Anda di halaman 1dari 103

KAJIAN HUKUM MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH

UMUR SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA DALAM


PERSPEKTIF KRIMINOLOGI
(STUDI PADA POLRESTABES MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Anwar Ibrahim Harahap


160200471

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah

melimpahkan kasih dan sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “KAJIAN HUKUM MENGENAI KETERLIBATAN ANAK

DIBAWAH UMUR SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA DALAM

PERSPEKTIF KRIMINOLOGI (STUDI PADA POLRESTABES

MEDAN)”. Maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah

satu syarat dalam menempuh ujian sarjana hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Teristimewa dan tersayang kepada kedua orang tua penulis, Bapak Usnan

Harahap dan Ibunda Rosibawati Siregar yang selalu mendoakan, memberikan

dukungan, semangat dan kasih sayang kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak mungkin dapat selesai tanpa

bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Untuk itu

penulis mengucapakan terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza SH, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


5. Ibu Liza Erwina, SH,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah

banyak memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

7. Ibu Dr. Marlina, SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teruntuk kedua kakak saya Lila dan Dina yang telah memberikan dukungan

moril maupun materi dan juga telah memotivasi penulis dan memberi

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

10. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik saya Raja, Rahmad, Yoga, Ilham, Bella,

Rissa yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis, yang setiap hari

menanyakan perkembangan skripsi ini hingga selesai.

11. Teruntuk sahabat saya di grup IJIN JP yang senantiasa mendukung dan

memotivasi penulis hingga skripsi ini selesai.

12. Teruntuk sahabat saya di grup YUHU yang senantiasa mendukung dan

memotivasi penulis hingga skripsi ini selesai.

13. Teruntuk keluarga besar UKM SEPAK BOLA FH USU yang menjadi

naungan organisasi penulis selama masa perkuliahan.

14. Teruntuk kawan-kawan saya stambuk 16 FH USU.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuan

yang diberikan, penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini dimasa yang

ii

Universitas Sumatera Utara


akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah dan

memperluas pengetahuan kita semua, terima kasih.

Medan, September 2020

Penulis

Anwar Ibrahim Harahap

iii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

ABSTRAK ..............................................................................................................v

ABSTRACT ...........................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1

A. Latar Belakang ................................................................................1

B. Perumusan Masalah ......................................................................11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................11

D. Keaslian Penelitian .......................................................................12

E. Tinjauan Kepustakaan ..................................................................14

1. Undang-Undang .....................................................................14

2. Faktor penyebab keterlibatan anak di bawah umur sebagai

pengedar narkoba ....................................................................23

3. Kebijakan Kepolisian dalam menanggulangi

keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar narkoba .25

F. Metode Penelitian .........................................................................27

1. Spesifikasi penelitian ................................................................. 27

2. Metode Pendekatan ................................................................... 28

3. Lokasi Penelitian ...................................................................... 28

4. Sumber Data............................................................................28

5. Alat Pengumpulan Data............................................................. 29

6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ......................... 29

7. Analisa Data............................................................................30

iii

Universitas Sumatera Utara


BAB II KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR

KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI

PENGEDAR NARKOBA ..................................................................32

A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika ..........32

B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ......33

C. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ........39

D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak ...................................................................47

E. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010


tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan
dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial. ..................................................................50

BAB III FAKTOR PENYEBAB KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH

UMUR SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA ................................53

A. Faktor Internal Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai

Pengedar Narkoba ..........................................................................53

B. Faktor Eksternal Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai

Pengedar Narkoba ..........................................................................55

BAB IV KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI


KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI
PENGEDAR NARKOBA DALAM PERSPEKTIF
KRIMINOLOGI ................................................................................62
A. Teori-Teori Kriminologi Tentang Faktor Penyebab
Terjadinya Kejahatan .....................................................................62

B. Kebijakan Penal Polrestabes Medan dalam Menanggulangi


Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba
Dalam Prespektif Kriminologi Polrestabes Medan ........................66

Universitas Sumatera Utara


C. Kebijakan Non Penal Polrestabes Medan dalam Menanggulangi
Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba
Dalam Prespektif Kriminologi Polrestabes Medan ........................70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................83


A. Kesimpulan ....................................................................................83

B. Saran ..............................................................................................84

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 86

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Anwar Ibrahim Harahap

Keterlibatan anak dalam tindak pidana narkoba yang menjadi kurir


narkoba merupakan suatu rangkaian permufakatan jahat dalam menjalankan
peredaran narkoba secara illegal, tetapi dalam kapasitas kategori anak yang
menjadi kurir. Permasalahan dalam penelitian ini ketentuan hukum yang mengatur
tentang keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar narkoba. Faktor
penyebab keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar narkoba. Kebijakan
kepolisian dalam menangani keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar
narkoba dalam prespektif kriminologi Polrestabes Medan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif yang dilakukan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, Sumber data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh
dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai latar
belakang undang-undang yang diancamkan kepada anak atas perbuatannya
mengedarkan narkoba. Kemudian Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai dasar pemidanaan anak apabila anak
tersebut melakukan tindak pidana narkoba dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Sebagaimana telah Diubah Dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai
dasar pelaksanaan perlindungan anak yang telah terbukti mengedarkan narkoba.
Faktor penyebab keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar narkoba,
faktor internal yaitu faktor usia, faktor kejiwaan, faktor ingin mencoba, kehendak
ingin bebas, keguncangan jiwa dan faktor eksternal antara lain faktor keluarga,
faktor ekonomi, faktor pendidikan, adanya kemudahan, pergaulan/lingkungan.
Kebijakan Kepolisian dalam menanggulangi Keterlibatan anak di bawah umur
sebagai pengedar narkoba dalam perspektif kriminologi. Upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “repressive”
(penindasan / pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Kebijakan
non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu antara lain,
berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi social yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global,
maka upayaupaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal.

Kata Kunci: Keterlibatan Anak Dibawah Umur, Pengedar Narkoba,


Kriminologi

vi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Anwar Ibrahim Harahap

Drug crime which becomes a drug crime is a series of criminal consensus


in carrying out drug crime, but in the category of children who become couriers.
The problem in this research is the legal provisions governing the association of
minors as drug dealers. Factors causing the interaction of minors as drug dealers.
Police policy in the interaction of minors as drug dealers in the criminological
perspective of the Medan Police.
The type of research used is normative law which is carried out in this
study using a normative juridical approach. The data source used in this study is
secondary data. The data technique is done by using literature study and field
study. The data obtained in this study were analyzed using qualitative methods.
Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics is the background to the
law which threatens children for their trafficking in narcotics. Then Law No. 11 of
2012 concerning the Child Criminal Justice System as the basis for criminalizing
children if the child commits a narcotics crime and Law Number 23 of 2002
concerning Child Protection as Amended by Law of the Republic of Indonesia
Number 35 of 2014 concerning Amendments to Law Number 23 of 2002
concerning Child Protection as the basis for implementing child protection that
has been proven to be in the distribution of narcotics. The factors causing the
involvement of underage children as drug dealers, internal factors, namely age,
psychological factors, factors of wanting to try, free will, mental shock and
external factors, including family factors, economic factors, educational factors,
the existence of convenience, association / environment. Police policies in
tackling the involvement of minors as drug dealers from a criminological
perspective. Crime prevention efforts through the penal route emphasize more on
the “repressive” nature (suppression / eradication / suppression) after the crime
occurs. The non-penal policy is more of a preventive measure for the occurrence
of crime, so the main objective is to deal with these conducive factors, among
others, focusing on social problems or conditions that can directly or indirectly
cause or promote crime. Thus, from the point of view of macro and global
criminal politics, non-penal efforts occupy a key and strategic position in the
overall criminal political effort.

Keywords: Involvement of Minors, Drug Trafficking, Criminology

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara formal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia disebutkan

bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI 1945) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dikaitkan dengan konsepsi

bernegara hukum maka hukum haruslah menjadi instrument atau sarana yang

efektif untuk mencapai tujuan bernegara hukum. Bagaimana menciptakan atau

mewujudkan hukum sebagai instrument atau sarana yang efektif untuk mencapai

tujuan bernegara hukum tentunya tidak terlepas dari kebijakan pembangunan

hukum yang dilakukan guna melahirkan atau mewujudkan sebuah sistem hukum

yang utuh dan komprehensif.1

Sebagai negara hukum, fenomena permasalahan hukum tidak pernah surut

dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu fenomena permasalahan hukum di

Indonesia yang sangat mengkhawatirkan yakni tindak pidana penyalahgunaan

narkoba. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada keadaan semakin maraknya

penggunaan berbagai macam jenis narkoba secara tidak sah dan melawan hukum.

Hal tersebut diperparah dengan peredaran narkoba yang semakin meluas di semua

lapisan masyarakat bahkan pada saat sekarang ini peredaran narkoba tidak saja

menjadi kendala di kota-kota besar tetapi mulai merembes ke pedesaan. Kemajuan

teknologi dan perkembangan penyalahgunaan narkoba yang semakin meningkat

dan bervariasi motif penyalahgunaan dan pelakunya, dapat dilihat dari cara
1
Aminuddin Ilmar, Membangun Negara Hukum Indonesia, (Makassar: Phinatama
Media, 2014) halaman. 5.

Universitas Sumatera Utara


2

menanam, memproduksi, menjual, memasok dan mengkonsumsinya serta

kalangan pelaku penyalahgunaan narkoba tersebut.2

Penyalahgunaan narkoba merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundangan-undangan. Dewasa ini penyalahgunaan narkoba

melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan

anak-anak.3 Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga

memiliki hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia dan

merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di seluruh

dunia.4

Penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang dapat mengakibatkan

sindrom ketergantungan apabila penggunaannya tidak berada di bawah

pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan dan mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi pengguna, akan tetapi

juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini

merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.5

Penyalahgunaan narkoba merupakan perbuatan yang sepertinya sudah

biasa terjadi di Indonesia.6 Setiap hari jika melihat tayangan berita kriminal tidak
7
luput dari penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba mengandung

2
Ibid.
3
Lydia Harlina Marton, Membantu Pencandu Narkotika dan Keluarga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), halaman 1
4
Asep Syarifuddin Hidayat, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir
Narkotika, Jurnal Sosial & Budaya Syar-I, Vol. 5 No. 3 (2018), halaman 308.
5
Julianan Lisa Fr dan Nengah Sutrisna W, Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa
Tinjauan Kesehatan dan Hukum, ( Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), halaman 26
6
O.C Kaligis & Soedjono Dirdjosisworo, Narkoba & Peradilannya Di Indonesia,
(Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2006), halaman. 288
7
Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), halaman.
169

Universitas Sumatera Utara


3

maksud orang yang tanpa hak atau melawan hukum memanfaatkan narkoba.

Narkoba merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk

pengobatan penyakit tertentu. Narkoba, jika disalahgunakan tidak sesuai dengan

standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi

perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. 8

Narkoba terlarang merupakan kejahatan luar biasa yang dapat merusak

tatanan atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan

serta masa depan bangsa dan negara. Indonesia dalam beberapa tahun terakhir,

telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat

peredaran narkoba yang berdimensi internasional untuk tujuan komersial. Jaringan

peredaran narkoba di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungkan sebagai pasar

yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasional yang

beroperasi di negara-negara sedang berkembang. Masalah penyalahgunaan

narkoba ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi

negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia internasional.9

Narkoba pada dasarnya adalah obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Narkoba secara formakologis medis menurut ensiklopedia Indonesia adalah obat

yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah viresal

dan yang dapat menimbulkan efek stupor (bengong, masih sadar tetapi harus

digertak) serta adiksi.10

8
Ibid.
9
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh
Anak (Malang: UMM Press, 2014), halaman. 30
10
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar
Maju, 2011), halaman. 35

Universitas Sumatera Utara


4

Narkoba di Indonesia sudah pada level yang mengkhawatirkan dan dapat

mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Banyak kasus yang disebabkan

oleh kasus narkoba. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh

peredaran narkoba lambat laun berubah menjadi sentra peredaran narkoba. Begitu

pula anak-anak yang berumur di bawah 21 tahun yang seharusnya masih tabu

mengenai barang haram ini, belakangan ini telah berubah menjadi sosok pecandu

yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya.11

Penggunaan narkoba sering dikaitkan dengan kejahatan, baik narkoba

dianggap memiliki pengaruh negatif dan menyebabkan penggunanya melakukan

kejahatan. Kejahatan itu pada dasarnya merupakan rumusan yang nisbi. Kejahatan

sebagai gejala sosial tidak semata-mata merupakan tindakan yang dilarang

hukum, tindakan yang merupakan kelaianan biologis maupun kelaianan

psikologis, tetapi tindakan-tindakan tersebut merugikan dan melanggar sentimen

masyarakat.12

Saat ini, salah satu bentuk kenakalan anak adalah penyalahgunaan

narkoba. Penyalahgunaan narkoba tak lagi memandang usia, mulai dari anak-

anak, remaja, orang dewasa hingga orang tua sekalipun tak luput dari jeratan

penyalahgunaan narkotika ini. Diperkirakan sekitar 1,5 persen dari total penduduk

Indonesia adalah korban dari penyalahgunaan narkoba tersebut. Masalah

peredaran narkotika ini juga tak kalah mengkhawatirkan, karena tidak hanya

terjadi di kota-kota besar saja juga merambah ke seluruh pelosok Indonesia.13

11
Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), halaman. 101
12
Mustafa, Muhammad, Krimonologi: Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku
menyimpang, dan Pelanggar Hukum, (Yogyakarta: FISIP UI Press, 2007), halaman.17.
13
Asep Syarifuddin Hidayat, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara


5

Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia sekarang ini dirasakan pada

keadaan yang mengkhawatirkan. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai

letak strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam dunia

internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi kejahatan

penyalahgunaan narkoba, yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). 14 Perlu untuk diketahui bahwa

Undang-Undang Narkotika merupakan pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun

1997 tentang Narkotika. Karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan

situasi dan kondisi, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

dicabut dan diganti dengan diberlakukannya peraturan baru yaitu UU Narkotika.

Ketentuan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak diketahui adanya

penyebutan anak nakal yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (UU Perlindungan Anak).

Disamping itu dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, seorang anak yang

berhadapan dengan hukum, yaitu anak yang dalam kategori juvenile delinquency,

harus menyelesaikan perkaranya melalui proses persidangan. Proses persidangan,

hakim dalam menjatuhkan sanksi pasti bertujuan memberikan efek jera agar

pelaku tidak mengulangi perbuatan pidananya lagi, namun hal ini bisa

mengakibatkan anak mengalami tekanan psikologis karena merasa kebebasan

dalam hidupnya dirampas. Oleh sebab itu pemerintah menghapus keberlakuan

14
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perpektif Hukum Islam dan Hukum Pidana,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), halaman., 9

Universitas Sumatera Utara


6

Undang-Undang Pengadilan Anak dengan disahkannya Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).15

Status hukum anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahguna narkoba

bahwa anak berkedudukan atau bersetatus sebagai anak yang berkonflik dengan

hukum sebab anak tersebut berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan telah

diduga menjadi pelaku tindak pidana penyalahguna narkoba. Anak juga dapat

bersetatus sebagai korban tindak pidana penyalahguna narkoba sesuai dengan

Undang-Undang Nomor.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(UU SPPA) Pasal 1 ayat (4) karena anak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak

bertanggungjawab baik itu dijadikan sebagai kurir, penjual narkoba maupun

dipaksa untuk memakai narkoba dan bahkan sudah menjadi pecandu narkoba

sehingga dengan demikian dapat disebut sebagai korban penyalahguna narkoba

yang sangat berdampak negatif terhadap perkembangan dan pembinaan anak.16

Keterlibatan anak dalam tindak pidana narkoba yang menjadi kurir

narkoba merupakan suatu rangkaian permufakatan jahat dalam menjalankan

peredaran narkoba secara illegal, tetapi dalam kapasitas kategori anak yang

menjadi kurir, ini merupakan satu hal yang begitu memprihatinkan dimana anak

tersebut telah berhadapan dengan hukum dan tergolong telah melakukan tindak

pidana narkoba.17

Keterlibatan anak dalam kasus peredaran gelap narkoba di Indonesia

merupakan sebuah masalah serius, sehingga dibutuhkan upaya pencegahan dan

15
Dian Ety Mayasari, Perlindungan Hak Anak Kategori Juvenile Delinquency Children's
Rights Protection In The Juvenile Delinquency Category, Vol. 20, No. 3, Desember, 2018,
halaman 387
16
Abd. Basid, Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Positif, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 26, Nomor 4, Februari 2020, halaman 463
17
Ibid, halaman 309

Universitas Sumatera Utara


7

pemberantasan secara terpadu dan komprehensif melalui kerjasama para penegak

hukum, keseriusan penegakan hukum terhadap pelakunya, penjatuhan sanksi yang

berat terhadap para pelakunya, serta bekerjasama secara terpadu dalam usaha

mencegah dan memberantas peredaran gelap narkoba di kalangan narapidana.

Dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkoba

secara komprehesif diharapkan dapat membantu masyarakat dalam

menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang selama ini

melibatkan masyarakat khususnya anak-anak.

Rentannya anak terkait tindak pidana (baik korban maupun pelaku tindak

pidana) yang merupakan makhluk khusus dimana memiliki peran strategis yang

secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari

kekerasan dan diskriminasi maka perlu dilindungi hak-haknya dalam peraturan

perundang-undangan.18

Seorang anak yang terkena tindakan pidana karena menjadi pelaku

penyalahguna narkoba juga akan diproses melalui peraturan perundangundangan

yang sama walaupun pada proses peradilannya berbeda dengan orang dewasa. Hal

ini berkaitan perlindungan khusus yang diberikan kepada anak oleh negara

sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU

Perlindungan Anak.19Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah selak

kebijakan sosialcy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan

penegakan hukum, termasuk di dalamnya kebijakan legislatif. Kebijakan

18
I Wayan Govinda Tantra, Pertanggungjawaban Pidana Anak Sebagai Kurir dalam
Tindak Pidana Narkotika, Jurnal Analogi Hukum, Volume 2, Nomor 2, tahun 2020, halaman 219
19
Yuliana Primawardani, Pendekatan Humanis Dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Kasus Di Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal Penelitian
Hukum DE JURE, Vol. 17 No. 4 , Desember 2017, halaman 413

Universitas Sumatera Utara


8

penanggulangan kejahatan itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan

hukum.20

Saat anak tertangkap terlibat sebagai pengedar narkoba mereka seharusnya

bukan dipidanakan melainkan harus dibimbing dan dilindungi hak-haknya.

Seharusnya penegak hukum mengejar bandar yang mengeksploitasi anak dalam

peredaran narkoba. Penyelesaian perkara anak dalam jaringan narkoba mestinya

diselesaikan secara diversi agar menghindarkan anak dari pemidanaan, anak yang

menjadi pengedar ditetapkan menjadi tersangka dan diperiksa tanpa

memperhatikan hak-haknya secara baik. Penetapan anak menjadi tersangka

tidaklah salah namun yang perlu dicatat setelah penetapan tersangka maka

penyidik harus benar-benar memperhatikan hak-haknya dan sebisa mungkin anak

harus dihindarkan dari proses penahanan dan pemidanaan.21

Pasal 1 ayat (3) UU SPPA, menyebutkan bahwa "Anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana".22 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara yan

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(UU Kepolisian). Di samping itu, di dalam UU Narkotika telah disebutkan secara

20
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan-bahan kuliah Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, (Medan: USU Press 2011), halaman. 6.
21
Surjono dan Bony Daniel, Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), halaman 72
22
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman.
127

Universitas Sumatera Utara


9

tegas mengenai kewenangan penegakan hukum yang dimiliki oleh Kepolisian

dalam rangka memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 23

Lembaga Kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai

suatu lembaga dan diberikan kewenangan suatu lembaga dan diberikan

kewenangan untuk menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan

perundang-undangan.24 Kepolisian yang dikenal dengan istilah the gate keeper of Criminal Justice

narkoba yang melibatkan narapidana, meskipun dalam pelaksanaannya masih

ditemukan beberapa kendala karena semakin canggihnya modus operandi

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dewasa ini.25Polisi sebagai gerbang terdepan proses p

penyidik polisi seringkali dianggap sebagai tonggak utama penegak hukum pidana

pada umumnya dan hukum pidana anak pada khususnya, polisi melakukan

penyelidikan dan penyidikan dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti yang

cukup untuk dapat dilanjutkan ke tahap peradilan selanjutnya.26

Perbedaan antara narkoba adalah bentuknya, sedangkan narkoba adalah

penggunanya atau pengedarnya. Narkoba adalah zat atau obat baik yang bersifat

alamiah, sintetis, maupun semi sintetis yang menimbulkan efek penurunan

kesadaran, halusinasi, serta daya rangsang.

Tabel 1.
Data Kasus Keterlibatan Anak Sebagai Pengedar Narkoba
di Jajaran Polrestabes Medan Tahun 2020
Jenis Kelamin Jumlah Jumlah Jumlah
No Bulan Pria Wanita Kasus Selesai Tersangka
terungkap Perkara

23
Atmasasmita, Romli, Independensi Kepolisian dalam Penegakan Hukum, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2014), halaman 7
24
Ediwarman, dkk, Tindak Pidana Narkotika dalam Perspeketif Kriminologi di Wilayah
Kabupaten Labuhan Batu, (Medan: Yayasan Al-Hayat, 2019), halaman 1
25
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Eresco, 2005),
halaman 56.
26
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2008), halaman 81

Universitas Sumatera Utara


10

1 Januari 2 - 2 - 2
2 Februari 2 - 2 - 2
3 Maret 7 3 7 3 10
4 April 1 - 1 - 1
5 Mei 2 - 2 - 2
6 Juni 1 - 1 - 1
Jumlah 15 3 15 3 18
Sumber : Polrestabes Medan, Juli 2020.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, keterlibatan anak

dalam penyalahgunaan narkoba, maka dilakukan penelitian lebih lanjut dalam

bentuk skripsi yang berjudul Kajian Hukum Mengenai Keterlibatan Anak

Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Kriminologi (Studi

Pada Polrestabes Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas dan

untuk lebih memfokuskan penulisan skripsi ini, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur tentang keterlibatan anak di

bawah umur sebagai pengedar narkoba?

2. Bagaimana faktor penyebab keterlibatan anak di bawah umur sebagai

pengedar narkoba?

3. Bagaimana kebijakan kepolisian dalam menangani keterlibatan anak di bawah

umur sebagai pengedar narkoba dalam prespektif kriminologi Polrestabes

Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


11

1. Untuk mengkaji ketentuan hukum yang mengatur tentang keterlibatan anak di

bawah umur sebagai pengedar narkoba.

2. Untuk mengkaji faktor penyebab keterlibatan anak di bawah umur sebagai

pengedar narkoba.

3. Untuk mengkaji kebijakan kepolisian dalam menangani keterlibatan anak di

bawah umur sebagai pengedar narkoba dalam prespektif kriminologi

Polrestabes Medan.

Manfaat dari penelitian yang telah dilakukan, yaitu

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis bagi

perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini perkembangan

dan kemajuan ilmu hukum khususnya hukum pidana berkaitan dengan

keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar narkoba dalam perspektif

kriminologi.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat untuk

memahami mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keterlibatan anak

melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkoba.

D. Keaslian Penelitian

Hasil penelesuran yang telah dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara tahun 2020 baik secara fisik maupun online tidak

ditemukan judul terkait dengan Kajian Hukum Mengenai Keterlibatan Anak

Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Kriminologi (Studi

Universitas Sumatera Utara


12

Pada Polrestabes Medan), namun ada beberapa penelitian sebelumnya mengkaji

tentang Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba, antara lain:

Budi Santho P. Nababan. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan (2008), dengan judul penelitian Analisis Kriminologi Dan Yuridis

Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus

Putusan No. 1203 / Pid.B / 2006 / PN.Mdn). Adapun permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

1. Yang menyebabkan anak terlibat dalam penyalahgunaan narkoba sekaligus

bagaimana upaya pencegahannya.

2. Pertanggungjawaban pidana anak yang terlibat dalam penyalahgunaan

narkoba.

Adnan Panangi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

(2017), dengan judul penelitian Tinjauan Kriminologis Atas Anak Sebagai

Perantara Jual Beli Narkotika Di Wilayah Hukum Polres Polewali Mandar (Studi

Kasus Tahun 2013 - 2015). Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak menjadi perantara jual beli

narkotika di wilayah hukum Polres Polewali Mandar.

2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh aparat hukum untuk mencegah agar

anak tidak terlibat dalam peredaran narkotika di wilayah hukum Polres

Polewali Mandar.

Zuhri Eko Pribadi. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

(2016), dengan judul penelitian Tinjauan Kriminologi Terhadap Anak Sebagai

Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Narkotika Di Kota Medan. Adapun

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

Universitas Sumatera Utara


13

1. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika di Indonesia

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan anak sebagai pelaku dan korban

dalam tindak pidana narkotika di Kota Medan.

3. Peranan aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana

penyalahgunaan narkotika oleh anak di Kota Medan.

Andi Dipo Alam. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar (2017),

dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkotika

Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor

:96/Pid.Sus.Anak/2017/PN. Mks). Adapun permasalahan dalam penelitian ini

adalah:

1. Penerapan hukum pidana materil terhadap anak sebagai pelaku

penyalahgunaan narkotika berdasarkan Putusan Nomor.96/Pid.Sus

Anak/2017/PN.Mks

2. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam tindak pidana terhadap anak

sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika berdasarkan Putusan

Nomor.96/Pid.Sus Anak/20176/PN.Mks.

Sainrama Pikasani Archimada. Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia (2018), dengan judul penelitian Tinjauan Kriminologi dan Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak Di

Kabupaten Sleman. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika

oleh anak di kabupaten Sleman.

2. Pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika

oleh anak di Kabupaten Sleman.

Universitas Sumatera Utara


14

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat perbedaan penelitian terdahulu

dengan penelitian yang dilakukan yaitu pokok permasalahan sedangkan

persamaannya adalah subjeknya anak. Sehingga dapat dipertanggungjawabkan

baik secara akademi maupun ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Undang-Undang

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum

Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tindak

pidana narkoba digolongkan kedalam tindak pidana khusus karena tidak

disebutkan didalam KUHP, pengaturannya pun bersifat khusus. Istilah narkoba

bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik

dari media cetak maupunelektronik yang memberitakan tentang kasus-kasus

mengenai narkoba. 27

Narkoba atau nama lazim yang diketahui oleh orang awam berupa narkoba

tidak selalu diartikan negatif, didalam ilmu kedokteran narkoba dengan dosis yang

tepat digunakan sebagai obat bagi pasien. Selain narkoba, istilah lain yang

diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah

napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropikadan zat adiktif.

Sudarto mengatakan bahwa kata narkoba berasal dari perkataan Yunani “narke”,

yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa. Narkoba adalah zat-zat atau

27
Adam Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas
Berlakunya Hukum Pidana: Bagian 1. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014). halaman. 79.

Universitas Sumatera Utara


15

obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-

zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral.28

Ketentuan Pasal 10 KUHP, terdapat 4 (empat) jenis tindak pidana dalam

UU Narkoba, yaitu pidana mati, pidana penjara, denda, serta kurungan. Sepanjang

tidak ditentukan lain dalam UU Narkotika, maka aturan pemidanaan mengikuti

ketentuan pemidanaan sesuai dengan KUHP. Sebaliknya jika ditentukan tersendiri

dalam UU Narkotika, maka diberlakukan aturan pemidanaan sesuai UU

Narkotika. Ketentuan Pasal 148 yang berbunyi: “apabila putusan pidana denda

sebagaimana diatur dalam undangundang ini tidak dapat dibayar dan pelaku

tindak pidana narkoba dan tindak pidana precursor narkoba, pelaku dijatuhi

pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak

dapat dibayar29

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Penegakan hukum Penyalahgunaan narkoba berdasarkan UU No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 21 dijelaskan bahwa yang

dapat dilakukan penahanan terdakwa diancam dengan ancaman kurngan 5 (lima)

tahun atau lebih.30

Penegakan hukum tidak akan lepas dari proses peradilan yang bersumber

pada hukum formil, dimana hukum formil Indonesia bersumber pada KUHAP.

KUHAP mengatur sistem peradilan terpadu, dimana keseluruhan proses saling

28
Ibid
29
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan pembahasan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009, (Bandung: Alumni, 2013), halaman. 214.
30
Chartika Junike Kiaking, Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Pidana Dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-
Feb/2017, halaman 180

Universitas Sumatera Utara


16

berhubungan secara terpadu antara satu sama lain sebagaimana layaknya suatu

sistem. Seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana pada

dasarnya sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka persidangan

oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian

atau kegiatan untuk membuktikan.31

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha

untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal

terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar

suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Pembuktian yaitu ketentuan-

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum

acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

sistem yang dianut dalam pembuktian, syaratsyarat dan tata cara mengajukan

bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai

suatu pembuktian.32

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

31
Andika Haryanto dan Eunike Freskilia Sintisye Pardede, Pengungkapan Alibi Oleh
Terdakwa Sebagai Bentuk Penyangkalan Terhadap Pembuktian Penuntut Umum Dan Respon
Normatif Hakim (Studi putusan No 279 / Pid. B / 2011 / PN.Plg), jurnal Verstek Vol. 1 No. 3
Tahun 2013, halaman 37
32
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


17

Narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang

disepakati. 33 Tindak pidana narkoba merupakan salah satu tindak pidana yang

serius dan perlu mendapat perhatian khusus dari para penegak hukum, pemerintah

maupun masyarakat. Tindak pidana narkoba pada umumnya tidak dilakukan oleh

perorangan melainkan dilakukan oleh sindikat rahasia yang terorganisasi dan

sudah berpengalaman menjalankan pekerjaan dalam bidang tersebut. Kejahatan

ini sudah termasuk dalam kejahatan transnasional yang memanfaatkan

kecanggihan teknologi dan kemudahan transportasi dalam melancarkan

pekerjaannya sehingga dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Tingginya

tingkat penyalahgunaan narkotika di Indonesia menyebabkan pemerintah

membuat dan mengeluarkan UU Narkotika.34

Pasal 1 ayat (13), (14), (15) UU Narkotika menyebutkan bahwa Pengguna

narkoba atau sering disebut pecandu narkoba adalah orang yang menggunakan

atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

narkotika, baik secara fisik maupun psikis, ketergantungan narkotika adalah

kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus

menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan

apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba

menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas, dan penyalahguna adalah orang

yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

33
Donny Michael, Implementasi Undang-Undang Narkotika Ditinjau Dari Perspektif Hak
Asasi Manusia, Jurnal Penelitian Hukum, Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016, hlm
419
34
Wijayanti Puspita Dewi, Penjatuhan Pidana Penjara Atas Tindak Pidana Narkotika
Oleh Hakim Di Bawah Ketentuan Minimum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Jurnal Hukum Magnum Opus Volume 2, Nomor 1 Februari 2019, halaman 55-
56

Universitas Sumatera Utara


18

Beberapa pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku, yaitu Pasal

112, Pasal 114, dan Pasal 127 UU Narkotika. Ketiga pasal tersebut, terdapat dua

pasal yang multitafsir dan ketidakjelasan rumusan yaitu Pasal 112 dan Pasal 127

UU Narkotika. Pasal multitafsir tersebut akan mengakibatkan para pelaku

kejahatan narkoba (pengedar) akan berlindung seolah-olah dia korban kejahatan

narkotika. Hal tersebut akan berdampak pada penjatuhan hukuman dengan

hukuman yang singkat sehingga menimbulkan ketidakadilan pada proses

pelaksanaannya.35

Pelaku tindak pidana narkoba dapat dikenai sanksi pidana yang terdapat

pada ketentuan pidana UU Narkotika yaitu dengan klasifikasi, antara lain:

1) Pengedar Ketentuan pidana bagi pengedar dalam UU Narkotika diatur dalam

Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 116 untuk Narkotika Golongan I.

Pasal 117, Pasal 119, dan Pasal 121 untuk Narkotika Golongan II. Serta Pasal

122, Pasal 124, dan Pasal 126 untuk Narkotika Golongan III.

2) Produsen Produsen adalah orang yang melakukan kegiatan produksi dengan

menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara

langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non-ekstraksi dari sumber

alami atau sintesis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau

mengubah bentuk Narkotika. Sanksi Pidana yang dapat diberikan bagi

produsen Narkotika adalah Pasal 113, Pasal 118, dan Pasal 123 UU Narkotika.

35
Fitri Resnawardhani, Kepastian Hukum dalam Pasal 112 dan Pasal 127 UndangUndang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jurnal Lentera Hukum, Volume 6 Issue 1 (2019),
halaman 119

Universitas Sumatera Utara


19

3) Penyalahguna Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa

hak atau melawan hukum. Penerapan sanksi pidana bagi Penyalahguna diatur

dalam Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika.36

Indonesia hanya memberantas peredaran Narkotika dan obatobatan

terlarang lainnya tapi tidak melakukan upaya-upaya lain seperti menekan

permintaan dan melakukan rehabilitasi pada penyalahguna Narkotika. Rehabilitasi

sendiri telah diatur dalam Pasal 54 hingga Pasal 59 UU Narkotika. Pada Pasal 54

UU Narkotika dijelaskan bahwa yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial adalah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan

Narkotika saja, tidak untuk penyalahguna.37

Pasal yang diterapkan kepada anak yang menjadi kurir narkoba dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tindak pidana narkoba

digolongkan kedalam tindak pidana khusus karena tidak disebutkan di dalam

KUHP, pengaturannya pun bersifat khusus sebagaimana diatur dalam UU

Narkotika. Berikut adalah pasal-pasal yang diterapkan kepada anak yang masuk

dalam kualifikasi kurir narkoba, yaitu:

Pasal 114 UU Narkotika

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud padaayat (1) yang dalam bentuk
tanamanberatnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang

36
Berliandista Yustianjarnimas Irianto, Disparitas Pidana Pada Penyalahguna Narkotika,
Jurist-Diction Vol. 3 No. (3) tahun 2020, halaman 824-825
37
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


20

pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).

Pasal 115.
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliarrupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
penjaraseumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119.
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahundan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga)

d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Peraturan

perundang-undangan Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas

dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup,

Universitas Sumatera Utara


21

tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi

kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B UUD

NRI 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang

bertujuan melindungi Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA dalam bagian penjelasan.

Pasal 1 ayat (3) UU SPPA, menyebutkan: "Anak yang Berkonflik dengan

Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana". Namun hal berbeda ditunjukkan dalam lapangan

Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap

telah mampu bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau

anak sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.38

e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang


Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dibuat untuk menggantikan SEMA Nomor 7

Tahun 2009 yang tidak dapat diterapkan lagi karena masih merujuk pada Undang-

UU Psikotropika serta UU Narkotika yang telah dianggap tidak berlaku dengan

adanya UU Narkotika. SEMA Nomor 7 Tahun 2009 awalnya memuat semangat

bahwa narapidana atau tahanan narkoba, yang termasuk kategori pemakai harus

diutamakan kepentingan atas perawatan dan pengobatan karena mereka adalah

orang yang menderita sakit. Sehingga SEMA ini memberikan rujukan kepada

38
M. Nasir Djamil, Op.Cit, halaman. 127

Universitas Sumatera Utara


22

hakim untuk sedapat mungkin menerapkan tindakan perintah rehabilitasi kepada

terpidana kasus narkotika.39

SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2009 memiliki

semangat yang sama yaitu penjara bukanlah langkah pemidanaan yang tepat bagi

pecandu serta penyalah guna narkotika, sehingga perlu adanya upaya rehabilitasi.

Hal tersebut dapat terlihat dari isi SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yang merupakan

petunjuk lebih lanjut tentang tata cara penjatuhan pemidanaan rehabilitasi pada

kasus narkotika yang tidak dijelaskan di dalam Undang-Undang Narkotika, yakni

pada Pasal 103 UU Narkotika, yaitu:

a) Mengenai klasifikasi tindak pidana narkoba seperti apa yang dapat

dijatuhkan pemidanaan sesuai dengan Pasal 103 huruf a dan b

(memutuskan atau menetapkan untuk menjalani pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi).

b) Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi di dalam

amar putusannya. Di dalam SEMA ini juga menyebutkan tempat-tempat

rehabilitasi mana yang dapat dipilih oleh hakim dalam amar putusannya.

c) Di dalam SEMA juga menghimbau agar hakim dengan sungguh-sungguh

mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa dalam menjatuhkan

lamanya proses rehabilitasi, sehingga wajib adanya keterangan ahli.40

SEMA 4/2010 sebagai peraturan kebijakan mengikat secara langsung

pejabat administrasi negara sehingga pada dasarnya SEMA 4/2010 mengikat

kepada seluruh hakim. Namun, keputusan untuk memberikan vonis rehabilitasi

39
Albert Wirya, dkk, Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di
Jabodetabek Tahun 2014, Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2016, halaman 18
40
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


23

kepada terdakwa tetap bergantung pada kebijaksanaan hakim dalam melihat

perkara tindak pidana.

2. Faktor penyebab keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar

narkoba

Faktor penyebab anak bisa terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, antara

lain:

a. Faktor keluarga. Lazimnya seorang anak dibesarkan oleh sebuah keluarga

sampai pada tingkat dewasa. Selain itu kenyataannya menunjukkan bahwa di

dalam sebuah keluarga anak mendapatkan pendidikan pembinaan yang

pertama kali. Keluarga adalah satu kesatuan sosialyang terkecil yang terdiri

atas suami, istri, dan jika ada anak-anak dan didahului oleh perkawinan.

Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dan terkuat dalam

mendidik anak, terutama anak-anak yang belum sekolah. Dari keluargalah

lahirnya manusia- manusia yang berkualitas atau yang tidak berkualitas.

Dengan kata lain karakter atau kepribadian seseorang terbentuk oleh pola asuh

yang diperolehnya sejak kecil. Hal itu karena fungsi keluarga sangat penting

dalam pembinaan masyarakat. Dengan demikian seluk beluk kehidupan

keluarga akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan

seorang anak.

b. Faktor lingkungan. Faktor lingkungan merupakan faktor utama penyebab

terjadinya penyalahgunaan yang dilakukan oleh anak jalanan.

Pertumbuhan dan pengembangan kepribadian bagi anak jalanan sangat

dipengaruhi oleh daerah lingkungan sekitarnya. Keadaan lingkungan sekitar

Universitas Sumatera Utara


24

dapat meliputi teman-teman dalam pergaulan di jalanan maupun daerah

tempat tinggalnya.41

c. Faktor Keadaan Ekonomi. Salah satu teori yang tertua diketahui oleh banyak

orang adalah Divergent Theories, yang berarti bahwa kejahatan timbul

disebabkan kemiskinan. Plato (427- 347SM) mengemukakan bahwa di setiap

negara dimana terdapat banyak orang miskin, dengan cara diam-diam

melakukan tindak pidana, pelanggar agama dan penjahat dari bermacam-

macam corak termasukjuga pencuri/tukang copet. Aristoteles (384-322SM)

juga mengatakan bahwa kemiskinan dapat menimbulkan


42
kejahatan/pemberontakan. Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan ekonomi

yang kurang baik atau miskin. Hubungannya dengan narkotika, bagi orang-

orang yang tergolong dalam ekonominya sulit dapat juga ikut mengetahui,

menikmati tentang narkotika dan sebagainya, tetapi kemungkinannya lebih

kecil dari pada mereka yang ekonominya cukup.43

d. Faktor pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting dalam melatih

anak-anak untuk kehidupan selanjutnya. Kejahatan sering dilambangkan

karena pendidikan yang jelek atau kegagalan dalam sekolah juga

dilambangkan kepada rumah yang jelek dan pendidikan famili yang miskin.

Selain faktor minimnya faktor pengetahuan narkoba di sekolah, jika dilihat

dari faktor pendidikan, maka juga disebabkan karena tidak tuntasnya si anak

dalam menempuh pendidikan atau terjadi putus sekolah. Putus sekolah bisa

41
Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2005), halaman 21
42
M Ridwan dan Ediwarman, Asas-Asas Krimonologi, (Medan: USU Perss, 1994),
halaman 81
43
Moh. Taufik Makaro, Op.Cit, halaman 54

Universitas Sumatera Utara


25

memicu dan dipicu penggunaan narkoba pada anak. Dengan putus sekolah

maka anak akan banyak bergaul pada lingkungan yang tidak baik dan pada

akhirnya dapat menjerumuskannya pada narkoba. Putus sekolah juga bisa

dipicu oleh penggunaan narkoba oleh anak yang ditandai dengan rendahnya

minat dan kemasalan anak untuk sekolah tidak bersekolahnya anak, selain

stigma negatif dari masyarakat maka semakin berkurang pula input positif

pendidikan bagi otak anak sehingga semkin menjerumuskan anak dalam

jaringan narkoba.44

3. Kebijakan kepolisan menanggulangi keterlibatan anak di bawah umur

sebagai pengedar narkoba

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan legislatif yang

lebih spesifik. Istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah

politik hukum pidana atau dengan istilah yang lain yaitu penal policy atau

criminal law policy atau strafrechpolitiek.45

Terdapat beberapa alternatif kebijakan formulasi terhadap Pasal 6 dan

Lampiran Golongan Narkotika, antara lain:

a. Dengan tetap pada ketentuan yang saat ini tanpa merubah UU Narkotika serta

mengandalkan Peraturan Menteri Kesehatan untuk memasukkan Narkotika

jenis baru/New Psychoactive Subtances ke dalam Lampiran Golongan

Narkotika UU Narkotika. Konsekuensi dari tidak berubahnya peraturan ini

adalah dengan semakin banyaknya jenis narkotika yang baru masuk ke

44
Retno Wibowo, dkk. Cerdas Hadapi Narkoba, Direktorat Pembinaan Pendidikan
Keluarga Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2018, halaman. 23
45
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cetakan Ketiga, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2011,
halaman. 26

Universitas Sumatera Utara


26

Indonesia maka semakin banyak juga narkotika jenis baru yang tidak terjerat

oleh hukum. Peraturan perundang-undangan akan selalu ketinggalan terhadap

perkembangan yang terjadi.46

b. Dengan merubah Pasal 6 dan Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 menjadi: Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan

ke dalam:

1) Narkotika Golongan I;

2) Narkotika Golongan II;

3) Narkotika Golongan III.

4) Semua Turunan dari Narkotika Golongan I, II, III

Adanya dengan perubahan ini, maka setiap turunan zat dari narkotika

Narkotika Golongan I, II, III yang telah ada dalam Lampiran UU Narkotika

dapat dijerat oleh Ketentuan Pidana dalam UU Narkotika. Kelemahan dari

perubahan ini adalah apabila ada zat narkotika yang benar-benar baru terlepas

dari zat-zat narkotika yang telah masuk ke dalam lampiran maka terhadap

narkotika jenis baru/New Psychoactive Subtances tersebut tidak bisa dijerat

oleh Ketentuan Pidana.

c. Dengan meniadakan Lampiran Golongan Narkotika di dalam UU Narkotika

sehingga Pasal 6 berubah menjadi: Narkotika sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

46
Gilang Fajar Shadiq, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika New
Psychoactive Subtances Berdasarkan Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
Yayasan Yuridika, Vol. 1 | No. 1 | Maret 2017, halaman 50

Universitas Sumatera Utara


27

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.47

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. 48

Selain itu metode penelitian juga merupakan cara untuk mendapatkan data secara

leng kap sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun metode

yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang

dilakukan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dinamakan juga

dengan penelitian hukum doctrinal dan penelitian yuridis empiris. Penelitian

normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier.

Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada:49

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

47
Ibid, halaman 51
48
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 18.
49
Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum Panduan penulisan skripsi, Tesis
dan Disertasi, (Medan: Sofmedia, 2016), halaman 94

Universitas Sumatera Utara


28

Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada

setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. 50 Dalam hal

penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-

undangan dan berbagai literatur yang berkatian dengan permasalahan skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian skripsi ini adalah Polrestabes Medan.

Alasan memilih Polrestabes Medan, selain dekat juga mengingat banyak

terjadinya keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar narkoba.

4. Sumber data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi

perundang-undangan, yurispudensi, dan buku literatur hukum atau bahan hukum

tertulis lainnya, baik terhadap bahan-bahan hukum, bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat, yang meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

50
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), halaman 134

Universitas Sumatera Utara


29

Narkotika.Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang

Psikotropika.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan

Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi

Sosial.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan

terhadap bahan-bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa serta

memahami bahan hukum primer, yang berupa literatur-literatur dan makalah-

makalah yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam penulisan

skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang lain yang ada keterkaitan

dengan pokok-pokok rumusan permasalahan, memberikan kejelasan terhadap

apa isi informasi, dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

bukan apa yang ada dalam kajian bahan hukum.51

5. Alat Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa

a. Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study)

b. Wawancara (interview)

c. Daftar pertanyaan (questioner angket)

d. Pengamatan (observasi)

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi

kepustakaan/studi dokumen (documentary Study) dan studi lapangan (field

51
Ibid, halaman.52

Universitas Sumatera Utara


30

research) yaitu dengan melakukan peneltian terhadap data sekunder yang

meliputi Peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan penelitian ini.

Bahan sekunder, yang meliputi karya penelitian, karya dari kalangan hukum

lainnya, dan hasil penelitian, dan bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-

bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan sebagainya. Studi

lapangan melalui wawancara, wawancara dilakukan kepada Ipda PM Tambunan,

selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba, Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020,

Pukul 10.01 Wib dan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba

Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib.

6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara

melakukan studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mencari konsep-

konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan

dengan pokok permasalahan melalui peraturan perundang-undangan yang

mengatur keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar narkoba dalam

perspektif kriminologi.

7. Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa

melakukan kajian terhadap hasil pengelolahan data. Adapun analisis data yang

digunakan oleh penulis dalam penelitian ini menggukan sifat deskriptif, yaitu

dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan

atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan.52

52
Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), halaman 183

Universitas Sumatera Utara


31

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif, yaitu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan

menseleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menuru tkualitas dan

kebenarannya kemudian disusun secara sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan

metode berfikir secara deduktif dihubungkan dengan teori-teori dari studi

kepustakaan (data sekunder), kemudian dibuat kesimpulan yang berguna untuk

menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Hasil analisis tersebut di

paparkan secara deskriptif, yaitu cara menggambarkan keadaan sebenarnya di

lapangan sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif-

kualitatif yang nantinya akan diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab

permasalahan.53

53
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit.,halaman. 50.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG TERLIBATAN
ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA

A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika

Sebelum ada regulasi mengenai narkotika, istilah narkotika belum dikenal

di Indonesia. Peraturan yang berlaku adalah Verdovende Middelen Ordonnantie

(Staatsblad 1929 Nomor 278 jo. Nomor 536) yang diubah tahun 1949 (Lembaran

Negara 1949 Nomor 337). Peraturan tersebut tidak menggunakan istilah

“Narkotika” tetapi “obat yang membiuskan” (Verdovende middelen) sehingga

peraturan ini dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius. 54 Hingga dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara

Tahun 1976 Nomor 37). Sejak Undang-Undang tersebut dikeluarkan, pemerintah

menetapkan sanksi pidana kepada penyalah guna dan pengedar Narkotika. Namun

semakin berjalannya waktu, hukuman pidana yang dijatuhkan kepada penyalah

guna Narkotika dan pengedar Narkotika terus saja meningkat dari waktu ke

waktu.55

Pemberian sanksi rehabilitasi lebih jelas lagi telah dituangkan dalam

Undang-Undang tentang Narkotika. Pemberian sanksi rehabilitasi ini sudah

diterapkan sejak pertama dibentuknya Undang-Undang tentang Narkotika yaitu

pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997. Undang-Undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009, pemberian sanksi rehabilitasi ini diatur dalam beberapa

pasal.Aturan mengenai pemberian sanksi rehabilitasi ini dibagi dalam 2 (dua)

status hukum penyalahguna yaitu bagi penyalahguna yang terlibat masalah hukum

54
Andi Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), halaman 13.
55
Ibid.

32

Universitas Sumatera Utara


33

(tertangkap aparat) dan penyalahguna yang tidak terlibat masalah hukum (tidak

tertangkap aparat).56

Awalnya, Indonesia mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1976 yang merupakan pengesahan hasil Konvensi Tunggal Narkotika 1961

beserta protokol perubahannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1976, Indonesia mengesahkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika.57

B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika

1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan

Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana

hukum untuk mencegah dan memberantas pere-daran gelap narkotika dan

psikotropika.58

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diundangkan

dalam lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 10 mulai berlaku pada tanggal 11

Maret 1997. Sebelum keluarnya undang undang ini, sudah banyak kasus-kasus

yang menyangkut Psikotropika yang berupa peredaran dan penyalahgunaan

Psikotropika, akan tetapi pada waktu itu kasus-kasus tersebut tidak akan mudah

untuk ditanggulangi karena perangkat Undang-Undangnya lemah. 59 Konsideran

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tersebut antara lain

56
Novita Sari, Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkotika, Jurnal Penelitian Hukum, Volume 17, Nomor 3, September
2017, halaman 358
57
Sunarso, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), halaman. 80-85
58
Ahmad Ariwibowo, Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalah Gunaan Psikotropika
Dan Penanggulangannnya Di Kalangan Remaja Di Jambi, Jurnal Law reform 2011 Vol. 6 No.2
Oktober 2011, halaman 46
59
Gatot Supramono,.Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 2001), halaman 37

Universitas Sumatera Utara


34

dipertimbangkan dalam pembangunan kesehatan dengan memberikan perhatian

terhadap pelayanan kesehatan dalam hal ini ketersediaan dan pencegahan

penyalahgunaan obat serta pemberantasan peredaran gelap khususnya

Psikotropika. Oleh karena itu penyalahgunaan Psikotropika dapat merugikan

kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat

mengancam ketahanan nasional.60

Psikotropika menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan

narkotika yang berkhasiat, psikoaktif melalui pengaruh selektif menurut susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan

perilaku. Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan

syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya

halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan

dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi

(merangsang) bagi para pemakainya.61

Terdapat perbedaan antara narkotika dan psikotropika, menurut Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan

bahwa: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.

Psikotropika menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997

60
Ibid
61
Ahmad Ariwibowo, Op.Cit, halaman 45

Universitas Sumatera Utara


35

Tentang Psikotropika adalah: “Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah

maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada

aktivitas mental dan perilaku”62

Dikarenakan perbedaan tersebut, maka pengaturan mengenai kedua zat

tersebut diatur dalam undang-undang yang berbeda, narkotika ke dalam

UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika sedangkan

psikotropika diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang

Psikotropika. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang

Psikotropika mengenai jenisjenis psikotropika Golongan I dan II dimasukkan ke

dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

mengenai jenis narkotika Golongan I. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika di bagian Ketentuan Penutup Pasal 153 disebutkan bahwa:

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3698); dan

b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II

sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)

62
Gilang Fajar Shadiq, Op.Cit, halaman 37

Universitas Sumatera Utara


36

yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-

Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.63

Perbuatan-perbuatan yang menjadi tindak pidana psikotropika dan

ancaman sanksi terhadap perbuatan tersebut ditegaskan dalam beberapa pasal

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

sebagai berikut :

Pasal 59

(1) Barangsiapa :
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2), atau;
b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), atau;
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan / atau membawa psikotropika
golongan 1. Dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun,
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000:000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana
dalam pasal ini dilakukan oleh koorporasi maka, disamping dipidananya
pelaku tindak pidana, kepada koorporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 5, atau;
b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang
tidak memenuhi dan / atau pensyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, atau
c. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Dipidana dengan penjara

63
Ibid, halaman 37-38

Universitas Sumatera Utara


37

paling lama 15 (lima belas) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa yang menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa yang menerima penyaluran selain yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa yang menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga)tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta) rupiah.
(5) Barangsiapa menerima menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana dengan paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 61
(1) Barang siapa:
a. Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam
Pasal 16, atau
b. Mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor
atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau
c. Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa
dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang
bertanggungjawab atau pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).

Pasal 62
Barang siapa tanpa hak, memiliki, menyimpan dan / atau membawa psikotropika
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 63
(1) Barang siapa
a. Melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen
pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, atau
b. Melakukan perubahan negara tujuan eksport yang tidak memenuhi
peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, atau
c. Melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Dipidana dengan pidana penjara

Universitas Sumatera Utara


38

paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Barang siapa
a. Tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, atau
b. Mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), atau
c. Mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1), atau d. Melakukan pemusnahan psikotropika tidak
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal
53 ayat (3). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 64
Barang siapa :
a. Menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, atau
b. Menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin. Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah)

Pasal 65
Barang siapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan / atau pemilikan
psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 66
Sanksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang
sedang dalam pemeriksaan di sedang pengadilan yang menyebut nama, alamat
atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.

Pasal 67
(1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan
telah selesai menjalankan hukuman pidana dengan putusan pengadilan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini dilakukan pengusiran keluar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke
Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.

Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61,
Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64 dilakukan oleh koorporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada koorporasi dikenakan pidana denda
sebanyak dua (2) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Universitas Sumatera Utara


39

Pasal 71
(1) Barang siapa bersenkongkol atau bersepekat melakukan, melaksanakan,
membantu, menyuruh turut melakukan, menganjur atau mengorganisasikan
suatu tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal
62, atau Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipidana dengan
ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah
pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat 2 (dua) tahun sejak
selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak
pidana tersebut.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi

pidana dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika berupa pidana mati, kurungan dan denda. Untuk sanksi kurungan

rendah 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan pidana

denda ditetapkan paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta

rupiah).

C. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Permasalahan narkotika selain dianggap dapat merusak masa depan bangsa

juga tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan kesehatan khususnya


64 65
penyebaran HIV /AIDS , melihat permasalahan tersebut Majelis

Permusyarakatan Rakyat (MPR) pada sidang umum tahun 2002 melalui ketetapan

MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan

64
Human Immunodeficiency Virus, merupakan virus yang bisa menyebabkan sebuah
kondisi yang disebut AIDS
65
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi
virus HIV.

Universitas Sumatera Utara


40

MPR oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR Tahun

2002 merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia bersama DPR,

merevisi UU No 22 Tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997. Upaya melakukan

revisi UU No 22 Tahun 1997 dilaksanakan oleh pemerintah melalui surat Presiden

RI No. R. 75/Pres/9/2005 tertanggal 22 September 2005 perihal RUU tentang

Narkotika. Atas dasar surat presiden tersebut dilaksanakan rapat paripurna pada

30 September 2005, setelah melalui rapat paripurna pembahasan penanganan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika kemudian dibicarakan dalam rapat

BAMUS ke-1 pada masa sidang II tahun sidang 2005-2006 tertanggal 27 Otober

2005 yang memutuskan akan ditangani oleh pansus yang diserahkan pada komisi

IX DPR-RI sebagai komisi yang mengurusi permasalahan kesehatan dan

kesejahteraan rakyat yang baru menghasilkan keputusan pansus pada 27 maret

2007.66

Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia sekarang ini dirasakan pada

keadaan yang mengkhawatirkan. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai

letak strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam dunia

internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi kejahatan


67
penyalahgunaan narkotika, yaitu dengan disahkannya UU Narkotika. UU

Narkotika merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum KUHP sebagai

perwujudan dari asas lex specialis derogaat legi generalis. Oleh karena itu,

terhadap kejadian yang menyangkut tindak pidana narkotika harus diterapkan

66
Supriyadi Widodo Edyyono, dkk, Kertas Kerja : Memperkuat Revisi Undang-Undang
Narkotika Indonesia Usulan Masyarakat Sipil , (Pejaten Barat :Institute for Criminal Justice
Reform, 2017), halaman 11
67
I Wayan Govinda Tantra, Op.Cit, halaman 217

Universitas Sumatera Utara


41

ketentuanketentuan tindak pidana dalam undangundang tersebut, kecuali hal-hal

yang belum diatur di dalamnya.68

Diundangkannya UU Narkotika yang didalamnya memuat tentang jenis

psikotropika golongan I dan jenis psikotropika golongan II yang dipindahkan dan

diatur pelaksanaannya dalam undang-undang ini menimbulkan implikasi yang

secara jelas terlihat adalah bahwa Indonesia hanya mengakui psikotropika sebagai

zat-zat yang dikategorikan sebagai psikotropika golongan III dan IV sesuai

dengan lampiran dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika, sedangkan pengaturan psikotropika golongan I dan golongan II


69
sudah mengikuti ketentuan UU Narkotika. Penggabungan tersebut pada

dasarnya bertujuaan untuk memudahkan regulasi dan pengawasan terhadap

psikotropika yang marak beredar di Indonesia, hal ini menimbulkan

ketidakpastian baik secarai ilmiah dan praktek penanggulangan korban

psikotropika, karena antara narkotika dan psikotropika tidak bisa dipersamakan.70

Penyalahgunaan narkotika ialah salah satu jenis kejahatan yang memiliki

dampak sosial yang sangat luas serta kompleks. Pada konsideran huruf c UU

Narkotika disebutkan bahwa narkoba di satu sisi ialah obat atau bahan yang

bermanfaat dalam bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pegembangan

ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama. Pada Pasal 1 angka 15 UU Narkotika

68
Junaidi, Penerapan Pasal 54, 103 Dan 127 Ayat (2) Dan (3) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Negeri Terhadap
Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 8 No. 2, Desember
2019, halaman 196
69
AR.Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit, halaman 50
70
Ibid, halaman 137

Universitas Sumatera Utara


42

dijelaskan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

hak atau melawan hukum.71

Secara tegas UU Narkotika bahwa narkoba hanya dapat digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, hal tersebut secara jelas tertuang dalam Pasal 7. Hal tersbeut dapat

diartikan bahwa apabila narkotika tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi

dan tanpa hak, maka dapat dikenakan pidana. Penggunaan narkotika golongan 1

dibatasi hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan untuk readgensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah

mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomnedasi Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan. Pembatasan tersebut tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) UU

Narkotika. Sehingga apabila seseorang melanggar ketentuan pasal tersebut maka

dapat dikenakan sanksi pidana.72

Ruang lingkup hukum pidana UU Narkotika mencakup tiga ketentuan

yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana

yang terdapat dalam UU Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana

Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. UU Narkotika, terdapat empat kategorisasi

tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undangundang dan dapat diancam

dengan sanksi pidana, yakni:

1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,

menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 111

dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 untuk narkotika golongan II

dan Pasal 122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (a));

71
Fitri Resnawardhani, Op.Cit, halaman 120
72
Ibid, halaman 120-121

Universitas Sumatera Utara


43

2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 113

untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal

123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf(b));

3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116

untuk narkotika golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk narkotika

golongan II,

Pasal 124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129

huruf(c)); 4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,

mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal

115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan Pasal

125 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (d)).73

UU Narkotika mengatur tentang bagaimana sanksi bagi setiap orang yang

menggunakan narkotika spertti halnya yang diatur dalam Pasal 114 ayat (1) yang

berbunyi Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan narkotika golongan 1, dipidana dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Dan

pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar) dan paling banyak

Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar)”.74

73
Siswanto Sunarso, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta:Rineka
Cipta, 2012), halaman. 256.
74
Anda Hermana, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pengguna Narkotika
Dihunbungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo. Undang-undang nomor 35

Universitas Sumatera Utara


44

Undang-undang ini tidak membeda-bedakan siapa yang melanggar

undang-undang sehingga setiap orang dapat dipidana tanpa kecuali. Tetapi jika

melihat UU Perlindungan anak maka ada yang disebut dengan anak yang

berkonflik dengan hukum terutama dalam Pasal 67 UU Perlidungan anak yaitu

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalagunaan narkoba,

alkohol. Psikotropika, dan zat adiktif lainnya (nafza) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui

upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan

masyarakat”. Pemidanaan kepada anak bukanlah sesuatu balasan atas apa yang

telah anak tersebut atas perbuatannya. Kalaupun anak harus bertanggung jawab

atas perbuatannya yang merugikan orang lain, maka harus ditekankan kepadanya

bahwa hukuman bukanlah harga mati atas pembalasan apa yang telah anak

tersebut perbuat.75

Sesuai dengan rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika yang

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

(1) Setiap orang “setiap orang” menunjukkan kepada orang perorangan pada UU

Narkotika yang telah mendefinisikan secara jelas, beberapa undang-undang

mendefinisikan “setiap orang” adalah orang perorangan atau termasuk

korporasi.

(2) Penyalahguna narkoba bagi diri sendiri, yang dimaksud dengan

“penyalahguna narkoba” adalah orang yang menggunakan narkobaa tanpa hak

atau melawan hukum, menurut Pasal 1 angka 15 UU Narkotika, sedangkan

pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan,
Volume 4 No. 2 September 2016, halaman 163
75
Ibid

Universitas Sumatera Utara


45

narkoba dalam keadaan ketergantungan pada narkoba, baik secara fisik

maupun psikis, menurut Pasal 1 angka 13 UU Narkotika.76

Pelaku tindak pidana narkoba harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya apabila perbuatannya bertentangan dengan UU Narkotika.

Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana narkotika berbeda-beda sesuai dengan

perbuatan yang telah dilakukannya maupun jenis narkotika yang disalahgunakan

sesuai dengan ketentuan pidana yang telah tercantum dalam UU Narkotika.

Ketentuan pidana terhadap pertanggungjawaban pidana narkotika terkait narkoba

Golongan I dirumuskan dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 UU Narkotika,

antara lain:

1. Pasal 111 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
2. Pasal 112 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
3. Pasal 113 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
4. Pasal 114 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

76
Junaidi, Op.Cit, halaman 196

Universitas Sumatera Utara


46

5. Pasal 115 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
6. Pasal 116 ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).77

Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa sanksi yang

diatur dalam UU Narkotika memuat ketentuan minimum dan maksimum. Tindak

pidana narkoba merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime)

sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara luar biasa seperti pemberatan

ancaman sanksi pidana. Pengaturan pidana minimal khusus dalam UU Narkotika

menimbulkan asumsi bahwa undang-undang itu bertujuan untuk memberikan

hukuman yang berat terhadap pelaku tindak pidana dalam memberantas tindak

pidana narkoba. Pengaturan pidana maksimum khusus bertujuan untuk mencegah

tindakan hakim yang sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan pemidanaan

agar tidak melebihi batas yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal itu

berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ketentuan pidana

maksimum khusus yang telah diatur dalam undang-undang karena terdakwa juga

harus mendapat perlindungan hukum.78

Keterlibatan anak dalam narkoba yang dilakukan oleh anak adalah suatu

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dalam UU Narkotika. Artinya

perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak sebagai kurir merupakan perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana baik berupa pidana penjara atau
77
Wijayanti Puspita Dewi, Op.Cit, halaman 62-63
78
Ibid, halaman 63

Universitas Sumatera Utara


47

denda sebagaimana ketentuan pidana dalam Pasal 111 s/d 147 UU Narkotika.

Namun proses penanganan anak yang melakukan tindak pidana tidak diatur dalam

UU Narkotika melainkan diatur dalam UU SPPA. Jadi perbuatan pidana yang

dilakukan anak melanggar UU Narkotika, namun hukum acara mengenai

peradilan anak diatur secara khusus dalam UU SPPA. Oleh karena itu penyidik

dalam menangani anak yang menjadi kurir, pengintai atau posisi lain yang

menjadi bagian dari distribusi narkoba harus berpedoman pada UU SPPA.

D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian

perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai

dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana UU SPPA Pasal (1) angka

1. Sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile

Justice System, yaitu suatu definisi yang digunakan dengan sejumlah institusi

yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan

penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan

fasilitas-fasilitas pembinaan anak.79

UU SPPA mengutamakan pendekatan keadilan restoratif yang diatur

dalam Pasal 5 ayat (1). Keadilan restoratif ini dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi (a)

penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-

undang ini; (b) persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum; (c) pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau

79
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), halaman.35

Universitas Sumatera Utara


48

pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah

menjalani pidana atau tindakan.

Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang

pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak

dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi

adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses

penangannya sehingga hal ini akan akan berpijak ada konsep kejahteraan anak dan

kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya

memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan

yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap

anak yang berhadapan dengan hukum.80

Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya

dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak (juvenile justice system).81

Seorang anak memerlukan perlindungan pada hidupnya karena pada

dasarnya anak tidak dapat berjuang sendiri. Anak tidak dapat melindungi dirinya

sendiri tanpa bantuan orang tua, keluarga dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa perlindungan anak sebagai kepentingan

yang utama. Penerapan perlindungan hak anak yang masuk kategori juvenile

delinquency ini tampak dalam UU SPPA dengan adanya proses mediasi yang

diterapkan melalui proses diversi, dimana proses diversi ini dilakukan mulai dari

tingkat penyidikan di kepolisian, tingkat penuntutan di kejaksaan, dan pada saat

persidangan di pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7. Pengakuan dan

80
Martha Lalungkan, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, halaman 8
81
Ibid

Universitas Sumatera Utara


49

perlindungan hukum terhadap berbagai hak dan kebebasan anak dimaksudkan

untuk memenuhi berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

dan masa depan anak.82

Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, diperlukan

proses penyelesaian perkara di luar mekanisme pidana, yang disebut Diversi

dengan pendekatan keadilan restoratif. Pelaksanaan Diversi membutuhkan

kelengkapan aturan dan pemahaman serta kemampuan aparat penegak hukum

dalam melaksanakan ketentuan dan perlunya dukungan dari masyarakat.

Pengadilan sebagai benteng terakhir proses peradilan pidana harus dapat

mengupayakan diversi, jika pada tahap sebelumnya gagal. namun, ketentuan

mengenai pedoman, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi dalam peraturan

pemerintah belum ada, sehingga menjadi kendala bagi hakim dalam

mengupayakan diversi bagi anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan di

persidangan.83

Terkait upaya perlindungan hukum bagi anak khususnya yang bermasalah

dengan hukum, dalam UU SPPA telah diatur khusus mengenai diversi dan

keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang tentunya dengan tujuan

agar hak-hak anak dalam hal ini yang bermasalah dengan hukum lebih terlindungi

dan terjamin. Dimana dalam undang-undang ini diatur pada tingkat penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan

82
Meily dkk., Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Pelaku Tindak Pidana
Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana, e Jurnal Katalogis, Vol. 5, No. 2, Februari 2017,
halaman. 63-64
83
R. Ismala Dewi, Sistem Peradilan Pidana Anak: Peradilan Untuk Keadilan Restoratif,
(Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika 2015), halaman 120

Universitas Sumatera Utara


50

diversi. Diversi sebagai langkah musyawarah bersama dalam hal ini dari pihak

pelaku maupun korbannya namun tetap di dalam tiap-tiap tahap proses peradilan.

E. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang


Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Penyalahgunaan narkoba merupakan persoalan yang cukup kompleks

mulai dari proses hukum hingga proses pemulihan korbannya. Persoalan hukum

karena terkait dengan UU Narkotika. Di satu sisi pelanggaran terhadap Undang-

undang tersebut merupakan tindak pidana dan di sisi lain korban ketergantungan

terhadap narkotika wajib menjalani pengobatan dan perawatan (rehabilitasi).

UU Narkotika dirancang untuk menekan jumlah peredaran narkotika di

Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban

penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja yang membahayakan

kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran UU Narkotika.

Dengan tujuan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkoba

tersebut maka dalam UU Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX

yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkoba. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban

penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya

hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan.84

Mahkamah Agung pada tahun 2009 mengeluarkan sebuah surat edaran

(SEMA RI No 7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan

tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkoba di panti

rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran

84
Ida Bagus Putu Swadharma Diputra, Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalah Guna
Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jurnal Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2012, halaman 6-7

Universitas Sumatera Utara


51

Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,

Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkoba ke dalam Lembaga Rehabilitasi

Medis dan Rehabilitasi Sosial (SEMA No. 04 tahun 2010), yang merupakan revisi

dari SEMA No. 07 Tahun 2009 untuk mencapai penyembuhan para korban

penyalahgunaan narkoba dari ketergantungan tersebut, maka hukuman yang

sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman

pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 103 UU

Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA No. 7 Tahun 2009 serta SEMA No.4

Tahun 2010.85

Selanjutnya di dalam SEMA No. 04 Tahun 2010 menghimbau bagi para

hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk menerapkan ketentuan

Pasal 47 UU Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang

diperintahkan untuk dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan

pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba

termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari

aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh

karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena

telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.86

Di dalam SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban

Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial, Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan adanya aturan-

aturan dalam UU Narkotika dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011

tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, juga mengatur mengenai

85
Ibid, halaman 7
86
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


52

rehabilitasi bagi korban narkoba, memberikan posisi yang sangat sentral kepada

polisi, jaksa, dan hakim khususnya terkait dengan penempatan dalam lembaga

rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan sampai

proses pemeriksaan di persidangan untuk membentuk penetapan. Namun

demikian, hakim dalam memberikan perintah penetapan maupun putusan tetap

diminta untuk memperhatikan dan merujuk pada SEMA No. 4 Tahun 2010.87

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung,_Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepala Badan Narkotika Nasional

Nomor01/PB/MA/III/2014-03 Tahun 2014-11/Tahun 2014-Per005/A/JA/03/2014-

1 tahun 2014 PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkoba

dan Korban Penyalahgunaan Narkoba dalam lembaga rehabilitasi yang bertujuan

untuk mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian

permasalahan narkoba dalam rangka menutunkan jumlah pecandu narkoba dan

korban penyalahgunaan narkoba melalui program pengobatan,”perawatan, dan

pemulihan dalam penanganan”pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan

narkoba sebagai tersangka, terdakwa atau narapidana, dengan tetap melaksanakan

pemberantasan peredaran gelap narkoba.

87
Hotman Sitorus, Rehabilitasi Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Panti Rehabilitasi
Jiwa Dan Narkoba Getsemani Anugerah, Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 8 No. 2, Desember 2019,
halaman 152

Universitas Sumatera Utara


BAB III
FAKTOR PENYEBAB KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH
UMUR SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA

Berdasarkan hasil penelitian berbagai macam faktor yang ditemukan yang

menimbulkan suatu kejahatan tindak pidana narkotika di Polrestabes Medan,

antara lain dapat dikelompokkan:

A. Faktor Internal Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar

Narkoba

Bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya,

berita baik dari media cetak, media sosial, maupun elektronik yang memberitakan

tentang pengedar dan penyalahguna narkoba dan bagaimana korban dari berbagai

kalangan dan usia berjatuhan akibat penyalahgunaan narkoba. Ada beberapa

faktor seseorang melakukan tindak pidana narkoba penyebab penyalahgunaan

narkotika dapat di kelompokan.

Beberapa perkara-perkara anak sebagai penyalahgunaa narkotika masih

saja anak akan dihadapkan pada proses hukum, kasus anak tidak diupayakan

diversi secara maksimal yang berujung pada proses persidangan bahkan tidak

jarang diputus pidana penjara dan tidak diputus untuk menjalani rehabilitasi.

Proses penghukuman yang diberikan kepada anak dengan memasukkan anak ke

dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi lebih

baik. Penjara justru seringkali membuat anak semakin professional dalam

melakukan tindak kejahatan.88

88
Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Keadilan Restorative dan
Kepentingan Terbaik Bagi Anak,” Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 13 No. 2, (Agustus
2013), halaman 146.

53

Universitas Sumatera Utara


54

Faktor internal keterlibatan anak di bawah umur sebagai pengedar

narkoba, antara lain :

1. Faktor usia

Usia belia, pada dasarnya belum mampu menerima pengaruh buruk dari

luar, hal ini dapat menjadi faktor penyebab pribadi anak untuk melakukan suatu

penyimpangan perilaku, dalam usia belia cenderung lebih mudah terpengaruh oleh

lingkungan sekitar yang bersifat negatif, disebabkan ingin mencoba hal-hal baru

guna mencari jati diri, pengalaman dan menunjukan keberadaannya kepada teman

teman sebaya. Disamping itu mental anak yang belum siap untuk

mempertimbangkan baik dan buruk hal-hal baru yang ia terima dari lingkungan

sekitar.89

2. Faktor kejiwaan

Faktor kejiwaan terjadi disebabkan anak tidak mampu menghadapi/

mengatasi masalah yang dihadapinya. Keadaan jiwa yang masih labil, jika ada

pihak-pihak yang berkomunikasi dengan mengenai narkoba, maka anak akan

dengan mudah terlibat kenakalan remaja pengguna narkoba jiwa, bahwa reaksi

frustasi negatif atau kegonjangan jiwa timbul karena secara kejiwaan tidak

mampu menghadapi atau beradaptasi dengan keadaan zaman yang serba modern

dan kompleks, sehingga menimbulkan reaksi yang keliru atau tidak sesuai dengan

lingkungan sekitarnya.90

89
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib
90
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib

Universitas Sumatera Utara


55

3. Faktor ingin mencoba

Rasa ingin tahu anak tersebut mengenai suatu hal selalu dimiliki semua

orang bahkan untuk sesuatu yang tidak harus diketahui, manusia berusaha mencari

tahu. Mencoba sesuatu hal merupakan usaha untuk mencari tahu. Sama halnya

dengan mencoba narkoba, orang yang hanya ingin tahu, bagaimana narkotika

tersebut, apakah sama dengan apa yang orang-orang katakan.91

Perasan keingintahuan para narkoba ini pada hakikatnya lebih di dominan

pada anak-anak usia masih muda ingin mencoba untuk menikmati tentang

narkoba itu yang dapat mendorong seseorang itu melakukan perbuatan tindak

pidana narkotika tersebut.92

4. Kehendak ingin bebas

Sifat ini hakikatnya merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki oleh

masyarakat/pelaku tindak pidana. Sementara itu dalam pergaulan masyarakat

banyak norma-norma yang membatasi kehendak bebas itu. Kehendak bebas itu

muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang ditimpa beban yang

sedang ditimpa tersebut melakukan interaksi dan berhubungan dengan narkotika,

maka dengan sangat mudah orang tersebut terjerumus pada tindak pidana

narkoba.93

B. Faktor Eksternal Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar

Narkoba

Faktor eksternal keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar

narkoba, antara lain:

91
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib
92
Ediwarman, dkk, Op.Cit, halaman 50
93
Ibid, halaman 49

Universitas Sumatera Utara


56

1. Faktor keluarga

Keluarga adalah faktor utama anak dalam membentuk sifat, kebiasaan dan

jati diri anak, ketidak harmonisan antara anak dan orang tua dapat menjadi

penyebab perilaku delikuensi anak, hal ini dikarenakan tidak adanya keterikatan

batin antara anak dan orang tua sehingga terjadi kesenjangan antara kehendak

orang tua dan kehendak anak kemudian anak dapat melakukan perilaku delikuensi

yang ditimbulkan karena tidak ada kepekaan terhadap pikiran, perasaan dan

kehendak orang lain. Oleh karena itu peran keluarga sangat penting dalam

membina anak sebagai pribadi yang baik sehingga tidak terjerumus ke dalam hal-

hal negatif yang mempengaruhi pribadi anak. Apabila anak tidak dibina dengan

baik maka tidak heran jika anak akan melakukan hal-hal buruk dikarenakan tidak

ada peran keluarga untuk mengawasi dan membatasi pribadi anak dalam berbuat

dan untuk menentukan itu baik atau buruk.94

Keluarga merupakan faktor utama anak dalam membentuk kepribadian,

sifat, watak, kebiasaan dan jati diri anak, ketidakharmonisan anak dan orang tua

dapat menjadi penyebab perilaku delikuensi anak, hal ini dikarenakan tidak

adanya keterikatan batin antara anak dan orang tua sehingga terjadi kesenjangan

antara kehendak orang tua dan kehendak anak selanjutnya anak dapat melakukan

perilaku delikuensi yang ditimbulkan karena tidak ada kepekaan terhadap pikiran,

perasaan dan kehendak orang lain. Setelah anak tidak mendapatkan yang

diinginkan dalam keluarga, si anak mencoba mencari kesibukan dan mencari

teman sebaya untuk bergaul.95

94
Romli Atmasasmita, Op.Cit, halaman. 46.
95
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


57

Masyarakat yang masih sederhana mungkin kehidupan keluarga antara

orang tua dan anaknya hidup dalam kebudayaan yang harmonis, tidak banyak

timbul pengaruh dari luar dan akibatnya tercipta suasana yang mantap dan

harmonis tanpa mengalami kesulitan dalam memecahkan suatu masalah. Berbeda

dengan masyarakat yang moderen seperti sekarang ini, dipenuhi berbagai aktifitas,

hal tersebut banyak menyita waktu para orang tua, sehingga waktu yang

semestinya mengurusi anak tersita oleh hal tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka

sulit bagi anak untuk mengemukakan dan mengadukan permasalahannya. Dengan

demikian akan membuat anak menjadi frustasi, disebabkan tidak ada lagi tempat

untuk menyampaikan masalah yang dihadapinya.96

2. Faktor ekonomi

Keadaan ekonomi keluarga yang kurang seperti ketika anak menginginkan

atau meminta sesuatu yang orang tua tidak mampu untuk memenuhi keinginan si

anak tersebut yang disebabkan pendapatan dari orang tua hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari, hal itu juga menjadi alasan utama mengapa anak

melakukan kejahatan. Keadaan ekonomi seperti ini jelas tidak menguntungkan

bagi perkembangan si anak. Keadaan keluarga yang seperti ini mengakibatkan

anak akan mengalami frustasi, dan menghalalkan segala cara yang menyebabkan

si anak mau menjadikan dirinya perantara jual beli agar mendapatkan tambahan

uang jajan dan juga mau mengikuti penampilan gaya masa kini, akan tetapi

beberapa dari mereka ada yang tidak mengetahui apa yang mereka antarkan yang

pasti mereka ketahui hanya untuk mendapatkan uang.97

96
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib
97
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib

Universitas Sumatera Utara


58

Seorang anak belia yang secara ekonomi cukup mampu, tetapi kurang

memperoleh perhatian yang cukup dari keluarga atau masuk kedalam lingkungan

pergaulan yang salah, akan lebih mudah terjerumus dalam penyalahgunaan

narkoba. 98 Salah satu teori yang tertua diketahui oleh banyak orang adalah

Divergent Theories, yang berarti bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.

Plato (427- 347SM) berpendapat di setiap negara dimana terdapat banyak orang

miskin, dengan cara diam-diam terdapat banyak penjahat, pelanggar agama dan

penjahat dari bermacam-macam corak termasukjuga pencuri/tukang copet/maling.

Aristoteles (384-322SM) juga mengatakan bahwa kemiskinan dapat menimbulkan

kejahatan/pemberontakan.99

3. Faktor pendidikan

Rata-rata anak hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SMP. Tidak

sedikit dari anak yang hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SD.

Disamping itu banyak dari mereka yang putus sekolah. Sehingga pemahaman

mereka tentang bahaya narkoba tidak diketahui dengan baik. Sosialisasi tentang

bahaya narkoba juga tidak pernah mereka dapatkan. Baik di sekolah maupun di

lingkungan masyarakat.100

98
Ida Listyarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya? (Bandung: Pakar Raya,
2004), halaman 5
99
M Ridwan dan Ediwarman, Asas-Asas Krimonologi, (Medan: USU Perss, 1994),
halaman 8
100
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib

Universitas Sumatera Utara


59

4. Adanya kemudahan

Kemudahan disini karena banyaknya beredar jenis-jenis narkotika beredar

di pasar gelap yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin besar pula peluang

terjadinya tindak pidana narkoba.101

5. Pergaulan/lingkungan

Penyalahgunaan narkotika oleh para pelaku yang dapat membawa mereka

dalam kecanduan dan ketergantungan tidak dapat terlepas dari lingkungan

pergaulannya. Artinya saat pertama remaja mengenal dan mencoba narkoba dan

dimana obat-obat terkutuk itu mereka temuka di tengah pergaulan (pada

pertemuan) dan di tempat-tempat tertentu yang oleh “kelompok kecil pecandu”

dikenal dengan baik. Dampak penyalahgunaan narkoba di kalangan anak adalah

suatu pergaulan khusus dan diam-diam, antara pecandu di tengah suatu pergaulan

masyarakat luas yang mungkin acuh atau tidak begitu mudah untuk mengetahui

apa yang sedang mereka lakukan. Jelaslah bahwa pecandu-pecandu narkotika

hidup dalam dunia pergaulan tersendiri, lepas dari lingkungan pergaulan yang

wajar. Anak-anak dipaksa oleh pengaruh narkoba untuk tidak peduli dengan

norma-norma dan nilai-nilai pergaulan hidup yang sebenarnya telah dianut sejak

masa kanak-kanak dalam asuhan orang tua dan kekerabatan harmonis lingkungan

terdekatnya (pada tetangga dan sekolah).102

Faktor lingkungan yang tidak baik atau tidak mendukung perkembangan

psikologis anak, kurangnya perhatian terhadap anak bisa juga mengarahkan

seorang anak menjadi pengguna (user) narkoba.103

101
Ediwarman, dkk, Op.Cit, halaman 52
102
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib
103
Ediwarman, dkk, Op.Cit, halaman 33

Universitas Sumatera Utara


60

Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tindak pidana narkoba,

disebabkan :

1. Faktor individu

Dalam diri individu terdapat aspek kepribadiandan adanya faktor kecemasan

(depresi). Aspek kepribadian termasuk didalamnya kepribadian yang ingin

tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri, sedangkan faktor

kecemasan atau depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan

hidup, sehingga melarikan diri dalam penyalahgunaan narkoba.

2. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya artinya dari kondisi keluarga atau rumah tangga serta

pengaruh teman-teman sebaya. Kondisi keluarga merupakan kondisi yang

disharmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang

dirumah serta perekonomian keluarga yang serba berkelebihan atau sebaliknya

serba kekurangan.

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang tidak baik atau tidak mendukung perkembangan

psikologis anak, kurangnya perhatian terhadap anak dapat juga mengarah

seorang anak menjadi user (pengguna) narkoba.

4. Faktor narkoba itu sendiri

Faktor narkoba itu sendiri artinya mudah sekali mendapatkan narkoba serta

didukung dengan faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya di atas, semakin

melengkapi timbulnya kejahatan tindak pidana narkoba dan peredaran gelap

narkoba.104

104
Ediwarman, dkk, Op.Cit, halaman 31-32

Universitas Sumatera Utara


61

Selain yang tersebut di atas ada sebab-sebab penyalahgunaan narkotika,

antara lain:

a. untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang

berbahaya dan mempunyai risiko;

b. untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi

berwenang;

c. untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

d. untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-

pengalaman emosional;

e. untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

a. untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang

kesibukan;

b. untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh

problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi

mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis;

c. untuk mengikuti kemauan teman-teman dan untuk memupuk solidaritas

dengan kawan-kawan; dan

d. karena didorong rasa ingin tahu (curiosity) dan karena iseng (just for kicks).105

Penyebab penggunaan narkoba secara tidak legal yang dilakukan oleh

para remaja dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu

a. mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin

memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika;

105
Hari Sasangka, Op.Cit, halaman 76

Universitas Sumatera Utara


62

b. mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the

oblivion seekers) adalah mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai

tempat pelarian terindah dan ternyaman; dan

c. mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu

mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah

kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan.106

106
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI
KETERLIBATAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI
PENGEDAR NARKOBA DALAM PERSPEKTIF
KRIMINOLOGI

A. Teori-Teori Kriminologi Tentang Faktor Penyebab Terjadinya

Kejahatan

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu kejahatan

yang tergolong baru, dan dampaknya sangat besar baik terhadap individu,

masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai macam sanksi hukum yang diancamkan

kepada para pemakai, pengedar dan yang memproduksi barang-barang berbahaya

ini. Mulai dari hukuman kurungan dan hukuman denda serta hukuman mati.

Bahkan dalam tidak jarang dalam beberapa putusan yang dikeluarkan oleh hakim,

para pelaku kejahatan bidang narkoba ini dihukum dengan hukuman mati.107

Para pemakai atau pengguna narkotika bagi dirinya terhadap golongan I di

pidana penjara paling lama empat tahun, golongan II pidana 2 tahun dan golongan

III pidana 1 tahun. Kadangkala atau seringkali para pemakai misalnya dalam suatu

kesempatan tertentu memberikan narkoba kepada orang lain, hal ini juga diancam

pidana penjara dan pidana denda, yang masing bervariasi mulai dari 15 tahun dan

denda tujuh ratus lima puluh juta rupiah (golongan I), 10 tahun dan denda paling

banyak lima ratus juta rupiah (golongan II) dan paling lama 5 tahun dengan denda

dua ratus lima puluh juta rupiah (golongan III).

Dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pengalaman yang terjadi, ada

orang tua yang mana anaknya atau anak dibawah perwaliannya (masih di bawah

umur) terlibat sebagai pemakai narkoba, tetapi karena takut untuk melaporkan
107
Asrianto Zainal, Penegakkan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Ditinjau Dari
Aspek Kriminologi, Jurnal Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2 Juli 2013, halaman 56

62

Universitas Sumatera Utara


63

kegiatan anaknya, secara hukum orang tua atau wali tersebut dapat dikenai sanksi

hukum dengan pidana penjara enam bulan dan denda satu juta rupiah. Alasan

yang dijadikan dasar oleh orang tua untuk tidak melaporkan anaknya tersebut,

tentu sangat beralasan, yaitu ketakutan kalau anaknya ditangkap dan dipenjara.

Sehingga akhirnya jalan yang diambil adalah membiarkan dan menyembunyikan

tindakan anak tersebut. Hal ini tentu sangat merugikan posisi dari orang tua atau

wali tersebut. Dengan melaporkan tindakan anaknya yang kecanduan, tidak

dituntut pidana.108

Keterlibatan anak dalam dunia narkotika, tidak lepas dari kontrol orang

tua, karena sebagaimana mestinya orang tua harus melindungi, mendidik dan

memberikan kehidupan yang layak baik kebutuhan dari segi fisik maupun psikis.

Orang tua diharapkan untuk mengawasi dan mendidik anaknya agar selalu

menjauhi penyalahgunaan narkoba. Dengan memberikan pendidikan agama

maupun pendidikan umum. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa dan

negara.

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

puber. Pada masa inilah umumnya dikenal sebagai masa "pancaroba" keadaan

remaja penuh energi, serba ingin tahu, belum sepenuhnya memiliki pertimbangan

yang matang, mudah terombang-ambing, mudah terpengaruh, nekat dan berani,

emosi tinggi, selalu ingin coba dan tidak mau ketinggalan. Pada masa-masa inilah

mereka merupakan kelompok yang paling rawan berkaitan dengan

penyalahgunaan psikotropika.109

108
Ibid, halaman 56-57
109
Ahmad Ariwibowo, Op.Cit, halaman 46-47

Universitas Sumatera Utara


64

Pengguna narkoba kategori anak, merupakan kelompok yang rentan akan

pelanggaran HAM. Sehingga anak membutuhkan perlindungan dan perlakuan

khusus, terutama dalam hal pemenuhan hak atas kesehatan dan akses terhadap

keadilan. Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Rights of The Child)

terdapat empat prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan atau pemenuhan hak anak

pengguna narkoba, yaitu:

(1) Prinsip non-diskriminasi,

(2) Kepentingan terbaik untuk anak,

(3) Penghargaan terhadap pendapat anak, dan

(4) Hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang.110

Sebagai penegak hukum, polisi sebagai penyidik yang berfungsi sebagai

penjaga gawang, atau penentu untuk dapat lanjut atau tidaknya suatu perkara pada

proses selanjutnya sehingga perlu menentukan suatu kebijakan dengan

memperhatikan berbagai aspek, seperti aspek yuridis dan aspek non-yuridis atau

yang dikenal dengan pendapat Muladi tentang aspek ekstra yuridis termasuk

aspek sosiologis, antropologis (kearifan lokal/hukum adat setempat). 111

Perspektif kriminologi ada beberapa aliran etiologi criminal (faktor-faktor

penyebab terjadinya kejahatan), antara lain:

1. Aliran anthropologi

Aliran ini berkembang di negara Italia, tokoh dalam aliran ini adalah C.

Lombroso. C. Lombroso mengemukakan bahwa ciri khas seorang penjahat

dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya,

110
Donny Michael, Op.Cit, halaman 424.
111
Ema Dewi, Kebijakan Polri Sebagai Penyidik Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Ringan Dalam Mewujudkan Keadilan (stud! Pada wilayah hukum polda lampung),
MMH, Jilid 41 No. 2April 2012, halaman 220-221

Universitas Sumatera Utara


65

seperti kelainan-kelainan pada tengkorak kepala yaitu tidak simetris, roman

muka yang lebar, mukanya miring, hidungnya pesek, tulang dahi melengkung

kebelakang, rambut tebal dan bila sudah tua lekas botak dibagian tengah.

2. Aliran lingkungan

Aliran ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokoh Lamark,

Tarde, Monowier serta A Lacassagne. Menurut aliran ini seseorang melakukan

kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya seperti

ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta kebudayaan termasuk

perkembangan dengan dunia luar serta penemuan-penemuan teknologi.112

3. Aliran Biossiologi

Tokohnya AD Prinz, Van Hamed, D Simons dan Ferry. Aliran ini

sebenarnya merupakan perpaduan aliran anthropologi dengan aliran sosiologi oleh

sebab itu ajarannya didasarkan pada :

a. Faktor individu seperti keadaan psychis dan fisik penjahat serta faktor

lingkungan. Faktor individu diperoleh sebagai warisan dari orang tua,

keadaan badannya, jenis kelamin, usia, intelektual, temperamen,

kesehatannya dan minuman keras.

b. Faktor keadaan lingkungan seseorang melakukan kejahatan yang

meliputi keadaan alam, keadaan ekonomi, tingkat peradaban, keadaan

politik suatu negara seperti meningkatnya kejahatan menjelang

pemilihan umum.

112
Ediwarman,dkk, Op.Cit, halaman 30

Universitas Sumatera Utara


66

4. Aliran Spritualisme

Tokoh dari aliran ini FAK Krauss dan M de Baets. Menurut tokoh ini

bahwa tidak beragamnya seseorang sebagai faktor penyebab terjadinya kejahatan,

dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama atau kurang beragama.

Tegasnya aliran spritualisme ini mengkaitkan sebab terjadinya kejahatan yang

dilakukan seseorang dalam masyarakat karena kurangnya kesadaran beragama,

sebaliknya jika seseorang kesadaran beragamanya cukup tinggi, maka

sepritualisme ini mengkaitkan sebab terjadinya kejahatan yang dilakukan

seseorang dalam masyarakat karena kurangnya kesadaran beragama, sebaliknya

jika seseorang itu tidak mau melakukan suatu kejahatan.113

B. Kebijakan Penal Polrestabes Medan dalam Menanggulangi Keterlibatan


Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba Dalam Prespektif
Kriminologi

Kasus narkoba masih menjadi tren atau masih dominan diantara beberapa

tindak kejahatan/pidana lainnya dan itupun hanya sebatas kasus yang terungkap

atau terdata. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak kasus Narkotika yang

diselesaikan secara “damai” sehingga kasus tersebut tidak terdata (dark

number). 114 Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana

pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan

perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang

teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini

tergabung dalam kebijakan sosial (social policy). Salah satu bagian dari kebijakan

sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk

113
Ibid, halaman 30-31
114
Wenda Hartanto, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Dan Obat-Obat
Terlarang Dalam Era Perdagangan Bebas Internasional Yang Berdampak Pada Keamanan Dan
Kedaulatan Negara, Jurnal Legalisasi Indonesia, Vol. 14 N0. 01 - Maret 2017, halaman 3-4

Universitas Sumatera Utara


67

di dalamnya kebijakan legislatif (legislative policy). Kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy).115

Lembaga Kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai

Lembaga dan diberikan kewenangan untuk menjalankan tugas dan fungsinya

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU Kepolisian menyebutkan

bahwa fungsi Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.116

Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy

atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya

melalui beberapa tahap, yaitu formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (yudikatif

atau yudisial), dan eksekusi (kebijakan eksekutif atau administratif). 117 Tahap

formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan

perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi ini merupakan

tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah

dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan

dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.118Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal

yang paling strategis dari yang lain. Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi

atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi

115
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan-bahan kuliah Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, (Medan: Sumatera Utara: 2011), halaman. 6.
116
Ediwarman, dkk, Op.Cit, halaman 1-2
117
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Op.Cit, halamana. 75
118
Teguh Prasetyo, Op Cit, halaman. 22

Universitas Sumatera Utara


68

penghambat bagi tahap berikutnya dalam hukum pidana yaitu tahap aplikasi dan

eksekusi.119

Penanggulangan kejahatan menggunakan upaya non-penal perlu digali,

dikembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi

masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan danmengembangkan "extra-legal

system atau "informal and traditional system" yang ada dalam masyarakat. Selain

upaya penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat

kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam

masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya penal itu digali dari berbagai sumber

lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. 120 Upaya penanggulangan

kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive

(penindasan / pemberantasan /penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.121

Upaya penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana

2. Pencegahan tanpa pidana

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa.122

Upaya represif merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh apabila

langkah-langkah melalui upaya pre-emtif dan preventif tidak berhasil. Upaya

represif merupakan tindakan penegak hukum terhadap ancaman aktual, yaitu

terhadap penyalahgunaan narkoba maupun efek yang ditimbulkan dari pada

penyalahgunaan narkoba, melalui proses penyidikan dengan mempedomani

119
Ibid, halaman 22
120
Ema Dewi, Op.Cit, halaman 222
121
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, halaman. 188
122
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, halaman. 45.

Universitas Sumatera Utara


69

KUHAP dikaitkan dengan tindak pidana yang terjadi. Upaya represif pada

dasarnya adalah penindakan terhadap para pelaku yang melakukan tindak pidana

pengendaran dan penggunaan narkoba, guna diproses sesuai dengan hukum yang

berlaku.123

Usaha penangulangan tindak pidana penyalahgunaan narkoba secara

represif, juga merupakan usaha pengangulangan kejahatan dengan hukum pidana

yang pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha pencegahan hukum oleh

karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik dan kebijakan hukum pidana juga

yang merupakan bagian dari penegakan hukum. Upaya represif penyalahguna

narkoba merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman

faktual dengan sanksi tegas dan konsisten dapat membuat jera terhadap para

pelaku penyalahgunaan dan pengedar narkoba.124

Kebijakan penal pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana

yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni

pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana

narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka

ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan

menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan

pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.125

123
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib
124
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib
125
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


70

C. Kebijakan Non Penal Polrestabes Medan dalam Menanggulangi


Keterlibatan Anak Dibawah Umur Sebagai Pengedar Narkoba Dalam
Prespektif Kriminologi

Kebijakan kriminal yang menggunakan sarana non-penal menitik beratkan

pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan

terjadi. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

yaitu menangani faktor-faktor kondusif sebagai penyebab terjadinya kejahatan.

Faktor-faktor kondusif, seperti pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial

yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan tindak pidana. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang

dapat menjadi faktor kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi semata-

mata dengan upaya penal, karena keterbatasan upaya penal, oleh karena itu harus

ditunjang dengan upaya non-penal untuk mengatasi berbagai masalah sosial

maupun kejahatan.126

Kebijakan non-penal dalam pencegahan keterlibatan anak dibawah

umur sebagai pengedar narkoba, yaitu diseminasi. Diseminasi merupakan

kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka

memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan

informasi tersebut. 127 Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber

lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media pers/media

massa, pemanfaatan kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi efek-preventif

dari aparat penegak hukum. Kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara

kontinu termasuk upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi

126
Ema Dewi, Op.Cit, halaman 221-222
127
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


71

penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan

razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan

kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif

edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang

perlu diefektifkan.128

Pemeriksaan kasus anak di Kepolisian, biasanya diserahkan pada polisi

perempuan agar anak tidak merasa takut. Hal tersebutsesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.129 Polri adalah salah satu

aparat penegak hukum yang berperan dalam penanganan setiap tindak pidana.

Polri juga berfungsi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.130

Pencegahan penyalahgunaan narkoba, upaya yang paling strategis yaitu

dengan sarana non penal sebab menghindari jauh lebih baik dari pada mengobati.

Sarana penal dipandang masih mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam

menanggulangi peyalahgunaan narkoba oleh anak. Upaya ini lebih efektif

dilakukan mengingat kondisi masyarakat Indonesia masih terikat dengan nilai-

nilai sosial budaya. Dilihat dari sisi upaya non penal ini berarti, perlu digali,

dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi

128
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Op.Cit, halaman 48
129
Yuliana Primawardani, Op.Cit, halaman 417
130
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010),
halaman. 109

Universitas Sumatera Utara


72

masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal

system”atau “informal and traditional system”yang ada di masyarakat.131

Penegakan hukum dalam tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang

dilakukan oleh anak di Polrestabes Medan, sesuai dengan Pasal 64 dan 65 UU

Narkotika, pemerintah membentuk lembaga guna mencegah dan memberantas

penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap dan prekusor narkotika. Para

penegak hukum harus memiliki rasa tanggung jawab dalam hal ini karena

ketebalan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) yang mesti dimiliki setiap

pejabat penegak hukum harus mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap

diri sendiri, masyarakat, serta pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha

Esa.132

Penegakan hukum, Polrestabes Medan bertanggung jawab atas tindak

pidana penyalahgunaan narkoba selalu melakukan rehabilitasi bagi pecandu

narkoba sesuai dengan tugasnya. Penanganan bagi pecandu pun berbeda-beda

dikarenakan pecandu narkoba diibaratkan sebagai penyakit yang sewaktu-waktu

dapat kambuh. Melakukan penanganan bagi pecandu narkoba, rehabilitasi juga

harus menyesuaikan tingkat ketergantungan dari pecandu karena rehabilitasi tidak

semata-mata hanya dilakukan untuk membuat pecandu merasa menyesal, namun

rehabilitasi harus membuat pelaku benar-benar lepas dari narkoba sebagaimana

harus ada efek jera untuk melakukan penyalahgunaan narkoba dalam

rehabilitasi.133

131
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta. Kencana Prenadamedia Group, 2007) halaman. 52.
132
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan
dan penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), halaman. 5
133
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


73

UU SPPA menganut double track system. Double track system adalah

sistem dua jalur dimana disamping mengatur sanksi pidana juga mengatur

tindakan. Melalui penerapan sistem dua jalur (double track system), sanksi yang

dijatuhkan akan lebih mencerminkan keadilan, baik bagi pelaku, korban, dan

masyarakat.134

Pencegahan yang dilakukan Polrestabes Medan dalam penanggulangan

narkoba yang melibatkan anak-anak, yaitu dengan melakukan pencegahan,

penindakan produksi, distribusi, dan peredaran didalam masyarakat. Peranan Polri

sangat diperlukan dalam pengawasan terhadap produksi dan distribusi bahan obat

berbahaya. Polri biasa bekerja sama dengan instansi pemerintah lain, misalnya

untuk mengantisipasi penyelundup dan produksi obat berbahaya.135

Polrestabes Medan dalam perkara penyalahgunaan narkoba

penanganannya tidak seperti perkara-perkara biasa dimana perkara narkoba ini

dianggap sebagai perkara prioritas yaitu perkara yang memerlukan perhatian

khususnya yang penanganannya harus didahulukan agar dapat segera dilakukan

pemeriksaan secepatnya. Oleh sebab itu perkara penyalahgunaan narkoba ini

termasuk perkara yang penting, maka penanganan narkoba dan psikotropika ini

dibedakan dengan perkara yang lain yaitu harus dilakukannya suatu rencana

tuntutan terlebih dahulu berkas perkara narkoba dan psikotropika tersebut harus

134
Stanley Oldy Pratasik, Pemidanaan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang
Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Lex et Societatis, Vol. III (April, 2015), h., 71
135
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


74

dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke pengadilan negeri oleh

jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri Medan.136

Penegakan hukum tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus

dilakukan dengan hati-hati dan berlandaskan akan rasa tanggungjawab kepada

pelaku, korban dan masyarakat yang dilakukan oleh para penegak hukum, yakni

kepolisian, kejaksanaan dan kehakiman. Pemberlakukan restoractive justice

dilakukan dengan tujuan pencapaian diversi yang diharapkan anak yang

berkonflik dengan hukum terhindar dari sanksi pidana formal, dengan

mengarahkan penerapan sanksi pidana alternatif tanpa penjara. UU SPPA

memberikan perlindungan dan kepentingan yang mengutamakan perlindungan

dan memberikan keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.137

Seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba

juga berkewajiban untuk mengikuti program pembinaan sebagaimana oleh

pemerintah diatur dalam UU Narkotika Pasal 60 ayat (2) huruf b dan huruf c

“mencegah penyalahgunaan narkoba. Mencegah generasi muda dan anak usia

sekolah dalam penyalahgunaan narkoba, termasuk pendidikan yang berkaitan

dengan narkoba dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas”. Ini

merupakan amanah dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan program

pembinaan dan pengawasan terhadap anak agar dapat terhindar dari tindak pidana

penyalahgunaan narkoba, maka dari itu anak atau melalui perantara orang tua atau

walinya berkewajiban untuk mengikuti program pembinaan pencegahan

136
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib
137
I Wayan Govinda Tantra, Op.Cit, halaman 218

Universitas Sumatera Utara


75

penyalahgunaan narkoba untuk menjaga dan menjamin hak-hak anak dan

kepentian terbaik bagi anak.138

Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan bahaya bagi umat manusia,

yang tidak dapat ditanggulangi secara setengah-tengah, tetapi harus merupakan

gerakan umat manusia secara bersama-sama untuk menyadarkan dan memerangi

anggota masyarakat yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Untuk

menanggulangi penyalahgunaan narkoba di Wilayah Polrestabes Medan

memanglah tidak mudah untuk mencari upaya atau cara yang terbaik. Namun

dalam hal ini, baik orang tua, masyarakat umum maupun aparat penegak hukum

terutama aparat kepolisian dapat mengambil langkah-langkah strategis di dalam

mengupayakan menanggulangi penyalahgunaan narkoba di Wilayah Polrestabes

Medan.139

Pencegahan dan penegakan hukum terhadap keterlibatan anak dibawah

umur sebagai pengedar narkoba dalam perspektif kriminologi Polrestabes Medan,

yaitu:

1. Upaya pre-emtif

Upaya pre-emtif adalah upaya pencegahan yang dilakukan secara dini,

antara lain mencakup pelaksanaan kegiatan koordinasi, kaderisasi serta

penyuluhan yang bersifat dengan sasaran untuk memengaruhi faktor-faktor

penyebab pendorong dan faktor peluang (faktor korelatif kriminogen) dari adanya

kejahatan tersebut, sehingga akan tercipta suatu kondisi kesadaran kewaspadaan

138
Abd. Basid, Op.Cit, halaman 464
139
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


76

dan daya tangkal serta terbina dan terciptanya kondisi perilaku dan norma hidup

bebas dari segala ancaman narkoba khususnya bagi anak.140

Upaya ini juga dilakukan untuk mencegah timbulnya demand

penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja yang mana secara fungsional dan

berkala memberikan penerangan terhadap pemuda atau pelajar tentang bahaya

penyalahgunaan narkoba. Kegiatan ini pada dasarnya merupakan pembinaan dan

pengembangan lingkungan serta pengembangan sarana dan kegiatan yang positif

di masyarakat dan bersama instansi terkait mengadakan pengawasan terhadap

pendistribusian obat keras tertentu khususnya narkotika, guna mencegah adanya

kebocoran agar tidak terjadi penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja.

Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam mengantisipasi segala

perbuatanm yang dapat merusak kondisi keluarga yang telah terbina dengan serasi

dan harmonis. Di samping itu, sekolah juga merupakan lingkungan yang sangat

besar pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian remaja, baik untuk

pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengaruh negatif dari sesama pelajar.

Oleh karena itu, perlu terbina hubungan dengan pengajar, sehingga akan

menghindari bahkan menghilangkan peluang pengarah pelajar. Mengembangkan

pengetahuan kerohanian atau keagamaan dan pada saat-saat tertentu dilakukanm

pengecekan terhadap murid untuk mengetahui apakah diantara anak-anak telah

menyalahgunakan narkoba. Disamping itu, juga dilakukan dengan cara

memberikan penerangan terhadap pemuda / pelajar tentang bahwa

penyalahgunaan narkotika.141

140
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib
141
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


77

2. Upaya preventif

Polrestabes Medan khususnya satuan reserse narkoba juga melakukan

upaya preventif. Upaya preventif yaitu upaya pencegahan dengan melakukan

pengawasan dan pengendalian peredaran narkoba untuk mencegah terjadinya

peredaran gelap dan penyalahggunaan narkoba yang pada akhirnya akan

mencegah terjeratnya anak dalam jaringan narkoba khususnya sebagai kurir

narkoba. Upaya preventif bukan semata-mata dibebankan kepada polisi, namun

juga melibatkan instansi terkait, seperti bea cukai, pemuka agama seperti ustadz,

pendeta, biksu dan tidak lepas dari dukungan maupun peran serta masyarakat.

Pencegahan lebih baik dari pada pemberantasan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

pengawasan dan pengendalian untuk mencegah suplay and demand agar tidak

saling interaksi atau dengan kata lain mencegah terjadinya ancaman faktual.

Upaya preventif yang dilakukan polisi sebagai berikut:

a. Secara intensif dengan instansi terkait melakukan pengawasan terhadap

tempat-temapt yang diduga keras sebagai jalur lalu lintas gelap narkoba

terutama di pelabuhan laut dan udara yang menjadi jalur masuknya para

pendatang baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

b. Melakukan pengawasan secara rutin di tempat-tempat yang biasa diadakan

transaksi narkoba seperti ditempat hiburan maupun ditempat biasa anak

remaja kumpul-kumpul.

c. Bekerja sama dengan pendidik untuk melakukan pengawasan terhadap

sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang diduga telah terjadi

penyalahgunaan narkoba.

Universitas Sumatera Utara


78

d. Meminta kepada instansi yang mempunyai kewenangan untuk mencabut izin

usaha terhadap pengusaha-pengusaha hiburan yang melanggar ketentuan

waktu membuka dan menutup kegiatannya, terutama tempat hiburan yang

diduga keras sebagai temapt peredaran penyalahgunaan narkoba.

e. Pengendalian situasi khususnya yang menyangkut aspek budayanya, ekonomi,

dan politik yang cenderung dapat merangsang terjadi penyalahgunaan

narkoba.

f. Pembinaan atau bimbingan dari partisipasi masyarakat secara aktif untuk

menghindari penyalahgunaan tersebut dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang

positif.

g. Melalukan operasi kepolisian dengan cara patroli, razia, di tempat-tempat

yang dianggap rawan terjadinya penyalahgunaan narkoba.

h. Polisi dalam upaya mencegah penyalahgunaan narkotika bersama-sama

dengan instansi yang terkait melakukan penyuluhan terhadap segala lapisan

masyarakat baik secara langsung, melalui media cetak maupun media

elektronik.142

3. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban

pengguna narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi

adalah usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan

nakotika dan hidup normal sehat jasmani dan rohani sehingga dapat

menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya,

142
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib

Universitas Sumatera Utara


79

kepandaiannya, pergaulannya dalam lingkungan hidup atau dengan keluarganya

yang disebut juga resosialisasi.143

Praktiknya pecandu diberi obat-obatan tertentu guna membantu pecandu

agar tidak ada lagi keinginginan dalam menggunakan narkoba kembali.

Rehabilitasi medis diaksanakan di rumah sakit yang di tunjuk oleh Menteri

Kesehatan atau lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah maupun masyarakat setelah mendapat persetujuan dari Menteri, hal ini

sesuai dengan Pasal 56 UU Narkotika yang mengatur tentang tahap rehabilitasi

bagi pecandu.

Rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong, merawat dan

merehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dalam lembaga tertentu,

sehingga diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat

atau mendapatkan pekerjaan yang layak. Upaya penyembuhan dan pemulihan

kondisi dari para penyalahgunaan narkoba, dewasa ini Polrestabes dan jajarannya

bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial masyarakat seperti geram (gerakan

anti madat), Granat (gerakan anti narkoba), dan lembaga-lembaga lainnya untuk

melakukan pemulihan terhadap korban penyalahgunaan narkoba. Hal ini sudah

dilakukan di berbagai tempat, baik oleh lembaga swadaya masyarakat dengan

pendekatan berbagai disiplin ilmu ataupun oleh instansi-instansi pemerintah

seperti rumah sakit, departemen kesehatan dan lain-lain.144

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, karena tanpa dukungan

masyarakat maka segala usaha dan kegiatan penegakan hukum akan mengalami

143
Lydia Harina Martono dan Satya Joewana, Op.Cit, halaman.87.
144
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


80

kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah bentuk pandangan, reaksi, sikap

tingkah laku masyarakat dalam melihat kejahatan khususnya terhadap

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak karena reaksi masyarakat

terhadap kejahatan ternyata menunjukkan hubungan “signifikan” antara reaksi

masyarakat dengan terjadinya kejahatan. Semakin besar reaksi masyarakat

terhadap kejahatan, maka semakin kecil terjadinya kejahatan, begitu pula

sebaliknya, semakin kecil reaksi masyarakat terhadap kejahatan, maka semakin

tumbuh suburlah kejahatan.145

Selama ini peran anak dalam tindak pidana narkoba biasanya berfokus

sebagai pecandu atau pengguna dan kurir narkotika, hal tersebut dikarenakan anak

dianggap masih belum mampu dalam melakukan tindak pidana, padahal hal

tersebut bisa saja terjadi. Misalnya memanfaatkan anak sebagai kurir, maka

bandar dan pengedar tidak perlu membayar anak tersebut dengan uang secara

langsung namun cukup dengan mengiming-imingi dengan narkoba, sehingga anak

dengan polosnya melakukan tindak pidana tersebut. Atau seorang anak yang

memang tidak kecanduan narkoba akan tetapi dengan diiming-imingi uang jajan

mau mengantar narkoba dimana anak tidak tau isi barang yang diantarnya. Kedua

kemungkinan tersebut yang sering terjadi dalam praktik anak terlibat sebagai kurir

narkoba.146

Kendala yang dihadapi Polrestabes Medan dalam upaya pencegahan dan

penegakan hukum terhadap keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar

narkoba dalam perspektif kriminologi Polrestabes Medan, anak-anak yang terlibat

penyalahgunaan narkoba masih awam mengenai hukum-hukum bagi pengguna

145
Teguh Prasetyo, Op.Cit, halaman. 13-14.
146
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


81

penyalahgunaan narkoba, dan sebagian anak-anak tersebut masih belum

mengetahui dengan UU Narkotika standarnya batas pemakaian bagi pengguna

yang menggunakan narkoba sebanyak 3,5 gram, kalau dibawah 3,5 gram wajib

direhabilitasi, hal ini masih dipahami oleh masyarakat khususnya anak-anak yang

terjaring oleh Polrestabes Medan.147

Polrestabes Medan dalam menangulangi tindak pidana narkotika

melakukan kebijakan non-penal, yaitu pembinaan yang dilakukan oleh Polrestabes

Medan adalah sosialisasi dan pembinaan tentang bahaya narkoba melalui sat

narkoba kepada pelajar yang dijadwalkan setiap satu bulan sekali ke setiap

sekolah atau jika ada permintaan dilakukanya sosialisasi baik di sekolah, desa atau

instansi pemerintahan. Pendekatan penal yang dilakukan Polrestabes Medan

adalah serangkaian penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus penyalahgunaan

narkoba.148

Proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan

narkotika yang dilakukan oleh anak di Kota Medan belum pernah dilakukan

diversi oleh aparat Kepolisian. Pihak Kepolisian tidak memberikan keterangan

pasti tentang tidak dilakukanya diversi dalam perkara tersebut. Proses penegakan

hukum dan pemberantasan narkoba kendala-kendala yang dihadapi oleh

Polrestabes Medan khususnya satuan narkoba dalam kasus penyalahgunaan

narkotika oleh anak antara lain:

147
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib
148
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


82

1. Kurangnya personil dalam melakukan proses penegakan hukum dan

pemberantasan narkoba, mengingat wilayah Kota Medan yang terdiri 21

polsek

2. Sarana dan prasarana yang kurang memadai, dalam hal ini perlunya

peremajaan alat-alat untuk mendukung proses penegakan hukum dan

pemberantasan narkotika.

3. Besarnya biaya yang timbul akibat pemberantasan dan penanggulangan

penyalahgunaan narkoba, tentunya harus dibarengi dengan meningkatnya

biaya/anggaran yang dipergunakan untuk pembiayaan pengungkapan

penyalahgunaan narkoba, tanpa dukungan dari berbagai pihak terutama

pemerintah maka penyidikan dalam penanganan penyalahgunaan narkoba dan

psikotropika akan sulit dilakukan.

4. Ikutnya oknum aparat sebagai becking maupun pengedar.149

Kurangnya partisipasi orang tua/masyarakat dalam memberantas

penyalahgunaan narkoba yaitu masyarakat memiliki kekhawatiran dan rasa takut

yang sangat tinggi akan serangan balik dari kelompok orang yang dilaporkan,

kedua adalah masyarakat memiliki anggapan bahwa polisi memiliki sifat yang

keras, ketiga adalah masyarkat memiliki sifat acuh tak acuh terhadap kondisi

lingkungan sekitar (kesadaran hukum masyarakat masih rendah). Tetapi masih

ada sebagian kecil msyarakat yang berpartisipasi, yaitu dengan cara memberikan

informasi jika terjadi kasus penyalahgunaan narkoba di lingkungannya, partisipasi

yang ditunjukkan oleh kaum minoritas ini karena anak-anak merasa resah dengan

149
Hasil wawancara dengan Briptu Santa Sitepu, selaku Banum Sat Res Narkoba
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 11.25 Wib

Universitas Sumatera Utara


83

penyalahgunaan narkoba yang semakin meningkat dan para orang tua menyadari

betul akan penegakkan hukum di lingkungannya.150

150
Hasil wawancara dengan Ipda PM Tambunan, selaku KAUR Minti Sat Res Narkoba,
Polrestabes Medan, tanggal 20 Juli 2020, Pukul 10.01 Wib

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik simpulan di

bawah ini:

1. Ketentuan hukum yang mengatur tentang keterlibatan anak dibawah umur

sebagai pengedar narkoba, yaitu

a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai latar

belakang undang-undang yang diancamkan kepada anak atas perbuatannya

mengedarkan narkotika.

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak sebagai dasar pemidanaan anak apabila anak tersebut melakukan

tindak pidana narkotika

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Sebagaimana telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang

Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu

Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

2. Faktor penyebab keterlibatan anak dibawah umur sebagai pengedar narkoba di

Polrestabes Medan, yaitu :

83

Universitas Sumatera Utara


84

a. Faktor internal yaitu faktor usia, faktor kejiwaan, faktor ingin mencoba,

kehendak ingin bebas, keguncangan jiwa

b. Faktor eksternal antara lain faktor keluarga, faktor ekonomi, faktor

pendidikan, adanya kemudahan, pergaulan/lingkungan

3. Kebijakan Kepolisaian dalam menanggulangi keterlibatan anak di bawah

umur sebagai pengedar narkoba dalam perspektif kriminologi, yaitu:

a. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan

pada sifat “repressive” (penindasan / pemberantasan / penumpasan)

sesudah kejahatan terjadi.

b. Kebijakan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya

kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor

kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau

kondisikondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian,

dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global, maka

upayaupaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari

keseluruhan upaya politik kriminal.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dan simpulan disarankan

kepada pihak-pihak di bawah ini sebagai berikut.

1. Pemerintah dalam mengatur masalah psikotropika hendaknya mengacu pada

ketentuan hukum yang sudah ada baik ketentuan hukum internasional maupun

ketentuan hukum nasional. Karena narkoba dan psikotropika adalah dua jenis

zat yang berbeda dan diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-

Universitas Sumatera Utara


85

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Hendaknya semua pihak ikut serta dalam menggalakkan sarana penal dan non-

penal dalam penanggulangan narkoba penyebab keterlibatan anak dibawah

umur sebagai pengedar, sehingga dapat diminimalisir keterlibatan anak dalam

tindak pidana penyalahgunaan narkoba

3. Hendaknya Polri memberikan bentuk sosialisasi yang menarik dan sesuai

dengan perkembangan berbagai jenis narkotika sebab akhir-akhir ini banyak

sekali jenis jenis narkotika baru, misalnya tembakau gorilla, dan permen

berbahan narkotika, dan roti brownies narkoba sehingga anak dapat mengerti

dan menekan angka korban kejahatan narkotika khususnya keterlibatan anak

sebagai pengedar.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adi, Kusno. 2014. Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana


Narkotika Oleh Anak, Malang: UMM Press, 2014.

Adi, Rianto. 2004. Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit.

Arief, Dikdik M dan Elisatris Gultom. 2013. Urgensi Perlindungan Korban


Kejahatan Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Arief, Barda Nawawi.2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum


Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cetakan Ketiga, Kencana Prenada
Group, Jakarta, 2011,

Arinanto, Satya. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta

Atmasasmita, Romli. 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung:


Eresco.

_________________.2014. Independensi Kepolisian dalam Penegakan Hukum,


Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Kementerian Hukum dan
HAM.

Chazawi, Adam. 2014. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana: Bagian 1. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Dewi, R. Ismala. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak: Peradilan Untuk Keadilan
Restoratif, Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika.

Ediwarman, dkk.2019. Tindak Pidana Narkotika dalam Perspektif Kriminologi di


Wilayah Kabupaten Labuhan Batu, (Medan: Al-Hayat.

Ediwarman. 2016. Monograf Metodologi Penelitian Hukum Panduan penulisan


skripsi, Tesis dan Disertasi, Sofmedia, Medan.

Edyyono, Supriyadi Widodo, dkk. 2017. Kertas Kerja : Memperkuat Revisi


Undang-Undang Narkotika Indonesia Usulan Masyarakat Sipil, Pejaten
Barat :Institute for Criminal Justice Reform.

vi

Universitas Sumatera Utara


vii

Fajar, Mukti & Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Fr, Julianan Lisa dan Nengah Sutrisna W, Narkoba.2013. Psikotropika dan


Gangguan Jiwa Tinjauan Kesehatan dan Hukum, Yogyakarta: Nuha
Medika.

Hamzah, Andi dan RM. Surachman. 1994. Kejahatan Narkotika dan


Psikotropika, Jakarta: Sinar Grafika.

Handoyo, Ida Listyarini. 2004. Narkoba Perlukah Mengenalnya? Bandung: Pakar


Raya.

Harahap, M. Yahya.2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.

Ilmar, Aminuddin. 2014. Membangun Negara Hukum Indonesia, Makassar:


Phinatama Media.

Makarao, Moh. Taufik dkk, 2005.Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia


Indonesia.

Kaligis, O.C & Soedjono Dirdjosisworo. 2006. Narkoba & Peradilannya Di


Indonesia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Marsaid. 2015. Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum


Islam (Maqasid AsySyari’ah) Palembang: NoerFikri.

Marton, Lydia Harlina. 2006. Membantu Pencandu Narkotika dan Keluarga,


Jakarta: Balai Pustaka.

Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perpektif Hukum Islam dan Hukum


Pidana, Jakarta: Rajawali Pers.

Muhammad, Abdulkadir.2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Mulyadi, Mahmud. 2011. Politik Hukum Pidana, Bahan-bahan kuliah Fakultas


Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan: Sumatera Utara.

Mustafa, Muhammad. 2017. Krimonologi: Kajian Sosiologi terhadap


Kriminalitas, Perilaku menyimpang, dan Pelanggar Hukum, Yogyakarta:
FISIP UI Press.

Prasetyo, Teguh. 2013. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa


Media.

Universitas Sumatera Utara


viii

Ridwan, M dan Ediwarman.1994. Asas-Asas Krimonologi, Medan, USU Perss

Sadjijono.2010. Memahami Hukum Kepolisian, Yogyakarta: LaksBang


PRESSindo.

Sasangka, Hari. 2011. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana


Bandung: Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono, 2006. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo


Peresada

Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Sujono, AR. dan Bony Daniel. 2013. Komentar Pembahasan Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta:Sinar Grafika.

Sunarso, Siswanto. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika,


Jakarta:Rineka Cipta.

Sunarso. 2004. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Jakarta: Rineka


Cipta.

Supramono, Gatot.2011. Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Jambatan.

Surjono dan Bony Daniel, 2012. Narkotika, Jakarta: Rineka Cipta.

Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing.

Wibowo, Retno dkk.2018. Cerdas Hadapi Narkoba, Direktorat Pembinaan


Pendidikan Keluarga Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini
dan Pendidikan Masyarakat. Jakarta, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.

Yamin, Muhammad. Tindak Pidana Khusus, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara


ix

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

C. Jurnal

Abd. Basid, Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam
Perspektif Hukum Positif, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 26, Nomor
4, Februari 2020.

Ahmad Ariwibowo, Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalah Gunaan


Psikotropika Dan Penanggulangannnya Di Kalangan Remaja Di Jambi,
Jurnal Law reform 2011 Vol. 6 No.2 Oktober 2011.

Anda Hermana, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pengguna Narkotika


Dihunbungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo.
Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan, Volume 4 No. 2
September 2016.

Asep Syarifuddin Hidayat, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir


Narkotika, Jurnal Sosial & Budaya Syar-I, Vol. 5 No. 3 tahun 2018.

Andika Haryanto dan Eunike Freskilia Sintisye Pardede, Pengungkapan Alibi


Oleh Terdakwa Sebagai Bentuk Penyangkalan Terhadap Pembuktian
Penuntut Umum Dan Respon Normatif Hakim (Studi putusan No 279 /
Pid. B / 2011 / PN.Plg), jurnal Verstek Vol. 1 No. 3 Tahun 2013.

Asrianto Zainal, Penegakkan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Ditinjau Dari


Aspek Kriminologi, Jurnal Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2 Juli 2013.

Chartika Junike Kiaking, Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Pidana Dan


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Lex Crimen
Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017.

Donny Michael, Implementasi Undang-Undang Narkotika Ditinjau Dari


Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Penelitian Hukum, Akreditasi LIPI:
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016.

Ema Dewi, Kebijakan Polri Sebagai Penyidik Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Ringan Dalam Mewujudkan Keadilan (stud! Pada wilayah
hukum polda lampung), MMH, Jilid 41 No. 2April 2012.

Fitri Resnawardhani, Kepastian Hukum dalam Pasal 112 dan Pasal 127
UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jurnal Lentera
Hukum, Volume 6 Issue 1 tahun 2019.

Universitas Sumatera Utara


x

Gilang Fajar Shadiq, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika New
Psychoactive Subtances Berdasarkan Undangundang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, Jurnal Wawasan Yuridika Vol. 1 | No. 1 | Maret
2017.

Hotman Sitorus, Rehabilitasi Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Panti


Rehabilitasi Jiwa Dan Narkoba Getsemani Anugerah, Jurnal Binamulia
Hukum , Vol. 8 No. 2, Desember 2019.

Ida Bagus Putu Swadharma Diputra, Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalah


Guna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, Jurnal Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar, 2012.

I Wayan Govinda Tantra, Pertanggungjawaban Pidana Anak Sebagai Kurir dalam


Tindak Pidana Narkotika, Jurnal Analogi Hukum, Volume 2, Nomor 2,
tahun 2020

Junaidi, Penerapan Pasal 54, 103 Dan 127 Ayat (2) Dan (3) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Penyelesaian Perkara Di
Pengadilan Negeri Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri
Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 8 No. 2, Desember 2019.

Martha Lalungkan, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

Meily dkk., Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Pelaku Tindak Pidana
Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana, e Jurnal Katalogis, Vol. 5,
No. 2, Februari 2017.

Novita Sari, Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Penegakan Hukum


Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, Jurnal Penelitian Hukum,
Volume 17, Nomor 3, September 2017.

Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Keadilan Restorative


dan Kepentingan Terbaik Bagi Anak,” Jurnal Pengembangan Humaniora,
Vol. 13 No. 2, (Agustus 2013).

Sigid Riyanto, Kuliah Kriminologi, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 06 April


2006.

Stanley Oldy Pratasik, Pemidanaan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak


yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lex et Societatis, Vol.
III April, tahun 2015.

Universitas Sumatera Utara


xi

Yuliana Primawardani, Pendekatan Humanis Dalam Penanganan Anak Pelaku


Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Kasus Di Provinsi Sulawesi
Selatan, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 17 No. 4 , Desember
2017.

Wenda Hartanto, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Dan Obat-


Obat Terlarang Dalam Era Perdagangan Bebas Internasional Yang
Berdampak Pada Keamanan Dan Kedaulatan Negara, Jurnal Legalisasi
Indonesia, Vol. 14 N0. 01 - Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai