Anda di halaman 1dari 11

Nama : Walin Latifa

NIM : E1A021069
Kelas : Gab Hukum Perdata Internasional

1. Sebutkan dan Jelaskan tahap-tahap yang perlu dilalui dalam menentukan Hukum mana
yang akan digunakan dalam permasalahan HPI!
Jawaban :
1. Hakim dalam menghadapi perkara hukum yang berupa sekumpulan fakta hukum yang
mengandung unsur-unsur asing (foreign elements). Adanya unsur-unsur asing
mengharuskan forum untuk menentukan apakah perkara tersebut mengandung
persoalan HPI beserta segala konsekuensinya. Pada tahap ini hakim menyadari bahwa
fakta-fakta hukum di dalam perkara yang diajukan kehadapannya menunjukkan
adanya keterkaitan (connections/aanknopings) perkara ini dengan tempat-tempat atau
wilayah yurisdiksi asing (di luar wilayah negara forum). Fakta-fakta ini dalam HPI
disebut sebagai titik-titik taut primer (primary points of contact). Titik-titik taut
primer di dalam sekumpulan fakta mengindikasikan bahwa forum menghadapi sebuah
perkara HPI. Apabila sebuah forum menghadapi suatu perkara HPI (atau perkara yang
menunjukkan pertautan dengan lebih dari satu sistem hukum nasional dari negara-
negara yang berbeda), forum tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan
bahwa:
a. Pengadilan asing tertentu (yang sistem hukumnya relevan dengan perkara)
ternyata lebih berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara atau bahkan
forum sebenarnya tidak berwenang mengadili perkara ini karena tidak adanya
pertautan yang cukup dan signifikan (sufficient and significant contacts) antara
perkara dan forum.
b. Lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan
dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan. Artinya, ada kebutuhan untuk
menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan,
yang seharusnya atau lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara
yang sedang dihadapi.
2. Penentuan ada/tidaknya kompetensi/kewenangan yurisdiksional forum untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Pada tahap ini
sebagai akibat dari adanya unsur-unsur atau fakta-fakta asing dalam perkara-hakim
harus menentukan terlebih dahulu apakah forum memiliki kewenangan yurisdiksional
(jurisdictional competence) untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan
kepadanya. Untuk menentukan hal ini, hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian
dari sistem HPI lex fori. Dalam konteks ini HPI berfungsi dalam menetapkan asas-
asas dan/atau persyaratan-persyaratan berdasarkan mana pengadilan sebuah negara
menetapkan ada-tidaknya kompetensi sebuah forum untuk mengklaim yurisdiksi atas
perkara yang bersangkutan. Dalam ilmu HPI berkembang berbagai asas hukum acara
yang berkenaan dengan masalah ini. Ukuran apa yang digunakan oleh sebuah
pengadilan dalam menetapkan kewenangan yurisdiksional ini akan bergantung dari
aturan-aturan hukum acara (perdata internasional) negara itu.
3. Menentukan sistem hukum intern negara mana/apa yang harus diberlakukan untuk
menyelesaikan perkara/menjawab persoalan hukum yang mengandung unsur-unsur
asing itu (menentukan lex causae bagi perkara yang bersangkutan). Persoalan
berikutnya adalah proses apa yang harus dijalani hakim untuk menentu kan hukum
yang berlaku atas perkara yang bersangkutan (lex causae). Pada tahap inilah
sebenarnya di dalam HPI telah dikembangkan berbagai doktrin, asas, ataupun metode
pendekatan yang dalam buku ini disebut dengan teori-teori HPI. Berdasarkan teori
HPI tradisional, pada tahap ini pengadilan akan berupaya menetapkan titik taut
sekunder dari berbagai fakta hukum yang ada di dalam perkara, yang bersifat
menentukan dan yang harus digunakan sebagai indikator yang akan mengarahkan
hakim ke arah lex causae. Titik taut sekunder ini harus ditemukan di dalam
kaidah/aturan/asas HPI (choice of law rule atau conflict rule) yang tepat dan relevan
untuk digunakan pada pokok perkara yang sedang dihadapi. Kaidah atau asas HPI
yang dimaksud di sini tentunya adalah kaidah/aturan/asas HPI yang berlaku di dalam
sistem hukum pengadilan yang bersangkutan (lex fori). Pada tahap inilah hakim harus
dapat menentukan satu kaidah HPI penentu yang relevan dan tepat untuk menunjuk ke
arah sistem hukum yang seharusnya diberlakukan dalam perkara/persoalan hukum
yang sedang dihadapinya, Karena itu, upaya menemukan kaidah HPI lex fori yang
tepat ini hakim perlu melibatkan diri pada beberapa sub aktivitas atau langkah-
langkah, yaitu:
a. Mencari dan menemukan kaidah HPI yang tepat melalui tindakan kualifikasi
fakta dan kualifikasi hukum. Untuk dapat menetapkan kaidah HPI yang tepat di
antara berbagai kaidah HPI di dalam lex fori, hakim harus terlebih dahulu
menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapinya sebagai
perkara hukum. Hal ini dilakukan dengan menyimpulkan dan mendefinisikan
sekumpulan fakta yang dihadapi ke dalam satu atau lebih persoalan hukum.
Misalnya, sebagai perkara tentang penetapan status anak, tentang hak dan
kedudukan ahli waris dalam proses pewarisan testamenter, tentang timbulnya
situasi ingkar janji/wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian, tentang keabsahan
pembentukan kontrak, tentang kedudukan istri atas harta perkawinan, dan
sebagainya. Upaya di atas disebut tindakan kualifikasi fakta yang pada dasarnya
merupakan upaya mendeskripsikan inti dari sekumpulan fakta yang dihadapi
sebagai perkara hukum dan menentukan kualifikasi hukum dari pokok perkara
berdasarkan kategori yurisdiksi yang dikenal hakim (biasanya berdasarkan
pembidangan hukum yang dikenal di dalam lex fori). Di dalam HPI, khususnya
dalam pendekatan tradisional, persoalan kualifikasi ini menjadi lebih kompleks
ketimbang persoalan kualifikasi dalam persoalan hukum yang sepenuhnya
bersifat domestik, karena hakim dapat menghadapi pelbagai sistem hukum yang
memiliki sistem klasifikasinya masing-masing. Hasil dari proses kualifikasi ini
adalah bahwa hakim dapat menentukan kategori perkara, pokok persoalan hukum
(legal issue), atau pokok perkara yang sedang dihadapi. Contoh: Hakim Indonesia
mengualifikasikan sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara dan
berdasarkan kualifikasi hukum yang dikenal di dalam hukum Indonesia (lex fori),
perkara, anggap saja, harus dikualifikasikan sebagai perkara tentang "gugatan
wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian".
b. Menentukan kaidah HPI lex fori yang relevan dalam rangka penunjukan ke arah
lex causae. Setelah hakim menetapkan kategori yuridik dari perkara yang
dihadapinya melalui tindakan kualifikasi, hakim kini dapat menetapkan kaidah
HPI di antara kaidah-kaidah HPI yang dikenal dan berlaku di dalam lex fori yang
tepat untuk digunakannya dalam rangka penunjukan ke arah lex causae. Contoh:
Sejalan dengan contoh pada butir a di atas, anggap saja kaidah HPI yang harus
digunakan adalah "kaidah HPI lex fori tentang pelaksanaan perjanjian". Seperti
umumnya rumusan kaidah atau asas HPI, maka kaidah ini akan merupakan
kaidah penunjuk yang akan memuat titik taut sekunder yang menunjuk ke tempat
yang sistem hukumnya harus digunakan dalam menyelesaikan perkara. Kaidah
HPI semacam ini disebut sebagai choice of law rule atau kaidah kolisi
(kollisionsnorm). Contoh: Kaidah HPI lex fori tentang pelaksanaan perjanjian,
misalnya, "Jika forum menghadapi masalah-masalah hukum yang timbul dari
pelaksanaan suatu perjanjian (ini adalah kategori perkara hasil kualifikasi), maka
hukum yang harus diberlakukan adalah hukum dari tempat di mana perjanjian itu
dilaksanakan (ini adalah titik taut sekunder yang harus digunakan)
c. Memeriksa kembali fakta-fakta dalam perkara dan menentukan sistem hukum
mana atau negara apa yang seharusnya diberlakukan sebagai lex causae. Setelah
titik taut sekunder yang harus digunakan dapat diketahui di dalam kaidah HPI di
atas, hakim mau tidak mau harus memeriksa kembali fakta-fakta perkara
(terutama titik-titik tautnya) dan menemukan fakta apa di dalam perkara yang
mengindikasikan titik taut sekunder yang secara faktual menunjuk ke arah lex
causae sesuai kaidah HPI yang bersangkutan. Contoh: Sejalan dengan contoh
pada butir-butir sebelumnya, anggap saja hakim harus menemukan fakta tentang
di mana tempat pelaksanaan perjanjian sebagai titik taut sekunder yang dimaksud
dalam perkara yang sedang dihadapi. Jika fakta itu telah ditemukan, hakim tiba
pada kesimpulan bahwa hukum dari tempat/negara yang ditunjuk olen kaidah HPI
itulah yang harus diberlakukan sebagai lex causae. Contoh: seandainya fakta
dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian ternyata
adalah, di Jepang, hukum Jepanglah yang harus dianggap sebagai lex causae.
Artinya, kaidah-kaidah hukum perdata internasional Jepanglah yang akan
digunakan untuk menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi.
4. Menyelesaikan perkara dengan menggunakan/memberlakukan kaidah kaidah hukum
intern dari lex causae. Dengan ditetapkannya lex causae sebenarnya tugas HPI pada
dasarnya telah selesai dan hakim akan menyelesaikan perkara dengan menggunakan
kaidah- kaidah hukum intern dari lex causae itu yang dianggap sesuai untuk perkara
yang bersangkutan. Contoh: Hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian dalam contoh di atas dengan menggunakan kaidah-kaidah
hukum di dalam KUHPerdata Jepang. Uraian ini menggambarkan proses penyelesaian
perkara HPI secara straight forward dan tidak memperhitungkan kemungkinan adanya
komplikasi sebagai akibat dari tindakan-tindakan atau situasi-situasi yang khas dalam
perkara. Misalnya, hakim menjalankan proses renvoi, atau hakim menghadapi
incidental question, atau hakim ingin mengesampingkan berlakunya hukum asing dan
ingin memberlakukan hukumnya sendiri karena alasan "ketertiban umum atau melalui
kualifikasi persoalan hukum yang dihadapinya sebagai persoalan hukum acara
(procedural issue).
2. Jelaskan pengertian Titik Taut Primer dan Titik Taut Sekunder!
Jawaban :
1. Titik Taut Primer (Primary Points of Contact)
Titik taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut
dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada satu aturan/sistem hukum dan karena itu
menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Titik taut
primer adalah fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang
menunjukkan bahwa peristiwa hukum itu mengandung unsur-unsur asing (foreign
elements) dan karena itu bahwa peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI
dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata. Atau “faktor-faktor atau keadaan
atau keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan
HPI”. Titik taut primer ini biasanya juga disebut titik taut pembeda yaitu “dengan
faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau fakta-fakta itu dapat dibedakan apakah suatu
peristiwa atau hubungan tertentu termasuk kategori HPI atau bukan”. Titik taut primer
ini harus dipahami selalu dilihat dari sudut pandang lex fori tertentu.
Faktor-faktor yang tergolong titik taut primer yaitu:
a. Kewarganegaraan (Nasionalitas)
Nasionalitas yang berbeda di antara para pihak yang melakukan suatu
perbuatan hukum atau hubungan hukum akan menimbulkan masalah HPI.
b. Bendera kapal dan pesawat terbang
Dalam konteks hukum, kapal dan pesawat memiliki kebangsaan yaitu
dikaitkan dengan hukum negara mana kapal atau pesawat terbang harus
tunduk. Kebangsaan kapal atau pesawat terbang tersebut ditentukan
berdasarkan di negara mana kapal atau pesawat terbang tersebut didaftarkan.
c. Domisili
Domisili subjek hukum yang berbeda yang melakukan suatu hubungan
hukum dapat menimbulkan hubungan hukum yang memiliki unsur hukum
perdata internasional.
d. Tempat Kediaman
Dalam common law system, dibedakan antara domisili dan tempat
kediaman (residence), karena kediaman lebih mengacu pada tempat kediaman
sehari- hari.
e. Kebangsaan badan hukum
Badan hukum sebagai subyek hukum juga memiliki nasionalitas.
Kebangsaan badan hukum ini akan menentukan tunduk kepada hukum negara
badan hukum yang bersangkutan. Kalau badan hukum itu berkebangsaan
Indonesia, maka status badan hukum itu tunduk kepada hukum Indonesia.
Salah satu cara untuk menentukan kebangsaan badan hukum berdasarkan
tempat atau negara di mana badan hukum didirikan dan didaftarkan.
f. Pilihan hukum intern
Lahirnya hubungan hukum perdata internasional, karena adanya
pilihan hukum yang merujuk kepada hukum asing yang berbeda dengan
hukum perusahaan di mana perusahaan berasal dan terdaftar, dalam hal ini
hukum Indonesia.
2. Titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact)
Titik taut sekunder adalah fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu
penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perkara
HPI. Titik taut sekunder sering disebut sebagai titik taut penentu, karena berfungsi
akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the
applicable law. Berdasarkan pendekatan HPI Tradisional, titik taut sekunder harus
ditemukan di dalam Kaidah HPI lex fori yang relevan dengan perkara. Apabila kaidah
HPI Jerman menetapkan bahwa penyelesaian perkara waris itu harus diselesaikan
berdasarkan hukum dari tempat di mana testamen dibuat secara sah (sebagai titik taut
penentu), hakim akan menggunakan kaidah-kaidah hukum intern Prancis untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Jenis-jenis pertautan yang pada umumnya
dianggap menentukan dalam HPI, antara lain:
a. Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan
para pihak
b. Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang atau badan hukum
c. Tempat benda terletak (situs)
d. Tempat dilakukannya perbuatan hukum (locus actus)
e. Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan perjanjian (locus
solutionis)
f. Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (locus celebrationis); dan
g. Tempat gugatan perkara diajukan/tempat pengadilan (locus forum)
Dalam persoalan HPI dimungkinkan juga Titik Taut Primer merupakan Titik
Taut Sekunder dalam hal mengenai:
a. Kewarganegaraan (Lex Patriae)
Menurut suatu perjanjian internasional (traktat Den Haag tahun 1902),
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan campuran ditentukan oleh hukum
nasional suami istri. Kewarganegaraan suami maupun kewarganegaraan istri
menentukan syarat-syarat formal untuk melangsungkan perkawinan, maka baik
kewarganegaraan suami maupun kewarganegaraan istri merupakan titik taut
penentu. Pasal 2 Peraturan Perkawinan Campuran mengatakan, bahwa sang istri
mengikuti status hukum suaminya. Kewarganegaraan suaminya akan menentukan
kewarganegaraan istrinya. Dan hukum nasional sang suami akan menentukan
kemampuan (handelings bevoegdheid) daripada istrinya.
b. Bendera kapal
Hukum bendera kapal atau pesawat udara itu menunjukkan kebangsaan
kapal atau pesawat udara itu. Kebangsaan kapal atau pesawat udara ditentukan
berdasarkan di Negara mana kapal atau pesawat udara itu didaftarkan. Karena
bendera atau kebangsaan kapal atau pesawat udara berbeda dengan kebangsaan
(kewarganegaraan) pihak-pihak yang bersangkutan dengan kapal atau pesawat
udara dapat menimbulkan persoalan HPI.
c. Domisili (Lex Domicilii)
Domisili merupakan titik taut penentu apabila negara yang menganut
sistem domisili mengatur bahwa hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum
di mana para pihak atau badan hukum tersebut berdomisili. Lex domicilii
matrimonium asas HPI yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum dari tempat kediaman tetap setelah perkawinan.
d. Tempat kediaman
Tempat kediaman merupakan pengertian de facto. Tempat ini adalah
diaman sehari-hari yang bersangkutan mempunyai kediaman, dimana ada rumah,
dimana ia bekerja sehari-hari disitu ada residence dari orang itu. Dan tempat
kediaman seseorang secara de facto juga bisa menimbulkan soal-soal HPI.
e. Tempat kedudukan
Asas-asas untuk menentukan status badan hukum, yaitu:
1. Asas Kewarganegaraan/domisili, status badan hukum ditentukan berdasarkan
hukum dari tempat mayoritas pemegang saham berkewarganegaraan.
2. Asas Centre of Administration, status yuridik suatu badan hukum harus
tunduk pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat
kegiatan administrasi badan hukum tersebut.
3. Asas Place of Incorporation, status yuridik suatu badan hukum hendaknya
ditentukan berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu secara resmi
didirikan/dibentuk.
4. Asas Centre of Exploitation, status yuridik suatu badan hukum diatur
berdasarkan tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan oprasional atau
memproduksi barang.
f. Letak dari benda (Situs Rei)
Hukum dari tempat letaknya benda tersebut adalah hukum yang berlaku bagi
hubungan-hubungan hukum yang menyangkut benda tetap itu (Lex Rei Sitae/Lex
Situs).
g. Tempat ditandatangani kontrak
Tempat ditandatangani kontrak juga merupakan titik penentu hukum mana
yang akan berlaku dalam penyelesaian perkara HPI.
h. Tempat pelaksanaan perjanjian (Lex Loci Solutionis)
Teori dalam (contract between absent persons):
1. Teori Pengiriman/Theory of Expedition Dalam perjanjian perdata
internasional dimana para pihak tidak saling bertemu muka dalam suatu
persetujuan bersama (surat menyurat), maka yang penting adalah saat suatu
pihak mengirimkan surat yang berisikan penerimaan atas tawaran yang
diajukan oleh pihak lainnya. Jadi hukum yang berlaku bagi perjanjian
tersebut adalah hukum dari si penerima tawaran yang mengirimkan
penerimaannya.
2. Teori Pernyataan/Theory of Declaration Penerimaan terhadap penawaran
dari pihak lain harus dinyatakan (declared). Jadi surat pernyataan menerima
tawaran harus sampai kepada pihak yang menawarkan dan penerima
penawaran tersebut harus diketahui yang menawarkan.
3. Teori The Most Characteristic Connection Teori ini melihat bagaimana
fungsi dari perjanjian yang bersangkutan tersebut secara fungsional
mempunyai hubungan. Jadi harus diperhatikan faktor sosiologis dari
perjanjian tersebut.
i. Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu (locus actus)
j. Pilihan Hukum/Rechtskause (Choice of Law)
Pilihan hukum yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian.
Kecuali, bila pilihan hukum itu melanggar kepentingan umum (Order Public),
maka hakim dapat menyimpang dari pilihan hukum tersebut. Pilihan hukum
hanya untuk perbuatan hukum kontrak.
k. Tempat diadakan perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum)
Pendaftaran tanah, tempat izin diperoleh untuk mendirikan suatu badan
hukum, tempat diajukan suatu perkara dapat merupakan titik taut penentu, karena
hukum acara ditentukan oleh lex fori yang bersangkutan.

3. Berikan contoh Titik Taut Primer dan Titik Taut Sekunder!


Jawaban :
Contoh Titik Taut Primer :
1. Seorang wanita Belanda pada tahun 1912 akan menikah dengan seorang laki-laki
Cina, maka perbedaan golongan penduduk dari para pihak tersebut merupakan titik
taut primer dari perkara, Wanita Belanda adalah golongan Eropa yang tunduk pada
hukum perdata Barat, sedangkan laki-laki Cina adalah golongan TA Cina, yang
tunduk pada hukum adat Cina.
2. Kapal yang dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan berdomisili
di Surabaya, tetapi terdaftar di Panama, maka kebangsaan kapal itu adalah Panama.
Dengan demikian, status hukum itu tunduk kepada hukum Panama, bukan hukum
Indonesia. Kebangsaan kapal terlihat dari bendera kapal tersebut. Jika ada warga
negara Indonesia melakukan perjanjian kerja atau perjanjian pengangkutan laut
dengan perusahaan pelayaran yang menggunakan kapal berbendera asing akan
melahirkan hubungan hukum yang memiliki unsur hukum perdata internasional
(mengandung unsur asing).
3. Perjanjian jual beli minyak sawit mentah yang dilakukan oleh dua perusahaan
Indonesia di Jakarta, yang penyerahannya memakan waktu berjangka panjang.
Penyerahan barang tersebut akan dilakukan di Rotterdam, Belanda, yang kemudian
dalam perjanjian jual beli ini ditetapkan tunduk pada hukum Belanda.

Contoh Titik Taut Sekunder :


1. Pasal 56 (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan menetapkan menentukan bahwa:
"Perkawinan di luar negeri antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang
warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini."
Berkaitan dengan keabsahan dari perkawinan itu sendiri, bahwa Undang- Undang
Perkawinan ini menggunakan asas lex loci solutionis. Berarti, tempat dari
dilaksanakannya peresmian perkawinan merupakan titik taut sekunder (titik taut
penentu) yang harus digunakan dalam menetapkan keabsahan perkawinan antara WNI
dan WNA atau antar WNI yang dilakukan di luar negeri. Artinya, hukum yang
seharusnya berlaku untuk menentukan keabsahan perkawinan adalah hukum dari
tempat perkawinan diresmikan.
2. PT. Abadi Telekomindo adalah sebuah perusahaan pembuat peralatan telekomunikasi
yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia mendapat kredit dari Bank Sumitomo,
Singapura. Sebagai jaminan bagi kredit tersebut, PT. Abadi Telekomindo
membebankan hak tanggungan atas tanah hak guna bangunan berikut bangunan di
atasnya. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Jakarta. Sesuai dengan asas lex rei
sitae, maka pengaturan pembebanan hak tanggungan tersebut harus tunduk atau diatur
berdasarkan hukum Indonesia, dalam hal ini Undang-undang nomor 4 tahun 1996
(UU hak tanggungan) jo Undang-undang nomor 5 tahun 1960 (UUPA). Jika yang
dijaminkan berupa kapal laut (bentuk lembaga jaminan adalah hipotik), maka diatur
berdasarkan pada hukum negara di mana kapal laut tersebut terdaftar (hukum bendera
kapal laut).
3. Jika terdapat dua warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di negara
yang menganut asas lex loci celebrationis tentu persyaratan materiil perkawinan
tersebut didasarkan pada hukum dimana perkawinan tersebut dilaksanakan. Namun,
jika menggunakan asas lex patriae perkawinan yang mengandung unsur asing
didasarkan pada hukum nasional salah seorang yang akan melangsungkan
perkawinan. Asas apa yang digunakan tergantung dari asas apa yang dianut oleh
sistem hukum negara yang bersangkutan: apakah asas lex patriae atau asas lex loci
celebrationis.
4. Dalam pewarisan mengenai sebuah rumah yang terletak di Singapura yang dimiliki
oleh seorang WNI, akan diatur menurut hukum Singapura mengenai benda-benda
tetap itu, sekalipun kita mengenal asas hukum bahwa warisan diatur menurut hukum
nasional orang yang mewariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Bayu Seto, 2013. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Buku Kesatu,
Edisi Kelima. Citra Aditya Bakti, Bandung. Putra, Ida Bagus Wyasa dkk. 2016.

Buku Ajar Hukum Perdata Internasional. Fakultas Hukum Universitas Udayana,


Denpasar. Purwadi, Ari. 2016.

Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Pusat Pengkajian Hukum Dan


Pembangunan (PPHP) Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya. Yulia, 2016.

Hukum Perdata Internasional. Unimal Press Universitas Malikussaleh, Aceh.

Anda mungkin juga menyukai