Anda di halaman 1dari 9

Nama : Salsabila

NIM : 201011104

Tugas Hukum Perbankan

A. Asas dan Lembaga Perbankan di Indonesia

1. Pengertian Asas/Prinsip
Asas hukum merupakan latar belakang dari terbentuknya suatu hukum konkrit.
Menurut Stammler, harus dibedakan antara “the concept of law” dengan the idea of
law yang menjabarkan bahwa the idea of law merupakan realisasi keadilan.
Pengertian asas hukum ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli
yaitu:
a. Bellefroid, berpendapat bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-
aturan yang lebih umum.
b. Van Scholten, berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-
sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu,
tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
c. Van Eikema Hommes, berpendapat asas hukum bukanlah norma-norma hukum
konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-
petunjuk bagi hukum yang berlaku.
d. Van der Velden, berpendapat asas hukum adalah tipe putusan yang digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berperilaku.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menetapkan bahwa Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk memperkuat makna asas demokrasi
ekonomi ini, penjelasan umum dan penjelasan pasal 2 berbunyi: "Yang dimaksud
dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi ekonomi ini tersimpul dalam pasal 33 UUD
1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan.
Menurut Rochmat Soemitro (1991: 185) pembangunan di bidang ekonomi yang
didasarkan pada demokrasi ekonomi menentukan masyarakat harus memegang peran
aktif dalam kegiatan pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap
pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia
usaha. Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip
kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential
principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah
(know how costumer principle).
2. Lembaga Perbankan
Menurut Kasmir (2014:3), bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan
usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana
tersebut ke masyrakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Bank terbagi atas
Lembaga Keuangan Bank serta Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Lembaga Keuangan Bank adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan di mana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya
menyaluarkan dana atau kedua-duanya lembaga keuangan adalah menghimpun dan
menyalurkan dana, perbedaan antara bank dan lembaga non-bank dapat dilihat melalui
kegiatan utama mereka tersebut. Sedangkan Lembaga Keuangan Bukan bank adalah
semua badan yang melakukan kegiatan dibidang keuangan, yaitu secara langsung
maupun tidak langsung menghimpun dana terutama dengan jalan mengeluarkan
kertas berharga dan menyalurkan ke masyarakat, terutama membiayai investasi
perusahaan-perusahaan.
Dasar hukum beroperasinya lembaga perbankan nasional jika diurutkan
berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia N. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Perundang-Undangan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945 ( terutama Pasal 33)
b. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
c. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
d. KUH Perdata
e. KUH Dagang
f. Peraturan Pemerintah
g. Peraturan Presiden, dan
h. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perbankan.
Landasan hukum bagi pendirian dan usaha Lembaga Keuangan Bukan Bank yaitu:
a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Bursa (Lembaran Negara Nomor
67 Tahun 1952).
b. Surat Keputusan Mentri Keuangan Nomor Kep. 38/MK/IV/1972 tentang
perubahan dan tambahan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep
792.MK/12/1970 tanggal 7 Desember 1970.

B. Tujuan dan Fungsi Lembaga Perbankan di Indonesia


1. Tujuan Lembaga Perbankan
Perbankan Indonesia memiliki tujuan, yaitu menunjang pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional
ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Tujuan perbankan Indonesia secara umum dibagi ke dalam dua tujuan, yaitu sebagai
berikut:
a. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efisien bagi
nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan dan kartu kredit. Ini
adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya
penyediaan alat pembayaran yang efisien ini, maka barang hanya dapat
diperdagangkan dengan cara barter yng memakan waktu.
b. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada
pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk
investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan
baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang
hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan
bisnis tidak dapat dibangun arena mereka tidak memiliki dana pinjaman.
2. Fungsi Lembaga Perbankan
Fungsi perbankan Indonesia secara umum sebagai penghimpun dan penyalur dana
dari masyarakat.
Menurut Budisantoso (2006:9) secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai
agent of trust, agent of development, dan agent of services.
a. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal
menghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya
di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa
uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik,
bank tidak akan bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut
dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau
menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur
kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan
pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh tempo, dan debitur
mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya
pada saat jatuh tempo.
b. Agent of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak
dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor
moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan
penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor
riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan
investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat
bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya
penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak
lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of Service
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga
memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa
ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa
ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga,
pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.

C. Asas Dasar Lembaga Perbankan di Indonesia


1. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa, usaha Bank dilandasi oleh
hubungan kepercayaan antara Bank dan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan
dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap
bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap mempertahankan
kepercayaannya.
Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu
portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali,
bank tersebut bank mampu menyediakannya. Secara normatif fiduciary relation
terdapat dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal
29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan
dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu
terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.”
Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.”
Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi
saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin akan terjadi dalam penyimpanan
dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah
harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (4)
Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

2. Asas Kerahasiaan (Confidential People)


Dalam bank ada salah satu prinsip yang dikenal dalam dunia perbankan yakni
prinsip kerahasiaan atau konfidensial principle. Rahasia Bank menjadi sangat penting
dijaga dalam industri perbankan karena prinsip tersebut merupakan core atau ruh dari
industri perbankan. Kemudian, asas ini juga mengharuskan atau mewajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari
nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Jadi kalau misalnya bank tidak menganut prinsip kerahasiaan bisa dibayangkan
sistem keuangan akan menjadi goyah. Apabila nasabah dan simpanannya di bank
terkait data nasabah dan data simpanan di Bank itu dengan mudah dibocorkan keluar,
maka akan dapat mengancam perekonomian dan sistem perbankan nasional
Kepercayaan masyarakat akan ada pada bank itu apa akan goyah (tidak percaya lagi
kepada bank).
Berdasarkan ketentuan yang ada pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dinyatakan bahwa bank wajib merahasiakan informasi
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Kemudian, Rahasia Bank menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 1098
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya. Kadi ada kalimat "sesuatu yang berhubungan dan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya" akan tetapi hal ini
menjadi perdebatan karena tidak ada kriteria standar mengenai hal ini dalam praktek.
Di dalam undang-undang perbankan, dicantumkan 7 jenis kepentingan umum
sebagai alasan untuk menerobos kerahasian bank, diantaranya:
1. Terkait dengan pajak untuk mengkonfirmasi penghasilannya (karena ini ada
kaitannya dengan laporan pajak), yang mana mengkonfirmasi hal tersebut apabila
ada transaksi-transaksi di luar yang dilaporkan dalam pajak. Biasanya tidak
diketahui adanya random checking, bisa jadi nasabah yang nilainya kecil juga
dapat terkena random checking jika untuk pelaporan pajak.
2. Penagihan piutang bank terutama piutang Bank milik negara. Jadi apabila
memiliki utang, misalnya sama-sama bank milik BUMN maka bisa dicek atau
bisa dibuka informasi mengenai simpanan yang dimiliki olehnya di bank lain atau
misalnya hutang atau piutang yang dimiliki olehnya di bank tersebut.
3. Untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, misalnya ada moneylondring,
korupsi atau kejahatan cybercrame yang biasanya untuk menampung uang dan
lain sebagainya atau yang terkait perkara pidana, maka prinsip yang bisa itu tidak
berlaku.
4. Dalam sengketa perdata antara bank dengan nasabah. Sengketa-sengketa yang
sifatnya keperdataan itu seperti antara bank dengan nasabahnya sendiri.
5. Informasi antar bank yang biasanya kalau BI checking, misalnya ada orang yang
ingin mengajukan kredit di bank tertentu maka bank tersebut akan melakukan BI
checking. Kemudian, mengecek apakah si calon nasabah ini yang akan
mengajukan kredit tersebut. Apabila calon debitur ini mempunyai hutang atau
tidak pada bank lain maka kolektabilitasnya bagaimana (kolektabilitas adalah
kelancaran pembayaran). Dalam hal ini kolektabilitasnya itu bagaimana sering
macet atau tidak, sering nunggak atau tidak, sering terlambat atau tidak. Maka
dari itu, pembayarannya berpengaruh dengan pemberian kredit yang diberikan
oleh suatu bank kepada calon debitur.
6. Kepentingan ahli waris karena ahli waris itu memiliki hak untuk menerima, baik
hutang maupun piutang yang dimiliki oleh si waris
7. Adanya persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah itu sendiri. Dalam hal ini
biasanya untuk kuasa kepada bank itu bisa diberikan, misalnya dalam hal
pengambilan uang atau mengeprint buku tabungan secara otomatis sehingga
mengetahui isi dari simpanannya. Hal ini bisa ditinjau dalam Pasal 41-44 A
Undang-Undang Perbankan. Prinsip rahasia bank dapat disalahgunakan juga oleh
nasabah nakal maupun oleh bank itu sendiri. Jadi nasabah nakal bisa saja
menyerang balik bank dengan tuduhan melanggar kerahasiaan bank demikian
juga sebaliknya.

3. Asas Kehati-Hatian (Prudential Principle)


Bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan pada
bank (Pasal 2, Pasal 29 ayat (2), dan (3) UU Perbankan).
Prinsip kehati-hatian adalah prinsip yang menegaskan bahwa dalam menjalankan
fungsi utamanya, bank wajib untuk bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana
masyarakat. Begitupun dalam rangka pemberian kredit kepada perusahaan-
perusahaan atau masyarakat untuk kepentingan pembiayaan. Prinsip ini juga diatur
dalam Pasal 2 UUP, yaitu “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”
Tujuan Penerapan Asas Kehati-hatian:
a. Agar bank tetap dalam keadaan sehat (likuid dan solvent);
b. Agar bank dalam menjalankan usahanya dilakukan dengan baik dan benar;
c. Agar bank mematuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum
yang berlaku;
d. Untuk melindungi dana masyarakat yang dipercayakan pada bank;
e. Agar kepercayaan masyarakat pada bank makin tinggi;
f. Untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien.
Adapun prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank adalah sebagai
berikut :

a. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)


Dalam Pasal 11 UUP, dikatakan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal
lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan
dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. Dalam
melaksanakan mandat undang-undang terkait BMPK tersebut, secara lebih jelas
ditetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.03/2018 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit dan Penyediaan Dana Besar Bagi Bank
Umum.
b. Pemberian Kredit Yang Sehat Berdasarkan Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB)
Pemberian kredit atau pembiayaan merupakan kegiatan utama bank yang
mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan
bank, sehingga dalam pelaksanaannya pemberian kredit harus berdasarkan
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan kredit perbankan. Hal ini diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan
Bank Bagi Bank Umum.
c. Kualitas Aset Produktif (KAP)
Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank perlu mengelola risiko kredit
yaitu dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan
penghapusan aset. Ketentuan terkait KAP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. KAP
merupakan suatu usaha yang digunakan oleh bank dengan tujuan untuk menilai
aset yang dimilikinya dan menyerap potensi kerugian yang telah diperkirakan
akibat risiko gagalnya pembayaran dari proses pembiayaan.
Salah satu contoh pelanggaran prinsip kehati-hatian terjadi di Tahun 2005 pada
Bank Danamon, yang mengaku bahwa telah teejadi pelanggaran Batas Minimum
Pemberian kredit (BMPK) dalam akuisis 75% saham PT. Adira Dimanike
Finance. Atas pelanggaran tersebut, Bank Danamon dikenakan denda sebesar
Rp.650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan hal tersebut, penting bagi lembaga perbankan untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Terjadinya pelanggaran atas prinsip
kehati-hatian dapat diberikan sanksi hukum berupa pidana denda seperti yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Anda mungkin juga menyukai