Anda di halaman 1dari 17

HUKUM ACARA PERDATA

ALAT BUKTI
A. Alat Bukti Surat

Oleh: Indra Kesuma Hadi, S.H., M.H


Alat Bukti
Majelis hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang
diatur dalam undang-undang.
Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan
alat-alat bukti yang telah diatur undang-undang.

Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran


hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh
penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara
perdata.
Alat bukti merupakan sesuatu yang sebelum diajukan
ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat
bukti.
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164
HIR dan 284 RBg, alat bukti dalam perkara perdata
ada lima, yaitu:
1. Bukti tertulis atau surat;
2. Bukti saksi;
3. Persangkaan;
4. pengakuan; dan
5. sumpah.

Pasal 153 dan 154 HIR:


Pemeriksaan setempat dan keterangan ahli.
A. Bukti tertulis atau surat
Alat bukti tertulis atau surat diatur di dalam Pasal 1867 s.d
1894 KUHPerdata, Pasal 165 s.d. 167 HIR dan Pasal 285 s.d.
305 RBg.

Surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan


untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti.

alat bukti surat

surat akta bukan surat akta

otentik Tidak otentik


Maka dengan demikian, sebuah surat
akta harus memiliki sekurang-kurangnya
tiga unsur:
1. Harus ada tanggal dan tandatangan;
2. Harus memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar dari suatu
perikatan atau menjadi dasar dari
suatu hak; dan
3. Harus dibuatnya sengaja
dimaksudkan untuk pembuktian.
Akta Autentik/otentik

Akta otentik

akta ambtelijk akta partai

Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, merupakan kehendak dari pejabat umum
tersebut. Jadi isinya dia menerangkan apa yang dilihat, didengar,
dan dilakukannya.
Akta partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat publik,
yang merupakan sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para
pihak, yang menerangkan apa yang dilihat, didengar dan
dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui
keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda
tangan mereka.
Ada tiga macam kekuatan bukti akta otentik,
yaitu:
1. Kekuatan bukti lahir;
2. Kekuatan bukti formal; dan
3. Kekuatan bukti material.
Kekuatan bukti lahir berkenaan dengan syarat-syarat
formal

Kekuatan bukti formal berkenaan dengan masalah


kebenaran formalitas peristiwa yang dinyatakan dalam
akta otentik.

Kekuatan bukti material berkenaan dengan kebenaran isi


akta otentik. Artinya, benar bahwa yang tercantum dalam
akta otentik seperti menurut kenyataannya.
Akta tidak otentik

Akta tidak otentik sering disebut juga akta di bawah


tangan (onderhandsch akte), yaitu akta yang tidak
dibuat oleh pejabat publik yang berwenang untuk itu,
melainkan dibuat sendiri serta ditandatangani atau
membubuhkan cap jari oleh para pihak yang
berkepentingan dengan tujuan untuk dijadikan alat
bukti bagi mereka serta para ahli waris dan mereka
yang mendapatkan hak darinya

Akta tidak otentik tidak memiliki kekuatan bukti lahir,


karena tanda tangan dapat dipungkiri, sedangkan
kekuatan bukti formal dan material sama dengan akta
otentik.
Bedanya kekuatan Akte otentik dan Akte bawah
tangan

Apabila pihak lain mengatakan, bahwa isi Akte otentik


itu tidak benar, maka pihak yang mengatakan itulah
yang harus membuktikan, bahwa akte itu tidak benar,
sedangkan pihak yang memakai Akte itu tidak usah
membuktikan, bahwa isi akte itu betul.

Sedangkan pada akte bawah tangan, apabila ada pihak


yang meragukan kebenaran akte tersebut, maka pihak
ini tidak perlu membuktikan, bahwa akte itu tidak
betul, akan tetapi pihak yang memakai Akte itulah
yang harus membuktikan bahwa akte itu adalah betul.
Surat bukan akta

Surat bukan akta yaitu surat yang tidak ada


tanda tangan para pihak. Kekuatan bukti
surat bukan akta diserahkan pada kebijakan
majelis hakim, apakah menganggapnya
mempunyai kekuatan bukti sempurna atau
menganggapnya sebagai permulaan bukti
tertulis dalam hal surat bukan akta diajukan
ke muka sidang pengadilan.
Contoh: kercis parkir sepeda motor,
catatan-catatan.
Syarat pengajuan alat bukti surat di pengadilan:

1. Di dalam pemeriksaan persidangan, salinan atau


fotocopy dari alat bukti tertulis harus dicocokkan
dengan aslinya terlebih dahulu dan harus pula diberi
materai secukupnya.

2. Surat perjanjian atau surat lainnya tentang


perbuatan, kenyataan atau keadaan yang sejak
semula dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat bukti perdata, maka sejak semula harus
diberi materai.

3. Tanpa materai alat bukti tersebut tidak merupakan


alat bukti yang sah, sehingga tidak bisa
dipertimbangkan.
Tata Cara Pemeriksaan alat bukti surat

Pasal 137 HIR/164 RBg.


Pasal ini memberikan kesempatan kepada ke dua
belah pihak yang berperkara untuk saling
mengontrol dengan meyakinkan isi surat-surat
yang sebagai bukti oleh kedua belah pihak
diserahkan kepada hakim, dengan mata sendiri
melihat dan memeriksa apakah ada alasan untuk
menyangkal keabsahan surat-surat itu.
Pasal 138 HIR/165 RBg.
1. Apabila surat keterangan yang diserahkan oleh
salah satu pihak kepada hakim dibantah
kebenarannya oleh pihak yang lain, maka keaslian
surat keterangan itu akan diperiksa dan diputuskan
lebih dahulu, sebelum meneruskan pemeriksaan
pokok gugatannya.
2. Jika ternyata buat keperluan pemeriksaan surat
keterangan itu perlu dicocokkan dengan surat yang
dipegang oleh penyimpan umum, maka Pengadilan
Negeri dapat memerintahkan kepada penyimpan
umum itu untuk menyerahkan surat itu kepada
pengadilan untuk diperiksa dalam sidang yang akan
ditentukan lebih lanjut.
3. Apabila ternyata ada keberatan untuk mengirimkan
surat itu, misalnya karena jauhnya tempat tinggal
penyimpan atau sebab lain-lainnya, maka Pengadilan
Negeri yang berkepentingan memerintahkan agar
supaya pemeriksaan terhadap surat itu dilakukan oleh
Pengadilan Negeri di tempat penyimpanan umum itu.
Berita acara pemeriksaan tersebut dikirimkan kepada
pengadilan yang minta pemeriksaan.
4. Penyimpan umum yang tanpa sebab yang sah tidak memenuhi
perintah untuk memperlihatkan atau mengirimkan surat itu
dapat dipaksa dengan paksaan badan serupa sandera (gijzeling).
5. Yang disebut "penyimpan umum" di atas adalah pejabat yang
karena kedudukannya dibebani dengan tugas dan kewajiban
menyimpan dan memelihara surat-surat, akte-akte, daftar-daftar
dan lain sebagainya yang sifatnya umum, seperti misalnya
Notaris, Pegawai Pencatatan Sipil, Penyimpan Pendaftaran tanah
dan lain sebagainya.
6. Menurut ayat (7) dan ayat (8) pasal 138 ini maka apabila
pemeriksaan surat tersebut menimbulkan sangkaan bahwa surat
ini palsu, maka segala surat-surat yang mengenai hal itu
disampaikan kepada Jaksa, yang berwajib untuk menuntut
kejahatan itu berdasarkan pasal 242 KUHP.
7. Berhubung dengan itu maka pemeriksaan
perkara gugatan perdata dipertangguhkan
dahulu sampai perkara penuntutan pidana
terhadap pemalsuan itu diputuskan.
8. Apa yang tersebut di atas itu adalah suatu
perkara pidana yang dapat mempengaruhi
pemeriksaan perkara perdata. Sebaliknya
sering terjadi pula bahwa pemeriksaan
perkara perdata dapat mempengaruhi juga
pemeriksaan perkara pidana.

Anda mungkin juga menyukai