Anda di halaman 1dari 147

Praktek kenotariatan di Indonesia berbeda dengan di negara-negara Anglo Saxon,

misalnya Amerika Serikat, di negara tersebut notaris adalah tukang membuat akta,

sedangkan di Indonesia sebagai penganut civil law, notaris mempunyai fungsi sebagai

seorang pejabat umum yang bertugas melayani masyarakat umum dalam pembuatan

akta. Pada negara common law dikenal sebagai notaris publik dan tidak diangkat oleh

pejabat berwenang serta tidak ada keharusan bentuk akta harus diatur oleh undang-

undang seperti dalam sistem civil law. Tugas notaris publik lebih

banyak menjalankan proses administrasi yaitu memberikan cap/segel pada suatu

perjanjian.

Oleh karena itu penerapan konsep cyber notary pada sistem common law tidak akan

berpengaruh pada kekuatan akta. Sedangkan notaris di Indonesia menggunakan sistem

civil law yang memandang bahwa akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris

adalah akta yang otentik. Akta otentik berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata merupakan

alat bukti yang sempurna (R.A. Emma Nurita, 2012: 36).

Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata dinyatakan bahwa bukti tulisan ada 2 (dua)

jenis, yakni (Edmon Makarim, 2013: 29):

1. Akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak (private deeds); dan

2. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (authentic deeds).

Akta dibawah tangan adalah semua tulisan yang ditandatangani, yang sengaja dibuat

untuk alat bukti. Akta di bawah tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880

KUHPerdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap pihak

ketiga terkecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau seorang

pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan

undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang
penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari

akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah

tangan itu secara

tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapai akta itu. Sedangkan akta otentik seperti yang

dijelaskan pada Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu: “Suatu akta otentik ialah suatu akta

yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang,

dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai

umum yang berkuasa untuk itu di

tempat di mana akta dibuatnya.” Perbedaan

yang penting antara kedua jenis akta tersebut,

yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik

mempunyai pembuktian yang sempurna, karena

akta notaris sebagai akta otentik mempunyai 3

(tiga) kekuatan pembuktian yaitu (Habib Adjie,

2009: 72):

1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

2. Formal (formele bewijskracht)

3. Materil (materiele bewijskracht)

Baik alat bukti akta dibawah tangan

maupun akta otentik keduanya harus memenuhi

rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian

berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2.


Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3.Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang

halal.

NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM

1. Notaris memperoleh kewenangan atribusi yang diberikan undang-

undang sebagai pejabat umum dengan tugas pokok dalam pembuatan

akta autentik sebagai alat bukti sempurna.

2. Notaris dalam kedudukan jabatannya dengan kewenangan yang ada

melaksanakan sebahagian tugas pemerintahan diluar dari jabatan

eksekutif, legislatif dan yudikatif.

3. Notaris dalam menjalakan tugas jabatannya terikat pada Sumpah

Jabatan Notaris (SJN) sebagai Mahkota Jabatan Notaris (MJN) dan

Kode Etik Notaris (KEN) yang kesemuanya merupakan tata aturan

yang mengikat secara inklusif dalam keluhuran harkat dan martabat

sebagai Pejabat Umum

4. Notaris dalam menjalakan tugas jabatannya berwenang untuk membuat

akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani

kepentingan masyarakat yang dilindungi oleh UU.


5. Pemberian predikat jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum dengan kewengan

yang ada padanya dapat diketahui dari penggunaan frasa kata Openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dengan terjemahan

bebasnya :”Pejabat Umum”

6. Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan tugas jabatannya dapat

menggunakan lambang Garuda Pancasila dalam stempel jabatannya

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009.

7. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan

oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk

dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,

menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya

sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan.

8. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan nomor 009-

014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum

sebagai Public Official.

9. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat Umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini.

10. Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari  Ambtenaren  adalah Pejabat.

Dengan demikian  Openbare Ambtenaren  adalah pejabat yang mempunyai tugas

yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare

Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan 

Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan


sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani

kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan

hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak

memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini

yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum,

Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain

istilah  Openbare  diterjemahkan sebagai Umum.

11. Dengan demikian PJN merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868 KUH

Perdata itu; Dan oleh karena itu, yang dimaksud dengan Pejabat Umum dalam

pasal 1868 KUH Perdata itu adalah notaris, yang didefinisi otentiknya termuat

dalam pasal 1 PJN. Disinilah letak hubungan pasal 1 PJN dengan Pasal 1868

KUH Perdata.

Dalam jabatan tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya

dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare

ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle

handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening

gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal,

daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan

grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier
akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen

opgedragen of voorbehouden is.

dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW)

Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het

Notaris

Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat

Umum oleh G.H.S.

Lumban Tobing, op.cit., hlm. V.  Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam

Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).  Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan :

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-

undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di

tempat dimana akta itu dibuat., sekalipun untuk menjalankan

jabatan-jabatan lainnya kadang-kadang diperlukan juga pengangkatan atau izin

dari pemerintah; misal: Pengacara, Dokter yang mana sifat dari pengangkatan

itu sesungguhnya pemberian izin atau pemberian wewenang yang merupakan

lisensi untuk menjalankan sesuatu jabatan dan tidak mempunyai sifat sebagai

pejabat umum, karena mereka tidak melaksanakan sesuatu kekuasaan yang

bersumber pada kewibawaan (gesag) dari pemerintah. Mereka orang-orang

swasta yang hanya terikat pada peraturan-peraturan mengenai jabatannya dan

selanjutnya mereka bebas dalam menjalankan profesinya, boleh memilih sendiri


tempat dimana mereka bekerja, tidak terikat peraturan cuti dan peraturan

Administrasi yang ketat berhubungan dengan pekerjaannya.

Notaris dalam melaksanakan tugasnya dalam hal pembuatan akta,

Pengawasan dilakukan berdasarkan kode etik dan Undang-Undang Jabatan

Notaris, dan pengawasan dalam kode etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan

Notaris sedangkan pengawasan di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris oleh

Majelis Pengawas Notaris9.

Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum di tengah-tengah masyarakat

dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan

bahwa jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan

yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang

berprofesi sebagai Notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan

tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat

serta keluhuran jabatannya. Dan apabila kepercayaan itu dilanggar di dalam

membuat akta baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja maka notaris

wajib mempertanggungjawabkannya,

MAHKOTA JABATAN NOTARIS

1. Sejarah Organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia

a. Masa pemerintahan Hindia Belanda


Sejarah organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia sepanjang yang dapat

diketahui dimulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang semula dengan

dibuatnya perkumpulan notaris atau paguyuban yang menghimpun para notaris yang

ada pada waktu itu telah menjadi perkumpulan satu-satunya bagi notaris Indonesia di

Hindia Belanda. Meskipun didirikannya perkumpulan dimaksud hanyalah sebagai

paguyuban yang bertujuan sebagai ajang pertemuan untuk bersilaturahmi diantara

para Notaris yang pada waktu itu menjadi anggotanya dan ternyata kemudian

berdasarkan Broederschap van Candidaat-Notarissen in Nederlanden zijne Kolonien

dan Broederschap der Notarissen di Negeri Belanda telah diakui sebagai badan hukum

(rechtspersoon) dengan penetapan pemerintah (Gouvernements Besluit) tertanggal 05

September 1908 Nomor : 9. 

Keberadaan dari De-Nederlandsch Indische Notarieele Vereeniging - Batavia

(sekarang dikenal sebagai ibu kota Jakarta) tertanggal 01 Juli 1908 (Anggaran Dasar Ex

Menteri Kehakiman, tertanggal 04 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6), sebagai

momentum yang dijadikan dasar hukum keberadaan Organisasi Notaris sebagai satu-

satunya organisasi jabatan Notaris yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum

dilahirkan pada tanggal 01 Juli 1908. Pada masa itu Pengurus notaris berkebangsaan

Belanda yaitu LM.Van Sluijters, E.H. Carpentir Alting, H.G. Denis, H.W. Roebey, W. an

Der Meer dan anggota perkumpulan terdiri dari notaris dan calon notaris Indonesia

(pada waktu itu Nederlandsch Indie).

b. Masa setelah Kemerdekaan Republik Indonesia


Notaris Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan lama tersebut, diwakili seorang

pengurus selaku ketuanya, Notaris ELIZA PONDAAG mengajukan Permohonan kepada

Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman Republik Indonesia sesuai suratnya tgl. 17

November 1958 untuk mengubah Anggaran Dasar (statuten) perkumpulan itu dan

diakui berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum

(rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (penetapan pemerintah) tanggal 5

September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan

setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di

Indonesia.

Dengan demikian, keberadaan organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia telah

diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Anggaran Dasar

Perkumpulan Notaris yang telah mendapatkan Penetapan Menteri Kehakiman

tertanggal 4 Desember 1958 Nomor J.A.5/117/6 dan diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor 19, Tambahan Berita Negara Republik

Indonesia Nomor 6 dan perubahan anggaran dasar yang terakhir telah mendapat

persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

berdasarkan Surat Keputusan tanggal 12 Januari 2009 Nomor AHU-

03.AH.01.07.Tahun 2009, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(disingkat : UUJN-P).

2. Aturan Jabatan Notaris.


a. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah

diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (disingkat :

UUJN)

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (disingkat : UUJN-

P)

d. Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia (INI)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(disingkat : UUJN) dan yang dalam dasar pertimbangan hukumnya diataranya

dapat diketahui latar belakang lahirnya UUJN adalah :

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris selain membuat

aturan baru juga menetapkan beberapa aturan yang berkenaan dengan jabatan Notaris

telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu :

1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3)

sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun

1945 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris


dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954

Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

2. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4379); dan

3. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang

Sumpah/Janji Jabatan Notaris,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (disingkat : UUJN-P)Selanjutnya,

berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik lndonesia Nomor :

009-014/PUU-III/2005, tertanggal 13 September 2005 dan putusan Mahkamah

Konstitusi Republik lndonesia Nomor : 63/PUU-II/2014 telah menolak uji materi atas

Pasal 82 UU Jabatan Notaris dan karenanya mengukuhkan kedudukan IKATAN

NOTARIS INDONESIA sebagai satu-satunya wadah organisasi Notaris.

Adapun perubahan-perubahan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi

perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) terdiri dari :


1. Perubahan anggaran rumah tangga (ART), tahun 2015 berdasarkan hasil rapat

pleno pengurus pusat di banten pada 30 Mei 2015 yang diperluas, dan

2. Perubahan anggaran rumah tangga (ART) tahun 2017, berdasarkan hasil rapat

pleno Pengurus Pusat di Balik papan, 12 Januari 2017 yang diperluas, dan

kemudian

3. Perubahan anggaran rumah tangga (ART) tahun 2018, berdasarkan hasil

keputusan rapat pleno Pengurus Pusat yang diperluas (pra Kongres) di

Yogyakarta tanggal 19-20 Oktober 2018.

Organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia telah resmi masuk dan tergabung

dalam keanggota ke-66 dari Organisasi Notaris Latin International (International

Union of Latin Notaries - UINL) tanggal 30 Mei 1997 di Santo Dominggo, Dominica.

2. Kedudukan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai Pejabat

Umum

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 menegaskan, bahwa yang dimaksud

dengan:Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya diatur berdasarkan

ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Notaris berwenang membuat Akta

autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan

yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang


dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta

itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Kemudian

dalam Pasal 15 Ayat (2) ditegaskan, bahwa s elain kewenangan sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1), Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

Penjelasan resmi Huruf a Ketentuan ini merupakan legalisasi

terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang

perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai

cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan

oleh Notaris.

b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungandengan pembuatan

Akta;

f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau


g. Membuat Akta risalah lelang.

Penjelasan resmi Huruf g Ketentuan ini dimaksudkan bahwa

pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat

oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Ketentuan Pasal 15 Ayat (3) juga menambahkan, bahwa selain kewenangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai

kewenanganlain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penjelasan resmi Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan

mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),

membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.

Berdasarkan kewenangan atribusi yang diberikan undang-undang kepada

Notaris sebagai pejabat umum dengan tugas pokok dalam pembuatan akta

autentik sebagai alat bukti sempurna kedudukannya melaksanakan

sebahagian tugas pemerintahan diluar dari jabatan eksekutif, legislative dan

yudikatif. Notaris dalam menjalakan tugas jabatannya terikat pada Sumpah

Jabatan Notaris (SJN) sebagai Mahkota Jabatan Notaris (MJN) dan Kode

Etik Notaris (KEN) yang kesemuanya merupakan tata aturan yang mengikat

secara inklusif dalam keluhuran harkat dan martabat sebagai Pejabat Umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan

untuk melayani kepentingan masyarakat yang dilindungi oleh UU.

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare

ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle

handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening

gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal,

daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan

grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier

akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen

opgedragen of voorbehouden is.

Pemberian predikat jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum dengan kewengan yang ada

padanya dapat diketahui dari penggunaan frasa kata Openbare Amtbtenaren yang

terdapat dalam Pasal 1 PJN dengan terjemahan bebasnya :”Pejabat Umum”

dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW)

Selain itu, dasar kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan tugas

jabatannya mendapat kewenangan atribusi dari Undang-undang, dan dalam stempel

jabatannya dapat menggunakan lambang Garuda Pancasila sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh

suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan

memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu

oleh suatu peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

(MKRI) dengan Putusan nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005

mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.

Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het

Notaris

Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat

Umum oleh G.H.S.

Lumban Tobing, op.cit., hlm. V.  Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam

Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).  Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan :

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-

undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di

tempat dimana akta itu dibuat.

Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini.

Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari  Ambtenaren  adalah Pejabat.  Dengan

demikian  Openbare Ambtenaren  adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian

dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai
Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan  Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan

sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat

akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan

kepada Notaris. Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan

Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena

sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja,

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum,

Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain

istilah  Openbare  diterjemahkan sebagai Umum.

Dengan demikian PJN merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868 KUH Perdata

itu; Dan oleh karena itu, yang dimaksud dengan Pejabat Umum dalam pasal 1868 KUH

Perdata itu adalah notaris, yang didefinisi

otentiknya termuat dalam pasal 1 PJN. Disinilah letak hubungan pasal 1 PJN

dengan Pasal 1868 KUH Perdata.

Dalam jabatan tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya

dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat, sekalipun untuk menjalankan

jabatan-jabatan lainnya kadang-kadang diperlukan juga pengangkatan atau izin

dari pemerintah; misal: Pengacara, Dokter yang mana sifat dari pengangkatan

itu sesungguhnya pemberian izin atau pemberian wewenang yang merupakan

lisensi untuk menjalankan sesuatu jabatan dan tidak mempunyai sifat sebagai

pejabat umum, karena mereka tidak melaksanakan sesuatu kekuasaan yang

bersumber pada kewibawaan (gesag) dari pemerintah. Mereka orang-orang

swasta yang hanya terikat pada peraturan-peraturan mengenai jabatannya dan


selanjutnya mereka bebas dalam menjalankan profesinya, boleh memilih sendiri

tempat dimana mereka bekerja, tidak terikat peraturan cuti dan peraturan

Administrasi yang ketat berhubungan dengan pekerjaannya.

Notaris dalam melaksanakan tugasnya dalam hal pembuatan akta,

Pengawasan dilakukan berdasarkan kode etik dan Undang-Undang Jabatan

Notaris, dan pengawasan dalam kode etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan

Notaris sedangkan pengawasan di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris oleh

Majelis Pengawas Notaris9.

Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum di tengah-tengah masyarakat

dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan

bahwa jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan

yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang

berprofesi sebagai Notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan

tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat

serta keluhuran jabatannya. Dan apabila kepercayaan itu dilanggar di dalam

membuat akta baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja maka notaris

wajib mempertanggungjawabkannya,

2. Era Kepemimpin Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI)

Kepemimpinan organisasi perkumpulan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-

INI) berdasarkan periodisasi sepanjang sejarah, yaitu :

1. G.H.S LUMBAN TOBING


Periode : 1974 – 1977

1977 – 1980

1984 – 1987

2. SOELAIMAN ARDJASMITA

Periode : 1980 – 1984

1987 – 1990

3. WAWAN SETIAWAN

Periode : 1990 – 1993

1993 – 1996

4. HARUN KAMIL

Periode : 1996 – 1999

2000 – 2003

5. TIEN NORMAN LUBIS

Periode : 2003 – 2006

2006 – 2009

6. ADRIAN DJUANI

Periode : 2009 – 2012

7. KOLEKTIF KOLEGIAL, dipimpin oleh 5 orang selama masa transisi tahun 2012

yaitu :
a. ADRIAN DJUANI

b. ARRY SUPRATNO

c. HABIB ADJIE

d. PIETER LATUMENTEN

e. ERNI ROHAINI

8. ADRIAN DJUANI

Periode : 2012 – 2013

9. YUALITA WIDYADHARI

Periode : 2015 – 2019

2019 – 2022

3. Notaris berhimpun dalam satu wadah tunggal Organisasi Perkumpulan

Ikatan Notaris Indonesia

Merujuk kepada ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang

menjadi dasar hukum organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia., dan yang

pada pokoknya menegaskan ketentuan Ayat (2) Pasal 82 diubah dan ditambah 3

(tiga) Ayat, yakni Ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal 82 berbunyi

sebagai berikut :

(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

(1) Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah Ikatan Notaris Indonesia.


(2) Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan

mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk

meningkatkan kualitas profesi Notaris.

(3) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan

susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris.

(4) Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan , dan pengawasan

Organisasi Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.

4. Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris

Merujuk kepada ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris yang menjadi dasar hukum organisasi perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia untuk menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris dan memiliki buku

daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas, dan

yang pada pokoknya menegaskan sebagai berikut :

(1) Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik

Notaris.

(2) Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya

disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.

5. Organisasi Notaris pengawasan dan pembinaan terhadap anggota

Notaris
Peran organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia dalam rangka pengawasan

dan pembinaan terhadap anggota Notaris dapat diketahui dari maksud dan tujuan

pendiriannya, yaitu :

1. Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta mengupayakan terwujudnya

kepastian hukum ;

2. Memajukan dan mengembangkan ilmu hokum pada umumnya dan ilmu serta

pengetahuan dalam bidang Notariat pada khususnya ;

3. Menjaga keluhuran martabat serta meningkatkan mutu Notaris selaku pejabat

umum dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan

Negara ;

4. Memupuk dan mempererat hubungan silaturahmi dan rasa persaudaraan serta

rasa kekeluargaan antara sesama anggota untuk mewujudkan persatuan dan

kesatuan serta kesejahteraan segenap anggotanya.

Selanjutnya lembaga-lembaga atau badan yang bertugas dalam rangka pembinaan dan

pengawasan terhadap jabatan Notaris terdiri dari :

1. Dewan Kehormatan Notaris dipilih dan diangkat oleh anggota sesuai

tingkatannya dan diambil sumpahnya oleh Presidium Konferensi Daerah Ikatan

Notaris Indonesia, Presidium Konferensi Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan

Presidium Kongres Ikatan Notaris Indonesia, dan yang tugasnya menyelesaikan

permasalahan etika dan prilaku notaris dan keberadaannya hampir ada disetiap

daerah Kabupaten/Kota (dikenal dengan nama Dewan Kehormatan Daerah), dan

wilayah Provinsi (dikenal dengan nama Dewan Kehormatan Wilayah) serta di


Ibu Kota Negara (dikenal dengan nama Dewan Kehormatan Pusat), dan dengan

catatan keanggotaan Dewan Kehormatan Notaris seluruhnya berasal dari

anggota Ikatan Notaris Indonesia.

2. Majelis Pengawas Notaris diangkat dan disumpah oleh kemenkumham sesuai

tingkatannya dan yang tugasnya menyelesaikan permasalahan pelaksanaan

tugas jabatan notaris dan keberadaannya hampir ada disetiap daerah

Kabupaten/Kota (dikenal dengan nama Majelis Pengawas Notaris Daerah), dan

Wilayah Provinsi (dikenal dengan nama Majelis Pengawas Notaris Wilayah) serta

di Ibu Kota Negara (dikenal dengan nama Majelis Pengawas Notaris Pusat), dan

dengan catatan keanggotaan Majelis Pengawas Notaris berasal dari unsur

anggota Ikatan Notaris Indonesia, unsur Pemerintahan dan unsur Akademisi.

3. Majelis Kehormatan Notaris diangkat dan disumpah oleh Kemenkumham RI

sesuai tingkatannya dan yang tugasnya memberikan persetujuan dan/atau

menolak permintaan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk memanggil

notaris untuk diperiksa dan mengambil photo copy yang berada dalam

penyimpanan protokol notaris dan keberadaannya hanya ada di Wilayah Provinsi

yang dikenal dengan nama Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dan di Ibu Kota

Negara (dikenal dengan nama Majelis Kehormatan Notaris Pusat), dan dengan

catatan keanggotaan Majelis Kehormatan Notaris berasal dari unsur anggota

Ikatan Notaris Indonesia, unsur Pemerintahan dan unsur Akademisi.

Adapun perbedaan antara Dewan Kehormatan Notaris dengan Majelis Pengawas

Notaris , diantaranya adalah


1. Dewan Kehormatan Notaris dengan Majelis Pengawas Notaris merupakan dua

lembaga yang berbeda dan mempunyai kewenangan yang berbeda pula dalam

hal pelaksanaan pengawasan bagi Notaris;

2. Dewan kehormatan Notaris dibentuk sebagai alat perlengkapan Organisasi

Ikatan Notaris Indonesia, sedangkan Majelis Pengawas Notaris dibentuk oleh

Menteri yang membawahi bidang Kenotariatan;

3. Dari kewenangannya, maka Dewan Kehormatan Notaris Berwenang untuk

melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelanggaran kode etik organisasi

yang tidak berkaitan secara langsung dengan masyarakat atau hanya bersifat

internal organisasi saja, sedangkan majelis Pengawas Notaris berwenang

melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran jabatan Notaris

dan kode etik apabila berkaitan langsung dengan masyarakat yang

menggunakan jasa notaris;

4. Dalam kewenangan masing-masing tercantum bahwa kedua lembaga yang

berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaaan terhadap pelaksanaan

dan pelanggaran kode etik Notaris, namun lingkup kewenangannya berbeda

berdasarkan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris;

5. Apabila pelanggaran kode etik yang dilakukan bersifat internal, maka Dewan

Kehormatan Notaris hanya bertugas untuk melakukan pemeriksaan atas

pelanggaran tersebut, dan bila sifat pelanggaran yang dilakukan telah merugikan

klien atau masyarakat maka Majelis Pengawas Notaris yang bertugas untuk

melakukan pemeriksaan.
Upaya-upaya yang dilakukan Organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia

dalam pembinaan dan penegakan hukum secara professional, terutama dengan

adanya kewenangan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagai lexspesialis

derogat legi generali terkait dengan adanya kewenangan Penyidikan yang bersifat

imperatif memanggil seseorang sebagai Saksi atau Tersangka, maka Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Polri) bersama Pengurus Pusat Ikatan Notaris

Indonesia (PP-INI) telah melakukan Perpanjangan Nota Kesepahaman (MoU)

tentang Pembinaan dan Penegakan Hukum dalam upaya meningkatkan

Profesionalisme yang sesungguhnya telah pernah diperbuat sebelumnya oleh kedua

belah pihak masing-masing tertanggal 9 Mei 2005 dibawah Nomor : Pol.

B/1056/V/2006 dan Nomor 01/MOU/PP-INI/V/2006. Sebagai tindak lanjut

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bersama Pengurus Pusat Ikatan

Notaris Indonesia (PP-INI) telah melakukan perpanjangan Memorandum of

Understanding yang diperbuat tertanggal 21 Agustus 2018 lebih merupakan sebagai

penyesuaian dengan latar belakang lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris

Tahun Nomor : 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,satu dan lain hal yang terkait dengan

pelaksanaan kerja sama dalam penegakan hukum secara professional yang diikuti

pedoman kerja bersama untuk mengatur teknis pelaksanaan penegakan hukum

yang antara lain dimuat lampiran Nota Kesepahaman.


Selain berdasarkan ketentJelaskan sebab Notaris diwajibkan menyimpan rahasia

dikarenakan jabatan berdasarkan ketentuan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana ?

Jawaban :

Pasal 170 Ayat (1) KUHAP juga menegaskan, bahwa mereka yang karena pekerjaan,

harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta

dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang

hal yang dipercayakan kepada mereka, dan penjelasan pasal 170 ayat (1)

menyebutkan bahwa pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban

untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan.

Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 170 ayat (2), menyebutkan hakim

menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut, dan

penjelasan pasal 170 ayat (2), menyebutkan bahwa jika tidak ada ketentuan

Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan

yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang

menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan

kebebasan tersebut.

1. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan Undang-undang Jabatan Notaris terkait Notaris dalam

memberikan kesaksian ?

Jawaban :
Dalam hal memberikan kesaksian, seorang Notaris tidak dapat mengungkapkan

akta yang dibuatnya baik sebagian maupun keseluruhannya, karena hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris berbunyi Notaris

hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse

Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung

pada akta, ahli waris atau orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh

peraturan perundang-undangan.

2. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan status keanggotaan perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia

berdasarkan ketentuan Bagian kesatu tentang status keanggotaan Pasal 2 Anggaran

Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Tahun 2018 ?

1. Status Anggota Perkumpulan adalah :

a. Anggota biasa;

b. Anggota luar biasa;

c. Anggota kehormatan.

2. Anggota biasa adalah :

a. setiap orang yang menjalankan tugas jabatan Notaris (Notaris aktif) yang

terdaftar sebagai anggota perkumpulan dan mempunyai hak suara;

b. setiap notaris yang telah berhenti melaksanakan tugas jabatan Notaris

(Werda Notaris), karena:

- diberhentikan dengan hormat karena telah mencapai umur yang

telahditetapkan Undang-Undang; atau


- berhenti atas permintaannya sendiri.

3. Anggota luar biasa adalah setiap orang yang telah lulus dari pendidikan

kenotariatan yang terdaftar sebagai anggota Perkumpulan.

4. Anggota kehormatan adalah seseorang yang mempunyai jasa yang sangat besar

terhadap Perkumpulan maupun lembaga kenotariatan.

3. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan tentang Susunan dan alat perlengkapan perkumpulan

Berdasarkan ketentuan BAB III Pasal 11 Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris

Indonesia Tahun 2018 ?

Jawaban :

Perkumpulan mempunyai susunan dan alat perlengkapan berupa :

1. Rapat anggota :

a. Kongres/Kongres Luar Biasa;

b. Konferensi Wilayah/Konferensi Wilayah Luar Biasa;

c. Konferensi Daerah/Konferensi Daerah Luar Biasa.

2. Kepengurusan:

a. Pengurus Pusat;

b. Pengurus Wilayah;

c. Pengurus Daerah.

3. Dewan Kehormatan :

a. Dewan Kehormatan Pusat;

b. Dewan Kehormatan Wilayah;


c. Dewan Kehormatan Daerah.

4. Mahkamah Perkumpulan.

4. Pertanyaan :

Sebutkan pengaturan ketentuan rapat pengurus pusat, Pengurus Wilayah dan

Pengurus Daerah berdasarkan anggaran rumah tangga ikatan notaris Indonesia

tahun 2018 ?

Jawaban :

1. Berdasarkan ketentuan rapat pengurus pusat pasal 40 Anggaran Rumah Tangga

Ikatan Notaris Indonesia tahun 2018 secara tegas menyatakan :

Rapat Pengurus Pusat terdiri atas :

a. Rapat Harian;

b. Rapat Pleno;

c. Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas.

2. Berdasarkan ketentuan rapat pengurus wilayah pasal 46 anggaran rumah

tangga ikatan notaris Indonesia tahun 2018 secara tegas menyatakan :

rapat pengurus wilayah terdiri atas :

a. Rapat Harian;

b. Rapat Pleno;

c. Rapat gabungan pengurus wilayah dan pengurus daerah.

3. Berdasarkan ketentuan rapat pengurus daerah pasal 52 anggaran rumah tangga

ikatan notaris Indonesia tahun 2018 secara tegas menyatakan :

Rapat pengurus daerah terdiri atas :


f. Rapat Harian;

g. Rapat Pleno.

5. Pertanyaan :

Sebutkan yang menjadi kewajiban anggota Ikatan Notaris Indoesia berdasarkan

ketentuan Pasal 7 Perubahan Anggaran Rumah Tangga Notaris tahun 2017 ?

Jawaban :

1. Setiap anggota wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan notaris dan

mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku pada umumnya

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi notaris pada khususnya,

Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Dan Kode Etik Notaris, Keputusan

Kongres, Peraturan -Peraturan maupun ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

oleh perkumpulan serta menjaga dan mempertahankan nama baik

perkumpulan;

2. Setiap anggota biasa dan anggota luar biasa wajib berpartisipasi aktif dalam

perkumpulan;

3. Setiap anggota biasa (dari Notaris aktif) wajib menjalankan jabatan Notaris

secara aktif dan nyata dengan memasang papan nama dan menyampaikan

laporan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

4. Setiap anggota biasa (dari notaris aktif) yang mengajukan permohonan pindah

tempat kedudukan atau perpanjangan masa jabatan wajib memperoleh

rekomendasi dari pengurus daerah dengan melibatkan dewan kehormatan

daerah, pengurus wilayah dengan melibatkan dewan kehormatan wilayah dan


pengurus pusat dengan melibatkan dewan kehormatan pusat, serta telah

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pengurus pusat;

Anggota biasa (dari Notaris aktif) wajib memberitahukan tentang perpindahannya

kepada pengurus pusat dengan

5. tembusan kepada pengurus daerah dan pengurus wilayah di tempat

kedudukannya yang lama dan yang baru selambat-lambatnya dalam waktu 30

(tiga puluh) hari sejak tanggal berita acara sumpah jababan di tempat

kedudukan yang baru dengan melampirkan tanda terima atau bukti pengiriman

pemberitahuan kepada pengurus daerah dan pengurus wilayah tempat

kedudukannya yang lama, serta fotocopi berita acara serah terima protokol;

6. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan perpindahan

keanggotaan tersebut, pengurus pusat mencatat di dalam buku daftar anggota;

7. Setiap anggota biasa (dari Notaris aktif) wajib membayar uang iuran bulanan

serta sumbangan lain yang ditetapkan oleh perkumpulan. apabila kewajiban

tersebut tidak dipenuhi maka anggota dimaksud tidak dapat menuntut hak-hak

sebagaimana tersebut dalam Pasal 6;

6. Pertanyaan :

Sebutkan sebab-sebab berakhirnya menjadi keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia

berdasarkan ketentuan Pasal 8 Perubahan Anggaran Rumah Tangga Notaris di

Banten 29-30 Mei 2015 ?


Jawaban :

1. Keanggotaan biasa (dari notaris aktif) berakhir karena:

a. Meninggal dunia;

b. Mengundurkan diri;

c. Ditaruh di bawah pengampuan;

d. Diberhentikan berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan/Kongres;

e. Diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Notaris oleh instansi yang

berwenang;

f. Mendirikan/ikut serta dan aktif dalam organisasi Notaris tandingan/sejenis,

atau

g. Tidak mentaati/mematuhi keputusan Kongres yang sah.

2. Keanggotaan anggota biasa (dari Werda Notaris) berakhir karena:

a. Meninggal dunia;

b. Dibawah pengampuan;

c. Diberhentikan berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan/Kongres.

3. Keanggotaan anggota luar biasa berakhir karena:

a. Meninggal dunia;

b. Dibawah pengampuan;

c. Diberhentikan berdasarkan keputusan pengurus pusat.

4. Keanggotaan anggota kehormatan berakhir karena:

a. Meninggal dunia;

b. Dibawah pengampuan;

c. Diberhentikan berdasarkan keputusan Kongres


7. Pertanyaan :

Sebutkan tugas dan kewajiban pengurus pusat ikatan notaris Indonesia berdasarkan

ketentuan Pasal 39 ayat (4) perubahan Anggaran Rumah Tangga Notaris tahun

2017 ?

Jawaban :

1. Melaksanakan ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

serta keputusan yang ditetapkan oleh Kongres, Kongres luar biasa dan

keputusan di luar Kongres;

2. Menyampaikan keputusan Kongres atau Kongres luar biasa, serta keputusan di

luar Kongres tersebut kepada semua anggota biasa (dari notaris aktif) melalui

Pengurus Wilayah Dan Pengurus Daerah;

3. Membina dan memupuk hubungan baik dengan semua aparat pemerintah serta

lembaga baik di dalam maupun di luar negeri, yang mempunyai hubungan

langsung maupun tidak langsung dengan bidang notariat dan hukum pada

umumnya;

4. Mengadakan rapat berupa rapat harian, rapat pleno, dan rapat pleno yang

diperluas dalam rangka pelaksanaan tugas kepengurusannya;

5. Memupuk dan membina rasa kebersamaan profesi (Corpsgeest) di antara para

anggota;

6. Memupuk rasa kepedulian terhadap perkumpulan;


7. Meningkatkan ilmu pengetahuan para anggota sesuai dengan perkembangan

ilmu, khususnya ilmu kenotariatan, memelihara kehormatan diri, etika, moral

dalam rangka meningkatkan profesionalisme anggota;

8. Menetapkan Perwakilan atau Anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris dan

Majelis Kehormatan Notaris dari Unsur Notaris;

9. Menyelenggarakan ujian kode etik dan uji kompetensi dengan menyertakan

Dewan Kehormatan Pusat;

8. Pertanyaan :

Sebutkan dan jelaskan sebab jabatan Notaris disebut dengan jabatan yang

terhormat dan bermartabat ?

Jawaban :

Profesi Notaris memiliki kewenangan menjalankan sebagian kekuasaan negara di

bidang hukum perdata dan juga memliki peran penting dalam membuat alat

pembuktian yang sempurna yaitu akta autentik dan juga karena jabatan notaris

merupakan jabatan yang harus memiliki sikap jujur, seksama, mandiri, tidak

berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.

9. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan pencatatan atas sanksi dalam pelanggaran Kode Etik serta

sebutkan dasar hukumnya ?


Pengurus Pusat wajib mencatat dalam buku daftar anggota perkumpulan atas setiap

keputusan Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/Dewan

Kehormatanpusat/Kongres yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta

diatur dalam pasal 12 perubahan kode etik notaris di Banten 29-30 Mei 2015.

10. Pertanyaan :

Sebutkan yang menjadi lambang, bendera dan pataka perkumpulkan berdasarkan

ketentuan Pasal 62 ayat (1) perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris di

tahun di Balikpapan tahun 2017 ?

Jawaban :

1. lambang yang merupakan suatu rangkaian sehingga menjadi suatu kesatuan dari

unsur-unsur atribut yang ada pada zaman dahulu, diberikan secara simbolis

kepada seorang yang diangkat sebagai Notaris (Notarius) pada saat

pelantikannya sebagai Notaris (Notarius) yang terdiri dari:

a. PERKAMEN (bahan/kertas untuk penulisan) – warna : Putih.

b. CINCIN CAP (Zegelring) warna : Kuning Emas.

c. PENA dari bulu angsa (Vederpen) - warna : Putih

d. BOTOL tinta (Inktkoker) warna : Merah

e. TUTUP BOTOL tinta warna : Putih

f. Sehelai PITA putih dengan bertuliskan perkataan “Notarius” yang dilekatkan

padaujung bagian bawah dari perkamen dan pena (Vederpen) tersebut.

2. Bendera berwarna hijau yang ditengahnya memuat lambang dan dikelilingi

rumbai warna kuning emas;


3. Pataka berwarna hijau yang ditengahnya memuat lambang dan dikelilingi

rumbai warna kuning emas.

Sebutkan tata cara Perubahan Anggaran Rumah Tangga Perkumpulan Ikatan

Notaris Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 63 Perubahan Anggaran Rumah

Tangga Ikatan Notaris di tahun di Balikpapan tahun 2017 ?

Jawaban :

1. Anggaran rumah tangga hanya dapat diubah dan/atau ditambah oleh rapat

pleno pengurus pusat yang diperluas, yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya

2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota pengurus pusat, Dewan Kehormatan

Pusat, Wakil-Wakil Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus

Daerah Dan Dewan Kehormatan Daerah, dan keputusan disetujui oleh

sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah suara yang dikeluarkan

secara sah dalam rapat.

2. Apabila dalam pembukaan rapat pleno pengurus pusat yang diperluas tidak

tercapai korum, maka rapat pleno pengurus pusat yang diperluas diundur

selama 30 (tiga puluh) menit dan apabila sesudah pengunduran itu belum juga

tercapai korum yang dipersyaratkan, maka rapat pleno pengurus pusat yang

diperluas dianggap sah dan dapat mengambil keputusan yang sah, dengan tidak

mengindahkan jumlah anggota yang hadir asal saja keputusan itu disetujui oleh

sekurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah.

11. Pertanyaan :
Sebutkan pengertian dari rapat anggota dalam perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia ?

Rapat anggota adalah rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota biasa (dari notaris

aktif) perkumpulan di luar konferensi daerah atau konferensi daerah luar biasa.

12. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan dari rapat anggota dalam perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2), (3), dan (4) perubahan

anggaran rumah tangga ikatan Notaris di tahun di Balikpapan tahun 2017 ?

Jawaban :

1. Rapat anggota berwenang membicarakan dan mengambil keputusan tentang :

a. Usulan maksimal 5 (lima) nama bakal calon ketua umum dan maksimal 5

(lima) nama bakal calon dewan kehormatan pusat;

b. Usulan maksimal 5 (lima) nama bakal calon Ketua Pengurus Wilayah dan

maksimal 5(lima) nama bakal calon dewan kehormatan wilayah;

c. Menetapkan minimal honorarium Notaris;

d. Hal-hal lain yang dipandang perlu;

2. Undangan untuk menghadiri rapat anggota harus sudah dikirim oleh pengurus

daerah kepada setiap anggota biasa (dari Notaris aktif) selambat-lambatnya 7

(tujuh) hari sebelum rapat anggota diadakan. undangan tersebut harus secara

tertulis dan disampaikan melalui surat tercatat, atau kurir, atau surat elektronik,

dengan menyebutkan tempat, waktu dan acara rapat anggota;


Rapat Anggota sah jika dihadiri lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari seluruh jumlah

anggota biasa. Apabila pada pembukaan rapat jumlah korum tidak tercapai, maka

rapatditunda 30 (tigapuluh) menit dan apabila setelah pengunduran waktu tersebut

korum belum juga tercapai,

3. maka rapat dianggap sah dan rapat dapat mengambil keputusan yang sah.

13. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan rapat gabungan Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah ?

Jawaban :

1. Rapat gabungan pengurus wilayah dan pengurus daerah adalah rapat pleno

pengurus wilayah yang dihadiri oleh pengurus wilayah dan pengurus daerah

yang berwenang untukmengambil keputusan-keputusan organisasi setingkat di

bawah keputusan pengurus pusat;

2. Rapat gabungan pengurus wilayah dan pengurus daerah diadakan sekurang-

kurangnya sekali dalam 12 (dua belas) bulan, untuk :

a. Mengadakan penilaian terhadap pelaksanaan keputusan Kongres, Rapat

Pleno Pengurus Pusat yang diperluas dan Keputusan Pengurus Pusat, sejauh

mana sudah dilaksanakan atau yang belum dilaksanakan;

b. Menetapkan usulan maksimal 5 (lima) nama bakal calon Ketua Umum dan

maksimal 5 (lima) nama bakal calon anggota Dewan Kehormatan Pusat yang
diperoleh dari hasilRapat Anggota yang diselenggarakan oleh Pengurus-

pengurus Daerah di wilayahnya;

c. Memilih salah seorang dari Wakil Ketua, dalam hal terdapat lebih dari

seorang Wakil Ketua, untuk bertindak sebagai pejabat Ketua Pengurus

Wilayah apabila Ketua Pengurus Wilayah tidak dapat menjalankan jabatan

sampai akhir masa jabatannya.

3. Pada setiap Rapat Gabungan Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah dapat

diadakan pula rapat koordinasi antara Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan

Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah;

4. Undangan untuk menghadiri Rapat Gabungan Pengurus Wilayah dan Pengurus

Daerah harus sudah dikirim oleh Pengurus Wilayah kepada setiap anggota

melalui Pengurus Daerah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Rapat

Gabungan Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah diadakan. Undangan tersebut

harus secara tertulis dan disampaikan melalui surat tercatat, atau kurir, atau

surat elektronik, dengan menyebutkan tempat, waktu dan acara Rapat Gabungan

Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.

14. Pertanyaan :

Bagaimana unsur-unsur Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan

ketentuan Pasal 45 ayat (1) Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris di

tahun di Balikpapan tahun 2017 ?

Jawaban :
Pengurus Wilayah terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua atau lebih,

seorang sekretaris, seorang wakil sekretaris atau lebih, seorang bendahara, seorang

wakil bendahara atau lebih dan beberapa koordinator serta anggota bidang.

15. Pertanyaan :

Bagaimana ketentuan-ketentuan untuk dapat diangkat sebagai Pengurus Wilayah

Ikatan Notaris Indonesia ?

Jawaban :

a. Telah menjabat sebagai Notaris sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;

b. Tidak akan berakhir masa jabatannya sebagai Notaris sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris;

c. Mentaati peraturan perundangan, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,

Peraturan Perkumpulan, serta Kode Etik Notaris;

d. Loyal terhadap perkumpulan dan aktif dalam menjalankan organisasi, termasuk

menghadiri rapat dan kegiatan organisasi, serta bersedia menandatangani surat

pernyataan kesanggupan selaku Pengurus Wilayah.

16. Pertanyaan :

Sebutkan tugas dan kewajiban Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia ?

Jawaban :

Pengurus Wilayah selaku koordinator dari Pengurus Daerah-Pengurus Daerah

dalam wilayah kepengurusannya, mempunyai tugas dan kewajiban untuk :


a. Melaksanakan keputusan-keputusan Kongres, Kongres Luar Biasa, keputusan di

luar Kongres, Pengurus Pusat, Konferensi Wilayah, Konferensi Wilayah Luar

Biasa dan Pengurus Wilayah;

b. Membina dan memupuk hubungan baik dengan semua instansi pemerintah serta

lembaga lainnya dalam daerah kepengurusannya, yang mempunyai hubungan

langsung dengan bidang Notariat dan hukum pada umumnya;

c. Mengadakan rapat Pengurus Wilayah dalam rangka pelaksanaan tugasnya;

d. Memberikan laporan secara periodik, sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan

kepada atau setiap waktu yang diminta oleh Pengurus Pusat tentang semua

kegiatan dan keadaan Perkumpulan di daerahnya;

e. Memupuk dan membina rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) di antara para

anggota;

f. Memupuk rasa kepedulian terhadap organisasi;

g. Memberikan pertanggungjawaban kepada Konferensi Wilayah pada akhir masa

jabatannya termasuk di dalamnya perhitungan dan pertanggungjawaban

keuangan;

h. Menyelenggarakan kegiatan yang dipandang berguna bagi konsolidasi organisasi,

peningkatan profesionalisme anggota. Apabila kegiatan tersebut berskala

nasional maka kegiatan tersebut dikoordinasikan dengan Pengurus Pusat;

i. Mengkoordinasi kegiatan-kegiatan antar Pengurus Daerah yang berada dalam

kepengurusannya;

j. Membantu Pengurus Pusat untuk menyebarluaskan informasi kepada para

anggota, baik secara langsung atau melalui Pengurus Daerah;


k. Menetapkan perwakilan dan anggota Majelis Pengawas Wilayah Notaris dan

Majelis Kehormatan Notaris dari unsur Notaris.

17. Pertanyaan :

Apabila karena sebab apapun Ketua Pengurus Wilayah tidak dapat menjalankan

jabatan sampai akhir masa jabatannya di antaranya karena berhalangan tetap,

maka Wakil Ketua atau dalam hal terdapat lebih dari seorang Wakil Ketua, salah

seorang di antaranya yang dipilih oleh Rapat Gabungan Pengurus Wilayah dengan

Pengurus Daerah bertindak sebagai pejabat Ketua Pengurus Wilayah sampai

berakhir masa jabatan.

18. Pertanyaan :

Sebutkan yang dimaksud dengan rapat pleno yang diperluas dalam perkumpulan

Ikatan Notaris Indonesia ?

Jawaban :

Rapat Pleno Pengurus Pusat yang Diperluas adalah Rapat Pleno Pengurus Pusat

yang dihadiri juga oleh :

a. Dewan Kehormatan Pusat, perwakilan Pengurus Wilayah, perwakilan Dewan

Kehormatan Wilayah, perwakilan Pengurus Daerah dan perwakilan Dewan

Kehormatan Daerah yang berwenang untuk mengambil keputusan-keputusan

organisasi setingkat di bawah Keputusan Kongres.

b. Organ organisasi lainnya yang dibentuk oleh Pengurus Pusat (Pasal 16 ayat (10

e) ART) atas undangan Pengurus Pusat.


19. Pertanyaan :

Sebutkan tugas dan kewajiban dari Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia?

Jawaban:

Ketua Pengurus Wilayah sewaktu-waktu berhak untuk menyempurnakan susunan

anggota Pengurus Wilayah dalam masa kepengurusannya dengan memperhatikan

ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perkumpulan.

20. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan terhadap Ketua Pengurus Wilayah yang tidak dapat

menjalankan jabatan sampai akhir masa jabatannya ?

1. Melaksanakan ketentuan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

serta keputusan yang ditetapkan oleh Kongres, Kongres Luar Biasa dan

keputusan di luar Kongres;

2. Menyampaikan keputusan Kongres atau Kongres Luar Biasa, serta keputusan

di luar Kongres tersebut kepada semua anggota biasa (dari Notaris aktif) melalui

Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah;

3. Membina dan memupuk hubungan baik dengan semua aparat Pemerintah serta

lembaga baik di dalam maupun di luar negeri, yang mempunyai hubungan

langsung maupun tidak langsung dengan bidang notariat dan hukum pada

umumnya;
4. Mengadakan rapat berupa Rapat Harian, Rapat Pleno, dan Rapat Pleno Yang

Diperluas dalam rangka pelaksanaan tugas kepengurusannya;

5. Memupuk dan membina rasa kebersamaan profesi (Corpsgeest) di antara para

anggota;

6. Memupuk rasa kepedulian terhadap Perkumpulan;

7. Meningkatkan ilmu pengetahuan para anggota sesuai dengan perkembangan

ilmu,khususnya ilmu kenotariatan, memelihara kehormatan diri, etika, moral

dalam rangka meningkatkan profesionalisme anggota;

8. Menetapkan perwakilan atau anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris dan

Majelis Kehormatan Notaris dari unsur Notaris;

9. Menyelenggarakan Ujian Kode Etik dan Uji Kompetensi dengan menyertakan

Dewan Kehormatan Pusat;

21. Pertanyaan :

Sebutkan ketentuan-ketentuan agar dapat diangkat menjadi Pengurus Pusat Ikatan

Notaris Indonesia ?

1. Telah menjabat sebagai Notaris sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan

pernahduduk sebagai anggota Pengurus Pusat/Dewan Kehormatan

Pusat/PengurusWilayah/Dewan Kehormatan Wilayah /Pengurus, Daerah

/Dewan Kehormatan Daerah;

2. Tidak akan berakhir masa jabatannya sebagai Notaris sebagaimana dimaksud

dalamPasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris;
3. Mentaati peraturan perundangan, peraturan Perkumpulan, Anggaran Dasar,

Anggaran Rumah Tangga, dan Kode Etik Notaris;

4. Loyal terhadap perkumpulan dan aktif dalam menjalankan organisasi, termasuk

menghadiri rapat dan kegiatan organisasi, serta bersedia menandatangani surat

pernyataan kesanggupan selaku Pengurus Pusat.

22. Pertanyaan :

Bagaimana perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki kekayaan dan sumber

pendapatan ?

Jawaban :

Kekayaan Perkumpulan bersumber dari :

a. Iuran anggota;

b. Sumbangan-sumbangan dari anggota-anggota Perkumpulan badan-badan

pemerintahdan swasta dan pihak lain yang sifatnya tidak mengikat;

c. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh Perkumpulan sepanjang tidak

bertentangandengan ketentuan undang-undang atau peraturan yang berlaku.

23. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan tentang peraturan perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia ?

Jawaban :

1. Perkumpulan mempunyai Peraturan Perkumpulan yang ditetapkan oleh

PengurusPusat berdasarkan Keputusan Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang


Terbatas atauRapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas, untuk mengatur hal-

hal yang tidakatau belum cukup diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga.

2. Keputusan-keputusan Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Terbatas atau

RapatPleno Pengurus Pusat Yang Diperluas yang telah diputuskan sebelumnya

yangtidak ada perubahan dapat ditetapkan langsung sebagai Peraturan

Perkumpulanoleh Pengurus Pusat.

3. Peraturan Perkumpulan tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar

danAnggaran Rumah Tangga.

24. Pertanyaan :

Bagaimana pembagian iuran anggota dalam perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia ?

Jawaban :

Pembagian iuran anggota tersebut adalah sebagai berikut :

- sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk Pengurus Pusat;

- sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk Pengurus Wilayah;

- sebesar 50% (lima puluh persen) untuk Pengurus Daerah;

25. Pertanyaan :

Sebutkan peserta Rapat Pleno Pengurus Pusat yang diperluas dalam perkumpulan

Ikatan Notaris Indoesia ?


Jawaban :

a. Setiap anggota Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat;

b. Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah, Dewan

Kehormatan Daerah, dengan ketentuan sebagai berikut ;

- Pengurus Wilayah diwakili oleh Ketua dan Sekretaris, dan apabila Ketua atau

Sekretaris berhalangan hadir, maka dapat diwakili oleh 1 (satu) anggota

Pengurus Wilayah lainnya yang ditunjuk secara tertulis oleh Rapat

PengurusWilayah;

- Pengurus Daerah diwakili oleh Ketua dan Sekretaris, dan apabila Ketua

atauSekretaris berhalangan hadir, maka dapat diwakili oleh 1 (satu)

anggotaPengurus Wilayah lainnya yang ditunjuk tertulis oleh Rapat Pengurus

Daerah;

- Dewan Kehormatan Wilayah diwakili oleh Ketua, dan apabila Ketua

berhalangan hadir, maka dapat diwakili oleh 1 (satu) orang anggota Dewan

Kehormatan Wilayah lainnya yang ditunjuk secara tertulis oleh Rapat Dewan

Kehormatan Wilayah;

- Dewan Kehormatan Daerah diwakili oleh Ketua, dan apabila Ketuaberhalangan

hadir, maka dapat diwakili oleh 1 (satu) orang anggota DewanKehormatan

Daerah lainnya yang ditunjuk secara tertulis oleh Rapat Dewan Kehormatan

Daerah.

c. Setiap anggota organ perkumpulan di tingkat Pusat, dapat berpartipasidalam

Rapat atas permintaan Ketua Umum.


NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM

Menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 2 Tahun 2014, akta notaris adalah akta autentik

yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Akta otentik sangat penting dalam hal

pembuktian di pengadilan karena merupakan alat bukti yang sempurna

sebagaimana diatur dalam pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Pentingnya akta otentik dalam hal pembuktian di pengadilan karena merupakan

alat bukti yang sempurna.

Sebutkan bagian-bagian dari anatomi sebuah akta notaris?

Jawaban :

1. Awal akta atau kepala akta :

a. Judul akta;

b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal bulan dan tahun dan;

d. Nama lengkap dan kedudukan notaris.

2. Badan Akta :

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang

mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;


c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang

berkepentingan dan;

d. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan,

dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

3. Akhir atau penutup akta :

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat

1 huruf l atau Pasal 16 ayat 7;

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penterjemahan akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan

tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;

d. Uraian tentang adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau

uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,

pencoretan, atau penggantian;

e. Bagian akhir/penutup akta disebutkan selesainya pembuatan akta, nama

status dari saksi, keterangan notaris dibaca atau dibacakan dan diterangkan

kepada penghadap dan penghadap menyatakan jelas dan mengerti, maka

segera diparaf dan atau ditanda-tangani/dibubuhi cap jempol jari oleh pihak,

saksi-saksi dan notaris.

1. Kekuatan pembuktian lahiriah, yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar

suatu akta notaris dapet berlaku sebagai akta otentik;


2. Kekuatan pembuktian formal, yaitu suatu kepastian bahwa sesuatu kejadian atau

fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh pejabat yang berwenang

atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap;

3. Kekuatan pembuktian materiel yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas

benar atau tidaknya isi pernyataan yang ditanda-tangani dalam akta, bahwa

peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta benar-benar terjadi.

Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan

UU oleh/dihadapan pejabat umum yg berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Ps 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adl alat pembuktian yg sempurna bagi kedua

pihak & AW,sekalian org yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-

pihak suatu pembuktian yg mutlak.

Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:

1. Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk

membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn

kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yg mengaturnya;

2. Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.

3. Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd peristiwa,apa yg

diterangkan dlm akta itu benar.

Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan

Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka

akta tersebut  merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari
para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang

dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.  Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai

dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan

hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu

bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan

hukum yang berlaku. 

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994,

tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut

ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang

sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang

mendapat hak darinya. Pasal 50 KUHP berbunyi : Tidaklah dapat dihukum, barang

siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-

undangan. 

Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan

pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini

publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai

pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum

perdata terutama dalam hukum pembuktian.


Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi

sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang

bersengketa. Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal

1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :

1. bukti tulisan;

2. bukti dengan saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan;

5. sumpah

Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik

maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta

otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa membuat

akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal

1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat yang

diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta otentik.

Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan

sebagai cap para Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini

dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN.  Notaris Dalam Memberikan

Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesiî.

 
Bagaimana kalau notaris dipanggil sebagai saksi akta?

Dalam kedudukan notaris sebagai saksi (perkara perdata) notaris  dapat minta

dibebaskan dari kewajiban  untuk membuat kesaksian karena jabatannya menurut UU

diwajibkan untuk merahasiakannya  (Ps 1909 ay 3 BW). Dalam hal ini notaris

mempunyai  kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri notaris tapi untuk

kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada notaris. 

HAK INGKAR dan KEWAJIBAN INGKAR

“DIBEBASKAN DARI KEWAJIBANNYA MEMBERIKAN KESAKSIAN”

(Pasal 1909 Ayat 3 KUHPerdata, Pasal 322 KUHP)

WAJIB MERAHASIAKAN

(Pasal 4, 16, 54 UUJN)

“KECUALI : Undang-Undang Menentukan Lain”


 

Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk

menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para

pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang

memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan

tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu

kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1)

huruf e UUJN.

Pasal 1909 ayat 3 KUH Perdata menyebutkan bahwa   segala siapa yang karena

kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan

merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang

pengetahuannya dipercayahkan kepadanya sebagai demikian.    

Pasal 170 ayat (1) KUHAP:

(1). Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan

sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

(2). Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Ketentuan dalam KUHAP, secara materil dituangkan  Pasal 322 ayat 1 KUH Pidana 

yang menyatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu

rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaan


baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya sembilan bulan.

         Selanjutnya beberapa pasal dalam UUJN mengatur mengenai rahasia jabatan

Notaris, yaitu: Pasal 4 ayat 2 UU Jabatan Notaris (sumpah jabatan) yang berbunyi:

“….Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam

pelaksanaan jabatan saya.”  Terdapat pula rumusan Pasal 16 ayat  1 huruf a UU JN

menyatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: a. bertindak jujur, 

saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam

perbuatan hukum; dan (e)  merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya

dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai  dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Penjelasan Pasal  16

ayat (1) huruf e ini menerangkan bahwak Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu

yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi

kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut.  Dengan demikian, dalam

konteks filosofis, maka rahasia jabatan merupakan bagian dari instrumen perlindungan

hak pribadi para pihak yang terkait dengan akta yang dibuat oleh notaris, sehingga tidak

dapat direduksi menjadi instrumen untuk semat-mata melindungi notaris.

       Pasal 54 UU Jabatan Notaris  berbunyi “Notaris hanya dapat memberikan,

memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan

Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta,  ahli waris atau  orang

yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”


Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk

terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan

jabatannya telah mengikuti prosedur  yang ditentukan oleh Undang-

undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang

kewajiban dan larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-

ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan

Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena

atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan

perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki

perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali

kalau Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan

orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan

tidak “kebal hukum….”

Untuk melihat akta notaris, notaris harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus

dinilai benar berkata seperti yang disampaikan yang dituangkan dalam akta tersebut.

Notaris dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal seperti yang disebutkan

dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA  No.702K/Sip/1973. Notaris

hanya berfungsi  mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan

oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut.  Notaris tidak wajib menyelidiki

secara materiil hal-hal yang dikemukakan para penghadap notaris.

Sepanjang notaris menjalankan jabatan dan profesinya  berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris, dan asas-

asas hukum, maka   notaris  tersebut tidak dapat  dipersalahkan.(Syafran


Sofyan). Termasuk untuk menjadi saksi, karena akta notaris tersebut sendiri

merupakan akta otentik, yakni akta yang mempunyai kebenaran lahir, formil dan

materil, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menyangkalnya.

Janganlah belum apa-apa, penyidik dengan gampangnya  memanggil notaris, 

sementara para pihaknya saja belum dipanggil ?.

Berkaitan dengan masalah rahasia jabatan notaris, pada intinya berisikan kewajiban

notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut: 

 Bahwa para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang

dicantumkan dalam akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang

diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai

notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta-aktanya;

 Bahwa hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak

(verschoningsrecht), akan tetapi merupakan kewajiban (verschoningspicht),

notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini tidak didasarkan kepada pasal 1909n

sub 3 KUHPerdata, yang hanya memberikan kepadanya hak untuk

mengundurkan diri sebagai saksi, akan tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan

pasal 40 PJN.

 Bahwa di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari

para notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak

bicara mengenai isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum

dalam akta-aktanya maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan

kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan,


kecuali hal-hal dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal

dimana untuk itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang

berlaku membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.

Sehubungan dengan penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan dengan

ketentuan pasal 4, 16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta

beserta hal-hal yang diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta

tersebut adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan demikian

untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk memeberikan keterangan

sebagai saksi bukan hanya merupakan hak tapi juga merupakan suatu kewajiban bagi

notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi

juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht).

Notaris-PPAT-Pejabat Lelang di Jakarta Selatan, Majelis Pengawas Daerah Notaris,

Dosen : Lemhannas RI, Kementerian Pertahanan, Magister Kenotariatan (Univ

Brawijaya, Jayabaya, Untag), Dosen Pasca/S2 Hukum, Bareskrim Mabes Polri, Mabes

TNI, Diklat Perbankan, Jimly School at Law and Government ), Nara-sumber Seminar

Hukum, Konstitusi, Politik dan Demokrasi, Saksi Ahli, di Pengadilan dan Polri,

Pendiri/Ketua Ikatan sarjana Hukum Indonesia (ISHI).


Email: syafran.dosen@gmail.com Hp.08111986768.

Dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris sebagai Pejabat Umum selain berwenang

untuk membuat akta autentik dan akan tetapi juga memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris atau berdasarkan undang-

undang lainnya yang kesemuannya diperbuat dengan tujuan untuk menjamin

kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum sebagai alat bukti tertulis yang bersifat

autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat

di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang.

Selain itu, Notaris sebagai Pejabat Umum dalam memberikan pelayanan hukum kepada

masyarakat yang menjalankan tugas jabatannya dipandang perlu mendapatkan

perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum dengan membebankan

kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan

surat-surat lainnya yang tujuannya untuk melindungi kepentingan semua pihak yang

terkait dengan Akta tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

(untuk selanjutnya disebut UUJN) secara tegas menyebutkan tentang adanya

kewenangan Notaris adalah sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat

akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.


Kewajiban untuk melakukan pencatatan dalam repertorium terhadap semua akta

maupun surat yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara

yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris secara yuridis dapat

dikwalifikasikan sebagai dokumen resmi bersifat autentik yang memerlukan

pengamanan baik terhadap Akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah

penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab dan kumpulan dokumen yang

selanjutnya disebutkan sebagai Protokol Notaris merupakan arsip negara yang harus

disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Kewajiban menyimpan dan memelihara Minuta Akta berupa asli Akta yang

mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris yang wajib disimpan

sebagai bagian dari Protokol Notaris yang tujuannya untuk menjaga keautentikan suatu

Akta dengan menyimpan Akta dalam bentuk aslinya yang bertujuan apabila nantinya

dikemudian hari ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya

dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya, dan

berbeda dengan Akta in originali yang dibuat oleh Notaris dengan menyerahkan aslinya

kepada pihak yang bersangkutan.

sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”,

negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi

hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang

memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak
membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat

lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan. Oleh karena itu

kedudukan notaris sebagai pejabat umum perlu dikaji apakah sudah mencermikan

persamaan dimata hukum atau tidak. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan

secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk

memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar

belakangnya.

Ketentuan dalam pembukaan, Batang tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar

1945. Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori Equality Before the Law

termasuk dalam Pasal 27 ayat ( 1 ) yang menyatakan bahwa: Setiap warga Negara

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini merupakan pengakuan

dan jaminan hak kesamaan semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan6.

Tujuan utama adanya Equality Before the Law adalah menegakkan keadilan dimana

persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun

yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi

suatu diskriminasi dalam hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara

penguasa dengan rakyatnya. Berdasarkan hal tersebut, dikaitkan dengan prinsip

Equality Before the Law yang artinya menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut

kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga

negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Dari hasil

penelitian pendahuluan telah didapat adanya pemanggilan notaris baik sebagai saksi
dalam perkara perdata maupun sebagai terdakwa dalam hukum Pidana harus adanya

persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris.

KEWENANGAN NOTARIS.

1. Notaris berwenang membuat Akta autentik (Kewenagan utama)

Pasal 15 Ayat (1) UUJN menentukan bahwa, Notaris berwenang membuat Akta autentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,

menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat

lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Rumusan ketentuan Pasal 15

Ayat (1) UUJN mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Notaris berwenang membuat Akta autentik,

b. Mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, dan yang tujuannnya

untuk :

1. Menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,

2. Menyimpan Akta,

3. Memberikan grosse,Memberikan salinan, dan


4. Memberikan kutipan Akta.

c. Semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

Sebutkan pengertian akta autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata?

Jawaban :

Akta autentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPer) merupakan akta :

1. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

2. Dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu,

tempat di mana akta atau perjanjian dibuat.

Sebutkan sebab-sebab sebuah akta yang tidak dapat diberlakukan sebagai akta

autentik berdasarkan ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata?

Jawaban :

Pasal 1869 KUHPerdata juga menyebutkan akibat hukum terkait dengan akta tidak

dapat diberlakukan sebagai akta otentik, yaitu apabila :

1. Pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak cakap sebagai

pejabat umum atau;

2. Bentuk akta tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam

undang-undang.

 
1. Pertanyaan :

Sebutkan bunyi Pasal 164 HIR dan Pasal 165 HIR yang mengatur tentang alat

bukti?

Jawaban :

Dalam hukum acara perdata di Indonesia, surat, diantaranya termasuk perjanjian

merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam persidangan, sebagaimana

diatur dalam Pasal 164 Herzien Indlansch Reglement. Dalam Pasal 165 Herzien

Indlansch Reglement ditegaskan bahwa :

1. Akta yang dibuat oleh pegawai umum yang memiliki kuasa untuk membuatnya,

merupakan bukti yang cukup;

2. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dihadapan hukum

sehingga tidak dapat disangkal keberadaannya di pengadilan. Kecuali terdapat

bukti lain yang diajukan pihak lawan yang menyatakan sebaliknya. Misalnya

dalam kasus sengketa tanah, di mana pihak lawan mengatakan bahwa akta jual

beli tanah palsu, maka pihak lawan yang mengatakan hal tersebut harus

membuktikan bahwa akta jual beli tanah adalah palsu.

2. Notaris memiliki kewenangan lainnya (Kewenagan tambahan)

Akta di bawah tangan (onderhands) adalah merupakan akta atau surat yang

diperbuat oleh seseorang atau para pihak dalam bentuk tertulis dan ditanda tangani

dengan tanpa melibatkan pejabat umum yang ditentuakan untuk itu, dan
keberlakuannya hanya mengikan bagi yang membuatnya atau mereka yang

membuatnya, dan apabila nantinya dikemudian hari diantara mereka mengakui dan

tidak menyangkal akan kebenarannya menurut ketentuan pasal 1857 KUH Perdata

akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama

dengan suatu akta otentik.

2. Pertanyaan :

Sebutkan karakter khusus dari akta dibawah tangan (onderhands) ?

Jawaban :

1. Tidak ditentukan bentuk maupun tata cara pembuatannya;

2. Tidak ada kewajiban harus diperbuat dihadapan Pejabat yang ditunjuk secara

hukum;

3. Keberlakuannya baru mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak

penyangkalan akan kebenarannya dari yang membuat surat;

4. Proses pembuktian kebenaran isinya harus dikuatkan dengan tambahan saksi-

saksi dan alat bukti lainnya;

5. Dapat diperbuat kapan saja, tidak terikat waktu maupun tempat pembuatan.

Selain kewenangan dalam pembuatan akta autentik tugas jabatan Notaris juga memiliki

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuanPasal 15 Ayat (2)


menyebutkan bahwa, Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah

tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; Penjelasan Pasal 15 Ayat (2)

Huruf a UUJN menyebutkan bahwa, Ketentuan ini merupakan legalisasi

terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau

oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran

dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat Akta risalah lelang.

Penjelasan Pasal 15 Huruf g menyebutkan bahwa, Ketentuan ini dimaksudkan bahwa

pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

1. Akta waarmerken, adalah suatu akta atau surat di bawah tangan yang dipebuat

dan ditandatangani oleh seseorang atau mereka para pihak yang atas permintaan
yang berkepentingan didaftarkan dalam buku yang disediakan untuk itu pada

kantor Notaris dan Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi/isi maupun

tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak;

2. Akta legalisasi, adalah suatu akta atau surat di bawah tangan yang dipebuat dan

ditandatangani oleh seseorang atau mereka para pihak yang atas permintaan

yang berkepentingan notaris menyaksikan penandatanganannya dengan

memberikan nomor tanggal penandantanganannya. dan notaris tidak

bertanggung jawab terhadap kebenaran materi/isi akta atau surat selain dari

pada akan kebenaran penanda tangan dan tanggal pembuatan para pihak dalam

dokumen yang dibuat oleh para pihak.

3. Pertanyaan :

Bagaimana kekuatan pembuktian dari akta dibawah tangan berdasarkan ketentuan

Pasal 164 HIR?

Jawaban :

Berdasarkan Pasal 164 HIR, hukum acara perdata di Indonesia mengakui keberadaan

surat sebagai salah satu alat bukti yang sah di pengadilan. Maka dari itu, akta di bawah

tangan tetap diakui sebagai alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan ketika terjadi

sengketa. Namun, kekuatan pembuktiannya tidak sesempurna akta otentik, melainkan

kekuatan pembuktiannya tetap ada selama akta tersebut tidak disangkal oleh para pihak

yang membuatnya.
3. Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan (Kewenangan khusus yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan lainnya)

Konstruksi Yuridis yang dipergunakan oleh UUJN tentang kewenangan tugas jabatan

Notaris tersebut tidak terbatas kepada pembuatan akta autentik pada Ayat (1) dan

perbuatan hukum lainnya ttersebut dalam Ayat (2) dan akan tetapi juga memiliki

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (3)

UUJN menegaskan bahwa, Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) menyebutkan bahwa, Yang dimaksud dengan kewenangan

lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain :

Kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),

Membuat Akta ikrar wakaf, dan

Hipotek pesawat terbang.

Dengan demikian dalam pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum

telah mempunyai kewenangan yang diatur secara limitatif (terinci dan lengkap) dalam

UUJN, sehingga produk Akta maupun produk perbuatan hukum lainnya yang diperbuat

oleh atau dihadapan Notaris dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian dikemudian

hari oleh para pihak yang berkepentingan secara langsung.


KEWAJIBAN INGKAR NOTARIS

Selanjutnya berdasarkan UUJN No.2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UUJN No.30

Tahun 2004 yang pada pokoknya berisi tentang penegasan kembali arti pentingnya

pelindung hukum bagi Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai

Pejabat Umum dalam menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan-keterangan yang

diperolehnya dalam pembuatan akta.

Melalui ketentuan Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 (UUJN Revisi) menjadi tongak

sejarah yang memberikan penghargaan kepada pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang

harus dilindungi sebagai Pejabat Umum dengan Kewajibannya merahasiakan isi akta

dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, dan karenanya

Pasal 66 UU No. 2/2014 merupakan dasar hukum pelaksanaan hak dan kewajiban

ingkar bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

Meskipun Kewajiban Ingkar Notaris lebih bersifat memaksa (imperatif) secara hukum

akan menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan apabila menurut ketentuan pasal 66

UUJN yang nantinya apabila atas permintaan dari Penyidik, Penuntut Umum atau

Hakim yang telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari MKN untuk

kepentingan proses Peradilan, Penyidikan, Penuntutan berwenang :

1. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada

Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan

2. Memanggil Notaris untuk hadir dalampemeriksaan yang berkaitan dengan Akta

atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.


Gugurnya Kewajiban Ingkar Notaris dan/atau Hak Ingkar Notaris sejalan Peraturan

Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2016

Tentang Majelis Kehormatan Notaris yang menentukan pemanggilan terhadap Notaris

oleh Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin

dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW) Propinsi.

Jabatan Notaris bersifat inklusif

Kewajiban Ingkar (verschoningsplicht) dari Notaris yang termasuk didalamnya terdapat

Hak Ingkar (verschoningrecht) melekat dalam kedudukan dan jabatannya sebagai

Pejabat Umum sebagai jabatan yang bersifat inklusif, terutama dengan merujuk kepada

ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN mengenai sumpah/janji Notaris

dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN disebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk

merahasiakan segala sesuatu mengenai akta

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN mengenai sumpah/janji Notaris

ditegaskan bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh

dalam pelaksanaan jabatan saya.., dan dari rumusan ketentuan sumpah jabatan

tersebut terdapat unsur-unsur yang berkaitan dengan kewajiban Notaris untuk

merahasiakan :

1. Isi akta, dan

2. Keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan.

Dan selanjutnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f

UUJN disebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu


mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan

akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain, dan

dari ketentuan tersebut secara tegas dan jelas dirumuskan tentang kewajiban Notaris

untuk merahasiakan mengenai :

1. Segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya,

2. Segala keterangan yang diperolehnya.

3. Guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,

4. Kecuali undang-undang menetukan lain.

Berdasarkan kedua ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN

dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang

melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta

dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali

Undang-undang menentukan lain, maka Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

Bagi Notaris sebagaimana dimuat dalam Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017

tidak mungkin diterapkan dengan serta merta sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2

Ayat (2) point. c yang secara tegas meneyebutkan Pemantauan Transaksi Pengguna

Jasa.

Hak Ingkar merupakan pengertian tehnis yuridis yang menyebabkan suatu kewajiban

hukum akan menjadi batal apabila digugurkan oleh Hakim berdasarkan Pasal asal 170

KUHAP, Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 146 HIR, dan Pasal 174 RBg.
Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Notaris sesuai formalitas pembuatan akta lebih

bersifat pasif yang tujuannya menerangkan apa yang menjadi maksud dan kehendak

para penghadap, termasuk dalam identifikasi penghadap yang dilakukan Notaris

melalui dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu tanda pengenal lainnya yang

dikeluarkan intansi yang berwenang tentang identitas yang lebih bersifat formil dan

Identifikasi Pengguna Jasa berupa dokumen lainnya sangat tergantung kepada pihak

lain/instansi lain yang oleh Notaris diterima sebagai bukti formal berupa Pembelian

dan penjualan properti terkait dengan Kantor Pertanahan, Pengelolaan terhadap uang,

efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya terkait dengan lembaga keuangan

Perbankan, dan Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito,

dan/atau rekening efek terkait dengan lembaga keuangan Perbankan serta

Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan, dan/atau Pendirian, pembelian, dan

penjualan badan hukum terkait dengan proses pengesahan dan pendaftaran pada

Kemenkumhan RI (AHU Online).

Keberadaan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 TentangPenerapan Prinsip

Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2

Ayat (2) yang secara tegas menyebutkan Prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit memuat Identifikasi Pengguna Jasa, Verifikasi

Pengguna Jasa dan Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa yang tujuannya dalam

rangka pencegahan dan pemberantasan tindakpidana pencucian uang yang wajib

diterapkan oleh pihak pelapor.

Dengan demikian Kontruksi Yuridis dari penggunaan istilah tehnis “Kewajiban Ingkar”

secara langsung berasal dari dan diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf
f UUJN dalam pelaksanaan tugas jabatannya tidak dapat dengan serta merta diberikan

beban dan tanggung jawab kepada Notaris yang bukan menjadi tugas dan

kewenangannya, dan terlebih-lebih apabila nantinya penerapan Prinsip mengenali

Pengguna Jasa lebih bersifat materiil yang bukan menjadi tugas dan kewenangan

Notaris sebagai Pejabat Umum, dan akan tetapi sebagai warga Negara yang baik

seorang Notaris berkewajiban memberikan dukungan terhadap keberadaan

Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 TentangPenerapan Prinsip Mengenali

Pengguna Jasa Bagi Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan

pemberantasan tindakpidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor.

Meskipun ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan

UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Jabatan Notaris, disingkat UUJN tidak secara

limitatif mengatur bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris sebagai

Pejabat Umum, dan akan tetapi dari beberapa ketentuan pasal terkait dengan

pelaksanaan tugas jabatannya sebagai Pejabat Umum terdapat kewajiban Notaris untuk

merahasiakan segala sesuatu mengenai isi akta dan segala keterangan yang

diperolehnya dalam pelaksanaan jabatannya, dan "kewajiban merahasiakan bagi

Notaris tersebutlah yang kemudian dalam doktrin ilmu hukum dikenal sebagai

Kewajiban Ingkar Notaris yang didalamnya juga sekaligus terdapat Hak Ingkar Notaris.

Kewajiban Ingkar Notaris dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan juga

berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN dengan kewajiban Notaris untuk

merahasiakan terkait mengenai :

1. Segala sesuatu mengenai isi akta yang dibuatnya,


2. Segala keterangan yang diperolehnya,

3. Guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,

4. Kecuali undang-undang menetukan lain.

HAK INGKAR NOTARIS.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(disingkat UUJN) penggunaan hak ingkar belum menjadi pokok bahasan serius yang

akibatnya dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris sering kali diminta secara

langsung oleh Penyidik, Penuntut umum dan Hakim untuk memberikan kesaksian

mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya.

Setelah berlakunya UUJN penegakan hukum yang berkaitan dengan Kewajiban

merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam pembuatan

akta yang mengandung unsur “Kewajiban Ingkar Notaris dan Hak Ingkar Notaris”.

Melalui kententuan yang diatur dalam pasal 66 ayat (1) UUJN dinyatakan pemeriksaan

terhadap Notaris harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Majelis

Pengawas Daerah”, dan akan tetapi kemudian ketentuan tersebut dianggap

sangatbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang mengenai frasa

dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah, sehingga tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PPU-X/2012.


Hak Ingkar Notaris merupakan alasan pembenaran yang diperkenankan UU terhadap

seorang Notaris untuk meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian

mengenai isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan

akta, dan hak ingkar Notaris merupakan salah satu bahagian dari Kewajiban Ingkar

Notaris.

Penggunaan Hak Ingkar Notaris diatur secara sporadis dalam beberapa ketentuan UU,

yaitu Pasal 1909 KUH Perdata, Pasal 146 HIR, Pasal 170 KUHP, serta pasal 89 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986, dan dasar hukum pembebasan Notaris dari kewajiban

memberikan kesaksian terdapat dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f, dan

Pasal 54 UUJN dan selanjutnya sanksi Pidana bagi Notaris yang melanggar kewajiban

untuk merahasiakan tersebut diatur dalam Pasal 322 KUHP dan Sanksi Administrasi

kepada Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN.

Selain itu Pasal 170 Ayat (1) KUHAP juga menegaskan, bahwa mereka yang karena

pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu

tentang hal yang dipercayakan kepada mereka, dan penjelasan pasal 170 Ayat (1)

menyebutkan bahwa Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk

menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 170 Ayat (2), menyebutkan Hakim menentukan

sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut, dan penjelasan Pasal 170

Ayat (2), menyebutkan bahwa Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang –

undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti
yang ditentukan oleh ayat ini, Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang

dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Dalam hal memberikan kesaksian, seorang Notaris tidak dapat mengungkapkan akta

yang dibuatnya baik sebagian maupun keseluruhannya, karena hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 54 UU Jabatan Notaris berbunyi Notaris hanya dapat memberikan,

memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan

Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang

mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Majelis Kehormatan Notaris (MKN)

Berdasarkan UUJN No.2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UUJN No.30 Tahun 2004

yang pada pokoknya berisi tentang penegasan kembali arti pentingnya

perlindunganhukum bagi Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai

Pejabat Umum dalam menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan-keterangan yang
diperolehnya dalam pembuatan akta, dan karenanya melalui ketentuan Pasal 66 UU No.

2 Tahun 2014 (UUJN Revisi) menjadi tonggak sejarah yang memberikan penghargaan

kepada pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang harus dilindungi sebagai Pejabat Umum

dengan Kewajibannya merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang

diperolehnya dalam pembuatan akta, dan karenanya Pasal 66 UU No. 2/2014

merupakan dasar hukum pelaksanaan hak dan kewajiban ingkar bagi Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya.

Majelis Kehormatan Notaris (MKN) merupakan benteng terakhir dalam memberikan

perlindungan kepada Notaris dengan Kewajiban Ingkar dan/atau Hak Ingkar dalam

rangka merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperolehnya dalam pelaksanaan

tugas jabatannya terkait dengan pembuatan akta.

Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris yang unsur-unsurnya termasuk anggota

Notaris sebagai perpanjangan tangan organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia

(INI) mempunyai peranan yang cukup strategis untuk memberikan Perlindungan dan

Pengayoman kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, terlebih-lebih dalam

permasalahan hukum yang dihadapi anggota Notaris berkewajiban melakukan tugas

Pembinaan dan Pendampingan secara langsung.


Selain itu, reaksi yang selama ini berkembang menjadi pembicaraan diantara kalangan

Notaris terkait dengan penunjukan anggota dari Notaris yang duduk di MKNW tidak

transparan disebabkan tidak adanya aturan/tata cara rekrutmen dan mekanisme

penunjukannya.

Kemudian perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penunjukan anggota MKNW dari

unsur-unsur Notaris sebaiknya berasal dari anggota yang mempunyai intregritas moral

yang baik, mempunyai keluangan waktu dengan tidak kemampuan intelektualnya yang

baik (jangan terkesan menumpuk jabatan), rendah hati, tidak arogan dan mengayomi

serta bersedia hadir dalam setiap persidangan MKNW, dan tetap melakukan

komunikasi/koordinasi dengan organisasi perkumpulan INI yang

menujuknya/menempatkannya sebagai anggota MKNW.

Upaya hukum yang dapat dilaksanakan terkait dengan adanya dugaan MKNW yang

melaksanakan persidangan atas permohonan Penyidik yang akibat-akibat telah

merugikan Notaris sebagai Pejabat Umum sepanjang dapat dibuktikan alasan

hukumnya bisa saja dilaporkan ke Ombudsman Nasional dengan alasan MKNW tidak

menjalankan tatacara pemerintahan yang baik, dan demikian juga dimungkinkan

adanya Tindakkan MKNW yang tidak bersidang tersebut sebagai sebuah keputusan

yang cukup menjadi alasan untuk menggugat MNKW ke PTUN.

Organisasi Dapat Menarik Kembali Mandatnya

Terkait dengan pelaksanaan tugas anggota MKNW dari unsur-unsur Notaris sapanjang

dapat dibuktikan tidak amanah, tidak bersungguh-sungguh memperjuangkan

kepentingan anggota yang ditandai dengan seringkali tidak hadir dalam persidangan
MKNW dengan tanpa alasan, maka sudah seharusnya organisasi perkumpulan Ikatan

Notaris Indonesia (INI) dapat menarik kembali mandatdan menggantikannya dengan

anggota Notaris yang lainnya sebagai anggota Pengganti Antar Waktu (PAW) di MKNW

tersebut yang tujuannya diganti dengan yang mau berjuang untuk kepentingan anggota

Notaris.

Dengan adanya ketentuan Pasal Pasal 66 UUJN yang apabila nantinya Majelis

Kehormatan Notaris (MKN) telah memberikan persetujuannya kepada Penyidik,

Penuntut Umum atau Hakim, maka Kewajiban Ingkar Notaris (verschoning splicht)

tidak dapat dipertahankan (batal), dan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris

(MKN) tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris yang

menentukan terhitung sejak tanggal 22 September 2016 yang pada pokoknya

menyatakan pemanggilan terhadap Notaris oleh Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan

Hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris

Wilayah (MKNW) Propinsi.

Dengan demikian norma hukum Pasal 66 UUJN yang menentukan untuk kepentingan

proses Peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim harus terlebih dahulu

mendapatkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris merupakan salah satu bentuk

pengecualian yang dikenal asas hukum Lex specialis derogat legi generali, hukum

khusus mengesampingkan hukum umum, khusunya ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf g

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP, UU No. 8 Tahun 1981) terkait

dengan adanya kewenangan yang bersifat imperatif untuk memanggil orang guna

didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi yang merupakan salah satu
wewenang penyidik di dalam melakukan penyidikan dengan rumusan yangberbunyi

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a karena kewajibannya

mempunyai wewenang memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

Tersangka atau Saksi.

Nota Kesepahaman (MoU)

Dengan adanya kewenangan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagai lex spesialis

derogat legi generali terkait dengan adanya kewenangan Penyidikan yang bersifat

imperatif memanggil seseorang sebagai Saksi atau Tersangka, maka Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Polri) bersama Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI)

telah melakukan Perpanjangan Nota Kesepahaman (MoU) tentang Pembinaan dan

Penegakan Hukum dalam upaya meningkatkan Profesionalisme yang sesungguhnya

telah pernah diperbuat sebelumnya oleh kedua belah pihak masing-masing tertanggal 9

Mei 2005 dibawah Nomor : Pol. B/1056/V/2006 dan Nomor :

01/MOU/PP-INI/V/2006.

Perpanjangan Memorandum of Understanding yang diperbuat tertanggal 21 Agustus

2018 lebih merupakan sebagai penyesuaian dengan latar belakang lahirnya Undang-

Undang Jabatan Notaris Tahun Nomor : 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, satu dan lain hal

yang terkait dengan pelaksanaan kerja sama dalam penegakan hukum secara

professional yang diikuti pedoman kerja bersama untuk mengatur teknis pelaksanaan

penegakan hukum yang antara lain dimuat lampiran Nota Kesepahaman.


Selain itu Pasal 170 Ayat (1) KUHAP juga menegaskan, bahwa mereka yang karena

pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu

tentang hal yang dipercayakan kepada mereka, dan penjelasan pasal 170 Ayat (1)

menyebutkan bahwa Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk

menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 170 Ayat (2), menyebutkan Hakim menentukan

sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut, dan penjelasan Pasal 170

Ayat (2), menyebutkan bahwa Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang -

undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti

yang ditentukan oleh ayat ini, Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang

dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Dalam hal memberikan kesaksian, seorang Notaris tidak dapat mengungkapkan akta

yang dibuatnya baik sebagian maupun keseluruhannya, karena hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 54 UU Jabatan Notaris berbunyi Notaris hanya dapat memberikan,

memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan

Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang

mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

KODE ETIK NOTARIS

Sebutkan pengertian Kode Etik Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2)

Perubahan Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ? Kode Etik notaris dan untuk

selanjutnya akan disebut kode etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh
perkumpulan ikatan notaris indonesia yang selanjutnya akan disebut “perkumpulan”

berdasarkan keputusan kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang

berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua

orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di dalamnya para

pejabat sementara notaris, notaris pengganti pada saat menjalankan jabatan.

Bagaimana pengaturan ruang lingkup Kode Etik Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 2

Perubahan Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ? Kode Etik berlaku bagi

seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain (selama yang bersangkutan

menjalankan jabatan Notaris), baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam

kehidupan sehari-hari.

Bagaimana pengaturan kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatan berdasarkan

ketentuan Pasal 3 Perubahan Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ?

Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris)

wajib :

1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;

2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris;

3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan;

4. Berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa

tanggung jawab,berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah

jabatan Notaris;
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang telah dimiliki tidak

terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;

6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;

7. Memberikan jasa pembuatan akta dan kewenangan lainnya untuk masyarakat

yang tidak mampu tanpa memungut honorarium;

8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan

satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas

jabatan sehari-hari;

9. Memasang 1 (satu) papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan

pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang

memuat :

a. Nama lengkap dan gelar yang sah;

b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai

Notaris;

c. Tempat kedudukan;

d. Alamat kantor dan nomor telepon /fax.

Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di

atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor

tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud;

10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang

diselenggarakan oleh Perkumpulan;

11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan Peraturan-peraturan dan Keputusan-

keputusan Perkumpulan;
12. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib;

13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang

meninggal dunia;

14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang

ditetapkan Perkumpulan;

15. Menjalankan jabatan Notaris di kantornya, kecuali karena alasan-alasan

tertentu;

16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan

tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan

sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu

serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim;

17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan

status ekonomi dan/atau status sosialnya;

18. Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan peraturan

perundang-undangan, khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris

dan Kode Etik.

26. Pertanyaan :

Bagaimana pengaturan larangan Notaris dalam menjalankan jabatan berdasarkan

ketentuan Pasal 4 Perubahan Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ?

Jawaban :
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan

Notaris) dilarang :

1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor

perwakilan;

2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor

Notaris” di luarlingkungan kantor;

3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-

sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media

cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :

a. Iklan;

b. Ucapan selamat;

c. Ucapan belasungkawa;

d. Ucapan terima kasih;

e. Kegiatan pemasaran;

f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.

4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya

bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien;

5. Menandatangani akta yang proses pembuatannya telah dipersiapkan oleh pihak

lain;

6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani;

7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari

Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang

bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain;


8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen

yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud

agar klien tersebut tetap membuat akta padanya;

9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus

ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan notaris;

10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih

rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan;

11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor

Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan,

termasuk menerima pekerjaan dari karyawan kantor Notaris lain;

12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan notaris atau akta yang dibuat

olehnya. Dalam hal seorang notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu

akta yang dibuat oleh rekansejawat yang ternyata di dalamnya terdapat

kesalahan-kesalahan yang serius dan /atau membahayakan klien, maka Notaris

tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas

kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui,

melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap

klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;

13. Tidak melakukan Kewajiban dan melakukan Pelanggaran terhadap Larangan

sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik dengan menggunakan media elektronik,

termasuk namun tidak terbatas dengan menggunakan internet dan media sosial;

14. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan

tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi

menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi;


15. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang – undangan yang berlaku;

16. Membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh

Dewan Kehormatan;

17. Mengikuti pelelangan untuk mendapatkan pekerjaan/pembuatan akta.

27. Pertanyaan :

Sebutkan hal-hal pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran Kode Etik Notaris

berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perubahan Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei

2015 ?

Jawaban :

Hal-hal yang tersebut di bawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu tidak

termasuk Pelanggaran, yaitu :

1. Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan mempergunakan

kartu ucapan,surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak

mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja;

2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax

dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/ atau instansi-

instan dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya;

3. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 cm

x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan

nama notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor

Notaris;
4. Memperkenalkan diri tetapi tidak melakukan promosi diri selaku Notaris.

28. Pertanyaan :

Sebutkan tata cara pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Notaris ?

Jawaban :

Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan oleh :

a. Pada tingkat Kabupaten/ Kota oleh Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan

Daerah;

b. Pada tingkat Propinsi oleh Pengurus Wilayah dan Dewan Kehormatan Wilayah;

c. Pada tingkat Nasional oleh Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat.

29. Pertanyaan :

Bagaimana tata cara pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama

terhadap pelanggaran kode etik notaris berdasarkan ketentuan Pasal 9 perubahan

kode etik notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ?

Jawaban :

1. Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/Dewan Kehormatan

Pusat setelah menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode Etik sebagaimana

dimaksud pada Pasal 8 di atas, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat

belas) hari kerja Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara

tertulis anggota yang bersangkutan untuk memastikan terjadinya Pelanggaran

Kode Etik oleh anggota perkumpulan dan memberikan kesempatan kepada yang
bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Pemanggilan

tersebut dikirimkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerja sebelum

tanggal pemeriksaan.

2. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal yang telah

ditentukan, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali

untuk yang kedua kali selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari

kerja setelah pemanggilan pertama.

3. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan kedua, maka

Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang

ketiga kali selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah

pemanggilan kedua.

4. Apabila setelah pemanggilan ke tiga (3) ternyata masih juga tidak hadir, maka

Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan menentukan

keputusan dan/atau penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kode

Etik.

5. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang

ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan Dewan Kehormatan yang

memeriksa. Dalam hal anggota yang bersangkutan tidak bersedia

menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan

cukup ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa.

6. Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil

keputusan atashasil pemeriksaan tersebut sekaligus menentukan sanksi


terhadap pelanggarnya apabila terbukti ada pelanggaran sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik yang dituangkan dalam Surat Keputusan.

7. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan Pelanggaran,

maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat Keputusan Dewan

Kehormatan yang memeriksa.

8. Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat Keputusan

tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya

kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan

Kehormatan Wilayah, PengurusDaerah dan Dewan Kehormatan Daerah.

9. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam Kongres, wajib

diberitahukan oleh Kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat

tercatat dan tembusannya kepadaPengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat,

Pengurus Wilayah, Dewan KehormatanWilayah, Pengurus Daerah dan Dewan

Kehormatan Daerah.

10. Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sidang, Dewan Kehormatan yang

memeriksa harus:

a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang

bersangkutan;

b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan;

c. Merahasiakan segala hal yang ditemukannya.

11. Sidang pemeriksaan dilakukan secara tertutup, sedangkan pembacaan

keputusan dilakukan secara terbuka.

12. Sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri oleh lebih dari ½

(satu perdua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang jumlah korum
tidak tercapai, makasidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila

setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka sidang

dianggap sah dan dapat mengambil keputusanyang sah.

13. Setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa mempunyai hak untuk

mengeluarkan satu suara.

14. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan

Daerah,maka tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dilimpahkan

kepada Dewan Kehormatan Wilayah.

Jelaskan pengaturan sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris berdasarkan

ketentuan BAB IV Tentang Sanksi Pasal 6 Perubahan Kode Etik Notaris di Banten

29-30 Mei 2015 ?

Jawaban :

1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode

Etik dapat berupa :

a. Teguran;

b. Peringatan;

c. Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;

d. Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Perkumpulan;

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.

2. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar

Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang

dilakukan anggota tersebut.


3. Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk memutuskan dan menjatuhkan

sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota biasa (dari Notaris

aktif) Perkumpulan, terhadap pelanggaran norma susila atau perilakuyang

merendahkan harkat dan martabat notaris, atau perbuatan yang dapat

mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap notaris.

4. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh orang lain (yang sedang dalam

menjalankan jabatan Notaris), dapat dijatuhkan sanksi teguran dan/atau

peringatan.

5. Keputusan Dewan Kehormatan berupa teguran atau peringatan tidak dapat

diajukan banding.

6. Keputusan Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah berupa

pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau

pemberhentian dengan

7. tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan banding ke Dewan

Kehormatan Pusat.

8. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat tingkat pertama berupa pemberhentian

sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan

tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan banding ke

Kongres.

9. Dewan Kehormatan Pusat berwenang pula untuk memberikan rekomendasi,

disertai usulan pemecatan sebagai notaris kepada Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia.


30. Pertanyaan :

Jelaskan sebab profesi Notaris tidak diperbolehkan untuk bekerja sama dengan biro

jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk

mencari atau mendapatkan klien serta sebutkan dasar hukumnya ?

Jawaban :

Profesi Notaris merupakan Pejabat Umum bukan bertujuan pencarian uang atau

keuntungan semata serta dasar hukumnya Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) Perubahan

Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 yang mengatur tentang larangan

Bekerja sama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya

bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien;

31. Pertanyaan :

Bagaimana tata cara pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding

terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 10 Perubahan

Kode Etik Notaris di Banten 29-30 Mei 2015 ?

Jawaban :

1. Permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu

30 (tiga puluh) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat keputusan

penjatuhan sanksi dari dewan kehormatan daerah /dewan kehormatan wilayah;

2. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh

anggota yang bersangkutan kepada dewan kehormatan pusat dan tembusannya

kepada pengurus pusat, pengurus wilayah, dewan kehormatan wilayah, pengurus

daerah dan dewan kehormatan daerah;


3. Dewan kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14

(empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding

wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada dewan

kehormatan pusat;

4. Setelah menerima permohonan banding, dewan kehormatan pusat wajib

memanggil anggota yang mengajukan banding, selambat-lambatnya dalam

waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan tersebut untuk

didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam

sidang dewan kehormatan pusat;

5. Dewan Kehormatan Pusat wajib memutuskan permohonan banding selambat-

lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah anggota yang

bersangkutan diperiksa pada sidang terakhir;

6. Apabila anggota yang dipanggil tidak hadir, maka dewan kehormatan pusat tetap

akan memutuskan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas;

7. Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada

anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus

Pusat, PengurusWilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan

Dewan Kehormatan Daerah,selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas)

hari kerja setelah tanggal Surat Keputusan;

8. Dalam hal permohonan banding diajukan kepada kongres, maka permohonan

banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh)

hari kerja sebelum kongres diselenggarakan;


9. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh

anggota yang bersangkutan kepada kepada presidium kongres melalui

Sekretariat Pengurus Pusat dan tembusannya Kepada Pengurus Pusat, Dewan

Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah,Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus

Daerah Dan Dewan Kehormatan Daerah;

10. Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14

(empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding

wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada presidium

kongres melalui sekretariat Pengurus Pusat;

11. Kongres wajib mengagendakan pemeriksaan terhadap anggota yang mengajukan

banding untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela

diri dalam Kongres;

12. Kongres wajib memutuskan permohonan banding dalam kongres tersebut;

13. Apabila anggota yang mengajukan banding tidak hadir dalam Kongres, maka

Kongres tetap akan memutuskan permohonan banding tersebut;

14. Kongres melalui Dewan Kehormatan pusat wajib mengirimkan surat keputusan

tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya

kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah,

Pengurus Daerah dan Dewan kehormatan Daerah;

15. Keputusan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) mempunyai

kekuatan hukum tetap dalam hal :

a. Anggota dikenakan sanksi berupa teguran dan peringatan;


b. Anggota dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara atau

pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat

dari keanggotaan Perkumpulan, menerima putusan tersebut dan tidak

mengajukan banding dalam waktuyang telah ditentukan;

c. Dewan Kehormatan Pusat/Kongres telah mengeluarkan keputusan sanksi

tingkat banding.

32. Pertanyaan :

Jelaskan sebab dan dasar hukum notaris tidak boleh melakukan promosi diri ?

Jawaban :

Larangan ini disebabkan dari kedudukan notaris yang merupakan pejabat umum

serta dasar hukumnya, berdasarkan Pasal 4 ayat (3) perubahan kode etik Notaris

di Banten 29-30 Mei 2015 yang mengatur tentang larangan Melakukan publikasi

atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan

mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau

elektronik, dalam bentuk :

a. Iklan;

b. Ucapan selamat;

c. Ucapan belasungkawa;

d. Ucapan terima kasih;

e. Kegiatan pemasaran;

33.

Sebutkan sanksi-sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris ?


Jawaban :

1. Teguran;

2. Peringatan;

3. Schorsing (pemberhentian sementara);

4. Onzetting (pemberhentian);

5. Pemberhentian dengan tidak hormat.

RINGKASAN PUTUSAN

Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 009,014/PUU-II/2005 tanggal 13 September 2005 atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dengan hormat dilaporkan sebagai

berikut:

1. Pemohon :

· 009/PUU-III/2009: PERNORI DAN HNI

· 014/PUU-III/2009: Hady Evianto, dkk

2. Materi pasal yang diuji:

a.Pengujian Formal

bahwa proses pembentukan UU JN tidak memenuhi ketentuan tahapan

pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata

Tertib DPR (Kep.DPR No.15/DPR RI/I/2004-2005) terutama Bab XVI Pasal

119 s.d Pasal 137 oleh karena pembentukan undang-undang a quo


inkonstitusional.

b.Pengujian Material

1) 009/PUU-III/2009:

· Pasal 1 butir (5)

Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang

berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

· Pasal 82 ayat (1)

Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris

· Pasal 67 ayat (3)b

Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9

(sembilan) orang, terdiri atas unsur:

a....

b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang

· Pasal 77

Majelis Pengawas Pusat berwenang :

a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil

keputusan

b. dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan

cuti;

c. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan

sebagaimana

d. dimaksud pada huruf a;

e. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan

f. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan


tidak hormat kepada Menteri.

· Pasal 78

(1)Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 77 huruf a bersifat terbuka untuk umum.

(2)Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan sidang

Majelis Pengawas Pusat.

www.djpp.depkumham.go.id

· Pasal 82 ayat (1)

Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

2) 014/PUU-III/2009:

· Pasal 1 butir 5

Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang

berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

· Pasal 16 ayat (1) butir k

Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. ..

b.

k.mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara

Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya

dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang

bersangkutan.
· Pasal 82 ayat (1)

Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 28D ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 36A dan

Pasal 36C UUD 1945;

· Pasal 22A

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang

diatur dengan undang-undang,

· Pasal 28D ayat (1)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

· Pasal 28D ayat (2)

Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

· Pasal 28E ayat (3)

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat

· Pasal 28G ayat (1)

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,

serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan

hak asasi
· Pasal 36A

Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka

Tunggal Ika

· Pasal 36C

Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang

Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.

3. Amar putusan :

Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak

www.djpp.depkumham.go.id

4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi antara lain:

a. 009/PUU-III/2009:

· Mahkamah menilai bahwa kekhawatiran para Pemohon tentang

objektivitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi

Notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal dari

organisasi Notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang,

karena mereka hanya berjumlah 3 (tiga) orang, sedangkan Majelis

Pengawas berjumlah 9 (sembilan) orang, sehingga tidak mungkin

memaksakan untuk memenangkan kepentingan pribadi dan

kelompoknya, oleh karena masih ada 6 (enam) orang anggota di luar

unsur Notaris;

· bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JN, pengawasan

atas Notaris dilakukan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) UU JN

menyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas. Dengan

demikian Majelis Pengawas bukan merupakan subordinasi organisasi

Notaris, melainkan lembaga yang bertugas membantu Menteri untuk

melakukan pengawasan atas Notaris. Atau dengan kata lain Majelis

Pengawas merupakan kepanjangan tangan dari Menteri. Dalam rangka

pengawasan, adalah wajar jika Majelis Pengawas mendapat pelimpahan

sebagian wewenang dari Menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 77

dan Pasal 78 UU JN.

· Mahkamah berpendapat bahwa status badan hukum organisasi notaris

sebagai wadah bagi Notaris yang berfungsi sebagai pejabat umum

memang dibentuk agar organisasi itu bersifat mandiri. Dengan demikian,

konflik antara kepentingan organisasi dan kepentingan pengurus serta

anggota organisasi tersebut dapat diminimalisasi, sehingga kinerjanya

akan lebih objektif, berwibawa, dan terpercaya

b. 014/PUU-III/2005

· bahwa hal itu hanya merupakan penilaian subjektif para Pemohon yang

tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. Lagipula dalam

persidangan para Pemohon mengakui bahwa permohonannya yang

berkaitan dengan Pasal 16 huruf k di atas hanya didorong oleh perasaan

risi (rikuh) karena notaris seolah-olah diperlakukan lebih istimewa daripada

pejabat negara dalam penggunaan lambang negara.

· bahwa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16 huruf k UU JN yang telah

mengatur penggunaan lambang negara oleh notaris dalam undangundang,

tidak bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam Pasal


36C UUD 1945 sepanjang hal itu digunakan dalam rangka pelaksanaan

tugasnya sebagai pejabat umum. Sementara itu, di luar tugasnya sebagai

pejabat umum, penggunaan cap/stempel yang memuat lambang negara,

tidak termasuk lingkup pelaksanaan Pasal 16 huruf k UU JN.

www.djpp.depkumham.go.id

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Perkara Nomor 63/PUU-XII/2014

Organisasi Notaris

I. PEMOHON

1. DR. Raden Mas Soenarto, S.H., SpN, M.H., M.Kn, sebagai Pemohon I;

2. H. Teddy Anwar, S.H., SpN., sebagai Pemohon II;

3. Himpunan Notaris Indonesia (HNI), sebagai Pemohon III.

Kuasa Hukum

M. Alexander Weenas, S.H. dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus Tertanggal

30 Mei 2014.

II. OBJEK PERMOHONAN

Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji

undang-undang adalah:

1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 “Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

2. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum”.

3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945”.

4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”;

5. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan “Dalam hal suatu Undang-

Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,

pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;

6. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang perkaranya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945”

7. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan para Pemohon.

IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia (Pemohon I dan

Pemohon II) dan Badan Hukum Publik (Pemohon III), para Pemohon merasa

dirugikan dengan adanya Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah para Pemohon kehilangan

kebebasan berserikat/berkumpul, kehilangan hak untuk memilih/menentukan

organisasi dan/atau kehilangan hak untuk dipilih dalam organisasi, menghambat

para Pemohon untuk berkarya dalam meningkatkan kualitas profesi para

Notaris, kehilangan hak untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah atas


organisasi yang dipilih atas dasar hak asasi manusia.

V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI

A. NORMA MATERIIL

Norma yang diujikan, yaitu:

- Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)

(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

(2) Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah Ikatan Notaris Indonesia.

(3) Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang

dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas

profesi Notaris.

B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu :

- Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.

- Pasal 28 UUD 1945

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

- Pasal 28C ayat (2) UUD 1945

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan

negaranya.
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

- Pasal 28E ayat (3) UUD 1945

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.

- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO

BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

1. Bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan adanya pembatasan atas

kebebasan berserikat bagi notaris untuk membentuk organisasi-organisasi

profesi notaris dan bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut

sejatinya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi

manusia dari notaris itu sendiri, yaitu : “ hak atas kebebasan berserikat

dan berkumpul.” Hak demikian merupakan hak yang diakui dan dilindungi

semua instrumen utama hak asasi manusia, baik yang diatur secara

internasional maupun nasional;

2. Bahwa ketentuan-ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris secara

nyata membatasi bahwa hanya boleh ada satu Organisasi Notaris, dalam

hal ini Ikatan Notaris Indonesia sebagai satu-satunya wadah profesi


Notaris. Padahal dalam kenyataannya, secara de facto, terdapat lebih dari

satu organisasi notaris, seperti Himpunan Notaris Indonesia (“HNI”) dan

Persatuan Notaris Indonesia (PERNORI). Faktanya juga terdapat banyak

Notaris yang dengan kesadarannya atas hak berserikat dan berkumpul

memilih untuk bergabung dalam Organisasi Notaris selain Ikatan Notaris

Indonesia. Notaris-notaris yang memilih untuk bergabung ke Himpunan

Notaris Indonesia (“HNI”) atau Persatuan Notaris Indonesia (PERNORI),

tentunya memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil, suatu hak yang terlindungi oleh konstitusi

UUD 1945.

3. Bahwa masing-masing organisasi notaris ini pun secara defacto

menjalankan organisasinya dan memiliki anggota aktif. Para Notaris yang

tergabung ke dalam organisasi-organisasi Notaris yang ada, sadar betul

bahwa mereka memiliki hak untuk memilih organisasi notaris dan tidak

dapat dipaksa untuk berpindah organisasi.

4. Bahwa pasal dalam Undang-Undang a quo senyata-nyatanya tidak

mempertimbangkan tujuan daripada hukum. Tujuan hukum adalah untuk

mewujudkan keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian (legal

certainty). Sehingga, jika terdapat suatu ketentuan yang menimbulkan

ketidakadilan, ketidakmanfaatan, dan ketidakpastian, maka ketentuan

tersebut telah hilang rohnya karena tidak sesuai lagi dengan tujuan hukum

dan justru menimbulkan suatu keburukan (mudharat) dan bertentangan

dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi

sebagai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat


hukumnya.

5. Bahwa Pemerintah telah memaksakan dan hanya mengakui Ikatan

Notaris Indonesia sebagai satu-satunya Organisasi Notaris. Namun di lain

sisi, justru melupakan dan mengabaikan tujuan yang paling hakiki dari

suatu Organisasi Notaris yaitu untuk meningkatkan kualitas profesi notaris

sebagai seorang pejabat negara yang telah melakukan sebagian tugastugas

negara.

6. Bahwa menurut PEMOHON, esensi yang paling hakiki dengan diaturnya

Organisasi Notaris dalam UU JABATAN NOTARIS adalah menitikberatkan

pada sifat dan tujuan dari Organisasi Notaris itu sendiri yaitu organisasi

yang bebas dan mandiri serta bertujuan untuk meningkatkan kualitas,

bukan kepada bentuk Organisasi Notaris yang bersifat tunggal.

7. Bahwa PEMOHON berpendapat dalam rangka meningkatkan kualitas

profesi notaris dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat,

pemerintah seharusnya tidak memaksakan pada satu wadah tunggal

Organisasi Notaris namun seharusnya lebih memberikan kesempatan

kepada organisasi notaris lainnya untuk menjadi wadah Organisasi Notaris

yang tetap diakui oleh pemerintah namun dengan tetap tunduk kepada

sifat Organisasi Notaris yang bebas dan mandiri serta memiliki tujuan

untuk meningkatkan kualitas profesi notaris.

8. Sistem wadah tunggal Organisasi Notaris, dikhawatirkan dapat saja

mempengaruhi kebijakan atau bahkan dipengaruhi oleh pejabat

pemerintahan. Selanjutnya, PEMOHON juga mempertanyakan Organisasi

Notaris yang tunggal mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya


secara penuh yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi seluruh

anggotanya mengingat terdapat puluhan ribu notaris di Indonesia

sebagaimana telah kami uraikan di atas.

9. Bahwa PEMOHON memiliki keyakinan dengan tidak adanya Organisasi

Notaris yang bersifat tunggal, Organisasi-organisasi Notaris justru akan

tumbuh dan berkembang sebagai organisasi yang lebih bebas dan mandiri

dari pengaruh oleh pihak-pihak manapun. PEMOHON juga melihat bahwa

Organisasi-organisasi Notaris yang ada nantinya akan berlomba-lomba

menjadi organisasi yang lebih profesional dalam memberikan pelayanan

terbaiknya kepada para anggotanya yang akhirnya akan meningkatkan

kualitas profesi notaris sebagai seorang pejabat negara di satu sisi dan di

sisi lainnya akan memberikan manfaat kepada masyarakat.

10. Bahwa PEMOHON menilai kekhawatiran dengan banyaknya Organisasi

Notaris nantinya akan menimbulkan kesulitan atau permasalahan antara

lain pada jaminan atas kepastian hukum, pengawasan yang ketat dan

penindakan yang tegas terhadap notaris yang melanggar peraturan yang

berlaku dan kode etik sangatlah tidak mendasar. Organisasi Notaris yang

tunggal sejatinya justeru akan menghambat peranan yang sangat

siginifikan dari sebuah profesi notaris selaku pejabat negara yang

berwenang untuk membuat alat bukti tertulis yang bersifat autentik.

11. Bahwa menurut pendapat PEMOHON dengan banyaknya Organisasiorganisasi

Notaris justru akan memberikan kemudahan bagi Organisasiorganisasi

Notaris tersebut dalam melakukan pembinaan yang tepat dan

pengawasan yang ketat kepada anggotanya serta sekaligus


melaksanakan tugas penindakan yang tegas terhadap anggota notaris

yang melanggar peraturan yang berlaku dan kode etik. Dengan demikian,

hal tersebut pada akhirnya akan memberikan jaminan atas kepastian

hukum kepada masyarakat selaku pihak yang menggunakan jasa profesi

notaris.

