Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS : “KEBERMANFAATAN DEBT COLLECTOR

SEBAGAI MITRA BANK DALAM KONFLIK DI


MASYARAKAT.”

MAKALAH

Dosen Pengampu

Mardi Handono, S.H., M.H.

Oleh :

Muhammad Ragil Hermawan

210710101091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER
DAFTAR ISI

ANALISIS : “KEBERMANFAATAN DEBT COLLECTOR SEBAGAI MITRA BANK


DALAM KONFLIK DI MASYARAKAT.” ........................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB 1 ..................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 3
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................................. 3
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................. 6
BAB 2 ..................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 7
2.1 Pertanggungjawaban pidana oleh debt collector yang melakukan tindak pidana ............... 7
2.2 Perilaku Debt Collector dalam Penagihan Hutang Kredit Macet Sesuai Aturan Hukum
yang Berlaku di Indonesia................................................................................................................ 9
BAB 3 ................................................................................................................................................... 13
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSAKA.............................................................................................................................. 14

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Lembaga keuangan merupakan setiap perusahaan yang bertindak untuk menyediakan


jasa keuangan bagi para nasabah, baik itu menghimpun dana dan menyalurkan dana ataupun
kedua-duanya. Lembaga keuangan di Indonesia dibagi menjadi, lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan non bank. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
perbankan merupakan suatu badan usaha yang bertugas untuk menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan,giro, deposito serta menyalurkannya
kepada masyarakat lain dalam bentuk kredit atau yang lainnya dengan tujuan untuk
meningkatkan taraf hidup orang banyak. Bank memiliki kegiatan utama, yaitu menerima
tabungan, simpanan giro, deposito, dan bank juga dikenal sebagai pihak yang memberikan
pinjaman atau kredit.1
Kredit merupakan bentuk penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan hal itu, berdasarkan adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan si peminjam untuk melunasi utangnya berdasarkan
jangka waktu yang telah ditentukan dengan pemberian bunga.2 Pemberian kredit kepada
nasabah didasarkan karena adanya kepercayaan bank terhadap nasabah tersebut untuk
melunasi kembali pinjaman dari bank. Dilihat dari segi perbankan, kredit mempunyai posisi
yang strategis, yang mana sebagai salah satu sumber uang yang diperlukan dalam membiayai
kegiatan usaha yang dapat dititik beratkan sebagai kunci kehidupan pada setiap manusia.
Setiap subjek hukum, baik itu manusia maupun badan hukum dapat melakukan suatu
perbuatan hukum, yang salah satunya adalah melakukan perjanjian. Perjanjian merupakan
suatu persetujuan atau kesepakatan yang menimbulkan perikatan di antara pihak-pihak yang
mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut, hal tersebut telah diatur dalam KUH
Perdata. Dalam suatu perjanjian, selalu terdapat dua subjek, yaitu pihak yang berkewajiban
untuk melakukan suatu prestasi dan pihak yang lain, yang berhak atas suatu prestasi. Di
dalam suatu kegiatan perbankan khususnya perkreditan, tidak jarang debitur (nasabah) lalai
1
Y (2021) Agnestian, “Prosedur Penyaluran Kredit Pra Purna Bhakti (Kppb) Pada Pt. Bank Pembangunandaerah
Jawa Barat Dan Banten Kantor Cabang Pembantu Limbangan” (2021) Angewandte Chemie International
Edition, 6(11), 951–952 2013–2015.
2
“Pengertian Kredit – BPR Batu Artorejo”, online: <http://bprartorejobatu.com/pengertian-kredit/> at 1.

3
dalam melaksanakan kewajibannya atas prestasi sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat
dengan pihak bank, hal inilah yang disebut sebagai keadaan wanprestasi.
Adanya kasus kredit bermasalah adalah ketika kreditor telah dianggap mengingkari
janji karena telat atau lalai untuk membayar bunga dan/atau kredit induk sehingga
menyebabkan adanya keterlambatan pembayaran atau tidak sama sekali dilakukan
pembayaran, dengan demikian dapat disebutkan bahwa kredit bermasalah yang didalamnya
meliputi kredit macet, walapun tidak semua kredit yang bermasalah adalah kredit macet.3
Kredit macet atau problem loan merupakan keadaan dimana debitur (nasabah) baik
perorangan, maupun perusahaaan tidak bisa melakukan pembayaran terhadap kredit bank
sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Dalam dunia kartu kredit, kredit macet
merupakan kredit bermasalah, dimana pengguna kartu kredit tersebut tidak mampu
melakukan pembayaran minimum yang telah jatuh tempo selama lebih dari 3 bulan.
Otoritas jasa keuangan (OJK) melaporkan bahwa pada Desember 2022, penyaluran
kredit perbankan meningkat 11,35% dibanding setahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Berkenaan dengan hal itu, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), pada
Desember 2022 mencapai 2,44% dari total penyaluran kredit.4 Rasio tersebut mengalami
penurunan sepanjang 2022 hingga mencapai level terendah sejak awal pandemi. Adanya
kredit macet akan menimbulkan suatu permasalahan baru bagi pemilik kredit tersebut dan
juga bank sebagai pihak pemberi kartu kredit. Pada umumnya, permasalahan yang terjadi
adalah dalam hal penagihan utang kartu kredit yang mengalami kemacetan. Pemilik kartu
kredit macet tersebut sering merasa keberatan akibat penagihan hutang kredit yang telah jatuh
tempo, hal ini dikarenakan dalam penagihan hutang kredit macet tersebut dilakukan bank
dengan menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).
Penggunaan jasa untuk menagih utang para pemegang kredit macet oleh debt
collector merupakan hal yang sudah lumrah sejak lama, meskipun tidak diketahui kapan
profesi ini mulai muncul. Bank Indonesia telah mengatur hal tersebut yang terdapat dalam
PBI No. 11/11/PBI/2009 yang telah di sempurnakan dengan PBI 14/2/PBI/2012 dan SEBI
11/10/DASP. Di Indonesia tidak terdapat suatu pengaturan yang rinci mengenai pembatasan
penagihan menggunakan jasa debt collector, hal inilah yang kemudian memunculkan
ketidakjelasan norma hukum sehubungan dengan cara yang tidak melanggar hukum tersebut

3
Rizky Febri Dewanti, “Debt Collector Dalam Perspektif Hukum” (2017) Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
4
“Kredit Bermasalah Perbankan Turun pada 2022, Level Terendah sejak Pandemi | Databoks”, online:
<https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/10/kredit-bermasalah-perbankan-turun-pada-2022-
level-terendah-sejak-pandemi>.

4
yang terdapat pada surat edaran diatas yang juga menyatakan : “ Dalam perjanjian kerjasama
antara penerbit dannpihak lain untuk melakukan penagihan transaksi kartu kredit tersebut
harus memuat klausul tentang tanggungjawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang
timbul akibat dari kerja sama pihak lain. ”5
Belakangan ini, sering kita dengar dan kita lihat di social media maraknya kasus
penagihan hutang terhadap debitur oleh kreditur yang menggunakan jasa debt collector dalam
menagih hutang kredit tersebut dengan memakai sejumlah seperti intimidasi, melakukan
penekanan, mengancam, teror dan bahkan kekerasan, sehingga menimbulkan kerugian bagi
pihak debitur (nasabah). Banyaknya kasus-kasus tersebut yang terjadi, membuat profesi debt
collector menjadi pokok perhatian masyarakat, sehingga seluk beluk profesi ini terus menerus
dibahas, mulai dari kewenangan, kuasa, serta perilaku menurut kode etiknya. Berdasarkan
permasalahan diatas, maka penulis ingin mengetahui latar belakang terciptanya profesi debt
collector tersebut dan upaya apa yang bisa dilakukan agar permasalahan tersebut dapat
teratasi.

5
I Made Rommy Gustara & I Gusti Ketut Ariawan, “Penggunaan Jasa Debt Collector Dalam Menagih Kredit
Bermasalah Oleh Bank” (2012) 11 Fakultas Hukum Universitas Udayana 1–13.

5
1.2 RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh debt collector yang melakukan


tindak pidana dalam menagih kredit macet atau bermasalah?
2) Bagaimana Perilaku Debt Collector dalam Penagihan Hutang Kredit Macet Sesuai
Aturan Hukum yang Berlaku di Indonesia ?

6
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pertanggungjawaban pidana oleh debt collector yang melakukan tindak


pidana
Semakin banyaknya penggunaan jasa debt collector oleh pihak bank atau lembaga
pembiyaan, menandakan bahwa jasa tersebut cukup efektif dan efisien dalam menjalankan
tugasnya untuk menagih utang kredit. Dengan adanya debt collector, maka pihak bank tidak
perlu repot untuk membuat suatu unit khusus yang ditujukan untuk menagih hutang kredit
macet atau bermasalah para debitur, selain karena membuang tenaga juga karena keterbatasan
dana mengingat bahwa bank memiliki prinsip fiduciary yang mana mereka harus berhati-hati
dalam mempergunakan dana nasabahnya. Adanya watak atau perilaku yang buruk dari
debitur (nasabah), juga menjadikan alasan mengapa pihak bank lebih memilih untuk
menggunakan jasa debt collector tersebut. Karakter nasabah yang buruk tersebut membuat
kesulitan bagi pihak bank, dikarenakan masih banyaknya masyarakat di Indonesia yang
hingga saat ini masih belum memiliki kesadaran untuk melakukan pembayaran hutang yang
dilakukannya.

Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia tidak terlepas dari hutang piutang. Adanya
rasa kepemilikan terhadap barang orang lain, membuat manusia terlena untuk mengeluarkan
uang yang dimilikinya untuk membayar hutang. Pada saat berhutang, manusia tidak memiliki
uang sehingga meminjam uang dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan
tetapi ketika ia memiliki uang, ia merasa bahwa uang yang dipinjamnya tersebut merupakan
uang yang dimilikinya. Hal tersebut memperlihatka bahwa masih minimnya kesadaran
masyarakat Indonesia untuk membayar hutang, yang berakibat kurangnya kepercayaan pihak
bank dalam memberikan pinjaman (kredit). Fenomena masyarakat yang tidak memiliki
kesadaran akan membayar hutang juga menunjukkan bahwa masyarakat kita tidak taat akan
hukum juga.6

Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai


debt collector di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, debt collector pada dasarnya

6
Fawez Farhan Dani Deny Syaputra, Tri Putra Perkasa, Didit Selamat Raharjo Siddik Andrean & Mahasiswa
Program Sarjana STIH - Sumpah Pemuda, “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DEBT COLLECTOR
(PENAGIH HUTANG) YANG MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN DALAM PENAGIHAN BERMASALAH” (2016)
1:November 1–23.

7
menjalankan perkerjaannya berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur (bank) untuk
menagih hutang debitur (nasabah). Pengaturan mengenai perjanjian pemberian kuasa diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimana debt collector merupakan pihak
ketiga yang diberikan kuasa oleh bank untuk menagih utang. Hal ini sesuai dengan pasal
1792 KUH Perdata, yang pada intinya menyatakan pemberian kuasa merupakan suatu
perjanjian, yang mana suatu pihak memberikan kuasa terhadap pihak lain untuk melakukan
sesuatu yang diperjanjikan.7

Debt collector dalam menjalankan tugasnya sebagai penagih hutang, melakukannya


dengan beraneka ragam, ada debt collector yang secara sopan dating ke rumah debitur dan
menagih secara sopan dan baik-baik. Adapun debt collector yang melakukan penagihan
dengan melanggar hukum, misalnya meneror, mengancam, mengintimidasi, atau mengancam
pihak penanggung hutang. Dalam hal mengenai pertanggung jawaban pidana bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan tindak pidana belum tentu dapat dipidana, kecuali
apabila ditemukan unsur kesalahan padanya, maka orang tersebut baru bisa diminta
pertanggung jawabannya. Di dalam hukum pidana terdapat actus reus dan mens rea, yang
membuat seseorang dapat dipidana bergantung pada dua hal, yang pertama harus perbuatan
yang melanggar hukum atau ada unsur melawan hukum dan terhadap pelakunya harusada
unsur kesalahan baik secara kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatannya dapat
dipertanggung jawaban.

Kalau melihat berdasarkan ketentuan KUHP, berbagai tindakan pelanggaran yang


dilakukan oleh debt collector dapat dijerat hukum. Dalam hal debt collector menggunakan
kata-kata kasar dan dilakukan didepan umum, maka bisa dijerat dengan pasal penghinaan
yaitu pasal 310 KUHP, selain itu juga bisa dijerat dengan pasal 335 ayat (1) KUHP 8 tentang
perbuatan tidak menyenangkan. Secara teoritik, berdasarkan pertanggungjawaban pidana bagi
debt collector berupa perorangan (natuurlijke person), di dalamnya harus terdapat makna
dapat dicelanya (verwijtbaaheid) si pembuat atas perbuatannya. Prinsip tersebut dalam
hukum pidana dikenal sebagai prinsip “lialibity based on fault” , atau biasa dikenal juga
dengan “tiada pidana tanpa kesalahan” (azas culpabilitas), khusunya yang berhubungan
dengan masalah kesengajaan atau kealpaan.

7
Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

8
Perumusan pertanggung jawaban pidana dalam KUHP, tidak menganut adanya
prinsip korporasi. Hal ini didasari pada pasal 59 (b) KUHP, yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-
anggota badan pengurus atau komisari-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus,
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya karena bukan dianggap sebagai subyek hukum.9

Subjek hukum didalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami
(natuurlijke person). Disisi lain, KUHP juga masih menganut asas sociatas delinguere non
potest yang berarti badan hukum dianggap tidak dapat melakukan suatu tindak pidana, maka
darii tu pemikiran fiksi tentang badan hukum (rechtpersonlijkheid) tidak diberlakukan dalam
hukum pidana. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam KUHP,
pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan untuk pelaku tindak pidana perseorangan atau
orang dalam konteks konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Kemudian apabila
terjadi suatu tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana ada pada diri debt collector
tersebut, dan bukan tanggung jawab dari perusahaan.

2.2 Perilaku Debt Collector dalam Penagihan Hutang Kredit Macet Sesuai
Aturan Hukum yang Berlaku di Indonesia
Perlu diketahui bahwa peran debt collector juga merupakan hal yang penting bagi
bank dalam melakukan penagihan hutang kepada para debitur. Apabila debt collector tersebut
berhasil menagih hutang tersebut, maka ia akan mendapatkan imbalan atau fee (bonus) dari
pihak bank melalui gaji setiap bulannya. Dalam menjalankan tugasnya, debt collector tidak
mempunyai hak untuk melakukan kekerasan, pemaksaan terlebih lagi sampai melakukan
pembunhan dalam menagih hutang.

Sering kita melihat dan mendengar di media sosial, surat kabar, televisi dan media
lainnya, terdapat kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang debt collector kepada
debitur. Hal itu terjadi dikarenakaan debitur tidak menyadari akan keweajibannya untuk
membayar angsuran kredit hutangnya, maka debt collector dalam hal tersebut sangat terpaksa
untuk menghadapi tantangan dari debitur tersebut.10 Berbagai kasus kekerasan yang

9
I Gusti Ngurah Arya Wedanta & I Gusti Ketu Ariawan, “indakan Pengancaman Dan Perampasan Yang
Dilakukan Oleh Debt Collector Kepada Debitur” (2015) 4:3 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Wicara, Fakultas
Hukum, Universitas Udayana, Bali 2–2.
10
Pada Pt et al, “PERAN DAN WEWENANG DEBT KOLEKTOR Disusun Oleh : NOVETILAS SRIWAHYUNI PRODI D .
III PERBANKAN SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU-PEKANBARU” (2011).

9
dilakukan oleh debt collector mulai dari memaksa, merampas dengan paksa dan lainnya,
bahkan tidak jarang karena semakin maraknya perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh debt
collector, membuat adanya modus sebagai debt collector yang ternyata adalah begal motor.
Jadi dalam perbuatanya modus debt collector tersebut menghentikan motor korban di pinggir
jalan dan ketika korban lengah, maka pelaku bersama dengan temannya mengambil motor
tersebut lalu kabur.

Pengaturan mengenai profesi debt collector di Indonesia, pada dasarnya mengacu


pada Surat Edaran Bank Indonesia yang memperbolehkan penggunaan jasa pihak ketiga
tersebut sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012
perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Bank
dalam melakukan penagihan hutang, baik itu menggunakan tenaga penagihan dari bank
sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga, wajib untuk memastikan bahwa tenaga
penagihan harus mematuhi peraturan etika penagihan hutang kartu kredit yang diatur dalam
Pasal 17 B ayat (1), Pasal 17 B ayat (2), Pasal 17 B ayat (3) PBI 14/2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 dan Romawi VII Huruf D Angka 4b
SEBI 2012 dan Romawi VII Huruf D Angka 4c SEBI 2012.11

Dalam upaya penerapan prinsip perlindungan nasabah, penerbit APMK diwajibkan


oleh PBI APMK serta peraturan pelaksanaanya untuk memperketat sejumlah ketentuan
mengenai kartu kredit yang berkaitan dengan penagihan utang, yaitu sebagai berikut12 :

a) Pengaturan mengenai kerja sama dengan pihak ketiga dalam penagihan utang,
telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 pada
tanggal 7 Juni 2012, yang salah satu didalamnya mengatur mengenai jasa
penagihan kredit (debt collector). Dalam melakukan kerja sama tersebut, pihak
penerbit kartu kredit wajib untuk memperhatikan dan memenuhi ketentuan-
ketentuan, antara lain :
1. Penagihan hutang kredit dapat dilakukan oleh tenaga pihak bank sendiri
ataupun dengan menggunakan perusahaan jasa penagihan.
2. Penagihan kartu kredit baik menggunakan tenaga pihak bank ataupun
menggunakan jasa pihak ketiga, penerbit wajib memastikan bahwa tenaga

11
Kurniasih & Liliana Tedjosaputro, “Penagihan Kartu Kredit Bermasalah Terhadap Nasabah Yang Wanprestasi”
(2023) 1:2 Jurnal Akta Notaris 31–43.
12
Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu

10
yang melakukan penagihan telah mendapatkan pelatihan terkait dengan
tugasnya dan etika penagihan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Identitassetiap tenaga penagihan dipersiapkan dengan baik oleh penerbit
kartu kredit. Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi
etika penagihan.
3. Penagihan hutang kredit dilarang menggunakan kekerasan, ancaman,
dan/atau tindakan yang dapat mempermalukan pemegang kartu kredit
(debitur). Penagih juga tidak boleh memberikan tekanan secara fisik
maupun verbal. Penagihan dilakukan langsung kepada pemilik atau
pemegang kartu kredit tidak boleh kepada orang lain. Dalam hal penagihan
melalui via telepon, penagih tidak boleh melakukan panggilan secara terus
menerus yang dapat menggangu pemilik kartu kredit. Berdasarkan hal
tersebut, penagih harus benar-benar memperhatikan etika dalam penagihan.
4. Jika penagihan kartu kredit dilakukan menggunakan tenaga penagihan dari
perusahaan penyedia jasa penagihan, maka selain berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf b, juga berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a) Penagihan kartu kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan
penyedia jasa penagihan, hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan kartu
kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria
kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kualitas kredit.
b) Kerjasama antara penerbit kartu kredit dengan perusahaan penyedia jasa
penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
c) Penerbit kartu kredit wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihan
kartu kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan sama dengan jika
dilakukan sendiri oleh penerbit kartu kredit.

Mahkamah konsitusi dalam putusannya pada tahun 2019, menyatakan bahwa dalam
melakukan tugas penagihan hutang kredit, debt collector sekalipun mempunyai akta jamninan
fiuduisa, tidak mempunyai hak dan wewenang serta tidak diperbolehkan untuk melakukan
11
penyitaan terhadap kendaraan bermotor yang kreditnya macet secara sepihak. Dan
berdasarkan putusan MK tersebut13, debt collector dapat melakukan penyitaan dengan dua
syarat, yaitu :
1) Pihak penagih, baik debt collector, perusahaan leasing, atau pihak bank sudah
terlebih dahulu melakukan gugatan ke pengadilan negeri untuk menerima
kuasa berupa hak dan wewenang untuk menyita objek fudisianya.
2) Jika debitur mengaku telah lalai dan melakukan wanprestasi, serta dengan
sukarela menyerahkan kendaraan atau objek fudisianya kepada pihak penagih.

Diluar dari persyaratan diatas, maka debt collector ataupun pihak penagih lainnya,
tidak dapat melakukan penyitaan kendaraan secara sepihak, karena dalam hal ini debitur
dilindungi haknya oleh Undang-Undang. Akan tetapi dalam kenyataanya, putusan tersebut
belum mampu mengatasi perbuatan-perbuatan semena-mena pihak debt collector yang marak
terjadi dan meresahkan masyarakat. Maka dari itu, sudah seharusnya pemerintah dalam hal
ini bertindak tegas dengan membuat suatu peraturan khusus mengenai penagiha hutang oleh
pihak ketiga agar dapat menanggulangi permasalahan-permasalahan penagihan hutang yang
meresahkan dalam kehidupan masyarakat, dan juga aparat penegak hukum harus bertindak
tegas pula dalam mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh debt collector dalam
melakukan penagihan hutang dengan cara perbuatan-perbuatan yan melanggar hukum,
sehingga dapat memberikan mereka efek jera dan menimalisir adanya pelanggaran yang
terjadi.

13
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

12
BAB 3

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kegiatan hutang-piutang antara masyarakat dan bank merupakan hal yang lumrah
dalam kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan salah satu fungsi bank adalah menyalurkan
dana kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit) untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat banyak. Akan tetapi dalam prosesnya, banyak masyarakat yang melakukan
hutang kredit tersebut tidak beritikad baik untuk mengembalikan pinjaman atau tidak mampu
dalam melakukan pembayaran hutang kreditnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka pihak bank dalam hal ini melakukan usaha penagihan
hutang baik dengan usaha pihak bank sendiri maupun menggunakan jasa debt collector dalam
melakukan penagihan. Pengaturan mengenai debt collector tersebut sangatlah minim,
sehingga mengakibatkan banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan debt collector dalam
melaksanakan tugasnya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mekanggar hukum,
baik itu dengan kekerasa, pemberian tekanan, dll. Maka dari itu sudah sepatutnya pemerintah
dan apparat penegak hukum bertindak tegas dalam menanggulangi permasalahan tersebut
guna menciptakan keadilan dan keamanan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

13
DAFTAR PUSAKA

Jurnal

Agnestian, Y (2021), “Prosedur Penyaluran Kredit Pra Purna Bhakti (Kppb) Pada Pt. Bank
Pembangunandaerah Jawa Barat Dan Banten Kantor Cabang Pembantu Limbangan” (2021)
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952 2013–2015.

Deny Syaputra, Tri Putra Perkasa, Fawez Farhan Dani, Didit Selamat Raharjo Siddik
Andrean & Mahasiswa Program Sarjana STIH - Sumpah Pemuda,
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DEBT COLLECTOR (PENAGIH
HUTANG) YANG MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN DALAM PENAGIHAN
BERMASALAH” (2016) 1:November 1–23.

Dewanti, Rizky Febri, “Debt Collector Dalam Perspektif Hukum” (2017) Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Gustara, I Made Rommy & I Gusti Ketut Ariawan, “Penggunaan Jasa Debt Collector Dalam
Menagih Kredit Bermasalah Oleh Bank” (2012) 11 Fakultas Hukum Universitas Udayana 1–
13.

I Gusti Ngurah Arya Wedanta & I Gusti Ketu Ariawan, “indakan Pengancaman Dan
Perampasan Yang Dilakukan Oleh Debt Collector Kepada Debitur” (2015) 4:3 Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum Kertha Wicara, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali 2–2.

Kurniasih & Liliana Tedjosaputro, “Penagihan Kartu Kredit Bermasalah Terhadap Nasabah
Yang Wanprestasi” (2023) 1:2 Jurnal Akta Notaris 31–43.

Pt, Pada et al, “PERAN DAN WEWENANG DEBT KOLEKTOR Disusun Oleh :
NOVETILAS SRIWAHYUNI PRODI D . III PERBANKAN SYARIAH UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU-PEKANBARU” (2011).

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Putusan Mahkamah Konsitusi

Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

Surat Edaran Bank Indonesia

Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

Internet/Website

14
“Kredit Bermasalah Perbankan Turun pada 2022, Level Terendah sejak Pandemi | Databoks”,
online: <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/10/kredit-bermasalah-
perbankan-turun-pada-2022-level-terendah-sejak-pandemi>.

“Pengertian Kredit – BPR Batu Artorejo”, online: <http://bprartorejobatu.com/pengertian-


kredit/>.

15

Anda mungkin juga menyukai