Anda di halaman 1dari 22

A.

Latar Belakang Masalah

Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari


kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum
keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara
mereka. Di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dan
UndangUndang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Jo. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Jabatan Notaris.
Berdasarkan UUJN tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan.3 Menurut M.U. Sembiring akta
adalah suatu tulisan yang memenuhi dua kualifikasi, yaitu :
1. Tulisan itu harus ditandatangani,
2. Tulisan itu diperbuat dengan tujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti.
Apabila suatu tulisan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti meskipun
ditandatangani oleh yang membuatnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah akta.
Misalnya sebagaimana dikemukakan oleh M.U. Sembiring bahwa surat seorang
anak yang dikirim dari kota tempat tinggalnya kepada orang tuanya di kampung
halamannya, meskipun ditandatangani olehnya, surat tersebut bukanlah akta
karena tidak dikandungnya maksud untuk mempergunakan akta tersebut sebagai
alat bukti melainkan hanya sebagai berita kemajuan sekolahnya.
Akta ditinjau dari pembuatannya, dikenal dengan akta dibawah tangan dan
akta otentik. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat.6 Sedangkan akta di bawah tangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata, yaitu sebagai tulisan di
bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar,
surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pejabat umum.
Menurut Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya
syarat formal suatu akta otentik, yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti
sempurna, dengan segala akibatnya.
Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran
sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung
tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akte otentik
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, tetapi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian
antara pihak berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.
Akta yang dibuat notaris dan PPAT memuat atau menguraikan secara otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para
penghadap dan saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa akta notaris
merupakan rangkaian suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini
disebabkan karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian
atau disebabkan oleh orang lain dihadapan notaris.
Akta notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu :
1. Akta yang dibuat oleh (door een) notaris. Akta jenis ini diberi namaakta
relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten) atau akta berita acara. Akta
jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para pemegang saham perseroan
terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita
acara penarikan undian.
2. Akta yang diperbuat di hadapan (ten overstaan van een) notaris Akta ini
dinamakan akta pihak-pihak (partij akten). Isi Akta ini adalah catatan notaris
yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari para penghadap
yang bertindak sebagai pihak dalam akta yang bersangkutan. Akta jenis ini
diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai,
akta persetujuan kredit dan sebagainya.

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :


Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang
yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta
otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum,
sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia
berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk
membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang
untuk membuat akta-akta itu.
Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan
alat bukti. Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut
dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta
dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang
dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya
di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan.
Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik
boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan
pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.
Penyusunan suatu akta notaris menggunakan bahasa Indonesia yang
merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahasa Indonesia
yang dimaksud sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
Serta Lagu Kebangsaan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009,
disebutkan bahwa Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yangselanjutnya
disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 25 UU
No. 24 Tahun 2009, bahwa :
1)Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal
36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan
dinamika peradaban bangsa.
2)Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai
jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku
bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
3)Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan,
komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi
dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, juga ditentukan bahwa
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud
dokumen resmi negara adalah antara lain surat keputusan, surat berharga,
ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian,
putusan pengadilan.
Jadi dokumen negara juga meliputi akta yang dibuat notaris, yaitu akta jual
beli, surat perjanjian dan berbagai akta lainnya. Hal ini juga ditentukan dalam
UUJN bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat dari segi penggunaan kata dan
bahasa hukum dalam sebuah akta juga tidak terlepas dari adanya hubungan antara
bahasa dan hukum. Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti
Harkrisnowo mengemukakan bahwa :
"baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia
dalam masyarakat, yang merupakan pula sebagian dari penjelmaan suatu
kebudayaan pada suatu tempat dan waktu, bahasa dan hukum itu saling
berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan
masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh
bahasa maupun oleh hukum
Hubungan yang erat antara bahasa dan hukum sebagaimana dilukiskan oleh
Alisyahbana di atas, memang sangatlah tidak mungkin untuk diabaikan. Dalam
masyarakat manapun, hukum, sebagai salah satu sarana untuk menciptakan
keteraturan dan ketertiban sosial, dirumuskan utamanya melalui bahasa, walau ada
simbol-simbol lain yang juga cukup penting untuk menetapkan hukum. Hukum
hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan dengan tegas dan
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat
dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang dituju. Apabila
anggota masyarakat tidak memahami makna ketentuan hukum yang dirumuskan,
dapat diduga bahwa akibatnya akan menyebabkan aturan hukum tersebut tidak
dapat berjalan. Dari sisi lain, apabila hukum tidak dirumuskan dengan jelas dan
para pelaksana dan penerapnya di lapangan pun tidak memahaminya, hal ini jelas
akan berdampak pada mutu penegakan hukum tersebut.
Kondisi ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa sehari-hari sering ditemui
adanya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum
maupun masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya
kurang sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata
teori-teori ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya dalam prakteknya
penyusunan atau pembuatan akta notaris tidak terlepas dari adanya berbagai unsur
bahasa hukum yang menjamin keotentikan suatu akta.
Kekurang sempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam poin
keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen hukum
dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum
Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda.
Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum
Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan
langsung pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa
mengindahkan struktur bahasa Indonesia.
Mahadi mengatakan bahwa hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-
konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum
untuk
(a) disampaikan kepada masyarakat
(b) dipahami/disadari maksudnya, dan
(c) dipatuhi.
Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di
dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan.22
Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan
belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit.
Penggunaan bahasa ini, dapat dilihat dari penggunaan bahasa hukum dan
bahasa Indonesia yang keduanya dipakai untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Dalam
praktek juga diketahui bahwa untuk membuat dan menyusun suatu akta
khususnya merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang
dengan anak kalimat sering ditemukan adanya istilah khusus hukum tidak disertai
dengan penjelasan, menggunakan istilah ganda ganda atau samar-samar, istilah
asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kondisi ini menempatkan masyarakat pengguna jasa notaris dalam dunia
tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika
dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga,
putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, bahkan surat perjanjian, akta
notaris, sulit dipahami masyarakat awam. Demikian pula halnya di kalangan
praktisi hukum sendiri juga masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa
hukum dan bahasa Indonesia secara umum. Perbedaan penafsiran ini disebabkan
karena banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa, termasuk dalam hal
ini mengenai penggunaan kata dan bahasa dalam Akta Notaris.
Permasalahan mengenai penggunaan kata dan bahasa ini juga merupakan
pemasalahan yang mendasar khususnya dalam praktek pembuatan sebuah akta
notaris. Demikian pula halnya pada praktek notaris di Kota Banda Aceh yang
menurut data pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Aceh dan
Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kota Banda Aceh diketahui terdapat 23 orang
Notaris yang aktif melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam penyusunan
dan pembuatan akta notaris. Dalam hal ini, notaris dimaksud juga selalu
berhadapan dengan penggunaan kata dan bahasa di dalam akta dan masih
ditemukan adanya penggunaan kata dan bahasa baik bahasa hukum maupun
bahasa Indonesia yang membingungkan masyarakat Hal ini dapat berakibat
masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani
kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dibuat notaris.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah
lebih lanjut tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris beserta akibat
hukumnya. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian
dengan judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA
DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti
dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok
permasalahan tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam
akta notaris pada praktek notaris ?
2. Apakah hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan
bahasa dalam akta notaris ?
3. Bagaimanakah penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan
penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa
dalam suatu akta notaris pada praktek notaris.
2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan
kata dan bahasa dalam akta notaris.
3. Untuk mengetahui penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan
penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.
D. Manfaat Penelitian
Dengan dilaksanakannya kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih
lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya bidang kenotariatan serta
menambah khasanah perpustakaan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi hukum
khususnya notaris sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari
tentang perlindungan hukum terhadap keberlakuan suatu akta sebagai akta notaris
dan juga kepada masyarakat pengguna jasa notaris, agar lebih mengetahui tentang
kedudukan, hak dan kewajibannya dalam suatu akta yang dibuat notaris,
sekaligus pula memberi masukan kepada aparat hukum terkait akan arti
pentingnya penggunaan kata dan bahasa yang benar dalam suatu akta notaris
dikaitkan dengan kekuatan pembuktiannya.