12. Bahwa dalam hal terjadi dugaan pelanggaran kode etik oleh notaris,

dugaan pelanggaran tersebut akan lebih dahulu ditangani oleh Organisasi

Notaris di mana notaris tersebut bernaung. Majelis kode etik Organisasi

Notaris yang bersangkutan dapat memutus bahwa notaris yang terbukti

melanggar kode etik dapat dilakukan pemberhentian. Terhadap putusan

dan sanksi dari Organisasi Notaris tersebut, selanjutnya dapat diajukan

banding kepada Federasi Organisasi Notaris yang akan memberikan

putusan yang final dan mengikat terhadap notaris yang bersangkutan dan

pelaksanaan putusannya akan tetap dilaksanakan oleh Organisasi Notaris

di tempat notaris yang bersangkutan bernaung. Terkait dengan standar

kode etik, PEMOHON berpendapat hal tersebut sebaiknya ditetapkan oleh

pemerintah, dalam hal ini menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintah dalam bidang hukum.

VII. PETITUM

1. Mengabulkan permohonan PEMOHON I, PEMOHON II dan PEMOHON III

untuk seluruhnya;

2. Menyatakan PEMOHON I, PEMOHON II dan PEMOHON III memiliki

Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Permohonan

Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 82

ayat (1), Pasal 82 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (3) terhadap Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Menyatakan ketentuan-ketentuan dari :

a) Pasal 82 ayat (1) sepanjang frasa “satu wadah”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

b) Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah Organisasi Notaris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia”,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

c) Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa “satu-satunya”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

4. Menyatakan ketentuan-ketentuan dari :

a) Pasal 82 ayat (1) sepanjang frasa “satu wadah”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b) Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah Organisasi Notaris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia”,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.


c) Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa “satu-satunya”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon agar Majelis Hakim

Konstitusi dapat memutus yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Catatan:

- Perubahan pada norma yang menjadi dasar pengujian, yaitu dengan

dicantumkannya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

- Perubahan pada Petitum.

a. Permohonan Awal

1. Mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;

2. Menyatakan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu (i) Pasal 82 ayat (1)

sepanjang frasa “satu wadah”, (ii) Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah

Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan

Notaris Indonesia” dan (iii) Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa“satusatunya”

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28C

ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) sepanjang frasa “ satu wadah” dari Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Menyatakan Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah Organisasi Notaris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia”

dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

5. Menyatakan Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa “satu-satunya” dari

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

6. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana

mestinya.

7. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon agar Majelis

Hakim Konstitusi dapat memutus yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

b. Perbaikan Permohonan

1. Mengabulkan permohonan PEMOHON I, PEMOHON II dan PEMOHON III

untuk seluruhnya;

2. Menyatakan PEMOHON I, PEMOHON II dan PEMOHON III memiliki


Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Permohonan

Pengujian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 82

ayat (1), Pasal 82 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (3) terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Menyatakan ketentuan-ketentuan dari :

a) Pasal 82 ayat (1) sepanjang frasa “satu wadah”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b) Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah Organisasi Notaris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris

Indonesia”, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

c) Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa “satu-satunya”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

4. Menyatakan ketentuan-ketentuan dari :

a) Pasal 82 ayat (1) sepanjang frasa “satu wadah”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b) Pasal 82 ayat (2) yang berbunyi “Wadah Organisasi Notaris

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris


Indonesia”, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

c) Pasal 82 ayat (3) sepanjang frasa “satu-satunya”, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana

mestinya.

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon agar Majelis Hakim

Konstitusi dapat memutus yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Nomor 16/PUU-XVIII/2020

“Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Atas Pemanggilan Notaris

Dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana”

I. PEMOHON
1. Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), dalam hal ini diwakili oleh Setia Untung

Arimuladi, S.H., M.Hum., selaku Ketua PJI (Pemohon I);

2. Olivia Sembiring, S.H., M.H., (Pemohon II);

3. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum. (Pemohon III);

4. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M. (Pemohon IV), dan;

5. R. Narendra Jatna, S.H., LL.M. (Pemohon V).

Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon

Kuasa Pemohon

Dr. Adnan Hamid, S.H., M.H., M.M., Hasbullah, S.H., M.H.,dkk berdasarkan

Surat Kuasa Khusus bertanggal 27 Januari 2020

II. OBJEK PERMOHONAN

Pengujian Materiil Pasal 66 ayat (1) sepanjang frasa “dengan persetujuan

Majelis Kehormatan Notaris” Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris (UU Jabatan Notaris).

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji

Undang-Undang adalah:

- Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan

yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

2
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

- Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum”;

- Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadil pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk a. menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

- Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan perundang-undangan menyatakan “Dalam hal

suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan

oleh Mahkamah Konstitusi”;

- Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil UU Jabatan Notaris,

dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan

mengadili permohonan a quo.


IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

Dalam perkara Pengujian Undang-Undang, Pemohon yang dapat

mengajukan permohonan pengujian ketentuan undang-undang adalah

pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara”;

2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan

Nomor 11/PUU-V/2007, menyatakan parameter dan batasan tentang

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, yang harus memenuhi

5 syarat sebagaimana berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap

telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan

pengujian;

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat


spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial

yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan

undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkanya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak

lagi terjadi

3. Bahwa Pemohon I adalah badan hukum yang merupakan perkumpulan

jaksa-jaksa di Indonesia yang berdiri berdasarkan Akta Notaris tentang

Pendirian Perkumpulan Persatuan Jaksa Indonesia Nomor 24 tanggal 8

September 2014 dan disahkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusis Nomor AHU-00857.60.10.2014 tentang

Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Persatuan Jaksa

Indonesia tanggal 17 Desember 2014, yang berdasarkan Anggaran dasar/

Anggaran Rumah Tangganya memiliki tujuan salah satunya untuk

melindungi, membela, dan memperjuangkan kepentingan kejaksaan di

seluruh Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya

sebagai penegak hukum;

4. Bahwa Pemohon I merasakan dirugikan dengan berlakunya ketentuan

pasal a quo karena jaksa di seluruh Indonesia telah atau setidaknya

berpotensi untuk dipersulit atau dihalangi dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya sebagai penuntut umum. Bahkan jika seandainya

Pemohon I dianggap tidak memiliki kedudukan hukum, Pemohon I


mengajukan gugatan atas dasar kepentingan publik sesuai dengan

landasan yuridis, filosofis, dan moral sebagai organisasi profesi jaksa;

5. Bahwa Pemohon II adalah warga negara Indonesia selaku Jaksa Peneliti,

yang sedang memeriksa perkara Dugaan Tindak Pidana Pemberian

Keterangan Palsu ke Dalam Akta Autentik. Pemohon II telah mengajukan

permohonan pemanggilan Notaris yang bersangkutan sebagai saksi

melalui Majelis Kehormatan Notaris (MKN) tetapi tidak disetujui sehingga

Pemohon II tidak dapat melakukan upaya hukum apapun. Hal tersebut

menurut Pemohon II menyebabkan tidak terjaminnya hak/kewenangan

bagi jaksa di seluruh Indonesia sebagai penegak hukum untuk melakukan

penegakan hukum;

6. Bahwa Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V adalah warga negara

Indonesia yang berprofesi sebagai Jaksa di Kejaksaan Agung, yang

keseluruhannya berpotensi mengalami kerugian konstitusional di

kemudian hari seperti yang dialami oleh Pemohon II atas keberlakuan

pasal a quo yang dianggap mempersulit dan menghambat proses

penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana;

7. Bahwa para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan pasal a quo

karena seluruh penegak hukum tidak dapat atau setidaknya berpotensi

tidak dapat melaksanakan dan menyelesaikan proses pemeriksaan hukum

dan/atau permintaan keterangan dari seorang Notaris, meskipun hanya

dalam kedudukannya sebagai saksi dalam suatu perkara tindak pidana

yang terjadi.

5
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945

A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN

Norma materiil yaitu:

Undang-Undang 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Pasal 66 ayat (1)

Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan

pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

dan,

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan

Notaris..

B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

Negara Indonesia adalah negara hukum.

2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.

3. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan


hukum.

4. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

VI. ALASAN PERMOHONAN

1. Bahwa para Pemohon mendalilkan permohonan a quo tidak nebis in idem

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2014 dan

Nomor 22/PUU-XVII/2019 karena terdapat perbedaan kedudukan hukum,

dasar pengujian, dan argumentasi yuridis.

2. Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “dengan persetujuan Majelis

Kehormatan Notaris” dalam Pasal 66 UU Jabatan Notaris menempatkan

Majelis Kehormatan Notaris memiliki kewenangan mutlak dan final untuk

menyetujui atau tidak menyetujui pemanggilan notaris untuk hadir dalam

pemeriksaan perkara. Hal tersebut menyebabkan penyidik, penuntut

umum, maupun hakim tidak dapat melakukan upaya hukum lebih lanjut;

3. Bahwa kerugian atas pasal a quo dialami secara aktual oleh Pemohon II

sebagai jaksa yang bertugas menangani perkara Tindak Pidana

Pemberian Keterangan Palsu ke dalam Akta Autentik diawali dengan

pelaporan kepada penyidik dengan nomor LP/508/IV/2018/Bareskrim

tanggal 16 April 2018, atas dasar pelaporan tersebut penyidik

mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Dik/266/V/RES.2.4/

2018/Dit.Tipidsus tanggal 15 Mei 2018, dan telah mengirimkan Surat


Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor R/91/V/ RES.2.4/2018/

Dit.Tipideksus tanggal 15 Mei 2018 kepada Jaksa Agung Muda Tindak

Pidana Umum. Kemudian dalam proses pemeriksaan perkara Penyidik

Bareskrim Mabes Polri mengirimkan surat kepada Ketua Majelis

Kehormatan Notaris Provinsi Jawa Barat Nomor B/1044/V/Res.2.4/2019/

Dit.Tipideksus tanggal 3 Mei 2019 yang pada pokoknya permohonan

persetujuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Notaris atas nama

Patricia Tirta Isoliani Ginting;

4. Bahwa terhadap surat persetujuan tersebut di atas, Majelis Kehormatan

Notaris memberikan jawaban yang pada pokoknya belum dapat

menyetujui permintaan tersebut. Dengan demikian hingga saat ini proses

penegakan terhadap perkara tersebut terhambat dan merugikan atau

setidaknya berpotensi merugikan kepentingan jaksa serta publik secara

umum;

5. Bahwa keberlakuan pasal a quo menjadikan Notaris sebagai suatu subjek

khusus yang kedudukannya menjadi superior dalam hukum. Keharusan

atau persetujuan Majelis Kehormatan Notaris tersebut bertentangan

dengan prinsip independensi dalam proses peradilan (judiciary

indepence), kewajiban seorang Notaris sebagai warga negara yang

memiliki kedudukan sama di hadapan hukum (equality before the law),

dan prinsip kedudukan yang sama di hadapan pemerintahan (equal

protection) sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945;

6. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan pasal a quo tidak perlu


diberlakukan karena untuk melakukan pemeriksaan terhadap Notaris atas

perkara Tindak Pidana tidak perlu dengan persetujuan Majelis

Kehormatan Notaris tetapi cukup dengan diberitahukan kepada

organisassi Notaris atau Majelis Kehormatan Notaris di mana hal tersebut

sejalan dengan prinsip negara hukum yang menjamin kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1

ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

7. Lebih lanjut keterlibatan Notaris dalam tindak pidana sebagai pihak yang

melakukan penyertaan dalam tindak pidana sangat dimungkinkan terjadi.

Notaris dengan kewenangan yang dimilikinya dapat bekerja sama dengan

pelaku tindak pidana atau membantu ‘melegitimasi” perbuatan jahat

dengan menuangkannya dalam Akta Notaris;

8. Bahwa apabila Akta Notaris tersebut tersangkut kasus pidana, maka

Notaris harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa akta tersebut

bebas dari indikasi perbuatan pidana. Terhadap hal tersebut penegak

hukum berhak menghadirkan Notaris dalam pemeriksaan sebagai saksi

yang berdasarkan ketentuan KUHAP merupakan kewajiban hukum yang

tidak boleh dinegasikan oleh siapapun termasuk Notaris;

9. Bahwa ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Asas Dominus Litis

karena tindakan Majelis Kehormatan Notaris yang dapat memilih siapa

yang diperbolehkan untuk memberikan atau tidak memberikan keterangan

di persidangan menjadikannya sebagai lembaga yang memiliki peran

mengendalikan suatu perkara;

8
10. Bahwa ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Asas Equality of Arms

karena proses pemanggilan Notaris dalam persidangan harus melalui

persetujuan Majelis Kehormatan menyebabkan tidak adanya persamaan

kedudukan hukum para pihak dalam proses peradilan selain itu akibat

tidak adanya mekanisme upaya hukum yang dapat dilakukan apabila

Majelis Kehormatan Notaris menolak persetujuan pemanggilan Notaris

juga menyebabkan ketentuan a quo bertentangan dengan Asas Check

and Balance;

11. Bahwa Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan jawaban atas

permohonan pemanggilan Notaris sebagai saksi oleh penegak hukum

memiliki tenggat waktu 30 (tiga puluh hari) di mana hal tersebut

mengurangi masa pemeriksaan perkara dan menghambat proses

penegakan hukum sehingga dianggap bertentangan dengan Asas

Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan;

12. Bahwa UU Jabatan Notaris sebelum perubahan terdapat pengaturan

mengenai lembaga serupa Majelis Kehormatan Notaris yang bernama

Majelis Pengawas Daerah namun berdasarkan Putusan Mahkamah

Nomor 49/PUU-X/2012 bertanggal 26 Maret 2013 frasa “dengan

persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dinyatakan inkonstitusional

sehingga dengan kembali dimunculkan ketentuan pasal a quo dalam UU

Jabatan Notaris perubahan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum

yang ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

VII. PETITUM

1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk


seluruhnya;

2. Menyatakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5491) sepanjang frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis

Kehormatan Notaris” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5491) sepanjang frasa/kalimat

“dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat, sehingga harus dibaca sebagaimana berikut:

“Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam

penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada

dalam penyimpanan Notaris”;


4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang

adil dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Mengetahui,

Panitera Muda III

Ida Ria Tambunan

NIP. 19660524 199203 2 001

Pengolah Data Perkara dan Putusan,

Nurlidya Stephanny Hikmah

NIP. 19860902 200901 2 001

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28

Mei 2012

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28

Mei 2012 terhadap Judicial review Pasal 66 Ayat 1 Undang-undang No 30

Tahun 2004 tentang kewenangan Majelis Pengawas Daerah berpengaruh

pada kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang ada didalam Undangundang

No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adanya putusan

Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan Implikasi Yuridis terhadap

Eksistensi MPD, yaitu :

1. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang terdapat pada Pasal 66


ayat 1 Undang-undang No 30 Tahun 2004 tidak berlaku lagi.

2. Pihak penyidik, penuntut umum dan hakim dalam proses peradilan

tidak perlu lagi meminta izin kepada MPD saat memeriksa Notaris.

Dari kesimpulan Hasil Penelitian, Penulis tentang Implikasi

Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 66 ayat 1 Undangundang

No 30 Tahun 2004, maka penulis memberikan saran :

1. Merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dengan memberikan

kewenangan kepada Majelis Pengawas Daerah sebagai lembaga

pengawas yang dapat lagi melindungi Akta Notaris dan Notaris dari

Jabatannya didalam menjalankan profesinya di masyarakat yang tidak

bertentangan dengan Hukum dan Konstitusi Indonesia Undang-undang

Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintah Perlu melakukan pembenahaan terhadap Majelis Pengawas

Notaris khususnya MPD. Dimana pemerintah menyediakan kantor

khusus terhadap MPD. Sebab belum semua lembaga Pengawas Notaris

Daerah mempunyai Kantor tetap di Daerah.

3. Perlu dilakukan perbaikan oleh Menteri Hukum dan Ham selaku

Pengawas Organsisasi Notaris terhadap anggota Majelis Pengawas

Daerah. Agar memilih anggota yang duduk di MPD orang-orang yang

independen dan mempunyai sikap yang jujur serta berintegritas serta

melakukan kordinasi dan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja

Majelis Pengawas Notaris yang berada di Pusat, Wilayah dan Daerah

setiap tahun.

17
4. Ikatan Notaris Indonesia perlu melakukan pembinaan terhadap

kalangan Notaris yang bertugas di tingkat Daerah, Wilayah maupun

Pusat dalam menegakkan Kode etik Notaris yang lebih Tegas Dan

Lebih terstruktur terhadap Tugas dan tanggung jawab Notaris dalam

Menjaga etika Notaris.

18

Daftar Pustaka

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 49/PUU-X/2012 telah membatalkan frasa

“dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” Pada Pasal 66 ayat (1) Undang-

Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) mengakibatkan

hilangnya kewenangan MPD yakni terkait pemberian persetujuan terkait proses

peradilan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Namun dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UUJN (UUJNP)

kembali menghadirkan frasa yang pernah dibatalkan oleh putusan MK dengan nama

badan yang berbeda yaitu “Majelis Kehormatan Notaris (MKN)” di pasal yang sama

yang pernah dibatalkan oleh MK yakni Pasal 66 ayat (1). Kemudian pasal tersebut

kembali menjadi pokok gugatan perkara untuk dimohonkan pengujian secara materiil

di MK yang kemudian diputus dalam Putusan MK No. 22 /PUU-XVII/2019. Namun

amar putusan MK ini memunculkan amar yang berbeda dengan putusan sebelumnya,

yang menyatakan bahwa “Pasal 66 ayat (1) UUJNP tidak bertentangan dengan UUD

1945”. Adapun tujuan dari penulisan ini yakni untuk mengetahui perubahan
peraturan jabatan Notaris pasca adanya Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 dan untuk

mengkaiji mengenai inkonsistensi Putusan MK terhadap pengujian materi pada Pasal

66 UUJN. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan

hukum yang dianalisa berupa bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik

analisa deskriptif, komparatif, evaluative dan argumentatif. Perubahan pengaturan

Notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang menghapuskan kewenangan

MPD dalam memberi persetujuan, telah digantikan oleh MKN yang tertuang dalam

Pasal 66 ayat (1) UUJNP. Inkonsistensi yang terjadi dalam Putusan MK No. 49/PUU-

X/2012 dan MK No. 22/PUU-XVII/2019 dalam hal pengujian materiil Pasal 66,

disebabkan karena perbedaan pertimbangan MK yang mengakibatkan perbedaan

amar pada Putusam sebelumnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

sedangkan pada Putusan terbaru dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Implikasi hukum akibat inkonsistensi tersebut mengakibatkan adanya ketidakpastian

hukum dan menurunnya kepercayaan publik kepada peradilan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Nomor 22/PUU-XVII/2019
“Larangan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Praperadilan serta Tidak

Dibuatnya Surat Persetujuan Pemeriksaan Notaris oleh MKN untuk

Penyidik”

I. PEMOHON

Guntoro, yang selanjutnya disebut Pemohon.

II. OBJEK PERMOHONAN

Pengujian Materiil Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), Pasal 66 ayat (1) dan

ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU 2/2014).

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji

Undang-Undang adalah:

1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum”;

2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”

4. Bahwa dengan kelahirannya, Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai

pelindung UUD 1945 (the guardian of constitution). Sehingga atas dasar hal

tersebut Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menyatakan

suatu undang-undang telah bertentangan dengan UUD 1945 baik secara

keseluruhan ataupun pasal per pasalnya;

5. Bahwa sebagai penafsir tunggal UUD 1945 (the sole interpreter of

constitution), Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang

berhak memberikan penafsiran atas ketentuan pasal-pasal dalam suatu

undang-undang agar sejalan dengan konstitusi. Penafsiran tersebut

merupakan satu-satunya yang memiliki kekuatan hukum tetap (final and

binding) dan berlaku secara umum (erga omnes). Maka terhadap ketentuan

undang-undang baik pasal per pasal ataupun secara keseluruhan yang


bersifat ambigu, multi tafsir, tidak jelas dapat dimintakan penafsirannya

kepada Mahkamah Konstitusi;

6. Bahwa objek permohonan adalah Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU

48/2009), Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU 2/2014), oleh karena itu Mahkamah

berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo.

IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)

1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a)

perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara

kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan

privat, atau (d) lembaga Negara.”;

2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor

010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.


b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon

telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.

c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan untuk diuji.

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

3. Pemohon adalah korban tindak pidana yang menderita kerugian materiel dan

immateriel atas diterbitnya Putusan Praperadilan Nomor: 11/Pid.Pra/

2018/PN Bks tanggal 13 Desember 2018, merasa hak konstitusionalnya

dirugikan dengan berlakunya Pasal 24 UU 48/2009 karena sebagian

substansi pasal tersebut dibatasi oleh suatu peraturan di bawah Undang-

Undang yang mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2016. Akibat adanya

pembatasan tersebut Pemohon tidak dapat mengajukan peninjauan kembali

menurut Pasal 24 UU 48/2009, padahal telah terjadi putusan praperadilan

yang menyimpang secara fundamental dan fair trial dilanggar,

mengakibatkan kerugian konstitusional selain Pemohon, seluruh warga

negara turut dirugikan dalam hal hak untuk mendapat keamanan, kedamaian

dan ketenteraman hidup, karena putusan praperadilan tersebut mengabulkan

penghentian penyidikan suatu tindak pidana delik murni;

4. Bahwa Pemohon adalah korban tindak pidana yang menderita kerugian


materiel dan immateriel atas penyalahgunaan sebuah blangko palsu akta jual

beli hak atas tanah dan sebuah akta jual beli No. 09/2016 yang dibuat oleh

Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn tidak menurut tata cara dan tata aturan

sesuai Undang-Undang, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan

berlakunya Pasal 66 ayat (1) dan (4), Pasal 75 huruf a, Pasal 79 UU 2/2014

sebagai perubahan UU 30/2004 karena Majelis Kehormatan Notaris (MKN)

tidak berkenan menerbitkan surat persetujuan memeriksa notaris, akibatnya

penyidik tidak dapat bekerja dengan benar, sedangkan MPW Jabar tidak

membuat keputusan meski sidang etik telah diselenggarakan oleh MPW

Jabar sejak tanggal 5 Juni 2018;

5. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, menurut Pemohon terdapat

kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pembatasan suatu

peraturan terhadap sebagian substansi Pasal 24 UU 48/2009 tentang

“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali

kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang

ditentukan dalam undang-undang’. Demikian juga adanya kerugian

konstitusional karena tidak dibuatnya surat persetujuan memeriksa notaris

oleh MKN untuk penyidik, serta tidak dibuatnya keputusan hasil sidang etik

oleh Majelis Pengawas Notaris. Dengan demikian Pemohon memenuhi

syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a

quo.

V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945

A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN


5

 Pengujian Materiil UU 48/2009 yaitu:

1. Pasal 24:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat

mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,

apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan

dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan

peninjauan kembali.

 Pengujian Materiil UU 2/2014 yaitu:

2. Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4):

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum,

atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris

berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau suratsurat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam

penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang

berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada

dalam penyimpanan Notaris.

(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan

jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan


persetujuan.

3. Pasal 75 huruf a:

Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban:

a. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

73 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada

Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis

Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris;

4. Pasal 79:

Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan keputusan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a kepada Menteri dan

Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis

Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan

serta Organisasi Notaris.

B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

1. Pasal 27 ayat (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.

2. Pasal 28D ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

3. Pasal 28G ayat (1):

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,


martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak

atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

4. Pasal 28I ayat (1):

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun.

VI. ALASAN PERMOHONAN

1. Alasan Pengujian Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal

79 UU 2/2014 sebagai berikut:

a. Bahwa menurut substansi dari UUJN, Peraturan Jabatan PPAT, Kode Etik

Profesi Notaris, Kode Etik PPAT seyogianya bukan hanya untuk

kepentingan kepastian hukum dan perlindungan bagi profesi Notaris PPAT

itu saja sebagai pejabat umum sebab menurut esensi dari Ethics of Rights

dan Ethics of Care di negara demokrasi besar seperti Republik Indonesia,

yang paling utama sebenarnya adalah bagaimana profesi Notaris PPAT

dapat memberikan jaminan atas kepastian dan perlindungan hukum,

kemanfaatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat secara luas. Disinilah

pentingnya optimalisasi penegakan hukum dan penegakan etika sebagai

bagian dari kedudukan Notaris PPAT dalam Negara;

b. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 sangat tepat


dalam pertimbangan putusannya menilai notaris selaku warga negara dalam

proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di

hadapan hukum seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3)

UUD 1945;

c. Namun demikian dalam hasil revisi UU 2/2014 menurut Pemohon, Pasal 66

ayat (1) tetap bertentangan dengan Konstitusi karena hanya merubah frasa

Majelis Pengawas Daerah menjadi Majelis Kehormatan Notaris sebab

substansi pokoknya, justru malah makin telak menyulitkan tugas penyidik,

penuntut umum, atau hakim, utamanya di seluruh daerah luar kota propinsi,

sebab MKN tersebut hanya terdapat di Ibu kota propinsi, selain di Ibu kota

negara;

d. Dalam kenyataan MKN selain tidak berkenan membuat surat persetujuan

memeriksa notaris dan yang terjadi malah saling tunjuk menunjuk ke Majelis

Pengawas Notaris Pusat (MPPN), sedangkan Ketua MPPN tidak mengambil

langkah konkrit terhadap tidak dibuatnya putusan oleh MPW Jabar meski

sidang etik telah diselenggarakan sejak tanggal 5 Juni 2018 dimana

Sekretaris MPW Jabar saling tunjuk menunjuk ke KPK pula, karena terkait

OTT-nya terhadap Kalapas Sukamiskin, sehingga Ketua MPW Jabar yang

merangkap Kakanwil Jabar turut dicopot;

e. Bahwa menurut ketentuan perundang-undangan, PPAT diharuskan

menggunakan formulir/ blanko akta yang isi, bentuk dan tata cara pengisian

ditetapkan oleh Kepala BPN RI. Selanjutnya terhadap kasus yang dialami

oleh Pemohon, telah diserahkan kepada hakim praperadilan PN Bekasi


saudara Syofia Marlianti Tambunan S.H, M.H. di persidangan sejumlah alat

bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, diantaranya sebuah

blanko akta jual beli hak atas tanah berkop Notaris PPAT aktif yang telah

dikonsep/didraf secara ala kadarnya oleh Terlapor tanpa diketahui Notaris

PPAT pemilik blanko, lalu digunakan untuk memperdaya Pemohon agar

segera melakukan pelunasan, setelah menerima pelunasan 100%, blanko

akta disembunyikan;

Bahwa kepalsuan alat bukti blanko akta jual beli hak atas tanah yang di draf

secara ala kadarnya menjadi nyata dan terang karena didraf dan digunakan

oleh selain pejabat umum, dan ternyata Terlapor bukan pemilik objek

perjanjian dan tidak punya hubungan hukum dengan pemilik tanah tapi

melakukan kebohongan dengan menyatakan dirinya sebagai pemilik tanah

yang sah dan memakai akta girik No. 534/CARIU/1997 milik orang lain dan

beralasan telah membeli tanah tersebut;

f. Bahwa setelah blanko akta jual beli disembunyikan lebih dari 120 hari,

Terlapor baru muncul dan serahkan blanko akta jual beli ke Notaris PPAT

Sukamdi, SH, MKn supaya diproses, tapi asli blanko akta jual beli tersebut

malah disandera oleh saudara Sukamdi. Selanjutnya, terlapor berakrobat

mengganti blanko akta jual beli yang palsu tersebut dengan sebuah Akta

No. 09/2016 yang dibuat Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn, tetapi tata

cara pembuatan akta tersebut diduga telah sengaja melanggar UU 2/2014

serta Peraturan Jabatan PPAT sehingga kehilangan daya bukti formal,

terdapat sejumlah keterangan palsu, oleh karenanya patut dinilai akta

otentik tersebut telah cacat hukum sejak lahir dan setiap saat berpotensi jadi
objek sengketa;

g. Bahwa Akta No 09/2016 telah diresmikan dengan cara diberi nomor akta,

tanggal akta, ada stempel legal formalnya dan telah ditandatangani para

pihak serta Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn namun dalam proses

pembuatannya pejabat umum secara sadar dan sengaja mencantumkan

harga transaksi yang menyimpang dari total harga pembayaran sebenarnya,

memisahkan tempat membuat akta bagi ke dua belah pihak, hanya satu foto

dokumentasi yang tersedia tapi tidak tampak pejabat umum hadir secara

fisik di hadapan pihak penjual sedang membuat akta di rumahnya, saksisaksi

akta tidak hadir pada saat pembuatan akta, terjadi pelanggaran

wilayah kerja, maka telah memenuhi unsur pidana Pasal 264 juncto Pasal

266 KUHP;

h. Berdasarkan pemeriksaan terhadap sejumlah alat bukti dan pihak yang

sama yang terkait dengan terlapor, oleh PTUN Jakarta yang terdiri dari tiga

(3) orang hakim, dengan putusannya Nomor: 15/P/FP/2018/PTUN-JKT

tanggal 6 September 2018 menyimpulkan bahwa Notaris PPAT N.Nurhayati

SH, MKn yang meresmikan akta No. 09/2016 untuk kepentingan terlapor,

telah melakukan pelanggaran berat terhadap Peraturan Jabatan PPAT,

sedangkan praperadilan hanya disidang oleh seorang hakim tunggal.

Pelanggaran berat tersebut karena adanya permufakatan jahat Notaris

PPAT N. Nurhayati SH, MKn dengan terlapor dalam proses pembuatan Akta

Notaris No. 09/2016.

2. Alasan Pengujian Pasal 24 UU 48/2009 sebagai berikut:


a. Bahwa patut diyakini Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

tentang Larangan Peninjauan Kembali Terhadap Praperadilan pada

hakikatnya tentu dibuat dengan semangat dan tujuan yang mulia yaitu

memberi kepastian hukum terhadap putusan praperadilan, akan tetapi

mencermati sejumlah kasus yang terkuak oleh media dan hasil OTT KPK,

ternyata adanya kecenderungan sejumlah hakim pra-peradilan telah

memanfaatkan Perma tersebut untuk kepentingan pemenuhan hawa nafsu

pribadi, berakibat tujuan mulia tersebut menjadi ternodai;

10

b. Bahwa Pasal 24 UU 48/2009 tentu pengertiannya termasuk putusan

praperadilan. Hingga waktu sebelum terbitnya sebuah Perma, kepastian

konstitusional Pasal 24 UU 48/2009 tentu tak dapat diperdebatkan;

Namun, sejak sebagian substansi pasal tersebut kemudian dibatasi oleh

berlakunya sebuah peraturan dibawah Undang Undang, yaitu peraturan

tentang Larangan Peninjauan Kembali terhadap Praperadilan, maka

konstitusional Pasal 24 UU 48/2009 menjadi dapat diperdebatkan, dengan

alasan sejumlah putusan praperadilan atas perkara Edward Soeryadjaya,

mantan Bupati Bekasi, Bupati Jepara dimana hakim Lasito turut ditangkap

KPK, dan putusan lain yang melukai rasa keadilan di masyarakat. Demikian

juga terjadi putusan praperadilan yang menyimpang secara fundamental

terhadap perkara Pemohon, namun Pemohon tak dapat ajukan peninjauan

kembali menurut Pasal 24 UU 48/2009 karena berlaku pembatasan

sebagian substansinya oleh Perma;

c. Bahwa alasan yang lain adalah pengawasan Mahkamah Agung melalui


Pasal 4 ayat (2) angka c Perma 4/2016 tidak sesuai kenyataan telah dapat

menjamin putusan praperadilan semakin meningkatkan kepastian hukum

dan keadilan bagi warga negara, karena sejak hakim Sarpin R diberi

petunjuk atas putusan praperadilan yang kontroversial, maka akan terus

muncul sederetan putusan praperadilan, peradilan yang diluar akal sehat.

Indikasinya dalam kurun 2018, hanya 4 rekomendasi KY yang ditindaklanjuti

atas 63 hakim terlapor.

VII. PETITUM

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 24 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 adalah

konstitusional bersyarat sepanjang berlakunya Pasal 3 ayat (1) Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan

Kembali Terhadap Praperadilan, akan tetapi belum dilengkapi dengan

ketentuan pasal lain di dalam Undang-Undang-nya sendiri yaitu UU No. 48

Tahun 2009, yang pada prinsipnya dapat menjamin putusan praperadilan

tidak menyimpang secara fundamental dan fair trial tidak dilanggar, atau

11

sekurang-kurangnya ditambahkan ketentuan pasal lain yang rigid mengatur

tentang ancaman sanksi jabatan hingga sanksi berat termasuk pidana,

sesuai jenis dan tingkat penyimpangan hakim praperadilan;

3. Menyatakan bahwa UU No. 48 Tahun 2009 adalah konstitusional bersyarat

sepanjang belum terdapat ketentuan pasal baru yang menyatakan jenis

putusan praperadilan yang keliru mengabulkan penghentian penyidikan,

penghentian penuntutan, atau keliru mengabulkan permohonan pembatalan


penangkapan, penahanan, penetapan tersangka suatu jenis tindak pidana

delik murni, merupakan perbuatan tercela yang patut diminta pertanggungjawaban

secara hukum sesuai jenis dan tingkat penyimpangannya;

4. Menyatakan UU 30/2004 dengan perubahan menjadi Undang-Undang No. 2

Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Pasal 75 huruf a

dan Pasal 79 tidak memuat phrasa ‘dalam 7 (tujuh) hari setelah sidang etik

harus segera membuat keputusan, baik Notaris terlapor hadir atau mangkir

di sidang etik’. Alasannya, akan diperoleh kepastian hukum tidak saja bagi

pelapor yang telah dirugikan secara materiel dan immateriel, akan tetapi juga

memberi kepastian hukum kepada Notaris terlapor, serta kepastian hukum

bagi seluruh warga negara akan terlindungi juga dari potensi ancaman

menjadi korban berikutnya, karena berdasarkan asas legalitas, sejak saat

dimana putusan sidang etik, atau putusan pengadilan yang berkesimpulan

Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn telah melakukan pelanggaran berat

dibacakan, tentu telah hilang kewenangannya, dan tak ada legitimasi lagi

membuat akta otentik, akta pendirian PT, dan lain-lainnya;

5. Menyatakan UU 30/2004 dengan perubahan menjadi Undang-Undang No. 2

Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Pasal 75 huruf a

dan Pasal 79 tidak memuat phrasa ‘dengan tembusan kepada pihak yang

melaporkan’, alasannya pada hakikatnya pihak yang melaporkan adalah

pihak yang menderita kerugian materiel dan immateriel, serta turut hadir

bersidang etik sebagai saksi korban atas dugaan pelanggaran kode etik dan

pedoman perilaku notaris tentu berhak menurut Konstitusi, untuk ketahui

bentuk putusan Majelis Pengawas, sebagai dasar akan menerima putusan


12

tersebut atau mempersiapkan langkah hukum berikutnya;

6. Menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 sebagai perubahan

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 cq.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat, karena tidak berkeinginan pulih dari substansi

inkonstitusionalnya, dimana justru setelah direvisi pun, kewajiban notaris

selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan

tetap saja diberlakukan tidak sama di hadapan hukum, maka tentu

bertentangan dengan kewajiban notaris sebagai warga negara sebagaimana

dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Justru setelah

hasil revisi semakin telak menyulitkan aparatur penegakan hukum;

7. Menyatakan ayat (4) dari Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 sebagai perubahan

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 sebab

tidak secara tegas mengatur tentang apa dan bagaimana bentuk tindak lanjut

pertanggung-jawaban formil dan materielnya, bilamana lalai terpenuhinya

tanggung jawab menurut Pasal 66 ayat (3), sehingga berakibat

ketidakpastian hukum pada semua tahapan dalam proses penegakan

hukum;

8. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi yang

memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya

(ex aequo et bono).


Disetujui Oleh,

Panitera Muda III

Ida Ria Tambunan

NIP. 19660524 199203 2 001

Pengolah Data Perkara dan Putusan

Nuzul Qur’aini Mardiya

NIP.19830629 201012 2 001

Anda mungkin juga menyukai