SKRIPSI
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
SKRIPSI
OLEH :
080200050
Mengetahui :
NIP: 195703261986011001
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2013
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis
menyadari hanya Karenna kemurahan dan kasihNya sehingga penulis diberi kekuatan,
kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan
yang berjudul “Eksistensi Grasi Dalam Perspektif Hukum Pidana” kepada dunia
pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan yang harus di evaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
lelaki terhebat bagi kami anak-anaknya, dan motivasi yang memberiku kekuatan O.
Tumangger dan Adik-adikku Gana, Lely, Elaai,serta seluruh keluarga besar Op.
Benny Banurea.
besarnya kepada :
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum
7. Bapak Syaiful Azam, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis
Utara;
Khair, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina., S.H.,
M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas ketersediaan baik waktu maupun
10. Seluruh Staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
11. Khusus Kepada Febrina Solin, Amd., Terima kasih atas semua bantuannya
selama ini;
Departemen Hukum Pidana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
13. Kepada Reinhard Jevon, Rolas, S.H., Rinaldi, S.H., Marhara, Saut Banu, Riko
Utara;
14. Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data
Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Terima kasih atas berbagai
hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa
Penulis
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
ABSTRAKSI vii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang.......................................................................1
B. Perumusan Masalah...............................................................13
1. Tujuan Penulisan.............................................................14
2. Manfaat Penulisan...........................................................14
D. Keaslian Penulisan................................................................15
E. Tinjauan Kepustakaan............................................................16
1. Pengertian Eksistensi........................................................16
2. Pengertian Grasi...............................................................17
F. Metode Penelitian..................................................................26
G. Sistematika Penulisan.............................................................28
B. Sejarah Grasi.........................................................................34
Grasi................................................................................59
.............................................................................................................91
Narkoba................................................................................102
A. Kesimpulan...........................................................................105
B. Saran....................................................................................107
Daftar Pustaka
Lampiran
ABUL KHAIR 1
MARLINA 2
LIMEY AGUS FAJLLI 3
Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat
khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan
negara dalam bidang hukum. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden. Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan
hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai
hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian
ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui
teori pemidanaan. Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori
pemidanaan.
Dilihat dari latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis mencoba
mengemukakan permasalahan bagaimana aturan hukum pemberian grasi di Indonesia,
bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana, serta
upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana. Skripsi ini
merupakan penelitian normatif atau studi pustaka dengan menggunakan jenis data
berupa Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. Data
sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan
dengan skripsi ini. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian
skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian
terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat
digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan
skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku,
situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini.
1
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
2
Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
3
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu
Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 4. Ide negara hukum, terkait
dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V.
Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the
rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3)
termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality
before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar
tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan
4
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10
berarti Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD
1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 6 Dalam system
Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden,
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada
pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak
putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan
Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang
kuat dan efektif. Kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan
5
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2011, hlm 323
6
Sahetapy J.E, 2007, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,Jakarta,
Komisi Hukum Nasional RI, hlm 320
perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan,
pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal member Amnesti dan Abolisi,
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk
pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai
lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi
7
Ibid, hlm.164
8
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009, hlm 104
9
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm 161
10
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.
dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan
“Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi,orang yang
yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur
Grasi. Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat
diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan
Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun
terakhir. Pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan.
Periode tahun 2000 beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana
Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor
11
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.
urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang
sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di
Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali
untuk kejahatan militer. Tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk
semua kejahatan 12. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik.
ditinjau kembali. Alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan
perkembangan jaman.
12
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459
13
Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978
Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat
(4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan
lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama.
adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional dalam bentuk ‘pidana
bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok
tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan
memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa
"Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas
Agung". Sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan
Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang
telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik
dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi, Amnesti dan
Abolisi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik
positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum
dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap (in
kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu
pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi
jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara
untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan
hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh
konstitusi bagi kepala negara. Bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan
grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’
maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut
(UUD).
keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf,
bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara.
wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat
khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati.
salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem
71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia
yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara
bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati 14.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah
Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982
hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau
masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan 15. Alasan yang banyak
nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak
argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman
pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Indonesia adalah
negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh
penduduk muslim.
menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana)
14
Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik
Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004
15
Muladi (Makalah), Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan Signifikasinya,
7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta
lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli
mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-
kejahatan, dimana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana
orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan 16.
(1) Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai
hak untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;
16
Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari
2003, hlm.1
17
Ibid, hlm 25
Pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih
tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia.
Dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan
upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri.
Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Baik melalui
bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.
memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi
kekuasaan tersebut. Grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam
18
Tim Imparsial, Op.Cit, hlm.3
arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak
negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan.
enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang
dalam kasus narkoba 19. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang
baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah
diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan
terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan
oleh presiden Soeharto 20. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat
vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan
No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya.
langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Permohonan
19
www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 agustus 2012)
20
apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6 Agustus 1995
Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan
terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Kasus ini
Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak
dapat diterima.
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan
oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya
proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan
dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi 21. Kata lain, grasi merupakan
salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah
sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan
indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam
lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan
grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM
B. Perumusan Masalah
21
Muladi (Makalah), Op.Cit, hlm.12
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:
dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini.
2. Manfaat Penulisan
diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan
penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum
a) Manfaat teoretis
dalam bidang pengetahuan ilmu pidana pada umumnya, sehingga dapat diharapkan
skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang
b) Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi
suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal
ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan
D. Keaslian Penulisan
eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana dan upaya yang
ataupun ditulis mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada
bahwa skripsi “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah asli tulisan
penulis. Bila dikemudian hari terdapat Skripsi yang sama, maka menjadi tangung
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Eksistensi
pada judul adalah adanya permohonan grasi yang ditetapkan dalam Undang-undang
22
J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1996, hlm.375
terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya,
sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang
dijatuhi hukuman.
kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi bukan berupa upaya hukum,
karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah
Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif
resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim,
khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi
terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses
penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat
dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Kita ketahui sebelumnya,
grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Keputusan dari
permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar
penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang
juga didasarkan pada teori pemidanaan. Seseorang yang telah terbukti bersalah
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana denda;
Nasional diatur dalam pasal 62 ayat (1) Tahun 1964 yang terdiri dari:
2) Pidana tambahan dimuat di dalam pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah:
Eropa, adalah berupa anugerah dari raja (vortelijke gunst) yang memberikan
pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Sifatnya sebagai kemurahan hati
kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham
trias politika, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi koreksi terhadap
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002). Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada
terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus parkara pada tingkat
pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak
terpidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
2. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pengadilan yang memutus
orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat
hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada
orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun
yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum
orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ditujukan kepada orang
banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan
terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan
kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Amnesti
sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Hak Kepala Negara untuk
dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik
23
Ibid, hlm 97
umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya
amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum,
tokoh politik, dan/atau tekanan internasional. Pemberian amnesti murni lahir dari
presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-
undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945
lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-
Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara
1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya pada masa Menteri Yusril Ihza
Amnesti. Sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Pasal 1 UU Darurat
Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat
memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu
tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk
persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal
Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam
pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan
diatur hanya untuk aktivitas politik yang diancam ataupun divonis dengan pasal
Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi
dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu
keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan
perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Kamus Besar
kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini
terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung
mempunyai arti yang luas dan dapat berubah ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam
24
Ibid, hlm. 46
25
Ibid, hlm.1655
Dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan
pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas. Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat
didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh
Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya
atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus
larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit) 26.
Memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat
a. Sudarto
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu
b. Roeslan saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.
c. Fizgerald.
Punishment is the outhoritative infliction of suffering for an offence.
d. R. Soesilo
Hukum pidana adalah perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang
hukum pidana.
e. Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan
terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan
apakah macamnya pidana itu. Hukum pidana itu sama halnya dengan
26
Adami Chazawi (2002). Pelajaran Pidana Bagian I Stelsel Pidana Tindak Pidana Teori-
teori Pemidanaan 7 Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal.24.
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005). Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit
PT. Alumni: Bandung, hal 2-4
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang;
dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya serta
dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu
hukum pidana yang bersangkutan. Negara - negara tidak dapat dengan bebas memilih
jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP tersebut. Berkaitan dengan fungsi hukum
pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi
warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan
hukum pidana.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
meliputi penelitian pada poin (1), (2), dan (3) tersebut, namun dua bentuk penelitian
lainnya berbeda, yaitu penelitian untuk menemuan hukum in concrito dan penelitian
2. Analisis Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder
2. Peraturan Dasar
baku primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, majalah, jurnal
ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 15.
29
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990, hal. 12
ini. 30
literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. 31 Data
G. Sistematika Penulisan
Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika
bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan
Sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:
BAB I Pendahuluan
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986, hal 52.
31
Ibid, hal 69
Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi).
grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku
BAB III Eksistensi Pemberian Grasi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana
Bab ini terdiri dari sub bab yaitu latar belakang grasi, syarat dan tata cara
pengajuan permohonan grasi dan eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana,
serta tahap lanjutan bilamana terpidana dijatuhi hukuman. Dan akhirnya bagaimana
dengan pidana itu sendiri dengan tujuan pidana itu diterapkan, daya tekannya untuk
Narapidana
Bab ini menerangkan tentang upaya - upaya apa saja yang harus dilakukan
agar bagaimana grasi tersebut dikabulkan oleh presiden. Penulis juga mengambil dari
tersebut dan kalau terjadi dimasa yang akan datang penulis memberikan beberapa
saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik
Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala
negara atau presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai
hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak
kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau
pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah
bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak
penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa
juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si
pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum;
(b)Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada
mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian
hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan
kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut
ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan
putusannya.
Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun,
pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang
militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40)
yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang
undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-undang Dasar
1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan
sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam
penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri.
Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana,
pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan
pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi
didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut
UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling
tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan
pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi
adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian
tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU
tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan
persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan
hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan
hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana
dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya
keberadaan 32. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala
negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi 34,
oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk
hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal
10 KUHP.
Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga
memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi
32
J.S.Badudu Op.Cit, hlm.375
33
JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58
34
Lembaran Negara RI No.108 Tahun 2002
UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat
(1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada
dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:
Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai
hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi,
Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi
(L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002
Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal
“Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan,
dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan
permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan
Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun
permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu
perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan
pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun,
terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi
penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh
Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur
hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
diterima.
atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi
pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh
Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang
pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya
maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain.
Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan
35
Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08
36
Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.176
kita ketahui, sistim presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan
Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat
mutlak.
tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus
37
Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.177
Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945
yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas
dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun
kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun
pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26
Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah
mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni
Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No.
67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali
RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal
160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-
undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40,
yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula
Undang-undang Grasi. Materi muatan Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh
Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang-undang grasi ini.
grasi. Dalam Undang-undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari,
Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950
dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden
memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3)
Masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap
menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai
dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada
Masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini
menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi
penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5
tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini
Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari
UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui
peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat
diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan
masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3
1969.
Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus
yang didasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 568 tahun 1961 hal ini berkaitan
merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950
(pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup
menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang
Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak
Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal
22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat
itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat
mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya
hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan
pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya
paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak
dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang
Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi
(UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif
atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu
kedudukan resmi.
absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan
bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam
lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk
alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan,
Menurut Pompe 38, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai
38
Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung,
1984. hlm. 287-288
Sedangkan menurut Van Hattum 39, alasan pemberian grasi antara lain:
“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden
als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om
onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot
gratieverlening.” Yang artinya:
“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi
sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di
Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian
grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan
yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah
menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai
keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah
membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat
39
Ibid, hlm 288-289
birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung.
atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945,
tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus
dilaksanakan. Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan
Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan
dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.
Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label
yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang
terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat.
Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang
ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden
Uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang
baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk
2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945
melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi
politik.
dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima
hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi
pemberian grasi.
grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana
mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan
5. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
6. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau
7. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
grasi diterima.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah : Pidana Mati, Pidana
yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan
5. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani
diteruskan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dan
40
http://pn_raha.co.id-surat permohonan grasi (diakses pada tanggal 14 desember 2012 pukul
15.00 WIB)
7. Dalam jangka waktu 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan salinan permohonan
sebagai berikut :
a. Surat Pengantar.
f. Surat Kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk
10. Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal :
Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)
tahun sejak penolakan grasinya. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana
mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak
Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang
yudikatif. Sesuai Undang-undang Dasar Tahun 1945, Presiden memberi grasi dengan
demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan
yang memutus perkara pada tingkat pertama. Hal terpidana dijatuhi pidana mati,
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
hukum tetap. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
Salah satu dasar pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati adalah
untuk penegakan hak asasi manusia. Pemberian grasi kepada terpidana mati harus
dilakukan secara tepat untuk tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan
Pancasila dan UUD Tahun 1945. Demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum
grasi. Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses
grasi kepada terpidana mati kasus narkoba. Sebagian pendapat dari masyarakat
pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba tidak layak karena kasus
kemanusiaan.
terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa alasan: Pertama, kejahatan narkoba
merupakan kejahatan serius seperti halnya kejahatan terorisme. Kedua, keadilan bagi
hukuman berat bagi pelaku kejahatan narkoba. Ketiga, narkoba dapat berakibat pada
pemberian grasi tidak serta merta diberikan pada setiap permohonan grasi. Namun,
terpidana melakukan tindak pidana yang berakibat pada hukuman mati. Apabila dari
segi kemanusiaan si pemohon grasi tersebut layak untuk diberikan grasi tentu grasi
mati sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencegah adanya hukuman mati di luar
negeri, khususnya terhadap ancaman hukuman mati yang dialami WNI yang sedang
bekerja di luar negeri. Banyak ancaman hukuman mati dialami oleh WNI karena
Layak atau tidaknya pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba
dapat dipertimbangkan dari alasan yang disampaikan dalam permohonan grasi dan
Pertimbangan kemanusiaan dapat menjadi salah satu alasan pemberian grasi kepada
diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh: 1.Terpidana dan atau
Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah
pidana mati. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati,
pidana seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan
grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden
melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau
terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Hal permohonan grasi diajukan
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan
dicatat oleh Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera
1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama
secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama.
2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan
terpidana (dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa
Permohonan grasi ini (dan salinannya) dapat pula disampaikan melalui Kepala
41
Pasal 5 s.d. 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi,
acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta
kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat
a. Mahkamah Agung,
terkait.
prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun
kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi
yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana
harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh
Presiden.
PIDANA
2. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti, ternyata bahwa hakim secara
tidak layak telah tidak memberi perhatian pada keadaan, yang bila ia ketahui
sipil karena tiadanya pangan telah dicabut atau pandangan politik yang dulu
periksa dan diadili setelah perang usai. Melalui grasi , putusan-putusan yang
eksekutif (gubernatorial pardon), sejak tahun 1976 sampai dengan 2005 di seluruh
Amerika terdapat 229 terpidana mati yang mendapat grasi (clemency) berdasarkan
42
Jan Remmelink, Op.Cit , hlm.587
43
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965, hlm.240
Data tersebut, jumlah terbanyak adalah alasan cacat hukum yaitu sebanyak
167 orang. Kemungkinan seperti ini juga mungkin terjadi dalam putusan-putusan
diberikan putusan pidana yang berat, apalagi sampai dijatuhi pidana mati.
pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat grasi dari sisi
lainnya, untuk mengetahui mengenai eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana.
Sisi-sisi lain tersebut, yakni grasi sebagai hak warga negara, grasi mengatasi
keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai dasar hapusnya hak negara
atau upaya meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana.
menganugerahkan grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang kita tak lagi
mengenal grasi dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak
jawab Kepala Negara atau dalam sistem pemerintahan presidensiil ada di tangan
presiden.
yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yaitu menjadi presidensiil murni. Sistem
Negara dan Kepala Pemerintahan, tugas dan wewenang presiden sebagai puncak
kepemimpinan negara, tetap saja ada tugas dan wewenangnya yang merupakan
lingkup pemerintahan atau eksekutif dan kewenangan yang berada di luar lingkup
tersebut. Meskipun hal ini tidak secara nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem
pemerintahan parlementer.
pengadilan.
terpidana yang mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai terpidana, melainkan
sebagai warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta
ampun kepada presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur
mengenai “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi
dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk
Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan
hukum presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah
Agung, dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian
grasi mencerminkan kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa
pemberian grasi adalah juga tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani
kemanusiaan kita.
Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan persoalan hidup
dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati
dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal
seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk
Keterbatasan dan kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja
meskipun tingkat kejahatan dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat
tinggi, namun orang masih menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek
orang dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat pula pengertian bahwa
sampai di suatu titik tertentu hukum mempunyai keterbatasan internal (the limit of
informasi di lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa
depan seseorang.
Di negara yang menganut sistim common law, dalam hal ini Amerika,
sebelum seseorang didakwa dengan pasal pidana mati (capital punishment), saksi-
saksi yang mmberatkan terdakwa (ade charge) harus digelar dalam sebuah sidang
itu dapat diterima secara hukum dan dapat dijadikan alat bukti di persidangan utama.
Sistim yang demikian ini tidak terdapat dalam sistim beracara di Indonesia.
Seorang terdakwa yang diancaman pidana mati mempunyai kedudukan yang sangat
sebuah kesaksian menjadi alat bukti yang nota benenya dapat mengakibatkan
Kepolisian menggunakan cara-cara yang tidak fair untuk menjebak terdakwa. Saksi
atau bebas dari tuntutan hukum 44. Praktik demikian ini telah umum di lingkungan
peran yang aktif dalam persidangan. Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai
standar profesi kehakiman. Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang
relatif rendah, dan tingkat pendidikan hukum yang hanya S1. Kita dapat
membayangkan seseorang yang baru selesai dari program S1, kemudian diterima
sebagai hakim dan mengikuti kursus calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang
Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini di satu
pihak tidak mendidik hakim, karena tidak ada sarana mempertajam analisa hukum
hakim akibatnya sebuah putusan dapat menjadi bias atau error. Keadaan jauh berbeda
bersangkutan harus menjadi jaksa (rata- rata 10 tahun), kemudian menjadi pembela
44
www.Indonesiawatch.org (dikunjungi 16 Desember 2012)
mengenai putusan pengadilan, meskipun peran hakim pasif dalam sistim juri, hakim
selalu memberikan argumen hukum secara tertulis yang dapat dibaca oleh siapapun.
bidang hukum sendiri telah menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan
herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga
rekoveri untuk error itu adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi
tidak dengan kebetulaan berada di luar sistim peradilan. Di sini sebenarnya presiden
Jan remelink memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya
kewenangan untuk mengeksekusi pidana 45. Adami Chazawi juga menyebutkan hal
yang sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk
KUHP, ialah:
45
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.583
46
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.168
Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP
Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana
dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi
pertimbangan pokok perkaranya. Sifat yang demikian ini tampak dari tiga hal yang
pengadilan;
3. Mengubah jenis pidana (komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam
putusan menjadi pidana yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP.
Tiga hal tersebut di atas, yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk
menjalankan pidana adalah poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak
pelaksanaan pidananya.
menilik sistim dan susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya
kompromis atau teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada di dalamnya 47.
tertib hukum masyarakat, baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari
permohonan. Dalam hal ini masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh
presiden sebagai badan yang memang berkompeten untuk itu, dalam pengambilan
konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan Undang-
peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, wewenang
47
Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.33
grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merumuskan
pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa diganggu
gugat.
Pemberian grasi oleh presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis
sepenuhnya berada di tangan presiden. Norma ini tertuang jelas dalam Pasal 4 ayat (1)
UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun
lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah
presiden mengenai hal itu (grasi). Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin
pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, agar terjalin saling
mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara
dapat menghindari pemberian Grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan yang
berat. Kriteria yang dijadikan pertimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi dan
pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian
Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak
tentang Grasi ada dirasa lebih menjamin kepastian hukum bagi pemohon Grasi,
ternyata ada satu hal yang pengaturannya tidak tegas, yaitu mengenai tidak ada
pembatasan waktu bagi pemohon Grasi. Untuk putusan yang berupa pidana penjara
seumur hidup, pidana penjara sementara waktu, dengan tidak adanya pembatasan
waktu tersebut tidak akan berpengaruh pada pelaksanaan putusan, tetapi untuk
terpidana mati eksekusinya harus menunggu putusan penolakan Grasi dari Presiden.
48
“Grasi Samarkan Hukuman Mati”. Suara pembaharuan Dally,
http://www.suarapembaharuan.com di akses tanggal 16 Desember 2012.
Agustus 2010, yang intinya menguranggi hukuman untuk Syaukani dari enam tahun
pemberian Grasi kepada syuakani sebagai terpidana kasus korupsi tidak bertentangan
Tahun 2002 tentang Grasi. 50 Berbeda dengan pendapat Ketua PP Muhammadiyah Din
syamsudin, langkah itu juga dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan
pemberian Grasi diperketat yang tanggung jawabnya ada di tangan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. 52 Prinsip pemisahan kekuasan, fungsi eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, merupakan cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain.
49
http://forum.kompas.com/showthread.php?31879-Pemberian-Grasi-kepada-Koruptor di
akses tanggal 16 Desember 2012
50
http://bataviase.co.id/node/355561 di akses tanggal 17 Desember 2012
51
http://www.rimanews.com/read/20100826/2354/din-syamsudin-pemberian-grasi
terhadap koruptor-tanda-sikap-kontraproduktif diakses tanggal 17 Desember 2012
52
http://www.detiknews.com/read/2010/08/21/143943/1424856/10/pemberian-grasi
sudahdiperketat- di-uu-yang-baru-disahkan-dpr di akses tanggal 17 Desember 2012
terdiri dari tiga cabang kekuasaan tersebut, saling mengontrol dan saling
mengimbangi satu sama lain. Tiga kekuasaan tersebut yakni, kekuasaan eksekutif oleh
Rakyat (terdiri atas DPR dan DPRD), dan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah
tidak dikenal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi baru
Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan
berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangka juga dalam Pasal 2
(2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Presiden menolak grasi pada umumnya karena alasan-alasan yang logis dan
a) Terpidana tidak dapat diampuni lagi karena tindak kejahatan yang dilakukan
fakta TKP tidak bisa memutus tanggung jawab hukum antara otak pelaku
persen yang ditolak Presiden SBY adalah dalam kasus permohonan grasi
kasus narkoba. 54
Pemberian grasi tidak layak diberikan kepada terpidana mati kasus narkoba
pengguna narkoba menjadi alasan kuat perlunya hukuman berat bagi pelaku kejahatan
narkoba. Ketiga, narkoba dapat berakibat pada rusaknya generasi muda pengguna
narkoba.
terpidana yang sakit atau tidak mampu untuk menjalani pidana, terpidana yang
Grasi, mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana. Sehingga Kriteria yang dijadikan
UU grasi tidak menentukan terpidana kejahatan apa yang dapat atau tidak
dapat diberikan grasi sehingga semua terpidana dapat diberikan grasi. Undang –
undang grasi juga tidak menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan oleh
pemohon untuk mengajukan grasi ataupun alasan-alasan yang dapat digunakan oleh
presiden untuk mengabulkan permohonan itu. Hal ini berbeda dengan remisi yang
PP Nomor 28 Tahun 2006, remisi dapat ditambah apabila terpidana berbuat jasa
berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Alasan permohonan dan
pemberian grasi tidak jauh beda dengan alasan pemberian remisi, yaitu kondisi dan
secara matang dan tidak asal buat, ada beberapa alasan presiden mengabulkan grasi
antara lain:
Indonesia. Adapun negara lainnya, ada yang sama sekali melarang, ada yang
melarang untuk kejahatan tertentu, ada juga yang tidak melaksanakan dalam
negara Indonesia di luar negeri. Sekarang, ada 298 WNI yang diancam
hukuman mati di luar negeri dalam periode Juli 2011-4 Oktober 2012.
sejak 2009 lalu, terdapat 126 permohonan grasi dan hanya 19 permohonan
dikabulkan. 55
f) Alasan Kemanusiaan.
Presiden tentu saja sudah melakukan pertimbangan yang cukup matang untuk
bentuk proses yustisial karena tindakan ini tidak didasarkan pada pertimbangan
di luar hukum seperti pertimbangan politik dan lain sebagainya. Ada sisi kecerobohan
undang tidak menentukan pertimbangan apa yang harus digunakan Presiden untuk
memiliki beberapa pandangan: Pertama, pemberian grasi tidak serta merta diberikan
melihat latar belakang mengapa terpidana melakukan tindak pidana yang berakibat
pada hukuman mati. Apabila dari segi kemanusiaan si pemohon grasi tersebut layak
untuk diberikan grasi tentu grasi tersebut dapat diberikan. Kedua, Pertimbangan
pemberian grasi terhadap terpidana mati sejalan dengan upaya pemerintah dalam
hukuman mati yang dialami WNI yang sedang bekerja di luar negeri. Banyak
55
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/23/16090695/Lima.Alasan.Presiden.Memberi
kan.Grasi.Kasus.Narkoba.
Alasan Presiden memberi grasi kepada terpidana narkoba antara lain : (1) di
cukup dengan pertimbangan MA, tetapi juga telah mendengar Menteri Koordinator
Politik Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Polri; (3) Presiden juga melihat
kecenderungan semakin berkurangnya praktek hukuman mati yang ada di dunia, dari
198 negara, saat ini hanya 44 negara yang masih menerapkan hukuman mati,
sementara sisanya, 154 negara, telah melarang hukuman mati serta melakukan
moratorium hukuman mati; (4) Ini juga untuk advokasi bagi WNI di luar negeri yang
terancam hukuman mati. Saat ini sebanyak 298 WNI memang terancam hukuman
mati, dari periode 4 Juli 2011 hingga 4 oktober 2012. Dari 298 WNI, sebanyak 100
orang saat ini sudah berhasil lolos dari ancaman hukuman mati; (5) Dari 100 orang
yang lolos dari hukuman mati ini, 44 orang di antaranya terlibat kasus narkoba.
Sedangkan dari 198 WNI yang saat ini masih terancam hukuman mati, 60 persen di
antaranya juga terlibat kasus narkoba. Alasan terakhir, meski mengeluarkan grasi,
Presiden tetap mengeluarkan grasi secara selektif. Dari 126 permohonan grasi, hanya
Pertimbangan tidak hanya dari MA dari sisi hukum saja, tetapi sisi keadilan dan
56
http//tempo.co/read/news/2012/lima-alasan-presiden-memberi-grasi-terpidana-
narkobadiakses tanggal 17 Desember 2012
pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana adalah untuk penegakan hak asasi
manusia. Pemberian grasi kepada terpidana harus dilakukan secara tepat untuk
tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun
Mahkamah Agung dan ini diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2002 tentang grasi Pasal 11 Ayat (1) Presiden memberikan keputusan atas
dasar. Selain itu juga mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan bahwa perubahan
hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup itu bukan berarti kepada yang
terhukum bebas. Hukuman seumur hidup bukan berarti yang bersangkutan bebas.
mati menjadi seumur hidup kepada seseorang itu juga mengait kepada unsur
1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
Mahkamah Agung;
Negara lainnya. Hal ini dianggap perlu agar Mahkamah Agung benar-benar dapat
berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang
memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang dihadapi 57. Mengenai
hal ini, diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
pertimbangan, dan nasihat masalah hokum pada lembaga negara dan lembaga
mengandung makana bahwa kekuasan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan
kekuasaan lainnya hanya dapat saling mengontrol dengan sistem check and balances,
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali
yudisial, yang dilakukan oleh Presiden. Jadi mengenai pemberian grasi yang
seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan
(inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak
dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar
biasa. Upaya hukum biasa menurut KUHAP (Undang-undang No.8 Tahun 1981),
terdiri dari: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar
biasa terdiri atas: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali keputusan
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak
dapat dibatalkan dan diberikan putusan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup
badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemberian
tentang Grasi. Bila ditinjau dari segi hukum tata negara, pemberian grasi merupakan
Kewenangan ini secara umum dimiliki oleh kepala negara di berbagai negara. Grasi
atau penghapusan pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh Presiden. Ditinjau dari
segi produce of law, pemberian grasi ini tidak berarti Presiden mencampuri proses
Presiden (biasanya karena alasan kemanusiaan). Kata lain, pemberian grasi ini tidak
bertentangan dengan hukum positif yang ada di negara ini alias konstitusional.
Presiden sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus lebih peka dengan
masyarakatnya sendiri. Presiden seharusnya bisa lebih bijak dan tidak mengobral
Pemberian grasi ini pun menjadi salah satu bukti inkonsistensi dan kealpaan
Presiden. Bahkan Presiden SBY sepertinya sudah lupa dengan janjinya ketika
Negara , 30 Juni 2006 lalu. SBY berjanji akan berdiri paling depan dalam usaha
terhadap pelaku kejahatan narkoba. Setidaknya ada dua kelalaian Presiden dalam
memberikan grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba kali ini. Pertama, pemberian
diberikan MA sebagai yudikatif tertinggi di negeri ini. Pasal 14 UUD NRI Tahun
Memang, secara prosedural Presiden telah melakukan itu, namun secara substansial,
pertimbangan MA tidak mengikat, penjatuhan pidana mati pada tingkat kasasi dan PK
pengecualian terhadap pelaku tindak pidana apa grasi bisa dilakukan. Artinya,
pemberian grasi bisa saja dilakukan terhadap terpidana dalam kasus apa pun. Presiden
dalam ordinary crime, sama seperti korupsi dan terorisme. Salah satu bentuk ordinary
Presiden dalam politik hukum penerbitan Keppres pembatalan pidana mati. Tidak
salah kalau penulis mengatakan kalau landasan filosopis da sosiologis Presiden sangat
lemah dalam pemberian grasi ini. Padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi United
Crime 2000.
Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak
mendapatkan Grasi akan merasakan kebebasan karena dapat keluar secepatnya dan
bebas dari segala kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan padanya. Implikasi
hukum yang paling berat diterima oleh terpidana adalah Grasi nya ditolak oleh
Presiden, sehingga terpidana tetap harus menjalani pidana sesuai dengan putusan
Indonesia tak memperlihatkan kecenderungan turun, bahkan setiap tahun terus naik.
Selama tahun 2012 ini setidaknya sudah tiga gembong narkoba yang diberikan grasi,
yaitu terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari 20 tahun
Maharwan dan Meirika Franola yang seharusnya menjalani hukuman mati diubah
terpidana mati narkoba asal Nigeria, Adami Wilson alias Abu, beberapa waktu lalu
yang dengan leluasa mengendalikan bisnis haram itu dari penjara Nusakambangan.
karena dampak yang dilakukan para terpidana narkoba itu sangat hebat dalam
Oleh karena itu ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak dapat dimaknai
sebagai hak prerogatif, namun hanya sebatas hak konstitusional. Pemberian grasi
ini. Tentu saja ini akan berdampak besar terhadap penanganan masalah narkoba di
tanah air. Langkah yang diambil oleh pemerintah saya anggap merupakan suatu
pemberantasan narkoba seolah-olah harus terhenti sampai di sini. Ini telah menjadi
maupun internasional.
Data dari BNN yang menunjukkan sekitar 1,5 persen dari seluruh penduduk
Indonesia merupakan pemakai narkoba. Berarti ada sekitar 3,2 hingga 3,6 juta
penduduk Indonesia yang menjadi pengguna barang-barang haram itu. Dari angka itu,
diperkirakan sekitar 15 ribu jiwa harus meregang nyawa setiap tahun karena memakai
narkoba. Tak kurang dari 78 persen korban yang tewas akibat narkoba merupakan
anak muda berusia antara 19-21 tahun. Ini merupakan sebuah angka yang
Lembaga grasi yang menjadi ruang istimewa bagi presiden, tidak lagi dapat
rehabilitasi yang sama-sama disebut dalam pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945. Derajat
rasionalitas grasi membutuhkan aras yang lebih tinggi. Artinya, secara prosedural
dibutuhkan tidak cukup dari MA, apalagi hanya lembaga negara di bawah kekuasan
diucapkan, yakni hak segera menerima atau segera menolak putusan; hak mempelajari
putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu
putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; hak minta diperiksa perkaranya
dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
Permasalahan teknis seperti hal tersebut di atas kerap muncul dalam praktek
keseharian di pengadilan, yang mana hal teknis tersebut dianggap sepele dan
Upaya hukum biasa berupa banding adalah hak dari terdakwa atau penuntut umum
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas
dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. (vide Pasal 67 KUHAP).
Norma/kaidah tentang tata cara pengajuan banding terkandung pada Pasal 233 sampai
adalah berupa:
Tinggi hanya dapat dilakukan oleh terdakwea atau yang khusus dikuasakan
Negeri hanya menerima permintaan banding dalam waktu tujuh hari sesudah
tidak hadir.Apabila tenggang waktu tujuh hari telah lewat tanpa diajukan
menghadap, hal tersebut harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya
dan catatan itu harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis
memberitahukan permintaan banding dari satu pihak yang satu kepada pihak
yang lain.Jika telah lewat tujuh hari waktu untuk pengajuan banding tanpa ada
dianggap menerima putusan, yang hal ini oleh panitera mencatat dan membuat
akta mengenai hal tersebut dan melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara
tersebut tidak dapat diajukan lagi.Tetapi apabila perkara telah diperiksa dan
bandingnya.
dalam tingkat banding, terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
Tinggi.
sahnya putusan dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka
untuk umum, vide Pasal 195 KUHAP.Tetapi sudah lajim di praktek keseharian di
kekuatan hukum tetap sejak tidak adanya lagi "upaya hukum biasa", yakni banding
untuk umum, apakah langsung pula dianggap putusan tersebut telah mempunyai
tersebut sudah tidak dapat lagi dirubah, terkecuali dengan upaya hukum luar biasa.
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan putusan pengadilan
tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan
jaksa/penuntut umum untuk mengeksekusi terdakwa ke dalam tahanan dan tidak perlu
Terdakwa dan penuntut umum telah menerima putusan segera setelah putusan
diucapkan di sidang terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan tersebut masih
Sehingga untuk supaya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus menunggu
tenggang waktu permintaan banding habis, dengan kata lain sudah tidak ada lagi
permintaan upaya hukum banding, tenggang waktunya adalah selama tujuh hari
setelah putusan diucapkan atau sejak diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir.Seandainya sidang putusan pengadilan adalah hari Senin dan terdakwa atau pun
penuntut umum menerima putusan tersebut pada hari itu, putusan pengadilan
demikian masih menunggu Senin depan untuk berkekuatan hukum tetap. Putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum, walaupun terdakwa atau penuntut umum
bersikap mempelajari putusan selama tujuh hari sejak putusan diucapkan dan
diberitahukan.
Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1(1) UU No. 22/2002,
memberikan grasi ini adalah salah satu Hak Prerogatif (istimewa) Presiden, selaku
grasi adalah:
Presiden.
3. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan
grasi sejak putusan Pengadilan memperolah kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi
tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. Ketentuan Pasal 4(2) UU No. 22/2002,
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden
Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak
mendapatkan Grasi akan merasakan kebebasan karena dapat keluar secepatnya dan
bebas dari segala kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan padanya. Implikasi
hukum yang paling berat diterima oleh terpidana adalah Grasi nya ditolak oleh
Presiden, sehingga terpidana tetap harus menjalani pidana sesuai dengan putusan
maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan
hukum;
pada mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal
memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim. Dalam hal ini putusan tersebut
dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti
dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat
dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan tersebut dijatuhkan.
Dengan demikian, pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim
putusannya.
59
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. cit., hal. 449.
pidana (hukuman);
2. seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak bersalah, berniat ingin mencari
ditegakkan.
Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum
Adapun beberapa Upaya yang dilakukan agar grasi diterima antara lain:
1. Pernyataan sadar dan tobat dalam tindak kejahatan yang dlakukan dari
narapidana.
2. Alasan kesehatan. Apabila narapidana dalam kondisi dan keadaan sakit keras,
maka pernyataan ini dapat menjadi alasan pokok permohonan grasi dengan
diterima Presiden. 61
60
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm 33
61
http://www.boxing-indonesia.com/2010/08/syaukani-mendapat-grasi.html
kepada tiga narapidana anak-anak yaitu Sheilla Fatmawati (17), Handika Hadi
yang dibawa ke Indonesia oleh Schapelle Corby membawa ganja, bukan jenis
narkoba lain seperti heroin dan ekstasi. Schapelle Corby ini bukan berkaitan
dengan heroin atau yang lainnya yang memang berat tetapi dia betul ganja.
Ganja pun tidak sampai pada puluhan kilo atau ratusan kilo seperti yang biasa
62
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/10/0557598/Presiden.Grasi.Ola.Tanggung.Jawab.
Saya
63
http://news.detik.com/read/2010/04/06/223338/1333401/10/senyum-bahagia-3-napi-anak-
setelah-mendapat-grasi?991102605
64
http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/schapelle-corby-ratu-mariyuana-berhasil-
intervensi-dapat-grasi-dari-sby-464749.html
65
http://antikorupsijateng.wordpress.com/2010/08/21/koruptor-ramai-ramai-bebas/
koruptor, jelas harus dibuktikan. Harus dihormati asas praduga tak bersalah
sudah salah sejak awal. Kalau seperti itu, semua orang bisa difitnah. Bukti
keringanan hukuman. 68
mempertimbangkan keadaan terpidana yang sakit atau tidak mampu untuk menjalani
dimana terpidana yang diberikan Grasi tersebut memang dapat dipandang pantas
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
66
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor Yusril Ihza
Mahendra
67
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor
68
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/345364-yusril--saya-tak-bela-koruptor
pidana yang telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang
pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana. Sehingga Kriteria yang dijadikan
hukum.
pemberian grasi kepada Corby dan Ola.Keputusan pemberian grasi kepada Corby dan
Ola memang tidak melanggar aturan hukum, karena dilakukan sesuai dengan prosedur
berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari MA. Dari sisi
substansi keputusan itu pun tidak menabrak aturan hukum karena tidak ada larangan
Opini Presiden tidak konsisten tidak dapat dihindari karena di satu sisi
hukuman bagi terpidana narkotika. Opini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan
atas dasar rasa kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi adalah
perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan potret besar dan manfaat yang akan
diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa Indonesia. Hanya demikian publik dapat
umat manusia di belahan dunia ini dan hal ini telah menjadi dambaan masyarakat
peningkatan martabat manusia dan pembangunan hak asasi manusia yang progresif
dalam berbagai intrumen hukum hak asasi manusia internasional yakni Pasal 3
dan Politik (ICCPR) , Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition
of Death Penalty tahun 1990, Protocol No. 6 European Convention for the Protection
Human Raights and Pasal 7 Fundamental Freedom dan The Rome Statute of
International Criminal Court (instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai
Menyadari bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi
(non derogable rights) serta hukuman mati dalam pengalaman peradaban manusia
mati.
negara didunia telah membuktikan bahwa hukuman mati yang dilakukan selama ini
baik yang dilakukan secara legal lewat putusan pengadilan maupun illegal seperti
pembuhunan ekstra judisial (PETRUS) sekitar tahun 1982 sebagai Shock Teraphy
terhadap para pelaku kejahatan juga tidak membawa dampak yang signifikan terhadap
mengurangnya angka kriminalitas, sejalan dengan hal tersebut J.E Sahetapy sebagai
salah satu orang yang selama ini konsen dalam perjuangan penghapusan pidana mati
dalam suatu diskusi tentang pidana mati yang dilaksanakan di Hotel Mandarin
mati eksistensi lembaga pemasyarakatan akan menjadi problems, lagi pula, kalau
benar pidana mati dianggap bisa menimbulkan efek ketakutan dan jera pada para
(calon) pelaku kejahatan, pertanyaan yang muncul adalah : mengapa eksekusi selalu
masyarakat menjadi takut dan jera”. 69Olehnya itu sudah saatnya pemerintah harus
69
Forum diskusi Tentang Pidana Mati, Narasumber : J.E Sahetapy, di Hotel Mandarin.
Jakarta 2004
Dalam bab ini penulis mencoba untuk menyampaikan beberapa hal yang
dianggap penting dari uraian-uraian bab terdahulu serta memberikan saran guna
perkembangan grasi di masa yang akan datang. Maka kesimpulan dan saran yang
A. Kesimpulan
1. Grasi bukan merupakan upaya hukum. Meskipun grasi dapat merubah status
hukuman seseorang, grasi dipandang sebagai hak prerogatif yang hanya ada di
Mahkamah Agung.
pemidanaan.
ampunan.
Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak
B. Saran
undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi ke dua dapat diajukan dua
tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun
keluarga. Sehingga jika grasi dari terpidana mati ditolak, keluarga bisa
Keadaan seperti ini memakan waktu yang sangat lama, dan dapat menunda
2. Para pihak yang berperan dibalik permohonan grasi seperti pengadilan pada
digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum dan
berada di luar sistim peradilan pidana ini, dapat dijadikan presiden sebagai
sebagai negara maju yang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana
tinggi pula. Hal seperti ini bisa saja terjadi di Indonesia. Menjadi tugas
A. Buku-buku:
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003
Sahetapy J.E, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,
Jakarta, 2007
B. Peraturan Perundang-undangan:
KUHP
KUHAP
C. Dokumen Lainnya:
http://forum.kompas.com/showthread.php?31879-Pemberian-Grasi-kepada-
Koruptordiakses tanggal 16 Desember 2012
http://www.rimanews.com/read/20100826/2354/din-syamsudin-pemberian-grasi
terhadap koruptor-tanda-sikap-kontraproduktif diakses tanggal 17 Desember
2012
http://www.detiknews.com/read/2010/08/21/143943/1424856/10/pemberian-grasi
sudahdiperketat- di-uu-yang-baru-disahkan-dpr di akses tanggal 17 Desember
2012
http://jambi.tribunnews.com/2012/11/08/denny-presiden-tolak-107-permohonan-grasi
http//tempo.co/read/news/2012/lima-alasan-presiden-memberi-grasi-terpidana-
narkoba diakses tanggal 17 Desember 2012
http://www.boxing-indonesia.com/2010/08/syaukani-mendapat-grasi.html
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/10/0557598/Presiden.Grasi.Ola.Tanggung.J
awab.Saya
http://news.detik.com/read/2010/04/06/223338/1333401/10/senyum-bahagia-3-napi-
anak-setelah-mendapat-grasi?991102605
http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/schapelle-corby-ratu-mariyuana-berhasil-
intervensi-dapat-grasi-dari-sby-464749.html
http://antikorupsijateng.wordpress.com/2010/08/21/koruptor-ramai-ramai-bebas/