Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI NOTARIS, AKTA NOTARIS,


PERLINDUNGAN HUKUM, PENGHADAP, DAN
PEMALSUAN DATA

2.1 Notaris

2.1.1 Pengertian Notaris

Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari perkataan ”notarius” (bahasa

Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya

menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan

bahwa nama ”notaries” itu berasal dari perkataan ”nota literaria”, berarti tanda

(letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Pada abad kelima

dan ke-enam sebutan itu (notarius) diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi

dari raja atau kaisar serta pegawai-pegawai dari istana yang melaksanakan

pekerjaan administrasi. Para pejabat dinamakan notarius itu merupakan pejabat

yang menjalankan tugasnya hanya untuk pemerintah dan tidak melayani publik

atau umum. Terkait dengan tugas untuk melayani publik dinamakan tubelliones

yang fungsinya agak mirip dengan Notaris pada saat ini. Hanya saja tidak

mempunyai sifat amblitjke, sifat jabatan negeri sehingga surat-surat yang

dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik atau resmi.50

Notaris menurut Habib Adjie ialah pejabat umum yang satu-satunya

berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian

dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin

kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan

50
R. Soegondo Notodisoerjo, 2003, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 13.

42
43

kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.51 Herlien

Budiono menambahkan dengan berdasarkan pada nilai moral dan nilai etika

Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat

secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang

pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat

pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar

dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat

Notaris pada khususnya.52 Menurut G.H.S. Lumban Tobing menyatakan bahwa:

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat


akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.53

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 UUJN menentukan bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini

atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Habib Adjie menambahkan Notaris

merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai

jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris,

artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur

jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di

Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Notaris sebagai jabatan merupakan suatu

51
Habib Adjie I, op.cit, hal.13.
52
Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course
Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal.3.
53
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.31.
44

bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk

keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat

berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.54 Jabatan Notaris

bukanlah merupakan suatu profesi melainkan suatu jabatan Notaris termasuk ke

dalam jenis pelaksanaan jabatan luhur.55

Menurut Kohar, “yang diharuskan oleh peraturan umum itu ialah antara

lain hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, demikian juga perjanjian kawin

dan pendirian perseroan terbatas”.56 Sedangkan yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan bisa berupa tindakan hukum apapun. Apabila diperlukan setiap

perbuatan dapat dimintakan penguatannya dengan akta otentik, berupa akta

Notaris. Sesudah Notaris membuat akta, selesai, dan itulah merupakan bukti

otentik dapat digunakan untuk keperluan yang bersangkutan, dapat diajukan

sebagai bukti dalam suatu perkara di pengadilan. Selanjutnya Gandasubrata,

menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah

termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada

masyarakat”.57

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Notaris

sebgi pejabat umum dalam menjalankan kewenangannya maka Notaris diharuskan

untuk mentaati aturan hukum yang ada dalam pembuatan aktanya yang nantinya

akta tersebut berlaku sebagai akta otentik dan merupakan suatu alat bukti yang

54
Habib Adjie I, op.cit, hal.32-34.
55
C. S. T. Kansil dan Christine S.T, 2009, Pokok-Pokok Etika Jabatan Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 5.
56
A. Kohar, 2004, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat A.
Kohar II), hal.203.
57
H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah
Agung RI, Jakarta, hal.484.
45

kuat, sehingga memberikan pembuktian sempurna kepada para pihak yang

membuatnya.

2.1.2 Notaris sebagai Pejabat Umum

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum

adalah menjamin adanya suatu kepastian, ketertiban serta perlindungan hukum

yang berintikan kebenaran dan keadilan didalam masyarakat. Notaris merupakan

pejabat umum yang diberikan sebagian kewenangan oleh negara dan setiap

tindakannya harus berdasarkan oleh hukum. Jabatan Notaris merupakan jabatan

seorang pejabat negara atau pejabat umum, berdasarkan ketentuan-ketentuan

dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi

publik dan negara, khususnya di bidang hukum perdata.58 Hal ini dapat dilihat

pada pengertian Notaris yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang

menentukan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Notaris adalah pejabat

umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik.

Istilah pejabat umum adalah terjemahan dari openbare ambtenaren yang

terdapat pada Pasal 1 UUJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek. Menurut kamus

hukum, salah satu arti dari ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian

openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian

dengan kepentingan masyarakat. Openbare ambtenaren diartikan sebagai pejabat

yang diserahkan tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

58
Yudha Pandu, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris dan
PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hal.2.
46

masyarakat dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Istilah atau kata

pejabat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur

pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan59, dengan kata lain “pejabat

lebih menunjuk kepada orang yang memangku suatu jabatan”.60

Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili

kekuasaan umum negara dalam melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat

dalam bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan

perlindungan hukum. Bentuk pelayanan keperdataan yang dilakukan oleh Notaris

adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat

untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh.61

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Notaris di Indonesia adalah

merupakan suatu jabatan dan bukanlah profesi. Dengan demikian organisasi

Notaris bukan bagi mereka yang menjalankan profesi Notaris, tetapi organisasi

bagi mereka yang menjalankan jabatan Notaris. Notaris sebagai suatu jabatan

yang menjalankan sebagian tugas negara dalam bidang hukum keperdataan

dengan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik yang diminta oleh para

pihak yang menghadap Notaris.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Notaris

merupakan pejabat umum yang diangkat oleh menteri. Notaris sebagai pejabat

umum mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta yang otentik yang

sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada yang sesuai dengan keinginan

59
Badudu dan Zain, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal.543.
60
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal.28.
61
Habib Adjie I, op.cit, hal.15-16.
47

dan kehendak para penghadap yang datang kepada Notaris agara keinginan serta

kehendak mereka dituangkan ke dalam bentuk akta yang otentik

2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris

Terkait dengan tugas dan kewenangan dari Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya, berikut akan dipaparkan lebih lanjut dalam pembahasan di

bawah ini:

1. Tugas Notaris

Pada dasarnya, peran seorang Notaris adalah memberikan pelayanan berupa

jasa bagi masyarakat yang berniat untuk membuat alat pembuktian yang bersifat

otentik. Dalam merumuskan suatu akta otentik, seorang Notaris harus mampu

memformulasikan keinginan atau tindakan para pihak ke dalam akta otentik

dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa eksistensi Notaris bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa

seorang Notaris harus menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam

melayani masyarakat sebagai misi utama dalam hidupnya.62

G.H.S. Lumban Tobing, dalam bukunya yang berjudul Peraturan Jabatan

Notaris menyebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai

“notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang

menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan

yang ada dan/atau terjadi diantara mereka, dalam membuat alat bukti tertulis yang

mempunyai kekuatan otentik.63 Secara singkat dapat dikatakan bahwa eksistensi

Notaris bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa seorang Notaris harus
62
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.46
63
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.46
48

menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam melayani masyarakat sebagai

misi utama dalam hidupnya.

2. Kewenangan Notaris

Pasal l angka 1 UUJN mengatur ”Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-

undang lainnya”. Ketentuan Pasal l angka 1 UUJN ini hanya menjelaskan

kewenangan notarus membuat akta otentik saja, tidak memberikan uraian yang

lengkap mengenai kewenangan Notaris. Kewenangan Notaris selengkapnya diatur

dalam Pasal 15 UUJN yang menentukan:

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
49

Berdasarkan analisis peneliti terkait dengan ketentuan Pasal 15 UUJN

tersebut di atas, kewenangan Notaris tidak hanya membuat akta otentik saja, tapi

Notaris juga berwenang melegalisasi dan membukukan dari akta di bawah tangan

sekaligus melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.

Selain itu Notaris juga berwenang memberikan penyuluhan hukum dan

berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan akta risalah

lelang. Selanjutnya Notaris juga memiliki kewenangan lain yang diatur dengan

undang-undang.

Menurut Lumban Tobing, bahwa ”selain untuk membuat akta-akta otentik,

Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat

atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan”.64 Notaris juga memberikan nasehat

hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang

bersangkutan. Menurut Setiawan, ”Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum

ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang

secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan

tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa”.

Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah

satu pihak. la tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan.65 Untuk ini

peneliti berpendapat dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat

umum terdapat ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang

tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan

pada akta yang dibuat di hadapannya.

64
G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal.29.
65
R. Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu
kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), Balai Pustaka, Jakarta, hal. 2.
50

Menurut Hari Sasangka pembuktian sempurna adalah pembuktian yang

diajukan oleh pihak penggugat telah sempurna, artinya tidak perlu lagi

melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan

diajukan dengan bukti sangkalan.66 Dengan demikian, bukti sempurna

mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus

diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya.

Selain itu Notaris juga diberikan kewenangan lain yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan). Kewenangan lain tersebut diantaranya adalah

membuat Akta Pendirian Perseroan Terbatas (diatur dalam Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), Akta

Jaminan Fidusia (diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia), Surat Kuasa Mebebankan Hak Tanggungan

(diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan

Tanah), dan sebagainya.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya

ketentuan tentang kewenangan Notaris membuat akta (segala macam akta)

sebagai pejabat umum yang mempunyai kewengan untuk itu adalah norma umum,

yang tentunya dapat disimpangi jika kemudian diketemukan norma khusus yang

mengatur lain atau sebaliknya sesuai dengan asas lex specialist derogat legi

generali yang artinya peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang

umum.

66
Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa
dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, hal.21.
51

2.1.4 Kewajiban dan Larangan Notaris

Sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, Notaris

memiliki peraturan yang harus dipatuhi yang tidak hanya bertujuan untuk

melindungi otentisitas akta yang dibuatnya tetapi juga untuk menjaga kehormatan

kedudukan Notaris sebagai profesi yang mulia. Peraturan tersebut antara lain

merangkum tentang kewajiban yang harus dijalankan oleh Notaris dan larangan

yang harus dihindari oleh Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Hal tersebut

tidak hanya diatur dalam UUJN sebagai ketentuan pokok yang dijadikan pedoman

bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya tetapi juga termuat dalam Kode Etik

Notaris sebagai kaidah moral yang berlaku mengikat bagi perkumpulan Notaris di

Indonesia sehingga wajib ditaati oleh semua anggota perkumpulan dan semua

orang yang menjalankan tugas sebagai Notaris termasuk di dalamnya pejabat

sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.67

Berkaitan dengan kewajiban dan larangan bagi Notaris dalam menjalankan

jabatannya, UUJN mengatur ketentuan tersebut mulai Pasal 16 sampai dengan

Pasal 17, sedangkan dalam Kode Etik Notaris diatur mulai Pasal 3 sampai dengan

Pasal 4. Namun di samping ada kewajiban yang harus dijalankan serta larangan

yang harus dihindari, dalam jabatannya Notaris pun memiliki pengecualian dan

pengecualian ini diatur dalam Pasal 5 Kode Etik Notaris.

Notaris dapat memberikan pelayanan jasa secara maksimal serta

menghasilkan akta yang benar-benar terjaga otentisitasnya sehingga memiliki

nilai dan bobot yang handal, maka Notaris harus menjalankan kewajiban yang

diamanatkan baik oleh UUJN maupun dalam Kode Etik Notaris dan menghindari

larangan-larangan dalam jabatannya. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut

67
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, op.cit, hal.159.
52

mengenai kewajiban, larangan, serta pengecualian bagi seorang Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, yang akan diuraikan

sebagai berikut:

1. Kewajiban Notaris

Dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris tidak pernah lepas dari

kewajiban yang harus dipenuhi serta untuk memaksimalkan kinerjanya.

Kewajiban seorang Notaris sebagaimana yang disebut dalam Pasal 16 UUJN,

yaitu bahwa seorang Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak

berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

Seorang Notaris juga wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan

menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris.

Notaris juga diwajibkan mengeluarkan groose akta, salinan akta, atau

kutipan akta berdasarkan minuta akta dan memberikan pelayanan sesuai dengan

ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Hal

paling penting bagi seorang Notaris adalah harus menjaga kerahasiaan segala

sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna

pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang

menentukan lain. Selain diatur dalam UUJN, kewajiban Notaris juga juga diatur

dalam Kode Etik Profesi Notaris, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

3 Kode Etik I.N.I yang diantaranya menentukan bahwa:

a. Seorang Notaris harus memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik,
serta menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan
Notaris;
b. Seorang Notaris harus mampu menjaga dan membela kehormatan
perkumpulan; Sebagai anggota perkumpulan, maka seorang Notaris wajib
untuk menjaga kehormatan perkumpulannya (INI), misalnya menjaga
53

nama baik perkumpulan dengan melaksanakan semua peraturan yang


ditetapkan perkumpulan diantaranya aturan aturan mengenai kode etik;
c. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris. Adapun yang dimaksud dengan hal-hal tersebut adalah:
1) Bersikap jujur terhadap diri sendiri, terhadap klien dan terhadap
profesi. Misalnya dengan menyampaikan apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing masing pihak agar mereka memahami konsekuensi
terhadap aktanya;
2) Mandiri dalam arti dapat menyelenggarakan kantor sendiri, tidak
bergantung pada orang atau pihak lain serta tidak menggunakan jasa
pihak lain yang dapat mengganggu kemandiriannya, misalnya tidak
memenggunakan jasa permodalan pihak lain dalam bentuk kerjasama
untuk menjalankan profesi;
3) Tidak berpihak berarti tidak membela/menguntungkan salah satu pihak
dan selalu bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Misalnya, kita
sudah mengetahui dalam akta yang diminta oleh para pihak ada
kelemahan pada salah satu pihak tapi dengan sengaja kita tidak
memberitahukannya kepada salah satu pihak yang nyata nyata akan
dirugikan dengan harapan pihak yang diuntungkan bisa membayar
honor kita besar dan/memberi pekerjaan;
4) Penuh rasa tanggungjawab dalam arti selalu dapat mempertanggung
jawabkan semua tindakan atas akta yang dibuatnya dan bertanggung
jawab terhadap kepercayaan yang diembannya. Misalnya, apabila
sudah merasa yakin bahwa akta yang dibuat telah dijelaskan kepada
para pihak dan kita telah buat koridor-koridor atau antisipasi dari
kelemahan akta tersebut agar tidak merugikan salah satu pihak.
d. Seorang Notaris juga wajib mengutamakan pengabdian kepada
kepentingan masyarakat dan Negara. Notaris diangkat bukan untuk
kepentingan individu Notaris, jabatan Notaris adalah jabatan pengabdian,
oleh karena itu Notaris harus selalu mengutamakan kepentingan
masyarakat dan negara.
e. Memiliki satu kantor di tempat wilayah kedudukan. Kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. Notaris tidak boleh membuka
kantor cabang, kantor tesebut harus benar-benar menjadi tempat ia
menyelenggarakan kantornya. Kantor Notaris dan PPAT harus berada di
satu kantor.
f. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang
sah. Akta dibuat dan diselesaikan di kantor Notaris, di luar kantor pada
dasarnya merupakan pengecualian.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang Notaris

dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, wajib


54

menjunjung tinggi serta menghormati nilai-nilai yang terkandung dalam kode

etik profesi Notaris. Hal ini dilakukan agar seorang Notaris mampu

menjalankan jabatannya dengan penuh rasa tanggungjawab serta mampu

menjadi lembaga kepercayaan bagi masyarakat.

2. Larangan Notaris

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk

dilakukan oleh Notaris. Apabila larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada

Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi. Adapun larangan yang harus

dihindari oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 17 UUJN bahwa seorang Notaris dilarang menjalankan

jabatan di luar wilayah jabatannya, atau meninggalkan wilayah jabatannya lebih

dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Seorang Notaris juga

dilarang merangkap sebagai pegawai negeri, advokat, dan sebagai pemimpin atau

pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha

swasta. Seorang Notaris tidak boleh merangkap sebagai Notaris Pengganti, serta

melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,

atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan

Notaris.

Berdasarkan uraian diatas, seorang Notaris harus memperhatikan segala

bentuk tindakan yang merupakan larangan-larangan sebagaimana yang diatur

dalam UUJN maupun dalam Kode Etik Profesi. Apabila Notaris mengabaikan

keluhuran dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, teguran atau

dipecat dari keanggotaan profesinya, juga dapat diberhentikan dari jabatannya

sebagai Notaris.
55

2.2 Akta Notaris

2.2.1 Pengertian Akta

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau

”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Menurut pendapat

umum, mempunyai dua arti yaitu:

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling).

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai

perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada

pembuktian tertentu.68

Pada ketentuan Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 dijelaskan pengertian

tentang akta yaitu sebagai berikut:

Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai
hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai
pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.69

A. Pitlo, yang dikutip Suharjono mengemukakan bahwa akta adalah suatu

surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk

dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.70 Menurut

Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.71 Berdasarkan pengertian

akta seperti diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta merupakan

surat yangakan dijadikan sebagai suatu alat bukti tentag suatu pristiwa.

68
Widhi Yuliawan, 2013, Akta Kelahiran, Andi, Yogyakarta, hal.86.
69
Ibid.
70
Suharjono, 2005, “Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum”, Varia Peradilan, Tahun
XI, Nomor 123, hal.43.
71
Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hal.110.
56

2.2.2 Jenis Akta

Berdasarkan jenisnya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta

dibawah tangan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1867 KUH Perdata yaitu

pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun

dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.

1. Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang

untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik

dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang

dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik

terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang

dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Dalam Pasal 165 HIR dan 285 Rbg, akta otentik adalah suatu akta yang

dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang

mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan

sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan

itu berhubungan dengan perihal pada akta itu. Pejabat yang dimaksudkan antara

lain ialah Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan

sebagainya.

Dalam Pasal 101 ayat (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta otentik adalah surat yang

dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan

perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk


57

dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya.

Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk

dapat suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi

ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu:

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan) seorang

pejabat umum, yang berarti akta-akta Notaris yang isinya mengenai

perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan Notaris sebagai pejabat

umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,

maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta

tersebut kehilangan otensitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai

akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para

penghadap (comparanten)

c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang Notaris

hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam daerah hukum

yang telah ditentukan baginya. Jika Notaris membuat akta yang berada di luar

daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.

Menurut C.A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut

yaitu:

a. Suatu tulisan dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau

suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan

dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut


58

ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang

bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang

berwenang.

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan

tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan,

nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang membuatnya)

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah

hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.72

2. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh

para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang

berkepentingan saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan adalah

akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari

seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.73

2.2.3 Akta Notaris sebagai Akta Otentik

Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna dan kuat sehingga siapa pun yang menyatakan akta tersebut salah atau

tidak benar, maka yang menyatakan tersebut wajib membuktikannya melalui

72
Herlien Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,
Surabaya, hal.148.
73
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal.125.
59

sidang pengadilan negeri. Hal ini perlu dilakukan sebagaimana makna otentisitas

akta Notaris.74 Syarat akta Notaris sebagai akta otentik ialah:

1. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut dengan Akta

Relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan

disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau

perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.

Akta yang dibuat dihadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta para

pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan

atau yang diceritakan dihadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau

keterangannya dituangkan kedalam bentuk akta Notaris. Pembuatan akta Notaris

baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam

pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan

dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris

tidak akan membuat akta yang dimaksud.75

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini tertuang dalam

Pasal 38 UUJN yang menentukan bahwa:

a. Awal akta atau kepala akta, yang memuat :


1) Judul akta ;
2) Nomor akta;
3) Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun;
4) Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris yang membuat akta
tersebut
b. Badan akta, memuat :

74
Habib Adjie III, op.cit, hal.197.
75
Habib Adjie III, op.cit, hal.128.
60

1) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarga negaraan,


pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mewakili mereka;
2) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
3) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
4) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

3. Akhir atau penutup akta, memuat :

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7) UUJN: Membacakan akta

dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang

saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan

Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN).

b. Uraian tentang penanda tanganan dan tempat penanda tanganan atau

penerjemahan akta apabila ada.

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan

akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa

penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Syarat ini harus dilakukan, dan jika syarat tersebut tidak dilakukan maka akta

tersebut tidak mempunyai kekuatan akta otentik (berubah fungsinya menjadi

akta dibawah tangan).

2.2.4 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian

lahiriah, formal dan material.76 Nilai pembuktian tersebut antara lain :

76
Habib Adjie, op.cit, hal.72.
61

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri

untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Kemampuan tersebut

menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat

di bawah tangan sehingga akta yang dibuat di bawah tangan tersebut baru berlaku

sah apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya

itu atau apabila hal tersebut dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap

sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Akta otentik membuktikan sendiri

keabsahannya apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik artinya

menandakan akta tersebut dilihat dari luar dan dari katakatanya sebagai yang

berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap

sebagai akta otentik sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang

diajukan bukan akta otentik karena pihak lawan dapat mebuktikan adanya:

a. Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang atau;

b. Tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu;

c. Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa

pengurangan atau penambahan kalimat.

2. Formal (Formele Bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan

fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh

pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan

prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Ketentuan dalam Pasal

1871 KUH Perdata menyatakan bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam

akta otentik adalah benar diberikan dan disampaikan penanda-tangan kepada

pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang telah
62

diberikan oleh mereka yang menandatangani akta otentik tersebut dianggap benar

sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan.

Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada

keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya adalah benar dari orang

yang menandatangani, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan

pejabat pembuat akta mengenai:

a. Tanggal yang tertera di dalamnya dan harus dianggap benar;

b. Berdasarkan kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal pembuatan akta

tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan hakim.

Berdasarkan kekuatan pembuktian yang digariskan Pasal 1871

KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa akta otentik tidak hanya membuktikan

secara formil kebenaran para pihak telah menerangkan hal-hal yang tercantum di

dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga meliputi bahwa yang diterangkan itu

adalah benar. Sedangkan pada akta yang dibuat di bawah tangan kekuatan

pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan apabila

tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya, atau dianggap telah diakui

sedemikian rupa menurut hukum. Dalam arti formil, maka terjamin kebenaran

atau kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam

akta itu, identitas dari orangorang yang hadir (comparten), demikian juga tempat

dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak

memang menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedangkan

kebenaran dari keteranganketerangan itu sendiri hanya pasti antara para pihak

sendiri.77

77
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 57
63

3. Materiel (Materiele Bewijskracht)

Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang

tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang

membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali

ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Apabila seorang Notaris mendengar

keterangan dari para pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah berarti bahwa

telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari

kebenaran isi keterangan tersebut yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya

ada.

Oleh karena akta tersebut, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu

berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang

sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli waris serta

para penerima hak mereka dengan pengertian:

a. Bahwa akta itu apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan

bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya

disamping itu;

b. Bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat

pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang.

2.3 Perlindungan Hukum

2.3.1 Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan dalam bahasa Inggris adalah berasal dari protectionyang

berarti protecting or being protected, system protecting atau persoon or thing that

protect. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan


64

perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Dari kedua pengertian di

atas kemudian dapat ditarik unsur yang sama yaitu adanya perbuatan melindungi,

pihak yang dilindungi dan cara melindungi. Selain itu perlindungan juga

mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang

yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan

segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hakhaknya sebagai seorang

warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan

sanksi sesuai peraturan yang berlaku.78

Pengertian perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang

diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang

bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk tertulis maupun tidak

tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu

gambaran dari fungsi hukum yaitu ketentraman bagi segala kepentingan manusia

yang ada didalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan

hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak

hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan

dimanfaatkan dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.79

2.3.2 Pendapat Para Sarjana Mengenai Perlindungan Hukum

E. Fernando M. Manullang mengatakan keberadaan hukum dalam

masyarakat merupakan suatu saran untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban

masyarakat, sehingga dalam hubungan antara antar anggota masyarakat yang satu

dengan lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah

78
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 72.
79
Ibid.
65

kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaidah. Hukum sebagai

sekumpulan peraturan atau kaidah mengandung isi yang bersifat umum dan

normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena

menentukan apa boleh dan tidak boleh dilakukan serta menentukan bagaimana

cara melaksanakan kepatuhan pada kaidah. Wujud dari peran hukum dalam

masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat

yang kepentingannya terganggu. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan

kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib sehingga

terwujud kehidupan yang seimbang.80

Menurut Sudikno Mertokusuma, bahwa hukum itu bertujuan agar

tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan

manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak

dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan

mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada

tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi

rakyatnya.81

Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek

hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan

kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh

hukum sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan

kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum bisa

ditafsirkan sebagai pemberian kepastian bahwa orang atau masyarakat akan

80
E. Fernando M. Manullang, op.cit, hal. 78.
81
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 43.
66

mendapat yang telah menjadi hak dan kewajibannya sehingga yang bersangkutan

merasa aman.82

Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak

asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant,

manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas

menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian

rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu,

tidak boleh dihalangi oleh negara. Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia

secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,

meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak

keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak

kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh

siapapun.83

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo menyatakan

dalam pelindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

berbagai kepentingan dalam masyarakat karena perlindungan terhadap

kepentingan tertentu dalam masyarakat hanya dapat dilakukan dengan cara

pembatasan berbagai kepentingan pihak lainnya. Kepentingan hukum adalah

mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas

tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan

dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan

hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang

diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan

82
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 43.
83
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Keempat, Genta Publishing,
Yogyakarta, hal. 75.
67

masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota

masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingak masyarakat.84

Menurut R. La Porta bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh

suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan

bersifat hukuman (sanction).85 Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata

adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan,

kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-

litigasi) lainnya. Hal ini sejalan dengan pengertian hukum menurut Soedjono

Dirdjosisworo yang menyatakan bahwa hukum memiliki pengertian beragam

dalam masyarakat dan salah satunya yang paling nyata dari pengertian tentang

hukum adalah adanya institusi-institusi penegak hukum. Lili Rasjidi dan B. Arief

Sidharta berpendapat tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah

bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan

produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan

memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani

kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya. 86

Menurut Phillipus M.Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan hukum,

yaitu:

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

84
Satijipto Rahardjo, op.cit, hal. 53.
85
Rafael La Porta, 1999, “Investor Protection and Cororate Governance”, Journal of
Financial Economics, No.58, hal. 9.
86
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.
68

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif mempunyai tujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan umum dan

pengadilan administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum

ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan

bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-

hak asasi manusia.87

Selanjutnya Philipus M. Hadjon merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi

rakyat Indonesia dengan cara menggabungkan ideologi Pancasila dengan konsepsi

perlindungan hukum rakyat barat. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat barat

bersumber pada konsep-konsep pengakuan, perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia, konsep-konsep rechtsstaat, dan the rule of law. Ia menerapkan konsepsi

barat sebagai kerangka berpikir dengan Pancasila sebagai Ideologi dan dasar

falsafah. Sehingga prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah

prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang

bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang berdasarkan Pancasila.

2.4 Penghadap

2.4.1 Penghadap Notaris

Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan atau perbuatannya

diformulasikan kedalam akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan

kemudian Notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para

87
Phillipus M. Hadjon I, op.cit, hal. 30.
69

penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada Notaris dan

para penghadap telah terjadi hubungan hukum antara keduanya. Notaris sendiri

harus memberikan pelayanan terbaik kepada para penghadap atau masyarakat,

namun Notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan kepada para

penghadap atau masyarakat dengan alasan-alasan tertentu hal ini diatur dalam

pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN. Subjek hukum yang datang menghadap Notaris

didasari adanya sesuatu keperluan dan keinginan sendiri, Notaris tidak mungkin

melakukan suatu pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari para

penghadap, dengan demikian menurut Notaris dalam bentuk mewakili orang lain

tanpa kuasa (zaakwaarneming) tidak mungkin terjadi berdasarkan pasal 1354

KUH Perdata.88

Hubungan hukum yang terjadi antara Notaris dengan para pihak

penghadap tidak dapat dikontruksikan, dipastikan atau ditentukan, sejak awal

kedalam bentuk adanya atau terjadi wansprestasi atau perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) atau persetujuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan

tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) yang dapat

dijadikan dasar untuk menuntut Notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi atau

bunga kontruksi seperti tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap Notaris

karena tidak adanya syarat yang dipenuhi seperti:

1. Tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan

perjanjian tertentu;

88
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 18.
70

2. Tidak ada hak-hak para pihak atau para penghadap yang dilanggar oleh

Notaris;

3. Notaris tidak mempunyai alasan untuk menerima perintah melakukan suatu

pekerjaan; dan

4. Tidak ada kesukarelaan dari Notaris untuk membuat akta, tanpa ada

permintaan dari para pihak.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Notaris ketika

membuatkan suatu akta maka dasarnya yaitu Notaris hanya membuat akta atas

permintaan dari para para penghadap, disini Notaris harus menerjemahkan pasal-

pasal, kalimat-kalimat, ayat-ayat, sehingga selaras dan memperoleh kekuatan

hukum. Jika para pihak datang ke Notaris dan akan mengadakan suatu perjanjian

maka Notaris akan mengatur syarat-syarat perjanjian tersebut dengan sedemikian

rupa sehingga para pihak mendapat perlindungan yang seimbang dari Notaris.

Dalam menjalankan tugas serta jabatanya Notaris harus berpegangan dengan

UUJN dan Kode Etik Notaris agar ketika menjalankan tugasnya Notaris selalu

prosedural seperti apa yang semestinya yang tertuang dalam Undang-Undang

jabatan Notaris dan Kode Etik sehingga aktayang dibuat oleh Notaris tersebut

dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang membuat akta

tersebut.

2.4.2 Dasar Hukum Mengenai Penghadap Notaris

Penghadap dalam ranah kenotariatan dapat dibedakan dalam 3 (tiga)

macam penghadap, antara lain yaitu:

1. Menghadap sendiri, jika seseorang bertindak atas namanya sendiri dalam

melakukan perbuatan hokum


71

2. Menghadap berdasarkan kuasa, jika seorang bertindak berdasarkan kuasa

3. Menghadap berdasarkan kedudukan atau jabatannya, jika seseorang bertindak

dengan jabatan atau kedudukannya

UUJN mewajibkan Notaris sebagai pejabat publik pembuat akta otentik

untuk dapat mengenal pihak-pihak yang datang menghadap kepadanya terkait

pembuatan akta. Bentuk pengenalannya (bekendheid) dapat berupa pengenalan

oleh Notaris sendiri maupun dikenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua

saksi pengenal lainnya. Saat ini pengenalan Notaris terhadap para penghadap tak

begitu banyak diperhatikan dalam pembuatan akta Notaris. Padahal, makna

"dikenal" tersebut menjadi sangat penting. Umumnya, akta-akta Notaris

menyebutkan bahwa para penghadap telah dikenal, adapula yang menuliskan

bahwa para penghadap telah dikenal dari identitasnya masing-masing. Padahal,

maksud daripada pengenalan Notaris ini sama sekali tidak berkaitan dengan

identitas. Para penghadap dikenal bukan berdasarkan KTP atau identitas lainnya,

melainkan pergaulannya dalam masyarakat. Bentuk pengenalan Notaris bukan

berarti penghadap harus mengenalkan dirinya atau menyerahkan tanda pengenal.

Notaris harus dapat menjamin bahwa ketika penghadap memperkenalkan dirinya

sebagai dengan nama, maka orang tersebut memang benar-benar dikenal dalam

masyarakat.

Notaris memang harus mengenal para penghadap, karena akta yang dibuat

oleh Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna. Bila Notaris tidak benar-benar mengenal pihak yang menghadap adalah

benar-benar sesuai dengan identitas yang diberikan, maka akta Notaris sangat

berpotensi untuk merugikan hak orang lain. Tentu konsekuensi seperti ini sedapat
72

mungkin harus dihindari agar tidak terjadi, tentunya dengan cara-cara yang

bertanggung jawab. Dasar hukum mengenai penghadap yang cakap untuk

melakukan tindak hukum kepada Notaris untukmembat suatu akta yang otentik

diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUJN yang menentukan bahwa:

(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:


a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
dan
b. Cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh
2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum
atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas
dalam Akta.

Cara memperkenalkan diri (bekendmaking) penghadap saat ini lazim

berdasarkan identitas penghadap, apakah berbentuk KTP, passpor, ataupun SIM.

Hanya saja, cara memperkenalkan seperti ini sangat rentan dengan risiko tindakan

ilegal. Apalagi di era yang serba digital dimana antara bentuk asli dan bentuk

palsu sangat sulit untuk dibedakan. Padahal, Notaris memikul sendiri risiko atas

akibat hukum dari akta yang dibuatnya. Terkait tanggung jawab tersebut,

umumnya dalam akta juga dinyatakan pelepasan tanggung jawab oleh Notaris

maupun saksi-saksi apabila penghadap memberikan data/dokumen/surat yang

tidak benar.

2.5 Tindak Pidana Pemalsuan

2.5.1 Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan

Pemalsuan berasal dari kata palsu yang berarti “tidak tulen, tidak sah,

tiruan, gadungan, sedangkan pemalsuan masih dari sumber yang sama diartikan

sebagai proses, cara, perbuatan memalsu”. Palsu menandakan suatu barang tidak
73

asli, sedangkan pemalsuan adalah proses pembuatan sesuatu barang yang palsu.

Sehingga dengan demikian dari kata pemalsuan ada terdapat pelaku, ada barang

yang dipalsukan dan ada tujuan pemalsuan.89 Kejahatan pemalsuan menurut

Teguh Prasetyo merupakan kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem

ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari

luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang

sebenarnya itulah yang dinamakan dengan tindak pidana pemalsuan dalam bentuk

(kejahatan dan pelanggaran).90 De eigenlijke falsum atau sebagai tindak pidana

pemalsuan yang sebenarnya ialah pemalsuan surat-surat berharga dan pemalsuan

mata uang, dan baru kemudian telah ditambah dengan sejumlah tindak pidana

yang sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai pemalsuan, sehingga tindak

pidana tersebut di dalam doktrin juga disebut quasti falsum atau pemalsuan yang

sifatnya semu.91

Mengenai hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan

salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam KUH Pidana, karena

pemalsuan sendiri akan mengakibatkan kerugian kepada seseorang atau pihak lain

yang berkepentingan. Hal inilah yang membuat kejahatan pemalsuan diatur dan

termasuk suatu tindakan pidana. Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan

pertama-tama dalam kelompok tindak pidana “penipuan”. Tindak pidana

pemalsuan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan, jika pelaku

memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau suatu barang (surat) seakan-

akan asli. Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat itu

89
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hal. 817
90
Teguh Prasetyo, op.cit, hal.58.
91
P.A.F. Lamintang, 2001, Delik-delik Khusus Kejahatan Membahayakan Kepercayaan
Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat P.A.F. Lamintang II), hal. 2
74

yang tidak benar digambarkan sebagai benar. Menurut seorang sarjana, kriteria

untuk pemalsuan harus dicari didalam cara kejahatan tersebut dilakukan.

Perbuatan pemalsuan yang terdapat dalam KUH Pidana menganut asas:

1. Disamping pengakuan terhadap asas hak atas jaminan kebenaran/ keaslian


sesuatu tulisan/surat, perbuatan pemalsuan terhadap surat/ tulisan tersebut
harus dilakukan dengan tujuan jahat.
2. Berhubung tujuan jahat dianggap terlalu luas harus disyaratkan bahwa
pelaku harus mempunyai niat/maksud untuk menciptakan anggapan atas
sesuatu yang dipalsukan sebagai yang asli atau benar.92

Kedua hal tersebut tersirat dalam ketentuan-ketentuan mengenai pemalsuan uang

yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUH Pidana dan mengenai pemalsuan

tulisan/surat dalam Pasal 263 KUHP dan Pasal 270 KUH Pidana, maupun

mengenai pemalsuan nama/tanda/merek atas karya ilmu pengetahuan atau

kesenian dalam Pasal 380 KUH Pidana. Pasal- pasal tersebut memuat unsur

niat/maksud untuk menyatakan bagi sesuatu barang/surat yang dipalsu seakan-

akan asli dan tidak dipalsu. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat

disimpulkan bahwa tindak pidana atau kejahatan pemalsuan merupakan kejahatan

yang mengandung ketidakbenaran atau palsu terhadap suatu hal (objek) yang dari

luarnya nampak seolah-olah benar adanya, padahal kenyataannya bertentangan

dengan yang sebenarnya. Hal itulah yang dinamakan dengan tindak pidana

pemalsuan dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran.

2.5.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemalsuan

Untuk membahas unsur-unsur tindak pidana pemalsuan, maka yang

dikemukakan disini adalah tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur

dalam Pasal 263 KUH Pidana. Tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya

92
Adami Chazawi I, op.cit, hal. 5-6.
75

adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat

dalam Pasal 263 KUH Pidana, rumusannya adalah sebagai berikut :

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan atau pembebasan


hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana, jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama 6 bulan
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yg dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.

Menurut Adami Chazawi dalam Pasal 263 KUH Pidana tersebut

mengandung 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat (1) dan (2).93

Rumusan pada ayat ke-1 terdiri dari unsur-unsur

1. Unsur-unsur obyektif:
a. Perbuatan:
1) Membuat palsu;
2) Memalsu;
b. Obyeknya yakni surat:
1) Yang dapat menimbulkan suatu hak;
2) Yang menimbulkan suatu perikatan;
3) Yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
4) Yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hak.
2. Unsur subyektifnya: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Sedangkan Pasal 263 ayat
(2) KUH Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif
1) Perbuatan memakai;
2) Obyeknya:
a) surat palsu;
b) surat yang dipalsukan
3) Pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur subyektifnya yaitu dengan sengaja

Unsur-unsur delik pemalsuan surat tersebut, diketahui terdapat unsur obyektifnya

yaitu membuat surat palsu dan memalsukan sesuatu surat, dan antara kedua istilah

tersebut terdapat pengertian yang berbeda. Adapun perbedaannya adalah bahwa

93
Adami Chazawi I, op.cit, hal. 98-99.
76

membuat surat palsu maksudnya yaitu membuat sebuah surat sebagian atau

seluruh isinya palsu, ini berarti bahwa sebelum perbuatan dilakukan tidak ada

surat asli yang dipalsukan. Misalnya mencetak suatu formulir yang lazim

digunakan atau mengisi formulir yang sudah ada dengan menjiplak isinya

sehingga seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Sedangkan pengertian

“memalsukan surat” adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh

orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh

isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula, hal ini berarti bahwa surat itu

sebelumnya sudah ada, kemudian surat itu ditambah, dikurangi, atau dirubah

isinya sehingga surat itu tidak lagi sesuai dengan aslinya.

Mengenai KUH Pidana tersebut tidak dijelaskan apakah surat itu tertulis di

atas kertas, kain atau batu, yang dijelaskan hanyalah macam tulisannya yaitu surat

tersebut ditulis dengan tangan atau dicetak menggunakan mesin cetak. Tetapi

dengan menyimak dari contohcontoh yang dikemukakan oleh R. Soesilo di dalam

KUH Pidana, seperti: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, surat perjanjian

piutang, perjanjian sewa, perjanjian jual beli, kwitansi atau surat semacam itu,

akta, lahir, surat saham, buku rekening tabungan, dan sebagainya, sehingga dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat palsu tersebut mempunyai tujuan

yang dapat menimbulkan dan/atau menghilangkan hak.94

2.5.3 Subyek Tindak Pidana Pemalsuan

Manusia sebagai subjek tindak pidana pemalsuan, maka hal ini didasarkan

pada:

1. Terdapatnya perumusan tindak pidana pemalsuan yang dimulai dengan

perkataan barang siapa, seorang ibu, seorang pejabat, seorang nahkoda;


94
R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal.195.
77

2. Jenis atau macam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang

ditujukan bagi manusia saja.

3. Hukum pidana yang berlaku sekarang menganut asas kesalahan seseorang

manusia yang disebut dengan “hukum pidana kesalahan”. Dalam

Schuldstrafrecht yang dianggap dapat berbuat kesalahan hanyalah manusia,

yaitu yang berupa “kesalahan perorangan atau individual”.95

Badan hukum (rechtspersoon) adalah subyek hukum. Maka oleh karena itu

badan hukum juga termaksud subjek dalam tindak pidana pemalsuan. Dalam

kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang oleh

hukum diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu

sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subyek hukum pada

yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusia itu disebut badan

hukum (legal person). Jadi, badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban

berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut

subyek hukum lain di muka pengadilan. Berdasarkan ketentuan pada pasal 59

KUHP menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan

atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang

yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota

pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa

pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.

2.5.4 Jenis Tindak Pidana Pemalsuan

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalarn KUH Pidana, tindakan

pemalsuan terdiri dan beberapa jenis, di antaranya sumpah palsu, keterangan

palsu, pemalsuan mata uang, pemalsuan surat dan adakalanya juga pemalsuan

95
Tongat, op.cit, hal.24.
78

terhadap materai dan merek. Kejahatan pemalsuan tersebut dalam Buku II KUH

Pidana dikelompokkan menjadi 4 (empat) golongan, sebagai berikut:

1. Kejahatan Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Bab 1X)

Keterangan di bawah sumpah palsu dapat diberikan dengan lisan atau

tulisan. Keterangan dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan

keterangan di muka seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian

Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di

dalam sidang pengadilan. Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-

masing. Sedangkan keterangan dengan tulisan bahwa seorang pejabat menulis

keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah

jabatan yang dulu diucapkan pada waktu mulai memangku jabatannya seperti

seorang pegawai polisi membuat proses verbal dari suatu pemeriksaan dalam

menyidik perkara pidana. Sumpah palsu dan keterangan palsu diatur dalam Bab

IX Buku II KUH Pidana, terdiri dan 2 pasal, yakni Pasal 242 dan Pasal 243 KUH

Pidana. Berhubung Pasal 243 KUH Pidana telah dihapus melalui Stb. 1931 No.

240, maka tinggal ketentuan Pasal 242 KUH Pidana.

2. Kejahatan Pernalsuan Mata Uang dan Uang Kertas (Bab X)

Objek pemalsuan uang meliputi pemalsuan uang logam, uang kertas

Negara dan kertas bank. Dalam Pasal 244 KUH Pidana mengancam dengan

hukuman berat, yaitu maksimum lima belas tahun penjara. Barangsiapa membuat

secara meniru atau memalsukan uang logam atau uang kertas Negara atau uang

kertas bank dengan tujuan untuk mengedarkannya atau untuk menyuruh

mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsukan. Hukuman yang diancam

menandakan beratnya sifat delik ini.Hal ini dapat dimengerti karena delik ini

tertipulah masyarakat seluruhnnya, tidak hanya beberapa orang saja.


79

3. Kejahatan Pemalsuan Meterai dan Merek (Bab XI)

Pemalsuan materai yang termuat dalam Pasal 253 yaitu pasal pertama title

XI Buku II KUH Pidana yang berjudul “Pemalsuan materai dan cap” adalah

senada dengan pemalsuan uang, tetapi bersifat sangat lebih ringan karena

kalangan dalam masyarakat yang tertipu dengan pemalsuan materai ini sama

sekali tidak seluas seperti dalam pemalsuan uang yang dapat dikatakan meliputi

masyarakat luas. Dapat dimengerti bahwa kini maksimum hukuman hanya

penjara selama tujuh tahun.Pemalsuan materai ini pertama-tama merugikan

pemerintah karena pembelian materai adalah semacam pajak dan pemalsuan

materai berakibat berkurangnnya pajak ke kas Negara. Selain dari unsur

perpajakan, materai memiliki arti penting dalam masyarakat, yaitu dengan

adanya materai maka surat yang diberi materai yang ditentukan oleh undang-

undang menjadi suatu surat yang sah, artinya tanpa materai berbagai surat

keterangan, misalnya surat kuasa, tidak dapat diterima sebagai pemberian kuasa

yang sah. Demikian juga dalam pemeriksaan perkara dimuka pengadilan, surat-

surat baru dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian apabila dibubuhi materai

yang ditentukan oleh undang-undang.

4. Kejahatan Pemalsuan Surat (Bab XII)

Pemalsuan dalam surat-surat dianggap lebih bersifat mengenai

kepentingan masyarakat dengan keseluruhannya, yaitu kepercayaan masyarakat

kepada isi surat-surat dari pada bersifat mengenai kepentingan dari induvidu-

induvidu yang mungkin secara langsung dirugikan dengan pemalsuan surat

ini.Pemalsuan surat diatur didalam Pasal 263 sampai Pasal 276 KUH Pidana.

Anda mungkin juga menyukai