2.1 Notaris
Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya
menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan
bahwa nama ”notaries” itu berasal dari perkataan ”nota literaria”, berarti tanda
(letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Pada abad kelima
dan ke-enam sebutan itu (notarius) diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi
dari raja atau kaisar serta pegawai-pegawai dari istana yang melaksanakan
yang menjalankan tugasnya hanya untuk pemerintah dan tidak melayani publik
atau umum. Terkait dengan tugas untuk melayani publik dinamakan tubelliones
yang fungsinya agak mirip dengan Notaris pada saat ini. Hanya saja tidak
dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
50
R. Soegondo Notodisoerjo, 2003, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 13.
42
43
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.51 Herlien
Budiono menambahkan dengan berdasarkan pada nilai moral dan nilai etika
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Notaris sebagai jabatan merupakan suatu
51
Habib Adjie I, op.cit, hal.13.
52
Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course
Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal.3.
53
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.31.
44
bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk
Menurut Kohar, “yang diharuskan oleh peraturan umum itu ialah antara
lain hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, demikian juga perjanjian kawin
Notaris. Sesudah Notaris membuat akta, selesai, dan itulah merupakan bukti
menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah
masyarakat”.57
untuk mentaati aturan hukum yang ada dalam pembuatan aktanya yang nantinya
akta tersebut berlaku sebagai akta otentik dan merupakan suatu alat bukti yang
54
Habib Adjie I, op.cit, hal.32-34.
55
C. S. T. Kansil dan Christine S.T, 2009, Pokok-Pokok Etika Jabatan Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 5.
56
A. Kohar, 2004, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat A.
Kohar II), hal.203.
57
H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah
Agung RI, Jakarta, hal.484.
45
membuatnya.
pejabat umum yang diberikan sebagian kewenangan oleh negara dan setiap
dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi
publik dan negara, khususnya di bidang hukum perdata.58 Hal ini dapat dilihat
pada pengertian Notaris yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Notaris adalah pejabat
terdapat pada Pasal 1 UUJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek. Menurut kamus
hukum, salah satu arti dari ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian
yang diserahkan tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
58
Yudha Pandu, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris dan
PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hal.2.
46
masyarakat dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Istilah atau kata
pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan59, dengan kata lain “pejabat
adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat
untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh.61
Notaris bukan bagi mereka yang menjalankan profesi Notaris, tetapi organisasi
bagi mereka yang menjalankan jabatan Notaris. Notaris sebagai suatu jabatan
dengan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik yang diminta oleh para
merupakan pejabat umum yang diangkat oleh menteri. Notaris sebagai pejabat
umum mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta yang otentik yang
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada yang sesuai dengan keinginan
59
Badudu dan Zain, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal.543.
60
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal.28.
61
Habib Adjie I, op.cit, hal.15-16.
47
dan kehendak para penghadap yang datang kepada Notaris agara keinginan serta
bawah ini:
1. Tugas Notaris
jasa bagi masyarakat yang berniat untuk membuat alat pembuktian yang bersifat
otentik. Dalam merumuskan suatu akta otentik, seorang Notaris harus mampu
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa
“notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang
yang ada dan/atau terjadi diantara mereka, dalam membuat alat bukti tertulis yang
masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa seorang Notaris harus
62
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.46
63
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.46
48
2. Kewenangan Notaris
kewenangan notarus membuat akta otentik saja, tidak memberikan uraian yang
tersebut di atas, kewenangan Notaris tidak hanya membuat akta otentik saja, tapi
Notaris juga berwenang melegalisasi dan membukukan dari akta di bawah tangan
berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan akta risalah
lelang. Selanjutnya Notaris juga memiliki kewenangan lain yang diatur dengan
undang-undang.
atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan”.64 Notaris juga memberikan nasehat
bersangkutan. Menurut Setiawan, ”Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum
ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang
secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan
tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa”.
Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah
satu pihak. la tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan.65 Untuk ini
64
G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal.29.
65
R. Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu
kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), Balai Pustaka, Jakarta, hal. 2.
50
diajukan oleh pihak penggugat telah sempurna, artinya tidak perlu lagi
mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus
Selain itu Notaris juga diberikan kewenangan lain yang diatur dalam
membuat Akta Pendirian Perseroan Terbatas (diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
Jaminan Fidusia (diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun
(diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
sebagai pejabat umum yang mempunyai kewengan untuk itu adalah norma umum,
yang tentunya dapat disimpangi jika kemudian diketemukan norma khusus yang
mengatur lain atau sebaliknya sesuai dengan asas lex specialist derogat legi
umum.
66
Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa
dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, hal.21.
51
memiliki peraturan yang harus dipatuhi yang tidak hanya bertujuan untuk
melindungi otentisitas akta yang dibuatnya tetapi juga untuk menjaga kehormatan
kedudukan Notaris sebagai profesi yang mulia. Peraturan tersebut antara lain
merangkum tentang kewajiban yang harus dijalankan oleh Notaris dan larangan
yang harus dihindari oleh Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Hal tersebut
tidak hanya diatur dalam UUJN sebagai ketentuan pokok yang dijadikan pedoman
bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya tetapi juga termuat dalam Kode Etik
Notaris sebagai kaidah moral yang berlaku mengikat bagi perkumpulan Notaris di
Indonesia sehingga wajib ditaati oleh semua anggota perkumpulan dan semua
Pasal 17, sedangkan dalam Kode Etik Notaris diatur mulai Pasal 3 sampai dengan
Pasal 4. Namun di samping ada kewajiban yang harus dijalankan serta larangan
yang harus dihindari, dalam jabatannya Notaris pun memiliki pengecualian dan
nilai dan bobot yang handal, maka Notaris harus menjalankan kewajiban yang
diamanatkan baik oleh UUJN maupun dalam Kode Etik Notaris dan menghindari
larangan-larangan dalam jabatannya. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut
67
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, op.cit, hal.159.
52
sebagai berikut:
1. Kewajiban Notaris
yaitu bahwa seorang Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Seorang Notaris juga wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan
kutipan akta berdasarkan minuta akta dan memberikan pelayanan sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Hal
paling penting bagi seorang Notaris adalah harus menjaga kerahasiaan segala
sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
menentukan lain. Selain diatur dalam UUJN, kewajiban Notaris juga juga diatur
dalam Kode Etik Profesi Notaris, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
a. Seorang Notaris harus memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik,
serta menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan
Notaris;
b. Seorang Notaris harus mampu menjaga dan membela kehormatan
perkumpulan; Sebagai anggota perkumpulan, maka seorang Notaris wajib
untuk menjaga kehormatan perkumpulannya (INI), misalnya menjaga
53
etik profesi Notaris. Hal ini dilakukan agar seorang Notaris mampu
2. Larangan Notaris
dilakukan oleh Notaris. Apabila larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada
Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi. Adapun larangan yang harus
dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Seorang Notaris juga
dilarang merangkap sebagai pegawai negeri, advokat, dan sebagai pemimpin atau
pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha
swasta. Seorang Notaris tidak boleh merangkap sebagai Notaris Pengganti, serta
Notaris.
dalam UUJN maupun dalam Kode Etik Profesi. Apabila Notaris mengabaikan
keluhuran dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, teguran atau
sebagai Notaris.
55
Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai
pembuktian tertentu.68
Pada ketentuan Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 dijelaskan pengertian
Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai
hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai
pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.69
surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk
dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.70 Menurut
Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang
akta seperti diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta merupakan
surat yangakan dijadikan sebagai suatu alat bukti tentag suatu pristiwa.
68
Widhi Yuliawan, 2013, Akta Kelahiran, Andi, Yogyakarta, hal.86.
69
Ibid.
70
Suharjono, 2005, “Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum”, Varia Peradilan, Tahun
XI, Nomor 123, hal.43.
71
Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hal.110.
56
Berdasarkan jenisnya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta
dibawah tangan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1867 KUH Perdata yaitu
1. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
Dalam Pasal 165 HIR dan 285 Rbg, akta otentik adalah suatu akta yang
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan
bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang
sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan
itu berhubungan dengan perihal pada akta itu. Pejabat yang dimaksudkan antara
lain ialah Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan
sebagainya.
Dalam Pasal 101 ayat (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta otentik adalah surat yang
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya.
Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk
dapat suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi
ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu:
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan) seorang
umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,
maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta
penghadap (comparanten)
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus
yang telah ditentukan baginya. Jika Notaris membuat akta yang berada di luar
daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
yaitu:
a. Suatu tulisan dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau
suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan
bersangkutan saja.
b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang
berwenang.
d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh
para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang
akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
sempurna dan kuat sehingga siapa pun yang menyatakan akta tersebut salah atau
72
Herlien Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,
Surabaya, hal.148.
73
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal.125.
59
sidang pengadilan negeri. Hal ini perlu dilakukan sebagaimana makna otentisitas
Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut dengan Akta
Relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan
disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.
Akta yang dibuat dihadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta para
pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan
atau yang diceritakan dihadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau
baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam
pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan
dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini tertuang dalam
74
Habib Adjie III, op.cit, hal.197.
75
Habib Adjie III, op.cit, hal.128.
60
ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7) UUJN: Membacakan akta
saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
Syarat ini harus dilakukan, dan jika syarat tersebut tidak dilakukan maka akta
76
Habib Adjie, op.cit, hal.72.
61
menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat
di bawah tangan sehingga akta yang dibuat di bawah tangan tersebut baru berlaku
itu atau apabila hal tersebut dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap
sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Akta otentik membuktikan sendiri
menandakan akta tersebut dilihat dari luar dan dari katakatanya sebagai yang
berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap
sebagai akta otentik sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang
diajukan bukan akta otentik karena pihak lawan dapat mebuktikan adanya:
fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Ketentuan dalam Pasal
1871 KUH Perdata menyatakan bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam
pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang telah
62
diberikan oleh mereka yang menandatangani akta otentik tersebut dianggap benar
Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada
keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya adalah benar dari orang
secara formil kebenaran para pihak telah menerangkan hal-hal yang tercantum di
dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga meliputi bahwa yang diterangkan itu
adalah benar. Sedangkan pada akta yang dibuat di bawah tangan kekuatan
pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan apabila
tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya, atau dianggap telah diakui
sedemikian rupa menurut hukum. Dalam arti formil, maka terjamin kebenaran
atau kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam
akta itu, identitas dari orangorang yang hadir (comparten), demikian juga tempat
dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak
kebenaran dari keteranganketerangan itu sendiri hanya pasti antara para pihak
sendiri.77
77
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 57
63
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali
keterangan dari para pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah berarti bahwa
telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari
kebenaran isi keterangan tersebut yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya
ada.
Oleh karena akta tersebut, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu
berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang
sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli waris serta
a. Bahwa akta itu apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan
disamping itu;
berarti protecting or being protected, system protecting atau persoon or thing that
atas kemudian dapat ditarik unsur yang sama yaitu adanya perbuatan melindungi,
pihak yang dilindungi dan cara melindungi. Selain itu perlindungan juga
yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan
warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan
diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang
bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu
gambaran dari fungsi hukum yaitu ketentraman bagi segala kepentingan manusia
hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak
hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan
masyarakat, sehingga dalam hubungan antara antar anggota masyarakat yang satu
78
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 72.
79
Ibid.
65
sekumpulan peraturan atau kaidah mengandung isi yang bersifat umum dan
normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena
menentukan apa boleh dan tidak boleh dilakukan serta menentukan bagaimana
cara melaksanakan kepatuhan pada kaidah. Wujud dari peran hukum dalam
manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak
rakyatnya.81
hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh
80
E. Fernando M. Manullang, op.cit, hal. 78.
81
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 43.
66
mendapat yang telah menjadi hak dan kewajibannya sehingga yang bersangkutan
merasa aman.82
asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant,
rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu,
tidak boleh dihalangi oleh negara. Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh
siapapun.83
hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang
82
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 43.
83
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Keempat, Genta Publishing,
Yogyakarta, hal. 75.
67
kepentingak masyarakat.84
suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan
litigasi) lainnya. Hal ini sejalan dengan pengertian hukum menurut Soedjono
dalam masyarakat dan salah satunya yang paling nyata dari pengertian tentang
hukum adalah adanya institusi-institusi penegak hukum. Lili Rasjidi dan B. Arief
yaitu:
84
Satijipto Rahardjo, op.cit, hal. 53.
85
Rafael La Porta, 1999, “Investor Protection and Cororate Governance”, Journal of
Financial Economics, No.58, hal. 9.
86
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.
68
kewajiban.
perlindungan hukum rakyat barat. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat barat
barat sebagai kerangka berpikir dengan Pancasila sebagai Ideologi dan dasar
prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
2.4 Penghadap
87
Phillipus M. Hadjon I, op.cit, hal. 30.
69
penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada Notaris dan
para penghadap telah terjadi hubungan hukum antara keduanya. Notaris sendiri
penghadap atau masyarakat dengan alasan-alasan tertentu hal ini diatur dalam
pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN. Subjek hukum yang datang menghadap Notaris
didasari adanya sesuatu keperluan dan keinginan sendiri, Notaris tidak mungkin
melakukan suatu pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari para
penghadap, dengan demikian menurut Notaris dalam bentuk mewakili orang lain
KUH Perdata.88
kedalam bentuk adanya atau terjadi wansprestasi atau perbuatan melawan hukum
tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) yang dapat
dijadikan dasar untuk menuntut Notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi atau
bunga kontruksi seperti tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap Notaris
1. Tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan
perjanjian tertentu;
88
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 18.
70
2. Tidak ada hak-hak para pihak atau para penghadap yang dilanggar oleh
Notaris;
pekerjaan; dan
4. Tidak ada kesukarelaan dari Notaris untuk membuat akta, tanpa ada
membuatkan suatu akta maka dasarnya yaitu Notaris hanya membuat akta atas
permintaan dari para para penghadap, disini Notaris harus menerjemahkan pasal-
hukum. Jika para pihak datang ke Notaris dan akan mengadakan suatu perjanjian
rupa sehingga para pihak mendapat perlindungan yang seimbang dari Notaris.
UUJN dan Kode Etik Notaris agar ketika menjalankan tugasnya Notaris selalu
jabatan Notaris dan Kode Etik sehingga aktayang dibuat oleh Notaris tersebut
dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang membuat akta
tersebut.
oleh Notaris sendiri maupun dikenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua
saksi pengenal lainnya. Saat ini pengenalan Notaris terhadap para penghadap tak
maksud daripada pengenalan Notaris ini sama sekali tidak berkaitan dengan
identitas. Para penghadap dikenal bukan berdasarkan KTP atau identitas lainnya,
sebagai dengan nama, maka orang tersebut memang benar-benar dikenal dalam
masyarakat.
Notaris memang harus mengenal para penghadap, karena akta yang dibuat
oleh Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Bila Notaris tidak benar-benar mengenal pihak yang menghadap adalah
benar-benar sesuai dengan identitas yang diberikan, maka akta Notaris sangat
berpotensi untuk merugikan hak orang lain. Tentu konsekuensi seperti ini sedapat
72
mungkin harus dihindari agar tidak terjadi, tentunya dengan cara-cara yang
melakukan tindak hukum kepada Notaris untukmembat suatu akta yang otentik
Hanya saja, cara memperkenalkan seperti ini sangat rentan dengan risiko tindakan
ilegal. Apalagi di era yang serba digital dimana antara bentuk asli dan bentuk
palsu sangat sulit untuk dibedakan. Padahal, Notaris memikul sendiri risiko atas
akibat hukum dari akta yang dibuatnya. Terkait tanggung jawab tersebut,
umumnya dalam akta juga dinyatakan pelepasan tanggung jawab oleh Notaris
tidak benar.
Pemalsuan berasal dari kata palsu yang berarti “tidak tulen, tidak sah,
tiruan, gadungan, sedangkan pemalsuan masih dari sumber yang sama diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan memalsu”. Palsu menandakan suatu barang tidak
73
asli, sedangkan pemalsuan adalah proses pembuatan sesuatu barang yang palsu.
Sehingga dengan demikian dari kata pemalsuan ada terdapat pelaku, ada barang
ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari
sebenarnya itulah yang dinamakan dengan tindak pidana pemalsuan dalam bentuk
mata uang, dan baru kemudian telah ditambah dengan sejumlah tindak pidana
pidana tersebut di dalam doktrin juga disebut quasti falsum atau pemalsuan yang
sifatnya semu.91
salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam KUH Pidana, karena
pemalsuan sendiri akan mengakibatkan kerugian kepada seseorang atau pihak lain
yang berkepentingan. Hal inilah yang membuat kejahatan pemalsuan diatur dan
memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau suatu barang (surat) seakan-
akan asli. Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat itu
89
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hal. 817
90
Teguh Prasetyo, op.cit, hal.58.
91
P.A.F. Lamintang, 2001, Delik-delik Khusus Kejahatan Membahayakan Kepercayaan
Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat P.A.F. Lamintang II), hal. 2
74
yang tidak benar digambarkan sebagai benar. Menurut seorang sarjana, kriteria
yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUH Pidana dan mengenai pemalsuan
tulisan/surat dalam Pasal 263 KUHP dan Pasal 270 KUH Pidana, maupun
kesenian dalam Pasal 380 KUH Pidana. Pasal- pasal tersebut memuat unsur
akan asli dan tidak dipalsu. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
yang mengandung ketidakbenaran atau palsu terhadap suatu hal (objek) yang dari
dengan yang sebenarnya. Hal itulah yang dinamakan dengan tindak pidana
dalam Pasal 263 KUH Pidana. Tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya
92
Adami Chazawi I, op.cit, hal. 5-6.
75
adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat
1. Unsur-unsur obyektif:
a. Perbuatan:
1) Membuat palsu;
2) Memalsu;
b. Obyeknya yakni surat:
1) Yang dapat menimbulkan suatu hak;
2) Yang menimbulkan suatu perikatan;
3) Yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
4) Yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hak.
2. Unsur subyektifnya: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Sedangkan Pasal 263 ayat
(2) KUH Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif
1) Perbuatan memakai;
2) Obyeknya:
a) surat palsu;
b) surat yang dipalsukan
3) Pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur subyektifnya yaitu dengan sengaja
yaitu membuat surat palsu dan memalsukan sesuatu surat, dan antara kedua istilah
93
Adami Chazawi I, op.cit, hal. 98-99.
76
membuat surat palsu maksudnya yaitu membuat sebuah surat sebagian atau
seluruh isinya palsu, ini berarti bahwa sebelum perbuatan dilakukan tidak ada
surat asli yang dipalsukan. Misalnya mencetak suatu formulir yang lazim
digunakan atau mengisi formulir yang sudah ada dengan menjiplak isinya
orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh
isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula, hal ini berarti bahwa surat itu
sebelumnya sudah ada, kemudian surat itu ditambah, dikurangi, atau dirubah
Mengenai KUH Pidana tersebut tidak dijelaskan apakah surat itu tertulis di
atas kertas, kain atau batu, yang dijelaskan hanyalah macam tulisannya yaitu surat
tersebut ditulis dengan tangan atau dicetak menggunakan mesin cetak. Tetapi
KUH Pidana, seperti: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, surat perjanjian
piutang, perjanjian sewa, perjanjian jual beli, kwitansi atau surat semacam itu,
akta, lahir, surat saham, buku rekening tabungan, dan sebagainya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat palsu tersebut mempunyai tujuan
Manusia sebagai subjek tindak pidana pemalsuan, maka hal ini didasarkan
pada:
2. Jenis atau macam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang
Badan hukum (rechtspersoon) adalah subyek hukum. Maka oleh karena itu
badan hukum juga termaksud subjek dalam tindak pidana pemalsuan. Dalam
kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang oleh
hukum diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu
sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subyek hukum pada
yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusia itu disebut badan
hukum (legal person). Jadi, badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban
berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut
KUHP menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan
atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang
palsu, pemalsuan mata uang, pemalsuan surat dan adakalanya juga pemalsuan
95
Tongat, op.cit, hal.24.
78
terhadap materai dan merek. Kejahatan pemalsuan tersebut dalam Buku II KUH
dalam sidang pengadilan. Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-
jabatan yang dulu diucapkan pada waktu mulai memangku jabatannya seperti
seorang pegawai polisi membuat proses verbal dari suatu pemeriksaan dalam
menyidik perkara pidana. Sumpah palsu dan keterangan palsu diatur dalam Bab
IX Buku II KUH Pidana, terdiri dan 2 pasal, yakni Pasal 242 dan Pasal 243 KUH
Pidana. Berhubung Pasal 243 KUH Pidana telah dihapus melalui Stb. 1931 No.
Negara dan kertas bank. Dalam Pasal 244 KUH Pidana mengancam dengan
hukuman berat, yaitu maksimum lima belas tahun penjara. Barangsiapa membuat
secara meniru atau memalsukan uang logam atau uang kertas Negara atau uang
mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsukan. Hukuman yang diancam
menandakan beratnya sifat delik ini.Hal ini dapat dimengerti karena delik ini
Pemalsuan materai yang termuat dalam Pasal 253 yaitu pasal pertama title
XI Buku II KUH Pidana yang berjudul “Pemalsuan materai dan cap” adalah
senada dengan pemalsuan uang, tetapi bersifat sangat lebih ringan karena
kalangan dalam masyarakat yang tertipu dengan pemalsuan materai ini sama
sekali tidak seluas seperti dalam pemalsuan uang yang dapat dikatakan meliputi
adanya materai maka surat yang diberi materai yang ditentukan oleh undang-
undang menjadi suatu surat yang sah, artinya tanpa materai berbagai surat
keterangan, misalnya surat kuasa, tidak dapat diterima sebagai pemberian kuasa
yang sah. Demikian juga dalam pemeriksaan perkara dimuka pengadilan, surat-
surat baru dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian apabila dibubuhi materai
kepada isi surat-surat dari pada bersifat mengenai kepentingan dari induvidu-
ini.Pemalsuan surat diatur didalam Pasal 263 sampai Pasal 276 KUH Pidana.