Anda di halaman 1dari 143

FUNGSI BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

PERWAKILAN PROPINSI SULAWESI SELATAN DALAM PERKARA


TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEJAKSAAN
TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT

THE FUNCTION OF THE AUDITING FIRM AND THE CONSTRUCTION


OF SOUTH SULAWESI PROVINCE IN CRIMINAL LAW PROSECUTION
OF CORRUPTION IN HIGH SULAWESI REGION SOUTH AND WEST

MUDAZZIR MUNSYIR

PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
FUNGSI BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
PERWAKILAN PROPINSI SULAWESI SELATAN DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEJAKSAAN
TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh

MUDAZZIR MUNSYIR

kepada

PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
TESIS

FUNGSI BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN


PERWAKILAN PROPINSI SULAWESI SELATAN DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEJAKSAAN
TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT

Disusun dan diajukan oleh


MUDAZZIR MUNSYIR
Nomor Pokok P0902211604

Disusun dan Diajukan Untuk Menempuh Ujian Akhir Tesis


Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin

Menyetujui
Komisi Penasihat,

Prof. Dr. MARTHEN ARIE, S.H, M.H Dr. HAMZAH HALIM, S.H., M.H
KETUA ANGGOTA

Mengetahui
Ketua Program Pasca Sarjana
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin,

Prof. Dr. MARTHEN ARIE, S.H, M.H


NIP : 195704301985031004
DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA........................................................................................... i

ABSTRAK.......................................................................................... ii

ABSTRACT ........................................................................................ iii

DAFTAR ISI........................................................................................ iv

I. PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11
D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 12

II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 14
A. Teori-Teori............................................................................... 14
1. Teori Negara Hukum.......................................................... 14
2. Teori Pengawasan ............................................................. 20
3. Teori Keuangan Negara ..................................................... 27
4. Teori Kewenangan ............................................................. 33
B. Istilah Pidana, Korupsi Dan Audit Investigasi .......................... 39
1. Pidana................................................................................. 39
2. Korupsi................................................................................ 41
3. Audit Investigasi ................................................................. 48
C. Tugas Dan Fungsi Pokok BPKP Dan BPK .............................. 52
D. Mekanisme Hubungan Kerja Antara BPKP, BPK Dan
Kejaksaan.............................................. .................................. 55
E. Bagan Kerangka Pikir ............................................................. 64
F. Defenisi Operasional .............................................................. 65

III METODE PENELITIAN................................................................. 67


A. Lokasi Penelitian ................................................................. 67
B. Tipe dan Sifat Penelitian.......................................................... 67
C. Sumber Data ........................................................................... 68
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 69
E. Teknik Analisa Data................................................................. 71
-2-

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 73


A. Kedudukan Hukum Hasil Audit Dikaitkan Pada Hukum Formil
Sistem Pembuktian.............................................................. 73
1. Karakteristik Bukti Audit ..................................................... 73
2. Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat .................................. 81
3. Kedudukan Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat Dengan
Keterangan Ahli.................................................................. 93
4. Fungsi BPKP Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................... 95
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi Audit Investigasi BPKP
Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam Pengungkapan
Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan Dan Barat .................................................... 112
1. Hambatan Bagi Kejaksaan Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 112
2. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi Audit Investigasi
BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam
Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah
Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Dan Barat ..... 121

V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 127


A. Kesimpulan .......................................................................... 127
B. Saran ....................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS / KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : MUDAZZIR MUNSYIR


Nomor Mahasiswa : P 0902211604
Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang berjudul


“FUNGSI BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
(BPKP) PERWAKILAN PROPINSI SULAWESI SELATAN DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM
KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT” yang saya
tulis ini benar-benar merupakan asli hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di
kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Agustus 2013


Yang Menyatakan,

MUDAZZIR MUNSYIR
PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi selama 4
semester yang ditandai dengan rampungnya tesis ini yang dalam proses
penulisannya, telah melalui berbagai macam cerita dan hambatan, namun
Alhamdulillahirobbil ‘alamiin, penulis dapat merampungkannya tepat pada
waktunya.

Pengungkapan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh


Kejaksaan tidak terlepas dari peranan salah satu instansi pemerintahan
yang melakukan audit yakni BPKP meskipun kita mengetahui
perkembangan tindak pidana korupsi tidak semakin surut malah
bertambah namun diharapkan aparat penegak hukum khususnya
Kejaksaan dapat membangun sinergi dengan instansi pemerintah lainnya
untuk menanggulanginya.

Penulis tertarik untuk menulis permasalahan ini karena penulis


pernah berhubungan kerja dengan BPKP dalam pengungkapan tindak
pidana korupsi dan mengamati bahwa ada beberapa kendala dalam
penanganan tindak pidana korupsi yang membutuhkan perhitungan
kerugian negara.

Objek penelitian dilakukan oleh Penulis di Makassar dan berlokasi


di BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dan kantor Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan
meng-inventarisasi data penanganan perkara korupsi.

Penulis sadari, begitu banyak orang yang sangat berperan penting


dalam kehidupan penulis.

1. Kedua orang tua yang sangat penulis kagumi, cintai, kasihi, dan
sayangi, Drs. H. Abd. Munsyir Gassing dan Hj. Haniah Munsyir.
2. Istri tercinta Suryanti Mudazzir yang telah mendampingi dan
meluangkan waktu untuk membantu penulis menyelesaikan studi dan
anak-anak Muh. Abrar Andava Munsyir serta Muh. Andra Dasirva
Munsyir yang waktu berkumpul telah tersita selama penulis menjalani
studi.
3. Kakak-kakak penulis Drs. Abdul Murad Munsyir, M.Si dan Mujida Abdul
Munsyir., SKM, M.Kes serta adik-adik penulis Mulawarman Munsyir,
SE., Musriyanto Munsyir, S.Sos dan Musfahuddin Munsyir, S.Sos.
Terima Kasih banyak atas segalanya.
4. Bapak Prof. Dr. Dr. Idrus Paturusi, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta seluruh jajarannya;
5. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin beserta seluruh Jajaran Pembantu
Dekan Fakultas Hukum;

6. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, selaku Ketua Program Pasca
Sarjana Studi Ilmu Hukum.

7. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, selaku pembimbing I yang
telah menyediakan waktunya untuk konsultasi dan Bapak Dr. Hamzah
Halim, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang meluangkan waktunya
dalam kesibukannya untuk mengkoreksi tesis ini;

8. Bapak Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H, Prof. Dr. Djafar Saidi, S.H.,
M.H., dan Prof. Dr. Andi Sofyan,S.H.,M.H. selaku Penguji;

9. Bapak dan Ibu Pengajar Kelas S-2 Kejaksaan-Unhas tahun 2011;

10. Para ibu dan bapak dosen di lingkup Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang selalu membagi ilmu dan pengetahuan.

11. Bapak Dr. Chaerul Amir, S,H., M.H. (Aspidsus Kejati Sulsel).
12. Bapak/ibu Auditor BPKP Perwakilan Sulawesi Selatan.
13. Teman-teman seperjuangan S-2 Kejaksaan Unhas Angkatan III tahun
2011.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima
kasih banyak .
Wasalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Makassar, Agustus 2013

MUDAZZIR MUNSYIR
ABSTRAK

MUDAZZIR MUNSYIR. Fungsi Badan Pengawasan Keuangan Dan


Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam
Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan Dan Barat (dibimbing oleh Marthen Arie dan Hamzah
Halim) .

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana hasil audit


investigatif yang dilakukan oleh BPKP dalam sistem pembuktian tindak
pidana di Indonesia, (2) bagaimana fungsi BPKP dalam pengungkapan
tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan dan Barat, dan (3) kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
fungsi BPKP dalam hubungannya dengan Kejaksaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah sosial legal, yaitu dengan
mengkaji atau menganalisis data primer dan sekunder yang berupa
bahan-bahan hukum dengan memahami hukum sebagai perangkat
peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Kemudian diproses secara
identifikasi, klasifikasi, sistematis dan analitis yang disajikan secara
deskriptif untuk menjawab permasalahan dan solusinya.
Hasil penelitian yang dilakukan adalah bahwa hasil audit yang
dilakukan BPKP dapat digunakan sebagai alat bukti surat berdasarkan
pasal 184 KUHAP dan pasal 187 huruf c KUHAP dan bukan hanya itu,
Auditor BPKP dapat memberikan keterangan Ahli sehingga memperkuat
pembuktian guna meyakinkan Hakim yang didapatkan dari dua alat bukti
yakni alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Fungsi BPKP dalam
pegungkapan tindak pidana korupsi memberikan bantuan dalam
perhitungan kerugian negara dan dalam melaksanakan fungsi tersebut
terdapat kendala-kendala yang dihadapi yakni pembiayaan dalam
penanganan tindak pidana korupsi, kemampuan teknis tidak dimiliki
Auditor serta kurang optimalnya kerjasama dengan instansi lain untuk
melaporkan adanya tindak pidanakorupsi..

Kata kunci: Tindak Pidana Korupsi, Fungsi BPKP.


ABSTRACT

MUDAZZIR MUNSYIR. The Function Of State Audit Bureau And


Development of South Sulawesi Agency in Corrution Criminal Act Lawsuit
in Jurisdiction of Provincial Attorney General’s Office of South Sulawesi
and West Sulawesi (supervised by Marthen Arie and Hamzah Halim).

This research is aimed to determine : (1) the results of investigation


performed by State Audit Bureau and Development (SABP) in proving
system of criminal act in Indonesia, (2) the function of SABP in revealing
the corruption criminal act in provincial Attorney General’s jurisdiction
Office of South Sulawesi and West Sulawesi, (3) obstacles faced in
conducting the SABP’s function related to attorney.
The method used was social legal, i.e. primary and secondary data
were analyzed with positive-normative norms. Then the data were
processed in the manner of identification, classification, systematical, and
analytical then descriptively presented to express the problems and give
solutions.
The results of this research indicate that the audit results
discovered by SABP can be used as letter evidence based on the article
184 of KUHP and article 187 c letter of KUHP and SABP’s Auditor can
give expert testimony which can streng then the evidence to convince
Judges. The obstacles found in performing the function of SABP in
revealiang the calculation of the state’s loss are financing, auditors do not
have technical ability, and lack of cooperative with other institutions to
report the existence of criminal acts.

Key Words : Corruption Criminal Act, Function of SABP.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi ini good governance merupakan tuntutan

dalam setiap sendi kehidupan. Istilah good governance dapat diartikan

terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik. Untuk mencapai

good governance hal yang harus dipenuhi adalah adanya transparansi

atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktivitas baik ekonomi,

politik, sosial dan penegakan hukum. Dari sisi ekonomi, menurut penulis

salah satu indikator adanya keterbukaan dan akuntabilitas tersebut adalah

tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi dalam aktivitas

ekonomi pada berbagai tingkatan pelaku ekonomi. Semakin tinggi tingkat

keterbukaan dan akuntabilitas dari aktivitas ekonomi maka seharusnya

semakin rendah pula kemungkinan KKN yang terjadi.

Penelitian ini mencoba memaparkan fungsi Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi

Selatan dalam perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan

Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat dan melihat kemungkinan auditor

BPKP menjadi salah satu “pillars of integrity” dalam gerakan anti korupsi di

Indonesia khususnya di Propinsi Sulawesi Selatan dan Barat.


Secara objektif harus diakui bahwa pemerintah Indonesia telah

berupaya untuk menuju terciptanya good governance. Upaya tersebut

dapat dilihat dari kebijakan deregulasi dan debiroktisasi sejak pertengahan

tahun 1980-an. Deregulasi diarahkan dengan mengurangi dan atau

menghilangkan berbagai peraturan yang dirasa menghambat kegiatan

perekonomian. Secara khusus pemerintah menghilangkan berbagai

peraturan yang menghambat kegiatan ekspor. Berbagai kebijakan

deregulasi di bidang ekonomi nampak jelas menunjukkan orientasi

pemerintah yang berubah dari inward oriented menuju outward oriented.

Sejalan dengan kebijakan tersebut maka pengembangan sektor industri

juga diarahkan untuk produk-produk bertujuan ekspor.

Kebijakan debirokratisasi dilakukan dengan cara mengurangi atau

memangkas proses birokrasi. Sebagai contoh proses perijinan

diperpendek dan atau dipermudah. Dengan kebijakan tersebut

masyarakat atau investor diharapkan memperoleh kemudahan untuk

memperoleh ijin untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pemerintah juga

mengembangkan sistem administrasi satu atap sehingga masyarakat

memperoleh pelayanan yang lebih baik dari pihak birokrasi.

Kelemahan yang sangat mencolok dalam proses tercapainya good

governance selama ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. Korupsi

dapat dikatakan merajalela terutama di kalangan birokrasi pada instansi

publik atau lembaga pemerintah baik departemen maupun non

departemen. Korupsi biasanya terjadi disertai dengan tindakan kolusi dan


nepotisme, kemudian di Indonesia dikenal dengan nama istilah KKN

(korupsi, kolusi dan nepotisme).

Praktik KKN yang terjadi diantaranya dapat dilihat dari hasil

pemeriksaan reguler BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan. Hasil

pemeriksaan tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 107 (seratus tujuh)

laporan hasil perhitungan kerugian negara yang menyebabkan kerugian

negara senilai milyaran rupiah. Menurut BPKP indikasi KKN pada instansi

pemerintah tersebut dapat diketahui dari adanya penyimpangan prosedur

pengadaan barang dan jasa, pembayaran yang melebihi prestasi kerja,

pekerjaan fiktif, mark up dan pemberian pekerjaan pada pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa penyelewengan korupsi

begitu merajalela. Secara teoritis terjadinya korupsi dipengaruhi oleh

faktor permintaan dan faktor penawaran.

Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan

otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu

dari sistem perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di

bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi

karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di

kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, (4)

transparansi dari peraturan dan hukum.


Untuk dapat memberantas korupsi sehingga upaya terwujudnya good

governance dapat lebih cepat tercapai maka perlu dukungan dan upaya

dari berbagai pihak. Untuk itu perlu diciptakan sistem akuntabilitas yang

efektif. Dalam hal ini pengambil kebijakan harus memfokuskan usaha

mereka mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut :

1. Para pemegang posisi kunci di lembaga eksekutif dan pelayanan

masyarakat harus memperkuat institusi publik.

2. Para politisi dan pegawai negeri harus secara kolektif

bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan komitmen pemerintah.

3. Para politisi dan birokrat pada umumnya harus lebih responsif

terhadap kebutuhan perusahaan-perusahaan milik swasta maupun

milik negara.

4. Seluruh warga negara, sektor swasta, media dan masyarakat sipil

harus di didik dan diberdayakan untuk meningkatkan akuntabilitas

sektor publik.

Selanjutnya agar akselerasi sistem akuntabilitas publik dapat lebih

cepat tercapai, maka diperlukan komitmen dan integritas dari berbagai

pihak yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan

korupsi merupakan salah satu upaya untuk menegakkan paradigma good

governance.

The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan

berbagai pihak dalam rangka memberantas korupsi, telah

memperkenalkan konsep yang disebut “Pillars Of Integrity”. Konsep


mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8

(delapan) lembaga yaitu :

1. Lembaga eksekutif;

2. Lembaga parlemen;

3. Lembaga kehakiman;

4. Lembaga-lembaga pengawas;

5. Media;

6. Sektor Swasta;

7. Masyarakat sipil;

8. Lembaga-lembaga penegakan hukum.

Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain kantor-

kantor auditor, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang

termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri

dan asosiasi profesional. Organisasi kemasyarakatan, lembaga

keagamaan dan LSM termasuk dalam pilar masyarakat sipil. Pilar tersebut

tentunya bisa diperluas menurut kondisi masing-masing negara. Di

Indonesia misalnya, mahasiswa tentu dapat dimasukkan sebagai salah

satu pilar integritas.

Dari 8 (delapan) lembaga tersebut diatas, Auditor BPKP dapat masuk

ke lembaga-lembaga pengawas karena pada umumnya auditor

merupakan anggota Internal Auditor Indonesia (IAI). Organisasi IAI

merupakan organisasi profesional karena itu dapat masuk pula ke pilar

sektor swasta. Dengan demikian salah satu anggota IAI adalah Auditor
BPKP. IAI mempunyai potensi yang besar untuk menjadi pilar ke-9 dari

“Pillars Of Integrity” di Indonesia. Anggota IAI merupakan auditor yang

profesional yang tergabung dalam kantor auditor atau akuntan publik. Ada

atau tidaknya korupsi dalam suatu kegiatan ekonomi dapat diketahui dari

hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Auditor keuangan. Dengan

demikian jelas, ada tidaknya suatu penyelewengan keuangan sangat

tergantung dari pekerjaan dan kesimpulan yang direkomendasikan oleh

lembaga auditor. Di Indonesia, ada tidaknya korupsi pada institusi

pemerintah secara formal diketahui dari laporan yang dikeluarkan oleh

BPKP atau kantor akuntan publik yang ditunjuk.

Adapun kedudukan BPKP dalam “Pillars Of Integrity” tersebut dapat

dimasukkan dalam pilar keempat yaitu lembaga-lembaga pengawas, hal

ini disebabkan BPKP berkedudukan sebagai auditor internal Pemerintah.

Sebagai auditor internal pemerintah, BPKP menekankan fokus kinerja

pada tiga hal besar yaitu pemerintah (governance), manajemen resiko

(risk management) dan kontrol internal (internal control). BPKP sudah

mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)

dan sejauh ini telah diimplementasikan dan disosialisasikan di berbagai

pemerintahan. BPKP telah mengembangkan konsep manajemen resiko

termasuk melakukan sosialisasi melalui workshop dan media lainnya,

serta membantu implementasi manajemen resiko lainnya di beberapa

BUMN. BPKP juga selalu peduli pada pentingnya pengendalian internal di

berbagai kegiatan misalnya dalam proses pengadaaan barang dan jasa.


Masyarakat umum menganggap bahwa kinerja lembaga

pengawasan yang efektif adalah jika banyak kasus korupsi diungkap dan

pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Perlu diketahui bahwa

lembaga pengawasan internal pemerintah hakikatnya merupakan usaha

preventif berupa mengawal pemerintah secara intensif melalui

pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik, penanganan resiko

yang akurat dan implementasi pengendalian internal yang baik disetiap

kegiatan pemerintahan.

Audit yang dilakukan BPKP yang temuannya terdapat indikasi

merugikan negara sudah memenuhi salah satu unsur korupsi yakni unsur

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan unsur

lain, seperti unsur melawan hukum dan unsur merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara. Jadi tinggal mencari apakah pada

perbuatan tersebut terdapat unsur sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Berhubungan dengan hasil audit investigatif di wilayah hukum

Propinsi Sulawesi Selatan. Jumlah pelaksanaan audit sesuai dengan

permintaan penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat pada

BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan selama tahun 2010 sampai

tahun 2011 adalah sebanyak 22 (dua puluh dua) kasus dan total nilai

kerugian negara adalah Rp. 9.076.301.663,86. (sembilan milyar tujuh

puluh enam juta tiga ratus satu ribu enam ratus enam puluh tiga rupiah

delapan puluh enam sen). Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, BPKP

juga mengklaim mendorong optimalisasi anggaran. Upaya ini mampu


menyelamatkan anggaran negara mencapai Rp. 17.356.095.547,17.

(tujuh belas milyar tiga ratus lima puluh enam juta sembilan puluh lima ribu

lima ratus empat puluh tujuh rupiah tujuh belas sen).

Peran Kejaksaan sebagai penyidik tindak pidana korupsi pada

hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana, artinya

fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan

hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum

pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara

nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau

konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan

hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu

tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana

oleh pihak pembuat perundang-undangan, tahap kebijakan aplikatif

sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap

kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat

eksekusi hukum.

Suatu hal yang dipahami dari uraian diatas adalah sangat urgennya

kedudukan penyidik Kejaksaan dalam mengungkapkan suatu tindak

pidana korupsi. Akan tetapi selain sumber daya manusia dari Kejaksaan

yang terbatas serta dibutuhkannya alat bukti dalam mengungkapkan

tindak pidana korupsi maka penyidik Kejaksaan membutuhkan lembaga

lain yang memiliki kompetensi dalam melakukan tugas audit investigasi.


Salah satu lembaga yang memiliki kompetensi di bidang audit investigasi

tersebut adalah BPKP.

Selain bertugas memberikan bantuan penyelidikan dan penyidikan

terhadap adanya indikasi kerugian negara maka hasil audit investigasi

yang dilakukan auditor BPKP juga berfungsi sebagai alat bukti bagi

penyidik Kejaksaan. Hal ini disebabkan karena hasil audit investigasi

tersebut merupakan suatu surat yang menjelaskan tentang telah

terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan dibuat oleh lembaga yang

benar-benar kualifait di bidangnya. Selain hasil audit yang dapat dijadikan

sebagai alat bukti, maka keberadaan auditor BPKP juga dapat dimintakan

keterangannya dan dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Kenyataan ini memberikan konstribusi bahwa kerjasama antara

Kejaksaan dengan BPKP amat sangat penting dalam menemukan

kebenaran terhadap suatu hal yang diperkirakan berindikasi merugikan

keuangan negara atau telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana korupsi.

Dengan demikian sistem peradilan pidana dalam rangka

penyelenggaraannya sebagaimana dimkasud oleh KUHAP harus

merupakan kesatuan yang bergerak secara terpadu. Dalam hal usaha-

usaha untuk menanggulangi tindak pidana yang sesungguhnya terjadi di

dalam masyarakat.

Penulis dalam suatu persidangan perkara tindak pidana korupsi di

Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan, pernah menghadirkan


Auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan untuk memberikan

keterangan Ahli, dimana pada saat itu Hakim Ketua bertanya mengenai

perbedaan antara BPKP dan BPK, kemudian Auditor BPKP menjelaskan

fungsi BPKP, sehingga penelitian ini dianggap menarik karena penulis

ingin melihat bagaimana fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi

Sulawesi Selatan dan Barat, bentuk koordinasi dan kerjasama antara

Kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian keuangan

negara untuk kasus tindak pidana korupsi. Karena beberapa kasus

memberikan fakta akan adanya koordinasi yang harus dibangun antara

BPKP dengan Kejaksaan, karena seringkali ada kesan bahwa beberapa

kasus hanya mengakui BPKP sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat

menentukan besarnya kerugian negara. Hal ini terbukti dari banyaknya

perkara korupsi di Kejaksaan yang berkas perkaranya belum lengkap

karena menunggu hasil audit BPKP.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah di uraikan di atas, maka penulis

merumuskan masalah pokok yang akan diteliti dalam tesis ini, sebagai

berikut yaitu :

1. Bagaimanakah kedudukan hukum hasil audit dalam sistem pembuktian

tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini ?


2. Apakah kendala dalam pelaksanaan fungsi audit investigasi BPKP
Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dalam pengungkapan tindak
pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
dan Barat ?
C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum hasil audit dalam sistem

pembuktian tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini.

2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan fungsi audit investigasi

BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dalam pengungkapan

tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi

Selatan dan Barat.

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Akademis / Teoritis


Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya dan juga bagi

yang berminat untuk meneliti lebih lanjut. Dari sudut penerapannya

dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan

pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat

gencar dilakukan oleh Pemerintah dengan memaksimalkan fungsi dan

wewenang sampai pada mekanisme koordinasi antara BPKP dan

Kejaksaan dalam menangani suatu perkara tindak pidana korupsi.


2. Manfaat Praktis

2.1. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

Pemerintah agar segera merumuskan peraturan perundang-

undangan yang untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh

masing-masing lembaga khususnya BPKP dan Kejaksaan dalam

rangka memaksimalkan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga

tersebut dalam rangka mendukung upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan

karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi

ketidakkonsistenan fungsi BPKP. Karena terkadang hasil audit

investigasi BPKP tidak dapat dijadikan alat bukti karena hasil audit

investigasi BPKP bukan merupakan audit yang hasilnya dapat

dijadikan dasar untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih

merupakan tindakan pengawasan (bukan pemeriksaan) yang

bersifat preventif, yaitu merupakan laporan pertanggungjawaban

kepada presiden. BPKP sebagai pengawas internal memberikan

peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Sedangkan untuk

Kejaksaan, penelitian ini dianggap penting karena sebagaimana

diketahui bahwa Kejaksaan sebagai salah satu pilar penting dalam

upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga Kejaksaan

harus melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik .

2.2. Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan

dan akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan


kesadaran hukum anti korupsi dan kesadaran hukum untuk

berperan memberantas korupsi.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat

khususnya dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan

kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya terhadap

political will pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori-Teori

1. Teori Negara Hukum

Amanat konstitusi Republik Indonesia yang terkandung dalam jiwa

bangsa (volkgeist) tercermin dalam dasar negara yakni Pancasila, sebagai

sumber dari segala sumber hukum dan merupakan dasar negara atau

staatfndamentalnorm. Pancasila meletakkan pondasi dasar dan


kedudukan Indonesia sebagai negara hukum. Konsep negara hukum

dalam konstitusi Negara Republik Indonesia juga dijabarkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pasal yang menyatakan bahwa Indonesia

merupakan negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berdasarkan

kekuasaan belaka (Machstaat).

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menerangkan bahwa

pemerintahan berdasar atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak

bersifat absolutisme (kekuasaan belaka), karena kekuasaan eksekutif dan

administrasi, di Indonesia berada dalam satu tangan, yaitu ada pada

Presiden maka administrasi harus berdasar atas sistem konstitusional

tidak bersifat absolut. Artinya administrasi dalam menjalankan tugasnya

dibatasi oleh peraturan perundangan.

Pemikiran tentang negara hukum itu sendiri mulai hadir dari konsep

yang dihadirkan oleh filsuf Yunani kuno, Plato. Plato dengan konsepnya

bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan pada

pengaturan hukum yang baik, yang disebut oleh Plato sebagai “nomoi”.

Konsep/ide tersebut kemudian berkembang pada abad ke-17, sebagai

akibat dari situasi di eropa pada saat itu yang didoniminasi oleh

kekuasaan yang bersifat otoriter dan cenderung absolutisme.

Konsep Negara Hukum atau Rule of Law merupakan konsep negara

yang ideal untuk saat ini, walaupun konsep negara hukum tersebut,

seringkali dijalankan dalam konsep yang berbeda-beda. Pengakuan

kepada suatu negara sebagai negara hukum (government by law)


sangatlah penting, Karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak

terbatas. Diperlukan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan

kekuasan negara dan politik tersebut, untuk menghindari timbulnya

kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dalam negara hukum,

pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan

dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun.

Dalam sistem negara hukum, hukum memainkan peranannya yang

sangat penting, dan berada di atas kekuasaan negara dan politik,

sehingga muncullah istilah “pemerintah di bawah hukum” (government

under the law). Kelahiran konsep negara hukum dimaksudkan sebagai

usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara, agar tidak

menyalagunakan kekuasaan untuk melakkan penindasan terhadap

rakyatnya (abuse of power, abuse de droit), sehingga dalam sistem

negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum secara sama,

yakni tunduk kepada hukum yang adil. Sehingga istilah semua orang

sama di depan hukum atau Equaltity before the law (Equality under the

law), merupakan hal yang fundamental dalam sistem atau tatanan negara

hukum.

Negara hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur

berdasarkan hukum yang berlaku, yang berkeadilan yang tersusun dalam

suatu konstitusi, di mana semua orang dalam negara tersebut, baik yang

diperintah maupun yang memerintah harus tunduk kepada hukum yang

sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan dihadapan hukum


tanpa membedakan suku, agama ras, gender, daerah maupun

kepercayaan. Kewenangan pemerintah untuk tidak bertindak secara

sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat. Karenanya rakyat

diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.

Albert Venn Dicey dalam Introduction to Study of The Law of The

Constitution, mengemukakan tiga arti the rule of law, pertama, supremasi

absolute atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh

dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif

atau discretionary power yang luas dari pemerintah, Kedua persamaan di

hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan

kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Hal

ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum. Baik pejabat

maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang

sama, tidak ada peradilan administrasi negara.

Konsep yang ketiga menurut AV Dicey adalah konstitusi yang

merupakan hasil dari ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi

bukanlah sumber, melainkan merupakan suatu konsekuensi dari hak

individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Singkatnya,

prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen

sedemikian diperluas hingga membatasi posisi crown dan pejabat-

pejabatnya. Implementasi atas negara hukum di Indonesia itu sendiri telah

dengan jelas dituangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945,

pada bagian umum, sub bagian sistem pemerintahan negara pada angka I
yang menyebutkan Indonesia berdasarkan negara Hukum atau yang kita

kenal dengan Rechtstaat.

Mencermati uraian mengenai paham Negara Hukum rechtstaat, the

rule of law dan Negara Hukum Indonesia, dapat dikatakan bahwa ketiga

paham negara hukum ini bermuara pada satu pengertian dasar bahwa hal

yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan yang berlandaskan

hukum dan semua orang sama di depan hukum. Sehingga Negara hukum

akan selalu menempatkan hukum sebagai dasar kekuasan negara, dan

penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuk kekuasaan

negara tersebut haruslah senantiasa dilakukan dalam kerangka kekuasan

hukum dan bukan dalam kerangka kekuasan negara. Karena Negara

selalu harus berdasarkan kerangka hukum itu sendiri.

Bahwa dalam suatu negara hukum, pemerintah harus senantiasa

memberikan jaminan adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya

tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus

senantiasa mendapatkan perhatian yakni, menciptakan keadilan,

kemanfaatan atau hasil-guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum.

Tujuan pokok dari hukum adalah menciptakan ketertiban. Kepatuhan

terhadap ketertiban adalah syarat pokok untuk masyarakat yang teratur.

Tujuan hukum yang lainnya adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai

keadilan, pergaulan antara manusia dalam masyarakat harus

mencerminkan kepastian hukum.


Konsep negara hukum seringkali dipandang sebagai konsep negara

pelaksana aturan perundang-undangan, sehingga pola pikir tersebut

melahirkan pemikiran normatif semata (das sollen) dengan mengindahkan

faktor empirisnya (das sein). Negara hukum haruslah dipahami tidak

sekedar sebagai pelaksanaan aturan perundang-undangan, melainkan

harus dipahami secara komprehensif, bahwa negara hukum merupakan

aktualisasi dari keinginan yang tumbuh dan hidup serta berkembang

dalam masyarakat itu sendiri.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

mengharapkan diterapkannya hukum jika terjadi suatu peristiwa. Itulah arti

kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan Justiciable

dari tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat

mendapatkan sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharapkan kepastian. Dengan kepastian hukum,

masyarakat akan menjadi lebih tertib. Hukum bertugas untuk menciptakan

kepastian hukum

Kepastian hukum akan memungkinkan tercapainya tujuan hukum

yang lain, yaitu ketertiban masyarakat. Penegakan hukum harus memberi

manfaat pada masyarakat, selain menciptakan keadilan. Tujuan hukum

menjadi tujuan hukum dan isi dari suatu negara hukum modern.

Indonesia, sebagai salah satu negara hukum modern, memiliki tujuan

hukum untuk mencapai keadilan, kepastian hukum dan kesejahterahan

bagi rakyatnya.
Bahwa dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum

sosial, negara berkewajiban untuk mewujudkan kesejahterahan bagi

seluruh rakyatnya. Baik kesejahterahan sosial maupun kesejahterahan

ekonomi. Ciri negara berkesejehterahan atau negara hukum sosial (social

rechstaat) adalah negara berupaya mensejahterahkan rakyatnya dan

memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada rakyat.

2. Teori Pengawasan

Istilah Pengawasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “awas”

sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi. Dalam arti

melihat sesuatu dengan seksama. Namun dalam perkembangannya,

pengawasan mempunyai berbagai kegiatan yang ditujukan untuk

menjamin segala aktivitas berjalan sesuai dengan rencana yang

ditetapkan.

Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen. Menurut

Gullick fungsi manajemen terdiri dari Planning, Organizing, Staffing,

Directing, Controling, Budgeing. Sedangkan menurut Oteng Sutisna

(1993 : 175) proses dari manajemen terdiri dari pengambilan keputusan,

perencanaan, organisasi, komunikasi, koordinasi, pengawasan dan

penilaian. Dari kedua pernyataan tersebut dapat kita lihat bahwa

pengawasan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen.


Banyak para ahli yang mengemukakan pengertiannya tentang

pengawasan, salah satunya yaitu M. Moh. Rifai (1987 : 11) yang

mengemukakan bahwa :

Pengawasan mempunyai arti luas, tidak hanya dalam arti


melihat/memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya,
tetapi mengandung juga arti “mengendalikan”, yaitu mengusahakan
agar kegiatan-kegiatan benar-benar sesuai dengan rencana dan
tertuju kepada pencapaian hasil yang telah ditentukan. Karena itulah
Pengawasan diartikan sebagai kontrol. Kontrol dapat didefenisikan
sebagai “suatu proses yang mengusahakan agar kegiatan-kegiatan
suatu organisasi terbimbing dan terarahkan kepada tujuan yang telah
direncanakan”.

Pengertian diatas mengartikan Pengawas dititik beratkan pada

proses kontrol yang dilakukan oleh organisasi terhadap pelaksanaan

program-programnya. Organisasi ini membandingkan perencanaan

program dengan kerjanya sesuai dengan tujuan organisasi yang telah

ditetapkan. Tentunya kondisi ini mampu menjamin organisasi untuk

mengetahui posisi kerjanya yang dilakukan dan akan memberikan dampak

terhadap terwujudnya rencana program. Uraian tersebut pula diperkuat

oleh pendapat Oteng Sutisna yang mengemukakan bahwa :

Dalam literatur manajemen, pengawasan diartikan sebagai proses


pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dimaksudkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan
dan kesalahan-kesalahan, kemudian membetulkannya dan
mencegah perulangannya. Pengawasan dalam konsep ini berkaitan
dengan orang, kegiatan dan benda.

Sesuai dengan pengertian Pengawasan yang dikemukakan

sebelumnya mengartikan Pengawasan sebagai proses pengamatan yang


dilakukan terhadap aktivitas organisasi sehingga diperoleh keyakinan

bahwa kegiatan organisasi dapat dilaksanakan sesuai dengan

semestinya. Hal ini disebabkan karena dalam pengamatan tersebut

nantinya organisasi akan selalu mengendalikan dan menangani apabila

ada kendala-kendala yang ditemui. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa

pengawasan ini diarahkan pada orang yang merupakan sumber daya

manusia, kegiatan yang merupakan program organisasi dan benda yang

merupakan sumber daya material organisasi.

Dari pengertian-pengertian yang diungkapkan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa Pengawasan merupakan proses pengamatan atau

penelaah yang dilakukan organisasi terhadap aktivitasnya yang tengah

dilakukannya sehingga diperoleh suatu kepastian bahwa program

organisasi dapat dilakukan seuai dengan apa yang telah direncanakan.

Menurut Murdick, (Nanang Fattah, 2004 : 101) yang mengemukakan

bahwa :

Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap


diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi.
Proses dasarnya meliputi tiga tahap yaitu : (1) menetapkan standar
pelaksanaan; (2) pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibanding
standar; (3) menentukan kesenjangan antara pelaksanaan dengan
standar dan rencana.

Maka dalam pengertian diatas pengawasan adalah pembinaan,

pengendalian dan penertiban aparatur.

Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tanggal 4 Oktober 1983

Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa : “Pengawasan bertujuan mendukung


kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintah dan

pembangunan”.

Tujuan pengawasan bisa dikatakan sebagai upaya membandingkan

kondisi yang seharusnya dengan kondisi kenyataannya yang ada

sehingga nantinya diikuti dengan tindakan pembentulan atau pengarahan

sampai akhirnya tindakan organisasi sesuai dengan apa yang

seharusnya.

Wujud dan aktivitas perangkat kendali adalah berbagai jenis

pengawasan internal maupun eksternal. Dapat pula dilakukan secara

struktural maupun fungsional, mencakup pemeriksaan, pembinaan dan

evaluasi.

Apapun jenis pengawasan yang dikembangkan, tujuan akhir

pengawasan tetap berlaku yaitu untuk mencegah penyimpangan-

penyimpangan dari rencana institusional sehingga mekanisme peran-

peran dalam organisasi tetap terjaga ke arah pencapaian tujuannya.

Menurut Oteng Sutisna (1993 : 240) proses tindakan pengawasan

terdiri dari empat langkah, yaitu :

1. Menetapkan suatu kriteria atau standar pengukuran/penilaian;

2. Mengukur/menilai perbuatan (performance) yang sedang atau sudah

dilakukan;

3. Membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan

menetapkan perbedaannya jika ada;


4. Memperbaiki penyimpangan dari standar dengan tindakan perbaikan.

Jadi, pengawasan menyarankan adanya tujuan dan rencana.

Semakin jelas, lengkap dan terkoordinasi rencana semakin lengkap

pengawasan adminstratif yang bisa dijalankan. Pengawasan yang ideal,

seperti perencanaan pada hakikatnya melihat ke depan, sistem

pengawasan yang paling baik memperbaiki penyimpangan-penyimpangan

dari rencana sebelum terjadi. Cara kedua sesudah yang terbaik itu adalah

mendeteksi penyimpangan-penyimpangan bila itu terjadi.

Pelaksanaan pekerjaan di lingkungan instansi pemerintahan

memerlukan adanya pengawasan yang secara institusional yang

bertujuan antara lain agar semua komponen sistem bergerak secara

koordinatif dan sinergik menuju ke satu arah pencapaian tujuan secara

efektif dan efesien. Dalam jangka pendek, pengawasan dilakukan untuk

mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lingkungan

organisasi yang dalam jangka panjang berdampak terhadap produktivitas

organisasi.

Oteng Sutisna (2003 : 241) merangkumnya dalam tiga langkah

proses pengawasan yaitu : (a) menyelidiki apa yang sedang dilakukan; (b)

membandingkan hasil-hasil dengan harapan; (c) menyetujui hasil-hasil itu

atau tidak.

Sebagai tindak lanjut lebih jelasnya langkah-langkah dalam proses

pengawasan sebagai berikut :


a. Identifikasi penyimpangan, yaitu upaya mengevaluasi kegiatan-

kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan.

b. Membandingkan standar dengan kenyataan, segala pelaksanaan yang

terjadi dibandingkan dengan ukuran-ukuran (standar) sesuai dengan

rencana.

c. Penilaian prestasi, setelah memperoleh informasi mengenai

perbandingan antara standar dengan kenyataan, prestasi nyata dinilai.

d. Analisis penyebab, setelah mengetahui penyimpangan yang terjadi

maka analisis mengenai penyebab mengapa hal itu terjadi.

e. Tindakan koreksi, diprogram dan dilaksanakan untuk mengendalikan

prestasi agar sesuai dengan yang diharapkan.

Gary Dessler, dalam Sujamto (1986 : 95) mengemukakan ada tiga

kegiatan pokok dalam proses pengawasan, yaitu (1) menetapkan

beberapa jenis standar atau target; (2) mengukur performance yang

sebenarnya dengan standar yang ditetapkan; (3) identifikasi

penyimpangan dan melakukan tindakan korektif.

Sementara itu Winardi (1974) menggambarkan proses pengawasan

ke dalam empat langkah tindakan yaitu (1) menetapkan standar atau

dasar untuk pengawasan; (2) meneliti hasil yang dicapai; (3)

membandingkan pelaksanaan dengan standar dan menetapkan

perbedaaannya (bilamana ada perbedaan); (4) memperbaiki

penyimpangan dengan tindakan-tindakan korektif.


Sedangkan Stoner dalam Oteng Sutisna (1993 : 258) langkah-

langkah dalam pengawasan meliputi empat tahapan :

a. Menetapkan standar dan metode untuk mengukur prestasi. Langkah ini

dapat mencakup segala keperluan, mulai dari target yang harus

dicapai oleh setiap pegawai sampai kepada daftar standar absensi dan

keamanan. Agar dapat berfungsi secara efektif, standar tersebut harus

diperinci dalam istilah-istilah yang dapat dipahami dan diterima juga

sebagai yang akurat.

b. Mengukur prestasi. Langkah ini merupakan proses yang

berkesinambungan, repetitif (berulang-ulang), dimana prosesnya

tergantung kepada jenis aktivitas yang sedang diukur.

c. Apakah prestasi kerja memenuhi standar. Pada langkah ini berkenaan

dengan kegiatan membandingkan hasil-hasil yang telah diukur dengan

sasaran atau standar yang telah ditetapkan sebelumnya, jika hasilnya

itu memenuhi standar, manajer dapat berasumsi bahwa segala

sesuatunya telah berjalan secara terkendali.

d. Mengambil tindakan korektif. Jika hasil-hasil yang dicapai tidak

memenuhi standar dan analisis menunjukan perlunya diambil tindakan.

Tindakan korektif ini dapat berupa mengadakan perubahan terhadap

satu atau lebih banyak aktivitas dalam operasi organisasi atau

terhadap standar yang telah ditetapkan semula. Yang harus

senantiasa diutamakan ialah menentukan cara-cara yang konstruktif,


agar hasil-hasil tersebut dapat memenuhi standar dan jangan

mengidentifikasi kesalahan-kesalahan yang lalu saja.

3. Teori Keuangan Negara

Lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

Negara, bagi Indonesia adalah titik awal dimulainya perombakan

menyeluruh sistem pengelolaan keuangan negara baik menyangkut aspek

yuridis politis, yang mengatur hubungan hukum antara eksekutif dan

legislatif, maupun aspek administratif yang mengatur hubungan hukum

antar lembaga intra eksekutif. Sebagai legal basis, Undang-Undang

Keuangan Negara akan diikuti oleh Undang-Undang Perbendaharaan

Negara yang mengatur aspek administratif maupun Undang-Undang

Pemeriksaan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Dari sudut konsepsi, nilai-nilai baru yang dibawa oleh UU Keuangan

Negara berkaitan dengan aspek pengelolaan keuangan negara antara

lain : di bidang penyusunan anggaran berupa penerapan kinerja

(performance based), perencanaan jangka menengah (medium term

expenditures framework) dan unified budget; di bidang pelaksanaan

anggaran berupa penerapan prinsip “lets manager manage” yang lebih

memberikan fleksibilitas kepada pimpinan kementerian/lembaga untuk

mengatur anggaran kementeriannya masing-masing, tidak lagi seperti

saat ini yang kesemuanya harus diatur dan diawasi oleh Menteri

Keuangan beserta jajarannya; di bidang pengelolaan perbendaharaan

diantaranya berupa pengelolaan kas yang lebih aktif; sedangkan di bidang


pertanggungjawaban keuangan negara, pemerintah akan menyajikan

laporan yang komprehensif, akurat dan dalam waktu relatif singkat. Selain

itu, pemerintah telah menyiapkan infrastrukturnya berupa standar dan

sistem akuntasi khususnya untuk pemerintah yang disusun atas dasar

international best practice.

Berbicara tentang keuangan negara, kita tidak bisa mendefinisikan

dalam suatu defenisi tertentu, karena definisi keuangan negara bersifat

politis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara

keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan

negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut

pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD,

demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN maupun Perum (Arifin

P Soeria Atmaja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik,

dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 70)

Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas

meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN

dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit,

hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan

mempertanggungjawabkannya.

Beberapa ahli berpendapat keuangan negara dalam BUMN/BUMD

adalah sebatas saham di perusahaan itu. Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi hanya bisa diterapkan dalam penjualan saham secara melawan


hukum. Namun negara tetap bisa melakukan upaya hukum perdata

maupun pidana berdasarkan undang-undang selainnya.

Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E Sahetapy dalam Diskusi Publik

Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi mengatakan

perlu kejelasan definisi secara yuridis dalam menentukan pengertian

keuangan negara. Menurutnya pengertian keuangan negara masih

tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya Undang-Undang

Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang

Nomor : 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang

Nomor : 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan

negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 14 Tahun 2005 Tentang

Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor : 17 Tahun

2003 mendefinisikan keuangan negara adalah: “semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Berdasarkan pengertian di atas maka keuangan negara tersebut

dapat meliputi : (Muhammad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan

Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.12)

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, serta melakukan pinjaman


2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga

3. Penerimaan negara

4. Pengeluaran negara

5. Penerimaan daerah

6. Pengeluaran daerah

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain, baik berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta

hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara dan daerah

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintah, dan/atau kepentingan umum

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor : 17 Tahun 2003, menurut J.E. Sahetapy definisi keuangan negara

tersebut belum jelas, dimana pihak yang pro perluasan definisi keuangan

negara akan berpegang pada ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak

hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan Pasal 2 huruf g

Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi. Esensinya, penyertaan negara yang


dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada

dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara

maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat

diberlakukan pada pengurus BUMN. Sementara pihak yang menginginkan

penyempitan definisi keuangan negara terutama bagi BUMN,

menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor : 19 Tahun 2003

tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara

merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika kekayaan negara

telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam

ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.

Pendapat senada disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi

Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan

keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2 huruf g Undang-Undang

Keuangan Negara meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang

dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,

barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Pemahaman kedudukan keuangan negara berdasarkan ketentuan itu

menurutnya terbatas pada kekayaan yang dipisahkan, yaitu sebesar

modal yang disetor atau perubahannya. “Kalau pemerintah memegang

saham 50% maka penyertaannya 50%, jangan ditafsirkan aset BUMN

identik dengan aset negara, “jelasnya. Hekinus menambahkan

pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan negara ditafsirkan sebagai


seluruh aset BUMN/BUMD merupakan aset pemerintah. Jika demikian

berarti seluruh piutang maupun hutang BUMN/BUMD juga piutang

pemerintah dan mestinya seluruh hutang-hutang BUMN/D adalah hutang

pemerintah. Padahal, ketika suatu bagian kekayaan negara masuk pada

BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang disertakan di

dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi.

Dengan demikian, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian

negara dalam konteks BUMN/BUMD mengacu pada Undang-Undang

Nomor : 1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor :

19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

Sementara itu Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik,

Perpajakan dan kepabeanan, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan

kerancuan pengertian keuangan negara berdampak pada dunia usaha.

Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN tidak berani

mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja

perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret

pengusaha membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.

Dilain pihak Erman Radjagukguk, mengkaitkan keuangan negara

dengan kerugian negara, berkaitan dengan apakah kekayaan BUMN

merupakan keuangan negara, ia menegaskan bahwa kekayaan negara

menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN

secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan dalam

BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh Tindak pidana korupsi,
baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat berharga

dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai

Pasal 8 Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 jo Undang-undang

Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Teori Kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum

sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan

kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian

pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan

wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa

“ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule

and the ruled).

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan

yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan

dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,

sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber

disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang

berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-

kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang

diperkuat oleh Negara.


Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.

Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena

kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah

kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu

Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-

unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan;

d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar

Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara

itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja

melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan.

Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau

sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang

atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai

dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau

organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-

jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh

sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu

berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban. Dengan demikian kekuasaan

mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan

kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu

dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan

kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah

wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan

dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut

Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah

kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak

pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep

hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita

istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep

hukum publik.

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-

undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan

lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak

hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur),

tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan


memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum.

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah : Bevoegheid

wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke

bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het

bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam

hukum publik).

Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di

atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki

pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan

merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,

sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya

barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-

undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut

dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan

dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau


mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh

dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi

menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada

kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang

kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi

pelimpahan apapun dalam arti pemberian  wewenang, akan tetapi, yang

diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian

mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk

bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan

yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga

Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini

adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.

Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan

kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang

berkompeten.

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan

atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya

sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat

menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat,

tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat

(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)

untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.


Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan

delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi

tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas,

kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi

hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan

menganai kemungkinan delegasi tersebut.

Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. 
 Delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya

delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan

untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c.  Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian

tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. 
 Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut;

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan

instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan


didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa

sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)

pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan

organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan

oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa

kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.

B. Istilah Pidana, Korupsi Dan Audit Investigasi

1. Pidana

Istilah “pidana” berasal dari bahasa Sansekerta (dalam bahasa

Belanda disebut straf dan dalam bahasa Inggris disebut penalty) yang

artinya “hukuman”. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya

kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. Masalah tindak pidana

merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa

dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ

ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai,

struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia

untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena

tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat

dikurangi atau diminimalisir intensitasnya.

Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama

sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat

dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena


tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna.

Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang

berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak

mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul

berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak

pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada

ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana

sebagai alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri.

Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat

penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan

yang telah ditentukan dapat dicapai.

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bila dilihat dari

filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo

menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia

merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu

perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis

kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

Menurut Moeljatno istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf”

merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak

setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in


konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno

mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka “strafrechts”

seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti

” diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

2. Korupsi

Korupsi dari bahasa latin Corruptio = Penyuapan; Corruptore =

Merusak, gejala dimana para pejabat, badan-badan negara

menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan

serta ketidakberesan lainnya.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan

merusak. Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral,

sifat dan keadaan yang busuk dalam jabatan suatu instansi atau aparatur

pemerintah, penyelewengan kekuasan dalam jabatan karena pemberian,

faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke

dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.

Sebelum suatu bangsa melakukan suatu tindakan untuk

penanggulangan korupsi, ada baiknya apabila terlebih dahulu pemerintah

dari bangsa yang bersangkutan mencari lebih dahulu faktor-faktor apa

sebenarnya yang menyebabkan atau mendorong timbulnya korupsi di

negara tersebut, sehingga nantinya tindakan yang diambil tersebut

merupakan tindakan yang tepat.


Tindakan korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku

korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor

penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, juga berasal dari

situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan

korupsi.

Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa

penyebab korupsi, yakni :

a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang

makin meningkat;

b. Latar belakang kebudayaan atau kultur indonesia yang merupakan

sumber atau sebab meluasnya korupsi;

c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan

efesien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;

d. Modernisasi pengembiakan korupsi.

Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan

oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam

bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi” antara lain :

1. Aspek Individu Pelaku

a. Sifat Tamak Manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya

miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut

sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk


memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam

itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang kurang kuat

Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda

untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan,

teman setingkat, bawahannya atau pihak lain yang memberikan

kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya

memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi

maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai

cara. Tetapi bila segala uoaya dilakukan ternyata sulit didapatkan,

keadaan semcam ini yang akan memberi peluang besar untuk

melakukan tindakan korupsi, baik itu untuk keperluan di luar

pekerjaan yang seharusnya.

d. Kebutuhan hidup yang mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami

situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka

ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya

dengan melakukan korupsi.

e. Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup

seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak


diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka

peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk

memnuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah

dengan korupsi.

f. Malas atau tidak mau bekerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan

tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan

potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah

dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan

melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di

lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur ditengah

masyarakat. Situasi paradoks ini menandakan bahwa ajaran agama

kurang diterapkan dalam kehidupan.

2. Aspek Organisasi

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal

mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin

tidak bisa memberikan keteladanan yang baik di hadapan

bawahannya, misalnya berbuat korupsi maka kemungkinan besar

bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan

atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap

anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik,

akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai

kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,

seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

c. Sistem akuntabilitas yang benar di instasnsi pemerintah yang

kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan

jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan

dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode

tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi

pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut

berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah

kurangnya perhatian pada efesiensi penggunaan sumber daya

yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang

kondusif untuk praktif korupsi.

d. Kelemahan sistem pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak

pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin

longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan

semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di

dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi

yang dilakukan segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat

tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan

berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, korupsi

bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat

menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini

seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya

darimana kekayaan itu didapatkan.

b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi.

Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan

dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang

rugi oleh korupsi adalaha negara. Padahal, bila negara rugi, yang

rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran

pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap

korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang

disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat

sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan

cara-cara terbuka namun tidak disadari.


d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah

dan diberantas bila masyarakat ikut aktif. Pada umumnya

masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggungjawab

pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa

diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

e. Aspek peraturan perundang-undangan korupsi mudah timbul

karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-

undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang

monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas

peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang

disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang

tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi

dan revisi peraturan perundang-undangan.

Evi Hartanti menyebutkan faktor lainnya yang menyebabkan korupsi

adalah :

1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;

2. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan

dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi;

3. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya sekarang kasus-kasus

korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh koruptor yang memiliki

kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang

sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat;


4. Kemiskinan, pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para

pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan,

sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan

para konglomerat;

5. Tidak adanya sanksi yang keras;

6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi;

7. Struktur pemerintahan.

3. Audit Investigasi

Pemeriksaan adalah terjemahan dari bahasa asing “Audit”. Dalam

keuangan Negara banyak digunakan istilah, seperti operational audit,

financial audit dan program audit. Operational audit berarti pemeriksaan

ditempat obyek pemeriksaan (ditempat instansi yang harus diperiksa)

termasuk pemeriksaan dokumen, buku-buku dan sebagainya. Financial

audit adalah suatu pemeriksaan yang khusus ditujukan kepada transaksi

keuangan dan dimaksudkan untuk memperoleh kepastian bahwa berbagai

transaksi keuangan tersebut adalah benar, artinya dilakukan dengan

jumlah yang semestinya dan sesuai dengan undang-undang dan

peraturan. Program audit adalah suatu pemeriksaan yang dimaksudkan

untuk menilai hasil suatu kegiatan atau usaha.

Adanya istilah yang beraneka ragam dalam pemeriksaan keuangan

Negara atau perekonomian Negara, maka di Indonesia disepakati untuk

menggunakan pemeriksaan operasional. Pemeriksaan ini diadakan atas

pertimbangan pragmatis belaka. Pemeriksaan operasional adalah


penilaian yang bebas, selektif dan analitis mengenai suatu program atau

kegiatan dengan maksud :

1. menilai efesiensi, efektivitas dan keekonomian dalam penggunaan

sarana yang tersedia.

2. mengenali aspek-aspek yang penting guna perbaikan.

3. Evaluasi mendalam terhadap aspek tersebut dan memaparkan

perlunya perbaikan serta mengemukakan saran.

Pemeriksaan operasional menekankan pada penilaian atas cara-cara

manajemen mengelola sumber daya dan daya untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan bagi suatu program kegiatan yang mencakup :

1. pemeriksaan keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-

undangan.

2. penilaian terhadap efesiensi, efektivitas dan keekonomian dalam

penggunaan sarana yang tersedia.

3. evaluasi terhadap manfaat dari hasil program

Pemeriksaan operasional dalam pelaksanannya mendeteksi seluruh

kegiatan, mulai adanya usulan atau prarencana, rencana definitif

pelaksanaan dan pemanfaatan hasilnya. Jadi menelusuri setiap sendi-

sendi kegiatan atau seluruh fungsi manajemen untuk mengangkat

permasalahan kepermukaan yang menurut pertimbangannya adalah

beralasan sekali untuk dikomunikasikan kepada para pemakai informasi

yaitu pengambil keputusan. Permasalahan inilah yang menurut istilah


pemeriksaan operasional disebut dengan temuan hasil pemeriksaan (audit

finding).

Proses yang paling penting adalah pengembangan temuan agar

mantap untuk diteruskan kepada pemakai informasi. Pengembangan

temuan merupakan pengumpulan dan sistesis informasi khusus yang

bersangkutan dengan program atau kegiatan yang diperiksa, dievaluasi

dan dianalisis karena diperkiran akan menjadi perhatian dan berguna bagi

pemakai informasi. Pengembangan temuan, dapat diketahui kondisi yang

sebenarnya, kriteria atau tolok ukurnya, penyimpangan yang terjadi

apabila kondisi dan kriteria dibandingkan dengan hubungan kausalnya,

komentar atau tanggapan dari obyek yang diperiksa, baik sebagai

informasi tambahan atau pelengkap maupun sebagai counter balance dari

tanggapan yang diterima baru kemudian memberi rekomendasi yang

menurut keyakinannya merupakan jalan pemecahan yang paling baik

yang dapat berupa teguran terhaap kegiatan yang sedang berjalan, upaya

perbaikan pada masa yang akan datang serta pencegahannya.

Undang-Undang Nomor : 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 1 ayat (1)

mengatur bahwa Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,

analisis, evaluasi dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional

berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan,

kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara


Pengertian Audit investigasi adalah audit untuk mengenali dan

mengidentifikasi kasus penyimpangan dalam rangka pembuktian atas

dugaan penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara serta

ketaatannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan ruang lingkup audit investigasi adalah kegiatan/perbuatan

yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan/kekayaan negara

dan/atau perekonomian negara, termasuk di dalamnya mengenai siapa

yang melaksanakan kegiatan/perbuatan, dimana dan kapan

kegiatan/perbuatan tersebut dilakukan serta bagaimana cara melakukan

kegiatan/perbuatan tersebut.

Perwujudan pelaksanaan audit investigasi sebagaimana

dimaksudkan tentang peran BPKP dalam melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh

dari :

1. Temuan audit regular atas adanya penyimpangan yang berindikasi

merugikan keuangan negara. Audit ini dilakukan berdasarkan program

kerja pemeriksaan tahunan BPKP. Pengembangan pendalaman

temuan pada audit reguler akan dilakukan dengan audit investigasi.

2. Pengaduan masyarakat, baik yang langsung ditujukan ke BPKP pusat

maupun ke perwakilan BPKP Propinsi Sulawesi Selatan.

3. Permintaan audit investigasi dari instansi pemerintah BUMN dan

BUMD.

4. Permintaan audit investigasi dari instansi pemerintah lainnya.


5. Permintaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

6. Permintaan dari instansi Penyidik (Kepolisian dan Kejaksaan). Dalam

kategori ini setiap adanya temuan indikasi korupsi yang ditemukan oleh

Penyidik Kejaksaan maka audit investigasi tetap dimintakan kepada

BPKP.

C. Tugas Dan Fungsi Pokok BPKP Dan BPK

Salah satu lembaga negara yang memiliki peran terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi selain Kejaksaan, Kepolisian,

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP). BPKP berdiri pada tahun 1983 berdasarkan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 31 Tahun 1983. BPKP

merupakan lembaga pemerintah non departemen yang berfungsi sebagai

auditor internal pemerintah yang berkedudukan dibawah Presiden dan

bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Dasar hukum BPKP adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor : 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi dan

kewenangan serta susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah

non departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir

dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor : 64 Tahun 2005.

Sesuai dengan pasal 52 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001

tersebut, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di

bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi :

((BPKP, Lakip Tahun 2012 Nomor : LAP-132/PW21/1/2013 Tanggal 16

Januari 2013, hlm.2)

1. Penyiapan rencana dan program kerja pengawasan.

2. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja

negara dan pengurusan barang milik kekayaan negara.

3. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja

daerah dan pengurusan barang milik kekayaan daerah.

4. Pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pemerintahan yang

bersifat strategis dan/atau lintas departemen lembaga wilayah.

5. Pemberian asistensi penyusunan laporan akuntabilitas kinerja

pemerintah pusat dan daerah.

6. Evaluasi atas laporan akuntabilitas kinerja pemerintah pusat dan

daerah.

7. Pemeriksaan terhadap badan usaha milik daerah, pertamina, cabang

usaha pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak kerja sama, badan-

badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,

pinjaman bantuan luar negeri yang diterima pemerintah pusat dan

badan usaha milik daerah atas permintaan daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Evaluasi terhadap pelaksanaan good corporate governance dan

laporan akuntabilitas kinerja pada badan usaha milik negara,

pertamina, cabang usaha pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak


kerja sama, badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan

pemerintah.

9. Investigasi terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan negara,

badan usaha milik negara dan badan-badan lain yang di dalamnya

terdapat kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan

kelancaran pembangunan, pemberian bantuan pemeriksaan terhadap

instansi penyidik dan instansi pemerintah lainnya.

10. Pelaksanaan analisis dan penyusunan laporan hasil pengawasan serta

pengendalian mutu pengawasan.

11. Pelaksanaan administrasi perwakilan BPKP.

Salah satu bidang yang ada dalam organisasi BPKP dan memiliki

peranan dalam melakukan tugas dan fungsi BPKP memberantas tindak

pidana korupsi adalah bidang investigasi. Bidang investigasi yang

merupakan salah satu bidang pada perwakilan BPKP mempunyai tugas

melaksanakan penyusunan rencana, program dan pelaksanaan

pemeriksaan terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan negara,

badan usaha milik negara dan badan-badan lain yang didalamnya

terdapat kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan

kelancaran pembangunan dan pemberian bantuan pemeriksaan pada

instansi penyidik dan instansi pemerintah lainnya.

Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempunyai tugas

pokok sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal

23 ayat 5, adalah memeriksa tanggungjawab tentang keuangan-keuangan


negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006

pemeriksaan BPK meliputi semua Anggaran Pendapatan Dan Belanja

Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan

anggaran perusahaan-perusahaan milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang

pada hakekatnya seluruh kekayaan negara.

Untuk mengoptimalisasikan kinerja BPKP, maka BPKP memiliki

perwakilan di tingkat Propinsi. Saat ini BPKP memiliki 25 perwakilan di

tingkat Propinsi. Organisasi dan tata kerja perwakilan BPKP ditetapkan

dengan Keputusan Kepala BPKP Nomor : Kep-06.00.00-286/K/2001

tanggal 30 Mei 2001.

D. Mekanisme Hubungan Kerja Antara BPKP, BPK


Dengan kejaksaan

Kerjasama BPKP dengan Kejaksaan Republik Indonesia dilandasi

dengan petunjuk pelaksanaan bersama Jaksa Agung dan BPKP Nomor :

Juklak-C01/JA/2/1989 dan Kep-145/K/1989 tentang upaya memantapkan

kerjsama Kejaksaan Republik Indonesia dan BPKP dalam penanganan

kasus yang berindikasi korupsi.

Petunjuk pelaksanan tersebut secara umum mengatur tentang

kerjsama Kejaksaan Republik Indonesia dan BPKP dalam bidang pidana

sebagai berikut :

a. Umum

- Apabila berdasarkan hasil ekspose intern telah diyakini adanya

indikasi kuat terpenuhinya unsur tindak pidana korupsi, tanpa


menunggu diterbitkannya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP

melaporkannya kepada kejaksaan untuk dilakukan penyelidikan. Hal

ini dilakukan dengan cara pihak BPKP menyerahkan data awal ke

Kejaksaan dan selanjutnya dilakukan pembahasan bersama

(ekspose ekstern).

- Kerjasama dengan Kejaksaan dapat dilakukan apabila Kejaksaan

meminta bantuan BPKP untuk melakukan pemeriksaan atau

perhitungan kerugian keuangan negara.

- Untuk memantapkan bahan penyelidikan dan/atau penyidikan

Kejaksaan dan BPKP melakukan kerjasama sejak tahap

penyelidikan, baik menyangkut analisis/diskusi, interogasi maupun

upaya melengkapi data/bukti.

b. Pembahasan bahan awal

- Dalam rangka pembahasan bahan awal, kepala BPKP

Pusat/Perwakilan mengundang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana

Khusus/Kepala Kejaksaan Tinggi setempat cq. Asisten Tindak

Pidana Khusus untuk hadir dalam kegiatan ekspose ekstern.

- Ekspose ekstern dengan Kejaksaan ditujukan untuk melakukan

analisis bersama terhadap kasus penyimpangan yang dianggap oleh

BPKP berindikasi tindak pidana korupsi dan dimaksudkan untuk

memantapkan temuan BPKP, hasil yang bisa dicapai sebagai

berikut :
(1) Kesepakatan bahwa kasus tersebut telah berindikasi tindak

pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971

jo. Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor : 20 Tahun 2001. Dalam hal ini BPKP segera membuat

dan menerbitkan laporan hasil pemeriksaan khusus yang

disampaikan kepada kejaksaan.

(2) Kesepakatan bahwa kasus tersebut belum berindikasi tindak

pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971

jo. Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor : 20 Tahun 2001, karena masih memerlukan data

tambahan atau pemantapan awal. Dalam hal ini Kejaksaan, akan

menunjukkan secara jelas unsur dan bukti yang masih harus

dilengkapi. BPKP melengkapi bukti tersebut dengan melakukan

pemeriksaan tambahan dan BPKP dapat meminta bantuan

Kejaksaan bila terdapat keterbatasan kewenangan. Bila bukti

telah lengkap, BPKP membuat laporan Hasil Pemeriksaan

Khusus bentuk Bab dan disampaikan kepada Kejaksaan.

(3) Kesepakatan bahwa kasus tersebut tidak berindikasi tindak

pidana korupsi, maka dapat ditempuh upaya :

 Penuntutan melalui jalur perdata, BPKP menerbitkan LPHK

bentuk Bab dan disampaikan ke Kejaksaan.

 Penututan menurut ketentuan PP Nomor 30 tahun 1980,

BPKP menerbitkan LPHK bentuk surat dengan Berita Acara


Pemeriksaan Khusus (BAPK) kepada pimpinan instansi yang

berwenang mengenakan PP Nomor 30 Tahun 1980.

(4) Terdapat perbedaan pendapat antara Kejaksaan dan BPKP

yang tidak mungkin dipertemukan. Dalam hal ini kedua belah

pihak segera melaporkan kepada atasan masing-masing untuk

memperoleh keputusan di tingkat atasan.

(5) Kejaksaan tidak memberikan pendapat dalam waktu satu bulan

setelah pemaparan atau penyampaian data awal. Dalam hal ini,

deputi bidang pengawasan khusus/kepala perwakilan BPKP

segera menerbitkan LHP dengan mengungkapkan masalah yang

terjadi setelah sebelumnya mengusahakan langkah tindak lanjut

dalam rangka pengamanan keuangan negara.

c. Peranan BPKP dalam tahap penyelidikan

- Berdasarkan kesepakatan yang menyatakan bahwa kasus telah

berindikasi tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor : 3

Tahun 1971 jo. Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor : 20 Tahun 2001 dan dilengkapi dengan LHPK yang

diterima dari BPKP, Kejaksaan melaksanakan penyelidikan dan sejak

awal mengikutsertakan unsur BPKP.

- Hasil penyelidikan didiskusikan dan dianalisis bersama antara

Kejaksaan dan BPKP, agar :

(1) BPKP dapat mengikuti proses perkembangan penanganan kasus,

memahami permasalahan yang ada dan memberi dukungan.


(2) Kejaksaan dapat memahami sistem administrasi keuangan yang

biasanya menjadi sumber pelanggaran hukum.

- Hasil penyelidikan ada tiga kemungkinan yaitu :

(1) Cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Dalam hal ini, Kejaksaan segera melakukan penyidikan dan sejak

awal mengikutsertakan unsur BPKP.

(2) Belum cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan ke tahap

penyidikan karena masih memerlukan data tambahan. Dalam hal

ini Kejaksaan segera melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan

tetap mengikutsertakan BPKP, untuk menghindarkan

pengambilan kesimpulan hasil penyelidikan yang terlalu dini.

Setelah dasar dan alasan cukup maka Kejaksaan segera

melakukan penyidikan dan sejak awal mengikutsertakan unsur

BPKP.

(3) Tidak cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan ke tahap

penyidikan maka Kejaksaan mendiskusikannya dengan BPKP,

sebelum melakukan penghentian penyelidikan. Penghentian

penyelidikan ini hanya dapat dilakukan setelah mendapat

persetujuan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Bila

ada novum, kasus tersebut dapat dibuka kembali.

- Terhadap kasus yang dihentikan penyelidikannya dapat ditempuh

upaya sebagai berikut :


(1) Upaya penuntutan melalui jalur perdata. Dalam hal ini dilakukan

analisis bersama melalui ekspose ekstern dengan Jaksa Agung

Muda Perdata dan Tata Usaha Negara/Kepala Kejaksaan Tinggi

cq. Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, lalu BPKP

menerbitkan LHPK bentuk Bab yang disampaikan ke Kejaksaan.

(2) Bila pada kasus tersebut terdapat perbuatan pelanggaran disiplin

pegawai negeri maka diterbitkan LHPK bentuk Bab untuk

disampaikan ke instansi dan pejabat/pimpinan yang berwenang.

(3) Bila pada kasus tersebut hanya terdapat unsur pelanggaran

disiplin pegawai negeri maka diterbitkan LHPK bentuk surat

dengan lampiran BAPK untuk disampaikan kepada pimpinan

instansi yang berwenang mengenakan sanksi.

(4) Apabila tidak terdapat pelanggaran apapun maka BPKP

menerbitkan LHPK bentuk surat sebagai dasar untuk

menghentikan penanganan kasus tersebut.

- Bila tidak ada kesepakatan antara BPKP dengan Kejaksaan maka

kedua belah pihak segera melaporkan kepada atasan masing-

masing untuk memperoleh keputusan di tingkat atasan.

d. Peranan BPKP dalam tahap penyidikan

- Berdasarkan kesepakatan tentang hasil penyelidikan yang

menyimpulkan bahwa kasus tersebut memiliki kecukupan dasar dan

alasan untuk dilakukan penyidikan maka Kejaksaan melaksanakan

penyidikan dan sejak awal mengikutsertakan unsur BPKP.


- Hasil penyidikan ada dua kemungkinan yaitu :

(1) Cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan.

Dalam hal ini Kejaksaan segera melakukan pemberkasan dan

melimpahkan perkaranya ke Pengadilan.

(2) Tidak cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan ke tahap

penuntutn sehingga penyidikan dihentikan. Dalam hal ini

Kejaksaan mendiskusikannya dengan BPKP. Bila telah sepakat

bahwa memang tidak cukup dasar dan alasan untuk ditingkatkan

ke tahap penuntutan maka Kejaksaan akan meminta persetujuan

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus agar dilakukan

penghentian penyidikan.

- Terhadap kasus yang dihentikan penyidikannya apabila mungkin

dapat ditempuh upaya seperti yang telah diuraikan dalam huruf c di

atas. Apabila tidak ada kesepakatan antara BPKP dan Kejaksaan

maka kedua pihak melaporkan ke atasan masing-masing untuk

memperoleh keputusan ditingkat atasan. Keputusan yang dihasilkan

oleh forum pertemuan masing-masing atasan pada hakikatnya akan

menghasilkan :

(1) Keputusan bahwa kasus tersebut cukup dasar dan alasan untuk

ditingkatkan ke tahap penuntutan.

(2) Keputusan bahwa kasus tersebut tidak cukup dasar dan alasan untuk

ditingkatkan ke tahap penuntutan sehingga penyidikan dihentikan.

e. Peranan BPKP dalam tahap penuntutan (Persidangan)


- Didalam tahap penuntutan, BPKP tidak mungkin bertindak sebagai

saksi sebab salah satu persyaratan untuk bertindak sebagai saksi

dalam persidangan adalah ia harus mengalami, melihat dan

mendengar sendiri terjadinya kasus seperti termaktub dalam pasal 1

butir 26 KUHAP.

- Dalam pelaksanaan bantuan pemeriksaan atau pelaksanaan bantuan

penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,

pejabat BPKP pada umumnya mendasarkan pelaksanaan tugas

tersebut kepada bukti-bukti catatan dan meminta keterangan dari

yang diduga terlibat dalam kasus. Dengan kata lain, pelaksanaan

tugas BPKP tersebut dilakukan setelah kasus terjadi.

- Sehubungan dengan hal tersebut, BPKP hanya mungkin bertindak

sebagai pemberi keterangan ahli, kecuali dalam pelaksanaan

tugasnya, ia mendengar, melihat dan mengalami sendiri kejadian

tersebut sehingga terpenuhi syarat menjadi saksi. Hal ini dijelaskan

dalam surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus kepada

seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi di Indonesia Nomor : R-549/F/

Fpy.2/12/1987 tanggal 19 Desember 1987.

- Pejabat BPKP yang bertindak sebagai pemberi keterangan ahli

ditunjuk oleh penanggungjawab pemeriksaan berdasarkan

kecakapan dan kemampuan yang dimiliki serta tidak harus yang

telah melakukan tugas pemeriksaan di lapangan. Tata cara

penunjukan pejabat yang akan memberi keterangan ahli diatur dalam


surat Deputi Kepala BPKP bidang Pengawasan Khusus kepada

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : S-564/D.VII/1990

tanggal 15 Mei 1990 dan surat Kepala BPKP Nomor : S-282/K/85

tanggal 29 Juli 1985.

Mekanisme kerja yang dijalankan oleh pihak penyidik Kejaksaan

apabila penyidik Kejaksaan bekerjasama dengan Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) dalam melakukan penyidikan perkara tindak pidana

korupsi diatur dalam kesepakatan bersama BPK dan Kejaksaan Nomor :

01/KB/I-VIII.3/07/2007 dan Nomor : KEP-071/A/JA/07/2007 tentang

Tindak Lanjut Penegakan Hukum Terhadap Hasil Pemeriksaan BPK Yang

Diduga Mengandung Unsur Tindak Pidana pada pasal 4 dan pasal 5 yakni

apabila dari hasil pemeriksaan BPK terungkap hal-hal yang diduga

mengandung unsur tindak pidana maka BPK menyerahkan hasil

pemeriksaan kepada penegak hukum termasuk Kejaksaan untuk

kemudian dilakukan pemaparan dan pembahasan bersama yang apabila

dari hasil pemaparan dan pembahasan disimpulkan terpenuhi ada bukti

permulaan yang cukup maka Kejaksaan akan melakukan penyidikan

dengan tetap melakukan koordinasi berupa pemberian keterangan ahli

atau kegiatan lain yang dipandang perlu dalam penyelesaian perkara

tindak pidana yang telah dilaporkan oleh BPK.

E. Bagan Kerangka Pikir

UU NO. 31 TAHUN 1999


UU NO. 20 TAHUN 2001
KEPPRES NO. 31 TAHUN 1983
KENDALA DALAM
KEDUDUKAN HASIL AUDIT
PELAKSANAAN AUDIT
BPKP
INVESTIGASI BPKP
- KARAKTERISTIK BUKTI AUDIT
- HASIL AUDIT SEBAGAI BUKTI - SARANA DAN
SURAT PRASARANA
- HASIL AUDIT DAN - KERJASAMA DENGAN
KETERANGAN AHLI INSTANSI YANG
- HUB KERJA BPKP DAN KEJAKSAAN DIAUDIT BELUM
DALAM PENYELESAIAN TP.KORUPSI OPTIMAL

TERWUJUDNYA FUNGSI BPKP YANG


OPTIMAL DALAM PENYELESAIAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

F. Defenisi Operasional

Dalam penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang akan di

teliti maka akan diberikan beberapa definisi beberapa konsep dasar

sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang

telah ditentukan sebagai berikut :

1. Jaksa

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana


putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)

BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah di bidang

pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Auditor BPKP

Auditor BPKP adalah pegawai pada lingkungan BPKP yang melakukan

audit untuk mengenal dan mengidentifikasi kasus penyimpangan dalam

rangka pembuktian atas dugaan penyimpangan yang dapat merugikan

keuangan negara serta ketaatannya pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

4. Auditing

Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti

tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi

yang dilakukan seorang yang berkompeten dan independen untuk

dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud

dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya

dilakukan oleh seorang yang independen dan kompoten.

5. Kerugian Negara

Kerugian negara adalah harta atau kekayaan negara yang tercantum

haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara

(JPN). Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara


yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak

maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

6. Keuangan Negara

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dititik beratkan pada pelaksanaan Fungsi BPKP

maka dipilih BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dan Kejaksaan

Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat di Kota Makassar.


B. Tipe dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian

hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang

mengacu pada norma-norma hukum positif, yang berkaitan dengan fungsi

BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan untuk membantu Kejaksaan

Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat dalam pengungkapan Tindak Pidana

Korupsi di wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat

Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana

Korupsi. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah

merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu

penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan

yang terjadi baik pada tataran hukum positif maupun empiris tetapi juga

ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen) dan

memecahkan masalah hukum yang berkaitan dengan penanganan tindak

pidana korupsi dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis

terhadap hukum dan peraturan mengenai fungsi BPKP dalam membantu

Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian


lapangan (field research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin,

pendapat atau pemikiran konseptual dan fakta dalam penelitian ini yang

berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa

peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya

ilmiah lainnya. Data sekunder tersebut diperoleh dari :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu : Peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan Kejaksaan dan BPKP dalam upaya-upaya

pemberantasan korupsi secara umum, beserta peraturan-peraturan

terkait lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan

ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu : bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus

hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang

hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data

yang diperlukan dalam penelitian ini.

Sedangkan penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk

menghimpun data primer dengan melakukan wawancara langsung

kepada narasumber dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai


pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terpimpin, agar

mendapatkan informasi yang lebih akurat sesuai dengan permasalahan

yang diteliti. Narasumber dimaksud adalah :

1. H.M Syahran Rauf, SH. MH. Kepala Seksi Penyidikan Tindak Pidana

Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat di Makassar.

2. Abidin Mengnga, SE. Auditor Ahli Madya Pengendali Teknis BPKP

Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan.

D. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen

yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan

identifikasi data atau kasus-kasus yang ada.

a. Studi dokumen atau bahan pustaka

b. Wawancara, dilakukan secara langsung kepada responden dan

narasumber, dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai

pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terpimpin, agar

mendapatkan informasi yang lebih fokus sesuai permasalahan yang

diteliti.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan

dilapangan tesebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh

Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor :


31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor : 16

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang

Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor : 31 Tahun 1983 tentang BPKP, Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor : 103 Tahun 2001 Tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata

Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berisi kaedah-kaedah

hukum kemudian dihubungkan dengan permasalahan dan

disistematisasikan sehingga mengklasifikasi yang selaras dengan

permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh

tesebut akan dianalisi secara induktif kualitatif untuk sampai pada

kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam

penelitian ini akan dijawab.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian menurut Moleong adalah proses

pengorganisasian dan mengurut data ke dalam pola, kategori dan satuan

uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema serta sesuai dengan yang

disarankan oleh data. Data yang diperoleh baik saat pengumpulan data di

lapangan maupun setelah data terkumpul, kemudian data yang terkumpul

diolah agar sistematis. Data tersebut akan diolah mulai dari mengedit

data, mengklasifikasikan, mereduksi, menyajikan dan menyimpulkan.

Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu dengan


mendeskripsikan serta menjelaskan data yang diperoleh selama penelitian

diproses dengan analisis dan teknik yang digunakan sesuai tahapan yang

dikemukakan oleh Miles dan Humbermen dalam Moleong dengan model

interaktif yang merupakan siklus pengumpulan data, reduksi data dan

sajian serta kesimpulan.

Tahapan analisa tersebut di atas adalah sebagai berikut :

a. Reduksi data : diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi

data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dari

pengumpulan data yang ada kemudian direduksi untuk

pengorganisasian data dalam memudahkan menarik

kesimpulan/verifikasi.

b. Penyajian data : sebagai sekumpulan informasi yang tersusun

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan data disajikan secara tertulis berdasarkan

kasus-kasus faktual yang saling berkaitan dan dalam penyajian data ini

digunakan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada

peranan auditor BPKP dalam mengungkapkan tindak pidana korupsi di

wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat.

Menarik kesimpulan : Proses mencari kesimpulan arti benda-

benda, mencatat keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi-

konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proporsi peneliti.

Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung


untuk mencari kesimpulan akhir tentang fungsi auditor BPKP dalam

mengungkapkan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi

Sulawesi Selatan dan Barat.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum Hasil Audit Dikaitkan Pada Hukum Formil


Sistem Pembuktian

1. Karakteristik Bukti Audit

Bukti audit adalah “semua media informasi yang digunakan oleh

auditor untuk mendukung argumentasi pendapat, atau simpulan dan

rekomendasinya dalam meyakinkan tingkat kesesuaian antara kondisi

dengan kriterianya”. Tidak semua informasi bermanfaat bagi audit, karena


itu harus dipilih, yaitu audit yang handal sehingga meyakinkan pihak lain.

Kehandalan bukti audit tergantung dari terpenuhinya syarat-syarat bukti

audit.

Sedangkan pendapat lain mengatakan “bukti audit adalah segala

informasi yang mendukung angka-angka atau informasi lain yang disajikan

dalam laporan keuangan yang dapat digunakan oleh auditor sebagai

dasar untuk menyatakan pendapatnya.

Bukti audit ini menghasilkan audit yang menginformasikan kepada

pemakai informasi mengenai apa yang dilakukan oleh auditor dan

kesimpulan yang diperolehnya. Dari sudut pandang pemakai laporan

dianggap sebagai produk utama dari proses pengauditan.

Kenyataan memberikan gambaran bahwa yang dijadikan bukti

tersebut adalah media informasi yang dipergunakan oleh auditor untuk

melakukan tugasnya dalam mengaudit. Sedangkan hasil audit adalah

merupakan kesimpulan dari hasil pekerjaan audit itu sendiri. Dari hasil

kesimpulan ini maka akan dapat diterjemahkan telah terjadinya tindak

pidana korupsi atau tidak. Sedangkan yang diangkat sebagai bahan bukti

adalah informasi atau keterangan yang dipergunakan oleh auditor dalam

melakukan tugas pengauditan serta hasil audit itu sendiri. Hal ini

berdasarkan Pasal 187 huruf c KUHAP.

Tentang syarat-syarat bukti audit tersebut ada empat yaitu :

1. Relevan
Bukti yang relevan maksudnya adalah bukti yang secara logis

mempunyai hubungan dengan permasalahannya. Bukti yang tidak ada

kaitannya dengan permasalahan (kondisi) tentu tidak ada gunanya

karena tidak dapat dipakai guna mendukung argumentasi, pendapat

atau simpulan dan rekomendasi dari auditor. Relevannya bukti dapat

dilihat dari satu persatu informasi. Informasi sekecil apapun harus

relevan dengan permasalahannya.

2. Kompeten

Kompeten tidaknya suatu bukti dipengaruhi oleh sumber bukti, cara

mendapatkan bukti dan kelengkapan persyaratan yuridis bukti

tersebut. Dilihat dari sumbernya bukti tentang kepegawaian yang

didapat dari bagian kepegawaian lebih kompeten dibanding dengan

bukti yang didapat dari pihak lain, bukti yang jelas sumbernya lebih

kompeten dari bukti yang didapat dari sumber yang tidak jelas. Bukti

buatan pihak luar (bukti ekstern) pada umumnya lebih kompeten dari

bukti buatan auditan (bukti intern).

Dilihat dari cara auditor mendapatkan bukti, bukti yang didapat auditor

dari pihak luar auditan lebih kompeten daripada bukti yang didapat dari

auditan, bukti yang didapat melalui pengamatan langsung oleh auditor

sendiri lebih kompeten dari bukti yang didapat melalui pihak lain.

Dilihat dari persyaratan yuridis, bukti yang ditandatangani, distempel,

ada tanggal, ada tanda persetujuan dan lain-lain lebih kompeten dari

bukti yang tidak memenuhi syarat hukum. Bukti asli lebih meyakinkan
daripada fotocopyan. Bukti yang dilegalisir oleh auditan lebih kompeten

daripada fotocopyannya.

Ada suatu pandangan bahwa Sistem Pengendalian Manajemen (SPM)

menentukan pula kehandalan bukti. Bukti yang didapat dari suatu

organisasi yang memiliki SPM yang baik lebih dapat diandalkan

daripada bukti-bukti yang didapat dari organisasi yang SPM-nya

kurang baik. Kompeten atau tidaknya bukti dilihat dari satu persatu

bukti. Ada bukti yang kompetensinya tinggi dan ada bukti yang

kompetensinya rendah.

3. Cukup

Bukti yang cukup berkaitan dengan jumlah kuantitas dan atau nilai

keseluruhan bukti. Bukti yang cukup berarti dapat

mewakili/menggambarkan keseluruhan keadaan/kondisi yang

dipermasalahkan.

4. Material

Bukti yang material adalah bukti yang mempunyai nilai yang cukup

berarti dan penting bagi pencapaian tujuan organisasi. Materialitas

atau keberartian tersebut dapat dilihat antara lain dari :

a. Besarnya nilai uang atau yang bernilai uang besar.

b. Pengaruhnya terhadap kegiatan (walaupun nilainya tidak

seberapa).

c. Hal yang menyangkut tujuan audit.


d. Penting menurut peraturan perundang-undangan (selisih kas tidak

boleh terjadi, karena itu seandainya terdapat selisih kas berapapun

besarnya harus dicari sebab-sebabnya).

e. Keinginan pemanfaatan laporan.

f. Kegiatan yang pada saat audit dilakukan sedang jadi perhatian

umum.

Syarat-syarat bukti audit relevan, kompeten, cukup dan material

tidak sendiri tetapi merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Bukti audit

agar dapat mendukung kesimpulan/pendapat auditor harus mengandung

unsur relevan, kompeten, cukup dan material. Bukti yang relevan, cukup

dan material tidak ada gunanya bila tidak kompeten. Bukti yang kompeten

tidak ada gunanya bila tidak relevan. Bukti yang relevan dan kompeten

tidak ada gunanya bila tidak cukup mewakili.

Bukti audit dapat dibedakan dalam beberapa jenis atau golongan

sebagai berikut :

1. Bukti fisik

Bukti fisik adalah bukti yang diperoleh melalui pengamatan

langsung dengan mata kepala auditor sendiri menyangkut harta

berwujud. Pengamatan langsung oleh auditor dilakukan dengan cara

inventarisasi fisik (dikenal pula dengan sebutan opname) dan inspeksi

ke lapangan (on the spot). Hasil pengamatan fisik oleh auditor tersebut

dikukuhkan ke dalam suatu media pengganti fisik yaitu Berita Acara


Pemeriksaan Fisik, Hasil Inspeksi Lapangan, Foto, Surat Pernyataan,

Denah Lokasi atau Peta Lokasi dan lain-lain.

Pengamatan fisik dapat dilakukan untuk menyakinkan mengenai

keberadaannya (kuantitaf) dan mutu (kualitatif) dari aktiva berwujud.

Namun kehandalannya sangat tergantung dari kemampuan auditor

yang bersangkutan dalam memahami harta berwujud yang diaudit.

Misalnya, seorang auidtor yang ditugaskan menguji fisik berbagai jenis

obat, tentu saja tidak efektif apabila auditor tersebut sama sekali tidak

memahami obat-obatan. Di dalam keadaan tertentu hasil pengamatan

fisik saja belum sepenuhnya dapat dipakai untuk mengambil

kesimpulan audit, karena itu perlu didukung dengan bukti yang lain.

2. Bukti dokumen

Bukti audit yang paling banyak ditemuai oleh auditor adalah bukti

dokumen. Bukti dokumen pada umumnya tersebut dari kertas yang

mengandung huruf, angka dan informasi, serta simbol-simbol dan lain-

lain. Bukti dokumen pada umumnya bernebtuk lembaran-lembaran

kertas baik berdiri sendiri maupun yang digabungkan.

Dalam menilai atau mengevaluasi bukti dokumen, auditor

sebaiknya memperhatikan pengendalian intern sumber dokumen

tersebut dan terpenuhinya persyaratan yuridis. Kelemahan sistem

pengendalian manajemen memungkinkan dokumen mengandung


kesalahan atau kelalaian yang tidak disengaja, tetapi tidak tertutup

kemungkinan terjadinya dokumen palsu yang dibuat oleh karyawan

yang tidak jujur. Makin mudah dokumen dibuat, tanpa prosedur

pengendalian manajemen yang baik, makin besar kemungkinan

dokumen itu mengandung kesalahan dan atau kecurangan. Jika sistem

pengendalian manajemen lemah, auditor tidak sepenuhnya

mempercayai bukti dokumen tetapi harus menambah pengujian

dengan dokumen lain.

Dilihat dari sumbernya, bukti dokumen dapat berupa :

a. Bukti intern yang aslinya telah diserahkan ke pihak ketiga (antara

lain bukti kas masuk).

b. Bukti ekstern yang aslinya ada di auditan (antara lain bukti kas

keluar faktur).

c. Bukti yang didapat auditor langsung dari pihak ketiga (antara lain

rekening koran bank).

d. Bukti audit yang masih disimpan auditan (antara lain anggaran,

prosedur, tembusan dokumen).

Bukti dokumen akan lebih handal antara lain apabila :

a. Bukti yang dibuat oleh pihak luar yang bebas.

b. Bukti yang diterima auditor langsung dari pihak ketiga, tidak melalui

auditan.

c. Dokumen intern yang telah berada di pihak ketiga (ekstern).


Dalam bukti dokumen termasuk bukti catatan. Bukti catatan

adalah bukti yang berbentuk buku-buku atau catatan yang disengaja

dibuat untuk kepentingan auditan. Bukti dokumen digunakan sebagai

sumber pencatatan (buku-buku), atau sebaliknya dari catatan (buku-

buku) dapat digunakan sebagai dasar pembuatan dokumen. Dari

catatan selanjutnya dapat dibuat pertanggungjawaban atau

akuntabilitas atau laporan berbagai bentuk. Karena itu catatan juga

merupakan bukti yang penting sebagai pembanding atau penguji

kewajaran bukti lainnya dan pertanggungjawaban.

3. Bukti analisis

Yang termasuk bukti analisis adalah bukti analisis dan bukti

perhitungan. Bukti analisis adalah bukti audit yang diperoleh auditor

dengan melakukan analisis atas data-data auditan dan yang berkaitan

dengan auditan. Dalam hal ini auditor dapat menggunakan rumus-

rumus atau lazimnya dikenal dengan nama rasio-rasio yang telah

dikenal di dalam masyarakat. Auditor menguji kesesuaian rasio

tersebut dengan kondisi yang ada di auditan. Dengan demikian analisis

termasuk salah satu teknik audit.

Bukti perhitungan adalah bukti yang didapat atau dihasilkan dari

perhitungan yang dilakukan oleh auditor sendiri. Auditor membuat

hitung-hitungan mengenai sesuatu hal berdasarkan pengetahuannya

atau kriteria yang berlaku. Perhitungan yang dilakukan oleh auditor

digunakan antara lain untuk menguji perhitungan yang telah dibuat


oleh auditan. Bukti perhitungan dicantumkan pula dalam media tertulis

(dokumen).

4. Bukti keterangan

Yang termasuk bukti keterangan adalah bukti kesaksian, bukti

lisan dan bukti spesialis (ahli). Bukti kesaksian adalah bukti peyakin

yang didapat dari pihak lain karena diminta oleh auditor. Peyakin

maksudnya adalah untuk mendukung bukti-bukti lain yang telah

didapatkan oleh auditor, biasanya bukti fisik, bukti dokumen, atau bukti

lisan, kemudian dilengkapi dengan bukti kesaksian.

Bukti lisan adalah bukti yang didapat oleh auditor dari orang lain

melalui pembicaraan secara lisan. Orang lain tersebut mungkin berasal

dari luar auditan maupun dari pihak auditan sendiri. Informasi lisan ini

perlu dicatat oleh auditor dengan seksama termasuk nara sumbernya.

Banyak informasi lisan yang didapat oleh auditor tetapi pihak

yang memberikan informasi tidak bersedia memberikan pernyataan

tertulis yang ditandatanganinya.

Bukti spesialis adalah bukti yang didapat dari tenaga ahli, baik

seorang pribadi maupun suatu instansi atau institusi yang memiliki

keahlian yang kompeten dalam bidangnya. Tenaga spesialis yang

dapat digunakan adalah semua profesi seperti ahli pertambangan,

dokter, ahli purbakala, ahli pertanian, ahli hukum, ahli perbankan dan

sebagainya. Untuk memenuhi syarat kompetensi bukti audit, maka


kompetensi tenaga spesialis tersebut harus terjamin, betul-betul ahli

yang diakui oleh umum.

2. Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat

Pembuktian memegang peranan yang cukup signifikan pada

suatu proses penegakan hukum pidana, karena alat bukti didasarkan atas

suatu perbuatan yang dituduhkan pada seorang tersangka dan terdakwa.

Dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya

suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. Hukum acara pidana

mengatur tentang beberapa alat bukti, yakni Pasal 184 KUHAP, Pasal 185

KUHAP (keterangan saksi), Pasal 186 KUHAP (keterangan ahli), Pasal

187 KUHAP (surat), Pasal 188 KUHAP (petunjuk), Pasal 189 KUHAP

(keterangan terdakwa). Pada pembuktian perkara tindak pidana korupsi

berpedoman pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999. Alat-alat bukti sebagaimana dirumuskan di dalam KUHAP

tersebut menjadi pegangan aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan

hakim) untuk menemukan dan mencari kebenaran materil dengan

mengumpulkan bukti yang melalui bukti ini akan membuat terang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam rangka

penanganan tindak pidana korupsi secara represif yang diberikan oleh

undang-undang mensyaratkan kepada Kejaksaan untuk menemukan


bukti. Peran penyidik Kejaksaan yang merupakan bagian dari criminal

justice system terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi harus juga

didasarkan pada pencapaian suatu usaha untuk melakukan

pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi dan tetap

mengarahkan secara terpadu seluruh komponen Kejaksaan.

Prinsip Hukum Acara Pidana yang didasarkan kepada beberapa

sistem pembuktian yang dianut. Pada sistem peradilan pidana indonesia

mengandung pembuktian negatif lebih dominan untuk penanganan suatu

peristiwa pidana. Konsekuensi yang timbul adalah penekanan pada alat

bukti yang cukup untuk dimulainya proses sistem peradilan pidana

(penekanan pada pembebanan pembuktian).

KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya

dua pasal yakni Pasal 184 dan secara khusus pada Pasal 187. HIR juga

demikian, secara khusus diatur dalam tiga pasal saja, yakni Pasal 304,

305 dan 306. Walaupun hanya tiga pasal yang isinya hampir sama

dengan Pasal 187 KUHAP, dalam Pasal 304 HIR, disebutkan bahwa

aturan tentang nilai kekuatan dari alat bukti surat pada umumnya dan

surat resmi (openbaar) dalam hukum acara perdata harus diturut dalam

hukum acara pidana. Dengan demikian, mengenai surat-surat pada

umumnya (surat dibawah tangan) dan surat-surat resmi (akta otentik)

mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus menurut

hukum acara perdata. Tetapi ketentuan seperti pasal 304 HIR ini tidak ada

dalam KUHAP.
Dulu ketika HIR masih berlaku, berdasarkan pasal 304 HIR ini

praktik hukum perkara pidana mengenai penggunaan dan penilaian alat

bukti surat dapat meniru pembuktian dengan alat bukti surat dalam hukum

acara perdata. Artinya, pembuktian dengan surat dalam hukum acara

perdata berlaku pula pada pembuktian dengan surat dalam perkara

pidana, tetapi sekarang dengan berlakunya KUHAP sudah tidak lagi.

Segala sesuatunya diserahkan pada kebijakan hakim, dengan alasan

bahwa alat-alat bukti dalam perkara pidana adalaha merupakan alat bukti

bebas. Tidak ada suatu alat buktipun yang mengikat hakim, termasuk akta

otentik dan penilaiannya diserahkan kepada hakim.

Memang, prinsip hukum pembuktian dalam hukum acara pidana

berbeda dengan pembuktian hukum acara perdata, mengingat dalam

hukum pembuktian perkara pidana diperlukan keyakinan hakim atas dasar

minimal alat bukti, sedangkan dalam hukum pembuktian perkara perdata

tidak diperlukan keyakinan hakim. Karena apa yang dicari dari pembuktian

dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materil, sedangkan dalam

hukum acara perdata kebenaran formil sudahlah cukup, seperti halnya

nilai alat bukti akta otentik sebagai alat bukti sempurna yang mengikat

hakim. Dengan didapatnya kebenaran materil dari minimal dua alat bukti

yang sah, dapat lebih terjaminnya kebenaran dan tepatnya bentukan

keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa sebagai syarat untuk

menjatuhkan pidana.
Berdasarkan sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat

buktinya seperti akta otentik yang menurut hukum acara perdata adalah

alat bukti sempurna, tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu

akta otentik saja akan lumpuh kekuatan buktinya apabila tidak ditunjang

alat bukti lain, walaupun hakim yakin kebenaran dari akta otentik tersebut,

karena dalam hukum pembuktian perkara pidana diikat lagi dengan

beberapa ketentuan yakni :

1. Adanya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidak cukup

dalam perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti (Pasal

184 jo. Pasal 185 ayat 2 KUHAP).

2. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti

terbentuklah keyakinan tentang 3 hal yaitu terjadi tindak pidana,

terdakwa melakukannya dan ia dapat dipersalahkan atas

perbuatannya itu (Pasal 183 KUHAP).

Menurut Pasal 187 ada empat surat yang dapat dipergunakan

sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat di atas sumpah atau dikuatkan

dengan sumpah (Pasal 187 huruf a, b dan c), sedangkan surat yang

keempat adalah surat dibawah tangan (Pasal 187 huruf d KUHAP).

Hasil audit dapat digolongkan kepada bentuk ketiga dari Pasal

187 huruf c KUHAP. Karena surat hasil audit tersebut adalah surat yang

dibuat oleh seorang ahli yang isinya berupa pendapat mengenai hal

tertentu dalam bidang keahliannya itu yang berhubungan dengan suatu


perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan penyidik secara

resmi, seperti pada permintaan untuk melakukan audit.

Pasal 187 huruf a KUHAP adalah surat yang mengandung unsur

sebagai berikut :

1. Dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah pejabat

yang membuatnya.

2. Dibuat oleh pejabat umum atau dibuat di hadapannya.

3. Surat dalam bentuk resmi.

4. Isi suratnya adalah keterangan mengenai kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, yang disertai alasan

yang jelas dan tegas dari keterangan dalam surat itu.

Suatu yang dimaksud Pasal 187 huruf a ini misalnya, akta

perjanjian yang dibuat oleh para pihak atau dihadapan notaris berupa

partijakte. Juga akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akta

ombtelijk) seperti berita acara penyitaan yang dibuat oleh penyidik. Hasil

audit tidak dapat lagi digolongkan dalam Pasal 187 huruf a ini karena hasil

audit bukan merupakan suatu perjanjian yang diterangkan dalam suatu

akta.

Surat yang disebut Pasal 187 huruf b adalah surat-surat yang

dibuat oleh pejabat umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata

laksana (administrasi) yang menjadi tugas dari pejabat umum tersebut.

Tujuan dibuatnya surat semacam ini untuk pembuktian mengenai suatu

hal atau suatu keadaan. Misalnya, untuk membuktikan adanya perkawinan


disebut surat nikah, untuk membuktikan adanya kematian disebut akta

kematian. Hasil audit tidak dapat digolongkan dalam Pasal 187 huruf b ini

karena ia tidak masuk bidang tata laksana (administrasi) yang menjadi

tugas pejabat umum.

Sedangkan surat lain yang dimaksud huruf d sebenarnya bukan

surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi berupa

surat biasa, yang bukan merupakan akta yang dimaksud huruf a, b dan c

surat ini dibuat bukan untuk membuktikan tentang keadaan atau kejadian

tertentu, tetapi pada suatu saat diperlukan untuk membuktikan keadaan

atau kejadian tertentu. Dan hasil audit tidak dapat digolongkan dalam

surat ini karena hasil audit bukan dibuat untuk membuktikan keadaan atau

kejadian tertentu apabila diperlukan, tetapi dibuat dengan sengaja untuk

membuktikan adanya tindakan korupsi.

Surat yang dimaksud huruf d ini juga hanya mengandung nilai

pembuktian apabila isi surat itu ada hubungannya dengan isi dari alat

bukti yang lain. Artinya surat ini baru mempunyai nilai pembuktian jika

isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti lain. Jika dihubungkan

dengan syarat minimal pembuktian untuk menjatuhkan pidana, maka

sesungguhnya ketentuan harus mempunyai hubungan ini, hanya untuk

menegaskan saja. Toh surat-surat lain juga tidak bernilai jika berdiri

sendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo. Pasal 185 ayat (2)

KUHAP.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 103

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi

Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah

beberapa kali diubah dengan Keputusan Presiden :

a. Nomor : 3 Tahun 2002;

b. Nomor : 46 Tahun 2002;

c. Nomor : 30 Tahun 2003;

d. Nomor : 9 Tahun 2004;

e. Peraturan Presiden Nomor : 11 Tahun 2005; dan

f. Peraturan Presiden Nomor : 64 Tahun 2005.

Dalam pasal 52 Keputusan Presiden Nomor : 103 Tahun 2001,

disebutkan bahwa BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi :

((BPKP, Lakip Tahun 2012 Nomor : LAP-132/PW21/1/2013 Tanggal 16

Januari 2013, hlm.2)

1. Penyiapan rencana dan program kerja pengawasan.

2. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja

negara dan pengurusan barang milik kekayaan negara.

3. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja

daerah dan pengurusan barang milik kekayaan daerah.

4. Pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pemerintahan yang


bersifat strategis dan/atau lintas departemen lembaga wilayah.

5. Pemberian asistensi penyusunan laporan akuntabilitas kinerja

pemerintah pusat dan daerah.

6. Evaluasi atas laporan akuntabilitas kinerja pemerintah pusat dan

daerah.

7. Pemeriksaan terhadap badan usaha milik daerah, pertamina, cabang

usaha pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak kerja sama, badan-

badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,

pinjaman bantuan luar negeri yang diterima pemerintah pusat dan

badan usaha milik daerah atas permintaan daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Evaluasi terhadap pelaksanaan good corporate governance dan

laporan akuntabilitas kinerja pada badan usaha milik negara,

pertamina, cabang usaha pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak

kerja sama, badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan

pemerintah.

9. Investigasi terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan negara,

badan usaha milik negara dan badan-badan lain yang di dalamnya

terdapat kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan

kelancaran pembangunan, pemberian bantuan pemeriksaan terhadap

instansi penyidik dan instansi pemerintah lainnya.

10. Pelaksanaan analisis dan penyusunan laporan hasil pengawasan serta

pengendalian mutu pengawasan.


11.Pelaksanaan administrasi perwakilan BPKP.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor : 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen Pasal 54, BPKP mempunyai kewenangan :

a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.

b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan

secara makro.

c. Penetapan sistem informasi di bidangnya.

d. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah

yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan

supervisi di bidangnya.

e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi

tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya.

f. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yaitu :

1. Memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-

tempat penimbunan dan sebagainya.

2. Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku

perhitungan, surat-surat bukti, notulen rapat panitia dan sejenisnya,

hasil survei laporan-laporan pengelolaan dan surat-surat lainnya

yang diperlukan dalam pengawasan.

3. Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan


lain-lain.

4. Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik

hasil pengawasan BPKP sendiri maupun hasil pengawasan badan

pemeriksa keuangan dan lembaga pengawasan lainnya.

Bahwa akhir-akhir ini kewenangan BPKP untuk melakukan Audit

Investigasi ataupun untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan

negara dengan mengeluarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian

Keuangan Negara sering kali menjadi polemik hukum, salah satunya

adalah kasus mantan Direktur Utama PT. Indosat Mega Media (IM2) Indar

Atmanto dan kasus mantan Direktur Utama PLN Ir. Eddie Widiono

Suwondho, M.Sc. melalui Mahkamah Konstitusi yang telah di putuskan

oleh Makhamah Konstitusi (MK) Nomor : 31/PUU-X/2012 tanggal 8

Oktober 2012.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menilai

kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas

dalam peraturan perundang-undangan. BPKP merupakan salah satu

lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor : 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa BPKP

mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang

pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 52 Keppres


103/2001). Pada Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor : 60

Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan,

“Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya

disingkat BPKP, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang

bertanggungjawab langsung kepada Presiden”. Pasal 47 ayat (2) PP

60/2008 tersebut kemudian menyatakan, “Untuk memperkuat dan

menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan : a. Pengawasan intern atas penyelenggaraan

tugas dan fungsi instansi pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan

negara; dan b. Pembinaan penyelenggaraan SPIP”. Pasal 49 PP 60/2008

tersebut menyebutkan BPKP sebagai salah satu aparat pengawasan

intern pemerintah, dan salah satu dari pengawasan intern itu termasuk

audit investigatif.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dapat diartikan bahwa fungsi

BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah. Dalam hal penilaian

dan penetapan jumlah kerugian negara telah diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Pasal 10 Angka (1) menyebutkan

bahwa “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang

diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai

yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga

atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”,


sehingga penetapan perhitungan kerugian keuangan negara merupakan

tugas dari BPK.

Laporan temuan BPKP tidak dapat digunakan oleh aparat

penegak hukum untuk dijadikan sebagai dasar menilai adanya kerugian

keuangan negara, melainkan aparat penegak hukum secara institusional

terlebih dahulu harus meminta bantuan untuk melakukan perhitungan

kerugian keuangan negara barulah kemudian Hasil Perhitungan Kerugian

Keuangan Negara yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP tersebut

digunakan sebagai dasar untuk membuktikan ada tidaknya kerugian

negara.

3. Kedudukan Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat Dengan Keterangan


Ahli

Sebagaimana diuraikan pada awal pembahasan sub bab ini

bahwa hasil audit adalah hasil kerja seorang auditor yang memiliki

keahlian dibidang pekerjaannya.

Auditor yang melakukan perhitungan/audit akan diminta

keterangan ahli yang diterangkan/dituangkan dalam berita acara

pemeriksaan ahli, maka pada saat persidangan auditor akan tampil di


persidangan dan keterangan tersebut juga berfungsi sebagai alat bukti

yaitu keterangan ahli sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

Sehingga laporan auditor dan keterangan auditor pada sistem

pembuktian Pasal 184 KUHAP adalah merupakan dua alat bukti, sehingga

penyidik cukup mencari keterangan saksi yang mendukung maka hakim

sudah dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang walaupun

terdakwanya tidak mengakui perbuatannya.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana. Apa isi yang harus diterangkan

oleh ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli

mempunyai nilai tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan

bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, secara khusus ada dua

syarat dari keterangan seorang ahli ialah :

1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang

masuk dalam ruang lingkup keahliannya.

2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah

berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

Kekuatan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak

pada 2 syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-

syarat umum pembuktian dari alat-alat bukti lain, terutama keterangan

saksi.
Syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan ahli

adalah :

1. Harus didukung atau bersesuaian dengan fakta-fakta yang didapat dari

bukti lain. Suatu alat bukti hasil audit harus memiliki kesamaan dengan

alat bukti keterangan ahli dari seorang auditor. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 183 jo. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka satu-satunya

alat bukti, keterangan ahli tidaklah dapat dipergunakan sebagai dasar

untuk membentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli

bukanlah tambahan bukti seperti saksi tidak disumpah sebagaimana

saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP atau saksi anak

dan saksi yang sakit ingatan (Pasal 171). Mengapa demikian ? karena

keterangan ahli adalah merupakan alat bukti tersendiri seperti juga

alat-alat bukti lain yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Nilai

kekuatan keterangan ahli mengandung kekuatan bukti bebas, bebas

dalam menilainya, bukan mengandung nilai sempurna seperti akta

otentik bagi para pihak dalam perkara perdata (Pasal 1868

KUHperdata).

2. Keterangan ahli seorang auditor harus di atas sumpah sama dengan

alat bukti keterangan saksi Pasal 160 ayat 4 jo. Pasal 179 ayat 2).

Keterangan ahli yang diberikan di depan sidang tetap wajib disumpah,

walaupun seorang ahli telah disumpah ketika ahli akan memberikan

keterangan di tingkat penyidikan berdasarkan Pasal 120 ayat (2)

KUHAP. Hal ini wajar karena menurut Pasal 185 KUHAP keterangan
ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Oleh karena itu, sumpah di tingkat penyidikan adalah ditujukan hanya

untuk meletakkan kebenaran keterangan ahli yang diberikan di tingkat

penyidikan saja.

4. Fungsi BPKP dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.

Dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983

Tanggal 30 Mei 1983 maka Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan

Negara (DJPKN) ditransformasikan menjadi BPKP. Sebuah lembaga non

departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung

kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan

Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya

badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya

secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit

organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan

Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah

telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya

dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan

kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah

barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan

obyektif.

BPKP adalah pengawasan internal pemerintah yang menekankan

kinerja pada tiga hal besar yakni governance, risk management dan
internal control. Hal ini menjelaskan juga bahwa BPKP adalah forensic

accountant (fraud auditor).

Forensik auditing mengandalkan pada pengetahuan akuntansi

dan auditing yang dibantu dengan kemampuan melakukan penyidikan.

Forensic accountant dibekali dengan pengetahuan audit yang termasuk

dalam akuntansi. Orang yang ahli adalah orang yang dengan

keterampilannya mengerjakan suatu pekerjaan dengan cara mudah,

cepat, menggunakan intuisinya dan sangat jarang melakukan kesalahan.

Di bidang auditing, beberapa ahli menyamakan keahlian audit

dengan pengalaman audit, dan beberapa peneliti lain menggunakan

pengalaman ini sebagai variabel pendukung keahlian. Keahlian audit

adalah pengetahuan dan keahlian procedural yang luas yang ditunjukkan

dalam pengalaman audit.

Ada 5 kategori atribut personal yang ahli yaitu : (1) komponen

pengetahuan, (2) ciri-ciri psikologis, (3) kemampuan berpikir, (4) strategi

penentuan keputusan, dan (5) analisis tugas.

Pertama, komponen pengetahuan (knowledge component).

Komponen pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan

pengalaman. Kedua, ciri-ciri psikologis (psychological traits). Atribut ini

merupakan aspek lahiriah seseorang yang memiliki hal-hal personal dari

seseorang, yang meliputi kemampuan dalam berkomunikasi, kreatifitas,

dapat bekerja sama dengan orang lain dan kepercayaan terhadap


keahlian. Ketiga, kemampuan berpikir (cognitive abilities). Atribut ini

merupakan kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengolah

informasi. Salah satu contoh dari kemampuan berpikir adalah kemampuan

untuk beradaptasi pada situasi yang baru dan ambiguous yaitu

memberikan perhatian terhadap fakta yang relevan serta kemampuan

untuk mengabaikan fakta yang tidak relevan yang dapat secara efektif

digunakan untuk menghindari tekanan. Keempat, strategi penentuan

keputusan (decision strategies). Strategi penentuan keputusan baik formal

maupun informal akan membantu membuat keputusan yang sistematis

dan membantu keahlian dalam mengatasi keterbatasan manusia. Kelima,

analisis tugas (task analysis). Analisis tugas dipengaruhi oleh

kompleksitas tugas.

Seorang anggota BPKP juga harus memiliki keahlian teknis

(technical skills), keahlian teknis merupakan kemampuan dasar seorang

auditor berupa pengetahuan prosedural dan pengetahuan teknik lainnya

dalam lingkup akuntansi secara umum dan auditing. Keahlian mencakup

tiga bentuk yaitu : (1) pengetahuan akuntansi dan auditing, (2)

pengetahuan subspesial (derifative contract), dan (3) pengetahuan bisnis

secara umum. Yang termasuk dalam keahlian teknis adalah : a.

komponen pengetahuan dengan faktor-faktornya yang meliputi

pengetahuan umum dan khusus, berpengalaman, mendapat informasi

yang cukup relevan, selalu berusaha untuk tahu dan mempunyai visi. b.

Analisis tugas yang mencakup ketelitian, tegas, profesional dalam tugas,


keterampilan teknis, menggunakan metode analisis, kecermatan, loyalitas

dan idealisme.

Selain memiliki keahlian teknis seorang auditor BPKP dalam

memainkan perannya juga harus memiliki keahlian non teknis. Keahlian

non teknis adalah merupakan kemampuan dari dalam diri seorang auditor

yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan pengalaman.

Keahlian non teknis mencakup :

a. Ciri-ciri psikologis yang meliputi rasa percaya diri, tanggungjawab,

ketekunan, ulet dan enerjik, cerdik dan kreatif, adaptasi, kejujuran dan

kecekatan.

b. Kemampuan berpikir yang analitis dan logis, cerdas, tanggap dan

berusaha untuk menyelesaikan masalah, berpikir cepat dan terperinci.

c. Strategi penentuan keputusan yang mencakup independen, objektif

dan memiliki integritas. Kemampuan atau keahlian non teknis juga

mencakup kemampuan interpersonal yang meliputi kemampuan

berkomunikasi, kepemimpinan dan dapat bekerjasama serta

kemampuan relasional.

Sedangkan strategi BPKP dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi ada tiga yakni :

1. Pendekatan preventif, yaitu strategi yang diupayakan untuk mencegah,

menangkal dan mendeteksi terjadinya korupsi antara lain :

a. Mengembangkan lingkungan pengendalian yang kondusif.

b. Mengembangkan kajian resiko (risk assesment).


c. Mengembangkan aktivitas pengendalian (fraud control plan).

d. Melaporkan kejadian tindak pidana korupsi.

e. Mendidik dan melatih pegawai.

f. Mendorong dan memelihara standar perilaku yang tinggi.

g. Melaporkan kegiatan pengendalian atas kecurangan (fraud).

h. Mengembangkan aktivitas pengawasan yang tepat.

i. Kemitraan dengan instansi penyidik dan instansi pengawasan

lainnya.

2. Pendekatan investigatif, yaitu strategi yang dilakukan dalam

mengungkap kasus tindak pidana korupsi yang sudah terjadi, antara

lain :

a. Pengembangan saluran pelaporan/pengaduan.

b. Pengembangan keahlian investigasi bagi pegawai organisasi.

c. Pelaksanaan audit investigatif.

d. Pelaksanaan tugas perbantuan kepada penyidik (Kejaksaan, KPK

dan Polri).

e. Pengembangan statistik investigasi.

f. Penerapan sistem berbasis teknologi.

3. Pendekatan edukatif, yaitu strategi untuk meningkatkan kepedulian

masyarakat agar dapat berpean dalam menyelesaikan permasalahan

korupsi atau untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap

tindak pidana korupsi dilingkungannya anatara lain :


a. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum melalui media

cetak dan media elektronik.

b. Melakukan sosialisasi kepada pengambil keputusan dan

profesional meliputi politisi, anggota parlemen, PNS, penegak

hukum, akademisi dan media cetak.

c. Melakukan sosialisasi dengan generasi muda meliputi pelajar,

mahasiswa dan organisasi kepemudaan.

Hubungan kerja antara BPKP perwakilan propinsi Sulawesi

Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat dalam

penyidikan perkara tindak pidana korupsi, dimunculkan dari efektivitas

penyidikan terhadap indikasi korupsi itu sendiri. Sehingga dengan adanya

kerjasama tersebut akan lebih meningkatkan kinerja instansi terkait dalam

hubungannya dengan penyidikan korupsi.

Suatu hal yang harus dipahami dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia adalah adanya pembagian tugas dan wewenang bagi suatu

lembaga negara sehingga tugas dan wewenang tersebut dapat secara

baik dilaksanakan, serta adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

tugas tersebut seperti kurangnya tingkat kemampuan sumber daya

sehingga dibutuhkan pihak lain untuk mengurusnya. Demikian juga halnya

di bidang penyidikan korupsi, maka penyidik kejaksaan tentunya

mengalami hambatan dalam hal mengaudit catatan, angka-angka yang

akan disidiknya tentang suatu tindak pidana korupsi, maka berdasarkan

keadaan tersebut Kejaksaan membutuhkan instansi yang memiliki


kompeten terhadap pengelolaan dan pengolahan angka-angka tersebut.

Salah satu instansi yang kompeten untuk hal tersebut adalah auditor

BPKP.

Sesuai SE-853/D/VII/1995 tanggal 16 Juni 1995 tentang Bantuan

Pemeriksaan/Bantuan Tenaga Pemeriksaan BPKP kepada instansi

penyidik, ditetapkan bahwa apabila permintaan bantuan dari instansi

penyidik berupa :

1. Permintaan bantuan menghitung jumlah kerugian negara

Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab

instansi penyidik, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun

penyusunan laporannya. Petugas BPKP yang diperbantukan cukup

menyerahkan secara tertulis hasil perhitungannya dengan sebuah

nota/surat pengantar kepada instansi penyidik. Petugas BPKP juga

menembuskan nota/surat pengantar tersebut kepada atasan di BPKP

yang memberi penugasan perbantuan, sebagai tanggungjawab telah

berakhirnya penugasan. Sedangkan atasan yang bersangkutan tidak

perlu meneruskan surat tersebut ke instansi manapun.

2. Permintaan bantuan untuk melakukan pemeriksaan

Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab

BPKP, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun dalam

penyusunan laporan hasil pemeriksaannya. Oleh karena itu, sebelum

memenuhi permintaan instansi penyidik, harus diteliti dengan seksama

dan harus dipertimbangkan apakah objek yang akan diperiksa tersebut


benar-benar masih dalam kewenangan BPKP untuk memeriksanya.

Jika berada di luar kewenangan BPKP, kepada instansi penyidik agar

dimintakan perlakuan yang sama sebagaimana dijelaskan di atas.

Agar pelaksanaan tugas sebagaimana dijelaskan di atas dapat

berjalan lebih efisien dan terarah, Deputi Kepala BPKP Bidang

Pengawasan Khusus/Kepala Perwakilan BPKP terlebih dahulu meminta

data kepada instansi penyidik :

1. Resume permasalahan.

2. Kasus posisi dan modus operandi beserta uraiannya.

3. Bukti pendukung untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Di samping itu, petugas pemeriksa BPKP harus mempunyai

kebebasan penuh untuk menentukan alat/barang bukti yang perlu

diperiksa dan tidak membatasi diri hanya pada alat/barang bukti yang

diperoleh dari pihak instansi penyidik.

Ruang lingkup kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP meliputi :

1. Penerusan kasus penyimpangan yang berindikasi tindak pidana

korupsi hasil audit BPKP untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan.

2. Permintaan bantuan audit investigasi dari Kejaksaan kepada BPKP

guna memperjelas adanya tindak pidana yang berkaitan dengan

kerugian keuangan negara.

3. Permintaan keterangan ahli dari Kejaksaan kepada BPKP dalam

penyidikan tindak pidana korupsi.


4. Permintaan bantuan tenaga auditor dari Kejaksaan kepada BPKP

untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

5. Kerjasama lain yang disepakati oleh Kejaksaan dan BPKP sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Adapun proses kerjasama penyidikan kasus korupsi tersebut

adalah :

Penyidik Kejaksaan yang menerima laporan dan atau mengetahui

tentang adanya suatu perbuatan yang diduga korupsi, melakukan

serangkaian tindakan penyelidikan dengan mencari dan mengumpulkan

fakta-fakta dan bukti-bukti tentang tindak pidana korupsi tersebut. Setelah

mendapat dan memperoleh bukti/fakta tentang dugaan perbuatan

merugikan keuangan dan perekonomian negara, maka penyidik

Kejaksaan meminta bantuan kepada auditor BPKP untuk melakukan audit

untuk mengetahui apakah terdapat kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara.

Pihak BPKP setelah menerima surat permintaan bantuan dari

penyidik Kejaksaan kemudian meminta kepada penyidik untuk melakukan

ekspose/paparan tentang kasus dan bukti/fakta yang sudah diperoleh.

Setelah menerima penjelasan dan gambaran kasus didukung bukti/fakta

yang diperoleh penyidik, maka tim auditor BPKP datang ke tempat instansi

penyidik yang meminta melakukan audit atas bukti/fakta yang ada dan

melihat ke lokasi apabila dianggap perlu.


Setelah melakukan audit, maka auditor mengkaji dan kemudian

membuat Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan perhitungan kerugian

keuangan negara dan menyerahkan kepada penyidik yang bersangkutan.

Penyidik akan mempelajari hasil laporan auditor dan apabila hasil audit

menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara maka penyidik akan

menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara atau

dengan kata lain menetapkan tersangkanya, dan apabila hasil audit dari

auditor menyatakan tidak terdapat kerugian negara, berarti perbuatan

tersebut bukan tindak pidana korupsi.

Laporan hasil audit dari auditor akan berfungsi sebagai salah satu

dari lima alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 yakni alat bukti surat dan peranannya sangat

menentukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

Apabila hasil audit belum ada maka suatu kasus tidak bisa

disimpulkan perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi

dan juga tidak bisa ditetapkan seseorang sebagai tersangkanya.

Setelah penyidik menerima laporan hasil audit dari auditor BPKP,

kemudian penyidik meminta keterangan saksi dari auditor yang

bersangkutan untuk memperkuat dan menjelaskan temuannya atau hasil

auditnya dan keterangan tersebut dibuat dalam Berita Acara Pemeriksaan

Ahli dan berfungsi sebagai salah satu dari alat bukti pada Pasal 184

Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yaitu sebagai alat bukti keterangan ahli.


Sehingga dari auditor BPKP akan diperoleh dua alat bukti

ditambah dengan keterangan saksi, sehingga dengan adanya tiga alat

bukti maka sudah dapat menggiring seseorang menjadi terdakwa untuk

disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, karena menurut Pasal

183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana bahwa dengan dua alat bukti saja ditambah dengan

keyakinan Hakim sudah dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang.

Berikut ini akan dipaparkan hasil dari rekapitulasi investigasi

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan

Propinsi Sulawesi Selatan atas permintaan penyidik Kejaksaan Tinggi

Sulawesi Selatan dan Barat tahun 2008 sampai dengan 2012.

Tabel 3.1. : Permintaan Audit Investigasi dari penyidik Kejaksaan


Tinggi Sulselbar kepada Auditor BPKP Perwakilan
Propinsi Sulsel tahun 2008-2012.

Audit Investigasi Perhitungan Kerugian


No Tahun Jumlah
(AI) Keuangan Negara
(PKKN)
1 2008 4 7 11
2 2009 6 7 13
3 2010 5 15 20
4 2011 6 11 17
5 2012 8 11 19
JUMLAH 29 51 80

Sumber : Data Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Sulselbar.

Tabel 3.2. : Realisasi audit invetigasi BPKP atas permintaan penyidik


Kejaksaan Sulselbar tahun 2008-2012
No Tahun Nilai Temuan Kerugian Negara
Jumlah
Audit Investigasi PKKN
(Rupiah) (Rupiah)
1 2008 1.012.354.090,12 2.342.143.778,20 3.354.496.868,32

2 2009 2.326.678.099,16 5.953.115.784,15 8.279.793.883,31

3 2010 1.177.127.800,58 7.899.173.863,28 9.076.301.663,86

4 2011 3.070.017.242,38 3.166.034.474,31 6.236.051.716,69

5 2012 722.489.745,80 11.148.101.034,44 11.870.590.780,24

JUMLAH 8.308.666.978,04 30.508.568.934,38 38.817.235.912,42

Sumber : Data Bidang Investigasi BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi


Selatan.

Dari tabel di atas dapat dilihat audit investigasi yang dilakukan

oleh BPKP perwakilan Sulawesi Selatan telah sesuai dengan jumlah

permintaan Kejaksaan Tinggi Sulselbar. Sedangkan rata-rata permintaan

audit investigasi yang ditujukan kepada BPKP Perwakilan Propinsi

Sulawesi Selatan mengalami pasang surut. Hal tersebut terlihat dari

perubahan jumlah permintaan audit investigasi yang diajukan oleh

Kejaksaan Tinggi Sulselbar kepada Auditor BPKP Perwakilan Propinsi

Sulawesi Selatan yakni :

- Pada tahun 2010 dari permintaan untuk melakukan audit investigasi

sebanyak 5 (lima) kasus dengan nilai kerugian sebesar

Rp. 1.177.127.800,58. (satu milyar seratus tujuh puluh tujuh juta

seratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah lima puluh delapan

sen) dan perhitungan kerugian negara sebanyak 15 (lima belas) kasus


dengan nilai kerugian sebesar Rp. 7.899.173.863,28. (tujuh milyar

delapan ratus sembilan puluh sembilan juta seratus tujuh puluh tiga

ribu delapan ratus enam puluh tiga rupiah dua puluh delapan sen)

sehingga tahun 2010 jumlah kasus sebanyak 20 (dua puluh) dengan

nilai kerugian sebesar Rp. 9.076.301.663,86. (sembilan milyar tujuh

puluh enam juta tiga ratus satu ribu enam ratus enam puluh tiga rupiah

delapan puluh enam sen), mengalami kenaikan dari tahun 2009

dimana permintaan audit investigasi hanya sebanyak 6 (enam) kasus

dengan nilai kerugian sebesar Rp. 2.326.678.099,16. (dua milyar tiga

ratus dua puluh enam juta enam ratus tujuh puluh delapan ribu

sembilan puluh sembilan rupiah enam belas sen), dan perhitungan

kerugian negara sebanyak 7 (tujuh) kasus dengan nilai kerugian

sebesar Rp. 5.953.115.784,15. (lima milyar sembilan ratus lima puluh

tiga juta seratus lima belas ribu tujuh ratus delapan puluh empat rupiah

lima belas sen) sehingga tahun 2009 jumlah kasus hanya sebanyak 13

(tiga belas) dengan nilai kerugian sebesar Rp. 8.279.793.883,31.

(delapan milyar dua ratus tujuh puluh sembilan juta tujuh ratus

sembilan puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah tiga

puluh satu sen).

- Sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan yakni dari

permintaan untuk melakukan audit investigasi sebanyak 8 (delapan)

kasus dengan nilai kerugian sebesar Rp. 722.489.745,80. (tujuh ratus

dua puluh dua juta empat ratus delapan puluh sembilan ribu tujuh ratus
empat puluh lima rupiah delapan puluh sen) dan perhitungan kerugian

negara sebanyak 11 (sebelas) kasus dengan nilai kerugian sebesar

Rp. 11.148.101.034,44. (sebelas milyar seratus empat puluh delapan

juta seratus satu ribu tiga puluh empat rupiah empat puluh empat sen)

sehingga tahun 2012 jumlah kasus sebanyak 19 (sembilan belas)

dengan nilai kerugian sebesar Rp. 11.870.590.780,24. (sebelas milyar

delapan ratus tujuh puluh juta lima ratus sembilan puluh ribu tujuh

ratus delapan rupiah dua puluh empat sen), diperbandingkan tahun

2011 dari permintaan untuk melakukan audit investigasi sebanyak 6

(enam) kasus dengan nilai kerugian sebesar Rp. 3.070.017.242,38.

(tiga milyar tujuh puluh juta tujuh belas ribu dua ratus empat puluh dua

rupiah tiga puluh delapan sen) dan perhitungan kerugian negara

sebanyak 11 (sebelas) kasus dengan nilai kerugian sebesar

Rp. 3.166.034.474,31. (tiga milyar seratus enam puluh enam juta tiga

puluh empat ribu empat ratus tujuh puluh empat rupiah iga puluh satu

sen) dengan jumlah kasus sebanyak 17 (tujuh belas) sehingga jumlah

nilai kerugian negara sebesar Rp. 6.236.051.716,69. (enam milyar dua

ratus tiga puluh enam juta lima puluh satu ribu tujuh ratus enam belas

rupiah enam puluh sembilan sen).

- Tetapi permintaan investigasi mengalami penurunan pada tahun 2008

permintaan untuk melakukan audit investigasi sebanyak 4 (empat)

kasus dengan nilai kerugian sebesar Rp. 1.012.354.090,12. (satu

milyar dua belas juta tiga ratus lima puluh empat ribu sembilan puluh
rupiah dua belas sen) dan perhitungan kerugian negara sebanyak 7

(tujuh) kasus dengan nilai kerugian sebesar Rp. 2.342.143.778,20.

(dua milyar tiga ratus empat puluh dua juta seratus empat puluh tiga

ribu tujuh ratus tujuh puluh delapan rupiah dua puluh sen) dengan

sehingga tahun 2008 jumlah kasus sebanyak 11 (sebelas) dengan nilai

kerugian sebesar Rp. 3.354.496.868,32. (tiga milyar tiga ratus lima

puluh empat juta empat ratus sembilan puluh enam ribu delapan ratus

enam puluh delapan rupiah tiga puluh dua sen) dan diikuti pula dengan

penurunan permintaan investigasi pada tahun 2009 yakni permintaan

untuk melakukan audit investigasi sebanyak 6 (enam) kasus dengan

nilai kerugian sebesar Rp. 2.326.678.099,16. (dua milyar tiga ratus dua

puluh enam juta enam ratus tujuh puluh delapan ribu sembilan puluh

sembilan rupiah enam belas sen) dan perhitungan kerugian negara

sebanyak 7 (tujuh) kasus dengan nilai kerugian sebesar

Rp. 5.953.115.784,15. (lima milyar sembilan ratus lima puluh tiga juta

seratus lima belas ribu tujuh ratus delapan puluh empat rupiah lima

belas sen) sehingga jumlah kasus sebanyak 13 (tiga belas) dengan

nilai kerugian sebesar Rp. 8.279.793.883,31. (delapan milyar dua ratus

tujuh puluh sembilan juta tujuh ratus sembilan puluh tiga ribu delapan

ratus delapan puluh tiga rupiah tiga puluh satu sen).

Untuk melihat pelaksanaan audit BPKP atas permintaan

Kejaksaan Tinggi Sulselbar maka dapat dilihat skema sebagai berikut :


Skema pelaksanaan audit BPKP atas permintaan Kejaksaan

Tinggi Sulselbar

Periksa Auditor
Sebagai Ahli (Alat
Bukti)
Kumpulkan bukti-
bukti
Hentikan Penyidik lanjutkan Penyidik petunjuk/informas
penyelidikan ke tahap
(Bukan Korupsi) penyidikan
Minta audit
kepada BPKP
Tidak ada kerugian Ada kerugian
negara negara

BPKP mengundang
penyidik untuk
BPKP serahkan paparkan kasus
laporan hasil audit
kepada penyidik Auditor BPKP
terbitkan laporan BPKP bentuk tim
hasil audit auditor dan
lakukan audit

Skema di atas menjelaskan pada titik awal dimulainya

pelaksanaan audit BPKP atas permintaan Kejaksaan Tinggi Sulselbar

yaitu ditemukan kasus indikasi korupsi (tahap penyelidikan) oleh

Kejaksaan Tinggi Sulselbar. Selanjutnya dari skema tersebut berdasarkan

adanya indikasi korupsi maka penyidik mengumpulkan bukti-bukti,

petunjuk maupun informasi. Berdasarkan pengumpulan bukti, petunjuk

dan informasi maka penyidik meminta audit kepada BPKP selanjutnya

dengan adanya permintaan audit maka BPKP mengundang penyidik

untuk memaparkan kasusnya. Setelah mendapatkan paparan atas kasus


tersebut maka BPKP membentuk tim auditor yang melakukan pekerjaan

audit.

Setelah BPKP melakukan pekerjaan audit maka auditor membuat

laporan hasil audit, kemudian hasil audit tersebut diserahkan kepada

penyidik. Apabila laporan audit BPKP menjelaskan tidak ada kerugian

negara maka penyidik akan menghentikan penyelidikan karena tidak ada

indikasi korupsi. Dan apabila laporan hasil audit menyatakan terjadi

kerugian negara, maka penyidik menindaklanjuti hasil audit tersebut ke

tahap penyidikan. Selain hasil audit dapat dijadikan alat bukti maka auditor

juga dapat dihadirkan sebagai Ahli.

Berdasarkan wawancara dengan penyidik tindak pidana korupsi

pada bidang tindak pidana khusus Kejaksaan Tinggi Sulselbar saudara

Syahran Rauf, dikatakan bahwa dalam rangka pengungkapan tindak

pidana korupsi sudah menjadi keharusan bahwa setelah penyidik

melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus yang diduga ada indikasi

tindak pidana korupsi, penyidik wajib meminta bantuan kepada auditor

BPKP untuk melakukan audit investigasi yang ditujukan untuk mengetahui

apakah telah terdapat kerugian negara dengan mencantumkan angka-

angka/nilai nominal kerugian negara, maka penyidik akan meningkatkan

kasus ke tahap penyidikan sehingga peranan auditor BPKP sangatlah

strategis dan sangat menentukan dimana suatu kasus yang sedang

diselidiki dapat dikatakan ada indikasi tindak pidana korupsi hanyalah

sesudah auditor menyatakan dalam laporan hasil audit bahwa atas kasus
yang sedang diselidiki oleh penyidik ada ditemukan kerugian keuangan

negara.

Kerjasama antara BPKP dengan penyidik yang sudah berjalan

sejak lama sangat efektif dimana seluruh permintaan penyidik Kejaksaan

Tinggi Sulselbar kepada BPKP Propinsi Sulawesi Selatan untuk

mengaudit selalu dipenuhi dan hasilnya diserahkan kepada penyidik

Kejaksaan Tinggi Sulselbar.

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi Audit Investigasi BPKP


Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam Pengungkapan
Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan Dan Barat

1. Hambatan Bagi Kejaksaan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana


Korupsi

Menurut sistem substansi KUHPidana Indonesia yang saat ini

masih berlaku, korporasi belum ditentukan sebagai subyek hukum pidana.

Berdasarkan pasal 59 KUHPidana Indonesia masih menganut sistem

yang umum, bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia.

Walaupun di dalam KUHP terdapat pasal yang nampaknya menyangkut

korporasi sebagai subyek hukum pidana, tetapi yang diancam pidana

adalah orang dan bukan korporasi itu sendiri. Hal ini terlihat dari pasal 169

KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan yang melakukan kejahatan.

Selanjutnya dalam aturan perundang-undangan Indonesia

ternyata pengaturan dan penetapan korporasi sebagai subyek hukum

pidana justru banyak di atur dalam perundang-undangan di luar KUHP.


Ketentuan tersebut dilakukan karena kebutuhan dalam pertumbuuhan dan

perkembangan masyarakat dan hal inilah yang menjadi embrio untuk

ditetapkan dalam sistem KUHP yang akan datang.

Kerangka hukum yang dijadikan dasar penyidik dalam rangka

penyelidikan suatu perkara korupsi yakni berdasarkan ketentuan hukum

yang berlaku secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-

syarat dalam undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatannya itu, oleh karena adanya syarat-syarat dalam undang-

undang mengakibatkan Kejaksaan sulit untuk membuktikan suatu badan

hukum dapat dikenakan suatu perbuatan melawan hukum. Dalam

pembuktian untuk meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi oleh

penyidik Kejaksaan tidaklah mungkin dapat dipikirkan adanya

kesengajaan atau kealpaan apabila orang itu tidak mampu

bertanggungjawab yakni korporasi sebagai pelaku. Begitu pula tidak dapat

dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu

bertanggungjawab dan tidak pula ada kesengajaan atau kealpaan.

Persepsi ini timbul karena kerangka hukum kita menganut suatu prinsip

praduga tak bersalah, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam

hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens) dan adanya bukti

permulaan yang cukup dalam pengenaan sanksi hukum pidana. Orang

tidak mungkin dipertanggungjawabkan secara pidana kalau orang tersebut

tidak melakukan tindak pidana (orang yang berbuat dan dialah yang

bertanggungjawab).
Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak berarti orang

tersebut dapat dipidana, hal ini didasarkan untuk dinyatakan seseorang

bersalah harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana

yaitu :

1) Adanya keadaan psychis (batin) yang tertentu.

2) Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan

perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

Menurut Barda Nawawi Arief, masalah pertanggungjawaban

pidana merupakan segi lain dari subyek tindak pidana yang dapat

dibedakan dari masalah si pembuat, artinya pengertian subyek tindak

pidana meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si

pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum

pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini

tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban

yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.

Subyek hukum pidana yang dapat menjadi penanggungjawab

terhadap peristiwa pidana dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Penanggungjawab penuh adalah setiap orang yang menyebabkan

atau turut serta menyebabkan peristiwa pidana yang diancam setinggi

pidana pokoknya. Termasuk dalam kategori penangungjawab penuh

ialah :

a. Dader (penangungjawab mandiri) yaitu penanggungjawab peristiwa

pidana atau dengan kata lain orang yang sikap tindaknya


memenuhi semua unsur dalam perumusan pidana. Dalam delik

formal terlihat apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Dalam delik materil terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu

akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-

undang.

b. Mededader dan medeplenger yaitu penanggungjawab bersama

dan penanggungjawab serta. Mededader adalah orang-orang yang

menjadi kawan pelaku, sedangkan medeplenger adalah orang yang

ikut serta melakukan peristiwa pidana. Perbedaannya terletak pada

peranan orang-orang yang menciptakan/menyebabkan peristiwa

pidana tersebut.

c. Doenplenger (penanggungjawab penyuruh) yaitu seseorang

menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana. Dalam

bentuk yuridis merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh

tersebut tidak mampu bertanggungjawab, jadi tidak dapat dipidana.

Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat belaka dari

orang yang menyuruh. Orang yang menyuruh dalam ilmu hukum

pidana disebut manus domina dan orang yang disuruh disebut

manus minista.

d. Uitloker (penanggungjawab pembujuk/perencana) yaitu setiap

orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk

melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggerakkan” atau


“membujuk” ruang lingkupnya sudah dibatasi oleh pasal 55 ayat (1)

KUHP yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan

ancaman atau penyesatan, memberikan kesempatan, sarana dan

keterangan.

2. Penanggungjawab sebagian adalah apabila seseorang

bertanggungjawab atau bantuan, percobaan suatu kejahatan dan

diancam pidana sebesar pidana kejahatan yang selesai. Pembuat

undang-undang pada dasarnya berpandangan bahwa hanya manusia

(orang perorangan/individu) yang dapat menjadi subyek tindak pidana,

sehingga korporasi tidak menjadi subyek tindak pidana. Hal ini dapat

dilihat pada rumusan KUHPidana yang dari cara bagaimana delik

dirumuskan, yang selalu dimulai dengan “barang siapa”.

Pandangan pembuat undang-undang bahwa hanya manusia saja

yang dapat menjadi subyek hukum pidana sedangkan untuk korporasi

tidak, hal ini mengacu kepada pendapat Von Savigny yang menyatakan

korporasi sebagai suatu fiksi hukum yang diterima dalam ruang lingkup

keperdataan, hal ini cocok diambil alih begitu saja untuk kepentingan

hukum pidana. Pertimbangan ini didasarkan kepada manusia pribadi atau

perseorangan jelas dapat diminta pertanggungjawabannya apabila

melakukan suatu tindak pidana, namun terhadap korporasi apakah dapat

diminta pertanggungjawaban apabila tindak pidana tersebut dilakukan

oleh suatu korporasi. Pada saat ini korporasi dapat dibuktikan sebagai
pelaku, namun pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada

manusia yang menjalankan korporasi tersebut ataupun melakukan tindak

pidana yang bersangkutan.

Kemajuan yang terjadi di bidang ekonomi dan perdagangan

menyebabkan subyek hukum pidana tidak dapat hanya dibatasi kepada

manusia alamiah (naturlijk person) saja melainkan juga mencakup

manusia hukum (rechts person) yang lazim disebut korporasi. Dengan

dianutnya korporasi sebagai subyek hukum maka korporasi sebagai

badan usaha dapat diminta pertanggungjawabannya sendiri atas

perbuatan yang dilakukan, disamping itu memungkinkan pula

pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau

hanya pengurus saja.

Dalam upaya membangun strategi untuk mempertahankan

eksistensi Kejaksaan sebagai penegak hukum dan dalam merealisasikan

undang-undang tindak pidana korupsi, tidak akan lepas dari adanya

kendala dan peluang yang dihadapi baik berasal dari internal maupun

eksternal. Untuk itu dalam hal penanganan terhadap tersangka pelaku

kejahatan dengan didasarkan sikap, persepsi dan komitmen untuk

menuntaskannya dengan menjunjung tinggi sikap profesionalisme para

pelaksana penegak hukum dengan mendasarkan kepada supremasi

yuridis.

Ada beberapa aspek yang mempengaruhi perubahan (kendala)

sikap mental individu Kejaksaan antara lain :


1. Faktor Politis.

a. Birokrasi kejaksaan yang tidak netral

b. Tidak transparannya penyidikan korupsi

c. Persepsi, perilaku dan gaya manajerial

2. Faktor Sosiokultural.

a. Integritas personal

b. Ekonomi/kesejahteraan

c. Promosi

Tugas Kejaksaan agar menjadi institusi yang semakin mandiri

tidak bergaya kondisional dan profesional tidak saja membutuhkan

perangkat normatif yang memadai tetapi juga membutuhkan berbagai

dukungan baik itu dana, sarana, prasarana dan suber daya manusia.

Peran masyarakat dapat mendukung penegakan hukum dan

sekaligus dapat menjadi penghambat penegakan hukum, efektifitas

pelaksanaan penegakan hukum menjadikan kepatuhan dan ketaatan

masyarakat terhadap hukum itu sendiri sebagai indikator, oleh karenanya

diperlukan upaya pembinaan atas sikap, pandangan dan pemahaman

masyarakat terhadap arti pentingnya pemberantasan korupsi.

Ketaatan hukum masyarakat ini haruslah diarahkan pada

pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengidentifikasi variabel-variabel

dalam budaya hukum dan institusi hukum yang mampu meningkatkan

efektifitas hukum. Pencapaian sesuatu hanya dapat dilakukan jika budaya

hukum meneropong konsepsi instrumental dari hukum untuk


mengarahkan secara jelas tujuan ekonomi dan hubungannya dengan

sistem hukum. Friedman mengatakan, bahwa tegaknya hukum tergantung

kepada budaya hukum masyarakatnya. Sementara itu, budaya

masyarakat tergantung kepada budaya anggota-anggotanya yang

dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi

atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.

Sedangkan hambatan/kendala yang dihadapi penyidik dalam hal

permintaan audit kepada auditor BPKP adalah :

1. Pembiayaan dalam penanganan kasus memerlukan biaya yang besar

mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke penuntutan biaya untuk

ahli hanya ada dalam penuntutan kasus, sedangkan untuk

penyelidikan dan penyidikan tidak ada biaya untuk memeriksa ahli.

2. Ada kalanya terdapat perbedaan pendapat/pandangan antara penyidik

dan auditor dimana auditor berpendapat tidak ada unsur melawan

hukum padahal permintaan kepada auditor untuk menentukan ada

tidaknya kerugian negara bukan unsur melawan hukum yang

merupakan domain penyidik yang akan didapatkan melalui alat-alat

bukti yang dikumpulkan penyidik yang salah satunya hasil audit BPKP.

3. Data-data yang diminta kepada penyidik kadang kala tidak berkaitan

dengan kasus sedangkan penyidik dalam melakukan pengumpulan

data harus melakukan penyitaan.


4. Pandangan auditor BPKP pada umumnya selalu mengarahkan suatu

kasus kepada perbuatan wanprestasi dalam hukum perdata sehingga

menyulitkan penyidik untuk memaparkan kasus posisi.

5. Sulitnya menghadirkan auditor BPKP dalam proses penyidikan

sehingga membutuhkan biaya dan tenaga ekstra dari penyidik

mengingat auditor BPKP banyak menangani kasus baik permintaan

dari penyidik kejaksaan maupun penyidik kepolisian.

6. Auditor BPKP tidak memiliki kemampuan teknis sehingga penyidik

harus meminta pendapat/pandangan dari ahli lain di bidang teknis

kemudian di serahkan kepada auditor untuk dilakukan perhitungan

kerugian negara.

2. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi Audit Investigasi BPKP


Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam Pengungkapan Tindak
Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan Dan Barat

Berkaitan dengan pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan

oleh BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan, terdapat beberapa

kendala yang dapat menghambat atau mempengaruhi penyelesaian suatu

tindak pidana korupsi antara lain :

1. Biaya audit bagi auditor investigatif sama dengan lumpsum audit biasa

bahkan biaya untuk peralatan yang diperlukan untuk audit investigatif

harus dipenuhi dari uang lumpsum tersebut seperti tape recorder,

handycam, tenaga ahli dan lain-lain. Hal ini akan menyulitkan pada

saat auditor berhadapan dengan kebutuhan audit (belum lagi terkait


dengan resiko audit). Masalah moralpun menjadi ancaman yang

sangat kuat bagi auditor BPKP meskipun untuk saat ini, pemilihan

auditor yang akan melakukan audit investigatif benar-benar diseleksi

bagi orang yang relatif baik.

2. Pendidikan dan pelatihan audit investigatif belum maksimal. BPKP saat

ini memang sedang giat untuk melakukan audit investigatif. Akan tetapi

hal tersebut belum diikuti oleh kebijakan pendidikan dan pelatihan

bidang audit investigatif. Auditor BPKP masih sangat minim.

3. Kerjasama dengan pihak terkait masih belum optimal. Masyarakat dan

pihak lain yang menemukan adanya penyimpangan pada lembaga

pemerintah yang berindikasi kerugian negara masih segan untuk

melaporkan permasalahan yang diketahui. Hal tersebut terutama

disebabkan masih apriorinya masyarakat terhadap aparat pemeriksa,

termasuk didalamnya BPKP.

Indikasi yang sangat potensial dan merupakan kendala dalam

memfungsikan peranan BPKP adalah minimnya tindak lanjut atas temuan

BPKP. Inilah yang menjadi kendala selama ini, sehingga sebagian

masyarakat merasakan optimalisasi peran BPKP kurang maksimal.

Minimnya tindaklanjut atas temuan BPKP ini karena seringkali terjadi hasil

temuan BPKP tersebut dikaji oleh instansi terkait, dan oleh instansi terkait

temuan tersebut hanya diartikan sebagai tugas operasional BPKP sehari-

hari, sehingga kurang diperhitungkan pertanggungjawabannya. Selain itu

ditemukan alasan bahwa status BPKP yang hanya memiliki payung


hukum berupa Keppres sehingga kurang memberikan pengaruh atas

temuannya. Seharusnya BPKP dapat dipayungi oleh legalitas hukum yang

lebih kuat seperti undang-undang.

Selain itu, dalam laporan temuan pemeriksaan BPKP tidak sedikit

yang megakibatkan kerugian negara (sebagai prasyarat kategori tindak

pidana korupsi). Seharusnya, lembaga Kejaksaan, Kepolisian serta KPK

yang memiliki kekuatan untuk melakukan eksekusi lebih optimal dalam

memanfaatkan laporan BPKP.

Kerjasama (MOU) yang dilakukan Kejaksaan Republik Indonesia

dan BPKP diharapkan untuk dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi

laporan hasil pemeriksaan BPKP. Kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP

bertujuan untuk mempercepat dilakukannya proses penegakan hukum

terhadap hasil pemeriksaan BPKP sesuai ketentuan perundang-

undangan, serta untuk mewujudkan tercapainya kepastian hukum

terhadap hasil pemeriksaan BPKP.

Indonesia merupakan negara yang paling parah penyakit

korupsinya. Penyakit ini tidak hanya di monopoli oleh lembaga

pemerintahan, oleh karenanya penyakit di lembaga pemerintahan ini

harus diiringi dengan semangat untuk menciptakan sistem pemerintahan

yang bersih (Good Governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai

lembaga-lembaga pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan tingkat daerah

yakni inspektorat sektoral dan lintas sektoral serta kantor akuntan publik
yang dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada indikasi

tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi sampai saat ini kasus korupsi

baik kecil maupun besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung

meningkat. Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan

audit pemerintah Indonesia.

Terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintah di

Indonesia, yaitu : Pertama : tidak tersedianya performance indicator yang

memadai sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu

pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut umum dialami oleh

organisasi publik karena output yang dihasilkannya berupa pelayanan

publik yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama bersifat inherent.

Kedua : terkait dengan struktur lembaga audit terhadap pemerintah pusat

dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga

pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang

menyebabkan ketidak efektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk

menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan

reposisi lembaga audit yang ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang

jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa pemerintah tersebut, apakah

sebagai internal auditor atau eksternal auditor. Berdasarkan

kedudukannya terhadap pemerintah kita mengenal adanya audit internal

maupun audit eksternal. Audit internal dilaksanakan oleh Inspektorat

Jendral Departemen, Satuan Pengawas Intern (SPI) di lingkungan


lembaga negara/BUMN/BUMD, inspektorat wilayah propinsi (Itwilprop),

Inspektorat wilayah kabupaten/kota (Itwilkab/Itwilko) dan BPKP.

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan diatas, dapat diuraikan

hal-hal yang menyebabkan mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas

yaitu :

1. Mental pegawai yang keropos, yang menyebabkan mereka tidak ambil

pusing untuk mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka

tidak peduli untuk menyalahgunakan jabatan atau posisinya demi

untuk kepentingan pribadi.

2. Adanya ketidakrelaan menerima gaji yang relatif terbatas dibandingkan

dengan tingkat kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk

mengejar pendapatan cepat tanpa memperhatikan proporsi.

3. Hampir seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai

pendapatan sampingan, yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi

terstruktur ini terkristalisasisejalan dengan struktur “ABS” (Asal Bapak

Senang). Implikasinya, banyak pimpinan yang tutup mata ketika

disodori amplop. Implikasi lebih lanjut adalah : siapa yang menolak

amplop terimakasih dinilai menentang pimpinan, minimal menentang

kemauan bersama. Skandal-skandal yang terjadi di Indonesia

(Buloggate misalnya) adalah disebabkan karena kekacauan

manajemen keuangan publik di Indonesia yang meliputi :

a. Penyelenggaraan sejumlah kegiatan-kegiatan publik diluar

mekanisme APBN.
b. Dipeliharanya sejumlah dana publik diluar APBN.

c. Kehadiran sejumlah lembaga semi publik – semi privat dalam

lingkungan pemerintahan.

Dalam situasi manajemen keuangan publik yang kacau itu, praktik

korupsi terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik korupsi

di Indonesia tidak lagi dapat di isolir sebagai ekspresi niat jahat

seseorang atau sekelompok orang untuk memperkaya diri mereka

sendiri, melainkan telah menjadi bagian yang integral dari sistem

penyelenggaraan negara yang telah dijalankan oleh pemerintah.

Situasi korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya,

tingkat perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat jauh

melampaui tingkat korupsi personal dan korupsi institusional.

Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan hanya oleh beberapa

orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu,

melainkan langsung dipelihara oleh Negara.

4. Adanya diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas

teri yang terjaring pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap

didera dengan mutasi, maksimal diberhentikan dengan tidak terhormat.

Untuk memberantas korupsi maupun penyalahgunaan jabatan dalam

bentuk kolusi atau lainnya diperlukan kemauan politik dan aksi politik

yang kongkrit dari pemerintah. Keberadaan lembaga anti korupsi

sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang nomor 28 tahun 1999

tentang penyelenggaraan negara yangg bersih dan bebas dari korupsi,


kolusi dan nepotisme (KKN) perlu diwujudkan peran nyatanya untuk

membantu memberantas korupsi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab di muka maka penulis menarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Hasil audit auditor BPKP dapat digolongkan kepada alat bukti surat

dalam hukum pembuktian berdasarkan KUHAP. Karena surat hasil

audit tersebut adalah surat yang dibuat oleh seseorang ahli yang isinya

berupa pendapat mengenai hal tertentu dalam bidang keahliannya itu

yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini

dibuat memenuhi permintaan penyidik secara resmi, seperti pada

permintaan untuk melakukan audit invetigasi. Keberadaan alat bukti


surat yang dihasilkan dari hasil audit tersebut akan diikuti pula dengan

alat bukti keterangan saksi. Berdasarkan hal tersebut maka dari auditor

BPKP akan diperoleh 2 alat bukti yaitu hasil audit sebagai alat bukti

surat dan keterangan ahli auditor BPKP sendiri.

2. Kendala dalam pelaksanaan fungsi audit investigasi BPKP perwakilan

Propinsi Sulawesi Selatan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi

di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat

adalah :

a. Biaya audit bagi auditor investigatif sama dengan lumpsum audit

biasa bahkan biaya untuk peralatan yang diperlukan untuk audit

investigatif harus dipenuhi dari uang lumpsum tersebut.

b. Pendidikan dan pelatihan audit investigatif belum maksimal. BPKP

saat ini memang sedang giat untuk melakukan audit investigatif.

Akan tetapi hal tersebut belum diikuti oleh kebijakan pendidikan dan

pelatihan bidang audit investigatif.

c. Kerjasama dengan pihak terkait masih belum optimal. Masyarakat

dan pihak lain yang menemukan adanya penyimpangan pada

lembaga pemerintah yang berindikasi kerugian keuangan negara

masih segan untuk melaporkan permasalahan yang diketahui.

B. Saran

1. Diharapkan adanya penyempurnaan-penyempurnaan perihal

pengaturan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan

keberadaan hukum yang satu dengan hukum lainnya dan menjadi


dasar kewenangan bagi aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan

untuk menangani tindak pidana korupsi dan juga memfungsikan

peranan BPKP dalam hal pengungkapan kasus korupsi tidak hanya

sebatas instruksi presiden, tetapi meliputi penerbitan undang-undang

yang memayungi fungsi dan tugas BPKP.

2. Pada penanganan tindak pidana korupsi diperlukan pemahaman yang

konfrehensif bagi penyidik Kejaksaan dengan tetap memperhatikan

keterpaduan sistem penanggulangan tindak pidana pada sistem

peradilan pidana (criminal justice system) dengan menyiapkan sumber

daya manusia Kejaksaan yang dapat melakukan Audit sehingga dapat

menghitung kerugian keuangan negara guna mengungkap kasus

tindak pidana korupsi.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta :


Kencana, 2010.
___________,
Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis), Jakarta : Chandra Pratama, 1996.
Arens & Loebbecke, Auditing, Pendekatan Terpadu, Adaptasi oleh Amir
Abadi Jusuf, Jakarta : Salemba Empat, 2003.
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1998.
____________, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1994.
____________, Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan
Perkembangan Delik-Delik Khusus Dalam Masyarakat Modern,
Bandung : Bina Cipta, 1982.
____________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta : Kencana,
2008.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta,
1996.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Jakarta
: Putra A. Bardin, 1996.
Atmaja, Arifin P Soeria, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum,
Teori, Kritik Dan Praktik, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang
Prinsip-Prinsipnya dari Segi Hukum Islam, Jakarta : Bulan
Bintang, 1992.
Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung
: Alumni, 2006.
Djumhana, Muhammad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.
Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern, Bandung : Refika Aditama,
2009.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Jakarta : Pustaka Kartini, 1993.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : CV. Sapta
Artha Jaya, 1996.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta :
Kencana, 2006.
Kansil, C.S.T dan Christine Kansil, Hukum Tata Negara Republik
Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
Kanter, E.Y. dan Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya, Jakarta : Cetakan I (Alumni AHM-PTHM),
1982.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Bandung : Bina Cipta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Yogyakarta : Liberty, 1988.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rhineka Cipta, 2002.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 2002.
Praja, Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung : Pustaka
Setia, 2011.
Poernomo, Bambang, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar
Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1984.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum acara Pidana Indonesia, Bandung :
Sumur, 1992
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam
Delik Korupsi, Bandung : Mandar Maju, 2001.
_____________, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1983.
Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ira Thania, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung
: Mandar Maju, 2002.
Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, 1994.
Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta : Aksara Baru, 1983.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradya Paramita, 1987.
Subekti, dan Tjijtrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradya Paramita,
1980.

B. Majalah/Jurnal
Bank, Asian Development (ADB), “Good Governance And
Anticorruption : The Road Forward For Indonesia”, Paper,
Presented at eight meeting of the Consultative group on
Indonesia, 27-28 July 1999, Paris, France.
Nasution, Bismar, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan
Pembangunan Ekonomi, Pidato diucapkan pada pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam ilmu hukum ekonomi pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di hadapan rapat
senat terbuka Universitas Sumatera Utara di gelanggang
mahasiswa, Sabtu 17 April 2004.
Terampil, Diklat Pembentukan Auditor, Dasar-Dasar Auditing, “Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan
Keuangan Dan Pembangunan”, Ciawi, 2005.
Bahan Kuliah, Filsafat Hukum, Dihimpun oleh Irwansyah.
BPKP Sulsel, Lakip Tahun 2010/2011.
BPKP Sulsel, Lakip Tahun 2011/2012.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tentang Pembentukan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP).
Republik Indonesia, Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan Republik
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor : KEP-
109/A/JA/09/2007, Np.Pol. B/2718/IX/2007, Nomor KEP-
1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus
Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang
Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Termasuk Dana Non
Budgeter.
Republik Indonesia, Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik
Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor : 01/KB/I-
VIII.3/07/2007 dan Nomor KEP-071/A/JA/07/2007 tentang
Tindak Lanjut Penegakan Hukum Terhadap Hasil Pemeriksaan
BPK Yang Diduga Mengandung Unsur Tindak Pidana.
Republik Indonesia, Keputusan Kepala Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan Nomor : KEP-06.00.00-286/K/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan.
D. Internet
Y. Sri Susilo,”Mampukah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Menjadi Salah
Satu Pillars Of Integrity”,
(http:/www.transparansi.or.id/artikel/artikel pk/artikel 02.html.,
diakses tanggal 7 Januari 2013).
BPKP Berwenang Tentukan Kerugian Negara,
(http://www.jpip.or.id/artikelview-89-bpkp-berwenang-tentukan-
kerugian-negara.html, diakses tanggal 23 Juli 2013).

Anda mungkin juga menyukai