Anda di halaman 1dari 2

Akta Otentik & C.

UU PPAT
Berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata, jelas disebutkan bahwa yang dikatakan akta otentik adalah akata yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Jadi, apabila diambil point-pointnya, maka yang dimaksud dengan akta otentik harus memuat criteria sbb: 1. Bentuknya sesuai UU. Bentuk dari akta notaries, akta perkawinan, akta kelahiran, dll, bentuknya telah ditentukan format dan isinya oleh undang-undang. Namun ada juga aktaakta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. 2. Dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Yang dimaksud dengan pejabat umum yang berwenang itu adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tsb. Misalnya notaries, PPAT, dsb. 3. Kekuatan pembuktian yang sempurna 4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidakbenarannya. Adalah PP Nomor 37 Tahun 1998 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai pelaksana dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA). Ditambah lagi Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 4 tahun 1999, mengenai Ketentuan Pelaksana PP Nomor 37/1999 tentang Peraturan PPAT. Peraturan ini merupakan dasar hukum yang kuat bagi kewenangan PPAT. Tapi kemudian, pembentukan akta PPAT (format & materinya) tidak diatur dalam undang-undang , tetapi hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Tentu hal ini tidak sesuai dengan dasar hukum pengertian akta otentik itu sendiri seperti yang tercantum dalam pasal 1868 KUHPerdata. Mengeani kewenangan pembuat akta otentik, disamping PPAT kita sangat mengenal Notaris sebagain salah satu pejabat yang berwenang membuat akta pertanahan. Tentunya hal ini menimbulkan suatu kerancuan, jika Notaris diberi wewenang membuat akta pertanahan yang telah diatur dalam UUNJ, maka untuk apa lagi adanya PPAT dengan kewenangan yang sama? Tentu saja, akta otentik yang dibuat oleh Notaris lebih sempurna karena telah memenuhi criteria sebuah akta otentik dan tentu saja menjadi alat pembuktian yang sah dan sempurna. Namun mungkin kita dapat tercerahkan sedikit, dalam pasal 15 ayat 1 UUJN, mengenal pembatasan yaitu dalam kalusul .semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang, menjadi rujukan bahwa PPAT tetap memiliki ruang lingkup jabatan yang berbeda dengan notaris. Menurutnya, akta-akta yang bisa dibuat oleh Notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangannya PPAT. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tsb (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdat ). Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang

sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang berhak mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Namun, jika pengaturan tentang apa yang selama ini disebut dengan akta otentik (dalam hal ini yg dibuat oleh PPAT) masih belum sempurna, bagaimanakah statusnya sebagai alat pembuktian? Terutama bagaimanakah perlindungan terhadap masyarakat yang tidak menyadari akan hal ini? Oleh karena itu, hendaknya segeralah pemerintah membuat UU PPAT. http://dhekasasmita.wordpress.com/2010/07/27/akta-otentik-c-uu-ppat/

Anda mungkin juga menyukai