Anda di halaman 1dari 15

KEDUDUKAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK.

PENDAHULUAN

Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pengurus Wilayah Jawa Tengah Ikatan
Korwil Ex Karisidenan Perkalongan Notaris Indonesia yang telah membuat acara yang aktual dan up to
date terhadap keadaan dan perkembangan dunia kenotariatan akhir - akhir ini.

Kepada saya diberikan topik judul Kedudukan Hukum akta Notaris, yang saya sesuaikan menjadi
KEDUDUKAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK, yang dalam pembahasan kali ini dibahas pula
dari sudut pembuktian dan kesaksian, yang saat ini selalu menjadi topik bahasan.

Topik ini kami anggap penting karena saat ini dijumpai adanya perubahan persepsi/ pengertian terhadap
Notaris, kedudukan Notaris dan akta Notaris serta perlakuan terhadap Notaris.
Ironisnya justru perubahan/ketidak fahaman itu terjadi di kalangan Notaris dan Penegak Hukum maupun
Pemerintah/Eksekutif.
Forum ini dapat dijadikan sebagai forum diskusi dan kesepahaman dalam mengkaji dan kemudian
menempatkan Notaris dan akta Notaris pada tempat yang ditentukan oleh perundang-undangan sebagai
akta Otentik dengan segala konsekwensi hukumnya.
Topik ini telah beberapa kali saya sampaikan dengan pertimbangan bahwa permasalahan ini masih kerap
terjadi meskipun ada perbaikan disana sini, semoga apa yang kita lakukan hari ini membawa kebaikan
dan manfaat bagi Notaris dan masyarakat.
Akta Notaris sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan keadilan
kepada masyarakat dengan memberikan kepastian hukum melalui akta Notaris, akta Notaris
mengatur hak dan kewajiban, secara jelas, benar dan adil, karena Notaris tidak berpihak
kecuali berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Notaris mewakili Negara untuk membuat alat bukti melalui akta Otentik, maka sudah seharusnya semua
pihak memperlakukan Notaris dan akta Notaris sebagaimana dikehendaki oleh peraturan PerUndang –
Undangan atau hukum positif.
Berbicara tentang Notaris maka kita harus mengawali pembahasannya dari hukum pembuktian, terutama
alat bukti karena tugas utama dari Notaris adalah membuat alat bukti yang menurut pasal 1866 KUH
Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari :
a. bukti tertulis
b. bukti dengan saksi
c. persangkaan-persangkaan
d. pengakuan, dan
e. sumpah
Pembuktian dalam perkara perdata menempatkan bukti tulisan menjadi bukti utama/pokok,
berbeda dengan perkara pidana yang menempatkan kesaksian sebagai bukti yang utama
disamping surat-surat, pengakuan dan petunjuk-petunjuk.
Profesor Subekti, SH menyatakan ada 2 (dua) unsur penting dalam suatu akta yaitu : kesengajaan untuk
membuat bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.
” Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dibawah
tangan ” (Pasal 1867 KUHPerdata)
Dari kedua kategori tulisan tersebut (akta otentik dan akta/surat dibawah tangan), maka
akta otentik mempunyai nilai pembuktian yang tertinggi meskipun keduanya dapat merupakan bukti
tertulis.
Pasal 1870 KUHPerdata
” Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya ”
Akhir-akhir ini terjadi pemahaman yang keliru/menyimpang terhadap akta Notaris sebagai
akta otentik dan Notaris sebagai Pejabat Umum.
Pemahaman yang keliru atau menyimpang ini dapat merugikan masyarakat karena tidak
adanya kepastian Hukum.

Tulisan ini dimaksud sebagai upaya untuk mengingatkan kembali dan memberikan pemahaman tentang :
- Notaris dan kedudukan Notaris
- Akta Notaris (akta otentik) dan kedudukan akta otentik dalam
sistem hukum pembuktian di Indonesia.

Dengan menempatkan kembali kedudukan Notaris dan akta Notaris diharapkan kepastian, ketertiban dan
keadilan dapat terwujud.

Dalam Penjelasan UU No 2 Tahun 2014 untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan dan
peristiwa hukum yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.

Membaca Penjelasan UU No 2 tersebut, maka Notaris diharapkan dapat memberikan kepastian Hukum
melalui akta yang dibuatnya, Undang – Undang tersebut juga mengamanatkan untuk memberikan
Perlindungan Hukum kepada Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan Jabatannya.
Untuk itulah Pemahaman semua pihak termasuk Penyidik tentang kedudukan Notaris sebagai Pejabat
Umum dan akta Notaris sebagai akta Otentik menjadi penting.
NOTARIS
Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk pelayanan
Negara kepada masyarakat dibidang hukum.
Pelayanan Negara dibidang hukum kepada masyarakat dapat dibagi dalam dua bagian :
1. Pelayanan Negara kepada masyarakat dalam hukum publik
2. Pelayanan Negara kepada masyarakat dalam bidang hukum perdata.

Pelayanan Negara dalam hukum perdata dilakukan dengan memberikan ketertiban dan kepastian hukum
untuk mencapai keadilan yang dilakukan antara lain melalui pembuatan alat bukti (akta otentik) yang
dibuat oleh Pejabat Umum.
Pejabat Umum adalah Organ Negara (yang mandiri/ independen, terpercaya dan penuh rasa
tanggung jawab) yang dilengkapi oleh kekuasaan umum, berwenang untuk menjalankan
sebagian dari kekuasaan Negara dalam bidang hukum privat untuk membuat alat bukti
yang otentik (sah/benar) dalam hukum pembuktian dalam bidang hukum perdata.

Notaris adalah Pejabat Umum, dalam pasal 1 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
selanjutnya akan disebut Undang Undang Jabatan Notaris, disebutkan :
” Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang ini
atau berdasarkan Undang – Undang lainnya. ”
Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Jabatan Notaris ini merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal 1868
KUHPerdata yang memberikan penjelasan siapa yang dimaksud sebagai Pejabat Umum tersebut.
Notaris adalah Pejabat Umum, karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, menjalankan
sebagian kekuasaan eksekutif/pemerintah untuk membuat alat bukti.
Kepada Notaris juga ditetapkan azas hukum publik, yaitu sebelum menjalankan jabatan Pejabat Publik,
wajib dan harus mengangkat sumpah.
Pasal 4 Undang Undang Jabatan Notaris
” Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji
menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk ”

Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Notaris adalah jabatan dan bukan Profesi, karena profesi
mempunyai tujuan yang berbeda dengan Notaris.
Notaris mempunyai tujuan memberikan pelayanan publik dan tidak menjadikan pencarian
nafkah sebagai tujuan sedangkan profesi menjadikan pencarian nafkah sebagai tujuan.

Abdul Kadir Muhamad, menyatakan bahwa Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap dibidang
tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan
memperoleh penghasilan.
Notaris adalah jabatan yang menjalankan sebagian kekuasaan Negara, maka hakikatnya
adalah pengabdian kepada pelayanan masyarakat meskipun memperoleh nafkah tetapi nafkah
bukan sebagai tujuan.
-Notaris sebagai pengabdi hukum, menjalankan salah satu tugas Pemerintah memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan alat bukti.
Masyarakat membutuhkan alat bukti yang dibuat oleh Notaris karena dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum.

Akhir-akhir ini terjadi perubahan pengertian tentang Notaris dan kedudukan Notaris melalui kerancuan
berfikir baik yang dilakukan oleh Pemerintah/eksekutif,
Penegak hukum maupun Notaris itu sendiri dengan menempatkan Notaris tidak sebagai Pejabat Umum
tetapi sebagai Profesi dan lebih ironis ditempatkan sebagai Pengusaha.
Hal ini dapat kita lihat :
1. Mengenakan PNBP kepada Notaris pada saat mengambil SK dan Pelantikan
2. Menjadikan Notaris sebagai Pengusaha Kena Pajak
3. Dibeberapa daerah papan Jabatan Notaris disamakan dengan Papan Promosi.

Kerancuan berfikir atau kerancuan pemahaman ini sangat berbahaya dan pada akhirnya akan sangat
merugikan masyarakat.

Pembuat alat bukti (Notaris) tidak boleh menjadi pengusaha, bahkan sekalipun hanya terhadap cara
berfikir sebagai pengusaha saja tidak boleh, karena alat bukti bukan dan tidak boleh diperdagangkan,
betapa berbahayanya dunia peradilan kalau notaris sebagai Pejabat Umum, pembuat alat bukti
dipersepsikan sebagai pengusaha.
Notaris bukan profesi, apalagi pengusaha, sehingga kepada Notaris tidak dapat
dikategorikan/diperlakukan sebagai profesi.
Notaris adalah alat kelengkapan Negara untuk membuat akta otentik.
Dalam Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa Dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Notaris mempergunakan Lambang Negara Garuda Pancasila,
untuk Cap atau Kop Surat Jabatan. Ketentuan tentang penggunaan Lambang Negara tersebut
memperkuat pengertian bahwa Notaris adalah Pejabat Negara.

Karena Notaris adalah Pejabat Negara sudah seharusnya, Notaris dan pihak – pihak lain juga harus
mendudukannya sebagai Pejabat Negara.
Produk dari jabatan Notaris dan segala sesuatu yang berkenaan dengannya (protokol Notaris)
adalah arsip Negara.

Sebagai arsip negara maka protokol Notaris harus diperlakukan sebagai arsip negara baik oleh Notaris itu
sendiri maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan protokol tersebut.
AKTA NOTARIS

Pasal 1867 KUHPerdata


” Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan
tulisan-tulisan dibawah tangan ”
Sebagaimana kita pahami dimuka maka pembuktian utama dalam peradilan perdata adalah bukti tulisan
dan bukti tulisan yang mempunyai kekuatan pembuktian utama adalah akta otentik.

Pasal 1868 KUHPerdata


” Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya ”
Pegawai-pegawai umum yang dimaksud dalam pasal 1868, menurut Prof R. Subekti adalah Notaris,
seorang Hakim, seorang Juru Sita pada suatu Pengadilan, seorang Pegawai Catatan Sipil dan sebagainya.

Lebih lanjut Prof. R. Subekti dalam buku Hukum Pembuktian, menyatakan :


Dengan demikian maka suatu akta Notaris, suatu Surat Putusan Hakim,
suatu Surat Proses Perbal yang dibuat oleh seorang Juru Sita
Pengadilan dan suatu surat Perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan
Sipil adalah Akta-akta Otentik.

Uraian tersebut memberikan kejelasan kepada kita bahwa akta Notaris yang dibuat oleh Notaris sesuai
dengan ketentuan pasal 1868 KUHPerdata adalah akta Otentik.
Akta Notaris sebagai akta Otentik, maka berlakulah kepadanya ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata :
” Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya ”

Ny.Retnowulan Sutantito,SH (Mantan Hakim Agung) dan Iskandar Oeripkartawinata, SH dalam buku Hukum
Acara Perdata dalam teori dan praktek, halaman 59, menyatakan :

Dalam Pasal 165 H.I.R ditentukan, bahwa akta Otentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang
apa yang tersebut didalamnya perihal pokok soal, dan juga tentang apa yang disebutkan
sebagai pemberitahuan belaka, apabila hal yang disebut kemudian ini mempunyai hubungan
langsung dengan pokok soal tersebut.
Lebih lanjut dikatakan ” Akta Otentik merupakan bukti yang cukup, itu berarti bahwa dengan
dihaturkannya Akta Kelahiran Anak, misalnya, sudah terbukti secara sempurna tentang kelahiran anak
tersebut dan perihal itu tidak perlu penambahan pembuktian lagi ”
Bukti yang cukup ini, juga disebut bukti yang sempurna.

Sedangkan Prof. R.Subekti dalam buku Hukum Pembuktian halaman 27


” Akta Otentik merupakan suatu bukti yang mengikat dalam arti bahwa apa yang
ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap
sebagai benar, selama ketidak benarannya tidap dapat dibuktikan dan ia
memberikan suatu pembuktian yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah
sempurna, ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, ia
merupakan suatuaAlat bukti yang mengikat dan sempurna ”

Prof. R.Subekti lebih lanjut mengatakan ajaran bahwa dalam suatu akta otentik itu yang harus dianggap
benar hanyalah :
” Bahwa para pihak itu betul sudah menghadap kepada Notaris yang termaksud pada hari dan tanggal
yang disebutkan dalam akta itu dan bahwa mereka sudah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta
tersebut.
Jadi akta itu hanya merupakan bukti tentang apakah benar mereka telah menerangkan apa yang
dituliskan disitu, tetapi tidak memberikan bukti tentang apakah benar yang mereka terangkan disitu.
Ajaran yang demikian itu sudah lama ditinggalkan.

Sekarang, dengan tepat diajarkan bahwa akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa
para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan disitu tetapi juga bahwa apa yang
diterangkan tadi adalah benar.
Sepanjang ketidak benarannya dapat dibuktikan, sehingga sudah seharusnya beban
pembuktian berada pada yang menyangkalnya.

Dari pendapat para ahli yang keilmuan dan integritasnya tidak diragukan lagi tersebut dapat kita pahami
dan yakini bahwa akta otentik adalah alat bukti yang mengikat dan mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna.

Akta otentik tidak memerlukan pembuktian tambahan termasuk dari Notaris pembuat alat
bukti/akta otentik tersebut.
Akta otentik dapat melindungi keotentikannya tanpa perlu bantuan siapapun termasuk Notaris
pembuatnya.

Saat ini masih kita jumpai adanya permintaan keterangan kepada Notaris tentang kebenaran dari
keterangan yang terdapat dalam akta otentik.
Permintaan keterangan/kesaksian Notaris selain tidak sesuai dengan Asas dalam Ilmu Hukum pembuktian
yaitu : siapa yang mendalilkan mempunyai kewajiban untuk membuktikan, terkadang juga
bertentangan/mengingkari dari asas dan prinsip-prinsip akta otentik.

Dalam akta Otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian :


Pertama : Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tadi.
(kekuatan pembuktian formil).
Kedua : Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh
peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi.
( kekuatan pembuktian material/mengikat).
Ketiga : Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga
terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta-akta kedua
belah pihak tersebut sudah menghadap dihadapan Notaris dan menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tersebut.
(kekuatan pembuktian keluar).

Kesadaran dan pemahaman bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang diperintahkan oleh
Undang-undang dan bukan profesi apalagi pengusaha, akan memberikan pemahaman yang
benar tentang kedudukan Notaris dan akta Notaris.

Notaris dalam membuat akta Partij/ Pihak, Notaris hanya mengkonstatir/menuliskan dengan benar
kehendak para pihak dengan/tanpa menambahkan atau mengurangi apa yang dinyatakan oleh para
pihak atau penghadap.
Demikian pula halnya dalam akta Relaas, Notaris hanya akan menuliskan kesaksiannya terhadap keadaan
apa yang dilihat, didengar dan diketahuinya, keduanya dilakukan oleh Notaris dalam kapasitasnya sebagai
Pejabat umum.

Ketidak pahaman atau ketidak tahuan atau kerancuan berfikir dapat mengakibatkan
kecurigaan bahwa Notaris telah berada pada kepentingan salah satu pihak atau kepentingan
Notaris dalam mencari keuntungan.

Sekalipun keadaan tersebut mungkin ada tetapi dapat saya pastikan sebagian besar Notaris masih berada
dalam koridor sebagai Pejabat Umum yang selalu berada pada kebenaran dan keadilan.

Sesungguhnya para penegak hukum (penyidik dan penyelidik) apabila memahami dengan benar
kedudukan akta otentik tidak harus/tidak boleh memanggil Notaris untuk menjadi saksi terhadap akta
yang dibuatnya.
Hal ini tidak saja bertentangan dengan azas dan prinsip dari akta Notaris, juga dapat mengurangi
objektifitas dari akta dan penyidik tersebut.

Akhir-akhir ini dijumpai adanya trend menyertakan Notaris dalam proses gugat ginugat, dalam
perkara perdata maupun dalam proses perkara perdata yang menggunakan jalan/ melalui
proses pidana.

Dengan anggapan dapat mempermudah untuk memperoleh bukti atau melalui intimidasi untuk
memperoleh bukti.

KESAKSIAN NOTARIS

Para penegak hukum dan Majelis Pengawas Daerah, hendaknya jeli dan berhati-hati dalam meminta,
menyetujui terhadap permintaan menjadikan Notaris sebagai saksi dan juga bagi Notaris dalam
memberikan kesaksian.

Kesaksian pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mengungkapkan kebenaran,


tetapi saat ini tidak jarang dijumpai permintaan kesaksian dimaksudkan sebagai sebuah upaya
untuk mempermudah memperoleh bukti atau mempertentangkan antara keterangan Notaris
dengan akta yang dibuatnya yang kemudian akan dijadikan alat dalam pembuktian untuk
kepentingannya (pihak yang berperkara).
Pengertian kesaksian dalam peradilan perdata terdapat dalam pasal 171 ayat 2 HIR, yang dapat
diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri peristiwa-peristiwa yang
menjadi persoalan.
Tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal
yang diterangkan olehnya.

Pasal 1907 KUHPerdata : ” Tiap - tiap kesaksian harus disertai dengan alasan - alasan
bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan ”
Dalam hal keterangan atau kesaksian yang dimintakan kepada Notaris adalah apa yang ia (Notaris) lihat,
dengar atau rasakan sendiri, tentu hal ini hanya terhadap/terbatas pada pembuatan aktanya dan tidak
pada penggunaan aktanya.

Sedangkan pasal 1909 ayat 3 KUHPerdata, memberikan hak kepada Notaris untuk meminta
dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian.
Notaris diberikan hak untuk minta dibebaskan dalam memberikan kesaksian karena Notaris
dalam menjalankan jabatannya mempunyai kewajiban untuk merahasiakan isi akta dan
pengetahuan Notaris terhadap apa yang diberitahukan oleh klien kepada Notaris.
Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi akta sesuai dengan sumpah jabatan yang terdapat dalam
pasal 4 Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN) :
” Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya ”

Satu hal yang harus dipahami dan diikuti bahwa kewajiban merahasiakan isi akta tidak saja pada
Notarisnya tetapi juga pada pembantu-pembantunya dan terutama saksi dalam akta.
Saat ini sering dijumpai karena terhadap Notaris memerlukan prosedur khusus dalam pemanggilannya
(Pasal 66 UUJN), maka ditempuhlah pemanggilan terhadap saksi-saksi.
Kewajiban merahasiakan bagi Asisten dan pegawai kantor Notaris dapat kita analogikan atau kita
persamakan dengan :
”Rahasia Jabatan yang harus dipegang oleh seorang pengacara berlaku bagi semua orang yang bekerja
dikantornya”.

Ketentuan menurut pasal 322 KUHPidana memberikan pengecualian jika seorang Pengacara atau
sekretarisnya dipanggil ke sidang Pengadilan untuk memberikan kesaksian didalam suatu Perkara Pidana,
B.R.V.C 8 Nop 1948, 1949 Nomor 66
(Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. & C.Djisman Samosir, SH) Hukum Pidana Indonesia Hal. 136
Kami berpendapat hal ini berlaku pula bagi Notaris dan semua orang yang bekerja di Kantor Notaris
tersebut.
Kewajiban untuk merahasiakan melekat pada diri Notaris didasarkan pada syarat-syarat yang melekat
pada diri Notaris sebagai Pejabat yang menjalankan kepercayaan masyarakat, kepercayaan dan kewajiban
merahasiakan pada ketentuan UUJN, Kode Etik dan Sumpah Jabatan.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap asas fiduciary duty/asas kepercayaan, pelanggaran terhadap
pasal 4 dan pasal 54 UUJN.
Pengertian Notaris harus ditafsirkan sebagai : Notaris, Karyawan dan Saksi-saksi dalam akta.

Notaris dan pihak-pihak yang memerlukan keterangan dari Notaris harus memahami dan
menyadari bahwa apabila pemberian keterangannya dilakukan tanpa dasar/alasan yang cukup,
termasuk mekanisme dan prosedurnya, maka kepada Notaris dapat dikenakan ketentuan pasal
322 KUHPidana :
” Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam
ratus rupiah ”

Para penegak hukum hendaknya menyadari bahwa, saksi dalam/pada akta otentik mempunyai kewajiban
untuk merahasiakan akta, karena kepada saksi instrumenter berlaku ketentuan pasal 1909 :
” Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan menjadi saksi dimuka
Hakim ”
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian :
ayat 3 e,
” Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut
Undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-
mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai
demikian ”
Dari uraian diatas dapat dipahami Notaris, karyawan Notaris dan saksi dari Notaris mempunyai kewajiban
yang sama untuk merahasiakan isi akta dan keterangan dalam pelaksanaan jabatan Notaris.
Dengan mendasarkan/persamakan dengan :
”Rahasia Jabatan yang harus dipegang oleh seorang pengacara berlaku bagi semua orang yang bekerja
dikantornya” Tersebut diatas.
Kewajiban untuk merahasiakan melekat pada diri Notaris didasarkan pada syarat-syarat yang melekat
pada diri Notaris sebagai Pejabat yang menjalankan kepercayaan masyarakat, kepercayaan dan kewajiban
merahasiakan pada ketentuan UUJN, Kode Etik dan Sumpah Jabatan.

Saksi dan Kesaksian menurut KUHPidana,

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam pasal 1 ayat 26 dan ayat 27
tentang ketentuan umum.

Pasal 1 ayat 26 KUHAP :


” Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri ”

Apabila kita kaji , ketentuan pasal 1 ayat 26 KUHAP, maka dapat kita pahami bahwa saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan, mempunyai arti bahwa ia tidak wajib/ dapat untuk tidak
memberikan kesaksian/keterangan. Dapat mempunyai arti pemberian kesaksian didasarkan pada
dibolehkan/dibenarkan oleh Hukum/Perundang-undangan.
Kepada Notaris kewajiban memberikan kesaksian hanya boleh dilakukan setelah ia mendapat persetujuan
dari Majelis Pengawas Daerah.
( Pengertian Notaris, termasuk pembantu dan karyawan Notaris ). Pasal 7 ayat 3,
” Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”
Menjunjung tinggi hukum yang berlaku termasuk Undang Undang Jabatan Notaris.
Perluasan pengertian saksi oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana putusan
MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 : ”orang yang dapat memberikan keterangan dalam
rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
Biasa disebut saksi testimonium de auditu dan saksi yang meringankan/memberatkan
Notaris hanya dapat memberikan kesaksian terhadap apa yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan yang ia alami sendiri, yang diberikan setelah memperoleh persetujuan Majelis
Pengawas Daerah.
Majelis Pengawas Daerah, hendaknya selalu berada pada keadaan independen tanpa tekanan dari pihak
manapun dan objektif serta berada pada kebenaran dan keadilan serta memperhatikan perlindungan
kepada masyarakat melalui jabatan Notaris.

KETENTUAN PIDANA

Saya menganggap persoalan ini perlu dibahas karena akhir-akhir ini dijumpai adanya kasus perdata yang
dijalani melalui upaya pidana dan melakukan upaya perubahan/pembelokan kasus.
Secara singkat makalah ini mencoba memberikan penjelasan dan gambaran terhadap Notaris, akta
Notaris dan pemidanaan Notaris.
Pembahasan singkat ini dilakukan semata-mata untuk memberikan gambaran secara singkat kepada
Notaris agar Notaris tidak perlu khawatir apalagi takut terhadap upaya profokasi untuk kepentingan
diri/pihak-pihak tertentu karena Notaris mempunyai pemahaman yang cukup.

Pertama harus kita bedakan antara :


- Notaris sebagai pribadi, dan
- Notaris dalam jabatan

Makalah ini hanya mencoba melihat Notaris dalam jabatan,


” Tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan (Pasal 1 ayat 1
KUHP) ”

Dari ketentuan tersebut terapat 2 (dua) asas yaitu :


- Asas ”Nulla Poena Sine Lege” yang berarti tiada orang dapat dihukum tanpa kesalahan dan bahwa
kesalahan tersebut haruslah telah dicantumkan terlebih dahulu dengan hukuman oleh Undang-
undang sebagai suatu sikap atau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-
undang, dari pada terjadinya sikap atau perbuatan yang melanggar larangan undang-undang tersebut.

- Asas yang kedua adalah larangan untuk mempergunakan penafsiran secara ”analogis” dalam lapangan
hukum pidana.

Saat ini dalam teori Hukum Pidana Modern larangan penafsiran secara analogis sudah banyak disimpangi.
Mendasarkan pada uraian asas Nulla Poena Sine Lege tersebut maka perbuatan melawan hukum/tindak
pidana tersebut secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan tersebut yaitu bersifat melawan
hukum, dapat dipersalahkan kepada si pelaku dan bersifat dapat dihukum.

Apabila hal ini kita kaitkan pada Notaris, Notaris dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum,
perbuatan mana merupakan perbuatan yang dapat dihukum.
Dalam praktek saat ini upaya tersebut dikaitkan pada Notaris dalam menjalankan jabatan
sering dikaitkan dengan pasal 55 dan pasal 56 serta pasal 263 dan 322 KUHPidana.

Apabila kita kaji lebih lanjut :


Pasal 55 KUHPidana :
(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

Dihubungkan dengan Notaris maka ketentuan dalam pasal 55 KUHPidana tidaklah dikenakan kepada
Notaris yang menjalankan jabatan dengan memenuhi ketentuan.

Pasal 55 KUHPidana mensyaratkan adanya kesengajaan, adanya kehendak/niat jahat untuk


melakukan atau menyuruh melakukan.

Turut serta mempunyai arti/menunjukan adanya kerja sama secara fisik.


Untuk melakukan sesuatu perbuatan kerja sama secara fisik itu haruslah didasarkan pada
kesadaran bahwa mereka itu melakukan suatu kerja sama.

Dari uraian sederhana tersebut dapat diartikan tidak ada keikut sertaan Notaris sebagaimana
dimaksud dalam pasal 55 KUHPidana tanpa adanya kesengajaan, kesadaran, niat
jahat/kehendak bahwa Notaris dan pelaku melakukan kerja sama. Notaris pembuat akta yang
tidak mengetahui dan tidak mengadakan kerja sama untuk melakukan sesuatu tidak dapat dikategorikan
sebagai turut serta.
Pasal 56 KUHPidana :
” Dihukum sebagai pembantu didalam sesuatu kejahatan :
(1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
(2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam pasal 56 KUHPidana ini menurut DRS.P.A.F.Lamintang, SH
dan C.Djisman Samosir, SH dalam Buku Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru Bandung, didalam
doktrin biasanya disebut ”medeplichtigheid” yang berarti turut tersangkut, atau turut
bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain, karena mempermudah atau mendorong
dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain.
Orang dapat membantu orang lain melakukan kejahatan dengan membiarkan kejahatan itu
dilakukan, yaitu dengan tidak mencegahnya sedang sebenarnya ia ”dapat” dan ”harus”
mencegahnya.

Dari uraian dan penjelasan ini dapat kita pahami adanya unsur dengan sengaja, Notaris tersebut
memberikan bantuan, pada waktu suatu kejahatan itu dilakukan, dengan sengaja memberikan
kesempatan (membiarkan kejahatan tersebut dilakukan), dengan sengaja memberikan sarana/alat atau
keterangan.

Tanpa keadaan tersebut Notaris tidak dapat dikategorikan/atau diklasifikasikan sebagai keturut sertaan,
memberikan sarana/keterangan (Pelanggaran Pasal 55 dan 56 KUHPidana).

Mencermati uraian diatas tidak perlu Notaris khawatir dengan ancaman melanggar ketentuan
Pasal 55-56 KUHPidana dalam pembuatan akta yang dilakukan dengan tidak ada kehendak
atau permufakatan jahat dengan pelaku tindak pidana.

Selain ketentuan dalam pasal 55 – 56 KUHPidana kepada Notaris sering dituduhkan melanggar pasal 263
KUHPidana tentang Pemalsuan Surat.
Pasal 263,
(1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari
pada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemalsuan tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak
benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.

Membuat secara Palsu adalah :


bahwa pada perbuatan membuat secara palsu, semula belum ada
sesuatu surat apapun, kemudian dibuatkan surat itu, akan tetapi isinya
yang bertentangan dengan kebenaran.
Memalsukan adalah :
Semula memang sudah ada sepucuk surat yang kemudian isinya dirubah
Sedemikan rupa, sehingga isinya menjadi bertentangan dengan kebenaran
ataupun menjadi berbeda dari isinya yang semula (asli).

Melihat definisi pasal 263 KUHPidana tersebut maka kepada Notaris tidak akan dapat dikenakan
pasal tersebut tanpa adanya unsur kesengajaan, membuat secara tidak benar/memalsukan
suatu surat dan adanya kehendak untuk mempergunakan surat itu sendiri atau menyuruh
orang lain untuk mempergunakan surat itu.

Notaris pembuat akta otentik, akan selalu berada pada kebenaran dan keadilan, sebagai pengemban
kepercayaan. Notaris akan selalu menyampaikan fakta kebenaran yang disertai bukti yang cukup dan
Notaris akan menuliskan dengan keterangan yang dapat dipercaya.
Tidak akan ada kelalaian dalam kesengajaan dan adanya maksud untuk itu.

Dari keempat kemungkinan secara nyata dan jelas serta tegas tidak dapat dikenakan
pemidanaan kepada Notaris yang menjalankan jabatan dengan baik dan benar.
Menjalankan jabatan dengan baik dan benar adalah memenuhi dan mentaati ketentuan
perundang-undangan pada umumnya dan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) pada
khususnya.
Notaris yang menjaga keluhuran martabat jabatannya memperhatikan tindakan penghadapannya,
memperhatikan kecakapan dan kewenangan pihak atau penghadap terhadap obyek.

Mendasarkan keterangannya pada keterangan pihak/penghadap dan selalu mendasarkan pada bukti yang
diajukan serta melakukan pemeriksaan terhadap bukti/keterangan yang disampaikan maka Notaris tidak
perlu khawatir apalagi takut dan gentar terhadap upaya profokasi yang dilakukan oleh siapapun untuk
kepentingan apapun/siapapun.

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa Notaris sesuai ketentuan pasal 1 ayat 1 Undang Undang
Jabatan Notaris (UUJN) adalah Pejabat Umum, yang menjalankan sebagian kekuasaan negara dibidang
Hukum Privat untuk membuat akta Otentik (alat bukti) yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat dan sempurna.

Sebagai Pejabat Umum, maka seharusnya semua pihak mendudukkannya tidak sebagai Profesi apalagi
Pengusaha.
Notaris sebagai Pejabat Umum Pembuat Akta Otentik mengkonstatir dengan benar/ otentik
pernyataan/kehendak dari penghadap dan/atau membuat pernyataan kesaksian atas permintaan para
penghadap.

Akta Notaris adalah alat bukti otentik yang tidak memerlukan tambahan bukti, termasuk dari Notaris
pembuat alat bukti.
Akta otentik dapat membuktikan sendiri tentang kebenaran keterangan dan kebenaran penghadapan dari
para penghadap.

Tidak perlu ada yang ditakutkan/dikhawatirkan apabila kita bekerja dengan berhati - hati dan teliti
(saksama) dan memenuhi mekanisme dan prosedure pembuatan akta yang ditentukan dalan Undang
Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan mematuhi perundan-undangan (Hukum Positif)

Semoga semua pihak memahami dan mendudukkan Notaris pada kedudukan sebagai Pejabat Umum,
agar masyarakat dapat memperoleh kepastian hukum lewat Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris.

Tegal , 12 Februari 2019

BADAR BARABA, SH, MH, SpN.

DAFTAR PUSTAKA

- E. SUMARJONO, Etika Profesi Hukum, Kanisius, 19


- G.H.S. LUMBAN TOBING, SH
Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta 1993
- KOMAR ANDASASMITA, Notaris I, Sumur Bandung 1981
- NY. RETNOWULAN SUTANTO – ISKANDAR OERIPKARTA WINATA
Hukum Acara Perdata Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1983.
- R. SUBEKTI, Hukum Pembuktian, PT PRADAYA PARAMITA, Jakarta-1999.
- PAF. LAMINTANG – C. DJISMAN SAMOSIR
Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

Anda mungkin juga menyukai