PENDAHULUAN
interaksi dalam konteks perbuatan hukum pun berkembang tidak hanya di dalam
atau antara subjek yang berada pada wilayah Negara yang sama tetapi juga
berlangsung antara para pihak yang bersengketa dengan subjek hukum sama-sama
berasal dari suatu tertorial Negara yang sama, seperti yang diketahui telah
memiliki payung hukumnya sendiri. Begitu pun sebenarnya ketika para subjek
hukum yang bersengketa berasal dari teritorial Negara yang berbeda. Seperti telah
karena itu, perlu untuk diperhatikan ketika timbul persoalan hukum. Persoalan
hukum berkaitan dengan hukum dari Negara mana yang akan diberlakukan dalam
suatu peristiwa hukum yang melibatkan subjek dari Negara yang berbeda.
Mengacu pada sengketa yang memposisikan para pihak pada wilayah yurisdiksi
Negara berbeda, maka solusi yang diterapkan adalah seputar ruang lingkup
1
Conflict of Laws1 (Hukum Perdata Internasional). Itulah alasan hadirnya Hukum
yakni, pertama, penentuan apakah sebuah perkara termasuk perkara HPI atau
bukan berdasarkan hukum tempat perkara diperiksa (lex fori) dan ada tidaknya
fori); ketiga, penentuan tentang hukum mana yang harus berlaku bagi perkara
HPI; keempat, setelah hukum yang harus diterapkan (lex causae) ditentukan, akan
dilihat apakah menurut lex causae titik-titik taut yang ada selanjutnya menunjuk
lex fori, lex causae, atau hukum asing lain sebagai hukum yang harus
diberlakukan; kelima, setelah ditentukan hukum Negara mana yang harus berlaku
1
“The terms Conflict of Laws describes generally the body of law that aspires to provide
solutions to international or interstate legal disputes between persons or entities other than
countries or states as such…”. Peter Hay, Patrick Borchers, Symeon Symeonides. Conflict of
Laws, Fifth Edition, h. 1.
2
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1983, h. 7.
3
Arie Siswanto. Bahan ajar kelas Hukum Perdata Internasional, FH UKSW.
4
Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. Lihat: characterization
2
dari fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum5. Pada tahapan kualifikasi
ini, ada pula 2 (dua) jenis kualifikasi yakni kualifikasi hukum (qualification of
pilihan hukum dalam kontrak. Jawabannya pula ada dalam ruang lingkup Conflict
of Laws bahwa pada tahap berikutnya setelah kualifikasi terhadap perkara itu
Menjadi menarik ialah terkait teori kualifikasi yang mana pada penulisan ini
bahwa proses kualifikasi dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari
Hartono, dalam hal kualifikasi berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan
timbul jika sistem asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi yang
cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang
5
S. Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h. 119.
6
Ibid., h. 119-120 – dilihat secara umum.
7
Ibid., h. 124-125.
3
sedang dihadapi dalam perkara8. Dengan demikian, menjadi menarik ketika teori
elements maka forum yang menghadapi suatu perkara sehubungan dengan HPI
lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan
dalam penyelesaian perkara. Alasan mengapa lex fori tidak otomatis harus
manakah di antara sistem hukum yang relevan, yang seharusnya atau lebih tepat
hukum suatu perkara. Itulah yang dimaksudkan akan pentingnya lex causae.
Dengan demikian, tidak terpaku apakah perkara telah terjadi jauh di waktu yang
lalu sehingga dipertanyakan relevansi lex causae dengan suasana dan atmosfer
masa sekarang, lex causae mempunyai peran penting. Berangkat dari lex fori yang
tidak secara otomatis diberlakukan, hakim tidak dapat terikat secara kaku pada
konsep lex fori saja sehingga harus memperhatikan pula cakupan peristiwa/
hubungan hukum sejenis dari suatu sistem hukum lain. Kemudian, hubungannya
dengan kebutuhan dalam menentukan sistem hukum yang seharusnya dan lebih
tepat, maka penentuan lex causae masih berperan penting hingga kini.
8
Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h.
103.
4
Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa lex causae masih dianggap
penting padahal dalam kasus ini putusan sudah in concreto. Memang pada
dasarnya ketika putusan sudah in concreto maka secara tersirat lex causae telah
ditentukan. Namun, menurut penulis titik fokus terkait lex causae, yang tidak
kalah pentingnya ialah bagaimana proses dan perjalanan hingga pada akhirnya lex
perdata internasional.
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Internasional berkaitan dengan kasus tersebut sehingga itu juga yang telah
menjadi alasan mengapa Penulis memilih Judul: Penentuan Lex Causae dalam
kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
dikemukakan di atas adalah bahwa “subject matter” asas HPI khususnya dalam
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) belum terlalu (kalau
tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali) dikaji secara ilmiah dalam skripsi-
5
membicarakan secara khusus mengenai penggunaan asas HPI untuk menentukan
kerangka penyelesaian sengketa antara para pihak yang berada dalam yurisdiksi
berbeda, maka turut menjadi penting hubungannya dengan lex causae. Pada
dalam artian kaedah atau norma manakah yang nantinya akan diberlakukan
terhadap suatu konflik atau sengketa yang melibatkan entitas hukum dari teritorial
Negara yang berbeda. Penunjukkan yang dimaksud ini tentu berdasarkan maupun
dilihat dari titik-titik taut primer. Titik-titik taut primer tersebut antara lain 1)
terkait dalam perkara; 3) Letak/ tempat kedudukan (situs) benda tetap; 4) Bendera
diajukan (forum) 9.
9
S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bab II tentang Titik-
titik Pertalian, 1987.
10
Hardjowahono, Op.Cit., h. 7-8
6
R. H. Graveson berpendapat bahwa:
“Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang
berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan
yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek
teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan
pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya
asing), atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan
pengadilan asing.”
pokok antara lain sistem hukum maupun forum yang bersangkutan. Artinya,
terdapat pula hukum lain (foreign law) dalam hubungannya dengan HPI. Oleh
karenanya, melihat pluralitas sistem hukum dalam HPI maka dalam sebuah
perkara hakim perlu menentukan lex causae. Penentuan yang dimaksud ini
dilakukan dengan memperhatikan titik-titik taut dan juga kaitannya pada teori
Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut. Pertama ialah titik-titik taut primer
7
unsur asing (foreign elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi
adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern/ domestik semata. Kedua
dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus
taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan
menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the
yakni kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae, kualifikasi secara otonom /
diberikan oleh para pihak untuk meyakinkan para hakim, maka bisa dilihat dan
dicermati apa yang menjadi alasan dibalik pertimbangan hakim sedemikian. Fakta
Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah
Thahir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat
11
Ibid., h. 84 & 87
8
H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai 153
milyar rupiah.
Thahir (joint account). Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir
bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya
sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup
menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun
transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak
Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut
bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas
uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir.
menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H.
9
diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy,
(pengacara). Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali
ke negara.
paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan
Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law
atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus
yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah
Indonesia dari sisi pihak penyimpan dana (Thahir), anak-anak Thahir, dan
Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan
bahwa Pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78
Fakta hukum terkait putusan ini berangkat dari putusan high court
sebelumnya. Tetapi, dalam hal ini Pertamina yang mengajukan gugatan atas
10
menyatakan Pertamina tidak memiliki hak untuk mengklaim deposit yang
membuktikan. Oleh karena itu, timbulah setidaknya 4 (empat) isu yaitu 1) apakah
harus ada klaim kepemilikan; 2) apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum
manakah yang mengatur (the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina
merupakan hal terkait kepemilikan. Berangkat dari isu-isu tersebut, maka yang
menjadi konsern penulis yaitu pada isu ketiga mengenai hukum mana yang
seharusnya mengatur.
yang ada, ternyata akhirnya hakim memutuskan hukum (lex causae) yang
digunakan ketika tidak adanya pilihan hukum (choice of law) pada kasus tersebut
penentuan lex causae inilah yang merupakan latar belakang penelitian penulis.
Pada akhirnya akan dikaji penggunaan prinsip atau asas Hukum Perdata
tersebut terdapat kaedah yang menjadi pedoman penting dalam menentukan lex
causae. Hal yang dimaksud tersebut ialah Rule 201. Hakim secara jelas
lex causae. Rule 201 dalam hal ini sebetulnya bukan merupakan suatu kaedah
doktrin yang dimunculkan Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th Ed.
1993). Dalam Rule 201 mengandung unsur titik taut di mana penentuan lex causae
bisa dilihat dari berbagai kategori, yaitu, bahwa hukum yang pantas diberlakukan
11
adalah hukum yang tepat dari kontrak ketika kewajiban timbul sehubungan
dengan kontrak; berdasarkan objek seperti jika transaksi mengenai sebuah benda
keadaan lain (in any other circumstances), hukum yang tepat adalah hukum
Nanti bisa dilihat bahwa alasan dibalik mengapa sistem hukum Singapura
memperkaya terjadi (enrichment occurs). Paling tidak bunyi dari doktrin Rule 201
Rule 201
(1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at
another person’s expense is governed by the proper law of the obligation.
(2) The proper law of the obligation is (semble) determined as follows:
(a) If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is
the proper law of the contract;
(b) If it arises in connection with a transaction concerning an immovable
(land), its proper law is the law of the country where the immovable is
situated (lex situs);
(c) If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the
country where the enrichment occurs.
Rule 201 poin ketiga secara tegas telah menjelaskan dan memberi petunjuk
bahwa hukum mana yang akan diberlakukan ketika dikaitkan dengan putusan ini.
Dikatakan bahwa hukum yang tepat ialah hukum negara di mana tindakan
bahwa hukum Indonesia yang menjadi lex causae. Namun, apakah hanya masalah
12
hukum negara di mana tindakan memperkaya dilakukan lantas lex causae
langsung ditentukan. Proses dan perjalanan menuju arah itulah yang sebetulnya
C. Rumusan Masalah
lex causae-nya?
ini?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat untuk meneliti beberapa hal, dengan tujuan yang ingin
asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan Lex Causae dalam kasus
Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina).
13
E. Metode Penelitian
tentang arti dan maksud putusan berkaitan dengan kasus Kartika Ratna
ada14.
2. Jenis Penelitian
(Pertamina).
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994, h. 23.
14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitihan Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, h. 301.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986, h. 50
14
3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder,
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/
1992.
Unit amatan dalam penelitian ini adalah putusan Kartika Ratna Thahir v
PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/
1992. Sedangkan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah
15