Anda di halaman 1dari 14

B.

Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata


Dalam Pasal 164 HIR, 284 Rbg. Dan pasal 1866 KUH Perdata dikenal 5 macam alat-alat
bukti berikut.
- Bukti surat
- Bukti saksi
- Persangkutan
- Pengakuan dan
- Sumpah
Pengajuan alat-alat bukti untuk diteliti, dinilai dipertimbangkan dan diadili (diputus
merupakan wewenang mutlah yudexfacti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Tegasnya
diterima atau ditolaknya pembuktian merupakan wewenang yudex facti dan pada tingkat kasasi
tidak dibenarkan untuk mengajukan alat-alat bukti.

1. Surat
Dalam praktik, surat disebut juga alat bukti tulisan yang merupakan alat bukti pertama
dan utama. Disebut pertama karena urutannya dalam pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866
KUH Perdata gradiasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya, sedangkan
disebut utama karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formil antara alat bukti
surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. Dalam
praktik, peradilan perdata alat bukti surat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu surat
biasa, akta autentik, dan akta di bawah tangan.
Dalam hal surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti, akan
tetapi jika kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan, hal ini bersifat
insidentil (kebetulan) contoh surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang, buku catatan
penggunaan uang, surat cinta dan lain-lain. Contoh konkret terhadap surat biasa yang kemudian
dijadikan alat bukti di persidangan tampak ada Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor
65/Pdt/1984/PT NTB jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3191
K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986 dengan kasus posisi secara global sebagai berikut.

Masudiati (penggugat) mengajukan gugatan kepada I Gusti Lanang Rejeg (tergugat)


karena tergugat setelah hidup bersama sebagai suami istri (samenleven) sejak tanggal 20
Desember 1981 sampai dengan 20 April 1983 tidak memenuhi janjinya untuk mengawini
penggugat sehingga tergugat telah melanggar norma kesusilaan dan kepatuhan masyarakat serta
perbuatan tersebut melawan hukum dan menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat serta
tergugat wajib membayar kerugian. Pada tahap pembuktian di persidangan maka penggugat
mengajukan fotokopi alat bukti surat biasa, seperti fotokopi surat untuk Masudiati tanggal 25
Januari 1982 (P-4), fotokopi surat kepada G.L. Rejeg tertanggal Oktober 1982 (P-8), fotokopi

1
surat kepada G.L. Rejeg tanggal 25-1-1982 (P-9), fotokopi catatan pengeluaran uang tanggal 25-
1-1982, dan seterusnya (P-10), dan sebagainya.
a. Akta Autentik
Lilik Mulyadi menjelaskan, pada dasarnya akta autentik merupakan suatu akta yang
dibuat dengan bentuk sebagaimana ditentukan undang-undang "oleh" dan "di hadapan" seorang
pegawai umum (hakim, notaris, juru sita/deurwaarder, pegawai catatan sipil/ burgerlijke stand,
camat, pegawai pencatat nikah, dan lain-lain) yang berwenang untuk itu. di tempat di mana akta
tersebut dibuat dan merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta
seluruh orang yang mendapat hak daripadanya tentang apa yang tersebut di dalamnya, tentang
apa yang disebutkan sebagai pemberitahuan belaka, apakah yang disebut kemudian ini
mempunyai hubungan langsung dengan pokok soal tersebut (Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, atau
Pasal 1870 KUH Perdata).
Konkretnya, kata autentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Karena bersifat
untuk pembuktian, akta autentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam: pertama, akta yang dibuat "olch" pegawai umum. Akta
jenis ini lazim disebut dengan terminologi "akta pejabat", "acte ambtelijk", "relas akta", atau
"procesverbaal acte". Misalnya, akta yang dibuat oleh notaris, camat, panitera, surat panggilan
juru sita, putusan hakim, dan sebagainya merupakan akta autentik yang dibuat "oleh" pegawai
umum. Kedua, akta yang dibuat "di hadapan" pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut
dengan istilah, "akta partai" atau "aclepartif". Pada prinsipnya, dikaji dari perspektif
pembuatannya maka akta partai inisiatif ada pada para pihak untuk membuatnya dan pegawai
umum hanya mendengarkan, menyaksikan, dan meletakkan perjanjian tersebut. Misalnya, akta
yang dibuat "di hadapan" notaris tentang suatu perjanjian (sewa-menyewa, jual beli. dan
sebagainya) dari dua orang, yaitu si A dan si B. Kemudian, si A dan B meminta kepada notaris
agar perjanjian tersebut dibuatkan/dituangkan dalam suatu akta. Maka notaris dalam hal ini
hanya mendengarkan, menyaksikan, dan meletakkan perjanjian tersebut dalam suatu akta.
Kemudian, mengenai kekuatan pembuktian akta autentik bersifat "acte ambtelijk"
merupakan suatu bukti sempurna dan mengikat (Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg.. dan Pasal 1870
KUH Perdata). Pengertian "sempurna" dimaksudkan bahwa akta autentik tersebut cukup
membuktikan tentang paristiwa atau hak. Konkretnya, sebagai bukti sempurna dalam arti bahwa
ia tidak memerlukan penambahan alat bukti lagi. Sedangkan "mengikat" dimaksudkan bahwa
apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya hakim, yakni harus dianggap sebagai benar
selama ketidakbenaran tersebut tidak dibuktikan sebaliknya. Sedangkan akta autentik bersifat
"acte partif' maka berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, atau Pasal 1870 KUH
Perdata, kesempurnaan hanya berlaku terhadap kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-
orang yang atau pihak ketiga. Maka dari itu, akta tersebut tidaklah bersifat alat bukti sempurna,
tetapi sebagai alat pembuktian bebas (bejmiddel met vrije bewijskrach di mana penilaiannya
diserahkan pada pertimbangan, rasa keadilan, dan kebijaksanaan hakim.
Jadi, suatu akta autentik itu pada hakikatnya mempunyai tiga macam pembuktian.

2
Pertama, sebagai pembuktian formal formele bewijskracht) dalam artian bahwa antara
para pihak telah membuktikan apa yang ditulis adalah benar dalam akta t antar tersebut
Kedua, sebagai pembuktian material (materiile bewyskracht) di mana para pihak yang
bersangkutan membuktikan bahwa antara mereka telah melakukan p peristiwa sebagaimana
disebutkan dalam akta tersebut memang sunggu peristiwa terjadi.
Ketiga, sebagai kekuatan pembuktian "lahir/keluar" atau lazim juga disebut dengan istilah
pembuktian dari segi wujudnya (uitwendige bewijskracht) di mana di samping sebagai
pembuktian antara mereka, juga terhadap pihak ketiga di mana pada tanggal, bulan, dan tahun
sebagaimana tertulis dalam akta tersebut, kedua belah pihak memang menghadap di muka
pegawai umum dan menerangkan apa yang terdapat di dalam akta tersebut. Hal ini sesuai dengan
asas "acta publica seseipsa

b. Akta di Bawah Tangan


Pada asasnya, pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang tidak dibuat "oleh"
dan "di hadapan" pegawai umum yang berwenang membuatnya. Tegasnya, sebagaimana inti sari
Pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan
pegawai umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian utang piutang, surat perjanjian sewa-menyewa,
surat pernyataan, register, surat-surat urusan rumah tangga, dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan hukum positif (ius constitutum) atau hukum yang ada (the
existing love) yang berlaku dalam praktik, peradilan dewasa ini di Indonesia maka akta di bawah
tangan diatur dalam Ordonansi 1876 Nomor 29 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk luar
Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg (Stb. 1927-227) dan
Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1984 KUH Perdata. Kemudian, yang perlu ditinjau lebih jauh
dalam aspek ini adalah bagaimanakah perbandingan prinsip antara akta autentik dan akta di
bawah tangan?
Apabila diperbandingkan, memang antara akta autentik dan akta di bawah tangan
terdapat persamaan dan perbedaan. Terhadap persamaannya dapat dilihat dari visi maksud
pembuatannya, dan pembuktian akta terhadap pihak ketiga. Dari aspek maksud pembuatannya
maka akta autentik dan akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani dan dibuat
dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum. Kemudian, terhadap
pembuktian pihak ketiga, baik akta autentik maupun akta di bawah tangan sama-sama bersifat
alat pembuktian bebas (bewijsmiddetinoi vrije beijarak sebagaimana tercermin dalam putusan
Pengadilan Negeri Temanggung tanggal 16 Februari 1952. Sedangkan mengenai perbedaan
antara akta autentik dan akta di bawah tangan dapat dilihat dari visi kekuatan penandatanganan
dan tanggal pembuatan akta tersebut. Dari aspek ini perbedaan tersebut tampak dalam dua hal
berikut.
 Pertama, bahwa akta autentik itu dibuat dan ditandatangani "oleh" dan "di hadapan"
pejabat umum, sedangkan akta di bawah tangan dibuat dan ditandatangani oleh para
pihak sendiri dan tanpa di hadapan pejabat umum. Oleh karena akta autentik dibuat

3
"oleh" dan "di hadapan pegawai umum dan ditandatangani, maka mempunyai kekuatan
sempurna dan mengikat tentang apa yang diterangkan dan dimuat di dalamnya sehingga
tidak memerlukan pengakuan dan penambahan pembuktian lagi. Singkatnya, terhadap
beban pembuktian pada akta autentik apabila disangkal kebenaran tandatangannya,
dibebankan kepada pihak yang menyangkal untuk membuktikan ketidakbenaran tanda
tangan tersebut. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan kekuatan pembuktian tanda tangan
akta di bawah tangan. Apabila suatu tanda tangan akta di bawah tangan kebenarannya
disangkal, pihak yang mengajukan akta di bawah tangan harus berusaha membuktikan
kebenaran tanda tangan dengan alat-alat bukti lain (Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2660 K/Pdt/1987 tanggal 27 1 februari 1989). Dengan demikian, dapat
ditarik suatu kaidah dasar bahwa selama tanda tangan tersebut masih
disangkal/dipungkiri kebenarannya, tiada banyak manfaat diperoleh bagi pihak yang
mengajukan akta tersebut di muka persidangan dan hakim serta para pihak yang
mengajukan akta tersebut akan memeriksa tentang kebenaran tanda tangan tersebut (Pasal
3 Ordonansi 1987 Nomor 29 dan Pasal 1877 KUH Perdata). Sedangkan apabila tanda
tangan akta di bawah tangan diakui, akta tersebut bagi yang menandatangani (mengakui),
ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti
sempurna sebagaimana kekuatan formaldan materiil dari suatu akta autentik (Pasal 1
huruf b Ordonansi 1987 Nomor 29, Pasal 288 RBg, dan Pasal 1875 KUH Perdata).
 Kedua, dari aspek tanggal pembuatan akta. Pada akta autentik, maka tanggal pembuatan
akta bukan merupakan persoalan karena tanggal pembuatan akta telah cukup terbukti
dengan dikemukakannya tanggal yang tercantum dalam akta tersebut. Namun, hal ini
berlainan dengan akta di bawah tangan. Jika tanggal dalam akta di bawah tangan
disangkal, pihak yang mempunyai akta di bawah tangan harus membuktikan
kebenarannya.
Hal ini dapat diprediksikan dengan contoh berikut: Si A membeli sebuah sepeda motor milik
si B. Perjanjian jual beli tersebut dilakukan dengan sehelai kuitansi pada tanggal 19 Oktober
2014. Namun, kemudian hari timbul sengketa dan di pengadilan negeri si B menyangkal
perjanjian penjualan sepeda motor tersebut pada tanggal 19 Oktober 2014. Terhadap hal ini oleh
karena kuitansi merupakan akta di bawah tangan, pembuktian kebenaran penjualan sepeda motor
tersebut dalam sehelai kuitansi yang p dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2014 haruslah
dibuktikan oleh si A (pihak pembeli atau pihak yang mempunyai bukti kuitansi tersebut.
Begitu pula bahwa dengan akta kelahiran di bawah tangan yang diakui dimana pada
umumnya mempunyai kekuatan pembuktian bersifat formal dan materiil. Terhadap
penyangkalan tanggalnya dalam akta di bawah tangan maka terhadap pihak ketiga, akta jenis ini
tidak pula Begitu pula halnya dengan akta di bawah tangan yang diakui di mana pada umumnya
mempunyai pembuktian keluar dan pihak yang mempunyai akta tersebut membuktikan
kebenaran tanggal dalam akta bersangkutan, sebagaimana dalam contoh berikut: si A dan si B
melakukan suatu perjanjian leasing dengan akta di bawah tangan Perjanjian tersebut dilakukan
pada tanggal 23 Agustus 2013. Kemudian, atas perjanjian antara si A dan si B tersebut maka si C
"merasa" dan "dirasa" bahwa si A telah melakukan pelanggaran (ingkar janji) terhadap perjanjian
leasing antara si A dan si C. Karena tindakan si A tersebut dianggap telah merugikan si C,

4
kemudian si C melakukan suatu gugatan kepada si A dengan dalil bahwa si A telah melakukan
perbuatan melawan hukum (orechtmatige daad) yang merugikan si C, baik secara materiil
maupun imateriil (moral Atas gugatan si C, ternyata dalam persidangan kemudian si A
menyangkal perjanjian leasing tersebut dengan mengatakan bahwa sebenarnya perjanjian
tersebut dilakukan bakan pada tanggal 23 Agustus 2013, melainkan sebenarnya dilakukan pada
tanggal 23 Agustus 2014. Terhadap aspek ini, maka si C dalam persidangan harus membuktikan
tentang kebenaran perjanjian leasing pada tanggal 23 Agustus 2013 itu biar pun kebenaran
tanggal tersebut (23 Agustus 2013) telah pernah diakui oleh si A sendiri dalam perkara lain.
Dalam akta ini, maka si C merupakan pihak ketiga. Apabila akta tersebut merupakan suatu akta
autentik, tanggal 23 Agustus 2013 tersebut telah dianggap sebagai benar dan tidak diperlukan
adanya pembuktian lagi oleh si C. Jadi, kebenaran terhadap tanggal 23 Agustus 2013 berlaku
juga terhadap pihak ketiga. Namun, tidak semua akta di bawah tangan yang berkekuatan
pembuktian keluar tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Dalam keadaan tertentu (spesifik), akta
di bawah tangan secara langsung mempunyai pembuktian keluar dan berlaku kepada pihak
ketiga. Hal ini dapat berlaku dan diterapkan jika memang secara tegas ditentukan oleh undang-
undang sebagaimana ketentuan Pasal 6 Ordonansi 1867 Nomor 29, Pasal 293 RBg, Ordonansi
1916 Nomor 46, dan Pasal 1880 KUH Perdata, yaitu dalam hal berikut ini. yang
 Apabila akta di bawah tangan itu dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau pegawai
lain yang ditunjuk oleh undang-undang (misalnya, ketua/hakim pengadilan negeri, bupati,
wali kota, dan sebagainya) dan dibukukan menurut aturan-aturan yang berlaku. Hal ini
lazim disebut dengan istilah "legalisasi".
 Apabila si penanda tangan dalam akta di bawah tangan telah meninggal dunia, sejak hari
meninggalnya penanda tangan tersebut dianggap sebagai tanggal dibuatnya akta yang
berlaku terhadap pihak ketiga.
 Apabila eksistensi terhadap akta di bawah tangan tersebut ternyata merupakan suatu akta
autentik yang dibuat kemudian, tanggal dari akta autentik ini berlaku sebagai tanggal dari
akta di bawah tangan tersebut yang berlaku terhadap pihak ketiga. Apabila tanggal
pembuatan dari suatu akta di bawah tangan tersebut kemudian diakui secara tertulis oleh
pihak ketiga, sejak tanggal itulah akta tersebut berlaku dan dipergunakan terhadap pihak
ketiga".
2. Bukti Saksi
Menurut ketentuan pasal 1895 BW, pembuktian dengan saksi diperkenankan dalam
segala hal kecuali oleh peraturan perundangan ditentukan lain. Misal adanya perjanjian asuransi,
harus dibuktikan terlebih dahulu dengan akta (bukti surat), yaitu polis. Juga bukti pendirian
perseroan terbatas harus ada akta pendirian. Jadi, dalam perkara yang terkait dengan perjanjian
asuransi atau pendirian perseroan terbatas, setelah ada bukti rulisan. ,baru diperkenankan bukti
dengan saksi.
Setiap orang pada asasnya wajib menjadi saksi, akan tetapi tidak semua orang dapat
menjadi saksi. Adapun syarat untuk jadi saksi (pasal 145 HIR) adalah sebagai berikut.
 Umur 15 tahun ke atas.

5
 Schat akal jiwanya/tidak ditaruh di bawah pengampunan.
 Bukan keluarga sedarah/semenda menurut garis lurus dengan salah satu pihak yang
bersengketa.
 Bukan suami istri salah satu pihak, meskipun sudah cerai. Tidak mempunyai hubungan
kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah.
Svarat-syarat di atas dapat disimpangi untuk perkara perdata tertentu, misalnya:
 Perkara pengangkatan/pemecatan wali.
 Permohonan nafkah.
 Perjanjian Perburuhan.
Kewajiban saksi ada tiga macam berikut.
 Memenuhi panggilan. Mengangkat sumpah
 Memberikan keterangan yang benar.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi (Pasal 1909 BW)
adalah seperti berikut.
 Mereka yang mempunyai hubungan keluarga.
 Mempunyai hubungan darah menurut garis lurus.
 Mereka yang karena jabatan, pekerjaan, kedudukan diharuskan menyimpan rahasia yang
berhubungan dengan jabatan, pekerjaan, kedudukannya.
Adapun beberapa hal yang terkait dengan saksi ialah sebagai berikut.
 Pembuktian dengan satu saksi, tanpa alat bukti lain tidak boleh diterima (unus testis allas
testis) (pasal 1905 BW)
 Setiap saksi harus menerangkan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang
diterangkan dan dialami sendiri.
 Saksi tidak boleh menerangkan tentang pendapat, kesimpulan, dugaan saksi.
Dalam menimbang keterangan saksi, hakim harus menimbang dan memerhatikan dengan
sungguh-sungguh segala hal, pekerjaan, kehidupan saksi, agar dapat memperoleh keterangan
saksi yang benar.
Hampir dalam setiap perkara, alat bukti saksi memegang peran. Peranan yandiharapkan dari
saksi ialah memberikan keterangan yang benar agar hakim/pengadilan sampai pada fakta yang
benar pula.
Beberapa ketentuan tentang cara memperoleh keterangan saksi yang benar, misalnya berikut
ini.
a. Pasal 144 HIR:
(1) Saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang

6
(2) Hakim menanyakan pada saksi tentang nama saksi; pekerjaannya; umurnya alamatnya;
apakah ada hubungan darah/semenda dengan kedua belah pihak atau salah satunya; apakah saksi
ada hubungan kerja dengan menerima upah dengan salah satu pihak.
b. Pasal 172 HIR
Dalam hal menimbang nilai kesaksian hakim haruslah memerhatikan dengan sungguh-sungguh
persesuaian keterangan saksi, segala hal yang mungkin dapa memengaruhi saksi memberikan
keterangan, kehidupan saksi, kebiasaan saksi, dan segala hal yang dapat menyebabkan saksi
dapat dipercaya atau tidak. Pasal 144 dan 172 HIR di atas itu berkaitan satu dengan lainnya.
c. Pasal 146 HIR
(1) Orang yang boleh minta undur diri dari memberi penyaksian, yaitu:
a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu
pihak
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki
atau istri salah satu pihak;
c. Sekalian orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang salah satu diwajibkan
menyimpan rahasia akan tetapi semata-mata hany tentang hal yang diberitahukan kepadanya
karena martabat pekerjaan ata jabatannya itu saja.
(2) Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar atau tidaknya keterangan orang, bahwa ia
diwajibkan akan menyimpan rahasia itu.

3. Bukti Persangkaan
HIR tidak menjelaskan mengenai persangkaan namun dalam pasal 1915 KUH Perdata
menjelaskan persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang undang atau oleh
hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang tidak dikenal. Menur Prof. Pithe HIR hanya memberi
petunjuk bagi hakim tentang cara menggunakan persangkaan, yaitu dalam pasal 173 HIR
dinyatakan bahwa jika sangka itu pentin seksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama
lainnya, maka persangkaan itu dapa digunakan hakim sebagai bahan pertimbangan dalam
memutuskan perkara. Dalam pasal 173 HIR ini hanya membicarakan tentang sangka saja yang
tidak berdasarkan pada undang-undang, sedangkan menurut pasal 1915 ayat (2) KUH Perdata,
persangkaan adda macam, yaitu persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan yang
berdasarkan undang-undang. Jadi, dapatlah ditegaskan, bahwa sangka saja tidak dyyat dijadikan
alat pembuktian yang lengkap.
Sampai saat ini para ahli hukum belum berkenaan persangkaan merupakan alat pembuktian
atau tidak, di satu pihak berpendapat bahwa persangkaan itu merupakan alat pembuktian seperti
dianut oleh HIR. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa persangkaan itu bukan alat pembuktian
seperti pendapat Subekti. Namun demikian, Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata,

7
persangkaan adalah alat bukti dan pada hakikatnya persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang
bersifat tidak langsung".
Schubungan dengan persangkaan sebagai alat bukti, Teguh Samudera menjelaskan, dapatlah
diberikan contoh, yaitu bahwa untuk membuktikan saya tidak masuk kuliah pada hari Sabtu,
maka saya harus mengemukakan bahwa hari Sabtu itu nyata-nyata di tempat lain, terbuktinya
bahwa saya pada hari sabtu benar nyata-nyata di tempat Lain, hakim akan menarik kesimpulan
bahwa saya pada hari Sabtu benar tidak masuk kuliah. Jika yang demikian ini yang dimaksudkan
dengan persangkaan, maka setiap hakim pastilah akan berbuat begitu. Jadi, apabila yang seperti
itu yang dimaksud dengan persangkaan, maka sekalipun undang-undang tidak mengaturnya,
hakim tetap akan berbuat sedemikian dalam memutuskan perkara, karena tanpa berbuat
demikian, tidaklah mungkin dapat ditarik pembuktian yang akan menjadi dasar putusan hakim.
Oleh karena itu, menurut Teguh Samudera, persangkaan, bukan alat bukti, melainkan hanya
pendapat hakim belaka".
Berkenaan alat bukti persangkaan menurut pasal 1915 ayat (1) BW ada 2 (dua macam)
persangkaan.
a. Persangkaan hakim, jika yang menarik kesimpulan atau dilakukan oleh hakim.
b. Persangkaan undang-undang, jika yang menyimpulkan undang-undang itu sendiri
Selain itu, dalam ilmu pengetahuan, persangkaan dibedakan, yaitu persangkaan berdasarkan
kenyataan dan persangkaan berdasarkan hukum yang dapat dibagi menjadi pure ptionis juris
tuntum dan praesum ptionis juris et de June.
Hari Sasangka menjelaskan, persangkaan berdasarkan kenyataan disebut juga feitelijke atau
prasumptionis facti, hakimlah yang memutus berdasarkan kenyataan, apakah mungkin dan
sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan peristiwa tertentu dengan
membuktikan peristiwa lainnya, misalnya peristiwa A yang diajukan, maka hakim memutuskan
apakah peristiwa B ada hubungannya yang cukup erat dengan peristiwa A, untuk menganggap
peristiwa A terbukti dengan terbuktinya peristiwa B.
 Dalam perkara perzinahan, sering kali sulit ditemukan saksi-saksi. Persang hakim yang
dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan, apabi seorang pria dengan
seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang
hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut
persangkaan hakim. Yurisprudensi tersebut yurisprudensi tetap Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Merupakan
 Bunyi Pasal 173 HIR/Pasal 310 RBg, merupakan ketentuan tentang alat buki persangkaan
yang berbunyi: "Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu
ketentuan undang-undang, hanya diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya,
apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting cermat, tertentu dan cocok satu sama
lainnya". Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 1922 BW. Dari ketentuan Pasal 173
HIR/Pasal 310 RBg tersebut, maka yang dapat disimpulkan bahwa yang diatur dalam
HIR atau RBg, adalah persangka oleh hakim saja.

8
 Dalam pasal tersebut telah ditentukan untuk menyatakan terbukti sesuatu dalib dalam
gugatan, haruslah memenuhi syarat penting, cermat, tertentu, dan cocok satu sama
lainnya. Di sini seorang hakim diharuskan hati-hati dan penuh ketelitian dalam
mengambil kesimpulan untuk menyatakan suatu dalih terbukti.
 Pengadilan tinggi hanya mendasarkan persangkaan-persangkaan tersebut pad keterangan-
keterangan saksi yang tidak sempurna dan pula saksi-saksi tersebut memberi keterangan
tidak di bawah sumpah, maka tidak sesuai dengan persangkaan yang diperbolehkan oleh
undang-undang (Putusan MARI Nomor 991 K/Sip/1975; Tanggal 24 Juli 1975).
 Persangkaan oleh hakim sebagai alat bukti, mempunyai kekuatan bukti bebas, artinya
diserahkan kepada penilaian hakim yang bersangkutan.

- Persangkaan Berdasarkan Hukum


 Persangkaan berdasarkan hukum juga disebut wettelijke vermodenatau rechtsvermoede
juga praesumptiones juris.
 Di dalam persangkaan berdasarkan hukum, maka undang-undang yang menetapkan
hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristi yang tidak
diajukan.
 Dalam ketentuan Pasal 1916 BW disebutkan persangkaan undang-undang ya
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:
 perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dan sifat
dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentua
ketentuan undang-undang
 peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan
gana menetapkan hak kepemilikan atau pembebasan dari utang,
 kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim.
 kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah
oleh salah satu pihak
Karena BW hanya berlaku untuk golongan-golongan tertentu maka persangkaan-
ersangkaan yang diatur dalam BW harus dianggap sebagai perbandingan saja. Pasal 921 ayat (2)
BW berbunyi, bahwa pembuktian melawan persangkaan undang-undang dak diperbolehkan,
kecuali jikalau pembuktian perlawanan itu diizinkan oleh undang- ndang itu sendiri, sehingga
pembagian persangkaan undang-undang dibagi menjadi (dua); praesumptiones juris tantum dan
praesumptiones juris et de jure.
- Praesumtiones juris tantum
Persangkaan yang menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian lawan,
misalnya: Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, dan 1439 BW dan Pasal 42 dan 44 Peraturan
Kepailitan. Contoh-contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan
pembuktian lawan, serta undang-undang menyimpulkan sesuatu dari kenyataan (Subekti,
1977: 106-107), misalnya adalah seperti berikut.

9
 Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang,
dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu
yang lebih pendek maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran, darimana ternyata
pembayaran tiga angsuran berturut-turut. terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-
angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya
(Pasal 1394 BW). Dalam contoh tersebut dari adanya tiga tanda pembayaran (kwitansi)
berturut-turut disimpulkan bahwa semua cicilan atau angsuran telah terbayar lunas.
 Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus
dibayar kepada pembawa (toonder), maka barang siapa yang menguasainya, dianggap
sebagai pemiliknya (Pasal 1977 ayat (1) BW). Dalam contoh tersebut dari adanya
penguasaan (bezit) atas suatu benda bergerak, disimpulkan adanya hak milik atas barang
tersebut.
 Tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua pekarangan, dianggap
sebagai milik bersama, kecuali kalau ada suatu alas hak atau tanda- tanda yang
menunjukkan sebaliknya (Pasal 633 BW). Dalam contoh tersebut dari adanya tembok
pembatasan, disimpulkan suatu milik bersama antara dua tetangga.
 Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya. Artinya, dianggap sebagai anak bapaknya (Pasal 250 BW)
Dalam contoh tersebut dari adanya perkawinan disimpulkan bahwa anak yang lahir selama
perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
- Praesumtiones juris et de jure
Persangkaan berdasarkan undang-undang yang tidak memungkinkan pembuk lawan.
Menurut Pitlo, persangkaan yang menurut undang undang yang tid memungkinkan
pembuktian lawan diatur dalam Pasal 1921 ayat (2) BW, ya yang dapat menjadi dasar untuk
membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu Pa 184, 911, 1681 BW), Persangkaan yang tidak
memungkinkan pembuktian lawa pada hakikatnya bukan persangkaan. Persangkaan menurut
Pasal 1921 BW, menurut undang-undang membebaskan orang yang untung karenanya dar
pembuktian lebih lanjut. Kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa". ayat

4. Pengakuan
Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174 HIR, Pasal 312, 313 RBg. Pasal 1921 1928
KUH Perdata, serta yurisprudensi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak de tidak perlu
persetujuan dari pihak lainnya. Pengakuan merupakan suatu pernyataa dengan bentuk
tertulis/lisan yang isinya membenarkan dalil lawan. Menurut asasta pengakuan dibagi dua,
yaitu pengakuan di muka hakim di persidangan dan pengak di luar sidang (Pasal 1923 KUH
Perdata).
Pengakuan yang diucapkan di muka persidangan mempunyai pembuktian sempurna dan
mengikat yang bersangkutan atau dengan perantaraan seseorang ynag khusus dikuasakan
untuk itu (Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg., Pasal 1925 KUH Perdata Sempurna dalam

10
pengertian tidak diperlukan lagi adanya alat bukti lain, sedangkan mengikat diartikan bahwa
dalil-dalil tersebut wajib dianggap benar dengan adanya pengakuan.
Pengakuan di depan persidangan tidak boleh ditarik/dicabut kembali, kecuali dap
dibuktikan bahwa pengakuan itu menimbulkan adanya elemen kekeliruan (dwaling terhadap
kenyataan peristiwa (doodzaken). Kekeliruan terhadap hukum tidak dap dianggap sebagai
alasan untuk mencabut pengakuan (Pasal 1926 ayat (2) KUH Perda Selain itu, pengakuan di
sidang pengadilan asasnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Dalan konteks ini, hakim tidaklah
bebas untuk menerima sebagian dan menolak selebihnya. tetapi harus menerima/menolak
seluruhnya. Hal ini sejalannya dengan azas behentenis (Pasal 176 HIR, Pasal 313 RBg, dan
pasal 1924 KUH Perdata) dan terhadap pengakuan seperti ini hakim bebas menentukan untuk
pada siapa harus dibebanka kewajiban pembuktian
Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, dan Pasal 1927-1928 KUH Perdata mengatur pengakuan
di luar sidang dapat dilakukan dengan bentuk tertulis atau lisan. Pengakuan lisan kekuatan
pembuktiannya bergantung penilaian hakim dan sifatnya tidak mengik tetapi hanya
merupakan bukti biasa (Pasal 175 HIR, Pasal 132 RBg, pasal 1927-19 KUH Perdata).
Sedangkan pengakuan tulisan di luar sidang, kekuatan pembuka merupakan bukti bebas.
Maka dari itu, pengakuan di luar sidang lisan maupun tertulis pada asasnya dapat ditarik
kembali.
Dalam praktik, dan menurut ilmu pengetahuan hukum, selain dua macam pengakuan
tersebut, dikenal pula adanya tiga macam pengakuan lainnya.
 Pengakuan murni (aveu pur et simple) Pengakuan murni ini sifatnya sederhana dan
pada pokoknya membenarkan semua dalil lawan (penggugat). Misalnya, dalam
perkara perjanjian leasing di mana si A (penggugat) melakukan gugatan kepada si B
(tergugat) dengan dalil bahwa si B telah menerima barang si A sebanyak 10 ton kain
dan belum dilakukan pembayaran, di depan persidangan ternyata si B mengakui
seluruh gugatan si A.
 Pengakuan dengan kualifikasi (gequacemde bekantsl Pada pokoknya pengakuan
dengan kualifikasi merupakan pengakuan-pengakuan disertai penyangkalan sebagian
dari dalil lawan. Misalnya, si A mendalilkan bahwa ja telah membeli barang si B
seharga Rp 50 juta, tetapi ia telah membayar seharga Rp 25 juta.
 Pengakuan dengan klausula (gecanuleerde bekentenis/are complexe Pada dasarnya
pengakuan berklausula diberikan dengan melakukan keterangan tambahan yang
sifatnya membebaskan. Misalnya, si A membeli rumah si B seharga Rp 100 juta.
Dalam dalil gugutan si B (penggugat) bahwa ia menjual rumahnya kepada si A
(tergugat) seharga Rp 100 juta dan si A sama sekali belum membayarnya seharga
rumah tersebut. Akan tetapi, dalam dalil bantahannya si A memang membenarkan
bahwa ia telah membeli rumah si B seharga Rp 100 juta, tetapi si A telah lunas
membayarnya.

5. Alat Bukti Sumpah

11
Diatur dalam pasal 155-158 dan pasal 177 HIR, pasal 182-185 dan pasal 314 RBg. Pasal
1929-1945 KUH Perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah diartikan memberi janji
atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari Tuhan, pada umumnya adalah
suatu pernyataan yang khidmat yang diucapkan pada waktu a percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dan hukum oleh-Nya. Jadi, hakikatnya
sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius, yang digunakan dalam peradilan 19
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta merumuskan sumpah hagi
pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu
dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar. Fokus rumusan ini adalah
unsur benar atau tidak benar dan unsur melakukan atau tidak melakukan.
- Unsur pertama unsur benar atau tidak benar sumpah ini disebut sumpah konfirmat
(confirmatoir eed), Sumpah konfirmatoir merupakan alat bukti yang diatur dalam pa 155
dan 156 HIR, pasal 182 dan 183 RBg
- Unsur kedua menghasilkan sumpah yang berisi suatu janji untuk melakukan tidak
melakukan sesuatu. Sumpah ini disebut sumpah promísoir (promisoi Sumpah promisoir
bukan alat bukti, melainkan sumpah yang bersifat prosesual yang diperlukan dalam acara
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Berkenaan alat bukti sumpah konfirmatoir maupun sumpah promisoir, P Abdul Kadir
Muhammad menjelaskan, baik sumpah konfirmatoir maupun sump promisoir mempunyai
kekuatan berdasar pada kepercayaan. Artinya, siapa yang tela mengucapkan sumpah masih
memberikan keterangan yang tidak benar (dusta), da mendapat hukuman atau kutukan dari
Tuhan. Biasanya orang yang telah mengucapka sumpah untuk meneguhkan keterangannya
takut berkata tidak benar, apalag memberikan keterangan dusta. Hukum acara perdata
Indonesia mengatur tentang sumpah pelengkap/tambahan (suppletoir eed, supplementary
oath) dan mengatur tenta sumpah pemutus/penentu (decisoir eed, decisive oath).
Sumpah konfirmatoir meliputi sumpah pelengkap dan sumpah pemutus. Magels hakim
karena jabatannya dapat memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara
untuk melengkapi alat bukti yang sudah ada agar perkara dapat diputuskan atau agar dapat
menetapkan sejumlah uang yang akan diperkenankan. Sumpah pelengkap merupakan alat
bukti darurat karena tidak ada alat bukti lain yang lengkap Supaya dapat diperintahkan
bersumpah pelengkap kepada salah satu pihak, hara ada permulaan pembuktian terlebih
dahulu. Karena tidak lengkap, lalu dimintak sumpah. Dengan sumpah itu, perkaranya
menjadi selesai. Kepada pihak mana sumpal pelengkap itu diperintahkan, terserah pada
pertimbangan majelis hakim. Jika majes hakim merasa kurang yakin pada pihak yang
berperkara, lebih baik majelis hakim tidak usah menggunakan sumpah, tetapi menolak saja
gugatan yang bersangkutan.
Pasal hukum acara perdata Indonesia yang mengatur sumpah pelengkap melingk juga
sumpah taksiran (schattings eed, appraising oath). Hal ini dapat disimpulkan da kalimat akhir
pasal tersebut, yaitu "agar dapat menetapkan sejumlah uang yang ak diperkenankan".
Biasanya yang menuntut sejumlah uang tertentu adalah pengguga Untuk menentukan apakah

12
uang yang dituntut oleh penggugat layak atau tidak jumlahnya, diadakan penaksiran.
Penaksiran saja dipandang belum terbukti denga cukup meyakinkan. Kemudian, majelis
hakim memerintahkan penggugat untuk bersumpah bahwa jumlah uang yang ditaksir itu
layak sehingga majelis hakim dapa menjatuhkan putusan.
Apabila tidak ada keterangan atau sama sekali tidak ada alat bukti lain untuk
meneguhkan tuntutannya, salah satu pihak dapat meminta kepada lawannya bersumpah di
muka persidangan agar dengan sampah its perkes dapat diputuskan, asalkan sumpah itu harus
mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh piliak yang disuruh bersumpah. Jika
perbuatan dilakukan oleh kedua belah pihak, pihak yang dimintakan bersumpah, tetapi tidak
bersedia berumpah, dapat mengembalikan sumpah kepada lawannya atau siapa yang
menyuruh bersumpah, tetapi sumpah in dikembalikan kepada lawannya dan dia tidak mau
bersumpah, dia harus dikalahkan Sumpah ini lazim disebut sumpah pemutus Akibat hukum
sumpah pemutus ialah perbuatan yang dimintakan sumpals ins

therupakan bukti yang menentukan. Bahkan, jika perbuatan yang dimintakan sumpah

itu tidak benar, hal itu tidak akan menghilangkan akibat hukum dari sumpah pemitus

Dengan sumpah pemutus, perbuatan yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Akan tetapi,
jika sumpahnya itu palsu, hal tersebut merupakan wewenang jaksa untuk menuntut pihak
yang bersumpah palsu berdasarkan Pasal 142 KUHP Jika pihak lawan menolak sumpah
pemutus yang dimintakan kepadanya, kebalikan dari isi sumpah dianggap benar.

Sumpah pemutus bertujuan untuk menyelesaikan perkara yang sedang diperiksa. Oleh
karena itu, sumpah pemutus harus bersifat litis decisi, artinya bersifat memutus atau
mengakhiri perkara. Dalam hal ini, majelis hakim perlu mempertimbangkan benar- benar
apakah sumpah yang dimintakan itu sudah bersifat litis decisir sehingga dengan bersumpah
itu, perkara menjadi selesai. Jika menurut pertimbangan majelis hakim sudah bersifat litis
decisoir, majelis hakim segera memerintahkan pihak yang diminta untuk mengucapkan
sumpah. Jika menurut pertimbangan majelis hakim, sumpah pemutus yang dimintakan itu
tidak akan menyelesaikan perkara, majelis hakim lebih baik menolak saja tuntutan tersebut.
Sumpah pemutus dapat diajukan dalam setiap saat selama berjalannya pemerikasan perkara,
bahkan di muka persidangan tingkat banding sumpah pemutus masih dapat diajukan

Rumusan sumpah pemutus diusulkan oleh pihak yang memintakan sumpah. Apabila
rumusan itu tidak memenuhi syarat undang-undang, ketua majelis hakim dapat membantu
menyusun rumusan sumpah pemutus dapat dinyatakan litis decisoir Bunyi rumusan sumpah

13
pemutus dapat sebagai berikut: "Saya bersumpah bahua benar saya bersumpah tidak mau
bersumpah dan mengembalikan sumpah kepada lawannya, bunyi membayar uang pembelian
barang yang disengketakan". Apabila pihak yang dimintakan rumusannya menjadi: "Saya
bersumpah balea benar saya belum menerima uang pembayaran harga barang yang
disengketakan".
Baik sumpah pelengkap maupun sumpah pemutus harus dijalankan oleh yang
bersangkutan secara pribadi. Akan tetapi, berdasarkan alasan-alasan penting dan sah dapat
dikuasakan dengan surat kuasa khusus. Di samping itu, sumpah harus dilakukan

14

Anda mungkin juga menyukai