilan secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu
peristiwa namun ada juga saksi yang dihadirkan dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu
peristiwa hukum pada saat peristiwa itu dilakukan di masa lampau.

Berdasarkan konstruksi Pasal 1902 KUHPerdata, terlihat jelas bahwa bukti tulisan
merupakan hal yang utama dalam pembuktian perkara perdata. Ketentuan-ketentuan pembuktian
dengan saksi dalam perkara perdata pada dasarnya sama dengan pembuktian dengan saksi dalam
perkara lain pada umumnya. Misalnya ketentuan umum perihal saksi terkait asas unus testis nullus
testis juga dianut dalam pembuktian perkara perdata. Ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata,
RIB dan RDS menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa didukung oleh alat bukti
lain tidak boleh dipercaya pengadilan. Intinya, hal yang diterangkan oleh saksi di depan sidang
pengadilan adalah hal yang saksi lihat, didengar, dialami, atau diketahui berkaitan dengan
peristiwa yang sedang di sengketakan.

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi di depan pengadilan dalam pengertian ada
kewajiban hukum untuk memberikan kesaksian di muka hakim. akan tetapi, seseorang dapat
meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Orang-orang tersebut adalah: a.
seseorang yang ada pertalian kekeluargaan darah dalam garis samping dalam derajat kedua atau
semenda dengan salah satu pihak; b. seseorang yang ada pertalian darah dalam garis lurus tidak
terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak; c.
seseorang yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang,
diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian. Contohnya seorang notaris berhak
meminta untuk dibebaskan sebagai saksi jika perkara yang disidangkan menyangkut akta yang
dibuatnya.

Selain itu juga ada orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi dan tidak
boleh didengarkan keterangannya sebagai saksi di depan pengadilan, yaitu para anggota keluarga
dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak. Demikian juga suami atau istri, meskipun
telah bercerai.

Keabsahan saksi sebagai alat bukti jika kesaksian tersebut diberikan di bawah sumpah.
Artinya, setiap saksi diwajibkan, menurut cara agamanya, bersumpah atau berjanji bahwa ia akan
menerangkan hal yang sebenarnya. Selain itu, kesaksian tersebut harus disampaikan di depan
sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Persangkaan-persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan-persangkaan adalah alat bukti yang bersifat
pelengkap. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. Dalam Pasal
1915 KUHPerdata, persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya.
Demikian juga satu persangkaan bukanlah alat bukti. Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-
kesimpulan yang diambil berdasarkan undang-undang atau berdasarkan pemikiran hakim dari
suatu peristiwa. Dengan demikian terdapat 2 jenis persangkaan yaitu persangkaan menurut
undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang atau persangkaan yang
berdasarkan fakta.

Anda mungkin juga menyukai