Anda di halaman 1dari 96

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA


(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-Skg)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi


Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARULI SIANIPAR
130200570

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-Skg)

SKRIPSI

Oleh

MARULI SIANIPAR
130200570

Disetujui Oleh
Ketua

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan, SH. M.H


NIP. 195703261986011001

Diketahui Oleh
Dosen Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S Alwan, S.H.,M.Hum


NIP. 196104081986011002 NIP. 196005201998021001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK


PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-Skg)

Maruli Sianipar*)
Madiasa Ablisar **)
Alwan, ***)
Penistaan agama merupakan perbuatan yang disengaja melukai atau
menghina suatu agama atau hal-hal yang menyangkut suatu agama tersebut. Salah
satu contoh kasus penistaan agama adalah asus yang terjadi pengadilan Negeri
Sengkang di mana Terdakwa Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9
Desember 2015 sekitar jam 15.30 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain di
tahun 2015, bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu Kec. Tempe
Kabupaten Wajo. Adapun permasalahan dalam penelitian ini pengaturan tentang
tindak pidana penistaan Agama di Indonesia. Sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana penistaan agama. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana penistaan agama.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah penelitian
hukum normatif. Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan.
Pengaturan tentang tindak pidana penistaan Agama di Indonesia, yaitu
Pasal 4 pada Undang-undang No. 1/PNPS/1965 sendiri yang telah memasukkan
unsur pidana kedalam aturan perundang-undangan yang isinya:“Pada
KUHPidana, diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut; Pasal
156a.Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang
Maha Esa. Sanksi bagi pelaku penistaan agama dengan sanksi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 156a KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara selama-
lamamnya 5 (lima) tahun. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana penistaan agama, Terdakwa Makmur bin Amir dijatuhi pidana pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan menetapkan masa
penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Pelaku Tindak Pidana Penistaan
Agama1

*) Maruli Sianipar, Mahasiswa, FH. USU


**) Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S, Dosen FH. USU
***)Alwan, S.H., M.Hum, Dosen FH. USU

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan

karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dengan kemampuan

yang ada menyelesaikan tugas menyusun skipsi ini. Sudah merupakan kewajiban

bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi untuk mencapai gelar

kesarjanaan USU untuk menyusun skripsi dalam hal ini penulis memilih judul

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PENISTAAN AGAMA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor

31/Pid.B/2016/PN-Skg).

Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran

yang konstruktif untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung

telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama penulis

menempuh perkuliahan, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

Medan.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

ii

Universitas Sumatera Utara


4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing I penulis

yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Bapak Alwan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar

membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.

10. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

11. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik

penulis.

12. Kepada ayah Pangihutan Sianipar dan Ibu Martalena Nainggolan penulis yang

tercinta, beserta abang, kakak, adik yang selalu memberikan semangat dan

motivasi dalam mendidik dan membimbing anaknya untuk menjadi orang

yang berhasil, serta keluarga besar penulis yang telah memberikan motivasi

hingga saat ini, terima kasih atas do‟a yang tiada henti.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

iii

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu penulis memohon maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik dan

saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan

balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini

bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, Agustus 2018


Penulis,

Maruli Sianipar

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7

D. Keaslian Penulisan..................................................................... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................... 10

1. Pertanggungjawaban Pidana ............................................... 15

2. Pelaku Tindak Pidana ......................................................... 15

3. Penistaan Agama ................................................................ 16

F. Metode Penelitian ...................................................................... 18

G. Sistematika Penulisan ................................................................ 21

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA

PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA .................................... 23

A. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana Penistaan

Agama di Indonesia ................................................................... 23

B. Pengertian Agama .................................................................... 29

C. Pengertian dan Unsur-UnsurTindak Pidana Penistaan Agama . 33

Universitas Sumatera Utara


BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PENISTAAN AGAMA ................................................ 40

A. Sanksi Pidana Yang Diberikan kepada Pelaku Tindak

Pidana Penistaan Agama .......................................................... 40

B. Mekanisme Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap

Pelaku Penistaan Agama ........................................................... 44

C. Akibat Hukum Bagi Pelaku Penistaan Agama .......................... 51

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA ................................ 54

A. Kasus Posisi ............................................................................... 54

B. Dakwaan .................................................................................... 56

C. Tuntutan Jaksa Penutut Umum.................................................. 57

D. Fakta Hukum ............................................................................. 58

E. Putusan Pengadilan .................................................................... 65

F. Analisis Putusan ....................................................................... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 82

A. Kesimpulan .................................................................................. 82

B. Saran ............................................................................................ 83

DAFTAR PUSTAKA

vi

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I

PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia telah mengakui secara resmi agama-agama yang

berlaku di Indonesia meliputi agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu,

Budha, dan Konjghucu. Diluar keenam agama ini, Pemerintah Indonesia menolak

dan tidak mengakuinya sebagai agama yang dianut dan dipeluk oleh masyarakat

Indonesia. Fenomena keagamaan beberapa tahun terakhir telah bermunculan

aliran agama atau aliran kepercayaan yang mengaku sebagai bagian dari suatu

agama tertentu, seperti sebagian ajaran atau syariahnya mirip, mendekati atau

diakui pembuat dan tau penganutnya sebagai bagian dari syariat dan aqidah

agama tertentu, yang sebagian ajaran lainnya berbeda, menyimpang dan

menyesatkan penganutnya dari ajaran asli agama induk yang diadopsi ajaran-

ajaranya.2

Ketentuan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) tersebut kemudian

dipertegas dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap

orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan

sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ketentuan aturan ini secara lugas

menempatkan kebebasan beragama pada tempat yang sejajar dengan hak

kebebasan berfikir dan menyatakan fikirannya (pendapat). Substansi Pasal 28E

2
Diah Gustiniati Maulani, Analisis Pertanggungjawaban Pidana dan Dasar Pemidanaan
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 7 No. 1 Januari –April 2013, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


2

ayat (2) UUD 1945 yang menempatkan prinsip kebebasan beragama setara

dengan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat memberikan signal

bahwa hak dasar manusia dalam memilih agama dan menjalankan ritual agama

adalah hak yang paling mendasar (underogable right) bagi manusia sebagai hasil

dari kinerja akal dalam mnentukan dan meyakini agama yang dianut. Oleh

karenanya, keberadaan hak ini harus dilindungi oleh negara sebagai jaminan

pemenuhan hak dasar manusia itu.3

Ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga memberikan penegasan

tidak hanya agama yang keberadaannya dilindungi oleh negara, tetapi juga aliran

kepercayaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat tetap diakui keberadaannya

dan diberikan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengimani aliran

kepercayaan yang ia anut tanpa adanya gangguan bahkan paksaan. Ini menjadi

dasar legitimasi bagi keberadaan suatu aliran kepercayaan yang ada di Indonesia

mengingat terdapat perbedaan antara agama dan kepercayaan khususnya dalam

hal pendefinisiannya.

Manusia sebagai subjek hukum sejak dilahirkan di dunia ini dianugrahi

oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani, kegunaan karunia berupa akal

budi dan nurani dapat memberikan kemampuan kepada manusia tersebut untuk

membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing dan

mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Manusia ingin

diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri namun pada waktu yang sama ia berusaha

3
Muwaffiq Jufr, Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antaraIndonesia
dengan Majapahit. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017, hal 401.

Universitas Sumatera Utara


3

melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu, manakala dirasakan tidak

cocok (lagi).4

Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang mengandung

kewajiban untuk dihormati sebagai hak asasi manusia yang melekat kewajiban

dasar bagi manusia lainnya. Kewajiban dasar untuk menghormati kebebasan

beragama harus diimplementasikan dengan benar-benar menghormati,

melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia tersebut. Untuk itu pemerintah,

aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung

jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan

hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan

bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.5

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut di atas jelas bahwa negara

(pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin

kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti

pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam Pasal 1c Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi merupakan setiap

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung

didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik

4
Ikhsan, Fungsionalisasi Undang-undang Nomor 1 / PNPS tahun 1965 dan Pasal 156a
KUHP terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume III
Nomor 1Februari 2016, hal 2.
5
Afriandi MS, Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di
Aceh, Jurnal Penelitin Hukum, De Jure, Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


4

yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,

pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam

kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,

hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.6

Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan

berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam

International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah

meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka

Indonesia menjadi Negara Pihak (state parties) yang terikat dengan isi ICCPR.

Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan

beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk

mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan

untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di

depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama,

atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).7

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM)

mempunyai posisi yang kompleks, agama sering dipandang sebagai fasilitator

bagi kepentingan proteksi manusia sebagai Homo Sapiens. Agama

memungkinkan manusia mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya


6
Randy A. Adare, Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana
Di Indonesia, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, hal 92.
7
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


5

sendiri, menentukan sikap terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan

membentuk hubungannya dengan sesama makhluk.8

Penistaan agama merupakan perbuatan yang disengaja melukai atau

menghina suatu agama atau hal-hal yang menyangkut suatu agama tersebut. 9

Problem penistaan agama adalah persoalan yang telah lama muncul di bumi

Nusantara ini jauh sebelum republik ini merdeka, misalnya, di masa Kraton

Kasunanan Surakarta atau kerajaan Islam sebelumnya, sepertinya berkait kelindan

dengan politik lokal yaitu kegiatan politik yang berada pada level lokal atau

pemerintahan lokal. Apabila ditelusuri jauh ke belakang, ke zaman kerajaan yang

pernah berdiri di nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal untuk

memperluas wilayah dan kekuasaannya, sehingga politik lokal dapat dikatakan

bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara

hingga sekarang.10

Salah satu contoh kasus penistaan agama adalah kasus yang terjadi

pengadilan Negeri Sengkang di mana Terdakwa Makmur bin Amir pada hari

Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 15.30 Wita atau setidak-tidaknya

pada waktu lain di tahun 2015, bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu

Kec. Tempe Kabupaten Wajo atau setidak-tidaknya pada tempat-tempat lain yang

masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sengkang, dengan

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang

8
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarra, 2001, hal 238.
9
Nuhrison M. Nuh, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, Jakarta,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014, hal 3.
10
Kamsi, Prilaku Penistaan Agama dalam Struktur Budaya Politik Lokal Pada Kerajaan
Islam di Jawa (Sebuah Telaah Politik Hukum), Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No.1,
Desember 2014, hal 407.

Universitas Sumatera Utara


6

pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap

suatu agama yang dianut di Indonesia.11

Terdakwa Makmur bin Amir mengeluarkan sejumlah selebaran dari dalam

tas yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut berjudul “Allah

adalah Hasmaul Husnah”, setelah dikeluarkan, maka Terdakwa membagi-bagikan

selebaran tersebut dengan cara menaruhnya/menyelipkannya pada kendaraan roda

dua yang berada di tempat di mana Terdakwa berada. Isi dari selebaran tersebut

mengandung materi permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama

Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia, adapun isi dari materi

yang dimaksud yang mengandung materi permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap agama Islam.12

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dilakukaan

penelitian dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Penistaan Agama (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor

31/Pid.B/2016/PN-SKG).

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, untuk lebih detailnya akan

dikemukakan beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu menghantarkan pada

pemahaman yang sistematis dan mendalam, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana penistaan agama di

Indonesia?

2. Bagaimanakah sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama?

11
Putusan Nomor 31/Pid.B/2016/PN Skg, hal 4
12
Ibid

Universitas Sumatera Utara


7

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

penistaan agama (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-

SKG)?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh oleh penyusun sehubungan dengan

permasalahan tersebut adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana penistaan Agama di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penistaan

agama.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

penistaan agama (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-

SKG).

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah, mengembangkan ilmu

pengetahuan, dan memperdalam pemahaman yang lebih baik berkaitan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan masukan dan

tambahan pengetahuan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap

pelaku tindak pidana penistaan agama.

Universitas Sumatera Utara


8

K. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Fakultass

Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitass yang ada di

Indonesia baik secara fisik maaupun online, tidak ditemukan judul

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penistaan Agama

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 31/Pid.B/2016/PN-SKG), namun ada

beberapa penelitian terdahulu membahas berkaitan tindak pidana penistaan

agama, antara lain :

Ismuhadi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2008),

dengan judul penelitian Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap

Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia. Adapun permasalahan dalam

penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan

Agama di Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya

2. Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Ahmad Rizal, Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta (2009) dengan judul penelitian Sanksi Pidana

Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif

(Analisis Yurisprudensi Terhadap Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama).

Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam

Universitas Sumatera Utara


9

2. Sanksi pidana terhadap pelaku terhadap penistaan agama menurut hukum

positif.

3. Yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama yang ada di Indonesia

sudah relevan dengan hukum Islam.

Arie Wirawan Budhi Prasetyo, Universitas Jenderal Soedirman Fakultas

Hukum Purwokerto (2013), dengan judul penelitian Pembuktian Dalam Tindak

Pidana Penistaan Agama (Studi Putusan No: 157/Pid.B/2011/PN.Cms). Adapun

permasalahan dalam penelitian ini :

1. Alat bukti apa saja yang menunjukkan terbuktinya tindak pidana penistaan

agama dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms.

2. Sistem pembuktian dalam tindak pidana penistaan agama terhadap Terdakwa

dalam Putusan No : 157/Pid.B/2011/PN.Cms.

Muhammad Andri Fauzan Lubis. Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan (2013), dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan dengan

Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Adapun permasalahan dalam penelitian

1. Pengaturan terhadap penistaan agama di jejaring sosial di Indonesia.

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama di jejaring

sosial.

3. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah agar penistaan agama di jejaring

sosial tidak bisa terulang kembali.

Universitas Sumatera Utara


10

Alexander Imanuel Korassa Sonba, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Denpasar (2016), dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan

Agama dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia. Adapun

permasalahan dalam penelitian ini:

1. Pengaturan pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam hukum

positif di Indonesia.

2. Harmonisasi pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

penistaan agama dalam hukum pidana di masa datang

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini,

maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

L. Tinjauan Pustaka

4. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang

terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Pada hakikatnya

pertanggungjawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh

hukum pidana untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan

tertentu.13

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas

culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas

kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan

13
Chairul Huda, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Kencana, Jakarta, 2011, hal. 71

10

Universitas Sumatera Utara


11

dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep

berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun

dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban

pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict

liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error

facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan

salah satu alasan pemaaf, sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu

patut dipersalahkan kepadanya. 14

Suatu perbuatan yang telah memenuhi atau mencocoki unsur-unsur yang

dirumuskan sebagai tindak pidana, belumlah cukup bagi hakim untuk

menjatuhkan pidana kepada si pelakunya, kecuali si pelaku telah memenuhi

syarat-syarat tertentu untuk disebut mempunyai kesalahan. Oleh karenanya,

bilamana si pelaku dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang

dilakukan terlebih dahulu harus dikoreksi keadaan jiwanya, apabila dirinya dapat

disalahkan, maka dirinya harus mempertanggungjawabkan atas tindak pidana

yang dilakukan.15

Konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat,

ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :

a. Kemampuan bertanggungjawab

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa

pembuat mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat

14
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 23.
15
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal.
180

11

Universitas Sumatera Utara


12

dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Pertanyaan

yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatakan mampu bertanggung

jawab. Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan

bertanggungjawab itu. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan

bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa

melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena

jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak

dipidana”.

Pasal 44 KUHP tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum

diantaranya, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan

bertanggung jawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi.16

Pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan

yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau

kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana

yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang

tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan

buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian

itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44 KUHP,

16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, hal. 178

12

Universitas Sumatera Utara


13

ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam

tubuhnya.17

b. Kesengajaan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (crimineel wetboek) tahun 1809

dicantumkan: Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan

Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan : “sengaja” diartikan: “dengan sadar dari

kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Sengaja atau kesengajaan adalah

unsur kedua yang bersifat subjektif untuk menentukan dapat atau tidaknya

seseorang dibebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.

Istilah lain dari perkataan kesengajaan adalah opzet atau dolus.18

c. Kealpaan

Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-

undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam

melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang

mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu

perbuatan yang objektif kausul menimbulkan keadaan yang dilarang.

Berkaian dengan kealpaan, Moeljatno mengutip dari Smidt yang

merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut: Pada

umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa

17
Ibid.., hal 179
18
Roni Wiyanto, Op.Cit., hal. 201

13

Universitas Sumatera Utara


14

ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan

yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum

mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian,

sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang

teledor.19

d. Alasan Penghapus Pidana

Alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III

Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan

pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus

pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan

yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana. Memorie van Toelichting (M. v. T)

mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya

seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada

diri orang itu, dan

2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar

orang itu.20

Alasan yang dapat menghapuskan kesalahan badan hukum adalah dengan

mendasarkan pada ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid van alle schuld). Hal

ini dikarenakan alasan-alasan pemaaf, seperti daya paksa (overmacht) tidak selalu

bisa diperoleh dari alasan pemaaf manusia alamiah (natuurlijk persoon) yang

19
Ibid., hal 214.
20
Ibid., hal 201

14

Universitas Sumatera Utara


15

bertindak untuk dan atas nama korporasi. Selain itu alasan pemaaf yang berupa

ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP) dan pembelaan terpaksa

yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP) adalah alasan yang mensyaratkan

keadaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.21

5. Pelaku Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia selain istilah

indak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict, sebagaimana yang

dikutip oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T

Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana,

Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat

dihukum.22

Tindak pidana merupakan kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung

jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukan.23

21
Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal 125.
22
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya
Paramitha, Jakarta, 2007, hal.3
23
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001, hal. 22

15

Universitas Sumatera Utara


16

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan

kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak

pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan

undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman

pidana.24

6. Penistaan Agama

Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar

mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan

kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista” berarti

hina, rendah, cela, noda.25

Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan

“gam” artinya berjalan-jalan, sehingga dapat berarti peraturan-peraturan

tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun

temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan. Menurut M. Taib Thahir Abdul

Muin sebagaimana dikutip Ibrahim Gultom, agama merupakan suatu peraturan

yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan

Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan

kebahagiaan kelak di akhirat.26

Penistaan merupakan ucapan atau perkataan yang disengaja dan tidak

disengaja atau tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau

24
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana w,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hal 7
25
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 11
26
Brahim Gultom, Agama Muslim Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal.2.

16

Universitas Sumatera Utara


17

kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau

kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis,

gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam

arti hukum, Penistaan dan Fitnah merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun

pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan

dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban

dari tindakan tersebut. R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari

"menista" merupakan "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Yang

terkena dampak hate speech biasanya merasa malu. Menurutnya, penghinaan

terhadap satu individu ada enam macam yaitu

a. Menista secara lisan (smaad) Pasal 310 KUHP

b. Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift) Pasal 310 ayat (2) KUHP

c. Memfitnah (laster) Pasal 311 KUHP

d. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging) Pasal 315 KUHP

e. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht) Pasal 317 KUHP

f. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking) Pasal 318 KUHP 27

Secara yuridis penistaan agama merupakan bagian dari delik agama yang

memang telah diatur dalam KUHP di Indonesia. Pengaturan tersebut ditujukan

untuk menjamin agar negara Indonesia yang majemuk; multi agama, multi etnik,

dan multi ras dapat terhindar dari hal-hal memecah belah, salah satunya konflik-

konflik antar umat beragama.Di dalam KUHP sebetulnya tidak ada bab khusus

yang mengatur delik agama. Namun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat

27
R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor, 1995, hal 231.

17

Universitas Sumatera Utara


18

dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama sendiri mengandung

beberapa pengertian meliputi:

(a) Delik menurut agama;

(b) Delik terhadap agama;

(c) Delik yang berhubungan dengan agama.28

Kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan agama ini dapat

dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: (1) penghinaan terhadap agama

tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a); (2) penghinaan terhadap petugas

agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 angka 1); (3) penghinaan mengenai

benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 angka 2); (4) menimbulkan gaduh

di dekat tempat ibadah yang sedang digunakan beribadah (Pasal 503).29

M. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah penelitian

hukum normatif. Metode penelitian normatif merupakan prosedur penelitian

ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari

sisi normatifnya.30 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas,

28
Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di Indonesia,
Oleh: Randy A. Adare, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, hal 212
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal
21
30
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2011, hal 57.

18

Universitas Sumatera Utara


19

norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan

doktrin.31

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif analisis,

yaitu penelitian bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan

pada saat tertentu, atau peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat. 32

Metode deskripstif analisis tersebut menggambarkan peraturan yang berlaku yang

kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

pidana penistaan agama (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor

31/Pid.B/2016/PN-SKG). Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam

masyarakat yang berkenan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini, penulis

ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara

penggambaran yang jelas untuk mendekati objek penelitian maupun permasalahan

yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian

pada masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung.

Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan

kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus

terhadap peristiwa tersebut.

31
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal 34.
32
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hal. 9.

19

Universitas Sumatera Utara


20

3. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan

terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah

atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum. 33 Sumber data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi atau keputusan pengadilan. Adapun bahan hukum primer dalam

penelitian ini antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penetapan Presiden Republik

Indonesia Nomor 1/Pnps Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Dan/Atau Penodaan Agama. Putusan Nomor 31/Pid.B/2016/PN Skg.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupa pendapat para

ahli, jurnal ilmiah, surat kabar dan berita internet.

c. Bahan hukum tersier, yautu bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus hukum,

kamus Bahasa Indonesia, dan ensiklopedia.34

4. Teknik pengumpulan data

Penelitian normatif (studi kepustakaan), teknik pengumpulan data dalam

penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap bahan-

33
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hal. 156
34
Ibid., hal 157-158

20

Universitas Sumatera Utara


21

bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan

hukum tersier.35.

5. Analisa data

Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian

pustakaan. Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang

berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis

data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif

adalah suatu cara yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang

nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Oleh karena itu

peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang

memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang mana tidak relevan dan

tidak ada hubungannya dengan materi penelitian.36

N. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan hasil penelitian dan untuk

mengantarkan pembaca pada pokok pembahasan masalah, maka sistematika

penulisan ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat Penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

35
Ibid., hal 160
36
Ibid., hal.192

21

Universitas Sumatera Utara


22

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENISTAAN

AGAMA DI INDONESIA

Bab ini berisikan Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana Penistaan

Agama di Indonesia. Pengertian agama dan unsur-unsur tindak pidana

penistaan agama. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana

penistaan agama.

BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENISTAAN AGAMA

Bab ini membahas sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak

pidana penistaan agama. Mekanisme penyellidikan dan penyidikan

terhadap pelaku penistaan agama dan Akibat hukum bagi pelaku

penistaan agama.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA

Bab ini berisikan kasus posisi, dakwaan, tuntutan jaksa penutut

umum, fakta hukum, putusan pengadilan dan analisis putusan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini,

dikemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu mengerjakan

skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya.

22

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENISTAAN


AGAMA DI INDONESIA

D. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia

Latar belakang pembentukan UU No. l/PNPSI1965 tidak terlepas dari

suasana politik hukurn pada tahun 1950-1966. Masa tersebut merupakan masa

pembangunan hukurn nasional yang berada dalam dua pilihan kebijakan yaitu

tetap memberlakukan realism pluralisme (kebijakan dominan sejak zaman

Kolonial) dan cita-cita Unifikasi (semangat persatuan dan kesatuan perjuangan

revolusi Indonesia). 37 Pertimbangan kebijakan hukum yang ada pada kurun

waktu tersebut didasarkan oleh pertimbangan sosio yuridis sekaligus politik-

ideologik.38

Lahirnya Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, landasan hukum bagi tindak

kejahatan terhadap agama, yang dilatar belakangi berbagai macam situasi dan

persoalan, antara lain: nasionalisme, agama, dan komunisme, bermunculannya

aliran kebatinan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan dinilai

menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional,

menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama, dan menodai agama.39

Seorang, ahli hukum Edward Omar Sharif UGM Yogyakarta bahwa

Undang-Undang No.1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan


37
Hwian Christianto. Arti Penting Pemberlakuan UU No. lI PNPS/1965. Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011, hal 362
38
Ibid
39
Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia: Tinjauan Pengaturan
Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, AT-TAFAHUM: Journal of Islamic Law, Vol. 1
No. 2 Juli-Desember 2017, hal 58

23

Universitas Sumatera Utara


24

Dan/Atau Penodaan Agama itu dikeluarkan Presiden Soekarno tanggal 20 Januari

1965. Tepat dua minggu setelah peristiwa pembantaian umat Muslim di Madiun.

Pada saat itu, ada konstelasi politik dari tiga kekuatan, antara Partai Komunis

Indonesia (PKI) berhadapan dengan Islam. Di sisi lain, PKI berhadapan dengan

tentara atau pemerintah. Akibat dari perseteruan itu, maka terjadilah pembunuhan

terhadap para kiai dan santri ketika sedang salat subuh, Alquran waktu itu diinjak-

injak, dirobek. Terjadi eskalasi politik yang luar biasa sehingga Presiden Soekarno

mengeluarkan Undang-Undang No.1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. 40 Direktur Amnesty International

Indonesia Usman Hamid mengatakan semula, Presiden Soekarno menerbitkan

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1965 untuk meredam

konflik sosial antara warga konservatif dengan yang non-religius, penghayat

kepercayaan, dan ateis. Disamping itu kehadiran PNPS ini juga dilatarbelakangi

serta dipengarihi semakin kuatnya aksi teror dari Partai Komunikasi Indonesia

(PKI), yang ingin merebut tanah air Indonesia. Dan ketika itu melakukan teror

kepada Pelajar Islam Indonesia (PII). Akhirnya, pada 27 Januari 1965 Presiden

Soekarno mengeluarkanPenetapan Presiden Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang

pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Pada 1969 dinyatakan

sebagai undang-undang melalui Pasal 2 UU nomor 5 tahun 1969 oleh Presiden

Soeharto.

Pada masa itu Penetapan Presiden (Penpres) merupakan produk hukum

yang setara dengan undang-undang, yang kemudian dikenal dengan Peraturan

40
Ibid

24

Universitas Sumatera Utara


25

Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Selanjutnya, berdasarkan Undang-

undang Nomor 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden

Dan Peraturan Presiden Sebagai undang-undang, maka kedudukan Penpres

tersebut ditingkatkan menjadi Undang-undang, yang kini dikenal sebagai Undang-

Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama.41

Tujuan diterbitkannya Penpres a quo merupakan agar segenap rakyat di

seluruh wilayah Indonesia ini dapat menikmati ketenteraman beragama dan

jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing. Penetapan

Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-

penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yangdianggap sebagai ajaran-ajaran

pokok oleh para tokoh agama dari agama yang bersangkutan. Jadi, dari awal

undang-undang ini memang sengaja dibuat untuk melindungi “kemurnian” ajaran

agama yang diakui di Indonesia dan BerKetuhanan Yang Maha Esa”42

Jauh sebelum era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ini

berkembang sebenarnya jika dilihat dalam hukum positif Indonesia, maka

perbuatan penistaan agama tersebut telah diatur dalam Bab V Buku II KUHP

yaitu yang terdapat dalam Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP. Sebagaimana

diketahui bahwa KUHP Indonesia merupakan adopsi dari KUHP (Ned.Wvs)

Belanda pada saat itu yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas

konkordansi, namun Pasal 156 dan 156a tersebut tidak ada padanannya dalam

Ned. Wvskarena di Belanda tidak ada suku bangsa, semua sama atau homogen,
41
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-undang. Pasal 1
42
Muhammad Dahri, Loc.Cit

25

Universitas Sumatera Utara


26

adat istiadat sama, bahasa sama, dan agama umumnya Kristen. Oleh karenanya

menurut beliau pasal ini diatur di Indonesia dan perlu dipertahankan untuk

mencegah gejolak sosial yang berbau SARA (suku, agama, ras dan

antargolongan).43

Pengaturan hukum di Indonesia, kedudukan agama diberi tempat yang

paling terhormat. Didalam Pancasila kehidupan beragama oleh Bangsa Indonesia

didudukan pada peringkat pertama dari sila pertama yaitu: Ketuhanan Yang Maha

Esa. Adapun pengaturan penghormatan terhadap kebebasan beragama tersebut

dari mulai Undang-undang Dasar sampai dengan peraturan perundagan lainnya.

Serta pembatasan perbuatan pidana terhadap kebebasan beragama, peraturan

tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

1. Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1 dan 2), Pasal 28 i ayat (1), Pasal 29

ayat (2) didalam UUD 1945. Pasal 28 D ayat (1) yang dinyatakan bahwa

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”Pasal 28 E

ayat (1 dan 2) ayat 1 yang dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk

agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,

memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal

diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Ayat (2) yang

dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini epercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

43
Jur Andi Hamzah, Delik – Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015, hal. 247 – 249

26

Universitas Sumatera Utara


27

Pasal 28 i ayat (1) yang dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Pasal 29 ayat (2) yang dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

2. Pasal 18 /1948, tentang DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Yang dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,

berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah

agama atau keyakinan, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama

dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan

agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.

3. Undang-undang No. 5/1998, Pengesahan Convenion against Torture and Othe

Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment (Konvensi yang

menentang penyiksaan / CAT). 44

4. Pasal 4 dan Pasal 22 ayat (1 dan 2) Undang-undang No.39/1999 tentang HAM

ayat (1) yang dinyatakan bahwa“Setiap orang bebas memeluk agamanya

masing-asing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat

(2) yang dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang

44
Marsudi Utoyo, Op.Cit., hal 19-20.

27

Universitas Sumatera Utara


28

memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

5. Undang-undang No.29/1999, tentang Pengesahan Internasional Convention of

the Elimination of All Forms of Racial Dicsrimination /CERD.

6. Undang-undang No.11/2005, tentang Pengesahan International Covenant on

Economic, Social and Culturel Rights.

7. Pasal 18 Undang-undang No. 12/2005, tentang ICCPR/International Covenant

on Civil and Political Rights.

8. Pasal 4 pada Undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 sendiri yang telah

memasukkan unsur pidana kedalam aturan perundang-undangan yang

isinya:“Pada KUHPidana, diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut;

Pasal 156a. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun

barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan:

1) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

2) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa45

Seperti telah dikemukakan di atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi

delik agama pada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, di mana dalam Pasal 1 Penetapan

Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

45
Ibid.

28

Universitas Sumatera Utara


29

Agama melarang untuk dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurk

an atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang

suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan

keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-

kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu.

E. Pengertian Agama

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, agama dapat dipahami dari

berbagai sisi. Secara etimologis, kata agama “religie” (bahasa Belanda) dan

“religion” (bahasa Inggris) keduanya memiliki akar kata religare (bahasa Latin).

Religare memiliki arti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan,

yakni sejenis perilaku atau praktik peribadatan yang dikerjakan secara berulang-

ulang dan bersifat mengikat.46

Agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut

oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya.

Pokok persoalan yang dibahas dalam agama merupakan eksistensi Tuhan. Tuhan

dan hubunga manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan

manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori

fisika. Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika.

Namun, titik tekan pembahasan filsafat agama lebih terfokus pada aspek

46
Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis Historis.,Yogyakarta,
Suka Press, 2014, hal 5

29

Universitas Sumatera Utara


30

metafisiknya ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan

dalam ilmu alam, seperti biologi dan psikologi serta antropologi.47

Menurut Ath-Thanwi dalam buku Kasyaf Isthilahat Al-Funun disebutkan

bahwa agama adalah intisari Tuhan yang mengarahkan orang-orang berakal

dengan kemauan mereka sendiri untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia

dan di akhirat. Agama bisa digunakan untuk menyebut agama semua nabi dan

khusus untuk Islam saja. Agama dihubungkan dengan Allah karena ia merupakan

sumbernya, dihubungkan kepada para nabi karena mereka sebagai perantara

kemunculannya, dihubungkan kepada umat karena mereka memeluk dan

mematuhinya. 48

Sedangkan Menurut Daradjat agama merupakan proses hubungan manusia

yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari

pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai istem

simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system perilaku yang terlembaga, yang

kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling

maknawi (ultimate Mean Hipotetiking).49

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa agama merupakan

ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung

dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi

dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar

mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur

47
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan
Manusia),Cetakan Keempat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal 2.
48
Muhammaddin. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor
1/99-114,hlm 102
49
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama.Jakarta : Bulan Bintang. 2005, hal. 10

30

Universitas Sumatera Utara


31

kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon

emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada

adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.

Di Indonesia, agama memiliki peran yang sangat penting, karena

Indonesia merupakan negara “agama” dimana Pancasila sebagai dasar negara

ditegaskan tidak ada orang yang tidak beragama di Indonesia. Untuk mengetahui

peran agama dalam pembentukan civil society, perlu kiranya mengetengahkan

tentang agama khususnya di Indonesia. Mengenai berbagai macam agama yang

tumbuh dan berkembang di Indonesia, perlu untuk menyimak proses pemunculan

lima agama resmi yang diakui oleh pemerintah sejak pemerintahan Orde baru,

yaitu: Agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen Protestan dan katolik. Eksistensi

kelima agama besar tersebut tertuang dalam undang-undang nomor 1/PNPS tahun

1965 yang merupakan penganut dari penepatan Presiden nomor 1 tahun 1965.50

Di Indonesia, sejarah pengakuan dan eksistensi agama Khunghuchu

mengalamai pasang surut. Pada awalnya tahun 1965 sesuai dengan penetapan

Presiden No.1 PN.PS/1965 atau undang-undang Nomor 5 tahun 1969 tentang

jenis-jenis agama yang diakui adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan

Khunghuchu. Akan tetapi isi dari ketetapan itu berbeda dengan isi edaran yang

dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri no. 477/74054/BA.01.2/ 4683/95 tanggal

18 November 1978. Surat Menteri Dalam Negeri No 77/2535/ POUD, tanggal 25

Juli 1990. Surat Kepala kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur tanggal

28 Novenber 1995 No.683/ 95 yang menyebutkan bahwa jenis agama di Indonesia

50
Khotimah. Agama dan Civil Society. Jurnal USHULUDDIN. Vol. XXI No. 1, Januari
2014, hal 122

31

Universitas Sumatera Utara


32

terdiri atas Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Hal ini berarti

bahwa agama yang diberi hak diakui di Indonesia adalah hanya 5 agama

(Khunghuchu tidak diakui). Karena itu wajar jika agama Khunghuchu menjadi

kurang jelas statusnya, walaupun secara riil banyak penganut agama Khunghuchu.

Hal inilah akhirnya pemerintah pada masa Orde Baru meminta supaya orang-

orang Cina membaurkan diri kepada orang-orang Pribumi. Maka mulai sejak itu

orang-orang Cina berpindah agama untuk sebuah status, ada yag ke Islam,

Katolik, Protestan dan Budha. Kepindahan penganut agama Khunghuchu ke

Kristen atau Budha menjadi kurang jelas, banyak penganutnya yang jika ditanya

beragama Kunghuchu tetapi dalam prakteknya tetap memakai tradisi Kunghuchu,

seperti Imlek.51

Dalam sejarah berikutnya, pada masa orde reformasi (sesudah tahun 1998)

agama Khunghuchu mulai mendapat tempat atu peluang lebih baik lagi. Beberapa

seminar yang membicarakan tentang eksistensi agama Kunghuchu sudah mulai

dibuka secara umum, diantaranya Hidayatullah Jakarta pada bulan Agustus 1998.

Hal ini berlanjut hingga sampai pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid

(Gusdur), agama Khunghuchu mulai mendapatkan angin segar. Hal ini dapat

dilihat dari pertemuan Gusdur dengan tokoh_tokoh agama di Bali pada bulan

Oktober 1999 serta dalam pertemuan beliau di Beijing di bulan November 1999

menunjukkan bahwa agama Khunghuchu mulai mendapat respon positif dari

pemerintah Indonesia.52

51
Ibid.
52
Ibid., hlm 122-123

32

Universitas Sumatera Utara


33

F. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penistaan Agama

Istilah “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar

mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan

kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa belanda. “Nista” berarti

hina, rendah, cela, noda.53

Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan

“gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan

tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun

temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan.54

Secara etimologis kata “Tindak Pidana Penistaan Agama” berasal dari kata

“Tindak Pidana” dan “Penistaan Agamai”. Istilah “Tindak Pidana”merupakan

istilah teknis yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit”.Stafbaar feit sendiri

memiliki banyak arti. Dalam bukunya yang berjudul AzasAzas Hukum Pidana,

Moeljatno mengutip pendapat Somin mengenai Stafbaar feit sebagai berikut

“Strafbaar feit merupakan kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,

yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 55

Istilah penistaan agama diambil dari pasal 156a KUHP, dan Undang-

Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965. Penodaan agama diartikan sebagai perbuatan

dengan mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan dan/atau penodaan

agama. Dalam Butir pasal Undang-Undang PNPS 1965 secara tegas melarang

seorang, kelompok atau organisasi melakukan penodaan terhadap agama.


53
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Op.Cit., hal 11
54
Ibid.
55
Moeljatno, Op.Cit., hal 120.

33

Universitas Sumatera Utara


34

Undang-Undang itu juga melarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran

tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan

keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,

penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Sementara penodaan dalam KUHP didefinisikan sebagai upaya mengeluarkan

permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia.56

Penistaan agama merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja

mencelah, menghina agama orang lain, sehingga di kategorikan perbuatan

perusak, akidah, kebudayaan serta norma agama. 57 Kebebasan memeluk agama

atau kepercayaan dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaannya

itu merupakan kaidah pribadi (forum internum) sedangkan ketertiban dan

kedamaian hidup bersama merupakan kaidah antar pribadi (forum eksternum).58

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penistaan agama adalah:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran

tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan

keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,

penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

56
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal 59
57
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,
Bandung, 1982, hal 16
58
Ibid

34

Universitas Sumatera Utara


35

Penetapan Presiden No.1 1965 pada Pasal 4 mengatakan pada KUHP

diadakan Pasal baru sebagai berikut: Pasal 156a. Dipidanakan dengan pidana

penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

1. Yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap

suatu agama yang dianut di Indonesia

2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang

bersendikan ketuhanan yang maha esa.59

Berdasarkan penjelasan umum dari Penetapan Presiden ini dapat dilihat

bahwa dimaksudkan melindungi ketentraman orang beragama terhadap

penodaan/penghinaan agama atau ajaran-ajaran tidak memeluk agama.

Unsur-unsur tindak pidana penistaan agama, yang pertama adalah unsur

objektif yaitu tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 156a KUHP adalah di

depan umum. Dengan dipakainya kata-kata di depan umum berarti, bahwa

perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu

harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang

dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan

pelaku itu dapat dilihat oleh publik. Perasaan yang bersifat bermusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia itu

dapat saja dikeluarkan oleh pelaku di suatu tempat umum, yang dapat didatangi

59
Marsudi Utoyo, Tindak Pidana Penistaan Agama Oleh Kelom$Ok Aliran Di Indonesia
Pranata Hukum, Jurnal Hukum, Volume 7 Nomor 1 Januari 2012, hal 18

35

Universitas Sumatera Utara


36

oleh setiap orang, yang dapat didengar oleh publik, yang dilakukan oleh pelaku,

baik dengan lisan maupun dengan tindakan.60

Unsur yang kedua yaitu unsur objektif tindak pidana tersebut diatur dalam

Pasal 156a huruf a KUHP adalah yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Yang dimaksud agama

adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan

aliran kepercayaan. Perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai

perasaan atau perbuatan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, undang-undang tidak

memberikan penjelasannya, dan agaknya menyerahkan kepada hakim atau

memberikan penafsiran mereka dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan

mana yang dapat dipandang sebagai bersifat bermusuhan, penyelahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.61

Di dalam konteks penodaan agama, salah satu soal yang menjadi perhatian

besar adalah soal penegakan hukum yaitu terkait penerapan aturan tentang

penodaan agama yaitu UU No 1/ PNPS tahun 1965 tentang pencegahan

penyalahgunaan dan /atau penodaan agama dan Pasal 165 a KUHP. 62

Pasal 156a KUHP adalah:

Dipidana dengan pidana penjara selama–lamanya lima tahun, barang

60
Andi Hamzah, Delik–Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015, hal 247-249
61
Ibid
62
Nella Sumika Putri dan Tim LBH Bandung, Analisis Pasal 156 a KUHP dan UU No 1
tahun 1965 terkait tindak pidana penodaan agama yang terjadi di Jawa Barat. http://www.
lbhbandung.or.id/media/2017/03/diakses tanggal 28 Juli 2018.

36

Universitas Sumatera Utara


37

siapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan

1. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

2. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang

bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa63

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP pada dasarnya

melarang orang

1. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga

yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.64

Unsur-unsur Pasal 156a huruf a KUHP, antara lain

1. Unsur subjektif: dengan sengaja

2. Unsur-unsur objektif:

b. di depan umum;

c. mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

63
Dian Andriasar. Kritik Terhadap Penerapan Pasal 156a KUHP Ditinjau Dari
Perspektif Kehidupan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Islam
Bandung, VeJ Volume 3 Nomor 2, 2017, hal 33
64
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 476

37

Universitas Sumatera Utara


38

d. yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu

agama yang dianut di Indonesia.65

Unsur-unsur Pasal 156a huruf b KUHP

a. Unsur subjektif:

1) dengan sengaja

2) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga

yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa;

b. Unsur-unsur objektif:

1) di depan umum;

2) mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.66

Perbuatan yang sifatnya memusuhi suatu agama, adalah setiap perbuatan

berwujud fisik (terhadap sarana dan prasarana suatu agama) yang dari perbuatan

itu dinilai oleh umum penganut agama yang bersangkutan adalah sebagai

memusuhi agama tertentu. Misalnya, merusak gereja, merusak masjid dan tempat

agama lainnya. Sedangkan perbuatan yang bersifat penodaan agama tertentu, ialah

melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai

sebagai menodai agama tersebut. Penodaan disini mengadung sifat penghinaan,

melecehkan, meremehkan dari suatu agama. Karena itu menyakitkan perasaan

bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan. 67

65
Ibid., 477
66
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Loc.Cit
67
Ahmad Murtadho, dkk. Dalam Penelitian:Tindak kekerasan yang mengatasnamakan
Agama ditinjau dari tindak pidana penyalahgunaan Agama Pasal 156a KUHP (Prespektif Ajaran
Islam):Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 77

38

Universitas Sumatera Utara


39

Ketentuan Pasal 156a huruf a KUHP karena dalam pasal tersebut memiliki

rumusan norma yang begitu luas dan menimbulkan multitafsir. Rumusan norma

dalam Pasal 156a KUHP tidak memiliki tolak ukur dan tidak memiliki parameter

yang jelas bilamana seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Bahwa unsur-unsur

yang terkandung dalam Pasal 156a huruf a KUHP tidak memiliki kejelasan apa itu

yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan sehingga siapa saja

yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih

manakala perspektif berpikirnya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas

masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan

penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan

pasal tersebut. Sementara di sisi yang lain, UUD 1945 menjamin kebebasan

beragama dan beribadat menurut agamanya, berserikat dan berkumpul, serta

mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan, sehingga Pasal 156a huruf a

KUHP mengandung ketidakpastian hukum.

39

Universitas Sumatera Utara


BAB III
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENISTAAN AGAMA

A. Sanksi Pidana Yang Diberikan kepada Pelaku Tindak Pidana Penistaan


Agama
Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu

perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku

perbuatan tersebut. 68 Menurut Alf Ross sebagaimana dikutip M. Solehuddin,

sanksi pidana merupakan suatu sanksi yang harus memenuhi dua syarat/tujuan.

Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang

bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan

terhadap perbuatan si pelaku.

Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada

sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat

rumusan pidana diakhiri dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal tersebut,

terdapat tiga cara dalam perumusan sanksi, yaitu:

1. Dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-ayat

dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu sanksi.

2. Dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal awal

ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikiuti secara langsung dengan

suatu sanksi pada pasal tersebut.

3. Sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.69

68
M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hal 32
69
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni,
Bandung, 1986, hal. 32.

40

Universitas Sumatera Utara


41

Sanksi penodaan agama ini diatur dalam Pasal 2 UU No.1 PNPS Tahun

1965 (jo Undang-Undang No.5/1965) dan Pasal 156a KUHP. Didalam Pasal 2

UU No.1 PNPS Tahun 1965 menyebutkan: ayat (1) “Barang siapa melanggar

ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk

menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri

Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila

pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran

kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi

itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran

terlarang satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri

Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri.

Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal

rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana. Sanksi

yang diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama

serta pelaku aliran sesat adalah pidana penjara.70

Sanksi yang dapat diberikan terhadap pelaku penodaan agama dalam

hukum pidana positif di Indonesia relatif lebih rendah, hal ini dapat ditemukan

dari Pasal 156 a KUHP yang hanya memberikan sanksi berupa pidana penjara

selama-lamanya lima tahun, sehingga sanksi tersebut belum memberikan

penjeraan kepada pelaku penistaan agama. Hal ini belum sejalan dengan hakikat

pidana yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan

70
Ibid

41

Universitas Sumatera Utara


42

71
kepada orang yang melakukan kejahatan. Pidana yang akan dijatuhkan

seyogyanya bersifat sebagai pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti

sipenjahat supaya jangan melakukan kejahatan lagi dan pencegahan umum, yaitu

sebagai cermin bagi seluruh anggota masyarakat supaya takut melakukan

kejahatan. 72

Aturan sanksi kepada pelaku penistaan agama, adalah sanksi penjara

sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita,

sanksi penistaan agama ini diatur dalam Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1

Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (jo Undang-

Undang No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1

Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang

dinyatakan bahwa ayat (1) “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam

pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu

di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1)

dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden

Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi

atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah

Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, jika orang seseorang atau kelompok/organisasi tersebut tidak

mengindahkan peringatan, Pemerintah tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan

71
Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 hal.60.
72
Ibid.

42

Universitas Sumatera Utara


43

hukum dengan cara memprosesnya melalui perkara pidana (tindakan penyidikan

dan penuntutan) ke pengadilan dan menuntut pidana berdasarkan Penetapan

Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama dan Pasal 156a.Keberadaan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta Pasal 156a KUHP

yang memuat delik Agama yang telah diuji konstitusionalitasnya dapat menjadi

dasar hukum bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk menegakkannya secara

baik dan benar bagi para pelaku aliran sesat. Sanksi terhadap pelaku aliran sesat

tergambar jelas dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pemberian ancaman pidana yang

diatur dalam Pasal 3, adalah tindakan lanjutan terhadap pelaku-pelaku yang tetap

mengabaikan peringatan tersebut dalam Pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan

biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, dimana mudah

dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran

kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat

dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya

tidak dapat dituntut, maka ancaman pidana lima tahun dirasa sudah wajar. Dari

tinjauan hukum diatas Kelompok Gafatar masuk dalam Unsur Penistaan Agama

sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia.73

73
Oloan Siahaan, https://media.neliti.com/media/publications/209858-kebijakan-hukum-
pidana-dalam-menanggulan.pdf , hal 32, diakses taggal 21 Mei 2018

43

Universitas Sumatera Utara


44

B. Mekanisme Penyelidikan dan Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak


Pidana Penistaan Agama
Salah satu rangkaian dalam menyelesaikan kasus dalam acara pidana

termasuk tindak pidana penistaan agama adalah melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana ataupun tindak pidana

penistaan agama. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindak pidana

penistaan agama adalah pada saat penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah

satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus

menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak

pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari

adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidannanya. 74

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP,

walaupun menurut bahasa indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik,

yang artinya memeriksa, meneliti. KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut

undang-undang ini.75

Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang

menyatakan, penyidik merupakan Pejabat Polri atau pejabat pegawai negri

„tertentu‟ yang diberi wewenang khusus oleh undang-unang. Sedang penyidikan

berarti : serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara

74
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media
Aksara Prima, Jakarta, 2012, hal67
75
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.119

44

Universitas Sumatera Utara


45

yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti,

dengan bukti itu dapat membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi

serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 76

Pasal 7 ayat (1), jika dihubungkan dengan beberapa Bab KUHAP, seperti

Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan

surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban

penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan kurang sistematis pengaturanya,

sehingga untuk memahami masalah penyidikan secara sempurana, tidak dapat

melihatnya hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya

dari Bab dan pasal-pasal lain diluar kedua bab yang disebutkan.77

Penyidikan merupakan suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan

dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya

paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang

suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.78

1. Penyelidikan terhadap tindak pidana Polres Wajo

Mekanisme penyelidikan dan penyidikan mulai dilakukan setelah

diketahui atau diduga telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan laporan,

pengaduan dan informasi dari masyarakat. Baik laporan ataupun pengaduan serta

informasi dari masyarakat yang diterima penyelidik atau penyidik merupakan

bahan yang masih mentah dan perlu diadakan penelitian dan penyaringan oleh

pihak kepolisian.

76
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 109
77
Ibid, hal 110.
78
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2002, hal.99.

45

Universitas Sumatera Utara


46

Telah terjadi tindak pidana tersebut karena ada pengaduan dari masyarakat

Kabupaten Wajo Polres Wajo karena tindak pidana tersebut merupakan delik

aduan yang diterima oleh Kapolres Wajo. Dalam laporan polisi tersebut

dicantumkan model huruf B, yang artinya bahwa laporan polisi tersebut dibuat

berdasarkan laporan ataupun pengaduan dari masyarakat yang mengalami,

melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban suatu tindak pidana. Dalam

laporan polisi dimuat identitas pelapor, peristiwa yang dilaporkan atau diadukan,

tindak pidana yang terjadi, uraian singkat kejadian, serta nama dan alamat para

saksi.

Setelah laporan diterima petugas kepolisian segera mengambil tindakan

yaitu dengan mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tindakan tersebut

dilakukan untuk mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu

peristiwa yang dilaporkan atau diadukan tersebut merupakan tindak pidana atau

bukan tindak pidana, melengkapi keterangan dan bukti-bukti yang telah diperoleh

agar menjadi jelas sebelum dilakukan tindakan selanjutnya dan juga sebagai

persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.

Dengan adanya surat perintah penyidikan tersebut, penyidik atau penyidik

pembantu yang nama dan jabatannya tercantum berwenang untuk menangani dan

mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan sesuai

kewenangannya berkaitan dengan tindak pidana yang dilaporkan.

Dari penyidikan dapat diketahui pengakuan tersangka dan kronologis

terjadinya tindak pidana penistaan agama yang dapat dijerat dengan Pasal 156a

huruf (a) KUHP; yang berbunyi Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

46

Universitas Sumatera Utara


47

lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan

atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

2. Pelaksanaan Penyidikan terhadap Tersangka Makmur bin Amir

Untuk memulai penyidikan tindak pidana penistaan agama, maka

dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu

melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap orang, maupun benda ataupun

barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan-

tindakan dalam suatu penyidikan antara lain :

a. Penangkapan

Untuk memperlancar proses penyidikan tindak pidana penistaan agama,

maka Makmur bin Amir perlu dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Penangkapan terhadap seorang tersangka Makmur bin Amir yang diduga keras

melakukan suatu tindak pidana dalam hal ini penistaan agama, dilakukan setelah

dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan.

Surat perintah penangkapan memuat dasar dikeluarkannya surat perintah

penangkapan dan ditandatangani Kapolres Wajo dan petugas kepolisian yang

diperintahkan untuk melakukan penangkapan. Setelah penangkapan dilakukan,

segera dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui perlu diadakannya suatu

penahanan terhadap tersangka atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan

yang diberikan oleh undang-undang hanya 1 x 24 jam, selain itu juga setelah

penangkapan dilakukan, diberikan salinan surat perintah penangkapan kepada

47

Universitas Sumatera Utara


48

tersangka dan keluarganya, sesudah itu dibuat berita acara penangkapan yang

berisi pelaksanaan penangkapan yang ditandatangani tersangka dan penyidik yang

melakukan penangkapan

b. Penahanan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas

perintah, penyidik berwenang untuk melakukan penahanan berdasarkan bukti

permulaan yang cukup bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana

yang dapat dikenakan penahanan. Penahanan dilakukan dengan pertimbangan

bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana yang telah dilakukannya. Atas

pertimbangan tersebut, maka penyidik di Polres Wajo yang menangani kasus

penistaan agama mengeluarkan surat perintah penahanan untuk menahan

tersangka Makmur bin Amir. Penahanan terhadap tersangka Makmur bin Amir

dilakukan setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan dan turunannya

diberikan kepada keluarga tersangka. Tersangka ditahan di rutan Sengkang.

c. Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan atau kejelasan

tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak

pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan dan peranan seseorang maupun

barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam

Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

48

Universitas Sumatera Utara


49

d. Penggeledahan

Pertimbangan penggeledahan dan pembuatan surat perintah

penggeledahan adalah lapor an polisi, hasil pemeriksaan tersangka dan atau saksi-

saksi dan laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah

penyidik atau penyidik pembantu. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah

penggeledahan adalah Kepala Kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku

penyidik atau penyidik pembantu. Sasaran penggeledahannya adalah rumah dan

tempat-tempat tertutup, pakaian serta badan. Penggeledahan rumah dilakukan

dengan surat perintah penggeledahan setelah mendapat surat izin dari Ketua

Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri

setempat.

e. Penyitaan

Perkembangan penyitaan dan pembuatan surat perintah penyitaan adalah

laporan polisi, hasil pemeriksaan, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh

petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu dan hasil penggeledahan.

Yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan surat perintah penyitaan adalah

Kepala Kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik

pambantu. Penyitaan dilakukan dengan surat perintah penyitaan setelah mendapat

ijin atau izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Benda-benda yang

dapat disita antara lain :

1) 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu, plat dinas

merah, dengan nomor polisi DD 6827 SC

49

Universitas Sumatera Utara


50

2) 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14 inci

dengan nomor SNID: 34900696666

3. Selesainya Penyidikan

Apabila penyidik telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan

berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum yang merupakan penyerahan

dalam tahap pertama yaitu hanya berkas perkaranya saja (Pasal 8 ayat (3) sub a

dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Jika dalam waktu empat belas hari Penuntut

Umum tidak megembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktu tersebut

berakhir telah ada pemberitahuan (karena sesuai dengan Pasal 138 ayat (1)

KUHAP dalam waktu tujuh hari Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada

penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum), tentang hal itu

dari Penuntut Umum kepada Penyidik, maka penyidikan dianggap telah selesai

(Pasal 110 ayat (4) KUHAP).

Tetapi apabila Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan tersebut

masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera

melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk tadi dan dalam waktu

empat belas hari sesuadah tanggal penerimaan kembali berkas tersebut penyidik

harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum

(Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP).

50

Universitas Sumatera Utara


51

C. Akibat Hukum Bagi Pelaku Penistaan Agama

Akibat hukum bagi pelaku penistaan agama dapat dijelaskan dengan

adanya teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar

seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik

pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur

objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau

masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan kemampuan

bertanggung jawab dari pelaku.79

Unsur subjektif merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku

atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. 80 Unsur-unsur objektif merupakan

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Berdasarkan Pasal 156 KUHP tersebut dapat diketahui unsur objektifnya, masing-

masing unsur, antara lain :

1. In het openbaar atau di depan umum

2. Uiting geven atau menyatakan atau memberikan penyataan

3. Aan gevoelens van vijanschap, haat atau minachting atau mengenai perasaan

permusuhan, kebencian atau merendahkan

4. Tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu

atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia

79
I Wayan Artana, Tinjauan Yuridis Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama, Volume
14 No. 1 tahun, 2017hal 7
80
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hal 19

51

Universitas Sumatera Utara


52

Unsur in het openbaar atau di depan umum dalam rumusan tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu merupakan strafbepalende

omstandingheid atau suatu keadaan yang membuat si pelaku menjadi dapat

dipidana. Artinya, pelaku hanya dapat dipidana, jika perbuatan yang terlarang

dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu, ternyata telah

dilakukan oleh pelaku di depan umum. Jika perbuatan seperti yang dimaksudkan

di atas itu tidak dilakukan di oleh pelaku di depan umum, maka pelaku tersebut

idak akan dapat dijatuhi pidana karena melanggar larangan yang diatur dalam

Pasal 156 KUHP. Di Dalam KUHP, menerjemahkan: Barangsiapa di muka umum

menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap suatu

atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling

lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikut berarti tiap-tiap bagian dari

rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lain karena ras,

negeri, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut

HukumTata Negara.81Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam KUHP

Pasal 156. KUHP diadakan pasal baru yaitu Pasal 156a yang berbunyi: “Dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di

muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

1) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

81
Jur. Andi Hamzah, Op.Cit., hal 247

52

Universitas Sumatera Utara


53

2) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang

bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sesuai dengan Pasal 156 dan atau Pasal 156a KUHP, pelaku penistaan

agama dapat dijatuhi sanksi pidana penjara maksimal selama 5 tahun. Akan tetapi

dalam penerapannya sering kali berbanding terbalik, ada hakim yang menjatuhkan

sanksi pidana penjara ringan dan ada juga yang berat. Hal ini seharusnya sudah

dipahami terlebih dahulu dari pihak penyidik kepolisian sebelum mengenakan

pasal dalam KUHP dan patut diketahui dimana seorang pelaku penistaan agama

dapat dikatakan menistakan agama, sehingga dikenakan Pasal 156 dinyatakan

bahwa “Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan,

kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat

Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap

bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian

lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau

kedudukan menurut hukum tata negara”. Dan di mana seseorang dikatakan

menistakan agama secara spesifik/khusus, sehingga dikenakan Pasal 156a KUHP.

Sanksi penjara diberlakukan apabila tersangka sudah terbukti secara sah dan

meyakinkan serta diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman hukuman

maksimal lima tahun penjara, artinya jumlah pidana pelaku penistaan agama

dalam KUHP tersebut adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat diberikan

hukuman minimum

53

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA

G. Kasus Posisi

Nama lengkap : MAKMUR bin AMIR

Tempat lahir : Makassar

Umur/tanggal lahir : 50 Tahun/31Desember 1964

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. KH. Muhammad Kasim Kel. Pate‟ne Kec. Wara Utara

Kota Palopo

Agama : Kristen Katolik

Pekerjaan : PNS pada Kantor Inspektorat Kota Palopo

Terdakwa Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015

sekitar jam 15.30 Wita bertempat di Jl. Stasiun Sengkang Kel. Tedda Opu Kec.

Tempe Kabupaten Wajo, dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan

atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,

perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa. Terdakwa mengeluarkan sejumlah

selebaran dari dalam tas yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut

berjudul “Allah Adalah Has Maul Husnah”, setelah dikeluarkan maka Terdakwa

membagi-bagikan selebaran tersebut dengan cara menaruhnya/menyelipkannya

pada kendaraan roda dua yang berada di tempat di mana Terdakwa berada.

54

Universitas Sumatera Utara


55

Isi dari selebaran tersebut mengandung materi permusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama

yang dianut di Indonesia, adapun isi dari materi yang dimaksud yang mengandung

materi permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Islam.

Adapun isi selebaran tersebut berisikan:

1. Menganggap agama terakhir (Islam) sebagai agama yang memprotes, karena

protes cenderung keras, tidak ada kedamaian, radikal, membawa perbedaan

dan pertentangan;

2. Agama terakhir tidak lahir dan tidak berdiri dengan sendirinya melainkan lahir

dari protes yang bagaikan hama penyakit datang mengganggu dan merusak

kehidupan dan kedamaian;

3. Allah yang memprotes atau Allah teroris;

4. Menutup aurat bagi wanita dianggap belenggu ciptaan Tuhan, sehingga

dianggap sebagai ajaran kegelepan;

5. Nabi Muhammad memperistri banyak janda-janda, apa yang diperbuat Nabi

kia adalah jalan kebijakan yang salah;

6. Nabi Muhammad justru menempuh jalan kebijakan yang salah dengan

memperistri banyak para janda-janda, karena beliau Nabi Muhammad

mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram di hadapan Allah;

7. Nabi Muhammad mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram

dihadapan Allah;

55

Universitas Sumatera Utara


56

8. Nabi Muhammad juga tidak layak ber isra miraj ke langit tingkat tujuh (siratal

muntah) bertemu dengan Allah untuk menerima perintah sholat lima waktu

sebab belia najis dihadapan Allah

Isi dari selebaran tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kemarahan,

permusuhan antar penganut agama baik antara masyarakat penganut agama Islam

yang membaca selebaran milik Terdakwa tersebut dengan penganut agama yang

lain atau setidak-tidaknya dengan Terdakwa selaku pemeluk agama Kristen

Katolik. Terdakwa menyebar selebaran miliknya tersebut bertempat di jalan

umum dimana setiap orang dapat melihat, membaca, mengetahui, serta

mendengar perbuatan Terdakwa serta Terdakwa mengetahui dan menghendaki

akibat yang dapat ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa tersebut. Adapun tempat

Terdakwa menyebar selebaran miliknya tersebut bertempat di jalan umum dimana

setiap orang dapat melihat, membaca, mengetahui, serta mendengar perbuatan

Terdakwa serta Terdakwa mengetahui dan menghendaki akibat yang dapat

ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa tersebut

H. Dakwaan

Dakwaan sangat berperan penting dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam

mengadili suatu perkara haruslah ada surat dakwaan sebagai dasar dari

terlaksananya penyelesaian kasus pidana. Surat dakwaan sangat diperlukan kareana

dalam surat dakwaan berisi tentang unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh

terdakwa, tapi masih bersifat sementara karena belum dibuktikan. Surat dakwaan

dikeluarkan penuntut umum/jaksa yang menangani suatu perkara pidana. Surat

dakwaan sangat berguna untuk hakim, jaksa bahkan terdakwa. Untuk terdakwa/

56

Universitas Sumatera Utara


57

penasehat hukum surat dakwaan ini memiliki arti penting dalam menyiapkan hal-

hal terutama yang menyangkut pembelaan.

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 156a huruf (a) KUHP; yang berbunyi Dipidana dengan pidana

penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan,

penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 156a huruf (b) KUHP, yang berbunyi dengan maksud agar supaya

orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

I. Tuntutan Jaksa Penutut Umum

Tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar

Majelis Hakim yang mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menyatakan Terdakwa Makmur bin Amir bersalah melakukan tindak pidana

“Penistaan Agama” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a

huruf (a) KUHP dalam dakwaan kesatu;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Makmur bin Amir dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dengan dikurangi selama

Terdakwa berada dalam masa penangkapan dan penahanan dengan perintah

Terdakwa tetap ditahan;

57

Universitas Sumatera Utara


58

3. Menetapkan barang bukti berupa:

a. 1800 (seribu delapan ratus) lembar artikel/selebaran dengan judul “Allah

Adalah Asmaul Husnah”;

b. 1 (satu) lembar artikel/selebaran, dengan judul “Meraih Rahmat

Keselamatan Ilahi”;

c. 1 (satu) buah tas ransel warna kream kombinasi coklat; Dirampas untuk

dimusnahkan;

d. 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu plat dinas

merah, dengan nomor polisi DD 6827 SC;

Dikembalikan kepada Terdakwa;

e. 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14

inch dengan nomor SNID: 34900696666;Dirampas untuk negara;

4. Menetapkan agar Terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp2.000,00

(seribu Rupiah)

J. Fakta Hukum

Fakta hukum adalah fakta-fakta yang terungkap didalam persidangan.

Fakta-fakta tersebut adalah keterangan saksi dibawah sumpah, keterangan

terdakwa dan bukti-bukti. Di dalam persidangan telah didengar keterangan saksi-

saksi, antara lain :

1. Muh. Najib alias Najib bin H. Laokeng (disumpah), yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

Saksi sebelum kejadian tidak kenal dengan Terdakwa serta tidak ada

hubungan keluarga dan pekerjaan dengan Terdakwa. Terdakwa dihadapkan dalam

58

Universitas Sumatera Utara


59

persidangan ini karena mengedarkan selebaran yang berisikan penistaan terhadap

agama Islam. Terdakwa mengedarkan selebaran pada hari Selasa tanggal 9

Desember 2015 sekitar jam 14.30 Wita bertempat di sekitar Warung Kopi

Terminal Jalan Stasiun Sengkang, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo.

Terdakwa mengedarkan selebaran tersebut dengan cara selebaran tersebut

Terdakwa selipkan atau Terdakwa simpan di dashboard sepeda motor yang

parker, Terdakwa menyelipkan selebaran tersebut di dashboard sepeda motor lalu

saksi suruh seseorang yang bernama Andiko mengambil selebaran tersebut

kemudian selebaran tersebut diberikan kepada saksi. Saksi sempat baca selebaran

tersebut dan pada waktu itu saksi kaget dan inti dari isi selebaran tersebut

menjelek-jelekkan Nabi Muhammad Saw., di mana Nabi Muhammad Saw.

mempunyai banyak isteri.

Setelah saksi membaca selebaran tersebut lalu ada anggota polisi yang

mengambil selebaran tersebut kemudian memanggil Terdakwa dan tidak lama

kemudian ada Anggota Polisi dari Polsek Tempe mengamankan Terdakwa dan

pada waktu itu saksi tidak tahu lagi karena saksi sudah tinggalkan tempat tersebut

untuk pergi menjemput anak saksi yang pulang sekolah. Saksi melihat sewaktu

Terdakwa simpan selebaran tersebut di sepeda motor yang parkir. Terdakwa

mengedarkan selebaran tersebut sendiri saja, pada saat Terdakwa bagi-bagikan

selebaran tersebut, Terdakwa pakai jaket dan di dalamnya Terdakwa

menggunakan pakaian pegawai negeri sipil (PNS).

Saksi tidak tahu tas apa yang dibawa oleh Terdakwa pada waktu itu.

Tempat Terdakwa bagi-bagikan selebaran tersebut merupakan tempat masyarakat

59

Universitas Sumatera Utara


60

berkumpul. Jika selebaran tersebut dibaca oleh orang maka orang tersebut akan

tahu isinya. Bahwa setelah membaca selebaran tersebut lalu saksi merasa

dilecehkan sebagai orang yang beragama Islam

2. Suwandi alias Andiko bin Juma (disumpah), yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

Saksi sebelum kejadian tidak kenal dengan Terdakwa serta tidak ada

hubungan keluarga dan pekerjaan dengan Terdakwa. Bahwa Terdakwa

dihadapkan dalam persidangan ini karena mengedarkan selebaran yang berisikan

penistaan terhadap agama Islam. Terdakwa mengedarkan selebaran tersebut pada

hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 14.30 Wita bertempat di sekitar

Warung Kopi Terminal Jalan Stasiun Sengkang, Kecamatan Tempe, Kabupaten

Wajo. Terdakwa mengedarkan selebaran tersebut dengan cara selebaran tersebut

Terdakwa selipkan atau Terdakwa simpan di dashboard sepeda motor yang parkir;

Setelah Terdakwa menyelipkan selebaran tersebut di dashboard sepeda

motor lalu saksi disuruh oleh saksi Najib mengambil selebaran tersebut kemudian

selebaran tersebut saksi berikan kepada saksi Najib selanjutnya saksi pergi kerja

lagi. Waktu Terdakwa menyimpan selebaran tersebut saksi sempat melihat.

Terdakwa mengedarkan selebaran tersebut seorang diri. Banyak selebaran yang

disebarkan oleh Terdakwa tapi hanya satu saja yang saksi ambil. Pada saat

Terdakwa bagi-bagikan selebaran tersebut Terdakwa menggunakan jaket dan di

dalamnya Terdakwa menggunakan pakaian pegawai negeri sipil (PNS). Saksi

tidak tahu isi tas apa yang dibawa oleh Terdakwa pada waktu itu.

60

Universitas Sumatera Utara


61

Tempat Terdakwa bagi-bagikan selebaran tersebut merupakan tempat

masyarakat berkumpul. Apabila selebaran tersebut dibaca oleh orang maka orang

tersebut tahu isinya. Setelah saksi membaca selebaran tersebut sebagai orang yang

beragama Islam saksi merasa dilecehkan atas selebaran tersebut.

3. H. Muhammad Subhan, S.Ag., M.Pd.I. (disumpah), yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut

Saksi ahli tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga

serta hubungan pekerjaan dengan Terdakwa. Ahli bekerja di Kementerian Agama

Kabupaten Wajo. Saksi ahli kerja di Kementerian Agama Kabupaten Wajo sejak

tahun 1999 sampai dengan sekarang. Jabatan saksi ahli di Kementerian Agama

pertama di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pitumpanua, lalu dipindahkan ke

Kantor Urusan Agama Kecamatan Maniangpajo, kemudian Kantor Urusan

Agama Kecamatan Belawa, selanjutnya ke Kantor Urusan Agama Kecamatan

Pammana, dan masuk dalam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wajo pada

tahun 2011 sampai dengan sekarang sebagai Penyelenggara Syariah pada Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Wajo.

Saksi ahli diperiksa sebagai ahli sehubungan dengan adanya Terdakwa

mengedarkan selebaran yang berjudul Allah adalah Hasmaul Husnah yang mana

isinya antara lain Allah sebagai teroris, dan perbuatan Nabi Muhammad Saw.

memperisterikan banyak janda-janda merupakan perbuatan najis sehingga tidak

layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua kalimat syahadat. Berdasarkan

informasi dari polisi bahwa Terdakwa mengedarkan selebaran tersebut di sekitar

terminal warung kopi. Informasi yang diperoleh dari kepolisian Terdakwa

61

Universitas Sumatera Utara


62

mengedarkan selebaran tersebut seorang diri. Waktu saksi ahli diperiksa di

penyidik polisi ada selebaran yang diperlihatkan kepada ahli.

Selebaran yang diperlihatkan kepada saksi ahli waktu di penyidik

kertasnya panjang dan isinya sama yang diperlihatkan kepada ahli pada

persidangan ini. Menurut saksi ahli setelah membaca selebaran tersebut dari

analisa secara pengetahuan ahli berpendapat bahwa ada beberapa kalimat tidak

semestinya menurut agama Islam yakni tentang tulisan Hasmaul Husna dalam

Islam tulisan bukan “Hasmaul Husna” akan tetapi penulisannnya “Asmaul Husna”

jadi pendapat ahli orang tersebut tidak memahami tentang ajaran Islam. Nabi

Muhammad Saw. mempunyai banyak isteri dan dianggap sebagai perbuatan najis

itu adalah pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw., isteri-isterinya dan agama

Islam, karena dalam agama Islam segala tindakan dan perbuatan Nabi Muhammad

Saw. adalah petunjuk dari Allah Swt. Agama Islam adalah agama yang sangat

keras sifatnya protes mengarah pada tindakan teroris hal tersebut menyimpang

dari agama Islam yang sesungguhnya karena agama Islam adalah agama

Rahmatan Lilalamin ajarannya membawa kedamaian dan ketentraman. Nabi

beristeri banyak tidak layak Isra Miraj karena Nabi Muhammad Saw. najis itu

adalah melecehkan Nabi Muhammad Saw, karena Nabi Muhammad Saw.

melaksanakan hal tersebut atas Rahmat dari Allah Swt.

Penyeberan selebaran tersebut ada kekhawatiran adanya gesekan antara

umat beragama sehingga bisa menimbulkan tindakan yang anarkis. Dalam agama

Islam tidak dibolehkan hal seperti itu karena bisa mencederai agama lain.

Keahlian ahli di bidang Syariah yang meliputi Syariah Agama, yang termasuk

62

Universitas Sumatera Utara


63

penodaan agama sepengetahuan ahli adalah mencedarai persoalan keyakinan pada

agama. Terdakwa mencederai agama yakni menyampaikan sesuatu pada

masyarakat tentang kesalahan-kesalahan yang terjadi pada agama tersebut.

Menurut pengetahuan ahli tindakan Terdakwa adalah salah satu unsur menodai

agama lain dalam hal ini agama Islam, artinya dalam agama Islam “Asmaul

Husna” adalah nama-nama Allah sedangkan “Hasmaul Husna” tidak ada artinya

dalam agama Islam. Penulisan yang salah yakni “Hasmaul Husna” dikatikan

dengan Allah maka tidak ada kaitannya. Sebelum saksi ahli diperiksa di penyidik

ada surat tugas ahli dari Kementerian Agama Kabupaten Wajo dan diserahkan

kepada penyidik waktu itu.

Di dalam selebaran tersebut ada yang tidak sesuai dengan ajaran Islam

yakni agama Islam merupakan agama terakhir yang memperotes, agama yang

keras, dan menganut pada tindakan keras/teroris bertentangan dengan Islam

karena Islam adalah ajaran Rahmatan Lilalamin (agama damai). Nabi Muhammad

Saw. beristeri banyak dan dianggap najis tidak dapat disandingkan dengan Allah,

membuat agama Islam bertentangan dengan yang sesungguhnya.

4. Makmur bin Amir (Terdakwa)

Isi selebaran yang Terdakwa sebarkan tersebut tentang Hasmul Husna.

Terdakwa menyebarkan selebaran tersebut pada hari Selasa tanggal 9 Desember

2015 sekitar jam 15.30 Wita di Jalan stasiun Sengkang Kelurahan Teddaopu,

Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo tepatnya di Warung Kopi Terminal. Bahwa

Terdakwa sebarkan selebaran tersebut dengan cara menyimpan di setiap sepeda

motor yang parkir apakah di sadel sepeda motor tersebut atau di dashboard bagian

63

Universitas Sumatera Utara


64

depan sepeda motor tersebut. Terdakwa menyebarkan selebaran tersebut sekitar

dua ratus lembar, selebaran tersebut Terdakwa sendiri yang membuat. Terdakwa

ke Sengkang hanya untuk sebarkan selebaran tersebut. Terdakwa menyebarkan

selebaran tersebut dengan maksud hanya menyatakan pendapat saja yang

Terdakwa lakukan tersebut melanggar hukum. Tujuan Terdakwa edarkan supaya

hidup beragama berdampingan. Bahwa orang tua Terdakwa beragama Islam,

agama Terdakwa agama Kristen tapi awalnya Terdakwa beragama Islam lalu pada

tahun 1985 Terdakwa masuk agama Kristen.

Maksud dan tujuan Terdakwa hanya untuk menyebarkan ajaran atau

pengetahuan yang Terdakwa pahami kepada masyarakat agar mereka mengetahui

secara umum untuk tidak fokus atau terlalu fanatik dengan agama yang dianutnya

atau dipahaminya. Terdakwa sangat menyesal sekali dengan perbuatan Terdakwa

dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Terdakwa buat selebaran tersebut dengan

menggunakan laptop Terdakwa sendiri.

Terdakwa buat selebaran tersebut sekitar tiga sampai empat hari yang lalu,

selanjutnya Terdakwa ke Sengkang untuk edarkan selebaran tersebut. Terdakwa

ke Sengkang hanya untuk sebarkan selebaran tersebut lalu rencana akan kembali

ke Palopo. Sepeda motor yang Terdakwa gunakan ke Sengkang adalah sepeda

motor dinas milik kantor Terdakwa. Barang bukti laptop dan tas ransel yang

berisikan selebaran yang diperlihatkan kepada Terdakwa di persidangan ini adalah

benar barang yang Terdakwa gunakan untuk melakukan perbuatan Terdakwa.

64

Universitas Sumatera Utara


65

K. Putusan Pengadilan

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka sesuai

dengan Pasal 222 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana Terdakwa dibebani membayar biaya perkara dalam perkara ini yang

besarnya akan ditentukan dalam amar putusan. Memerhatikan, Pasal 156a huruf a

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang No. 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 49

Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1986 Tentang Peradilan Umum serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan

dengan perkara ini

Mengadili

1. Menyatakan Terdakwa Makmur bin Amir, telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penodaan agama”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama

1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan supaya Terdakwa tetap ada dalam tahanan;

5. Menetapkan supaya barang bukti berupa:

65

Universitas Sumatera Utara


66

e. 1800 (seribu delapan ratus) lembar artikel/selebaran, dengan judul “Allah

adalah Hasmaul Husnah” 1 (satu) lembar artikel/selebaran, dengan judul

“Meraih Rahmat Keselamatan Ilahi”1 (satu) buah tas ransel warna kream

kombinasi coklat; Dirampas untuk dimusnahkan;

f. 1 (satu) unit motor merek Vega warna hitam kombinasi abu-abu, plat dinas

merah, dengan nomor polisi DD 6827 SC;Diserahkan kepada pihak yang

paling berhak menerima kembali yaitu Pemerintah Daerah Kota Palopo

melalui Terdakwa;

g. 1 (satu) unit laptop merek Acer Aspire E1-422 warna hitam ukuran 14 inci

dengan nomor SNID: 34900696666; Dirampas untuk kepentingan negara;

6. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar

Rp1.000,00 (seribu Rupiah)

L. Analisis Putusan

1. Kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang

normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-

hal yang baik dan yang buruk, atau atau dengan kata lain, mampu untuk

menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan

keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.82 Jadi, paling tidak ada

dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor

akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat

82
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal 171

66

Universitas Sumatera Utara


67

menyesuaikan tingkah lakunya dengankeinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan

dan yang tidak diperbolehkan.

Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal

pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan

perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-

bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan

yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hokum pidana, ketika

melakukan tindak pidana.

Dapat dipertanggungjawabkan, karena akalnya yang sehat dapat

membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh

hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan

hukum normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh

dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggung jawab,

merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan. Mampu

bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan

bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hokum manusia

mampu bertanggung jawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana,

sekaligus sebagai syarat kesalahan.83

Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang

merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP di seluruh dunia.pada

umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur

83
Chairul Huda, hal 8

67

Universitas Sumatera Utara


68

ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab. Demikian halnya

dengan ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

a. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige

ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

b. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya

disebabakan, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena

penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan

kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan84

Dalam kasus tindak pidana penistaan agama ini terjadi ketika Terdakwa

Makmur bin Amir pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 15.30

berada Warung Kopi Terminal Jalan Stasiun Sengkang, Kecamatan Tempe,

Kabupaten Wajo; Terdakwa mengeluarkan sejumlah selebaran dari dalam tas

yang dibawanya yang pada pokoknya selebaran tersebut berjudul “Allah adalah

Hasmaul Husnah”, setelah dikeluarkan, maka Terdakwa membagi-bagikan

selebaran tersebut dengan cara menaruhnya/menyelipkannya pada kendaraan roda

dua yang berada di tempat di mana Terdakwa berada.

Pelaku didakwa melakukan tindak pidana penghinaan terhadap agama

menurut Pasal 156 KUHP. Adapun perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah

menginjak Alquran untuk menegaskan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh

pelaku dihadapan para saksi. Atas dakwaan ini terdakwa dituntut dengan 1 tahun

6 bulan penjara oleh JPU. Yang menarik pertimbangan JPU untuk membuktikan

84
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal
260.

68

Universitas Sumatera Utara


69

apak ah terdakwa bersalah atau tidak didasarkan pada keterangan ahli. Hal yang

menarik lainnya dalam tuntutan JPU terdapat kebingungan tentang pasal yang

digunakan apakah Pasal 156 atau pasal 156a KUHP termasuk penggunaan istilah

apakah penghinaan atau penistaan/penodaan agama.

Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan bahwa Terdakwa Makmur

bin Amir telah melanggar Pasal 156a huruf a KUHP yang berbunyi: Dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja

dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penistaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud agar supaya orang yang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 85

Hakim menyatakan bahwasanya Makmur bin Amir telah terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama dikarenakan

Makmur bin Amir telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 156a

dan 156b KUHP. Di samping itu juga dapat dilihat dari dua aspek yakni

1) Aspek tindak pidana

Makmur bin Amir telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam

Pasal 156a huruf a KUHP, yaitu :

a) Unsur barangsiapa

Terdakwa Makmur bin Amir telah diajukan ke persidangan oleh Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Sengkang karena didakwa melakukan

85
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal 63

69

Universitas Sumatera Utara


70

tindak pidana sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan Penuntut Umum

Nomor PDM-04/R.4.19/Ep.2/02/2016, tanggal 3 Februari 2016,

dalampersidangan Terdakwa Makmur bin Amir telah membenarkan

bahwa identitas Terdakwa dalam surat dakwaan dimaksud adalah betul

identitas dirinya, bukan identitas orang lain demikian juga keterangan

saksi-saksi di depan persidangan memberikan bukti bahwa Terdakwa

Makmur bin Amir adalah Terdakwa dalam perkara aquo yang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya.

b) Unsur dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan

Perbuatan mengeluarkan perasaan adalah dengan ucapan, melalui kata

atau kalimat, atau dapat pula dengan tulisan. Sementara itu, melakukan

perbuatan adalah bersifat fisik, dengan wujud gerakan dari tubuh atau

bagian dari tubuh, misalnya menginjak kitab suci suatu agama. Di dalam

keduanya ada persamaan yakni dalam kedua perbuatan itu isinya

mengandung sifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu

agama. Sifat disini artinya, bahwa dari kedua perbuatan tersebut

berdasarkan nilai-nilai spritual yang dianut umat pemeluk agama, dapat

ditafsirkan atau diartikan oleh penganut agama yang bersangkutan sebagai

memusuhi, menyalahgunakan atau menodai agama mereka

Unsur sengaja oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di depan

unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a

70

Universitas Sumatera Utara


71

KUHP, maka kesengajaan pelaku juga harus ditujukan terhadap unsur-

unsur berikutnya dalam pasal tersebut.86

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang

diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa, serta barang

bukti menerangkan bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015

sekitar jam 14.30 Wita, Terdakwa dengan sengaja di muka umum yaitu di

sekitar Warung Kopi Terminal Jalan Stasiun Sengkang Kecamatan Tempe,

Kabupaten Wajo, telah mengeluarkan perasaanya melalui tulisan yang

dibuat oleh Terdakwa sendiri dalam bentuk selebaran yang mana selebaran

tersebut berjudul Allah adalah Hasmaul Husnah yang isi pada pokoknya

antara lain adalah Allah sebagai teroris, dan perbuatan Nabi Muhammad

Saw. memperisterikan banyak janda-janda adalah perbuatan najis sehingga

tidak layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua kalimat syahadat

c) Unsur yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

Sifat permusuhan, artinya isinya pernyataan atau maknanya

perbuatan adalah si pembuat dinilai oleh penganut agama yang

bersangkutan sebagai memusuhi agamanya. Dari perbuatan yang

mengandung sifat yang demikian, dapat berakibat timbulnya perasaan

benci atau membenci atau amarah bagi umat agama yang bersangkutan.

Artinya disini telah ada pelanggaran terhadap ketenangan dan ketentraman

batin dari pemeluk agama penduduk negara.

86
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik khusus Kejahatan Terhadap
kepentingan Hukum Negara, Op.Cit, hal 177

71

Universitas Sumatera Utara


72

2. Kesengajaan dan kealpaan

Wetboek van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai

kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.87 Sedangkan menurut Memorie van

Toelichting kesengajaan sama dengan “willens en wetens” atau diketahui atau

dikehendaki.88 Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens

en wetens”adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja

harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsya atau mengerti

(weten) akan akibat dari perbuatan itu. 89 Sehubungan dengan hubungan batin

antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui,

maka dalam ilmu hokum pidana terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang

dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von Vorsatz und

Fahrlassigkeil” 1903 dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh Frank

dalam “Festcshrzft Gieszen” 1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak

membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan

itu.

KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa),

sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat

87
D.Schaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E Sahetapy,
Liberty,Yogyakarta, 1995, hal.87.
88
E Utredit,Hukum Pidana I,Pustaka Tinta Emas,Surabaya,1986,hal.300.
89
Satochid Klrtanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian Dua,Balai
Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, Jakarta, hal. 291

72

Universitas Sumatera Utara


73

para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu

kealpaan.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk pada kata

'kealpaan, seperti recklessness, neglience, sembrono, dan teledor.“ 90 Simons

mengatakan bahwa umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak

berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibatnya.

Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin

juga terjadi kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu

mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi

apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui

atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku

adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu

tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan?”

Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat

gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan

seseorang secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu.

Dengan pengertian demikian, maka di dalam kealpaan (culpa) terkandung makna

kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan

antara kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat

positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu

perbuatan dilarang.91

90
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, 2008
91
Moeljatno, Op.Cit.,hal 217

73

Universitas Sumatera Utara


74

Error in persona merupakan kekeliruan dalam terjadinya suatu perbuatan

pidana, di mana smnber kekeliruan tersebut berasal dari anggapan pelaku terhadap

objek yang dituju. 92 Kekeliruan mengenai orang hanya dapat terjadi apabila

seseorang pelaku telah mempunyai kesengajaan terhadap seseorang tertentu,

tetapi kemudian ternyata ia telah mengalami kekeliruan mengenai orang

tersebut.93

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang

diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa, serta barang bukti

menerangkan bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Desember 2015 sekitar jam 14.30

Wita, Terdakwa dengan sengaja di muka umum yaitu di sekitar Warung Kopi

Terminal Jalan Stasiun Sengkang, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, telah

mengeluarkan perasaanya melalui tulisan yang dibuat oleh Terdakwa sendiri

dalam bentuk selebaran yang mana selebaran tersebut berjudul Allah adalah

Hasmaul Husnah yang isi pada pokoknya antara lain adalah Allah sebagai teroris,

dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. memperisterikan banyak janda-janda

adalah perbuatan najis sehingga tidak layak disandingkan dengan Allah Swt.

dalam dua kalimat syahadat.

Berdasarkan keterangan ahli H. Muhammad Subhan, S.Ag., M.Pd pada

pokoknya menerangkan Terdakwa mengedarkan selebaran yang berjudul Allah

adalah Hasmaul Husnah yang mana isinya antara lain Allah sebagai teroris, dan

perbuatan Nabi Muhammad Saw. memperisterikan banyak janda-janda adalah

92
M.Abdul Kholiq, Op.Cit., hal. 139.
93
Tongat, Op.Cit.,hal. 267.

74

Universitas Sumatera Utara


75

perbuatan najis sehingga tidak layak disandingkan dengan Allah Swt. dalam dua

kalimat syahadat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat

unsur “Dimuka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada

pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu

agama yang dianut di Indonesia” telah terbukti secara sah dan meyakinkan

menurut hukum. Unsur-unsur yang tersebut di atas, itu berarti bahwa di sidang

pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat dibuktikan:

a. Bahwa pelaku telah “menghendaki” mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan.

b. Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang

ia lakukan itu telah terjadi di depan umum.

c. Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan itu sifatnya

bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan.

d. Bahwa pelaku “mengetahui” perasaaan bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. 94

2) Aspek sanksi

Pasal 156a merupakan alternatif, artinya salah satu saja yang dibuktikan

untuk dapat dipidananya pembuat. Jika dicermati perumusan pasalnya dan juga

maksud pembuat pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa terdapat dua tindak

pidana yaitu pertama, dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan

atau melakukan perbuatan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

94
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah memahami Hukum Pidana,
Prenada, Jakarta, 2014, hal 207.

75

Universitas Sumatera Utara


76

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dan kedua dengan

sengaja dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang

bersendikan keTuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, jika hakim

berpendapat pasal tersebut dirumuskan secara kumulatif, maka terhadap penistaan

agama dapat dikenakan Pasal 156 KUHP.

Ketentuan Pasal 156a huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang

No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum serta peraturan-

peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan

Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal dakwaan kesatu

Penuntut Umum tersebut, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana penodaan agama. Hakim dalam putusannya menggunakan Pasal 156 a

junctis Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam hal ini para penasihat hukum

meyakini penggunaan pasal tersebut terhadap perbuatan terdakwa adalah tidak

tepat karena unsur pidana yang dikandung dalam pasal a quo tidak dapat

ditemukan dari perbuatan terdakwa. Namun, majelis hakim dalam

76

Universitas Sumatera Utara


77

pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti

merupakan tindak pidana yang menyebabkan penistaan terhadap suatu agama

tertentu.

Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, didasarkan pada pertimbangan

sebagai berikut

Hal yang memberatkan:

a) Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat;

b) Perbuatan Terdakwa dapat menimbulkan gesekan antar umat beragama

Hal yang meringankan:

a) Terdakwa mengakui, menyesali, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi

perbuatannya;

b) Terdakwa belum pernah dihukum;

c) Terdakwa bersikap sopan selama persidangan;

Pada akhirnya bagaimanakah seseorang itu dapat diminta pertanggung

jawabannya? Menurut Van Hammel yang mengatakan, orang yang bertanggung

jawab adalah harus memenuhi setidaknya tiga syarat, yaitu:

1) Dapat Menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan-

Dapat

2) Menginsafi bahwa perbuatannya di pandang tidak patut dalam pergaulan

masyarakat

77

Universitas Sumatera Utara


78

3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan yang

tadi.95

Selain itu, alasan Majelis Hakim memutuskan demikian adalah karena saat

Makmur bin Amir yang mengatakan bahwa TerdakwaMenganggap agama

terakhir (Islam) sebagai agama yang memprotes, karena protes cenderung keras,

tidak ada kedamaian, radikal, membawa perbedaan dan pertentangan; Agama

terakhir tidak lahir dan tidak berdiri dengan sendirinya melainkan lahir dari protes

yang bagaikan hama penyakit datang mengganggu dan merusak kehidupan dan

kedamaian;Allah yang memprotes atau Allah teroris; Menutup aurat bagi wanita

dianggap belenggu ciptaan Tuhan, sehingga dianggap sebagai ajaran kegelepan;

Nabi Muhammad memperistri banyak janda-janda, apa yang diperbuat Nabi kia

adalah jalan kebijakan yang salah; Nabi Muhammad justru menempuh jalan

kebijakan yang salah dengan memperistri banyak para janda-janda, karena beliau

Nabi Muhammad mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram di hadapan

Allah; Nabi Muhammad mempunyai banyak istri perbuatan najis dan haram di

hadapan Allah; Nabi Muhammad juga tidak layak ber isra miraj ke langit tingkat

tujuh (siratal muntah) bertemu dengan Allah untuk menerima perintah Sholat

Lima Waktu sebab belia najis di hadapan Allah.

Akibat dari perbuatan Terdakwa Makmur bin Amir tersebut, korban yang

dalam hal ini umat Islam dan bangsa Indonesia merasa dirugikan karena bangsa

indonesia adalah bangsa yang percaya pada tuhan dan sangat menjunjung tinggi

prinsip-prinsip toleransi antar pemeluk agama. Majelis Hakim melihat bahwa


95
Tessalonicha Leuwo. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Cyber Crime Yang
Menyebarkan Isu Suku, Ras, Agama Dan Antar Golongan (Sara) Melalui Media Sosial Ditinjau
Dari Undang-Undang Ite Nomor 19 Tahun 2016 Lex Crimen. Vol. VII/No. 2/April/2018, hal 32

78

Universitas Sumatera Utara


79

Makmur bin Amir telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi. Akibat perbuatan Terdakwa dengan menyebarkan selebaran

tersebut telah menodai agama tertentu yaitu agama Islam sehingga para penganut

agama Islam yang membaca selebaran Terdakwa tersebut merasa sakit hati,

marah, dan tersinggung terhadap perbuatan Terdakwa;

3. Alasan-Alasan Penghapus Kesalahan

Dalam keadaan-keadaan tertentu, pembuat tindak pidana tidak dapat

berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya

tidak diinginkannya. Sehingga tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih

mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk berada pada jalur yang ditetapkan

hukum. Terjadinya tindak pidana adakalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat

tindak pidana, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.96 Faktor yang berasal

dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat

berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri

pembuat tindak pidana terdapat alasan penghapus kesalahan.

Dalam hubungan ini pertanggungjawaban pidana masih tunggukan sampai

dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat tindak

pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan

tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena

pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana

itu.97 Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat

melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar

96
Chairul Huda, Op.Cit., hal 118
97
Ibid

79

Universitas Sumatera Utara


80

dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.

Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai

fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada 'pembenaran' atas

tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan

pemaaf berdampak pada ”pemaafan' pembuatannya sekalipun telah melakukan

tindak pidana yang melawan hukum. 98 Dalam hukum pidana yang termasuk

kedalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa

(overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses), dan

pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.

Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis bahwa hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama dinilai

sudah tepat dan lebih cenderung kepada pertimbangan sosiologis yang berpatokan

pada penjatuhan hukuman dengan menerapkan unsur edukatif atau pendidikan.

Dengan kata lain, hukuman tersebut tidak hanya bertujuan memberikan efek jera,

namun juga memuat unsur pendidikan dengan maksud agar pelaku penistaan

agama dapat menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan tidak benar dalam

segi hukum yang berlaku di Indonesia.

Kesesuaian penjatuhan pidana oleh Hakim dan tuntutan JPU dengan

tujuan pemidanaan adalah penulis tidak setuju dengan penjatuhan pidana penjara

1 (satu) tahun 6 (enam) tersebut, mengingat latar belakang dan profesi terdakwa

seorang PNS dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana penodaan agama

yang dilakukan oleh terdakwa telah meresahkan masyarakat, khususnya umat

98
Ibid., hal 121

80

Universitas Sumatera Utara


81

Islam di Kec. Tempe Kabupaten Wajo, serta terdapat unsur perbuatan terdakwa

yang tidak Majelis Hakim pertimbangkan, sehingga dapat dikatakan penjatuhan

pidana penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan tersebut kurang berat dan tidak

sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam teori gabungan, yang memiliki prinsip

tujuan pemidanaan merupakan mendasarkan atas tujuan pembalasan dan

mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi

dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur

yang lain, maupun pada semua unsur yang ada. Pasal 156a KUHP memberi

ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan Jaksa Penuntut Umum

menuntut terdakwa agar dihukum penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan,

seharusnya hakim menjatuhkan pidana penjara sesuai dengan tuntutan jaksa

penuntut umum, sehingga dapat sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam teori

gabungan.

81

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas yang penulis buat, maka

dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu

1. Pengaturan tentang tindak pidana penistaan Agama di Indonesia, yaitu Pasal 4

pada Undang-undang No. 1/PNPS/1965 sendiri yang telah memasukkan unsur

pidana kedalam aturan perundang-undangan yang isinya:“Pada KUHPidana,

diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut; Pasal 156a.Dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan

sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a.

yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.dengan maksud agar supaya

orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan

Yang Maha Esa.

2. Sanksi bagi pelaku penistaan agama dengan sanksi sebagaimana tercantum

dalam Pasal 156a KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara selama-

lamamnya 5 (lima) tahun.

3. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama,

Terdakwa Makmur bin Amir dijatuhi pidana pidana penjara selama 1 (satu)

tahun dan 6 (enam) bulan dan menetapkan masa penahanan yang telah dijalani

oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

82

Universitas Sumatera Utara


83

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang

dapat diberikan antara lain :

1. Perlu adanya suatu peraturan yang mengatur secara lebih rinci yang mengatur

tentang penistaan agama di Indonesia. Sebab peraturan KUHP yang ada

sekarang ini dirasa memiliki kelemahan seperti tidak dijelaskannya secara rinci

tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan menimbulkan rasa

permusuhan dan benci terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar golongan

(SARA).

2. Pemerintah Republik Indonesia seharusnya tidak melakukan tindakan tebang

pilih dalam melakukan penegakan hukum secara penuh di Indonesia yang

cenderung lebih mengedepankan tindakan nonpenal yang terkesan ada tekanan-

tekanan dari aspek-aspek nonhukum.

3. Dalam meminta pertanggunjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama

hendaknya dilihat apakah pelaku telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung

di dalam Pasal 156a huruf (a) dan huruf (b)KUHP

83

Universitas Sumatera Utara


84

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Andi Zainal. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2007.
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.

Andrisman, Tri. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana , Lampung, Universitas Lampung, 2009.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan


Manusia),Cetakan Keempat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


2008.

Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama.Jakarta : Bulan Bintang. 2005.

Gultom, Brahim. Agama Muslim Di Tanah Batak, Jakarta, Bumi Aksara, 2010.

Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah memahami Hukum Pidana,
Jakarta, Prenada, 2014.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2001.

_____________. KUHP & KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta,2011

_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

_____________. Delik–Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP,


Jakarta, Sinar Grafika, 2015.

Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

________________. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Jakarta, Sinar Grafika, 2002, hlm.99.

Hartati, Evi. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

84

Universitas Sumatera Utara


85

Huda, Chairul. Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Jakarta, Kencana, 2011.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,


Bayumedia Publishing, 2011.

Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Analisis


Historis.,Yogyakarta, Suka Press, 2014.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta,
Pradnya Paramitha, 2007.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian


Dua,Balai, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun.

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap


Kepentingan Hukum Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

________________________________.Delik-delik khusus Kejahatan Terhadap


kepentimngan Hukum Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

________________________________.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,


Cetakan Pertama, Jakarta, Sinar Grafika, 2014.

Marpaung, Laden. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta, Sinar Grafika,


2010.

__________.Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi


Aksara, 2007

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung, Rineka Cipta, 2008.

ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.

Nugroho, Hibnu. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,


Jakarta, Media Aksara Prima, 2012.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung,


Alumni, 1982.

Schaffmeister, D, dkk, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E Sahetapy,


Liberty,Yogyakarta, 1995.

85

Universitas Sumatera Utara


86

Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban


Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang, Bayumedia
Publishing, 2005.

Sianturi,SR. Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta,


Alumni, 1986.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1995.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010

Solehuddin, M. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo


Persada, 2003.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,


UMM Press, Malang, 2008

Utredit, E. Hukum Pidana I,Pustaka Tinta Emas,Surabaya,1986.

Wiyanto, Roni. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung,Mandar Maju,


2012.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/Pnps Tahun 1965 Tentang


Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama

Putusan Nomor 31/Pid.B/2016/PN Skg.

Jurnal/Artikel/kamus/Skripsi

Afriandi MS, Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama
di Aceh, Jurnal Penelitin Hukum, De Jure, Akreditasi LIPI:
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016.

Diah Gustiniati Maulani, Analisis Pertanggungjawaban Pidana dan Dasar


Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penodaan Agama Di

86

Universitas Sumatera Utara


87

Indonesia, F iat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 7 No. 1 Januari –April
2013.

Hwian Christianto. Arti Penting Pemberlakuan UU No. lI PNPS/1965. Jurnal


Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011.

Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001.

Ikhsan, Fungsionalisasi Undang-undang Nomor 1 / PNPS tahun 1965 dan Pasal


156a KUHP terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, JOM
Fakultas Hukum Volume III Nomor 1Februari 2016.

I Wayan Artana, Tinjauan Yuridis Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama,


Volume 14 No. 1 tahun, 2017.

Kamsi, Prilaku Penistaan Agama dalam Struktur Budaya Politik Lokal Pada
Kerajaan Islam di Jawa (Sebuah Telaah Politik Hukum), Jurnal Ilmu
Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No.1, Desember 2014.

Khotimah. Agama dan Civil Society. Jurnal USHULUDDIN. Vol. XXI No. 1,
Januari 2014.

Marsudi Utoyo, Tindak Pidana Penistaan Agama Oleh Kelom$Ok Aliran Di


Indonesia Pranata Hukum, Volume 7 Nomor 1 Januari 2012.

Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia: Tinjauan


Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, AT-
TAFAHUM: Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2017.

Muhammaddin. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama JIA/Juni


2013/Th.XIV/Nomor 1/99-114, 2013

Muwaffiq Jufr, Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama


antaraIndonesia dengan Majapahit. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2,
Juni 2017.

Nuhrison M. Nuh, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam,


Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014.

Randy A. Adare, Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum
Pidana Di Indonesia, Lex et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013.

Tessalonicha Leuwo. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Cyber Crime


Yang Menyebarkan Isu Suku, Ras, Agama Dan Antar Golongan (Sara)

87

Universitas Sumatera Utara


88

Melalui Media Sosial Ditinjau Dari Undang-Undang Ite Nomor 19 Tahun


2016 Lex Crimen. Vol. VII/No. 2/April/2018.

Website

Oloan Siahaan, https://media.neliti.com/media/publications/209858-kebijakan-


hukum-pidana-dalam-menanggulan.pdf , hlm 32, diakses taggal 21 Mei
2018

Nella Sumika Putri dan Tim LBH Bandung, Analisis Pasal 156 a KUHP dan UU
No 1 tahun 1965 terkait tindak pidana penodaan agama yang terjadi di Jawa
Barat. http://www. lbhbandung.or.id/media/2017/03/diakses tanggal 28 Juli
2018.

88

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai