SKRIPSI
Oleh
MARULI SIANIPAR
130200570
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
SKRIPSI
Oleh
MARULI SIANIPAR
130200570
Disetujui Oleh
Ketua
Diketahui Oleh
Dosen Pembimbing I Pembimbing II
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Maruli Sianipar*)
Madiasa Ablisar **)
Alwan, ***)
Penistaan agama merupakan perbuatan yang disengaja melukai atau
menghina suatu agama atau hal-hal yang menyangkut suatu agama tersebut. Salah
satu contoh kasus penistaan agama adalah asus yang terjadi pengadilan Negeri
Sengkang di mana Terdakwa Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9
Desember 2015 sekitar jam 15.30 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain di
tahun 2015, bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu Kec. Tempe
Kabupaten Wajo. Adapun permasalahan dalam penelitian ini pengaturan tentang
tindak pidana penistaan Agama di Indonesia. Sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana penistaan agama. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana penistaan agama.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah penelitian
hukum normatif. Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan.
Pengaturan tentang tindak pidana penistaan Agama di Indonesia, yaitu
Pasal 4 pada Undang-undang No. 1/PNPS/1965 sendiri yang telah memasukkan
unsur pidana kedalam aturan perundang-undangan yang isinya:“Pada
KUHPidana, diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut; Pasal
156a.Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang
Maha Esa. Sanksi bagi pelaku penistaan agama dengan sanksi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 156a KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara selama-
lamamnya 5 (lima) tahun. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana penistaan agama, Terdakwa Makmur bin Amir dijatuhi pidana pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan menetapkan masa
penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Pelaku Tindak Pidana Penistaan
Agama1
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan
yang ada menyelesaikan tugas menyusun skipsi ini. Sudah merupakan kewajiban
bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi untuk mencapai gelar
kesarjanaan USU untuk menyusun skripsi dalam hal ini penulis memilih judul
31/Pid.B/2016/PN-Skg).
untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran
besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung
telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama penulis
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
Medan.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
ii
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
8. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing I penulis
yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Bapak Alwan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar
10. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
11. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
penulis.
12. Kepada ayah Pangihutan Sianipar dan Ibu Martalena Nainggolan penulis yang
tercinta, beserta abang, kakak, adik yang selalu memberikan semangat dan
yang berhasil, serta keluarga besar penulis yang telah memberikan motivasi
hingga saat ini, terima kasih atas do‟a yang tiada henti.
iii
semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan
balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini
Maruli Sianipar
iv
ABSTRAK ................................................................................................... i
D. Keaslian Penulisan..................................................................... 8
B. Dakwaan .................................................................................... 56
A. Kesimpulan .................................................................................. 82
B. Saran ............................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA
vi
BAB I
PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
Budha, dan Konjghucu. Diluar keenam agama ini, Pemerintah Indonesia menolak
dan tidak mengakuinya sebagai agama yang dianut dan dipeluk oleh masyarakat
aliran agama atau aliran kepercayaan yang mengaku sebagai bagian dari suatu
agama tertentu, seperti sebagian ajaran atau syariahnya mirip, mendekati atau
diakui pembuat dan tau penganutnya sebagai bagian dari syariat dan aqidah
menyesatkan penganutnya dari ajaran asli agama induk yang diadopsi ajaran-
ajaranya.2
dipertegas dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap
sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ketentuan aturan ini secara lugas
2
Diah Gustiniati Maulani, Analisis Pertanggungjawaban Pidana dan Dasar Pemidanaan
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 7 No. 1 Januari –April 2013, hal 1.
ayat (2) UUD 1945 yang menempatkan prinsip kebebasan beragama setara
bahwa hak dasar manusia dalam memilih agama dan menjalankan ritual agama
adalah hak yang paling mendasar (underogable right) bagi manusia sebagai hasil
dari kinerja akal dalam mnentukan dan meyakini agama yang dianut. Oleh
karenanya, keberadaan hak ini harus dilindungi oleh negara sebagai jaminan
Ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga memberikan penegasan
tidak hanya agama yang keberadaannya dilindungi oleh negara, tetapi juga aliran
dan diberikan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengimani aliran
kepercayaan yang ia anut tanpa adanya gangguan bahkan paksaan. Ini menjadi
dasar legitimasi bagi keberadaan suatu aliran kepercayaan yang ada di Indonesia
hal pendefinisiannya.
oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani, kegunaan karunia berupa akal
budi dan nurani dapat memberikan kemampuan kepada manusia tersebut untuk
membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing dan
diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri namun pada waktu yang sama ia berusaha
3
Muwaffiq Jufr, Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antaraIndonesia
dengan Majapahit. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hal 401.
melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu, manakala dirasakan tidak
cocok (lagi).4
kewajiban untuk dihormati sebagai hak asasi manusia yang melekat kewajiban
melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia tersebut. Untuk itu pemerintah,
aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik
4
Ikhsan, Fungsionalisasi Undang-undang Nomor 1 / PNPS tahun 1965 dan Pasal 156a
KUHP terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume III
Nomor 1Februari 2016, hal 2.
5
Afriandi MS, Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di
Aceh, Jurnal Penelitin Hukum, De Jure, Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016, hal 1.
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka
Indonesia menjadi Negara Pihak (state parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk
mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan
depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama,
atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).7
menghina suatu agama atau hal-hal yang menyangkut suatu agama tersebut. 9
Problem penistaan agama adalah persoalan yang telah lama muncul di bumi
Nusantara ini jauh sebelum republik ini merdeka, misalnya, di masa Kraton
dengan politik lokal yaitu kegiatan politik yang berada pada level lokal atau
bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara
hingga sekarang.10
Salah satu contoh kasus penistaan agama adalah kasus yang terjadi
pengadilan Negeri Sengkang di mana Terdakwa Makmur bin Amir pada hari
Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 15.30 Wita atau setidak-tidaknya
pada waktu lain di tahun 2015, bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu
Kec. Tempe Kabupaten Wajo atau setidak-tidaknya pada tempat-tempat lain yang
8
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarra, 2001, hal 238.
9
Nuhrison M. Nuh, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, Jakarta,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014, hal 3.
10
Kamsi, Prilaku Penistaan Agama dalam Struktur Budaya Politik Lokal Pada Kerajaan
Islam di Jawa (Sebuah Telaah Politik Hukum), Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No.1,
Desember 2014, hal 407.
tas yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut berjudul “Allah
dua yang berada di tempat di mana Terdakwa berada. Isi dari selebaran tersebut
Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia, adapun isi dari materi
31/Pid.B/2016/PN-SKG).
I. Perumusan Masalah
Indonesia?
11
Putusan Nomor 31/Pid.B/2016/PN Skg, hal 4
12
Ibid
SKG)?
Indonesia.
agama.
SKG).
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
K. Keaslian Penulisan
Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitass yang ada di
Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif
positif.
1. Alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan
sosial.
3. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah agar penistaan agama di jejaring
positif di Indonesia.
Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini,
maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan
L. Tinjauan Pustaka
4. Pertanggungjawaban Pidana
tertentu.13
13
Chairul Huda, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Kencana, Jakarta, 2011, hal. 71
10
dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep
salah satu alasan pemaaf, sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu
dilakukan terlebih dahulu harus dikoreksi keadaan jiwanya, apabila dirinya dapat
yang dilakukan.15
a. Kemampuan bertanggungjawab
14
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 23.
15
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal.
180
11
bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa
jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak
dipidana”.
yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau
kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana
yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang
buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, hal. 178
12
ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam
tubuhnya.17
b. Kesengajaan
Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan : “sengaja” diartikan: “dengan sadar dari
unsur kedua yang bersifat subjektif untuk menentukan dapat atau tidaknya
c. Kealpaan
undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam
merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut: Pada
17
Ibid.., hal 179
18
Roni Wiyanto, Op.Cit., hal. 201
13
ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan
yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum
mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian,
sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang
teledor.19
Alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III
yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana. Memorie van Toelichting (M. v. T)
orang itu.20
mendasarkan pada ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid van alle schuld). Hal
ini dikarenakan alasan-alasan pemaaf, seperti daya paksa (overmacht) tidak selalu
bisa diperoleh dari alasan pemaaf manusia alamiah (natuurlijk persoon) yang
19
Ibid., hal 214.
20
Ibid., hal 201
14
bertindak untuk dan atas nama korporasi. Selain itu alasan pemaaf yang berupa
yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP) adalah alasan yang mensyaratkan
keadaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.21
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia selain istilah
indak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict, sebagaimana yang
dikutip oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T
Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana,
Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat
dihukum.22
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
dilakukan.23
21
Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal 125.
22
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya
Paramitha, Jakarta, 2007, hal.3
23
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001, hal. 22
15
kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak
pidana.24
6. Penistaan Agama
kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista” berarti
Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan
tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun
temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan. Menurut M. Taib Thahir Abdul
Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan
disengaja atau tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau
24
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana w,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hal 7
25
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 11
26
Brahim Gultom, Agama Muslim Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal.2.
16
kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis,
arti hukum, Penistaan dan Fitnah merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun
dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban
Secara yuridis penistaan agama merupakan bagian dari delik agama yang
untuk menjamin agar negara Indonesia yang majemuk; multi agama, multi etnik,
dan multi ras dapat terhindar dari hal-hal memecah belah, salah satunya konflik-
konflik antar umat beragama.Di dalam KUHP sebetulnya tidak ada bab khusus
yang mengatur delik agama. Namun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat
27
R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor, 1995, hal 231.
17
tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a); (2) penghinaan terhadap petugas
agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 angka 1); (3) penghinaan mengenai
benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 angka 2); (4) menimbulkan gaduh
M. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
28
Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di Indonesia,
Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, hal 212
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal
21
30
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2011, hal 57.
18
doktrin.31
2. Sifat penelitian
(deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan
pada saat tertentu, atau peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat. 32
masyarakat yang berkenan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini, penulis
31
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal 34.
32
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hal. 9.
19
3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah
atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum. 33 Sumber data yang
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupa pendapat para
c. Bahan hukum tersier, yautu bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus hukum,
33
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hal. 156
34
Ibid., hal 157-158
20
bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan
hukum tersier.35.
5. Analisa data
Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian
pustakaan. Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang
adalah suatu cara yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Oleh karena itu
peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang
memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang mana tidak relevan dan
N. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
35
Ibid., hal 160
36
Ibid., hal.192
21
AGAMA DI INDONESIA
penistaan agama.
PENISTAAN AGAMA
Bab ini membahas sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak
penistaan agama.
Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini,
22
suasana politik hukurn pada tahun 1950-1966. Masa tersebut merupakan masa
pembangunan hukurn nasional yang berada dalam dua pilihan kebijakan yaitu
ideologik.38
kejahatan terhadap agama, yang dilatar belakangi berbagai macam situasi dan
aliran kebatinan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan dinilai
23
1965. Tepat dua minggu setelah peristiwa pembantaian umat Muslim di Madiun.
Pada saat itu, ada konstelasi politik dari tiga kekuatan, antara Partai Komunis
Indonesia (PKI) berhadapan dengan Islam. Di sisi lain, PKI berhadapan dengan
tentara atau pemerintah. Akibat dari perseteruan itu, maka terjadilah pembunuhan
terhadap para kiai dan santri ketika sedang salat subuh, Alquran waktu itu diinjak-
injak, dirobek. Terjadi eskalasi politik yang luar biasa sehingga Presiden Soekarno
kepercayaan, dan ateis. Disamping itu kehadiran PNPS ini juga dilatarbelakangi
serta dipengarihi semakin kuatnya aksi teror dari Partai Komunikasi Indonesia
(PKI), yang ingin merebut tanah air Indonesia. Dan ketika itu melakukan teror
kepada Pelajar Islam Indonesia (PII). Akhirnya, pada 27 Januari 1965 Presiden
Soeharto.
40
Ibid
24
Penodaan Agama.41
pokok oleh para tokoh agama dari agama yang bersangkutan. Jadi, dari awal
perbuatan penistaan agama tersebut telah diatur dalam Bab V Buku II KUHP
yaitu yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP. Sebagaimana
konkordansi, namun Pasal 156 dan 156a tersebut tidak ada padanannya dalam
Ned. Wvskarena di Belanda tidak ada suku bangsa, semua sama atau homogen,
41
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-undang. Pasal 1
42
Muhammad Dahri, Loc.Cit
25
adat istiadat sama, bahasa sama, dan agama umumnya Kristen. Oleh karenanya
menurut beliau pasal ini diatur di Indonesia dan perlu dipertahankan untuk
mencegah gejolak sosial yang berbau SARA (suku, agama, ras dan
antargolongan).43
didudukan pada peringkat pertama dari sila pertama yaitu: Ketuhanan Yang Maha
1. Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1 dan 2), Pasal 28 i ayat (1), Pasal 29
ayat (2) didalam UUD 1945. Pasal 28 D ayat (1) yang dinyatakan bahwa
ayat (1 dan 2) ayat 1 yang dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk
diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Ayat (2) yang
43
Jur Andi Hamzah, Delik – Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015, hal. 247 – 249
26
Pasal 28 i ayat (1) yang dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan
44
Marsudi Utoyo, Op.Cit., hal 19-20.
27
kepercayaannya itu”.
8. Pasal 4 pada Undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 sendiri yang telah
melakukan perbuatan:
2) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
delik agama pada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
45
Ibid.
28
keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-
E. Pengertian Agama
berbagai sisi. Secara etimologis, kata agama “religie” (bahasa Belanda) dan
“religion” (bahasa Inggris) keduanya memiliki akar kata religare (bahasa Latin).
yakni sejenis perilaku atau praktik peribadatan yang dikerjakan secara berulang-
Pokok persoalan yang dibahas dalam agama merupakan eksistensi Tuhan. Tuhan
manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori
fisika. Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika.
Namun, titik tekan pembahasan filsafat agama lebih terfokus pada aspek
46
Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis.,Yogyakarta,
Suka Press, 2014, hal 5
29
metafisiknya ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan
dan di akhirat. Agama bisa digunakan untuk menyebut agama semua nabi dan
khusus untuk Islam saja. Agama dihubungkan dengan Allah karena ia merupakan
mematuhinya. 48
yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari
pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai istem
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system perilaku yang terlembaga, yang
ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung
dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi
dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar
47
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan
Manusia),Cetakan Keempat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal 2.
48
Muhammaddin. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor
1/99-114,hlm 102
49
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama.Jakarta : Bulan Bintang. 2005, hal. 10
30
ditegaskan tidak ada orang yang tidak beragama di Indonesia. Untuk mengetahui
lima agama resmi yang diakui oleh pemerintah sejak pemerintahan Orde baru,
yaitu: Agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen Protestan dan katolik. Eksistensi
kelima agama besar tersebut tertuang dalam undang-undang nomor 1/PNPS tahun
1965 yang merupakan penganut dari penepatan Presiden nomor 1 tahun 1965.50
mengalamai pasang surut. Pada awalnya tahun 1965 sesuai dengan penetapan
jenis-jenis agama yang diakui adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan
Khunghuchu. Akan tetapi isi dari ketetapan itu berbeda dengan isi edaran yang
Juli 1990. Surat Kepala kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur tanggal
50
Khotimah. Agama dan Civil Society. Jurnal USHULUDDIN. Vol. XXI No. 1, Januari
2014, hal 122
31
terdiri atas Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Hal ini berarti
bahwa agama yang diberi hak diakui di Indonesia adalah hanya 5 agama
(Khunghuchu tidak diakui). Karena itu wajar jika agama Khunghuchu menjadi
kurang jelas statusnya, walaupun secara riil banyak penganut agama Khunghuchu.
Hal inilah akhirnya pemerintah pada masa Orde Baru meminta supaya orang-
orang Cina membaurkan diri kepada orang-orang Pribumi. Maka mulai sejak itu
orang-orang Cina berpindah agama untuk sebuah status, ada yag ke Islam,
Kristen atau Budha menjadi kurang jelas, banyak penganutnya yang jika ditanya
seperti Imlek.51
Dalam sejarah berikutnya, pada masa orde reformasi (sesudah tahun 1998)
agama Khunghuchu mulai mendapat tempat atu peluang lebih baik lagi. Beberapa
dibuka secara umum, diantaranya Hidayatullah Jakarta pada bulan Agustus 1998.
Hal ini berlanjut hingga sampai pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
(Gusdur), agama Khunghuchu mulai mendapatkan angin segar. Hal ini dapat
dilihat dari pertemuan Gusdur dengan tokoh_tokoh agama di Bali pada bulan
Oktober 1999 serta dalam pertemuan beliau di Beijing di bulan November 1999
pemerintah Indonesia.52
51
Ibid.
52
Ibid., hlm 122-123
32
kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa belanda. “Nista” berarti
Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan
tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun
Secara etimologis kata “Tindak Pidana Penistaan Agama” berasal dari kata
istilah teknis yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit”.Stafbaar feit sendiri
memiliki banyak arti. Dalam bukunya yang berjudul AzasAzas Hukum Pidana,
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
Istilah penistaan agama diambil dari pasal 156a KUHP, dan Undang-
Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965. Penodaan agama diartikan sebagai perbuatan
agama. Dalam Butir pasal Undang-Undang PNPS 1965 secara tegas melarang
33
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Indonesia.56
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
56
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal 59
57
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,
Bandung, 1982, hal 16
58
Ibid
34
diadakan Pasal baru sebagai berikut: Pasal 156a. Dipidanakan dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
objektif yaitu tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 156a KUHP adalah di
perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu
dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan
pelaku itu dapat dilihat oleh publik. Perasaan yang bersifat bermusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia itu
dapat saja dikeluarkan oleh pelaku di suatu tempat umum, yang dapat didatangi
59
Marsudi Utoyo, Tindak Pidana Penistaan Agama Oleh Kelom$Ok Aliran Di Indonesia
Pranata Hukum, Jurnal Hukum, Volume 7 Nomor 1 Januari 2012, hal 18
35
oleh setiap orang, yang dapat didengar oleh publik, yang dilakukan oleh pelaku,
Unsur yang kedua yaitu unsur objektif tindak pidana tersebut diatur dalam
Pasal 156a huruf a KUHP adalah yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Yang dimaksud agama
adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan
aliran kepercayaan. Perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai
Di dalam konteks penodaan agama, salah satu soal yang menjadi perhatian
besar adalah soal penegakan hukum yaitu terkait penerapan aturan tentang
60
Andi Hamzah, Delik–Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015, hal 247-249
61
Ibid
62
Nella Sumika Putri dan Tim LBH Bandung, Analisis Pasal 156 a KUHP dan UU No 1
tahun 1965 terkait tindak pidana penodaan agama yang terjadi di Jawa Barat. http://www.
lbhbandung.or.id/media/2017/03/diakses tanggal 28 Juli 2018.
36
perbuatan
2. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP pada dasarnya
melarang orang
perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga
2. Unsur-unsur objektif:
b. di depan umum;
63
Dian Andriasar. Kritik Terhadap Penerapan Pasal 156a KUHP Ditinjau Dari
Perspektif Kehidupan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Islam
Bandung, VeJ Volume 3 Nomor 2, 2017, hal 33
64
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 476
37
a. Unsur subjektif:
1) dengan sengaja
2) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga
b. Unsur-unsur objektif:
1) di depan umum;
berwujud fisik (terhadap sarana dan prasarana suatu agama) yang dari perbuatan
itu dinilai oleh umum penganut agama yang bersangkutan adalah sebagai
memusuhi agama tertentu. Misalnya, merusak gereja, merusak masjid dan tempat
agama lainnya. Sedangkan perbuatan yang bersifat penodaan agama tertentu, ialah
melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai
65
Ibid., 477
66
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Loc.Cit
67
Ahmad Murtadho, dkk. Dalam Penelitian:Tindak kekerasan yang mengatasnamakan
Agama ditinjau dari tindak pidana penyalahgunaan Agama Pasal 156a KUHP (Prespektif Ajaran
Islam):Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 77
38
Ketentuan Pasal 156a huruf a KUHP karena dalam pasal tersebut memiliki
rumusan norma yang begitu luas dan menimbulkan multitafsir. Rumusan norma
dalam Pasal 156a KUHP tidak memiliki tolak ukur dan tidak memiliki parameter
yang jelas bilamana seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Bahwa unsur-unsur
yang terkandung dalam Pasal 156a huruf a KUHP tidak memiliki kejelasan apa itu
yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih
masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan
pasal tersebut. Sementara di sisi yang lain, UUD 1945 menjamin kebebasan
mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan, sehingga Pasal 156a huruf a
39
sanksi pidana merupakan suatu sanksi yang harus memenuhi dua syarat/tujuan.
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada
sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat
rumusan pidana diakhiri dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal tersebut,
1. Dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-ayat
dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu sanksi.
68
M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hal 32
69
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni,
Bandung, 1986, hal. 32.
40
Sanksi penodaan agama ini diatur dalam Pasal 2 UU No.1 PNPS Tahun
1965 (jo Undang-Undang No.5/1965) dan Pasal 156a KUHP. Didalam Pasal 2
UU No.1 PNPS Tahun 1965 menyebutkan: ayat (1) “Barang siapa melanggar
ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk
Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila
pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran
itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran
terlarang satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri
rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana. Sanksi
yang diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama
hukum pidana positif di Indonesia relatif lebih rendah, hal ini dapat ditemukan
dari Pasal 156 a KUHP yang hanya memberikan sanksi berupa pidana penjara
penjeraan kepada pelaku penistaan agama. Hal ini belum sejalan dengan hakikat
pidana yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
70
Ibid
41
71
kepada orang yang melakukan kejahatan. Pidana yang akan dijatuhkan
sipenjahat supaya jangan melakukan kejahatan lagi dan pencegahan umum, yaitu
kejahatan. 72
sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita,
sanksi penistaan agama ini diatur dalam Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1
Undang No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1
dinyatakan bahwa ayat (1) “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam
pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu
Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1)
atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah
71
Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 hal.60.
72
Ibid.
42
yang memuat delik Agama yang telah diuji konstitusionalitasnya dapat menjadi
dasar hukum bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk menegakkannya secara
baik dan benar bagi para pelaku aliran sesat. Sanksi terhadap pelaku aliran sesat
diatur dalam Pasal 3, adalah tindakan lanjutan terhadap pelaku-pelaku yang tetap
tidak dapat dituntut, maka ancaman pidana lima tahun dirasa sudah wajar. Dari
tinjauan hukum diatas Kelompok Gafatar masuk dalam Unsur Penistaan Agama
73
Oloan Siahaan, https://media.neliti.com/media/publications/209858-kebijakan-hukum-
pidana-dalam-menanggulan.pdf , hal 32, diakses taggal 21 Mei 2018
43
penistaan agama. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindak pidana
penistaan agama adalah pada saat penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah
satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus
menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak
pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari
walaupun menurut bahasa indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik,
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut
undang-undang ini.75
berarti : serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara
74
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media
Aksara Prima, Jakarta, 2012, hal67
75
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.119
44
dengan bukti itu dapat membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi
Pasal 7 ayat (1), jika dihubungkan dengan beberapa Bab KUHAP, seperti
surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban
melihatnya hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya
dari Bab dan pasal-pasal lain diluar kedua bab yang disebutkan.77
dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya
paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang
diketahui atau diduga telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan laporan,
pengaduan dan informasi dari masyarakat. Baik laporan ataupun pengaduan serta
bahan yang masih mentah dan perlu diadakan penelitian dan penyaringan oleh
pihak kepolisian.
76
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 109
77
Ibid, hal 110.
78
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2002, hal.99.
45
Telah terjadi tindak pidana tersebut karena ada pengaduan dari masyarakat
Kabupaten Wajo Polres Wajo karena tindak pidana tersebut merupakan delik
aduan yang diterima oleh Kapolres Wajo. Dalam laporan polisi tersebut
dicantumkan model huruf B, yang artinya bahwa laporan polisi tersebut dibuat
melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban suatu tindak pidana. Dalam
laporan polisi dimuat identitas pelapor, peristiwa yang dilaporkan atau diadukan,
tindak pidana yang terjadi, uraian singkat kejadian, serta nama dan alamat para
saksi.
peristiwa yang dilaporkan atau diadukan tersebut merupakan tindak pidana atau
bukan tindak pidana, melengkapi keterangan dan bukti-bukti yang telah diperoleh
agar menjadi jelas sebelum dilakukan tindakan selanjutnya dan juga sebagai
pembantu yang nama dan jabatannya tercantum berwenang untuk menangani dan
terjadinya tindak pidana penistaan agama yang dapat dijerat dengan Pasal 156a
huruf (a) KUHP; yang berbunyi Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
46
lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan-
a. Penangkapan
maka Makmur bin Amir perlu dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Penangkapan terhadap seorang tersangka Makmur bin Amir yang diduga keras
melakukan suatu tindak pidana dalam hal ini penistaan agama, dilakukan setelah
yang diberikan oleh undang-undang hanya 1 x 24 jam, selain itu juga setelah
47
tersangka dan keluarganya, sesudah itu dibuat berita acara penangkapan yang
melakukan penangkapan
b. Penahanan
permulaan yang cukup bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana
barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana yang telah dilakukannya. Atas
tersangka Makmur bin Amir. Penahanan terhadap tersangka Makmur bin Amir
c. Pemeriksaan
tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak
pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan dan peranan seseorang maupun
barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam
48
d. Penggeledahan
penggeledahan adalah lapor an polisi, hasil pemeriksaan tersangka dan atau saksi-
saksi dan laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah
dengan surat perintah penggeledahan setelah mendapat surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
e. Penyitaan
laporan polisi, hasil pemeriksaan, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh
petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu dan hasil penggeledahan.
Kepala Kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik
ijin atau izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Benda-benda yang
1) 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu, plat dinas
49
2) 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14 inci
3. Selesainya Penyidikan
dalam tahap pertama yaitu hanya berkas perkaranya saja (Pasal 8 ayat (3) sub a
dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Jika dalam waktu empat belas hari Penuntut
Umum tidak megembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan (karena sesuai dengan Pasal 138 ayat (1)
KUHAP dalam waktu tujuh hari Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada
penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum), tentang hal itu
dari Penuntut Umum kepada Penyidik, maka penyidikan dianggap telah selesai
masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk tadi dan dalam waktu
empat belas hari sesuadah tanggal penerimaan kembali berkas tersebut penyidik
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum
(Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
50
pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur
objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau
atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu
Berdasarkan Pasal 156 KUHP tersebut dapat diketahui unsur objektifnya, masing-
3. Aan gevoelens van vijanschap, haat atau minachting atau mengenai perasaan
4. Tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu
79
I Wayan Artana, Tinjauan Yuridis Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama, Volume
14 No. 1 tahun, 2017hal 7
80
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hal 19
51
Unsur in het openbaar atau di depan umum dalam rumusan tindak pidana
dipidana. Artinya, pelaku hanya dapat dipidana, jika perbuatan yang terlarang
dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu, ternyata telah
dilakukan oleh pelaku di depan umum. Jika perbuatan seperti yang dimaksudkan
di atas itu tidak dilakukan di oleh pelaku di depan umum, maka pelaku tersebut
idak akan dapat dijatuhi pidana karena melanggar larangan yang diatur dalam
atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikut berarti tiap-tiap bagian dari
rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lain karena ras,
Pasal 156. KUHP diadakan pasal baru yaitu Pasal 156a yang berbunyi: “Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di
81
Jur. Andi Hamzah, Op.Cit., hal 247
52
2) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang
Sesuai dengan Pasal 156 dan atau Pasal 156a KUHP, pelaku penistaan
agama dapat dijatuhi sanksi pidana penjara maksimal selama 5 tahun. Akan tetapi
dalam penerapannya sering kali berbanding terbalik, ada hakim yang menjatuhkan
sanksi pidana penjara ringan dan ada juga yang berat. Hal ini seharusnya sudah
pasal dalam KUHP dan patut diketahui dimana seorang pelaku penistaan agama
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau
Sanksi penjara diberlakukan apabila tersangka sudah terbukti secara sah dan
maksimal lima tahun penjara, artinya jumlah pidana pelaku penistaan agama
dalam KUHP tersebut adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat diberikan
hukuman minimum
53
G. Kasus Posisi
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. KH. Muhammad Kasim Kel. Pate‟ne Kec. Wara Utara
Kota Palopo
Terdakwa Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015
sekitar jam 15.30 Wita bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu Kec.
selebaran dari dalam tas yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut
berjudul “Allah Adalah Has Maul Husnah”, setelah dikeluarkan maka Terdakwa
pada kendaraan roda dua yang berada di tempat di mana Terdakwa berada.
54
penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama
yang dianut di Indonesia, adapun isi dari materi yang dimaksud yang mengandung
dan pertentangan;
2. Agama terakhir tidak lahir dan tidak berdiri dengan sendirinya melainkan lahir
dari protes yang bagaikan hama penyakit datang mengganggu dan merusak
dihadapan Allah;
55
8. Nabi Muhammad juga tidak layak ber isra miraj ke langit tingkat tujuh (siratal
muntah) bertemu dengan Allah untuk menerima perintah sholat lima waktu
permusuhan antar penganut agama baik antara masyarakat penganut agama Islam
yang membaca selebaran milik Terdakwa tersebut dengan penganut agama yang
akibat yang dapat ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa tersebut. Adapun tempat
H. Dakwaan
mengadili suatu perkara haruslah ada surat dakwaan sebagai dasar dari
dalam surat dakwaan berisi tentang unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh
terdakwa, tapi masih bersifat sementara karena belum dibuktikan. Surat dakwaan
dakwaan sangat berguna untuk hakim, jaksa bahkan terdakwa. Untuk terdakwa/
56
penasehat hukum surat dakwaan ini memiliki arti penting dalam menyiapkan hal-
dalam Pasal 156a huruf (a) KUHP; yang berbunyi Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
dalam Pasal 156a huruf (b) KUHP, yang berbunyi dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar
“Penistaan Agama” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dengan dikurangi selama
57
Keselamatan Ilahi”;
c. 1 (satu) buah tas ransel warna kream kombinasi coklat; Dirampas untuk
dimusnahkan;
d. 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu plat dinas
e. 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14
(seribu Rupiah)
J. Fakta Hukum
1. Muh. Najib alias Najib bin H. Laokeng (disumpah), yang pada pokoknya
Saksi sebelum kejadian tidak kenal dengan Terdakwa serta tidak ada
58
Desember 2015 sekitar jam 14.30 Wita bertempat di sekitar Warung Kopi
kemudian selebaran tersebut diberikan kepada saksi. Saksi sempat baca selebaran
tersebut dan pada waktu itu saksi kaget dan inti dari isi selebaran tersebut
Setelah saksi membaca selebaran tersebut lalu ada anggota polisi yang
kemudian ada Anggota Polisi dari Polsek Tempe mengamankan Terdakwa dan
pada waktu itu saksi tidak tahu lagi karena saksi sudah tinggalkan tempat tersebut
untuk pergi menjemput anak saksi yang pulang sekolah. Saksi melihat sewaktu
Saksi tidak tahu tas apa yang dibawa oleh Terdakwa pada waktu itu.
59
berkumpul. Jika selebaran tersebut dibaca oleh orang maka orang tersebut akan
tahu isinya. Bahwa setelah membaca selebaran tersebut lalu saksi merasa
Saksi sebelum kejadian tidak kenal dengan Terdakwa serta tidak ada
hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 14.30 Wita bertempat di sekitar
Terdakwa selipkan atau Terdakwa simpan di dashboard sepeda motor yang parkir;
motor lalu saksi disuruh oleh saksi Najib mengambil selebaran tersebut kemudian
selebaran tersebut saksi berikan kepada saksi Najib selanjutnya saksi pergi kerja
disebarkan oleh Terdakwa tapi hanya satu saja yang saksi ambil. Pada saat
tidak tahu isi tas apa yang dibawa oleh Terdakwa pada waktu itu.
60
masyarakat berkumpul. Apabila selebaran tersebut dibaca oleh orang maka orang
tersebut tahu isinya. Setelah saksi membaca selebaran tersebut sebagai orang yang
Saksi ahli tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga
Kabupaten Wajo. Saksi ahli kerja di Kementerian Agama Kabupaten Wajo sejak
tahun 1999 sampai dengan sekarang. Jabatan saksi ahli di Kementerian Agama
Pammana, dan masuk dalam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wajo pada
tahun 2011 sampai dengan sekarang sebagai Penyelenggara Syariah pada Kantor
mengedarkan selebaran yang berjudul Allah adalah Hasmaul Husnah yang mana
isinya antara lain Allah sebagai teroris, dan perbuatan Nabi Muhammad Saw.
layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua kalimat syahadat. Berdasarkan
61
kertasnya panjang dan isinya sama yang diperlihatkan kepada ahli pada
persidangan ini. Menurut saksi ahli setelah membaca selebaran tersebut dari
analisa secara pengetahuan ahli berpendapat bahwa ada beberapa kalimat tidak
semestinya menurut agama Islam yakni tentang tulisan Hasmaul Husna dalam
Islam tulisan bukan “Hasmaul Husna” akan tetapi penulisannnya “Asmaul Husna”
jadi pendapat ahli orang tersebut tidak memahami tentang ajaran Islam. Nabi
Muhammad Saw. mempunyai banyak isteri dan dianggap sebagai perbuatan najis
itu adalah pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw., isteri-isterinya dan agama
Islam, karena dalam agama Islam segala tindakan dan perbuatan Nabi Muhammad
Saw. adalah petunjuk dari Allah Swt. Agama Islam adalah agama yang sangat
keras sifatnya protes mengarah pada tindakan teroris hal tersebut menyimpang
dari agama Islam yang sesungguhnya karena agama Islam adalah agama
beristeri banyak tidak layak Isra Miraj karena Nabi Muhammad Saw. najis itu
umat beragama sehingga bisa menimbulkan tindakan yang anarkis. Dalam agama
Islam tidak dibolehkan hal seperti itu karena bisa mencederai agama lain.
Keahlian ahli di bidang Syariah yang meliputi Syariah Agama, yang termasuk
62
Menurut pengetahuan ahli tindakan Terdakwa adalah salah satu unsur menodai
agama lain dalam hal ini agama Islam, artinya dalam agama Islam “Asmaul
Husna” adalah nama-nama Allah sedangkan “Hasmaul Husna” tidak ada artinya
dalam agama Islam. Penulisan yang salah yakni “Hasmaul Husna” dikatikan
dengan Allah maka tidak ada kaitannya. Sebelum saksi ahli diperiksa di penyidik
ada surat tugas ahli dari Kementerian Agama Kabupaten Wajo dan diserahkan
Di dalam selebaran tersebut ada yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
yakni agama Islam merupakan agama terakhir yang memperotes, agama yang
karena Islam adalah ajaran Rahmatan Lilalamin (agama damai). Nabi Muhammad
Saw. beristeri banyak dan dianggap najis tidak dapat disandingkan dengan Allah,
2015 sekitar jam 15.30 Wita di Jalan stasiun Sengkang Kelurahan Teddaopu,
motor yang parkir apakah di sadel sepeda motor tersebut atau di dashboard bagian
63
dua ratus lembar, selebaran tersebut Terdakwa sendiri yang membuat. Terdakwa
agama Terdakwa agama Kristen tapi awalnya Terdakwa beragama Islam lalu pada
secara umum untuk tidak fokus atau terlalu fanatik dengan agama yang dianutnya
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Terdakwa buat selebaran tersebut dengan
Terdakwa buat selebaran tersebut sekitar tiga sampai empat hari yang lalu,
ke Sengkang hanya untuk sebarkan selebaran tersebut lalu rencana akan kembali
motor dinas milik kantor Terdakwa. Barang bukti laptop dan tas ransel yang
64
K. Putusan Pengadilan
dengan Pasal 222 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana Terdakwa dibebani membayar biaya perkara dalam perkara ini yang
besarnya akan ditentukan dalam amar putusan. Memerhatikan, Pasal 156a huruf a
Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Mengadili
1. Menyatakan Terdakwa Makmur bin Amir, telah terbukti secara sah dan
65
“Meraih Rahmat Keselamatan Ilahi”1 (satu) buah tas ransel warna kream
f. 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu, plat dinas
melalui Terdakwa;
g. 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14 inci
L. Analisis Putusan
normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-
hal yang baik dan yang buruk, atau atau dengan kata lain, mampu untuk
keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.82 Jadi, paling tidak ada
dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor
akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang
82
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal 171
66
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal
bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan
hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggung jawab,
bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hokum manusia
83
Chairul Huda, hal 8
67
kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan84
Dalam kasus tindak pidana penistaan agama ini terjadi ketika Terdakwa
Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 15.30
yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut berjudul “Allah adalah
menurut Pasal 156 KUHP. Adapun perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah
pelaku dihadapan para saksi. Atas dakwaan ini terdakwa dituntut dengan 1 tahun
6 bulan penjara oleh JPU. Yang menarik pertimbangan JPU untuk membuktikan
84
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal
260.
68
apak ah terdakwa bersalah atau tidak didasarkan pada keterangan ahli. Hal yang
menarik lainnya dalam tuntutan JPU terdapat kebingungan tentang pasal yang
digunakan apakah Pasal 156 atau pasal 156a KUHP termasuk penggunaan istilah
bin Amir telah melanggar Pasal 156a huruf a KUHP yang berbunyi: Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja
b. Dengan maksud agar supaya orang yang tidak menganut agama apapun juga,
Makmur bin Amir telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 156a
dan 156b KUHP. Di samping itu juga dapat dilihat dari dua aspek yakni
a) Unsur barangsiapa
85
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal 63
69
Makmur bin Amir adalah Terdakwa dalam perkara aquo yang dapat
melakukan perbuatan
atau kalimat, atau dapat pula dengan tulisan. Sementara itu, melakukan
perbuatan adalah bersifat fisik, dengan wujud gerakan dari tubuh atau
bagian dari tubuh, misalnya menginjak kitab suci suatu agama. Di dalam
unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a
70
sekitar jam 14.30 Wita, Terdakwa dengan sengaja di muka umum yaitu di
dibuat oleh Terdakwa sendiri dalam bentuk selebaran yang mana selebaran
tersebut berjudul Allah adalah Hasmaul Husnah yang isi pada pokoknya
antara lain adalah Allah sebagai teroris, dan perbuatan Nabi Muhammad
tidak layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua kalimat syahadat
benci atau membenci atau amarah bagi umat agama yang bersangkutan.
86
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik khusus Kejahatan Terhadap
kepentingan Hukum Negara, Op.Cit, hal 177
71
harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsya atau mengerti
(weten) akan akibat dari perbuatan itu. 89 Sehubungan dengan hubungan batin
maka dalam ilmu hokum pidana terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang
dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von Vorsatz und
membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan
itu.
sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat
87
D.Schaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E Sahetapy,
Liberty,Yogyakarta, 1995, hal.87.
88
E Utredit,Hukum Pidana I,Pustaka Tinta Emas,Surabaya,1986,hal.300.
89
Satochid Klrtanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian Dua,Balai
Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, Jakarta, hal. 291
72
para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu
kealpaan.
mengatakan bahwa umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak
juga terjadi kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu
mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi
atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku
adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu
seseorang secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu.
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan
antara kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat
positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu
perbuatan dilarang.91
90
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, 2008
91
Moeljatno, Op.Cit.,hal 217
73
pidana, di mana smnber kekeliruan tersebut berasal dari anggapan pelaku terhadap
objek yang dituju. 92 Kekeliruan mengenai orang hanya dapat terjadi apabila
tersebut.93
menerangkan bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 14.30
Wita, Terdakwa dengan sengaja di muka umum yaitu di sekitar Warung Kopi
dalam bentuk selebaran yang mana selebaran tersebut berjudul Allah adalah
Hasmaul Husnah yang isi pada pokoknya antara lain adalah Allah sebagai teroris,
adalah perbuatan najis sehingga tidak layak disandingkan dengan Allah Swt.
adalah Hasmaul Husnah yang mana isinya antara lain Allah sebagai teroris, dan
92
M.Abdul Kholiq, Op.Cit., hal. 139.
93
Tongat, Op.Cit.,hal. 267.
74
perbuatan najis sehingga tidak layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua
kalimat syahadat.
agama yang dianut di Indonesia” telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum. Unsur-unsur yang tersebut di atas, itu berarti bahwa di sidang
perbuatan.
penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. 94
2) Aspek sanksi
Pasal 156a merupakan alternatif, artinya salah satu saja yang dibuktikan
untuk dapat dipidananya pembuat. Jika dicermati perumusan pasalnya dan juga
maksud pembuat pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa terdapat dua tindak
94
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah memahami Hukum Pidana,
Prenada, Jakarta, 2014, hal 207.
75
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dan kedua dengan
sengaja dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang
undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang
No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
junctis Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam hal ini para penasihat hukum
tepat karena unsur pidana yang dikandung dalam pasal a quo tidak dapat
76
tertentu.
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut
perbuatannya;
Dapat
masyarakat
77
tadi.95
Selain itu, alasan Majelis Hakim memutuskan demikian adalah karena saat
terakhir (Islam) sebagai agama yang memprotes, karena protes cenderung keras,
terakhir tidak lahir dan tidak berdiri dengan sendirinya melainkan lahir dari protes
yang bagaikan hama penyakit datang mengganggu dan merusak kehidupan dan
kedamaian;Allah yang memprotes atau Allah teroris; Menutup aurat bagi wanita
Nabi Muhammad memperistri banyak janda-janda, apa yang diperbuat Nabi kia
adalah jalan kebijakan yang salah; Nabi Muhammad justru menempuh jalan
kebijakan yang salah dengan memperistri banyak para janda-janda, karena beliau
Nabi Muhammad mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram di hadapan
Allah; Nabi Muhammad mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram di
hadapan Allah; Nabi Muhammad juga tidak layak ber isra miraj ke langit tingkat
tujuh (siratal muntah) bertemu dengan Allah untuk menerima perintah Sholat
Akibat dari perbuatan Terdakwa Makmur bin Amir tersebut, korban yang
dalam hal ini umat Islam dan bangsa Indonesia merasa dirugikan karena bangsa
indonesia adalah bangsa yang percaya pada tuhan dan sangat menjunjung tinggi
78
Makmur bin Amir telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
tersebut telah menodai agama tertentu yaitu agama Islam sehingga para penganut
agama Islam yang membaca selebaran Terdakwa tersebut merasa sakit hati,
berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya
mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk berada pada jalur yang ditetapkan
hukum. Terjadinya tindak pidana adakalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat
tindak pidana, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.96 Faktor yang berasal
dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat
dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat tindak
pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan
tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena
pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana
itu.97 Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat
96
Chairul Huda, Op.Cit., hal 118
97
Ibid
79
fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada 'pembenaran' atas
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan
tindak pidana yang melawan hukum. 98 Dalam hukum pidana yang termasuk
kedalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa
pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.
sudah tepat dan lebih cenderung kepada pertimbangan sosiologis yang berpatokan
Dengan kata lain, hukuman tersebut tidak hanya bertujuan memberikan efek jera,
namun juga memuat unsur pendidikan dengan maksud agar pelaku penistaan
agama dapat menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan tidak benar dalam
tujuan pemidanaan adalah penulis tidak setuju dengan penjatuhan pidana penjara
1 (satu) tahun 6 (enam) tersebut, mengingat latar belakang dan profesi terdakwa
seorang PNS dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana penodaan agama
98
Ibid., hal 121
80
Islam di Kec. Tempe Kabupaten Wajo, serta terdapat unsur perbuatan terdakwa
pidana penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan tersebut kurang berat dan tidak
sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam teori gabungan, yang memiliki prinsip
yang lain, maupun pada semua unsur yang ada. Pasal 156a KUHP memberi
ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan Jaksa Penuntut Umum
penuntut umum, sehingga dapat sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam teori
gabungan.
81
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas yang penulis buat, maka
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.dengan maksud agar supaya
dalam Pasal 156a KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara selama-
Terdakwa Makmur bin Amir dijatuhi pidana pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan dan menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
82
B. Saran
1. Perlu adanya suatu peraturan yang mengatur secara lebih rinci yang mengatur
sekarang ini dirasa memiliki kelemahan seperti tidak dijelaskannya secara rinci
permusuhan dan benci terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar golongan
(SARA).
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abidin, Andi Zainal. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2007.
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.
Andrisman, Tri. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana , Lampung, Universitas Lampung, 2009.
Gultom, Brahim. Agama Muslim Di Tanah Batak, Jakarta, Bumi Aksara, 2010.
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah memahami Hukum Pidana,
Jakarta, Prenada, 2014.
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2001.
84
Huda, Chairul. Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Jakarta, Kencana, 2011.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta,
Pradnya Paramitha, 2007.
ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.
85
Peraturan Perundang-undangan
Jurnal/Artikel/kamus/Skripsi
Afriandi MS, Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama
di Aceh, Jurnal Penelitin Hukum, De Jure, Akreditasi LIPI:
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016.
86
Indonesia, F iat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 7 No. 1 Januari –April
2013.
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001.
Kamsi, Prilaku Penistaan Agama dalam Struktur Budaya Politik Lokal Pada
Kerajaan Islam di Jawa (Sebuah Telaah Politik Hukum), Jurnal Ilmu
Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No.1, Desember 2014.
Khotimah. Agama dan Civil Society. Jurnal USHULUDDIN. Vol. XXI No. 1,
Januari 2014.
Randy A. Adare, Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum
Pidana Di Indonesia, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013.
87
Website
Nella Sumika Putri dan Tim LBH Bandung, Analisis Pasal 156 a KUHP dan UU
No 1 tahun 1965 terkait tindak pidana penodaan agama yang terjadi di Jawa
Barat. http://www. lbhbandung.or.id/media/2017/03/diakses tanggal 28 Juli
2018.
88