Penyusun:
Amelia Haryanti, S.H., M.H.
Yulita Pujilestari, S.H., M.H.
Penulis:
Amelia Haryanti, S.H., M.H.
Yulita Pujilestari, S.H., M.H.
ISBN: 978-602-5867-68-2
Editor:
Ichwani Siti Utami
Desain sampul
Ubaid Al Faruq
Tata Letak
Aden
Penerbit:
UNPAM PRESS
Redaksi:
Jl. Surya Kecana No. 1
Pamulang – Tangerang Selatan
Telp. 021-7412566
Fax. 021 74709855
Email: unpampress@unpam.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
yang telah tercurah, sehingga penulis bisa menyelesaikan bahan ajar mata kuliah Sistem
Politik Indonesia ini . Adapun tujuan dari disusunnya bahan ajar ini adalah supaya para
mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mekanisme dasar dasar pelaksanaan sistem
politik di Indonesia. Sistem politik Indonesia menjadi roh bagi kehidupan bangsa dan
negara. Jika rusak sistem politiknya, roda pemerintahan negara Indonesia tidak akan
lancar.
Mewujudkan sistem politik yang baik bukanlah hal yang mudah karena
memerlukan proses yang cukup panjang dan harus ditanamkan sejak dini kepada
kalangan generasi muda. Hal ini merupakan aset bangsa yang akan mewarisi tonggak
kepemimpinan yang baik dari generasi tua.
Tersusunnya bahan ajar ini tentu bukan dari usaha penulis seorang. Dukungan
moral dan material dari berbagai pihak sangatlah membantu tersusunnya bahan ajar ini.
Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga, sahabat, rekan-rekan, dan
pihak-pihak lainnya yang membantu secara moral dan material bagi tersusunnya buku
ini.
Bahan ajar yang tersusun sekian lama ini tentu masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan agar buku ini bisa lebih
baik nantinya.
Penulis
DAFTAR ISI
D. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 69
PERTEMUAN 5 ........................................................................................................................ 71
STRUKTUR SISTEM POLITIK............................................................................................... 71
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN ...................................................................................... 71
B. URAIAN MATERI .......................................................................................................... 71
C. LATIHAN SOAL ............................................................................................................. 84
D. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 84
PERTEMUAN 6 ........................................................................................................................ 85
PARTAI POLITIK ...................................................................................................................... 85
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN:..................................................................................... 85
B. URAIAN MATERI .......................................................................................................... 85
C. LATIHAN SOAL ........................................................................................................... 127
D. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 127
PERTEMUAN KE:7 ................................................................................................................ 129
PENDEKATAN SISTEM POLITIK ....................................................................................... 129
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN:................................................................................... 129
B. URAIAN MATERI ........................................................................................................ 129
C. LATIHAN SOAL ........................................................................................................... 151
D. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 152
PERTEMUAN 8 ...................................................................................................................... 153
SOSIALISASI POLITIK.......................................................................................................... 153
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN:................................................................................... 153
B. URAIAN MATERI ........................................................................................................ 153
C. LATIHAN SOAL ........................................................................................................... 169
D. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 169
PERTEMUAN 9 ...................................................................................................................... 171
BUDAYA POLITIK .................................................................................................................. 171
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN:................................................................................... 171
B. URAIAN MATERI ........................................................................................................ 171
C. LATIHAN SOAL ........................................................................................................... 185
D. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 185
PERTEMUAN 10 .................................................................................................................... 187
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA ...................................................................................... 187
PERTEMUAN 1
KONSEP-KONSEP POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan konsep-konsep politik.
B. URAIAN MATERI
1. Teori-teori dalam Ilmu Politik
a. Politik kekuasaan menurut teori dari Niccolo Machiavelli
Machiavelli dilahirkan di Italia tahu 1469 yang merupakan seorang
politikus yang kontroversial. Dia menjadi simbol yang menandakan transisi
perubahan pemikiran politik dari masa tradisional ke masa modern. Melalui
pemikirannya, dia mengatakan bahwa politik yang selama ini dijalankan
merupakan sebuah proses perjalanan sistem kenegaraan yang banyak
merugikan rakyat. Pendapat-pendapat dia tuangkan dalam buku yang berjudul
“The Prince”. Pendapat dari Niccolo Mchhiaveli ini dianggap sebagai sejarah
lahirnya ilmu politik kontemporer, walaupun dalam pandangan dan tulisannya
bersifat praktis dan berupa analisis empiris.
1) Watak dan tujuan negara adalah merupakan hal penting diketahui sebelum
beralih pada cara mencapai tujuan negara. Orang yang tidak memehami
tujuan, dan tidak bisa menentukan masalahnya dengan benar, tidak bisa
berharap akan menemukan cara-cara untuk meraihnya, sebagaimana orang
yang melepaskan ke udara dengan cara serampangan tidak akan mengenai
sasaran
2) Negara sebagai pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa
keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang
berdaulat. Terdapat empat unsur dalam negara;
a) tatanan yang benar,
b) keluarga;
c) kekuasaan yang berdaulat;
d) tujuan bersama.
3) Keluarga merupakan unit dasar bagi negara serta bukan individu. Kelurga
yang harmonis citra sejati dari commonwealth. Sebagaimana dalam
keluarga di mana tunduk pada perintah ayah adalah penting bagi
kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa adalah penting
bagi stabilitas negara.
4) Ayah yang mempunyai kekuasaan penuh dalam keluarga, maka dalam
penguasa commonwealth harus mempunyai yurisdiksi penuh terhadap
warga negaranya. Karena berkeluarga itu seperti bernegara; hanya bisa satu
penguasa, satu pemimpin, satu tuan. Jika beberapa orang mempunyai
otoritas, mereka akan merusak tatanan dan menimbulkan bencana yang
terus berlanjut.
5) Elemen yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi manusia
lainnya adalah kedaulatan.. Tidak bisa ada commonwealth yang sejati tanpa
1) Manusia hidup pada awalnya adalah dalam kondisi alamiah (state of nature),
adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akal tanpa ada
kekuasaan tertinggi di atas umi yang menghakimi mereka berada dalam
keadaan alamiah. Dalam masyarakat pra-politik ini orang bebas, sederajat,
dan merdeka;
2) Setiap orang mempunyai kemerdekaan alamiah, untuk bebas dari setiap
kekuasaan superior di atas bumi, dan tidak berada di bawah kehendak atau
otoritas legislative manusia;
3) Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, ia bukan
keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidak beradab,
tetapi masyarakat anarki yang beradab dan rasional. Ia tidak mempunyai
kemerdekaan untuk menghancurkan dirinya atau apa yang menjadi miliknya.
4) Untuk menanggulangi kelemahan dalam ‘hukum alam’, terdapat kebutuhan
hukum yang mapan yang diketahui, diterima, dan disetujui oleh kesepakatan
bersama untuk menjadi standar benar dan salah
5) Individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya
yang substansial, tetapi hanya hak-hak untuk melaksanakan hukum alam.
6) Hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau
kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh komunitas.
7) Kontrak adalah perjanjian untuk membentuk suatu masyarakat politik. Ketika
masyarakat itu telah terbentuk, kemudian harus membentuk pemerintahan
yang dilanjutkan dengan membentuk lembaga-lembaga yang terpercaya
untuk mencapai tujuan pemerintahan tersebut.
8) Masyarakat politik adalah pembuat sekaligus pewaris keputusan tersebut.
Sebagai pembuat ia menetapkan batas-batas kekuasaan; sedangkan
Menurut Frankel (1980:65): “Selain itu juga untuk dapat berfungsi mereduksi
keperluan yang sering dikatakan berulang-ulang terhadap sesuatu kajian yang
serupa dan sudah diketahui, maka di bawah ini (tulisan yang dicetak miring) adalah
konsep-konsep yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam pembelajaran ilmu
politik di tingkat persekolahan.
a. Kekuasaan
1) Peran dari lembaga legislatif dalam membuat suatu aturan yang akan
mengikat masyarakatnya,
2) Peran dari lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan dan
bertanggung jawab dalam pelaksanaan aturan yang dibuat oleh lembaga
legislatif,
3) Peran lembaga yudikatif dalam penerapan dan pengawasan aturan hukum
yang sudah disahkan.
f. Legitimasi kekuasaan
1) Kebiasaan
2) Pengaruh yang didapat dari masyarakat
3) Nilai-nilai rasionalitas
4) Legalisasi kekuasaan(Schaff.2000)
g. Oposisi di parlemen
j. Pemilihan Umum
umum ini, timbul pertanyaan, apakah pemilihan umum itu penting dilaksanakan
dalam memilih pejabat publik? (Kavanagh, 2000: 284).
Rosse dan Mosawir (1967) berpendapat: “fungsi dari pemilihan umum
adalah untuk
k. Partai Politik
Sejak lama, para ilmuwan di bidang sosial mencari jawaban atas validitas
pengertian dari kata persamaan, sehingga timbul pertanyaan “apakah
persamaan ekonomi, politik dan sosial itu memang bisa diwujudkan, dan sejauh
manua itu bisa? Terhadap pertanyaan itu tentu saja jawabannya ampai
sekarang belum disepakati, sesbab ada beberapa ahli menyebutnya
persamaan itu sebagai yang bersifat alamiah ataupun hokum alam, namun ada
pula yang menyebutnya sebagai konstruksi soail buatan manusia yang harus
diperjuangkan”
Plato (427-347 SM) menyatakan bahwa: “kedudukan politik setiap
orang secara alamiah selalu berbeda”. Pendapat sebaliknya dikemukakan oleh
Hobbes dalam Leviathan (1934 -1651]): “bahwa alam menyediakan setiap
orang untuk setara, meskipun ada orang yang lebih kuat dari yang lain,
perbedaan hanya akan membuat orang satu mengambil keuntungan sepihak
dari yang lain yang juga lalai menyadari persamaan itu”.
Inti dari pendapat Hobes adalah pengaruh persamaan dalam ras dan
gender di masyarakat. Pendapat dari Christopher Jencks dalam karyanya
Inequality (1972) menyatakan: “persamaan tidak hadir dengan sendirinya,
melainkan diupayakan atau dibuat. Ia menunjuk pada reformasi pendidikan
sebagai salah satu instrumennya. Sebab melalui pendidikan seseorang dapat
mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang;, politik, budaya, termasuk
ekonomi”.
m. Demonstrasi di masyarakat
1) Negara
Agar roda pemerintahan suatu negara dapat berjalan secara tertib maka
diperlukan adanya peraturan dan undang-undangdalam kehidupan
bernegaran.
2) Kedaulatan Rakyat
Terjadinya kekuasaan secara absolut atau tidak adanya kedaulatan rakyat
dapat menimbulkan revolusi.
3) Kontrol Sosial
Kontrol sosial diperlukan di setiap pemerintahan, institusi masyarakat,
maupun pemerintah, hal ini untuk memudahkan pengawasan pelaksanaan
kebijakan dan pemerintahan yang telah disepakati.
4) Pemerintahan
Timbulnya gerakan masyarakat untuk melakukan revolusi dipengaruhi oleh
pemerintahan yang mengarah pada diktator.
5) Legitimasi
Setiap tindakan dari pemerintah akan memberikan pengaruh bagi
legitimasi negara itu sendiri. seperti pada masapemerintahan Gusdur yang
memiliki legitimasi baik. Namun dengan salahnya tindakan kebijakan yang
diambil Gusdur memberikan dampak buruk bagi popularitas
pemerintahannya.
6) Oposisi
Oposisi dapat bersifat positif dan negatif. Oposisi dapat menjadi kontrol
atas mekanisme pemerintahan namun sebaliknya menjadi kurang baik saat
sesuatu dipetrtimbangkan melalui emosional atas kekalahan pada masa
sebelumnya.
7) Sistem Politik
Sistem politik komunis menerapkan bahwa kebebasan rakyat tidak
sepenuhnya diapat melainkan dibatasi. sedangkan dalam negara yang
menganut sistem liberal, kebebasan sangat luas.
8) Demokrasi
Karaktersitik demokrasi yang universal sering kali tidak digunakan oleh
pemerintahan yang melaksanakan sistem demokrasi. Hal ini terjadi karena
nilai-nilai yang berlaku dalam setiap negara berbeda budaya politiknya,
sehingga berpengaruh dalam penerapan nilai-nilai demokrasi yang
digunakan dalam setiap negara.
9) Pemilihan Umum
Salah satu indikator pemerintahan yang demokratis adalah dengan
pelaksanaan pemilihan umum. Dengan melaksanakan sistem pemilihan
umum yang baik, jujur adil dan terbuka, maka akan dianggap bisa mewakili
aspirasi masyarakat dalam suatu negara.
10) Partai Politik
Suatu pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi akan
memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mendirikan partai
politik sesuai dengan ideologi dan pandangan dari para anggotanya,
namun ideologi yang digunakan ini tidak boleh bertentangan dengan
ideologi Pancasila yang berlaku di Indonesia.
11) Desentralisasi
Desentralisasi menjadi keniscayaan dalam pemerintahan indonesia masa
kini, tanpa mengurangi makna sebagai negara kesatuan. Sebab tanpa
desntralisasi, berarti tidak ada otonomi bagi daerah, segala sesuatunya
masih bersifat sentralistik, dimana kesenjangan antara pusat dan daerah
akan menjadi semakin timpang.
12) Demonstrasi
Gerakan demonstrasi mahasiswa indonesia, tidak pernah absen dalam
perjuangan bangsa. dalam gerakan demonstrasi anti pemerintahan orde
lama, KAMI merupakan motor utama dalam kegiatan-kegiatan angkatan 66
dan memainkan peranan pokok dalam arena politik berikutnya.
13) Persamaan
Dalam suatu tatanan pemerintahan demokrasi, persamaan meruapakan
ide fundamental dalam azas kehidupan berbangsa dan bernegara,
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan maksud dari teori kekuasaan negara yang terbatas menurut Jhon Locke!
2. Sebutkan tiga (3) prinsip utaa dalam teori hak pemilikan legal menurut Robert
Nozick?
3. Sebutkan konsep-konsep politik yang dikenalkan dan dikembangkan dalam
pembelajaran ilmu politik di tingkat sekolah?
4. Jelaskan konsep kekuasaan menurut Miriam Budiarjo?
5. Jelaskan cakupan konsep sistem politik menurut Gibson!
D. DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A. (1956) “Comparative political systems” dalam Journal of Politics, 18.
Apter,
David A. (1996) Pengantar Analisa Politik, Diterjemahkan Oleh Setiawan Abadi, Jakarta:
LP3ES.
Banks, James A. (1977) Teaching Strategies for the Social Studies: Inquiry, Valuing, and
Decision-Making, Phippines,: Addison-Wesley Publishing Company.
Barents, J. (1965) Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan, Terdjemahan L.M. Sitorus,
Jakarta: Pembangunan.
Brown, Archie (1984) Political Culture and Communist Studies, London: Alfred Knopf.
Bryant, Caroli dan Louise G. White, (1987) Manajement Pembangunan untuk Negara
Berkembang, Terjemahan Rusyant L. Simatupang, Jakarta: LP3ES.
Dahl, Robert,A. (1967) Pluralist Democracy in the United States, Chicago: Rand Mc
Nally. D’Entreves, Alexander Passerin (1967) The Notion of the State, Oxford:
The Clarendon Press.
Dhal, Rober, A. (1994) Analisis Politik Modern, Alih Bahasa: Mustafa Kamil Ridwan,
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Easton, David (1971) The Political System, New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Easton, David (1965) A System Analysis of Political Life, New York: Alfred A.Knopf. Inc.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk.,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlmn.304-305.
Haricahyono, Chepy, (1991) Ilmu Politik dan Perspektifnya, Yogyakarta: Tiarawacana.
Higgins, Rosalyn, (2000) ”Hak Asasi Manusia” dalam dalam Adam Kupper dan Jessica
Kupper, Ensiklopedi Ilmuilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlmn.464-466.
Kimlicka, Will (2004) Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Atas Teori-teori
Keadilan, Penerjemah Agus Wahyudi Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Leonard (2005) Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, Penerjemah Haris
Munandar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
David (2002) “Political Theory” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk., Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, hlmn.796-799..
Noer, Deliar (1965) Pengantar ke Pemikiran Politik, Djilid I., Medan: Dwipa. Nozick,
Robert (1974) Anarchy, State, and Utopia, New York; Basic Books.
Schmandt, Henry.J. (2002) Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman YunaniKuno
Sampai Zaman Modern, Penerjemah: Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaki,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schumpeter, J.A. (1942) Capitalism, Socialism and Democracy, New York: Harper Torch
Books.
Surbakti, Ramlan, (1996) “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik”, dalam Miriam Budiardjo
dan Tri Nuke Pudjiastuti (ed), Teori-teori Politik Dewasa Ini, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Warner, W.Lloyd (1960) Social Class in America, New York: Harper Torch Books.
Weber, M. (1968[1922) Economiy and Society, New York: The Free Press.
Weber, Max, (1949) The Methodology of Social Sciences, diterjemahkan dan disunting
oleh Edward A. Shils dan Henry A.Finch, New York: The Free Press.
PERTEMUAN 2
PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan Pendekatan Struktural Fungsional.
B. URAIAN MATERI
1. Pendekatan struktural fungsional Gabriel Almond
a. Sistem politik, lingkungan, dan kapabilitas
1) Kapabilitas Ekstraktif
Kapabilitas Ekestraktir adalah usaha untuk mengumpulkan dan
mengolah sumber-sumber material yang berasal dari pengaruh input dan
output lingkungan atau sumber-sumber alami dan manusiawi. Kapabilitas
Ekstraktir berkaitan dengan peluang dalam mencapai tujuan yang dimiliki
suatu sistem politik. Hal ini terkait dengan pengukuran sumber yang masuk
kedalam suatu sistem politik. Salah satu contohnya, misalnya pendapatan
daerah, kekayaan alam, jumlah penduduk, dan sarana untuk mencapai
kemampuan.
2) Kapabilitas Regulatif
Adalah kemampuan sistem politik untuk mengendalikan atau mengatur
tingkah laku dari setiap individu atau kelompok yang ada dalam sistem
politik. Kapabilitas Regulatif dapat dilakukan dengan cara penerapan
3) Kapabilitas Distributif
Kapabilitas Distributif adalah kemampuan sistem polih politik dalam
mengalokasikan sumber-sumber material dan jasa kepada individu atau
kelompok yang ada di dalam suatu masyarakat. Contohnya, alokasi barang,
jasa, kehormatan, status dan kesempatan kerja. Tinggi rendahnya suatu
kapabilitas distributif ditentukan dari kuantitas, nilai, aspek-aspek kehidupan
manusia yang mendapat pengaruh positif dari adanya distributif.
4) Kapabilitas Simbolis
Kapasitas Simbolis adalah usaha dalam meningkatkan kepercayaan
lingkungan terhadap simbol tertentu yang mencakup nilai-nilai yang dianut
pemimpin, hari besar nasional, upacara militer maupun kunjungan
kenegaraan. Rendahnya kepercayaan lingkungan terhadap bagian-bagian
tersebut dapat menimbulkan kritik terhadap pemerintah atau pejabat negara.
Pada kondisi kritis inilah pemerintah dapat melakukan pameran kekuatan
dan kekuasaan
5) Kapabilitas Responsif
Kapabilitas Responsif adalah kemampuan sistem politik dalam
menanggapi tuntutan, tekanan, maupun dukungan yang berasal dari
lingkungan maupun dari luar. Kemampuan sistem politik ini akan membawa
pengaruh terhadap kapabilitas responsifnya. Semakin tinggi tingkat
kepekaan suatu sistem politik terhadap tuntutan, tekanan, dan dukungan
tersebut semakin baik juga kapabilitas responsifnya. Hal ini dapat dilihat dari
keterkaitan hubungan antara input dari masyarakat dengan output yakni
kebijaksanaan dari sistem politik,
a. Struktur dan lembaga politik yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat dan
bentuknya;
b. Pelaksanaan fungsi sistem politik yang sama dan frekuensi yang berbeda;
c. Pelaksanaan fungsi sistem politik bersifat multifungsi yang dibedakan
berdasarkan tingkat kekhususan sistem politik tersebut;
d. Sistem politik merupakan sistem campuran. Hal ini dilihat dari sudut bidang
budaya yang merupakan sifat relatif dari sistem politik”.
1) Fungsi input
a) Sosialisasi Politik dan rekruitmen Politik
b) Artikulasi Kepentingan
c) Agregasi Kepentingan
d) Komunikasi Politik
2) Fungsi output
a) Pembuatan Kebijakan
b) Penerapan Kebijakan
c) Penghakiman Kebijakan”.
d. Sosialisasi Politik
e. Rekruitmen Politik
f. Artikulasi Kepentingan
g. Agresi Kepentingan
h. Komunikasi Politik
i. Pembuatan Keputusan
j. Penerapan Keputusan
k. Penghakiman Keputusan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu
dengan yang lain”.
Dengan adanya ke-enam faktor di dalam struktur atau lembaga politik, kita
dapat melihat perbandingan diantara sistem politik yang ditawarkan oleh si
pemberi pesan politik antara yang satu dengan yang lainnya. Namun perbedaan
sistem politik ini akan sulit dilihat jika tidak dibarengi dengan penelitian dan
pemahaman secara lebih luas dari proses pelaksanaan sistem politik.
C. LATIHAN SOAL
1. Bagaimana menurut anda, peranan dan pentingnya komunikasi politik dalam
sistem politik!
2. Jelaskan keuntungan pendekatan ekologis dalam sistem politik!
3. Jelaskan kapabilitas yang dimiliki sistem politik dalam mengatasi semua pengaruh
yang berasal dari lingkungan!
4. Komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan proses
penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat ke enam fungsi lainnya
dijalankan. Jelaskan ke enam fungsi yang dimaksud!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan:
a. Komunikasi politik
b. Sosialisasi politik
c. Artikulasi kepentingan
d. Pembuatan peraturan
D. DAFTAR PUSTAKA
Almod, Gabrield and James S. Coleman. (1960). The Politics of Developing Area.
Princeton: Princeton University Press.
Easton, David. (1984). Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik. Jakarta: Bina Aksara.
Easton, David. (1992). Aproaches to The Study of Politics. New York: Macmillan
Publishing Company.
Hadaad, Ismid (ed.). (1981). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta:
LP3ES.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (eds.). (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik.
Jakarta: Gramedia.
Sjamsuddin, Nazaruddin, Toto Pribadi, dan Zulkifli Hamid. (1995). Sistem Politik
Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
PERTEMUAN 3
SISTEM POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan Pengertian Sistem Politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian dari sistem politik
a. Menurut Campbell (1979: 3), “sistem adalah himpunan komponen atau bagian
yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan”
b. Menurut Awad (1979: 4), “sistem adalah sehimpunan komponen atau sub
sistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk
mencapai tujuan tertentu”.
c. Menurut Konontz dan O. Donnell (1976: 14), “sistem bukan wujud fisik,
melainkan ilmu pengetahuan yang disebut sebagai sistem yang terdiri atas
fakta, prinsip, doktrin, dan lainnya”.
Makna dari sistem politik memahami dengan cara menjabarkan sebuah kata
yang dapat membuat istilah dalam sistem politik karena pemahaman yang di
dapat diperoleh oleh masyarakat umum akan berbeda. Sistem sering
diterjemahkan sebagi satu ke satuan yang terbuat dari pada berbagai unsure atau
kompenen. Setiap komponen memiliki unsur yang saling berkaitan dalam
structural, fugsional, saling berhubungan untuk menggapai suatu yang di
harapkan .definisi sistem bisa digunakan untuk sesuatu hal yan immaterial, yang
mampu diterapkan terhadap suatu hal yang matrial ,suatu alat analisis dapat
menentukan model yang berupa daya imajiinasi dan abstraksi peninjauan yang
berkaitan .Sistem sering diaakui lebih tanggi dari pada cara, tata perencanaan,
skema, prosuder, dan sebuah metode. Suatu sistem memerlukan berbagai unsur
seperti komponen, fakta, relevansi, perinsip, fungsi ,doktrin, dan suatu tujuan.
Unsur unsur tersebut yaitu suatu yang saling berhubungan .dalam struktur sistem
menjadi sistem politik.
Kata politik sering di artikan sebagai suatu negara yang pada tingkat kota.
Pada jaman Yunani, masyarakat selau berhubungan yang satu dengan yang
lainnya agar terwujudnya suatu hidup yang sejahtera .manusia sering kali
mencoba menentukan sebuah posisi dalam masyarakat, yang bertujuan untuk
menggapai kemakmuran pribadi dengan menggunakan suatu sumber daya yang
telah adigunakan yang berusaha membuat orang lain untuk menerima
pandanganya , semua orang di sibukan dengan kegiatan politik.
Pada masa modern definisi lain politik mencakup pemerintahan sebuah
negara atau sebuah organisasi yang dibuat manusia lain ,dimana pemerintah
merupakan otoritas yang berorganisasi yang menitik beratkan pada kelembagaan
pimpinan dan pengalokasian nilai dengan otoritatif, kata otoritatif sering di sebut
sebuah konsep yang ditekankan terhadap masalah perpolitikan. Otoritatif
merupakan suatu wewenang yang di anggap oleh masyarakat yang terdapat pada
suatu wilayah untuk melaksanakan sebuah kekuasaan.
Pendapat dari Gabriel A. Almond dan Powell Jr, (1995:61) dalam “World
Politics”, “politik dalam istilah sistem secara eksplisit, sekalipun upaya mengaitkan
konsep sistem dengan pemahaman politik sudah sejak lama dilakukan yang
membuat klasifikasi masyarakat dalam sistem kewenangan, tradisional,
kharismatik, dan legal rasional, yang semuanya berhubungan dengan persoalan
sistem sebagai konsep dan pemahaman politik”.
Pemahaman klasik disampaikan oleh Easton (1996:56) yang mengatakan:
“alokasi nilai-nilai yang otoritatif, mirip dengan teori-teori distribusi pendapatan
dana lokasi sumber daya dalam ekonomi. Kelangkaan, alokasi, kompetisi,
maksimalisasi dan keseimbangan, juga tentang peran negara yang cenderung
hanya berfungsi sebagai penjaga malam atau hanya bertugas mengonversi input
menjadi output”.
Almond berpendapat bahwa “Pengertian struktural fungsional dalam
sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas ) seperangkat struktur politik yang
memiliki fungsi masing masing untuk mencapai tujuan negara. Pendekatan sistem
politik ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena
politik. Pendekatan sistem politik juga dimaksudkan untuk menggantikan
pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan
a. Kedaulatan rakyat
b. Bentuk negara republik
c. Sistem perwakilan
d. Negara berdasarkan atas hukum
e. Sistem pemerintah presindensil
f. Pemerintah yang mampu bertanggung jawab dalam melaksanakan
pemerintahan .
g. Pemerintah yang berdasarkan konstitusi
Sistem politik di negara Libral memiliki ciri yaitu ada kebebasan berfikir untuk
setiap orang atau kelompok, membatasi sebuah kekuasaan, yang di khususkan
darii pemerintah untuk menerapkan budaya politik, menegakan hukum, bebas
mengemukakan pendapat, kebebasan beragama, sistem pemerintah yang
menjamin hak masyarakat.
Masyarakat berperan aktif dalam politik agar terealisasikan nya masyarakat
politik yang kritis partisipatif yang memiliki ciri sebagai berikut :meningkatkan
tanggapan seorang rakyat kepada sebuah kebbijakan, melibatkan beran
masyarakat dalam berpartisipasi untuk mensuport atau menolak sebuah peraturan
politik, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, organinasi
kemasyarakatan, atau juga kelompok penekan.
Sistem politik masyarkat merupakan konsep indukk sebagaimana sistem
politik hanya satu dari strutur yang dapat membangun rakyat .contoh nya sistem
sosial dan budaya,system kepepercayaan, syistem ekonomi. Sistem politik yaitu
abstraktif realitass yang dimasukan kepada alam konsep tentang sebuah
a. Struktur
b. Nilai
1) Kekayaan
2) Kesehatan
3) Kasih sayang
4) Keterampilan
5) Pendidikan/Penerangan
6) Kekuasaan
7) Kejujuran dan keadilan
c. Norma
fisik (topografi, geografis), lingkungan organis non manusia (flora, fauna), dan
lingkungan sosial (rakyat, aksidan reaksinya).
d. Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium (ketidak
seimbangan)”.
Pendapat Easton juga bersifat siklus, yang artinya selaku sebuah sistem.
Sistem politik juga dipandang sebagai sebuah organisasi yang mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya .
Analisis mengenai kinerja sistem politik lebih merujuk kepada teori yang
dibuat oleh Easton, .meskipun uraian yang disampaikan oleh Easton abstrak
dan luas tetapi unggul dalam pencakupan nya dan mampu menggambarkan
kinerja sistem politik hampir secara holistic. Menurut pendapat Easton “ sistem
politik juga bersifat siklis, yang artinya selaku sebuah siistem , sistem politik
juga sering di pandang sebagai organism hidup yang terpenuhi kebutuhan
hidup nya pribadi, mengalami input, proses, output dan di kembalikan sebagai
feedback kepada struktur input. struktur input merespon dan dikembalikan
menjadi input ke dalam sistem politik .proses tersebut berjalan berputar selama
sistem politik masih berdiri tegak”.
Kewenangan sebuah lembaga politik dalam membuat kebijakan publik,
merupakan sebuah pembagian kekuasaan yang ditunjuk oleh negara agar
semua tatanan pemerintahan dapat berjalan dengan baik dengan aturan hukum
yang mengikat rakyat. Kewenangan pemerintah ini menurut Almod dibagi
dalam tiga tahapan sebagai berikut:
1) Budaya politik sebagai ciri khas sebuah negara untuk menjalankan kegiatan-
kegiatan dalam bentuk partisipasi politik dari masyarakat, untuk itu dengan
memberikan kesempatan kepada lembaga suprastruktur dan infrastruktur
politik, maka tingkat pemahaman masyarakat terhadap politik diharapkan
akan meningkat.
2) Memberikan penjelasan mengenai keberadaan lembaga politik dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan output dan input
dengan timbal balik yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
3) Menyempurnakan kinerja dari lembaga-lembaga politik yang selama ini
sudah ada sebagai lembaga yang melakukan rekruitmen politik dan sebagai
lembaga yang menyaurakan aspirasi terkait dengan sosialisasi, kepentingan
dan fungsi lembaga politik.
Menurut Easton “terdapat satu otoritas yaitu otoriitas negara .peranan suatu
mekanisme pengeluaran memiliki sifat ekslusif yaitu terdapat di genggaman
lembaga yang mempunyai otoritas yang menitik beratkan keputusan yang
terikat dari pemerintah yang menghasilkan :
Easton berpandangan bahwa sistem politik tidak akan lepas dari konteks
nya, karena observasi suatu sistem politik perlu mem pertimbangkan dampak
dari lingkungan sekitar .karena dampak ini disistemastikan kedalam dua bentuk
data yaitu situasional dan psikologis walaupun belum sempurna
menganstisipasi penting nya data pada level perorangan yang di tujukan pada
tahapan unit unit sosial di masyarakat.
Easton menekankan terhadap motiff perpolitikan pada saat suatu
masyarakat melaksanakan aktifitas dalam sistem politik. Easton berantisipasi
atas lingkungan anorganik, contoh hal nya lokasi geografis maupun topigrafi
wilayah yang di anggap yang memiliki pengarruh sendiri kepada sistm politik .
Easton melihat penempatan nilai dalam kondisi disiquilibriun atau ketidak
seimbangan. Hal ini merupakan bahan yang membuat sistem politik selalu
bekerja dengan baik.
Dengan melihat pendapat di atas, Easton membuat pemahaman atas
sistem politik yang bertahap mampu di pahami. Pertanyaan dasar kerangka
berpikir ini merupakan konsep-knsep apa saja yang perlu di kaji untuk upaya
memahami fennomena sistem politik , dan apa saja lembaga yang mempunyai
wewenang untuk mengalokasikan nilai di masyarakat. Menurut Easton, “ ciri-
ciri identifikasi dalam sistem politik meliputi:
1) Input dan output dari sistem yang terlihat dalam putusan putusan yang di
buat dari proses memperoduksi keputusan dalam sistem .
2) Unit-unit yang membuat sistem dari luas nya batas-batas pengaruh sistem
tersebut .
3) Tingkatan integrasi sitem politik yang men cerminkan tingkat efisiensi .
4) Jenis dan tingkat diferensiasi dalam sistem tersebut”.
yang bekkerja dalam batas an syistem politik seperti dalam cakupan wilyah
negara atau hukum , wilayh tugass dan lain sebagainnya.
2) Input - output , input yang di peroleh masyrakat dapat berupa tuntutan dan
suport. tuntutan sederhana sering di sebut sebuah kepentingan yang
pengalokasiannya tidak rata atas jumlah masyarakat dalam sistem politik,
3) partisipasi sederhana merupakan upaya masyarakat agar dapat
mendukung adanya sistem politik agar selalu berjalan dengan baik,
4) Output merupakan sebuh hasil dari syistem politik yang berawal dari tuntutan
dan suport oleh masyarakat . suatu pengeluaran di bedakan menjadi duaa
yaitu suatu putusan dan tindakkan sering di lakukan oleh pemerntah .
putusan merupakan pemilihan bberapa indakan sesuai dengan tuntutan
atau dukungan yang masuk dan tindakan merupakan impleementasi konkret
pemerintah atas putusan yang telah di tetapkan,
5) Diferensi dalam sistem, sebuah sistem harus mempunyai diferensi kerja .
pada zaman sekarang ini ida mungkin suatu lembaga harus menuntaskan
seluruh masalah. Dalam konteks undang-undang ditemukan beberapa
struktur yang masing-masingnya mempunyai fungsi sendiri yang berbeda-
beda,
6) Integrasi dalam sistem , integrasi merupakan ketrpaduan kerja antar unit
yang berbeda agar tercapainya suatu yang di inginkan,
7) Undang-undang pemilihan umum tidak akan di putuskan dan di tindak lanjuti
apabila tidak ada kerja yang terintegritas”
Beberapa cara agar dapat mendalami arti sistem politik bisa di tempuh
menggunakan suatu cara sebagai berikut :
1) Memahami dari sudut pandang kesatuan arti yang tidak terpisah atau
sebagai suatu kebulatan dalam memandang sistem politik.
2) Memahami terlebih dahulu atau mendalami sebuah kata yang membentuk
kebulatan arti, meskipun apabbila di lihat dari kemurnian ilmu terkadang
sering keluar dari maksud awal nya .
Dari semua pendekatan yang telah di paparkan di atas akan tuntas kita
pahami jika masyarakat dan pemerintah saling melengkapi dalam pelaksanaan
berjalannya sistem politik sebagai sebuah bentuk aktifitas atau proses dari
sebuah struktur yang berintraksi dalam suatu unit atau kesatuan dalam sistem.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan makna dari sistem politik sehingga membentuk suatu sistem politik yang
utuh dan terjaga totalitasnya?
2. Jelaskan definisi sistem politik menurut Gabriel A. Almond dan apa perbedaannya
dengan definisi sistem politik pada masa modern menurut Hamid!
3. Sebutkan klasifikasi masyarakat berdasarkan mode produksi dan hubungan
roduksi yang berwujud kelas sosial dalam politik?
4. Jelaskan pengertian struktural fungsional dalam sistem politik menurut Gabriel A.
Almond!
5. Bagaimana kontribusi Easton terhadap teori politik yang berkaitan dengan fakta
politik dan fakta sosial di masyarakat?
D. DAFTAR PUSTAKA
Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition, New York: Palgrave MacMillan, 2002,
Carlton Clymer Rodee et al., Pengantar Ilmu Politik, Cet. 5, Jakarta: Rajawali Press,
2002
Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics: a Study of the Origins ofPolitical
Thought in the Makkan Verses, London: The International Institute of Islamic
Thought, 2004,
Gabriel A. Almond et.al., Comparative Politics Today: a World View, Eight Edition,
Delhi: Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004
Gabriel A. Almond dan Bingham Powell Jr., “World Politics”, dalam Pendekatan
Pembangunan terhadap Sistem, Sahat Simamora (penyunting), Pembangunan
Politik dalam Perspektif, Bina Akasara, 1985
Michael Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and
Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang Merkel, eds., The
Future
PERTEMUAN 4
SISTEM POLITIK INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan sistem politik Indonesia.
B. URAIAN MATERI
1. Sistem politik Indonesia
a. Para politisi menganggap bahwa falsafah yang selama ini digunakan tidak
berpengaruh besar dalam sistem politik,
b. Sistem politik yang selama ini berlaku di Indonesia masih banyak memiliki
kekurangan dalam standar dan model yang digunakan.
Menurut Voich Jr. dan William A. Schrode ciri sebuah sistem bersifat :
2) Pengertian “wholiism”
3) Keterbukaan
4) Transformasi persoalan
6) Mekanisme pengawasan
Di era kepeminpinan Presiden Sukarno pada tahun 1950 sampai dengan tahun
1959, di Indonesia menggunakan UUDS 1950. Masa berlakunya mulai tanggal
17 Agustus 1950 sampai dengan 6 Juli 1959. Sistem politik yang berlaku pada
masa itu, sebagian rakyat di Indonesia melakukan demo besar-besaran untuk
menuntut pembubaran Republik Indonesia Serikat, dan menginginkan bentuk
negara Indonesia kembali menjadi bentuk negara kesatuan. Pada tanggal 17
Agustus 1950, barulah pembubaran Indonesia Serikat dilaksanakan, namun
konstitusi yang berlaku ketika itu, masih menggunakan UUDS 1950 dengan
menggunakan sistem parlementer dalam menjalankan peerintahan di
Indonesia. Masa berlaku konstitusi ini berkahir sampai dengan dieluarkannya
dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959, dan perubahan penggunaan konstitusi
dirubah menggunakan undang-undang dasar sementara. Digunakannya UUDS
(Undang-Undang Dasar Sementara) ini sampai dengan disahkannya susunan
pemerintahan yang baru. Namun pada saat itu konstitusi masih menggunakan
konstitusi lama, sehingga pada masa ini terjadi penyimpangan dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni:
2) Para mentri ikut bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil oleh
peemrintah
3) Pada masa itu, presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk membubarkan
DPR,
4) Presiden berwenang mengangkat menteri
1) Konstitusi
2) Budaya
3) Otoritas pribadi
kekerasan untuk menundukan orang lain, namun cara yang digunkan adalah
dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan.
Peran militer pada masa orde baru sangat besar dalam pemerintahan. Istilah
ini dikenal dengan dwifungsi ABRI. Pada masa ini, ABRI sekarang dikenal dengan
TNI, masuk dalam perpolitikan masyarakat sipil dengan menduduki posisi penting
di lembaga-lembaga pemerintahan. Disisi lain jabatannya di TNI tidak dilepaskan.
Menurut Wiliam R. Lidle, (2001, 73-78): “Rezim Orde Baru dapat dikatakan
sebagai era kemenangan militer karena peranannya menjadi sangat besar. ABRI
(yang kemudian berubah menjadi TNI) mengintervensi politik sipil melalui doktrin
dwifungsi. Dengan doktrin ini, militer memperoleh legitimasi untuk masuk ke ranah
politik sipil, antara lain dengan menempatkan tenaga militer yang aktif ataupun
pensiunan di MPR, DPR, DPRD, eksekutif, dan staf pemerintah pusat ataupun
daerah. Sejumlah lembaga negara penting, seperti Depdagri selalu dipegang
ABRI. Pada tahun 1996 seperempat jabatan setingkat kabinet, termasuk Menteri
Agama dan jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas atau
sudah pensiun. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi
penduduk melalui komando territorial”.
Hal senada juga disampaikan oleh Robert Hefner, (1995:5): “sejalan dengan
semakin tinggi tingkat kesadaran politik masyarakat, sehubungan dengan
meluasnya masyarakat yang terdidik, semakin menyebar kekuatan kritis di
masyarakat. Namun, semakin kritis masyarakat, ternyata militer cenderung
semakin represif. Semakin represif militer, semakin banyak pelanggaran HAM dan
semakin sering muncul yang disebut dengan the state violence sejak kasus
Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, dan beberapa kasus lainnya. Kasus
pelanggaran HAM yang cukup menggemparkan dan membuat posisi militer
semakin tersudut adalah kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di Jawa
Timur pada tahun 1993. Para majikan Marsinah ditangkap, tetapi perwira di
komando militer setempat”.
Istilah kemenangan orang jawa pada masa orde baru diasumsikan bahwa,
orang-orang yang duduk di pemerintahan sebagian besar berasal dari pulau jawa.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem politik Indonesia dalam menurut
David Easton?
2. Jelaskan pengertian ruang Lingkup Sistem Politik menurut Miriam Budiarjo?
3. Jelaskaan perkembangan sistem politik Indonesia pada masa Orde Baru?
4. Jelaskan huubungan lembaga-lembaga politik pada masa orde baru?
5. Jelaskan, mengapa lembaga kepresidenan pada masa orde baru lebih dominan?
D. DAFTAR PUSTAKA
Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition, New York: Palgrave MacMillan, 2002,
Carlton Clymer Rodee et al., Pengantar Ilmu Politik, Cet. 5, Jakarta: Rajawali Press,
2002
Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics: a Study of the Origins ofPolitical
Thought in the Makkan Verses, London: The International Institute of Islamic
Thought, 2004,
Gabriel A. Almond et.al., Comparative Politics Today: a World View, Eight Edition,
Delhi: Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004
Gabriel A. Almond dan Bingham Powell Jr., “World Politics”, dalam Pendekatan
Pembangunan terhadap Sistem, Sahat Simamora (penyunting),
Pembangunan Politik dalam Perspektif, Bina Akasara, 1985
Michael Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and
Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang Merkel, eds., The
Future
PERTEMUAN 5
STRUKTUR SISTEM POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan struktur sistem politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian struktur politik
Pengertian struktur politik memiliki dua kata, yakni kata struktur dan kata
politik. Pengertian struktur lebih difokuskan kepada lembaga, untuk kata politik
sendiri mengandung arti urusan dalam negara. Secara etimologis, pengertian
struktur politik adalah lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk mengurus urusan-
urusan penting dalam sebuah negara. Nilai-nilai kenegraan yang bersifat otoritatif
dipengaruhi pengaruh kebijakan dan distribusi kewenangan kekuasaan dalam
menggunakan hak dan kekuatannya.
Hhubungan antara masyarakat dengan negara diatur dalam struktur politik,
sehingga dengan adanya struktur politik, hubungan antara negara dengan
masyarakat dapat bersifat nyata. Peran dari masyarakat sebagai bagian dari unsur
negara, memerankan peranan pentinga dalam membentuk struktur politik.
Pendekatan-pendekatan dalam perilaku politik ini maka akan menimbulkan
struktur fungsional sebagai bentuk dari keterlibatan pemerintah dan masyarakat.
Pendapat yang disampaikan oleh Almond dan Powell Jr.
mengungkapkan bahwa : “struktur politik dapat dibedakan ke dalam sistem,
proses, dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi dan
institusi yang memelihara atau mengubah (maintain or change) struktur politik dan
secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi berikut.
Struktur politik yang terlibat dalam peran politik juga akan melibatkan fungsi-
fungsi dari kepentingan para pembuat kebijakan, dan bagaimana kebijakan itu
dilaksanakan di masyarakat. Dalam peranannya, kelompok-kelompok yang terlibat
dalam struktur politik melibatkan partai politik, kelompok kepentingan, media
massa, dan eksekutif. Kebijakan mengenai pertahanan dan kebijakan pangan juga
melibatkan kelompok-kelompok yang disebutkan diatas.
Menurut pendapat Almond dan Coleman: “struktur politik dibedakan atas
infrastruktur yang terdiri atas struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik
masyarakat, dan sektor politik masyarakat; dan suprastruktur politik yang terdiri
atas sektor pemerintahan, suasana pemerintahan, dan sektor politik
pemerintahan. Dalam kehidupan politik demokratis, struktur politik dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersifat formal dan informal”.
Untuk menentukan keabsahan dalam mengidentifikasi masalah,
menentukan dan membuat kebijakan yang mengikat masyarakat, maka digunakan
mesin politik dalam struktur formal. Namun peran dari lembaga lembaga
pendukung diluar lembaga formallah yang akan mengkonversikan,
menterjemahkan, mengemukakan, menyalurkan dan memberi dukungan dalam
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan umum.
Menurut Muchtar Afandi: “kekuasaan adalah kapasitas, kapabilitas, atau
kemampuan untuk memengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai, dan
memerintah orang lain”. Sedangkan menurut Bertrand Russel: “Struktur politik
sebagai satu spesies struktur pada umumnya, selalu berkenaan dengan alokasi-
alokasi nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta
penggunaan kekuasaan. Kekuasaan adalah konsep yang mendasar dalam ilmu
sosial, seperti halnya energi dalam konsepilmu alam”.
Kapasitas kekuasaan berarti kewenangan yang dimiliki sesorang untuk
menguasai dan mengendalikan masyarakat karena kewenangan dan kekuatan
yang dimilikinya, kapasitas kekuasaan ini merupakan hak dari penguasa yang
dipilih melalui jalur formal sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Morton Davis: “Kekuasaan adalah sebuah kapasitas; kapabilitas atau
kemampuan untuk memengaruhi, meyakinkan, mengen dalikan, menguasai, dan
memerintah orang lain. Kapasitas demikian erat hubungannya dengan wewenang
(authority) hak (right), dan kekuatan (force, nakedpower). Kekuasaan merupakan
fokus inti dari politik. Adapun fokus utama politik adalah keputusan. Keputusan
yang dimaksud adalah keputusan yang menyangkut kepentingan keseluruhan
masyarakat dan bersifat dapat dipaksakan berlakunya. Dalam membahas struktur
politik pemerintah, biasanya sistem pemerintahan juga dibahas. Sistem
pemerintahan adalah cara kerjad an sekaligus hubungan fungsi antara lembaga-
lembaga negara yang biasanya ditetapkan juga oleh konstitusi. Klasifikasi
kekuasaan dibagi menjadi dua:
a. kewenangan veto dimiliki oleh DPR, DPD dan presiden dalam persetujuan
pembuatan undang-undang,
b. lembaga legislatif mengawasi dan dapat mengimpeachment terhadap presiden
dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,
c. mahkamah konstitusi diberikan kewenangan dalam melakukan pengujian
terhadap undang-undang,
d. keputusan pemerintah pusat dapat diajukan gugatan oleh pemerintah daerah,
e. DPR dilibatkan dalam pengangkatan menteri.
a. Birokrasi di pemerintahan
DPR. Calon presiden ketika itu dicalonkan oleh gabungan partai-partai kecil,
dan terpilihlah Abrurahman Wahid sebagai calon dari gabungan partai tersebut
menjadi presiden. Hal ini terjadi karena sebelum pemilihan presiden dilakukan,
terjadi lobi lobi yang dilakukan elit politik di DPR dan MPR yang tidak
mencerminkan aspirasi rakyat.
Untuk memperbaiki keadaan ini, maka UUD 1945 diamandemen kembali
yang diproses oleh MPR dan DPR, dimana salah satu amandemen yang
dilakukan adalah perubahan terhadap mekanisme pemilihan presiden yang
tidak melibatkan secara langsung MPR, serta merubah kewenangan MPR
untuk tidak lagi memilih presiden dan wakilnya, juga membatasi kewenangan
MPR hanya pada persoalan UUD.
Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 ini menghasilkan
keputusan, dimana pemilihan presiden dan wakilnya dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum yang berlangsung setiap
periode lima tahun sekali, sehingga kedudukan presiden hanya dapat
dijatuhkan melalui mekanisme sesuai dengan undang-undang apabila yang
bersangkutan dianggap telah melakukan perbuatan tercela.
b. Lembaga legislatif
dasar perintah dari pemerintah, dan kebijakan yang dibuat karena ada kasus
baru yang sudah terjadi, baru dibuatkan peraturannya.
Berdirinya partai partai politik baru merupakan ciri dari sebuah negara
demokrasi yang modern. Sistem politik di sebuah negara tidak bisa dipisahkan
dari peran partai politik, hal ini dikarenakan partai politik sebagai alat untuk
merekrut suara rakyat dalam menyuarakan aspirasinya melalui pemilihan
umum.
Pendapat dari Huntington: “stabilitas, kekokohan partai,dan sistem
kepartaian sangat bergantung pada tingkat pelembagaan dan partisipasinya.
Partisipasi yang luas yang disertai dengan tingkat rendah pelembagaan partai
politik akan menghasilkan politik anomik dan kekerasan”. Menurut Huntington
“partisipasi tanpa organisasi akan merosot menjadi gerakan massal, sementara
organisasi yang tidak melahirkan partisipasi cenderung mengarah menjadi klik
personal. Dalam sistem politik demokrasi, partai politik biasanya melaksanakan
empat fungsi berikut:
Keberadaan partai politik yang ada pada masa itu tidak dapat
menjalankan fungsinya dalam sistem politik, mobilisasi masa menjadi salah
satu cara dari rezim Soeharto dalam melaksanakan pemilihan umum untuk
meraup suara sebanyak-banyaknya. Partai politik selain golkar hanya sebagai
kelompok marginal yang tidak mempunyai peran dalam menyalurkan aspirasi
masyarakat. Tidak ada keterlibatan dari partai politik dalam membuat kebijakan
yang dilakukan oleh penguasa, pembuatan kebijakan dilakukan di tingkat pusat
hanya melibatkan elit-elit yang dekat dengan sumber kekuasaan.
Berakhirnya masa orde baru ini dilanjutkan dengan masa reformasi yang
memberikan peluang yang lebih baik kepada masyarakat dalam membentuk
kelompok kelompok partai politik. Di departemen kehakiman, pada tahun 1999,
tercatat di Indonesia berdiri 144 partai baru yang terdaftar. Hal ini memberikan
nuansa baru dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dengan keragaman
ideologi dan tujuan. Perkembangan partai politik ini semakin beragam pada
tahun 2002, tercatat hampir 237 partai baru terdaftar. Namun setelah dilakukan
verivikasi dalam keiikut sertaannya dalam pemilu 1999, hanya 48 partai politik
saja yang dapat diikut sertakan. Jumlah partai politik ini menurun pada tahun
2004 yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM hanya sekitar 50 partai
politik, dan yang dinyatakan lolos verivikasi dan dapat diikutsertakan dalam
pemilu pada tanggal 14 April 2004 hanya 24 partai politik saja. Penurunan
jumlah partai politik ini dikarenakan semakin ketatnya aturan undang-undang
pemilu mengenai pedirian partai politik yang dapat diikutsertakan dalam
kegiatan pemilihan umum legislatif dan ekskutif.
Kini, keberadaan partai politik ini dirasa kurang maksimal dalam
menjalankan fungsi dan wewenangnya, hal ini dikarenakan keberadaan partai
politik ini adalah sebagai alat untuk merebut kekuasaan, atau untuk menduduki
jabatan di pemerintahan. Di masa reformasi, keterlibatan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dalam pengambilan kebijakan mulai diperhitungkan. LSM
menjadi lembaga yang ikut serta mengawasi dan mengkritisi jalannya
kebijakan. Hal ini dilakukan karena pada masa orde baru keberadaan LSM tidak
dianggap ada. Itu yang menjadi alasan mengapa LSM aktif dalam menyuarakan
aspirasi masyarakat. Menurut Yumiko Sakai dalam bukunya yang berjudul
“Indonesia Flexible NGO vs Inconsistent State Control”, menyatakan bahwa:
“aktifnya LSM pada masa sekarang adalah sebagai berikut:
C. LATIHAN SOAL
1. Bagaimana peran struktur politik dalam mengatur poa-pola perilaku hubungan
antara manusia dengan pemerintah?
2. Jelaskan fungsi dari Suprastruktur politik dan Infrastruktur Politik menurut Gabriel
A. Almond?
5. Sebutkan empat (4) fungsi partai ppolitik dalam sistem politik demokrasi Indonesia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1993
Hutauruk, M. Garisbesar Ilmu Politik pelita keempat 1984-1989, Jakarta: Erlangga,
1984
Varma, SP. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Pers.1992
Supardan Dadang. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2008
PERTEMUAN 6
PARTAI POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan Partai Politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian Partai Politik
Pendidikan bagi suatu partai politik merupakan hal yang penting sekali,
baik bagi generasi tua maupun generasi yang penting sekali, terutama untuk
kader-kader partai agar ideologi partai atau doktrin politik, ekonomi, sosial, dan
budaya partai politik dapat diketahui secara merata.
Rancangan dari tujuan dari negara negara merdeka yang sudah mampu
berdiri sendiri dengan menentukan syarat syarat dan ketentuan yang sudah dibuat
sebelumnya. Sedangkan tujuan dari negara Indonesia tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sedangkan tujuan dari negara Republik
Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke IV. Alinea ke
IV berbunyi:
"Kemudian dari pada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamian abadi, keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang - Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Tujuan dari Negara Indonesia yang dijelaskan dalam alinea IV ini yakni:
“dibentuknya negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berbicara
mengenai negara hukum tentu mengenal dengan konsep kedaulatan rakyat
sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945”.
Menurut Yesmil Anwar (2008:133): “Terciptanya stabilitas dan tatanan
hukum menjamin suatu kepastian kesejahteraan dan kedaulatan dalam hidup
bermasyarakat. Konsep Negara Hukum di dalamnya terkandung pengertian
adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi
manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang
berkuasa”.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia salah satunya adalah kebebasan
untuk berserikat dan berkumpul tercantum dalam pasal 28E ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa: “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Konsekuensi dalam hal
berserikat dapat membentuk sebuah kelompok atau sebuah wadah khususnya
untuk menyampaikan suatu usulan dan pandangan terhadap kebijakan kepada
pemerintah agar dapat menjadi penyeimbang dalam berjalannya roda
pemerintahan yang stabil. Pengawasan, usulan dan kritikan terhadap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah berasal dari beberapa elemen, salah satunya
kelompok yang disebut partai politik. Dalam paham negara hukum yang demikian
pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai
dengan prinsip nomokrasi dan doktrin the Rule of Law, and not of Man”.
Menurut Miriam Budiarjo (2008:46) menyatakan bahwa: “Konstitusionalisme
tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan semacam itu, tidak menegaskan
hak asasi manusia sebagai bagian dari pembatasan yang substantif atas
dalam pelaksanaannya, keberadaan partai politik ini diawasi oleh aturan hukum
supaya fungsi dan tujuan partai tersebut sesuai dengan asas demokrasi, serta
efektifitas dari berdirinya partai politik ini dapat berjalan dengan baik. Dalam
undang-undang ini juga ditegaskan juga aturan mengenai kemungkinan konflik
yang terjadi di dalam organisasi partai sehingga partai politik tersebut menjadi
terpecah atau membubarkan diri.
Anggaran dasar rumah tangga partai sebagai acuan berdirinya partai
tersebut juga harus mencantumkan mekanisme penyelesaian apabila terjadi
perselisihan dalam tubuh partai. Didalam aturan yang mengatur partai terdapat
pula aturan mengenai kewenangan, fungsi dan tugas dari pengurus partai dalam
pengurusan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan partai.
Menimbang :
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar
Partai Politik.
5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang
dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk
kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.
6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia.
BAB II
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan
akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3)
Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART
serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
Pasal 3
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
Pasal 4:
(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen
persyaratan secara lengkap.
(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan
Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian
dan/atau verifikasi.
BAB III
Pasal 5
Pasal 6
Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris.
Pasal 7
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia”.
Pasal 8
Pasal 9
(1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak
dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pasal 10
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan secara konstitusional”.
Pasal 11
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara
konstitusional”.
BAB VI
Pasal 12
Pasal 13
BAB VII
Pasal 14
(1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif
bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART”.
Pasal 15
(1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut
AD dan ART.
(2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak
memilih dan dipilih.
(3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta
berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik.
Pasal 16
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga
perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti
dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
BAB VIII
Pasal 17
(2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau
sebutan lain.
(3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
hubungan kerja yang bersifat hierarkis”.
Pasal 18
(1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3)
Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota”.
BAB IX
KEPENGURUSAN
Pasal 19
(1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.
(4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa
atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah
yang bersangkutan”
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diterimanya persyaratan”.
Pasal 24
Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi
pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan
belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan.
Pasal 25
Pasal 26
(1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari
kepengurusan dan/atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat
membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama.
(2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh
UndangUndang ini.
BAB X
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 27
Pasal 28
BAB XI
REKRUTMEN POLITIK
Pasal 29
(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk
menjadi:
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis
dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-
undangan.
(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan
ART”.
BAB XII
Pasal 30
BAB XIII
PENDIDIKAN POLITIK
Pasal 31
(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara lain:
(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila”.
BAB XIV
Pasal 32
(2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan.
Pasal 33
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan
hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan
negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di
kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah
Agung”.
BAB XV
KEUANGAN
Pasal 34
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang,
barang, dan/atau jasa.
(4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
Pasal 35
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang
diterima Partai Politik berasal dari:
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip
kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan
kemandirian Partai Politik. Pasal 36 (1) Sumber keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan
untuk pengeluaran dalam pelaksanaan program, mencakup pendidikan
politik, dan operasional sekretariat Partai Politik. (2) Penerimaan dan
pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum
Partai Politik.
(3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua
penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik”
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART.
BAB XVI
LARANGAN
Pasal 40
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang
sama dengan:
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu
badan usaha.
BAB XVII
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
(2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3.
(3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
Pasal 44
(2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”.
Pasal 45
BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 46
BAB XIX
SANKSI
Pasal 47
Pasal 48
(1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh
pengadilan negeri.
(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat
dari jumlah dana yang diterimanya.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang
bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
Pasal 49
(1) Setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan
sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang
disumbangkannya.
(2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang
diterima.
Pasal 50
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan
UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui
keberadaannya.
(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi
pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan
AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di
pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan,
penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Pasal 53
Disahkan di Jakarta
ttd.
Diundangkan di Jakarta
ttd.
ANDI MATTALATTA
3. Partai lokal
a. Pengertian partai politik lokal
Pembentukan partai politik lokal sendiri diatur dalam Pasal 75 dan Pasal
76 UUPA. Adapun persyaratan pembentukan partai politik lokal berdasarkan
Pasal 75 UUPA adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UUPA bahwa “asas partai politik lokal tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun demikian berdasarkan Pasal 77 ayat
(2) bahwa “partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang
mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan
masyarakat Aceh. Tujuan partai politik lokal berdasarkan Pasal 78 UUPA terdiri
atas tujuan umum dan tujuan khusus”.
Tujuan umum berdasarkan Pasal 78 ayat (1) UUPA adalah:
1) memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari Pemerintah Aceh
dan pemerintah kabupaten/kota;
2) mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
3) memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partai dari
departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi
manusia;
4) ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK;
5) mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK;
6) mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA dan DPRK;
7) mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di DPRA dan DPRK;
8) mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati
dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh; dan
9) melakukan afiliasi atau kerja sama dalam bentuk lain dengan sesama partai
politik lokal atau partai politik nasional”.
(1) Partai politik lokal dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda
gambar yang sama dengan:
(3) Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki
saham suatu badan usaha.
(1) Warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh dapat
menjadi anggota partai politik lokal, apabila telah berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan partai politik lokal bersifat sukarela, terbuka, dan tidak
diskriminatif pada setiap Warga Negara Republik Indonesia yang
berdomisili tetap di Aceh yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga partai politik lokal yang bersangkutan.
Keuangan partai politik lokal diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUPA.
Berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UUPA bahwa “keuangan partai politik lokal
bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum; dan
bantuan dari APBA dan APBK. Sumbangan yang sah menurut hukum dapat
berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa. Sedangkan bantuan
dari APBA dan APBK diberikan secara proporsional kepada partai politik yang
mendapatkan kursi di lembaga perwakilan masyarakat Aceh dan
kabupaten/kota. Partai politik lokal dapat menerima sumbangan yang sah
menurut hukum berdasarkan Pasal 85 UUPA dengan ketentuan:
1) anggota dan bukan anggota paling banyak senilai Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
2) perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun”.
Dalam kaitannya dengan partai politik lokal UUPA mengatur sisi pidana untuk
menciptakan partai politik lokal yang teratur dan tertib. Adapun sanksi pidana
dan sanksi administrasi yang dikenakan dalam UUPA adalah sebagai berikut:
Ketiga, berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UUPA bahwa “partai politik lokal yang
menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan
marxisme-leninisme dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi. Disamping itu berdasarkan Pasal 88 ayat (2) UUPA bahwa partai
politik lokal yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana
Berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) UUPA bahwa “untuk dapat mengikuti
pemilihan umum DPRA/DPRK, partai politik lokal disyaratkan:
Sedangkan partai politik lokal yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 89 ayat (1) UUPA tidak dapat
menjadi peserta pemilu DPRA/DPRK. Pasal 89 ayat (3) UUPA secara tegas
meminta kepada KIP Aceh menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan
penelitian keabsahan persyaratan. Adapun penetapan tata cara penelitian,
pelaksanaan penelitian, dan penetapan keabsahan kelengkapan persyaratan
dilaksanakan oleh KIP Aceh dan bersifat final.
Sementara itu untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, berdasarkan
Pasal 90 UUPA, partai politik lokal peserta pemilu harus:
Berdasarkan Pasal 91 ayat (4) bahwa “partai politik lokal, gabungan partai
politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal, pada saat
mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan:
k. Pengawasan pengawasan terhadap partai politik lokal diatur dalam pasal 92,
pasal 93, dan pasal 94 UUPA.
Dari keberhasilan yang ditentukan oleh ketiga pilar ini, maka kesuksesan dan
kegagalan pelaksanaan pemilihan umum ditentukan. Keberadaan partai politik
sangat penting sebagai pilar utama penyelenggaraan pemilihan umum karena
sebagai perwakilan dan tempat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat yang
mempunyai pandangan dan ideologi yang sama dalam pandangan politik. Dalam
demokrasi juga peranan partai politik adalah sebagai bentuk perkumpulan
masyarakat dalam mewujudkan haknya sebagai warganegara yang memiliki hak
untuk memilih dan dipilih dalam politik.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan tugas dari mahkamah partai dalam menyelesaikan konflik internal
dalam partai!
2. Bagaimana mekanisme dan implementasi penyelesaian internal partai
berdasarkan dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik?
3. Bagaimana kekuatan mengikat hasil perselisihan internal partai politik
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011?
4. Bagaimana eksistensi partai politik lokal dalam tata hukum Indonesia?
5. Bagaimana eksistensi partai politik lokal dalam tata hukum Indonesia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar., Partai Politik dan Kelompok Kelompok Penekan, PT. Bina Aksara,
Yogyakarta, 1984.
Ansari, Muhammad Insa. 2008. “Menggugat Eksistensi Partai Politik (Lokal dan
Nasional) Antara Peran dan Aspirasi Rakyat”, Makalah disampaikan pada
Intermediate Training (LK II) Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Langsa, Aceh Timur, 25 Mei.
Budiarjo, Miriam.1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia
Legowo, Tommi A. 2009. Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Perwakilan Politik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta, 1986
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008.
Yesmil Anwar, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008
Kemenkopolkam. 2003. Pembangunan Bidang Politik, Jakarta: Kemenkopolkam.
Soehino. 1986. Ilmu Negara. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Sukarna, Sistem Politik 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
Sulistio, Hermawan. et al., 2000. Kekerasan Politik Dalam Pemilihan Umum 1999,
Jakarta: KIPP Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Zainal, Suady. 2013. “Transformasi Politik dan Prospek Bagi Perdamaian Positif
Berkelanjutan di Aceh,” Jurnal Transformasi Administrasi, 3 (2).
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633).
PERTEMUAN 7
PENDEKATAN SISTEM POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami
dan menjelaskan pendekatan sistem politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pendekatan dalam sistem politik
Mekanisme dalam sistem politik memiliki peranan dan fungsi yang terdapat
dalam struktur politik sebagai bentuk proses yang panjang dalam menjalankan
sistem yang berlaku di masyarakat berupa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Proses panjang ini karena negara berpedoman bahwa sistem politik yang berlaku
masa sekarang adalah perbaikan-perbaikan dari sistem yang pernah berlaku di
masa lalu, dan akan digunakan untuk masa depan. Peranan sistem politik akan
membentuk sebuah sistem yang lebih besar yakni sistem sosial dalam sebuah
komunitas negara.
Menurut Almond dan Powell menjelaskan bahwa: “pengertian dan
pendekatan sistem politik dapat digolongkan dalam tiga bagian, yaitu sebagai
berikut:
a. Pendekatan tradisional
3) Berpedoman pada nilai dan norma serta tradisi yang berlakudi masyarakat
(bersifat pragmatis dan domatis).
4) Mengacu pada filsafat (das sollen).
5) Mengacu pada ilmu terapan (praktis).
6) Konsep pemikiran lebih banyak dipengaruhi oleh konsepsejarah dan hukum
(historis dan yuridis).
7) Analisis lebih banyak mengacu pada metode kualitatif.
Tingkah laku politik merupakan salah satu analisis politik dalam pendekatan
ilmu politik. Pendekatan tingkah laku ini berbeda dengan pendekatan dalam
kelembagaan dalam unit sistem politik, sehingga gagasan pokok dari pendekatan
ini menekankan dalam pemikiran sistem politik. Dalam ilmu astronomi, kita
mempelajari ilmu tentang alam merupakan bagian dari tata surya, atau dalam ilmu
biologi kita mempelajari bahwa yang terjadi dalam kehidupan manusia merupakan
bagian dari tubuh manusia. Sama halnya dengan mempelajari sistem politik, yang
kita bayangkan adalah tubuh manusia, jadi pada intinya, dengan mempelajari
sistem politik kita akan membayangkan ilmu politik secara keseluruhan.
Kita contohkan dengan tubuh manusia. Tubuh manusia kita umpamakan
sebuah sistem, di dalam tubuh manusia terdapat sub sistem dengan fungsinya
masing-masing, contohnya mata untuk melihat, mlut untuk makan, kaki untuk
berjalan, telinga untuk mendengar, dan lain sebagianya. Walaupun sub sub tadi
ada dalam satu tubuh manusia, tetapi memiliki fungsi yang berbeda-beda. Masing-
masih sub sub ini tidak dapat menjalankan fungsi nya sesuai kehendaknya, namun
merupakan sebuah kesatuan yang saling mendukung dan beriringan dalam
menggerakan seluruh tubuh. Sama halnya dengan sistem politik, sub sistem
dalam sistem politik tidak bisa jalan sendiri-sendiri tanpa adanya kendali dari
sistem politik dalam menjalankan fungsinya secara keseluruhan. Apabila salah
satu sub sistem ini tidak berfungsi, maka secara keseluruhan, fungsi dari sistem
akan terganggu.
Menurut pendapat yang disampaikan oleh David Easton “setidaknya ada tiga
hal mendasar yang harus diperhatikan dalam membahas sistem politik (Easton,
1992: 181-184).
a. Ciri identifikasi.
Integrasi dalam sistem politik sebagai salah satu usaha untuk mengatur
kekuatan-kekuatan dan kegiatan-kegiatan dalam sistem politik. Intregrasi
dalam sistem politik ini dimungkinkan oleh adanya kesadaran dari anggota
sistem politik untuk menjaga keberadaan dari sistem politik itu sendiri sehingga
b) Rezim
Pengertian rezim adalah bentuk dukungan dasar terhadap aturan-
aturan untuk menyerasikan macam-macam tuntutan yang disampaikan
oleh komunitas anggota sistem dalam penyelesaian permasalahan yang
timbul merupakan akibat dan dampak dari dukungannya terhadap
organisasi partai politik.
c) Pemerintah
Dalam menyelesaikan suatu konflik berkenaan dengan berbagai
macam masalah dalam tubuh sistem, harus mendapatkan dukungan
pemerintah sebagai penengah diantara anggota yang berselisih.
2) Mekanisme dukungan
a) Output
Output atau kebijakan politik merupakan wujud dari output yang ada
didalam sistem politik. Menjaga ikatan yang baik adalah salah satu bentuk
dukungan yang dilakukan antar anggota kelompok dalam suatu sistem
politik dalam memberikan dukungan dengan cara membuat keputusan
sebagai bukti bahwa tuntutan yang diajukan dapat terpenuhi. Namun
dalam realitasnya, tidak semua tuntutan dapat terpenuhi oleh sistem, bila
terjadi hal demikian, maka tuntutan yang paling dibutuhkanlah yang
mendominasi keputusan itu dibuat.
b) Sosialisasi
Dalam suatu sistem politik, proses turun temurun dalam
pembelajaran anggota masyarakat merupakan bagian dari usaha dalam
menciptakan dan mengumpulkan cadangan dukungan sebagai modal
agar keberadaan sistem politik tersebut masih tetap berdiri tegak.
Pengakuan akan keberadaan sistem politik dipengaruhi oleh
pembelajaran terus menerus yang dilakukan oleh masyarakat dalam
menanamkan nilai-nilai politik sebagai warisan turun temurun dari
generasi ke generasi agar sosialisasi politik dimasyarakat berjalan efektif.
c) Output
kebijakan, keputusan maupun tindakan tertentu merupakan bentuk
dari tuntutan (demands) yang diajukan oleh anggota kelompok baik
internal maupun internal yang sudah diproses oleh sistem politik.
Pembaharuan dukungan diharapkan akan terjadi apabila output sudah
sesuai dengan tuntutan yang diajukan. Namun sebaliknya, erosi
b. Lingkungan
Lingkungan fisik misalnya iklim, topografi, batas dan luas teritorial. Adapun
kondisi nonhumanis, misalnya kekayaan alam, flora, dan fauna. Pengambil
kebijakan hendaknya selalu memperhatikan kondisi lingkungan ekologi.
2) Sistem biologi
3) Sistem kepribadian
4) Sistem sosial.
c. Kapabilitas
1) Kapabilitas ekstraktif,
2) Kapabilitas distributif,
3) Kapabilitas regulatif,
4) Kapabilitas simbolik,
5) Kapabilitas responsif,
teori struktural fungsional dijelaskan oleh Almond: “terdapat empat ciri dalam
semua sistem politik. Empat ciri inilah yang kemudian menjadi dasar dari teorinya
adalah sebagai berikut.
a. Sistem politik memiliki struktur dan lembaga politik. Dalam masyarakat yang
paling sederhana sampai dengan masyarakat yang paling modern memiliki
struktur dan lembaga politik yang dapat diperbandingkan sesuai dengan tingkat
dan bentuknya.
b. Sistem politik menjalankan fungsi yang sama walaupun frekuensinya berbeda.
Perbedaan frekuensi ini terjadi karena perbedaan struktur. Fungsi dan struktur
sistem politik pun dapat diperbandingkan, mengenai bagaimana proses
berjalannya dan proses penyelenggaraannya.
c. Struktur politik menjalankan fungsi tertentu. Betapa pun khusus fungsi dari
sistem politik, ia akan dapat bersifat multifungsi. Dengan demikian, sistem
politik dapat diperbandingkan menurut tingkat kekhususan fungsi dalam
struktur tersebut.
d. Sistem politik merupakan sistem campuran apabila dilihat dari segi budaya. Hal
ini berarti tidak ada struktur politik dan kebudayaan yang paling modern dan
paling tradisional karena keduanya hanya bersifat relatif saja”.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan unsur yang harus diperhatikan dalam membahas sistem politik menurut
Easton!
2. Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyalurkan input sistem politik!
Jelaskan empat ciri sistem politik yang menjadi dasar dari teori Almond!
3. Jelaskan kapabilitas yang dimiliki sistem politik dalam mengatasi semua pengaruh
yang berasal dari lingkungan!
4. Jelaskan peranan dan pentingnya komunikasi politik dalam sistem politik!
5. Jelaskan enam struktur yang harus dimiliki sistem politik menurut Almond!
D. DAFTAR PUSTAKA
Almod, Gabrield and James S. Coleman. (1960). The Politics of Developing Area.
Princeton: Princeton University Press.
Budiardjo, Miriam. (1992). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Easton, David. (1984). Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik. Jakarta: Bina Aksara.
Easton, David. (1992). Aproaches to The Study of Politics. New York: Macmillan
Publishing Company.
Hadaad, Ismid (ed.). (1981). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta:
LP3ES.
Mas`oed, Mohtar dan Colin MacAndrews. (1991). Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (eds.). (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik.
Jakarta: Gramedia.
Rauf, Maswadi. (2000). Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta:
Dirjen Pendidikan Tinggi Diknas.
Sjamsuddin, Nazaruddin, Toto Pribadi, dan Zulkifli Hamid. (1995). Sistem Politik
Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
PERTEMUAN 8
SOSIALISASI POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan fungsi sistem politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian sosialisasi politik
Fungsi sosiologi politik merupakan fungsi yang paling dominan dalam proses
berjalannya sistem politik di suatu negara. Untuk memperkenalkan sosialisasi
politik kepada masyarakatnya, negara wajib memperkenalkan nilai-nilai dalam
politik, respon dan sikap dalam politik, dan etika berpolitik yang berlaku agar
masyarakat lebih memahami dengan sistem politik yang digunakan di negaranya.
Karena proses dapat terus menerus dibutuhkan untuk membentuk sikap politik dan
keyakinan politik di masyarakat. Dalam proses keberhasilan sosialisasi politik
ditentukan oleh sikap dan oriientasi politik masyarakat terhadap fenomena yang
berlaku di llingkungannya.
Untuk menjadi warganegara yang efektif dalam berpartisipasi politik, maka
diperlukan penanaman nilai kebijakan-kebijakan di masyarakat melalui agen-agen
sosialisasi politik. Agen agen politik yang selama ini dikenal dalam sosialisasi
politik di Indonesia terdiri dari grup bermain, keluarga, sekolahan, lingkungan
pekerjaan, media masa, maupun kontak politik secara langsung transmisi dan
pengajaran dalam sosialisasi politik didapatkan dalam pendidikan di sekolah,
pengalaman di keluarga, dan pengaruh dari lingkungan bermain untuk
memperkuat pengajaran pendidikan politik.
Generasi muda cenderung masih fleksibel dalam menentukan sikap untuk
berinteraksi dalam politik, hal ini dipengaruhi oleh generasi tua dalam
menyampaikan sosialisasi politik. Pendidikan formal dalam mempengaruhi
ideologi generasi muda merupakan bentuk transmisi dari generasi sebelumnya
dalam menyampaikan doktrin politik. Keberhasilan penyampaian sosialisasi politik
di pengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari
masyarakat.
Beberapa ahli memberikan pengertian sosialisasi politik antara lain sebagai
berikut:
a. Dalam bukunya David Easten dan Jack Dennis mengatakan “Children in the
Political System: Origins of Political Legimacy memberikan suatu batasan
tentang sosialisasi politik adalah: Proses perkembangan seseorang untuk
mendapatkan orientasi orientasi politik dan pola-pola tingkah laku”.
b. Menurut Freid I. Grenstein menulis dalam bukunya “Political Socialization
diangkat dari International Encyclopedia of the Social Sciences Vo. 14. 1968,
New York,” mengatakan “sosialisasi politik adalah: Penanaman informasi politik
yang sengaja, nilai-nilai dan praktik praktik yang oleh badan instruksional
secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini; dan semua usahanya
mempelajari politik, baik formal maupun informal, disengaja ataupun tidak
terencana,pada setiap tahap siklus kehidupan, dan termasuk di dalamnya
tidakhanya secara eksplisit masalah belajar politik, tetapi juga secara nominal
belajar sikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang
bersangkutan.”
c. Menurut R.S. Signal mengatakan: “sosialisasi politik adalah proses belajar yang
terkait dengan norma politik yang dapat dialihkan dari suatu generasi ke
generasi berikutnya untuk menerima suatu sistem politik yang sedang
berlangsung”.
d. Menurut Robinson yang ditulis oleh Alexis S. Tan dalam buku “Mass
Communication; Theories and Research menyatakan bahwa: Sosialisasi politik
merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat dengan proses
belajar.”
Nilai nilai dalam dimensi politik yang berkaitan inilah yang akan mendasari
lestarinya stabilitas yang berkesinambungan dalam sosialisasi politik. Untuk
membentuk faktor faktor kejiwaan secara utuh dalam membentuk sikap politik dan
kepribadian politik, maka sosialisasi politik yang dilakukan dapat membentuk
dimensi yang pertama. Tahapan ini diawali dari tingkat pemahaman atau
pengenalan tentang politik yang berlangsung melalui proses politik secara
bertahap.
Pada tahap berikutnya, untuk membuka cara berfikir terhadap cakrawala
pemikiran politik, diperlukan pendalaman akan makna politik dengan benar. Pada
tahap ini diperlukan sikap efektif dalam pribadi individu manusia yang telaah
memiliki hak pilih. Bentuk kepribadian politik dalam bentuk perilaku dan sikap
politik didapatkan melalui penghayatan dan keyakinan. Kematangan dalam politik
berada dalam tahapan ini. Adaptasi terhadap nilai nilai yang berlangsung dari
tahapan tahapan sebelumnya yang sudah dilalui, akan berpengaruh terhadap
sistem yang telah mendekati untuk melestarikan sistem politik.
Tahap dimensi selanjutnya adalah dimensi ideologis. Proses penerimaan
dalam dimensi ini menjadi pola keyakinan dalam menyampaikan sosialisasi politik.
Simbol keyakinan politik telah di interpretasikan dalam simbol-simbol politik.
Pengaruh kontemporer tidak lagi memberi makna yang berarti jika nilai nilai
ideologi telah mempengaruhi dan mendominasi sikap dan perilaku dalam
kehidupan bernegara.
Tahapan yang ketiga adalah dimensi normatif. Kondisiter integrasi dalam
sikap dan mental ditunjukan melalui norma-norma yang belaku dan pola berfikir.
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh penguasa yang berkembang dimasyarakat
adalah pengertian dari norma.
Sistem nilai dapat didekati apabila ketiga dimensi diatas telah terwujud
dalam melaksanakan keberhasilan dari sasaran dan tujuan dari sosialisasi politik
untuk melestarikan sistem politik. Berbagai macam cara dapat dilakukan dalam
upaya melestarikan sistem politik. Untuk melestarikan sistem politik ini, maka
memobilisasi semua unsur dan fasilitas milik negara dapat dikerahkan. Mobilisasi
yang dimaksukan disini adalah sikap netral dalam membentuk alam sadar melalui
proses yang diciptakan oleh negara. Hal ini mobilisasi yang digunakan berbeda
pengertiannya dalam negara komunis, yang menggunakan unsur
pemaksaan(coersive) yang dilakukan oleh penguasa.
Fit and proper test juga akan dilakukan dalam pemilihan pimpinan
lembaga eksekutif, begitupun test and propertest akan dilakukan terhadap
pemilihan anggota legislatif. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dan otoritas tertentu terhadap pemerintah dan masyarakat, maka untuk
menentukan pimpinan di lembaga-lembaga BPK, MA, TNI, BUMN, Duta
Besar, dan lainnya, dilakukan juga fit and proper test oleh DPR, sebagai
bentuk seleksi yang ketat berkenaan dengan tanggung jawab yang nanti
akan di embannya.
1) Komunikasi masa
c) Aktivis atau komunikator paruh waktu (part time) adalah orang yang
cukup banyak terlibat dalam kegiatan politik atau komunikasi politik, tetapi
tidak menjadikan kegiatannya sebagai lapangan pekerjaannya. Kategori
komunikator ini adalah juru bicara, pemuka pendapat dan pengamat”.
d) Pesan politik
2) Media massa
a) Kampanye massa, yaitu dengan melalui media massa cetak, radio, atau
televisi, agar memilih partai politik yang dikampanyekannya, proses
penyampaian pesan persuasif (pengaruh) berupa program asas,
platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada
calon pemilih (calon konstituen)
b) Kampanye interpersonal, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas
terhadap calon pemilih (calon konstituen) agar menyerukan untuk
memilih partai politik yang dikampanyekannya dalam proses
penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas,
platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang
dilakukan oleh komunikator politik.
c) Kampanye organisasi, anggota dalam satu organisasi partai politik dan
antar sesama anggota agar memilih partai politik yang
dikampanyekannya, agar proses penyampaian pesan persuasif
(pengaruh) yang berupa program, asas, platform(garis perjuangan),
pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh komunikator
politik kepada kader, fungsionaris”.
3) Komunikan komunikasi politik
c. Komunikasi politik
Dalam sistem politik, cara dan sistem untuk menyampaikan nilai dan
informasi dari seluruh struktur politik dilakukan melalui komunikasi politik.
Komunikasi ini perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam
mensosialisasikan dan menyampaikan pesan politik berupa kebijakan agar
masyarakat mengetahui kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga leislatif dan
eksekutif. Sosialisasi juga dapat dilakukan melalui media massa. Dengan media
massa, penyampaian pesan politik akan lebih efektif dilakukan dalam
menyuarakan program kerja pemerintah agar mendapatkan dukungan dalam
ide-ide politik dan program pembangunan.
a. Membuat kebijakan
8. Pendidikan Politik
C. LATIHAN SOAL
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Sosialisasi dalam masyarakat?
2. Sebutkan dan jelaskan teori perekrutan politik?
3. Jelaskan bagaimana hubungan komunikasi politik dengan proses politik?
4. Bagaimanakah sistem komunikasi interpersonal antara pimpinan dan bawahan di
dalam sistem pemerintahan Indonesia?
5. Jelaskan fungsi input dan output politik dalam sistem politik Indonesia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Carlton Clymer dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Harun, Rochajat, Sumarno A.P. 2006. Komunikasi Politik sebagai Suatu Pengantar.
Bandung: Mandar Maju.
Hasibuan, Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara. Huntington,
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mohtar, Mas’oed dan Andrew Mac Colin. 2000. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rahmat, Jalaluddin. 2000. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: Rosda
Karya.
PERTEMUAN 9
BUDAYA POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan budaya politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian budaya politik
Budaya politik merupakan kebiasaan atau cara yang biasa dilakukan oleh
masyarakat yang mengandung nilai-nilai dan keyakinan. Definisi dari budaya
politik menurut pendapat dari Almond dan Verba, “budaya politik sebagai siap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan beragam bagiannya,
dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem itu. Dengan
kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus mampu mencapai tujuan
politik di antara masyarakat bangsa itu”. Kajian tema budaya politik diartikan
berbeda oleh para sarjana ilmu politik. Namun masih tetap memiliki pemahaman
yang hampir sama. Pengertian budaya politik menurut para ahli sebagai berikut:
a. Menurut G. Bingham Powell: “Budaya politik adalah pola tingkah laku individu
dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh anggota suatu
sistem politik”.
b. Menurut Roy Macridis: “budaya politik adalah tujuan bersama dan peraturan
yang harus diterima bersama”.
c. Menurut Samuel Beer: “budaya politik merupakan salah satu konsep dari empat
sistem penting dalam analisis politik menyangkut nilai nilai keyakinan, sikap dan
emosi tentang cara pemerintahan harus dilaksanakan dan hal-hal yang harus
dilakukan pemerintah”.
d. Menurut Robet Dahl: “kebudayaan politik sebagai salah satu sistem yang
menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik. Unsur
budaya politik yang penting menurut Dahl adalah: orientasi pemecahan
masalah, apakah pragmatis atau rasionalistis. Orientasi terhadap aksi bersama
apakah mereka bersifat kerja sama atau tidak (ko-operative atau non ko-
operative). Orientasi terhadap sistem politik apakah mereka setia atau tidak.
Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka dipercaya atau tidak”.
e. Menurut Rusadi Sumintapura: “budaya politik adalah pola tingkah laku individu
dan orientasinya terhadap kehidupan poltik yang dihayati oleh para anggota
suatu sistem politik”.
f. Menurut Sidney Verba: “budaya politik adalah sistem kepercayaan empirik,
simbol-simbol eksresif, dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi di mana
tindakan politik dilakukan”.
g. Menurut Alan R. Ball: “budaya politik adalah susunan yang terdiri atas sikap,
kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan
sistem politik dan isu-isu politik”.
h. Menurut Austin Ranney: “budaya politik adalah seperangkat pandangan
tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama,
sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik”.
i. Menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr: “budaya politik berisikan
sikap, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi,
juga kecenderungan dan pola pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian
tertentu dari populasi”.
a. Konsep non aktual dalam budaya politik meliputi orientasi nilai, sikap, nilai-nilai,
keyakinan, namun konsep ini ebih menekankan kepada perilaku
b. Tujuan dari pengenalan budaya politik dalam sistem politik Indonesia adalah
memperbincangkan mengenai kebiasaan-kebiasaan politik yang sering terjadi
di masyarakat
c. Deskripsi konseptual dari rancangan budaya politik merupakan gambaran
kebiasaan kebiasan tentang perilaku masyarakat dalam mempertahankan nilai-
nilai dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat,
d. Nilai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat merupakan
bentuk dari penerapan konsep dalam budaya politik berupa sikap-sikap yang
diperlihatkan dalam pola kehidupan sehari-hari.
pemerintah dan kebijakan publik dan lain-lain.Tindakan dan pola perilaku individu
sangat ditentukan olehpola orientasi umum (common orientation patterns) yang
tampak secara jelas sebagai cerminan budaya politik. Dengan demikian, cerminan
budaya politik merupakan alat pembentuk konsep (conceptual tool) yang sangat
berharga, yang dapat menghubungkan atau mempertemukan telaahan tentang
individu dalam lingkungan politik dengan sistem politik sebagai kesatuan”
Memahami pengertian budaya politik berarti kita menyadari adanya
penyesuaian kegiatan politik yang dilakukan oleh elit politik dan masyarakat selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Budaya politik memandang
manusia dalam bersikap sebagai individu yang memiliki kepentingan yang harus
dipenuhi tuntutannya oleh pemerintah, termasuk keterlibatan dari sikap
masyarakat dalam membentuk struktur politik dan kegiatan proses poltik di
pemerintahan. Bisa disimpulkan bahwa, kekuasaan dan wewenang dalam sistem
politik dipengaruhi oleh pola, sikap, dan kebiasaan masyarakat dan penguasa
dalam menjalankan sistem politik
2) Budaya politik kaula, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik
sosial maupun ekonominya), tetapi masih pasif. Anggota masyarakat
mempunyai minat perhatian, mungkin juga kesadaran terhadap sistem
sebagai keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran
masyarakat sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik boleh
dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif dan lemah.
Mereka menganggap dirinya tidak berdaya memengaruhi atau mengubah
sistem. Oleh karena itu, mereka menyerah pada segala kebijakan dan
keputusan para pemegang jabatan. Sikap masyarakat pada umumnya
menerima sistemitu, bersifat patuh (obedient), dan loyal. Akan tetapi, sikap
anggota masyarakat yang pasif bukan berarti secara potensial harus
diabaikan.
Ciri khas dari budaya politik abangan adalah tradisi selamatan, yang
berkembang pada kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an,
1) Golongan partisipan, yakni orang yang aktif dalam berpartisipasi aktif dalam
kegiatan politik, misalnya dengan mengikuti pemilihan umum, serta selalu
aktif dalam perkembangan-perkembangan politik di mesyarakat dengan
mencari informasi mengenai kebijakan-kebijakan publik.
2) Golongan budaya politik subjek, golongan ini hanya patuh akan kebijakan
yang ada, tidak memprotes kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tidak
juga ikut dalam partisipasi politik.
3) Golongan budaya politik parokial, orang-orang yang masuk dalam golongan
ini bersikap acuh tak acuh dengan keberadaan pemerintah.
b) partai nasionalis dan yang menganut asas politik sekuler seperti Partai
Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah Partai Komunis
Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya
pemerintahan yang stabil. Namun, kenyataannya partai-partai politik
tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang diharapkan.
Kondisi seperti ini sangat rentan sehingga menimbulkan banyak
penyimpangan terhadap Pancasila danUUD 1945”.
2) Masa orde baru
3) Masa reformasi
Upaya untuk merupah pola dalam kehidupan politik agar lebih terbuka,
transparan, kondusif, juga terarah di Indonesia pada masa reformasi,
dilakukan dengan cara merubah kekeliruan kekeliruan sistem politik masa
lalu. Lahirnya reformasi menjadi harapan yang besar bagi bangsa Indonesia
untuk memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang pernah terjasi sehingga
akan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai,
tentram, transparan dan bertanggung jawab.
Reformasi yang bergulir di Indonesia, memberikan banyak perubahan
dalam sistem ketatanegaraan, hukum, politik, perlindungan hak asasi
manusia, dan kegembiraan di masyarakat yang menginginkan perubahan.
Namun pada awal perkembangannya, kegembiraan ini ternoda oleh
perilaku-perilaku anarkis yang didominasi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, sehingga melahirkan konflik politik di masyarakat.
Lembaga lembaga politik yang sudah ada harus ikut bertanggung jawab
3. Sosialisasi politik
politik yang masih minim serta mengarah kepada sikap masa bodoh dan tidak
penting. Yang utama bagi mereka adalah, bagaimana mempertahankan hidup,
bagaimana cara agar kebutuhan mereka selalu terpenuihi, sehingga mereka
tidak peduli dengan keadaan perpolitikan yang terjadi di sekitarnya.
c. Tidak adanya pilihan lain dari masyarakat dalam berhubungan dengan negara,
selain patuh dan tunduk kepada peraturan dan kebijakan yang ada.
Penanaman nilai nilai dan keyakinan politik yang selama ini direalisasikan
merupakan kehendak dari penguasa. Pengalaman di masa lalu, setiap
masyarakat wajib mengikuti P4 sebagai pendidikan politik, pelajaran pelajaran
yang diberikan di sekolah mulai jenjang pedidikan dini dampai universitas selalu
di doktrin oleh keinginan-keinginan dari penguasa. Sedangkan pendidikan
politik yang didapatkan dari media lain sangat minimal mereka dapatkan.
Sehingga masyarakat tidak leluasa mendapatkan pengetahuan yang berkaitan
dengan politik selain dari pelajaran yang didapatkan dari pendidikan formal.
C. LATIHAN SOAL
1. Apa saja batasan konsep tentang budaya politik?
2. Jelaskan sikap yang yang ditunjukan dalam budaya politik?
3. Jelaskan Klasifikasi budaya politik menurut Gabriel Almond?
4. Jelaskan perkembangan budaya politik pada masa reformasi?
5. Apa hubungan sosialisasi politik dengan budaya politik?
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1971. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta:
LEKNAS.
Almond, Gabriel. 1965. Studi Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. .
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 2006.
Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
PERTEMUAN 10
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami
dan menjelaskan budaya politik di Indonesia.
B. URAIAN MATERI
1. Budaya politik di Indonesia
Almond dan Verba (1963: 13), mengatakan, budaya politik “merupakan sikap
individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu
terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik”. Sedangkan
menurut Henk Schulte Nordholt dan Gery van Klinken, (2007:46) “Budaya politik
tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem
politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang
bersifat cognitive, affective, dan evaluative. Orientasi yang bersifat kognitif
Menurut Claire Holt, Bene dict Anderson, dan James Siegel (2017:15)
dalam bukunya yang berjudul “Political Culture in Indonesia”, “Akhirnya,
masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, yaitu mampu
memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk
sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif. Sebenarnya sangat sulit untuk
melakukan identifikasi budaya politik Indonesia karena atributnya tidak jelas. Akan
tetapi, satuhal yang dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini
adalah adanya pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang
dominan pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap,
perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia”. Intinya dalam
buku ini membicarakan tentang konsep kekuasaan yang digunakan oleh
masyarakat jawa. Anderson berpendapat bahwa “kekuasaan masyarakat jawa itu
pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan
tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi”. Analisis yang dia dapatkan
menyatakan bahwa masyarakat jawa berbeda pemahamannya dengan
masyarakat di negara-negara barat.
Masyarakat di negara-negara barat pemahaman budaya politiknya
berbeda dengan yang dilakukan di masyarakat jawa. Perbedaan ini terletak pada
sumber kekuasaanya yang bersifat abstrakyang didapatkan dari berbagai macam
sumber seperti kedudukan, harta, fisik, kekayaan, dll. Seseorang akan tetap diakui
kekuasaannya selama sumber kekuasaan tersebut tetap dimiliki oleh penguasa,
dan masyarakat tidak mempersoalkannya.
Di Indonesia, sebagian besar dari masyarakatnya masih menggunakan
tingkatan-tingkatan untuk menunjukan kedudukan status sosial, begitupun dengan
yang berlaku disebagain masyarakat di Jawa. Mereka yang termasuk kedalam
status sosial yang lebih tinggi, akan lebih mudah untuk mendekati sumber
kekuasaan. Penguasa seolah-olah memegang kendali atas pembagian jabatan-
jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan. Pemegang kendali
kekuasaan didominasi golongan bangsawan atau dengan kata lain elit politik. Dan
kedudukan masyarakat biasa sebagai rakyat dibawah kendali penguasa. Hal ini
bisa terlihat dari cara mereka berbicara dengan ekspresi dan bahasa tubuh yang
berbeda dari masyarakat biasa. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Jawa
memiliki tingkatan tingkatan, mulai dari tutur kata yang halus sampai dengan yang
kasar. Menurut Kartodiharjo, Sartono,(1992:56) “Masyarakat Jawa, dan sebagian
besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi
sosial tidak didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih
pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang
memegang kekuasaan, yang juga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat
kebanyakan. Hal itu diperlihatkan dengan cara berekspresi melalui bahasa dan
ges ture atau pola memperlihatkan mimik/perilaku yang diwujudkan melalui
bahasa. Bahasa Jawa terdiri atas beberapa tingkatan, mulai dari kromo inggil,
kromo madya, sampai ngoko atau yang halus, setengah halus, dan kasar.
Kalangan rakyat kebanyakan harus membahasakan atau mengekspresikan
dirinya dalam bahasa yang halus kepada kalangan pemegang kekuasaan.
Sebaliknya, kalangan pemegang kekuasaan dapat menggunakan bahasa yang
kasar kepada rakyat kebanyakan”.
Ungkapan istilah wong gede dan wong cilik antara penguasa dan
masyarakat kecil menjadi istilah yang biasa digunakan di Jawa. Kartodiharjo,
Sartono,(1992:57) mengatakan bahwa “Pemilahan antara penguasa dan rakyat
menjadi tegas, yang kemudian diungkapkan dengan istilah wong gedhe dan wong
cilik. Implikasi dari pola pemilahan seperti ini adalah kalangan birokrat sering
menampakkan diri dengan self-image atau citra-diri yang bersifat benevolent, yaitu
dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong
atau guru/pendidik bagi rakyatnya. Kalangan penguasa harus menampakkan diri
sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung dari seluruh rakyatnya.
Akan tetapi, sebaliknya, kalangan penguasa memiliki persepsi yang merendahkan
rakyatnya. Karena para pamong sudah sangat baik, pemurah dan pelindung,
sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara”.
Namun dalam pemerintahan, citra diri seperti itu menimbulkan dampak
negatif. Hal dikarenakan orang-orang yang menduduki posisi pemerintahan pada
level provinsi dan di ibu kota negara terdiri dari elit-elit politik dari berbagai macam
kalangan suku, budaya, agama dan ras. Elit-elit ini menduduki posisi di DPR.
Menurut Prihatmoko, (2005:36) “Ada implikasi negatif dari citra-diri seperti itu
dalam kebijaksanaan publik. Kebijaksanaan publik merupakan domain atau
kompetensi sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta atau di ibukota provinsi.
Kalangan yang membentuk semua agenda publik, juga yang memformulasikan
kebijaksanaan publik adalah pemerintah, kemudian disesuaikan dan disahkan
oleh DPR. Rakyat mengalami proses alienasi, bahkan tersisihkan dari proses
politik. Tidak ada diskusi publik, mengapa kebijaksanaan itu harus ditempuh?
Apakah memang perlu? Akan tetapi, ketika kebijaksanaan publik itu sampai pada
kemudian menjadi client yang sesungguhnya. Kemudian, para menteri itu juga
menjadi middleman atau brooker dan membentuk client sendiri dengan para
Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan demikian
seterusnya, sampai ketingkat birokrasi dengan eselon yang lebih rendah. Pada
masa pemerintahan Orde Baru, kita mengenal pola hubungan dientilistic seperti
ini. Misalnya, pada 1970-an, Ali Moertopo dikenal sangat dekat dengan Presiden
Soeharto sehingga ia dikenal pula sebagai salah seorang middleman yang
memiliki sejumlah client, antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daud
Yusuf. Ali Moertopo juga menjadi patron politik untuk mereka yang berkecimpung
dalam Golongan Karya. Demikian pula yang terjadi dengan Sudharmono, yang
kemudian menjadi Wakil Presiden. Ia dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat
dengan Presiden Soeharto selama tahun 1980-an, bersama-sama denganJ
enderal Benny Moerdani. Kemudian, keduanya menjadi middlemandan memiliki
sejumlah client pula. Kemudian, pada 1990-an, muncul B.J. Habibie sebagai figur
yang memiliki akses yang sangat besar kepada presi den. Ia juga berfungsi
sebagai middleman untuk beberapa orang menteri yang dapat dikategorikan
sebagai client Habibie”.
Menurut Sutherland (1979: 45). “Di kalangan partai politik juga ditemukan
gejala yang sama.Seorang gubernur yang menjadi Ketua Dewan Pertimbangan
Golongan Karya dapat menjadi patron bagi sejumlah politisi, kemudian menjadi
pengurus Golkar, dan akhirnya menjadi anggota DPRD Tingkat I. Demikian pula,
hubungan antara Bupati dengan pengurus Golkar Tingkat II, yang kemudian juga
menjadi anggota DPRD Tingkat II. Di kalangan partai politik yang lain (PPP
danPDI), pola hubungan seperti ini sangat meluas. Buya Ismail Hasan Metareum
yang menjadi Ketua Umum DPP PPP dikelilingi oleh orang-orang yang sangat
menggantungkan diri kepadanya untuk menjadi Pengurus DPP PPP, kemudian
menjadi anggota DPR/MPR. Demikian juga antara penguasa dan masyarakat
pengusaha. Kalangan pengusaha, terutama nonpribumi, sangat memahami cara
meladeni kalangan pejabat pemerintah. Tidak jarang mereka membentuk dirinya
sebagai client untuk memperoleh imbalan berupa kemudahan dalam berusaha,
juga kemudahan dalam tender atas proyek pemerintah. Sebagai imbalannya,
mereka memberikan dukungan kepada kalangan pejabat, berupa tiket perjalanan,
dana untuk kepentingan kegiatan pejabat, dana pemenangan untuk dipilih
kembali, dana untuk kepentingan kampanye Golongan Karya, dan sebagainya.
Gejala pola hubungan seperti ini bukan merupakan sesuatu yang baru di Indonesia
karena sebenarnya sudah dikembangkan sejak zaman kolonial”.
Pendapat dari Sutherland (1979:46), “munculnya sejumlah elite nasional
pada masa kolonial merupakan hasil daripola patronage yang dikembang kan oleh
kaum penjajah terhadap elitenasional.It is true that most of the earliest progressive
nativeleaders were formed by a well-established tie: the link between
Europeanpatron and keen priyayi client, munculnya sejumlah keluarga priyayi dari
kalangan Kraton Yogyakarta, sejumlah bupati dari Rembang dan Madiun,
merupakan hasil dari pola hubungan clientilistic tersebut. Sebelum memasuki
dunia pamong praja, mereka biasanya disekolahkan ke negeri Belanda. Untuk itu,
diperlukan dukung an dari orang-orang Belanda. Dalam waktu yang dianggap
cukup, mereka pulang kembali ke Jawa dan menjadi penguasa di daerah asalnya.
Kalangan priyayi yang memasuki dunia ke-pamongpraja-an, misalnya, mereka
suka kemewahan dan jika mengadakan pesta, mereka menyelenggarakannya
selama berhari-hari dengan biaya yang sangat tinggi, sekalipun uang mereka tidak
terlampau banyak. Untuk itu, korupsi merupakan satu-satunya jalan. Hanya,
pemerintah kolonial menutup mata atas persoalan tersebut. Begitu hausnya akan
uang, tidak jarang seorang penguasa lokal membuat kalangan pegawainya jatuh
miskin karena uang mereka dimakan oleh si penguasa”.
Menurut Harold Crouch (1979:76) “Salah satu kecenderungan yang dapat
kita amati dalam perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan munculnya
budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik. Konsep ini masih relevan untuk
konteks kehidupan politik Indonesia sekarang ini. Dikatakan sebagai neo-
patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan
rasionalistik, seperti birokrasi, tetapi juga memperlihatkan atribut yang ber sifat
patrimonialistik”.
Max Weber(1968:54) “Konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh
Max Weber(1968) cukup relevan jika dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru.
Sebuah negara disebut sebagai negara yang patrimoni alistik manakala Practically
everythingdepends explicitly upon the personal considerations: upon the
attitudetoward the concrete ap plicant end his concrete request, and upon
purelypersonal connec tions, favors, promises, and privileges. Dalam negara yang
patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada di
bawah kontrol langsung pimpinan negara, yang memersepsikan segala
sesuatunya”.
Sifat pragmatisme yang dilakukan oleh partai politik di masa reformasi yakni
berorientasi dalam menduduki kursi kekuasaan di pemerintah. Contohnya seperti
dibawah ini:
atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota
DPR”. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa partai politik atau koalisi partai dapat
mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
d. Koalisai partai gabungan meloloskan salah satu anggota menjadi ketua dewan
legslatif, sedangkan ketua tersebut dapat diusung oleh koalisi partai politik.
e. Dukungan dari partai politik kepada calon presiden dan wakilnya, padahal
sebelumnya partai politik tersebut jelas-jelas menolak. Hal ini dilkukan oleh
partai politik karena menginginkan salah satu kadernya dipilih untuk menduduki
posisi menteri oleh presiden yang didukungnya. Jadi walaupun tidak ada yang
menjadi presiden, setidaknya menduduki posisi menteri.
Selain partai yang bergabung dalam koalisi di pemerintahan, ada juga partai
yang tergabung dalam koalisi sebagai oposisi di pemerintahan. Peran mereka ini
adalah mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah agar
pemerintah mau mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, apakah
sesuai dengan kepentingan masyarakat luas ataukah hanya menguntungkan
kelompok tertentu saja. Selain oposisi dan pendukung pemerintahan, ada juga
posisi partai penengah. Kedudukan partai ini dipemerintahan adalah sebagai
penyeimbang.
Menjadi partai yang bergabung dengan koalisi dipemerintahan memberikan
keuntungan tersendiri, yakni diberikannnya jabatan-jabatan tertentu yang
diberikan kepada kader partai oleh eksekutif. Hal ini dikarenakan koalisi ini
dianggap mempunyai ideologi dan tujuan yang sama dalam mendukung kebijakan
pemerintah dalam memajukan bangsa dan negara, beda halnya dengan oposisi
yang selalu mengkritik dan menolak kebijakan pemerintah, dianggap tidak memiliki
pemikiran yang sejalan, maka dtidak diberikan jabatan atau posisi tertentu
dipemerintahan.
Kleden mengatakan bahwa: “politik mikroversus politik makro. Dalam hal ini,
politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro dibandingkan
dengan politik makro. Politik makro berkenaan dengan politik sebagai tempat
terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial (ex change ofsocial forces),
dan yang berperan besar adalah agregat-agregat politik seperti negara,
masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civilsociety, pasar, modal, peran militer,
dan kekuatan internasional. Sementara itu, politik mikro lebih pada hubungan
antara para aktor politik, khususnya yang menyangkut persoalan sirkulasi elite
politik yang kembali berhubungan dengan patronase politik, bentuk rekutmen,
permainan money politics, dan kedekatan tokoh-tokoh politik. Jika politik makro
berhubungan dengan bergesernya titik gravitasi politik karena adanya perubahan
konfigurasi struktural, politik mikro, menurut Kleden, terbatas pada hubungan
antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik
(exchange of political interest)”.
Karena adanya kepentingan-kepentingan dari partai, mereka rela bergabung
di pemerintahan, yang pada awal mulanya lawan politik menjadi teman, ini
dilakukan untuk memobilisasi sumber -sumber kehidupan partai agar tetap tegak
berdiri, walaupun pada pulanya ini dianggap kejanggalan dalam politik, namun
berdalih demi kepentingan masyarakat walaupun sebetulnya demi kepentingan
kelompoknya.
Berikutnya menurut Kleden, “reformasi menyangkut kepentingan negara vis
avis kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya, sukar disanggah bahwa
realpolitik ini lebih berorientasi pada kepentingan negara (state heavy) dan belum
bergeser ke arah kepentingan masyarakat(society oriented)”.
Dikatakan oleh Kleden “reformasi 1998 lebih merupakan reformasisosial-
politik dan reformasi sosial budaya, dan bukan merupakan reformasi dalam bidang
ekonomi. Meskipun demikian, perubahan pada bidang sosial-politik dan sosial-
budaya pun masih bertumpu pada bidang ekspresi saja dan belum banyak
menyangkut perubahan pada sistem dan strukturnya. dalam budaya politik,
orientasi kita masih paternalistis. Pemimpin masih diandaikan sebagai panutan,
tetapi tidak dipersoalkan bagaimana membuat pemimpin menjadi panutan atau
sekurang-kurangnya menjadi figur yang tidak terlalu memalukan dan tidak terlalu
parah dalam kinerjanya”.
Otonomi daerah juga menjadi salah satu agenda reformasi di tahun 1998.
Dikatakan oleh Kleden “otonomi daerah yang diberlakukan selama ini lebih
memberikan otonomi dalam konteks pemerintahan dibandingkan dengan
memberikan otonomi masyarakat dalam pengertian yang sesungguhnya. Dengan
kata lain, perubahan yang diakibatkan oleh implementasi otonomi bukan pada
desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi membuat pemerintahan daerah
kuat, tetapi masyarakat tetap lemah ketika berhadapan dengan peme rintahan
lokal. Dalam kaitan ini,perlu dipertegas bahwa tujuan desentralisasi politik adalah
memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warganegara atau para wakil
yang duduk di lembaga perwakilan dalam proses pembuatan keputusan publik.
Biasanya desentralisasi politik sering dikaitkan dengan corak sistem politik yang
pluralistik. Jika konsep desentralisasi ini dihubungkan dengan proses
demokratisasi, desentralisasi sebenarnya merupakan strategi untuk
mendemokratisasikan sistem politik, dan sekaligus menyelaraskan pencapaian
pembangunan yang berkelanjutan sebagai salah satuisu yang selalu hadir dalam
praktik kebijakan publik, dan apabila konsep desentralisasi dan otonomi ini
dianalisis secara lebih bermakna dengan tidak hanya membatasinya pada konteks
hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi
pada konteks yang lebih luas, yaitu relasi negara dan masyarakat, tampak bahwa
hampir semua tujuan desentralisasi dan otonomi daerah bermuara pada
pengaturan mekanisme hubungan antara negara (state) dan masyarakat (society).
Dengan perkataan lain,dilihat dari perspektif ini, tujuan utama kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah membuka akses yang lebih besar
kepada ma syarakat sipil (civil society) untuk berpartisipasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan di daerah maupun dalam pelaksanaannya”.
Dapat dikatakan bahwa, pada masa reformasi tidak memberikan dampak
perubahan dalam budaya politik, karena belum diagendakan menjadi sebuah
kepentingan yang mendesak dilakukan perubahan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2001:23) “adopsi sistem politik hanya
menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi fungsi olitiknya (yang biasanya
diwujudkan dalam konstitusi), bukan pada semangat budaya yang melingkupi
pendirian sistem politik tersebut. Padahal, konstitusi bukanlah sekadar preskripsi
preskripsi, apalagi hanya dokumen, melainkan suatu komitmen, keberpihakan,
dan makna-makna yang hidup dalam dan sepanjang perjalanan sejarah. Sifat
kesejarahan inilah yang, mengakibatkan sulitnya demokrasi tidak mudah tumbuh
di negara-negara non-Barat. Di negara-negara ini, terutama yang berasal dari
bekas jajahan Barat, memang telah bersedia menata konstitusi ketatanegaraan
mereka berdasarkan tradisi konstitusional hukum Barat, sebagaimana telah
mereka pelajari dan kenal. Namun, mereka tidak berhasil dalam mewarisi dan
menerima tanpa reserve ide dasar konstitusionalisme yang pada dasarnya
menjadi bagian dari tradisi sejarah pemikiran Barat, terutama di bidang supremasi
hukum, kebebasan, dan keterbatasan kekuasaan negara. Dalam hal ini, yang
terjadi bukanlah receptio incomkxus, melainkan penerimaan yang terpenggal.
Aturan-aturan konstitusional dan tata pendokumentasiannya diketahui, tetapiide
dasar konstitusionalismenya terlepas, luput, dan tidak segera tertangkap tangan”.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan urgensi kajian dari budaya politik Indonesia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, Miriam, Masalah kenegaraan, Jakarta:Gramedia, 1975
George Ritzer, Modern Sociological Theory, New York: The McGraw-Hill Companies,
Inc., 1996.
Henk Schulte Nordholt dan Gery van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta : YOI
& KITLV, 2007.
Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia. Suatu Model Pengantar, PT. Sinar
Baru Algensindo, Bandung, cet, kedelapan, 2002.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Repormasi Analisis CSIS.
Mahfud, MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999
Prihatmoko, Joko J., Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan
Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2005.
Rais, M. Amien, Pengantar dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta,
1986,
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
PERTEMUAN 11
PARTISIPASI POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan partisipasi politik.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian partisipasi politik
a. Kegiatan politik yang dilakukan oleh individu sebagai warganegara yang sudah
mempunyai hak pilih baik secara langsung atau tidak langsung dalam
menyuarakan aspirasinya dalam memilih pemimpinnya
b. Tujuan dari kegiatan politk adalah agar warga negara mampu untuk ikut andil
dalam memutuskan suatu keputusan yang akan diambil oleh pemerintah,
caranya adalah melalui penyampaian asprasi dalam bantuk partisipasi dalam
pemilihan umum.
c. Bukan merupakan kegiatan yang hanya berpusat pada sikap atau orientasi tapi
menyangkut kegiatan – kegiatan yang dapat diamati. Objek dari partisipasi
politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh subjek politik.
d. Kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan untuk memberikan pengaruh
terhadap pengambilan keputusan pemerintah tanpa peduli akibat dari itu
semua.
e. Dengan Partisipasi politik diharapkan warga negara tidak pasif dalam
kehidupan politik.
f. Kegiatan partisipasi dilakukan melalui prosedur yang wajar dilakukan, dan
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
a. Sturktur kelas sosial yang semakin banyak berubah, mengenai siapa saja yang
berhak ikut dalam partisipasi politik menyebabkan perubahan dalam pola
partisipasi politik.
b. Segala bidang dalam kehidupan mengalami moderenisai mengakibatkan
semakin banyak masyarakat yang menutut keikutsertaan dalam kekuasaan
politik.
c. Penyebaran ide mengenai pentingnya menyampaikan aspirasi dalam
demokrasi partisipasi yang tersebar ke penjuru negara – negara baru sebelum
adanya pengaruh dari kemajuan global dan pemasaran yang cukup matang,
hal tersebut disebabkan oleh adanya peran golongan orang – orang
berpendidikan dan interaksi yang dilakukan melalui kemajuan IPTEK.
d. Jangkauan campur tangan pemerintah yang semakin luas membuat adanya
keinginan masyarakat untuk menyampaikan tuntuannya terhadap pembuatan
keputusan politik.
e. Permasalahan atau konflik yang terjadi antar kelompok pemimpin politik. untuk
mencari simpati masyarakat, yang dilakukan antara orrang kelas menengah
melawan kelas aristrokrat yang akan mengambil perhatian kaum pekerja biasa
atau rakyat biasa dengan begitu sehingga diharapkan mampu memperluas hak
pilih masyarakyat.
hal interaksi dalam pembicaraan yang dilakukan harus sesuai dengan perentasi
dalam melakukan penyesuaian tertentu mengenai tujuan pengguna sistem
secara keseluruhan. Masyarakat sebagai warganegara yang mempunyai
pilihan, adanya pembedaam kualitas untuk meningkatkan kehidupan dalam
bernegara yang dapat dijadikan patokan adalah dengan melihat peringkat
negara maju. Dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik bertujuan untuk
mentapkan atau memilih komunikator atau individu politik utama yang
mempunyai kemampuan diantarannya dalam :
a. Partisipasi horizontal
Kemudian ciri – ciri yang berbeda akan di temukan jika kita merujuk pada
model Borjuis yaitu :
Selanjutnya jika kita memilih model otokrasi maka yang dilakukan adalah
memotivasi untuk mengarahkan pemerataan sosial ekonomi demi
mendapatkan dukungan kalnagan bawah hal tersebut merupakan upaya
pemusatan kekuasaan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahap selanjutnya kita dapat melihat ciri – ciri yang berbeda pula
dari model yang bergeser antara teknokrasi dengan model populis yaitu :
1) Prilaku gerakan tegas terjadi akibat tingkat kesadaran politik yang dimiliki
tinggi namun rasa percaya kepada pemerintah lemah.
2) Kesadaran politik lemah atau kurang tetapi memiliki kepercayan yang tinggi
terhadap pemerintah sehingga menimbulkan partisipasi yang sangat pasif
dimana hanya bergantung pada keputusan pemerintah dan masyarakat
hanya mengikutinya.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan pengertian pengertian partisipasi politik menurut Fasli Djalal dan Dedi
Supriadi?
2. Jelaskan maksud dari ruang partisipasi politik dalam sistem politik?
3. Jelaskan kriteria dari pengertian partisipasi politik?
4. Berikan contoh dari bentuk kegiatan partisipasi nonfisik?
5. Apakah tujuan dan pilihan partisipasi politik dalam bentuk pembangunan?
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1971. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta:
LEKNAS.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Gaffar, Afan. 1997. Menampung Partisipasi Politik Rakyat. JSP. Volume 1. Nomor 1.
. 2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 2006. Sistem
Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Mohtar, Mas’oed dan Andrew Mac Colin. 2000. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Carlton Clymer dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Young, Oran R. 1984. Sistem Ilmu Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta:
Bina Aksara
PERTEMUAN 12
PROSES POLITIK INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa mampu memahami
dan menjelaskan proses politik indonesia.
B. URAIAN MATERI
1. Masa Demokrasi-Liberal
a. Penyaluran tuntutan
b. Pemeliharaan nilai
c. Kapabilitas
Sumber potensi kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia belum dapat
digunakan secara maksimal oleh rakyat Indonesia, namun para elit politik
mengambil kebijakan dengan membuat tindakan-tindakan untuk menggali dan
memanfaatkan sumber daya alam ini agar bisa dimanfatkan sebesar-besarnya
demi kepentingan masyarakat luas. Kapabilitas ini dilakukan untuk
meningkatkan perekonomian dimasyarakat, sehingga konsep kemakmuran
akan nampak jelas pada masa pemerintahan ini.
d. Intergrasi vertikal
Hubungan integrasi antara elit politik pada masa demokrasi ini cenderung
atas bawah, dalam artian, elit politik yang membuat kebijakan masayarakat
harus patuh pada kebijakan yg dibuat oleh penguasa.
e. Integrasi horizontal
Hubungan ini terjadi antara sesama elit politik yang kurang harmonis.
Disintegrasi sering terjadi diantara sesama elit politik. Pada masa demokrasi
ini, bongkar pasang kabinet sering terjadi, begitupun dengan kepemimpinan
yang selalu dipegang oleh orang-orang tertentu, pertentangan antar elit ini
menimbulkan krisis politik.
f. Gaya politik
Gaya politik pada masa ini cenderung bersifat ideologis, kaku dan bersifat
refomistik karena menitik beratkan pada perbedaan ideologi partai. Adanya
penerapan multi partai mengakibatkan adanya kelompok-kelompok tertentu
yang saling bertentangan dalam lembaga pemerintahan, sehingga
dkhawatirkan menimbulkan pula perpecahan pada masyarakat yang
dipimpinnya.
g. Kepemimpinan
h. Partisipasi politik
1) Massa
2) Militer
i. Tingkat stabiitas
a. Penyaluran tuntutan
b. Pemeliharaan nilai
c. Kapabilitas
Sumber daya manusia dan sumber daya alam potensial yang dimiliki oleh
Indonesia pada masa demokrasi ini belum di gunakan secara maksimal, hal ini
dikarenakan teknologi yang ada pada masa ini belum memadai dalam menggali
sumber poltensi alamnya. Namun dalam mengelola hasil alam yang
didapatkan, pemerintah melakukannya dengan pemertaan distribusi melalui
peraturan-peraturan yang dibuat mengarah pada peningkatan perekonomian
bebas, sehingga pemerataan ekonomi pada masa ini diarahkan kepada
pemerataan pendapatan agar masyarakat Indonesia mendapatkan hidup yang
lebih layak.
d. Integrasi vertikal
Hubungan integrasi yang terjadi pada masa ini didasarkan pada pola
hubungan antara atasan dan bawahan yang diwakili oleh elit politik dan
masyarakat.
e. Integrasi horizontal
Disintegrasi lebih sering terjadi pada masa ini karena hubungan antara
elit politik dengan masyarakat kurang terjalin dengan baik. Pada masa ini, elit
politik lebih memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama elit yang
f. Gaya politik
Gaya politik yang dilakukan oleh para elit politik pada masa pemerintahan
demokrasi ini cenderung lebih bersifat ideologis. Ideologi yang digunakan
cenderung rigid dan kaku karena dalam menerapkan kepemimpinannya tidak
mengenal kata kompromi atau mau menerima masukan dari pihak lain.
kekakuan gaya politik yang digunkaan ini sering kali menimbulkan ketegangan
dan perpecahan di masyarakat karena elit-elit politik yang tergabung dalam
partai politik memiliki ideologi yang berbeda. Pandangan berbeda ideologi ini
seringkali dikemukakan dalam sidang konstituante untuk memberikan
pandangan dan penentangan terhadap kelompok lain yang berbeda
pandangan politik.
g. Kepemimpinan
Partisipasi massa yang sangat tinggi pada masa ini diasumsikan oleh
sebagian masyarakat bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesadaran
yang tinggi dalam partisipasi politik. Hal ini karena terlihat dari semakin
sadarnya masyarakat dalam menggunakan haknya sebagai warganegara
untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam menyuarakan aspirasinya
kepada pemerintah. Namun penerapan aliran yang salah mengakibatkan
terjadinya percobaan pemberontakan dan percobaan kudeta kepada
pemerintah pada masa itu.
2) Keterlibatan militer
3) Stabilitas
3. Demokrasi - Pancasila
a. Penyaluran tuntutan
b. Pemeliharaan nilai
c. Kapabilitas
Pemerintah memegang kendali atas hajat hidup orang banyak, ini berarti
sumber kekayaan alam Indonesia sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan
rakyat. Jadi dalam mengendalikan ekonomi masyarakat, pemerintah
memegang peranan yang besar. Dorongan memajukan ekonomi masyarakat
merupakan kebutuhan dan tuntutan yang pada masa demokrasi sebelumnya
tidak terpenuhi. Barang-barang yang sebelumnya langka di pasaran mulai
dipenuhi oleh pemerintah melalui swasembada pangan dengan meningkatkan
sektor pertanian. Barang-barang yang tidak mampudipenuhi oleh produksi
dalam negeri diimpor oleh pemerintah, begitupun peningkatan ekspor barang
ke luar negeri. Untuk mengingkatkan perekonomian masyarakat melalui
perdagangan, pemerintah memberikan bantuan modal dengan memfasilitasi
pinjaman dari dalam dan luar negeri. Neraca perdagangan meningkat, baik di
dalam negeri maupun meningkatnya perdagangan luar negeri. Eksport barang
lebih tinggi dibandingan dengan import barang. Kemajuan perekonomian ini
akibat dari sistem politik yang digunakan mengalami kemajuan disesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan kebijakan yang
dibuat bersifat reseptif dan ditujukan demi untuk perbaikan perekonomian dan
taraf hidup masyarakat, disamping itu pembangunan disegala bidang mulai
digalakan. Walaupun demikian, tuntutan masyarakat disalurkan melalui elit
politik agar mendapatkan tanggapan dan respon yang baik. Pada masa ini,
kapabilitas masyarakat Indonesia berjalan dengan baik dengan ditunjukan
semakin meningkatnya taraf perekonomian dan kehidupan masyarakat
Indonesia.
d. Integrasi vertikal
Hubungan antara elit politik dan masyarakat pada masa ini berlangsung
dengan seimbang, hal ini dibutuhkan karena pemerintah Indonesia
membutuhkan masukan-masukan dan gagasan serta ide dari masyarakat
dalam meningkatkan kualitas pembangunan bangsa.
e. Integrasi horozontal
f. Gaya politik
g. Kepemimpinan
h. Partisipasi politik
1) Masa
dwi fungsi ABRI. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan dari
pemerintah kepada ABRI dan veteran dalam mengelola pemerintahan
dengan menggunakan strategi-strategi militer untuk digunakan dalam
keberhasilan pemerintah membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih
baik. Keterlibatan militer dan veteran ada dalam setiap lembaga-lembaga
negara, baik dipusat maupun di daerah.
i. Aparatur negara
Peran aparatur pemerintahan (pegawai negeri sipil) pada masa ini adalah
melayani masyarakat sebagai bagian dari tugas negara. Mereka loyal kepeda
negara, karena diangkat dan digaji oleh negara dengan menggunakan pajak
yang dibayarkan oleh masyarakat. Kinerja pegawai negeri ini harus mengacu
kepada standar pemerintah, dalam hal politik juga mereka harus memilih partai
tertentu sebagai partai terbesar yang menguasai dipemerintahan, pada masa
ini juga pegawai aparatur pemerintahan diperkenankan berpolitik, namun harus
tergabung dalam partai mayoritas di pemerintahan.
j. Stabilitas
Tingkat keamanan pada masa ini dapat dikatakan cukup stabil, hal ini
dikarenakan pemerintah melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan
cara membujuk untuk meyakinkan masyarakat dalam berperan serta ikut
menjaga dan meningkatkan keamanan yang dinamis. Dengan kondisi
keamanan yang stabil, maka diharapkan pertumbuhan perekonomian akan
meningkat, bia perekonomian meningkat, maka akan berpengaruh pada
kestabilan pertumbuhan politik dan sosial, serta meningkatnya rasa keamanan.
Begitu pula dengan keadilan dan kemakmuran di masyarakat.
Stabilnya keamanan negara dapat dilihat dari kemakmuran dan
kehidupan masyarakatnya, sehingga akan timbul perubahan-perubakan kultur
dan meningkatnya kehidupan sosial. Perkembangan nilai-nilai sosial budaya
dalam bidang meterial akan menjadikan masyarakat menjadi lebih modern,
misalnya mau menerima perkembangan teknologi, memiliki alat komuniasi
untuk menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi masyarakat, baik itu
berupa televisi, radio, maupun surat kabar cetak maupun ol line. Hal ini supaya
masyarakat semakin berkembang pemikiran dan pengetahuannnya. Dengan
keamanan yang stabil maka kualitas hidup bangsa Indonesia pun akan semakin
maju dan terjamin.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan pengertian pengertian partisipasi politik menurut Fasli Djalal dan Dedi
Supriadi?
2. Jelaskan maksud dari ruang partisipasi politik dalam sistem politik?
3. Jelaskan kriteria dari pengertian partisipasi politik?
4. Berikan contoh dari bentuk kegiatan partisipasi nonfisik?
5. Apakah tujuan dan pilihan partisipasi politik dalam bentuk pembangunan?
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1971. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta:
LEKNAS.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Gaffar, Afan. 1997. Menampung Partisipasi Politik Rakyat. JSP. Volume 1. Nomor 1.
. 2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 2006. Sistem
Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Mohtar, Mas’oed dan Andrew Mac Colin. 2000. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Carlton Clymer dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Young, Oran R. 1984. Sistem Ilmu Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta:
Bina Aksara
PERTEMUAN 13
BADAN LEGISLATIF
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi pada pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan Lembaga Legislatif.
B. URAIAN MATERI
1. Badan legislatif
b. Susunan keanggotaan
b) Hak angket
d) Hak bertanya
a. Volksraad 1918-1942
e. Dewan perwakilan rakyat (ini dihasilkan dari proses pemilihan umum pada
tahun 1955) 1956-1959
Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, oleh karena itu
Indonesia tidak secara khusus melaksanakan pemilihan anggota MPR. Karena
anggota MPR merupakan gabungan kedua lembaga tersebut. keputusan MPR
dilakukan dengan mengambil suara terbanyak, dan melaksanakan sidang paling
sedikit satu kali dalam waktu lima tahun.
Di Indonesia lembaga Majelis Permusyawaratan rakyat terbentuk dengan
arah bikameral (dua kamar), yakni DPR dan DPD, tetapi setelah dilakukan
amandemen terhadap UUD 1945, MPR diatur menjadi;
Menurut pasal 2 ayat 1, “anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD”,
dalam pasal 8 ayat 2, menyebutkan “dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden,
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari MPR bersidang untuk memilih wakil
presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan Presiden”. Dalam pasal 8 ayat (3)
menyebutkan, “apabila dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil
presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 (tiga puluh) hari
MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 (dua) pasangan
calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilu sebelumnya”. Dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A dan
Pasal 7B, “MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD
sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.Dengan
argumentasi-argumentasi ini, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang
berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan
sistem perwakilan tiga kamar (trikameralisme)”.
Semakin sempitnya kewenangan MPR, menurut Mawardi Rauf mengatakan
“sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak
perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-
persidangan yang dilakukan DPR dan DPD”. Selanjutnya Rauf menyatakan “MPR
sesungguhnya hanya punya tiga fungsi, yaitu:
Ketiga fungsi yang dimiliki oleh MPR diatas bukanlah merupakan fungsi
utama yang dimiliki oleh MPR, namun hanya sekedar formalitas saja. Hal ini
dikarenakan MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memilih presiden dan
wakil presiden, namun sekarang presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat
secara langsung melalui mekanisme pemilihan umum.
1) Membubarkan konstituante,
2) Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara
Indonesia,
3) Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sementata dan Dewan
Pertimbangan Agung sementara, serta membatalkan pemberlakuan UUD
sementara 1950”.
ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola
negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada
kualitas anggota dewan yang dimiliki”.
Dalam skema sistem politik menurut David Easton (1998:19), “DPR
bekedudukan hampir di setiap lini:
5) Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan
dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif
DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR
dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
6) Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun
menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk
menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
7) Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan
dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU
tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat
secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan
sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah
materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan
8) Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum
mempertimbangkan kondisi berikut :
1) hak interpelasi;
2) hak angket;
Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak setiap anggota DPR
untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang
sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
4) Hak memilih dan dipilih;
Hak memilih dan dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki
jabata tertentu pada alat kelengkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang
berlaku.
5) Hak membela diri;
Hak membela diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan
pembelaan diri dan atau memberi keterangan kepada Badan Kehormatan
DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
6) Hak imunitas;
Hak imunitas adalah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan atau pendapat yang
dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan Kode
Etik anggota dewan.
7) Hak protokoler;
Hak protokoler adalah hak setiap anggota DPR bersama Pimpinan DPR
sesuai ketentuan perundang-undangan.
8) Hak keuangan dan administratif.
Hak keuangan dan administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk
beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan, dan fasilitas lain yang
mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat”.
Selain punya hak, dalam UU No.22 tahun 2003 “anggota DPR juga punya
kewajiban yang harus dipenuhi selama masa jabatannya (5 tahun).
1) Mengamalkan Pancasila;
2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
3) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
Alat kelengkapan DPR ini bersifat tetap. Bamus sendiri dibentuk dalam
sidang paripurna pada masa pertama anggota DPR ditetapkan oleh KPU.
Dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya anggota Bamus ditetapkan
melalui sidang paripurna pertama keanggotan DPR dan jumlah Bamus
paling banyak yaitu 1/10 dari seluruh anggota DPR. Kemudian komposisi
3) Komisi-komisi di DPR
Melalui sidang paripurna, ditentukan susunan keanggotaan komisi di
DPR dalam menentukan jumlah anggota dalam fraksi agar seimbang dan
merata. Sama halnya dengan alat kelengkapan lain dalam komisi juga
ditetapkan pada masa permulaan tahun sidang paripurna di DPR. Setiap
anggota DPR diharuskan atau diwajibkan untuk menjadi anggota komisi
namun dikecualikan bagi kedua Ketua atau pimpinan MPR dan DPR
keduanya tidak diwajibkan menjadi anggota komisi. Komisi mempunyai
jumlah, ruang lingkup pekerjaan serta pasangan kerja komisi yang telah
diatur berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan oleh DPR namun tentu
penetapan atau keputusan DPR tersebut didasarkan atas pertimbangan
Institusi Pemerintah baik seperti instansi atau lembaga kementerian maupun
instansi non komenterian dan instansi sekretariat negara denagn
mempertimbangakan keefektipan dan efisiensi tugas dari DPR itu sendiri.
Dalam keterlibatannya membentuk undang-undang, komisi di DPR
harus mempersiapkan terlebih dahulu penyusunan dan pembahasan
rancangan undang-undang yang akan dilakukan pembahasan, termasuk
kewenangan-kewenangan komisi dalam menjalankan tugasnya di DPR.
5) Panitia Anggaran.
Sama halnya dengan alat kelengkapan sebelumnya, susunan dan
keanggotaan panitia anggaran ditetapkan oleh sidang DPR dalam paripurna
pada masa permulaan tahun sidang dengan mempertimbangkan jumlah
keanggotaan masing-masing fraksi.
Menurut pasal 110 UU No 17 tahun 2014, menyatakan bahwa “tugas
panitia anggaran DPR adalah sebagai berikut:
9) Panitia Khusus.
Susunan dan keanggotaan panitia khusus ditetapkan oleh sidang DPR
dalam paripurna pada masa permulaan tahun sidang dengan
mempertimbangkan jumlah keanggotaan masing-masing fraksi.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan hubungan lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan Indoensia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1971. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta:
LEKNAS.
Almond, Gabriel. 1965. Studi Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. .
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Jimli Ashidiqie, 1999, Dasar-dasar pemerintahan negara, Jakarta. Gramedia
Mas Agung. . 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bina Aksara. . 1994.
Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Buku Kita.
Young, Oran R. 1984. Sistem Ilmu Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta:
Bina Aksara.
PERTEMUAN 14
BADAN EKSEKUTIF
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami
dan menjelaskan Badan Eksekutif.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian Badan Eksekutif
seorang presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, namun untuk
di negara-negara yang masih menggunakan sistem pemerintahan parlementer,
badan eksekutif dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan, sedangkan kepala negara di pegang oleh raja.
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil, presiden
dibantu oleh menteri-menteri yang ditunjuk langsung oleh presiden untuk
melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan kapasitas dan keahlian dibidangnya
masing-masing. Begitupun di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan
parlementer, perdana menteri dibantu oleh menteri-mentrinya. Posisi raja dalam
peerintahan parlementer merupakan bagian dari badan eksekutif yang
kedudukannya tidak dapat diganggu gugat, dan sebagai simbol negara.
Pola sistem komunis yang digunakan oleh negara Uni Soviet, diikuti oleh
negara-negara lain yang menggunakan sistem ini. Fungsi badan eksekutif di
negara komunis terbagi dua, yakni:
Jumlah menteri yang diangat dalam presidum tertinggi dalam kabinet sekitar
25 sampai dengan 50 orang dan bertanggung jawab kepada presidium tertinggi,
dalam hal penyelenggaraan negara, kabinet memiliki kekuasaan dalam berbagai
aspek bidang kehidupan masyarakat, terutama menyangkut perekonomiannya.
Dalam prakteknya, peran kabinet sebagai legislator dalam negara komunis,
walaupun badan legislatif merupakan lembaga tertinggi.
Rancangan yang dibuat dan diajukan oleh kabinet di negara komunis, dibuat
sesuai dengan ideologinya agar tidak menyimpang dari aturan dan keputusan
yang sudah disepakati, serta mengikat bagi seluruh warga di negara tersebut.
dalam susunan kabinetnya, terdapat 17 orang menteri yang diberikan kewenangan
khusus untuk melaksanakan keputusan yang disepakati bersama dengan partai
komunis, kewenangan ini diantaranya adalah membatalkan keputusan yang
sudah disepakati bersama.
golongan mempunyai tugas yang berbeda-beda. Semuan menteri ini diangkat dan
diberhentikan oleh presiden, sedangkan kedudukan presiden adalah sebagai
mandataris MPR, dan bertanggung jawab kepada MPR. Undang-undang
mengatur kedudukan presiden selama lima tahun. Dalam membuat undang-
undang mengenai pernyataan perang, ataupun dalam membuat perjanjian
perdamaian, presiden memerlukan persetujuan dari DPR. Dalam keadaan darurat
presiden dapat membuat keputusan presiden untuk menggantikan undang-
undang, atau jika undang-undang yang dimaksud belum ada, namun negara
dihadapkan pada keadaan gawat sehingga diperlukan perundang-undangan
secepatnya. Keputusan presiden ini dapat dijadikan undang-undang apabila
sudah mendapatkan persetujuan dari DPR.
Presiden juga memegang kendali atas angkatan bersenjata di Indonesia.
Kedudukannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Namun
sayangnya, pada masa ini presiden tidak memiliki wakil untuk membantu tugas-
tugasnya jika presiden berhalangan menjalankan tugas.
Hal ini diatur dalam pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden juga
memiliki hak untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada yang diberikan oleh presiden. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk
mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dalam ayat 2 pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden
memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Amnesti adalah pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-
undang) yang memuat pencaabutan semua akibat pemidanaan dari suatu
perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik)
tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-
delik tersebut. Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan
putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang
bersalah melakukan delik”
Presiden juga mempunyai hak untuk memberikan gelar, tanda jasa,
maupun gelar kehormatan lainnya kepada seseorang yang dianggap berjasa
kepada negara dan pantas mendapatkannya.
Dalam menjalankan tugasnya ini presiden juga dibantu oleh dewan
pertimbangan presiden sebelum melaksanakan kebijakannya.
Hal ini diatur dalam pasal 15 UUD 1945 yang menyatakan “Gelar, tanda
jasa, dan tanda kehormatan lainnya juga diberikan Presiden kepada individu
maupun kelompok yang diatur dengan undang-undang. Dalam melakukan
tugasnya, Presiden dapat membentuk suatu dewan pertimbangan untuk
memberikan nasehat dan pertimbangan kepadanya, dan ini diatur dengan
undang-undang”.
Hal ini diatur dalam pasal 17 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “
presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh presiden, setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan, pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian
negara diatur dalam undang-undang”.
Menurut Hartas, Harsyudiono.(1997:2) “Di Indonesia kementrian dibagi
dalam tiga kategori, yakni koordinator kementrian, kementrian departemen dan
kementrian negara. Kementrian Koordinator bertugas membantu presiden
dalam suatu bidang tugas. Di Indonesia, menteri koordinator terdiri atas 3
bagian, yaitu : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
Menteri Koordinator bidang Perekonomian; Menteri Koordinator bidang
Kesejahteraan Rakyat. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan bertugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan
perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta mensinkronkan pelaksanaan
kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Fungsi yang ada padanya
adalah :
1) Sekretaris Negara,
2) Dalam Negeri
3) Luar Negeri,
4) Pertahanan,
5) Hukum dan HAM,
6) Keuangan,
7) Energi dan Sumber Daya Mineral,
8) Perindustrian,
9) Perdagangan,
10) Pertanian,
11) Kehutanan,
12) Perhubungan,
13) Kelautan dan Perikanan,
14) Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
15) Pekerjaan Umum,
16) Kesehatan,
17) Pendidikan Nasional,
18) Sosial,
19) Agama,
20) Kebudayaan dan Pariwisata,
21) Komunikasi dan Infomatika
1) Sekretaris Kabinet
2) Kejaksaan Agung
3) Tentara Nasional Republik Indonesia
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia
a. Semenjak kekuasaan presiden Soeharto jatuh, tidak ada lagi kekuasaan yang
terpusat untuk menentukan arah kebijakan. Kekuasaan-kekuasaan baru justru
muncul sehingga mampu menggeser kekuasaan seorang presiden. Perubahan
ini akan berdampak pada kekuasaan-kekuasaan berikutnya karena dapat
diturunkan kapan saja.
b. Lahirnya budaya politik baru yang mengarah pada liberalisme, sehingga
dikhawatirkan menimbulkan budaya politik liberalisme.
c. Semangat reformasi telah membuka mata masyarakat Indonesia dalam
memandang perlunya perubahan sistem politik, karena selama ini, banyak
terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan penguasa dalam menjalankan
sistem politik di Indonesia.
d. Terjadinya perkembangan yang signifikan terhadap proses check and balances
terhadap cabang-cabang kekuasaan.
e. Keinginan yang besar merubah sistem politik yang selama ini terjadi dilakukan
oleh para elit-elit politik untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945
agar sistem politik di Indonesia berjalan dengan sistematis.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan konsep pembagian kekuasaan menurut Montesquieu dan Jhon Locke?
2. Jelaskan tugas dan wewenang lembaga eksekutif dalam sistem pemerintahan
monarkhi/parlementer?
3. Ada dua macam badan eksekutif, yaitu yaitu menurut sistem parlementer dan
menurut sistem presidensiil. Jelaskan?
4. Jelaskan tugas dan wewenang lembaga eksekutif dalam sistem pemerintahan
Indonesia?
5. Sebutkan bentk-bentuk badan eksekutif di Indonesia?
D. DAFTAR PUSTAKA
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Hasibuan, Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara. Huntington,
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kusnardi, Moch dan Saragih R. Bintas. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
PERTEMUAN 15
BADAN YUDIKATIF
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami dan menjelaskan Badan Yudikatif.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian badan yudikatif
Di negara Inggris, sistem common law masih digunakan sampai saat ini,
karena selain mengacu kepada undang-undang, aturan yang digunakan masih
menggunakan yurisprudensi dalam memutuskan suatu permasalahan.
Yurisprudensi adalah keputusan hakin terdahulu dapat dijadikan acuan oleh
hakim dalam memutuskan perkara sejenis. Sehingga yurisprudensi ini sering
dikatakan sebagai hukum buatan hakim. Menurut C.F Strong (1969:45)
mengatakan bahwa “Sistem common law adalah sistem hukum yang tumbuh di
negara Inggris. Sistem ini berpedoman pada prinsip bahwa selain undang
undang yang dibuat oleh parlemen (statuta law), ada peraturan lainyang
merupakan common law (keputusan terdahulu yang dibuat oleh para hakim).
Keputusan ini disebut juga dengan case law atau judge made law (hukum
buatan hakim) didasarkan atas precedent, yaitu keputusan hakim terdahulu
mengikat para hakim berikutnya dalam perkara yang serupa”. Menurut A.V
Dicey “kekuasaan hakim pada hakikatnya bersifat legislatif”. Sedangkan
seorang hakim dari Amerika, O.W. Kolmes mengatakan, “Hakim-hakim
bertindak sebagai pembuat peraturan hukum dan memang seharusnya
demikian (judges do and must legislative) .Dalam case law tidak ada kodifikasi
hukum dalam kitab undang undang, karena suara hakim merupakan suara
undang-undang (la voix de la loi). Hukum case law cenderung mirip dengan
hukum perdata adat tak tertulis”.
Dalam sistem civil law yang digunakan oleh negara Prancis, sistem ini
masih menerapkan paham legalisme dan paham positivisme sebagai satu-
satunya sumber hukum yag berlaku di negara tersebut. Hakim tidak dapat
melakukan modifikasi dan mengembangkan keputusan dalam menangani
suatu perkara hukum, namun harus berpedoman kepada aturan hukum yang
sudah ada. Jurisprudensi dapat digunakan oleh hakim dalam memutuskan
perkara, namun keputusan yang dibuat oleh hakim sebelumnya tetap mengacu
kepada perundang-undangan yang sudah ada. Namun dalam menangani
perkara-perkara tertentu, hakim dapat melakukan modifikasi hukum dengan
mengembangakan dan mendasarkan pada pasal-pasal dari kitab hukum yang
sudah ada sebagai pedoman dalam memutuskan perkara, jadi acuannya tetap
pada perundang-undangan yang berlaku, melalui evaluasi terhadap keputusan
terdahulu.
Dalam implementasinya, kebijakan yang digunakan oleh hakim tetap
berpedoman pada kitab perundang-undangan yang ada, terutama apabila
keputusan hukum tersebut pernah dilakukan oleh pengadilan yang lebih tinggi,
terutama keputusan yang pernah dilakukan oleh hakim Mahkamah Agung.
Peran badan yudikatif di negara federal lebih luas dari perannya di negara
kesatuan, karena kekuasaan badan yudikatif di negara federal berwenang
menangani perkara antar negara bagian.
Dalam setiap negara hukum, badan yudikati yang didirikan berpegang teguh
pada prinsip bebas campur tangan pihak manapun, hal ini dilakukan agar dalam
menegakan keadilan dan menjamin kepastian hukum, badan yudikatif dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini diatur dalam Declarations of Human
Rights, pasal 10 “memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan
pengadilan di dalam tiap-tiap negara sebagai sesuatu hal yang esensiil”.
Di Indonesia, dualisme masih berlaku dalam sistem hukum perdata, yakni
masih mempertahankan sistem hukum adat sebagai tata hukum yang berlaku di
Indonesia walaupun tidak tertulis, dan hukum eropa yang banyak dipengaruhi oleh
hukum dari Romawi.
Badan yudikatif di Indonesia merupakan lembaga kekuasaan kehakiman
yang bebas dari pengaruh pihak lain. hal ini diatur dalam pasal 24 dan pasal 25
Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman
ialah kekuasaan yang merdeka”. Juga kedudukan hakimnya diatur dalam pasal 19
Undang Undang No 19 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa “Demi kepentingan
revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang
mendesak presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan”.
Sesuai dengan hasil amandemen terhadap UUD 1945, kedudukan dan
kewenangan badan yudikatif pada masa reformasi mengalami perubahan pada
pasal 24 ayat 2 di BAB IX menjadi “badan yudikatif yang menjalankan kekuasaan
kehakiman adalah sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, TUN dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Menurut amandemen UUD 1945 kewenangan badan yudikatif sebagai
berikut:
Pasal 24 A ayat 1 “Mahkamah Agung: adalah mengadili Kasasi dan menguji
peraturan perundang-undangan dibawali undang-undang”
Pasal 24C, ayat 1 “Mahkamah Konstitusi adalah berwenang mengadili
tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD,
sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan perselisihan
tentang hasil pemilu”
Pasal 24B, ayat 1 “Komisi Yudicial adalah berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim”.
Badan yudikatif di Indonesia terdiri dari:
a. Mahkamah Agung
1) Peradilan Umum;
2) Peradilan Agama;
3) Peradilan Militer;
4) Peradilan Tata Usaha Negara”.
1) Fungsi peradilan
2) Fungsi pengawasan
Fungsi pemberi nasihat semula diatur dalam pasal 132 UU No.1 Tahun
1950 yang menyatakan “Mahkamah Agung wajib memberi laporan atau
pertimbangan tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila
hal itu diminta oleh Pemerintah”. Lalu dipertegas dalam pasal 53 UU No.1
Tahun 1950 “Mahkamah Agung memberi keterangan pertimbangan dan
nasihat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu
diminta oleh Pemerintah”. Juga diatur dalam pasal 25 UU No. 14 Tahun 1970
yang menyatakan “Semua pengadilan dapat memberi keterangan,
pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum pada Lembaga
negara lainnya apabila diminta”. Untuk memberikan nasihat kepada lembaga
negara diatur dalam pasal 11 ayat 2 TAP No. III/MPR/1978 yo TAP MPR No.
WMPR/1973 “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada
Lembaga lembagaTinggi Negara”. Contohnya pemberian grasi, rehabilitasi,
abolisi dan amnesti.
4) Fungsi administrasi
b. Mahkamah Konstitusi
1) Latar belakang lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia
d) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi,
Lalu diatur pula dalam pasal 7 B UUD 1945 yang menyatahan bahwa:
a) Di bidang perdata dan tata usaha: Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
d. Komisi Yudisial
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan bagaimana hubungan badan yudikatif dan yudicial review dalam negara
komunis?
D. DAFTAR PUSTAKA
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Hasibuan, Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara. Huntington,
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kusnardi, Moch dan Saragih R. Bintas. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
PERTEMUAN 16
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami
dan menjelaskan Pemilihan Umum di Indonesia.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian Pemilihan Umum
a. Langsung
b. Umum
Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang
memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis
kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain.
c. Bebas
d. Rahasia
e. Jujur
Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak
dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Adil
a. Tujuan Pemilu
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil “Fungsi Pemilihan Umum
sebagai alat demokrasi yang digunakan untuk :
masing-masing provinsi yang sudah memiliki hak pilih. Menurut Jimly Ashidiqie
(2010:64) “Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan
dipilih di 33 provinsi yang setiap provinsi akan mempunyai 35-100 anggota,
jumlah anggota disesuaikan dengan berapa banyak penduduk yang ada di
provinsi tersebut.Tentunya dalam memilih anggota DPR, DPD, DPRD dalam
pemilu legislatif kalian harus memilih calon anggota legislatif yang memenuhi
kriteria pemimpin yang baik agar negara Indonesia dipimpin oleh orang-orang
yang memang benar mau memajukan bangsa Indonesia.Negara Indonesia
dalam pemilihan legislatif memakai sistem multi partai. Undang-uandang
8/2012 mewajibkan masing-masing partai politik mengikuti proses pendaftaran
yang mana nanti akan diverifikasi oleh KPU bila ingin mengikuti pemilihan
umum”
Di Indonesia, penyelenggara pemilihan umum di tangani oleh komisi
pemilihan umum (KPU), baik di pusat maupun di daerah dan pelaksanaannya
di awasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Jimly Ashidiqie
(2010:65) “Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia termasuk pemilihan
legislatif baik itu bersifat nasional merupakan tanggung jawab dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang telah diatur dalam Undang-undang NO 15/2011.
Selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) lembaga yang bertanggung jawab akan
berlangsungnya pemilihan umum adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga yang mempunyai tugas
untuk mengawasi Pemilu termasuk Pemilihan Legislatif agar berjalan dengan
benar. Selain KPU dan Bawaslu, ada pula lembaga yang dikenal dengan nama
Dewan Kerhomatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP mempunyai tugas
untuk memeriksa gugatan atau laporan atas tuduhan pelanggarana kode etik
yang dilakukan oleh anggota KPU atau Bawaslu”.
calon presiden dan wakil presiden dari sumber yang di perbolehkan menurut
perundang-undangan, dan wajib dilaporkan kepada KPU.
Mekanisme pemungutan suara untuk pelaksanaan pemilihan umum
presiden dan wakilnya dilakukan melalui pencoblosan kertas suara yang berisi
gambar gambar calon pasangan presiden, beriku nomor urutan dan namanya,
pada waktu dan hari yang sudah ditetapkan oleh KPU. Rekapitulasi
penghitungan suara dilakukan pada hari itu juga setelah waktu pemungutan
suara dinyatakan berakhir. Penghitngan suara secara keseluruhan dilakukan
selambat-lambatnya 30 hari setelah pemungutan suara dilakukan. Apabila
pasangan calon presiden dan wakil presiden ini mendapatkan suara lebih dari
50% dari seluruh kumlah suara pemilih dari seluruh wilayah Indonesia, dan
sedikitnya mendapatkan 20% suara dari masing-masing provinsi yang ada di
seluruh Indonesia, maka pasangan calon presiden ini dinyatakan sebagai
pemenang pemilihan umum. Pasangan yang terpilih akan segera dilantik dan
diambil sumpah menurut agama yang dianutnya oleh MPR dalam sidang MPR
sebelum masa jabatan presiden sebelumnya berakhir.(Ayman Ayoub dan
Andrew Ells 2012:67-72).
4) Akuntabilitas publik”.
1) Pemilihan umum.
2) Rotasi kekuasaan
3) Rekrutmen terbuka.
4) Akuntabilitas publik.
d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh
pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada
siapa suaranya diberikan (secret ballot).
e. Jujur, dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan pelaksana,
pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu,
termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus
bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
f. Adil, dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilihan dan partai politik peserta
pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak
manapun”.
Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 2 UU No. 22 Tahun 2007 tentang
“Penyelenggaraan Pemilihan Umum, asas dalam pemilihan umum yakni:
a. Mandiri
b. Jujur
c. Adil
d. Kepastian hukum
e. Tertib penyelenggara Pemilu
f. Keterbukaan;
g. Proporsionalitas;
h. Profesionalitas;
i. Akuntabilitas;
j. Efisiensi; dan
k. efektivitas”
a. Penyuaraan (balloting), artinya tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak
dalam memberikan suara.
b. Daerah pemilihan umum(electoral district), artinya ketentuan yang mengatur
berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan.
c. Formula pemilihan, artinya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa
atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan”.
a. Keadilan.
Prinsip ini sangat diperlukan agar seluruh rakyat memiliki hak yang sama
untuk memilih dan dipilih. Selain itu prinsip ini juga diperlukan agar seluruh
peserta pemilihan umum, baik yang berupa partai politik, perorangan, maupun
independen mendapat perlakuan yang sama dari pelaksanaan pemilihan
umum. Tanpa keadilan, maka tidak ada jaminan bahwa kedaulatan rakyat dapat
direalisasikan.
b. Kejujuran.
c. Umum.
d. Bebas
e. Kerahasiaan
f. Langsung
a. Sistem ini lebih mendorong ke arah integritas partai-partai politik karena kursi
yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu;
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat
dibendung;
c. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh
komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat;
d. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect
dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan
mayoritas;
e. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam
parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain;
f. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselengggarkan”.
a. Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama
satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi
sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan- perbedaan;
b. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu
partai anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru;
c. Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pemimpin partai;
d. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya;
e. Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih
mayoritas dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan”.
DPD, dengan kata lain, semua warga negara Indonesia memiliki hak untuk memilih
dan dipilih dalam politik, kecuali bila ditentukan lain oleh undang-undang.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan pengertian Pemilu menurut Ali Moertopo?
D. DAFTAR PUSTAKA
Ayman Ayoub dan Andrew Ellis (ed), Electoral Justice: The International IDEA
Handbook (International IDEA).
José Antonio Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of
Presidential Democracies (Yale University Press).
Khairul Fahmi, ‘Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut UUD 1945’
(2016) 4 Jurnal Cita Hukum
Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia
(FHUI 1980)
PERTEMUAN 17
BIROKRASI POLITIK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami dan menjelaskan Birokrasi Politik.
B. URAIAN MATERI
1. Latar belakang lahirnya konsep birokrasi
2. Pengertian birokrasi
Istilah birokrasi dalam bahasa Inggris “bureaucracy, berasal dari kata bureau
(berarti: meja) dan cratein (berarti: kekuasaan)”. Artinya orang-orang yang
berkuasa ada di belakang meja. Pada jaman dulu, pelayanan birokrasi cenderung
berbelat belit, karena untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan proses yang
harus dilakukan adalah pelayanan dari meja satu berlanjut ke meja berikutnya,
terkadang keberadaan meja satu dengan meja lainnya ini tidak dalam satu
ruangan yang sama. Hal ini akan menimbulkan pengeluaran biaya yang tinggi.
Namun anggapan ini bisa di kesampingkan apabila integritas dari penyelenggara
pelayanan birokrasi ini disiplin dan taat pada prosedur yang sudah ditentukan,
sehingga masyarakat yang memerlukan pelayanan birokrasi dari pemerintah tidak
banyak mengeluarkan biaya.
Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai birokrasi.
3. Karakteristik birokrasi
untuk ditaati oleh masyarakat yang ingin mendapatkan layanan birokrasi dari
pemerintah. Namun pengaturan dan pelaksanaannya harus dilakukan secara
terbuka dan transparan agar masyarakat merasa puas dengan pelayanan dari
pemerintah, dan dalam melaksanakan tugasnya, dilakukan oleh orang yang
bertanggung jawab dan mampu melayani masyarakat dengan jujur.
Menurut Riswandha Imawan (2000:34) “birokrasi dimaksudkan untuk
melaksanakan tugas-tugas administrasi yang besar. Hal itu hanya dapat berlaku
pada organisasi besar, seperti organisasi pemerintahan karena pada organisasi
pemerintahan, segala sesuatunya diatur secara formal, sedangkan pada
organisasi kecil hanya diperlukan hubungan informal”.
Menurut Zainun Buchari (2000: 90): menyebutkan bahwa: “prinsip dasar dan
karakteristik yang ideal dalam birokrasi adalah:
b. Struktur hierarkis
pada organisasi dan tumbuhnya esprit de corps atau jiwa korps di antara para
anggotanya.
f. Birokrasi murni
a. Organisasi.
b. Kejelasan misi.
c. Kejelasan fungsi.
1) dalam birokrasi tidak terjadi tumpang tindih dan duplikasi dalam arti satu
fungsi diselenggarakan oleh lebih dari satu instansi;
2) tidak ada fungsi yang terabaikan karena tidak jelas induknya;
e. Kesatuan arah.
f. Kesatuan perintah.
Salah satu wewenang yang dimiliki oleh setiap orang yang menduduki
jabatan manajerial adalah memberikan perintah kepada para bawahannya.
Perintah bisa saja berupa larangan agar bawahan tersebut tidak melakukan
suatu tindakan tertentu. Penerapan prinsip satu perintah didasarkan pada
pendapat satu anak tangga ke bawah. Artinya setiap pimpinan memberikan
perintah hanya kepada para bawahan langsungnya. Dengan pendekatan dua
hal tercapai, yaitu:
h. Desentralisasi.
lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau
rujukan seseorang atau suatu kelompok tersebut, nilai-nilai moral tersebut
diwujudkan dalam bentuk kode etik, misalnya kode etik kedokteran, kode etik
pers/jurnalistik, kode etik kehakiman, dan sebagainya”.
Sedangkan pengertian birokrasi menurut Dwiyanto (2002:46) dalam
implementasi sehari hari dilakukan oleh pegawai negeri sipil.
Adapun pengertian birokrasi menurut Dwijowijoto (2004) mengatakan
“dalam praktik dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dikaitkan dengan
fungsi pemerintahan dan pembangunan, birokrasi berkenaan dengan
kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang
dilaksanakan demi kepentingan umum dan masyarakat”. Pengertiannya, menurut
Miftah Thoha (2003:17), “birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, baik
sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari
pemerintah karena statusnya itu”.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulan bahwa “Norma atau nilai-
nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat”.
Oleh karena itu, aparatur sipil negara harus bertanggung jawab dalam
pelaksanaan birokrasi di pemerintahan dengan melayani masyarakat secara
yuridis, formal, bersih, jujur dan transparan.
Pelaksanaan birokrasi pada prinsipnya mudah dilaksanakan, asal sesuai
dengan aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat maupun oleh aparatur
pemerintah. Walaupun dalam prakteknya, masih banyak oknum-oknum yang
masih menggunakan kesempatan ini untuk memanfaatkan jabatannya untuk
mempersulit orang lain dalam mengurus keperluan yang membutuhkan ijin dari
pemerintah. Penyelewengan ini masih sering tejadi sampai sekarang, dimana
pelayanan akan dipermudah apabila disertai dengan pemberian imbalan lebih
yang dipungut kepada masyarakat yang membutuhkan layanan birokrasi.
Kepuasan masyarakat dalam pelayanan birokrasi harus didukung oleh kinerja
aparatur pemerintah dalam melayani birokrasi kepada masyarakat dengan cepat,
murah, dan tidak berbelit-belit dengan berpegang pada prinsip pelayanan birokrasi
disertai dengan keramah tamahan dan pelayanan yang sopan.
Adanya prosedur yang jelas dan transparan dalam pelayanan yang sama
untuk jenis pelayanan tertentu di seluruh daerah di Indonesia harus
menggunakan standar operasional prosedur yang berlaku diseluruh kantor
pelayanan sejenis di Indonesia. Misalkan pelayanan dalam pembuatan SIM,
Pasport, cara membayar pajak, dan lain sebagainya. Aturan permainan dalam
pelayanan ini diatur dalam Standar operasinal yang berlaku agar dalam
menjalankan tugasnya melayani masyarakat tidak dibeda-bedakan.
petugas yang satu dengan petugas yang lainnya. Karena tujuan negara salah
satunya dapat dicapai berkat kerjasama yang baik antara seluruh jajaran
pelaksana dalam pelayanan birokrasi.
1) Pemasukan kas dalam negeri berupa penghasilan pajak, retribusi dan bunga
tabungan kas pemerintah.
2) Pemasukan selain pajak yang sudah ditentukan.
Pemasukan selain pajak harus berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a) Pemasukan selain pajak harus berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku,
b) Pemasukan berbagai macam retribusi maupun pajak harus berdasarkan
keadilan di masyarakat,
c) Sistem pajak progresif,
d) Disesuaikan dengan kemampuan masyarakat
f. Bidang logistik
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan pengertian birokrasi menurut Blau dan Page!
2. Sebutkan prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dalam birokrasi menurut
Syafiie?
3. Bagaimana tipe ideal birokrasi menurut Max Weber?
4. Bagaimana karakteristik dan etika brokrasi ideal yang seharusnya dijabarkan oleh
pegawai negeri sipil sebagai penyelenggara pelayanan publik dalam melayani
masyarakat?
5. Bagaimana menurut anda pelayanan birokrasi di Indonesia setelah reformasi?
D. DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasymi. 1995. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Repormasi Analisis CSIS
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Wacana Kritis
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisis Ekonomi. Yogyakarta: UII Press.
Mas Agung. . 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bina Aksara. .
1994. Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall
International Englewood Cliffs.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
PERTEMUAN 18
PERJALANAN DEMOKRASI INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami dan menjelaskan perjalanan demokrasi di Indonesia.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian demokrasi
Kata “demokrasi” sering diartikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Hal ini berarti bahwa pengertian demokrasi yakni keterlibatan rakyat
dalam pemerintahan dan bekerja untuk kepentingan rakyat dalam mecapai tujuan
nasional negara. Menurut Sukron Kamil (2002:18) “Demokrasi bertujuan
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi menempati posisi vital
dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica), yaitu kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat” .
Pada abad ke 18, pengertian demokrasi sedikit mengalami perubahan,
karena pada dasarnya demokrasi ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat yang
diwujudkan dalam bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang pilihan
yang diberikan mandat dalam menjalankan pemerintahan di suatu negara.
Demokrasi menjalankan prinsip pembagian kekuasaan, dimana masing
masing orang yang duduk dalam kekuasaan itu dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum sebagai bentuk dari pemerintahan yang demokratis, sebagai
bentuk penghargaan terhadap kedudukan warganegara dalam memenuhi hak
politiknya untuk memilih dan dipilih. Fakta sejarah mencatat, banyaknya
kekuasaan pemerintah yang absolut sehingga sering terjadi pelanggaran terhadap
hak asasi manusia sebagai warganegara karena tidak diikut sertakan dalam
memilih pemimpinnya. Kekuasaan yang dianggap berlebihan dengan tidak
memperhatikan aspirasi masyarakat dalam memilih pemimpin akan menimbulkan
masyarakat yang tidak akan memahami nilai-nilai demokrasi.
Tumbuh kembangnya demokrasi di suatu negara harus ditunjang dengan
peran pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan
Tiga jenis kekuasaan politik negara yang tercantum dalam prinsip trias
politika yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan legislatif
yang independen dapat diwujudkan melalui pemilihan yang demokratis sebagai
pelaksanaan pilar demokrasi. Keberadaan ketiga lembaga ini saling check and
balances dan menguatkan dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan dan saling
melakukan mengawasi satu dengan yang lainnya.
Peran lembaga eksekutif sebagai pelaksana kewenangan untuk memerintah
dan mewujudkan tujuan negara, peran ini didukung oleh lembaga legislatif sebagai
pembuat kebijakan-kebijakan dalam mengawasi kinerja eksekutif, dan kedua
lembaga tersebut diawasi pelaksanaanya kinerjanya oleh lembaga yudikatif
sebagai lembaga peradilan. Dibawah naungan ketiga lembaga ini, maka
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien dalam
mewujudkan tujuan nasional. Pemilihan anggota dari lembaga legislatif dan
eksekutif ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. persyaratan untuk mengikuti
pemilihan umum ini diatur dalam undang-undang pemilu.
Masa ini berlangsung antara tahun 1959 sampai dengan tahun 1966,
demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif
revolusioner dengan berporoskan nasakom. Ciri-cirinya adalah:
a) tingginya dominasi presiden;
b) terbatasnya peran partai politik;
c) berkembangnya pengaruh PKI”.
Kekurangan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin diantaranya:
a) banyaknya berdiri partai politik menjadikan sistem kepartaian menjadi
tidak jelas, karena ideologinya bertentangan dengan pemerintah
mengakibatkan pemimpin partai masuk penjara
b) dibentuknya DPRGR oleh presiden sebagai akibat lemahnya peran
lembaga legislatif
c) tidak adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
d) kekuasaan hanya terpusat di pemerintah
e) tidak bebasnya ruang gerak media
f) terjadinya pemberontakan G30 SPKI sebagai akibat dari kebijakan
1) persetujuan rakyat;
2) partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik yang
menyangkut nasib mereka;
Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elite melakukan
pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice theory”
Dari beberapa pendapat diatas dapat disumsikan bahwa perubahan yang
terjadi menuju demokrasi merupakan ide dan gagasan dari para pemikir-pemikir
elit politik yang memilih demokrasi sebagai pilihan yang ideal dalam menjalankan
sistem politik di suatu negara. Menurut (O’Donnell & Philippe Schmitter, 1986)
“Secara urut, demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling
berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi, dan konsolidasi. Liberalisasi adalah
proses mengefektifkan hakhak politik yang melindungi individu dan kelompok
sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara
atau pihak ketiga. Tahap ini ditandai kekuasaan untuk membuka peluang
terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan diberikannya ruang
kebebasan pers”
Di Indonesia sendiri, tidak terjadi transisi demokrasi dalam perubahan partai
politik, tang digunakan di Indonesia adalah konsolidasi antar partai dan elit politik.
Alasannya karena dengan proses konsolidasi, permasalahan yang lebih kompleks
lebih tertanani dengan cara mufakat dan musyawarah, sehngga kemunginan
terjadinya pembalikan demokrasi tidak akan terjadi. Dalam menjalani proses ini
juga diwarnai dengan negosiasi antar pengurus partai politik dengan masyarakat,
disertai juga dengan pelatihan-pelatihan terhadap kader partai politik, kelompok
kepentingan, media masa, dan organisasi masyarakat dikembangkan
kemampuannya dalam bertindak secara mandiri sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut (Beetham & Boyle, 1995: 57-58), mengatakan bahwa “Tahap ini
sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua fron
sekaligus. Pada satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti
demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Pada pihak lain adalah
pihak yang memperjuangkan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah
belah dari sistem politik itu sendiri, misalnya persaingan memperebutkan jabatan
di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai pertandingan
di mana para pemenanglah yang menguasai semua hadiah. Minimal ada empat
komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan
umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak
politis dan sipil, dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani”.
a. transformasi yang diprakarsai dari atas oleh rezim, seperti Taiwan, Meksiko,
India, Chili, Turki, Brazil, Peru, Ekuador, Guatemala, Norwegia, Pakistan, serta
Sudan;
b. transisi melalui negosiasi antara rezim yang berkuasa dan oposisi, seperti
Nepal, Nikaragua, Mongolia, Brazilia, Salvador, Korea Selatan, Afrika Selatan;
c. pergantian atau tekanan oposisi dari bawah yang meliputi Filipina, Argentina;
d. interfensi dari luar yang meliputi Grenada dan Panama”.
Donald Share (1987: 19), berpendapat bahwa “ada empat jalur proses
transisi demokrasi menurut kecepatan serta keterlibatan pimpinan rezim, yaitu:
negara itu dapat dikatakan tidak mengenal tanpa desakan rakyat, sebagai proses
yang sangat menjanjikan terhadap proses demokrasi”.
Menurut Fukuyama (1992: 7-12), “Proses itu dianggap sebagai proses
menuju the end of historis, yang berwujud kemenangan kapitalisme, dan
demokrasi liberal di seluruh bumi. proses sejarah demokrasi di dunia dapat
diprediksi berjalan secara linier utopis. Oleh karena itu, seluruh dunia akan
menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik sehingga the
end of historis akan terlaksana. Minimal ada dua kendala dalam proses transisi
demokrasi, yaitu kendala internal dan eksternal”.
Aksi protes dan demonstransi bernuansa sara besar-besaran terjadi di
Eropa berkaitan dengan proses transisi demokrasi ini, termasuk di Indonesia dan
negara Cekoslovakia, juga di negara-negara bekas Uni Sovyet, sehingga
memunculkan kembali ideologi komunis yang menjadi hambatan pelaksanaan ke
arah transisi demokrasi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Richard Rose (2000), menarik
kesimpulan bahwa: “konsensus antar elite partai runtuh karena:
a. modernisasi;
b. perubahanperubahan struktur kelas sosial;
c. pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern;
d. konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik;
e. keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan”.
Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Peter L. Barger dalam Surbakti,
(1999: 140) yang mengatakan bahwa: “Penyebab keterlibatan masyarakat untuk
menyalurkan desirability dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut
berangkat dari asumsi bahwa dasar demokrasi dan partisipasi adalah dirinya
sendiri yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya”.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat diasumsikan bahwa bentuk
partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
bisa berupa bentuk konvensional maupun non konvensional. Kesadaran akan hak
dan kewajibannya sebagai warganegara dalam keiikut sertaannya dalam
partisipasi politik merupakan bukti bahwa masih tingginya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dalam menjalankan sistem politik di Indonesia
untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional. Menurut Jeffry M. Paige dalam
Surbakti (1999: 144) mengatakan bahwa: “rakyat melakukan partisipasi yang
dilakukan dalam berbagai bentuk partisipasi politik berupa konvensional ataupun
nonkonvensional. Dalam kaitan partisipasi dalam proses politik, ada faktor-faktor
yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu kesadaran
a. terjadi konflik antarmasyarakat, apabila mereka terlibat dalam hal politik yang
sama dan memiliki pandangan yang berbeda;
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan hubungan demokrasi dengan trias politika?
D. DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang. 1996. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: Rajawali Pers.
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi
Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 2006. Sistem
Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Repormasi Analisis CSIS.
Nurcholis Majid (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005)
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Wacana Kritis
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisis Ekonomi. Yogyakarta: UII Press.
Railon, Francois. 1985. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall
International Englewood Cliffs.
Surbakti, Ramlan. 2002. “Menuju Demokrasi Konstitusional Reformasi Hubungan dan
Distribusi Kekuasaan”. Dalam Selo Soemarjan (ed.) Menuju Tata Indonesia
Baru. Jakarta: Gramedia.
(Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A. (1956) “Comparative political systems” dalam Journal of Politics, 18.
Apter,
Almond, Gabriel A. (1960) ”Introduction: a functional approach to comparative politics”
dalam Gbriel A. Almond dan J.S Coleman (eds) The Politics of the
Developing Areas, Princeton, N.J:Princenton University Press.
Almond, Gabriel. 1965. Studi Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. .
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat. Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Amirin, Tatang. 1996. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: Rajawali Pers.
Ayman Ayoub dan Andrew Ellis (ed), Electoral Justice: The International IDEA Handbook
(International IDEA).
Banks, James A. (1977) Teaching Strategies for the Social Studies: Inquiry, Valuing, and
Decision-Making, Phippines,: Addison-Wesley Publishing Company.
Barber, Benyamin (1988) The Conquest of Politics: Liberal Philosophy in Democratic
Times, Priceton:,N.J.: Pricenton University Press.
Barents, J. (1965) Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan, Terdjemahan L.M. Sitorus,
Jakarta: Pembangunan.
Brown, Archie (1984) Political Culture and Communist Studies, London: Alfred Knopf.
Bryant, Caroli dan Louise G. White, (1987) Manajement Pembangunan untuk Negara
Berkembang, Terjemahan Rusyant L. Simatupang, Jakarta: LP3ES.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975.
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Budiardjo, Miriam (2000) Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia.
Bulkin, Farhan. 1985. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Carlton Clymer dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dahl, Robert,A. (1967) Pluralist Democracy in the United States, Chicago: Rand Mc
Nally. D’Entreves, Alexander Passerin (1967) The Notion of the State,
Oxford: The Clarendon Press.
David (2002) “Political Theory” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk.,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlmn.796-799..
David A. (1996) Pengantar Analisa Politik, Diterjemahkan Oleh Setiawan Abadi, Jakarta:
LP3ES.
Dhal, Rober, A. (1994) Analisis Politik Modern, Alih Bahasa: Mustafa Kamil Ridwan,
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Djayadi Hanan, ‘Memperkuat Presidensialisme Multipartai Di Indonesia: Pemilu
Serentak, Sistem Pemilu Dan Sistem Kepartaian’
Easton, David (1965) A System Analysis of Political Life, New York: Alfred A.Knopf. Inc.
Easton, David (1971) The Political System, New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk.,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlmn.304-305.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora
Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Firdaus, Constitutional Engineering (Yrama Widya 2015).
Gaffar, Afan. 1997. Menampung Partisipasi Politik Rakyat. JSP. Volume 1. Nomor 1. .
2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
José Antonio Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of
Presidential Democracies (Yale University Press).
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru. . 2006. Sistem
Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Khairul Fahmi, ‘Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut UUD 1945’
(2016) 4 Jurnal Cita Hukum
Kimlicka, Will (2004) Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Atas Teori-teori
Keadilan, Penerjemah Agus Wahyudi Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Repormasi Analisis CSIS.
Kuffal. 2005. Himpunan Sembilan Undang-Undang. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Kusnardi, Moch dan Saragih R. Bintas. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Leonard (2005) Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, Penerjemah Haris
Munandar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mas Agung. . 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bina Aksara. . 1994.
Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (FHUI
1980)
Mohtar, Mas’oed dan Andrew Mac Colin. 2000. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noer, Deliar (1965) Pengantar ke Pemikiran Politik, Djilid I., Medan: Dwipa. Nozick,
Robert (1974) Anarchy, State, and Utopia, New York; Basic Books.
Nurcholis Majid (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005)
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Wacana Kritis Penyalahgunaan
Kekuasaan dan Krisis Ekonomi. Yogyakarta: UII Press.
Rahman H.I.A. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Railon, Francois. 1985. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Ramlan Surbakti, ‘Pemilu Berintegritas Dan Adil’ Harian Kompas edisi 14 (February
2014).
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi Terjemahan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schmandt, Henry.J. (2002) Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman YunaniKuno
Sampai Zaman Modern, Penerjemah: Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaki,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schumpeter, J.A. (1942) Capitalism, Socialism and Democracy, New York: Harper Torch
Books.
Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism and Democracy: The Difficult
Combination, Comparative Political Studies Vol 26 No. 2 (Sage Publications
1993)
Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall
International Englewood Cliffs.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall
International Englewood Cliffs.
Surbakti, Ramlan, (1996) “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik”, dalam Miriam Budiardjo
dan Tri Nuke Pudjiastuti (ed), Teori-teori Politik Dewasa Ini, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Surbakti, Ramlan. 2002. “Menuju Demokrasi Konstitusional Reformasi Hubungan dan
Distribusi Kekuasaan”. Dalam Selo Soemarjan (ed.) Menuju Tata Indonesia
Baru. Jakarta: Gramedia.
Surbakti, Ramlan. 2002. “Menuju Demokrasi Konstitusional Reformasi Hubungan dan
Distribusi Kekuasaan”. Dalam Selo Soemarjan (ed.) Menuju Tata Indonesia
Baru. Jakarta: Gramedia.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Warner, W.Lloyd (1960) Social Class in America, New York: Harper Torch Books.
Weber, M. (1968[1922) Economiy and Society, New York: The Free Press.
Weber, Max, (1949) The Methodology of Social Sciences, diterjemahkan dan disunting
oleh Edward A. Shils dan Henry A.Finch, New York: The Free Press.
Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik dalam Bidang Organisasi dan Manajemen. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Winarno,
Young, Oran R. 1984. Sistem Ilmu Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta: Bina
Aksara
Zainun, Buchari. 2000. Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Menurut UUD
1945 dan Perubahannya. Jakarta: Gunung Agung.
KEMAMPUAN
PERTEMUAN POKOK METODE PENGALAMAN KRITERIA BOBOT
AKHIR YANG
KE- BAHASAN PEMBELAJARAN BELAJAR PENILAIAN NILAI
DIHARAPKAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Mampu 1. Teori-teori Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 2.5
memahami dan dalam ilmu Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan politik, Jawab konsep
2. Konsep dasar
memahami dan
politik.
konsep-konsep
politik
sudut politik,
sosial budaya,
lingkungan dan
pertahanan
keamanan
3 Mampu 1. Pengertian Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 7.5
memahami dan Sistem Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan Politik, Jawab konsep
Pengertian Pemahaman
Sistem Politik, sistem politik
4 Mampu 1. Sistem Politik Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 5.0
memahami dan Indonesia, Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan 2. Ciri-ciri, Jawab konsep
sistem politik Unsur-Unsur
Indonesia dan Sifat
Sistem,
Ruang Lingkup
Ilmu Politik
5 Mampu 1. Pengertian Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 7.5
memahami dan Struktur Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan Politik, Jawab konsep
struktur sistem 2. Struktur
politik Politik
Formal,
Struktur Politik
Informal
6 Mampu 1. Pengertian Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 7.5
memahami dan Partai Politik, Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan 2. Undang- Jawab konsep
Partai Politik Undang
Republik
Indonesia
Nomor 2
Tahun 2008
Tentang
Partai Politik,
3. Partai Lokal,
Partai Politik
Lokal Dalam
Tata Hukum
Indonesia
7 Mampu 1. Pendekatan Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 7.5
memahami dan sistem politik, Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan 2. Analisis Jawab konsep
pendekatan sistem politik
sistem politik menurut
david easton,
3. Input, output,
dan
4. Kritik
terhadap
analisis
sistem politik
David Easton,
5. Pendekatan
struktural
fungsional
Gabriel
Almond,
6. Keterkaitan
kepentingan
antar sistem,
Analisis
struktural
fungsional
dalam sistem
politik.
8 Mampu 1. Pengertian Resitasi Tugas dan latihan Pemahaman 5.0
memahami dan Sosialisasi Diskusi dan Tanya teori dan
menjelaskan Politik Jawab konsep
fungsi sistem 2. Tujuan
politik Sistem Politik
3. Fungsi
Rekruitmen
Politik
4. Fungsi
Komunikasi
Politik,
5. Fungsi
Stratifikasi
Politik,
6. Fungsi Input
Sistem Politik
Indonesia,
7. Fungsi
Output
Sistem
Politik,
8. Pendidikan
Politik
5. Badan
Eksekutif Pra-
Demokrasi
Terpimpin,
6. Pengertian
Badan
Eksekutif
Negara
7. Bentuk-
Bentuk Badan
Eksekutif
Negara,
8. Tugas dan
Wewenang
Lembaga
Eksekitif
Negara
4. Badan
Yudikatif di
Indonesia
2. Pengertian
Birokrasi,
3. Karakteristik
Birokrasi,
4. Tipe Ideal
Birokrasi,
5. Etika
Birokrasi,
6. Perjalanan
Birokrasi
Indonesia.
7. Kehidupan
Bernegara
yang
Demokratis,
8. Manfaat
Demokrasi,
UAS
Referensi:
Alfian. 1971. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta: LEKNAS.
Almond, Gabriel A. (1956) “Comparative political systems” dalam Journal of Politics, 18. Apter,
Almond, Gabriel A. (1960) ”Introduction: a functional approach to comparative politics” dalam Gbriel A. Almond dan J.S Coleman (eds) The
Politics of the Developing Areas, Princeton, N.J:Princenton University Press.
Almond, Gabriel. 1965. Studi Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. .
Amir, Makmur dan Purnomowati Dwi Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Amirin, Tatang. 1996. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: Rajawali Pers.
Ayman Ayoub dan Andrew Ellis (ed), Electoral Justice: The International IDEA Handbook (International IDEA).
Banks, James A. (1977) Teaching Strategies for the Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision-Making, Phippines,: Addison-Wesley
Publishing Company.
Barber, Benyamin (1988) The Conquest of Politics: Liberal Philosophy in Democratic Times, Priceton:,N.J.: Pricenton University Press.
Barents, J. (1965) Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan, Terdjemahan L.M. Sitorus, Jakarta: Pembangunan.
Brown, Archie (1984) Political Culture and Communist Studies, London: Alfred Knopf.
Bryant, Caroli dan Louise G. White, (1987) Manajement Pembangunan untuk Negara Berkembang, Terjemahan Rusyant L. Simatupang,
Jakarta: LP3ES.
Budiardjo, Mariam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Dian Rakyat. . 1975. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.
Budiardjo, Miriam (2000) Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia.
Bulkin, Farhan. 1985. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Carlton Clymer dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dahl, Robert,A. (1967) Pluralist Democracy in the United States, Chicago: Rand Mc Nally. D’Entreves, Alexander Passerin (1967) The
Notion of the State, Oxford: The Clarendon Press.
David (2002) “Political Theory” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlmn.796-799..
David A. (1996) Pengantar Analisa Politik, Diterjemahkan Oleh Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES.
Dhal, Rober, A. (1994) Analisis Politik Modern, Alih Bahasa: Mustafa Kamil Ridwan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Djayadi Hanan, ‘Memperkuat Presidensialisme Multipartai Di Indonesia: Pemilu Serentak, Sistem Pemilu Dan Sistem Kepartaian’
Duverger, Maurice, (1985) Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: CV Rajawali.
Dwiyanto, Agus dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Yogyakarta.
Easton, David (1965) A System Analysis of Political Life, New York: Alfred A.Knopf. Inc.
Easton, David (1971) The Political System, New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlmn.304-305.
Eston, David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta: Bina Aksara.
Firdaus, Constitutional Engineering (Yrama Widya 2015).
Gaffar, Afan. 1997. Menampung Partisipasi Politik Rakyat. JSP. Volume 1. Nomor 1. . 2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
José Antonio Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies (Yale University Press).
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar
Baru. . 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Khairul Fahmi, ‘Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut UUD 1945’ (2016) 4 Jurnal Cita Hukum
Kimlicka, Will (2004) Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Atas Teori-teori Keadilan, Penerjemah Agus Wahyudi Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Repormasi Analisis CSIS.
Kuffal. 2005. Himpunan Sembilan Undang-Undang. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Kusnardi, Moch dan Saragih R. Bintas. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Leonard (2005) Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, Penerjemah Haris Munandar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mas Agung. . 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bina Aksara. . 1994. Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (FHUI 1980)
Mohtar, Mas’oed dan Andrew Mac Colin. 2000. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noer, Deliar (1965) Pengantar ke Pemikiran Politik, Djilid I., Medan: Dwipa. Nozick, Robert (1974) Anarchy, State, and Utopia, New York;
Basic Books.
Nurcholis Majid (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005)
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Wacana Kritis Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisis Ekonomi. Yogyakarta: UII
Press.
Rahman H.I.A. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Railon, Francois. 1985. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Ramlan Surbakti, ‘Pemilu Berintegritas Dan Adil’ Harian Kompas edisi 14 (February 2014).
Retno Saraswati, ‘Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif’ (2012) 4 MMH Jurnal
Robbins, Stephen P. 1993. Organizational Behavior. New York: PrenticeHall, Englewood Cliffs. Rodee,
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia (Rajawali Press
2010)
Samuel. 2003. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Edisi Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schmandt, Henry.J. (2002) Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman YunaniKuno Sampai Zaman Modern, Penerjemah: Ahmad Baidlowi
dan Imam Bahehaki, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schumpeter, J.A. (1942) Capitalism, Socialism and Democracy, New York: Harper Torch Books.
Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism and Democracy: The Difficult Combination, Comparative Political Studies Vol 26 No. 2
(Sage Publications 1993)
Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi (Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS
2004
Sriyanti, Rahman A. dan Purwanto S.K. 2006. Etika Berwarganegara, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba
Empat.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall International Englewood Cliffs.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. 1978. Management. New Jersey: Prentice Hall International Englewood Cliffs.
Sudarsono, Juwono. 1976. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia
Surbakti, Ramlan, (1996) “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik”, dalam Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti (ed), Teori-teori Politik
Dewasa Ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Surbakti, Ramlan. 2002. “Menuju Demokrasi Konstitusional Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan”. Dalam Selo Soemarjan (ed.)
Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.
Surbakti, Ramlan. 2002. “Menuju Demokrasi Konstitusional Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan”. Dalam Selo Soemarjan (ed.)
Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Warner, W.Lloyd (1960) Social Class in America, New York: Harper Torch Books.
Weber, M. (1968[1922) Economiy and Society, New York: The Free Press.
Weber, Max, (1949) The Methodology of Social Sciences, diterjemahkan dan disunting oleh Edward A. Shils dan Henry A.Finch, New York:
The Free Press.
Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik dalam Bidang Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Winarno,
Young, Oran R. 1984. Sistem Ilmu Politik. Alih Bahasa Simamora Sahat. Jakarta: Bina Aksara
Zainun, Buchari. 2000. Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Menurut UUD 1945 dan Perubahannya. Jakarta: Gunung Agung.