Anda di halaman 1dari 14

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Oleh: Haryadi, S.H., M.H.


Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi

ABSTRAK
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran yang berkaitan dengan aspek hukum yang
selalu aktual dibicarakan dari waktu kewaktu. Pada hal sesungguhnya masalah ini dalam
dunia kedokteran bisa disebut sebagai masalah klasik, yaitu abortus provokatus dan
euthanasia. Kedua masalah ini sudah diingatkan oleh Hippokrates dalam sumpahnya.
Namun masalah ini tetap saja tidak dapat di atasi atau diselesaikan dengan baik. Di satu
pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada suatu kasus tertentu memang
diperlukan, dan di lain pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia tidak dapat
diterima, bertentangan dengan norma hukum, moral dan norma agama. Membicarakan
mengenai euthanasia (eu = baik, thanatos = mati, mayat), sebenarnya tidak lepas dari apa
yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri
pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah
selalu menarik untuk dibicarakan. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang
Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Jaringan
Tubuh Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena
teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti
bisa dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk
berkembang kempis kembali. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990
mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak
berfungsi lagi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengisyaratkan dan
mengingatkan kalangan medis bahwa Euthanasia merupakan perbuatan melanggar hukum
dan dapat diancam dengan pidana. Di Indonesia Sejak diberlakukannya Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) sampai sekarang, belum pernah ada kasus yang ditangani
oleh pengadilan , yang berhubungan dengan euthanasia, seperti apa yang diatur dalam
Pasal 344 KUHP. Bila kita kaji lebih dalam, Pasal 344 KUHP mengundang berbagai
pertanyaan, apakah memang benar-benar bahwa euthanasia ini tidak pernah terjadi di
Indonesia, ataukah memang perumusan Pasal 344 KUHP sendiri yang tidak
memungkinkan untuk mengadakan penuntutan di muka Pengadilan. Dalam Perspektif
hukum pidana Pasal 344 KUHP perlu ditinjau kembali atau dikaji ulang.
Kata Kunci: Euthanasia, hukum pidana.
I. PENDAHULUAN
Dunia kedokteran yang dahulu seakan-akan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya

kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum,

menjadikan dunia pengobatan bukan saja menimbulkan hubungan keperdataan, bahkan


sering berkembang yang akhirnya menjadi persoalan hukum pidana. Ada dua masalah
dalam bidang kedokteran yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual
dibicarakan dari waktu kewaktu. Pada hal sesungguhnya masalah ini dalam dunia

kedokteran bisa disebut sebagai masalah klasik, yaitu abortus provokatus dan euthanasia.
Kedua masalah ini sudah diiingatkan oleh Hippokrates dalam sumpahnya ( M.Yusup &
Amri Amir, 1999 : 104). Namun masalah ini tetap saja tidak dapat di atasi atau diselesaikan

dengan baik. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada suatu kasus
tertentu memang diperlukan, dan di lain pihak tindakan abortus provokatus dan
euthanasia tidak dapat diterima, bertentangan dengan norma hukum, moral dan norma
agama.
Euthansia berasal dari kata Yunani Euthanatos, mati dengan baik tanpa
penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum
kedokteran mendefenisikan Euthansia
Euthanasia Study

sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh

Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan

Euthansia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri
((M.Yusup & Amri Amir, 1999 : 105).
Menurut

Kartono Muhammad

Euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5

kelompok yaitu:
1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan
pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun
tidak langsung yang mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa
permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey
killing.
4. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas
keputusan pemerintah.(Kartono Muhammad, 1992 : 19).
Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos = mati, mayat), sebenarnya tidak
lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of
determination) pada diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi
manusia dan karena itulah selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara
berpikir masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak
tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya
dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan

berarti atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan


perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak pernah diikuti oleh perkembangan
dalam bidang hukum dan etika.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep Tentang
kematian (M.Yusup & Amri Amir, 1999 : 105). Usaha manusia untuk memperpanjang
kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek
kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan
dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Menyinggung masalah kematian, bila dilihat dari aspek cara terjadinya, dunia
ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu: Orthothanasia,
yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah, Dysthanasia, yaitu suatu
kematian yang terjadi secara tidak wajar dan Euthanasia, yaitu suatu kematian yang
terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter (Djoko Prakoso dan
Djaman Andhi Nirwanto, 1984 : 8).
Jenis kematian yang ketiga ini yaitu euthanasia, mulai menarik perhatian dan
mendapat sorotan dunia, lebih-lebih setelah dilangsungkannya Konperensi Hukum SeDunia, yang diselenggarakan oleh World Peace Through Law Center di Manila
(Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977. Dalam Konperensi Hukum Se-Dunia
tersebut, telah diadakan Sidang Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai "hak
manusia untuk mati" atau the right to die. Yang beperan dalam sidang tersebut adalah
tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari berbagai negara di dunia, sehingga
mendapatkan perhatian yang sangat besar. Namun dalam hal ini hak untuk mati tetap
tidak diakui.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan
Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Jaringan Tubuh Manusia,
menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Konsep mati
yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena teknologi
kedokteran telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti bisa dapat
dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang
kempis kembali.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan
bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi. Konsep ini
dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia. Kreteria yang dianut oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah

terletak pusat penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati
maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang .
Timbulnya permasalahan hak untuk mati ini disebabkan penderitaan pasien
yang tetap berkelanjutan, walau sekalipun di temukannya teknologi canggih, namun
penderitaan tidak dapat dihilangkan sama sekali. Penderitaan yang berkelanjutan ini
menyebabkan pasien atau keluarga pasien kadang-kadang tidak mampu untuk
menanggungnya baik moril maupun materil. Oleh karena itu, mungkin pasien ataupun
keluarganya menginginkan agar hidupnya diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks
penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pengakhiran hidup pasien dapat dilakukan
dengan mencabut segala alat pembantu yang telah dipasang oleh dokter yang
merawatnya.
Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan eutanasia pada tahun
2001, diikuti Belgia setahun kemudian. Proses permohonan eutanasia pun sangat
panjang. Pemohon harus mendapatkan konseling dengan psikolog dalam periode
tertentu. Pasien diberikan cukup waktu untuk berpikir dalam waiting periode. Setelah
itu pemohon harus mendapatkan sertifikat dari setidaknya dua orang dokter yang
menyatakan bahwa kondisi pasien sudah tidak bisa tertolong. Setelah proses itu
dilewati baru diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.
Di Swiss, eutanasia masih dipandang ilegal, walaupun di negara itu terdapat
tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut. Organisasi-organisasi tersebut
menyediakan konseling dan obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.
Pemerintah Swiss sendiri melarang penggunaan eutanasia dengan suntikan. Setiap kali
ada permohonan harus diinformasikan ke polisi(Sinarharapan, 14 Desember 2005).
Di Asia, hanya Jepang yang pernah melegalkan voluntary euthanasia yang
disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962.
Walaupun begitu, karena faktor budaya yang kuat kejadian euthanasia tidak pernah
terjadi lagi. Pada tahun 1994, di Oregon, Amerika Serikat dikeluarkan Death With
Dignity Law. Sejak itu sudah ada 100 orang yang berada dalam tahap lanjut
mendapatkan assisted suicide. Eutanasia di Amerika tetap ilegal dan terus
diperdebatkan.
Suatu hal yang menarik di penghujung tahun 2004, di mana suami Ny. Agian
mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk
mengakhiri penderitaan isterinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan.
Kasus yang sama muncul lagi terhadap Ny.Siti. Apakah ini pertanda euthanasia mulai

digemari sebagai salah satu cara mengakhiri penderitaan orang yang disayangi.
(Sinarharapan , 06 Nopember 2004).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) mengisyaratkan dan

mengingatkan kalangan medis bahwa Euthanasia merupakan perbuatan melanggar


hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal ini dapat di lihat dalam Pasal 344 pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu: Barangsiapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selamanya dua belas tahun.
Pembaharuan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang
dilakukan secara terarah dan terpadu meliputi bidang- bidang hukum tertentu, termasuk
didalamnya hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus
rneliputi hukum pidana material, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan
pidana. Ada tiga pokok permasalahan dalam hukum pidana yaitu tentang perbuatan
yang terlarang, orang yang melakukan, perbuatan yang dilarang, dan pidana. Untuk
menelaah masalah eutanasia dalam kaitannya dengan hukum pidana, haruslah mengacu
pada tiga pokok permasalahan tersebut di atas.
Tiga pokok permasalahan dalam hukum pidana dapat kita 1ihat dalam Pasal
334 KUHP ini, yaitu tentang perbuatan yang dilarang (Menghilangkan nyawa orang
lain) orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (barang siapa, berarti bisa Juga
dokter), serta pidana ( pidana penjara paling lama dua belas tahun). Meskipun pasal ini
telah memenuhi tiga pokok permasalahan tersebut diatas, namun dalam kenyataannya
di Indonesia sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak
pidana. Sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif.
Sedangkan kasus euthanasia sejauh ini belum pernah ada yang sampai ditangani
pengadilan.

II. PEMBAHASAN
Suatu kajian yang dilakukan oleh Lori A. Roscoe dan kawan-kawan (New
England Journal of Medicine edisi Desember 2000), ternyata bahwa dr. Jack
Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death" itu menolong pasien yang masih diragukan
statusnya, sehingga menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar
menolong pasien atau malahan membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya

dibantu oleh dr. Kevorkian antara 1990-1998, hanya 25% yang didiagnosis sebagai
terminally-ill berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak 72% dari pasien itu diduga kuat
semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan keinginannya untuk
mati. Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang "dibantu" oleh dr.
Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang bertentangan dengan data
epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum
wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki.
(Chrisdiono M.Achadiat, Euthanasia\top-1 euthanasia.htm, 25 Maret 2007).
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh "Doctor Death" itu sekarang
menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran, pantaskah dokter
menentukan status dan kemudian langsung menolong pasien yang berkeinginan mati
tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang menentukan/memutuskan
bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminally-ill dan untuk itu layak ditolong
dengan euthanasia.
Dalam dunia medis yang serba canggih, ternyata masih memerlukan tuntutan
etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya dengan
penerapan hak asasi manusia (HAM) di lapangan kedokteran. Sejauh mana hak-hak
yang dimiliki oleh pasien (dan juga dokter) dalam kaitan dengan euthanasia, agaknya
sudah perlu dipikirkan sejak sekarang. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para
dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan
sebagai euthanasia itu, dan disitulah tuntunan serta rambu-rambu etika, moral, dan
hukum sangat dibutuhkan. Bukan saatnya lagi kita masih mengatakan belum waktunya
untuk merumuskan rambu-rambu tadi, karena di era moderen seperti sekarang ini para
dokter akan lebih sering berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia.
Ada suatu kontradiktif, manakala kita menilik kembali human right dimana
salah satunya adalah hak untuk hidup, ternyata ada juga realita yang menuntut adanya
hak untuk mati dengan cara mengajukan tuntutan euthanasia. Fenomena tuntutan
euthanasia telah menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya di kalangan masyarakat
Indonesia juga di kalangan masyarakat internasional. Perdebatan mengenai boleh
tidaknya euthanasia yang dulunya hanya menjadi konsumsi khusus kalangan
kedokteran ini, ternyata juga bersinggungan dengan pranata sosial diantaranya hukum
dan agama serta norma-norma yang menjadi pedoman masyarakat.
Berdasarkan literatur di dalam ajaran islam, Islam tidak membenarkan
dilakukan tindakan euthanasia aktif. Sedangkan pada euthanasia pasif dengan

menghentikan perobatan melalui pencabutan alat-alat bantu,

hukumnya boleh dan

tidak haram (Sidiq al.Jawi, Republika Online, Jumat, 26 Nopember 2004). Para ulama
membagi euthanasia ke dalam dua kategori, yaitu euthanasia aktif dan pasif. Mungkin
di sini pendefinisiannya agak berbeda dengan yang diterapkan pada bidang kedokteran.
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter untuk mempercepat kematian pasien misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan ke dalam tubuh pasien. Sementara euthanasia
pasif, adalah tindakan dokter untuk menghentikan pengobatan pasien. Euthanasia aktif
secara jelas diharamkan dalam Islam. Tindakan dokter mempercepat kematian pasien
termasuk kategori pembunuhan secara sengaja yang merupakan tindak pidana.
Walaupun niatnya baik untuk meringankan penderitaan pasien namun hukumnya tetap
haram, tak peduli ada permintaan sendiri dari pasien atau keluarganya.
Secara teoritis ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu,
pertama

adalah

perumusan

perbuatan

yang dapat dipidana

atau perbuatan

yang dikriminalisasikan,`yang kedua adalah pertanggung Jawaban pidana dan yang


terakhir adalah sanksi, baik yang berupa pidana (straf) maupun yang berupa tindakan
(maatregel). Tiga permasalahan ini jika dikaitkan dengan Pasal 344 KUHP , yaitu
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, merupakan perumusan perbuatan yang dapat dipidana,
kemudian barang siapa yang berarti orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
serta harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, dan yang terakhir adalah
sanksi berupa pidana penjara paling lama dua belas tahun. Secara normatif pasal ini
dapat diterapkan untuk menjaring perbuatan yang berhubungan dengan euthanasia.
Menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie ( WVS.Staatsblad 1915 : 732). Setelah Indonesia
merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik
Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie disebut
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau
Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh
Presiden.
Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana

untuk seluruh

Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah

pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II di mana untuk
daerah-daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie
( WVS. Staatsblad 1915 : 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang
berlaku di Indonesia dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958 dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958.
Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya
berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian berlakulah hukum pidana materiil
yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada
tanggal 8 Maret 1942 yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, yang
untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di Indonesia Sejak diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) sampai sekarang, belum pernah ada kasus yang ditangani oleh pengadilan ,
yang berhubungan dengan euthanasia, seperti apa yang diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Bila kita kaji lebih dalam, Pasal 344 KUHP mengundang berbagai pertanyaan, apakah
memang benar-benar bahwa euthanasia ini tidak pernah terjadi di Indonesia, ataukah
memang perumusan Pasal 344 KUHP sendiri yang tidak memungkinkan untuk
mengadakan penuntutan di muka Pengadilan.
Menurur Ahmad Ube ada beberapa faktor yang menyebabkan susahnya
penanganan euthanasia dengan hukum pidana (Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidanaa) , faktor itu meliputi: Faktor yang berada di luar hukum pidana dan
faktor yang terdapat dalam hukum pidana(Ahmad Ube, 2000: 58). Selanjutnya akan
dijelaskan di bawah ini faktor-faktor yang dimaksud:
1. faktor yang berada diluar hukum pidana.:
a.

Di dalam perbuatan euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dan


korban (misalnya dokter dengan keluarganya), sehingga perbuatan tersebut
tidak pernah dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk di proses sebagai
kasus pidana.

b. Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah terjadi
kematian yang disebut sebagai euthanasia, dengan perkataan lain masyarakat
kita masih awam terhadap hukum, apalagi menyangkut masalah euthanasia
yang jarang terjadi.

c. Alat-alat kedokteran di rumah sakit rumah sakit di Indonesia belum semoderen


negara-negara maju, seperti adanya respirator, hertlung-machines, organ
transplants dan sebagainya yang dapat mencegah kematian seseorang secara
teknis, untuk beberapa hari, minggu atau beberapa bulan.
d. Kebanyakan keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia berada di bawah
standar kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
maupun pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa pengaruh
pula terhadap perbuatan euthanasia, terutama euthanasia pasif.
2. Faktor yang terdapat dalam hukum pidana
a. Rumusan (formula) pasal terlalu universal, sehingga sulit untuk menentukan
perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif, dan mana yang termasuk
euthanasia pasif. Kemudian tidak dapat diketahui mana euthanasia yang
dilakukan orang pada umumnya/ dan mana euthanasia yang dilakukan dokter
pada khususnya. Hal ini penting karena masalah euthanasia tidak sesederhana
seperti rumusan Pasal 344 KUHP.
b. Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat "atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati" yang merupakan unsur
yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang yang melakukannva
dapat dipidana berdasarkan pasal ini atau tidak, apabila tidak dipenuhi akan
merupakan pembunuhan yang dapat dikenakan Pasal 330, 340 KUHP.
Di dalam teori hukum, hal berlakunya hukum sebagai kaedah dapat dibedakan
antara lain: keberlakuan secara yuridis, keberlakuan secara sosiologis, dan keberlakuan
secara filosofis. Keberlakuan secara yuridis diartikan kaedah hukum itu didasarkan
pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya atau dibuat menurut cara yang telah
ditetapkan. Keberlakuan secara sosiologis diartikan apabila kaedah hukum tersebut
diterima atau tidak diterima oleh masyarakat ( diakui oleh masyarakat). Sedangkan
berlakunya kaedah hukum secara filosofis artinya sesuai dengan cita hukum sebagai
nilai positif yang tertinggi(Soerjono Soekanto, 1991 : 57 )
Bila ditelaah secara mendalam, maka agar supaya hukum itu berfungsi maka
suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas. Bila hukum hanya
berlaku secara yuridis maka kemungkinan besar kaedah hukum tersebut merupakan
kaedah mati, kalau hanya berlaku secara sosiologis maka kaedah tersebut menjadi
kaedah pemaksa, dan apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan hukum
tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan.

Bertitik tolak dari hal di atas, bagaimana membuat suatu kaedah hukum agar
keberlakuan kaedah tersebut berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis tidaklah
mudah. Namun dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Van Apeldoorn yaitu, Agar
peraturan-peraturan

memenuhi

kebutuhan-kebutuhan

masyarakat,

ia

harus

memperhatikan segala faktor yang merupakan dasar hubungan masyarakat , sebagai


kepentingan-kepentingan ekonomi dan pandangan-pandangan agama, susila, politik
dan sosial yang hidup dalam masyarakat(Van Apeldoorn, 1982 : 390)
Berkaitan dengan euthanasia (Pasal 344 KUHPidana) kedepan, dalam rangka
pembaharuan hukum pidana, ada 3 (tiga) hal yang harus dicermati, yaitu apakah pasal
344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetap dipertahankan,

Pasal 344 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dihapuskan, atau Pasal 344 Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana di revisi. Jika tetap dipertahankan berarti perbuatan euthanasia tidak
diperbolehkan. Jika Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dihapuskan
berarti perbuatan euthanasia diperbolehkan. Jika Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana direvisi, maka kemungkinan euthanasia dilarang dan kemungkinan
diperbolehkan dengan beberapa persyaratan tertentu.
Selanjutnya 3 (tiga) hal di atas yang menyangkut dengan Pasal 344 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana , yaitu dipertahankan, dicabut/dihapus, dan direvisinya
Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, erat kaitannya dengan masalah
kriminalisasi dan dekriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan
dalam menentukan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana)
menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Dekriminalisasi
merupakan suatu proses di mana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu
perbuatan (Abdul Wahid, 2005 : 5)
Menurut Tb. Rony R. Nitibaskara yang dikutip oleh A.Wahid, suatu perbuatan
dijadikan perbuatan pidana (kriminalisasi) haruslah mempunyai alasan-alasan;
pertama, perbuatan itu merugikan masyarakat. Kedua, sudah berulang-ulang dilakukan.
Ketiga, ada reaksi sosial atas perbuatan itu. Keempat, ada unsur bukti. Selain itu perlu
diperhatikan juga kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini apakah kriminalisasi sesuai
dengan kebutuhan hukum masyarakat atau tidak. Sebab bila tidak demikian halnya,
maka akan terjadi apa yang dinamakan over criminalization (kelebihan perbuatan yang
dijadikan tindaki pidana). Pada gilirannya hal ini akan menimbulkan inflasi pidana,
sehingga penghargaan terhadap hukum pidana tidak pada semestinya lagi (Abdul
Wahid, 2005 : 56)

Dalam konteks ini maka layaknya diajukan pendapat Mardjono Reksodipuro


yang dikutip oleh A. Wahid sehubungan dengan kriminalisasi dan dekriminalisasi
harus berpedoman pada :
1. Masuk akalnya kerugian yang digambarkan.
2.

Adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan


tanggungjawab individu.

3. Apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain asas
subsidiaritas).
4. Ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan (asas
proporsionalitas).
5. Apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga kepentingan hukum yang
akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan, sendi
utama hukum pidana.
6. Kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif serta dampaknya pada
prevensi umum(Abdul Wahid, 2005 : 57)
Bila kita kaji tentang pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kedepan maka
tentu harus dilihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional.
Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang baru

untuk

menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial


Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka
pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu
agar dapat mendukung pembangunan nasional diberbagai bidang, sesuai dengan
tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana nasional

yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal

yang

mengandung makna dekolonisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam


bentuk rekodifikasi,

dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga

mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik
nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi demokratisasi hukum
pidana yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak
Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian
(haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali
sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil.

Misi ketiga adalah

misi

konsolidasi hukum pidana karena

sejak

kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat


baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pelbagai
kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas Hukum Pidana
yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu
penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan atas dasar misi
keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum
yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum
pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh
bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
Pelbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap
memandang perlu penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi
yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam
Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Harus diakui bahwa di Era Kemerdekaan telah banyak dilakukan usaha untuk
menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial

dengan

kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan perkembangan


kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini di
samping pelbagai perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958,

Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana telah beberapa kali mengalami pembaharuan dan/atau perubahan .


Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang Hukum Pidana Tahun 2005,

masalah euthanasia diatur dalam Pasal 574 dan 575 antara lain:
Pasal 574 : Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas
permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut

tidak sadar,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun.
Pasal 575 : Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pas
Pal 574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun.

Menurut penjelasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pengaturan


Pasal 574 di atas ditujukan untuk menjerat perbuatan euthanasia aktif. Sedangkan
bentuk euthanasia pasif tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun
dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti. Bila
hal ini kita hubungkan dengan pengertian euthanasia, yaitu: mati dengan baik tanpa
penderitaan, maka Pasal 574 RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atas juga
tidak dapat menjaring perbuatan euthanasia. Hal ini disebabkan masalah euthanasia
adalah menyangkut masalah kematian.
Menurut hemat penulis prospek pengaturan euthansia masa datang pasal 344
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus direvisi. Pengrevisian pasal tersebut
dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalamnya,
tetapi dengan beberapa pengecualian. Pengecualian yang dimaksud haruslah dengan
beberapa persyaratan yang ketat yang harus dipenuhi. Persyaratan itu meliputi:
1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut
ukuran medis. yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya,
2. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi.
3. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative slate
4. Harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga.
5.

Mendapat persetujuan dari pengadilan.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan, euthansia adalah dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Maka dengan demikan
euthanasia erat sekali kaitannya dengan norma-norma social lainnya, yaitu norma
agama, hak asasi manusia, dan etika kedokteran. Dari aspek norma hukum terutama
hukum pidana,

pengaturan euthanasia

berhubungan

erat dengan kepentingan

perseorangan menyangkut perlindungan terhadap nyawa seseorang.


Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), Buku
II dan buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bertujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap tindakan pidana. Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai
landasan hukum terhadap perbuatan euthanasia adalah Pasal 344 KUHP, Bab XIX
tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, yang mengatur sebagai berikut: Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan atas
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk


memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Sebagai bagian dari
kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis
oleh sebagian negara-negara maju, seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai
dengan syarat-syarat tertentu. Di Indonesia Sejak diberlakukannya Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) sampai sekarang, belum pernah ada kasus yang
ditangani oleh pengadilan , yang berhubungan dengan euthanasia, seperti apa yang
diatur dalam Pasal 344 KUHP.

Bila kita kaji lebih dalam, Pasal 344 KUHP

mengundang berbagai pertanyaan, apakah memang benar-benar bahwa euthanasia ini


tidak pernah terjadi di Indonesia, ataukah memang perumusan Pasal 344 KUHP sendiri
yang tidak memungkinkan untuk mengadakan penuntutan di muka Pengadilan.
Berkaitan dengan euthanasia (Pasal 344 KUHPidana) kedepan, dalam rangka
pembaharuan hukum pidana, Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus
ditinjau kembali yang disesuaikan dengan perkembangan tekhnologi kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Abddul Wahid. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Refika Aditama, Bandung,
Ahmad Ubbe. 2000. Laporan Akhir Tim Pengkajian Masalah Hukum Pelaksanaan
Euthanasia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan
Perundang-Undangan RI. Jakarta.
Kartono Muhammad.1992. Tekhnologi Kedokteran Dan Tantangannya Terhadap Biotika.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
M.Yusup & Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Edisi 3). Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Van Apeldoorn. 1982. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai