Anda di halaman 1dari 89

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Hukum Skripsi Sarjana

2018

Analisis Terhadap Wanprestasi Pihak


Penyewa Dalam Perjanjian Sewa
Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Ri. No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps

Tarigan, Sasraw Fandapi

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4352
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
1

ANALISIS TERHADAP WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM


PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI. NO. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi Tugas-Tugas dan memenuhi Syarat-Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

SASRAW FANDAPI TARIGAN

140200233

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


2

Universitas Sumatera Utara


3

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini


Nama : Sasraw Fandapi Tarigan
NIM : 140200233
Judul Skripsi : ANALISIS TERHADAP WANPRESTASI PIHAK PENYEWA
DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH (STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI. NO.
467/Pdt.G/2014/PN.D.ps)

Dengan ini menyatakan :


1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari
skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiblakan, maka
segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demekian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.

Medan, April 2018

Sasraw Fandapi Tarigan


NIM : 140200233

Universitas Sumatera Utara


4

ABSTRAK

SASRAW FANDAPI TARIGAN*


TAN KAMELLO**
HASIM PURBA***
Suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji seorang lain
atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Suatu perjanjian
yang dilakukan oleh para pihak harus dilakukan dengan adanya kata sepakat dan
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dengan sesuai dengan hal-hal yang
diperjanjikan oleh para pihak. Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu mengikatkan diri kepada pihak yang lainnya untuk
memberikan kepadanya kenikmatan dari suatu benda selama waktu tertentu
dengan pembayaran harga tertentu yang disetujui oleh pihak lain itu. Dalam
perjanjian sewa menyewa, barang yang dapat dijadikan sebagai objek dari
persewaan itu yaitu segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak
bergerak, barang atau benda dalam perdagangan yang dapat ditentukan dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilan, dan ketertiban
umum. Seperti halnya yang pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputuskan
dalam Putusan No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps. Dalam penilitian skripsi ini
membahas mengenai bagaimana dasar pertimbangan hukum pada Putusan No.
467/Pdt.g/2014/PN.Dps dan akibat hukum terhadap penyewa yang melakukan
perbuatan melawan hukum dalam perjanjian sewa menyewa rumah dalam
mengenai perkara ini.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu
dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Dan sifat
penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pihak dari penyewa telah
melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), hal ini dikarenakan
pihak dari penyewa telah memaksa kehendak pihak dari yang menyewakan rumah
tersebut, akan tetapi pihak dari yang menyewakan rumah tersebut enggan untuk
memperpanjang sewa rumah tersebut yang akan berakhir pada 1 Agustus 2014
sesuai dengan Surat Perjanjian Menyewa Tempat Tanggal 1 Agustus 2010 dengan
masa sewa yang akan berakhir pada 1 Agustus 2010. Dan pertimbangan hakim
pada Putusan No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps adalah pihak dari penyewa akan
menerima hukuman untuk membayar uang paksa (dwangsom) setiap hari sebesar
Rp. 50.000.000.- atas keterlambatannya dalam menjalankan putusan perkara ini
yang telah berkekuatan hukum tetap. Penyelesaian perselisihan dalam sengketa ini
telah dilaksanakan dengan baik yaitu dengan musyawarah, namun hal tersebut
juga tidak dapat titik temu untuk berdamai. Maka dari itu, kedua belah pihak
menyelesaikan perkara ini menempuh dari jalur pengadilan.

Kata Kunci: -Perjanjian, Perjanjian Sewa Menyewa.


________________
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**Dosen Pembimbing I.
***Dosen Pembimbing II.

i
Universitas Sumatera Utara
5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah
“ANALISIS TERHADAP WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM
PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps)”.
Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan
skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulis ini
masih terdapat kekurangan-kekurangan, karena manusia tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa
saja dalam rangka peyempurnaan penulisan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis dapat banyak bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen


Hukum Keperdataan yang telah banyak membantu dan memudahkan saya
dalam mengajukan judul skripsi.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S selaku dosen Pembimbing I serta
dosen saya di departemen Hukum Keperdataan yang telah banyak
membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan
dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam
menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku dosen Pembimbing II
serta dosen di departemen Hukum Keperdataan dan juga dosen saya
dimata kuliah Perkembangan Hukum Perdata yang juga telah banyak
membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan
dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam
menyelesaikan skripsi ini.

ii
Universitas Sumatera Utara
6

8. Alm. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S selaku dosen Penasehat
Akademik yang telah berjasa, membantu, dan menasehati saya dalam
masa perkuliahan. Dan kepada Ibu Dr. Utary Maharani Barus, S.H.,
M.Hum juga selaku dosen Penasehat Akademik yang telah banyak
membantu dan menasehati saya dalam masa perkuliahan sampai saat ini
sehingga memudahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih kepada seluruh jajaran Bapak dan Ibu dosen dan juga kepada
seluruh jajaran staff administrasi dan pegawai Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.

10. Terima kasih kepada kedua orang tua saya Bapak Ir. Sas Harevi Tarigan
dan Ibu Meriyati Br Perangin-angin yang telah memberikan saya
semangat, nasehat, dan memotivasi saya setiap saat sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.

11. Terima kasih kepada Alm. Kakek H. Supandri Tarigan dan Jenda Malem
Perangin-angin dan juga kepada Alm. Nenek Hj. Aman Br Sebayang dan
Metehsa Br Tarigan yang telah banyak berjasa sehingga saya bisa dapat
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Terima kasih kepada seluruh keluarga dan adeksaya Sas Reka Yasa
Tarigan dan Sas Nurhidayati Br Tarigan yang telah memberikan dukungan
dalam menyelasaikan skripsi ini.

13. Terima kasih kepada saudara-saudari saya yakni: Try Octari, Tommy
Sinulingga, S.H, Josua Opaldi Bangun, Dea Patrisyus Tarigan,Immanuel
Sembiring, David Sembiring, Desi Rayani Ginting, Nadya Putri Karoza
Ginting, Ekinia Karolin Sebayang, Lavenia E. Surbakti, Ririn Tarigan, Aru
Malika, Regina Yaninta Tarigan, Ade Saka Bangun, Emmiya Brahmana,
Rico Wiranta Tarigan, Febry W.I. Tarigan, Bobby Tarigan, Melta Lusianta
Br Sembiring, NichitriAgintaGinting, yang telah memberi dukungan dan
semangat kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

14. Terima kasih juga kepada Keluarga Besar IMKA ERKALIAGA (Ikatan
Mahasiswa Karo) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan dukungan dan semangat sehingga saya dapat menyelasaikan
skripsi ini.

15. Terima kasih juga kepada kawan kawan Alumni Pesantren Darul Arafah
(Jayyid & Classic) angkatan 2014 yang saat ini juga menuntut ilmu di
Fakultas Hukum USU yang telah mendukung, membantu, dan
mendo’akan saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

iii
Universitas Sumatera Utara
7

16. Terima Kasih juga kepada Kede Petra (Kepet) Jln. Harmonika Pasar 1
yang telah memberikan tempat dan waktu kepada saya bertukar pikiran
dalam menyelesaikan skripsi ini.

17. Dan terima kasih juga kapada seluruh teman-teman saya di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu yang mana telah memberikan saya dukungan dalam mengerjakan
dan menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, untuk itu saya sangat mengharapkan segala kritikan dan saran
yang bersifat membangun agar bisa lebih baik lagi dikesempatan yang akan
datang dan saya berharap semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.

Medan, April 2018

Penulis
(Sasraw Fandapi Tarigan)
140200233

iv
Universitas Sumatera Utara
8

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................. 1

B. Perumusan Masalah ....................................................... 10

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................... 11

D. Keaslian Penelitian ........................................................ 12

E. Tinjauan Pustaka ........................................................... 13

F. Metode Penelitian .......................................................... 14

G. Sistematika Penulisan .................................................... 17

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN

PERJANJIAN SEWA MENYEWA……………................... 19

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian .............................. … 19

B. Aturan Tentang Perjanjian Sewa Menyewa……………. 29

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa

Menyewa ....................................................................... 33

BAB III AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASI DALAM

PERJANJIAN SEWA MENYEWA..............................…… 38

A. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian dan Asas-asas dalam

Perjanjian Sewa Menyewa................................................... 38

v
Universitas Sumatera Utara
9

B. Wanprestasi……................................................................... 49

C. Akibat Hukum Terhadap Penyewa yang Melakukan

Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa-menyewa Rumah...... 57

BAB IV ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PENYEWA

DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH

PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI. NO.

467/Pdt.G/2014/PN.Dps ...................................................... 60

A. Kasus Posisi .................................................................. 60

B. Analisa Kasus................................................................ 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................... 72

A. Kesimpulan .................................................................... 72

B. Saran.............................................................................. 74

DAFTAR PUSAKA

vi
Universitas Sumatera Utara
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,

berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang

lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 1 Suatu

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya

atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 2 Dari pristiwa

ini, timbullah suatu hubungan antar dua orang tesebut yang dinamakan perikatan.

Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya

terikat. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 3 Dengan

demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

menimbulkan perikatan.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjamahan dari bahasa


4
Inggris yaitu contract law. Menurut R Setiawan, perjanjian adalah suatu

perbuatan hukum dimana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 5 Pengertian perjanjian akan

lebih baik apa bila sebagai perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih

1
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, 2005. hal.1.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004. hal. 3.
5
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Bina Cipta, Bandung, 1979. hal. 49.

Universitas Sumatera Utara


2

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 6 Dalam perumusan yang

diberikan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu: 7

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, mau pun karena Undang-

undang”. Sedangkan persetujuan tersebut sebagaimana diatur dalam KUH Perdata

adalah: 8 “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Untuk dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian itu sah atau tidak, maka

perlu melihat kepada aturan mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam

KUH Perdata bahwa: 9 untuk dapat dikatakan sebagai sahnya perjanjian diperlukan

empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dengan ketentuan diatas, jelas sudah bahwa untuk dapat dinyatakan suatu

perjanjian yang sah, maka setiap orang yang membuat perjanjian tidak boleh tidak

boleh bertentangan dengan Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan

serta tidak pula bertentangan sengan ketertiban umum. 10 Verbintenis merupakan

suatu istilah dalam bahasa Belanda yang oleh para sarjana Indonesia yang

diterjamahkan dalam berbagai istilah, seperti istilah perikatan, perutangan, dan

6
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya, Bandung, 1992. Hal. 322.
7
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek), ps. 1233.
8
Ibid., ps. 1313
9
Ibid., ps. 1320
10
Ibid., ps. 1337.

Universitas Sumatera Utara


3

perjanjian. 11 Akan tetapi, istilah perikan dianggap cenderung lebih tepat karena

pengertian dari verbintenis lebih sesuai dengan istilah perikatan dimana di dalam

perikatan itu para pihak saling terkait oleh hak dan kewajiban atas suatu prestasi. 12

Didalam buku yang di tulisnya, Subekti mengartikan perikatan sebagai suatu

perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan pihak yang

satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
13
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut

sesuatu hal diistilahkan sebagai kreditur atau si piutang, sedangkan pihak yang

berkewajiban memenuhi tuntutan kreditur atau yang si berpiutang diistilahkan

sebagai si berutang. 14 Kreditur dan debitur merupakan para pihak yang menjadi

subjek dalam suatu perikatan, sedangkan yang menjadi objek dalam suatu

perikatan merupakan hak dalam kreditur dan kewajiban dari debitur yang

umumnya disebut sebagai prestasi. 15 Suatu prestasi itu dapat berupa: 16

1. Memberikan sesuatu

2. Berbuat sessuatu; atau

3. Tidak berbuat sesuatu

Suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, misalnya saja

memberikan kenikmatan atau menyerahkan hak milik atas suatu barang;

sedangkan prestasi yang berupa berbuat sesuatu maksudnya adalah melakukan

11
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum jamiinan, Liberty,
Yogyakarta, 1984, hal. 28-29.
12
Ibid.
13
Subekti, Op.Cit., hal. 1.
14
Ibid.
15
Harotono Hadisoeprapto, Op. Cit., hal. 28-29.
16
Subekti,Op. Cit.,Pasal 1243.

Universitas Sumatera Utara


4

suatu perbuatan atau pekerjaan tertentu, seperti buruh yang melakukan pekerjaan

sesuai dengan yang diinginkan majikannya. 17 Contoh lain dari perjanjian untuk

berbuat sesuatu adalah perjanjian sewa menyewa. Di sisi lain, prestasi yang

berupa tidak berbuat sesuatu ditandai dengan keharusan debitur untuk tidak

melakukan sesuatu perbuatan tertentu yang tidak diingnkan kreditur, seperti tidak

menyewa rumah kreditur melebihi batas waktu tertentu. 18

Dalam melaksanakan suatu perjanjian para pihak sering kali melalaikan

apa yang telah diperjanjikan meski pun telah dituangkan dalam suatu perjanjian

tertulis. Namun demikian dalam pelaksaannya seringkali terdapat penyimpangan-

penyimpangan dari isi perjaniian atau yang disebut dengan wanprestasi.

Wanprestasi adalah dimana salah satu pihak telah melakukan perbuatan

yang tidak sesuai dengan hak dan kewajiban yang telah mereka sepakati atau

dengan kata lain ketiadaan pelaksanaan janji. 19 Contoh dari wanprestasi tersebut

misalnya adanya keterlambatan pembayaran sewa yang telah mereka sepakati

antara dua orang atau dua pihak. Untuk mengetahui apakah seseorang tidak

melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, menurut Subekti maka perlu

memperhatikan apa saja yang menjadi ciri khas dari wanprestasi pada umumnya:

1. Tidak melakukan sama sekali apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

3. Melakukan apa yang di janjikan tetapi terlambat;

17
Hartono Hadisoeprapto, Op.Cit., hal. 29.
18
Ibid.
19
Wirjono prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 1986,
hal. 44.

Universitas Sumatera Utara


5

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 20

Perjanjian ini bersifat Konsensuil, yang artinya perjanjian / kontrak itu

lahir atau ada sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dengan adanya

kata sepakat tersebut, perjanjian sewa menyewa mengikat kedua belah pihak

artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian penyewaan tanpa

persetujuan pihak lain. Jika perjanjian sewa menyewa tersebut

dibatalkan/diputuskan secara sepihak atau salah satu pihak tidak melakukan

prestasinya, maka pihak lain dapat menggugatnya.

Dalam sewa menyewa merupakan perjanjian timbal balik yang bagi

masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian

timbal balik sering juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban

kepada dua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu

sama lainnya. Yang dimaksud mempunyai hubungan antara yang satu dengan

yang lainnya adalah bila mana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian

tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak lain disana berkedudukan sebagai

pihak yang memikul kewajiban. 21

Sehingga dalam hal ini terjadi adanya kesimbangan antara pihak penyewa

dan yang menyewakan. Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan

diperkuat dengan adanya dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 1548 KUH

Perdata.

20
Johanes Ibrahim, Cross Default and Cross Collateral sebagai Upaya Penyelasaian
Kredit Bermasalah,Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 55-56.
21
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995, hal. 43.

Universitas Sumatera Utara


6

Pasal 1548 Kitab Undang-undang hukum Perdata yang berbunyi :

“sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikat

dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang

selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak

yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.” 22

Dari dafenisi sewa menyewa tesebut diatas, maka dapat di telaah:

1. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara

pihak menyewa dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan

menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar

sejumlah harga sewa.

2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada penyewa

untuk sepenuhnya dinikmati bukan untuk dimiliki.

3. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan

pembayaran harga dengan sejumlah yang tertentu pula.

Untuk sewa menyewa, terhadap benda tidak bergerak seperti rumah,

dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang

Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa-

Menyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala

bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu

tertentu adalah batal demi hukum. 23

22
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986, Cetakan Keduapuluh, hal. 340.
23
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hal. 185.

Universitas Sumatera Utara


7

Pada dasarnya perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak

yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi dengan itikad baik (good faith),

namun apa bila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan

kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi.

Adapun mengenai kasus tentang sewa menyewa rumah yang penulis

jadikan sebagai bahan dalam penulisan skripsi ialah tentang wanprestasi pihak

penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang terdapat dalam Putusan

Mahkamah Agung RI. No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps yang terletak di daerah

Denpasar, Bali tepatnya di Desa Intaran Sanur Kecamatan Denpasar Selatan Kota

Denpasar.

Pihak yang menyewakan terebut telah menyewakan berupa tanah dan

rumah yang seluas 1.124 M2 kepada pihak penyewa. Bahwasanya sewa menyewa

tersebut telah tertuang dalam AKTA PERUBAHAN dan PERJANJIAN SEWA

MENYEWA No. 267 tanggal 28 Juli 1995 yang dibuat dihadapan Notaris, untuk

jangka waktu 20 tahun sejak tanggal 1 Agustus 1994 sampai tanggal 1 Agustus

2014, dengan harga sewa US.$ 172.000,000 atau ( seratus tujuh puluh dua dollar

Amerika Serikat ).Kemudian AKTA PERUBAHAN dan PERJANJIAN tersebut

diganti dengan SURAT PERJANJIAN MENYEWA TEMAT antara ayah dari

pihak yang menyewakan yang bernama I Ketut Sudiartha dengan pihak penyewa

yang bernama Sarita Jill Newson yang ditanda tangani pada 1 Agustus 2010,

sedangkan jangka waktu berakhirnya tetap pada 1 Agustus 2014.

Kemudian pihak penyewa yang bernama Sarita Jill Newson menyewakan

kembali tanah dan rumah yang disewanya tersebut kepada Nicole Moia dan

Universitas Sumatera Utara


8

Andrian Sabine Maxwell Batten. Yang mana sewa menyewa tersebut dituangkan

dalam PERJANJIAN PEMINDAHAN dan PENYERAHAN HAK SEWA

tertanggal 18 Nopember 2011 sampai tanggal 1 Agustus 2014. Dari perjanjian

sewa menyewa tersebut pihak penyewa dari pihak pertama yaitu Sarita Jill

Newson, Nicole Moia sebagai penyewa kedua, dan Adrian Sabine Maxwell

Batten sebagai pihak penyewa ketiga mensomasi pihak dari yang menyewakan

dalam AKTA PERUBAHAN dan PERJANJIAN SEWA MENYEWA No. 267

tanggal 28 Juli 1995 yang dibuat dihadapan Notaris, yang isinya berupa

pemaksaan kehendak untuk melakukan PERPANJANGAN SEWA tanah dan

rumah warisan dari pihak yang menyewakan tersebut, yang mana akta perubahan

perjanjian sewa tersebut telah diganti dengan SURAT PERJANJIAN SEWA

TEMPAT yang telah ditanda tangani pada tanggal 1 Agustus 2010 oleh kedua

belah pihak.

Adapun kehendak yang dilakukan oleh para pihak penyewa tersebut sudah tidak

berlaku lagi dikarenakan perjanjian sewa menyewa No. 267 tanggal 28 Juli 1995,

maka dari itu pihak dari para penyewa sudah dianggap merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum, dikarenakan “asas” dari “perjanjian” adalah

“kesepakatan” para pihak. Sebagaimana juga telah dijelaskan sebelum oleh

penulis bahwasanya dalam Pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat sahnya

perjanjian yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

Universitas Sumatera Utara


9

4. Suatu sebab yang halal

Berdasarkan isi perjanjian yang tertera pada SURAT PERJANJIAN

MENYEWA TEMPAT yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal

1 Agustus 2010 sampai berakhirnya pada tanggal 1 Agustus 2014, yakni pihak

dari penyewa tidak dapat memaksa pihak dari yang menyewakan untuk

memberikan perpanjangan sewa menyewa rumahnya setelah jangka waktu sewa

menyewa berakhir. Bahwa juga menurut isi dari perjanjian SURAT

PERJANJIAN MENYEWA TEMPAT tersebut, disebutkan bahwa “Pada waktu

perjanjian ini berakhir, semua bangunan dan alat yang ditambah oleh pihak kedua

akan menjadi hak milik dari pihak pertama, termasuk kamar mandi dan alat-alat

seperti lampu, tetapi meubel-meubel barang antik dan perabot lain yang ditambah

oleh pihak kedua tetap menjadi hak milik oleh pihak kedua”.

Dengan sikap penyewa yang mensomasi pihak yang menyewa tanah dan

rumah tersebut dengan AKTA PERUBAHAN dan PERJANJIAN yang sudah

tidak berlaku lagi untuk agar pihak yang menyewa untuk dapat memperpanjangan

sewa rumah tersebut, dan telah diganti dengan SURAT PERJANJIAN

MENYEWA TEMPAT yang ditanda tangani dan disepakati oleh kedua belah

pihak yang dimulai sejak tanggal 1 Agustus 2010 sampai 1 Agustus 2014. Tetapi

sampai pada tanggal berakhirnya sewa tanah dan rumah tersebut, pihak dari

penyewa enggan untuk mengosongkan rumah dan tanah tersebut, dan mamaksa

pihak yang menyewakan untuk memperpanjang kontrak sewa tanah dan rumah

tersebut. Dan sikap penyewa seperti ini maka pihak penyewa dapat disebut telah

ingkar janji (wanprestasi) dan tidak beritikad tidak baik terhadap yang

Universitas Sumatera Utara


10

menyewakan serta telah melakukan perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigdaad) karena selain tidak mengosongkan rumah, si penyewa juga

tidak mau untuk membayar uang sewa tanah dan rumah tersebut.

Dari penjelasan di atas telah di paparkan bagaimana perjanjian yang baik

itu seharusnya dilaksanakan. Walaupun telah terdapat aturan-aturan mengenai

perjanjian tersebut masih banyak juga terdapat permasalahan di dalam penerapan

di dalam suatu perjanjian yang dilakukan. Dan berdasarkan kasus latar belakang

diatas, maka penulis membuat skripsi ini dengan judul “ANALISIS TERHADAP

WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA

MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

RI NO. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hak dan kewajiban dalam perjanjian sewa menyewa

menurut aturan perundang-undangan mau pun perjanjian para pihak ?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian sewa menyewa dalam

hal penyewa telah melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa

menyewa rumah ?

3. Bagaimana analisis perbuatan wanprestasi penyewa dalam perjanjian

sewa menyewa rumah pada putusan MARI No.

467/Pdt.G/2014/PN/Dps ?

Universitas Sumatera Utara


11

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Mengarah pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat

dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan umum terhadap perjanjian sewa

menyewa rumah.

2. Untuk mengetahui bagaimana perjanjian sewa menyewa terhadap

penyewa yang telah melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa

menyewa rumah.

3. Untuk mengetahui bagaimana analisis perbuatan wanprestasi penyewa

dalam perjanjian sewa menyewa rumah pada putusan MARI No.

467/Pdt.G/2014/PN/Dps

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

pengembangan ilmu hukum anatara lain:

1. Manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

informasi hukum bagi para akademis di berbagai bidang hukum, selain

itu, dapat menjadi bahan, menambah wawasan ilmu hukum di bidang

perdata bagi masyarakat umum serta menjadi referensi untuk menjadi

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

tambahan referensi bagi pihak yang membutuhkan. Dan dapat

memberikan pandangan yang lebih baik kepada individu sebelum

Universitas Sumatera Utara


12

melakukan suatu perjanjian, yang dalam hal ini terkait

denganperjanjian sewa menyewa sehingga dapat meminimalisirkan

hal-hal yang tidak diinginkan para pihak.

D. Keaslian penelitian

Skripsi ini berjudul “Analisis Terhadap Wanprestasi Pihak Penyewa

Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah

Agung RI. NO. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps)”

Dalam rangka meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat, maka

berbagai macam metode pelaksanaan untuk melakukan kegiatan usaha semakin

gencar dilaksanakan, khususnya di dalam melakukan perjanjian sewa menyewa.

Dimana dalam melakukan perjanjian sewa menyewa ini terdapat dua pihak atau

lebih untuk saling mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian, tanpa adanya

suatu paksaan, kekeliruan, dan penipuan.Artinya, mereka sudah sah dan mengikat

pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan

harga. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang masih

lalai/ingkar dalam suatu perjanjian yang mereka telah sepakati sehingga perjanjian

mereka tidak berjalan lancar. Dengan karena adanya kelalaian antara salah satu

pihak, maka pihak yang telah melalaikan kewajibannya itu akan dikenakan ganti

rugi akibat dari wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang telah ia

lakukan. Padahal, sebelum kedua belah pihak menjalin suatu perjanjian, kedua

belah pihak tersebut telah mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

Setelah melakukan penelitian dan uji bersih keperpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara


13

Universitas Sumatera Utara, penulisan mengenai wanprestasi terhadap perjanjian

sewa menyewa memang sudah ada tetapi dalam sudut pandang pembahasan

berbeda dengan yang terdapat dalam penulisan skripsi inidan perjanjian yang

dianalisis pun berbeda. Maka dari itu, penulis berkeyakinan bahwa penulisan

skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

E. Tinjauan pustaka

Perkataan wanprestasi berasal daribahasa Belanda berarti “prestasi

buruk”. 24 Sedangkan prestasi adalah lawan kata dari wanprestasi adalah hal-hal

yang dilaksanakan oleh suatu pihak dalam perjanjian.

M. Yahya Harahap dalam bukunya segi-segi hukum perjanjian, yang

dimaksud dengan wanprestasi adalah:

“Pelaksanaan kewajiban yang dilakukan tidak tepatpada waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya maka disini dapat dilihat bahwa seorang

debitur disebutkan dalam keadaan wanprestasi, apabila ia dalam pelaksanaan

prestasi perjanjian telah lalai dan “terlambat” dari jadwal yang telah ditentukan

atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya, jadi dapat dikatakan

bahwa wanprestasi adalah apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam

suatu perikatan, ia dikatakan ingkar janji”. 25

Kata perjanjian berarti persetujuan baik tertulis maupun tidak tertulis yang

dibuat oleh dua belah pihak atu lebih yang masing-masing berjanji akan menaati

apa yang tersebut dalam perjanjian.


24
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1976, hal.
897
25
Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU Press, 1992, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


14

Istilah sewa menyewa berasal dari bahasa Belanda yaitu “Huur onver

hurr”, menurut bahasa sehari-hari seawa artinya pemakaian sesuatu yang dibayar

dengan uang. 26 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 s/d 1600

KUHPerdata. “Perjanjian sewa menyewa dalah dimana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka

waktu tertentu, sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar harga yang

telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan”. 27

Perjanjian sewa menyewa harus disusuaikan dengan syarat sahnya

perjanjian dalam KUHPerdata Pasal 1320, serta tiga unsur pokok yang harus ada

dalam perjanjian sewa menyewa tersebut adalah:

1. Unsur essensialia, adalah bagian perjanjian yang harus selalu da dalam


suatu perjanjian, bagian yang mutlak, dimana tanpa adanya bagian
tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Unsur-unsur pokok perjanjian
sewa menyewa adalah barang dan harga.
2. Unsur naturalia, adalah bagian perjanjian yang oleh undang-undang
diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, segingga bagian tersebut
oleh undang-undang diatur oleh hukum yang sifatnya mengatur atau
menambah.
3. Unsure aksidentalia, adalah bagian perjanjian yang ditambahkan oleh
para pihak.Dalam perjanjian sewa menyewa, sama seperti halnya
dalam jual beli dan perjanjian lain pada umumnya adalah perjanjian
konsensual, artinya ia suda h terjadi dan mengikat pada detik pada
tercapainya sepakat mengenai unsure unsure pokoknya yaitu harga dan
barang yang disewakan.

F. Metode penelitian

Untuk menyimpulkan hasil dari penulisan skripsi ini agar dapat menjadi

suatu hasil karya ilmiah, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

26
Hilman Hadikusuno, Bahasa Hukum Indonesia,Alumni, Bandung, 1984, hal. 102.
27
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 164.

Universitas Sumatera Utara


15

1. Spesifikasi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian normatif yaitu pengelolaan dan analisis data yang hanya

mengenal data skunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 28

b. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif yakni dengan

menguraikan dan menggambarkan data permasalahan yang ada dan

disertai dengan pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan

tersebut.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini dilakukan pendekatan secara yuridis yakni

dengan melakukan tinjauan aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan

perjanjian sewa menyewa untuk membantu menganalisa dan

menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

3. Sumber Data

a. Bahan hukum primer

Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan

melalui penelitian, yaitu mencakup dokumen dokumen resmi,

28
Amiruddin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 2004, hal. 163.

Universitas Sumatera Utara


16

buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan lain

lain. 29

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder digunakan untuk menjelskan bahan hukum

primer, yang isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder

tersebut antara lain meliputi jurnal, majalah artikel, surat kabar,

buku, serta hasil karya ilmiah lainnya yang membahas mengenai

masalah wanprestasi terhadap perjanjian sewa menyewa. Data

sekunder yang akan diperoleh adalah salah satunya dari Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang

diterjemahkan oleh Subekti dan menurut lembaran Negara berlaku

sebagai hukum positif di Indonesia.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang menunjang bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.Bahan hukum tersier

memberikan petunjuk atas penjelesan yang bermakna terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus

hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses memaknai dan menafsirkan suatu data

yang selanjutnya data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualititatif

29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitia hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986,
hal. 12.

Universitas Sumatera Utara


17

yang disusun secara sistematis selanjutnya dianalisis untuk mencapai

penjelasan suatu hasil karya ilmiah sehingga skripsi ini dapat

dimengerti oleh masyrakat umum.

G. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Hukum Tentang Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam bab ini menjelaskan tentang perjanjian secara teoritis

mengenai perjanjian secara umum, yakni berisikan tentang defenisi

pejanjian dan syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian, dan

juga membahas tentang wanprestasi.

Bab III :Akibat Hukum Dari Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa

Menyewa

Bab ini membahas tentang uraian secara teoritis mengenai hal yang

berkaitan dengan sewa menyewa yakni dalam bab ini mencakup

tentang perjanjian sewa menyewa dan asas-asas dalam perjanjian

sewa menyewa, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

sewa menyewa rumah dan hapusnya perjanjian sewa menyewa

rumah, dan akibat hukum yang timbul terhadap penyewa yang

Universitas Sumatera Utara


18

melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah

tersebut.

Bab IV :Analisis Perbuatan Wanprestasi Penyewa Dalam Perjanjian

Sewa Menyewa Rumah Pada Putusan Mahkamah Agung RI.

No. 467/Pdt.G/2014/PN/Dps

Pada bab ini akan membahas tentang kasus duduk perkara yang

diangkat dari putusan MA RI No. 467/Pdt.G/2014/PN/Dps tentang

wanpretasi terhadap penyewa dalam perjanjian sewa menyewa

rumah. Dan juga akan menganalisis kasus dari putusan MA RI No.

467/Pdt.G/2014/PN/Dps untuk mengetahui sebab akibatnya dalam

permasalahan wanprestasi penyewa dalam perjanjian sewa

menyewa rumah tersebut serta menanalisis tentang penyelesaian

perselisihan sengketa para pihak dalam perjanjian sewa menyewa

rumah tersebut.

Bab V : Kesimpulan Dan Saran

Didalam bab ini merupakan penutup, penulis akan menguraikan

penjelasan dari kesimpulan skripsi ini serta memberikan saran-

saran yang dikemukakan yang mudah-mudahan akan bagi semua

pembaca, khususnya dalam perjanjian sewa menyewa rumah.

Universitas Sumatera Utara


19

BAB II

TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Setiap manusia pada umumnya akan selalu terikat antara satu dengan yang

lainnya untuk dapat melangsungkan hidupnya sehingga dengan adanya hubungan

antar sesama manusia itu dapat memberikan solusi dari masalah yang akan

muncul. Manusia sebagai mahluk sosial yang bertujuan untuk mempertahankan

hidup dan kepentingannnya tersebut membuat manusia mengatur hubungan usaha

atau bisnis dalam perjanjian.

Didalam suatu perjanjian hubungan hukum tidak dapat timbul dengan

sendirinya. Hubungan hukum itu akan tercipta karena adanya suatu tindakan

hukum atau yang disebut dengan rechtshandeking. Tindakan hukum yang

dilakukan oleh para pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian

sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh

prestasi. Sedangakan pihak yang lainnya yang menyediakan diri untuk dibebani

dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut dengan overeenkomst dan

hukum perjanjian itu disebut dengan overeenkomstenrecht. 30

Menurut Subekti, perjanjian (overeenkomst) merupakan suatu pristiwa

yang didalamnya seseorang berjanji kepada orang lain atau kedua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 31 Dengan adanya perjanjian tersebut, para

30
C.S.T. Kansil, Crintine S.T. Kansil, Modul hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas
Hukum Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hal. 204.
31
Ibid.

19
Universitas Sumatera Utara
20

pihak yang bersepakat memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak

dan kewajiban masing-masing. Hubungan hukum ini sering disebut dengan

perikatan.Perikatan didefenisikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua

orang atau lebih berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal

dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan

itu. 32 Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian atau defenisi

dari perjanjian sangatlah sulit untuk dimengerti karena masing masing dari sarjana

mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Untuk mempermudah dan mengetahui

pengertian dari perjanjian dari para sarjana, maka ada beberapa pendapat yang

dikemukakan sebagai berikut:

1. Menurut R. Setiawan:

Bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih. 33

2. Menurut R. Wirjono: 34

Bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum mengenai harta benda

antara dua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk

melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak

lain berhak untuk menuntut pelaksanaan pejanjian.

Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu merupakan hubungan

hukum dengan adanya kesepakatan antara para pihak dimana kesepakatan yang

32
Ibid.
33
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987,
hal. 49.
34
Wirjono prodjodikoro, Op.Cit., 1989, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


21

dimaksud yakni adanya persesuaian kehendak antara para pihak yaitu dengan

bertemunya antara penawaran dan penerimaan sehingga perjanjian ini bersifat

konkret.

Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,

dapat dibuat secara lisan, dan andaikata dibuat secara tertulis maka perjanjian ini

bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. 35 Untuk beberapa

perjanjian, undang-undang menetukan bentuk-bentuk apabila bentuk itu tidak

dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidak sah

hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat

adanya perjanjian.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313, defenisi

perjanjian juga telah dijelaskan yakni bahwa suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian

perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling

mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap tetapi dengan

pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian terdapat satu pihak

mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini seharusnya menerangkan juga

tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal.

Artinya jika hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan dirinya kepda pihak

lain, maka seolah-olah yang dimaksud hanya perjanjian sepihak, tetapi jika

35
Hasim Purba, Modul Kuliah Hukum Perikatan, Perpustakaan USU, Medan, 2010, hal.
34.

Universitas Sumatera Utara


22

disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka

pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak mau pun dua pihak. 36

Menurut para sarjana antara lain, Abdul Kadir Muhammad bahwa

rumusan perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena

mengandung beberapa kelemahan, yaitu:

1. Hanya menyeangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan


“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari
satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan
itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad)
yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata
“persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertia perjanjian dalam Pasal
tersebut terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh
Buku Ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang
bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebut tujuan, dalam perumusan Pasal itu tida disebutkan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri
tidak jelas untuk apa. 37

Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut,

Purwahid Patrik meyimpulkan bahwa “perjanjian dapat dirumuskan antara dua

pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak”. 38 Perjanjian

merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak

didalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang

36
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 67-69.
37
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikata, Alumni, Bandung, 2002, hal. 78
38
Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional
Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 2000, hal. 15

Universitas Sumatera Utara


23

menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya mempunyai

kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Atau dengan kata lain

pihak yang mempunyai hak disebut kreditur dan pihak yang mempunyai

kewajiban disebut dengan debitur.

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan

debitur.Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang

kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur

atau sebaliknya. Atau juga pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang

kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang

debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu. 39

Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung

unsur-unsur sebagai berikut:

1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak

Dikatakan pihakbukan orang karena mungkin sekali dalam suatu

perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihak tetap dua.

2. Ada persetujuan antara pihak, mengenai:

a. Tujuan

b. Prestasi

c. Bentuk tertentu lisan/tulisan

d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian

Dalam perjanjianitu sendiri terdapat tiga unsur, yaitu sebagai berikut:

1. Unsur assensialia

39
Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan
dan Perbankan Perbanas Medan, 2000, hal. 153

Universitas Sumatera Utara


24

Unsur assensialia adalah perjanjian yang selalu harus ada didalam


suatu perjanjian, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak
mungkin ada.Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya
perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga
merupakan syarat sahnya perjanjian.

2. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu
unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara
diam-diam dengan sendirnya dianggap ada dalam perjanjian karena
sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian.Dengan
demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak
dapat disingkirkan, jadi sifat unsur ini adalah hukum mengatur
(aanvullendrecht).

3. Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara
tegas dalam perjanjian.Unsur ini ditambah oleh para pihak dalam
perjanjian artinya undang-undang tidak mengaturnya.Dengan demikian
unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak. 40

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata:

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dengan begitu segala hal yang telah dibuat dalam suatu persetujuan

berlaku bagi suatu undang-undang atau aturan bagi para pihak yang turut sepakat

dalam penyusunan perjanjian tesebut. Dengan berlakunya segala sesuatu tersebut

sebagai sesuatu undang-undang maka apabila ada pihak yang melakukan suatu hal

sebagaimana dilarang didalam suatu perjanjian, pihak lain dapat melakukan

penuntutan untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas hal tersebut.

Persetujuan yang telah disepakati tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat dua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-

40
J. Satrio, Op. Cit., hal. 67-72

Universitas Sumatera Utara


25

undang dinyatakan cukup untuk itu. Dan tentunya persetujuan yang telah

disepakati tersebutharus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka

perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat.Pasal 1320 KUHPerdata

menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang diperkenankan.

Berkaitan dengan hal ini, Subekti mengelompokkannya menjadi dua, yaitu

syarat subyektif untuk syarat pertama dan kedua serta syarat obyektif untuk syarat

ketiga dan keempat. 41

Dalam syarat subyektif yang pertama yaitu perjanjian yang berkenaan

dengan subjek hukum atau pihak-pihak yang terikat atau yang melakukan

perjanjian. Dalam KUHPerdata Pasal 1340 dinyatakan bahwa perjanjian hanya

berlaku bagi pihak yang membuatnya. Namun, terkait dengan subjek atau pihak

pihak yang membuat suatu perjanjian, KUHPerdata membedakannya menjadi tiga

golongan, yaitu: pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dan mereka

yang mendapat hak dari padanya serta pihak ketiga. Dalam sebuah perjanjian

yang menimbulkan hubungan hukum, subjuk hukum paling tidak terdiri atas dua

pihak yang menduduki tempat yang berbeda. Seperti biasanya dalam suatu

41
Subekti, Op.Cit., hal. 17.

Universitas Sumatera Utara


26

perjanjian selalu ada pihak pihak yang berbeda seperti pihak kreditur dan pihak

debitur. Agar dapat memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, para pihak yang

mengikat diri harus sepakat (toesteming) secara sukarela. Menurut KUHPerdata,

kesepakatan yang bersifat sukarela dalam suatu perjanjian dapat terpenuhi

apabila: 42

1. Tidak terdapat paksaan (dwang) yang bertentangan dengan undang-


undang, misalnya dengan menakut-nakuti agar seseorang mau
menyetujui suatu perjanjian.
2. Tidak terdapat kekeliruan atau kekhilafan (dwaling) yang berkaitan
dengan objek/prestasi yang diperjanjikan atau mengenai subjeknya.
3. Tidak terdapat unsur penipuan (bedrog)yang disengaja, yaitu
serangkaian kebohongan (dengan tipu muslihat) sehingga
menimbulkan kesan yang keliru.

Sebagaimana juga telah dijelaskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu

bahwa kata sepakat tidsk sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh

dengan paksaan atau penipuan.

KUHPerdata dalam Pasal 1315 menyatakan bahwa seseorang hanya

melakukan perjanjian untuk kepentingan diri sendiri (asas kepribadian). Suatu

perjanjian hanyalah meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara pihak

yang membuatnya. Namun, terdapat pengecualian berdasarkan Pasal 1327

KUHPerdata, bahwa perjanjian itu juga dapat dilakukan untuk kepentingan pihak

ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.

Dalam syarat subyektif yang kedua yaitu mengenai kecakapan bertindak

dari para pihak. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Artinya, pihak-

42
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet 2, Alumni, Bandung, 1986, hal.
6.

Universitas Sumatera Utara


27

pihak yang membuat perjanjian haruslah mereka yang berwenang untuk

melakukan perbuatan hukum, seperti yang ditegaskan dalam KUHPerdata dalam

Pasal 1329 yang menyebutkan bahwa tiap orang yang berwenang membuat

perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap dalam hal itu. Selanjutnya, dalam

KUHPerdata dalam Pasal 1330 dinyatakan bahwa “Yang tidak cakap untuk

membuat perjanjian adalah: 43

1. Anak yang belum dewasa. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974 Tentang Perkawinan menetapkan bahwa umur 19 tahun sebagai
usia kedewasaan bagi pria dan umur 16 tahun untuk wanita. 44
Sementara, KUHPerdata dalam Pasal 330 menyatakan orang yang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai 21 tahun, dan
belum kawin dan belum pernah melakukan perkawinan. 45
2. Orang yang dibawah pengampuan. Atau orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, seperti cacat, gila, boros, telah dinyatakan pailit oleh
pengadilan dan sebagainya.
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang telah ditentukan
undang-undang dan pada umumnya dilarang untuk membuat
perjanjian tertentu.”

Berkaitan dengan perempuan yang telah kawin (isteri), KUHPerdata

dalam Pasal 1330 ayat (3) menyebutkan bahwa isteri pun tidak dapat melakukan

perbuatan hukum, itu dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman kemerdekaan

Indonesia dan UUD 1945. Hal ini telah dirumah melalui Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa; “Hak

dan Kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan

43
Indonesia,Op.Cit., ps, 1330.
44
Indonesia, Undang-undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN.No. 1
Tahun 1974, TLN.No. 3019, ps. 7 ayat (1).
45
Indonesia, Op.Cit., ps, 330.

Universitas Sumatera Utara


28

masyarakat”, dan diperkuat lagi dengan ayat (2) yang menyebutkan bahwa:

“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. 46

Syarat obyektif perjanjian berkenaan dengan objek dari perikatan yang

merupakan segala sesuatu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang

bersangkutan, yang dinamakan juga sebagai prestasi (pokok perjanjian). Dalam

hal ini, prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban bagi debitur dan apa yang

menjadi hak bagi kreditur. Prestasi menurut KUHPerdata Pasal 1234 mencakup

tiga hal, yaitu: 47

1. Memberikan sesuatu memiliki pengertian untuk memberikan hak milik


atau hak penguasaan atau hak untuk menikmati sesuatu. Dalam hal ini,
yang berpindah adalah haknya, baik yang berbentuk nyata maupun
abstrak. Penekanannya adalah perpindahan hak, misalnya jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai, dan sebagainya;
2. Berbuat sesuatu memiliki pengertian segala perbuatan yang bukan
memberikan sesuatu, melainkan janji untuk melakukan suatu hal
tertentu. Penekanannya adalah pada suatu pekerjaan yang harus
dilakukan; tidak berbuat sesuatu adalah menjanjikan tidak melakukan
sesuatu dalam hal-hal bentuk kerja tertentu.

Adapun syarat objektif yang pertama mengharuskan suatu prestasi harus

dapat ditentukan atau mengenai suatu hal tertentu (certainty). Artinya, dalam

mengadakan perjanjian, apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak

harus dapat ditentukan sehingga dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, pokok

perjanjian dapat berupa barang ataupun jasa. Dan barang yang dimaksud dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Kemudian, ada pun syarat

obyektif yang kedua adalah suatu sebab yang halal, berkaitan dengan isi

46
Indonesia, Op. Cit., ps. 31 ayat (1) dan (2).
47
Ibid, ps. 1234.

Universitas Sumatera Utara


29

perjanjian itu sendiri, apakah perjanjian itu bertentangan dengan hukum,

ketertiban umum, dan kesusilaan atau tidak.

B. Aturan Tentang Perjanjian Sewa Menyewa

Menurut KUHPerdata Pasal 1548 sewa menyewa adalah “Suatu

persetujuan dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada

pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan

dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu

disanggupi pembayarannya”. 48 Sementara menurut Subekti dalam bukunya yang

berjudul Aneka Perjanjian menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah suatu

perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan

kepada pihak yang lainnya kenikamatan dari suatu barang, selama suatu waktu

tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir

disanggupi pembayarannya. 49

Perjanjian sewa menyewa, sama halnya seperti jual beli dan perjanjian lain

pada umumnya adalah perjanjian konsensual, artinya ia sudah terjadi dan

mengikat pada detik terjadinya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu

harga dan barang. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan

kenikmatan suatu barang, sedangkan kewajiban pihak menyewa membayar harga

sewa. 50 Setelah syarat telah dipenuhi oleh kedua belah pihak maka perjanjan sewa

menyewa rumah dapat dilaksanakan. Konsekuensi dari perjanjian tersebut

menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, baik pihak yang

menyewakan maupun pihak penyewa. Hak dan kewajiban itu harus dilaksanakan
48
Indonesia, Op.Cit., Pasal 1548.
49
Subekti, “Aneka Perjanjian” Alumni, Bandung, 1979, hal. 51.
50
Ibid, hal. 40.

Universitas Sumatera Utara


30

oleh masing-masing pihak sebagai konsekuensi dari suatu perjanjian. Dalam

KUHPerdata Pasal 1550 mengatur mengenai kewajiban pokok pihak yang

menyewakan sedangkan dalam KUHPerdata Pasal 1560 mengatur mengenai

kewajiban pokok pihak penyewa.

Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah

ditentukan. Sedangkan kewajiban dari pihak yang menyewakan, yaitu:

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (KUHPerdata


Pasal 1550 ayat (1))
2. Memelihara barang yag disewakan sedemikian rupa, sehingga dapat
dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (KUHPerdata Pasal 1550
ayat (2))
3. Memberikan hak pada penyewa untuk menikmati barang yang
disewakan (KUHPerdata Pasal 1550 ayat (3))
4. Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (KUHPerdata Pasal
1551)
5. Menaggung cacat dari barang yang disewakan (KUHPerdata Pasal
1552)

Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang dari yang disewakan

dalam keadaan baik. Dan yang menjadi kewajibannya adalah:

1. Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik,

artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaannya

sendiri.

2. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (KUHPerdata

Pasal 1560)

Dalam KUHPerdata Pasal 1553 juga telah membahas mengenai kemungkinan

musnahnya barang yang disewa, apabila barang yang disewa musnah dalam

jangka waktu masa perjanjian sewa masih berlangsung, bisa menimbulkan

persoalan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


31

1. Musnahnya seluruh barang.


Apabila musnahnya seluruh barang karena overmacht dengan
sendirinya menurut hukum perjanjian sewa menyewa gugur, dan
resiko kerugian dibagi dua antara pihak yang menyewakan dan pihak
si penyewa.Pihak yang menyewakan tidak lagi dapat menuntut
pembayaran uang sewa.Sebaliknya, dengan musnahnya barang yang
disewa, si penyewa tidak lagi dapat menuntut penggantian barang
maupun ganti rugi.
2. Apabila musnahnya barang akibat kesalahan seseorang (KUHPerdata
Pasal 1566), yang membebani si pelaku dengan kewajiban untuk
memikul segala kerugian dan kerun.
3. Musnahnya sebagian barang
Apabila yang musnah hanya sebagian saja, si penyewa dapat memilih:
a. Meminta pengurusan harga sewa sebanding dengan sebagian yang
musnah;
b. Atau menuntut pembatalan perjanjian sewa.
Sering kali terdapat kesulitan menentukan kapan suatu kemusnahan
dianggap meliputi seluruh barang atau hanya sebagian saja.Karena itu
untuk melihat batas kemusnahan dan sebagian dapat dipegang prinsip
jika yang musnah secara material hanya sebagian, dan akibat
kemusnahan barang itu masih dapat dipakai dan dinikmati sebagian
barang yang masih utuh maka kemusnahan seperti itu adalah meliputi
sebagian saja.Akan tetapi walaupun musnah sacara material hanya
sebagian, namun kemusnahan atas sebagian tadi telah
melenyapkan/menghilangkan kegunaan dan manfaat seluruh barang,
kemusnahan demikian dianggap meliputi seluruh barang.

Dalam KUHPerdata Pasal 1559 ayat (1) dilarang si penyewa untuk

menyewakan kembali barang yang disewanya kepada pihak ketiga. Si penyewa

terikat pada larangan untuk tidak mempersewakan lagi kepada orang lain, jika hal

tersebut tidak ada dalam perjanjian sewa menyewa, si penyewa boleh

mempersewakannya kembali. Kalau begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa

mengulang sewakan barang yang telah disewa adalah boleh, jika hal itu secara

tegas diperbolehkan dalam perjanjian. Jika sampai si penyewa berbuat apa yang

dilarang itu, maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian

sewanya dengan disertai pembayaran kerugian. Sedangkan pihak yang

Universitas Sumatera Utara


32

menyewakan, setelah dilakukannya pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati

perjanjian ulang sewa dengan pihak ketiga tersebut.

Pada setiap perjanjian sewa menyewa yang dikenal dalam hukum perdata,

perjanjian dapat berakhir jika:

1. Berakhirnya dengan sesuai batas waktu yang ditentukan secara tertulis


(KUHPerdata Pasal 1576). Sewa menyewa dengan sendirinya berakhir
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para pihak;
2. Sewa menyewa yang berakhir dalam waktu tertentu yang diperjanjikan
secara lisan, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang
diperjanjikan melainkan setelah adanya pemberitahuan dari salah satu
pihak tentang kehendak mengakhiri sewa menyewa;
3. Pengakhiran sewa menyewa baik tertulis maupun dengan secara lisan
yang tidak ditentukan batas waktu berakhirnya. Penghentian dan
berakhirnya sewa menyewa berjalan sampai pada saat yang dianggap
pantas oleh kedua belah pihak;
4. Ketentuan khusus pengakhiran sewa menyewa.
a. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
mestinya.
b. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
c. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk: 51


1. Pemenuhan perjanjian;

2. Pemenuhan perjanjian ditambah ganti rugi;

3. Ganti rugi;

4. Pembatalan perjanjian timbal balik;

5. Pembatalan dengan ganti rugi. Kewajiban membayar gantu rugi

(schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi

kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan

lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan

prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata,

51
R. Subekti, Op.Cit.,hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


33

sedangkan bentuk pernyataan lalai tersebut diatur dalam Pasal

1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:

a. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah


atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan dari pada
tulisan yang pernah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan
diberikan pada yang bersangkutan.
b. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
c. Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul
peringatan atau annaming atau yang biasa disebut sommasi.
d. Ketentuan khusus pengakhiran sewa menyewa.
Selanjutnya, disyaratkan kerugian yang dapat dituntut
haruslah kerugian yang menjadi akibat langsung dari
wanprestasi. Artinya, antara kerugian dan wanprestasi harus
ada hubungan sebab akibat.

Dalam hal ini kreditur harus dapat membuktikan:

1. Besarnya kerugian yang dialami.

2. Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi

karena kelalaian kreditur, bukan karena faktor diluar

kemampuan kreditur.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Pasal 1550 KUHPerdata, bahwa pihak yang menyewakan mempunyai

kewajiban, antara lain:

1. Menyerahkan benda atau barang yang disewakan kepada si penyewa.


2. Memelihara benda atau barang yang disewakan sedemikian rupa
sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
3. Memberi kepada si penyewa kenikmatan, ketentraman, dan kedamaian
dari barang yang disewakan, selama berlangsungnya perjanjian sewa
menyewa, dan tidak adanya cacat yang menyertai pemakaian barang
yang disewakan.
4. Selama berlangsungnya perjanjian sewa menyewa, melakukan
pembetulan-pembetulan pada barangnya yang disewakan yang perlu

Universitas Sumatera Utara


34

dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi


kewajiban si penyewa.
5. Ia juga harus menanggung si penyewa, terhadap semua cacat dari
barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu,
walaupun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahui pada
dibuatnya waktu perjanjian sewa menyewa. Jika cacat itu telah
mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa maka kepadanya
pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1551
dan Pasal 1552 KUHPerdata).

Kewajiban memberikan kenikmatan dan ketentraman kepada si penyewa,

dimaksud sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau

menepis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, misalnya membantah hak si

penyewa untuk memakai barang yang disewakan, kewajiban tersebut tidak

meliputi pengamanan terhadap gugatan-gugatan fisik, misalnya orang-orang

melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah di pekarangan

yang disewa dan lain sebagainya.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1556 KUHPerdata yang berbunyi:

“Pihak yang menyerahkan tidaklah diwajibkan menjamin si penyewa


terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-
orang pihak ketiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa mengajukan suatu hak atas
barang yang disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut
sendiri orang itu”.

Pihak yang menyewakan, berhak atas:

1. Uang sewa yang harus dibayar oleh penyewa tepat waktu tertentu sesuai

dengan perjanjian sewa menyewa.

2. Pandbeslag, yaitu penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan atas

permohonan yang menyewakan mengenai perabot-perabot rumah yang

berada dirumah yang disewakan, dalam hal penyewa menunggak uang

Universitas Sumatera Utara


35

sewa rumah untuk dilelang dalam hal penyewa tidak membayar lunas

tunggakan uang sewa itu. 52

Kewajiban penyewa menurut Pasal 1560 KUHPerdata adalah:

1. Memakai barang yang disewakan sebagai seorang kepala rumah tangga


yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu
menurut perjanjian sewa menyewa.
2. Membayar uang sewa pada waktu dan tempat yang telah disetujui
dalam perjanjian sewa menyewa.
3. Melengkapi dengan perabot rumah yang secukupnya bila obejek
perjanjian sewa menyewa itu rumah yang ditinggali atau ditempati. Jika
tidak, sebagaimana dalam Pasal1581 KUHPerdata, penyewa dapat
dipaksa untuk mengosongkan rumah yang disewanya itu dengan
perantaraan pengadilan, kecuali penyewa dapat memberi jaminan cukup
untuk pembayaran sewa. Perlengkapan rumah sewa dengan perabot
cukup banyak dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran, yang dapat
disita oleh pengadilan (pandbeslag), apabila yang menyewakan
menuntut penyewa dimuka pengadilan dalam hal penyewa menunggak
pembayaran uang sewa.
4. Melakukan reparasi atau perbaikan kecil sehari-hari sesuai Pasal 1583
KUHPerdata. 53

Penyewa berhak atas:

1. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat

dipergunakan untuk keperluan yang diperlukan.

2. Jaminan dari yang menyewakan mengenai kenikmatan tenteram dan

damai dan tidak ada cacat yang merintangi pemakaian barang yang

disewanya. 54

Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang kepala keluarga

yang baik bararti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang

kepunyaannya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewakan untuk


52
M. Yahya Harahap, Op.Cit.,hal. 61.
53
Ibid, hal. 62.
54
Ibid, hal. 63.

Universitas Sumatera Utara


36

keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan

lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan

sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang

menyewakan, maka pihak ini menurut keadaan dapat meminta pembatalan

sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata). Misalnya, sebuah rumah kediaman dipakai

untuk perusahaan atau bengkel mobil. Kalau yang disewa itu sebuah rumah

kediaman, maka si penyewa diwajibkan memperlangkapi rumah itu dengan

perabot rumah yang secukupnya, jika tidak, ia dapat dipaksa unuk mengosongkan

rumah itu, kecuali jika ia memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang

sewa (Pasal 1581 KUHPerdata).

Berdasarkan hal tersebut, maka perabot rumah itu dijadikan jaminan untuk

pembayaran uang sewa. Hal ini menemukan realisasinya dalam apa yang

dinamakan pandbeslag. Penyewa diwajibkan melakukan pembetulan-pembetulan

kecil sehari-hari. Pasal 1583 KUHPerdata memberikan penjelasan tentang apa

yang dimaksud dengan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari sebagai

berikut: Jika tidak ada perjanjian, maka dianggap sebagai demikian pembetulan-

pembetulan pada lemari-lemari toko, tutupan jendela, kunci-kunci dalam, kaca

jendela, baik didalam maupun diluar rumah dan segala sesuatu yang dianggap

seperti itu, menurut kebiasaan setempat.

Seorang penyewa rumah, oleh Pasal 1591 KUHPerdata ditetapkan

kewajiban, atas ancaman ganti rugi, untuk melaporkan kepada si pemilik tanah

tentang segala peristiwa yang dilakukan diatas pekarangan-pekarangan yang

disewa. Maksudnya, adalah bahwa si pemilik dapat mengambil tindakan-tindakan

Universitas Sumatera Utara


37

yang dianggap perlu untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang dapat

menimbulkan kerusakan pada tanah miliknya.

Dengan demikian perjanjian sewa menyewa yang telah di sepakati

persetujuannya oleh pihak-pihak, baik pengusaha maupun penyewa, hal ini bisa

terjalin hubungan yang nyata (aktual) antara pemlik dan penyewa, jika kedua

belah pihak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata.

Perjanjian sewa menyewa juga diatur dalam Buku III KUHPerdata Bab ke

7 (tujuh) yang mengatur hak dan kewajiban penyewa dan yang menyewakan.

Sewa menyewa merupakan jenis perjanjian yang termasuk didalamnya antara lain:

perjanjian jual beli, perjanjian sewa pakai, perjanjian sewa beli, dan lain-lain.

Perjanjian sewa menyewa tidak terlepas dari pada perjanjian pada

umumnya, karena perjanjian yang secara umum atau (universal) termasuk

didalam suatu perjanjian sewa menyewa.Perjanjian seperti ini menganut asas

konsensus.Artinya persetujuan sah dan mengikat kedua belah pihak setelah ada

kesepakatan dan mempunyai unsur pokok tanah dan harga.

Objek sewa menyewa yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Namun dengan perkembangan zaman modern ini, bukan hanya benda bergerak

tetapi jasa (imbalan) misalnya gas sudah dapat disewakan. Dari jenis-jenis yang

bisa disewakan tersebut diatas, semua tunduk pada peraturan sewa menyewa yang

diatur pada Pasal 1548 s/d Pasal 1600 KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara


38

BAB III

AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA

MENYEWA

A. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian dan Asas-asas dalam Perjanjian

Sewa Menyewa

Untuk lebih jelasnya mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang

sebelumnya juga telah dijelaskan secara ringkas pada Bab II, maka pada Bab III

ini penulis akan menjelaskan lebih jelasnya lagi mengenai syarat-syarat sahnya

suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu persatu keempat syarat

sahnya suatu perjanjian tersebut.

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.

Sepakat mereka yang mengikat dirinya mengandung makna bahwa para

pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian keinginan atau

kemauan saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para

pihak dengan tidak adanya suatu paksaan, kekeliruan, atau penipuan. 55

Persoalan yang sering kali dikemukakan dalam hubungan perjanjian ini

adalah kapan saatnya kesepakatan ini terjadi ? Persoalan ini tidak akan timbul jika

55
Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog) merupakan tiga hal
yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna.(Pasal 1321 s/d Pasal 1328 KUHPerdata).

38
Universitas Sumatera Utara
39

para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada

disuatu tempat dan disitulah tercapai suatu kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya

dalam pergaulan hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak

perjanjian terjadi antara para pihak melalui surat menyurat, sehingga

menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan itu dapat terjadi. Hal ini

penting dipersoalkan sebeb untuk perjanjian-perjanjian yang tunduk pada asas

konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya

perjanjian. 56

Apabila dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat unsur

kekhilafan atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau dengan penipuan

maka dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu

perjanjian yaitu kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok

perjanjian, dan selain itu kekhilafan yang lain tidak menjadi batalnya suatu

perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) KUHPerdata).

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Cakap (bekwaan) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan

perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan

tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu

perbuatan tertentu. 57 Dalam Pasal 1329 KUHPerdata terdapat asas umum yang

56
Riduan Syahrani, Seluk-Belum Dan Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hal.
206.
57
Ibid, hal. 208.

Universitas Sumatera Utara


40

mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia

oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. 58

Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 KUHPerdata tersebut diatur

dalam 1330 KUHPerdata yang mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian

adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua

puluh taahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua

puluh tahun, maka mereka yang belum dewasa dan tidak kembali lagi

dalam kedudukan belum dewasa.

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara

sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian

kelima, dan bagian keenam Bab ini”.

Ketentuan pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas

mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

a. Seorang yang baru dikatakan dewasa, jika ia:

• Telah berusia 21 tahun; atau

• Telah menikah;

58
Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “….
Cakap membuat perikatan….” tidak konsisten, karena Pasal 1329 ini terkait dengan Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian bukan syarat sahnya perikatan. Sehingga
seharusnya redaksi tersebut berbunyi “….cakap membuat kontrak/perjanjian…”

Universitas Sumatera Utara


41

Hal kedua membawa konsenkuensi hukum bahwa seorang anak

yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan

sebelum genap 21 tahun tetap telah dianggap dewasa.

b. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum

diwakili oleh:

• Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah

kekuasaan orang tuanya (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

• Walinya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan

orang tuanya (yaitu hanya ada salah satu dari orang taunya saja). 59

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, yang dalam rumusan Pasal 50 nya menyetakan bahwa:

1. “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya”.

Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974tentang Perkawinan, kecakapan bertindak orang pribadi dan

kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut: 60

a. Jika seorang:

• Ia telah berumur 18 tahun; atau

59
Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 129-130.
60
R. Subekti, Op.Cit.,hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


42

• Telah menikah

• Seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya

dibubarkan sebelum ia genap 21 tahun tetap dianggap telah

dewasa.

b. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum

menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

• Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah

kekuasaan orang tua;

• Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada dibawah

kekuasaan orang tuanya atau hanya ada salah satu dari orang

tuanya saja.

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Orang yang berada dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat

berbuat bebas dengan harta kekayaannya.Ia berada dibawah penguasaa

pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum

dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili orang tua

atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah

pengampuan harus diwakili pengampuan kuratornya. 61

Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap

orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit

ingatan atau boros, pembentuk undang-undang memandang bahwa

yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan

61
R. Subekti, Op.Cit.,hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


43

karena itu tidak cakap bertindak untuk untuk mengadakan

perjanjian.Apabila seorang berada dibawah pengampuan mengadakan

perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau

pengampuannya (Pasal 433 KUHPerdata). 62

3. Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang,

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka

ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 KUHPerdata menjadi tidak berarti lagi. 63 Hal

ini berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5

September 1963, telah menghapus Pasal 108 KUHPerdata yang mengatakan

bahwa: “seorang istri tidak boleh diperkenankan menghibahkan, menggadaikan,

memindah tangankan, dan sebagainya atau pun melakukan suatu pelunasan atau

menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis tegas dari

suaminya” dan Pasal 110 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “seorang istri

tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa izin suaminya”. Dengan

dihapuskan kedua Pasal diatas maka nyatalah kepada kita bahwa tidak ada lagi

perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga Negara

Indonesia, sehingga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya

ataupin menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.

62
Mohd Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Sarana
Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal. 16.
63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 128-129.

Universitas Sumatera Utara


44

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek

suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja dikemudiannya dapat

ditentukan atau diperhitungkan. 64 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu,

kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut

haruslah sesuatu yang harus ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya,

setiap kesempatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual

atau dibeli haruslah terlebih dahulu ditentukan kebendaannya. 65

4. Suatu sebab yang halal.

Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari

“sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal

1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang

telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah

mempunyai”.

Jadi dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebutkan

dengan sebab yang halal adalah:

1. Bukan tanpa sebab;

2. Bukan sebab yang palsu;

3. Bukan sebab yang terlarang. 66

64
Riduan Syahrini, Op.Cit.,hal. 209-210.
65
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.,hal. 155-156.
66
Ibid, hal. 161.

Universitas Sumatera Utara


45

Dan kemudian adapun asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak

dalam membuat suatu perjanjian antara lain:

1. Asas kebebasan berkontrak

Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, artinya memberi

keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hukumnya. 67 Sistem

terbuka Buku III KUHPerdata tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang buat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, hal itu

dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang

sama dengan undang-undang.

Dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk

melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa saja ia malakukan

perjanjian, bebas tentang apa saja yag diperjanjikan, dan bebas untuk menetapkan

syarat-syarat suatu perjanjian. 68 Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan

berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai

berikut: 69

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.


b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin
membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari
perjanjian yang akan dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan suatu bentuk perjanjian.

67
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Pranada Media Group,Cetakan Kedua, Jakarta, 2008, hal. 109.
68
Ibid, hal. 110.
69
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indosenia, Jakarta, 1993,
hal. 47.

Universitas Sumatera Utara


46

f. Kebebasan untuk menerima atau meyimpangi ketentuan


undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend,
optional).

Namum yang penting untuk diperhatikan bahawa kebebasan berkontrak

sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidaklah

berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh

dan padu dengan ketentuan lain terkait. 70 Apabila mengacu rumusan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yang dibingkai oleh Pasal-pasal lain dalam satu kerangka

sistem hukum perjanjian/kontrak (vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 ayat (1) serta

Pasal 1339 KUHPerdata), maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata

perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para

pihak dalam membuat perjanjian dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat-satarat sahnya perjanjian;


b. Untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai
kuasa;
c. Tidak memandang kuasa palsu atau dilarang undang-undang;
d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan
ketertiban umum;
e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.

2. Asas konsensualisme

Didalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas esensial dari hukum

perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menetukan “ada” nya perjanjian

(raison d’etre, het bestaanwaarde). 71 Dalam asas ini terkandung kehendak para

pihak untuk saking mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen)

70
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,hal. 111.
71
Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 82.

Universitas Sumatera Utara


47

diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan

(vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. 72

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas

kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti, yang

menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338
73
KUHPerdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan

perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.

3. Asas pacta sunt servanda

Dalam perspektif KUHPerdata, asas pacta sunt servanda dapat dicermati

dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa: “semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. 74 Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mangakui dan

menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-

undang. 75

Didalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak

merupakan konsenkuensi dari dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu

konsensualisme dan asas kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut

sebagai pacta sunt servanda.Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya

72
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,
hal. 43-44.
73
Ibid, hal. 37.
74
N. E. Algra et al, dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”,
Bina Cipta, Jakarta, 1983, Cetakan Pertama, hal. 384.
75
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hal. 126.

Universitas Sumatera Utara


48

perjanjian, pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu

terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan

berkontrak menyangkut isi perjanjian. 76

4. Asas itikad baik

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, mengatakan “persetujuan-

persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa yang dimaksud dengan

itikad baik (good faith), perundang-undangan tidak memberikan defenisi yang

tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan

itikad baik adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud kemauan yang

baik. 77 Dalam kamus hukum FockemaAndreae dijelaskan bahwa “geode trouw”

adalah itikad baik. 78

Wirjono Prodjodikoro memberi batasan itikad baik dengan istilah “dengan

jujur” atau “secara jujur”. 79

1. Itikad baik pada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum.

Itikad baik biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa

syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah

terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan pada

pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang bertikad tidak baik

(te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menaggung resiko.

76
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.
3, Mei Tahun 2003, hal. 197.
77
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,
hal. 369.
78
N. E. Algra et al, Op.Cit.,hal. 174..
79
Soetojo Prawirohamidjojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato Dalam
Rangka Memperingati Dies Natalis XXXVIII Universitas Airlangga Surabaya, 11 November 1992,
hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


49

Itikad baik semacam ini diatur dalam Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata

dan Pasal 1963 KUHPerdata, dimana terkait dengan salah satu syarat

untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad

baik ini bersifat subjektif dan statis.

2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

yang termaktub dalam hubungan hukum ini. Pengertian itikad baik

seperti ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

adalah sifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan

hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang

akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai

pelaksanaan sesuatu hal. 80

B. Wanpretasi

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa wanprestasi adalah

kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat.

Pertama-tama yang terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak

secara sepatutnya, sedangkan yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu

prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat. 81

Sedangkan M. Yahya Harahap, pengertian wanprestasi adalah pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut

selayaknya. 82Kalau begitu seorang debitur atau penyewa berada dalam keadaan

80
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 56-62.
81
Sri Soedewi Masjschoen Sofyan, Hukum Perutangan Bagian A, Seksi Hukum Perdata,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980, hal. 12.
82
M. Yahya Harahap, Op.Cit.,hal. 60-61.

Universitas Sumatera Utara


50

wanprestasi, apabila berada dalam melakukan pelaksanaannya prestasi perjanjian

telah lalai sehingga terlambat dalam jadwal waktu yang ditentukan atau dalam

melaksankan prestasi tidak menurut selayaknya atau sepatutnya.

Dari kedua pendapat diatas, dapatlah kita menarik suatu pengertian bahwa

yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan atau kelalaian

debitur yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi prestasi yang harus

dipenuhinya dalam suatu perjanjian. Jadi dapat dilihat bahwa wanprestasi itu

terjadi atau timbul apabila si berutang yakni debitur tidak memenuhi prestasi yang

seharusnya ia lakukan dalam suatu perjanjian dengan kreditur atau si berutang.

1. Timbulnya ganti rugi (schade vergoeding)

Kewajiban ganti rugi tidak sendirinya timbul pada saat kelalaian.Ganti

rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai, harus

ada pernyataan lalai dari kreditur. Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini

ditegaskan oleh Pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi: penggantian

perongkosan, kerugian, dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar

debitur; setelah ia untuk itu “ditegor kealpaannya” melaksanakan perjanjian, akan

tetapi sekali pun sudah ditegur ia tetap juga melalaikan peringatan yang dimaksud.

Dari ketentuan Pasal diatas terdapat suatu asas yang umum untuk lahirnya

kewajiban ganti rugi debitur harus lebih dulu diletakkan atau ditempatkan dalam

“keadaan lalai”, melalui prosedur “peringatan atau pernyataan lalai”. Kalau begitu

debitur sudah dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai, jika sebelumnya sudah

ada pemberitahuan, peringatan, atau teguran kreditur terhadap debitur, bahwa si

Universitas Sumatera Utara


51

debitur telah lalai melaksanakan perjanjian. Peringatan atau teguran itu dilakukan

oleh kreditur “sesaat” setelah batas waktu telah lewat. 83

2. Pernyataan lalai (ingebrekke stelling)

Didalam Pasal 1238 KUHPerdata, menetukan bahwa: “si berutang adalah

lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si

berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Kata “perintah” dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut mengandung suatu

peringatan dan karenanya “bevel” juga diterjemahkan dengan “peringatan”.

Karena disana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditunjukkan pada debitur

(si berutang) dan debitur (si berutang) adalah pihak yang dalam perikatan

mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “perintah/peringatan” itu datang

dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hal (tuntut) atas

prestasinya. Sekalipun Pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan

apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan dengan kedudukan para

pihak dalam periktan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah

kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya.Jadi kreditur

berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur

melaksanakan kewajiban perikatannya.

Dalam perkembangannya, surat peringatan atau teguran juga boleh

dilakukan secara lisan, dengan ketentuan desakan atau teguran agar si berutang

melakukan dengan seketika atau dengan waktu singkat prestasinya, dinyatakan

83
Ibid, hal. 62.

Universitas Sumatera Utara


52

dengan cukup tegas. Sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dengan surat tercatat,

agar nanti dimuka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang. Sedangkan

kapan pernyataan waktu lalai itu menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam buku

hukum perjanjian adalah tidak mutlak. 84

Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur

dapat berupa empat macam, yaitu: 85

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang disanggupinya, tetapi tidak sebagaimana

mestinya.

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Berbeda dengan Subekti, maka Sri Soedewi Masjchoen Sofyan,

wanprestasi tersebut dibagi menjadi dua macam, yaitu: 86

1. Prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya.

2. Prestasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

Sedang menurut Setiawan, ada tiga bentuk ingkar janji yaitu: 87

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Terlambat memenuhi prestasi.

3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

84
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1965, hal. 7.
85
R. Subekti, Op.Cit., hal. 45.
86
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Op.Cit.,hal. 12.
87
R. Setiawan, Op.Cit., hal. 17-18.

Universitas Sumatera Utara


53

Akibat dari wanprestasi munculnya suatu ganti rugi bagi pihak yang

merasa dirugikan. Dalam KUHPerdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari

kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan

tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak berwujud.

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian. Hal

ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata: “pada suatu perikatan

untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan debitur sejak

perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan,

maka orang itu, semenjak perikatan dilakukan telah menjadi tanggungannya”.

Menurut Subekti, ada empat akibat terjadinya wanprestasi, yaitu:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi;

2. Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian;

3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dihadapan hakim.

Akibat terjadinya wanprestasi diatas, maka lebih jelasnya akan dijabarkan

sebagai berikut:

1. Ganti rugi

Ganti rugi sering diperinci menjadi tiga bagian, yaitu biaya, rugi, dan

bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah

dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalkan sorang sutradara mengadakan

perjanjian dengan seorang model/artis untuk bersuting dan seorang model/artis

Universitas Sumatera Utara


54

tersebut tidak datang sehingga pertunjukan batal diadakan. Maka yang termasuk

biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi, dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan

barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan atas kelalaian debitur.

Misalnya dalam jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung

penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, sehingga sapi-

sapi lainnya mati karena penyakit tersebut.

Yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa keuntungan,

yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli

barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari

pembeliannya.

Dalam Pasal 1247 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang
nyata telah atau sedianya harus dapat diduga waktu sewaktu perjanjian dilahirkan,
kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu
daya yang dilakukan olenya”.

Dan dalam Pasal 1248 KUHPerdata, menyatakan bahwa:

“bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu
daya si berutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian
yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung tak dipenuhinya perjanjian”.

Dari kedua Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu

dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat

Universitas Sumatera Utara


55

langsung dari wanprestasi. Berikut beberapa hal dalam persoalan ganti rugi

adalah: 88

a. Ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian


yang nyata dan bunga.
b. Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi karena force majeur.
c. Kerugian wajib dibayar dapat berupa kerugian yang sedianya harus
dapat dinikmati kreditur.
d. Ganti rugi dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan
kehilangan keuntugan yang merupakan akibat langsung dari
wanprestasi tersebut.
e. Apabila dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi
yang harus dibayar oleh pihak debitur jika wanprestasi, maka
pembayaran ganti rugi tersebut hanyalah sejumlah yang ditetapkan
dalam kontrak, tidak boleh lebih atau kurang.
f. Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi hanya
terdiri dari bunga seperti yang ditetapkan dalam KUHPerdata.

2. Pembatalan perjanjian

Mengenai pembatalan peerjanjian atau juga dinamakan pemecahan

perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada

orang yang tidak dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut

sebagai suatu hukum karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban

memenuhi prestasi.Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak

kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah

menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan.

Pasal 1266 KUHPerdata, meyatakan bahwa:

“syarat batal selamanya dianggap dicantumkan dalam perjanjian-perjanian


yang timbal balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

88
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Kontrak Bisnis, Diktat Hukum Perusahaan, Megister
Kenotariatan USU, Medan, 2010, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara


56

Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus diminta dihadapan hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut
keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak lebih dari satu
bulan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut maka jelas bahwa pembatalan

perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata-nyata melalaikan

kewajibannya, akan tetapi harus diminta kepada hakim dan disebutkan dengan

jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.

3. Peralihan resiko

Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur

disebut dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata.Yang dimaksud dengan resiko

adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar

kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

Menurut Pasal 1460 KUHPerdata, resiko dalam jual beli barang tertentu

dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan.Kalau

penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan

mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual.Jadi karena lalainya si

penjual, resiko itu beralih ke si penjual.

4. Pembayaran biaya perkara

Tentang pembayaran biaya ongkos perkara sebagai sanksi keempat bagi

seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,

bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181

Universitas Sumatera Utara


57

ayat (1) HIR).Seseorang debitur yang lalai tentu dikalahkan kalau sampai terjadi

perkara dihadapan hakim.

Dari pembahasan-pembahasan diatas dapat dilihat apabila wanprestasi

yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari

keadaan memaksa (force majeure), maka perjanjian bisa menjadi batal. 89

C. Akibat Hukum Terhadap Penyewa yang Melakukan Wanprestasi

dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

Penyewa disebutkan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam

melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari

jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak

menurutnya “sepatutnya/selayaknya”. Seperti yang telah tersinggung, akibat yang

timbul dari wanprestasi ialah keharusan atau kemestian bagi penyewa membayar

ganti rugi (schadevergoeding). Atau dengan adanya wanpretasi oleh salah satu

pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut “pembatalan perjanjian”.

Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban “tidak

tepat waktu” atau “tak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak milik rumah.

Setiap pelanggaran hak milik orang lain, berarti merupakan “perbuatan melawan

hukum” (onrechtmatigedaad). 90 Wanprestasi diperlukan terlebih dahulu suatu

proses, seperti pernyataan lalai (ingeberkestelling) yang dilakukan si penyewa.

Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan:

89
Elly Erawati-Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian,
Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010, hal. 28.
90
M. Yahya Harahap, Op,Cit., hal. 60-61.

Universitas Sumatera Utara


58

“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,

atau untuk tidak berbuat sesuatu”

Atau dapat dikatakan jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat

klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan

somasi atau peringatan.Perhitungan ganti rugi akibat wanprestasi dihitung sejak

terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata yang

menyatakan: “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu

menjadi tanggungan kreditur sejak lahirnya perikatan. Jika debitur lalai untuk

menyrahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan

dilakukan menjadi tanggungannya”.

Pada Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan:

“Biaya, ganti rugi, dan bunga yang boleh ditentukan kreditur terdiri atas

kerugian yang dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperoleh”

Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi,

perhitungan ganti rugi harus dapat diatur dalam jenis dan jumlahnya secara rinci

seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian

tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interset). Kendatipun debitur yang

wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi

kerugian dapat dituntut oleh kreditur jumlahnya tidak dapat diperhitungkan

dengan sekehendak hati, melainkan dibatasi dengan sedemikian rupa oleh undang-

undang.

Pembatasan pertama untuk segala macam wanprestasi disebut dalam Pasal

1248 KUHPerdata yang menentukan demikian:

Universitas Sumatera Utara


59

“Bahkan, jika hal tidak terpenuhinya perikata itu disebabkan karena tipu
daya siberutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian
yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya
perikatan”.

Adapun yang dimaksud dengan “akibat langsung”dalam Pasal 1248

KUHPerdata yaitu, sebagaimana yang dikatakan Wirjono Projdodikoro 91 dalam

bukunya menyatakan bahwa akibat langsung dalam Pasal 1248 KUHPerdata

adalah “suatu akibat yang tidak begitu jauh ketinggalan dari pada hal yang

dilakukannya suatu wanprestasi. Namun, penetuan yang demikian ini, menurut

Wirjono Prodjodikoro, tentunya masih belum tegas karena pengertian jauh adalah

kabur juga. Oleh karena itu, hakimlah yang pada akhirnya harus menetapkan ini

(in konkrito) menurut rasa keadilan masyarakat.

91
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 53.

Universitas Sumatera Utara


60

BAB IV

PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH PADA PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG RI. NO. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps

A. Kasus Posisi

Bahwa pihak dari yang menyewakan (Penggugat) adalah bernama I Made

Robby Prayoga yang merupakan anak laki-laki kandung dari I Ketut Sudiartha

dan juga merupakan cucu kandung laki-laki dari I Made Lotering. Awalnya,

kakek dari pihak Penggugat mempunyai tanah dan rumah yang diwariskan kepada

ayah Penggugat, kemudian setelah ayah Penggugat meninggal diwariskan kepada

Penggugat, yakni: tanah yang diatasnya dibangun rumah sebagaimana Surat Hak

Milik (SHM) No.244/Desa Intaran, luas 2174, Gambar Situasi tanggal 19 Maret

1973 No. 102/1973 Atas Nama I Made Lotering, terletak di Desa Intaran Sahur

Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar.

Sebagian dari tanah dan rumah tersebut oleh kakek penggugat disewakan

kepada pihak penyewa (Tergugat I) yang bernama Sarita Jill Newson yakni seluas

tanah 1.124 M2 dengan batas-batas:

Sebelah Utara : Rumah yang disewa oleh nyonya Jean Howkins

Sebelah Timur : Jalan menuju rumah nyonya Jean Howkins dan

SHM 284 Sanur

Sebelah Selatan : Jalan Merta Sari

Sebelah Barat : Tanah milik Tuan Made Suweca

Setempat dikenal sebagai jalan Mertasari No.6A Desa Intaran, Sanur Kelod,

Denpasar Selatan Kota Denpasar.

60

Universitas Sumatera Utara


61

Bahwa sewa menyewa tersebut tertuang dalam AKTA PERUBAHAN dan

PERJANJIAN SEWA MENYEWA No. 267 tanggal 28 Juli 1995 yang dibuat

dihadapan Notaris I Nyoman Alit Puspanda, SH, notaris Pengganti Notaris

Andjana Oka, SH, untuk jangka waktu 20 Tahun sejak tanggal 1 Agustus 1994

sampai tanggal 1 Agustus 2014, dengan harga sewa US.$ 172.000,00 (seratus

tujuh pulu dua dolar Amerika Serikat).

AKTA PERUBAHAN dan PERJANJIAN tersebut DIGANTI dengan

SURAT PERJANJIAN MENYEWA TEMPAT antara ayah Penggugat sebagai

pihak yang menyewakan yang bernama I Ketut Sudiartha dengan Tergugat I yang

ditandatangani pada 1 Agustus 2010, sedangkan jangka waktu berakhirnya tetap 1

Agustus 2014. Adapun isi dari perjanjian tersebut pada article 9 disebutkan bahwa

perjanjian ini dilakukan untuk “Mengganti” Perjanjian pertama No. 267 tanggal

28 Juli 1995 yang disahkan oleh Benyamin Adnjana Oka, SH yang mana “Tidak

Berlaku Lagi”. Kecuali dijelaskan didalam perjanjian ini, provisi perjanjian yang

pertama akan dianggap sesuai dengan keinginan pihak pertama dan pihak kedua

dengan kekuatan yang sama dalam hukum, dan ditandatangani diatas materai oleh

kedua belah pihak, dimana copy yang pertama asli akan dipegang oleh pihak

pertama, copy yang kedua yang asli akan dipegang oleh pihak kedua.

Kemudian, Tergugat I Sarita Jill Newson,menyewakan kembali tanah dan

rumah yang disewanya tersebut kepada:

1. Nicole Moia disebut sebagai Tergugat II;

2. Adrian Sabine Maxwell Batten disebut sebagai Tergugat III;

Universitas Sumatera Utara


62

Sewa menyewa tersebut dituangkan dalam PERJANJIAN PEMINDAHAN dan

PENYERAHAN HAK SEWA tertanggal 18 November 2011 Sampai 1 Agustus

2014 (vide Pasal 4 huruf a). Pada tanggal 2 Juni 2014 dan tanggal 12 Juni 2014,

Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III melalui kuasanya MENSOMASI

Penggugat yang isinya berupa pemaksaan kehendak untuk melakukan

PERPANJANGAN SEWA tanah dan rumah warisan Penggugat tersebut, dengan

dasar somasiPasal 6 PERJANJIAN SEWA MENYEWA No. 267 Tanggal 28 Juli

1995.

Pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan

Tergugat III untuk memperpanjang sewa menyewa rumah warisan Penggugat

tersebut atas dasar PERJANJIAN yang sudah TIDAK BERLAKU adalah

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum(onrechtmatigdaad).

Yang mana asas dari perjanjian adalah KESEPAKATAN para pihak yang sesuai

dalam Pasasl 1320 KUHPerdata, yang mana kesepakatan dalam surat perjanjian

menyewa tempat antara ayah Penggugat yang bernama I Ketut Sudiartha dengan

Tergugat I yang ditanda tangani pada 1 Agustus 2010.

Pada article 7 dalam SURAT PERJANJIAN mengatur, “Sejauh

memungkinkan tetap menyewa rumah, Pihak Pertama memberikan Pihak Kedua

opsi pertama untuk memperpanjang kontrak sewa rumah setelah jangka waktu

kontrak pertama sampai waktu sepuluh tahun atau jangka waktu yang dapat

DISETUJIU BERSAMA Pihak Pertama dan Pihak Kedua. Pihak Kedua wajib

memberitahu Pihak Pertama jika akan ada perpanjangan paling sedikit dua bulan

sebelum kontrak berakhir”. Berdasarkan pada article 7 tersebut, Tergugat I,

Universitas Sumatera Utara


63

Tergugat II, dan Tergugat III tidak dapat memaksa Penggugat untuk memberikan

perpanjangan sewa menyewa rumahnya setelah jangka waktu sewa menyewa

berakhir menurut SURAT PERJANJIAN MENYEWA TEMPAT antara ayah

Penggugat yang bernama I Ketut Sudiartha dengan Tergugat I yang ditanda

tangani pada 1 Agustus 2010 samapai tanggal 1 Agustus 2014.

Bahwa klausule “sejauh memungkinkan menyewa rumah” dalam

perjanjian tersebut tidak dapat diartikan “HARUS DAPAT” menyewa rumah

tersebut, akan tetapi “SEJAUH MEMUNGKINKAN”, tetapi bila PEMILIK tidak

MENYEWAKAN maka PENYEWA tidak dapat MEMAKSA untuk menyewa

rumah PEMILIK. Adapun pada klausule “Opsi atau PILIHAN, yang dibuat oleh

kedua belah pihak adalah bilamana pihak pertama akan menyewakan kembali

rumahnya, pihak kedua akan mendapatkan opsi pertama unuk menyewa akan

tetapi bilamana Penggugat sebagai pemilik rumah tidak akan menyewakan

rumahnya maka PENYEWA tidak boleh memaksa. Dengan demikian, Hak Sewa

Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, yang dituangkan dalam SURAT

PERJANJIAN MENYEWA TEMPAT tanggal 1 Agustus 2010 harus dinyatakan

berakhir pada tanggal 1 Agustus 2014.

Didalam ketentuan article 3 SURAT PERJANJIAN MENYEWA

TEMPAT, disebutkan bahwa pada waktu perjanjian ini berakhir, semua bangunan

dan alat yang ditambah oleh pihak kedua akan menjadi milik pihak pertama,

termasuk kamar mandi dan alat-alat seperti lampu, tetapi meubel-meubel barang

antik dan perabot lain yang ditambah oleh pihak kedua tetap menjadi hak milik

oleh pihak kedua. Begitu pula selain atas dasar ketentuan article 3 tersebut,

Universitas Sumatera Utara


64

ternyata Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, telah terbukti melakukan

PERBUATAN MELAWAN HUKUM (onrechtmatigdaad) yakni memaksa

kehendaknya untuk memperpanjang sewa rumah milik Penggugat, tanpa

PERSETUJUAN dan KEHENDAK dari pihak Penggugat sebagai pemiliknya.

Dan para pihak Tergugat juga telah terbukti TIDAK ADA ITIKAD BAIK untuk

mengosongkan dan menyerahkan rumah milik Penggugat yang akan berakhir

sewanya pada tanggal 1 Agustus 2014. Berdasarkan hal tersebut pihak dari yang

menyewakan atau pihak Penggugat merasa dirugikan dan pihak dari yang

penyewa atau para pihak Tergugat telah melakukan wanprestasi karena tidak

sesuai lagi dengan apa yang telah diperjanjikan dan yang dituangkan dalam surat

perjanjian tersebut.

B. Analisa Kasus

Sebagaiman telah dijelaskan diatas bahwa “Suatu perjanjian, merupakan

suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua

orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu”. R. Setiawan menyebutkan bahwa

perjanjian adalah suatu perbutan hukum dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu oarng atau

lebih. 92 Lazimnya perjanjian bersifat bilateral atau timbal balik, artinya suatu

pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-

kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan

sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh

hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang

92
R. Setiawan, Op.Cit., hal. 49.

Universitas Sumatera Utara


65

dibebankan kepadanya itu.Apabila tidak demikian halnya, yaitu apabila pihak

yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu tidak dibebani dengan kewajiban-

kewajiban sebagai kebalikannya dari hak-hak itu, apabila pihak yang menerima

kewajiban tidak memperoleh hak sebagai kebalikannya, maka perjanjian yang


93
demikian itu adalah unilateral atau sepihak. Berdasarkan hal ini dapat

disimpulkan bahwa lazimnya perjanjian itu bersifat timbal balik meskipun belum

tentu semua perjanjian bersifat timbal balik.

Perjanjian itu sendiri dapat menerbitkan suatu perikatan antara dua oarang

atau lebih mereka yang membuatnya. Menurut KUHPerdata Pasal 1313,

perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih

mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dalam hal ini, sebuah perjanjian

atau kontrak menjadi sumber terjadinya perikatan tersebut. Berdasarkan hal ini,

jelas bahwa perjanjian itu melahirkan perikatan. Sama halnya dengan perjanjian

sewa menyewa baik barang bergerak dan tidak bergerak ataupun yang berupa

jasa. Perjanjian ini mengikat para pihak, dimana para pihak harus melakukan

kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan waktu, objek perjanjian dan apa saja

yang menjadi kewajiban para pihak tersebut sesuai dengan isi perjanjian.

Dalam analisa Putusan No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps mejelis hakim

memutuskan pertimbangan beberapa hal. Pertimbangan hakim pertama dalam

Eksepsi tidak dapat diterima atau menolak eksepsi para Tergugat untuk

seluruhnya. Hal ini dikarenakan atas pertimbangan hakim itu yang berisikan

bahwa, perihal gugatan Penggugat adalah perbuatan melawan hukum, oleh

93
Subekti, Op.Cit., hal 29-30.

Universitas Sumatera Utara


66

karenanya majelis hakim hanya akan mempertimbangkannya apakah benar para

Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang

didalilkan oleh Penggugat dan tidak akan mempertimbangkannya dengan

pertimbangan hukum wanprestasi. Hal ini dikarenakan kuasa hukum para

Tergugat dalam eksepsinya membantah bahwa gugatan Penggugat dalam dalil

gugatannya mencampuradukan antara gugatan “Perbuatan melawan hukum”

dengan gugatan “wanprestasi” yang tidak dibenarkan secara hukum sesuai

Putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984, tanggal 24 April 1986 bahwa penggabungan

perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar

tata tertib beracara, karena keduanya harus diselesaikan tersendiri. Sementara itu,

bahwasanya gugatan dari pihak Penggugat adalah perbuatan melawan hukum dan

bukan wanprestasi. Kemudian, pertimbangan majelis hakim yang menolak isi

eksepsi dari kuasa hukum para Tergugat adalah mengenai gugatan Premature,

namun majelis hakim berpendapat bahwa walaupun batas waktu sewa akan

berakhir pada tanggal 1 Agustus 2014, sedangkan gugatan diajukan pada tanggal

17 Juli 2014 tidaklah menjadikan gugatan tersebut premature karena Penggugat

bertujuan untuk mendapat kepastian hukum tentang status sewa menyewa, dengan

obyek gugatan tentang berakhirnya batas sewa antara Penggugat dengan para

Tergugat. Kemudian, alasan-alasan ditolaknya eksepsi dari pihak Tergugat karena

eksepsi dari kuasa hukum para Tergugat sudah memasuki materi pokok perkara,

maka akan dipertimbangkan bersamaan dengan pertimbangan hukum materi

pokok perkara dan secara hukum materi eksepsi dari para Tergugat bukanlah

Universitas Sumatera Utara


67

alasan yang dapat untuk dikabulkan eksepsinya, oleh karena itulah eksepsi dari

para Tergugat dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.

Pertimbangan hakim yang kedua dalam provisi atau permohonan kepada

hakim agar tindakan sementara mengenai hal yang tidak termasuk dalam pokok

perkara Penggugat adalah memohon agar para Tergugat dihukum untuk

mengosongkan dan menyerahkan rumah yang terletak di Jalan Mertasari No. 6A

Desa Intaran, Sanur Kelod, Denpasar Selatan, Kota Denpadar. Namun,

pertimbangan hakim dalam mencermati dalil provisi Penggugat ternyata dalam

alasan Penggugat dalam provisinya adalah sudah menyangkut mengenai materi

pokok perkara, maka majelis hakim akan mempertimbangkan bersamaan dengan

pertimbangan hukum pokok perkara, dengan alasan dan pertimbangan tersebut

maka gugatan provisi dari Penggugat wajib ditolak.

Pertimbangan majelis hakin yang ketiga adalah didasarkan pada putusan

yang menyertakan bahwa pihak Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah

melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dikarenakan

Penggugat ternyata tidak bermaksud untuk memperpanjang masa sewa, yang

kemudian para Tergugat mensomasi Penggugat agar bersedia memperpanjang

masa sewa, sebagaimana surat somasi Para tergugat yang diajukan pada

Penggugat tertanggal 2 Juni 2014 dan tanggal 12 Juni 2014, sesuai yang dilihat

oleh majelis hakim pada bukti-bukti (P-5) untuk yang tertanggal 2 Juni 2014 dan

(P-6) untuk yang tertanggal 12 Juni 2014. Hal ini dikarenakan perjanjian secara

hukum wajib didasarkan adanya suatu kesepakatan oleh para pihak, tanpa adanya

kesepakatan tidak mungkin ada suatu perjanjian.

Universitas Sumatera Utara


68

Kemudian dalam perpanjangan sewa dalam perkara tersebut didasarkan

dengan perjanjian “HAK OPSI” pertama kepada pihak penyewa apabila pemilik

tanah dan rumah akan menyewa hak milik atas tanahnya, tapi secara fakta dalam

perkara tersebut Penggugat sebagai pemilik tanah dan rumah obyek sengketa tidak

bermaksud memperpanjang masa sewa yang dilakukan oleh para Tergugat, maka

sesuai dengan isi perjanjian sewa menyewa antara Penggugat dan para Tergugat

telah berakhir sejak tanggal 1 Agustus 2014 dan para Tergugat tidak bisa

memaksa pada Penggugat untuk dan harus bersedia memperpanjang sewa

menyewa sampai dengan tanggal 1 Agustus 2024. Dengan alasan dan

pertimbangan hakim tersebut, perbuatan para Tergugat memaksa Penggugat untuk

memperpanjang masa sewa sampai tanggal 1 Agustus 2024 dengan mensomasi

Penggugat adalah sebagai perbuatan yang melanggar hukum, bertentangan dengan

kewajiban hukum pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain, yang berakibat

merugikan pihak Penggugat sebagai sebab yang kausalitas. Hal ini juga sesuai

dengan Surat Perjanjian Sewa Menyewa No. 146 tanggal 13 Juli 1994, (bukti

T.1.2.3-1), Pasal 1, yang isinya: “Perjanjian sewa menyewa pada tanggal 1

Agustus 1994 dan diadakan untuk jangka waktu 20 tahun, sehingga berakhir pada

tanggal 1 Agustus 2014. Setelah berakhirnya masa sewa pihak kedua diwajibkan

mengembalikan apa yang telah disewa tersebut kepada pihak pertama dalam

keadaan kosong”. Berdasarkan hal tersebut pihak Tergugat haruslah

mematuhinya.Sebagaimana juga telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1365

KUHPerdata, agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan

Universitas Sumatera Utara


69

melawan hukum (onrechtmatige daad), maka perbuatan tersebut harus memenuhi

empat unsur, yakni:

a. Harus ada perbuatan yang bersifat melanggar hukum;


b. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian pihak;
c. Ada kesalahan dalam perbuatan atau tindakan yang dilakukan tersebut;
d. Terdapat hubungan sebab akibat/kausalitas antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan kerugian.

Kemudian dalam praktek peradilan, pengertian perbuatan melanggar hukum tidak

lagi menganut pendirian/rumusan yang sempit, tetapi telah menganut rumusan

dalam arti luas, yaitu perbuatan yang melanggar hukum telah memenuhi

persyaratan alternatif:

a. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;


b. Melanggar hak subyektif orang lain;
c. Melanggar kaidah tata susila;
d. Bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan
sesama warga negara masyarakat atau terhadap harta benda orang lain
dan yang melanggar kewajiban hukumnya, sudah dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar hukum.

Mengenai kekuatan hukum Akta Perjanjian No. 146, tanggal 13 Juli 1994

Jo. Akta Perubahan dan Perjanjian Sewa Menyewa No. 267, tanggal 28 Juli 1995

Jo. Perjanjian Sewa Menyewa Tempat, tanggal 1 Agustus 2010 Jo. Perjanjian

Pemindahan dan Penyerahan Hak Sewa, tanggal 18 Nopember 2011, tentang

perjanjian sewa menyewa bidang tanah. Pihak majelis hakim mempertimbangkan

bahwa Perjanjian Sewa Menyewa, No. 146, tanggal 13 Juli 1994 (bukti T.1.2.3-1),

Perubahan dan Perjanjian No. 267, tanggal 28 Juli 1995 (bukti P-2 = T.1.2.3-2),

adalah akta notaris yang bersifat otentik dan dimuka persidangan tidak dibantah

isi kebenarannya oleh para pihak, maka secara hukum adalah sebagai buktti yang

Universitas Sumatera Utara


70

sempurna, demikian pula dengan Surat Perjanjian Sewa Tempat (bukti P-3) dan

Perjanjian Pemindahan dan Penyerahan Hak Sewa, tanggal 18 Nopember 2011

(bukti P-4 = T.1.2.3-3), walaupun dibuat secara dibawah tangan, namun oleh

karena diakuinya kebenarannya oleh para pihak dipersidangan, maka sebagai

bukti yang sah dan sempurna dalam pembuktian pokok perkara

tersebut.Kemudian majelis hakim juga menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan

Tergugat III, untuk mengosongkan dan menyerahkan rumah yang terletak di Jalan

Mertasari No. 6A Desa Intaran, Sanur Kelod, Denpasar Selatan, Kota Denpasar

milik Penggugat kepada Penggugat seketika secara lansia bebas dari penguasaan

pihak lain, atas dasar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu mejelis hakim juga menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan

Tergugat III, untuk membayar uang paksa (dwangsom) setiap hari sebesar Rp.

50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) atas keterlambatannya menjalankan putusan

perkara ini yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini dikarenakan bahwa para

Tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dan masa sewa

yang telah berakhir terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2014 dan para Tergugat

wajib secara hukum untuk menyerahkan pada Penggugat tanah dan rumah obyek

sengketa terhitung sejak tanggal berakhirnya masa sewa tersebut.

Dalam petitum lainnya majelis hakim tidak mengabulkan rekonpensi

gugatan para Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya, hal ini dikarenakan

gugatan para Penggugat Rekonpensi adalah sama dengan obyek gugatan dalam

gugatan konpensi dan oleh karena dalam gugatan konpensi para Penggugat

Rekonpensi/para Tergugat Konpensi telah dinyatakan melakukan perbuatan

Universitas Sumatera Utara


71

melawan hukum karena memaksa/mensomasi Tergugat Rekonpensi/Penggugat

Konpensi untuk memperpanjang masa sewa, maka dengan telah dikabulkannya

gugatan Penggugat dalam konpensi, maka dari itulah gugatan para Penggugat

Rekonpensi wajib dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.

Berdasarkan hal ini juga dapat dilihat bahwa hakim telah menerapkan

kepastian hukum yang diatur dalam hukum perdata, yaitu dengan mendengarkan

kedua belah pihak yang sesuai dengan fakta hukum, disini hakim bersifat netral,

tidak memihak pada salah satu pihak, tetapi hanya menjalankan apa yang telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara


72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertama, yang menjadi hak dari pihak yang menyewakan ialah

menerima harga sewa dari yang telah ditentukan. Dan kewajiban dari

pihak yang menyewakan yaitu, menyerahkan barang yang disewakan,

memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat

dipakai untuk keperluan yang dimaksud, memberikan hak kepada

penyewa untuk menikmati barang yang disewakan, melakukan

pembetulan pada waktu yang sama, dan menanggung cacat dari barang

yang disewkan. Kedua, adapun yang menjadi hak bagi pihak penyewa

adalah menerima barang yang disewakan dalam keadaan baik.

Sedangkan yang menjadi kewajiban bagi pihak penyewa dalam

perjanjian sewa menyewa tersebut adalah memakai barang sewa

sebagaimana barang tersebut seakan-akan kepunyaan sendiri, dan

membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan. Kemudian,

sebelum para pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing

tentunya para pihak terlebih dahulu telah memiliki kata sepakat

sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwasanya para pihak

telah sepakat untuk mengikat dirinya antara kedua belah pihak untuk

melakukan suatu perjanjian tanpa adanya suatu paksaan, kekeliruan,

dan penipuan.

72
Universitas Sumatera Utara
73

2. Akibat hukum terhadap penyewa yang melakukan tindakan

wanprestasi hal ini disebabkan karena suatu kelalaian/kealpaan dari

pihak debitur (si penyewa), sehingga terlambat dari jadwal yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga akibat yang timbul dari

wanprestasi ini adalah keharusan atau kemestian bagi pihak si

penyewa untuk membayar ganti rugi. Sebab, jika pihak si penyewa

telat dalam menunaikan kewajibannya, maka si penyewa merupakan

telah melakukan pelanggaran yang dapat disebut perbuatan melawan

hukum (onrechtmatigedaad). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal

1237 KUHPerdata, bahwa jika kreditur telah memberikan barang

tertentu dan menjadi tanggungan kreditur terhadap barang itu sejak

lahirnya perikatan tersebut, akan tetapi jika barang tersebut dilalaikan

oleh pihak debitur, maka barang tersebut menjadi tanggungan debitur.

Dan sebagaimana juga telah dijelaskan dalam Pasal 1246 KUHPerdata,

yakni dalam wanprestasi perhitungan ganti rugi harus dapat diatur

dalam jenis dan jumlah yang terperinci sesuai dengan kerugian yang

dialami oleh pihak kreditur.

3. Pada pertimbangan hakim dalam Putusan No. 467/Pdt.G/2014/PN.Dps,

telah mempertimbangkan bahwa para pihak tergugat telah melakukan

suatu perbuatan dimana para pihak Tergugat telah melanggar suatu

perjanjian yang telah disepakti dengan pihak Penggugat mengenai

berakhirnya waktu sewa menyewa rumah yang semestinya telah

berakhir pada 1 Agustus 2014. Dimana majelis hakim telah melihat

Universitas Sumatera Utara


74

para pihak Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah memaksa

pihak Penggugat untuk memperpanjang masa sewa rumah dan tanah

yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini. Dalam perkara ini

pihak majelis hakim juga melihat bahwa mengenai Surat Perjanjian

Menyewa Tempat tanggal 1 Agustus 2014 dengan obyek rumah yang

terletak di Desa Intaran, Sanur Kelod, Denpasar Selatan, Kota

denpasar yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah sah sebagai

pengganti Akta Perubahan dan Perjanjian Sewa Menyewa No. 627

tanggal 28 Juli 1995 sebagai alat bukti otentik yang dibuat dihadapan

notaris, yang masa berakhirnya tetap pada 1 Agustus 2014. Maka

dengan begitu para pihak dari Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III

untuk memiliki itikad baik untuk mengosongkan rumah dan tanah

yang disewanya, namun sikap dari para pihak Tergugat juga enggan

untuk mengosongkan rumah dan tanah tersebut. Maka berdasarkan hal

ini majelis hakim menganggap bahwa pihak para penyewa atau para

Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus

bertanggung jawab atas perbuatannya.

B. Saran

1. Agar dalam perjanjian sewa menyewa sebelum membuat surat

perjanjian, kedua belah pihak yang membuat kesepakatan hendaknya

dapat menghadirkan saksi-saksi sebagai penengah atau mediator. Agar

jika terdapat permasalahan dikemudian hari, para saksi tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara


75

dijadikan sebagai orang-orang penengah untuk dapat meluruskan

dalam permasalahan yang ada.

2. Agar para pihak memenuhi kewajiban masing-masing sampai dengan

berakhirnya perjanjian sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan

tidak timbul saling sengketa antara para pihak dalam perjanjian

tersebut.

3. Agar para pihak jika timbul perselisihan hendaknya terlebih dahulu

diselesaikan secara musyawarah. Jika dengan musyawarah tidak

tercapai kata sepakat barulah dilakukan melalui pengadilan.

Universitas Sumatera Utara


76

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Kencana Pranada Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta, 2008

Algra, N.E et al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

Bina Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 1983.

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233

sampai 1456 BW, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Baros, Wan Sadjaruddin, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU Press, 1992.

Badrulzaman et al, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya

Bhakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, 1991.

Djamin, Djanius dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi

Kuangan dan Perbankan, Pernabas, Medan, 2000.

Erawati, Elly-Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,

Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010.

Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,

Liberty, Yogyakarta, 1984.

Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1984.

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cet 2, Alumni, Bandung, 1986.

Universitas Sumatera Utara


77

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian, Asas Proposionalitas Dalam Kontrak

Komersial, kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cet 2, 2011.

H.S, Salim, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta, 2004.

Ibrahim, Johanes, Cross Default and Cross Colleteral sebagai Upaya

Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004.

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia suatu Kebutuhan yang Didambakan,

Alumni, Bandung, 2006.

Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-

asas Hukum Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2000.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

_______________________________, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Marzuki, Peter Muhammad, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika

Volume 18, No. 3 Mei Tahun 2003.

Purba, Hasim, Modul Kuliah Hukum Perikatan, Perpustakaan USU, Medan, 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan

Tertentu, Sumur, Bandung, 1965.

Prawirohamidjojo, Soetojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam

Rangka Memperingati Dies Natalis XXXVIII Universitas Airlangga

Surabaya, 11 November 1992.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1976.

Universitas Sumatera Utara


78

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, 2005.

_________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1979.

_________, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya

Paramita, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1986.

Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979.

__________. Hukum Perikatan-perikatan pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung,

1987.

Satrio, J, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya, Bandung, 1992.

_______, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,

1986.

Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,

2004.

Syamsuddin, Mohd Syaufii, Perjanjian-perjanjian dalam Hubungan Industrial,

Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005.

Sjahdeini, Sutan Remi, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbangan bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,

Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perutangan Bagian A, Seksi Hukum

Perdata, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980.

Universitas Sumatera Utara


79

Sirait, Ningrum Natasya, Hukum kontrak Bisnis, Diktat Hukum Perusahaan

Megister Kenotariatan USU, Medan, 2010.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, Edisi II, 1995.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek).

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai