Anda di halaman 1dari 6

Hukum Perdata Internasional tentang

Persoalan Pendahuluan
HPI adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
atau peristiwa antar warga (warga) Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang berbeda
dalam lingkungan kuasa tempat dan pribadi
Sebagai bagian dari hukum perselisihan, Hukum Perdata Internasional (HPI) pada
dasarnya merupakan perangkat di dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-
hubungan atau peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan lebih dari satu sistem
hukum nasional.
Persoalan-peesoalan HPI pada dasarnya muncul dalam perkara-perkara yang melibatkan
lebih dari satu yurisdiksi hukum dan hukum intern dari yurisdiksi-yurisdiksi itu berbeda satu
sama lain, HPI juga dapat dipahami sebagai proses dan aturan-aturan yang digunakan oleh
pengadilan untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada perkara yang sedang
dihadapi.
A. Pengertian
Masalah persoalan pendahuluan dalam HPI dapat dirumuskan secara sederhana sebagai :
”suatu persoalan/masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan dan atau ditetapkan
terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat
ditetapkan oleh hakim.Persoalan pendahuluan timbul apabila putusan suatu persoalan hukum
bergantung kepada ketentuan sah atau tidaknya suatu hubungan hukum atau persoalan hukum
lainnya.
Jadi, masalah incidental question dapat timbul dalam penyelesaian suatu perkara HPI
karena : putusan terhadap persoalan hukum yang menjadi pokok sengketa akan tergantung pada
penetapan hukum atas suatu hubungan hukum atau persoalan hukum lain yang harus dilakukan
terlebih dahulu
1. Apakah ”subsidiary issue” akan ditetapkan berdasarkan suatu sistem hukum yang
diberlakukan melalui penunjukan oleh kaidah HPI khusus (repartition) atau
2. Apakah ”subsidiary issue” akan ditetapkan berdasarkan sistem hukum yang juga akan
digunakan sebagai lex causae untuk ”primary/main issue”-nya ?

Contoh Kasus:
Persoalan pendahuluan yang berkaitan dengan Fraus Legis (keadaan yang menunjukkan adanya
kaitan antara fakta mengenai pribadi yang ada di dalam suatu perkara dengan system hukum
yang berlaku )
A (paman) hendak menikah dengan B (keponakan). Keduanya warga negara Israel
(Yahudi) yang berdomisili di Amerika Serikat. Menurut hukum AS, keduanya tidak boleh
menikah karena masih ada hubungan darah, padahal menurut hukum Yahudi diperbolehkan.
Untuk itu mereka pindah ke Rhode Island dan menikah secara Yahudi di sana. Setelah menikah
di sana mereka balik lagi ke Amerika.

Setelah 32 tahun kemudian, B meninggal dunia dan meninggalkan Suami (A) dan 6 orang anak
serta harta warisan yang semuanya dikuasai oleh A. Anak-anak tidak puas atas penguasaan harta
warisan oleh ayahnya dan menggugat ke Pengadilan AS bahwa Si A tidak berhak menguasai
harta warisan karena pernikahannya merupakan Fraus Legis.

Persoalan pendahuluan : Apakah pernikahan A dan B sah ?


Persoalan Pendahuluan Lanjutan
Adakalanya muncul persoalan pendahuluan tahap kedua (preliminary question of the second
degree)

Di dalam pemecahan masalah pendahuluan pada dasarnya ada dua cara :


1. Absorbsi : di dalam memecahkan persoalan pendahuluan, forum harus mencari Lex Causa di
dalam persoalan pokok. Lex Causa ditemukan didasarkan pada fakta-fakta (Titik Pertalian).
Setelah Lex Causa ditemukan maka persoalan pendahuluan diselesaikan berdasarkan Lex Causa
tersebut.
2. Repartition : di dalam forum memecahkan/menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum tidak
perlu mencari Lex Causa, akan tetapi untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum
menggunakan Lex Fori, kemudian untuk menyelesaikan masalah pokok forum mempergunakan
Lex Causa.
Para ilmuwan mengenai persoalan pendahuluan ini, menyatakan bahwa untuk menentukan
adanya suatu persoalan pendahuluan harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1. Di dalam persoalan HPI tersebut harus dipergunakan hukum asing;
2. Bahwa dari HPI hukum asing tersebut harus berlainan hasilnya dari kaidah-kaidah forum;
3. Bahwa hukum materiel intern dari kedua stelsel hukum tersebut juga harus berbeda.
Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan ”incidental
question”, maka perlu dipenuhi tiga persyaratan :
1. ”Main issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang berdasarkan
kaidah HPI forum harus tunduk pada hukum asing.
2, Dalam perkara yang sama harus terdapat ”subsidiary issue” yang mengandung unsur asing,
yang sebenarya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui
penggunaan kaidah HPI lain secara independen.
3. Kaidah HPI yang digunakan untuk menentukan lex causae bagi ” subsidiary issue”akan
menghasilkan kesimpulanyang berbeda darikesimpulan yanmg dihasilkan seandainya lex causae
dari ”main issue” yang digunakan.
B. Cara-cara Penyelesaian
Dalam teori HPI berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan
pendahuluan :
1. Absorption
Prinsipnya, melalui absorption lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan
kaidah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab
persoalan pendahuluan. jadi, setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan melalui
penerapan kaidah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukkan pada lex causae yang
sama, cara ini adakalanya disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition hakim harus menetapkan lex causae untuk masalah
pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya
terlebih dahulu. Dengan mengabaikan hukum mana yang akan merupakan lex causae untuk
menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan
menggunakan kaidah-kaidah HPI –nya yang relevan khusus untuk menetapkan lex causae dari
masalah pendahuluan (zelfstandige aanknoping), cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.
3. Pendekatan Kasus demi Kasus
Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex causae untuk masalah
pendahuluan atau incidental queation harus dilakukan dengan pendekatan kasuistis, dengan
memerhatikan sifat dan hakikat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili
perkara. Menurut Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental question
diselesaikan melalui absoption. namun, Cheshire cenderung untuk menggunakan pola
pendekatan yang ke tiga (case-by-case approach) dengan memerhatikan kelas dari jenis perkara
yang sedang dihadapi.
Penyelesaian Perkara :
1. Cari Lex Causae dari masalah pokok;
2. Selesaikan persoalan pendahuluan dengan kaidah Intern Lex Causae masalah pokok;
3. Selesaikan masalah pokok dengan kaidah Intern Lex Cause masalah pokok.
Misalnya :
Untuk perkara-perkara HPI di bidang pewarisan benda bergerak sebaiknya digunakan
absorpsi, sedangkan untuk perkara-perkara di bidang perbuatan melawan hukum atau kontrak
sebaiknya digunakan repartisi.
C. Depecage
Depecage (Perancis): Pemecahan/Pemilahan. Depecage adalah tindakan untuk
menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang mungkin terbit dalam sebuah peristiwa atau
hubungan hukum pada sistem-sistem hukum (atau aturan-aturan dari sistem-sistem hukum) yang
berbeda.
Dalam menghadapi persoalan pewarisan yang dibuat oleh pewaris yang
berkewarganegaraan Indonesia melalui pembuatan testamen yang dibuat di Singapura. Jika
gugatan atas testamen itu diajukan di Indonesia, secara umum dapat dikatakan bahwa perkara
tunduk pada tempat pembuatan testamen.
Namun jika orang memilah2 perkara ini ke dalam sub-sub persolan, misalnya :
1. Keabsahan dari testamen; dan
2. Kemampuan hukum dari pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat testamen.
Ada kemungkinan untuk sub masalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedang
untuk sub masalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia.
Tindakan memilih atau memilah inilah yang disebut sebagai depecage.
Dicey dan Morris dalam hukum perjanjian mengatakan :
1. Tidak semua persoalan yang dapat timbul dalam sebuah hubungan kontraktual dengan
sendirinya harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Seperti : sah/tidaknya kontrak
Pilihan hukum; bentuk kontrak Lex Loci Contractus; kemampuan hukum. Personal masing-
masing pihak.
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian dari sebuah kontrak.
Misal : salah satu kewajiban ditundukkan pada hukum A, sedang kewajiban lain ditundukkan
pada hukum B.
HPI Tradisional (Eropa) berpendirian bahwa sebuah hubungan hukum seharusnya tunduk
pada satu sistem hukum. Depecage dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti:
- Pelaksanaan kewajiban pihak-pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang
berbeda.
- Karena pihak-pihak sepakat untuk memecah-memecah sebuah kontrak ke dalam bagian-bagian
tertentu dan menundukkan masing-masing bagian itu pada sistem hukum yang berbeda-beda.
- Karena sub masalah tertentu yang timbul dari suatu hubungan hukum ternyata memiliki kaitan
nyata yang lebih besar pada sebuah sistem hukum tertentu daripada sistem hukum yang dipilih
para pihak.
Namun berdasarkan sistem conflict of law di Amerika:
Tugas HPI adalah menetapkan aturan hukum lokal negara mana yang paling sesuai untuk
digunakan dalam menyelesaikan persoalan tertentu, sehingga Depecage dianggap sebagai
sesuatu yang alamiah.
Penyelesaian conflict of law dan penetapan hukum yang berlaku harus berdasarkan case by case
analysis, sehingga wajar salah satu kasus harus tunduk pada sistem hukum yang berbeda dari
sistem hukum yang diberlakukan untuk kasus lain yang mungkin timbul dari sebuah hubungan
hukum yang sama.
D. Hukum yang dipakai untuk persoalan pendahuluan
 Lex cause à les causardà melchior, wengler (kedua sarjana jerman membuka mata para
ahli HPI tentang persoalan pendahuluan.
 Lex fori à les foristes àraape, kegel, dll ;
 Kasuistis à lemaire, louis lucas.
Pendukung Lex Causae
 Harmoni extern à harmoni keputusan-keputusan, karena persoalan pendahuluan telah di
“absorbtie“ ke dalam oleh lex cause; (hakim yunani dan indonesia menggunakan kaidah yang
sama)
 Hubungan logis dari sistematik hukum asing;
 Hubungan dengan renvoi;
 Hak yang telah diperoleh dihormati;
 dijauhkan dari forum

Pendapat Prof. Dr. S. Gautama, S.H.


 Kedua aliran tersebut sama kuatnya.
 Lex cause menurut kenyataannya selalu menyertai dengan menerima pengecualian-
pengecualian;
 Lex fori dalam kenyataannya selalu menyertai dengan menerima pengecualian-
pengecualian juga;
 Persoalan pendahulu tidak mungkin diselesaikan secara mekanis, tetapi harus selalu di
kontritkan dengan permasalahan.

Anda mungkin juga menyukai