Anda di halaman 1dari 114

EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi

Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA


NIM : 080200050

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


EKSISTENSI GRASI DALAM DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA

080200050

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Mengetahui :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH

NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH., M.Hum. Dr. Marlina, SH.,M.Hum.

NIP: 196107021989031001 NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis

menyadari hanya Karenna kemurahan dan kasihNya sehingga penulis diberi kekuatan,

kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

baik dan tepat waktu.

Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi

yang berjudul “Eksistensi Grasi Dalam Perspektif Hukum Pidana” kepada dunia

pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu

pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak

kekurangan yang harus di evaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan

kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skripsi

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Terima kasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, Bapakku M.Banurea

lelaki terhebat bagi kami anak-anaknya, dan motivasi yang memberiku kekuatan O.

Tumangger dan Adik-adikku Gana, Lely, Elaai,serta seluruh keluarga besar Op.

Benny Banurea.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

Universitas Sumatera Utara


1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Syaiful Azam, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis

duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Abul

Khair, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina., S.H.,

M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas ketersediaan baik waktu maupun

tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan

untuk skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pension;

10. Seluruh Staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Khusus Kepada Febrina Solin, Amd., Terima kasih atas semua bantuannya

selama ini;

Universitas Sumatera Utara


12. Teman-teman seperjuangan Stambuk 2008 dan teman-teman Pecinta

Departemen Hukum Pidana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;

13. Kepada Reinhard Jevon, Rolas, S.H., Rinaldi, S.H., Marhara, Saut Banu, Riko

dan kepada seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

14. Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data

guna pengerjaan skripsi ini, dan

15. seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Terima kasih atas berbagai

hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa

memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.

Medan, 14 Januari 2013

Penulis

(Limey Agus Fazlli Banurea)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

ABSTRAKSI vii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang.......................................................................1

B. Perumusan Masalah...............................................................13

C. Tujuan Dan manfaat Penulisan...............................................14

1. Tujuan Penulisan.............................................................14

2. Manfaat Penulisan...........................................................14

D. Keaslian Penulisan................................................................15

E. Tinjauan Kepustakaan............................................................16

1. Pengertian Eksistensi........................................................16

2. Pengertian Grasi...............................................................17

3. Pengertian Hukum Pidana.................................................23

F. Metode Penelitian..................................................................26

G. Sistematika Penulisan.............................................................28

BAB II ATURAN HUKUM PEMBERIAN GRASI DI INDONESIA.......31

A. Latar Belakang Grasi..............................................................31

B. Sejarah Grasi.........................................................................34

C. Perkembangan Pengaturan Grasi..............................................35

1. Standar Baku Permohonan Grasi.........................................41

2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba..............................55

3. Prosedur Penerimaan Grasi.................................................58

Universitas Sumatera Utara


4. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang

Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang

Grasi................................................................................59

BAB III EKSISTENSI PEMBERIAN GRASI DITINJAU DARI

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA...............................................62

A. Alasan Pemberian Grasi...........................................................62

B. Kewenangan Pemberian Grasi..................................................71

1. Alasan Grasi Ditolak Presiden.............................................76

2. Alasan Grasi Diterima Presiden...........................................77

C. Keberadaan atau Eksistensi Pemberian Grasi di Indonesia...........78

BAB IV UPAYA YAMG DILAKUKAN UNTUK

MENGEKSISTENSIKAN GRASI TERHADAP NARAPIDANA

.............................................................................................................91

A. Upaya Hukum Berupa Banding Terhadap Narapidana.................91

B. Upaya Yang Dilakukan Agar Grasi Diterima..............................95

C. Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati Bagi Terpidana

Narkoba................................................................................102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................105

A. Kesimpulan...........................................................................105

B. Saran....................................................................................107

Daftar Pustaka

Lampiran

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

ABUL KHAIR 1
MARLINA 2
LIMEY AGUS FAJLLI 3

Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat
khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan
negara dalam bidang hukum. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden. Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan
hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai
hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian
ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui
teori pemidanaan. Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori
pemidanaan.
Dilihat dari latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis mencoba
mengemukakan permasalahan bagaimana aturan hukum pemberian grasi di Indonesia,
bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana, serta
upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana. Skripsi ini
merupakan penelitian normatif atau studi pustaka dengan menggunakan jenis data
berupa Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. Data
sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan
dengan skripsi ini. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian
skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian
terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat
digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan
skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku,
situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini.

Berdasarkan data yang ada, kecenderungan penggunaan dan peredaran


narkoba di Indonesia tak memperlihatkan kecenderungan turun, bahkan setiap tahun
terus naik.Selama tahun 2012 ini setidaknya sudah tiga gembong narkoba yang
diberikan grasi, yaitu terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari
20 tahun menjadi 15 tahun. Lainnya, dua gembong narkotika internasional Deni Satia
Maharwan dan Meirika Franola yang seharusnya menjalani hukuman mati diubah
menjadi hukuman penjara seumur hidup. Pemberian grasi ini menimbulkan
pertanyaan tentang keseriusan dan komitmen pemerintah dalam memerangi peredaran
narkoba di Indonesia. Keseriusan ini juga dipertanyakan dengan mencuatnya kasus
terpidana mati narkoba asal Nigeria, Adami Wilson alias Abu, beberapa waktu lalu
yang dengan leluasa mengendalikan bisnis haram itu dari penjara Nusakambangan.
Ini situasi yang berbahaya.Jadi, alasan hak asasi manusia yang dikemukakan

1
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
2
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
3
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

Universitas Sumatera Utara


pemerintah patut dipertanyakan, karena dampak yang dilakukan para terpidana
narkoba itu sangat hebat dalam menghancurkan dan membunuh masa depan
kemanusiaan. Oleh karena itu ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak
dapat dimaknai sebagai hak prerogatif, namun hanya sebatas hak konstitusional.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang
Grasiadalah sudah tidak sesuai. Pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba
merupakan preseden buruk terhadap gerakan pemberantasan penggunaan dan
peredaran narkoba di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.

Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu

negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang

Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 4. Ide negara hukum, terkait

dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V.

Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the

rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3)

due process of law.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law

termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality

before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang

Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar

diperlakukansama di hadapan hukum dan pemerintahan. Cabang kekuasaan eksekutif

adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi negara yang

tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan

4
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10

Universitas Sumatera Utara


Negara, yaitu: (i) sistem Pemerintahan Presidential, (ii) sistem Pemerintahan

Parlementer atau sistem Kabinet, dan (iii) sistem Campuran. 5

Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem Presidentil. Itu

berarti Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD

1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 6 Dalam system

Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara

dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden,

timbul persoalan sehinga kecendrungan terlalu kuatnya otoritas dan kekuasaan di

tangan Presiden diusahakan untuk dibatasi.

Pembatasan kekuasaan Presiden tersebut dilakukan dengan adanya Perubahan

terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada

kekuasaan Presiden di bidang yudisial, berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam

pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak

Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi

putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan

sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak

prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan.

Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti

Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang

kuat dan efektif. Kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan

5
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2011, hlm 323
6
Sahetapy J.E, 2007, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,Jakarta,
Komisi Hukum Nasional RI, hlm 320

Universitas Sumatera Utara


dengan dinamika demokrasi 7. Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan

sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi

kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi.

Ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden mempunyai

kewenangan untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Setelah

perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan,

yaitu dalam hal memberi Grasi dan Rehabilitasi, Presiden memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal member Amnesti dan Abolisi,

Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.” 8 Setiap permohonan Grasi harus

disertai dengan pertimbangan Mahkamah Agung, karena Grasi mengenai atau

menyangkut putusan hakim. 9

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti

dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk

pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai

lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia. 10

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: “Grasi adalah

pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”

7
Ibid, hlm.164
8
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009, hlm 104
9
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm 161
10
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.

Universitas Sumatera Utara


Penjelasan Undang-undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah,

meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang

dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan

merupakan rehabilitasi terhadap pidana. 11

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi,

“Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden.” Ketentuan yang

terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan

Grasi, menyebutkan: “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkanoleh keputusan

kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi,orang yang

dihukum atau pihak lain dapat mengajukan permohonan Grasi kepadaPresiden.”

Kedua Undang-Undang diatas yang lebih mengutamakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur

dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan

Grasi. Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat

diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan

peradilan pada waktu itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.

Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun

terakhir. Pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan.

Periode tahun 2000 beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana

mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor

11
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.

Universitas Sumatera Utara


15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada

peraturan perundang-undangan lainnya.

KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam

urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang

sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di

Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali

untuk kejahatan militer. Tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk

semua kejahatan 12. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik.

Diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda

ancaman pidana mati sudah dihapuskan.

Penjelasan pembentukan KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap

memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di

Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain:

1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih


mengancam;
2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak
lancar;
3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan
pada masyarakat;
4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai 13.
Apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu

ditinjau kembali. Alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan

perkembangan jaman.

12
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459
13
Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978

Universitas Sumatera Utara


KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati.

Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat

(4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan

lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama.

Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru

adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional dalam bentuk ‘pidana

bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok

penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati

tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan

dilakukan secara lebih selektif.

Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab

kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa "Presiden

memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa

"Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas

kuasa Undang-Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah

Agung". Sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan

Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang

telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik

antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini

dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi, Amnesti dan

Abolisi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik

positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum

Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung,

dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap (in

kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu

Universitas Sumatera Utara


Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir

yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan

mengajukan grasi kepada Presiden.

Fungsi selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala

pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi

jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara

untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan

hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh

konstitusi bagi kepala negara. Bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan

grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’

maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan

rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut

(UUD).

Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas

keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf,

bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara.

Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be

wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat

khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan

negara dalambidang hukum’.

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati.

Catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk

salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem

hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara

Universitas Sumatera Utara


yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat

71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia

yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara

bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati 14.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam

menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Kenyataannya masih tetap

memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.

Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah

Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982

hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau

masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan 15. Alasan yang banyak

dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati

pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan

nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak

argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman

pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Indonesia adalah

negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh

penduduk muslim.

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi

antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi

menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana)

14
Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik
Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004
15
Muladi (Makalah), Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan Signifikasinya,
7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Setelah keluar penjara mereka tidak

lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli

mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-

kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku

kejahatan, dimana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana

orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan 16.

Kalangan yang pro-hukuman mati berpendapat:


(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana)
dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki
sifat khusus yang menakutkan;
(2) idana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

Kalangan yang tidak setuju pidana mati berpendapat:


(1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena
KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu
negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan
sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah
mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;
(3) mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi, martabat
kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk
memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia 17.

Dilihat dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan

instrumen-instrumen sebagai berikut:

(1) Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai
hak untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;

16
Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari
2003, hlm.1
17
Ibid, hlm 25

Universitas Sumatera Utara


(2) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on
Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu
pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas
hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat
mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini diadopsi pada 1966, dan
berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah
151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3) Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun
1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati.
Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;
(4) Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and
Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen
ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;
(5) The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7
tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat
ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini. 18

Pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih

tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia.

Dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan

upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri.

Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Baik melalui

dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan

permohonan grasi kepada presiden.

Kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang

bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.

Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya

memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi

kekuasaan tersebut. Grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam

kekuasaan presiden dengan konsultasi. Tercantum dalam Pasal 14 ayat (1)

Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi

atas pertimbangan DPR”.

18
Tim Imparsial, Op.Cit, hlm.3

Universitas Sumatera Utara


Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam

arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk

menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak

negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan.

Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.

Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak

pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi

enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang

dalam kasus narkoba 19. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang

baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah

diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan

terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan

oleh presiden Soeharto 20. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat

kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.

Tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan

vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan

rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin

Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997

PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan

No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya.

Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Mereka

langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Permohonan

Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari

19
www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 agustus 2012)
20
apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6 Agustus 1995

Universitas Sumatera Utara


2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui

LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan

Kembali ini juga ditolak.

Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan

terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Kasus ini

hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup.

Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak

dapat diterima.

Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan

oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya

kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam

proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan

dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi 21. Kata lain, grasi merupakan

salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah

sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan

indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam

lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan

grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menuangkan

tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.

B. Perumusan Masalah
21
Muladi (Makalah), Op.Cit, hlm.12

Universitas Sumatera Utara


Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul

permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimanakah aturan hukum pemberian grasi di Indonesia?

2. Bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana?

3. Upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:

a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi

kepada Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada

terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan

tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;

b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi)

dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim,

dalam hal ini grasi;

c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk

terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati,

dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini.

2. Manfaat Penulisan

Tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga

diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan

Universitas Sumatera Utara


pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah

penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum

terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden

a) Manfaat teoretis

Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah

dalam bidang pengetahuan ilmu pidana pada umumnya, sehingga dapat diharapkan

skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang

berkaitan dengan hal keberadaan grasi di Indonesia.

b) Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi

suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal

ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana”

dengan permasalahan bagaimanakah aturan pemberian grasi di Indonesia,bagaimana

eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana dan upaya yang

dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana, belum pernah dibahas

ataupun ditulis mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada

eberapa mahasiwa yang pernah menulis tentang grasi seperti:

Universitas Sumatera Utara


a. Hanna Stephanie Tarigan/ 060200327, “Grasi Sebagai Permohonan Pengampunan

Pelaksanaan Pidana menurut Undang-undang No.22 Tahun 2002” dengan

masalah bagaimana grasi sebagai dipandang sebagai permohonan pengampunan

menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 2002.

b. Triana Putrie/ 080200 “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap

Terpidana di Indonesia” dengan masalah bagaimana penerapan pemberian grasi

terhadap terpidana di Indonesia dan bagaimana perkembangan grasi di Indonesia.

Permasalahan terhadap skripsi-skripsi tersebut berbeda, Penulis menyatakan

bahwa skripsi “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah asli tulisan

penulis. Bila dikemudian hari terdapat Skripsi yang sama, maka menjadi tangung

jawab penulis sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Eksistensi

Kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi 22 adalah adanya atau keberadaan,

kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Penggunaan kata eksistensi dimaksud

pada judul adalah adanya permohonan grasi yang ditetapkan dalam Undang-undang

Dasar 1945 yang diputuskan oleh Presiden.

22
J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1996, hlm.375

Universitas Sumatera Utara


2. Pengertian Grasi

Grasi adalah wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan

terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya,

sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia,

grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang

dijatuhi hukuman.

Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan

berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana

kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi bukan berupa upaya hukum,

karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah

Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif

Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Grasi

dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa

resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim,

khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi

terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses

penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat

dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Kita ketahui sebelumnya,

grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Keputusan dari

permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar

keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Tidak berbeda dengan

penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang

juga didasarkan pada teori pemidanaan. Seseorang yang telah terbukti bersalah

Universitas Sumatera Utara


melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP.

Bentuk-bentuk pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP, terdiri dari:

1) Pidana pokok, terdiri atas:

a) Pidana mati;

b) Pidana penjara;

c) Pidana kurungan;

d) Pidana denda;

e) Pidana tutupan (Undang-undang No.20 Tahun 1946).

2) Pidana tambahan, terdiri atas:

a) Pencabutan hak-hak tertentu;

b) Pengumuman putusan hakim;

c) Perampasan benda-benda tertentu.

Sedangkan bentuk-bentuk atau jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP

Nasional diatur dalam pasal 62 ayat (1) Tahun 1964 yang terdiri dari:

1) Pidana pokok, adalah:

Ke-1 Pidana penjara

Ke-2 Pidana tutupan

Ke-3 Pidana pengawasan

Ke-4 Pidana denda

Ke-5 Pidana kerja sosial

2) Pidana tambahan dimuat di dalam pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah:

Ke-1 Pencabutan hak-hak tetentu

Ke-2 Perampasan barang-barang tertentu dengan tagihan

Ke-3 Pengumuman putusan hakim

Universitas Sumatera Utara


Ke-4 Pembayaran ganti rugi

Ke-5 Pemenuhan kewajiban adat.

Mulanya pemberian grasi atau pengampunan di jaman kerajaan absolute

Eropa, adalah berupa anugerah dari raja (vortelijke gunst) yang memberikan

pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Sifatnya sebagai kemurahan hati

raja yang berkuasa. Setelah tumbuhnya negara-negara modern, dimana kekuasaan

kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham

trias politika, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi koreksi terhadap

putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanaannya

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringatan, pengurangan atau

penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan Presiden (Pasal 1

ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002). Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada

terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus parkara pada tingkat

pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak

terpidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh

panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada

Presiden. Permohonan sebagaimana dimaksud dapat diajukan oleh keluarga terpidana,

dengan persetujuan dari terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi hukuman,

permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Pasal 7 UU Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi,mengatakan:

1. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh

kekuatan hukum tetap.

2. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh

tenggang waktu tertentu.

Universitas Sumatera Utara


Permohonan grasi dimaksud harus diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa

hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Salinan permohonan grasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pengadilan yang memutus

perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia amnesti 23 adalah suatu pernyataan terhadap

orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat

hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada

orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun

yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.

Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan

status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum

sebelumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau

penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok

orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ditujukan kepada orang

banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan

terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan

kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Amnesti

merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif.

Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif

sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Hak Kepala Negara untuk

memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum

terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti

pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri

dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik

23
Ibid, hlm 97

Universitas Sumatera Utara


untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti

umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya

bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan

amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum,

tokoh politik, dan/atau tekanan internasional. Pemberian amnesti murni lahir dari

presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-

undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945

tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di

tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa

dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan

lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-

Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara

khusus. Indonesia hingga sekarang, masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun

1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya pada masa Menteri Yusril Ihza

Mahendra, ada rencana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

Amnesti. Sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Pasal 1 UU Darurat

Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat

memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu

tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk

persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal

ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua

perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam

undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada

pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan

Universitas Sumatera Utara


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemberian amnesti di Indonesia belakangan juga

diatur hanya untuk aktivitas politik yang diancam ataupun divonis dengan pasal

makar, bukan terpidana yang tersangkut kriminal.

Kamus Besar Bahasa Indonesia abolisi 24 berarti penghapusan atau

pembasmian. Istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya,

Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi

merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan

penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan

tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi 25 adalah suatu tindakan Presiden

dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu

keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan

yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan

perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Kamus Besar

Bahasa Indonesia secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan

kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini

terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung

kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

3. Pengertian Hukum Pidana

Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang

mempunyai arti yang luas dan dapat berubah ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam
24
Ibid, hlm. 46
25
Ibid, hlm.1655

Universitas Sumatera Utara


bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama,

dan lain sebagainya.

Dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan

dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Diperlukan

pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau

sifat-sifatnya yang khas. Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat

didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh

Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya

atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus

larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit) 26.

Memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat

atau definisi dari para sarjana sebagai berikut 27:

a. Sudarto
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu
b. Roeslan saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.
c. Fizgerald.
Punishment is the outhoritative infliction of suffering for an offence.
d. R. Soesilo
Hukum pidana adalah perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang
hukum pidana.
e. Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan
terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan
apakah macamnya pidana itu. Hukum pidana itu sama halnya dengan
26
Adami Chazawi (2002). Pelajaran Pidana Bagian I Stelsel Pidana Tindak Pidana Teori-
teori Pemidanaan 7 Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal.24.
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005). Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit
PT. Alumni: Bandung, hal 2-4

Universitas Sumatera Utara


hukum tata Negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum,
biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang sedikit banyak bersifat umum dan abstrahir dari keadaan-keadaan
yang bersifat konkret.
f. D.Van Hamel
Hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh
negara dan kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan
suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut
g. C.S.T Kansil
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan.
h. G.WLG.Lemaire
Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-
keharusan dan larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan
yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum
pidana itu merupakan suatu system norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan
sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat
dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.
i. C. Simons
Hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara
diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.

Beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan pidana mengandung unsur-

unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh orang yang berwenang);

c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang;

Universitas Sumatera Utara


Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan

dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya serta

dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu

dimuat dalam pasal 10 KUHP. Batas-batas berat ringannnya dalam menjatuhkan

penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam

hukum pidana yang bersangkutan. Negara - negara tidak dapat dengan bebas memilih

jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP tersebut. Berkaitan dengan fungsi hukum

pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi

warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan

hukum pidana.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian

dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang

berhubungan dengan permasalahan skripsi. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,

penelitian hukum normative mencangkup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;

d. Perbandingan hukum; dan

Universitas Sumatera Utara


e. Sejarah hukum. 28

Sementara Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian hukum normative juga

meliputi penelitian pada poin (1), (2), dan (3) tersebut, namun dua bentuk penelitian

lainnya berbeda, yaitu penelitian untuk menemuan hukum in concrito dan penelitian

inventarisi hukum positif 29

2. Analisis Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder

yang diperoleh melalui :

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

1. Norma atau kaedah dasar

2. Peraturan Dasar

3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian grasi

kepada terpidana oleh Presiden yakni UU No. 22 Tahun 2002

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi

b. Bahan hukum sekunder berupa buu-buku dan artikel-artikel dari media

elektronik yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang

berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan, kasus narkoba, atau lainnya,

bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencangkup

bahan yang member petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

baku primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, majalah, jurnal

ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat

28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 15.
29
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990, hal. 12

Universitas Sumatera Utara


digunakan untukmelengkapi data yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini. 30

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap literatur-

literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar

analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian

kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder

yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan

pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. 31 Data

sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan

dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika

bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan

yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).

Sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986, hal 52.
31
Ibid, hal 69

Universitas Sumatera Utara


Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan

judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan,

tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi).

Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi

grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku

permohonan grasi dikabulkan.

BAB III Eksistensi Pemberian Grasi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana

Bab ini terdiri dari sub bab yaitu latar belakang grasi, syarat dan tata cara

pengajuan permohonan grasi dan eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana,

serta tahap lanjutan bilamana terpidana dijatuhi hukuman. Dan akhirnya bagaimana

dengan pidana itu sendiri dengan tujuan pidana itu diterapkan, daya tekannya untuk

menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

BAB IV Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengeksistensikan Grasi Terhadap

Narapidana

Bab ini menerangkan tentang upaya - upaya apa saja yang harus dilakukan

agar bagaimana grasi tersebut dikabulkan oleh presiden. Penulis juga mengambil dari

beberapa kutipan literature yang berhubungan dari grasi beserta penjelasannya.

BAB V Penutup : Kesimpulan dan Saran

Universitas Sumatera Utara


Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari

penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan

tersebut dan kalau terjadi dimasa yang akan datang penulis memberikan beberapa

saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik

secara teori maupun dalam praktiknya.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

A. Latar Belakang Grasi

Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala

negara atau presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai

hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak

berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan

kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau

pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah

bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak

preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan

berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau

penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa

juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si

terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; (a)

Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka

pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum;

(b)Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada

mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian

grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si

terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan

hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan

kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut

ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan

Universitas Sumatera Utara


tersebut dijatuhkan. Pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim

dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan

putusannya.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU

Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun,

pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang

berbunyi; “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik

militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak

lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.”

Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3

Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40)

yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang

melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung yang diberi

kewenangan untuk memberikan pertimbangan permohonan grasi. Jadi, Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-undang Dasar

1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan

sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam

masyarakat, di samping prosedurnya yang terlalu panjang dengan melibatkan instansi

penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri.

Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana,

tidak diperlukan lagi. Untuk itu, substansi Undang-undang mengatur proses

pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan

pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi

didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).

Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi

Universitas Sumatera Utara


yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah

berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut

UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling

rendah dua tahun.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan

pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas hukuman-hukuman yang

dijatuhkan kepada si terhukum. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002

tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai

pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan

pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi

adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian

tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU

tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan

yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan

putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan

persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan

hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang

yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati

pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan

kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan

kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Universitas Sumatera Utara


B. Sejarah Grasi

Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut

di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan

pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan

hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana

kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh

dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya

koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau

keberadaan 32. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala

negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh

hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk

hukuman itu 33.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi 34,

menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan

oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk

menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh

hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal

10 KUHP.

Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua

Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga

memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi

32
J.S.Badudu Op.Cit, hlm.375
33
JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58
34
Lembaran Negara RI No.108 Tahun 2002

Universitas Sumatera Utara


ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2)

Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang


dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah
meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang
federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat
dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang
ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk
memberikan ampun.

UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat

(1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada

dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang


dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah
meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang
tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat
dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang
ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.

Berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3

Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai

hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi,

dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi.

Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi

(L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002

tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).

Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal

saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:

“Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan,
dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan
permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan

Universitas Sumatera Utara


presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden,
dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya
atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.

Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun

hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan

permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara

atau hukuman pidana kurungan.

Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu

perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan

pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara

seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun,

terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana

penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh

terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut

Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan.

Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali,

kecuali dalam hal:

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua

tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur

hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi

diterima.

Universitas Sumatera Utara


Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya,

atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi

pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa

persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh

terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak

permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang

Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27

Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 35, “Mahkamah

Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum,

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya

kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi,

maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain.

Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan

memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.

Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam

Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga

Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang

biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup

kewenangan sebagai berikut:

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan


Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam
sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh
Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan

35
Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08

Universitas Sumatera Utara


perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang
biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi
sesempit mungkin wilayahnya.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan
umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the
constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power),
kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga
perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa
perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu
bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh
menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat
mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.
c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait
dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman,
memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait
erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang
mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya
peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim
presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu
ditentukan berada di tangan Presiden.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan
dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks
hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden
adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol
kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain.
Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan
politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.
e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan
memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-
jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala
eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan
memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan
administrasi negara 36.

Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu

diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam Undang-undang Dasar atau Undang-

undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:

a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas


Undang-undang Dasar;
b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances,
kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang
dimiliki oleh parlemen;
c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan
biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan.
Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi,

36
Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.176

Universitas Sumatera Utara


abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun,
dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada
presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus
mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan
Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi;
d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden.
Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian
yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional
harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen).
Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;
e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi 37.

Adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian

grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana

kita ketahui, sistim presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan

berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan

Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat

mutlak.

Permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan

permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan

tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus

terlebih dahulu. Selanjutnya, keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat

tiga bulan sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.

Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk

Keputusan Presiden, dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan

permohonan grasi dapat berupa:

1) Peringanan atau perubahan jenis pidana;

2) Pengurangan jumlah pidana;

3) Penghapusan pelaksanaan pidana.

37
Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.177

Universitas Sumatera Utara


C. Perkembangan Pengaturan Grasi

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan dasar peniadaan pidana yang telah

dibicarakan di atas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945

yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas

dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun

kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun

1947 yang memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih

pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26

tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya.

Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah

mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni

Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No.

67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali

memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya tentang permohonan grasi.

Tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi

RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal

160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-

undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40,

yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula

Undang-undang Grasi. Materi muatan Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh

Universitas Sumatera Utara


berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang

dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang-undang grasi ini.

Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman penjara yang

dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan

grasi kepada terpidana tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan

grasi. Dalam Undang-undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari,

sementara dalam peraturan sebelumnya 14 hari.

Tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat

mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS

untuk menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang

Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950

menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Berkenaan dengan grasi/pengampunan hukuman, pengaturannya tercantum

dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden

mempunyai hak memberi grasi atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh

keputusan pengadilan. Pelaksanaan hak grasi tersebut didasarkan atas nasehat

Mahkamah Agung. Ayat (2) mengatur penangguhan putusan terpidana untuk

memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3)

mengatur masalah amnesti dan abolisi.

Masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap

menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai

dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada

Universitas Sumatera Utara


tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut,

ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan

Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini

menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi

sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang

penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5

tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini

ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan Kepala-kepala Kejaksaan

Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari

sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui

Dekritnya tanggal 5 juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945.

Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan

peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat

diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan

negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang

baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan

masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3

tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi,

misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember

1969.

Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus

yang didasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 568 tahun 1961 hal ini berkaitan

Universitas Sumatera Utara


dengan Keppres No. 449 tahun 1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian

Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dalam pemberontakan.

Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara

merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950

(pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana

penjara sementara, Menteri Kehakiman mengeluarkan Keputusan No. M.03.HN.02.01

tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup

menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang

Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi).

Tatacara pengajuan permohonan perubahan pidana tersebut harus

menggunakan tatacara yang diatur dalam UU Grasi tersebut karena mengajukan

permohonan kepada Presiden untuk mengubah atau mengganti bentuk

hukuman/pemidanaan dengan bentuk pemidanaan yang lebih ringan artinya sama

dengan mengajukan grasi.

Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem

ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak

sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah

Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal

22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat

itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penyesuaian dengan sistem ketatanegaraan Indonesiaan yang dimaksud

adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat

(1) yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung. Tatacara pengajuan dan penyelesaian permohonan

Universitas Sumatera Utara


grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini

menjadi permasalahan, antara lain megenai penundaan eksekusi karena permohonan

grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk

menghindarkan diri dari eksekusi.

Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana

mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya

hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan

pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain

pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya

paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak

membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga

dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang

terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya

permohonan grasi yang harus diproses.

1. Standar Baku Permohonan Grasi

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi

(UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif

atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu

kedudukan resmi.

Menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil

tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif,

Universitas Sumatera Utara


mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat

absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan

grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau

bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam

UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan

lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk

alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan,

keadilan, moral ataupun alasan politik.

Menurut Pompe 38, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai

alasan untuk memberikan grasi, yaitu:

1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu


peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana
tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan
yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak
akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana
yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada
penafsiran yang lebih luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari
Hoge Raad ;
2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim
pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan
untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan.
Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya
keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak
mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;
3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe
telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang
berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut;
4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa
percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai
pantas untuk mendapatkan pengampunan;

38
Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung,
1984. hlm. 287-288

Universitas Sumatera Utara


5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah.
Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat
kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah
dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada
orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana
yang bersifat politis.

Sedangkan menurut Van Hattum 39, alasan pemberian grasi antara lain:

“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden
als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om
onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot
gratieverlening.” Yang artinya:

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi

dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan

sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di

dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan

negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian

grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan

yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah

menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai

penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari

keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah

membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat

diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi

melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana

39
Ibid, hlm 288-289

Universitas Sumatera Utara


(criminal justice system). Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan

Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah

Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan

grasi terhadap seorang terpidana. UU No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan

birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung.

Uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak

atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945,

bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung,

tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus

dilaksanakan. Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan

pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat

merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan

penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan.

Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan

manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan

dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.

Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label

yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang

terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh

masyarakat.

Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang

ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden

dalam memutuskan penolakan atau pengabulan permohonan grasi terpidana mati

Universitas Sumatera Utara


disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan, juga harus

memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat

bagi masyarakat banyak.

Uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang

baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk

peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Secara

garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil

tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif,

mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat

absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau

penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan;

2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945

maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat

melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi

dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan

politik.

3. Hanya ada keadaan/faktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang

dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima

(5) keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundangundangan, ada

hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi

terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan, terpidana

dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah

menjalankan suatu masa percobaan, adanya hari besar/bersejarah sebagai cara

Universitas Sumatera Utara


untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk

nasionalisme/bela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk

meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada

suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan

pemberian grasi.

4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus

membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan

grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana

mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan

oleh terpidana. Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya

dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum

diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:

5. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

6. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau

melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan

permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana;

7. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara

seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun;

8. Grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)

tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut,

Universitas Sumatera Utara


b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara

seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan

grasi diterima.

Adapun beberapa prosedur Permohonan Grasi yang telah ditetapkan

Pengadilan Negri 40 antara lain:

1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

dapat diajukan permohonan Grasi kepada Presiden secara tertulis oleh :

a. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.

b. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana.

c. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal pidana yang

dijatuhkan adalah pidana mati.

2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah : Pidana Mati, Pidana

seumur hidup dan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

3. Permohonan Grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu.

4. Permohonan Grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan Negeri

yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan

kepada Mahkamah Agung

5. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani

pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala LP, untuk

diteruskan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dan

paling lama 7 hari sejak diterimanya permohonan dans alinannya, berkas

terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung.

40
http://pn_raha.co.id-surat permohonan grasi (diakses pada tanggal 14 desember 2012 pukul
15.00 WIB)

Universitas Sumatera Utara


6. Panitera wajib membuat Akta Penerimaan salinan Permohonan Grasi,

selanjutnya berkas perkara beserta permohonan Grasi dikirim ke Mahkamah

Agung. Apabila Permohonan Grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera

membuat Akta Penolakan permohonan Grasi.

7. Dalam jangka waktu 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan salinan permohonan

grasi, Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas

perkara kepada Mahkamah Agung.

8. Berkas perkara yang diajukan ke Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat

sebagai berikut :

a. Surat Pengantar.

b. Daftar isi berkas perkara.

c. Akta Berkekuatan hukum tetap.

d. Permohonan Grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi.

e. Salinan Permohonan Grasi dari dari terpidana dan Akta Penerimaan

salinan permohonan Grasi.

f. Surat Kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk

keluarga dari terpidana (jika ada).

g. Foto copy Berita acara Sidang.

h. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat pertama.

i. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Banding.

j. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Kasasi.

k. Foto copy Surat Dakwaan.

l. Eksepsi dan Putusan sela (jika ada).

m. Foto copy Surat Tuntutan, Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada).

n. Foto copy Penetapan Penujukan MH.

Universitas Sumatera Utara


o. Foto copy Penetapan hari siding.

p. BAP dari Penyidik.

q. Dan surat-surat lain.

9. Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan

permohonan PK atau jangka waktu antgara kedua permohonan tersebut tidak

terlalu lama, maka permohonan PK dikirim terlebih dahulu.

10. Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal :

Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)

tahun sejak penolakan grasinya. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana

mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak

tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba

Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang

yudikatif. Sesuai Undang-undang Dasar Tahun 1945, Presiden memberi grasi dengan

memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi, pada dasarnya, pemberian

dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan,

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan

demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan

tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang

yudikatif, melainkan hak prerogratif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati

pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan

kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan

kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Hak

Universitas Sumatera Utara


mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang

yang memutus perkara pada tingkat pertama. Hal terpidana dijatuhi pidana mati,

permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan

hukum tetap. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa

hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus

perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam

jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan

permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan

tertulis kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden memberikan keputusan atas

permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

Salah satu dasar pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati adalah

untuk penegakan hak asasi manusia. Pemberian grasi kepada terpidana mati harus

dilakukan secara tepat untuk tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan

Pancasila dan UUD Tahun 1945. Demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum

HAM dapat meminta terpidana atau keluarganya untuk mengajukan permohonan

grasi. Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses

pengajuan grasi dan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden.

Pandangan masyarakat yang beragam terkait layak atau tidaknya pemberian

grasi kepada terpidana mati kasus narkoba. Sebagian pendapat dari masyarakat

pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba tidak layak karena kasus

narkoba merupakan kejahatan serius. Namun, sebagian yang lain memandang

Universitas Sumatera Utara


pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba layak diberikan karena alasan

kemanusiaan.

Masyarakat yang berpendapat pemberian grasi tidak layak diberikan kepada

terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa alasan: Pertama, kejahatan narkoba

merupakan kejahatan serius seperti halnya kejahatan terorisme. Kedua, keadilan bagi

si korban khususnya korban pengguna narkoba menjadi alasan kuat perlunya

hukuman berat bagi pelaku kejahatan narkoba. Ketiga, narkoba dapat berakibat pada

rusaknya generasi muda pengguna narkoba.

Selanjutnya masyarakat yang berpendapat pemberian grasi layak diberikan

kepada terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa pandangan: Pertama,

pemberian grasi tidak serta merta diberikan pada setiap permohonan grasi. Namun,

pemberian grasi dapat dipertimbangkan dengan melihat latar belakang mengapa

terpidana melakukan tindak pidana yang berakibat pada hukuman mati. Apabila dari

segi kemanusiaan si pemohon grasi tersebut layak untuk diberikan grasi tentu grasi

tersebut dapat diberikan. Kedua, Pertimbangan pemberian grasi terhadap terpidana

mati sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencegah adanya hukuman mati di luar

negeri, khususnya terhadap ancaman hukuman mati yang dialami WNI yang sedang

bekerja di luar negeri. Banyak ancaman hukuman mati dialami oleh WNI karena

terpaksa melakukan kejahatan dengan alasan kemanusiaan.

Layak atau tidaknya pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba

dapat dipertimbangkan dari alasan yang disampaikan dalam permohonan grasi dan

pertimbangan Mahkamah Agung terhadap isi permohonan grasi yang disampaikan.

Pertimbangan kemanusiaan dapat menjadi salah satu alasan pemberian grasi kepada

Universitas Sumatera Utara


terpidana mati kasus narkoba. Namun, pemberian grasi harus tepat diberikan kepada

terpidana yang memang memiliki alasan kemanusiaan yang cukup kuat.

3. Prosedur Penerimaan Grasi

Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat

diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh: 1.Terpidana dan atau

kuasa hukumnya, 2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana, 3. Keluarga

Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah

pidana mati. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati,

pidana seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan

grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden

melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau

terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Hal permohonan grasi diajukan

oleh Terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya

disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, untuk diteruskan kepada

Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat

7 ( tujuh ) hari sejak diterimanya permohonan clan salinannya, berkas perkara

Terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung. Panitera wajib membuat Akta

penerimaan Salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta

permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Apabila permohonan grasi

tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan Permohonan Grasi.

Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan

salinan permohonan grasi, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan salinan

permohonan dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung. Salinan Keputusan

Universitas Sumatera Utara


Presiden yang diterima oleh Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama,

dicatat oleh Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera

kepada Terpidana dengan membuat Akta Pemberitahuan keputusan Grasi.

4. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik

Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut 41;

1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama

memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana sesaat setelah putusan

dibacakan. Namun apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan

secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat

pertama.

2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan

terpidana (dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa

persetujuan terpidana) harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada Pengadilan yang

memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Permohonan grasi ini (dan salinannya) dapat pula disampaikan melalui Kepala

Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana yang nantinya akan

disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut kepada Presiden dan

salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

3. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.

41
Pasal 5 s.d. 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Universitas Sumatera Utara


4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu paling lambat

20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi,

Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita

acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta

kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama

untuk diteruskan ke Mahkamah Agung.

5. Mahkamah Agung (MA) memberikan pertimbangan-pertimbangannya terhadap

grasi yang diajukan terpidana.

6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan

permohonan dan berkas perkara, MA segera meneruskan berkasberkas tersebut

beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden.

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan

grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat

tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian

Keputusan Presiden megenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling

lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.

8. Salinan Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada:

a. Mahkamah Agung,

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama,

c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana,

d. dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana

terkait.

Universitas Sumatera Utara


Prosedur pengajuan grasi sebagaimana telah dipaparkan diatas merupakan

prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun

kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi

yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana

harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh

Presiden.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

EKSISTENSI PEMBERIAN GRASI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA

A. Alasan Pemberian Grasi

Undang- undang tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai

alasan dari pemberian grasi. Jan Remmelink mengemukakan alasan-alasan

pemberian grasi sebagai berikut:

1. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti terpidana menghadapi suatu

keadaan khusus yang sangat tidak menguntungkan baginya. Misalnya

terpidana menderita penyakit tidak tersembuhkan atau keluarganya terancam

akan tercerai berai;

2. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti, ternyata bahwa hakim secara

tidak layak telah tidak memberi perhatian pada keadaan, yang bila ia ketahui

sebelumnya, akan mengakibatkan penjatuhan pidana yang jauh lebih rendah.

Patut dicermati bahwa hal ini bukanlah alasan untuk memohonkan

peninjauan kembali. Terpikirkan juga sejumlah kesalahan hakim lainnya

yang tidak membuka peluang bagi permohonan peninjauan kembali;

3. Jika semenjak putusan berkekuatan hukum pasti, ternyata situasi

kemasyarakatan telah berubah total, misalnya deklarasi perihal situasi darurat

sipil karena tiadanya pangan telah dicabut atau pandangan politik yang dulu

berlaku telah mengalami perubahan mendasar;

Universitas Sumatera Utara


4. Jika ternyata telah terjadi kesalahan hukum yang besar. Terbayangkan di sini

putusan-putusan pengadilan terhadap para pelaku kejahatan perang, yang di

periksa dan diadili setelah perang usai. Melalui grasi , putusan-putusan yang

nyata sangat tidak adil masih dapat diluruskan 42.

Sedangkan Utrecht, menyebutkan 4 alasan pemberian grasi secara singkat, yaitu

1. kepentingan keluarga terpidana;

2. terpidana pernah berjasa pada masyarakat;

3. terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

4. terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan

memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya 43.

Di negara maju seperti Amerika dan Australia, terdapat lembaga-lembaga

pengampunan seperti grasi (clemency), komunikasi (communication), dan pemaafan

eksekutif (gubernatorial pardon), sejak tahun 1976 sampai dengan 2005 di seluruh

Amerika terdapat 229 terpidana mati yang mendapat grasi (clemency) berdasarkan

alasan-alasan sebagai berikut:

42
Jan Remmelink, Op.Cit , hlm.587
43
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965, hlm.240

Universitas Sumatera Utara


No Alasan Jumlah

1. Permohonan jaksa / hakim / judge / prosecutor 1


2. Menjalani lama pemenjaraan / length of sentence 8
3. Kemungkinan tidak bersalah (innocence) 13
4. Pemberian hukuman mati yang tak layak (inproper / death 9
sentences)
5. Disparitas / terdakwa
3
6. Pandangan / political view
1
7. Tak ada alasan / no reason
8
8. Keraguan atas kesalahannya / doubt of guilty
10
9. Alasan kesehatan mental / dismental
6
10. Permohonan Paus (John Pope)
1
11. Cacat hukum / flawed
167
12. Ketidakadilan
2

*Sumber: “Executive Clemency Process and Execution warrant Precedure in Death


Penalty Cases”, National Coalition to Abolish the Death Penalty (1993) with updates
by DPIC.

Data tersebut, jumlah terbanyak adalah alasan cacat hukum yaitu sebanyak

167 orang. Kemungkinan seperti ini juga mungkin terjadi dalam putusan-putusan

pidana di Indonesia. Putusan-putusan yang mempunyai cacat hukum tidak seharusnya

diberikan putusan pidana yang berat, apalagi sampai dijatuhi pidana mati.

Diberikannya grasi, putusan-putusan yang mempunyai cacat huku diharapkan dapat

memperoleh putusan yang lebih adil.

Universitas Sumatera Utara


Grasi dalam hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan atau

pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat grasi dari sisi

lainnya, untuk mengetahui mengenai eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana.

Sisi-sisi lain tersebut, yakni grasi sebagai hak warga negara, grasi mengatasi

keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai dasar hapusnya hak negara

menjalankan pidana, dan grasi dihubungkan dengan tujuan pemidanaan.

1. Grasi Sebagai Hak Warga Negara

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian grasi merupakan pencabutan

atau upaya meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana.

Dahulu kala, penguasa beranjak dari kekuasaan mutlak yang dimilikinya

menganugerahkan grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang kita tak lagi

mengenal grasi dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak

istemewa) telah diserahkan kepada pemerintah dan pelaksanaannya menjadi tanggung

jawab Kepala Negara atau dalam sistem pemerintahan presidensiil ada di tangan

presiden.

Sebelumnya juga telah dijelaskan mengenai perubahan sistem pemerintahan

yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yaitu menjadi presidensiil murni. Sistem

pemerintahan presidensiil murni, meskipun tidak ada pembedaan antara Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan, tugas dan wewenang presiden sebagai puncak

kepemimpinan negara, tetap saja ada tugas dan wewenangnya yang merupakan

lingkup pemerintahan atau eksekutif dan kewenangan yang berada di luar lingkup

tersebut. Meskipun hal ini tidak secara nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem

pemerintahan parlementer.

Universitas Sumatera Utara


Kewenangan presiden di luar lingkup eksekutif tersebut, misalnya

kewenangan di bidang judisial. Kewenangan ini mencakup pemulihan yang terkait

dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan

pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan

pengadilan.

Mengenai pemberian ampunan atau grasi, perlu diketahui konsep bahwa

terpidana yang mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai terpidana, melainkan

sebagai warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta

ampun kepada presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen

Undang-undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur

mengenai “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi

dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk

mendapatkan suatu kepastian hukum.

Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan

hukum presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah

Agung, dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian

grasi mencerminkan kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa

pemberian grasi adalah juga tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani

kemanusiaan kita.

Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan persoalan hidup

dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati

dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal

seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk

Universitas Sumatera Utara


memperbaiki dirinya. Berbeda dengan pidana mati yang tidak memberikan

kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya.

2. Grasi Mengatasi Keterbatasan Hukum (Recovery System)

Keterbatasan dan kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja

dan pada tingkat masyarakat manapun. Negara-negara maju seperti Amerika,

meskipun tingkat kejahatan dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat

tinggi, namun orang masih menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek

orang dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat pula pengertian bahwa

sampai di suatu titik tertentu hukum mempunyai keterbatasan internal (the limit of

law). Seperti tentang adanya kelemahan-kelemahan dalam sistim pengumpulan

informasi di lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa

depan seseorang.

Di negara yang menganut sistim common law, dalam hal ini Amerika,

sebelum seseorang didakwa dengan pasal pidana mati (capital punishment), saksi-

saksi yang mmberatkan terdakwa (ade charge) harus digelar dalam sebuah sidang

terpisah atau pendahuluan (preliminary hearing), untuk menentukan apakah kesaksian

itu dapat diterima secara hukum dan dapat dijadikan alat bukti di persidangan utama.

Tidak dengan mudah sebuah kesaksian yang memberatkan terdakwa dapat

diperlakukan sebagai alat bukti.

Sistim yang demikian ini tidak terdapat dalam sistim beracara di Indonesia.

Seorang terdakwa yang diancaman pidana mati mempunyai kedudukan yang sangat

Universitas Sumatera Utara


rentan atau lemah. Satu kesaksian atau lebih dapat dengan mudah di gelar tanpa

diperiksa tingkat kelayakannya, yang seharusnya dilaksanakan khusus untuk itu.

Bedanya, sistim beracara pidana di Indonesia terkesan begitu mudah memperlakukan

sebuah kesaksian menjadi alat bukti yang nota benenya dapat mengakibatkan

kehancuran hidup si terdakwa.

Beban mengejar pengajuan target perkara, sering kali mendorong aparat

Kepolisian menggunakan cara-cara yang tidak fair untuk menjebak terdakwa. Saksi

terdakwa yang dijadikan saksi memperoleh kemudahan seperti pengurangan hukuman

atau bebas dari tuntutan hukum 44. Praktik demikian ini telah umum di lingkungan

para penyidik perkara pidana di Kepolisian.

Hakim di Indonesia, sesuai dengan sistim beracara hakim aktif, mempunyai

peran yang aktif dalam persidangan. Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai

standar profesi kehakiman. Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang

relatif rendah, dan tingkat pendidikan hukum yang hanya S1. Kita dapat

membayangkan seseorang yang baru selesai dari program S1, kemudian diterima

sebagai hakim dan mengikuti kursus calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang

selama 6 bulan, lalu mulai menangani perkara.

Putusan-putusan dan analisa hukum hakim tidak tebuka untuk umum.

Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini di satu

pihak tidak mendidik hakim, karena tidak ada sarana mempertajam analisa hukum

hakim akibatnya sebuah putusan dapat menjadi bias atau error. Keadaan jauh berbeda

dengan hakim-hakim di negara maju, sebelum seseorang menjadi hakim yang

bersangkutan harus menjadi jaksa (rata- rata 10 tahun), kemudian menjadi pembela

44
www.Indonesiawatch.org (dikunjungi 16 Desember 2012)

Universitas Sumatera Utara


(rata-rata 10 tahun), baru kemudian dia dapat dicalonkan menjadi hakim. Begitupun

mengenai putusan pengadilan, meskipun peran hakim pasif dalam sistim juri, hakim

selalu memberikan argumen hukum secara tertulis yang dapat dibaca oleh siapapun.

Kesemua keterbatasan dan kelemahan sistim hukum tersebut, mengharuskan

kita untuk menyingkapi prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum. Bidang-

bidang hukum sendiri telah menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan

memperbaiki ”error-error hukum itu”, seperti adanya lembaga peninjauan kembali (

herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga

rekoveri untuk error itu adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi

kesalahan-kesalahan dalam penyelenggaraan hukum. Oleh karenanya lembaga ini

tidak dengan kebetulaan berada di luar sistim peradilan. Di sini sebenarnya presiden

dapat melakukan koreksi-koreksi dengan menunjukan kearifan hukumnya. Kearifan

hukum di perlukan untuk megisi lubang-lubang dalam penyelenggaraan sistem hukum

dan peradilan pada khususnya.

3. Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pidana.

Jan remelink memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya

kewenangan untuk mengeksekusi pidana 45. Adami Chazawi juga menyebutkan hal

yang sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk

menjalankan pidana 46.

Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana yang di tentukan dalam

KUHP, ialah:

45
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.583
46
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.168

Universitas Sumatera Utara


1. Matinya terpidana ( Pasal 83 )

2. Daluarsa dari eksekusi ( Pasal 84 )

Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP

adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung (Amademen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 14 jo. Undang-

undang No 22 tahun 2002).

Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana

dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi

sekedar mengoreksi mengenai pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi

pertimbangan pokok perkaranya. Sifat yang demikian ini tampak dari tiga hal yang

dapat diputuskan oleh presiden dalam permohoanan grasi, yakni:

1. Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan

pengadilan;

2. Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dilakukan dalam putusan;

3. Mengubah jenis pidana (komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam

putusan menjadi pidana yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP.

Tiga hal tersebut di atas, yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk

menjalankan pidana adalah poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak

menghapuskan hak negara untuk melaksanakan pidana, tetapi sekedar meringankan

pelaksanaan pidananya.

4. Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan

Universitas Sumatera Utara


Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, mengenai pemberian grasi harus

didasarkan pada tujuan pemidanaan, presiden baik mengabulkan atau menolak

permohonan grasi yang diajukan, haruslah disandarkan pada tujuan pemidanaan.

Menurut literatur mengenai KUHP ( Undang-undang N0 1 tahun 1946 ) dengan

menilik sistim dan susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya

(WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan pemidanaan dengan aliran

kompromis atau teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada di dalamnya 47.

Jadi, dalam permohonan grasi ini presiden harus mempertimbangkan masalah

pembalasan juga tidak lupa mempertimbangkan masalah mengenai perlindungan

tertib hukum masyarakat, baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari

permohonan. Dalam hal ini masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh

presiden sebagai badan yang memang berkompeten untuk itu, dalam pengambilan

putusan oleh presiden.

B. Kewenangan Pemberian Grasi

Pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana adalah kewenangan

konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2002 tentang Grasi. Peraturan perundang-undangan memberikan sejumlah

kewenangan kepada Mahkamah Agung. Pertama, wewenang untuk memeriksa dan

memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan

peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, wewenang

47
Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.33

Universitas Sumatera Utara


menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Ketiga,

memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi dan rehabilitasi.

Wewenang Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam permohonan

grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merumuskan

“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan rumusan Pasal 14 UUD 1945 sebelum

amandemen, wewenang itu dijalankan presiden selaku kepala negara. Sehingga

pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa diganggu

gugat.

Pemberian grasi oleh presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis

pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Namun

sebelum membuat keputusan tentang pemberian grasi, presiden harus memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung. Persetujuan atau penolakan permohonan grasi

sepenuhnya berada di tangan presiden. Norma ini tertuang jelas dalam Pasal 4 ayat (1)

UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun

2010). Jadi, Mahkamah Agung sebatas memberikan pertimbangan hukum.

Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan masukan dari

lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah

Agung adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada

presiden mengenai hal itu (grasi). Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin

saling mengawasi antar lembaga negara.

Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi perlu memperhatikan

pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, agar terjalin saling

mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara

Universitas Sumatera Utara


tersebut dalam hal pelaksanaan tugas kenegaraan. Sehingga dengan adanya peran

serta pertimbangan Mahkamah Agung kepada Presiden dalam pemberian Grasi,

memberikan batasan kepada Presiden dalam mengunakan kekuasaannnya, sehingga

dapat menghindari pemberian Grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan yang

berat. Kriteria yang dijadikan pertimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi dan

implikasi hukumnya, pertimbangan yang diberikan Presiden berdasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan lain diluar hukum, termasuk yang menyangkut

pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian

hukum. Pemberian Grasi oleh Presiden menimbulkan implikasi hukum terhadap

terpidana yang mengajukan permohonan Grasi. Keputusan yang diambil oleh

Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak

akan memperberat pidana yang diputus oleh pengadilan.

Beberapa pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002

tentang Grasi ada dirasa lebih menjamin kepastian hukum bagi pemohon Grasi,

ternyata ada satu hal yang pengaturannya tidak tegas, yaitu mengenai tidak ada

pembatasan waktu bagi pemohon Grasi. Untuk putusan yang berupa pidana penjara

seumur hidup, pidana penjara sementara waktu, dengan tidak adanya pembatasan

waktu tersebut tidak akan berpengaruh pada pelaksanaan putusan, tetapi untuk

terpidana mati eksekusinya harus menunggu putusan penolakan Grasi dari Presiden.

Ketidakjelasan pengaturan tersebut dapat dimamfaatkan oleh terpidana mati untuk

menunda eksekusi hukuman. 48

Salah satu pemberian Grasi, diberikan oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono kepada Syaukani mantan Bupati Kutai Kartanegara terpidana kasus

48
“Grasi Samarkan Hukuman Mati”. Suara pembaharuan Dally,
http://www.suarapembaharuan.com di akses tanggal 16 Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


korupsi. Grasi dari Presiden itu melalui Keppres Nomor 7/G tahun 2010 tertanggal 15

Agustus 2010, yang intinya menguranggi hukuman untuk Syaukani dari enam tahun

menjadi tiga tahun penjara. Dengan pengurangan hukuman tersebut, Syaukani

langsung bebas dari penjara terhitung sejak 18 Agustus 2010. 49

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, juga tidak mengatur

pengecualian pemberian Grasi diberikan kepada terpidana kasus korupsi. Sehinga

pemberian Grasi kepada syuakani sebagai terpidana kasus korupsi tidak bertentangan

dengan undang-undang Grasi. Pemberian Grasi oleh Presiden kepada Syaukani

menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Kementrian Hukum dan HAM masalah

pemberian Grasi kepada terpidana adalah kewenangan Presiden dengan pertimbangan

dari Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2002 tentang Grasi. 50 Berbeda dengan pendapat Ketua PP Muhammadiyah Din

syamsudin, langkah itu juga dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan

korupsi yang selalu didenggungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 51

Perdebatan dalam pemberian grasi tersebut, DPR segera mengesahkan

undang-undang Grasi baru, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-undang ini

pemberian Grasi diperketat yang tanggung jawabnya ada di tangan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia. 52 Prinsip pemisahan kekuasan, fungsi eksekutif, legislatif,

dan yudikatif, merupakan cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain.

49
http://forum.kompas.com/showthread.php?31879-Pemberian-Grasi-kepada-Koruptor di
akses tanggal 16 Desember 2012
50
http://bataviase.co.id/node/355561 di akses tanggal 17 Desember 2012
51
http://www.rimanews.com/read/20100826/2354/din-syamsudin-pemberian-grasi
terhadap koruptor-tanda-sikap-kontraproduktif diakses tanggal 17 Desember 2012
52
http://www.detiknews.com/read/2010/08/21/143943/1424856/10/pemberian-grasi
sudahdiperketat- di-uu-yang-baru-disahkan-dpr di akses tanggal 17 Desember 2012

Universitas Sumatera Utara


Dengan diterapkannya sistim pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances

antara lembaga-lembaga negara, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang

terdiri dari tiga cabang kekuasaan tersebut, saling mengontrol dan saling

mengimbangi satu sama lain. Tiga kekuasaan tersebut yakni, kekuasaan eksekutif oleh

presiden dan wakil presiden, kekuasaan lelegislatif oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat (terdiri atas DPR dan DPRD), dan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kekuasaan kehakiman sebagai satu kesatuan sistim, berpuncak pada

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi

tidak dikenal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi baru

terdapat dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945. sebelum adanya

perubahan Undang-undang Dasar 1945, kekuasan kehakiman hanya terdiri atas

badan-badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah agung.

Lingkungan Mahkamah Agung, terdapat empat lingkup peradilan, yaitu

Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan

Militer. Sebelumnya, administrasi Peradilan Umum berada di bawah Departemen

Kehakiman, administrasi Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama, dan

Peradilan Militer di bawah organisasi tentara. Keempat lingkup peradilan tersebut

berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam

Pasal 24 ayat (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, yamg berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangka juga dalam Pasal 2

Universitas Sumatera Utara


Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 53, dan Pasal 10 ayat

(2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.

1. Alasan Grasi ditolak Presiden

Presiden menolak grasi pada umumnya karena alasan-alasan yang logis dan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain:

a) Terpidana tidak dapat diampuni lagi karena tindak kejahatan yang dilakukan

sudah tidak dapat ditolerin.

b) Terpidana Melakukan pembunuhan sadis; sebagai contoh: Antasari sebagai

dalang pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin

Zulkarnaen, sehingga MA menilai dalam mengungkap otak pelaku kejahatan,

fakta TKP tidak bisa memutus tanggung jawab hukum antara otak pelaku

dengan cara kejahatan tersebut bekerja.

c) Terpidana tidak dapat diampuni lagi karena melakukan pembunuhan

berencana; sebagai contoh: Yulianto Bin Wiro Sentono melakukan

pembunuhan berencana grasi ditolak dan divonis hukuman mati.

d) Terpidana kasus narkoba sebagai pengedar kelas atas; sebagai contoh 85

persen yang ditolak Presiden SBY adalah dalam kasus permohonan grasi

kasus narkoba. 54

Pemberian grasi tidak layak diberikan kepada terpidana mati kasus narkoba

memiliki beberapa alasan: Pertama, kejahatan narkoba merupakan kejahatan serius


53
Lembaran NegaraRI Tahun 2004 No. 08
54
http://jambi.tribunnews.com/2012/11/08/denny-presiden-tolak-107-permohonan-grasi

Universitas Sumatera Utara


seperti halnya kejahatan terorisme. Kedua, keadilan bagi si korban khususnya korban

pengguna narkoba menjadi alasan kuat perlunya hukuman berat bagi pelaku kejahatan

narkoba. Ketiga, narkoba dapat berakibat pada rusaknya generasi muda pengguna

narkoba.

2. Alasan Grasi Dikabulkan Presiden

Alasan pemberian Grasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan keadaan

terpidana yang sakit atau tidak mampu untuk menjalani pidana, terpidana yang

berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan, dimana terpidana yang

diberikan Grasi tersebut memang dapat dipandang pantas untuk mendapatkan

pengampunan. Presiden didalam memberikan keputusan atas suatu permohonan

Grasi, mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan

tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana. Sehingga Kriteria yang dijadikan

petimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi, juga berdasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan lain di luar hukum, seperti pertimbangan politik,

termasuk yang menyangkut pertimbangan kemanusiaan, tetap menjunjung tinggi rasa

keadilan dan kepastian hukum.

UU grasi tidak menentukan terpidana kejahatan apa yang dapat atau tidak

dapat diberikan grasi sehingga semua terpidana dapat diberikan grasi. Undang –

undang grasi juga tidak menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan oleh

pemohon untuk mengajukan grasi ataupun alasan-alasan yang dapat digunakan oleh

presiden untuk mengabulkan permohonan itu. Hal ini berbeda dengan remisi yang

diberikan berdasarkan perilaku terpidana sebagai warga binaan di lembaga

permasyarakatan. Berdasarkan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang telah diubah dengan

PP Nomor 28 Tahun 2006, remisi dapat ditambah apabila terpidana berbuat jasa

Universitas Sumatera Utara


kepada Negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau

kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lembaga

permasyarakatan. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) PP Nomor 28 Tahun 2006 juga

menyatakan bahwa terhadap terpidana narkotika dapat diberikan remisi apabila

berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Alasan permohonan dan

pemberian grasi tidak jauh beda dengan alasan pemberian remisi, yaitu kondisi dan

perilaku terpidana. Kondisi terpidana merupakan alasan yang bersifat kemanusiaan,

yaitu kesehatan terpidana baik fisik maupun mental.

Presiden mengabulkan grasi kepada terpidana memang sudah dipikirkan

secara matang dan tidak asal buat, ada beberapa alasan presiden mengabulkan grasi

antara lain:

a) berdasarkan UUD 1945 Pasal 14, Presiden diberikan kewenangan untuk

memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

b) mekanismenya dapat dipertanggungjawabkan. Presiden tidak cukup

mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi juga saran dari

kabinet, seperti Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri

Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri.

c) kecenderungan hukuman mati yang makin berkurang di dunia. Dari 198

negara, yang menerapkan hukuman mati itu ada 44 negara, termasuk

Indonesia. Adapun negara lainnya, ada yang sama sekali melarang, ada yang

melarang untuk kejahatan tertentu, ada juga yang tidak melaksanakan dalam

10 tahun, atau moratorium.

d) ada kaitannya juga dengan upaya pemerintah untuk mengadvokasi warga

negara Indonesia di luar negeri. Sekarang, ada 298 WNI yang diancam

hukuman mati di luar negeri dalam periode Juli 2011-4 Oktober 2012.

Universitas Sumatera Utara


e) grasi diberikan dengan selektif. Selama masa kepemimpinan Presiden SBY

sejak 2009 lalu, terdapat 126 permohonan grasi dan hanya 19 permohonan

yang dikabulkan. Berarti, 85 persen permohonan ditolak dan 15 persen

dikabulkan. 55

f) Alasan Kemanusiaan.

Presiden tentu saja sudah melakukan pertimbangan yang cukup matang untuk

melaksanakan kewenangannya dalam memberikan Grasi. Karena Grasi bukan suatu

bentuk proses yustisial karena tindakan ini tidak didasarkan pada pertimbangan

hukum, tetapi pada pertimbangan kemanusiaan atau pertimbangan-pertimbangan lain

di luar hukum seperti pertimbangan politik dan lain sebagainya. Ada sisi kecerobohan

yang dilakukan Presiden yang melenceng dari peraturan perundangan. Undang-

undang tidak menentukan pertimbangan apa yang harus digunakan Presiden untuk

memberikan Grasi, namun undang-undang menyebutkan bahwa Presiden memberikan

Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Pemberian grasi layak diberikan kepada terpidana mati kasus narkoba

memiliki beberapa pandangan: Pertama, pemberian grasi tidak serta merta diberikan

pada setiap permohonan grasi. Pemberian grasi dapat dipertimbangkan dengan

melihat latar belakang mengapa terpidana melakukan tindak pidana yang berakibat

pada hukuman mati. Apabila dari segi kemanusiaan si pemohon grasi tersebut layak

untuk diberikan grasi tentu grasi tersebut dapat diberikan. Kedua, Pertimbangan

pemberian grasi terhadap terpidana mati sejalan dengan upaya pemerintah dalam

mencegah adanya hukuman mati di luar negeri, khususnya terhadap ancaman

hukuman mati yang dialami WNI yang sedang bekerja di luar negeri. Banyak

55
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/23/16090695/Lima.Alasan.Presiden.Memberi
kan.Grasi.Kasus.Narkoba.

Universitas Sumatera Utara


ancaman hukuman mati dialami oleh WNI karena terpaksa melakukan kejahatan

dengan alasan kemanusiaan.

Alasan Presiden memberi grasi kepada terpidana narkoba antara lain : (1) di

Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, dijelaskan bahwa Presiden bisa memberikan

grasi dengan mempertimbangkan keputusan Mahkamah Agung; (2) Presiden tidak

cukup dengan pertimbangan MA, tetapi juga telah mendengar Menteri Koordinator

Politik Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Polri; (3) Presiden juga melihat

kecenderungan semakin berkurangnya praktek hukuman mati yang ada di dunia, dari

198 negara, saat ini hanya 44 negara yang masih menerapkan hukuman mati,

sementara sisanya, 154 negara, telah melarang hukuman mati serta melakukan

moratorium hukuman mati; (4) Ini juga untuk advokasi bagi WNI di luar negeri yang

terancam hukuman mati. Saat ini sebanyak 298 WNI memang terancam hukuman

mati, dari periode 4 Juli 2011 hingga 4 oktober 2012. Dari 298 WNI, sebanyak 100

orang saat ini sudah berhasil lolos dari ancaman hukuman mati; (5) Dari 100 orang

yang lolos dari hukuman mati ini, 44 orang di antaranya terlibat kasus narkoba.

Sedangkan dari 198 WNI yang saat ini masih terancam hukuman mati, 60 persen di

antaranya juga terlibat kasus narkoba. Alasan terakhir, meski mengeluarkan grasi,

Presiden tetap mengeluarkan grasi secara selektif. Dari 126 permohonan grasi, hanya

19 permohonan grasi yang dikabulkan. 56

Pemberian grasi oleh presiden berdasarkan pertimbangan komprehensif.

Pertimbangan tidak hanya dari MA dari sisi hukum saja, tetapi sisi keadilan dan

kemanusiaan. Meski dalam UUD disebutkan memperhatikan pertimbangan MA, tapi

presiden juga dapat saran dari Menkopolhukam, Menkumham, dan Kapolri.

56
http//tempo.co/read/news/2012/lima-alasan-presiden-memberi-grasi-terpidana-
narkobadiakses tanggal 17 Desember 2012

Universitas Sumatera Utara


Kemudian dari BNN apabila kasus tersebut kasus narkoba. Salah satu dasar

pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana adalah untuk penegakan hak asasi

manusia. Pemberian grasi kepada terpidana harus dilakukan secara tepat untuk

tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun

1945. Keputusan pemberian grasi oleh presiden harus memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung dan ini diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2002 tentang grasi Pasal 11 Ayat (1) Presiden memberikan keputusan atas

permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Presiden sebelum memberikan grasi juga telah mempertimbangkan HAM dan

sisi konstitusional beliau berdasarkan kewenangan presiden dalam undang-undang

dasar. Selain itu juga mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan bahwa perubahan

hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup itu bukan berarti kepada yang

terhukum bebas. Hukuman seumur hidup bukan berarti yang bersangkutan bebas.

Pertimbangan memberikan grasi kepada seseorang yang awalnya divonis hukuman

mati menjadi seumur hidup kepada seseorang itu juga mengait kepada unsur

kemanusiaan. Karena yang bersangkutan sudah mengakui perbuatannya, mengaku

bersalah dan mengajukan grasi kepada presiden.

Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk:

1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh pengadilan di semua lingkup peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung;

Universitas Sumatera Utara


2. Sengketa kewenangan (kompetensi pengadilan);

3. Permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap (inkracht);

4. Menguji Perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-

undang (juditial review).

Selain beberapa hal tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan

untuk memberikan pendapat hukum atas pemerintahan presiden ataupun lembaga

Negara lainnya. Hal ini dianggap perlu agar Mahkamah Agung benar-benar dapat

berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang

memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang dihadapi 57. Mengenai

hal ini, diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman 58, yang berbunyi: “Mahkamah agung dapat memberi keterangan,

pertimbangan, dan nasihat masalah hokum pada lembaga negara dan lembaga

pemerintah apabila diminta”.

Pasal 24 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 jo. Pasal 1 Undang-undang

No.4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: “Kekuasaan

Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut

mengandung makana bahwa kekuasan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan

kekuasaan ekstra yudisial. Sehingga kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman tidak

diperkenankan untuk turut campur tangan dalam urusan pengdialan. Cabang

kekuasaan lainnya hanya dapat saling mengontrol dengan sistem check and balances,

tanpa turut campur tangan.


57
Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.193
58
Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08

Universitas Sumatera Utara


Apabila kita telusuri lebih lanjut, pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan: “Segala campur tangan

dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali

dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945”. Pernyataan

ini mengandung makna pengecualian bagi Pasal 1 yang disebutkan sebelumnya.

Maksudnya, mengenai campur tangan dalam kekuasaan kehakiman diperbolehkan

sejauh yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 14 Amandemen Undang-undang Dasar 1945, secara umum dapat

disimpulkan mengenai adanya intervensi atau campur tangan di bidang kekuasaan

yudisial, yang dilakukan oleh Presiden. Jadi mengenai pemberian grasi yang

menyangkut dalam linkup kekuasaan yudisial (peradilan). Pengabulan grasi,

seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan

pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan

terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak

dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar

biasa. Upaya hukum biasa menurut KUHAP (Undang-undang No.8 Tahun 1981),

terdiri dari: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar

biasa terdiri atas: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali keputusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun tetap.

Perincian lebih lanjut, putusan pengadilan dapat berupa:

1. bebas dari segala tuntutan (vrijspraak);

Universitas Sumatera Utara


2. lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);

3. pemidanaan (veroordelend vonnis).

Putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

pelaksanaan eksekusinya dilaksanakan oleh jaksa, dan pengawasannya dilakukan oleh

ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal

pemgajuan permohonan grasi, tidak dapat menunda pelaksanaan pemidanaan bagi

terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak

dapat dibatalkan dan diberikan putusan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup

badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat.

Pemberian grasi bukan dimaksudkan untuk menganulir hukum atau membatalkan

hukum. Hukum telah ditegakkan. Pemberian grasi sifatnya hanya memberikan

pengampunan, tanpa meniadakan kesalahan terpidana.

C. Keberadaan Atau Eksistensi Pemberian Grasi di Indonesia

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemberian

grasi merupakan wewenang Presiden setelah mendapatkan pertimbangan MA.

Pengaturan kewenangan ini selanjutnya diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002

tentang Grasi. Bila ditinjau dari segi hukum tata negara, pemberian grasi merupakan

kewenangan yang melekat dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara.

Kewenangan ini secara umum dimiliki oleh kepala negara di berbagai negara. Grasi

Universitas Sumatera Utara


sendiri merupakan pengampunan dalam bentuk perubahan, peringanan, pengurangan

atau penghapusan pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh Presiden. Ditinjau dari

segi produce of law, pemberian grasi ini tidak berarti Presiden mencampuri proses

penegakan hukum karena pemberian grasi tidak berarti menghapuskan kesalahan

terpidana. Pengampunan diberikan terhadap terpidana dengan alasan subjektivitas

Presiden (biasanya karena alasan kemanusiaan). Kata lain, pemberian grasi ini tidak

bertentangan dengan hukum positif yang ada di negara ini alias konstitusional.

Memang benar, bahwa secara hukum, pemberian grasi tersebut konstitusional.

Presiden sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus lebih peka dengan

masyarakatnya sendiri. Presiden seharusnya bisa lebih bijak dan tidak mengobral

pengampunan tersebut terhadap kasus yang sangat berpengaruh negatif dalam

regenerasi bangsa ini.

Pemberian grasi ini pun menjadi salah satu bukti inkonsistensi dan kealpaan

Presiden. Bahkan Presiden SBY sepertinya sudah lupa dengan janjinya ketika

memperingati hari Anti Narkotika Internasional yang diselenggarakan di Istana

Negara , 30 Juni 2006 lalu. SBY berjanji akan berdiri paling depan dalam usaha

pemberantasan narkoba dan tidak akan memberikan pengampunan berupa grasi

terhadap pelaku kejahatan narkoba. Setidaknya ada dua kelalaian Presiden dalam

memberikan grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba kali ini. Pertama, pemberian

grasi tersebut bertentangan dengan rekomendasi maupun pertimbangan yang

diberikan MA sebagai yudikatif tertinggi di negeri ini. Pasal 14 UUD NRI Tahun

1945 dikatakan bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA.

Memang, secara prosedural Presiden telah melakukan itu, namun secara substansial,

Presiden gagal menangkap pesan yang diberikan MA lewat putusannya. Kendati

pertimbangan MA tidak mengikat, penjatuhan pidana mati pada tingkat kasasi dan PK

Universitas Sumatera Utara


harusnya menjadi pertimbangan bahwa tidak ada hal meringankan yang patut

dialamatkan terhadap kedua terpidana tersebut. Kedua, UU Grasi tidak mengatur

pengecualian terhadap pelaku tindak pidana apa grasi bisa dilakukan. Artinya,

pemberian grasi bisa saja dilakukan terhadap terpidana dalam kasus apa pun. Presiden

seharusnya paham bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang sangat

berbahaya dan bersifat transnasional.

Bahkan dunia internasional sudah menggolongkan kejahatan narkoba ke

dalam ordinary crime, sama seperti korupsi dan terorisme. Salah satu bentuk ordinary

crime, maka secara sosiologis pengecualian-pengecualian juga seharusnya dilakukan

Presiden dalam politik hukum penerbitan Keppres pembatalan pidana mati. Tidak

salah kalau penulis mengatakan kalau landasan filosopis da sosiologis Presiden sangat

lemah dalam pemberian grasi ini. Padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi United

Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic

Substance 1998 dan United nations Convention Against Transnational organized

Crime 2000.

Pemberian Grasi oleh Presiden menimbulkan implikasi hukum terhadap

terpidana yang mengajukan permohonan Grasi. Keputusan yang diambil oleh

Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak

akan memperberat pidana yang diputus oleh pengadilan. Terpidana yang

mendapatkan Grasi akan merasakan kebebasan karena dapat keluar secepatnya dan

bebas dari segala kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan padanya. Implikasi

hukum yang paling berat diterima oleh terpidana adalah Grasi nya ditolak oleh

Presiden, sehingga terpidana tetap harus menjalani pidana sesuai dengan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara


Pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba merupakan preseden buruk

terhadap gerakan pemberantasan penggunaan dan peredaran narkoba di Indonesia.

Berdasarkan data yang ada, kecenderungan penggunaan dan peredaran narkoba di

Indonesia tak memperlihatkan kecenderungan turun, bahkan setiap tahun terus naik.

Selama tahun 2012 ini setidaknya sudah tiga gembong narkoba yang diberikan grasi,

yaitu terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari 20 tahun

menjadi 15 tahun. Lainnya, dua gembong narkotika internasional Deni Satia

Maharwan dan Meirika Franola yang seharusnya menjalani hukuman mati diubah

menjadi hukuman penjara seumur hidup. “Pemberian grasi ini menimbulkan

pertanyaan tentang keseriusan dan komitmen pemerintah dalam memerangi peredaran

narkoba di Indonesia. Keseriusan ini juga dipertanyakan dengan mencuatnya kasus

terpidana mati narkoba asal Nigeria, Adami Wilson alias Abu, beberapa waktu lalu

yang dengan leluasa mengendalikan bisnis haram itu dari penjara Nusakambangan.

Ini situasi yang berbahaya.

Alasan hak asasi manusia yang dikemukakan pemerintah patut dipertanyakan,

karena dampak yang dilakukan para terpidana narkoba itu sangat hebat dalam

menghancurkan dan membunuh masa depan kemanusiaan.

Oleh karena itu ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak dapat dimaknai

sebagai hak prerogatif, namun hanya sebatas hak konstitusional. Pemberian grasi

kepada pengedar narkoba, tentu saja akan menimbulkan pertanyaan di masyarakat.

Letak konsistensi dari pemerintah untuk memberantas peredaran narkoba di negeri

ini. Tentu saja ini akan berdampak besar terhadap penanganan masalah narkoba di

tanah air. Langkah yang diambil oleh pemerintah saya anggap merupakan suatu

langkah mundur. Berbagai upaya yang pernah dilakukan pemerintah dalam

pemberantasan narkoba seolah-olah harus terhenti sampai di sini. Ini telah menjadi

Universitas Sumatera Utara


simbol adanya ruang gerak bagi pengedar narkoba baik yang berskala nasional

maupun internasional.

Data dari BNN yang menunjukkan sekitar 1,5 persen dari seluruh penduduk

Indonesia merupakan pemakai narkoba. Berarti ada sekitar 3,2 hingga 3,6 juta

penduduk Indonesia yang menjadi pengguna barang-barang haram itu. Dari angka itu,

diperkirakan sekitar 15 ribu jiwa harus meregang nyawa setiap tahun karena memakai

narkoba. Tak kurang dari 78 persen korban yang tewas akibat narkoba merupakan

anak muda berusia antara 19-21 tahun. Ini merupakan sebuah angka yang

mengkhawatirkan bagi generasi muda bangsa ini.

Lembaga grasi yang menjadi ruang istimewa bagi presiden, tidak lagi dapat

menafsirkan penilaian masyarakat, terutama ketika grasi dianggap mencederai

kepentingan yang lebih tinggi. Pertimbangan MA andai diperhatikan oleh presiden

dalam pemberian grasi ternyata tidak cukup, lebih-lebih apabila pertimbangan MA

tidak diperhatikan. Kepentingan sosial, baik kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan

kemanusiaan menjadi tuntutan untuk memaknai kembali lembaga grasi, juga

rehabilitasi yang sama-sama disebut dalam pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945. Derajat

rasionalitas grasi membutuhkan aras yang lebih tinggi. Artinya, secara prosedural

meskipun grasi merupakan kekuasaan presiden, tampaknya pertimbangan yang

dibutuhkan tidak cukup dari MA, apalagi hanya lembaga negara di bawah kekuasan

presiden. Dibutuhkan keterlibatan lembaga lain yang merepresentasikan kepentingan

masyarakat sebagai sasaran kasus kejahatan.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGEKSISTENSIKAN

GRASI TERHADAP NARAPIDANA

A. Upaya Hukum Berupa Banding Kepada Terdakwa.

Salah satu hak terdakwa pada persidangan perkara pidana di Pengadilan

Negeri adalah hak untuk segera diberitahukan sesudah putusan pemidanaan

diucapkan, yakni hak segera menerima atau segera menolak putusan; hak mempelajari

putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu

yang ditentukan undang-undang (KUHAP; hak minta menangguhkan pelaksanaan

putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat

mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; hak minta diperiksa perkaranya

dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang

Universitas Sumatera Utara


(KUHAP) dalam hal ia menolak putusan; dan hak mencabut pernyataan menerima

atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang

(KUHAP). (vide Pasal 196 KUHAP).

Permasalahan teknis seperti hal tersebut di atas kerap muncul dalam praktek

keseharian di pengadilan, yang mana hal teknis tersebut dianggap sepele dan

sederhana tetapi dapat menimbulkan akibat hukum yang tidak sepele/sederhana.

Upaya hukum biasa berupa banding adalah hak dari terdakwa atau penuntut umum

terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas

dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan

hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. (vide Pasal 67 KUHAP).

Norma/kaidah tentang tata cara pengajuan banding terkandung pada Pasal 233 sampai

dengan Pasal 237 KUHAP.Norma/kaidah yang terkandung pada pasal-pasal tersebut

adalah berupa:

1. SUBYEK HUKUM. Untuk permintaan banding yang diajukan ke Pengadilan

Tinggi hanya dapat dilakukan oleh terdakwea atau yang khusus dikuasakan

untuk itu atau penuntut umum.

2. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN BANDING. Kepaniteraan Pengadilan

Negeri hanya menerima permintaan banding dalam waktu tujuh hari sesudah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang

tidak hadir.Apabila tenggang waktu tujuh hari telah lewat tanpa diajukan

permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka terdakwa atau penuntut

umum dianggap menerima putusan.

3. BUKTI PERMINTAAN BANDING ATAU MENERIMA PUTUSAN.

Kepaniteraan Pengadilan Negeri membuat sebuah surat keterangan yang

Universitas Sumatera Utara


ditandatangani oleh panitera dan oleh pemohon serta tembusannya diberikan

kepada pemohon yang bersangkutan.Dalam hal pemohon tidak dapat

menghadap, hal tersebut harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya

dan catatan itu harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis

dalam daftar perkara pidana.Panitera Pengadilan Negeri wajib

memberitahukan permintaan banding dari satu pihak yang satu kepada pihak

yang lain.Jika telah lewat tujuh hari waktu untuk pengajuan banding tanpa ada

yang mengajukan permintaan banding, maka penuntut umum atau terdakwa

dianggap menerima putusan, yang hal ini oleh panitera mencatat dan membuat

akta mengenai hal tersebut dan melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.

4. MENCABUT PERMINTAAN BANDING. Selama perkara banding belum

diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-

waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara

tersebut tidak dapat diajukan lagi.Tetapi apabila perkara telah diperiksa dan

belum diputus, sedangkan pemohon banding mencabut permintaan

bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah

dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutan permintaan

bandingnya.

5. PENGIRIMAN BERKAS BANDING. Paling lambat empat hari sejak

permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan bundel A dan B ke

Pengadilan Tinggi.Selama Pengadilan Tinggi belum mulai memeriksa perkara

dalam tingkat banding, terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat

menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada Pengadilan

Tinggi.

Universitas Sumatera Utara


6. MENELITI DAN MEMPELAJARI BERKAS PERKARA. Pemohon banding

diberikan kesempatan untuk mempelajari berkas perkara di Pengadilan Negeri

selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara tersebut ke Pengadilan

Tinggi.Pemohon banding wajib diberikan kesempatan untuk meneliti keaslian

berkas perkaranya yang ada di Pengadilan Tinggi.Dari norma/kaidah tersebut

di atas, maka dapatlah digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut di

muka penulisan ini.

KUHAP tidak terdapat norma/kaidah yang tegas mengatur, sejak kapan

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (BHT).KUHAP hanya mengatur tentang

sahnya putusan dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka

untuk umum, vide Pasal 195 KUHAP.Tetapi sudah lajim di praktek keseharian di

lingkungan penegakan hukum, bahwa suatu putusan pengadilan telah mempunyai

kekuatan hukum tetap sejak tidak adanya lagi "upaya hukum biasa", yakni banding

atau pun kasasi.Bagaimanakah jika seandainya terdakwa atau penuntut umum

langsung menerima putusan setelah putusan tersebut diucapkan di sidang terbuka

untuk umum, apakah langsung pula dianggap putusan tersebut telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (BHT).

Filosofi hukum dari "putusan berkekuatan hukum tetap" adalah putusan

tersebut sudah tidak dapat lagi dirubah, terkecuali dengan upaya hukum luar biasa.

Jadi bukan berarti mengenai eksekusi putusan.Dengan adanya titel eksekutorial

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan putusan pengadilan

tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan

demikian sudah mempunyai kekuatan hukum.Putusan sudah dapat dieksekusi

walaupun belum berkekuatan hukum tetap. Sebagai contoh perintah untuk

Universitas Sumatera Utara


memasukkan terdakwa dalam tahanan. Hal tersebut sudah dapat dilakukan oleh

jaksa/penuntut umum untuk mengeksekusi terdakwa ke dalam tahanan dan tidak perlu

menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Terdakwa dan penuntut umum telah menerima putusan segera setelah putusan

diucapkan di sidang terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan tersebut masih

belum "berkekuatan hukum tetap" tetapi sudah "mempunyai kekuatan hukum".

Sehingga untuk supaya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus menunggu

tenggang waktu permintaan banding habis, dengan kata lain sudah tidak ada lagi

kesempatan untuk upaya hukum biasa (banding atau kasasi).Untuk pengajuan

permintaan upaya hukum banding, tenggang waktunya adalah selama tujuh hari

setelah putusan diucapkan atau sejak diberitahukan kepada terdakwa yang tidak

hadir.Seandainya sidang putusan pengadilan adalah hari Senin dan terdakwa atau pun

penuntut umum menerima putusan tersebut pada hari itu, putusan pengadilan

demikian masih menunggu Senin depan untuk berkekuatan hukum tetap. Putusan

tersebut telah mempunyai kekuatan hukum, walaupun terdakwa atau penuntut umum

bersikap mempelajari putusan selama tujuh hari sejak putusan diucapkan dan

diberitahukan.

B. Upaya Yang Dilakukan Agar Grasi Diterima

Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan

Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1(1) UU No. 22/2002,

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau

penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh

Presiden.Upaya Grasi merupakan hak Terpidana untuk mendapatkan keadilan bagi

Universitas Sumatera Utara


dirinya. Presiden berdasarkan Pasal 11(1) UU No. 22/2002 dapat memberikan grasi

dengan mempehatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kekuasaan Presiden

memberikan grasi ini adalah salah satu Hak Prerogatif (istimewa) Presiden, selaku

Kepala Negara.Pasal 6 UU No. 22/2002, menentukan bahwa yang berhak mengajukan

grasi adalah:

1. Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada

Presiden.

2. Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.

3. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan

oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Terpidana, kuasa hukumnya atau keluarga Terpidana dapat mengajukan permohonan

grasi sejak putusan Pengadilan memperolah kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi

tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. Ketentuan Pasal 4(2) UU No. 22/2002,

pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:

1. peringanan atau perubahan jenis pidana;

2. pengurangan jumlah pidana; atau

3. penghapusan pelaksanaan pidana.

Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan

permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden

tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.

Pemberian Grasi oleh Presiden menimbulkan implikasi hukum terhadap

terpidana yang mengajukan permohonan Grasi. Keputusan yang diambil oleh

Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak

Universitas Sumatera Utara


akan memperberat pidana yang diputus oleh pengadilan. Terpidana yang

mendapatkan Grasi akan merasakan kebebasan karena dapat keluar secepatnya dan

bebas dari segala kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan padanya. Implikasi

hukum yang paling berat diterima oleh terpidana adalah Grasi nya ditolak oleh

Presiden, sehingga terpidana tetap harus menjalani pidana sesuai dengan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si terhukum pada umumnya

dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut: 59

a. Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum,

maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan

hukum;

b. Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau

pada mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal

ini pemberian grasi adalah demi kepentingan negara.

Pertimbangan pemberian grasi kepada si terhukum lebih dititikberatkan pada

memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim. Dalam hal ini putusan tersebut

dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti

dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat

dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan tersebut dijatuhkan.

Dengan demikian, pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim

dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan

putusannya.

59
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. cit., hal. 449.

Universitas Sumatera Utara


Seorang pemohon yang mengajukan permohonan grasi mempunyai satu dari

dua alasan berikut, mengapa ia mengajukan grasi:

1. seorang yang telah mengakui kesalahannya dan memohon ampun atas

kesalahannya, namun pidana yang dijatuhkan kepadanya dirasakannya terlalu

berat. Sehingga ia mengajukan grasi dengan harapan memperoleh keringanan

pidana (hukuman);

2. seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak bersalah, berniat ingin mencari

keadilan bagi dirinya. Dengan mengajukan grasi ia berharap presiden dapat

mengoreksi kesalahan pengadilan sebelumnya, sehingga keadilan dapat

ditegakkan.

Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum

pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampuan

(grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu 60

Adapun beberapa Upaya yang dilakukan agar grasi diterima antara lain:

1. Pernyataan sadar dan tobat dalam tindak kejahatan yang dlakukan dari

narapidana.

2. Alasan kesehatan. Apabila narapidana dalam kondisi dan keadaan sakit keras,

maka pernyataan ini dapat menjadi alasan pokok permohonan grasi dengan

alasan kemanusiaan kepada Presiden seperti kasus Korupsi oleh Syaukani

diterima Presiden. 61

60
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

hlm 33

61
http://www.boxing-indonesia.com/2010/08/syaukani-mendapat-grasi.html

Universitas Sumatera Utara


3. Dalam hal kasus narkoba bahwa narapidana bukanlah Bandar atau pengedar,

melainkan sebagai kurir seperti kasus Ola diterima Presiden. 62

4. Narapidana berkelakuan sangat baik selama masa tahanan berlangsung. Ini

memungkinkan Presiden mengabulkan grasi kepada narapidana seperti kasus

kepada tiga narapidana anak-anak yaitu Sheilla Fatmawati (17), Handika Hadi

Widakdo (17), dan Aditia Parawangsa (17). 63

5. Narapidana Schapelle Corby mendapat perhatian dari presiden. Upaya yang

dilakukan pengacara Corby antara lain menjelaskan bahwa: jenis narkoba

yang dibawa ke Indonesia oleh Schapelle Corby membawa ganja, bukan jenis

narkoba lain seperti heroin dan ekstasi. Schapelle Corby ini bukan berkaitan

dengan heroin atau yang lainnya yang memang berat tetapi dia betul ganja.

Ganja pun tidak sampai pada puluhan kilo atau ratusan kilo seperti yang biasa

ditangkap polisi jumlahnya ton-tonan. Jadi beberapa kilo ganja diganjar

puluhan tahun, sementara di negara tertentu tidak terjadi kriminalisasi

terhadap ganja. 64 Pemberian grasi kepada Corby dimana yang menjadi

pertimbangan menurut menkumham adalah berharap pemerintah Australia

akan memberikan pengampunan kepada para nelayan Indonesia yang

ditangkap dan dihukum di Australia.

6. Upaya berikutnya bagi kasus korupsi menyatakan kebijakan bahwa hasil

korupsi yang dilakukan selama ini akan mengembalikan hasil korupsinya

dengan peringanan beban hukuman yang diterimanya. 65

62
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/10/0557598/Presiden.Grasi.Ola.Tanggung.Jawab.
Saya
63
http://news.detik.com/read/2010/04/06/223338/1333401/10/senyum-bahagia-3-napi-anak-
setelah-mendapat-grasi?991102605
64
http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/schapelle-corby-ratu-mariyuana-berhasil-
intervensi-dapat-grasi-dari-sby-464749.html
65
http://antikorupsijateng.wordpress.com/2010/08/21/koruptor-ramai-ramai-bebas/

Universitas Sumatera Utara


7. Jika benar korupsi, katakan sejujurnya korupsi dengan jumlah uang sekian,

lalu menyesal dan meminta keringanan hukuman. Karena penyesalan itu

bernilai tinggi dimata hukum. 66

8. Yang penting di pengadilan adalah alat bukti. Untuk menyebut seseorang

koruptor, jelas harus dibuktikan. Harus dihormati asas praduga tak bersalah

sampai pengadilan membuktikan dia bersalah. Bukannya menganut asumsi dia

sudah salah sejak awal. Kalau seperti itu, semua orang bisa difitnah. Bukti

ditunjukkan untuk meringankan hukuman. 67

9. Kalau terbukti korupsi mengaku terus terang, terima hukuman, dan

mengembalikan uang hasil korupsi. Pengacara diperlukan supaya keadilan

tegak dan ditegakkan. Pengacara berhak membantu klien dalam masalah

keringanan hukuman. 68

Secara umum alasan pemberian Grasi dapat diberikan dengan

mempertimbangkan keadaan terpidana yang sakit atau tidak mampu untuk menjalani

pidana, terpidana yang berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan,

dimana terpidana yang diberikan Grasi tersebut memang dapat dipandang pantas

untuk mendapatkan pengampunan. Terdapat kekurangan didalam peraturan

Perundang-undangan dalam suatu peradilan maupun kepentingan negara juga dipakai

sebagai alasan pemberian Grasi. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang

Grasi, Presiden didalam memberikan keputusan atas suatu permohonan Grasi,

66
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor Yusril Ihza
Mahendra

67
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor

68
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor

Universitas Sumatera Utara


mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak

pidana yang telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang

dilakukan secara berulang-ulang (Residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak

pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana. Sehingga Kriteria yang dijadikan

petimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi, juga berdasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan lain di luar hukum, termasuk yang menyangkut

pertimbangan kemanusiaan, tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian

hukum.

Sebagai contoh permohonan grasi yang dikabulkan antara lain keputusan

pemberian grasi kepada Corby dan Ola.Keputusan pemberian grasi kepada Corby dan

Ola memang tidak melanggar aturan hukum, karena dilakukan sesuai dengan prosedur

berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari MA. Dari sisi

substansi keputusan itu pun tidak menabrak aturan hukum karena tidak ada larangan

memberikan pengampunan kepada terpidana narkotika sebagai kejahatan serius yang

bersifat transnasional dan terorganisasi.

Opini Presiden tidak konsisten tidak dapat dihindari karena di satu sisi

menyatakan perang terhadap narkotika, tetapi di sisi lain memberikan potongan

hukuman bagi terpidana narkotika. Opini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan

transparan fakta dan argumentasi yang melatari keputusan pemberian grasi

itu.Presiden harus menjelaskan kondisi kesehatan Corby yang sebenarnya sehingga

atas dasar rasa kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi adalah

bagian dari diplomasi Internasional, setidaknya dengan Australia, pemerintah tidak

perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan potret besar dan manfaat yang akan

diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa Indonesia. Hanya demikian publik dapat

Universitas Sumatera Utara


diyakinkan bahwa keputusan itu lahir dari pertimbangan seksama yang cukup kuat

untuk mengalahkan sifat serius kejahatan narkotika.

C. Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati Bagi Terpidana

Upaya penghapusan terhadap hukuman mati telah lama diperjuangkan oleh

umat manusia di belahan dunia ini dan hal ini telah menjadi dambaan masyarakat

dunia internasional oleh karena penghapusan hukuman mati akan mempengaruhi

peningkatan martabat manusia dan pembangunan hak asasi manusia yang progresif

serta kemajuan dalam menikmati hak atas penghidupan.

Perjuangan terhadap penghapusan hukuman mati tersebut telah dituangkan

dalam berbagai intrumen hukum hak asasi manusia internasional yakni Pasal 3

Univesal Deklarasi of Human Raights, Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil

dan Politik (ICCPR) , Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition

of Death Penalty tahun 1990, Protocol No. 6 European Convention for the Protection

Human Raights and Pasal 7 Fundamental Freedom dan The Rome Statute of

International Criminal Court (instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai

salah satu cara penghukuman).

Menyadari bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi

(non derogable rights) serta hukuman mati dalam pengalaman peradaban manusia

tidak dapat sekaligus menghilangkan kejahatan, maka masyarakat internasional

sebanyak 50 negara telah meratifikasi dan kemudian menyepakati untuk mengadopsi

Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition of Death Penalty

Universitas Sumatera Utara


dimana dalam protokol opsional ini secara tegas menyatakan melarang hukuman

mati.

Sepanjang sejarah perkembangan hukum baik di indonesia maupun dibelahan

negara didunia telah membuktikan bahwa hukuman mati yang dilakukan selama ini

baik yang dilakukan secara legal lewat putusan pengadilan maupun illegal seperti

pembuhunan ekstra judisial (PETRUS) sekitar tahun 1982 sebagai Shock Teraphy

terhadap para pelaku kejahatan juga tidak membawa dampak yang signifikan terhadap

mengurangnya angka kriminalitas, sejalan dengan hal tersebut J.E Sahetapy sebagai

salah satu orang yang selama ini konsen dalam perjuangan penghapusan pidana mati

dalam suatu diskusi tentang pidana mati yang dilaksanakan di Hotel Mandarin

Jakarta, pada 14 Desember 2004, mengatakan bahwa “dengan disetujuinya hukuman

mati eksistensi lembaga pemasyarakatan akan menjadi problems, lagi pula, kalau

benar pidana mati dianggap bisa menimbulkan efek ketakutan dan jera pada para

(calon) pelaku kejahatan, pertanyaan yang muncul adalah : mengapa eksekusi selalu

dilakukan secara “ intra-mural ” alias tidak diketahui oleh masyarakat, agar

masyarakat menjadi takut dan jera”. 69Olehnya itu sudah saatnya pemerintah harus

mempertimbangkan kembali pelaksanaan hukuman mati di indonesia.

69
Forum diskusi Tentang Pidana Mati, Narasumber : J.E Sahetapy, di Hotel Mandarin.
Jakarta 2004

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis mencoba untuk menyampaikan beberapa hal yang

dianggap penting dari uraian-uraian bab terdahulu serta memberikan saran guna

perkembangan grasi di masa yang akan datang. Maka kesimpulan dan saran yang

dapat penulis kemukakan, adalah:

A. Kesimpulan

Berikut ini akan disampaikan mengenai kesimpulan dari penelitian mengenai

eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana:

1. Grasi bukan merupakan upaya hukum. Meskipun grasi dapat merubah status

hukuman seseorang, grasi dipandang sebagai hak prerogatif yang hanya ada di

tangan Presiden. Upaya hukum hanya yang disebutkan di dalam KUHAP.

2. Perbedaan grasi, amnesti, dan abolisi:

a. Grasi adalah kewenangan Presiden untuk memberikan ampunan

berupa pengurangan pidana, penggantian jenis pidana menjadi pidana

yang lebih ringan, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Dalam

memberikan grasi, presiden memperhatikan pertimbangan dari

Mahkamah Agung.

b. Amnesti adalah kewenangan presiden untuk meniadakan akibat hukum

yang mengancam terhadap sesuatu perbuatan atau kejahatan politik.

Dengan pemberian amnesti, perbuatan atau kejahatan tersebut

dihapuskan atau dipandang tidak ada, sehingga tidak berakibat hukum

Universitas Sumatera Utara


apapun. Dalam memberikan amnesti, Presiden memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

c. Abolisi adalah kewenangan Presiden untuk menggugurkan hak

penuntut umum untuk menuntut seseorang yang sebelumnya terhadap

orang tersebut telah atau sedang dilakukan penuntutan. Sehingga

proses penuntutan dan peradilan terhadap orang yang bersangkutan

diakhiri dan tertuntut dibebaskan. Dalam memberikan abolisi, Pesiden

memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana

a. Grasi sebagai hak warga negara

Pemohon yang mengajukan grasi tidak sebagai terpidana melainkan

sebagai warga negara yang berhak meminta ampun atas kesalahannya

kepada Presiden sebagai pemimpin negara.

b. Grasi sebagai hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana

Meskipun tidak tercantum dalam KUHP, namun grasi dapat

menggugurkan hak negara untuk menjalankan pidana. Dengan

dikabulkannya grasi, maka pidana yang dijatuhkan kepada seseorang

dapat hapus, berkurang, atau berubah jenisnya.

c. Hubungan grasi dengan tujuan pemidanaan

Berkaitan dengan jawaban atas permohonan grasi, dalam hal grasi

dikabulkan maupun ditolak harus disandarkan pada tujuan

pemidanaan.

d. Grasi bukan merupakan intervensi eksekutif

Universitas Sumatera Utara


Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam

bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan

ampunan.

Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak

dapat menghilangkan kesalahan terpidana..

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai grasi yaitu Undang-undang Nomor

22 Tahun 2002 dirasa perlu diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak

mengatur dengan jelas batasan waktu maksimal pengajuan grasi. Undang-

undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi ke dua dapat diajukan dua

tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun

keluarga. Sehingga jika grasi dari terpidana mati ditolak, keluarga bisa

mengajukannya lagi dan itu bisa masing-masing dilaksanakan dua kali.

Keadaan seperti ini memakan waktu yang sangat lama, dan dapat menunda

pelaksanaan eksekusi bagi terpidana mati.

2. Para pihak yang berperan dibalik permohonan grasi seperti pengadilan pada

tingkat pertama, Mahkamah Agung, bahkan sampai Presiden, agar dapat

memproses permohonan grasi secara sungguh-sungguh. Sehingga grasi tidak

hanya dijadikan alasan untuk menunda atau mengulur pelaksanaan eksekusi,

khususnya dalam hal eksekusi pidana mati.

3. Grasi sebenarnya dapat dijadikan sebagai lembaga rekoveri untuk

mengkoreksi “kesalahan-kesalahan” dalam penyelenggaraan hukum.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun sudah ada lembaga peninjauan kembali (herziening) yang dapat

digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum dan

berada di luar sistim peradilan pidana ini, dapat dijadikan presiden sebagai

sarana untuk mengkoreksi dan menunjukkan kearifan hukumnya. Di Amerika

sebagai negara maju yang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana

hukumnya sangat tinggi, terjadinya kekeliruan dalam hukum masih sangat

tinggi pula. Hal seperti ini bisa saja terjadi di Indonesia. Menjadi tugas

Presiden untuk mengobati keragu-raguan atas kelemahan hukum yang

mungkin terjadi. Sehingga grasi dapat mencerminkan tingkat kearifan hukum

Presiden dan juga masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan


UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Terbitan Ketujuh,


Jakarta,1994

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965

Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1981

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003

JCT. Simonangkir (et-al), Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2004

Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekjen dan Kepaniteraan


Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

________________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2011

Universitas Sumatera Utara


J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka
Sinar Harapan, 1996

Martiman Prodjohamidjojo, Seri Pemerataan Keadilan: Upaya Hukum, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1983

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico,


Bandung, 1984.

Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, 1978

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1990

Sahetapy J.E, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,
Jakarta, 2007

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali


Press, Jakarta, 2001

______________ , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1981

B. Peraturan Perundang-undangan:

Amandemen Undang-undang Dasar 1945

KUHP

KUHAP

Universitas Sumatera Utara


RKUHP

Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnedti dan Abolisi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komosi Kebenaran dan Rekonsiliasi

C. Dokumen Lainnya:

apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6


Agustus 1995

http://pn_raha.co.id-surat permohonan grasi (diakses pada tanggal 14 desember 2012


www.Indonesiawatch.org (dikunjungi 16 Desember 2012)

“Grasi Samarkan Hukuman Mati”. Suara pembaharuan Dally,


http://www.suarapembaharuan.com di akses tanggal 16 Desember 2012.

http://forum.kompas.com/showthread.php?31879-Pemberian-Grasi-kepada-
Koruptordiakses tanggal 16 Desember 2012

http://bataviase.co.id/node/355561 di akses tanggal 17 Desember 2012

http://www.rimanews.com/read/20100826/2354/din-syamsudin-pemberian-grasi
terhadap koruptor-tanda-sikap-kontraproduktif diakses tanggal 17 Desember
2012

http://www.detiknews.com/read/2010/08/21/143943/1424856/10/pemberian-grasi
sudahdiperketat- di-uu-yang-baru-disahkan-dpr di akses tanggal 17 Desember
2012

http://jambi.tribunnews.com/2012/11/08/denny-presiden-tolak-107-permohonan-grasi

Universitas Sumatera Utara


http://nasional.kompas.com/read/2012/10/23/16090695/Lima.Alasan.Presiden.Membe
rikan.Grasi.Kasus.Narkoba.

http//tempo.co/read/news/2012/lima-alasan-presiden-memberi-grasi-terpidana-
narkoba diakses tanggal 17 Desember 2012

http://www.boxing-indonesia.com/2010/08/syaukani-mendapat-grasi.html

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/10/0557598/Presiden.Grasi.Ola.Tanggung.J
awab.Saya

http://news.detik.com/read/2010/04/06/223338/1333401/10/senyum-bahagia-3-napi-
anak-setelah-mendapat-grasi?991102605

http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/schapelle-corby-ratu-mariyuana-berhasil-
intervensi-dapat-grasi-dari-sby-464749.html

http://antikorupsijateng.wordpress.com/2010/08/21/koruptor-ramai-ramai-bebas/

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai