Anda di halaman 1dari 124

TESIS

KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

ATAS SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BERUPA

HAK TANGGUNGAN

Disusun Oleh :

SAFIRA RIZA RAHMANI

NIM :12218042

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NAROTAMA

SURABAYA

2020

i
TESIS

KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS

SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BERUPA HAK

TANGGUNGAN

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program StudiMagister

Kenotariatan Pada Fakultas Hukum

Universitas Narotama Surabaya

Disusun Oleh :

SAFIRA RIZA RAHMANI

NIM :12218042

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NAROTAMA

SURABAYA

2020

ii
Lembar Pengesahan

KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS

SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BERUPA HAK

TANGGUNGAN

Oleh Dosen Pembimbing :

Dr. Nynda Fatmawati Octarina, S.H., M.H.

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Narotama

Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum.

iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Bersama ini saya menyatakan bahwa Tesis ini bukan merupakan karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar Magister di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya / pendapat yang pernah

ditulis oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam Daftar Bacaan.

Apabila ditemukan sebaliknya, maka saya bersedia menerima akibat berupa

sanksi akademis dan sanksi lain yang diberikan oleh pihak yang berwenang dan

pihak universitas, sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang

berlaku.

Surabaya, 2020

Yang membuat pernyataan,

SAFIRA RIZA RAHMANI

NIM:12218042

iv
ABSTRAK

Latar belakang penulisan tesis ini dikarenakan terdapat fakta hukum yakni

gugatan yang timbul atas perjanjian kredit yang ditujukan kepada kreditur oleh

debitur melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan tujuan pembatalan

terhadap isi perjanjian kredit yang mengakibatkan kerugian debitur dan notaris

selaku pejabat umum pembuat akta perjanjian kredit. Rumusan masalah dalam tesis

ini yaitu Kompetensi absolut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam

memutus sengketa kerugian konsumen dan Penyelesaian sengketa perjanjian kredit

dengan jaminan berupa hak tanggungan melalui BPSK. Metode Penelitian yang

digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan

hukum sekunder sedangkan pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.

Penelitian tesis ini membahas mengenai ratio legis pembentukan undang –

undang perlindungan konsumen dengan tujuan untuk membahas dasar/ urgensi

pembentukan uu perlinkos, kemudian dikaji mengenai konsep sengketa kerugian

konsumen berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen, dan wewenang

badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menyelesaikan perkara sengketa

kerugian konsumen. kemudian dibahas pula mengenai karakteristik perjanjian

kredit dan akta pemberian hak tanggungan, akibat hukum nasabah debitur

wanprestasi terhadap isi perjanjian. konklusi dari penelitian hukum ini bahwa bpsk

tidak berwenang dalam menyelesaikan sengketa diluar wewenang nya sebagaimana

v
dalam UU Perlindungan Konsumen dan pembatalan perjanjian melalui BPSK akan

memberikan dampak negative kepada kreditur dan notaris. diharapkan penelitian

hukum ini akan memberikan sumbangsih pemikiran baru dan mejadi dasar bagi

pihak yang mengalami permasalahan serupa dalam penelitian ini.

Kata Kunci: BPSK, Perjanjian Kredit, Wanprestasi

vi
ABSTRACT

The background of writing this thesis is because there is a legal fact that is a lawsuit

arising from the credit agreement addressed to the creditor by the debtor through

the Consumer Dispute Settlement Agency with the aim of canceling the contents of

the credit agreement which results in the loss of the debtor and notary public as the

public official making the deed of credit agreement. The formulation of the

problem in this thesis is the absolute competence of the Consumer Dispute

Settlement Agency in deciding consumer loss disputes and Settlement of credit

agreement disputes with collateral in the form of mortgage rights through BPSK.

The research method used in the writing of this thesis is normative legal research,

namely legal research conducted by examining library materials or secondary legal

materials while the problem approach is carried out using a statutory approach,

conceptual approach, and case approach.

This thesis study discusses the legis ratios for the formation of consumer protection

laws with the aim to discuss the basis / urgency of the establishment of a law and

regulation, then study the concept of consumer loss disputes based on consumer

protection laws, and the authority of consumer dispute resolution bodies in

resolving consumer loss dispute cases. . then also discussed the characteristics of

the credit agreement and deed of granting the mortgage rights, due to the legal

debtor customer default on the contents of the agreement. the conclusion from this

legal research is that the bpsk is not authorized to settle disputes outside its

authority as in the Consumer Protection Act and the cancellation of the agreement

vii
through BPSK will have a negative impact on creditors and notaries. It is hoped

that this legal research will contribute new thinking and become the basis for those

who experience similar problems in this research.

Keywords: BPSK, Credit Agreement, Default

viii
RINGKASAN

KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS

SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BERUPA HAK

TANGGUNGAN

Bab I pendahuluan menguraikan latar belakang pemikiran dasar dari peneliti

mengenai fakta hukum melahirkan isu hukum yang akan diteliti. Isu hukum yang

timbul dari fakta hukum tersebut kemudian dirumuskan ke dalam rumusan masalah.

Dari rumusan masalah, timbul tujuan penelitian ini dilakukan dengan manfaat

penelitian yang akan dirasakan bagi kepentingan akademis dan kepentingan

praktisi. Kemudian diterangkan metode penelitian yang digunakan peneliti untuk

menganalisis guna menentukan hasil penelitian. Setelah itu sistematika penulisan

yang menjelaskan gambaran umum dari penelitian yang akan ditulis oleh peneliti.

Bab II, membahas rumusan masalah pertama yaitu Kompetensi absolut Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memutus sengketa kerugian konsumen.

Dalam bab II membahas beberapa sub bab diantaranya mengenai konsep sengketa

kerugian konsumen berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen, dan

wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menyelesaikan perkara

sengketa kerugian konsumen. kemudian dibahas pula mengenai karakteristik

perjanjian kredit dan akta pemberian hak tanggungan, akibat hukum nasabah

debitur wanprestasi terhadap isi perjanjian.

ix
Bab III membahas rumusan masalah kedua yaitu penyelesaian sengketa perjanjian

kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan melalui BPSK. Dalam bab III

dibahas sub bab diantaranya karakteristik perjanjian kredit dan akta pemberian hak

tanggungan dan akibat hukum nasabah debitur wanprestasi terhadap isi perjanjian

Bab IV, penutup yang terdiri dari simpulan atas pembahasan dari rumusan masalah

pertama dan kedua, kemudian disebutkan saran atas pokok permasalahan dari

penelitian yang diteliti demi kemajuan akademis dan praktis.

x
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat dan hidayahnya penyusunan tesis yang berjudul “KEWENANGAN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS SENGKETA

PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BERUPA HAK TANGGUNGAN

“ dapat saya selesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada :

1. kedua orang tua penulis, yaitu Bapak dr Achmad Djatmiko & Ibu Heni

Agustina yang penulis banggakan

2. suami tercinta Yugo Ismoyo yang selalu mensuport secara material dan

finansial serta dukungan lain untuk menggapai cita-cita

3. teman teman S2 Magister Kenotariatan FH Universitas Narotama dan staff

fakultas hukum Universitas Narotama yang selalu mendukung dan

mendoakan penulis , atas segala do’a yang tiada henti terucap untuk penulis

,serta kasih sayang yang tulus.

4. Bapak Aswin Agung dan Ibu Eny selaku atasan saya di Dinas Kebersihan

dan RTH yang selalu memberikan ijin untuk kuliah

Selanjutnya, penulis sadari tesis ini tidak akan pernah terwujud tanpa

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dengan setulus hati

penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu atas

terselesaikannya Tesis ini. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada:

xi
1. Bapak Dr. Arasy Alimudin, S.E., M.M., selaku Rektor Universitas

Narotama Surabaya.

2. Bapak Dr. Rusdianto Sesung, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Narotama Surabaya.

3. Bapak Dr. Nynda Fatmawati.,S.H., M.H selaku Dosen

Pembimbing yang telah sabar, tulus dan ikhlas meluangkan

waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi,

arahan, dan saran-saran yang sangat bermanfaat dalam

membimbing penulis selama menyusun sampai terselesaikannya

tesis ini.

4. Ibu Kustiati, selaku Kepala Bagian Administrasi Fakultas

Hukum Universitas Narotama Surabaya yang dengan sabar dan

tulus memberikan arahan tahapan tahapan prosedur tesis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Magister Kenotariatan

Universitas Narotama Surabaya yang telah berkenan

memberikan ilmu kepada penulis.

6. Karyawan Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya yang dengan

sabar melayani penulis mengurus administrasi akademik.

7. Keluarga tercinta yang telah senantiasa selalu mendukung dan

mendoakan penulis .

8. Untuk seseorang yang selalu menyemangati danmendukung

penulis supaya segera lulus.

xii
9. Teman-teman Magister Kenotariatan Angkatan ke XVII, terima

kasih untuk kebersamaan, selama menuntut ilmu di Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya.

10. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan fikiran dan

tenaganya baik diberikan secara langsung maupun tidak

langsung.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan dalam tesis ini, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik

yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Harapan penulis semoga tesis ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua , Aamiin.

Surabaya, 2020

SAFIRA RIZA RAHMANI

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………….. i

LEMBAR PERSYARATAN GELAR…………………………………………………… ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING DAN KAPRODI………………………….. iii

SURAT PERNYATAAN………………………………………………………………… Iv

ABSTRAK……………………………………………………………………………….. V

RINGKASAN…………………………………………………………………………….. Viii

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….. Xi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….... Xiv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….....

1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….. 6

1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………….. 7

1.4.1. Manfaat Teoritis…………………………………………………………… 7

1.4.2. Manfaat Praktis……………………………………………………………. 7

1.5. Orisinalitas Penelitian…………………………………………………………… 8

1.6. Tinjauan Pustaka………………………………………………………………… 9

1.6.1. Teori Keseimbangan……………………………………………………… 9

1.6.2. Konsep kewenangan………………………………………………………. 12

1.7. Metode Penelitian……………………………………………………………….. 14

1.7.1. Tipe Penelitian……………………………………………………………. 14

1.7.2. Pendekatan Masalah……………………………………………………… 15

xiv
1.7.3. Sumber Bahan Hukum…………………………………………………… 18

1.7.4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum………………… 18

1.7.5. Analisis Bahan Hukum…………………………………………………… 18

1.8. Sistematika Penulisan…………………………………………………………… 19

BAB II

KOMPETENSI ABSOLUT BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM

MEMUTUS SENGKETA KERUGIAN KONSUMEN

2.1 Ratio Legis Pembentukan Undang – Undang Perlindungan Konsumen………… 21

2.2 Sengketa Kerugian Konsumen Berdasarkan …………………………………….. 27

Undang-Undang Perlindungan Konsumen

2.3. Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa …………………………………… 35

Konsumen Dalam Menyelesaikan Perkara

Sengketa Kerugian Konsumen

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN

BERUPA HAK TANGGUNGAN MELALUI BPSK

3.1. Karakteristik Perjanjian Kredit dan Akta Pemberian .................................. 58

Hak Tanggungan

3.2. Akibat Hukum Nasabah Debitur Wanprestasi Terhadap …………………….. 79

Isi Perjanjian

3.3 Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …………………….. 83

Dalam Sengketa Perjanjian Kredit

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………… 101

xv
4.2 Saran……………………………………………………….…………………….. 102

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR BACAAN

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perjanjian kredit merupakan salah satu macam perjanjian yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan, kredit diberikan kepada nasabah debitur oleh bank

dengan jangka waktu dan bunga yang telah disepakati oleh para pihak. Merujuk

pada Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Kredit

adalah:

“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.”
Bank selaku kreditur dapat meminta agunan atau jaminan, konsep Jaminan

adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk memberikan

keyakinan kepada kreditur bahwa debitur akan membayar hutangnya sesuai dengan

yang di perjanjikan1. Bentuk jaminan dapat berupa Hak Tanggungan untuk benda-

benda tidak bergerak seperti tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah

yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah.

1
Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, Liberty,
Yogyakarta, 1986, h.31

1
Pelaksanaan isi perjanjian dapat dimungkinkan mengalami kendala yang

sering timbul dalam pelaksanaan perjanjian kredit seperti debitur lalai untuk

melakukan kewajibannya atau yang biasanya disebut wanprestasi. Bentuk kelalaian

dapat berupa terlambat atau tidak dapat dibayarkannya bunga angsuran serta biaya

lain. Fakta yang sering kali terjadi dilapangan adalah debitur terlambat dalam

melakukan pembayaran baik cicilan maupun bunga.

Demi menjaga kondisi keuangan bank yang stabil, apabila telah melewati

peringatan tertentu namun debitur tidak dapat membayar angsuran, maka bank

dapat melelang agunan tersebut. Tidak semua debitur sebagai pemilik hak atas

tanah merelakan obyek agunan di lelang oleh bank. Dengan kondisi tersebut debitur

akan mencari cara agar bank tidak melelang obyek jaminan tersebut atau jika perlu

perjanjian kredit batal demi hukum. Salah satu cara yang ditempuh debitur untuk

membatalkan perjanjian kredit dan usaha untuk menggagalkan upaya hukum lelang

jaminan hak tanggungan ialah melalui pengaduan kepada Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen di tingkat kabupaten/ kota.

Dalam hal ini BPSK menerima aduan tersebut dengan berpedoman pada UU

No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut UU

Perlinkos) dengan asumsi nasabah debitur ialah konsumen atas jasa yang diberikan

bank berupa fasilitas kredit. Tindakan pembatalan perjanjian kredit / perjanjian hak

tanggungan merupakan perbuatan melanggar hukum oleh debitur dan merugikan

pihak kreditur dan notaris selaku pejabat yang membuat akta perjanjian kredit/ hak

tanggungan tersebut.

2
BPSK telah memutus sengketa yang lahir dari perjanjian kredit telah

diputus sebagaimana putusan BPSK No. 57/Arbitrase/BPSK-BB/I/2017 tanggal 4

Mei 2016 dengan duduk perkara Kamarudin sinaga selaku debitur dan PT. Bank

Mandiri Cabang Pematang Siantar selaku kreditur, hubungan hukum kedua belah

pihak merupakan hutang piutang secara kredit yang didasarkan atas sebuah

Perjanjian Kredit yang didasarkan atas sebuah perjanjian kredit modal kerja Nomor

CRO.PMS/0056/KMK/2013 tanggal 11 Juni 2013 beserta addendum-addendumnya

karena terjadinya wanprestasi oleh debitur dalam pembayaran hutangnya kepada

kreditur, menimbulkan hak eksekusi bagi kreditur atas harta jaminan kreditur

berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 104 Desa/Kel Timbaan, berupa

sebidang tanah pertanian seluas 5.862 m², Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 102

Desa/Kel Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian seluas 6.500 m² (enam ribu

lima ratus meter persegi) Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 101 Desa/Kel

Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian seluas 1.871 m² (seribu delapan ratus

tujuh puluh satu meter persegi), Serta Sertifikat Hak Milik (SHM) dan/atau surat-

surat lainnya yang agunan/jaminan konsumen/Kamaruddin Sinaga kepada pelaku

usaha/PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.

Tindakan wanprestasi yang dilakukan debitur mengakibatkan bank akan

melakukan lelang eksekusi terhadap barang jaminan tersebut, upaya hukum yang

dilakukan oleh debitur dengan cara menggugat bank / kreditur melalui BPSK. Inti

dari amar putusan Putusan Nomor 57/Arbitrase/BPSK-BB/I/2017 tanggal 4 Mei

2016 :

3
Mengabulkan permohonan konsumen seluruhnya, Menyatakan ada kerugian

dipihak konsumen, Menyatakan pelaku usaha yang tidak pernah memberikan

dokumen salinan/fotocopy perjanjian kredit yang mengikat diri antara konsumen

dengan pelaku usaha seperti Akta Perjanjian Kredit, Polis Asuransi dan Akta

Pemberian Hak Tanggungan maupun lainnya adalah merupakan perbuatan

melawan hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, Menyatakan perjanjian kredit modal kerja

sebagaimana yang telah dibuat dan ditandatangani bersama antara konsumen

dengan pelaku usaha adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum

yang mengikat, Menyatakan konsumen telah beritikad baik dalam melaksanakan

kewajibannya kepada pelaku usaha yaitu dengan membayar angsuran suku bunga

pinjaman kredit setiap perbulannya kepada pelaku usaha, Menyatakan pelaku usaha

yang akan dan/atau telah melakukan lelang eksekusi hak tanggungan dimuka umum

atas agunan yang menjadi jaminan pembayaran kembali atas fasilitas pinjaman

kredit yang telah diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen yaitu dengan

melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)

Pematang Siantar, yaitu berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 104 Desa/Kel

Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian seluas 5.862 m².

Terhadap putusan BPSK tersebut PT. Bank Mandiri (cabang Pematang

Siantar) telah melakukan keberatan terhadap putusan BPSK tersebut dihadapan

Pengadilan Negeri Simalungun 42/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN.Sim., tanggal 11 Juli

2017 yang amarnya yakni :

4
Mengabulkan Permohonan Keberatan dari Pemohon Keberatan untuk seluruhnya,

Membatalkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Kabupaten Batu Bara Nomor 57/Arbitrase/BPSK-BB/I/2017 tertanggal 4 Mei 2017,

Menyatakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Batu

Bara tidak berwenang mengadili perkara ini.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut, debitur

melakukan upaya hukum lain yakni kasasi yang telah diputus dengan putusan

Nomor 79 K/Pdt.Sus-BPSK/2018 dengan amar putusan Menolak permohonan

kasasi dari Pemohon Kasasi (debitur) dengan pertimbangan hukum :

“suatu sengketa antara pihak-pihak yang hubungan hukumnya didasari oleh sebuah

perjanjian yang dengan adanya wanprestasi atas perjanjian tersebut maka yang

berwenang memeriksa dan mengadilinya adalan Pengadilan Negeri, bukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), lagi pula tidak ada kesepakatan pilihan

hukum (klausula arbitrase) dalam perjanjian kredit tersebut yang memilih Arbitrase

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaiannya maka

putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 42/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN.Sim.,

tanggal 11 Juli 2017 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau

undang-undang.

Dalam kasus tersebut majelis hakim pada Pengadilan Negeri Simalungun

dan Majelis hakim pada Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa sengketa yang

lahir dari perjanjian kredit bukanlah obyek sengketa konsumen. Beberapa putusan

5
kasasi terhadap kasus sejenis seperti dalam putusan Nomor 334 K/Pdt.Sus-

BPSK/2013, 238 K/Pdt.Sus/2011, 549 K/Pdt.Sus-BPSK/2015, 770 K/Pdt.Sus-

BPSK/2015, 1403 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 955 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1301

K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1475 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1040 K/Pdt.Sus-BPSK/2017,

K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1290 K/Pdt.Sus-BPSK/2017,168 K/Pdt.Sus-BPSK/2018,

169K/Pdt.Sus-BPSK/2018, 84K/Pdt.Sus-BPSK/2018 yang akan dikaji lebih lanjut

dalam pembahasan.

Dengan adanya kasus sejenis yang telah diputus hingga tingkat kasasi

melahirkan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1/YUR/PERKONS/2018, adapun

kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut disebutkan bahwa sengketa yang timbul

dari perjanjian pembiayaan dan kredit dengan hak tanggungan tidak tunduk pada

UU Perlindungan Konsumen sehingga bukan kewenangan BPSK. Atas

permasalahan hukum sebagaimana yang diuraikan diatas, penulis tertarik untuk

lebih dalam meneliti Kompetensi absolut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

dalam memutus sengketa kerugian konsumen dan penyelesaian sengketa perjanjian

kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan melalui BPSK. Terhadap isu hukum

diatas, peneliti mengambil judul Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen atas sengketa perjanjian kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah

yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

6
1. Kompetensi absolut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam

memutus sengketa kerugian konsumen

2. Penyelesaian sengketa perjanjian kredit dengan jaminan berupa hak

tanggungan melalui BPSK.

1.3 Tujuan Penelitian

1) Untuk menganalisis dan mengkaji kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dalam menyelesaikan sengketa kerugian konsumen

2) Untuk menganalisis akibat hukum gugatan debitur wanprestasi atas isi perjanjian

kredit dengan jaminan hak tanggungan terhadap kreditur melalui BPSK Manfaat

Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum khusunya ilmu hukum

perdata guna menambah wawasan kita mengenai pemahaman mengenai

hukum dan penerapan dalam praktik

1.4.2 Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu kenotariatan khususnya

mengenai praktik perbankan dan perjanjian kredit / pembiayaan

1.4.3 Manfaat Praktis

Sebagai pertimbangan bagi pihak – pihak yang berkepentingan dalam

memutus suatu perkara sejenis

7
1.5 Orisinalitas Penelitian

Peneliti mencari referensi-referensi penelitian dalam bentuk tesis yang

membahas tentang Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Atas

Sengketa Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Hak Tanggungan dari sekian

banyak pencarian judul penelitian yang serupa dan juga peneliti mencari alat ukur

untuk mengukur originalitas penelitian. Hingga saat penelitian ini disusun peneliti

belum menemukan judul serupa, adapun alat ukur yang dipakai oleh peneliti

berasal dari Estelle Phillips. Berikut ini dikemukakan pendapat Estelle Phillips

mengenai ukuran originalitas penelitian yang meliputi:2

a. Saying something nobody has said before;


b. Carrying out empirical work that hasn’t been done made before;
c. Making a synthesis that hasn’t been made before;
d. Using already know material but with a new interpretation;
e. Trying out something in this country that has previously only been done
in other countries;
f. Taking a particular technique and applying it in a new area;
g. Bringing new evidence to bear on an old issue;
h. Being cross-diciplinary and using different methodologies;
i. Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in a way no one
else has;
j. Looking at areas that people in your discipline haven’t looked at before;
k. Adding to knowledge in a way that hasn’t previously been done before;
l. Looking at existing knowledge and testing it;
m. Playing with words. Putting thing together in ways other haven’t.

Pendapat Estelle Phillips tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut:

a. Mengemukakan sesuatu yang belum pernah dikemukakan sebelumnya;


b. Menyelesaikan pekerjaan empiris yang belum terselesaikan sebelumnya;
c. Membuat sintesa yang tidak pernah dibuat sebelumnya;

2
Estelle Phillips dalam Rusdianto S, Prinsip Kesatuan Hukum Nasional Dalam
Pembentukan Produk Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Khusus atau Sementara,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2016.

8
d. Menggunakan materi yang sama namun dengan pendekatan lain;
e. Mencoba sesuatu di Negara-negaranya terhadap sesuatu yang telah
diterapkan di Negara lain;
f. Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di bidang baru;
g. Menggunakan bukti baru untuk menyelesaikan masalah lama;
h. Menjada ilmu interdisipliner dan menggunakan metodologi yang berbeda
dengan metodologi sebelumnya;
i. Mengambil gagasan orang lain dan menafsirkannya kembali dengan cara
yang berbeda;
j. Menunjukkan sesuatu yang baru dari disiplin ilmu si peneliti yang belum
pernah ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya;
k. Menambah pengetahuan yang belum pernah dilakukan sebelumnya;
l. Melihat pengetahuan yang ada saat ini dan mengujinya;
m. Menjelaskan/ menguraikan kata-kata. Kata-kata yang diuraikan tersebut
kemudian disusun dengan cara lain yang belum pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya.

Berdasarkan pendapat Estelle Phillips mengenai ukuran originalitas

penelitian, hingga saat penelitian ini disusun peneliti belum menemukan

penelitian hukum yang serupa dan sama sehingga dapat disimpulkan bahwa

penelitian hukum dengan judul Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen atas sengketa perjanjian kredit dengan jaminan berupa hak

tanggungan merupakan penelitian hukum baru.

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Teori Keseimbangan

Teori keseimbangan dipelopori oleh Roscoe Pound, menurut pound

hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis analitis,

semestinya bahwa hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata yaitu dunia

sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan yang saling

bersaing. Touri pound lahir didasarkan kondisi awal di mana struktu suatu

9
masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang imbang, dengan

demikian pound berpandangan bahwa kepentingan struktuural itu perlu ditata

ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional . maka pound

memunculkan teori tentang law as a tool of social engineering, dengan

maksud bahwa menata kepentingan yang ada di dalam masyarakat. 3

Kepentingan harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang

proporsional, yang pada gilirannya akan memeberi manfaat sedemikian rupa

hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan

seminimum mungkin menghindari benturan dan pemborosan, kepetingan

terdiri atas kepentingan umum, sosial dan kepentingan pribadi. Kepentingan

umum terdiri dari kepentingan negara sebagai badan hukum dalam

mempertahankan kepribadian dan hakikatnya.

Pound merumuskan postulat – postulat hukum yang disebutnya dengan

beradab, dalam konsep yang demikian setiap orang harus berpegang pada

asumsi bahwa :

a. Orang lain tidak akan melakukan penyerangan yang sewenang -

wenangnya terhadap dirinya

b. Tiap orang dapat menguasai apa yang mereka peroleh dalam tata tertib

sosial dan ekonomi yang ada dan menggunakannya untuk kepentingan

mereka sendiri

c. Orang lain akan bertindak dengan etikad baik sehingga akan memenuhi

3
Bernard L Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, KITA, Surabaya, 2007, H. 180

10
apa yang diharapkan

d. Ada jaminan bahwa setiap orang akan mengembalikan secara sepadan

apa yang mereka peroleh secara tidak wajar yang merugikan orang lain

e. Setiap orang akan bertindak sangat hati-hati agar tidak menimbulkan

kerugian bagi pihak lain

Fokus utama pound dengan konsep social engineering adalah interest

balancing dan karenannya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum

yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju.

Bagi pound antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang

fungsional dan karenanya hukum terletak pada karya yang dihasilkan bagi

dunia sosial . maka tujuan utama dalam social engineering bermakna

penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan

masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan

yang diinginkan. Hukum tidak lagi dilihat sekedar sebagai sistem pengaturan

untuk mencapai tujuan tertentu secara terencana

Mekanisme perubahan sosial merupakan suatu proses yang terencana

dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh atau bahkan memaksa

anggota masyarakat menaati aturan. Atas dasar itu penggunaan hukum

modern senantiasa diarahkan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan

demi menciptakan keadaan yang baru dan tidak lagi sekedar merekam

kembali polah tingkah laku masyarakat.

Terkait dengan filosofi pembentukan Undang-Undang Perlindungan

11
konsumen yang menganut asas keseimbangan ialah dimaksudkan untuk

memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha dan

pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4asas keseimbangan berkaitan

dengan asas keadilan, yakni keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak

yaitu konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Keseimbangan perlindungan

antara pelaku usaha dan konsumenmerupakan fungsi hukum yang roscoe

pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan

menyeimbangkan kepentingan kepentingan yang ada dalam masyarakat atau

sebagai control sosial, dengan berlandaskan teori keseimbangan ini

diharapkan hak dan kewajiban pelaku usaha maupun konsumen seimbang

dan menjadi pertimbangan dalam melakukan pengawasan dan penegakan

hukum perlindungan konsumen oleh Pemerintah.

1.6.2 Teori Kewenangan

Teori kewenangan dikemukakan oleh P Nicolai yang berpendapat

bahwa kewenangan ( bevoegdheid/ competence/ legal power) merupakan

kekuasaan yang sah menurut hukum atau kekuasaan hukum suatu jabatan

dan mengandung arti kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan

hukum tertentu serta bersumber pada undang-undang atau peraturan

perundnag-undangan yang berlaku. Setiap tindakan pemerintah harus

bedasarkan peraturan perundang-undangan atau bedasarkan pada

kewenangan yang diberlakan oleh peraturan perundnag-undnagan yang

4
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo,
Jakarta, 2004, h.25

12
berlaku.

Tanpa dasar undang-undang pemerintah tidak memiliki kewenangan

yang bersifat memaksa. Dalam praktik dan perkembangannya tindakan

pemerintah itu tidak semata-mata harus bedasarkan wewenang yang

diberikan undang-undang tetapi harus memperhatikan asas umum

pemerintahan yang baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan

atau pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan jika tanpa kewenangan atau

tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan maka perbuatan hukum

atau pelaksanaannya tidak sah.

Menurut A.D. Belinfante menyebutkan bahwa kewenangan dalam

melakukan perbuatan hukum atau pelaksanaan tugas dan fungsi

pemerintahan merupakan syarat utama keabsahan perbuatan hukum

tersebut. Dalam tartan negara hukum setiap tindakan hukum pemerintah

hanya dapat dilakukan dalam hal dan dengan cara yang telah diatur dan

diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan bedasarkan

wewenang5

Menurut Philipus M Hadjon bahwa norma tentang wewenang dapat

diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat. Orang atau badan hukum

perdata yang tidak memperoleh wewenang melalui salah satu cara tersebut

dengan sendirinya tidak mempunyai wewenang. Atribusi adalah wewenang

yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu. Delegasi adalah

5
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, Fh UII
Press, Yogyakarta, 2008, h.42

13
pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan ke organ

lainnya. 6

Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, Mandat. Atribusi

diperoleh melalui kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau dari undang-undang,

merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada. Atribusi diberikan

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, maka

tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan Atribusi tidak dapat

didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 atau undang-undang.

Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui

delegasi apabila diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan kepada badan

dan/atau pejabat pemerintahan lainnya, ditetapkan dalam peraturan

pemerintah, peraturan presiden, dan/atau peraturan daerah, merupakan

wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. kewenangan yang

didelegasikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak dapat

didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan

perundang-undangan.

1.7 Metode Penelitian

6
Philipus M Hadjon, Hukum Administrasi Sebagai Instrumen Hukum untuk
Mewujudkan Good Governance, Trisakti, Jakarta, 2010, h. 42

14
1.7.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian pada penelitian hukum ini adalah penelitian hukum

normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang

dihadapi.7Peneliti menggunakan tipe penelitian normatif karena penelitian ini

guna menemukan koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai dengan norma

hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai

dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma

hukum atau prinsip hukum.8 Sebagaimana penelitian ini guna menemukan.

1.7.2 Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tiga metode pendekatan

masalah yaitu, diantaranya pendekatan perundang-undangan, pendekatan

konseptual, dan pendekatan kasus.

1. Pendekatan Perundangan-Undangan (statute approach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.9Pendekatan

perundang-undangan diperlukan guna mengkaji lebih lanjut mengenai

Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atas sengketa

7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2011 (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), Hlm 35.
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group,
2014 (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III), Hlm. 47.
9
Ibid, Hlm. 133.

15
perjanjian kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan. Peneliti

menggunakan beberapa peraturan terkait yakni:

a. Burgerlijk Wetboek

b.Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah

d.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan

e. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen

f. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian

Sengketa

g.Undang-Undang No 48 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

h.Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan

i. Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen

j. Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan

16
k. Putusan Kasasi Nomor 334 K/Pdt.Sus-BPSK/2013, 238

K/Pdt.Sus/2011, 549 K/Pdt.Sus-BPSK/2015, 770 K/Pdt.Sus-

BPSK/2015, 1403 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 955 K/Pdt.Sus-

BPSK/2017, 1301 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1475 K/Pdt.Sus-

BPSK/2017, 1040 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, K/Pdt.Sus-BPSK/2017,

1290 K/Pdt.Sus-BPSK/2017,168 K/Pdt.Sus-BPSK/2018,

169K/Pdt.Sus-BPSK/2018, 84K/Pdt.Sus-BPSK/2018

l. yurisprudensi Mahkamah Agung No 1/Yur/Perkons/2018

serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan isu

hukum yang sedang diteliti

2. Pendekatan Konseptual (conseptual approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan - pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti

akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang dihadapi.10Pada pendekatan konseptual, akan dapat ditemukan

konsep baru sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu menganalisa

Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atas sengketa

perjanjian kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan Rumusan

masalah tersebut kemudian akan dianalisis dengan konsep dan teori yang

10
Ibid, hlm. 135-136.

17
telah ada sebelumnya.

3. Pendekatan Kasus (case approach)

Melalui pendekatan kasus, peneliti mencoba membangun argumentasi

hukum dalam perspektif kasus konkrit yang terjadi dilapangan, tentunya

kasus tersebut berkaitan dengan kasus – kasus yang diteliti. Dalam

penelitian ini, penulis mengkaji lebih lanjut mengenai putusan yang

menjadi rujukan penelitian

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sumber bahan hukum, diantaranya:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11bahan

hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya:

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.12 Pada penelitian ini, bahan

hukum sekunder yang digunakan meliputi: buku-buku di bidang hukum,

11
Ibid, hlm. 181.
12
Ibid.

18
makalah-makalah, artikel-artikel, dan tesis.

1.7.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini dilakukan dengan

cara mengumpulkan bahan hukum baik primer maupun sekunder yang

berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti dan kemudian di analisa

1.7.5 Analisis Bahan Hukum

Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M.

Hadjon memaparkan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan

oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan

premis mayor (bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat

khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion.13 Pada penelitian ini, analisis bahan hukum yang digunakan

adalah dengan cara deduktif, yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat

umum kemudian menariknya menjadi khusus.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada tesis ini, peneliti membagi menjadi empat bagian

sebagai berikut:

Bab I pendahuluan menguraikan latar belakang pemikiran dasar dari peneliti

mengenai fakta hukum melahirkan isu hukum yang akan diteliti. Isu hukum yang

timbul dari fakta hukum tersebut kemudian dirumuskan ke dalam rumusan masalah.

Dari rumusan masalah, timbul tujuan penelitian ini dilakukan dengan manfaat

13
Peter Mahmud Marzuki II, op. cit., hlm 14.

19
penelitian yang akan dirasakan bagi kepentingan akademis dan kepentingan praktisi.

Kemudian diterangkan metode penelitian yang digunakan peneliti untuk

menganalisis guna menentukan hasil penelitian. Setelah itu sistematika penulisan

yang menjelaskan gambaran umum dari penelitian yang akan ditulis oleh peneliti.

Bab II, membahas rumusan masalah pertama yaitu Kompetensi absolut Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memutus sengketa kerugian konsumen

Bab III membahas rumusan masalah kedua yaitu penyelesaian sengketa perjanjian

kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan melalui BPSK.

Bab IV, penutup yang terdiri dari simpulan atas pembahasan dari rumusan masalah

pertama dan kedua, kemudian disebutkan saran atas pokok permasalahan dari

penelitian yang diteliti demi kemajuan akademis dan praktis.

20
BAB II

KOMPETENSI ABSOLUT BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

KONSUMEN DALAM MEMUTUS SENGKETA KERUGIAN KONSUMEN

2.1 Ratio Legis Pembentukan Undang – Undang Perlindungan Konsumen

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang tercantum dalam rumusan

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. dalam hukum dikenal istilah rechtsstaat

yang diartikan sebagai negara hukum.14 Negara hukum memiliki beberapa istilah

seperti the rule of law. Negara hukum memiliki beberapa istilah seperti legislation,

wetgeving, atau gesetzgebung, atau perundang-undangan yang mempunyai

beberapa makna, yaitu:15

a. proses pembentukan peraturan-peraturan negara pada pemerintah pusat

maupun di pemerintah daerah

b. semua peraturan perundangan-undangan yang merupakan hasil prolegnas

atau prolegda

Menurut pendapat Hans Kelsen disebutkan bahwa terdapat jenjang norma atau

terdapat lapisan dalam tingkatan norma. Maksud dari ungkapan tersebut bahwa,

norma hukum yang dibawah tingkatan berlaku dan bersumber dari norma yang

14
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang
Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya, Bina Ilmu, 1987,
hlm.30.
15
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hlm. 3.

21
tingkatanya lebih tinggi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma

tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm). Aturan hukum dibentuk

oleh lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundnag-undangan dengan

cara norma pada tingkatan dibawahnya merujuk pada aturan yang lebih tinggi pada

akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu

Hierarki.16

Beberapa Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hirarki

peraturan perundang-undangan seperti TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, TAP

MPR Nomor III/MPR/2000 tentang tata urutan Perundang-Undangan, Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Merujuk pada Pasal 7 (1) dalam UU PPP bahwa terdapat hirarki dalam

peraturan perundang-undangan yang terdiri atas :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) TAP MPR;

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ;

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah ( Provinsi/ Kabupaten/ Kota

Berkaitan dengan dasar pembuatan peraturan perundang – undangan,

terdapat istilah hukum yakni Ratio legis yakni alasan pertimbangan mengapa

16
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, h. 14-15.

22
diperlukan ketentuan seperti itu dalam undang-undang, sedangkan dasar Ontologis

merupakan alasan tujuan lahirnya undang-undang tersebut. Ratio legis dapat

ditemukan di konsideran suatu peraturan perundang-undangan dan penjelasan

umum. Berkaitan dengan dasar pemikiran atau ratio legis pembentukan peraturan

perundang-undangan bahwa konsumen barang atau jasa memerlukan suatu aturan

tertulis yang dimulai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Pada era tahun 1970 konsumen lebih cenderung mengkonsumsi barang atau produk

impor dengan alasan bahwa produk dalam negeri yang tidak sebanding kualitasnya

dengan produk impor.

Dengan adanya kegiatan ekspor impor, petinggi YLKI memutuskan untuk

bergabung dengan International Organization of Consumer’s Union – IOCU

sekitar tahun 1974, dan saat ini organisasi tersebut dikenal dengan nama Consumers

International (CI). Pada tahun 1980 YLKI memutuskan untuk mengajak masyarakat

untuk terlibat secara langsung dalam upaya sosialiasi mengenai perlindungan

konsumen dan memperkuat jaringan guna menunjang kegiatan perlindungan

konsumen. Untuk mensosialisasikan mengenai perlindungan konsumen, YLKI

membentuk suatu networking tentang pengembangan institusi dan sosialisasi

mengenai hak konsumen menurut CI.

Selain itu YLKI berperan untuk memberi masukan kepada Pemerintah

mengenai urgensi Undang-undang Perlindungan konsumen. Sebagai contoh, kasus

konsumen pada tahun 1992 terdapat kasus yang melibatkan YLKI sebagai

penengah atas masalah pembeli rumah dengan PT. KSI. Pada awalnya PT. KSI

23
menyebarkan brosur yang berisikan iklan perumahan dengan fasilitas kolam

pemancingan dan fasilitas rekreasi lainnya. Setelah unit rumah terjual, fasilitas yang

dijanjikan tersebut tidak dipenuhi oleh pengembang / PT. KSI melainkan pada

lokasi tersebut dibangun rumah-rumah yang akan diperjual belikan dengan alas an

kolam pemancingan/ tempat rekreasi tidak profit bagi pengembang. Atas kerugian

tersebut konsumen melaporkan PT. KSI melalui YLKI 17

Dengan kasus – kasus sejenis, YLKI bersama pemerintah membuat konsep

perlindungan konsumen dengan dasar pemikiran bahwa untuk memajukan

perkenomian negara pada bidang perindustrian dan perdagangan guna

menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi dengan

mempertimbangkan kualitas barang/jasa yang diperjualbelikan. Selain itu untuk

menghadapi perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi

telekomunikasi dan informatika yang bertujuan untuk memperluas pemasaran

barang dan/atau jasa ke suluruh negara di dunia, sehingga akan terdapat variasi

barang atau jasa dalam suatu pasar dan memberikan opsi pilihan kepada konsumen

dalam negeri maupun luar negeri.

Perdagangan bebas tidak hanya memberikan dampak negatif namun

memberikan dampak positif bagi produsen maupun konsumen dalam negeri. Dari

sisi konsumen akan diuntungkan karena kebutuhan konsumen akan barang atau jasa

yang diinginkan dapat terpenuhi dengan beraneka ragamnya barang akan semakin

terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka produk sesuai dengan keinginan dan

17
Yusuf Shofie, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Adi Bakti,
bandung, 2008, h.2

24
kemampuan konsumen. Dampak persaingan bisnis mengakibatkan

ketidakseimbangan kedudukan pelaku usaha dan konsumen, terhadap kondisi ini

konsumen akan menjadi sasaran utama bagi pelaku usaha untuk menjadi sasaran

bisnis yang bertujuan untuk mendapat keuntungan yang besar oleh pelaku usaha

melalui cara promosi, penjualan, dan penggunaan perjanjian baku yang dapat

merugikan konsumen. Konsumen selaku pihak sasaran bagi pelaku usaha memiliki

kelemahan konsumen, adapun kelemahan konsumen berupa pemahaman mengenai

perlindungan hukum terhadap hak konsumen yang masih rendah dengan

dipengaruhi oleh faktor rendahnya pendidikan konsumen.

Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa untuk menghindari

tindakan yang merugikan konsumen perlu di undangkan peraturan di bidang

perlindungan konsumen yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah dan

stakeholder untuk melakukan upaya perlindungan konsumen melalui cara

pembinaan dan pendidikan konsumen. Langkah tersebut merupakan tindakan yang

wajib dilakukan. Peraturan hukum dibidang perlindungan konsumen tidak

bertujuan untuk melemahkan kegiatan bisnis bagi para pelaku usaha, namun

bertujuan untuk membuat persaingan usaha yang sehat dengan memperhatikan

kualitas dan keamanan bagi konsumen.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen berlandasakan pada tujuan

pembangunan nasional yang bertujuan pada perlindungan hukum terhadap rakyat

25
Indonesia termasuk perlindungan konsumen. Ahmad Miru menjelaskan beberapa

asas hukum yang mendasari Undang-undang perlindungan konsumen seperti 18:

a. Asas Manfaat

Diharapkan dengan adanya UU Perlindungan Konsumen dapat

memberikan manfaat bagi para pihak baik produsen barang/jasa dan

konsumen

b. Asas keadilan

Diharapkan antara pelaku usaha serta konsumen mendapatkan keadilan

dihadapan hukum

c. Asas Keseimbangan

UU Perlindungan Konsumen dibentuk dengan landasan teori

keseimbangan yang melahirkan proporsionalitas anatra konsumen dan

produsen

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

UU Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan jaminan

kepada konsumen dan pelaku usaha demi menjaga kualitas jasa/ barang

yang diperjual belikan

Pembentuk UU Perlinkos mengacu pada Pasal 33 UUD NRI 1945 yang

berpendapat bahwa Perlindungan Konsumen dengan rumusan bahwa Perekonomian

suatu negara disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

18
Ahmad Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo,
Jakarta, 2004, h.25

26
Selain ke empat pasal tersebut, pembentuk undang-undang mengacu beberapa

peraturan perundang-undangan diantaranya :

a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang

b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;

c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;

d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The

World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia);

f. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;

g. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;

h. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

i. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2.2 Sengketa Kerugian Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen

Perlindungan hak dan kewajiban konsumen sangatlah penting dilaksanakan

dalam rangka perlindungan warga negara Indonesia. konsep mengenai

Perlindungan konsumen dalam UU Perlinkos adalah semua upaya yang dilakukan

untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam rangka pemberian perlindungan

kepada konsumen. Merujuk pada Undang-Undang Perlindungan konsumen terdapat

beberapa stakeholder diantaranya ialah konsumen dan pelaku usaha. Konsep

27
Konsumen dalam pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen merupakan setiap

orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, untuk

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup dan tidak

untuk diperdagangkan.

Berkaitan dalam konsep konsumen dalam UU Perlinkos disebutkan

mengenai tujuan mengenai UU Perlinkos yang memberi kepastian hukum kepada

konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat

melalui undang-undang khusus, dan memberi kepastian agar pelaku usaha tidak

bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.19

Stakeholder lain selain konsumen ialah pelaku usaha, konsep pelaku usaha dalam

UU Perlinkos merupakan setiap orang / badan usaha baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan di republik Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia serta melakukan kegiatan perdagangan di dalam

wilayah hukum NKRI.

Pelaku usaha dapat melakukan kegiatan bisnis secara mandiri ataupun

berkerjasama dengan pihak lain melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi. Setiap subyek hukum memiliki hak dan

kewajiban, begitu pula dengan konsumen yang memiliki hak dan kewajiban sesuai

dengan tujuan hukum yang diciptakan sebagai sarana pelindung hak atau

kepentingan individu. Hak – hak tersebut merupakan hak yang melekat pada setiap

individu yang diatur dalam konstitusi/ UUD NRI 1945. Untuk menjamin hak

19
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008,
h.4

28
konsumen maka diaturlah hak konsumen sebagaimana dalam Pasal 4 UU Perlinkos

diantaranya ialah hak berupa:

a. Hak atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan suatu barang atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa

c. Hak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa dengan jaminan yang diberikan

oleh pelaku usaha

d. Hak untuk mendapat informasi yang sesuai dengan kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa;

e. Hak untuk didengar pendapat atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

f. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan hukum, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen bedasarkan peraturan perundang undangan;

g. Hak mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

h. Hak untuk mendapatkan persamaan dihadapan hukum / tidak diskriminatif;

i. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

Hukum tidak hanya mengatur mengenai kepastian akan hak konsumen tanpa

memberikan aturan mengenai kewajiban konsumen, maka untuk menjaga

proposionalitas antara konsumen dengan pelaku usaha, dalam Pasal 5 UU Perlinkos

disebutkan bahwa konsumen memiliki kewajiban yakni :

29
a. membaca /mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

Pelaku usaha selaku investor yang membantu perekonomian Negara membutuhkan

jaminan kepastian hukum terkait barang atau jasa yang diperjualbelikan. Undang-

Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak dan kewajiban pelaku

usaha, kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen

diantaranya adalah:

a. kewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan perdagangan

barang / jasa

b. Kewajiban untuk memberi informasi yang benar dan jelas berkaitan dengan

kondisi barang/ jasa yang diperdagangkan

c. Memberi informasi terkait dengan penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan barang

d. Memberikan pelayanan kepada konsumen dengan baik tidak diskriminatif

e. Memberikan jaminan mengenai kualitas mutu suatu barang berdasrkan

standar sesuai dengan ketentuan

30
f. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk pengujian terhadap barang yang

diperjualbelikan dan pemberian garansi

g. Pemberian kompensasi, ganti rugi akibat penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

h. kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa

yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain hak dan kewajiban, diatur pula mengenai perbuatan yang dilarang oleh

pelaku usaha sebagaimana dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen yakni pelaku

usaha dilarang:

a. memproduksi barang atau jasa yang tidak layak atau tidak sesuai dengan

standar yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan

b. Memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih

atau netto, dan jumlah sesuai dengan yang tercantum dalam label atau etiket

barang

c. Memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan ukuran atau takaran

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana dinyatakan

dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

d. Memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan mutu sebagaimana yang

tertera label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

31
e. Memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan

dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau

jasa tersebut

f. Memperdagangkan barang dengan tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa

atau jangka waktu maksimal penggunaan barang tersebut

g. Memperdagangkan barang yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi sesuai

standar halal yang tertuang dalam pernyataan / klausul / lebel halal

h. Pelaku usaha tidak memasang label atau tidak memberikan penjelesan yang

memuat barang sesuai dengan petunjuk penggunaan barang dalam bahasa

Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mempermudah proses bisnis dengan perjanjian anatara pelaku usaha

dan konsumen dapat digunakan perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh pelaku

usaha. Menurut UU Perlinkos definisi klausula Baku adalah setiap klausula yang

berisi aturan atau syarat yang terlebih dahulu dibuat/ dipersiapkan secara sepihak

oleh pelaku usaha dalam suatu dokumen / surat/ atau perjanjian yang berakibat

hukum mengikat bagi para pihak dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula baku

dilarang untuk dicantumkan hal-hal yang melanggar ketentuan peraturan

perundang-undnagan. Merujuk pada Pasal 18 UU Perlinkos mengatur larangan

pencantuman klausul mengenai:

a. Larangan pernyataan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Larangan penolakan barang yang telah dibeli oleh konsumen dengan syarat

terdapat cacat dalam suatu barang yang diperdagangkan

32
c. Larangan pencantuman klausula hak untuk penolakan terhadap uang yang telah

diberikan / dibayarkan atas barang diperdagangkan kepad konsumen dari pelaku

usaha

d. Larangan pencantuman klausula pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku

usaha baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal melakukan

tindakan hukum yang diperjualbelikan oleh produsen dengan cara angsuran.

e. Pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan klausula larangan untuk hak

pembuktian atas hilangnya manfaat barang

f. Larangan pencantuman pemberian hak kepada pelaku usaha memberi hak untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang

menjadi obyek jual beli jasa;

g. Larangan pencantuman pernyataan bahwa konsumen akan patuh terhadap aturan

yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha mengenai perjanjian baru atau

addendum atau perjanjian lain

Selain larangan dalam Pasal 18 ayat 1 UU Perlinkos, terdapat larangan lain

pada Pasal 18 ayat 2 UU Perlinkos yang mengatur mengenai larangan pelaku usaha

untuk membuat klausula baku yang letak /bentuknya sulit terlihat atau klausula

tersebut tidak dapat dibaca secara jelas, atau klausula yang pengungkapannya sulit

dimengerti. Ratio legis larangan tersebut untuk menghindari klausula yang

menjebak konsumen. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan Pasal 18 tersebut,

maka akan ada akibat hukum yang perjanjian tersebut batal demi hukum

sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 3 UU Perlinkos. Dengan adanya ketentuan dalam

33
Pasal 18 UU Perlinkos, maka hendaknya pelaku usaha menyesuaikan klausula baku

dalam perjanjian sesuai dengan UU Perlinkos.

Konsumen dalam mengkonsumsi barang/ jasa dari pelaku usaha dapat saja

mengalami kerugian materiil, adapun tindakan tersebut berupa pelanggaran

terhadap Pasal 8 UU Perlinkos yang disebutkan mengenai tindakan yang dilarang

atas kerugian yang dialami oleh konsumen dapat menyebabkan sengketa kerugian

konsumen. Konsumen diberikan hak untuk melayangkan gugatan yang ditujukan

kepada pelaku usaha melalui BPSK/ pengadilan yang berwenang. Terhadap bentuk

kerugian, dalam Pasal 19 UU Perlinkos menyatakan bahwa

“ pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau

kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan

atau diperdagangkan, adapun Ganti rugi tersebut dapat berupa :

a. pengembalian uang

b. penggantian barang atau jasa yang sejenis dan senilai dengan hara sesuai

dengan kesepakatan

c. perawatan kesehatan

d. pemberian santunan kepada konsumen dengan ketentuan yang telah

diteapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU Perlinkos memberikan waktu untuk mengajukan permohonan ganti rugi

atas kergian konsumen dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari pasca transaksi.

Tuntutan ganti rugi tersebut dapat hangus apabila pelaku usaha dapat membuktikan

34
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen dan bukan kesalahan

pelaku usaha. Dalam memasarkan produk yang akan diperdagangkan melalui

media, pelaku usaha wajib menyampaikan informasi yang sesuai dengan barang/

jasa yang diperdagangkan dan tidak boleh menyesatkan. Apabila terdapat kerugian

akibat iklan yang tidak sesuai, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas

kerugian tersebut sesuai Pasal 20 UU Perlinkos dengan rumusan bahwa pelaku

usaha yang bergerak pada bisnis periklanan bertanggung jawab atas iklan yang

dibuat dan ditayangkan dengan segala akibat hukum yang bersumber dari iklan

tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 23 UU Perlinkos bahwa Pelaku usaha yang

menolak atau tidak memberikan tanggapan dan tidak memenuhi tuntutan ganti rugi

konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4),

dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke

badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

2.3 Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan

Perkara Sengketa Kerugian Konsumen

Perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban para pihak dan sebagai pedoman

dalam menyelesaikan sengketa. Dalam pelaksanaan isi atau klausul perjanjian dapat

timbul permasalahan atau konflik dan berujung pada sengketa perdata. Sengketa

perdata dapat terjadi antara orang dengan orang, antara orang dengan badan hukum

atau badan usaha, orang dengan pemerintah. Konsep dari sengketa merupakan suatu

35
permasalahan hukum yang terjadi antara para pihak yang berselisih kepentingan

didalamnya dan harus diselesaikan para pihak.20 Sengketa berdasarkan pandangan

Agus Yudha Hernoko bahwa suatu sengketa atau konflik muncul sebagai akibat

dari beberapa hal, antara lain: 21

a. Scarce resource

kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan

konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah

kompetisi yang bermuara pada zero-sum game (satu pihak menang, yang

lain kalah);

b. Ambigious Jurisdictionts

kondisi atas klausul hak dan kewajiban yang dilanggar oleh para pihak/

salah satu pihak sehingga terdapat pihak yang dirugikan;

c. Intimacy

Hubungan dekat antara para pihak yang dapat menjadi konflik. Sengketa

atas dasar intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan

yang tidak memiliki pengalaman kenal satu sama lain;

20
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, h.34
21
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Prenadamedia Group, Jakarta, 2010, h.304

36
d. We-They Distinctions

terjadi atas diskriminasi antara para pihak yang sehingga para pihak

berselisih paham dengan berujung pada tuntutan untuk menciptakan

keadilan.

Dalam menyelesaiakan suatu sengketa, terdapat beberapa prinsip hukum dalam

hukum acara perdata yang berguna bagi hakim atau arbiter / mediator dalam

memutus perkara seperti:22

a. Hakim bersifat pasif

Asas ini mengandung makna bahwa ruang lingkup atau luas pokok perkara

yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh

hakim. Wajib hukumnya bagi hakim untuk mengadili seluruh gugatan dan

dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau

mengabulkan lebih dari apa yang dituntut.

b. Sidang pengadilan terbuka untuk umum

Pada prinsipnya setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan pemeriksaan

perkara melalui persidangan terbuka untuk umum. Apabila pemeriksaan

dilakukan secara tertutup ataupun putusan diucapkan dalam sidang yang

dinyatakan tidak terbuka untuk umum, maka akan berakibat hukum bahwa

22
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, Kencana, Surabaya, 2009, h.10

37
putusan tersebut tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum serta

mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, namun dapat

dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan. Sidang tertutup untuk

umum hanya digunakan untuk kasus tertentu. Hakim wajib untuk mendengar

keterangan dari para pihak yang bersengketa dan memperlakukan sama

dihadapan tanpa ada kesempatan berpendapat dari pihak lain.

c. Putusan harus disertai alasan

Asas ini berarti bahwa putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan

pertimbangan hukum yang menjelaskan mengenai dasar amar putusan .

apabila hakim pemeriksa perkara tidak mempertimbangkan tuntutan maka

putusan yang seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.

d. Tidak ada keharusan mewakilkan atau menguasakan jika merujuk pada HIR

para pihak tidak diwajibkan untuk memberikan kuasa pada penasehat hukum

dalam menyelesaikan perkaranya kepada orang lain. Kuasa hukum diperlukan

Jika par pihak merasa tidak dapat hadir dimuka hakim. Kuasa hukum

merupakan seseorang yang berprofesi sebagai advokat yang bertindak sebagai

kuasa hukum/ penerima kuasa dari pihak yang bersangkutan. Wajib

hukumnya bahwa hakim untuk melakukan pemeriksaan pada perkara

sengketa yang diperiksa olehnya dengan tidak adanya kuasa hukum .

38
e. Proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Asas ini mengandung makna bahwa proses persidangan harus dilakukan

dengan proses yang pasti, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit

sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4) yang

menyebutkan bahwa penyelesaian perkara dilakukan dengan metode yang

efisien dan efektif serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh para pihak

yang bersenketa. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

sebagaimana yang dimaksud tidak menyampingkan ketelitian dan kecermatan

untuk mencari kebenaran dan keadilan dalam penyelesaian perkara perdata di

pengadilan.

Penyelesaian sengketa perdata merujuk pada hukum acara perdata yang

berisikan norma-norma yang mengatur dapat berjalan/terlaksananya norma materiil

tersebut, norma ini disebut Hukum Acara Perdata. Hukum acara perdata di

Indonesia mengacu kepada beberapa peraturan seperti:

a. Het Herziene Indonesich Reglement untuk daerah Jawa dan Madura;

b. Rechtsreglement Buitengewesten/ Rbg atau Reglement untuk luar Jawa dan

Madura;

c. RV untuk golongan Eropa;

d. Burgerlijk Wetboek (BW)

e. Yurisprudensi

39
Yurisprudensi merupakan keputusan hakim sebelumnya yang dapat menjadi

acuan untuk hakim berikutnya dalam memutus suatu perkara terhadap perkara

yang hampir sama/sejenis tetapi tidak memutuskan dengan pertimbangan dan

keputusan yang sama;

f. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung;

Penyelesaian sengketa secara litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang

diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesunguhnya, dimana para pihak

memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang

bertentangan.23 Penyelesaian sengketa perdata melalui litigasi sesuai yang

tercantum dalam Pasal 50 Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Umum dengan rumusan bahwa pengadilan negeri memiliki tuga dan wewenang

untuk memutus dan menyelesaikan perkara pidana maupun perdata pada tingkat

pertama. Penyelesaian sengketa secara non litigasi dapat berupa arbitrase, mediasi,

konsiliasi, dan dapat melalui Badan Penyelesesaian sengketa Konsumen untuk

khasus mengenai sengketa kerugian konsumen.

Pengaturan mengenai arbitrase diatur dalam Undang - Undang Nomor 30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam

rumusan Pasal 1 (1) UU Arbitrase menyebutkan bahwa arbitrase adalah suatu

metode untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar peradilan umum yang

mendasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

23
Suyud Margono,Op.Cit, h. 23

40
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa secara non litigasi hanya diperuntukkan

bagi sengketa perdata sesuai dengan Pasal 6 (1) UU Arbitrase dan ADR, sifat

penyelesaian sengketa Sengketa secara non litigasi dengan mengutamakan itikad

baik antar para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi/

melalui pengadilan di Pengadilan Negeri. Pasal 6 ayat (2) UU Arbitrase dan ADR

menjelaskan bahwa Penyelesaian sengketa melalui cara alternatif penyelesaian

sengketa diselesaikan dengan metode yang dilaksanakan melalui pertemuan yang

dibuat secara langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas)

hari dan hasil dari penyelesaian sengketa secara non litigasi dibuat dalam sauatu

dokumen / akta.

Para pihak yang akan menggunakan jasa arbitrase dalam menyelesaikan

sengketa perdata wajib membuat / mencantumkan klausula penyelesaian sengketa

secara arbitrase. Maksud dari isi perjanjian arbitrase berdasarkan Pasal 1 ( 3) UU

Arbitrase dan ADR merupakan dokumen perjanjian yang tercantum mengenai

kepesepakatan para pihak secara tertulis mengenai penyelesaian sengketa melalui

arbitrase sebelum terjadinya sengketa atau setelah terjadinya sengketa. Apabila para

pihak sepakat menyelesaiakan perkara melalui arbitrase, akan berakibat hukum

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Para pihak yang memilih penyelesaian sengketa secara arbitrase diluar

ketentuan dalam perjanjian tertulis, maka para pihak dapat membuat akta notaris

mengenai tindakan persetujuan untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase

41
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 (1) UU Arbitrase dan ADR menyebutkan

bahwa tindakan hukum berkaitan dengan hal tersebut wajib dibuat dalam suatu

perjanjian tertulis yang dibuat dengan akta notariil oleh notaris dan ditandatangani

oleh para pihak yang memuat permasalahan yang disengketakan. Isi akta autentik

memuat beberapa klausula mengenai:

a. nama lengkap

b. tempat tinggal para pihak

c. nama lengkap arbiter

d. tempat tinggal arbiter

Atas perjanjian arbitrase tersebut maka arbiter berwenang untuk memutus

dalam amar putusannya mengenai hak dan kewajiban pihak yang bersengketa jika

dalam perjanjian aribtrasse atau akta autentik tersebut tidak diatur lebih lanjut.

Tidak semua sengkea hukum dapat diselesaikan melalui arbitrase, jenis sengketa

yang dapat diselesaikan melalui proses arbitrase bedasarkan Pasal 5 (1) UU

Arbitrase dan ADR memberikan batasan bahwa objek sengketa yang diselesaikan

melalui arbitrase sengketa keperdataan. Hakim arbiter dalam membuat keputusan

wajib mengikuti format yang telah ditentukan oleh UU Arbitrase. Disebutkan

dalam Pasal 54 ayat 1 bahwa suatu putusan memiliki bentuk yang telah ditentukan

yang wajib memuat :

a. irah- irah dalam awal putusan yang tercantum "DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"

42
b. badan putusan yang meliputi:

- nama lengkap para pihak

- alamat para pihak

- simpulan permaslaahan/ sengketa

- Kedudukan / wewenang para pihak yang bersengketa

- nama lengkap majelis dan alamat arbiter

c. pertimbangan hukum dan kesimpulan oleh majelis / arbiter mengenai

sengketa yang dibuat oleh para pihak

d. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam

majelis arbitrase,

e. amar putusan

f. tempat dan tanggal putusan, tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

Adapun jangka waktu pelaksanaan putusan sebagaimana dalam Pasal 57

UU Arbitrase dan ADR bahwa amar putusan wajib disampaikan kepada para pihak

dengan kurun waktu 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Apabila

dalam amar putusan terdapat kesalahan administratif para pihak dapat meminta

koreksi paling lama empat belas hari setelah putusan diterima oleh para pihak dan

ditujukan kepada majelis arbiter. Untuk melaksanakan eksekusi isi putusan

arbitrase, para pihak memiliki jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, maka arbiter atau kuasanya wajib

menyeraahkan putusan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Untuk memberikan

43
kepastian hukum atas putusan arbitrase, sifat putusan arbitrase bersifat final and

binding. Biaya yang dikeluarkan para pihak dalam melaksanakan proses arbitrase

sangat tidak sedikit, maka jika terdapat pihak yang tidak secara sukarela

melaksanakan putusan arbitrase maka salah satu pihak dapat memohon kepada

Ketua Pengadilan Negeri untuk eksekusi putusan arbitrase dengan merujuk pada

Berdasarkan Pasal 61 dalam UU Arbitrase.

Perintah dalam uraian diatas diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan

Negeri. Pasal 63 UU Arbitrase dan ADR memberikan wewenang kewenangan

kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan verifikasi terhadap perkara

yang diajukan mengenai terpenuhinya syarat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU

Arbitrase, dan menilai apakah putusan tersebut tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila ketua pengadilan negeri tidak

menemukan hal –hal yang bertentangan dengan hukum dan norma maka putusan

arbitrase maka kasus tersebut dapat ditolak.

Para pihak memiliki hak untuk dapat mengajukan pembatalan putusan

arbitrase berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase dan ADR dengan syarat

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur seperti :

a. Bukti tertulis yang diajukan oleh para pihak dinyatakan tidak asli setelah

amar putusan diucapkan oleh hakim

44
b. salah satu pihak menemukan dokumen yang bersifat menentukan tidak

diajukan oleh pihak lawan saat proses arbitrase

c. arbiter mengabil keputusan dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam proses pemeriksaan sengketa.

Para pihak yang akan mengajukan pembatalan putusan arbitrase maka wajib

mengajukan surat / dokumen tertulis dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera

Pengadilan Negeri. Terhadap keberatan atas putusan arbitrase, Ketua pengadilan

negeri dapat membatalkan putusan arbitrase dan wajib menetapkan dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pembatalan arbitrase diterima

oleh Pengadilan Negeri. Para pihak yang dirugikan oleh putusan pembatalan

arbitrase memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum terhadap pembatalan

putusan arbitrase dengan mengajukan permohonan melalui Mahkamah Agung

selaku lembaga negara yang berwenang untuk memutus perkara dalam tingkat

pertama dan terakhir bedasarkan Pasal 72 Undnag-Undang Arbitrase dan ADR.

Bentuk penyelesaian sengketa non litigasi selain arbitrase dapat dilakukan

melalui mediasi yang diatur berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Ratio

legis pembentukan Perma Mediasi tersebut dengan berlandaskan bahwa mediasi

merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang diharapkan tepat, efektif,

dan dapat membuka kesempatan bagi pihak yang bersengketa untuk memperoleh

45
penyelesaian secara kekeluargaan, dan seusai dengan asas penyelenggaraan

peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Ketentuan mengenai mediasi

dapat dilihat dengan merujuk pada Pasal 154 RV dan Pasal 130 HIR serta

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Pasal 1 angka 1 Perma tentang Prosedur mediasi menyebutkan bahwa

penyelesaian sengketa secara mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa

melalui proses musyawarah untuk mencapai kata sepakat mengenai sengketa

tersebut. Para Pihak dapat dibantu seseorang yang berprofesi sebagai advokat atau

seseorang yang sesuai untuk menjadi mediator. Disebutkan dalam Perma Prosedur

Mediasai bahwa seseorang yang dapat menjadi mediator merupakan hakim yang

tidak menangani perkara tersebut atau seseorang yang bersertifikat sebagai

mediator sebagai pihak netral yang bertugas untuk memberikan bantuan kepada

para pihak dalam proses musyawrah tersebut. untuk memberikan kepastian

mengenai mediasi yang telah ditempuh oleh para pihak maka dalam pertimbangan

hukum wajib disebutkan bahwa perkara telah diupayakan untuk damai dengan

melalui proses perdamaian melalui mediasi dan disebutkkan nama mediator.

Mediasi dapat dilakukan dengan menggunakan media internet apabila para

pihak tidak dapat hadir secara langsung. Proses Mediasi berlangsung paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hakim pemeriksa perkara membuat ketetapan

atau perintah melaksanakan mediasi kepada para pihak. Apabila mediasi mencapai

46
kesepakatan, bedasarkan Pasal 27 dalam perma tersebut bahwa Para Pihak dengan

bantuan Mediator wajib merumuskan sauatu kesepakatan tertulis dalam nota

perdamaian yang kemudian wajib hukumnya bagi para pihak untuk

menandatangani dokumen tersebut sebagai bentuk persetujuan nota perdamaian.

Suatu kesepakatan atas hasil mediasi wajib dipastikan bahwa rumusan

kesepakatan Perdamaian tidak memuat ketentuan yang bertentangan dengan

hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, merugikan pihak ketiga, tidak dapat

dilaksanakan oleh mediator. Dalam Pasal 27 ayat (4) Perma Mediasi menyebutkan

bahwa para pihak diberi hak untuk mengajukan kesepakatan perdamaian secara

tertulis kepada hakim melalui melalui Mediator dan dikukuhkan melalui Akta

Perdamaian dan menjadi kewajiban bagi Mediator untuk membuat laporan secara

tertulis mengenai proses mediasi yang mencapai kata sepakat atau damai Mediasi

kepada Hakim Pemeriksa Perkara dengan melampirkan Kesepakatan Perdamaian

tersebut.

Setelah menerima kesepakatan perdamaian, hakim pemeriksa perkara yang

menangani perkara perdata diwajibkan untuk segera mempelajari dan meneliti akta

perdamaian dengan kurun waktu dua hari. Penyelesaian sengketa secara alternative

selain mediasi dan arbitrase dapat dilaksanakan melalui konsiliasi. UU Perburuhan

memberikan aturan bahwa konsiliasi dilaksanakan oleh konsiliator yang wilayah

kerjanya meliputi tempat bekerjanya buruh tersebut. Penyelesaian konsiliasi

dilaksanakan melalui seorang atau dapat beberapa orang sebagai konsiliator.

47
Seorang yang bertugas sebgaai konsiliator memiliki tugas untuk sebagai pihak

netral yang menengahi suatu permasalahan dan member masukan terhadap masalah

yang dihadapi oleh para pihak.

Penyelesaian sengketa konsumen dilaksanakan secara khusus oleh BPSK,

sebagai bentuk tanggungjawab negara untuk melindungi rakyatnya. Dalam UU

Perlinkos terdapat badan negara yang disebut dengan Badan Perlindungan

Konsumen Nasional yang ditentukan berada di Ibu Kota Negara Republik

Indonesia dan memiliki tanggungjawab secara langsung kepada Presiden dan

berfungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam

upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. berdasarkan Pasal 34

UU Perlinkos tugas BPKN diantaranya:

a. Memberi saran serta rekomendasi kepada Pemerintah atau kepada

jajaranya dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan

konsumen

b. melakukan riset dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berlaku yang berkaitan dengan konsumen

c. membuat riset mengenai barang atau jasa yang berkaitan dengan

perlindungan konsumen

d. mendorong pembentukan lembaga perlindungan konsumen yang dikelola

secara swadaya masyarakat

48
e. memberikan informasi melalui media cetak maupun internet berkaitan

dengan perlindungan konsumen

f. menerima pengaduan tentang permasalahan mengenai perlindungan

konsumen baik

g. melakukan survei berkaitan dengan konsumen.

Struktur Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua

yang merupakan anggota, seorang wakil ketua yang merupakan bagian dari

anggota, serta 15 (lima belas) orang sampai 25 (dua puluh lima) orang anggota

yang mewakili unsure pemerintah, pelaku usaha, lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat, akademisi dan tenaga ahli. Tidak semua warga negara dapat

menjadi anggota BPKN, beberapa persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan

Konsumen Nasional adalah:

a. warga negara Republik Indonesia

b. Memiliki kondisi kesehatan yang baik

c. Berperilaku baik

d. tidak pernah dihukum atas tindak pidana yang dilakukan

e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen

minimal tiga puluh tahun.

Sebelum Undang-Undang Konsumen diundangkan, sejarah mencatat bahwa

terdapat yayasan atau lembaga yang bernaung di bidang perlindungan konsumen,

Pasal 44 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pemerintah mengakui

49
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.

Lembaga swadaya tersebut memiliki tugas yang meliputi kegiatan menyebarkan

informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan

kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, memberikan

nasehat kepada konsumen, bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya

mewujudkan perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam

memperjuangkan haknya, dapat menerima keluhan atau pengaduan konsumen,

melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan

perlindungan konsumen.

Berkaitan dengan uraian pada sub bab ini, konsumen suatu barang atau jasa

memiliki hak untuk menggugat pelaku usaha jika dirugikan, Pasal 44 UU Perlinkos

dalam ayat (1) menjelaskan bahwa konsumen barang atau jasa yang dirugikan

memiliki hak untuk melakukan pengajuan gugatan melalui lembaga yang

berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

dapat melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dari rumusan

pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa konsumen

dapat diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan

sukarela para pihak yang bersengketa.

Tidak menutup kemungkinan apabila dalam proses ditemukan terdapat

unsur pidana maka alternative penyelesaian sengketa tidak dapat mengalihkan

tanggung jawab pidana. Gugatan melalui peradilan umum hanya dapat dilakukan

50
apabila para pihak tidak berhasil menyelesaikan sengketa diluar pengadilan

sehingga para pihak dapat mengajukan gugatan secara perdata melalui pengadilan

yang berwenang. pengertian gugatan menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu

tuntutan hak yang bertujuan untuk mwncwgah perbuatan yang bertentangan dengan

hukum dan dilaksanakan oleh pengadilan.24 Berkaitan dengan gugatan konsumen

pada pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 46 UU Perlinkos yang menyebutkan

bahwa gugatan perbuatan yang dilarang dalam UU Perlinkos yang dilakukan oleh

pelaku usaha dilakukan oleh seorang konsumen yang dirugikan atau dapat

diajukan oleh ahli waris yang bersangkutan. Gugatan dapat diajukan melalui cara

class action yaitu gugatan yang diajukan oleh sekelompok orang yang mempunyai

kepentingan yang sama, atau diajukan oleh lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat (berbentuk badan hukum atau

yayasan).

Untuk mempermudah konsumen dalam mengajukan tuntutan mengenai

pelanggaran di bidang perlindungan konsumen, maka Pemerintah membentuk

BPSK di Daerah Tingkat II/ Kabupaten/Kota untuk penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan. syarat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa

konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Merupakan warga negara Republik Indonesia

b. Memiliki badan sehat

24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
2002, h. 52.

51
c. Memiliki perilaku yang baik

d. tidak dipidana

e. memiliki kompetensi dan skill di bidang perlindungan konsumen dengan

usia paling rendah 30 tahun

Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri atas unsur pemerintah,

unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, setiap unsur tersebut berjumlah sedikit-

dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Susunan anggota

majelis BPSK berdasarkan Pasal 50 UU Pelinkos terdiri atas ketua , wakil , dan

anggota.

Suatu badan negara memiliki wewenang dalam melaksanakan tugas

melayani kepentingan publik. Definisi wewenang bedasarkan Pasal 1 angka 5 UU

Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa wewenang adalah hak yang dimiliki

oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya untuk

digunakan dalam pengambilan keputusan atau berupa tindakan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan. Sumber kewenangan menurut Pasal 11 UU

Administrasi Pemerintah diperoleh melalui melalui atribusi, delegasi, mandat.

Sumber kewenangan berupa atribusi diperoleh dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. undang-undang

c. Wewenang baru

52
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui

atribusi, maka tanggung jawab mengenai kewenangan berada pada Badan dan/atau

pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan atribusi tidak dapat

didelegasikan, terkecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Suatu badan atau pejabat

pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi apabila wewenang

diberikan oleh suatu badan pemerintahan kepada badan atau pejabat pemerintahan

lainnya yang tertera dalam dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Daerah, dan merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah

ada.

Berkaitan dengan topik yang sedang dibahas dalma penelitian ini, BPSK

memiliki Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen

berdasarkan pasal 52 UU Perlinkos meliputi:

a. Wewenang untuk membantu menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara

melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi;

b. Pemberian konsultasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen

sebagaimana dalam UU Perlinkos;

c. Melakukan tindakan monitoring terhadap perjanjian baku yang dibuat oleh

pelaku usaha;

d. Membuat laporan kepada penyidik mengenai unsure pidana dalam tindakan

yang dilakukan oleh pelaku usaha/ konsumen;

53
e. Menerima pengaduan baik secara tertulis maupun secara lisan dari konsumen

berkaitan dengan adanya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Membuat riset atau verifikasi mengenai sengketa konsumen;

g. BPSK dapat mengundang pelaku usaha yang diduga telah melakukan tindakan

pelanggaran terhadap UU Perlinkos;

h. BPSK dapat mengundang saksi, ahli , atau pihak yang berkeptingan dalam

perkara tuntutan uu perindungan konsumen;

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,

atau seseorang yang dinyatakan tidak dapat hadir untuk memenuhi panggilan

badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. BPSK dapat meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain untuk

kepentingan penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Membuat keputusan dan ketetapan mengenai ada atau tidak adanya kerugian di

pihak konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen ;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan UU Perlinkos

Merujuk pada uraian diats dapat dilihat bahwa BPSK bertugas dan

berwenang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Terhadap penyelesaian

sengketa kerugian konsumen melalui arbitrase oleh BPSK, hukum acara

54
dilaksanakan berdasarkan UU Arbitrase dan ADR, Para pihak dapat mengajukan

tuntutan mengenai putusan majelis arbiter pada BPSK berdasarkan peraturan

Mahkamah Agung No 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan

Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Keberatan terhadap

putusan arbiter pada BPSK diatur dalam Pasal 3 Perma No 1 Tahun 2006 yang

disebutkan bahwa pelaku usaha dapat mengajukan permohonan keberatan di ajukan

melalui pengadilan negeri. Pengajuan keberatan terhadap putusan arbitrase melalui

Pengadilan Negeri apabila memenuhi syarat pengajuan sebagaimana dalam Pasal 6

Perma tersebut yakni:

a. alat bukti yang diajukan dalam proses pemeriksaan perkara dinyatakan tidak asli

setelah dijatuhkan keputusan

b. salah satu pihak menyembunyikan dokumen dan diketahui oleh pihak lain

setelah amar putusan diucapkan

c. pengambilan keputusan oleh majelis dilakukan dengan tipu muslihat

apabila syarat tersebut terpenuhi maka majelis hakim pada pengadilan negeri dapat

membatalkan putusan arbitrase.

BPSK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU

Perlinkos dalam Pasal 54 menyebutkan bahwa BPSK dapat membentuk majelis.

Jumlah anggota majelis wajib berjumlah paling sedikit tiga orang dan berjumlah

ganjil yang mewakili semua unsur dan dalam melaksanakan tugas nya dapat

dibantu oleh seorang panitera. Hasil sidang tersebut berupa putusan yang final dan

55
mengikat. Untuk efisiensi dalam penangan perkara, BPSK wajib mengeluarkan

putusan paling lambat dalam waktu duapuluh satu hari kerja setelah gugatan

diterima. Akibat hukum terhadap putusan tersebut maka pelaku usaha wajib

melaksanakan putusan tersebut dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak

menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.

Pihak yang merasa keberatan terhadap keputusan tersebut dapat

maengajukan keberatan secara tertulis kepada ketua Pengadilan Negeri paling

lambat empatbelas hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

Apabila pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu

tersebut, maka akibat hukumnya bahwa pelaku usaha dianggap menerima putusan

BPSK. Untuk melaksanakan putusan tersebut dilakukan upaya hukum berupa

penetapan eksekusi melalui Pengadilan Negeri sesuai Pasal 57 UU Perlinkos.

Terhadap keberatan mengenai putusan majelis pada BPSK, maka berdasarkan Pasal

58 UU Perlinkos Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan

dengan jangka waktu paling lambat dua puluh satu hari sejak diterimanya

keberatan.

Para pihak dapat mengajukan upaya hukum keberatan atas putusan

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lambat empat belas hari dengan cara

mengajukan upaya hukum berupa kasasi melalui Mahkamah Agung Republik

Indonesia. terhadap pengajuan kasasi tersebut, maka Mahkamah Agung Republik

56
Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)

hari sejak menerima permohonan kasasi.

57
BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN

BERUPA HAK TANGGUNGAN MELALUI BPSK.

3.1 Karakteristik Perjanjian Kredit dan Akta Pemberian Hak Tanggungan

Penggunaan perjanjian tidak pernah lepas dari proses bisnis atau hubungan

keperdataan individu dengan individu lain. Pasal 1313 BW menjelaskan konsep

perjanjian adalah suatu tindakan hukum seseorang atau beberapa orang yang

mengikatkan dirinya satu sama lain. Suatu perjanjian menimbulkan ikatan antar

pihak yang dalam hukum perdata disebut sebagai perikatan. Berkenaan dengan

perikatan, pembentuk undang-undang mengatur sumber perikatan di dalam Pasal

1233 BW yang dirumuskan bahwa setiap perikatan yang berasal dari persetujuan

ataupun karena undang-undang. Sehingga dapat disimpulkan terdapat dua sumber

hukum perikatan, yakni pertama dari persetujuan atau perjanjian, kedua perikatan

bersumber dari undang-undang.

Pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian

demi memenuhi keamanan dan legalitas di hadapan hukum dengan tanpa unsur

paksaan, khilaf, penipuan. Suatu perjanjian agar sah menurut hukum yang berlaku

wajib memenuhi unsur Pasal 1320 BW diantaranya:

a. Sepakat

58
b. Cakap hukum

c. Suatu hal tertentu

d. Sebab yang diperbolehkan

Syarat sepakat dan cakap hukum disebut sebagai syarat subjektif,

dikarenakan kedua syarat ini berkaitan dengan subyek hukum yang mengadakan

suatu perjanjian. Sedangkan syarat sah suatu perjanjian berupa suatu hal tertentu

dan sebab yang diperbolehkan disebut sebagai syarat objektif karena dikaitkan

dengan obyek yang diperjanjikan. Makna sepakat dalam Pasal 1320 alinea pertama

tersebut berkaitan dengan persetujuan para pihak untuk membuat perjanjian dan

mengakibatkan hubungan timbal balik antar para pihak. Syarat kedua sahnya

perjanjian mengenai kecakapan untuk membuat perjanjian, dalam rumusan Pasal

1329 BW dinyatakan bahwa tiap orang berwenang untuk mengikatkan dirinya

dengan orang lain, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap hukum untuk hal

tersebut.

Berkaitan dengan syarat cakap hukum, seseorang dapat dinyatakan tidak

cakap hukum apabila memenuhi rumusan pada Pasal 1330 BW yang dinyatakan

bahwa:

“seseorang yang tak cakap hukum untuk membuat perjanjian adalah:

a. Seseorang yang belum dewasa;

Seseorang yang belum mencapai batas usia dewas menurut peraturan

59
perundang-undangan dapat dinyatakan tidak cakap hukum dikarenakan

belum dapat berpikir dan mempertanggung jawabkan tindakan yang ia

lakukan. beberapa peraturan perundang – undangan yang mengatur

mengenai batasan usia orang (anak) yang belum dewasa ialah:

 Pasal 47 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dijelaskan bahwa seseorang yang dikategorikan sebagai anak merupakan

seorang yang belum berumur delapan belas tahun atau dikategorikan

tidak pernah melangsungkan perkawinan berada dibawah kekuasaan

orang tuanya.

 Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan

Dijelaskan bahwa menyebutkan bahwa anak merupakan seseorang yang

berumur kurang dari delapan belas tahun.

 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dijelaskan bahwa :

Seorang yang dikategorikan sebagai anak adalah setiap orang yang

berusia kurang dari delapan belas tahun dan belum pernah

melangsungkan perkawinan, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal ini berkaitan dengan kepentingan anak .

b. Seseorang yang tidak cakap hukum merupakan orang yang ditaruh di bawah

pengampuan

Maksud dari ketentuan tersebut merupakan seseorang yang membuat suatu

60
perjanjian akan terikat dengan perjanjian itu, maka dalam melaksankan isi

perjanjian diperlukan kesehatan pikiran. Apabila seseorang dalam kondisi

tidak sehat pikirannya, maka ia tidak mampu untuk mempertanggung

jawabkan isi perjanjian tersebut. Apabila seseorang yang memiliki

gangguang mental akan melakukan perbuatan hukum, maka ia memerlukan

instrument hukum berupa pengampuan dengan tujuan melindungi hak privat

dengan dibantu seorang pengampu dalam mewakili orang tersebut. Beberapa

aturan yang mengatur mengenai pengampuan yakni:

a. Pasal 433 BW

Kategori seseorang yang memerlukan penetapan pengampuan merupakan

orang dewasa yang memiliki kondisi berupa cacat mental, gila meskipun

terkadang orang tersebut dapat menggunakan akal pikirannya. Selain

kondisi cacat mental, Seorang dewasa boleh ditempatkan di bawah

pengampuan karena memiliki sifat boros atau tidak mampu mengendalikan

keuangan nya.

b. Pasal 446 BW menyatakan bahwa:

Pengampuan mulai berlaku sejak permohonan pengampuan ditetapkan oleh

hakim pemeriksa perkara, dan sehingga semua tindakan keperdataan akan

dilakukan oleh wali pengampu. Apabila tindakan masih dilakukan oleh

seseorang yang tidak cakap hukum maka dapat berakibat hukum berupa

batal demi hukum suatu tindakan keperdataan tersebut. Namun demikian,

seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan tetap

61
berhak membuat surat-surat wasiat.

Dalam BW terdapat ketentuan mengenai seorang wanita yang telah menikah

dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Namun Seiring dengan perkembangan

zaman kedudukan suami dan istri ialah sama dimata hukum, sehingga ketentuan ini

telah dicabut dan diatur dalam Pasal 31 ayat 1 dan ke 2 Undang-Undang

Perkawinan yang disebutkan bahwa hak dan keajiban suami istri seimbang dalam

berumah tangga , ayat ke dua dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa baik suami

atau istri dapat melakukan perbuatan hukum. Dalam membuat perjanjian para pihak

diwajibkan untuk cakap hukum, maksud dari cakap hukum ialah para pihak dapat

melaksanakan perbuatan hukum dan dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang

ia lakukan. Berdasarkan Pasal 1331 BW menjelaskan bahwa seeseornag yang tidak

cakap hukum untuk membuat persetujuan dapat membuat tuntutan menuntut

pembatalan perjanjian yang telah mereka buat dalam hal kuasa untuk itu tidak

diperkecualikan. Inti terhadap ulasan diatas bahwa pelanggaran terhadap syarat

subjektif pada alinea pertama dan kedua Pasal 1320 BW maka perjanjian tersebut

dapat dibatalkan.

Berkaitan dengan syarat ke 3 Pasal 1320 BW yaitu dalam suatu perjanjian

diwajibkan terdapat obyek tertentu yang diperjanjikan. Tidak semua obyek dapat

diperjanjikan sebagaimana dalam Pasal 1332 BW yang menjelaskan bahwa hanya

obyek yang diperbolehkan untuk diperdagangkan yang dapat menjadi pokok

persetujuan. Berkaitan dengan syarat ke empat dalam pasal 1320 BW yakni syarat

sah perjanjian wajib memenuhi unsur sebab yang diperbolehkan, ketentuan pasal

62
tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 1337 BW yang menyebutkan bahwa suatu

sebab dalam perjanjian tidak diperbolehkan apabila klausula dalam perjanjian

tersebut tidak diperbolehkan oleh peraturan perundnag-undangan atau klausula

tersebut bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Beberapa jenis perjanjian diatur dalam BW yang dapat disebut dengan

perjanjian bernama atau khusus sebagaimana yang tercantum di Bab V - Bab

XVIII. Sedangkan perjanjian diluar BW dapat disebut sebagai Perjanjian tak

bernama sebagaimana pencerminan asas kebebasan berkontrak yang menyatakan

setiap orang dapat membuat suatu perjanjian dengan siapapun atau partij otonomi.

Pengaturan perjanjian tidak bernama dalam BW terdapat dalam Pasal 1319 BW

yang menyebutkan bahwa semua perjanjian baik yang tertera dalam BW maupun

yang tidak tertera yang dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan

umum yang termuat dalam buku III BW.

Salah satu perjanjian tidak bernama yakni perjanjian kredit kerap digunakan

oleh lembaga keuangan seperti bank. pemberian kredit merupakan kegiatan bank

dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Perbankan merupakan suatu

sistem yang berkaitan dengan bank, kelembagaan, usaha bank, dan prosedur dalam

melaksakanan kegiata usahanya. Dasar hukum mengenai perbankan di Indonesia

diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan. Jika Perbankan berkaitan

dengan sistem dan kelembagaan, maka istilah bank berbeda dengan perbankan.

63
Definisi bank terdapat dalam Pasal 1 (2) UU Perbankan dan Perubahannya, bank

adalah badan usaha yang melakukan kegiatan menghimpun sejumlah dana yang

diperoleh dari masyarakat dengan bentuk simpanan dan kemudian disalurkan dalam

bentuk kredit dengan tujuan meningkatkan taraf hidup rakyat.

Bank dalam melakukan fungsi intermediasi berdasarkan Undang-Undang

Perbankan dan perubahannya memberikan kredit kepada masayraakat yang

membutuhkan dana tersebut. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah

tertuang dalam perjanjian kredit dengan terlebih dahulu nasabah memenuhi syarat

dan ketetntuan yang diberikan oleh bank. Merujuk Pasal 1 (11) UU Perbankan dan

perubahannya menjelaskan unsur Kredit diantaranya:

a. kegiatan bank yang berupa penyediaan uang atau tagihan

b. diikat dengan perjanjian kredit

c. Kewajiban debitor untuk melunasi biaya kredit dengan jangka waktu dan

bunga serta biaya lain yang telah disepakati sebagaimana dalam

perjanjian25.

Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan dari penyerahan

uang kepada nasabah debitur. Perjanjian kredit ini merupakan hasil kesepakatan

antara pemberi dan penerima kredit mengenai hubungan-hubungan hukum antara

keduanya. Sebelum memberikan kredit, bank wajib membuat analisa mengenai

debitur penerima kredit. Analisa terhadap debitur merupakan bentuk pencerminan

asas atau prudent banking principle. Pengertian asas kehati-hatian merupakan suatu

25
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta. 2009, h. 70

64
prinsip hukum yang menjelaskan menjadi kewajiban bank untuk menjalankan

fungsi dan kegiatan usahanya untuk bersikap hati-hati dalam memberikan

perlindungan bagi dana yang dipercayakan kepadanya. Menindaklanjuti prinsip

kehati-hatian maka hasil penilaian oleh bank akan didapat perkiraan mengenai

tinggi rendahnya risiko yang ditanggung bila mereka menyetujui kredit yang

diminta.26

Berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit

digunakan bebrapa kretiria dengan tujuan untuk mengukur kemampuan dan/atau

kesediaan nasabah. Dalam dunia perbankan dikenal dengan faktor yang

mempengaruhi bank untuk memberikan kredit yang disebut sebagai label C,

keenam faktor itu adalah :

a. Wewenang untuk meminjam (competence to borrow)

Hal ini berkaitan dengan syarat subjektif seseorang membuat perjanjian

sebagaimana Pasal 1320 BW alinea kedua yakni cakap hukum

b. Watak calon nasabah (character)

Berkaitan dengan watak nasabah, bank sangat berhati hati sebelum

memberikan kredit kepada nasabah dan berharap agar nasabah kooperatif

dalam melaksanakan isi perjanjian kredit.

c. Kemampuan menciptakan sumber dana (capacity of funding)

26
Siswanto Sutojo, Analisa Kredit Bank Umum Konsep dan Teknik, Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta,1995,h.44

65
d. Kondisi kekayaan calon nasabah (capital)

Dalam hal ini bank akan menilai jumlah pendapatan nasabah dan aset

aset yang dimiliki apabila nasabah pailit

e. Jenis dan nilai jaminan yang ada (collateral)

Untuk menjamin pelunasan kredit pada bank, maka bank akan menilai

jaminan yang diberikan layak atau tidak dan bernilai jual lebih tinggi dari

plafond kredit yang diberikan kepada nasabah.

f. Perkembangan ekonomi dan sektor usaha calon nasabah (condition of

economy).27

Menjelakan bahwa bank wajib mempertimbangkan perkembangan

kondisi ekonomi nasabah untuk menghindari kepailitan dan kredit macet

Menurut Munir Fuady Bank melakukan analisis 5P terhadap calon nasabah

sebelum memberikan pembiayaan atau kredit diantaranya ialah:

a. Party (Para Pihak)

Perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank dibuat dengan format

baku yang telah ditetapkan untuk mempersingkat waktu. Perjanjian

kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, dalam praktek bank bentuk

perjanjian kredit dapat dibuat dibawah tangan atau dibuat dihadapan

pejabat umum atau notaris berdasarkan Pasal 15 UU No Undang-Undang

27
Siswanto Sutojo, Ibid.

66
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

dirumuskan bahwa Notaris diberi kewenangan untuk membuat suatu

akta autentik yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian, dan

penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau akta

yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan/ dibuat

dalam akta autentik.

b. Tujuan dari pemberian kredit

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak

bank. Maka dalam hal ini bank wajib menilai apakah kredit akan

digunakan untuk hal-hal yang sesuai tujuan dan menghasilkan

keuntungan bagi para pihak.

c. Payment (pembayaran)

Bank wajib memperhatikan sumber dana cukup tersedia dalam proses

pembayaran angsuran kredit. Sehingga dengan demikian diharapkan

bahwa kredit yang akan diberikan tersebut dapat dibayar kembali oleh

debitor yang bersangkutan. Bank wajib melihat dan menganalisa apakah

setelah pemberian kredit nanti, debitor punya sumber pendapatan, dan

apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali

kreditnya.

67
d. Profitability (perolehan laba)

bank berharap usaha yang dilakukan oleh nasabah menghasilkan laba

yang tinggi. Unsur perolehan laba oleh debitor merupakan unsure

penting dalam proses kredit. Untuk itu, bank wajib menilai prospek

usaha nasabah debitur tersebut.

e. Protection (perlindungan)

Kredit memiliki resiko tinggi maka bank memerlukan suatu jaminan atau

kepastian terhadap kredit oleh perusahaan debitor. Bentuk perlindungan

atas kredit dapat berupa jaminan dari holding, atau jaminan pribadi

pemilik perusahaan. Jaminan bertujuan untuk bank agar mendapat

kepastian atas pembayaran angsuran

Kedua metode analisa tersebut diberlakukan oleh bank guna melaksanakan prinsip

kehati-hatian diatur dalam Pasal 2 ayat (1) PBI No 7/2/PBI/2005 menjelaskan

bahwa penyediaan dana oleh Bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip

kehatihatian.

Dalam uraian diatas menyebutkan bahwa perjanjian kredit merupakan

perjanjian pokok antara bank nasabah. Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta

notaris. konsep akta notaris menurut Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris

yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh notaris atau di

buat di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

Undang-Undang jabatan notaris. Mengenai bentuk akta notaris dengan mengacu

kepada format akta sebagaimana dalam UU Jabatan Notaris. Berkaitan dengan

68
format akta, berdasarkan Pasal 38 UU Jabatan notaris menjelaskan bahwa suatu

akta autentik harus memiliki format yang terdiri atas:

a. awal akta

b. badan akta

c. penutup akta.

Pasal 38 (2) UU Jabatan Notaris dan Perubahannya dalam pasal tersebut

menjelaskan bahwa awal akta memuat:

a. judul akta

b. nomor , jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan

c. nama lengkap notaris dan tempat kedudukan Notaris.

Sedangkan Badan Akta memuat nama lengkap para pihak, tempat dan

tanggal lahir para pihak, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat

tinggal /atau orang yang mereka wakili, keterangan yang berkaitan dengan

kewenangan bertindak penghadap. Sedangkan isi akta berkaitan dengan kehendak

dan keinginan dari pihak yang berkepentingan. Bagian terakhir dari sebuah akta

autentik ialah penutup akta yang memuat uraian tentang:

a. pembacaan akta autentik

b. uraian tentang penandatanganan, tempat penandatanganan atau penerjemahan

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan

tempat tinggal dari tiap-tiap saksi

d. pernyataan tidak adanya perubahan yang terjadi dalam proses pembuatan akta

69
Akibat hukum perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta autentik

akan menjadi alat bukti yang sempurna. Apabila dalam proses pembuatan akta

autentik notaris tidak memperhatikan Pasal 38 UU Jabatan notaris dan

Perubahannya, maka akan berakibat hukum yakni akta tersebut tidak lagi

memenuhi ketentuan akta autentik, melainkan akta dibawah tangan sebagaimana

dalam Pasal 41 UU Jabatan Notaris dan Perubahannya yang menjelaskan bahwa

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39,

dan Pasal 40 mengakibatkan bahwa akta tersebut tidak lagi menjadi akta autentik

dan menjadi akta di bawah tangan.

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak dapat membuat suatu

akta dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, isi sebuah

akta perjanjian kredit terdapat beberapa klausa yang dicantumkan dalam perjanjian

kredit, antara lain28:

a. Syarat penarikan kredit pertama kali (Predisbuursement Clause), berisikan

klausa tentang pembayaran provisi, premi asuransi kredit, asuransi barang

jaminan, biaya pengikatan secara tunai beserta dokumennya.

b. Maksimum kredit, dimaksudkan untuk menjadi tolak ukur bagi debitur

dalam menetapkan besarnya nilai agunan yang akan dijaminkan.

c. Jangka waktu kredit, merupakan batas waktu bagi bank untuk menagih

pengembalian kredit dari nasabah dan batas waktu bagi bank untuk

28
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Citra Aditya .
Bakti, Bandung. 2010. H. 213

70
melakukan analisis apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau

segara dilakukan tagihan.

d. Bunga pinjaman, untuk memberikan kepastian mengenai hak bank untuk

memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang telah disepakati para pihak.

e. Barang agunan kredit, bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan

penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, melainkan ada

kesepakatan dengan pihak bank.

f. Asuransi (Insurance Clause), dimaksudkan untuk pengalihan resiko yang

mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun kreditnya sendiri.

Untuk menjamin seseorang membayar kredit dari bank kepada debitur,

maka kreditur dapat meminta jaminan. J.Satrio menjelaskan bahwa hukum jaminan

merupakan hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. 29 Jaminan

terdiri dari dua yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, dikatakan

jaminan kebendaan apabila obyeknya benda jaminan tertentu milik debitor yang

diperuntukkan secara khusus bagi kepentingan kreditor pula. Jaminan kebendaan

yang dibuat para pihak adalah perjanjian kebendaan.30

Perjanjian kebendaan dibuat dengan tujuan untuk melahirkan, mengubah

atau meniadakan hak kebendaan. Pemegang jaminan kebendaan dikategorikan

sebagai kreditor preferen yaitu kreditor yang didahulukan dalam

29
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, h.3
30
Ibid,h.11

71
pelunasannya.31Jaminan peorangan dengan sebutan penangungan atau borgtocht

pengaturannya pada Bab XVII Buku III BW. Bila para pihak memperjanjikan

jaminan perorangan karena muncul dari perjanjian obligatoir maka hak yang timbul

hanyalah hak yang bersifat relatif. Jaminan perorangan tidak banyak dimanfaatkan

dalam kegiatan perbankan.

Subekti menyatakan bahwa jaminan memiliki fungsi sebagai sarana yang

menjamin kelancaran dan keamanan pemberian kredit, maka jaminan yang baik

wajib memenuhi beberapa kriteria seperti :

a. Barang jaminan mempermudah proses pemberian kredit oleh debitur

yang memerlukan kredit dari bank;

b. Tidak memberikan efek yang buruk kepada debitor dalam melakukan

usahanya

c. Memberikan kepastian kepada kreditor, dalam arti obyek jaminan

tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila diperlukan dapat dengan mudah

diuangkan untuk melunasi utang si penerima kredit.32

Perjanjian jaminan kebendaan melahirkan hak kebendaan, maksud dari yhak

kebendaan ialah hak yang mutlak terhadap suatu benda dimana hak ini

memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan pemegang obyek jaminan

dapat mempertahankan terhadap siapapun juga. Menurut Sri Soedewi M ialah ;

a. Bersifat mutlak

31
Ibid,h.12
32
Rachmadi Usman sebagaimana dikutip dalam Prof M Isnaeni, Leonora
Bakarbessy, Trisadini P Usanti, Perjanjian Kredit dan Jaminan, Surabaya ,2012,h. 6

72
Sifat mutlak pada jaminan kebendaan yaitu dapat obyek jaminan dapat

dipertahankan

b. Asas pada jaminan kebendaan berupa asas droit de suite atau zaaksgevelog

Maksud asas tersebut adalah benda jaminan akan tetap mengikuti kepada

pemegang benda itu berada. Jadi hak kebendaan itu melekat pada bendanya,

sehingga kalau berpindah tangan, yang bersangkutan wajib menjadga barang

jaminan tersebut dan mengetahuinya

c. Adanya preferensi

Maksud dari preferensi merupakan bahwa pihak pemegang hak kebendaan

dalam hal pelunasan harus didahulukan pembayarannya, dengan adanya

preferensi sangat menguntungkan bagi kreditor pemegang hak kebendaan,

kreditor demikian disebut sebagai kreditor preferen.

d. Mengandung asas prioritas yaitu hak kebendaan yang terlahir lebih dahulu

akan diutamakan daripada yang lahir kemudian.33

Merujuk pada Pasal 1133 BW ada tiga macam hak yang didahulukan yaitu

privilege, gadai,dan hipotik. Sejak diundangkan Undang-Undang No 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960,

maka telah terjadi perubahan dalam Buku II BW sepanjang yang mengenai bumi,

air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sifat perjanjian jaminan

sebagai perjanjian yang merupakan perjanjian tambahan yaitu merupakan

perjanjian tambahan yang dikaitkan dengan perjanjian pokok yang dapat berupa

33
Sri Soedewi M, Hukum Benda, Liberty,Yogyakarta,1974, h. 18

73
perjanjian kredit/ utang piutang. Perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat

accesoir memiliki beberapa sifat yakni merupakan jaminan tambahan, Hapusnya

tergantung pada perjanjian pokok, Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian

jaminan dapat dibatalkan, maka perjanjian jaminan akan beralih dengan beralihnya

perjanjian pokok.

Perjanjian pokok dapat beralih dengan cara cessie atau subrogasi dengan

akibat hukum obyek jaminan ikut beralih meskipun tanpa penyerahan khusus 34.

Jaminan kebendaan dapat berupa hak tanggungan, definisi hak tanggungan menurut

Pasal 1 angka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

menyebutkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada

hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tidak hanya tanah namun

dapat berupa benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

Obyek hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan

berdasarkan Pasal 4 (1) UU HT adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna

bangunan, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di bebani Hak

Tanggungan. Subjek hukum pemberi dan penerima hak tanggungan tertera dalam

Pasal 8 ayat (1) UU HT yang menjelaskan bahwa pemberi hak tanggungan

dikategorikan orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk

34
Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm. 28

74
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Sedangkan pemegang hak tanggungan dalam Pasal 9 UU HT dirumuskan bahwa

pemegang hak tanggungan dapat perseorangan atau badan hukum yang

berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Tata cara pemberian hak tanggungan berdasarkan Pasal 10 (1) UU HT

tertera bahwa tata cara pemberian hak tanggungan bermula pada pembuatan

perjanjian dalam rangka pemberian hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan

utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari

perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut. Kemudian tindakan hukum berupa pemberian hak

tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT atau notaris.

Berdasarkan Pasal 11 UU Hak Tanggungan di dalam APHT wajib dicantumkan:

a. nama dan identitas pemegang dan pemberi HT;

b. domisili para pihak

c. klausula mengenai utang yang dijamin dengan hak tanggungan

d. nilai tanggungan

e. uraian tentang obyek jaminan hak tanggungan.

f. janji pembatasan kewenangan pemberi hak tanggungan berkaitan dengan

pembatasan perbuatan untuk menyewakkan obyek jaminan hak tanggungan

serta penentuan atau pengubahan jangka waktu sewa

g. Janji yang memberikan pembatasan berkaitan dengan penerimaan uang

sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemegang HT;

75
h. janji yang membatasi kewenangan pemberi HT untuk mengubah bentuk

obyek jaminan HT, terkecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari

pemegang Hak Tanggungan;

i. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk mengelola

obyek jaminan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-

sungguh cidera janji;

j. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan

untuk penyelamatan obyek HT, untuk kepentingan pelaksanaan eksekusi

atau sebagai sarana pencegahan penghapusan atau pembatalan hak yang

menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya

ketentuan undang-undang;

k. janji bahwa pemegang obyek Hak Tanggungan pertama untuk mempunyai

hak melakukan penjualan dengan kekuasaan sendiri atas obyek Hak

Tanggungan apabila debitor cidera janji;

l. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek

Hak Tanggungan tidak akan dihapus dari Hak Tanggungan;

m. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas

obyek Hak Tanggungan

n. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk

76
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya

oleh pemberi HT atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

o. janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang

asuransi yang diterima pemberi HT untuk pelunasan piutangnya, jika obyek

HT diasuransikan;

p. janji dari pemberi HT akan melakukan pengosongan terhadap obyek HT

pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;

Pendaftaran APHT melalui kantor pertanahan dengan jangka waktu tujuh

hari setelah APHT ditandatangani sebagaimana dalam Pasal 13 (1) UU HT maka

PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang

diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan

oleh Kantor Pertanahan dengan cara pihak kantor pertanahan membuat buku tanah

HT dan yang kemudian dicatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi

obyek Hak Tanggungan dan membuat salinan catatan tersebut pada sertifikat hak

atas tanah yang bersangkutan. Atas pendaftaran APHT para pihak membutuhkan

tanda bukti resmi dari kantor pertanahan, jika merujuk pada Pasal 14 (1) UU HT

disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan wajib di terbitkan oleh Kantor

Pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sertifikat tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang memuat irah-irah

"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Dengan terdapatnya irah-irah dalam sertifikat hak tanggungan tersebut maka

sertifikat HT memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

77
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse

acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Suatu hak tanggungan dapat

hapus jika hak tanggungan tersebut terdapat dalam kriteria yang berdasarkan Pasal

18 (1) UU HT yang disebutkan bahwa hak tanggungan dapat dihapus karena hal-

hal sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dalam APHT;

b. dilepaskannya jaminan HT oleh pemegang HT;

c. pembersihan HT dengan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan HT.

Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UU Hak Tanggungan menyebutkan bahwa

apabila hak tanggungan hapus atas dasar pelepasan hak tanggungan oleh

pemegangnya dilaksanakan melalui pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya HT

tersebut oleh pemegang HT kepada pemberi HT. Obyek hak tanggungan dapat di

eksekusi oleh pemegang hak tanggungan sebagaimana dalam Pasal 20 (1) UU HT

dengan alasan apabila debitor cidera janji atau wanprestasi, maka pemegang HT

pada peringkat pertama berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan. Tata acara

penjualan objek HT dapat dilakukan melalui pelelangan umum untuk pelunasan

piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului kreditor konkuren

lainnya. Cara penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan dengan cara lain

dengan melalui kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Adapun tata

cara penjualan obyek HT dapat dilakukan di bawah tangan jika para pihak

memperoleh dapat harga tertinggi yang menguntungkan bagi semua pihak.

78
Akibat hukum atas hapusnya hak tanggungan berdasarkan Pasal 22 (1) UU

HT dijelaskan bahwa Kantor Pertanahan akan mencoret catatan mengenai Hak

Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Atas

hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik

dan bersamaan dengan buku tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak berlaku

lagi oleh Kantor Pertanahan.

3.2 Akibat Hukum Nasabah Debitur Wanprestasi Terhadap Isi Perjanjian

Bank dalam menjalankan fungsi intermediasi dapat mengalami suatu resiko,

salah satu resiko yang sering dialami oleh bank dalam pemberian kredit kepada

nasabah adalah resiko gagal bayar/ terlambat melakukan pembayaran. Cidera janji

dalam hukum perdata dikenal dengan istilah wanprestasi. Pengertian mengenai

wanprestasi merupakan pihak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu

perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik disengaja maupun

karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (Overmacht/Force Majure). 35

Akibat hukum cidera janji disebutkan dengan kewajiban pembayaran ganti

rugi sebagaimana dalam Pasal 1243 BW yang dirumuskan bahwa penggantian

biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan

apabila debitur dinyatakan telah lalai memenuhi perikatan itu, pihak dalam

perjanjian melakukan tindakan yang melampaui waktu yang telah ditentukan/

35
Djaja S. Meliala. Hukum Perikatan dalam Prespektif BW, Nuansa Aulia.
Bandung, 2012, h. 175.

79
terlambat dalam melaksanakan prestasi. Bentuk wanprestasi (kelalaian atau

kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :

a. Tidak melakukan kewajiban dalam klausula perjanjian;

b. Melaksanakan isi perjanjian tetapi , tetapi tidak sesuai dengan apa yang

diperjanjikan dalam klausula perjanjian;

c. Terlambat memenuhi kewajiban;

d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan isi perjanjian.

Terhadap tindakan wanprestasi akan berakibat hukum berupa dikenakannya sanksi,

sanksi tersebut berupa :

a. Pembayaran kerugian atas tindakan pihak yang wanprestasi

b. Addendum perjanjian;

c. peralihan resiko;

d. membayar biaya biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang terdampak.36

Wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang penting, maka harus

ditetapkan lebih dahulu apakah debitur melakukan wanprestasi atau lalai, dan harus

dibuktikan di muka hakim (pengadilan).37 Adapun penjelasan mengenai sanksi atas

wanprestasi diantaranya ialah:

1. Ganti rugi

36
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002,h.45
37
Ibid.

80
Penggantian kerugian atas pihak yang wanprestasi terhadap isi perjanjian terdiri

dari tiga unsur diantaranya:

a. biaya

biaya merupakan materi yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan

karena wanprestasi

Sebagai Contoh atas biaya ialah A menyewa mobil milik B, pada saat

perjalanan menuju kota Surabaya mobil milik A menabrak mobil C. B

berkewajiban untuk mengganti biaya perbaikan mobil milik A.

b. Rugi

Maksud dari rugi ialah kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh pihak

lain.

Contoh ilustrasinya ialah, A meminjam barang milik B namun pada saat

mengembalikan barang milik B, barang tersebut rusak dan B mengeluarkan

sejumlah uang untuk mengembalikan barang tersebut sejumlah Rp 300.000.

maka, A wajib membayar biaya reparasi barang milik B sejumlah Rp

300.000.

c. Bunga

Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah

dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.38

Contoh ilustrasinya ialah

38
Ibid,h.47

81
A dan C membuat perjanjian jual beli rumah, dalam klausula perjanjian

tersebut terdapat klausula mengenai wanprestasi dan bunga sejumlah 2%

dari nilai jual rumah. Karena C terlambat membayar C diberi sanksi oleh A

dan dikenakan denda sejumlah 2% setiap bulan.

Dalam hal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan

ketentuan tentang ganti rugi tersebut, hal ini terdapat dalam Pasal 1247 BW dan

Pasal 1248 BW. Rumusann Pasal 1247 BW menyebutkan bahwa Debitur hanya

diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang diharap atau sedianya dapat

diduga pada waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu

disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya. Sedangakan rumusan pada Pasal

1248 BW menyebutkan bahwa Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu

disebabkan oleh tipu daya debitur, maka ganti rugi berupa biaya, kerugian dan

bunga yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan

hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya

perikatan itu. Kesimpulannya, ganti rugi itu dibatasi yakni hanya meliputi kerugian

yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.39

Bank dapat memberikan kelonggaran kepada nasabah yang mengalami

kesulitan dalam membayar kredit dengan syarat bahwa nasabah tersebut wajib

memiliki itikad baik untuk melunasi hutangnya meskipun ia belum dapat membayar

kewajibannya, tindakan kelonggaran pembayaran kredit oleh bank dapat dilakukan

dengan restrukturisasi kredit. Definisi mengenai restrukturisasi kredit menurut PBI

39
Ibid,h.48.

82
7/2/PBI/2005 Pasal 1 angka 25 tentang penilaian kualitas aktiva Bank Umum

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan

perkreditan terhadap debitur yang mengalami hambatan dalam rangka untuk

memenuhi kewajibannya.

Bentuk restrukturisasi yang akan dilakukan oleh bank antara lain melalui

penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan bunga,

pengurangan tunggakan pokok hutang. Apabila nasabah tetap tidak dapat

membayar tunggakan kredit, maka bank selaku pemegang hak tanggungan dapat

melaksanakan lelang objek jaminan apabila debitur tidak dapat membayar utang

kepada bank.

3.3 Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Sengketa

Perjanjian Kredit

Resiko gagal bayar tidak dapat dihindarkan dalam proses pemberian kredit.

Nasabah yang tidak beritikad baik akan menggunakan segala upaya penyelesaian

masalah, dalam praktik nasabah melakukan upaya hukum berupa gugatan dengan

tujuan mengulur waktu dan diharapkan proses lelang benda jaminan tidak dapat

terlaksana/ dihentikan. Apabila merujuk pada klausula dalam perjanjian kredit,

sengketa yang timbul atas perjanjian kredit dapat diselesaikan secara litigasi maupun

non litigasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Gugatan tersebut berisikan tuntutan untuk membatalkan perjanjian pokok

dan perjanjian tambahan dengan tujuan kembali keadaan semula tanpa perjanjian

kredit dan perjanjian jaminan. Debitur berpendapat bahwa apabila upaya hukum

83
pembatalan dilakukan maka obyek jaminan tidak akan dilelang sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan. Tindakan yang dilakukan oleh debitur memberikan

dampak negatif kepada bank dan berdampak pada perekonomian secara mikro

maupun makro.

Dalam praktik salah satu upaya hukum yang dilakukan nasabah debitur

berupa pembatalan perjanjian kredit dan perjanjian jaminan melalui pengajuan

gugatan ke BPSK dengan anggapan debitur sebagai konsumen dan bank sebagai

pelaku usaha. Penulis mengambil contoh atas kasus penyelesaian sengketa yang

timbul atas perjanjian kredit dengan dibebani hak tanggungan sebagaimana dalam

putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen No. 57/Arbitrase/BPSK-

BB/I/2017 tanggal 4 Mei 2016 dengan duduk perkara Kamarudin sinaga selaku

debitur dan PT. Bank Mandiri Cabang Pematang Siantar selaku kreditur, hubungan

hukum kedua belah pihak merupakan hutang piutang secara kredit yang didasarkan

atas sebuah Perjanjian Kredit yang didasarkan atas sebuah perjanjian kredit modal

kerja Nomor CRO.PMS/0056/KMK/2013 tanggal 11 Juni 2013 beserta addendum-

addendumnya karena terjadinya wanprestasi oleh debitur dalam pembayaran

hutangnya kepada kreditur, menimbulkan hak eksekusi bagi kreditur atas harta

jaminan kreditur berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 104 Desa/Kel Timbaan,

berupa sebidang tanah pertanian seluas 5.862 m², Sertifikat Hak Milik (SHM)

Nomor 102 Desa/Kel Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian seluas 6.500 m²

(enam ribu lima ratus meter persegi) Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 101

Desa/Kel Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian seluas 1.871 m² (seribu delapan

84
ratus tujuh puluh satu meter persegi), Serta Sertifikat Hak Milik (SHM) dan/atau

surat-surat lainnya yang agunan/jaminan konsumen/Kamaruddin Sinaga kepada

pelaku usaha/PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.

Tindakan wanprestasi yang dilakukan debitur mengakibatkan bank akan

melelang eksekusi terhadap barang jaminan tersebut dengan harapan bahwa barang

jaminan yang dijual akan mengganti biaya kredit serta kerugian. Upaya hukum yang

dilakukan oleh debitur dengan cara menggugat bank / kreditur melalui BPSK. Inti

dari amar putusan Putusan Nomor 57/Arbitrase/BPSK-BB/I/2017 tanggal 4 Mei

2016 :

1. Mengabulkan permohonan konsumen seluruhnya

2. Menyatakan bahwa terdapat kerugian pada konsumen

3. Menyatakan pelaku usaha tidak pernah memberikan dokumen salinan/fotocopy

perjanjian kredit yang mengikat diri antara konsumen dengan pelaku usaha

seperti akta perjanjian kredit, polis asuransi dan akta pemberian hak tanggungan

maupun lainnya. Tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang

bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

4. Menyatakan perjanjian kredit modal kerja sebagaimana yang telah dibuat dan

ditandatangani bersama antara konsumen dengan pelaku usaha berakibat hukum

yakni batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat

5. Menyatakan konsumen telah beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit

kepada pelaku usaha berupa telah membayar angsuran suku bunga pinjaman

kredit setiap perbulannya kepada pelaku usaha

85
6. Menyatakan pelaku usaha yang akan dan/atau telah melakukan lelang eksekusi

hak tanggungan dimuka umum atas agunan yang menjadi jaminan pembayaran

kembali atas fasilitas pinjaman kredit yang telah diberikan oleh pelaku usaha

kepada konsumen yaitu dengan melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang (KPKNL) Pematang Siantar, yaitu berupa Sertifikat Hak

Milik (SHM) Nomor 104 Desa/Kel Timbaan, berupa sebidang tanah pertanian

seluas 5.862 m².

Terhadap putusan BPSK tersebut PT. Bank Mandiri (cabang Pematang

Siantar) telah melakukan keberatan terhadap putusan BPSK tersebut dihadapan

Pengadilan Negeri Simalungun 42/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN.Sim., tanggal 11 Juli

2017 yang amarnya yakni :

1. Mengabulkan Permohonan Keberatan dari Pemohon Keberatan untuk

seluruhnya

2. Membatalkan Putusan BPSK pada Kabupaten Batu Bara Nomor

57/Arbitrase/BPSK-BB/I/2017 tertanggal 4 Mei 2017

3. Menyatakan BPSK Kabupaten Batu Bara tidak berwenang mengadili

perkara ini.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut, debitur melakukan

upaya hukum lain yakni kasasi yang telah diputus dengan putusan Nomor 79

K/Pdt.Sus-BPSK/2018 dengan amar putusan Menolak permohonan kasasi dari

Pemohon Kasasi (debitur) dengan pertimbangan hukum :

86
“suatu sengketa antara pihak-pihak yang hubungan hukumnya didasari oleh sebuah

perjanjian yang dengan adanya wanprestasi atas perjanjian tersebut maka yang

berwenang memeriksa dan mengadilinya adalan Pengadilan Negeri, bukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), lagi pula tidak ada kesepakatan pilihan

hukum (klausula arbitrase) dalam perjanjian kredit tersebut yang memilih Arbitrase

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaiannya maka

putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 42/Pdt.Sus-BPSK/2017/PN.Sim.,

tanggal 11 Juli 2017 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau

undang-undang.

Kasus penyelesaian sengketa yang timbul atas perjanjian sejenis terdapat

pada Putusan Nomor 1384/Arbitrase/BPSK-BB/X/2016 tanggal 4 November 2016

dengan duduk perkara sdr PALIL yang bertempat tinggal di Dusun Antara

RT.019/RW.007 Desa/Kelurahan Bangko Sempurna, Kecamatan Bangko Pusako,

Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau melawan PT BANK DANAMON

INDONESIA Tbk., berkedudukan di Gedung Menara Bank Danamon, Jalan H.R.

Rasuna Said Blok C Nomor 10 Karet Setiabudi, Jakarta 12940, cq BANK

DANAMON SIMPAN PINJAM UNIT PASAR BAGAN BATU. Dalam putusan

tersebut disebutkan Bahwa hubungan hukum antara sdr Palil dengan Bank

Danamon unit pasar bagan batu adalah hubungan hukum hutang piutang secara

kredit yang didasarkan atas sebuah Perjanjian Kredit Nomor

0000115/PK/03624/12A1/0711 tanggal 21 Juli 2011 dengan perjanjian addendum-

nya, dalam proses pembayaran sdr Palil wanprestasi terhadap kreditur/ Bank

87
Danamon, kemudian dalam pembayaran hutangnya kepada kreditur, menimbulkan

hak eksekusi bagi kreditur atas harta jaminan kredit. Atas gugatan tersebut, majelis

arbiter memutus perkara tersebut dengan amar putusan:

1. Mengabulkan permohonan konsumen;

2. Menyatakan bahwa terdapat kerugian pada pihak konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha tidak pernah memberikan dokumen

salinan/fotocopy perjanjian yang mengikat diri antara konsumen dengan

pelaku usaha seperti Akta Perjanjian Kredit, Polis Ansuransi, dan APHT

serta dokumen lainnya merupakan perbuatan melawan hukum

4. Menyatakan Perjanjian Kredit sebagaimana yang telah dibuat dan

ditandatangani bersama antara konsumen dengan pelaku usaha berakibat

batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

5. Menyatakan pelaku usaha yang akan dan/atau telah melakukan lelang

eksekusi hak tanggungan dimuka umum atas barang jaminan melalui

perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Dumai,

yaitu berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 299 Desa/Kel Bangko

Sempurna, berupa sebidang tanah seluas 802 m² (dua ratus dua meter

persegi) berikut segala yang ada diatasnya, terletak di Provinsi Riau

Kabupetan/Kota Rokan Hilir, Lebih jauh diuraikan dalam Surat Ukur Nomor

299/Bangko Sempurna/2010 tertanggal 8 Maret 2010, Sertifikat Hak Milik

(SHM) yang dikeluarkan/terbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Rokan Hilir tertanggal 17 Juni 2011, nama pemegang hak

88
tertulis/terdaftar atas nama Palil, merupakan melawan hukum dan

bertentangan dengan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)

Nomor 4 Tahun 1996 yang mengharuskan eksekusi hak tanggungan berdasar

kepada Pasal 224 HIR/258 RBG yang diwajibkan bahwa Ketua Pengadilan

Negeri, dan tidak merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 juncto Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013) dengan alas an bahwa hal ini

bertentangan dengan angka 9 tentang penjelasan umum Undang- Undang

Hak Tanggungan (UUHT) Nomor 4 Tahun 1996

6. Bertentangan dengan Pasal 1211 BW yang mengharuskan lelang melalui

Pengadilan Negeri;

7. Bertentangan dengan Pasal 200 ayat (1) HIR yang mewajibkan Ketua

Pengadilan Negeri (dalam perkara a quo Pengadilan Negeri Rokan Hilir)

untuk memerintahkan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang

(KPKNL) Dumai untuk menjualnya (bukan pelaku usaha yang meminta

kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPK

8. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum Permintaan lelang yang akan

dan/atau telah dilakukan oleh pelaku usaha dengan melalui perantara Kantor

Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Dumai, terhadap agunan

yang menjadi jaminan konsumen kepada pelaku usaha, berupa Sertifikat Hak

Milik (SHM) Nomor 299 Desa/Kel Bangko Sempurna, berupa sebidang

89
tanah seluas 802 m² (dua ratus dua meter persegi) berikut segala yang ada

diatasnya, terletak di Provinsi Riau:

9. Menghukum pelaku usaha untuk membatalkan lelang yang akan dan/atau

telah dilakukan secara lelang eksekusi hak tanggungan dimuka umum atas

agunan yang menjadi jaminan pembayaran kembali atas fasilitas pinjaman

kredit (hutang) yang telah diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen

yaitu dengan melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan

Lelang (KPKNL) Dumai, berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 299

Desa/Kel Bangko Sempurna, berupa sebidang tanah seluas 802 m² (dua ratus

dua meter persegi) berikut segala yang ada diatasnya, terletak di Provinsi

Riau:

10. Menghukum pelaku usaha untuk menghapus denda tunggakan yang menjadi

akibat keterlambatan pembayaran angsuran perbulannya, pinalty, bunga

berjalan maupun lainnya yang bertentangan dengan peraturan dan

Menghukum pelaku usaha untuk membayar uang denda sebesar

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap harinya, apabila lalai atau tidak mau

mematuhi keputusan pada butir 8 (delapan) dan 9 (sembilan) tersebut diatas,

terhitung sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht);

Terhadap amar putusan BPSK tersebut dilakukan perlawanan oleh pihak

kreditur melalui gugatan pembatalan putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri

Simalungun. Adapun amar putusan telah memberikan putusan Nomor 42/Pdt.Sus-

BPSK/2017/PN.Sim., tanggal 11 Juli 2017 yang amarnya sebagai berikut:

90
1. Mengabulkan Permohonan Keberatan dari Pemohon Keberatan untuk

seluruhnya;

2. Membatalkan Putusan BPSK Kabupaten Batu Bara Nomor 57/Arbitrase/BPSK-

BB/I/2017 tertanggal 4 Mei 2017;

3. Menolak Keberatan (Eksepsi) Termohon Keberatan untuk seluruhnya;

4. Mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan yaitu PT Bank

Mandiri, Tbk., Cabang Pematang Siantar untuk seluruhnya;

5. Menyatakan BPSK Kabupaten Batu Bara tidak berwenang mengadili perkara

ini;

Merujuk pada putusan pengadilan negeri tersebut menyatakan bahwa

putusan arbitrase tersebut dibatalkan, namun pihak debitur tetap mengambil upaya

hukum agara putusan pengadilan negeri tersebut dibatalkan dengan cara pengajuan

kasasi. Putusan kasasi atas kasus tersebut telah diputus dengan putusan kasasi

nomor 168 K/Pdt.Sus-BPSK/2018 disebutkan sebagai berikut:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (PALIL) tersebut;

2. Menghukum Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan untuk membayar biaya

perkara

Dalam memutus perkara tersebut, majelis hakim pada Mahkamah Agung

berpendapat dalam pertimbangan hukumnya yakni Bahwa hubungan hukum antara

debitur dan kreditur adalah hubungan hukum hutang piutang secara kredit yang

didasarkan atas sebuah Perjanjian Kredit Nomor 0000115/PK/03624/12A1/0711

91
tanggal 21 Juli 2011 dengan perjanjian addendum-nya, karena terjadinya

wanprestasi oleh debitur dalam pembayaran hutangnya kepada kreditur sehingga

menimbulkan hak eksekusi bagi kreditur atas harta jaminan kredit, dan dalam suatu

sengketa antara pihak-pihak yang hubungan hukumnya didasari oleh sebuah

perjanjian yang dengan adanya wanprestasi atas perjanjian tersebut maka yang

berwenang memeriksa dan mengadilinya adalah Pengadilan Negeri, bukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), lagi pula tidak ada kesepakatan pilihan

hukum (klausula arbitrase) dalam perjanjian kredit tersebut yang memilih Arbitrase

Beberapa kasus sejenis yang diputus oleh majelis arbiter pada BPSK hingga

upaya hukum yang telah dilakukan oleh paara pihak melahirkan yurisprudensi

mahkamah agung. Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang dapat

menjadi rujukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Indonesia

menganut civil law system dengan konsekuensi bahwa yurisprudensi sebagai

sumber hukum yang tidak mengikat oleh hakim berbeda dengan sistem hukum

common law yang mewajibkan hakim mengikuti putusan terdahulu dengan perkara

yang sama. Sumber hukum selain yurisprudensi diantaranya ialah undang-undang

(statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi) dan

sebagainya.

92
Terdapat dua asas dalam yurisprudensi yang menjadi pertimbangan hakim untuk

mengikuti putusan hakim yang terdahulu atau tidak, adapun asas hukum tersebut

diantaranya:40

a. Asas precedent

yakni bermakna bahwa seseorang hakim terikat oleh putusan hakim lain, baik

yang sederajat maupun hakim yang lebih tinggi tingkatanya. Hakim dalam

mengadili dan memutuskan perkara tidak boleh menyimpang dari putusan hakim

lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Asas precedent dianut di

commonlaw seperti negara Amerika Serikat, Inggris, dan Afrika Selatan.

Asas precedent atau dapat juga disebut sebagai doktrin stare dicisie . Asas

ini dimaknai bahwa seorang hakim tidak terikat oleh putusan hakim

terdahulu, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Maksud dari

tidak terikat disini diartikan bahwa seorang hakim, dalam memutuskan

suatu perkara diberi kebebasan untuk mengikuti putusan hakim terdahulu atau

tidak mengikuti putusan hakim terdahulu. Asas bebas ini dianut oleh negara-

negara eropa kontinental atau civil law system seperti Belanda, Perancis

dan Indonesia yang cenderung menggunakan peraturan perundang-undangan

sebagai hukum tertulis yang tertinggi dalam tata peraturan perundang-undangan.

Putusan sejenis dalam uraian diatas melahirkan yurisprudensi yang

diterbitkan oleh Mahkamah Agung No. 1/Yur/Perkons/2018 Tahun 2018 Bidang

40
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama,
Bandung, 2000, h. 97

93
Hukum Perdata Khusus dengan Klasifikasi Perlindungan Konsumen dan Perjanjian

Pembiayaan Konsumen. Hakim pada mahkamah agung merujuk pada Peraturan

Terkait seperti HIR, UU No. 8 Tahun 1999, Kep.Menperindag No. No.350/

MPPP/Kep/12/2001; Perma No. 1 Tahun 2006 adapun Sumber Putusan yakni

Putusan Mahkamah Agung No 27 K/Pdt.Sus/2013. Menurut penelittian yang

dilakukan oleh kamar perdata, dalam praktek kerap ditemukan perkara dimana

sengketa perjanjian pembiayaan (perjanjian kredit) antara lembaga pembiayaan

konsumen baik berdasarkan perjanjian hak tanggungan maupun fidusia, yang

diajukan ke Badan Penyelesaikan Sengketa Konsumen (BPSK). Sengketa

umumnya terjadi ketika pihak kreditur akan mengajukan eksekusi obyek

tanggungan atau fidusia dengan alasan debitur telah lalai melunasi kewajiban

angsurannya.

Atas pengaduan pihak debitur tersebut BPSK membantu menyeelseaikan

perkara gugatan tersebut melalui penyelesaian sengketa secara arbitrase dan

memutus perjanjian antara kreditur dan debitur batal demi hukum dengan alasan

perjanjian pembiayaan konsumen yang dilakukan kedua belah pihak mengandung

klausula baku yang dilarang oleh UU Perlindungan Konsumen. Selain itu dalam

praktek ditemukan fakta hukum bahwa BPSK menyatakan pelaksanaan eksekusi

obyek yang dijaminkan tidak sah dan memerintahkan kepada kreditur untuk

menghentikan eksekusi dan mengembalikan barang yang dijaminkan tersebut

sehingga kembali kepada keadaan semula.

94
Atas putusan yang diputus BPSK tersebut, pihak kreditur mengajukan

keberatan ke pengadilan negeri. Hakim berpandangan bahwa terdapat fakta hukum

dalam kasus tersebut yakni apakah sengketa yang ditimbul dalam perjanjian

pembiayaan konsumen merupakan kewenangan BPSK atau tidak. Terdapat

pandangan pertama yang berpendapat bahwa hubungan hukum dalam sengketa

perjanjian pembiayaan atau kredit termasuk sebagai sengketa konsumen sehingga

BPSK berwenang mengadili sengketa tersebut. Pandangan kedua sebaliknya, jika

pada pendapat pertama merujuk pada:

a. putusan Kasasi dengan nomor perkara 063 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 26

Nopember 2007 dengan pihak PT. Adira Dinamika Multifinance melawan

Agustri Admodjo

b. Putusan kasasi No 267 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012 dengan pihak

Novan Ferdiano melawan PT U Finance Indonesia

c. Putusan kasasi No. 335 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 6 September 2012 dengan pihak

PT Mandiri Tunas Finance melawan S

d. Putusan kasasi No. 589 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 22 November 2012 dengan

pihak PT Sinarmas Multifinance melawan E

Sementara itu pendapat merujuk pada putusan kasasi No. 447 K/Pdt.Sus/2011

tanggal 25 Agustus 2011 dan putusan no. 566 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 14

November 2012 serta dissenting opinion dari Hakim Agung Syamsul Ma’arif, SH,

LLM, Ph.D pada putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012.

95
Sejak tahun 2013 pendapat pertama para hakim sebagaimana dalam uraian

diatas telah ditinggalkan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan No.

27 K/Pdt.Sus/2013 tanggal 23 Maret 2013 dengan pihak Ny. Yusmaniar melawan

PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk yang menyatakan bahwa hubungan hukum

antara Penggugat dan Tergugat, merupakan hubungan hukum yang didasarkan pada

perjanjian pembiayaan bersama dengan penyerahan barang jaminan yang diikat

dengan perjanjian fiducia. Kasus tersebut / obyek sengketa tersebut tidak termasuk

sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Padang tidak berwenang untuk menyelesaikan

perkara tersebut.

Selanjutnya putusaan tersebut diikuti oleh hakim yang memutus perkara

sebagaimana dalam putusan kasasi No 306 K/Pdt.Sus/2013 tanggal 26 Agustus

2013 dengan para pihak Zuraidah melawan PT. Adira Dinamika Multi Finance,

Tbk yang dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan hukum bahwa Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi Deli dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota

Tebing Tinggi tidak tepat dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai

berikut:

a. Perkara tersebut berkaitan dengan tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh

debitur karena tidak menyerahkan BPKB 1 unit sepeda motor yang telah

dibayar secara bertahap oleh Termohon Keberatan sehingga bukan

96
merupakan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

pasal 1 angka 8 Kep.Menperindag No.350/MPPP/Kep/12/2001;

b. Bahwa selain itu debitur bukan merupakan konsumen sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Kep.Menperindag No. No.350/

MPPP/Kep/12/2001, sehingga debitur atau Penggugat melayangkan gugatan

melalui pengadilan negeri bukan BPSK.

Pandangan hukum serupa telah diikuti oleh hakim hingga tahun 2018.

Sikap hukum sebagaimana di atas, para hakim sepakat bahwa sengketa yang

timbul dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan/kredit bukan merupakan sengketa

konsumen sehingga obyek sengketa tersebut bukan merupakan kewenangan BPSK

dan yurisprudensi ini telah menjadi yurisprudensi tetap di Mahkamah Agung. Hal

ini dikarenakan Mahkamah Agung telah secara konsisten menerapkan pandangan

dan sikap hukum tersebut pada kasus sejenis sejak tahun 2013. Penulis berpendapat

bahwa suatu perjanjian tidak serta merta dapat dibatalkan apabila debitur tidak

dapat melaksanakan kewajiban, dikarenakan suatu perjanjian diibaratkan sebagai

undang-undang sebagaimana dalam Pasal 1338 BW terutama pada perjanjian yang

dibuat dengan format akta notaris, sifat dari perjanjian kredit yang dibuat dengan

akta autentik berlaku mengikat dan sebagai bukti tertulis terkuat. apabila akta

tersebut dibatalkan maka akta tersebut akan turun derajatnya menjadi akta dibawah

tangan tidak lagi menjadi akta autentik. Pihak notaris selaku pembuat akta autentik

wajib melindungi akta perjanjian pembiayaan//kredit yang telah ia buat dan wajib

menyampaikan di hadapan majelis hakim bahwa akta tersebut benar ia buat dan

97
dalam proses pembuatan tidak ada cacat hukum sehingga tidak melanggar UU

Jabatan Notaris dan Perubahannya.

Menurut J Satrio, Suatu perjanjian yang mengandung cacat dalam syarat

subyeknya tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan

sendirinya (Nietig) namun hanya memberikan kemungkinan bagi para pihak yang

berkepentingan untuk mengajukan pembatalan (vernitiegbaar) sementara apabila

cacat ini terjadi pada syarat obyektifnya maka perjanjian tersebut akan batal demi

hukum.41 Sehingga apabila dalam proses pembuatan akta perjanjian kredit/

pembiayaan, notaris tidak memperhatikan ketentuan pasal 1320 BW maka

perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan bahkan dapat dikategorikan batal demi

hukum.

Dalam kasus tersebut BPSK tidak berwenang untuk menyelesaikan gugatan

yang diajukan oleh debitur dan kreditur dikarenakan tidak sesuai dengan wewenang

BPSK sebagaimana dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen diantaranya :

a. BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian

sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau

konsiliasi;

b. BPSK dapat memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. BPSK dapat melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku;

d. Pihak BPSK dapat melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi

pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;

41
J Satrio, Hukum Perikatan,Perikatan yang lahir dari perjanjian, Citra Aditya
Bhakti,Bandung,h. 165.

98
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

apabila terdapat pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. membuat penelitian dan pemeriksaan sengeketa perlindungan konsumen;

g. BPSK dapat memanggil pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. BPSK dapat memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap

orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini

i. BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

huruf h, yang tidakbersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian

sengketa konsumen;

j. BPSK dapat meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. BPSK berwenang memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya

kerugian di pihak konsumen;

l. Wewenang untuk memberikan putusan kepada pelaku usaha yang

melakukan pelanggaran terhadap perlindunagnan konsumen;

m. BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Sengketa konsumen berbeda dengan sengketa perdata umum sehingga

BPSK tidak berwenang dalam memutus perkara yang timbul dari perjanjian

pembiayan / kredit beserta perjanjian tambahan. Namun hingga saat ini belum ada

99
peraturan perundang-undangan yang bersumber dari yurisprudensi mengenai

larangan BPSK menerima kasus sengketa selain sengketa konsumen. Penulis

berpendapat peraturan tersebut sangatlah penting untuk melindungi bank selaku

kreditur dan notaris selaku pembuat akta autentik.

100
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Bahwa hubungan hukum antara debitur dan kreditur adalah hubungan hukum

hutang piutang yang diikat sebagaimana dalam perjanjian kredit, karena

terjadinya wanprestasi oleh debitur dalam pembayaran hutangnya kepada

kreditur sehingga menimbulkan hak eksekusi bagi kreditur atas harta jaminan

kredit

2. Dalam suatu sengketa antara pihak-pihak yang hubungan hukumnya didasari

oleh sebuah perjanjian yang dengan adanya wanprestasi atas perjanjian tersebut

maka yang berwenang memeriksa dan mengadilinya adalah Pengadilan Negeri,

bukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan pertimbangan

bahwa tidak ada kesepakatan pilihan hukum (klausula arbitrase) dalam

perjanjian kredit tersebut yang memilih Arbitrase

3. Suatu perjanjian tidak serta merta dapat dibatalkan apabila debitur tidak dapat

melaksanakan kewajiban, suatu perjanjian diibaratkan sebagai undang-undang

sebagaimana dalam Pasal 1338 BW. Perjanjian yang dibuat dengan format akta

notaris berlaku mengikat dan sebagai bukti tertulis terkuat, apabila akta tersebut

dibatalkan maka akta tersebut akan turun menjadi akta dibawah tangan tidak

lagi menjadi akta autentik dan dalam hal ini notaris wajib melindungi akta

perjanjian pembiayaan//kredit yang telah ia buat di hadapan majelis hakim

101
bahwa akta tersebut benar ia buat dan dalam proses pembuatan tidak ada cacat

hukum sehingga tidak melanggar UU Jabatan Notaris dan Perubahannya.

Saran

1. Bank diharapkan memberikan copy perjanjian kredit kepada nasabah untuk

menghindari tuntutan dikemudian hari

2. Pembentuk peraturan perundnag-undangan diharapkan membuat aturan / juknis

mengenai hal hal yang diatur dalam yurisprudensi No yurisprudensi Mahkamah

Agung No 1/Yur/Perkons/2018

102
DAFTAR PUSTAKA

Hadisaputro, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, Liberty,

Yogyakarta, 1986

Estelle Phillips dalam Rusdianto S, Prinsip Kesatuan Hukum Nasional Dalam

Pembentukan Produk Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Khusus atau Sementara,

Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2016.

Bernard L Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, KITA, Surabaya, 2007

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo,

Jakarta, 2004.

Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, Fh UII Press,

Yogyakarta, 2008.

Philipus M Hadjon, Hukum Administrasi Sebagai Instrumen Hukum untuk

Mewujudkan Good Governance, Trisakti, Jakarta, 2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2011.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2014

(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III

Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang

Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan

Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya, Bina Ilmu, 1987

103
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2006.

Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Sinar Grafika,

Jakarta, 2011

Yusuf Shofie, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Adi Bakti, bandung,

2008

Ahmad Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo, Jakarta,

2004

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008.

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses

Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004.

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial, Prenadamedia Group, Jakarta, 2010

Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi Perkara

Perdata, Kencana, Surabaya, 2009

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta. 2009.

Siswanto Sutojo, Analisa Kredit Bank Umum Konsep dan Teknik, Pustaka Binaman

Pressindo, Jakarta,1995.

104
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Citra Aditya . Bakti,

Bandung. 2010

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002

Rachmadi Usman sebagaimana dikutip dalam Prof M Isnaeni, Leonora Bakarbessy,

Trisadini P Usanti, Perjanjian Kredit dan Jaminan, Surabaya ,2012.

Sri Soedewi M, Hukum Benda, Liberty,Yogyakarta,1974

Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Pers,

Jakarta, 2007.

Djaja S. Meliala. Hukum Perikatan dalam Prespektif BW, Nuansa Aulia. Bandung, 2012

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002,h.45

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung,

2000.

J Satrio, Hukum Perikatan,Perikatan yang lahir dari perjanjian, Citra Aditya

Bhakti,Bandung

105
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN

1. Burgerlijk Wetboek

2. Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Perbankan

5. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen

6. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa

7. Undang-Undang No 48 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

8. Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

9. Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan

Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

10. Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan

11. Putusan Kasasi Nomor 334 K/Pdt.Sus-BPSK/2013, 238 K/Pdt.Sus/2011, 549

K/Pdt.Sus-BPSK/2015, 770 K/Pdt.Sus-BPSK/2015, 1403 K/Pdt.Sus-

BPSK/2017, 955 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1301 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1475

K/Pdt.Sus-BPSK/2017, 1040 K/Pdt.Sus-BPSK/2017, K/Pdt.Sus-BPSK/2017,

106
1290 K/Pdt.Sus-BPSK/2017,168 K/Pdt.Sus-BPSK/2018, 169K/Pdt.Sus-

BPSK/2018, 84K/Pdt.Sus-BPSK/2018

12. yurisprudensi Mahkamah Agung No 1/Yur/Perkons/2018

107

Anda mungkin juga menyukai