E. Kerangka Teori Dan Konsepsi


1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan
pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh
teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya Menurut Bintoro
Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo teori diartikan sebagai ungkapan
mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu,
sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of thingking) dalam
memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan
meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perdata,
khususnya bidang kenotariatan dan hukum perjanjian atau kontrak yang menjadi
bahan perbandingan, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan
masukan eksternal bagi penelitian ini.
Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.
Snelbecker yang dikutip Lexi J. Moleong mendefenisikan teori sebagai
seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti
aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan
dan menjelaskan fenomena yang diamati.
Dasar teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah meliputi mazhab
sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika, akan
tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis,
sebenarnya akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode
functioneel, mengingat penelitian ini mengutamakan ketentuan yang
mengharuskan adanya penerapan atau penggunaan suatu aturan dalam suatu
perbuatan hukum.
Dalam hal ini harus dibedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari
Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum. Keruwetan yang
selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan
yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang
paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound. Hal tersebut mengilhami lahirnya law as
a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological
yurisprudence dimana hukum menjadi alat perubah masyarakat. Demikian pula
Mochtar Kusumaatmadja yang juga mengatakan teori hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.
Negara hukum juga berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin
keadilan bagi warganya, di mana segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau di atur
oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
warganya.
Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki dan menikmati hak-
haknya dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan jaminan hukum
sebagai hak asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya harus
didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam
konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila
direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi
adanya masyarakat yang teratur.30 Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya.
Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada padanya secara optimal tanpa
adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam masyarakat
Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan
ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum diharapkan agar berfungsi
lebih daripada itu yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Selanjutnya
Sjachran Basah menyatakan fungsi hukum yang diharapkan selain dalam
fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun
untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan
kehidupan bernegara.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka
penggunaan kata dan bahasa dalam akta notarial dapat disesuai dengan hukum
yang berlaku dalam masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan
budaya masyarakat guna mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan dari akta yang dibuat notaris.
Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17,
yaitu dengan didirikannya Oost Indische Compagnie. Pertama sekali Notaris
yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kerchen (dia adalah Sekretaris
College Schepenen). Setelah pengangkatannya jumlah notaris terus bertambah
sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu.
Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan hukum negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan
berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengundang Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam UU
Nomor 30 Tahun 2004 ini merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris yang
merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb
1860: 3) yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
perkembangan masyarakat dan kini telah mengalami perubahan dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 2 tahun 2014.
Dengan demikian pada mulanya ketentuan tentang notaris didasarkan pada
ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie, Stb 1860: 3). Penerapan ketentuan tentang Notaris ini tergantung pada
sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara
tradisional terdapat dua kelompok tradisi hukum Anglo Saxon dan Eropa
Kontinental. Perbedaan keduanya terletak pada peraturan perundang-undangan
dan yurisprudensi.
Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi kontinental biasanya
menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai akar utama sistem
hukumnya. Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi
Anglo Saxon menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem
hukumnya.
Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas
konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan Hukum
yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda.
Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai
diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai
Notaris Reglement (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan
sebagai fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Kemudian
Staatblaad Nomor 3 Tahun 1860 ini dicabut dengan dikeluarkannya Undang-
undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6
Oktober Tahun 2004 Jo. Undang-undang No 2 Tahun 2014.
Dalam diktum penjelasan UUJN dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan
bahwa negara RI adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan. Kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat
bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek
hukum dalam masyarakat. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Pengertian ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang No. 30 Tahun 2004, pengertian notaris adalah : Pejabat Umum yang
membuat Akta Otentik, mengenai semua perbuatan perjanjian, ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan dan dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal
akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta sepanjang
mengenai akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan bahwa berdasarkan pengertian Notaris \
yang termuat dalam ketentuan Pasal 1 Jo Pasal 15 Undang-undang Nomor Tahun
2004 dapat ditarik 13 unsur penting, yaitu : (1) Pejabat Umum (2) Membuat Akta
Otentik (3) Mengenai perbuatan (4) Mengenai perjanjian (5) Mengenai
ketetapan (6) Diharuskan oleh peraturan perundang-undangan (7) Dikehendaki
oleh yang berkepentingan (8) Dinyatakan dalam akta otentik (9) Menjamin
kepastian tanggal akta (10) Menyimpan akta (11) Memberikan grose, salinan dan
kutipan akta (12) Sepanjang tidak ditugaskan pada orang lain/pejabat lain (13)
Sepanjang ditugaskan pada orang lain.
Dari definisi yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas
bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik. Adapun yang dimaksud
dengan akta otentik adalah Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata).
Berdasarkan pengertian di atas, notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang
oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik, namun
dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri. Untuk
menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni : a. Warga Negara
Indonesia b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. Berumur paling sedikit
27 tahun d. Sehat jasmani dan rohani e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang
strata dua kenotariatan f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja
sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor
Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah
lulus strata dua kenotariatan dan g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri,
pejabat negara, Advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh
undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Bentuk atau
corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu:
1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah
didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran
isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan
eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat
seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara wettlelijke dan niet
wettelijkewerkzaamheden yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan
undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat
2. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur
tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai
akibatakibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula
kekuatan eksekutorialnya.
Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia merupakan
Notaris fungsional atau Notaris professional adalah :
a. Bahwa akta yang dibuat di hadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai
kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta
Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang
berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak yang berkeberatan,
berkewajiban untuk membuktikannya.
b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasnya dari Negara dalam bentuk
delegasi dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di
Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena
menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada mereka yang
diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara. c.
Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris
(Reglement op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli
disebutkan bahwa ambt adalah jabatan.
Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan
sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional
dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang
Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat.
Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang
notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :
1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama
ketentuanketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa
ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.
2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa
mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh
organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi
pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur
dalam peraturan perundangan.
3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan
senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
organisasi profesinya
4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya.
Dengan demikian, Notaris sebagai salah satu element manusia harus
memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan
menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani
kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan
ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang
baik oleh notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 1
butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris
Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk
selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh
Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan keputusan Kongres
Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta
wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris
Pengganti Khusus. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa secara empiris peran
notaris di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan
dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang
membuat kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang
barang, jasa terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris
sangat diperlukan dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian.
Dalam membuat suatu kontrak agar dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti
yang kuat atau sering disebut akta otentik, para pihak dapat menggunakan jasa
notaris. Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang
berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti. Ditinjau dari cara
pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni Akta Otentik dan Akta
dibawah Tangan.:
1. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan
dibuat oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut
atau berdasarkan pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa
yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan
2. Akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik
Hal ini sebagai diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata bahwa Akta otentik
adalah suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya". Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2
(dua) jenis akta otentik, yaitu :
1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris Akta jenis ini biasanya
diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta
berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat
pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi
perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan,
akte berita acara penarikan undian. Akta ini merupakan keterangan atau
kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang
disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris akta ini
dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris
yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada
penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan.
Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian
pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.
Dengan demikian, undang-undang dengan menyatakan bahwa suatu akta
adalah otentik jika :
1. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang.
2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.
3. Dibuat dalam wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta itu.
Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat
yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus
pula ditentukan oleh peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-
undang.

3. Konsepsi
Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan
bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan
penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional.
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain
itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi
atau definisi operasional sebagai berikut :
1. Analisis yuridis adalah analisis yang dilakukan dan yang mengacu kepada
norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagai pijakan normatif.
2. Penggunaan kata dan bahasa adalah pemakaian kata-kata dan bahasa yang
menjelaskan tentang suatu perbuatan hukum di dalam suatu akta oleh
pejabat yang berwenang dalam hal ini notaris.
3. Bahasa hukum adalah kata-kata dan bahasa yang digunakan dalam bidang
hukum termasuk dalam hal ini bahasa yang digunakan dalam ketentuan
perundang-undangan.
4. Bahasa dalam Akta Notaris adalah penggunaan kata dan bahasa untuk
mendeskripsikan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta, baik
dari bahasa hukum dalam ketentuan perundang-undangan maupun bahasa
sehari-hari menurut kaidah bahasa Indonesia.
5. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Akta notaris adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam
hal ini notaris dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti otentik dan
memenuhi semua persyaratan dalam pembuatan akta.
7. Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya
8. Pejabat Umum adalah Organ Negara yang diperlengkapi dengan kekuasaan
umum (met openbaar gezag bekleed), berwenang menjalankan sebagian dari
kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam
bidang Hukum Perdata.
F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian


Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan
penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus
menganalisis tentang ketentuan mengenai akta notaris sebagai akta otentik
dilihat dari hukum positif secara umum dan unsur-unsur keperdataan serta akibat
hukum yang timbul apabila akta notaris tidak memenuhi ketentuan penggunaan
kata dan bahasa secara tepat.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu
kepada norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai pijakan normatif. Namun dalam penelitian ini juga didukung oleh
pendekatan yuridis empiris, dengan meneliti masalah penggunaan bahasa dalam
akta notaris dilihat dari aspek kenyataan di masyarakat. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui efektif tidaknya berlaku suatu aturan mengenai penggunaan bahasa
dalam akta yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan
pemikiran masyarakat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.
Selain itu, guna melengkapi metode penelitian normatif dalam penelitian ini
juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna menjamin akurasi
terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara dengan
informan sebagai narasumber.

3. Sumber data
Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;
1) Norma atau kaidah dasar yaitu Pancasila
2) Peraturan dasar Undang-undang Dasar
3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang kenotariatan
dalam hal ini (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (2) Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, (LN 2004, No. 117, TLN 4432) dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009, No. 109, TLN 5053)
4) Akta notaris atau akta yang dibuat oleh notaris.
b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,
artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan
dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum serta bahan-bahan primer,
sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum yang dapat
dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian
ini.
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data
yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perjanjian dan klausula baku dalam perjanjian. Dokumen ini merupakan sumber
informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari
ketentuan norma dan perundang-undangan maupun kontrak atau perjanjian yang
dibuat para pihak.
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide),
Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun
wawancara bebas dan mendalam (depth interview).
5. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu diadakan
pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer,
sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan
data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang
selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan
untuk memperoleh jawaban yang baik pula. Analisis data dilakukan dengan
pendekatan kualitatif. Artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan
sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat
yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang mendasari
pentingnya diadakan penelitian, identifikasi, pembatasan dan perumusan Masalah
Penelitian, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian yang diharapkan,
dan Hipotesis yang diajukan serta Sistematika Penulisan.

BAB II/TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN


Bab ini berisi Tinjauan teori yang mendiskripsikan pengertian, jenis-jenis
dan prinsip dasar, Media Komunikasi dan Saluran Komunkasi, Hubungan
Masyarakat dan teori Profesionalisme.

BAB III/METODE PENELITIAN


Bab ini berisi uraian tentang Disain Penelitian, Operasional Variabel dan
Pengukuran, Populasi dan Sampel Penelitian, Teknik Pengumpulan Data dan
Teknik Analisis Data yang digunakan, Rancangan Uji Hipotesis serta Jadual
Penelitian.

BAB IV/HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dalam bab ini diuraikan tentang Hasil Penelitian yang meliputi deskripsi
Penerbitan Bulletin Bandara, Karakteristik Responden yang menjadi sampel
penelitian, Distribusi Data, Pengujjian Persyaratan Analisis yang tediri atas
Pengujian Validitas dan Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian, Pengukuran
Koefisien Korelasi, Pengukuran Koefisien Determinasi dan Pengukuran Koefisien
Regresi serta Pengujian Hipotesis; dan Pembahasan Hasil Penelitian yang
dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif.

BAB V/KESIMPULAN DAN SARAN


Berisi uraian tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu
disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983.


Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. Bahasa Indonesia Hukum.
Pustaka, Bandung, 1999.
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta,
1983.
Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M.
Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996.
Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.
Binacipta. Jakarta 1979.
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu
Penjelasan), , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986.
Sudjiman, Panuti. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang
Belum Tergarap. Lembaga Penelitian Atma Jaya. Jakarta.
1999.
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.

Anda mungkin juga menyukai