Anda di halaman 1dari 124

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN

ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DITINJAU DARI PERATURAN


MAHKAMAH AGUNG NO. 3 TAHUN 2017 TENTANG
PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
(StudiPutusanPengadilanNegeriNo.5/Pid.Sus.Anak/2018/PNMbn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RAHMI KHAIRINA

NIM: 150200514

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Rahmi Khairina *)
Madiasa Ablisar ***)
Nurmalawaty***)

Skripsi ini berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang


Melakukan Aborsi Akibat Perkosaan Ditinjau Dari Peraturan Mahkamah Agung
No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum (Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN
Mbn). Kekerasan yang terjadi berupa tindakan kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Bentuk kekerasan seksual berupa perkosaan. Dampak atau akibat dari bentuk
perkosaanadalah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum
terhadap anak yang melakukan aborsi akibat perkosaan. Bagaimana upaya
penyelesaian tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak korban perkosaan
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor :5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn).
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu
menitikberatkan pada data sekunder yaitu metode penelitian hukum yang
dilakukan denga cara meneliti bagian kepustakaan atau data sekunder berdasarkan
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan dokumen lainnya.
Aborsi dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan yang berlaku,
khususnya aborsi yang dilakukan oleh anak korban perkosaan. Perlindungan
hukum bagi Anak yang melakukan tindak pidana aborsi akibat perkosaan,
perlindungan atas hak-hak sebagai pelaku tindak pidana aborsi. Pelaku berhak
mendapatkan perlindungan salah satunya dari pihak Pengadilan, Kepolisian dan
Lembaga Bantuan Hukum. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
aborsi(Analisis Putusan Nomor:5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn Menyatakan Anak
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
aborsi. Menjatuhkan pidana terhadap anak oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan.

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan


*Dosen Pembimbing I
*Dosen Pembimbing II

iii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala

karunia dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat-syarat dalam

memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan

kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “Perlindungan

Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Aborsi Akibat Perkosaan Ditinjau

Dari Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman

Mengadili Perkara Perempuan BerhadapanDengan Hukum (Studi Putusan

Pengadilan Negeri No5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn). Penulis telah bekerja

semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, penulis menyadari

masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya.

Melalui kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Orangtua Penulis, Adnan Nur dan

Yelniza yang dengan sepenuh hati telah berkontribusi besar dalam perjalanan

hidup Penulis hingga saat ini.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M. Hum selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Oka Saidin, SH., M. Hum, Ibu Puspa Melati Hasibuan SH.

M.Hum dan Bapak Dr. Jelly Levieza, SH., M. Hum, yang masing-

iv
Universitas Sumatera Utara
masing selaku wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan Wakil Dekan III

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH., M. Hum selaku Dosen Penasehat

Akademik dari Penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan

kepada Penulis.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH., M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana yang telah memberrikan bimbingan dan arahan kepada

Penulis.

6. Ibu Liza Erwina, SH., M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada

Penulis.

7. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M. S. selaku Dosen

Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk

membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi

lebih baik.

8. Ibu Nurmalawaty SH., M. Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis,

yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan

memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih sempurna.

9. Kepada kakanda Sabrina dan Kakanda Junita Sari, yang telah

meluangkan waktunya untuk membantu saya dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10. Kepada sahabat-sahabat saya, Melisa Lanniari Lubis, Nazli Pratiwi

Dalimunthe, Retno Noviyanti, Siti Rahmadani Hutasuhut, Siti

Rokhimah, beserta jajaran Presidium Al-Mahbub, terima kasih atas

v
Universitas Sumatera Utara
kebersamaan dan semangatnya dalam membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada Seluruh Pengurus dan Anggota BTM Aladdinsyah, S.H

Fakultas Hukum USU Periode 2017-2018, terima kasih atas

kebersamaan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis untuk

menimba ilmu dan pengalaman yang sangat berharga dalam

kebersamaan kita.

12. Kepada seluruh stambuk 2015 Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya.

13. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan

dalam penulisan skripsi ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif

untuk kemajuan di masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di

tanah air. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah

awal dalam upaya pembangunan hukum di tanah air terutama dalam

perkembangan hukum pidana.

Medan, Januari 2019

Penulis

Rahmi Khairina

150200514

vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

ABSTRAK……. ................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI….. ................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 8

E. Keaslian Penelitian ...................................................................... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 9

1. Pengertian Anak ..................................................................... 9

2. Pengertian Tindak Pidana ....................................................... 12

3. Pengertian Perlindungan Hukum ............................................ 13

4. Pengertian Perkosaan .............................................................. 14

5. Pengertian Aborsi ................................................................... 22

G. Metode Penelitian ....................................................................... 26

H. Sistematika Penulisan ................................................................. 29

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA ABORSI AKIBAT

PERKOSAAN

A. Sejarah Aborsi ............................................................................ 31

1. Zaman Kuno ........................................................................... 31

2. Zaman Modern ....................................................................... 32

vii
Universitas Sumatera Utara
a. Jenis-Jenis Aborsi........................................................... 33

b. Alasan Pembenar Aborsi Dapat Dilakukan ................... 39

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak YangMelakukan Aborsi

Akibat Perkosaan ....................................................................... 41

1. Menurut Kitab UU Hukum Pidana ......................................... 41

2. Menurut UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan ........... 50

3. Menurut PP No. 61 Tahun 2015 Tentang Kesehatan

Reproduksi ............................................................................ 56

C. Aborsi Dalam Pandangan Islam.................................................. 62

1. Aborsi Menurut Al-Quran ...................................................... 62

2. Aborsi Menurut Pandangan Ulama ........................................ 63

BAB III UPAYA PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ABORSI YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK KORBAN PERKOSAAN DALAM

STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

No. 5/Pid/Sus.Anak/2018/PN Mbn

A. Menurut Ketentuan Beberapa Peraturan Perundang-

Undangan ................................................................................... 68

1. Menurut UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .... 68

2. Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak ............................................................................ 77

3. Menurut PERMA No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman

Mengadili Perkara perempuan Berhadapan

Dengan Hukum.. .................................................................... 92

viii
Universitas Sumatera Utara
B. Analisis Kasus Aborsi Akibat Perkosaan Dalam Studi Putusan

No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn…………………………… 96

1. Kronologi Kasus…. ................................................................ 96

2. Dakwaan ................................................................................. 100

3. Tuntutan .................................................................................. 100

4. Pertimbangan Hukum ............................................................. 101

5. Fakta Hukum .......................................................................... 103

6. Putusan.................................................................................... 104

7. Analisis Kasus ........................................................................ 104

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................. 108

B. Saran .......................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110

ix
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah yang diberikan oleh Tuhan yang Esa, bahkan anak

dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga. Karenanya, anak sebagai

amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak

melekat harkat, martabat, dan hak-hak anak sebagai manusia yang harus

dijunjung tinggi.1

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, yang dimaksud dengan Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.2Perlindungan anak adalah segala usaha yang

dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak

dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik

fisik, mental dan sosial. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan

anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi

kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan

anak.

Guna mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak tersebut

diperlukan adanya dukungan dari keluarga, masyarakat, negara serta lembaga dan

perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaan terhadap anak tersebut3

1
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal 33.
2
Aziz Syamsudin dan Anis Fuandi, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika 2011),
hal. 107.
3
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice), (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hal 16.

1
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan anak dapat dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian, yaitu : (1)

perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam

bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. (2) perlindungan

anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial,

bidang kesehatan, bidang pendidikan.

Kekerasan sering terjadi pada anak, yang dapat merusak, berbahaya dan

menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian,

tidak saja bersifat material, tetapi juga bersifat immaterial seperti goncangan

emosional psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak.

Pelaku tindak kekerasan terhadap anak bisa saja orang tua (ayah dan atau ibu

korban), anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat

penegak hukum dan lain-lain). Kekerasan sering terjadi terhadap anak rawan.

Disebut rawan adalah karena kedudukan anak yang kurang menguntungkan.

Anak rawan (children at risk) merupakan anak yang mempunyai risiko besar

untuk mengalami gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara

psikologis (mental), sosial maupun fisik. Anak rawan dipengaruhi oleh kondisi

internal maupun kondisi eksternalnya, diantaranya ialah anak dari keluarga

miskin; anak di daerah terpencil; anak cacat dan anak dari keluarga retak (broken

home).

Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan

kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Dalam hukum pidana,

kerugian yang dialami anak sebagai korban tindak kekerasan belum secara

konkret diatur. Artinya, hukum pidana memberikan perlindungan kepada anak

sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan

2
Universitas Sumatera Utara
tidak langsung, adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang-

undangan. Sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada

perlindungan korban secara langsung dan konkret, tetapi hanya perlindungan

korban secara tidak langsung dan abstrak.

Sexual Abuse (kekerasan seksual), menunjuk kepada setiap aktivitas seksual,

bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori

penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan

seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan

seksual: dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks,

anal seks, diperkosa.

Dalam kasus perkosaan, ketika pelaku ditangkap dan menjalani

pemeriksaan, sering terungkap bahwa salah satu faktor pendorong pelaku

melakukan pemerkosaan adalah korban sering berpenampilan “menantang” (baik

disengaja maupun tidak disengaja) sehingga pelaku terdorong untuk melakukan

pemerkosaan, sekalipun faktor lain pada dasarnya tidak dapat diabaikan, seperti

pelaku sedang dalam pengaruh minuman keras, pelaku sering menonton film

porno atau lingkungan yang mendukung kejahatan terjadi misalnya dalam

keadaan sepi.

Adanya pandangan bahwa korban kejahatan hanya berperan sebagai

instrumen pendukung/pelengkap dalam pengungkapan kebenaran materiil,

misalnya ketika korban diposisikan hanya sebagai saksi dalam suatu kasus pidana,

sudah saatnya untuk ditinggalkan. Begitu pula, pandangan yang menyebutkan

bahwa dengan telah dipidananya pelaku, korban kejahatan sudah cukup

memperoleh perlindungan hukum, tidak dapat dipertahankan lagi.

3
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan korban seakan telah “didiskriminasi” oleh hukum

pidana,padahal dalam konteks perbuatan pidana, korban pada dasarnya

merupakan pihak yang paling dirugikan. Oleh karena itu, mulai berkembang

pemikiran yang menyuarakan agar orientasi hukum pidana Indonesia yang selama

ini lebih bersifat offender oriented, yaitu si pelaku kejahatan merupakan fokus

utama dari hukum pidana, agar segera dirubah. Perkembangan pemikiran dan

perlunya perhatian terhadap korban didasari oleh dua arus pemikiran. Pertama,

pemikiran bahwa negara ikut bersalah dalam hal terjadinya korban dan selayaknya

negara ikut bertanggung jawab dalam bentuk pemberian kompensasi atau restitusi.

Kedua, adanya aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan

pendekatan positivitis kearah kriminologi kritis.4

Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285

s/d 288 KUHP telah menjadi acuan aparat penegak hukum dalam menangani

kasus perkosaan dan kejahatan persetubuhan. Dalam perkembangan selanjutnya,

beberapa Undang-Undang khusus di dalamnya juga mengatur tentang perkosaan.

Undang-Undang tersebut antara lain: Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang

Peradilan Hak Asasi Manusia yang mengatur perkosaan sebagai salah satu tindak

kejahatan terhadap kemanusiaan; Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak yang mengatur Perkosaan terhadap anak, serta Undang-

Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga (Undang-Undang PKdRT) yang mengatur tentang perkosaan dalam

lingkup rumah tangga.

4
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal 88.

4
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaannya, penggunaan pasal-pasal kejahatan perkosaan dalam

KUHP tersebut mendapat tantangan, yakni: keterbatasan aturan itu sendiri dan

carapandang dan pengetahuan aparat penegak hukum. Keterbatasan aturan bisa di

lihat dari rumusannya yang ternyata memiliki keterbatasan yang sangat besar,

misalnya: masalah element of crime yang tidak memadai dan penafsiran yang

sempit dan tidak sesuai dengan perkembangan sosial. Di samping itu,

pembuktiannya sangat sukar sehingga menyebabkan aturan tersebut tidak

applicable. Sementara dalam perkembangannya, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (rumusan deliknya) sendiri tidak mampu menjangkau perkembangan

modus-modus kejahatan perkosaan yang tidak disertai dengan kekerasan atau

ancaman secara fisik.

KUHP sendiri menggunakan “persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan.” Undang-undang Perlindungan Anak menjerat perkosaan dengan

“Pemaksaan Pesetubuhan‟. Penjelasan kata persetubuhan dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak merujuk pada KUHP. Sementara Undang-undang PKdRT

menggunakan “Pemaksaan Hubungan Seksual” dan memaknainya secara lebih

luas. Berbeda dengan Undang-Undang Peradilan Hak Asasi Manusia yang secara

tegas menyebutkan kata „Perkosaan” walau elemen-elemennya juga masih

menggunakan konsep dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.5

Tidak dipungkiri perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk

perempuan yang menjadi korban. Banyak korban perkosaan membutuhkan waktu

lama untuk mengatasi pengalaman ini, dan mugkin ada juga yang tidak pernah

lagi dalam keadaan normal seperti sebelumnya. Jika perkosaan itu mengakibatkan
5
Supriyadi Widodo Eddoyono dan Indry Oktaviani, Kejahatan Perkosaan dalam RUU
KUHP, (Jakarta: Elsam dan Tifa, 2007), hal. 1.

5
Universitas Sumatera Utara
kehamilan, maka pengalaman traumatis akan bertambah besar. Terdapat

kecenderungan cukup tinggi untuk melakukan aborsi yang disebabkan perbuatan

perkosaan karena janin yang dikandung cenderung tidak dikehendaki untuk

dilahirkan.6

Pengaturan hukum mengenai aborsi di dalam KUHP melarang setiap orang

melakukan aborsi dengan alasan apapun, sedangkan dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61

Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi mengatur pengecualiannya. Terkait

dengan aturan pengecualian tersebut, Nafsiah Mboi menyatakan:

“disahkannya PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

adalah untuk menghormati hak wanita, terutama korban kejahatan seksual seperti

perkosaan. Wanita tidak boleh dikorbankan dua kali, diperkosa dan diharuskan

untuk memelihara bayinya hingga dewasa. Perkosaan adalah kejahatan seksual.

Jika wanita diharuskan untuk hamil dan memelihara anak tersebut hingga dewasa,

hak perempuan itu dilanggar.”

Banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual hingga berujung

pada kehamilan yang tidak diinginkan, membuat perempuan terpaksa melakukan

aborsi untuk mengurangi rasa trauma yang dideritanya, sehingga menyebabkan

perempuan berubah status yang awalnya menjadi korban, menjadi pelaku tindak

pidana. Pada terjadinya perempuan yang berhadapan dengan hukum,walaupun

sudah ada Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017, namun dalam

implementasinya perempuan tak mudah untuk mendapatkan persamaan didepan

6
Mien Rukmini, Laporan Akhir Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi
Akibat Perkosaan, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, 2004) Hal. 5.

6
Universitas Sumatera Utara
hukum dan akses terhadap keadilan. Perempuan sering dihadapkan adanya

diskriminasi gender.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ Perlindungan

Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Aborsi Akibat Perkosaan Ditinjau

Dari Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman

Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (Studi Putusan

Pengadilan Negeri No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn) “, yang selanjutnya akan

dibahas pada bab-bab selanjutnya pada skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban perkosaan?

2. Bagaimana upaya penyelesaian tindak pidana aborsi yang dilakukan

oleh korban perkosaan dalam kasus putusan

No.5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup perumusan masalah yang telah dikemukakan di

atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak korban

perkosaan.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian tindak pidana aborsi dalam

kasus putusan putusan No.5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn.

7
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini diantaranya:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat menambah pemahaman dan

pandangan masyarakat tentang perkosaan dan aborsi, sekaligus sebagai

bahan informasi bagi para akademis sebagai bahan perundingan bagi

penelitan lanjutan, dan dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan,

terutama di Jurusan Hukum Pidana. Serta menambah bahan referensi di

bidang karya ilmiah sehingga dapat menjadi bahan masukan dan acuan bagi

penelitian-penelitian sejenis di masa mendatang.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman atas pokok permasalahan dan penelitian ini

merupakan sarana bagi penulis untuk dapat menuangkan hasil pemikiran

serta hasil penelitian hukum, membentuk pola pikir yang sistematis, dan

untuk menggali kemampuan penulis berdasarkan ilmu yang sudah didapat

selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

dapat memberikan manfaat pemikiran bagi masyarakat umum, dan

khususnya mahasiswa Fakultas Hukum serta praktisi hukum.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Yang Melakukan Aborsi Akibat Perkosaan Ditinjau Dari Peraturan

Mahkamah Agung No. 3 TAHUN 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara

Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (Studi Putusan No.

8
Universitas Sumatera Utara
5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn)”, setelah penulis memeriksa beberapa judul

skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

belum ada yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah

penulis kemukakan di atas, karena pembahasan setiap tulisan selalu berbeda,

dengan demikian penulisan skripsi ini adalah asli dari penelitian yang telah

penulis lakukan. Apabila dikemudian hari ternyata telah ditemukan skripsi dengan

judul da nisi yang sama, maka penulis akan mempertanggungjawabkannya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Anak

Menurut Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak)

pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia,

disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak, adalah semua orang dewasa di

bawah umur 18 tahun. Kecuali Undang-undang menetapkan kedewasaan

dicapai lebih awal.

Di Indonesia sendiri dapat diketahui perbedaan pendapat mengenai

orang yang dikategorikan sebagai anak seperti di bawah ini:

a. Menurut Hukum Adat, anak tersebut sering dikatakan

minderjarig heid (bawah umur), yaitu apabila seseorang berada

dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika dikuasai oleh

orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd) nya.

Kriterianya adalah:

1) Belum 21 Tahun

9
Universitas Sumatera Utara
2) Belum kawin

b. Menurut fiqh islam, seseorang dikatakan dewasa dengan salah

satu tanda yang berikut :

1) Cukup berumur 15 tahun

2) Keluar mani

3) Mimpi bersetubuh

4) Mulai keluar haid bagi perempuan7

Pasal 1 Konvensi Hak anak secara umum mendefinisikan anak

sebagai orang yang belum mencapai usia 18 tahun, namun dalam pasal

tersebut juga mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam

penentuan batas usia kedewasaan di dalam peraturan perundang-undangan

dari tiap-tiap Negara peserta.8

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Termasuk anak

yang masih dalam kandungan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, menyebutkan bahwa:

a. Pasal 1 Angka 2:
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana

b. Pasal 1 Angka 3:
Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

7
Chairul Bariah Mozasa, Aturan-aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan
Anak), (Medan: USU press, 2005), hal. 3
8
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal.8.

10
Universitas Sumatera Utara
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.

c. Pasal 1 Angka 4:
Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

d. Pasal 1 Angka 5:
Anak yang menjadi saksi Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Saksi adalah Anak yang berumur 18 (delapan
belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara tindak pidana yang didengar,
dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Di Indonesia, ada berbagai macam batasan batasan usia anak yang

ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya:

a. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa anak adalas

seorang yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun.

b. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

c. Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa anak adalah

setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan

apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

11
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah salah satu istilah yang digunakan dari sekian

banyak istilah yang merupakan terjemahan dari kata yang berasal dari

bahasa Belanda yaitu “strafbaar feit.” Terjemahan lain yang juga sering

digunakan adalah:

a. Perbuatan pidana

b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan yang dapat dihukum

d. Delik, dan lain sebagainya

Simons merumuskan tindak pidana ialah kelakuan yang diancam

dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan

kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van

Hamel merumuskan; kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang-

undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan. Vos merumuskan; suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan

perundang-undangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yang pada

umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.9 R. Abdoel Djamali

mengatakan, peristiwa pidana atau sering disebut tindak pidana (delict) ialah

suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman

pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana

9
M. Hamdan dan Mahmud Mulyadi, Tindak Pidana Kesusilaan dan Tindakan Kebiri
Kimia, (Medan: USU Press, 2017), hal. 4

12
Universitas Sumatera Utara
kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Tindak pidana merupakan suatu

perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran10

Kemudian istilah tindak pidana juga menunjukkan pengertian gerak-

gerik tingkah laku atau gerak-gerik jasmani seseorang, hal-hal tersebut

menunjukkan kepada seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak

berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan hal

tersebut, timbul satu aturan mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia

tidak berbuat, yang di dalam Undang-Undang ditentukan pada Pasal 164

KUHP, dimana ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk

melaporkan kepada pihak berwajib apabila akan timbul suatu kejahatan,

namun pada nyatanya dia tidak melaporkan, karena perbuatannya yang tidak

melaporkan itu, maka dapat dikenai sanksi.

3. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuann untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti

melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan

hukum.11

Perlindungan hukum berdasarkan pendapat Satjipto Raharjo adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang

lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka

10
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hal.17
11
www. Suduthukum.com/2015/09/perlindungan-hukum.htmlm=1 diakses pada tanggal
13 Februari 2019 pukul 11.00 Wib.

13
Universitas Sumatera Utara
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dalam

menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu

tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang disebut dengan sarana

perlindungan hukum. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum

terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip Negara hukum. Dikaitkan

dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat

tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari Negara hukum.

4. Pengertian Perkosaan

Perkosaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan

paksa, kekerasan, kuat, perkasa. Sedangkan memerkosa berarti

menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan

kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar hukum yang berlaku.12

Menurut Steven Box, beberapa jenis perkosaan diantaranya:

a. Sadistic rape, yaitu perkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si

pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh,

tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “genitalia” dan

tubuh si korban

b. Anger rape, merupakan ungkapan perkosaan yang karena

kemarahan dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks

menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya

12
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hal. 40.

14
Universitas Sumatera Utara
kenikmatan seksual. Yang dituju acapkali keinginan untuk

mempermalukan si korban.

c. Domination rape, yaitu perkosaan yang dilakukan oleh mereka

yang ingin menunjukkan kekuatannya, misalnya, majikan yang

memerkosa bawahannya. Tidak ada maksud untuk

menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya

secara seksual.

d. Seduction-turned-into-rape, yaitu perkosaan yang ditandai

dengan adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang

digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud

mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si

korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang tegas.

e. Exploitation rape, merupakan jenis perkosaan dimana wanita

sangat bergantung dari si pelaku, baik dari sosial maupun

ekonomi. Acapkali terjadi di mana si istri dipaksa oleh si

suami.13

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merumuskan perkosaan pada

Pasal 285 - Pasal 288, berikut penjabarannya:

a. Pasal 285:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.14

13
Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Karya Unipress,
1998). hal. 103.
14
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

15
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur delik perkosaan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Pasal 285 adalah:

1) Barangsiapa

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan

merupakan unsur, hanya memperlihatkan si pelaku

(dader/doer) adalah manusia. Sebagian lagi berpendapat

bahwa “barangsiapa” tersebut adalah manusia, tetapi perlu

diuraikan manusia siapa dan beberapa orang. Jadi identitas

“barangsiapa tersebut harus jelas.15

2) Perbuatannya: memaksa

Perbuatan memaksa adalah perbuatan yang ditujukan pada

orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang

bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang

lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau

sama dengan kehendaknya sendiri.

3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Menurut M.H. Tirtaamidjaja, dengan kekerasan dimaksud

setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan

yang agak hebat. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian

“kekerasan” sehingga meringankan atau melemahkan

orang, disamakan dengan melakukan kekerasan.

“kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan

terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa

15
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996) hal. 49

16
Universitas Sumatera Utara
sehingga berbuat lain tidak memungkinkan) baginya selain

membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

4) Seorang wanita bersetubuh dengan dia

Pengertian bersetubuh menurut M.H Tirtaamidjaja berarti

persetubuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan

perempuan, yang pada umumnya menimbulkan

kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran air

mani dalam kemaluan si perempuan. Pengertian

bersetubuh diartikan bahwa penis telah penetrasi ke dalam

vagina.

5) Di luar perkawinan

Berarti melakukan persetubuhan bukan dengan istrinya.

Pada kejahatan ini pelakunya adalah selalu laki-laki saja.

Apabila pelakunya perempuan tidak dapat dipidana

berdasarkan ketentuan tersebut. Perbuatan perkosaan

syaratnya harus ada paksaan terhadap korban. Paksaan itu

dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan. Misalnya dengan caramelukai sehingga korban

terpaksa bersedia melayani atau dengan menajkut-nakuti

akan membunuh apabila tidak mau menuruti kemauan

pelaku untuk bersetubuh.

Lazimnya dipahami bahwa terjadinya perkosaan yaitu dengan

penetrasi secara paksa atau masuknya penis dengan cara pemaksaan

ke dalam vagina. Dalam perkosaan, tidaklah selalu harus masuknya

17
Universitas Sumatera Utara
penis ke dalam vagina. Bisa saja yang dimasukkan ke dalam vagina

bukan penis si pelaku tapi jari, kayu, botol atau apa saja, baik ke

dalam vagina maupun mulut atau anus.

Pasal 285 KUHP belum secara realita melindungi kaum wanita.

Pasal 285 KUHP hanya menyebut “wanita.” Seyogianya wanita

dibedakan berdasarkan umur, fisik, maupun status sehingga wanita

dapat dibedakan atau dikategorikan sebagai berikut:

1) Wanita yang belum dewasa yang masih perawan.

2) Wanita dewasa yang masih perawan.

3) Wanita yang sudah tidak perawan lagi.

4) Wanita yang sedang bersuami

Dari penjelasan diatas, cukup jelas bahwa yang tidak

dikehendaki oleh Undang-Undang di dalam ketentuan pidana yang

diatur dalam Pasal 285 KUHP sebenarnya ialah timbulnya akibat

berupa dimasukkannya penis pelaku kedalam vagina korban, atau

dengan kata lain, tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal

KUHP sebenarnya merupakan suatu delik materiil, yang baru dapat

dipandang sebagai telah selesai dilakukan oleh pelaku, jika akibat

tersebut ternyata telah terjadi.

Hambatan dalam penerapan pasal 285 KUHP, meskipun

rumusan pasal tersebut tidak begitu sulit dipahami, tetapi

penerapannya bukan hal yang mudah. Selain karena wanita korban

perkosaan pada umumnya sangat malu sehingga enggan

melaporkannya atau tidak segera melaporkan juga karena perbuatan

18
Universitas Sumatera Utara
tersebut umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain kecuali

pemerkosaan dilakukan secara bersama-sama.

Sering pelaporan “perkosaan” dilakukan setelah wanita tersebut

hamil atau setelah laki-laki tidak mau mengawini bahkan ada yang

melaporkan setelah beberapa kali mengalami perkosaan. Kecepatan

pelaporan kejadian, akan sangat mempengaruhi keberhasilan

penyidikan dan penuntutan karena dengan demikian pembuktian tidak

begitu rumit apalagi jika wanita korban perkosaan tersebut

melaporkan sebelum membersihkan diri/badan. Dengan demikian

semua alat bukti akan memungkinkan untuk memperolehya baik

dengan visum et repertum maupun dengan hasil laboratorium

misalnya sidik jari. Sering juga didengar alasan bahwa jumlah

penyidik (polisi) belum memadai jumlahnya dan mutunya pun sedang

ditingkatkan.

b. Pasal 286

“barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar


perkawinan, padahal diketahui wanita itu dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara
paling lama Sembilan tahun.”16

Dalam hal ini Adami Chazawi17 menyatakan bahwa keadaan

pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang

pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut

ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan

16
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politea, 1994, hal. 209.
17
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), hal. 67.

19
Universitas Sumatera Utara
tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini ia tidak mengetahui apa yang

telah diperbuat orang lain in case disetbuhi terhadap dirinya.

Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan

obat tidur, maka keadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan

pingsan.18

Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar

tentang apa yang telah diperbuat orang lain terhadap dirinya.

Misalnya, perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak

cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang

memerkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak

berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya itu

bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi

yang sudah terjadi. Si pelaku hanya di isyaratkan untuk secara

subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam

keadaan pingsan atau tidak berdaya.

c. Pasal 287

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar


perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak jelas, bahwaa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika
umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada
salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.

Menurut Adami Chazawi berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan

Pasal 286 KUHP yang mengisyaratkan tidak adanya persetujuan dari

18
Ibid

20
Universitas Sumatera Utara
perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan

atau ancaman kekerasan, maka pada Pasal 287 KUHP, persetubuhan

yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban.

d. Pasal 288

(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seiring


wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan
pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.

Rumusan tentang tindak pidana mengenai perkosaan di atur

dalam Pasal 288 KUHP, menurut R. Soesilo pada dasarnya KUHP

tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi

perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah

istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan

akibat luka-luka atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini

bukanlah persetubuhan dengan istrinya yang belum masanya untuk

dikawinkan, melainkan bersetubuh yang dapat mengakibatkan istrinya

yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka

secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.

Berkenaan dengan implikasinya pada korban perkosaan maupun

percobaan perkosaan tidak banyak berbeda dampak psikologisnya.

Dari sisi fisik dapat terjadi luka-luka di alat kelamin dan sekitar alat

kelamin, anus, mulut maupun bagian-bagian tubuh lain, pendarahan,

infeksi dan penularan penyakit menular seksual, kehamilan bahkan

21
Universitas Sumatera Utara
kematian. Dampak psikologis perkosaan dan tindak kekerasan seksual

pada umumnya sangat berat.

Tercakup dalam bagian ini, berbagai bentuk kekerasan dan

abuse seksual, termasuk incest. Kekerasan dan abuse seksual pada

masa kanak sering tidak teridentifikasi, dan karena anak belum dapat

memahami dengan sepenuhnya apa yang terjadi pada dirinya,

kekerasan tersebut dapat menjadi berimplikasi pada munculnya

gangguan-gangguan dalam kehidupannya. Bahkan menjadi terror

dalam kehidupannya, tetapi tidak mampu, atau tidak berani

mengungkapkannya karena berbagai hal (misal: diancam pelaku, tidak

memiliki significant others yang dipercayainya). 19

5. Pengertian Aborsi

Menurut hukum pengertian aborsi adalah lahirnya buah kandungan

sebelum waktunya oleh suatu perbuatan yang bersifat sebagai perbuatan

pidana kejahatan. Dalam pengertian ini,, perhatian dititik beratkan pada

kalimat “oleh suatu perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan

pidana kejahatan.

Menurut literatur ilmu hukum, telah terdapat kesatuan pendapat

sebagai doktrin bahwa pengertian aborsi mempunyai arti yang umum tanpa

dipersoalkan umur janin yang mengakhiri kandungan sebelum waktunya

karena perbuatan seseorang.20

19
Tapi Omas Ihromi, dkk, Op.Cit, hal 279
20
C.B. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2002),
hal. 11.

22
Universitas Sumatera Utara
Aborsi, atau lebih sering disebut dengan istilah “pengguguran janin”

merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku aborsi

banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku juga terhadap

masyarakat luas. Abdul Bari Saifuddin pada saat itu menjabat Ketua Umum

PB POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia), pada acara

pengukuhan jabatan guru besarnya di Universitas Indonesia

mengungkapkan,bahwa setiap tahun ada sekitar 50 (lima puluh) juta wanita

melakukan aborsi di dunia. Angka 50 (limapuluh) juta ini diperkirakan akan

terus meningkat di berbagai Negara, termasuk di Indonesia, lebih-lebih

sebagai akibat meningkatnya angka-angka kehamilan di luar nikah.

Kehamilan di luar nikah memiliki korelasi dengan kasus aborsi,

artinya aborsi itu dilakukan karena kondisi kehamilan yang diproduk

melalui ikatan pergaulan adultery baik yang bermodus promiskuitas

maupun karena “kumpul kebo” (samen leven).21

Hal demikian semakin meresahkan masyarakat, terutama mereka

(keluarga) yang memiliki anak gadis (remaja/belum menikah). Berbagai

hasil penelitian memperlihatkan bahwa aborsi banyak dilakukan oleh anak

gadis (remaja/belum menikah), dengan penyebab yang bervariasi, mulai dari

alasan tidak mampu merawat bayi sampai kepada ketidakmampuan

ekonomi. Dapat dirinci bahwa faktor yang mendorong seseorang melakukan

aborsi adalah:

21
Mien Rukmini, Op.Cit, hal. 1

23
Universitas Sumatera Utara
a. Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak

memiliki anak

b. Malu diketahui oleh orang tua atau keluarga dan masyarakat

c. Pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab (kabur)

d. Masih sekolah

e. Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi

f. Janin yang dikandung dari kasus perkosaan

g. Dorongan dari keluarga (orang tua) atau lainnya.

Apabila ditelusuri aborsi berkaitan erat dengan posisi wanita yang

cenderung sering menjadi korban dari perilaku kekerasan seksual baik dari

kalangan keluarga, atau orang-orang dekat mereka. Pelecehan seksual dan

pemerkosaan merupakan dorongan mengapa seorang wanita melakukan

tindakan aborsi. Khusus terhadap tindak aborsi yang terjadi karena

perkosaan, hampir dipastikan wanita dan keluarganya tidak menghendaki

kelahiran bayi karena berbagai alasan. Misalnya aib keluarga, pribadi dan

lingkungan sekitar. Pelecehan seksual atau pemerkosaan bisa terjadi dalam

lingkungan paling tersembunyi sekalipun bahkan dalam lingkungan

keluarga, dimana yang lebih mengenaskan pelakunya adalah mereka yang

seharusnya berada pada posisi pelindung kaum perempuan, yaitu ayah

kandungnya, paman atau kakeknya.

Aborsi terdiri dari dua macam;

a. Aborsi spontan (spontaneous aborsi), ialah aborsi yang tidak

disengaja. Aborsi ini bisa saja terjadi karena penyakit,

kecelakaan atau sebagainya.

24
Universitas Sumatera Utara
b. Aborsi artificial therapicus, yakni aborsi yang dilakukan oleh

dokter atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan

diteruskan bisa membahayakan jiwa si calon ibu karena

misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC, ginjal,

darah tinggi akut, dan lain sebagainya.

c. Aborsi provocatus kriminalis, ialah aborsi yang dilakukan tanpa

dasar indikasi medis, misalnya aborsi yang dilakukan untuk

meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk

mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.

Kejahatan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan

(doodslag op een ongenborn vrucht) diatur dalam 4 Pasal yakni, Pasal 346,

Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349 KUHP. Obyek kejahatan ini adalah

kandungan, yang dapat berupa sudah berbentuk makhluk yakni manusia,

berkaki dan bertangan dan berkepala.22

Aborsi bukanlah perbuatan yang dengan begitu saja muncul dan bisa

terjadi atau dilakukan oleh seseorang, namun aborsi merupakan proses

kontruksi, yaitu perbuatan dimana melibatkan banyak pihak dan banyak

faktor.Dalam setiap konstruksi itu setiap aktor terlibat secara aktif dalam

membentuk peristiwa aborsi, yaitu untuk dapat terjadi aborsi dalam

perkosaan harus ada pemerkosa, korban yang diperkosa, janin yang diaborsi,

serta pelaku aborsi atau yang membantu melakukan. Proses konstruksi

tersebut membentuk pula dimensi hukum yang berbeda, bahwa setiap

tindakan hukum yang dijatuhkan harus mempertimbangkan persoalan yang

22
Adami Chazawi, Op Cit, hal. 111.

25
Universitas Sumatera Utara
terjadi di belakang tindakan tersebut, artinya apakah tindakan itu bisa

dikategorikan sebagai perbuatan yang oleh hukum justru tidak dianggap

sebagai perbuatan pidana, atau justru sebaliknya. Karena hukum menjadi

sangat tidak adil apabila tindakan yang diambil oleh hukum

menyamaratakan perbuatan tanpa pengecualian.

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada umumnya melibatkan kegiatan menganalisis

fakta, mengidentifikasi isu yang relevan dan menemukan bahan-bahan yang

bersifat autoritatif untuk mendukung pendapatnya. Bahan-bahan hukum

autoritatif meliputi putusan hakim dan peraturan perundang-undangan.

Argumen atau pendapat dapat juga didasarkan pada pendapat-pendapat

penulis dalam buku teks, artikel atau bentuk komentar lain tentang bahan

hukum autoritatif, baik yang berbentuk cetakan maupun online atau

elektronik.23

Dalam penulisan skripsi ini, yang dipakai adalah sebagai berikut:

a. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji

disebut juga dengan istilah penelitan kepustakaan. Nama penelitian

hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum normative

dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data

sekunder saja. Lebih lanjut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji

menyatakan bahwa penelitian hukum normatif mencakup:


23
Dyah Ochtorina Susanti dan A‟an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 2.

26
Universitas Sumatera Utara
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum

2) Penelitian terhadap sistematik hukum

3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horizontal

4) Perbandingan hukum

5) Sejarah hukum24

b. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum

adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach).

Pendekatan yang digunakan di dalam skripsi ini adalah

pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Hasil dari telah tersebut merupakan

suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Memahami

kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu, maka

dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara

undang-undang dengan isu yang dihadapi. 25

c. Sumber Data
24
Ibid, hal. 19.
25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), hal. 93.

27
Universitas Sumatera Utara
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan

hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yang

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, misalnya kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks

kumulatif, dan sebagainya.26

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yang terdiri atas:

1) Bahan hukum primer yang digunakan yaitu Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)

Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

26
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998), hal. 117.

28
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, Peraturan Mahkamah Agung No.

3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara

Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dan Putusan

Pengadilan Negeri No 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn.

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku,

jurnal yang berkaitan dengan hukum Pidana, khususnya

mengenai Aborsi yang diakibatkan karena Perkosaan

3) Bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) dan kamus hukum.

H. Sistematika Penelitian

Skripsi ini ditulis dengan sistematika penulisan karya ilmiah pada

umumnya. Permasalahan dapat diketahui pada bagian pendahuluan yang

kemudian diikuti uraian tentang metode pembahasan, kemudian dirangkai

dengan teori-teori dalam rangka membahas masalah untuk mencapai

kesimpulan dan saran.

Supaya mudah dalam penyusunan dan memahami isi dan pesan yang

ingin disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan

dalam skripsi ini. Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang pemikiran

penulis sehingga mengangkat judul dengan rumusan masalahnya, tujuan dan

manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan,

29
Universitas Sumatera Utara
tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang dipakai serta sistematika

pemulisan ini.

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

MELAKUKAN ABORSI AKIBAT PERKOSAAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan tindak pidana aborsi

dan perkosaan untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan hukum

mengenai aborsi dan perkosaan dan bentuk perlindungan hukum yang

diberikan kepada pelaku aborsi akibat perkosaan

BAB III UPAYA PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ABORSI

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK KORBAN PERKOSAAN

DALAM STUDI PUTUSAN No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn

Dalam bab ini akan dibahas mengenai upaya penyelesaian

permasalahan mengenai aborsi yang dilakukan anak di bawah umur akibat

perkosaan dan solusi terbaik yang dapat diberikan kepadanya demi

menyembuhkan trauma fisik dan psikologis yang dihadapinya.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan

dan saran yang penulis berikan terhadap permasalahan yang telah

dikemukakan.

30
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN

A. Sejarah Aborsi

1. Zaman Kuno

Sepanjang sejarah umat manusia, aborsi dan nuga infanticide

(pembunuhan anak kecil) sering ditemukan di berbagai tempat dan

kebudayaan. Masalah aborsi bukanlah masalah yang baru. Ia sudah ada

sejak zaman purba/kuno, yang membedakannya hanyalah kadarnya yang

semakin lama semakin subur, searah dengan perkembangan teknologi yang

semakin memudahkan pelaksanaan aborsi dengan risiko kematian ibu yang

semakin kecil.

Ramuan obat-obatan untuk menggugurkan kandungan sudah dikenal

sejak zaman kekaisaran China kuno, yakni zaman kaisar Shan Nung, yang

hidup sekitar tahun 2000 (SM). Rumus ramuan obat-obatan yang diramu da

shuh-yin (mencuri) itu dapat ditemukan dalam arsip perpustakaan

kekaisaran. Dipercaya bahwa praktik aborsi itu sudah dipraktekkan sebelum

kaisar Shan Nung.27

Pada masa yang sangat tua terdapat beberapa undang-undang yang

mengatur tentang persoalan janin/aborsi, misalnya dalam Undang-undang

Hamurabi, Undang-undang Assiria, atau ada juga yang dikenal dengan

“sumpah asap” yang salah satu pasalnya menyebutkan, “janganlah

27
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta,
Buku Kedokteran EGC: 2009) hal. 8.

31
Universitas Sumatera Utara
membunuh orang dengan getah akar-akaran. Janganlah memberikan obat

kepada wanita yang mengandung anak haram untuk menggugurkannya.

Masyarakat yunani kuno juga mengenal dengan baik perbuatan aborsi.

Naskah paling kuno yang tersimpan dan kebudayaan yunani kuno berasal

dan abad 5 SM. Dalam naskah yang berjudul Ei Zoon to kata gastros, (yang

ada dalam uterus adalah makhluk hidup) yang ditulis oleh Psudo Galeno,

dalam naskah itu antara lain dikatakan, “dengan sesungguhnya dan dengan

hukum dan dalam lingkupnya, kita akan menunjukkan bahwa embrio itu

adalah makhluk hidup”.

Dari beberapa filsuf zaman yunani kuno itupun ditemukan beberapa

hal mengenai aborsi, misalnya plato (427 SM-347 SM) atau juga aristoteles

(384-322 SM). Pendek kata, bahwa sejak zaman lampau aborsi sudah

menjadi kajian berbagai ahli, sehigga keberadaannya bukanlah hal yang

asing.

2. Zaman modern

Pada masa berikutnya di kenal beberapa nama yang memiliki kaitan

dengan persoalan aborsi, misalnya Henry de Bracton yang merupakan orang

pertama menulis hukum sipil mengenai aborsi. Ia adalah salah seorang

hakim dan Raja Inggris Hendrik III. Ia wafat tahun 1268. Juga, pada tahun

1644, di Inggris diterbitkan Institutes of The Laws of England karya Eward

Coke (1552-1634), yang dalam buku tersebut dijelaskan bahwa, aborsi yang

dilakukan sebelum adanya pergerakan janin, maka perbuatan itu sama sekali

32
Universitas Sumatera Utara
bukan tindak kriminal, sedangkan kalau dilakukan sesudah ada pergerakan

janin, itu hanya pelanggaran kecil saja.

Peraturan hukum anti aborsi di banyak Negara baru disusun selama

abad ke-19. Di Amerika Serikat, sebelum 1800 tidak ada satu Negara

bagianpun yang memiliki peraturan yang melarang aborsi. Jika selama abad

ke-19 undang-undang anti aborsi mulai dibentuk, alasan utamanya adalah

kebijakan berpendudukan, bukan pertimbangan moral yang eksplisit,

walaupun pandangan profesi kedokteran ikut mendorong ke arah itu. Sekitar

1900 semua Negara bagian Amerika Serikat mempunyai peraturan anti-

aborsi yang ketat, demikian juga dihampir semua Negara dunia Barat yang

lain.

Adapun jenis-jenis aborsi adalah sebagai berikut :

a. Jenis-jenis Aborsi

Secara umum, pengguguran kandungan dapat dibagi dalam dua

macam, yakni pengguguran spontan (spontaneous aborsi) dan

pengguguran kandungan buatan atau disengaja (aborsi provocatus),

meskipun secara terminologi banyak macam aborsi yang bisa

dijelaskan. Krismaryanto, menguraikan berbagai macam aborsi, yang

terdiri dari:

1) Aborsi/pengguguran Procured abortion/aborsi

provocatus/induced abortion, yaitu penghentian hasil

kehamilan dari Rahim sebelum janin bisa hidup di luar

kandungan (viability)

33
Universitas Sumatera Utara
2) Miscarriage/keguguran. Yaitu berhentinya kehamilan

sebelum bayi bisa hidup di luar kandungan tanpa campur

tangan manusia

3) Aborsi Therapeutic/ medicalis. Adalah penghentian

kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan

nyawa ibu, atau menghindarkan si ibu dari kerusakan fatal

pada kesehatan/tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan

(irreversible) lagi.

4) Aborsi kriminalis. Adalah penghentian kehamilan sebelum

janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan

lain, selain therapeutic dan dilarang oleh hukum.

5) Aborsi eugenetik, adalah penghentian kehamilan untuk

menghindari kelahiran bayi cacat atau bayi yang

mempunyai penyakit genetis. Eugenisme adalah ideologi

yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya yang

unggul saja.

6) Aborsi langsung-tak langsung. Aborsi langsung, adalah

tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara

langsung ingin membunuh janin yang ada dalam Rahim

sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu

tindakan (intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi,

meskipun aborsinya sendiri tidak dimaksudkan dan bukan

menjadi tujuan dalam tindakan itu.

34
Universitas Sumatera Utara
7) Selective abortion, adalah penghentian kehamilan karena

janinyang dikandung tidak memenuhi kriteria yang

diinginkan. Aborsi ini banyak dilakukan wanita yang

mengadakan „pre natal diagnosis” yang diagnosis janin

ketika ia masih ada di dalam kandungan.

8) Embryo reduction (pengurangan embrio). Pengurangan

janin dengan menyisakan satu atau dua janin saja, karena

dikhawatirkan mengalami hambatan perkembangan, atau

bahkan tidak sehat perkembangannya.

9) Partial birth abortion, merupakan istilahpolitis/hukum

yang dalam istilah medis dikenal dengan namadilation and

extraction. Cara ini pertama-tama adalah dengan cara

memberikan obat-obatan ke pada wanita hamil, tujuan

agar cervix (leher Rahim) terbuka secara premature.

Tindakan selanjutnya adalah menggunakan alat khusus,

dokter memutar posisi bayi, sehingga yang keluar lebih

dahulu ialah kakinya. Lalu bayi itu ditarik keluar, tetapi

tidak seluruhnya, agar kepala bayi tersebut tetap berada

dalam tubuh ibunya.

Ketika di dalam itulah dokter menusuk kepala bayi dengan

alat yang tajam. Dan menghisap otak dibayi sehingga si

bayi mati. Sesudah bayi itu mati baru bayi dikeluarkan

semuanya. Proses macam ini dilakukan untuk menghindari

masalah hukum, sebab kalau bayi itu dibunuh sesudah

35
Universitas Sumatera Utara
lahir, maka pelakunya akan dihukum. Akan tetapi karena

pembunuhan tersebut dilakukan sebelum bayi lahir dan

ketika lahir bayi itu sudah dalam keadaan mati, maka sang

pelaku bebas dari hukuman pembunuhan.

Dalam ilmu kedokteran, aborsi dibagi atas dua golongan, yaitu:

1) Aborsi Spontanus atau ilmiah

Aborsi terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pengaruh

dari luar baik faktor mekanis maupun medisinalis. Misalnya

karena sel sperma atau sel telur tidak bagus kualitasnya, atau

karena ada kelalaian bentuk Rahim. Dapat juga disebabkan oleh

penyakit, misalnya penyakit sipilis, infeksi akut dengan disertai

demam yang tinggi pada penyakit malaria. Aborsi spontanus

dapat juga terjadi karena sang ibu hamil muda, ia melakukan

pekerjaan yang berat atau keadaan kandungan yang tidak kuat

dalam Rahim karena usia wanita yang terlalu muda sewaktu

hamil ataupun terlalu tua.

Aborsi spontan dibagi atas:28

a) Aborsi komplektus

Keluarnya seluruh hasil konsepsi sebelum umur

kehamilan lengkap 20 minggu.

b) Aborsi habitualis

Aborsi terjadi tiga atau lebih aborsi spontan berturut-

turut. Aborsi ini dapat terjadi juga dikala seorang wanita

28
Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2009), hal. 26.

36
Universitas Sumatera Utara
mudah sekali mengalami keguguran yang disebabkan oleh

gangguan dari luar yang amat ringan sekali, misalnya

terpeleset, naik kuda, naik sepeda dan lain-lain. Bila

keguguran hampir tiap kali terjadi pada tiap-tiap

kehamilan, maka keadaan ini disebut “aborsi habitualis,”

yang biasanya terjadi pada kandungan minggu kelima

sampai ke lima belas.

c) Aborsi inkompletus

Artinya keluar sebagian tetapi tidak seluruh hasil

konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.

d) Aborsi diinduksi

Yaitu penghentian kehamilan sengaja dengan cara

apa saja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu

dapat bersifat terapi atau non terapi.

e) Aborsi insipiens

Yaitu keadaan perdarahan dari interauteri yang

terjadi dengan dilatasi serviks kontinu dan progresif tetapi

tanpa pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan

20 minggu.

f) Aborsi terinfeksi

Yaitu aborsi yang disertai infeksi organ genital.

g) Missed Abortion

Yaitu aborsi yang embrio atas janinnya meninggal.

Dalam uterus sebelum umur kehamilan lengkap 20

37
Universitas Sumatera Utara
minggu tetapi hasil konsepsi tertahan dalam uterus selama

8 minggu atau lebih.

h) Aborsi septik

Yaitu aborsi yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorgansme

dari produknya kedalam sirkulasi ibu.

2) Aborsi provokatus

Yaitu aborsi yang disengaja, yang dilakukan dengan

maksud dan pertimbangan tertentu baik dengan memakai obat-

obatan atau alat karena kandungan tidak dikehendaki.

Aborsi Provokatus terdiri dari:

a) Provocatus therapeutics/aborsi medicalis

Yaitu aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia.

Dapat terjadi karena dorongan medik, misalnya karena

wanita yang hamil karena menderita suatu penyakit.

Aborsi provokatus dapat juga dilakukan pada saat kritis

untuk menolong jiwa si ibu, kehamilan perlu diakhiri,

misalnya pada kehamilan di luar kandungan, sakit jantung

yang parah, penyakit TBC yang parah, tekanan darah

tinggi, kanker payudara, kanker leher Rahim. Indikasi

untuk melakukan aborsi provokatus therapeuticum sedikit-

dikitnya harus ditentukan oleh dua orang dokter spesialis,

38
Universitas Sumatera Utara
seorang ahli kebidanan dan seorang lagi dari ahli penyakit

dalam atau seorang ahli penyakit jantung.29

b) Aborsi provocatus criminalis

Adalah pengguguran yang dilakukan tanpa dasar

indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk

meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau

untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.

Menstrual regulation (pengaturan menstruasi) bisa

dimasukkan ke dalam aborsi jenis ini. Pengaturan

menstruasi biasanya dilaksanakan bagi wanita yang

merasa terhambat waktu menstruasi, dan berdasarkan hasil

pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai

mengandung. Dalam keadaan demikian wanita yang

terlambat menstruasinya meminta kepada dokter untuk

membereskan janinnya.30

b. Alasan Pembenar Aborsi dapat dilakukan

Pada saat ini, aborsi banyak dilakukan oleh anak gadis

(remaja/belum menikah) dengan alasan bervariasi, mulai dari alasan

tidak mampu merawat bayi, karena malu, sampai dengan alasan

kemampuan ekonomi yang tidak mencukupi. Lebih-lebih kehamilan

itu diakibatkan oleh perkosaan, karena kecenderungan untuk

29
Ibid.
30
Mien Rukmini, Op Cit,hal. 20.

39
Universitas Sumatera Utara
melakukan aborsi lebih kuat kaena biasanya janin yang dikandung

cenderung tidak dikehendaki untuk dilahirkan.

Jika ditinjau dari segi medis, tidak ada batasan pasti kepada

kandungan bisa digugurkan. Kandungan seseorang perempuan bisa

digugurkan kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk

menggugurkan kandungan tersebut. Misalnya jika diketahui anak yang

akan dilahirkan mengalami cacat berat atau si ibu menderita penyakit

jantung yang akan sangat berbahaya sekali untuk keselamatan jiwanya

pada saat melahirkan nanti, sekalipun usia janin sudah berusia lima

bulan atau enam bulan, pertimbangan medis masih memperbolehkan

dilakukan abortus provoatus.

Mengenai aborsi akibat perkosaan, dari segi medis perkosaan

adalah pemaksaan hubungan kelamin seorang pria kepada wanita.

Konsekuensi dari perkosaan adalah terjadinya kehamilan. Kehamilan

pada korban perkosaan oleh wanita korban perkosaan yang

bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Hal tersebut

menyebabkan wanita korban perkosaan menolak keberadaan janin

yang tumbuh dalam rahimnya.

Seorang korban perkosaan tidak akan merasa berdosa sekalipun

telah menggugurkan kandungannya, karena korban perkosaan

menganggap bahwa janin yang ada diperutnya merupakan sumber

malapetaka yang harus dibuang jauh-jauh. Oleh karena itu wanita

korban perkosaan harus segera mendapat pendampingan dan

dukungan moral terutama dari keluarga. Pendampingan dan dukungan

40
Universitas Sumatera Utara
moral dari pihak-pihak yang bersimpati, kemudian adanya kesempatan

dan tempat untuk menumpahkan segala perasaannya serta tindakan-

tindakan medis darurat dapat meringankan atau mencegah trauma

psikis korban.

Terdapat beberapa alasan, mengapa dilakukan aborsi, antara

lain:

1) Si perempuan tidak siap untuk hamil dikarenakan

beberapa faktor (misalnya: masih sekolah, tingkat

ekonomi sulit).

2) Adanya kegagalan alat kontrasepsi Keluarga Berencana

(Pemakai pil KB sekitar 20 juta orang. Dan 5% dari

peserta KB tersebut seringkali gagal).

3) Adanya kontrak kerja (selama tiga tahun pertama kerja

tidak boleh hamil bagi karyawati perusahaan tertentu).

4) Akibat perkosaan (incest sering terjadi).

5) Adanya penyakit bawaan yang berbahaya ( misal:

Thalasemia, Down Syndrome, dan sebagainya).

6) Ketidaktahuan dari remaja akan kehamilan.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak

Pidana Aborsi Akibat Perkosaan

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Perbuatan aborsi atau pengguguran kandungan didalam KUHP adalah

perbuatan yang dilarang. Pembahasan mengenai aborsi terhadap wanita

41
Universitas Sumatera Utara
korban perkosaan belum di atur, melainkan hanya mengenai larangan aborsi

secara umum yaitu tentang Kejahatan terhadap Jiwa manusia, Pasal 299,

Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Pasal-pasal tersebut menyatakan

bahwa perbuatan pengguguran kandungan itu merupakan perbuatan

kejahatan yang dapat dipidana. Berikut penjabaran mengenai aborsi dalam

KUHP:

a. Pasal 299

(1) Barangsiapa dengan sengaja merawat seorang wanita atau


menyarankannya untuk mendapat suatu perawatan, dengan
memberitahukan kepadanya bahwa dengan perawatan tersebut
suatu kehamilan dapat menjadi terganggu, di pidana dengan
pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau engan pidana
denda setinggi-tingginya empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah telah melakukannya dengan harapan
mendapat keuntungan atau telah melakukan kejahatan tersebut
sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan, ataupun jika
ia merupakan seorang dokter, seorang bidan atau seorang ahli
meramu obat-obatan, maka pidana-pidana tersebut diperberat
dengan sepertiganya.
(3) Jika yang bersalah telah melakukan kejahatan tersebut dalam
pekerjaannya, maka ia dapat dicabut haknya untuk melakukan
pekerjaan tersebut.31

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 299 KUHP sebenarnya

merupakan suatu ketentuan pidana yang telah dibentuk dengan maksud

untuk melarang tindakan yang dilakukan oleh para aborteur, yang telah

merawat atau telah menyarankan seorang wanita mendapat perawatan,

dengan memberitahukan atau dengan memberikan harapan kepada wanita

tersebut, bahwa dengan perawatan itu suatu kehamilan dapat menjadi

terganggu.

31
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

42
Universitas Sumatera Utara
Terbentuknya ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 299 KUHP

sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari adanya pengharapan baik yang ada

di dalam masyarakat yang menghendaki agar pemerintah memikirkan

tentang kemungkinan dibentuknya peraturan yang sifatnya melindungi para

tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya, mereka kadang-kadang secara

terpaksa harus melakukan abortus terhadap kandungan pasien, berdasarkan

pertimbangan medis.

Kejahatan yang dirumuskan pada ayat (1) memiliki unsur-unsur

sebagai berikut:

Unsur-unsur Objektif:
1. Perbuatannya mengobati ;
Menyuruh supaya diobati;
2. Objeknya seorang perempuan
3. Diberitahukan hamilnya dapat digugurkan
Ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan

Unsur Subjektif: Dengan sengaja

Perbuatan mengobati (in behandeling nemen) yang dihubungkan

dengan unsur-unsur lain dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan

mengobati seorang perempuan dengan cara bagaimanapun. Misalnya

dengan memberi obat, memijat-mijat bagian tubuh korban dengan terlebih

dahulu memberitahukan kepada korban bahwa dengan demikiann janin yang

dikandungnya dapat menjadi gugur, atau memberikan harapan pada korban

bahwa kehamilannya dapat digugurkan.

Pada perbuatan menyuruh mengobati, si pembuat tidak melakukannya

sendiri pengobatan itu, tetapi menyuruh orang lain untuk melakukan

pengobatan terhadap perempuan itu, atau menyuruh perempuan itu sendiri

43
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan pengobatan dengan petunjuk dan saran maupun

keterangan-keterangan. Jadi yang melakukan pengobatan itu, bisa pihak

ketiga dan bisa perempuan itu sendiri.

Perkataan menyuruh mengobati, tidak sama artinya dengan menyuruh

lakukan (doen plegen) menurut arti Pasal 55 ayat (1) butir 1, karena

menyuruh melakukan pada Pasal 55 ayat (1) terdapat syarat bahwa orang

yang disuruh melakukan (manus ministra), tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena itu dia tidak boleh dipidana.

Tetapi orang yang disuruh mengobati dalam pengertian kejahatan ini adalah

orang yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat dipidana, kecuali

apabila dalam menyuruh mengobati itu dilakukan sedemikian rupa sehingga

orang yang disuruh mengobati itu menjadi tidak berdaya sehingga dia tidak

dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dia dipaksa dengan ancaman

kekerasan akan dibunuh jika tidak mau melakukan pengobatan.

Sesuai dengan yang dijelaskan di dalam Memorie van Toelichting,

yakni apabila di dalam suatu rumusan ketentuan pidana itu terdapat kata-

kata dengan sengaja, maka kata-kata tersebut meliputi semua unsur tindak

pidana yang terdapat di belakangnya, unsur subjektif dengan sengaja di

dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP

meliputi unsur-unsur objektif kedua sampai dengan kelima.

Untuk dapat menyatakan seorang terdakwa terbukti telah memenuhi

unsur subjektif dengan sengaja tersebut, di sidang pengadilan yang

memeriksa dan mengadili perkara terdakwa yang didakwa telah melanggar

larangan yang diatur dalam Pasal 299 ayat (1) KUHP, baik penuntut umum

44
Universitas Sumatera Utara
maupun hakim harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak,

maksud, atau niat terdakwa untuk: a. merawat; b. menyarankan untuk

mendapat suatu perawatan; c. memberitahukan atau memberikan harapan

bahwa dengan perawatan tersebut, suatu kehamilan dapat menjadi

terganggu, dan tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa yang ia rawat

atau yang ia beritahukan atau berikan harapan bahwa dengan perawatan itu

suatu kehamilan dapat menjadi terganggu adalah seorang wanita.32

Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam

ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur

barangsiapa. Kata barangsiapa menunjuk pada orang, yang apabila orang

tersebut terbukti memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan

ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP, maka ia dapat

disebut pelaku dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan

pidana tersebut.

Unsur objektif kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam

ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur in

behandeling nemen atau unsur merawat. Kata-kata in behandeling nemen

atau unsur merawat mempunyai arti yang sangat luas, sehingga dapat

dimasukkan ke dalam pengertian tindakan-tindakan seperti melakukan

segala tindakan yang sifatnya operasional, perawatan dengan cara-cara yang

sifatnya intern, bahkan juga perawatan yang dilakukan dengan cara

memberikan saran-saran atau nasihat-nasihat.

32
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op Cit, hal 225.

45
Universitas Sumatera Utara
Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam

ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsuren

behandeling doen ondergaan atau menyarankan untuk mendapat suatu

perawatan. Menurut Simons yakni sesuai dengan yang dijelaskan di dalam

Memorie van Toelichting, perbuatan menyarankan untuk mendapat suatu

perawatan menyangkut perbuatan dari seorang aborteur, yang tidak dapat

merawat sendiri seorang wanita, melainkan yang telah membuat orang lain

merawat wanita tersebut.

Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan di

dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur

memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan

tersebut, suatu kehamilan dapat menjadi terganggu. Unsur objektif kelima

dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur

Pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur seorang wanita.

Ayat (2) merumuskan tentang dasar-dasar pemberatan pidana.

Penjelasan Pasal 299 KUHP menyatakan, bahwa ancaman hukuman

diperberat apabila perbuatan itu dilakukan:

a. Karena mencari untung

b. Sebagai pekerjaannya sehari-hari atau sebagai kebiasaan

c. Oleh dokter, bidan atau tukang membuat obat.

Pada ayat (3), tentang dapat dijatuhkannya pidanaa tambahan pada

kejahatan itu yaitu pencabutan hak menjalankan pencarian.33

b. Pasal 346:

33
Adami Chazawi, Op Cit, hal. 126.

46
Universitas Sumatera Utara
“seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”

Menurut H.A.K Mochtar34, unsur-unsur dari Pasal 346 KUHP adalah:

Unsur Objektif
1. Perempuan yang:
a. Menyebabkan gugur kandungannya ;
b. Mati kandungannya ;
2. Menyuruh orang lain menyebabkan:
a. Gugur kandungannya ;
b. Mati kandungannya ;
Unsur Subjektif
1. Dengan sengaja

Menurut Alfred C. Satyo35, yang diancam hukuman dalam Pasal ini


adalah:
1. Wanita yang menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau
mati ;
2. Wanita yang dengan sengaja menyuruh orang lain menyebabkan
kandungannya menjadi gugur atau mati.

Menurut H.A.K. Mochtar, unsur obyektif pertama terletak dalam

perbuatan perempuan terhadap badannya sendiri. Unsur obyektif yang

kedua adalah perempuan itu membiarkan orang lain menyebabkan

kandungannya gugur atau mati atas permintaannya sendiri atau atas izinnya.

Perempuan yang menyuruh dapat dihukum berdasarkan membujuk atau

menyuruh melakukan tindakan. Rumusan pasal 346 tidak menegaskan

bahwa si anak yang digugurkan masih hidup atau mati. Sesungguhnya harus

ditegaskanbahwa kandungan itu mati akibat pengguguran. Pengguguran

pada kandungan hanya dapat dipidana apabila pada waktu perbuatan itu

dilakukan kandungannya hidup. Apabila kandungan itu keluar dan ternyata

masih hidup lalu dibunuh, maka hal ini merupakan pembunuhan yang

34
H.A.K. Mochtar Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung,
Alumni: 1980), hal. 98.
35
Alfred C. Satyo, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi Dokter,
(Medan, USU Press: 2004) hal. 55.

47
Universitas Sumatera Utara
dipikirkan terlebih dahulu, disamping percobaan untuk menggugurkan

kandungan.

c. Pasal 347:

(1) barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan


kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

H.AK. Mochtar Anwar di dalam bukunya menjabarkan unsur-unsur

dalam Pasal 347 sebagai berikut:

Unsur Objektif:

1. Menyebabkan gugur kandungan seorang perempuan;


2. Menyebabkan mati kandungan seorang perempuan;
3. Tanpa izin dari perempuan itu

Unsur Subyektif:
1. Dengan Sengaja

H.A.K. Mochtar menambahkan, dalam ayat (1) bahwa perbuatan-

perbuatan itu dilakukan tanpa izin dari perempuan yang hamil itu. Dan

dalam ayat (2) hukuman diperberat, apabila menimbulkan akibat matinya

perempuan itu.

Alfred C. Satyo36 mengatakan bahwa yang diancam dengan hukuman

dalam Pasal ini adalah orang yang dengan sengaja menyebabkan kandungan

seorang wanita menjadi gugur atau mati, tanpa izin dari wanita yang

bersangkutan. Sedangkan ayat (2) menetapkan hukuman yang lebih berat,

apabila perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita yang bersangkutan.

d. Pasal 348:

36
Ibid

48
Universitas Sumatera Utara
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Menurut Andi Hamzah37, bagian ini delik Pasal 348 KUHP ayat (1) adalah:
1. Sengaja
2. Menggugurkan kandungan seorang perempuan
3. Dengan persetujuan
Unsur-unsur dalam Pasal 348 hampir sama dengan Pasal 347, yang

membedakannya adalah unsur tanpa izin. Pengguguran atau pembunuhan

kandungan dalam Pasal 348 dilakukan dengan seizing perempuan itu. Pada

ayat (2) ditetapkan hukuman yang lebih berat diancamkan terhadap

pengguguran ini, apabila perempuan itu meninggal dunia. Persamaannya

adalah bahwa Pasal 347 dan Pasal 348 sama-sama memiliki keadaan

memperberat pidana yang tercantum dalam ayat (2) nya, yaitu jika

perempuan itu mati. Visum dokter dapat digunakan sebagai bukti hubungan

kausalitas antara perbuatan menggugurkan kandungan yang menyangkut

perlakuan terhadap perempuan itu dan kematiannya.

e. Pasal 349:

“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan


kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan.”

Pasal 349 KUHP tidak memuat rumusan delik tersendiri. Menurut

Pasal 349 KUHP jika seorang dokter, bidan atau tukang obat, membantu

kejahatan dari Pasal 346 atau bersalah melakukan atau membantu salah satu

kejahatan dari Pasal 347 dan Pasal 348, maka hukuman yang ditentukan

37
Andi Hamzah, Op Cit, hal. 65.

49
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal itu boleh ditambah dengan sepertiganya, dan boleh disebut

haknya menjalankan pekerjaan yang didalamnya ia melakukan kejahatan

itu.

2. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Sebagaimana diketahui hukum pidana di Indonesia juga melarang

aborsi, meskipun Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Pasal 15 masih memberikan tempat bagi aborsi atas indikasi medis.

“Kelonggaran” yang diberikan Undang-Undang Kesehatan dirasakan masih

belum cukup oleh dokter-dokter proaborsi, melainkan lebih dari itu adalah

legalisasi penuh (walaupun mungkin terbatas sampai usia kehamilan tiga

bulan).38 Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga kesehatan yang

mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan menggunakan

pertimbangan demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya, aborsi dapat

dilakukan atas persetujuan ibu hamil atau suami atau keluarganya dan pada

sarana kesehatan tertentu. Aborsi yang dilakukan bersifat legal, dengan kata

lain vonis medis oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan

bukan merupakan tindak pidana atau kejahatan.

Kesehatan reproduksi diatur dalam Undang-Undang yang lama

maupun Undang-Undang yang baru. Pada waktu dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang lalu, salah satu poin

yang menarik adalah Pasal 15 ini adalah mengenai dihalalkannya “aborsi”

38
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2006), hal. 177.

50
Universitas Sumatera Utara
dengan alasan indikasi medis. Tindakan aborsi juga diatur dengan beberapa

syarat yang harus dipenuhi dan sempat menjadi pro dan kontra pada saat itu.

Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental,

dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan

yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki

dan perempuan, khususnya lebih mengutamakan pada kesehatan perempuan

karena meliputi; saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah

melahirkan; pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual;

dan kesehatan sistem reproduksi. Kesehatan, reproduksi dilaksanakan

melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.39

Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan

seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan

dengan pasangan yang sah, menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas

dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai

luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma

agama serta menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin berproduksi

sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan

reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah wajib

menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan

reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk

keluarga berencana.

39
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan. (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO Persada, 2013), hal. 70.

51
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya setiap orang dilarang melakukan aborsi, dan dapat

dikecualikan berdasarkan kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau cacat bawaan,

maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut

hidup di luar kandungan. Dapat juga hamil akibat perkosaan yang dapat

menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Tindakan aborsi

hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasihatan pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh

konselor yang kompeten dan berwenang.

Selain pengaturan hukum yang terdapat dalam KUHP, di dalam

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur

tentang aborsi seperti yang terdapat dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, dan

Pasal 194 sebagai berikut:

Pasal 75:

(1) setiap orang dilarang melakukan aborsi


(2) larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 40

40
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

52
Universitas Sumatera Utara
Pada penjelasan Pasal 75 ayat (3), menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan konselor adalah setiap orang yang telah memiliki serifikat

sebagai dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang

yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.

Syarat lain yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini mengenai

pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dalam Pasal 76

adalah bahwa aborsi dilakukan

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari


pertama haid terakhir
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.

Aturan mengenai aborsi mengikat seperti yang dijelaskan pada Pasal

76, di mana aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan 6 (enam)

minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal

kedaruratan medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat

yang ditetapkan oleh menteri; dengan persetujuan ibu hamil yang

bersangkutan, dan dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.41

Pasal 77:

“Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi


sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang
tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”

41
Sri Siswati, Op Cit, hal. 72.

53
Universitas Sumatera Utara
Didalam penjelasan Pasal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab

adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan

perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

tidak professional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang

berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalam materi dari pada

indiksi medis.

Aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

keterampilan dan kewenangan dan memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh

menteri, dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan dan terkait erat

dengan hak dan kewajiban tenaga kesehatan itu sendiri. Keterampilan dan

kewenangan tersebut menunjukkan kemmapuan professional yang baku dan

merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut.

Pasal 194:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai


dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”42

Ketentuan pidana pada Pasal 194 adalah sanksi bagi setiap orang yang

sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 75

ayat (2). Merujuk pada Pasal 75 ayat (2) disebutkan setiap orang dilarang

melakukan aborsi, kecuali berdasarkan indikasi medis yang dideteksi sejak

dini usia kehamilan, baik yang mengancam ibu dan/atau janin, yang

menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak

dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar

42
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

54
Universitas Sumatera Utara
kandungan, serta berdasarkan kehamilan akibat perkosaan yang dapat

menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Pada Undang-Undang Kesehatan yang baru ini, pengaturannya lebih

luas, karena ditambah untuk korban perkosaan, dengan alasan menimbulkan

dampak psikologis bagi si korban. Dalam hal ini tenaga kesehatan juga

harus berhati-hati menyikapi pasal ini, agar dengan alasan perkosaan dapat

menghalalkan untuk dilakukannya tindakan aborsi. Jika ini terjadi, maka

tenaga kesehatan selain telah menyalahi aturan hukum, juga sudah

melanggar sumpah jabatan dan kode etika untuk tujuan tertentu.

Disamping hal tersebut, pemerintah wajib melindungi dan mencegah

perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan

“konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang telah memiliki

sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat

menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama,

dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk

itu.

Praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung

jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan

perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang

berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi daripada

55
Universitas Sumatera Utara
indikasi medis. Jadi walaupun aborsi dibolehkan, tetapi dengan rambu-

rambu yang sangat ketat dan melindungi baik pasien dan tenaga kesehatan.

Membandingkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 194 dengan ketentuan pidana yang

mengatur larangan aborsi di dalam KUHP, maka ketentuan pidana dalam

Undang-Undang Kesehatan jauh lebih berat. Ditinjau dari sudut pandang

kebijakan hukum pidana, ketentuan mengenai aborsi dalam Undang-Undang

Kesehatan mengandung prevensi umum dan prevensi khusus untuk

menekan angka kejahatan aborsi. Dengan mengenakan ancaman pidana

yang berat diharapkan pelaku-pelaku aborsi menjadi jera dan tidak

mengulangi perbuatannya, yang disebut prevensi khusus, yaitu usaha

mencegah agar pelaku aborsi tidak mengulangi perbuatannya. Sedangkan

prevensi umumnya berlaku bagi masyarakat karena mempertimbangkan

sebelum melakukan aborsi karena akan dikenai sanksi yang berat.43

3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang


Kesehatan Reproduksi

Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas

larangan aborsi atau dengan kata lain memperbolehkan aborsi berdasarkan

indikasi kedaruratan medis atau akibat dari korban perkosaan, pelayanan

kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan diluar cara alamiah agar

berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat

Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral,

etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah


43
Masrudi Muchtar, Bidan dan Dinamika Hukum Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta,
Aswaja Pressindo: 2015), hal. 83.

56
Universitas Sumatera Utara
perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi sebagai

peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

a. Pasal 31:
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pasal 31 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa

salah satu pengecualian untuk dapat dilakukannya aborsi adalah terhadap

kehamilan akibat perkosaan. Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat

dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari

dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Pasal ini tidak jauh berbeda

dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kesehatan, yaitu

aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamian berumur 6 (enam) minggu

dihitung dari hari pertama haid terakhir. Yang dimaksud dengan enam

minggu sama dengan 42 (empat puluh dua) hari.

b. Pasal 34 mengenai indikasi perkosaan:


(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud
dalam Psal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan
hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari
pihak perempuan, sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan:
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan,
yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter, dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain
mengenai adanya dugaan perkosaan.

57
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan

adalah hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, pada Pasal 34 Ayat

(2) menyatakan bahwa kehamilan tersebut dibuktikan dengan surat keterangan

dari dokter dan keterangan penyidik, psikolog dan atau ahli lain. Ahli lain yang

dimaksud antara lain dokter spesialis, psikiatri, dokter special forensic,dan atau

pekerja sosial. Profesi-profesi tersebut memiliki kewenangan yang berbeda.

Dokter yang dimaksud pada huruf a, berwenag mengeluarkan surat keterangan

mengenai usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan. Sedangkan penyidik,

psikolog, dan atau ahli lain yang dimaksud dalam huruf b berwenang memberikan

keterangan mengenai adanya dugaan perkosaan. Yang perlu diperhatikan dalam

ayat ini adalah penggunaan kata “dan” yang artinya bahwa baik surat keterangan

dari dokter maupun keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli lain,

keduanya wajib ada dan tidak dipilih salah satu.

c. Pasal 35:
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman,
bermutut, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b. Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri;
c. Atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil
yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. Tidak diskriminatif; dan
f. Tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan,
persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.

58
Universitas Sumatera Utara
(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga
yang bersangkutan.

Pasal 35 berlaku tidak hanya bagi aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan tetapi juga terhadap indikasi medis. Peraturan Pemerintah ini

tidak menjelaskan definisi mengenai pengertian pelaksanaan aborsi yang

aman, bermutu, dan bertanggung jawab melainkan mencantumkan beberapa

hal yang meliputi pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung

jawab tersebut.

d. Pasal 36:
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a
harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara
pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang
memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat
perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak
mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36 ayat (1) menyatakan yang dimaksud dengan dokter

dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a adalah dokter yang telah mengikuti

pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Yang dimaksud

dengan pelatihan adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh penyelenggara

terakreditasi dan dibuktikan dengan sertifikat. Dokter yang dimaksud bukan

merupakan anggota kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat

keterangan usia kehamilan akibat perkosaan, dimaksudkan agar

menghindari konflik kepentingan. Aturan tersebut dapat dikecualikan bagi

59
Universitas Sumatera Utara
daerah yang tidak memiliki dokter yang jumlahnya mencukupi sehingga

dapat dilakukan oleh dokter yang sama.

e. Pasal 37:
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi
konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2) dilakukan dengan tujuan:
a. Menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin
melakukan aborsi;
b. Menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan
yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi
dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. Menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan
dilakukan dan kemungkinan efek samping atau
komplikasinya;
d. Membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi
untuk mengambil keputusan sendiri untuk
melakukan aborsi atau membatalkan keinginan
untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi; dan
e. Menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. Mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien
setelah tindakan aborsi;
b. Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi
fisik setelah menjalani aborsi;
c. Menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk
pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan
rujukan bila diperlukan; dan
d. Menjelaskan pentingnya penggunaan alat
kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Pasal 37 mengatakan bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.

Konseling yang dimaksud adalah meliputi konseling pra tindakan dan

diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.

60
Universitas Sumatera Utara
Konselor dalam artian adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat

sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.

f. Pasal 38:
(1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan
keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan
untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 Ayat (2), korban perkosaan dapat
diberikan pendampingan oleh konselor selama masa
kehamilan.
(2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh
keluarga
(3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari
korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal dalam Peraturan Pemerintah ini menyebutkan yang

dimaksud dengan pendampingan adalah dapat berupa pendampingan

psikologis, pendampingan sosiologis, dan pendampingan medis. Pasal 38

ayat (2) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah orang

tua kandung atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai dengan derajat ketiga. Apabila korban menolak untuk

mengasuh anak yang dilahirkan akibat perkosaan, anak tersebut menjadi

anak asuh yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.44

g. Pasal 39:

(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala


dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala
dinas kesehatan provinsi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
44
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a152c3faed27/ketentuan-aborsi-bagi-korban-
pemerkosaanndiakses pada tanggal 12 Desember 2018.

61
Universitas Sumatera Utara
C. Aborsi Dalam Pandangan Islam

Islam sebagai agama yang mampu menjawab dan menjamin semua

permasalahan dan tantangan yang dihadapi kaum Muslimin. Adapun

menggugurkan kandungan, pada dasarnya hal ini dilarang, semenjak bertemunya

sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk

yang baru dan menetap di dalam tempat menetapnya yang kuat di dalam Rahim.

Meskipun ada sebagian fukaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan

asalkan belum berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian riwayat

mengatakan bahwa peniupan roh terhadap janin itu terjadi pada waktu berusia

empat puluh atau empat puluh dua hari. Bahkan sebagian fukaha ada yang

memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia seratus dua puluh

hari, berdasarkan riwayat yang mahsyur pada peniupan roh terjadi pada waktu

itu.45

1. Aborsi Menurut Alquran

Dalam Al-quran kata aborsi memang tidak dijumpai secara lafal.

Namun dalam satu ayat, kata auladakum secara lughaghiyah pada dasarnya

diambil dari bentuk mufradnya dari (waladun) yang artinya anak jika dilihat

dari bentuk isim. Sedangkan dari bentuk fi‟il (waladun) berasal dari kata

(walada-yalidu) yang artinya melahirkan. Dari kata anak dan melahirkan,

maka anak itu adalah setiap manusia yang lahir dari Rahim ibunya. Adanya

proses persalinan menjadikan bayi yang dilahirkan oleh ibu disebut sebagai

anaknya.

45
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Pustaka,
2013), hal. 187.

62
Universitas Sumatera Utara
‫ق َو َم ان قُتِ َل َمظالُوا ًما فَقَ ْد َج َءلانَ لِ َو لِيَّ ِه ُسلاطَا نًا فَ ٌَل ٌُُ ِار ُُ فِي‬
َّ ‫س الَّتِ ِي َح َّر َم ااَّها ُ اِ ََلبِلا َح‬
َ ‫َوإلَتَ ْقتُ اٌل انَّفا‬

ُ ‫اااقَتا ِل إِنَّهُ َكا نَ َمنا‬


‫ص او ًر‬

Ayat diatas mempunyai arti “janganlah kamu membunuh anak-


anakmu karena takut miskin.”

Dari penjelasan ayat diatas, maka ada dua indikasi dalam membunuh

anak. Pertama, membunuh ketika sudah dilahirkan, pembunuhan ini

merupakan “perbuatan kriminal” karena menghilangkan nyawa orang lain

dengan sengaja. Kedua, membunuh anak masih dalam kandungan. Aborsi

yang merupakan pengakhiran kehamilan dengan gugurnya kandungan atau

dikeluarkannya janin dari Rahim sebelum ia mampu untuk melangsungkan

hidupnya sendiri, biasanya sebelum dicapai usia kandungan 28 minggu. 46

2. Aborsi Menurut Pandangan Ulama

KH AliYafie yang merupakan salah satu ahli fiqih dan ketua MUI

menyatakan bahwa dalam agama islam yang namanya pengguguran

kandungan itu adalah kejahatan. “pengguguran pada awal pertumbuhan

janin atau dalam istilah agama disebut sebelum ditiupkan ruh ke dalam

tubuh janin itu, tingkat kejahatannya tidak sama dengan menggugurkan

janin yang sudah ditiupkan jiwa ke dalam tubuh janin, yaitu pada usia 120

hari.” Ditegaskan pula bahwa menggugurkan kandungan usia 120 hari dapat

disamakan dengan membunuh dan menurut hukum Islam pelakunya harus

dihukum mati. Dalam suatu wawancara, KH Hasan Basri (ketua MUI)

menyatakan dengan tegas bahwa kehidupan dimulai sejak pembuahan dan

46
http://www.google.com/amp/s/elviandri.wordpress.com/2014/09/04/aborsi-dalam-
pandangan-al-quran-kajian-tafsir-tematik/amp/, diakses pada tanggal 4 Januari 2019, pukul 21:51
WIB.

63
Universitas Sumatera Utara
dalam pandangan agama islam melakukan aborsi sama dengan membunuh,

hukumnya mutlak haram.47

Adapun pendapat Yusuf al-Qadarawi dalam hal ini yaitu yang paling

kuat adalah tidak membolehkan menggugurkan kandungan, akan tetapi jika

dalam keadaan uzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu dari dua

pendapat fukaha. Apabila uzurnya semakin kuat, maka rukhshah-nya

semakin jelas, dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari

maka yang demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).

Para fukaha (ahli hukum islam) telah sepakat mengatakan, bahwa

pengguguran kandungan (aborsi) sesudah ditiupkan roh adalah haram, tidak

boleh dilakukan karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap

nyawa, oleh karena itu diwajibkan kepada pelakunya untuk membayar diyat

jika janin keluar dalam keadaan hidup dan membayar gurrah, jika ia keluar

dalam keadaan mati. Adapun pengguguran kandungan (aborsi) sebelum

ditiupkan roh pada janin (embrio), yaitu sebelum berumur empat bulan. Para

fukaha berbeda pendapat tentang boleh tidaknya melakukan pengguguran

tersebut. Ia sangat benci terhadap janin hasil perkosaan tersebut serta ingin

terbebas daripadanya. Maka ini merupakan rukhshah yang difatwakan

karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya.

Fukaha sangat ketat dalam masalah ini, sehingga melarang

menggugurkan kandungan kandungan meskipun baru berusia satu hari.

Bahkan ada pula yang mengharamkan usaha pencegah kehamilan, baik dari

pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, ataupun dari kedua-duanya.

47
Chrisdiono M. Achadiat, Op Cit hal. 175.

64
Universitas Sumatera Utara
Ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiupkan roh antara lain, Ibnu

Hajar dalam kitabnya at-Tuhafah, al-Ghazali dalam kitabnya Ihya‟ Ulum ad-

Din, Syekh Syalthut dan kitab Fatwa, mereka mengharamkan pengguguran

kandungan aborsi sebelum ditiupkan roh karena sesungguhnya janin

(embrio) pada saat itu ada kehidupan (hayat) yang perlu dihormati, yaitu

dalam hidup ada persiapan.

Pengguguran kandungan pada masa perkembangan kandungan,

merupakan jinayah (tindak pidana), makin meningkat perkembangan

kandungan, maka makin meningkat pula jinayahnya dan paling besar

jinayahnya adalah lahirnya kandungan dalam keadaan hidup. Pendapat

terkuat adalah ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi

kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat

melarangnya.48 Karena itu, rukhshah terikat dengan kondisi uzur yang

muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara’, dokter dan

cendekiawan. Adapun yang kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia

dalam hukum asal, yaitu terlarang. Jadi rukhshah yang dimaksud hanya

berlaku dalam keadaan darurat dan hanya berlaku saat itu saja, manakala

dalam keadaan wajar/normal, atau diketahui kenyataan bahwa kondisi

wanita yang dihamili tidak dalam posisi darurat, maka hukumnya kembali

kepada asalnya yakni haram. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil

kesimpulan, bahwa sejak bertemunya sel sperma dan ovum dan telah terjadi

pembuahan, maka aborsi dipandang sebagai suatu kejahatan dan haram

hukumnya, meskipun janin belum bernyawa, sebab sudah ada kehidupan

48
Ibid, hal. 191.

65
Universitas Sumatera Utara
yang sedang dalam pertumbuhan dan persiapan untuk menajdi makhluk

baru yang bernyawa yang disebut manusia yang harus dihormati dan

dilindungi eksistensinya.

Pendapat tentang janin yang sedang dalam pertumbuhan sudah ada

kehidupan walau belum ditiupkan roh, sama dengan pendapat ahli

kedokteran (embriologi) dalam hal ini sesuai dengan hasil MUNAS MUI

tahun 1983, bahwa kehidupan dalam konsep hukum islam, adalah suatu

proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, oleh sebab itu

pengguguran sejak adanya pembuahan adalah haram hukumnya.

Selanjutnya mengenai aborsi yang dilakukan karena dalam keadaan

benar-benar terpaksa, yaitu demi menyelamatkan nyawa si ibu, maka Islam

membolehkannya bahkan mewajibkannya, karena islam mempunyai prinsip:

menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang

berbahaya itu adalah wajib.

Jadi Islam membolehkan untuk melakukan aborsi, yaitu

mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa calon ibu. Nyawa itu

diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai

hak dan kewajiban, sedangkan si janin, sebelum ia lahir dalam keadaan

hidup ia belum mempunyai hak, seperti hak waris dan belum mempunyai

kewajiban apapun. Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi wanita hamil

korban perkosaan yang mengakibatkan stress berat, kalau tidak digugurkan

kandungannya ia akan sakit jiwa atau gila, atau kemungkinan wanita korban

perkosaan tersebut tertutup karena malu kalau diketahui orang. Sedangkan

tidak bisa bersabar dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan, meskipun ia

66
Universitas Sumatera Utara
tidak bersalah karena tidak ada kesengajaan, akibatnya ia stress berat dan

sakit jiwa yang dapat mengakibatkan ia gila, maka dengan ini boleh baginya

melakukan aborsi, begitu tahu ia hamil.

Sebab tidak semua perempuan bisa dibujuk untuk menghindari aborsi,

misalnya jika kehamilan yang dialami oleh perempuan tersebut terlalu berat

untuk ditanggung. Hal ini bisa karena kehamilan tersebut merupakan buah

dari perkosaan atau incest, janin yang dikandungnya diketahui akan

mengalami cacat yang berat, laki-laki yang menghamili tidak bertanggung-

jawab, atau alasan-alasan lain yang berada di luar toleransi perempuan

hamil tersebut untuk meneruskan kehamilannya.49

49
Ibid, hal. 194.

67
Universitas Sumatera Utara
BAB III
UPAYA PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ABORSI YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK KORBAN PERKOSAAN DALAM KASUS DI
MUARA BULIAN JAMBI

A. Menurut Ketentuan Beberapa Peraturan Perundang-Undangan

1. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

Berdasarkan salah satu tujuan untuk pembangunan Nasional,

Indonesia menaruh perhatian yang cukup serius dalam hal perlindungan

anak. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menambahkan satu ayat dalam

Pasal 9 tentang hak anak untuk mendapatkan perlindungan di satuan

pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Setiap anak selama selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (ekonomi dan

seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan,

dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13).50

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menambahkan satu faktor,

yaitu kejahatan seksual. Perlindungan khusus juga diberikan kepada anak

yang berada dalam situasi darurat; anak yang berhadapan dengan hukum,

anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi ekonomi

dan seksual; anak yang di perdagangkan; anak korban penyalahgunaan

napza; anak korban penculikan; penjualan dan perdagangan; anak korban


50
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2015), hal.30.

68
Universitas Sumatera Utara
kekerasan; anak penyandang cacat; serta anak korban perlakuan salah dan

penelantaran.

Undang-Undang ini juga mewajibkan pemerintah dan Negara

berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, unsur pemerintah

ditambahkan dengan pemerintah daerah. Melakukan kekerasan/ kekejaman

dan ancaman kekerasan atau penganiayaan, dipidana paling lama 3 tahun 6

bulan dan/atau denda Rp 72 juta rupiah. Jika mengakibatkan luka berat,

dipidana paling lama 5 tahun. Pidana diperberat jika perbuatan tersebut

mengakibatkan kematian, pidana penjara paling lama 15 tahun. Jika yang

melakukan adalah orang tuanya, ancaman pidananya ditambah 1/3.

Stanciu menyebutkan, bahwa korban adalah orang yang menderita

akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian, ada dua sifat yang mendasar

(melekat) dari korban tersebut, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice

(ketidakadilan). Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat

perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat

menimbulkan ketidakadilan, selanjutnya menimbulkan korban, seperti

korban akibat prosedur hukum. Seperti dalam kasus kejahatan, konsep

tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam pengertian yuridis,

sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan penjahat, juga dapat

menciptakan korban. Dengan demikan, seorang korban ditempatkan pada

posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya, baik dilakukan

secara individu, kelompok, atau pun oleh Negara.51

51
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2011),
hal. 117.

69
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan, anak

menjadi korban karena adanya paksaan yang tidak dapat dihindarinya.

Menurut R. Soesilo dalam Pasal 285 maksud dari memaksa bertujuan agar

perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan

diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.

Sejalan dengan pengertian bersetubuh berarti persetubuhandalam arti

kemaluan laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat

menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani

dalam kemaluan si perempuan, melakukan kekerasan adalah

mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak

sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,

menyepak, menendang, atau sebagainya.52Anak yang diperkosa mengalami

penderitaan luar dalam, baik secara fisik maupun secara psikis. Kejadian

perkosaan menimbulkan trauma yang sangat mendalam. Adalah tidak adil

untuk memberi beban tambahan dengan lahirnya anak hasil perkosaan

tersebut, dan menjatuhkan pidana pada anak sebagai korban tindak pidana

perkosaan. Perkosaan sebagai penyebab aborsi yang dilakukan, pada

dasarnya merupakan kondisi psikologis sehingga dilakukan karena kondisi

kejiwaannya sangat tertekan juga dikarenakan hukum tidak mengatur hal

tersebut.

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan atau yang

berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan

bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau
52
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-
diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-anak, diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 20:48
WIB.

70
Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana.Sebagaimana dalam kasus anak yang melakukan

aborsi akibat perkosaan, ditegaskan bahwa anak yang berhadapan dengan

hukum juga diberikan perlindungan khusus.

Anak yang menjalani masa pidana adalah anak yang berhadapan

dengan hukum, oleh karena itu mereka juga berhak mendapatkan

perlindungan hukum. Agar dalam proses pemidanaan yang mereka jalani,

tidak mengalami hal-hal yang buruk dan menjadikan mereka lebih jahat lagi

daripada sebelum menjalani pidana sehingga perlu dilindungi keamanan dan

keadilannya.53

Muatan materi pasal tidak membedakan subyeknya (pelakunya). Jadi

walaupun pelakunya anak dibawah umur tetap merupakan tindak pidana,

hanya mendapatkan perlakuan khusus, hal ini dikandung maksud agar aspek

kejiwaan tersangka tidak menjadi buruk (untuk melindungi aspek

psikologi). Pengertian belum dewasa, dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu

biologis dan aspek juridis. Dalam penjelasan ini yang dijelaskan dari aspek

hukum yang mengenal pengertian belum dewasa dari:

a. Hukum pidana, memberikan batasan umur 16 tahun (Pasal 45

KUHP)

b. Hukum Perdata, memberikan batasan umur 21 tahun, dan atau

belum cukup 21 tahun akan tetapi sudah pernah kawin lalu

bercerai. (Pasal 330 BW/Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata).

53
Undang-Undang Perlindungan Anak

71
Universitas Sumatera Utara
Dalam penerapan hukumnya penyidik berpedoman pada Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 45 yaitu orang yang ketika

melakukan tindak pidana umurnya belum cukup 16 tahun, dalam setiap

tingkat pemeriksaan mereka berhak didampingi oleh penasehat hukum dan

ahli jiwa (psikolog). Perlakuan khusus anak yang belum dewasa, antara lain:

a. Pengaduan bisa dicabut dalam waktu tiga bulan sejak

kejadiannya dilaporkan

b. Dikembalikan kepada orang tuanya tanpa dijatuhi pidana

c. Diserahkan kepada pemerintah tanpa dijatuhi hukuman pidana,

selanjutnya di tempatkan rumah pendidikan anak nakal

Negara.54

Dalam kasus aborsi akibat perkosaan, selayaknya anak sebagai korban

tidak dijatuhi pidana, tetapi harus mendapat perlindungan. Undang-Undang

No. 35 Tahun 2014 mengatur bahwa apabila seseorang melakukan

persetubuhan terhadap anak, akan dikenakan pidana paling singkat 5 tahun

dan paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak 5 miliar rupiah

(Pasal 81). Jika yang melakukan adalah orang tuanya, ancaman pidananya

ditambah 1/3. Apabila seseorang melakukan kekerasan atau ancaman atau

ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul seperti yang diatur dalam Pasal 76E,

ancaman pidananya adalah pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15

tahun dan/atau denda paling banyak 5 miliar rupiah (Pasal 82).

54
M. Umar Maksum, dkk. Cara Mudah Menghadapi Kasus-Kasus Hukum untuk Orang
Awam. (Yogyakarta: Ansor Press, 2011). Hal. 76.

72
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-

Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempertegas

tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan

anak terutama kejahatan seksual, yang bertujuan memberikan efek jera serta

mendorong adanya langkah kongkrit untuk memulihkan kembali fisik,

psikis dan sosial anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,

memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada Negara, pemerintah,

pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali dalam hal

penyelenggaraan perlindungan anak, serta dinaikkannya ketentuan pidana

minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal 64

ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak

yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan

Pasal 64 ayat (2)Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan bagi

anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat

dan hak-hak anak.

b. Penyediaan sarana dan prasarana hukum.

c. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini.

d. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap

perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.

e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan

orang tua atau keluarga, dan

73
Universitas Sumatera Utara
f. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa

dan untuk menghindari labelisasi.55

Selain itu, ada beberapa ketentuan lain guna mengatur mengenai anak

yang berhadapan dengan hukum. Karena anak seringkali mendapat

perlakuan diskriminatif dan pelanggaran-pelanggaran dalam peradilan

pidana. Permasalahan mendasar yang seringkali dilanggar adalah hak anak

untuk mendapatkan advokasi oleh pekerja sosial. Hak tersebut merupakan

akses utama bagi anak untuk memenuhi hak-haknya. Namun, pada

praktiknya sering kali diabaikan oleh aparat sehingga anak-anak yang

bermasalah dengan hukum kerap mengalami tindak kekerasan, diantaranya

pola dan teknik pemeriksaan sama seperti orang dewasa (anak masih

dibentak-bentak, ditekan bahkan dipaksa untuk mengakui perbuatannya),

penahanan anak yang tidak didampingi oleh petugas ataupun orang tuanya,

penahanan terkadang digabung dengan orang dewasa.56

Sementara itu, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban

tindak pidana dilaksanakan melalui:

a. Upaya rehabilitasi, baik di dalam lembaga masyarakat maupun

di luar lembaga.

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media

massa dan untuk menghindari labelisasi.

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi dan korban dan saksi

ahli, baik fisik, mental, dan maupun sosial; dan

55
Agus Takariawan, Perlindungan Saksi dan Korban, (Bandung: Pustaka Reka Cipta,
2016) hal. 299.
56
Ogar S. Matompi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Malang: Instans Publishing, 2018),
hal. 152.

74
Universitas Sumatera Utara
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informai mengenai

perkembangan perkara.57

Perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang

sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa

mengingat setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum

(equality before the law). Oleh karena itu, Negara bersama-sama dengan

segenap anggota masyarakat lainnya, perlu bahu-membahu memberikan

perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk

kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab, agar anak sebagai generasi penerus bangsa dapat berdiri

dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras dimasa-

masa yang akan datang.

Hal baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah adanya hak

restitusi dalam Undang-Undang ini. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor

43 Tahun 2017 tentang pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi

korban Tindak Pidana. Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap

Anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil dan

kerugian immaterial antara lain kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga

diri, rendah diri, atau kecemasan berlebihan bahkan trauma.Restitusi

dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan

bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.58

57
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op Cit, hal. 127.
58
http://www.gerakinklusi.id/127-peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2017-
pelaksanaan-restitusi-bagi-anak-yang-menjadi-korbank, diakses pada tanggal 19 Januari 2019,
pukul 21:49 WIB.

75
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 masalah restitusi

hanya di atur dalam satu pasal yakni Pasal 71 D yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf i, dn huruf j

berhak mengajukan ke pengadilan berupa hakatas restitusi yang

menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan

pemerintah.59

Kompensasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang pemberian

kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Menurut Peraturan

Pemerintah ini, korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak

memperoleh kompensasi, seperti korban tindak pidana terorisme, tindak pidana

perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual,

dan penganiayaan berat, yang permohonannya diajukan oleh korban, keluarga,

atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK). Menurut Peraturan Pemeritah ini, Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban segera melakukan pemeriksaan substansi, dan dapat meminta

keterangan dari korban, keluarga, atau kuasanya dan pihak lain yang terkait. Hasil

pemeriksaan substansi, ditetapkan dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi

59
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

76
Universitas Sumatera Utara
dan Korban, disertai dengan pertimbangannya, dan rekomendasi untuk

mengabulkan atau menolak permohonan kompensasi kepada Jaksa Agung.60

2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa definisi anak yang

berhadapan dengan hukum adalah

a. anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak sebagai


pelaku tindak pidana.
b. anak yang menjadi korban tindak pidana, adalah anak yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana
c. anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat
memberikan keterangan guna kepeningan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.61
Sementara itu, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak

yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga

melakukan tindak pidana. Pandangan kesejahteraan Sosial, memperlihatkan

bahwa anak yang berkonflik dengan hukum disebabkan karena pelanggaran

terhadap hukum atau tindak kriminal yang diperbuatnya. 62

60
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5aa0e554f0ee6begini-isi-revisi-pp-pemberian-
kompensasi-restitusi-dan-bantuan-kepada-saksi-korban, diakses pada tanggal 15 Desember 2018
pukul 21:00 WIB.
61
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan
denga Hukum (Studi Terhadap Undang-Undang Peradilan Pidana Anak Indonesia dan Peradilan
Adat Aceh), Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Ar- Raniry Banda Aceh, Aceh, 2015, hal, 54, Vol 1 No. 1 Tahun 2015.
62
Badrun Susantyo, dkk, Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak: Dalam Perspektif Kementrian Sosial, Penelitian dan
Penegmbangan Kesejahteraan Sosial, Kementrian Sosial RI, Jakarta Timur, 2016, hal 170, Vol 5
No. 03 Tahun 2016.

77
Universitas Sumatera Utara
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana anak menegaskan bahwa:

“Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh anak sebelum genap


berumur 18 tahun (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18
(delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.”

Dalam rangka melindungi anak maka sistem Peradilan Pidana Anak

dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Perlindungan

Yang dimaksud dengan perlindungan meliputi kegiatan yang

bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang

membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis.

b. Keadilan

Yang dimaksud dengan keadilan adalah bahwa setiap

penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan

bagi anak.

c. Non diskriminasi

Yang dimaksud dengan non diskriminasi adalah tidak adanya

perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras,

golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status

hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisii fisk dan/atau

mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak

78
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud kepentingan terbaik bagi anak adalah segala

pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan

kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak

Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak

adalah penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan

menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,

terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan

anak.

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

Yang dimaksud dengan kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang anak adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak

yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,

dan orang tua.

g. Pembinaan dan pembimbingan anak

Yang dimaksud pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan

kualitas, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,

sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, professional, serta

kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar

proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan pembimbingan

adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan

perilaku, pelatihan keterampilan, professional, serta kesehatan

jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

79
Universitas Sumatera Utara
h. Proporsional

Yang dimaksud dengan proporsional adalah segala perlakuan

terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan

kondisi anak.

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya

terakhir

Adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas

kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan

penyelesaian perkara.

j. Penghindaran pembalasan

Yang dimaksud dengan penghindaran pembalasan adalah

prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan

pidana. 63

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat

dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

a. Pidana Pokok

Ada beberapa pidana pokok terhadap anak yaitu:

1) Pidana peringatan

2) Pidana dengan syarat

Mengenai pidana dengan syarat dalam Undang-undang Nomor

11 Tahun 2012 terbagi atas 3, yaitu:

1) Pembinaan di luar lembaga

63
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Op Cit, hal. 55.

80
Universitas Sumatera Utara
Dalam pembinaan di luar lembaga, yang pada pokoknya

sebagai berikut:

a) Dalam hal hakim memutuskan bahwa anak dibina di

luar lembaga, maka lembagatempat pendidikan dan

pembinaan ditentukan dalam putusannya.

b) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa

keharusan:

(1) Mengikuti program pembimbingan dan

penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat

Pembina.

(2) Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa.

(3) Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan

alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat

adiktif lainnya.

c) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat

khusus, pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada

hakim pengawas untuk memperpanjang masa

pembinaan yang lamanya tidak melampaui

maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum

dilaksanakan.64

2) Pelayanan masyarakat

Dalam pelayanan terhadap masyarakat, yang pokoknya

sebagai berikut:

64
Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

81
Universitas Sumatera Utara
a) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana

yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan

meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan

kemasyarakatan yang positif.

b) Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian

kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan

masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat Pembina

dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh

atau sebagian pidana Anak tersebut mengulangi

seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat

yang dikenakan terhadapnya.

c) Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan

paling singkat 7 (tujuh) jamdan paling lama 120

(seratus dua puluh) jam.65

3) Pengawasan

Dalam hal pidana pengawasan, yang pokoknya sebagai

berikut:

a) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada

Anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2

(dua) tahun.

65
Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Ssitem Peradilan Pidana Anak.

82
Universitas Sumatera Utara
b) Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan, Anak

ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum

dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan.66

Dan secara umum pidana dengan syarat, yang pada

pokoknya sebagai berikut:

a) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim

dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling

lama 2 (dua) tahun.

b) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan

syarat, ditentukan pula syarat umum dan syarat

khusus.

c) Syarat umum adalah Anak tidak akan melakukan

tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana

dengan syarat.

d) Syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak

melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam

putusan hakim dengan tetap memperhatikan

kebebasan anak.

e) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama

daripada masa pidana dengan syarat umum.

f) Jangka waktu masa pidana dengan syarat paling

lama 3 (tiga) tahun.

66
Paasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

83
Universitas Sumatera Utara
g) Selama menjalani masa pidana dengan syarat,

Penuntut Umum melakukan pengawasan dan

Pembimbing Kemasyarakatan melakukan

pembimbingan agar Anak menempati persyaratan

yang telah ditetapkan.

h) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat, Anak

harus mengikuti wajib belajar 9 (Sembilan) tahun.67

4) Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja dijatuhkan kepada anak, dengan ketentuan

sebagai berikut:

a) Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga yang

melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan

usia anak

b) Pidana pelatihan kerja dikenakan paling singkat 3

(tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.68

5) Pembinaan dalam lembaga

Penjatuhan pembinaan dalam lembaga dijatuhkan terhadap

anak dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di

tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan

yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun

swasta.

67
Pasal 73 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
68
Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

84
Universitas Sumatera Utara
b) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan

apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak

membahayakan masyarakat.

c) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling

singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh

empat) bulan.

d) Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari

lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak

kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak

mendapatkan pembebasan bersyarat.69

6) Penjara

Dalam menjatuhkan pidana penjara ada beberapa

ketentuan yang harus diperhatikan yaitu:

a) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam

hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak

pidana yang disertai dengan kekerasan.

b) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan

terhadap Anak paling lama ½ (satu perdua) dari

maksimum pidana penjara yang diancamkan

terhadap orang dewasa.

c) Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku

terhadap Anak.

69
Pasal 80 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak.

85
Universitas Sumatera Utara
d) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana berlaku juga

terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang-Undang ini.70

e) Anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga

Pembinaan Khusus Anak apabila keadaan dan

perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.

f) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak

paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

g) Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan

belas) tahun.

h) Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari

lamanya pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus

Anak dan berkelakuan baik berhak mendapatkan

pembebasan bersyarat.

i) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan

sebagai upaya terakhir.

j) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan

tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup, pidana yang

70
Pasal 79 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak.

86
Universitas Sumatera Utara
dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun.71

7) Pidana Tambahan

Selain pidana pokok, anak juga dapat dijatuhkan pidana

berupa:

a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pidana

b) Pemenuhan kewajiban adat.72

Dalam Undang-Undang Sitem Peradilan Pidana Anak seluruh

aparat penegak hukumdilibatkan untuk turut serta menyelesaikan

masalah anak dimulai dari aparat kepolisian hingga kehakiman terlibat

aktif dalam menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses pidana

hingga menghasilkan putusan pidana. Selain itu, dalam sumberdaya

manusia aparat penegak hukum khususnya penyidik, penuntut umun

serta hakim dituntut untuk memahami persoalan anak dengan

mengikuti pendidikan pengadilan anak.

Demikian pula Advokat yang harus pula dituntut untuk

mengetahui persoalan anak. Kemudian Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengatur penahanan sementara anak

ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara dan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap ditempatkan di Lembaga Pembinaan

Khusus Anak. Penempatan di Lembaga Penempatan Anak Sementara

(LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dimaksudkan


71
Pasal 81 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
72
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

87
Universitas Sumatera Utara
agar anak tidak bergabung dengan tahanan orang dewasa. Apabila

anak harus ditahan, penahanan tersebut harus di Rutan Khusus anak,

dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas

anak.

Selain penegak hukum yang ada instansi terkait atau yang

berperan dalam pemenuhan hak anak antara lain:

1) Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional

penegak hukum yang melaksanakan penelitian

kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan

pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar

pengadilan pidana.

2) Pekerja sosial professional adalah seseorang yang bekerja,

baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang

memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, serta

kepedulian dalam pekerjaan yang diperoleh melalui

pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik

pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan

penanganan masalah sosial anak.

3) Tenaga kesejahteraan sosial adalah seseorang yang dididik

dan dilatih secara professional untuk melaksanakan tugas

pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau

seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah

maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang

kesejahteraan sosial anak.

88
Universitas Sumatera Utara
4) Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) adalah lembaga

atay tempat anak menjalani masa pidananya. Lembaga

penempatan anak sementara (LPAS) adalah tempat

sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung.

5) Lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial (LPKS)

adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang

melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi

anak.

6) Balai pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana

teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan

fungsi penelitian.

Undang-Undang ini menentukan bahwa anak yang berkonflik

dengan hukum harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus seperti:

1) Di tingkat penyidik oleh penyidik anak. Penyidikan

perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan

berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

Kepala Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia,

dengan syarat:

a) Telah berpengalaman sebagai penyidik

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan

memahami masalah anak, dan

c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan

anak.

89
Universitas Sumatera Utara
Proses penyidikan terhadap anak juga harus dilakukan

dalam suasana kekeluargaan. Ini berarti dalam melakukan

penyidikan terhadap tersangka anak, penyidik tidak memakai

pakaian seragam dinas, dan melakukan pendekatan secara

efektif, aktif, dan simpatik. Suasana kekeluargaan juga berarti

dalam proses penyidikan tidak boleh ada pemaksaan, intimidasi

atau sejenisnya.

Dalam proses penyidikan ini apabila dianggap perlu,

penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahl

pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas

kemasyarakatan lainnya. Proses penyidikan ini sendiri harus

dirahasiakan dalam rangka kepentingan anak itu sendiri, yaitu

dalam rangka mencegah depresi, rasa malu, serta penolakan dari

lingkungannya. Proses penahanan terhadap anak juga berbeda

dengan penahanan terhadap orang dewasa. Penahanan terhadap

anak juga berbeda dengan penahanan terhadap orang dewasa.

Penahanan terhadap anak dilakukan di tempat khusus, untuk

anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara. Penahanan ini

hanya boleh dilakukan setelah sungguh-sungguh

mempertimbangkan kepentingan anak menyangkut

pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,

maupun sosial anak dan kepentingan masyarakat.

Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam

Surat Perintah Penahanan, tempat tahanan anak juga harus

90
Universitas Sumatera Utara
dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa, dan selama

ditahan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus

dipenuhi.73

1) Di tingkat penuntutan, oleh Penuntut Umum, Penuntut

terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum

yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung, dengan

syarat:

a) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan

memahami masalah anak, dan

c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan

anak.

2) Pada saat pemeriksaan di pengadilan, anak diperiksa oleh

hakim anak, hakim banding anak, dan hakim kasasi anak.

Proses pemeriksaan dalam hal anak yang berkonflik dengan

hukum dilakukann dengan suasana pemeriksaan kekeluargaan, khusus

dalam proses pemeriksaan di persidangan baik hakim, penuntut

umum, dan penasehat hukum tidak memakai toga. Selain itu,

pemeriksaan pun harus dilakukan dengan secara tertutup untuk

menjaga kerahasiaan identitas anak, akan tetapi putusan harus

73
Ogar S. Matompi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Malang: Instans Publishing, 2018),
hal. 152.

91
Universitas Sumatera Utara
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hakim dalam

persidangan, adalah hakim tunggal.74

3. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan

ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan

gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki

maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan

perlakuan berdasarkan alasan gender. Seperti pembatasan peran, pemikiran

atau perbedaan perlakuan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas

pengakuan hak asasi, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki

maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.75

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017

menjelaskan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum adalah

perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban,

perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.76 Permasalahan

yang dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum, antara lain:

a. Perempuan korban sering dianggap sebagai penyebab atau

pemberi peluang terjadinya tindak pidana karena cara

berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status


74
Ibid, hal. 155.
75
Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI dan Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), 2018,
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Jakarta: Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Australia Indonesia Partnership for Justice 2, hal. 20.
76
Bella Sandiata, Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender, Jurnal Perempuan untuk
pencerahan dan kesetaraan, Jurnal Perempuan Yayasan Jurnal Perempuan, 2018, hal, 117, Vol 23
No. 2 Tahun 2018.

92
Universitas Sumatera Utara
perkawinannya, atau karena keberadaannya pada waktu dan

lokasi tertentu.

b. Perempuan korban juga sering dianggap membiarkan

peristiwa/tindak pidana yang dialaminya karena ia tidak secara

jelas berupaya untuk melawan, menempatkan dirinya terus-

menerus di bawah kuasa pelaku, ataupun mudah terbujuk

dengan janji/atau tipu muslihat dari pelaku. Adanya persepsi

bahwa perempuan menikmati atau turut serta menjadi penyebab

terjadinya tindak pidana merupakan sikap menyalahkan korban

dan akibat kuatnya budaya patriarki.77

Peraturan ini disusun oleh Mahkamah Agung dengan merujuk pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi

Terhada Wanita, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pedoman umum Bangkok bagi para

Hakim dalam menerapkann Perspektif Gender di Asia Tenggara serta

peraturan perundang-undangan lain terkait dengan kekuasaan kehakiman

dan pengadilan. 78

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2017 terdapat

pasal-pasal yang menjunjung kesetaraan dan keadilan, antara lain:

Pasal 2:
Hakim mengadili perkara perempuan Berhadapan dengan Hukum
berdasarkan asas:
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

77
Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI dan Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Op Cit, hal.
20.
78
Ibid, hal. 10.

93
Universitas Sumatera Utara
b. Non diskriminasi
c. Kesetaraan gender
d. Persamaan di depan hukum
e. Keadilan
f. Kemanfaatan; dan
g. Kepastian hukum79

Pasal 3:
Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum
bertujuan agar hakim:
a. Memahami dan menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2
b. Mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga
mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, dan
c. Menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam
memperoleh keadilan.80

Pasal 4:
Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan
kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta
persidangan:
a. Ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara
b. Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada
akseskeadilan
c. Diskriminasi
d. Dampak psikis yang dialami korban
e. Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban
f. Relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya,
g. Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.81

Pasal 5:
Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum hakim
tidak boleh:
a. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang
merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi
perempuan Berhadapan dengan Hukum
b. Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan
dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik
tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang
bias gender
c. Mempertanyakan dan/atau mempertimbangakn mengenai
pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar
untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku,
dan

79
Pasal 2 Perma No.3 Tahun 2017.
80
Pasal 3 Perma No.3 Tahun 2017.
81
Pasal 4 Perma No. 3 Tahun 2017.

94
Universitas Sumatera Utara
d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang stereotip
Gender.82

Pasal 6:
Hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan
hukum:
a. Mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender
dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis.
b. Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau
hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender.
c. Menggali nilai-nilai hukum, kearifan local dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan
gender, perlindungan yang setara non-diskriminasi, dan
d. Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-
perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah
diratifikasi.83

Pasal 7:
“Selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah
dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum
dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang
merendahkan, meyalahkan, mengintimidasi, dan/atau menggunakan
pengalaman atau latar belakang seksualitas perempuan berhadapan
dengan hukum.”84

Pasal 8:
(1) Hakim agar menanyakan kepada perempuan sebagai korban
tentang kerugian, dampak kasus dan kebutuhan untuk
pemulihan.
(2) Hakim agar memberitahukan kepada korban tentang haknya
untuk melakukan penggabungan perkara sesuai dengan pasal 98
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan/atau
gugatan biasa atau permohonan restitusi sebagaimana diatur di
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pemulihan korban atau pihak yang dirugikan, hakim
agar:
a. Konsisten dengan prinsip dan standar hak asasi manusia
b. Bebas dari pandangan stereotip gender
c. Mempertimbangkan situasi dan kepentingan korban dari
kerugian yang tidak proporsional akibat ketidaksetaraan
gender.85

82
Pasal 5 Perma No. 3 Tahun 2017.
83
Pasal 6 Perma No. 3 Tahun 2017.
84
Pasal 7 Perma No. 3 Tahun 2017.
85
Pasal 8 Perma No. 3 Tahun 2017.

95
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus perkosaan, tidak sedikit dari korban perkosaan yang

menyudutkan dan menyalahkan korban atas kejadian yang terjadi pada

korban. Dalam beberapa kasus perkosaan sering dikatakan dalih “suka

sama suka” yang dilontarkan oleh pelaku. Kemudian, ketidakberpihakan

aparat penegak hukum pada perempuan korban tentu menjadi hambatan

yang masih sering ditemui. Tidak adanya perspektif dan pengetahuan

tentang gender dan kekerasan berbasis gender seringkali membuat aparat

penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak memahami kondisi

perempuan korban perkosaan yang trauma akibat kejadian perkosaan yang

dialaminya. Aparat penegak hukum yang berada dalam struktur hukum

seharusnya mampu dan mau untuk mengembangkan argumentasi hukum

dari awal proses hukum hingga proses peradilan untuk menghentikan

diskriminasi terhadap perempuan dalam ranah hukum serta mengubah

secara perlahan hukum yang bias gender tersebut.86

B. ANALISIS KASUS ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM

PUTUSAN No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn)

1. Kronologi Kasus

Bahwa Anak bersama dengan saudari Asmari Dewi Binti Sulaiman,

pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2018 pukul 18.00 Wib atau setidaknya pada

suatu waktu dalam Bulan Mei Tahun 2018 atau setidak-tidaknya pada suatu

waktu dalam Bulan Mei Tahun 2018 atau pada waktu lain dalam Tahun

2018 bertempat di dalam rumah Rt. 04 Dusun Ilir Desa Pulau Kec. Muara

86
Bella Sandiata, Op Cit, hal. 124.

96
Universitas Sumatera Utara
Tembesi Kab. Batanghari. Pada waktu dan tempat sebagaimana disebutkan

diatas, dalam perkara ini, telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut

serta melakukan, dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang

masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan

oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, berawal pada hari selasa

tanggal 22 Mei 2018 sekira pukul 15.00 Wib Anak di rumahnya

mengatakan kepada Ibunya “PERUT AKU SAKIT MAK” kemudian ibunya

menjawab “GOSOK MINYAK ANGIN KE PERUT KAU TU” selanjutnya

Anak langsung masuk ke kamarnya untuk berbaring, selanjutnya setelah itu

sekira pukul 16.30 Ibunya datang ke kamar anak menanyakan kondisinya

dengan mengatakan “MASIH SAKIT DAK PERUT TU” dan dijawab oleh

Anak “SAKIT LAH MAK EH” mendengar hal tersebut ibu langsung

berpikir bahwa ini reaksi dari janin yang berada di dalam kandungan anak,

selanjutnya Ibu membuatkan sari pati kunyit agar janin yang ada dalam

kandungan Anak itu gugur kemudian setelah itu Ibu langsung memberikan

minuman kepada Anak, selanjutnya sekitar 1 (satu) jam kemudian setelah

Anak meminum sari pati kunyit tersebut, Anak mengeluarkan banyak darah

dari kemaluannya kemudian Ibu langsung mengurut perut Anak ke arah

bawah, selanjutnya kepala bayi tersebut keluar dan Ibu langsung menarik

bayi tersebut keluar dengan jenis kelamin laki-laki dan bayi tersebut dalam

keadaan tidak bernyawa lagi, lalu Ibu langsung mengambil jilbab warna

putih dan taplak meja warna coklat kemudian mayat bayi tersebut diletakkan

di bawah kasur, selanjutnya keeseokan paginya pada hari rabu tanggal 23

mei 2018 sekira pukul 07.00 Wib ayat bayi tersebut diambil oleh Anak

97
Universitas Sumatera Utara
untuk dan di bawa ke kebun sawit sekitar 50 meter dari rumahnya lalu Anak

langsung menggali lobang sedikit dan menguburkan mayat bayi tersebut di

dalam lubang yang digalinya tersebut. Perbuatan Anak tersebut

sebagaimana di atur dan diancam pidana dalam pasal 77 A ayat (1) Jo pasal

45A Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-

Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHPidana. Namun dalam pemeriksaan saksi, Asmara Dewi

(Ibu), bahwa menurut saksi sekitar bulan Maret 2018, anak pernah

mengeluh sakit perut dan Saksi ingin mengajak anak berobat ke dokter

tetapi anak tidak mau, lalu Saksi memberi sari pati kunyit yang dicampur

dengan garam untuk diminum oleh Aanak agar sakit perutnya berkurang.

Kemudian tanggal 30 Mei 2018 saksi dan Anak diperiksa oleh Polisi

berkaitan dengan adanya penemuan mayat bayi di dekat rumah saksi.

Selanjutnya setelah diperiksa petugas polisi Anak mengakui bahwa mayat

tersebut adalah bayi dari Anak dan ayah bayi tersebut adalah anak Saksi

yang merupakan kakak kandung Anak yang juga merupakan anak kandung

Saksi. Saksi (ibu) membantah keterangan Saksi dalam Berita Acara

Penyidik bahwa Saksi mengakui telah membantu anak untuk melakukan

aborsi dengan cara memberi anak minum sari pati kunyit yang dicampur

garam lalu saksi mengurut perut anak hingga kepala bayi tersebut keluar

lalu saksi mensrik bayi hingga keluar, keterangan tersebut tidak benar

bahwa Saksi membantu Anak melakukan Aborsi, Saksi menandatangani

BAP tersebut karena dipaksa penyidik kepolisian. Saksi menyuruh Anak

minum sari pati kunyit yang telah dicampur garam untuk memperlancar

98
Universitas Sumatera Utara
halangan (datang bulan) Anak, karena sebelumnya Anak mengatakan sakit

perut karena sedang halangan (datang bulan). Bahwa saat memberi sari pati

kunyit yang dicampur garam tersebut saksi tidak mengetahui Anak sedang

dalam keadaan hamil.Kemudian dalam pemeriksaan terhadap anak saksi,

anak saksi mengetahui dari penyidik bahwa ibu bayi tersebut adalah Anak.

Anak saksi baru mengetahui ayah bayi tersebut adalah Anak Saksi setelah

Anak Saksi diperiksa polisi dan Aanak mengakui telah hamil akibat

persetubuhan dengan Anak Saksi. Anak Saksi melakukan persetubuhan

dengan Anak pertama kalinya pada bulan September tahun 2017 di rumah

Anak Saksi yang juga merupakan rumah Anak. Diketahui bahwa Anak

Saksi menyetubuhi Anak sudah sebanyak 9 (Sembilan) kali. Anak Saksi ada

melakukan ancaman pada Anak setiap hendak menyetubuhi Anak dengan

mengancam apabila Anak tidak mau bersetubuh dengan Anak Saksi maka

akan dipukul oleh Anak Saksi. Anak Saksi sering menonton video porno

dari handphone teman Anak Saksi, karena terlalu sering menonton video

porno timbul nafsu dalam diri Anak Saksi kemudian pada bulan September

tahun 2017 pukul 13.00 WIB Anak Saksi melihat Anak sedang menonton

televise di rumah dan pada saat itu di rumah hanya ada anak Saksi dan

Anak, melihat situasi di rumah hanya ada Anak dan Anak Saksi (berdua)

timbul nafsu dalam diri Anak Saksi terhadap Anak lalu Anak Saksi mearik

tangan Anak dan megajak ke dalam kamar akan tetapi Anak menolak,

kemudian Anak Saksi mengancam akan memukul Anak dengan berkata

“Kalo ga ikut abang, abang pukul” lalu akhirnya Anak menurut dan

terjadilah hubungan badan antara Anak Saksi dan Anak.

99
Universitas Sumatera Utara
2. Dakwaan

Anak telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan Tunggal

yaitu melanggar Pasal 77 Ayat (1) Jo Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan UU RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

3. Tuntutan

a. Menyatakan Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana Aborsi secara bersama-sama dengan

saksi Asmara Dewi binti sulaiman sebagaimana diatur dalam

passal 77 A ayat (1) Jo Pasal 45A Undang-Undang RI Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang RI Nomor 23

Tahun 2002 tentang perlindungan Anak Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHPidana, sesuai dengan dakwaan tunggal;

b. Menjatuhkan pidana terhadap Anak berupa pidana penjara

selama 1 (satu) tahun pidana penjara dan denda Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Subsidair pelatihan

kerja selama 3 (tiga) bulan dengan dikurangi selama anak berada

dalam tahanan sementara dan dengan perintah anak tetap

ditahan;

c. Menetapkan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) buah jilbab segi empat warna putih;

2) 1 (satu) buah taplak meja warna coklat;

Dipergunakan dalam perkara Asmara Dewi binti Sulaiman;

100
Universitas Sumatera Utara
d. Menetapkan agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-

(lima ribu rupiah).

4. Pertimbangan Hukum

Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan,

Anak telah disetubuhi oleh Anak Saksi sekira bulan September tahun 2017

dan Anak melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan pada bulan

Mei tahun 2018 sehingga Majelis Hakim berpendapat usia kehamilan Anak

sudah melewati usia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid

terakhir dan dalam persidangan juga tidak ditemukan fakta pendukung

adanya kedaruratan medis sebagaimana telah diuraikan di atas sehingga

Majelis Hakim berpendapat perbuatan Anak dilakukan dengan alasan dan

tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan sehingga keadaan tersebut telah memenuhi keadaan yang

dimaksud dalam unsur.

Menimbang, bahwa mengenai penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-2 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bertujuan untuk menjerat

atau membuktikan adanya pelaku lain dalam perbuatan Anak, secara hukum

Pasal 55 ayat (1) ke-1 (KUHP) tersebut merupakan Pasal penambah atau

pelengkap sehingga tidak terikat dengan pasal pokok maka apabila pasal

penambah atau pelengkap tersebut tidak terbukti, secara hukum tidak

menghilangkan unsur kesalahan Pelaku dalam pasal pokoknya, dengan

demikian dalam perkara a quo, pembuktian kesalahan Anak hanya

berdasarkan Pasal 77A ayat (1) jo. Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014

101
Universitas Sumatera Utara
tentang Perubahan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak;

Bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal

yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan

pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Anak harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan Anak mampu bertanggung

jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Anak,

maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan

dan yang meringankan sebagai berikut:

Keadaan yang memberatkan:

a. Perbuatan Anak berpotensi terhadap degredasi moral generasi

muda;

b. Perbuatan Anak berpotensi membahayakan keselamatan dirinya

sendiri;

Keadaan yang meringankan:

a. Anak belum pernah dihukum;

b. Anak masih dapat dididik dan dibina menjadi lebih baik lagi

agar masih dapat meraih cita-cita;

c. Anak mengaku menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi

perbuatan pidana di kemudian hari;

Menimbang, bahwa oleh karena Anak dijatuhi pidana maka haruslah

dibebani pula untuk membayar biaya perkara;

102
Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan, Pasal 77A ayat (1) jo. Pasal 45A Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang RI Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili

Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan lain yang

bersangkutan.

5. Fakta Hukum

a. Bahwa Anak dihadirkan pada persidangan karena telah

menggugurkan kandungan Anak dan Anak membuang bayi

tersebut hingga akhirnya mayat bayi tersebut ditemukan warga

pada hari Rabu tanggal 30 Mei 2018

b. Bahwa Anak melakukan perbuatan tersebut karena Anak takut

diusir dari rumah jika Ibu Anak yaitu Saksi Asmara Dewi

mengetahui bahwa Anak hamil

c. Bahwa Ayah dari bayi tersebut adalah kakak kandung Anak

yaitu Anak saksi

d. Bahwa Anak Saksi melakukan ancaman pada Anak setiap

hendak menyetubuhi Anak dengan mengancam apabila Anak

tidak mau bersetubuh dengan Anak saksi maka Anak Saksi akan

memukul Anak

103
Universitas Sumatera Utara
e. Bahwa Saksi Asmara Dewi tidak pernah membantu

menggugurkan kandungan tersebut.

6. Putusan

a. Menyatakan Anak tersebut di atas, terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Aborsi;

b. Menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3

(tiga) bulan;

c. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah

dijalani oleh Anak, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

d. Menetapkan Anak tetap berada dalam tahanan;

e. Menetapkan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) buah jilbab segi empat warna putih;

2) 1 (satu) buah taplak meja warna coklat

f. Membebankan anak membayar biaya perkara sejumlah Rp

5.000,00 (lima ribu rupiah).

7. Analisis Kasus

Berdasarkan kasus yang terjadi di Muara Bulian Jambi, maka dapat

ditarik analisis:

a. Berdasarkan fakta yang terungkap di dalam persidangan, bahwa

ayah kandung dari mayat bayi tersebut adalah anak saksi (abang

kandung Anak). Anak saksi menyetubuhi Anak (adik

kandungnya) sebanyak Sembilan kali dan apabila tidak dituruti

104
Universitas Sumatera Utara
maka Anak Saksi mengancam akan memukul Anak.Anak tidak

dapat melawan karena merasa takut akan ancaman tersebut.

Terlebih lagi karena orang tua Anak bercerai, maka tidak ada

sosok yang dapat melindungi Anak dan Anak terpaksa harus

menuruti kemauan tersebut. Berdasarkan perbuatan yang

dilakukan oleh Anak saksi terhadap Anak, maka mengakibatkan

terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga timbul

keinginan untuk menggugurkan kandungan. Dari perbuatan

Anak Saksi yang tidak dapat mengendalikan diri sendiri (hawa

nafsu), maka Anak yang usianya masih tergolong di bawah

umur, harus menanggung rasa malu dan ketakutan, serta beban

trauma psikologis yang sangat mendalam.

b. Dari kasus penemuan mayat bayi di bawah pohon, kemudian

Anak dijatuhi hukuman sesuai Pasal 77A (1) jo. Pasal 45A UU

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU RI Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, maka Majelis Hakim

menjatuhkan putusan bahwa Anak terbukti dan secara sah

melakukan tindak pidana aborsi.

Dari kasus tersebut, Majelis Hakim berpendapat usia kehamilan

Anak sudah melewati usia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari

pertama haid terakhir. Dari kasus tersebut, saya tidak setuju anak

dikenakan Pasal tindak pidana aborsi. Karena Anak masih di bawah

umur, tidak memahami mengenai kehamilan, masih buta kesehatan

reproduksi, akibat akses informasi yang terbatas dan kuatnya tabu

105
Universitas Sumatera Utara
membicarakan hal itu secara terbuka. lalu anak mengalami trauma dan

gangguan psikologis akibat perkosaan, dan ia mengalami tekanan

akibat ancaman yang diberikan oleh abang kandungnya, dan juga

Anak merasa takut apabila ia ketahuan hamil, maka Ibu akan

mengusir Anak dari rumah.

c. Berdasarkan fakta di persidangan, terungkap bahwa Ibu

dilaporkan turut membantu Anak melakukan aborsi, namun Ibu

menolak keterangan tersebut. Keterangan tersebut tidak benar,

Ibu dipaksa untuk mengakui karena dipaksa Penyidik Kepolisian

untuk menandatangani BAP tersebut.

Dari fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyidik

kepolisan melakukan kesewenang-wenangan terhadap Ibu dan Anak,

tidak menghormati hak-hak perempuan. Selain itu, Institute for

Criminal Justice Reform (ICJR) menilai sejak awal sudah terdapat

indikasi adanya pelanggaran yaitu unsur dengan sengaja telah

melakukan aborsi tidak terbukti, karena tidak ada alat bukti yang

membuktikan adanya perbuatan materiil dilakukannya aborsi oleh

anak korban perkosaan.

Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Veni

Siregar mengatakan ada cacat prosedur dan cacat substansi dalam

pemeriksaan kasus itu. Ada pelanggaran serius dalam pemeriksaan

perkara, unsur tindak pidana yang didakwa dalam persidangan tidak

terbukti da terdapat alasan penghapusan pidana untuk anak korban

perkosaan.

106
Universitas Sumatera Utara
Walaupun diputus dengan nomor perkara berbeda, proses

persidangan untuk kedua kasus ini dilaksanakan di hari, waktu, dan

tempat yang sama, padahal materi perkara jelas berbeda, dengan

dakwaan berbeda, (dapat dilihat dalam website pengadilan negeri

Muara Bulian Jambi). Sudah jelas, pemeriksaan tidak dilakukan

dengan hati-hati dan serius.

Dari perbuatan tersebut, Anak dijatuhi hukuman pidana penjara

selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan.

Berdasarkan penjatuhan pidana tersebut, saya tidak setuju dengan pendapat

Majelis Hakim. Dari kasus tersebut, saya menganggap Anak adalah korban

dari perkosaan yang disertai dengan ancaman kekerasan, sehingga

seharusnya yang harus diprioritaskan bagi korban adalah melindunginya,

memulihkan kesehatan jiwa dan fisiknya, serta membantunya membangun

lagi kehidupannya. Memenjarakan korban perkosaan karena melakukan

aborsi, bukanlah langkah yang tepat.

107
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban perkosaan, diatur di dalam

beberapa Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur

mengenai perkosaan yaitu Pasal 285, Pasal 287, dan Pasal 289.

Sedangkan terhadap perempuan yang melakukan aborsi, diatur

pada Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349, dan

Pasal 535.

b. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan diatur

dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 194.

c. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan Reproduksi diatur dalam Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35,

Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39.

2. Upaya Penyelesaian Tindak Pidana Aborsi yang dilakukan oleh Anak

Korban Perkosaan

a) Dalam putusan No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn anak sebagai

pelaku Tindak Pidana Aborsi, hakim belum sepenuhnya

memahami apa yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah

108
Universitas Sumatera Utara
Agung No. 3 Tahun 2017 dan masih menganggap Anak sebagai

pelaku Tindak Pidana

b) Dalam kasus ini, Anak dinyatakan bersalah telah melakukan

Tindak Pidana Aborsi dan dijatuhi hukuman Pidana Penjara

selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan.

B. Saran

Saran penulis untuk mengatasi permasalahan dalam skripsi ini adalah:

1. Pemerintah serta masyarakat harus dapat melakukan upaya yang lebih

efektif lagi dalam menegakkan aturan kasus perkosaan sehingga dapat

meminimalisir ketakutan yang dialami oleh perempuan.

2. Institusi-institusi yang bergerak dibidang Penegakan hukum seperti

kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam memeriksa perkara harus

memperhatikan dengan hati-hati terkait dengan kasus kekerasan

seksual mengingat kompleksitas dari perkara tersebut, dan harus

selalu memenuhi hak-hak korban, utamanya bagi korban kekerasan

seksual, dibanding harus diberlakukannya pemidanaan.Instansi-

instansi yang bergerak dibidang pendidikan, harus memberikan

pembelajaran kepada siswa-siswinya atas pentingnya menjaga diri

dari upaya kejahatan terhadap tubuh, agar tindakan menyimpang yang

dialami anak dapat segera diketahui.

109
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Achadiat, Chrisdiono M. 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam

Tantangan Zaman, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Anwar, H.A.K. Mochtar. 1980. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),

Bandung: Alumni

Chazawi, Adami. 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Djamali, R. Abdoel. 2006. Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Eddoyono, Widodo Supriyadi dan Indry Oktaviani. 2007. Kejahatan Perkosaan

dalam RUU KUHP. Jakarta: Elsam dan Tifa.

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Hadiwijoyo, Sakti Suryo. 2015. Pengarusutamaan Hak Anak Dalam Anggaran

Publik, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hamdan, M dan Mahmud Mulyadi. 2017. Tindak Pidana Kesusilaan dan

Tindakan Kebiri Kimia, Medan: USU Press.

Ihromi, Tapi Ormas dkk. 2006. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita,

Bandung: P.T. ALUMNI.

Kusmaryanto, C.B. Kontroversi Aborsi. 2002. Jakarta: Gramedia Widiasarana,

2002.

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang.2009. Kejahatan Melanggar Norma

110
Universitas Sumatera Utara
Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Jakarta: Sinar Grafika.

Maksum, M. Umar, dkk. 2011. Cara Mudah Menghadapi Kasus-Kasus Hukum

untuk Orang Awam. Yogyakarta: Ansor Press, 2011.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep

Diversi dan Restorative Justice). Bandung: PT Refika Aditama.

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah

Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. 2005. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Matompi, Ogar S. 2018. Hukum dan Hak Asasi Manusia, Malang: Instans

Publishing.

Mozasa, Chairul Bariah. 2005. Aturan-aturan Hukum Trafiking (Perdagangan

Perempuan dan Anak), Medan: USU press.

Muchtar, Masrudi. 2015. Bidan dan Dinamika Hukum Kesehatan Reproduksi,

Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Prasetyo, Teguh. 2011. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa

Media.

Rukmini, Mien. 2004.Laporan Akhir Penelitian Tentang Aspek Hukum

Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.

111
Universitas Sumatera Utara
Saraswati, Rika. 2015. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti.

Satyo, Alfred C. 2004. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi

Dokter, Medan: USU Press.

Sidawi, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As. 2013. Fiqih Kontemporer, Jakarta:

Pustaka.

Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-

Undang Kesehatan. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO Persada.

Sunggono, Bambang. 1998. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Supramono, Gatot. 1998. Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Karya

Unipress.

Susanti, Dyah Ochtorina dan A‟an Effendi. 2014. Penelitian Hukum (Legal

Research), Jakarta: Sinar Grafika.

Syamsudin, Azis dan Anis Fuandi. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar

Grafika.

Takariawan, Agus. 2016. Perlindungan Saksi dan Korban, Bandung: Pustaka

Reka Cipta, 2016.

Weda, Made Darma. 1996. Kriminologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Yunanto, Ari dan Helmi. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan Dan

Perspektif Medikolegal, Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

112
Universitas Sumatera Utara
B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017

tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan

Hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi

Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang pemberian kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

C. Jurnal/Artikel

Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, 2015.Perlindungan Terhadap Anak Yang

Berhadapan denga Hukum (Studi Terhadap Undang-Undang Peradilan

Pidana Anak Indonesia dan Peradilan Adat Aceh), Gender Equality:

International Journal of Child and Gender Studies, Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Ar- Raniry Banda Aceh, Aceh:Vol 1 No.01-54.

113
Universitas Sumatera Utara
Badrun Susantyo, dkk. 2016. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Dalam Perspektif Kementrian

Sosial, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementrian

Sosial RI, Jakarta Timur:Vol 5 No. 03-70.

Bella Sandiata, 2018.Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender, Jurnal Perempuan

untuk pencerahan dan kesetaraan, Jurnal Perempuan Yayasan Jurnal

Perempuan: Vol 23 No. 02-117.

Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI dan Masyarakat

Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(MaPPI FHUI). 2018. Pedoman Mengadili Perkara Perempuan

Berhadapan dengan Hukum, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia

dan Australia Indonesia Partnership for Justice 2.

Nevey Varida Ariani. 2014. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Upaya Melindungi

Kepentingan Anak.Jurnal Media Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kementrian Hukum dan HAM RI. Cililitan: Jakarta TimurVol 21-111.

Usep Saefullah, 2016.Aplikasi metode dhariah dalam UU No. 35/2014 tentang

Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak

Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung Vol 16 No. 01-118.

114
Universitas Sumatera Utara
D. Internet

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a152c3faed27/ketentuan-aborsi-bagi-

korban-pemerkosaann diakses pada tanggal 12 Desember 2018, pukul

20.15 WIB

http://www.google.com/amp/s/elviandri.wordpress.com/2014/09/04/aborsi-dalam-

pandangan-al-quran-kajian-tafsir-tematik/amp/, diakses pada tanggal 4

Januari 2019, pukul 21.51 WIB.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-

yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-anak, diakses pada tanggal 14

Desember 2018, pukul 20.48 WIB.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5aa0e554f0ee6begini-isi-revisi-pp-

pemberian-kompensasi-restitusi-dan-bantuan-kepada-saksi-korban,diakses

pada tanggal 15 Desember 2018 pukul 21.00 WIB.

http://www.gerakinklusi.id/127-peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2017-

pelaksanaan-restitusi-bagi-anak-yang-menjadi-korbank, diakses pada

tanggal 19 Januari 2019, pukul 21:49 WIB.

115
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai