Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

“ESSAY PENGERTIAN AKTA AUTENTIK”

Disusun Oleh :

Nama : Achmad Zikri Laduni

NIM : 02022682226021

Mata Kuliah : Metode Pembuatan Akta

Dosen : 1. Dr. Febrian, S.H., M.S.

2. Dr. Arman Lany, S.H., SP.N., M.H

3. H. Herman Adriansyah, S.H., SP.N., M.H

4. Hj. Elmadiantini, S.H., SP.N M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

PALEMBANG

2022
PENGERTIAN AKTA AUTENTIK

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia pasal 1866, dikenal alat-alat bukti
yang terdiri dari: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan,
dan sumpah. Mengenai bukti tulisan termasuk didalamnya adalah suatu akta otentik, yaitu suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuat (pasal
1868 KUHPerdata). Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu
pengadilan, pegawai catatan sipil dan pejabat lelang. Dalam hal akta notaris yang berhak membuat
akta otentik adalah Notaris, karena notaris telah ditunjuk sebagai satu-satunya pejabat umum yang
berhak membuat semua akta otentik, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Akta
otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan
hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah
kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu
alat bukti yang lain. Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta
tersebut karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat
oleh pemerintah dan diberikan wewenang serta kewajiban untuk melayani publik/kepentingan
umum dalam hal-hal tertentu, oleh karena itu notaris ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.
Akta autentik berdasarkan pasal 1868 KUHper adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh
undang-undang atau dibentuk oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Di
karenakan dibuat oleh pejabat tertentu yang memiliki wewenang, maka akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian yang kuat di pengadilan. Sementara akta dibawah tangan berdasarkan Pasal
1874 KUHPer adalah akta yang di tandatangani dibawah tangan, surat, daftar surat urusan rumah
tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat oleh tanpa perantara seorang pejabat umum. Oleh
karena itu, kekuatan pembuktian dari suatu akta dibawah tangan tidak sesempurna akta autentik.
Dalam pasal 1868 KUHper disebutkan bahwa :
“suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang
oleh atau diahadapan pegawai-pegawai umum yang bertkuasa untuk itu, di tempat dimana akta
itu dibuat”.
Berdasarkan dengan pasal tersebut, maka akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya
ditentukan oleh undang-undang atau dibentuk oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk itu. Pejabat yang berhak untuk membentuk suatu akta otentik tidak hanya notaris, tetapi
semua pejabat tertentu yang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan akta
tersebut contohnya adalah Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) atau pejabat dinas pencatatan
sipil yang bertugas untuk membuat akta nikah seta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
bertugas untuk membentuk akta jual beli tanah. Hal ini dikarenakan akta otentntik dibentuk oleh
pejabat tertentu yang memiliki wewenang sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
yang kuat di pengadilan. Apabila akta tersebut dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka
akta itu tidak dapat diberlakukan sebagaia akta otentik Hal tersebut berdasarkan pada Pasal 1869
KUHPer yang berbunyi:
“suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang
atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya,
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandangani oleh parah pihak”
Oleh karena itu, jika suatu akta dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka akta
tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan apabila ditandatangi oleh parak
pihak.
Notaris bukan merupakan suatu profesi hal ini perlu menjadi penekanan penting karena
pandangan umum selalu menyamakan notaris dengan profesi hukum lainnya. Menurut ketentuan
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 2004, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tersebut sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yang dimaksud dengan
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya. Perubahan pada Pasal 1 angka 1 tersebut terjadi pada kata “otentik” pada Undang-
undang Peraturan Jabatan Notaris (UU PJN) yang lama menjadi “autentik” pada UU PJN
perubahan. Sedangkan pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan akta autentik menurut UU PJN
perubahan pada Pasal 1 angka 7 UUPJN perubahan yang berbunyi: “Akta Notaris yang selanjutnya
disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”
Notaris sendiri memiliki keistimewaan yang berbeda dan berlainan dengan profesi lainnya
di bidang hukum. Bahkan perlu ditegaskan jika notaris tidak dapat dikatakan sebagai profesi
Karena notaris mendapatkan tugas dan wewenangnya dari undang-undang dan berdasarkan
Undang-undang tersebut sangat jelas menerangkan jika notaris merupakan suatu jabatan. Perlu
kita sepakati jika notaris sebagai suatu jabatan yang dalam menjalankan jabatannya tidak memihak
sehingga oleh karenanya, notaris dipercaya untuk membuat alat bukti yang memiliki kekuatan
otentik.
Hal ini sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan
notaris yang mana dalam aturan jabatan notaris tersebut mengatur sedemikian ketatnya sehingga
dapat menjamin keontentikan akta-akata yang dibuat di hadapan notaris tersebut. Di samping itu,
alasan lainnya yang membuat notaris dapat dikatakan sebagai jabatan adalah Karena tugas yang
dibebankan kepada notaris adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jadi notaris
sebagai jabatan bertugas untuk melayani masyarakat atas permintaan masyarakat terhadap
kebutuhan akan alat bukti otentik berupa pembuatan akta. Dengan demikian, untuk menjaga
kualitas notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka dibentuklah organisasi
notaris seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang berperan dalam membuat serta menyusun Kode
Etik yang berlaku bagi para anggotanya.
Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam
rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang
dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan
perundangundangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk
memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik pada
hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada
Notaris. Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa yang termuat dalam akta
Notaris, sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan
cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses informasi,
termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak
penandatangan akta, dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas dan menyetujui
isi akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Perlu digarisbawahi jika Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bentuk jabatan
kepercayaan Karena secara prinsip undang-undang telah memberikan kewenangan kepada para
Notaris yang begitu besar untuk membuat alat bukti yang bersifat otentik Karena ketentuan-
ketentuan dalam Undang-undang Jabatan Notaris begitu ketat dan penuh dengan sanksi, baik
sanski administrasi maupun sanski pidana tanpa mengurangi kemungkinan diterapkannya sanksi
pemberhentian sementara sampai pemberhentian permanen (pemecatan).
Notaris dalam menjalankan jabatannya memberikan pelayanan kepada masyarakat dan
oleh Karena itu, maka sudah sepatut dan sewajarnya jika notaris dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya wajib untuk bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini penting Karena
notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya wajib untuk mengutamakan kepentingan
masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi notaris itu sendiri sehingga dengan
demikian, maka seorang Notaris dituntut untuk lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam
pembuatan suatu akta agar memberikan jaminan bagi seluruh pihak yang terkait langsung dengan
pembuatan akta otentik tersebut. Dalam menjalankan tugas jabatannya seorang notaris harus
berpegang tegus kepada Kode Etik Jabatan Notaris Karena Kode Etik merupakan pedoman bagi
seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan harkat dan martabat serta
profesionalisme yang dimilikinya sehingga terus menerus mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat.
Perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut
demi tercapainya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian hukum dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat maka dianggap perlu diberikan suatu aturan hukum yang menjadi
payung hukum (umbrella act) bagi Notaris.
Jabatan merupakan subyek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban yang mana dilihat
dari sisi Hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat, tetapi diberikan kepada
jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai subyek hukum yaitu badan hukum, maka jabatan itu dapat
menjamin kontinuitet hak dan kewajiban. Pejabat (yang menduduki jabatan) selalu berganti-ganti,
sedangkan jabatan terus menerus. Jabatan notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya,
bukan jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisaikan kepada khlayak. Jabatan
notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif karena notaris
diharapkan memiliki posisi netral. Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh
aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Kedudukan
notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada notaris tidak pernah
diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi
kewenangan pejabat-pejabat lain. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka notaris adalah satu-
satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
Pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain: 1
1) Consul (berdasarkan Conculair Wet);
2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3);
3) Notaris Pengganti;
4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri;
5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Konsekuensi atas status pejabat umum, maka untuk pengangkatan serta pemberhentiannya
dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Akan tetapi sebagai pejabat umum terdapat perbedaan antara Notaris dengan pejabat
atau jabatan pemerintahan lainnya. Hal utama yang membedakannya adalah berkaitan dengan
pendapatan yang mana Notaris selaku pejabat umum dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya tidak menerima upah atau pendapatan dari pemerintah sebagaimana pegawai
pemerintahan pada umumnya. Notaris sendiri selaku pelayan masyarakat berhak mendapatkan
honorarium atau pembayaran dari masyarakat yang menggunakan jasanya dalam membuat akta
otentik sehingga sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
membuat akta otentik. Keistimewaan Notaris dalam mengemban tugas sebagai pejabat umum
sangat terlihat dari dibolehkannya Notaris menggunakan lambang burung Garuda sebagai lambang
dalam setiap cap notaris yang akan digunakan dalam mengemban tugasnya tersebut. Hal ini tentu
saja semakin menunjukkan jika Notaris bukan merupakan suatu profesi namun jabatan.

1
H. Budi Untung, Visi Global Notaris, (Yogyakarta : Andi, 2002), hlm. 43-44;
Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan tetapi mereka
itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo
Notodisoerjo, menyatakan: bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai “pejabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli
dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai
kedudukan sebagai “pejabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar van
de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta autentik untuk
hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian.
Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai “pejabat umum” dan diberi
wewenang untuk membuat akta-akta itu. 2
Penjelasan UUJN menerangkan bahwa akta autentik sebagai bukti terkuat dan terpenuh
mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta otentik
menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan
pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Selanjutnya dijelaskan, Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik adayang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban atau perlindungan hukum.
Selain akta otentik yangdibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan
untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Jika ditarik garis ke belakang menegok sejarah munculnya lembaga notaris ini tumbuh dan
berkembang dalam usia yang sangat lama, yaitu sekitar abad 11. Dari segi etimologis Bahasa, kata
“Notaris” itu sendiri berasal dari nama “notarius” yang merupakan sebuah nama seorang pengabdi
dalam suatu lembaga yang memiliki kemampuan untuk menulis cepat. Dari notarius itu sendiri
ditemukan beberapa karakteristik utama yang pada akhirnya menjadi karakteristik atau ciri-ciri
khusus dari lembaga notaris ini yang kemudian tercermin dalam diri seorang notaris saat ini, yaitu
:
1) Diangkat oleh penguasa umum;

2
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta : Kanisius, 2001),
hlm. 43.
2) Untuk kepentingan masyarakat umum;
3) Menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum. 3
Notaris sebagai pejabat umum namun juga dapat dikatakan sebagai profesi memiliki posisi
yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat terutama kaitannya dengan menciptakan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Dari segi preventif, maka notaris diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah hukum
melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Suatu
hal yang tidak dapat dipisahkan jika menegok ke belakang melihat sejarah terbentuknya notaris
dimana notaris identik dengan kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan. 4
Para notaris pada zaman dulu kala memiliki peran dan tugas untuk mendokumentasikan sejarah
dan perintah (titah) raja bahkan para Notaris tersebut juga menjadi orang dekat Paus yang
memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan bahkan pada saat abad kegelapan dimana
penguasa tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi
masyarakat umum yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus. Dengan
demikian, sehubungan dengan kepastian hukum, maka dengan lahirnya UUJN tersebut semakin
mempertegas peran penting dari Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian
hukum melalui akta otentik yang dibuatnya. Notaris selaku pejabat umum harus dapat memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. 5
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formil sesuai dengan apa yang telah
diberitahukan oleh para pihak kepada Notaris namun notaris memiliki kewajiban untuk
memasukkan apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta
notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundang-
undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta notaris dalam menjalankan jabatannya,
notaris berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and independency).6 Notaris
merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta
otentik tersebut oleh undang-undang tidak diperuntukkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang

3
G.H.S. Lumbun Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1996), hal. 3;
4
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu,
Sekarang, Dan di Masa Mendatang, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2009), hal. 32;
5
H. Salim HS & H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 101-102);
6
Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007),
hal. 22;
dibuat dihadapan Notaris ataupun akta yang dibuat oleh Notaris merupakan suatu bukti yang
otentik dan bukti paling sempurna dengan segala akibat hukumnya. 7
Jabatan notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris menjalankan tugas negara
dalam membuat akta sehingga akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) merupakan dokumen
negara. Pejabat umum sendiri dapat diartikan sebagai pejabat yang diangkat dan diberhentikan
oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik
dalam hal-hal tertentu, dan karenanya Notaris ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. 8
Kedudukan Notaris selaku pejabat umum tidak serta merta membuat Notaris disamakan dengan
pegawai pemerintahan lainnya sehingga tentu saja Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian tidak dapat diberlakukan terhadap Notaris. Dengan tidak berlakunya
Undang-Undang Kepegawaian tersebut maka tentu saja hal ini berdampak pada tidak dapat
dikenakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11a Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, konsekuensi
hukum akibat tidak dikategorikannya Notaris selaku pegawai pemerintahan adalah produk hukum
yang dihasilkan oleh Notaris yang dalam hal ini adalah akta otentik tidak dapat digugat melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara karena akta tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai putusan
pejabat tata usaha negara (beschikking). Dengan demikian, akta yang dibuat oleh seorang Notaris
dianggap otentik sepanjang tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh seorang
Notaris pada saat membuat akta tersebut.
Seperti yang telah dibahas sebeluimnya, jika Notaris merupakan pejabat umum yang
diberikan kewenangan untuk membuat suatu akta otentik dengan ketentuan sepanjang akta otentik
tersebut oleh undang-undang tidak diperuntukkan bagi pejabat umum lainnya. Dari pembahasan
tersebut terdapat gambaran penting mengenai akta otentik yang dapat dibuat oleh notaris, yaitu
sepanjang akta otentik tersebut tidak diperuntukkan bagi pejabat umum lainnya hal ini berarti bagi
pejabat umum lainnya juga dapat membuat akta otentik yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan
untuk membuat suatu akta otentik, di antaranya yaitu : a). pejabat Kantor Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil (DISDUKCAPIL) dalam kaitannya dengan akta kelahiran, perkawinan dan
kematian; b). Pejabat kantor lelang dalam hal membuat akta lelang; c). Pejabat Pembuat Akta

7
A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 64;
8
R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hakhak Notaris, Wakil Notaris, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 75;
Tanah (PPAT) dalam hal membuat akta otentik di bidang pertanahan; d). Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) dalam hal membuat akta nikah, talak dan rujuk.
Namun jika dicermati, justru Notaris lah yang diberikan hak dan kewenangan yang sangat
besar dalam membuat hampir seluruh akta otentik. Selain itu yang perlu juga digarisbawahi oleh
para Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, seorang Notaris juga harus bersikap
professional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan demikian perlu tetap
memperhatikan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris sebagai suatu pedoman yang harus
ditaati.
Notaris sebagai pejabat umum harus peka, tanggap, memiliki ketajaman berpikir dan
mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan social yang muncul
sehingga dengan demikian akan menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang
tepat dalam hal keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan menolak dengan tegas
pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral dan etika. 9
Perlu disadari sebagai pejabat umum, Notaris memiliki Kode Etik serta tanggung jawab
atas jabatannya tersebut terutama dalam hal pembuatan akta otentik yang harus sesuai dengan
aturan hukum (rule of law) yang berlaku yang tentu saja jika aturan hukum (rule of law) tersebut
dilanggar maka berakibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh notaris tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena notaris bilamana atas suatu akta yang
dibuatnya justru menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya, maka notaris juga dapat digugat atas
suatu tindakan melawan hukum.
Bahwa Notaris selaku pejabat umum berwenang untuk membuat akta otentik yang mana
sehubungan dengan kewenangannya tersebut, maka Notaris dibebani suatu tanggung jawab atas
perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
dilakukan secara melawan hukum. Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan
untuk menanggung segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung
segala resiko ataupun konsekuensinya yang ditimbulkan dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh
notaris tersebut yang mana pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat

9
Wawan Setiawan, Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik, (Media Notariat, Edisi Mei dan
Juni, 2004), hal. 25;
hukum yang ditimbulkannya sehingga secara umum pertanggungjawaban yang pada notaris dalam
kaitannya dengan perbuatannya tersebut adalah pertanggungjawaban pidana, administrasi dan
perdata. Masing-masing bentuk pertanggungjawaban memiliki konsekuensi hukum masing-
masing, untuk pertanggungjawaban pidana tentu saja memiliki konsekuensi pidana,
pertanggungjawaban administrasi memiliki konsekuensi administrasi dan pertanggungjaaban
perdata memiliki konsekuensi keperdataan. Pertanggungjawaban tersebut sebagai bentuk
konsekuensi akibat kesalahan dari notaris dalam pembuatan serta penyusunan akta otentik.
Adapun tujuan dari penggabungan terhadap sanksi atau konsekuensi hukum terhadap para
notaris yang melakukan perrbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah agar
dapat memberikan jaminan kepasitan hukum serta penegakan hukum kepada notaris itu sendiri
dan terhadap para pihak yang dirugikan atas perbuatan yang dilakukan oleh notaris tersebut.
Dengan kata lain, notaris tidak serta merta menjadi pihak yang kebal hukum namun dalam keadaan
tertentu, notaris wajib untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya yang
mana pada kenyataannya perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak ataupun
salah satu pihak yang aktanya dibuatkan oleh notaris. Akan tetapi, terdapat suatu hambatan dalam
penegakan hukum terhadap notaris karena dalam UUJN ataupun UU Perubahan atas UUJN tidak
mengatur mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang dibebani terhadap notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
UUJN dan perubahannya hanya mengatur mengenai penerapan sanksi perdata dan administrasi
yang mana kedua jenis sanksi terseebut berdiri sendiri dan tidak dapat dilakukan secara bersama-
sama karena penjatuhan sanksi teersebut terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan
UUJN dan perubahannya. Hal ini berakibat perlunya dilakukan penelitian dan pendalaman lebih
lanjut untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban yang layak dilakukan oleh notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum agar pertanggungjawabannya dirasakan adil khususnya
bagi para pihak yang dirugikan maupun bagi notaris itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai