Anda di halaman 1dari 72

PENELITIAN

KEABSAHAN OBJEK JAMINAN BERUPA BARANG MILIK


NEGARA TERHADAP PINJAMAN DAERAH DENGAN BANK

DISUSUN OLEH :

ANJELIA MINATI SAPUTRI 2220216320005

LAILA YUNITA 2220216320009

NUR SALSABILA 2220216320059

YULIARSIH 2220216320064

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

MAGISTER KENOTARIATAN

BANJARMASIN

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................2
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................2
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................5
BAB II MENENTUKAN OBJEK YANG DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI
JAMINAN DALAM PINJAMAN DAERAH DENGAN LEMBAGA
KEUANGAN BANK.....................................................................................6
2.1 PEMBERIAN JAMINAN..............................................................6
2.2 PENENTUAN OBJEK SEBAGAI JAMINAN PINJAMAN
DAERAH DENGAN LEMBAGA KEUANGAN BANK
BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN..................................13
BAB III KEABSAHAN PERJANJIAN PINJAMAN DAERAH DENGAN
LEMBAGA KEUANGAN BANK YANG MENGGUNAKAN BARANG
MILIK NEGARA SEBAGAI OBJEK JAMINANNYA..............................39
BAB IV PENUTUP.....................................................................................66
4.1 KESIMPULAN............................................................................66
4.2 SARAN..............................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pengertian bank menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup

masyarakat.

Ketentuan tersebut membedakan antara bank dengan

lembaga keuangan lainnya dimana menurut Surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 792 Tahun 1990,

lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya dalam

bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana

kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi

perusahaan.1 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa penyaluran

dana dari lembaga keuangan lain lebih difokuskan untuk

membiayai investasi perusahaan.2

1
Irsyad Lubis. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara, hlm.5.
2
Ibid.

2
Bank juga memberikan jasa peminjaman dana untuk

masyarakat maupun pemerintah terutama pemerintah daerah

sebafaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 30

Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Selain dari pada penjelasan

di atas terdapat pula pengelolaan aset negara di Indonesia yang

mana hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur tentang

pengelolaan keuangan negara, termasuk pengelolaan aset negara.

Pengawasan dan pengendalian pengelolaan aset negara

juga sangat penting untuk mencegah praktik pengelolaan aset

negara yang buruk. Mengenai hal aset ini dapat diketahui pula

bahwa Bank merupakan salah satu lembaga keuangan di Indonesia

yang menjadi tempat menyimpan dana, seperti halnya yang

dilakukan oleh pemerintah di sesuaikan juga dengan definisi Bank

dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan, yang mana dalam menjalankan pemerintahan

daerah erat kaitannya dengan pembiayaan, tentunya jika

pembiayaan tersebut mengalami defisit maka pemerintah daerah

dapat mencari dari sumber lain dan salah satunya berupa pinjaman

daerah dari lembaga keuangan bank. Pembiayaan ini tidak serta

merta dilaksanakan begitu saja, ada prosedur yang harus dilalui.

3
Sama halnya dengan kasus yang terjadi baru-baru ini

mengenai pinjaman daerah yang dilakukan oleh mantan Bupati

Kepulauan Meranti kepada Bank Riau Kepri. Pinjaman daerah

yang dilakukan oleh mantan bupati Meranti kepada Bank Riau

Kepri dengan jaminan kantor bupati dan kantor PUPR tanpa izin

dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan tanpa melalui

mekanisme yang benar merupakan tindakan yang melanggar

hukum dan berpotensi merugikan keuangan daerah.

Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem

pengawasan dan tata kelola keuangan negara di daerah. Selain itu,

kasus ini juga menunjukkan adanya praktik-praktik korupsi yang

masih menjadi masalah serius di Indonesia, yang memerlukan

upaya bersama dari semua pihak untuk memberantasnya.

Pinjaman ini dilakukan oleh mantan Bupati Meranti

guna untuk memenuhi pembiayaan infrastruktur jalan. Dalam

kahus ini dinyatakan bahwa yang menjadi jaminan adalah Kantor

Bupati dan Kantor PUPR. Sedangkan didalam Peraturan

Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah Pasal

5, menyatakan bahwasannya Jaminan atas pinjaman daerah tidak

boleh menggunakan aset daerah dan pendapatan daerah. maka dari

itu timbullah pertanyaan tentang apa saja jaminan daerah yang

4
digunakan untuk melakukan pinjaman daerah kepada Lembaga

keuangan Bank, dan bagaimana keabsahan dari pinjaman daerah

yang menggunakan jaminan barang milik negara tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana menentukan objek yang dapat dijadikan sebagai

jaminan dalam pinjaman daerah dengan lembaga keuangan

bank?

2. Bagaimana keabsahan perjanjian pinjaman daerah dengan

lembaga keuangan bank yang menggunakan barang milik

negara sebagai objek jaminannya?

5
BAB II

MENENTUKAN OBJEK YANG DAPAT DIJADIKAN

SEBAGAI JAMINAN DALAM PINJAMAN DAERAH DENGAN

LEMBAGA KEUANGAN BANK

2.1 PEMBERIAN JAMINAN

Jaminan dapat diperbedakan dalam jaminan perorangan dan

jaminan kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid). Jaminan

Perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang

berpiutang(kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjamin

dipenuhinya kewajiban siberhutang tersebut. Sedangkan Jaminan

kebendaan dapat diadakan antara kreditor dengan seorang ketiga

yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban siberutang

(debitor). 3

Sebagaimana yang dimaksud dengan jaminan diatas, dapat

penulis simpulkan bahwa dalam konsepnya jaminan terdiri dari dua

dasar yaitu dari perorangan dan kebendaan. Pemberian jaminan

perorangan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban siberhutang

yang menanggung sepenuhnya dapat berupa harta benda

sipenanggung atau penjamin, harta ini dapat disita dan dilelang.

3
R. Subekti, 1978. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia. Alumni, Bandung. Hlm.25.

6
Yang mana dalam pemberian suatu jaminan kebendaan itu berasal

dari kekayaan si debitor itu sendiri atau pihak ketiga.

Suatu jaminan memiliki kekuatan yang tinggi untuk

menentukan apakah seseorang boleh melaksanakan pinjaman atau

tidak kepada pihak lain. Apabila seseorang datang kepada suatu

pihak dengan tidak membawa jaminan bersamanya, maka

kemungkinan orang tersebut berhasil mendapatkan suatu pinjaman

akan rendah. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan konsep

kepercayaan, sama dengan konsep hukum mengenai bukti. Penulis

menganggap bahwa suatu jaminan memiliki kesamaan prinsip

dengan alat bukti. Orang tidak akan mempercayai secara penuh jika

kedua hal tersebut tidak ada.

Jaminan yang baik dan ideal adalah jaminan sebagai

berikut:

a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh

pihak yang memerlukannya;

b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit

untuk melakukan (meneruskan) usahanya;

c. Yang memberi kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti

bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi,

7
yaitu, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi

utangnya si penerima (pengambil) kredit.

Pemberian jaminan oleh bank tentunya disertai dengan

syarat-syarat khusus untuk dipenuhi. Syarat-syarat ini membantu

pihak bank agar dapat menentukan apakah suatu pinjaman dapat

diberikan atau tidak. Bank sebagai lembaga keuangan tentunya

diharapkan untuk tidak ceroboh serta lalai menimbang resiko yang

akan terjadi bila memberikan suatu pinjaman dengan dana yang

besar.

Dalam menjalankan tugasnya bank mempunyai ketentuan dasar/

asas-asas perbankan yang berlaku. Asas-asas yang dimaksud antara

lain:

a. Asas hukum

Bank dalam menjalankan tugasnya melayani

masyarakat tidak dapat dilepaskan dari landasan hukum yang

berlaku, apa yang dilakukan harus berdasarkan atas hukum

tertulis maupun tidak tertulis . Hukum tertulis berupa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan bank, sedangkan

hukum tidak tertulis adalah berupa hukum adat dan hukum

kebiasaan.

b. Asas Keadilan

8
Di samping asas hukum bank juga harus dapat

menerapkan asas keadilan. Dalam melayani masyarakat, bank

tidak boleh memberikan fasilitas kredit hanya pada pengusaha

besar saja, tetapi juga pengsaha kecil. Selain memberikan

pinjaman pada perusahaan yang tergabung dalam kelompoknya

juga memberikan pinjaman pada perusahaan luar kelompoknya.

c. Asas Kepercayaan

Hubungan bank dengan nasabahnya adalah atas dasar

kepercayaan nasabah merasa percaya pada bank bahwa uang

yang disimpan dapat dikelola dengan baik oleh bank, di pihak

lain bank memengang teguh kepercayaan tersebut dengan siap

sedia membayar nasabah apabila sebagian atau seluruh

simpanannya sewaktu-waktu ditarik. Demikian pula jika bank

memberikan kredit, bank harus percaya bahwa utang tersebut

dapat dibayar kembali oleh nasabahnya beserta bunganya.

d. Asas Keamanan

Dalam melayani nasabahnya bank menggunakan asas

keamanan bank memberikan keamanan terhadap simpanan para

nasabahnya agar terhindar dari suatu kejahatan. Selain itu bank

juga memberikan rasa aman kepada nasabahnya selama di

9
kantor atau perkarangan bank ketika melakuakan sebuah

transaksi dengan bank.

e. Asas Kehati-hatian

Salah satu asas perbankan yang diatur dalam UU

Perbankan adalah asas kehati-hatian, namun undang-undang

tidak memberikan penjelasan tentang asas tersebut, asas kehati-

hatian ini berhubungan erat dengan tugas bank, karena di dalam

menjalankan tugasnya bank wajib bekerja dengan penuh

ketelitian, melakukan pertimbangan dengan matang,

menghindari kecurangan, dan tidak mengambil langkah yang

bertentangan dengan kepatutan.

f. Asas Ekonomi

Bank sebagai perusahaan yang bertujuan memperoleh

keuntungan tidak dapat dipisahkan dengan prinsip ekonomi,

dengan tugasnya menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit,

bank menarik bunga atau keuntungan dari masyrakat yang

merupakan imbalan jasa bagi bank, demikian pula dalam

memberikan jasa pengiriman uang, bank juga memperoleh

keuntungan dari biaya pengiriman.4

4
Gatot Supramono, 2013. Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta,
Hlm. 47.

10
Dengan penjelasan asas di atas dapat disimpulkan bahwa

lembaga perbankan juga merupakan salah satu agen kepercayaan

(agent of trust) dari masyarakat / nasabah mengingat adanya salah

satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary

principle) sehingga bank dalam memberikan pinjaman berupa

kredit selalu berpedoman pada prinsip kehati – hatian (prudential

banking principle). Mengenai pengaturan tentang prinsip – prinsip

kehati-hatian pada bank yang terdapat pada pasal 29 ayat 2 dan 3

Undang-Undang Perbankan, yang pada dasarnya berupa berbagai

ketentuan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup

dan pengelolaan bank secara sehat sehingga mampu menjaga

kepercayaan masyarakat dan sebagai salah satu faktor pendorong

kemajuan bagi perekonomian.5

Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah

suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam

menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati

(prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang

dipercayakan padanya termasuk dalam penyaluran dana yang

berasal dari dana yang dihimpun tersebut. Prinsip kehati-hatian

5
Lukmanul Hakim, “Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Pihak
Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal
Keadilan Progresif, 6 (2), (2015), Hlm. 162

11
dalam lembaga perbankan merupakan suatu prinsip yang sangat

wajib dijalankan oleh lembaga perbankan. Dalam rangka

mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan

keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip

kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem

pengawasan intern dalam bentuk self regulations dengan membuat

suatu standar operasional prosedur dalam penanganan segala

kegiatan perbankan baik dalam operasional maupun kredit dengan

berpedoman pada peraturan yang ada. Khususnya dalam pemberian

kredit kepada nasabah bank harus dapat lebih hati-hati dan dapat

lebih mengenal nasabah dengan cara 5C yakni character, collateral,

capacity, capital dan condition of economic. Pasal 1 angka 11 UU

No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan memberikan penafsiran

kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam anatara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan prinsip kehati-hatian bank kurang hati-hati dan

mempertimbangkan lebih jauh dan dalam karena telah memberikan

suatu pinjaman daerah kepada mantan bupati dengan jaminan

12
kantor bupati dan objek milik pemerintah, walaupun pinjaman

daerah tersebut dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur

jalan dan bukan untuk kepentingan pribadi dari bupati tersebut.

2.2 PENENTUAN OBJEK SEBAGAI JAMINAN PINJAMAN

DAERAH DENGAN LEMBAGA KEUANGAN BANK

BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lembaga keuangan bank adalah salah satu aspek penting

dalam perekonomian di Indonesia. Bank menurut Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Bank terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat.

Yang dimaksud dengan bank umum dan bank umum menurut

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

13
Begitu pula mengenai pengertian bank perkreditan rakyat

telah diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Bank

Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang

dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.

Bank dalam pelayanannya tidak hanya menawarkan

penyimpanan dana, tetapi juga peminjaman dana untuk

masyarakat bahkan pemerintah. Bentuk pinjaman dana tersebut

dikenal dengan ssbutan kredit. Kredit menurut Pasal 1 angka 11

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.

Penyaluran kredit yang diberikan oleh bank kepada

masyarakat merupakan dana yang berasal dari masyarakat

14
yang berupa simpanan baik dalam bentuk tabungan, giro atau

deposito. Penyaluran kredit kepada masyarakat oleh perbankan

selain merupakan bidang usaha yang dapat memberikan

keuntungan yang besar namun juga memberikan resiko yang

tidak kecil bagi usaha perbankan, maka dari itu untuk memberikan

kredit tersebut bank harus juga memperhatikan unsur-unsur

keamanan agar usaha perbankan dapat berjalan dengan baik.6

Unsur utama yang harua dimiliki oleh bank sebagai

pemberi kredit maupun nasabah sebagai penerima kredit adalah

unsur kepercayaan dimana kepercayaan tersebut tidak semata-

mata timbul, namun merupakan akibat dari terpenuhinya syarat-

syarat yang djberikan oleh bank kepada calon nasabah (debitur)

yang apabila persyaratan tersebut terpenuhi maka pihak bank anak

memiliki keyakinan bahwa kredit yang diberikan kepada debitur

akan kembali sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati.7

Thomas Suyanto dalam bukunya “Dasar-dasar

Perkreditan” menyatakan bahwa unsud-unsur kredit terdiri dari:8

6
Gentur Cahyo Sutiono. Jaminan Kebendaan dalam Proses Perjanjian
Kredit Perbankan (Tinjauan Yuridis Terhadap Jaminan Benda Bergerak Tidak
Berwujud). 2018. Artikel dalam “Jurnal Transparansi Hukum”. No. 1. Vol. 1.
Januari, hlm. 2.
7
Ibid.
8
Ibid, hlm. 3.

15
1. Kepercayaan, dalam hal ini kreditur memiliki keyakinan

bahwa debitur akan dapat memenuhi prestasinya sesuai

dengan kesepakatan.

2. Tenggang waktu, penentuan batas waktu kapan debitur harus

memenuhi prestasinya.

3. “Degree Of Risk”, resiko yang harus ditanggung kreditur atas

pemenuhan prestasi oleh debitur dalam jangka waktu tertentu.

4. Prestasi, merupakan objek dalam perjanjian kredit dimana

dapat berupa uang maupun berupa pemberian barang dan

pelaksanaan jasa.

Dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHPerdata

tentang jaminan kredit dibedakan dalam beberapa bentuk menurut

sifatnya, jenis jaminan yang diatur dalam KUHPerdata:9

a. Jaminan Umum, sebagaimana seperti yang diatur dalam pasal

1131 KUHPer “bahwa segala kebendaan si berutang baik yang

bergerak maupun tidak bergerak baik yang sudah ada

maupun akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan

untuk segala perikatan perorangan.” Jaminan ini merupakan

jaminan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang yang

9
Ibid, hlm. 5.

16
tanpa diperjanjikan pun secara otomatis telah mengikat

para pihak.

b. Jaminan khusus, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1820-

1850 KUHPer jaminan ini lahir karena diperjanjikan oleh

para pihak baik berupa jaminan kebendaan maupun

jaminan perorangan.

J. Satrio mengemukakan , bahwa dari pasal 1131 KUH

Perdata dapat disimpulkan asas -asas hubungan ekstern kreditor

sebagai berikut :10

a. Seorang kreditor boleh mengambil pelunasan dari setiap

bagian dari harta kekayaan debitor.

b. Setiap bagian kekayaan debitor dapat dijual guna pelunasan

tagihan kreditor.

c. Hak tagihan kreditor hanya dijamin dengan harta benda

debitor saja , tidak dengan “persoon debitor”.

Dalam jaminan yang bersifat umum , semua kreditor

mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor lain, tidak

ada kreditor yang diutamakan dari kreditor lain sehingga

pelunasan utangnya dibagi secara "seimbang" berdasarkan besar

10
Niken Prasetyawati dan Tony Hanoraga. Jaminan Kebendaan dan
Jaminan Perorangan sebagai Upaya Perlindungan Hukum bagi Pemilik Piutang.
2015. Artikel dalam “Jurnal Sosial Humaniora”. No. 1. Vol. 8, hlm. 125.

17
kecilnya jumlah tagihan masing- masing kreditor dibandingkan

dengan jumlah keseluruhan utang debitor.11 Penjelasan tersebut

ditegaskan di dalam Pasal 1132 KUHPerdata.

Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa Kebendaan

tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang

mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu

dibagi-bagi menurut, keseimbangan, yaitu menurut bersarsar-

kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Jaminan umum tersebut dalam praktik perkreditan kurang

memuaskan bagi kreditur sebab menimbulkan rasa kurang aman

dan kurang terjamin bagi kredit yang diberikan karena kreditur

tidak mengetahui sscara pasti berapa jumlah harta kekayaan

debitur yang ada sekarang maupun dikemudian hari serta kepada

siapa saja debitur mempunyai hutang, sehingga kreditur khawatir

hasil penjualan harta kekayaan debitur nantinya tidak cukup untuk

melunasi hutang-hutangnya.12 Oleh karena itu kreditur khususnya

disini bank memberikan kredit dengan perjanjian tambahan berisi

jaminan atau agunan sebagai jaminan pelunasan hutang debitur

11
Ibid.
12
Ibid, hlm. 126.

18
sehingga jika terjadi kredit macet atau bermasalah maka bank

dapat mengeksekusi jaminan tersebut.

Sejalan dengan ketentuan mengenai jaminan khusus

tersebut maka biasanya ditentukan berapa besar pinjaman yang

akan diberikan dan agar pinjaman tersebut dapat dilunasi beserta

bunganya maka akan ditunjuk harta benda tertentu milik debitur

yang dapat ditaksir nilainua untuk dipakai ssbagai jaminan dan

berdasadkan kesepakatan para pihak kemudian dituangkan dalam

perjanjian khusus untuk disertakan ssbagai pendukung perjanjian

pinjam meminjam yang mendahuluinya sehingga apabila

dikemudian hari debitur tidak mampu membayar, maka jaminan

terssbut dapat dieksekusi dengan cara dijual melalui lelang

kemudian dibayarkan kepada yang meminjamkan sebagai

gantinya.13

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur

jaminan kebendaan di luar KUHPerdata :14

a. Undang-undang No : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Dan BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

UU ini mencabut hipotik atas tanah, oleh karena itu ketentuan


13
Ibid, hlm. 131
14
Lastuti Abubakar. Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek
Jaminan (Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional). 2015. Artikel dalam
“Jurnal Buletin Hukum Kebanksentralan”. No. 1. Vol. 12. Januari-Juni, hlm. 5.

19
Hipotik hanya berlaku untuk objek berupa benda tidak

bergerak selain tanah, baik karena sifatnya maupun karena

undang-undang. Objek Gadai berupa benda bergerak, baik

berwujud maupun tidak berwujud.

b. Undang-undang No : 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

Lahirnya undang-undang ini mengakhiri keraguan dan

perdebatan bahwa Fidusia adalah jaminan kebendaan,

mengingat Fidusia lahir karena kebutuhan dalam praktik yang

diperkuat dengan putusan pengadilan (yurisprudensi) dan

doktrin. Objeknya Benda bergerak baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak,

khususnya bangunan yang tidak dapat dijaminkan dengan Hak

Tanggungan.

c. Undang-undang No : 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-undang No : 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi

Gudang, yang juga menimbulkan pendapat berbeda di antara

para pakar, apakah Jaminan Resi Gudang ini merupakan

jaminan kebendaan baru, melengkapi jaminan kebendaan yang

sudah ada, atau hanya mengembangkan instrumen surat

berharga yang dapat menggunakan jaminan yang telah ada

yaitu Gadai atau fidusia. Objek dari Resi Gudang adalah Surat

20
Berharga Resi Gudang sebagai bukti kepemilikan atas

komoditi yang disimpan di gudang.

Walaupun bank biasanya memberikan kredit dengan

jaminan atau agunan, tetapi ada juga kredit yang diberikan oleh

bank tanpa agunan yang tentunya dengan syarat-syarat berbeda

dengan kredit yang disertai agunan. Sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya bahwa bank selain memberikan kredit

kepada masyarakat, bank juga memberikan pinjaman kepada

pemerintah khusunya dalam penelitian ini adalah pemerintah

darerah. Hal ini berdasarkan pada Pasal Pasal 300 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya

tentu memerlukan dana yang banyak, baik itu untuk kas daerah

maupun untuk membangun atau memperbaiki fasilitas daerah.

Akan tetapi, dana yang dimiliki pemerintah daerah tidak selalu

cukup untuk melakukan pembangunan maupun perbaikan tersebut.

Oleh karena itu, undang-undang juga mengatur sumber dana lain

untuk mengisi pembiayaan yang kurang tersebut melalui pinjaman

daerah.

Dasar hukum dari adanya pinjaman yang dapat dilakukan

oleh pemerintah daerah tersebut atau disebut dengan pinjaman

21
daerah terdapat pada Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa

Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari

Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga

keuangan bukan bank, dan masyarakat.

Menurut Pasal 1 angka 38 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah adalah

semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah

uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain

sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar

kembali. Di dalam Pasal 302 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah, menyatakan bahwa:

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman Daerah diatur

dengan peraturan pemerintah.

(2) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit mengatur:

a. persyaratan bagi Daerah dalam melakukan pinjaman;

b. penganggaran kewajiban pinjaman Daerah yang jatuh tempo

dalam APBD;

c. pengenaan sanksi dalam hal Daerah tidak memenuhi

kewajiban membayar pinjaman;

22
d. tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban

pinjaman setiap semester dalam tahun anggaran berjalan;

e. persyaratan penerbitan obligasi Daerah serta pembayaran

bunga dan pokok obligasi; dan

f. pengelolaan obligasi Daerah yang mencakup pengendalian

risiko, penjualan dan pembelian obligasi serta pelunasan dan

penganggaran dalam APBD.

(3) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak

lain.

Peraturan lebih lanjut mengenai pinjaman daerah seperti

yang disebutkan oleh pasal di atas telah diatur di dalam Peraturan

Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

yang kemudian dicabut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30

Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah dan terakhir dicabut dengan

Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman

Daerah.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dengan beberapa

sumber dan salah satunya adalah lembaga keuangan bank.

Lembaga keuangan bank menurut Pasal 1 angka 12 PP No. 56

Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah adalah Lembaga lembaga

23
keuangan yang memberikan jasa keuangan dan menarik dana dari

masyarakat secara langsung.

Pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman terutama

dalam penelitian ini dengan lembaga keuangan bank atau LBK

harus membuat perjanjian pinjaman. Yang dimaksud dengan

pernjanjian pinjaman telah diatur di dalam Pasal 1 angka 8 PP No.

56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, yaitu Perjanjian

Pinjaman Daerah adalah perjanjian yang dilakukan antara pemberi

pinjaman dengan Kepala Daerah.

Jenis pinjaman daerah diatur di dalam Pasal 11 PP No. 56

Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, yaitu:

a. Pinjaman jangka pendek;

b. Pinjaman jangka menengah; dan

c. Pinjaman jangka panjang.

Persyaratan pinjaman daerah telah diatur di dalam bab III

PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, yaitu pada Pasal

15 dan Pasal 16. Pasal 15 PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman

Daerah menyatakan bahwa:

1) Dalam melakukan Pinjaman Daerah, daerah harus memenuhi

persyaratan:

24
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah

pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh

puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun

sebelumnya;

b. nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk

mengembalikan Pinjaman Daerah sebagaimana

ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian

pinjaman yang berasal dari Pemerintah Pusat.

2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Pinjaman Daerah harus memenuhi persyaratan:

a. kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah harus

sesuai dengan dokumen perencanaan daerah; dan

b. persyaratan lain yang ditetapkan pemberi pinjaman

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16 PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah

menyatakan bahwa:

(1) Pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang wajib

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

25
(2) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan pada saat

pembahasan kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah dan prioritas dan plafon anggaran sementara.

Prosedur pinjaman daerah pada daerah lain, lembaga

keuangan bank, dan lembaga keuangan bank sama dan telah diatur

di dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 PP No. 56 Tahun 2018

tentang Pinjaman Daerah. Pada prosedur pinjaman jangka pendek

telah diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) sampai (3), yaitu:

(1) Daerah mengajukan usulan Pinjaman Daerah kepada Calon

pemberi pinjaman.

(2) Daerah memilih pemberi pinjaman yang paling menguntungkan

bagi daerah.

(3) Pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang

ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman.

Sedangkan untuk pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka

panjang telah diatur di dalam Pasal 29 mengenai pengajuan

pinjaman, yaitu:

(1) Daerah mengajukan usulan Pinjaman Daerah kepada calon

pemberi pinjaman.

26
(2) Daerah dalam melakukan pinjaman sebagaimana dimaksud

pada ayat ( 1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.

(3) Daerah memilih pemberi pinjaman yang paling menguntungkan

bagi daerah.

Pasal 30 mengenai perjanjian pinjaman, yaitu:

(1) Pinjaman Daerah yang bersumber dari daerah lain, LKB, dan

LKBB dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang

ditandatangani Kepala Daerah dengan pemberi pinjaman.

(2) Perjanjian Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat dilakukan perubahan Perjanjian Pinjaman Daerah atas

usulan Kepala Daerah kepada pemberi pinjaman.

(3) Salinan Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah ditandatangani

Kepala Daerah dan pemberi pinjaman ssbagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Menteri Dalam

Negeri dan Menteri Keuangan.

Pasal 31 menyatakan bahwa pelaksanaan pinjaman yang

bersumber dari daerah lain, LKB, dan LKBB sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

27
Biasanya lembaga keuangan bank dalam memberikan

pinjaman atau kredit ada yang menggunakan jaminan atau agunan,

tapi ada juga yang tidak. Jaminan tersebut dapat berupa harta

kekayaan debitur yang digunakan untuk menjamin bahwa debitur

akan melunasi hutangnya kepada kreditur, dan apabila debitur tidak

dapat melunasi hutangnya maka kreditur dapat mengeksekusi

jaminan tersebut.

Agunan menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan adalah jaminan tambahan yang

diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian

fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, agunan adalah jaminan

tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank

Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban

Nasabah Penerima Fasilitas.

Fungsi Agunan dalam aktivitas pengajuan pinjaman:

1. Untuk mencegah debitur dari lepasnya tanggung jawab dalam

membayar angsuran.

28
2. Memberikan motivasi kepada debitur untuk melunasi

hutangnya dan membayar angsuran dengan tepat waktu.

3. Jaminan kepastian berlandaskan hukum yang berlaku.

4. Adanya hak untuk kreditur mendapatkan kepemilikan aset

yang dijadikan jaminan oleh debitur jika suatu saat terjadi

wanprestasi.

Terdapat tiga syarat bagi suatu aset untuk dapat dijadikan sebagai

agunan, yaitu:

1. Mempunyai nilai ekonomi

2. Dapat dipindahtangankan dengan mudah

3. Memiliki nilai yuridis yang digunakan oleh kreditur dalam

melakukan likuidasi.

Agunan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu agunan berwujud dan

agunan tidak berwujud. Selengkapnya dijelaskan dibawah ini.

1. Agunan Berwujud

Agunan berwujud adalah jenis agunan yang dapat

terlihat oleh mata dan jika memungkinkan dapat dibawa oleh

calon debitur saat mengajukan pinjaman. Jenis agunan

berwujud dibagi menjadi dua yaitu agunan bergerak dan

agunan tidak bergerak. Contoh agunan bergerak yaitu

29
kendaraan bermotor dan mesin. Sementara itu, contoh agunan

tidak bergerak adalah tanah yang menjadi tempat berdirinya

lokasi usaha atau diletakkannya mesin besar yang dijadikan

jaminan calon debitur saat pengajuan pinjaman.

a. Agunan Bergerak

- Kendaraan Bermotor

Jenis agunan kendaraan bermotor adalah jenis

agunan yang paling umum dijadikan jaminan saat

mengajukan pinjaman di Indonesia. Jenis kendaraan

bermotor ini dapat berupa mobil, motor, dan truk.

Biasanya Bank ataupun Perusahaan Pembiayaan

mensyaratkan bukti kepemilikan kendaraannya seperti

BPKB, STNK, dan faktur pembelian. Nominal

pinjaman tidak dapat melebihi nilai kendaraan tersebut.

Karena kendaraan memiliki depresiasi atau penurunan

nilai aset setiap tahunnya. Biasanya, maksimal nilai

pembiayaan adalah 85% dari total nilai kendaraan.

Kendaraan bermotor juga memiliki tenor

pinjaman yang beragam. Jika Anda menjaminkan

BPKB Motor, tenor yang ditawarkan lebih pendek

dibandingkan dengan jaminan BPKB Mobil.

30
Dalam hal ini, BFI Finance selaku Perusahaan

Pembiayaan yang memiliki produk pembiayaan dengan

jaminan, mensyaratkan pengajuan pinjaman dengan

jaminan BPKB Mobil dan motor. Selengkapnya dapat

dibaca pada tautan dibawah ini.

- Kapal atau Pesawat

Siapa sangka aset berwujud berukuran besar

juga dapat dijadikan sebagai agunan. Adalah kapal dan

pesawat yang kerap digunakan sebagai jaminan dalam

memenuhi kebutuhan modal usaha perusahaan berskala

besar. Skema pembiayaan yang biasa digunakan oleh

berskala besar adalah sales and lease back atau

pembiayaan modal usaha.

b. Agunan Tidak Bergerak

- Properti

Jenis properti yang dapat dijadikan sebagai

agunan adalah rumah, ruko, gedung, gudang, dan tanah.

Jika Anda menjadikan properti sebagai jaminan saat

mengajukan pinjaman, biasanya kreditur akan

mensyaratkan sertifikat kepemilikan properti tersebut.

Mengingat nilai jual properti yang tinggi dan memiliki

31
kenaikan setiap tahunnya, jumlah plafond yang

diterimanya pun juga lebih besar dibandingkan dengan

agunan berwujud lainnya seperti mobil dan motor.

Plafond pinjaman yang dapat dicairkan berkisar mulai

dari puluhan juta hingga milyaran rupiah, tergantung

kebutuhan peminjam dan kelayakan nilai properti.

Sama seperti agunan kendaraan bermotor,

terdapat beberapa persyaratan agar agunan properti

Anda dapat diterima sebagai jaminan pembiayaan.

Misalnya, berada di daerah yang memiliki akses jalan

yang mudah, tidak dekat dengan Menara Sutet, rumah

dengan layak huni, dan lain sebagainya.

Tenor yang ditawarkan pembiayaan dengan

jaminan sertifikat rumah juga cenderung lebih panjang

dibandingkan dengan jaminan kendaraan bermotor.

Tenor yang dapat diterima oleh debitur dapat mencapai

puluhan tahun.

- Logam Mulia

Aset tidak bergerak lainnya yang dapat dijadikan

agunan adalah logam mulia. Jenis logam mulia yang

paling sering digunakan untuk dijadikan agunan adalah

32
emas. Biasanya, masyarakat menjaminkan logam mulia

emas ke tempat pegadaian milik pemerintah. Jika Anda

menggadaikan emas perhiasan, besaran plafond

pinjaman yang ditaksir yaitu 70% hingga 80% dari nilai

barang sebenarnya. Karena, yang dijadikan penilaian

adalah hanya berasal dari berat emasnya saja, bukan

dari desain perhiasan tersebut.

- Mesin Pabrik

Mesin pabrik adalah jenis aset besar berwujud

selain pesawat yang dapat dijadikan agunan. Debitur

yang menjadikan mesin pabrik sebagai agunan

umumnya berasal dari perusahaan berskala besar.

Tujuannya adalah tidak lain sebagai sarana penambahan

modal usaha agar bisnis mereka tetap berjalan. Kreditur

atau dalam hal ini Bank, menilai kelayakan mesin

pabrik dari kesehatan dan umur mesinnya. Maksimal

plafond pembiayaan yang dapat dibiayai oleh kreditur

dengan agunan mesin pabrik umumnya adalah Rp 5

Milyar.

- Hasil Kebun dan Ternak

33
Jenis agunan hasil kebun dan ternak digunakan

oleh masyarakat pedesaan jika ingin mengajukan

pembiayaan. Biasanya, jenis agunan hasil kebun yang

kreditur sering terima adalah kopi berkualitas tinggi.

Sedangkan untuk jaminan hasil ternak yang sering

digunakan oleh calon debitur adalah sapi ternak. Jenis

sapi yang dapat dijadikan jaminan biasanya berasal dari

sapi betina, sapi hamil serta sapi siap hamil, karena

jenis sapi tersebut masih tergolong produktif.

Masyarakat yang mengajukan kredit usaha

ternak ini dapat menggunakan hasil pinjamannya untuk

keperluan pakan ternak sapi, perapian kandang, maupun

untuk tujuan pembiayaan konsumtif.

- Invoice

Pembiayaan dengan jaminan invoice

atau invoice financing termasuk ke dalam agunan tidak

bergerak selanjutnya. Invoice financing termasuk

kedalam pembiayaan jangka pendek yang

menjaminkan invoice atau tagihan yang belum

dibayarkan oleh customer. Sembari menunggu

pembayaran dari customer, pinjaman dana dari invoice

34
financing dapat digunakan untuk keperluan operasional

perusahaan seperti pembayaran gaji hingga kegiatan

produksi.

- Inventory

Selain invoice financing, debitur yang berasal

dari perusahaan besar dapat menggunakan aset

perusahaan berupa inventori perusahaannya untuk

pembiayaan jangka pendek. Aktivitas pembiayaan

tersebut dinamakan dengan inventory financing. Pihak

kreditur biasanya akan menilai maksimal 50% dari total

nilai inventori untuk dapat dicairkan sebagai pinjaman.

Nominal tersebut tentunya didapat setelah melalui

analisa kelayakan, risiko kredit, dan profil calon debitur.

- Purchase Order/SPK/Surat Kontrak

Dalam perjanjian kerjasama suatu bisnis,

biasanya masing-masing pihak akan mengeluarkan

Surat Perjanjian Kerjasama, Purchase Order, ataupun

Surat Kontrak. Ketiga jenis bukti perjanjian kerjasama

tersebut dapat dijadikan agunan tidak bergerak bagi

debitur saat mengajukan pinjaman. Tentunya, untuk

35
mendapatkan persetujuannya membutuhkan proses

analisa kelayakan yang ketat.

- Agunan Tidak Berwujud

Kebalikan dari agunan berwujud, agunan tidak

berwujud adalah aset bernilai ekonomi dan tidak terlihat

secara fisik yang digunakan sebagai jaminan saat

mengajukan pinjaman atau pembiayaan. Contoh dari

agunan tidak berwujud ini adalah Deposito, Surat

Berharga, Obligasi, Hak Kekayaan Intelektual, dan lain

sebagainya.

Pada pinjaman daerah khususnya kepada lembaga keuangan

bank seharusnya terdapat jaminan agar apabila terjadi kredit macet

saat pembayaran antara pemerintah daerah dengan bank maka bank

dapat melindungi haknya juga. Akan tetapi, pada Pasal 4 ayat (3)

PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjamam Daerah menyatakah

bahwa pendapatan dan/ atau barang milik daerah tidak dapat

dijadikan jaminan pinjaman daerah.

Akan tetapi, pada Pasal 4 ayat (4) PP No. 56 Tahun 2018

tentang Pinjaman Daerah menyatakan bahwa kegiatan yang

dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah beserta barang milik

daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan

36
jaminan penerbitan Obligasi Daerah. Berdasarkan hal tersebut tentu

terdapat pemikiran apakah hanya barang yang dibiayai oleh

Obligasi Daerah saja yang dapat dijadikan jaminan penerbitan

Obligasi Daerah. Lalu bagaimana dengan jaminan pinjaman daerah

dari sumber lain khususnya dari lembaga keuangan bank.

Menurut penulis pada pinjaman daerah dengan bank

berlaku jaminan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1131

KUHPerdata karena antara bank dan pemerintah daerah tidak ada

perjanjian khusus terkait aset yang akan dijaminkan. Hal ini

dikarenakan pendapatan dan barang milik daerah tidak dapat

dijadikan sebagai objek jaminan.

Selain itu, secara tidak langsung yang menjadi jaminan dari

pinjaman daerah jangka waktu menengah dan jangka panjang

dengan lembaga keuangan bank adalah dokumen-dokumen penting

seperti persetujuan dari DPRD, perjanjian pinjaman daerah, dan

juga penganggaran untuk pembayaran yang dicantumkan di dalam

APBD. Walaupun tidak diatur secara tegas dan berupa aset seperti

halnya jaminan pada penerbitan Obligasi Daerah, tetapi dengan

adanya dokumen-dokumen tersebut bank juga dapat melindungi

haknya karena bank tetap dapat meminta haknya untuk

37
pembayaran tersebut sampai lunas walaupun kepala daerah telah

berganti.

Akan tetapi, kekurangannya adalah apabila terjadi kredit

macet maka bank tidak dapat mengeksekusi langsung karena tidak

ada jaminan aset yang dapat dieksekusi, sehingga bank hanya bisa

terus menuntut haknya kepada pemerintah daerah. Sehingga

menurut penulis, pinjaman daerah dari sumber lainnya juga

diperlukan aset yang dapat menjadi jaminan seperti halnya Obligasi

Daerah.

Salah satu pemikiran penulis adalah agar terjamin

pelunasan pinjaman daerah dengan jangka waktu menengah dan

panjang khususnya dengan bank adalah sebagaimana jaminan aset

penerbitan obligasi daerah, maka selain dokumen-dokumen yang

telah disebutkan sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai jaminan

pinjaman daerah dengan bank adalah aset yang sedang dibiayai

oleh pinjaman dengan bank tersebut.

Sehingga agar aset tersebut tidak berpindah kepemilikan

maka pemerintah daerah tentu harus melunasi pinjamannya dan

berusaha agar tidak terjadi kredit macet. Menurut penulis juga

diperlukan perjanjian tambahan agar apabila terjadi kredit macet

maka aset tersebut tidak langsung dieksekusi oleh bank, tetapi ada

38
jangka waktu tertentu untuk pemerintah daerah berusaha

menyelesaikan permasalah tersebut. Sehingga aset tersebut tetap

menjadi milik daerah.

39
BAB III

KEABSAHAN PERJANJIAN PINJAMAN DAERAH DENGAN

LEMBAGA KEUANGAN BANK YANG MENGGUNAKAN

BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI OBJEK JAMINANNYA

3.1 Konsep Pinjaman Daerah

Dasar dari Pinjaman Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor

56 Tahun 2018 dan Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 pada

prinsipnya diturunkan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang sekarang disempurnakan lagi dengan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan yaitu

“ Pinjaman Daerah adalah semua Transaksi yang mengakibatkan

daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai

uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban

untuk membayar kembali.” Bahwa Pemerintah Daerah mendapatkan

Pinjaman dari lembaga Keuangan akan tetapi memiliki kewajiban

untuk membayar Pinjaman tersebut.

40
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah Pasal 3 ayat (3) menyebutkan bahwa “ Pinjaman Daerah

bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka

penyelengaraan urusan Pemerintah Daerah.” Yang maksud didalam

Pasal ini yaitu untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi

pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah

dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah

daerah dapat melakukan pinjaman. Namun, mengingat pinjaman

memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan, risiko tingkat

bunga, risiko pembiayaan, risiko kurs, dan risiko operasional maka

menteri keuangan selaku pengelola fiskal nasional menetapkan batas-

batas dan rambu-rambu pinjaman daerah.

Pada umumnya Pinjaman Daerah harus memenuhi beberapa

persyaratan agar dianggap sah, seperti yang di sebutkan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Pinjaman

Daerah pada Pasal 15 menyebutkan bahwa :

1. Dalam melakukan Pinjaman Daerah, daerah harus memenuhi

persyaratan :

a. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman

yang akan di tarik tidak melebihi 75% ( tujuh puluh lima

41
persen) dari jumlah penerima umum APBD tahun

sebelumnya

b. Rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan

pinjaman ditetapkan oleh Pemerintah.

c. Tidak mempunyai Tunggakan atas Pengembalian Pinjaman

yang berasal dari Pemerintah Pusat.”

2. Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Pinjaman Daerah harus memenuhi persyaratan :

a. Kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah harus sesuai

dengan dokumen perencanaan daerah dan

b. Persyaratan lain yang ditetapkan pemberi pinjaman sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.”

Jika dilihat dari sumber pinjaman, pinjaman daerah bersumber dari

Pemerintah Pusat, dari Daerah Lain, dari Lembaga Keuangan Bank,

dari Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan dari Masyarakat. Seperti

yang di sebutkan dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun

2018 dalam Bab II Tentang Sumber, Jenis dan Penggunaan Pinjaman

Daerah yaitu :

(1) Pinjaman Daerah bersumber dari :

a. Pemerintah Pusat;

b. Daerah Lain;

42
c. LKB;

d. LKBB, dan

e. Masyarakat.

(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari

Anggaran pendapatan dan Belanja negara yang terdiri atas:

a. Penerusan Pinjaman Dalam Negeri

b. Penerus Pinjaman Luar Negeri; dan

c. Sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari daerah lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huru b dilakukan dengan

memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan ketersediaan

kas.

(4) LKB dan LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

dan d wajib berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan

dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi

Daerah.

43
Adapun Jenis Pinjaman Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor

56 Tahun 2018 Tentang Pinjaman Daerah yaitu :

1. Pinjaman Jangka Pendek adalah Pinjaman Daerah dalam

jangka waktu kurang lebih atau sama dengan 1 (satu) Tahun

Anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman

yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang

seluruhnya harus dilunasi dalam Tahun anggaran berjalan.

Pinjaman ini bersumber dari daerah lain, LKB, dan LKBB serta

dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.

2. Pinjaman Jangka Menengah adalah Pinjaman Daerah dalam

jangka waktu lebih dari 1 (satu) Tahun anggaran dengan

kewajiban pembayarankembali pinjaman yang meliputi pokok

pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang seluruhnya harus

dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa

jabatan Kepala Daerah di daerah yang bersangkutan. Pinjaman

ini bersumber dari Pemerintah Pusat, LKB, dan LKBB serta

dipergunakan untuk membiayai kegiatan prasarana dan/ atau

sarana pelayanan publik di daerah yang tidak menghasilkan

penerimaan daerah.

3. Pinjaman Jangka Panjang adalah Pinjaman Daerah dalam

jangka waktu pengembalian pinjaman lebih dari 1 (satu) tahun

44
anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman

yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang

seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya

sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman. Pinjaman ini

dapat bersumber dari Pemerintah Pusat, LKB, LKBB, dan

masyarakat serta digunakan untuk membiayai infrastruktur

dan/atau kegiatan investasi berupa kegiatan pembangunan

prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan

publik yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah .

Alasan Pinjaman Daerah yaitu dapat melakukan pinjaman daerah yang

merupakan alternatif Pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah ( APBD) yang digunakan untuk menutup defisit APBD dan

pengeluaran pembiayaan dan/atau kekurangan kas dalam rangka

belanja modal daerah, pencepatan pencapaian target program

pembangunan daerah, kegiatan prioritas daerah dan pembangunan

infrastruktur serta mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus

memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Adapun

manfaat pinjaman daerah antara lain, infrastruktur publik dapat segera

memberikan manfaat kepada masyarakat, penghematan anggaran

daerah dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tumbuhnya

45
sentra-sentra ekonomi baru di daerah, dan akselerasi program

pembangunan jangka menengah daerah.

Hanya saja, saat ini masih banyak terjadi permasalahan pada

Pemerintah Daerah (Pemda) yaitu pemda tidak menyiapkan dokumen

perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber

pinjaman. Pemda melakukan maksimalisasi penggunaan dana

pinjaman untuk pekerjaan yang berada di luar lingkup perencanaan,

tata cara atau prosedur dalam melakukan pinjaman daerah belum

sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan penganggaran pinjaman

daerah dalam APBD, pelaporan serta pertanggungjawaban atas

pinjaman daerah tersebut.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

(UU HKPD) telah menegaskan kebijakan Pinjaman Daerah. Dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 155 ayat (2)

Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah menentukan bahwa “ Pinjaman Daerah yang besumber dari

pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal (1) huruf a diberikan melalui

menteri setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan menteri menyelenggarakan

urusan pemerintahan dibidang perencanaan pembangunan nasional.”

46
Lebih lanjutnya dalam kebijakan tersebut dirinci lagi ketingkat organ

pelaksanaan pemneriam Pinjaman Daerah sebagaimana diatur dalam

Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang

Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah yaitu “ Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui

penugasan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keungan

bukan bank.”

Konsep dari Perjanjian Pinjaman Daerah ini agar kesepakatan

antara pemerintah daerah dan pihak lain, seperti bank atau lembaga

keuangan lainnya, untuk meminjam dana guna membiayai proyek atau

program di tingkat daerah. Pinjaman daerah umumnya digunakan

untuk mendanai pembangunan infrastruktur, layanan publik, investasi

ekonomi, atau keperluan lain yang mendukung pembangunan daerah.

Perjanjian pinjaman daerah melibatkan pemerintah daerah sebagai

peminjam dan lembaga keuangan sebagai pemberi pinjaman. Lembaga

keuangan tersebut dapat berupa bank pemerintah, bank swasta, atau

lembaga keuangan lain yang menyediakan fasilitas pinjaman kepada

pemerintah daerah. Perjanjian pinjaman daerah harus menjelaskan

dengan jelas tujuan penggunaan dana pinjaman tersebut. Misalnya,

pembangunan jalan, pembangunan sekolah, pengembangan

47
infrastruktur air bersih, atau proyek lainnya yang akan dilakukan oleh

pemerintah daerah.

Dalam Perjanjian pinjaman daerah harus mencantumkan jumlah

pinjaman yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada pemerintah

daerah. Besar pinjaman ini dapat bervariasi tergantung pada kebutuhan

proyek atau program yang akan didanai. Juga Perjanjian pinjaman

daerah harus mencantumkan suku bunga pinjaman yang akan

diterapkan. Suku bunga dapat bersifat tetap atau mengambang,

tergantung pada kesepakatan antara pemerintah daerah dan lembaga

keuangan.

Perjanjian pinjaman daerah ini bersifat dokumen penting yang

memastikan hubungan antara pemerintah daerah dan lembaga

keuangan terkait pinjaman tersebut. Setiap perjanjian pinjaman

biasanya disesuaikan dengan kondisi spesifik masing-masing

pemerintah daerah dan lembaga keuangan yang terlibat. Perjanjian

pinjaman daerah biasanya melibatkan proses negosiasi antara

pemerintah daerah dan pihak pemberi pinjaman. Selain itu, perjanjian

semacam itu sering kali membutuhkan persetujuan dari otoritas yang

berwenang, seperti dewan atau lembaga legislatif daerah.

48
3.2 KEABSAHAN PERJANJIAN PINJAMAN DAERAH

DENGAN LEMBAGA KEUANGAN BANK YANG

MENGGUNAKAN BARANG MILIK NEGARA

SEBAGAI OBJEK JAMINAN

Membahas terkait Perjanjian Pinjaman Daerah tidak lepas dari teori


perjanjian secara mendasar sebagaimana hal tersebut terdapat pada
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut J
Satrio “Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian yang terdapat
dalam Buku III ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya
berfungsi mengatur saja.”15 Terlebih lagi dalam buku III KUH Perdata
menganut system terbuka (open system), artinya bahwa para pihak
bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan syarat-
syaratnya, pelaksanaannya dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan
maupun tertulis.

Di samping itu diperkenankan untuk membuat kontrak baik yang


telah dikenal dalam KUH Perdata maupun di luar KUH Perdata.
Perjanjian-perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti
jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah,
penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penangguhan utang, perjanjian untunguntungan, dan perdamaian. Di
luar KUH Perdata kini telah berkembang berbagai perjanjian baru
seperti leasing, beli sewa, franchise, joint venture, dan lain sebagainya

15
J. Satrio, 1991, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm.5

49
Walaupun perjanjian tersebut telah berkembang dalam masyakat,
namun peraturan yang berbentuk undang-undang belum ada. Yang ada
hanya dalam bentuk Peraturan Menteri.16

Pengertian perikatan adalah “suatu hubungan hukum antara


sejumlah subjeksubjek hukum; sehubungan dengan itu, seorang atau
beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain” 17 Dengan pengertian
yang demikian, maka dalam suatu perikatan terkait unsur-unsur
sebagai berikut:

1. Pertama, Adanya hubungan hukum. Hubungan hukum adalah


suatu hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan
yang diatur oleh hukum biasa disebut dengan perikatan yang
lahir karena undang-undang. Misalnya terikatnya orang tua
untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya. Sementara itu,
hubungan yang diakui oleh hukum biasa disebut dengan
perikatan karena perjanjian. Dikatakan demikian karena
hubungan hukum itu telah dibuat oleh para pihak (subjek
hukum) sedemikian rupa sehingga mengikat kedua belah pihak
dan berlaku sebagai undang-undang (hukum).
2. Kedua, Antara seseorang dengan satu atau beberapa orang.
Maksudnya adalah perikatan itu bisa berlaku terhadap
seseorang atau dengan satu atau beberapa orang, yang dalam
hal ini adalah para subjek hukum atau para penyandang hak dan
kewajiban yang diberikan oleh hukum.

16
Retna Gumanti, “Syarat Sahnya Perjanjian”, Jurnal Pelangi Ilmu, Vol.5, No.1,
2012, hlm.3
17
Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis, Jakarta: Raja Grafindo, hlm.22

50
3. Ketiga, Melakukan atau tidak melakukan dan memberikan
siesta. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan
memberikan sesuatu didalam perikatan disebut dengan prestasi,
atau objek dari perikatan. Subjek hukum dalam melakukan
perjanjian bebas menentukan isi dari perjanjian.
Kemudian beberapa ahli mendefinisikan beberapa hal mengenai
perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan


menyebutkan bahwa perjanjian itu adalah “suatu peruatan
hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih.”
2. Menurut R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut
“suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”
3. A,Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.”18
Berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang
tercantum dalam perjanjian sebagai berikut : 19

1. Pertama, Adanya Kaidah Hukum.

18
Lena Griswanti, 2005, “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Dalam
Perjanjian”, Tesis Universitas Gadjah Mada, hlm.87
19
Muhammad Abdul Kadir, 1999, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty,
hlm.53

51
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak
tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang terdapat di dalam
peraturan undang-undang, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan
kaidah hukum kontrak tidah tertulis adalah kaidah kaidah
hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat.
Contoh jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain-lain. Konsep-
konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
2. Kedua, Subjek Hukum.
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson.
Rechtsperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah
kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang,
sedangkan debitur adalah orang yang memiliki utang.
3. Ketiga, Adanya Prestasi.
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan
kewajiban debitur, prestasi terdiri dari Memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, Tidak berbuat sesuatu.
4. Keempat, Kata Sepakat.
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya
perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata.
5. Kelima, Akibat Hukum.
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
menimbulkan akibat hukum atau dapat dituntut apabila tidak
dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan
kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah
suatu beban.

52
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian, yakni: 20

1. Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan


dirinya;
2. Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Ketiga, Suatu hal tertentu; dan
4. Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan tersebut di atas berkenan baik mengenai subjek
maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua
berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif. Persyaratan
yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian atau syarat
objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan
masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan
dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian.
Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka
Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak
semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak
pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau
tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih
terus berlaku.

Untuk menentukan Keabsahan Perjanjian Pinjaman Daerah


harus di kaji terdahulu bagaimana Hukum perjanjian mengatur syarat-
syarat keabsahan suatu perjanjian yaitu sahnya perjanjian menurut
KUHPerdata dalam pasal 1320. Dalam hal ini berkaitan dengan syarat
subjektif dan objektif dalam perjanjian diantaranya sebagai berikut :
20
Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, hlm.330

53
1. Kata Sepakat
Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah
pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak
didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia
memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus
Budrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
persyaratan kehendak yang disetujui (Overeenstemande
Wilsverklaring) antar para pihak-pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak
yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).21
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau
kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang
disebut di bawah ini, yaitu: Pertama, Paksaan (dwang). Setiap
tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi
kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan.
Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar
undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan
penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat
suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada
akhirnya pihaklain memberikan hak. Kewenangan ataupun hak
istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman
kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara,
penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman
penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang
dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang
melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi,
21
Ridwan Khairandy, 1992, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Keberadaannya
dalam Hukum Indonesia, Yogyakarta: Majalah Unisa UII, hlm.11

54
penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam
keadaan takut, dan lain-lain.
Kedua, Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah
tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata
dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan
pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang
ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan
kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu,
sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak
yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan,
merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran
yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada
puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan
yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan
(samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita yang
tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.
Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud
jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu
dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu
pihak lain dan membuat menandatangani perjanjian itu.
Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan,
tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu. Tindakan
penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak
dalam kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut
haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu.
Ketiga, Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling). Dalam hal
ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi
yang salah terhadap objek atau sebjek yang terdapat dalam

55
perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan. Pertama, error in
person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah
perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian
perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal
hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in
subtantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan kerakteristik
suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki
Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar
bahwa lukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari
Basuki Abdullah. Di dalam kasus yang lain, agar suatu
perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus
mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas
dasar kekeliruan dalam hal mengindentifikasi subjek atau
orangnya.
Keempat, Penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheiden). Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala
seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal
yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment)
yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat
mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat
dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus
(misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang
bersifat fiduciary dan confidence). Van Dunne menyatakan
bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena
keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan.
2. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal
1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan

56
(om eene verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi
percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian.
Dari kata “membuat” perikatan dan perjanjian dapat
disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang demikian
itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan
tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan
sebagai ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju
kepada perikatan yang timbul karena undang-undang. Menurut
J. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut syaratnya
perjanjian yang kedua ini adalah : kecakapan untuk membuat
perjanjian.
Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap
orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa
ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang
perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya
Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka
perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).
Seseorang dikatakan belum dewasa menurut pasal 330
KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang
dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur
kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam
perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun
1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di
bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.
Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No.
447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa

57
dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974, maka batas
seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18
tahun, bukan 21 tahun. Henry R. Cheseemen 37 menjelaskan
bahwa di dalam sistim common law, seseorang dikatakan
belum dewasa jika belum berumur 18 tahun (tahun) dan 21
tahun (pria) dalam perkembangannya, umumnya negara-negara
bagia di Amerika Serikat telah mensepakati bahwa kedewasaan
tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18 tahun yang
berlaku baik bagi wanita maupun pria.
3. Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya
suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333
KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek
tertentu. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu
(centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan,
yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.
Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa
Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak
hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang
lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek
perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa
jasa.
J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi

58
perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit
dapat ditentukan jenisnya. KUHPerdata menentukan bahwa
barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti
dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian
“panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun
berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu
rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak
cukup jelas.
4. Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya
kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari
kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi
mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya
dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah
pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang,
sedangkan pihak lainnya menghendaki uang. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka apabila seseorang membeli pisau di
suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli
tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud
membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya
penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya
jika pembeli membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini
tidak ada kausa hukum yang halal.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa
dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di

59
dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan
dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang
bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian
bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah
masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat
abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu
dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan
lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat
pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kausa
hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila
bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan
dalam masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah
ketatanegaraan.
Ketentuan-ketentuan Umum dalam Perjanjian

1. Somasi
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan
terjemahan dari ingebrekerstelling. Somasi diatur dalam pasal
1238 KUHPerdata dan pasal 1243 KUHPerdata. Somasi adalah
teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang
(debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi
perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi
timbul disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya, sesuai
dengan yang diperjanjikan. Ada tiga hal terjadinya somasi,
22
yaitu: Pertama, Debitur melaksanakan prestasi yang keliru,
misalnya kreditur menerima sekeranjang apel seharusnya
sekeranjang jeruk. Kedua, Debitur tidak memenuhi prestasi

22
H S Salim, 2008, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan hlm.96

60
pada hari yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan
melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan
prestasi. Penyebab tidak melaksanakan prestasi sama sekali
karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena debitur
terang-terangan menolak memberikan prestasi. Ketiga, Prestasi
yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur
setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
2. Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Seorang
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu
ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitur wanprestasi atau tidak. Ada 4 akibat adanya
wanprestasi, yaitu sebagai berikut : Pertama, Perikatan tetap
ada. Kedua, Debitur harus membayar ganti rugi kepada
kreditur. Ketiga, Beban resiko beralih untuk kerugian debitur,
jika halangan tersebut timbul setelah debitur wanprestasi,
kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak
kreditur. Keempat, Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal
balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya
memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266
KUHPerdata
3. Ganti Rugi

61
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi
karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti
rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu
timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya
perjanjian sedangkan ganti rugi karena wanprestasi adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang
tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur
dengan debitur
4. Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang overmacht (keadaan memaksa) dapat
dilihat dan dibaca dalam pasal 1244 KUHPerdata dan padal
1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi: “debitur
harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, bila
tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan
itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu
disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada i’tikad
buruk kepadanya.” Selanjutnya dalam pasal 1245 KUHPerdata
berbunyi: “tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga,
bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi
secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu
perbuatan yang terlarang olehnya”. Ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu: Pertama, Adanya

62
suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau Kedua, Terjadinya
secara kebetulan dan atau. Ketiga, Keadaan memaksa.
5. Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut
dengan resicoleer (ajaran tentang resiko). Resicoleer adalah
suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul
kerugian, jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.
Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa
(overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah
suatu perjanjian dimana salah satu pihak aktif melakukan
prestasi sedangkan pihak lainnya pasif. Perjanjian timbal ballik
adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan
untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang
dibuat keduanya.

Pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


mengatur mengenai asas Kebebasan Berkontrak. Dalam Pinjaman
Daerah harus disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalam
perjanjian juga harus pasti secara Hukum berlaku dengan menjunjung
asas kejujuran.

Suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat


subjektif dan syarat objektif. Pemenuhan syarat tersebut berakibat pada
perjanjian yang telah dibuat menjadi sah. Perjanjian juga mengikat
bagi para pihak mengenai hak dan kewajibannya, sehingga pemenuhan
syarat sahnya suatu perjanjian mutlak untuk dipenuhi.

63
Persyaratan tersebut berkenan baik mengenai subjek maupun
objeknya dalam suatu perjanjian. Persyaratan pertama dan yang kedua
berkenan menyangkut subjek dalam perjanjian, sedangkan dalam
persyaratan ketiga dan keempat berkenan menyangkut objek dalam
perjanjian. Perbedaan ini juga berhubungan dengan masalah batal demi
hukum dan dapat dibatalkan oleh hukum.

Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian


tersebut belum ataupun tidak dibatalkan oleh salah satu pihak
dikarenakan cacat kehendak, maka perjanjian yang bersangkutan masih
terus berlaku.

Salah satu pakar hukum berpendapat pada umumnya apabila


persyaratan subjek perjanjian yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk
melakukan perikatan tidak terpenuhi maka batalnya perjanjian tersebut.
Lalu apabila persyaratan menyangkut objek perjanjian yaitu suatu hal
tertentu dan adanya causa hukum yang halal tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata


sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebutkan yaitu
adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling),
dan adanya penipuan (bedrog) dan dalam perkembangan lebih lanjut
dikenal pula cacat kehendak yang lain yakni, penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden).23

Dalam perjanjian pasti ada objek jaminannya, jaminan terbagi


menjadi menjadi 2 yaitu jaminan kebendaan dan Jaminan perorangan.
Jaminan kebendaan terbagi dari beberapa yaitu Jaminan Gadai,
23
J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Timbul dari Perjanjian, Buku 1, Citra
Adiyta Bakti, Bandung, 1995, Hlm 268

64
Jaminan Hipotek, Jaminan Hak Tanggungan, dan Jaminan Fidusia.
Sedangkan Jaminan perorangan adalah perjanjian penanggungan,
perjanjian garansi dan perjanjian tanngung menanggung. Dalam
perjanjian pinjaman daerah tidak ada jaminan yang pasti untuk dapat
dijaminkan karena tidak ada disebutkan dalam Undang-undang
manapun akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2018
Tentang Pinjaman Daerah dalam Pasal 4 ayat 3 menegaskan “
pendapatan dan atau Barang Milik Daerah Tidak dapat dijadikan
Jaminan Pinjaman Daerah.” Ini artinya Barang milik pemerintah atau
milik daerah tidak diperbolehkan di jaminan atau di gadai untuk
kepentingan pinjaman daerah.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 Tentang


Pinjamam Daerah dalam Pasal 1 ayat (8) juga menyebutkan Perjanjian
Pinjaman Daerah adalah perjanjian yang dilakukan antara pemberi
pinjaman dengan Kepala Daerah. Pasal ini di artikan bahwa perjanjian
suatu pinjaman daerah dapat dilaksanakan dengan bank atau BUMN
dan kepala daerah di wilayah tersebut.

Dalam pembahasan disini Keabsahan Perjanjian Pinjaman Daerah


dengan Lembaga Keuangan Bank Yang Menggunakan Barang Milik
Negara Sebagai Objek Jaminan disebutkan Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Pinjaman Daerah Pasal 4
ayat (3) menyebutkan “ pendapatan dan/ atau Barang milik daerah
tidak dapat dijadikan jaminan pinjaman Daerah. Walaupun dalam
pengertian di dalam pasal tersebut hanya menyebutkan barang milik
daerah akan tetapi Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyamaratakan

65
kepemilikan tersebut dikarenakan dari hasil pembelian atau di peroleh
atas anggaran pendapatan dan belanja atau diperoleh yang sah.
Sehingga penulis meneliti objek pinjaman dari Perjanjian Pinjaman
Daerah ini adalah Milik Negara tidak dapat dijaminkan karna dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 menyebutkan di dalam
Pasal 4 ayat (3) berbunyi “ pendapatan dan/atau Barang Milik Daerah
tidak dapat dijadikan jaminan pinjaman Daerah. Dapat diartikan dalam
pasal ini bahwa pendapatan daerah ataupun barang milik daerah tidak
dapat dijaminkan untuk menjadi Pinjaman Daerah. Lalu Dalam
Perjanjian Pinjaman Daerah dengan Lembaga Keuangan Bank yang
menggunakan Barang Milik Negara Sebagai Objek Jaminan bisa di
katakan sebagai Perjanjian Batal Demi Hukum dikarenakan dalam
Perjanjian tersebut objek perjanjiannya dilarang atau tidak di
perbolehkan dijaminkan sehingga perjanjian ini melanggar syarat sah
perjanjian pasal 1230 ayat ke 3 dan 4 yaitu syarat objektif.

66
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

1. Menurut penulis adalah agar terjamin pelunasan pinjaman

daerah dengan jangka waktu menengah dan panjang

khususnya dengan bank adalah sebagaimana jaminan aset

penerbitan obligasi daerah, maka selain berpegang pada

Pasal 1131 KUHPerdata mengenai jaminan umum dan

dokumen-dokumen yang telah disebutkan sebelumnya,

maka yang dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman

daerah dengan bank adalah aset yang sedang dibiayai oleh

pinjaman dengan bank tersebut. Sehingga agar aset tersebut

tidak berpindah kepemilikan maka pemerintah daerah tentu

harus melunasi pinjamannya dan berusaha agar tidak terjadi

kredit macet.

2. Keabsahan dari perjanjian pinjaman daerah dengan bank

yang menggunakan barang milik negara sebagai objek

jaminannya adalah batal demi hukum. Hal ini dikarenakan

pada Pasal 4 ayat (3) PP No.56 Tahun 2018 tentang

Pinjamam daerah tidak memperbolehkan pendapatan

67
dan/atau barang milik daerah dijadikan sebagai objek

jaminan. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak

memenuhi salah satu syarat obyektif dari syarat sah

perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata

sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.

4.2 SARAN

Saran yang dapat diberikan ialah diperlukan perjanjian

tambahan agar apabila terjadi kredit macet maka aset tersebut tidak

langsung dieksekusi oleh bank, tetapi ada jangka waktu tertentu

untuk pemerintah daerah berusaha menyelesaikan permasalah

tersebut sehingga aset tersebut tetap menjadi milik daerah.

68
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Kadir. Muhammad. 1999, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta:

Liberty.

Asyhadie. Zaeni. 2008, Hukum Bisnis, Jakarta: Raja Grafindo.

Griswanti. Lena. 2005, “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima

Lisensi Dalam Perjanjian”, Tesis Universitas Gadjah Mada.

Lubis. Irsyad. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Fakultas

Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Satrio. J. 1991, Hukum Perjanjian, Jakarta : Citra Aditya Bakti.

Satrio. J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang Timbul dari

Perjanjian, Buku 1. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Subekti dan Tjitrosudibio. 2003, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.

Subekti. R. 1978. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut

Hukum Indonesia. Bandung : Alumni.

Jurnal

Abubakar, Lastuti. Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek

69
Jaminan (Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional).

2015. Artikel dalam “Jurnal Buletin Hukum Kebanksentralan”.

No. 1. Vol. 12. Januari-Juni.

Gumanti, Retna. “Syarat Sahnya Perjanjian”, 2012. Jurnal Pelangi

Ilmu, Vol.5, No.1.

Hakim. Lukmunal. Analisis Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara

Pihak Nasabah Dengan Industri Jasa Keuangan Pada Era

Otoritas Jasa Keuangan”. 2015. Jurnal Keadilan Progresif, 6

(2).

Sutiono, Guntur Cahyo. Jaminan Kebendaan dalam Proses Perjanjian

Kredit Perbankan (Tinjauan Yuridis Terhadap Jaminan Benda

Bergerak Tidak Berwujud). 2018. Artikel dalam “Jurnal

Transparansi Hukum”. No. 1. Vol. 1. Januari.

Prasetyawati, Niken dan Tony Hanoraga. Jaminan Kebendaan dan

Jaminan Perorangan sebagai Upaya Perlindungan Hukum

bagi Pemilik Piutang. 2015. Artikel dalam “Jurnal Sosial

Humaniora”. No. 1. Vol. 8.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

70
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah

yang mencabut PP Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman

Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara/Daerah

Putusan Mahkamah Agung No.447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976

71

Anda mungkin juga menyukai