Anda di halaman 1dari 12

PROPOSAL

ANALISIS PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA


PERUSAHAAN LEASING BERDASARKAN HUKUM
PERDATA
(STUDY KASUS : PUTUSAN NOMOR 293K/Pdt-
Sus.BPSK/2016)

Diajuakan dalam rangka Penulisan Skripsi di Fakultas Hukum


Universitas Lancang Kuning

Oleh :

NAMA : RIO WIRANDA


NPM : 1774201051

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
TAHUN 2019/2020

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian..................................................................5
D. Kerangka Teori.............................................................................................5
E. Metode Penelitian.........................................................................................7
F. Sistematika Penulisan...................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

ii
A. Latar Belakang Masalah

Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha dibidang lembaga


keuangan non-bank yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pembiayaan dan pengelolaan salah satu sumber dana pembangunan di Indonesia.
Kegiatan lembaga pembiayaan dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat melalui
deposito, tabungan, giro dan surat sanggup bayar. Leasing sebagai salah satu
alternatif pembiayaan yang memberikan kemudahan-kemudahan dibandingkan
pembiayaan melalui pinjaman dari bank dan penggunaan jaminan dalam
perjanjian leasing merupakan hal yang penting, karena merupakan pengamanan,
dan perjanjian itu sendiri dibuat dalam bentuk akta otentik, dan leasing juga
berarti perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang
modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee.
Lembaga pembiayaan hadir dengan inovasi - inovasi untuk memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk membeli barang secara berangsur (kredit)
dengan uang muka (downpayment) yang relatif rendah dan jangka waktu
pembayaran cicilan yang relatif lama (bisa mencapai 3 sampai dengan 4 tahun).1
Hal ini membuat masyarakat terkadang gampang tergiur untuk
mendapatkan kendaraan terbaru ataupun berhasrat memiliki kendaraan bekas yang
dijual di showroom roda dua (sepeda motor) maupun showroom roda empat
(mobil) karena kemudahan pembelian dan bentuk pembayaran yang ditawarkan
perusahaan leasing yang menawarkan jasa perjanjian leasing untuk mendapatkan
kendaraan tersebut sekaligus di showroom - showroom tersebut. Akan tetapi
hasrat dan ketergiuran masyarakat ini kadang tidak dibarengi dengan kemampuan
finansial ataupun pemikiran yang panjang tentang sumber pembayaran cicilan di
kemudian hari dengan mempertimbangkan pendapatan, kebutuhan yang terus
meningkat, dan pengeluaran dari debitur. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi
fenomena kredit macet dalam perjanjian leasing, dan banyak perusahaan leasing
yang bermodal besar menggunakan jasa debt collector untuk melakukan penarikan
paksa terhadap benda bergerak yang berada di tangan debitur secara sewenang-

1
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Ham, Kompilasi Bidang Hukum
Tentang Leasing, Jakarta : 2011, hlm. 17.

1
wenang tanpa mematuhi peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia, dalam hal ini yang paling sering dirugikan adalah debitur karena
barang bergerak yang berada ditangan kreditur diambil sementara uang debitur
untuk membayar uang muka dan cicilan kendaraan yang telah dibayarkan tidak
dapat diminta kembali dari kreditur. Situasi ini jelas memberikan
ketidaknyamanan dan rasa ketidakadilan bagi debitur, dan dari segi hukum
perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang
tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi. Dalam hal ini penyelesaian sengketa
antara konsumen / debitur dan pelaku usaha/ lessor melalui pengawasan terhadap
setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang
merugikan konsumen.
Terjadinya hubungan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan
konsumen terlebih dahulu dilakukan kontrak / perjanjian yaitu kontrak / perjanjian
pembiayaan konsumen. Atas dasar kontrak yang sudah ditanda tangani secara
yuridis para pihak terikat akan hak dan kewajiban selanjutnya adalah kontrak /
perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dibatalkan
secara sepihak.2
Kredit bermasalah (macet) dapat diartikan sebagai ketidak sanggupan
debitur untuk melunasi pinjamannya kepada kreditur berupa angsuran pokok dari
pinjaman beserta bunganya, serta biaya lain dimana mengalami kegagalan karena
deviasi (penyimpangan) sehingga tidak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati yang akhirnya dapat membawa kerugian kepada pihak kreditur.
Kredit bermasalah timbul tidak dengan seketika melainkan secara bertahap
dimana terjadi penurunan berbagai aspek yang dimiliki debitur yang berakhir
dengan ketidak mampuan debitur membayar kreditnya.
Di Kota Pekanbaru khususnya terdapat kasus didominasi finance
kendaraan bermotor yakni eksekusi terhadap barang jaminan dilakukan karena
kredit yang diberikan bermasalah (macet). Pengaduan konsumen dari sektor
finansial / leasing didominasi pengaduan dalam hal penarikan barang pembiayaan
yang terlalu cepat. Penarikan barang pembiayaan yang terlalu cepat dirasa pihak
konsumen melanggar aturan yang diciptakan pihak pemberi pembiayaan sendiri.

2
Sunaryo, Hukum Lembaga Keuangan, Jakarta :2008, hlm. 100.

2
Penyelesaian sengketa antara pihak leasing dan konsumen adalah dengan cara
konsiliasi, mediasi dan arbitrase.
Dalam dunia pembiayaan, khususnya pembiayaan yang diberikan oleh
perusahaan leasing cenderung menerapkan perjanjian hutang piutang yang bersifat
adanya penggunaan jaminan kepada para nasabahnya, hal ini kerap dilakukan
mengingat agar terciptanya jaminan para nasabah untuk dapat melunasi
hutangnya, dan dalam melakukan perjanjian hutang piutang tersebut kebanyakan
para pelaku usaha dalam dunia leasing menggunakan perjanjian baku atau dapat
dikatakan perjanjian yang dibuat secara sepihak, mengingat kebanyakan dalam
kondisi yang lemah para nasabah sering kali tidak bisa berbuat apa-apa dan
cenderung disebut sebagai pihak yang tersisihkan haknya sebagai nasabah, karena
faktor kebutuhan maupun ekonomi yang sudah mendesak para nasabah pun
menyetujui draft - draft perjanjian atau klausula baku tersebut. Dalam
implementasinya, terkadang sering terjadi pelanggaran - pelanggaran yang
dilakukan oleh para pelaku usaha pembiayaan atau perusahaan leasing tersebut
yang dinilai kerap sangat merugikan para pengguna jasa atau nasabah perusahaan
pembiayaan atau leasing tersebut.
Hal ini merujuk kepada Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan
melawan hukum yang dideskripsikan sebagai “Perbuatan yang bersifat melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahan atau kelalaiannya
itu telah menimbulkan kerugian materiil maupun non materiil bagi orang lain”.3
Selama ini kasus kredit macet yang terjadi di pembiayaan konsumen,
seperti kredit kendaraan bermotor, lebih dikarenakan keterlambatan pihak
konsumen membayar angsuran. Sebagai ilustrasi, konsumen mengambil kredit
sepeda motor selama 36 (tiga puluh enam) bulan. Konsumen ini mengalami
kegagalan atau tertundanya pembayaran lebih dari dua bulan yaitu pada bulan ke-
17 (tujuh belas) dan bulan ke-18 (delapan belas). Kebiasaan yang terjadi
kemudian adalah pihak perusahaan pembiayaan akan menarik/mengambil
kendaraan tersebut. Saat pihak konsumen mencoba melunasi tunggakan kredit
berikut bunganya justru kemudian ”diwajibkan” oleh perusahaan pembiayaan
untuk melunasi keseluruhan kreditnya hingga bulan ke-36 (tiga puluh enam).

3
Pasal 1365 KUHPerdata.

3
Tentu saja hal ini memberatkan pihak konsumen dan kecenderungannya kemudian
konsumen menjadi pihak yang tidak memiliki upaya untuk melawan. Hal ini
dikarenakan ada persetujuan konsumen untuk pengalihan hak dari pembayaran
kredit ke pembayaran tunggal atau pengalihan hak kepada perusahaan pembiayaan
jika ada hal- hal yang belum diatur. Sebenarnya inilah yang disebut ”kredit
macet”.
Sengketa konsumen dapat diselesaikan di dalam maupun diluar
pengadilan. Penyelesaian sengketa ini seperti terdapat dalam Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha yang menolak dan/atau
tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas ketentuan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4)
dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Dalam hal ini, konsumen melakukan pengaduan kepada BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen) Kota Pekanbaru terhadap perusahaan leasing
tersebut, dan BPSK Kota Pekanbarupun memenangkan konsumen, namun pihak
leasing keberatan atas putusan BPSK Kota Pekanbaru yang memenangkan
konsumen tersebut. Pihak leasing melakukan upaya kasasi di tingkat pengadilan,
dan hasilnya pengadilan memenangkan kasasi pihak leasing.
Berdasarkan gugatan tersebut, pihak leasing menyatakan bahwa konsumen
telah melakukan wanprestasi dalam perjanjian/kontrak tersebut. Sebelumnya,
pihak konsumen telah melakukan gugatan kepada BPSK Kota Pekanbaru dan
BPSK pun memenangkan gugatan konsumen tersebut. Dalam hal ini, pihak
leasing tidak terima atas putusan tersebut dan melakukan kasasi.
Perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum
penyelesaian sengketa maka sudah seharusnya para pihak tunduk pada klausula
tersebut. Hal ini mengacu pada Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena
itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
Kredit bermasalah merupakan suatu hal yang memerlukan perhatian serius
dan perlu segera ditanggulangi karena disamping menyangkut tentang
kelangsungan hidup permodalan dari kreditur selaku pemberi kredit juga bagi

4
kelangsungan hidup dari usaha – usaha lain yang sangat tergantung dari fasilitas
kredit tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk melakuakan penelitan tentang :
Analisis Penyelesain Kredit Bermasalah Pada Perusahaan Leasing Berdasarkan
Hukum Perdata (Study Kasus Putusan Nomor 293K/Pdt-Sus.BPSK/2016)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana upaya penyelesaian kredit bermasalah pada perusahaan


leasing ?
2. Bagaimana analisis Putusan Nomor 293K/Pdt-Sus.BPSK/2016
berdasarkan hukum perdata?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian kredit bermesalah
berdasarkan Undang – Undang
b. Untuk mengetahui apakah hasil Putusan Nomor 293K/Pdt-
Sus.BPSK/2016 sudah sesuai berdasarkan KUHPerdata
2. Kegunaan Penelitian
a) Dibidang akademis
Dibidang akademis diharapkan penelitian ini dapat
memberikan masukan atau kontribusi secara teoritis bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, Khususnya ilmu hukum
perdata.
b) Dibidang praktis
Dibidang praktis diharapakan penelitian ini dapat memberi
masukan penegak hukum dan praktis hukum serta sebagai
sumber inspirasi penelitian berikutnya yang relevan atau
berkaitan dengan penelitian ini.

5
D. Kerangka Teori

Krangka teori yang dipakai pada penelitan ini ialah :


1. Teori 3 P
Teori ini didasarkan kepada pemilikiran Scoott J. Burham yang
mendasarkan dalam penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari
dengan pemikiran-pemikiran sebagai berikut:
a. Predictable, dalam perancangan dan analisa kontrak seorang drafter
harus dapat meramalkan atau melakukan prediksi mengenai
kemungkinan - kemungkinan apa yang akan terjadi yang ada
kaitannya dengan kontrak yang disusun.
b. Provider, yaitu Siap-siap terhadap kemungkinan yang akan terjadi.
c. Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah
dirancang dan dianalisa sehingga dapat melindungi klien atau
pelaku bisinis dari kemungkinan kemungkin terburuk dalam
menjalankan bisnis. Asas kebebasan berkontrak dalam melakukan
suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan
hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan suatu
perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara
otonom berhak untuk melakukan perjanjian dengan individu lain
atau kelompok masyarakat lainnya.

Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata


Bab Kedua yang mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan
dari kontrak atau persetujuan. Pengertian kontrak dengan persetujuan
adalah sama seperti terlihat yang didefinisikan pada Pasal 1313
KUHPerdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar
dan mengatur jenis perjanjian tertentu. Sekalipun demikian mungkin
kontrak adalah bagian yang kurang menonjol dari hukum yang hidup
(living law) dibandingkan bidang lain yang berkembang berdasarkan
hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.

Subekti mendefinisikan Perikatan/ Kontrak dan Perjanjian sebagai


berikut:

6
1. Perikatan/ Kontrak adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Dari kedua definisi tersebut, terlihat bahwa perbedaan yang tegas


antara Perikatan/ Kontrak dan Perjanjian adalah terletak pada hubungan
atau konsekuensi hukumnya.

Pada Perikatan, masing-masing pihak mempunyai hak hukum


untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya yang sudah
sepakat untuk terikat. Sedangkan pada Perjanjian tidak ditegaskan tentang
hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila
salah satu pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji. Akan tetapi,
apabila kita hubungkan pendapat Subekti ini dengan KUHPerdata Pasal
1233 di mana dinyatakan bahwa perikatan juga lahir dari suatu perjanjian,
maka dalam hal ini perjanjian seharusnya juga memiliki konsekuensi
hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian dapat dibagi dua, yaitu:

1. Suatu hubungan yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

2. Suatu hubungan yang melahirkan perikatan yang memiliki


konsekuensi hukum.

E. Metode Penelitian

Menurut Soetrisno Hadi, metode penelitian memberikan pedoman


untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan suatu pengetahuan.
Dengan demikian, metode penelitian mempunyai peranan yang penting
dalam suatu penelitian. Adapun metode dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

7
Adapun jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian
secara yuridis empiris. menggunakan ketentuan – ketentuan normative,
teori hukum yakni menganalisa atau mengkaji peraturan – peraturan
perundang – undangan yang berlaku dan pendapat – pendapat dari para
sarjana sebagai dasar teori pemecahan masalah, yang kemudian di
hubungkan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat melalui
pendekatan masalah secara empiric yakni pendekatan masalah yang di
dasarkan pada hasil penelitian lapangan yang terkait dengan penerapan
peraturan perundangan – undangan dan pendapat – pendapat para sarjana
tersebut dalam praktik.

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah Badan Penyelesaian Sengkea Konsumen


Pekanbaru yang beralamat di Jl. Teratai No. 83 Kota Pekabaru

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, dan populasi yang
diambil adalah terhadap kasus yang diselesaikan melalui lembaga
penyelesaian sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
b. Sampel
Sampel yang diambil adalah Putusan Nomor 293K/Pdt-
Sus.BPSK/2016 yang dikeluarkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Pekabaru.
4. Sumber data
Sebagai sumber data dalam penellitian ini adalah :
a. Data Primer, adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti
melalui populasi atau sampel. Data ini dapat saja berasal dari
masyarakat, pegawai instansi pemerintah, pegawai swasta dan dari

8
sumber lainnya serta data tersebut harus berhubungan lansung
dengan pokok masalah yang akan dibahas.
b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari buku – buku

literature yang mendukung dengan pokok masalah yang dibahas

dan peraturan perundang – undangan, juga berupa skripsi, disertasi,

jurnal, surat kabar, makalah seminar, dan lain – lainnya.

5. Teknik pengumpulan data


Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,
penelitian melakukan pengumpulan data melalui teknik sebagai berikut:
a. Teknik wawancara (interview)
yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan
tanya jawab secara lansung kepada siapa yang akan menjadi
responden.
b. Teknik kepustakaan
yaitu penelitian keperpustakaan, yang mencari landasan teori
dengan mempelajari buku-buku bacaan, literatur-literatur, bahan-
bahan kuliah serta artikel-artikel yang berhubungan dengan topik
penelitian.
6. Analisis data
Analis data yang dipake pada penelitian ini ialah analisis kualitatif
yang mana data yang diperoleh tidak dianalisis dengan menggunakan
statistik atau matematika atau sejenis, namun cukup dengan menguraikan
secara deskriptif (narasi) dari data yang diproleh.

F. Sistematika Penulisan

a. Latar Belakang Masalah


b. Rumusan Maslah
c. Tujuan Dan Keguanan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
2. Kegunaan Penelitian

9
d. Kerangka Teori
e. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
2. Lokasi Penelitian
3. Populasi dan sampel
a. Populasi
b. Sampel
4. Sumber data
5. Teknik pengumpulan data
6. Analisis data
f. Sistematika Penulisan
g. Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Ham,


Kompilasi Bidang Hukum Tentang Leasing, Jakarta : 2011
2. Sunaryo, Hukum Lembaga Keuangan, Jakarta : 2008
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
5. Putusan Nomor 293 K/Pdt.Sus- BPSK/2016.
6. Hesti Dwi Atuti, “Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”, Jurnal Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Vol. I No. 02
Edisi Juli-Desember 2015
7. Hastani, “Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Rangka
Menwujudkan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen”, Jurnal Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Untan, VOL 3, NO 3 (2016) Neil Bhutta

10

Anda mungkin juga menyukai