Anda di halaman 1dari 105

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN PERJANJIAN

WARALABA/FRANCHISE ALFAMART DI KOTA MEDAN


SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SALSABILA BATUBARA
160200453

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN PERJANJIAN

WARALABA/FRANCHISE ALFAMART DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Salsabila Batubara
NIM: 160200453

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr.Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum


NIP: 196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS Zulfi Chairi, SH., M.Hum


NIP. 196204211988031004 NIP. 197108012001122006

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : SALSABILA BATUBARA

NIM : 160200453

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI :ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN

PERJANJIAN WARALABA/FRANCHISE ALFAMART

DI KOTA MEDAN

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis bukan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah
orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka


segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2020

Salsabila Batubara

Nim. 160200453

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat dan

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul “Analisis

Hukum Mengenai Penerapan Perjanjian Waralaba/Franchise Alfamart Di Kota

Medan” untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka

memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan,

dukungan dan doa dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Prof Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh

mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ok. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakulas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


6. Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Marianne Magda, SH., M.Kn, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

8. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I, penulis

mengucapkan terima kasih karena telah sabar, banyak menuntun dan

mengarahkan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

9. Zulfi Chairi, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, penulis mengucapkan

terima kasih karena telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan dari awal

hingga akhir penulisan skripsi ini.

10. Seluruh dosen dan staf administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

11. Teristimewa kepada Papa H.Ir. Alimuddin Batubara dan Mama Ir. Sakinah, yang

selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

12. Terima kasih kepada Anggi Nadhifah, Henny Blackpink, Tung Nada, Windi

Syafira, Vivi Widia, Cintya Yoneil, Kevindboy, Angga Ria, Nicke, Karin, Syarif

Onta, Adrina Siregar, Riza Fadli.

13. Terimakasih Kepada Teman-teman Grup Stambuk 2016 yang telah memberikan

semangat kepada penulis.

14. Terimakasih Kepada Teman-teman Departemen Hukum Perdata Stambuk 2016

yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

ii

Universitas Sumatera Utara


Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua

dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Medan, Januari 2020

Salsabila Batubara
160200453

iii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Salsabila Batubara*
Hasim Purba**
Zulfi Chairi***

Format bisnis waralaba merupakan format bisnis yang mampu


meningkatkan pengembangan perekonomian dan merupakan sistem yang tepat
bagi terciptanya pemerataan kesempatan berusaha. Saat ini pengembangan usaha
melalui sistem waralaba mulai banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di
Indonesia sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi, waralaba merupakan suatu
alternatif lain di samping saluran konvensional yang dimiliki perusahaan sendiri.
Cara ini memungkinkan untuk mengembangkan saluran distribusi tanpa harus
membutuhkan investasi besar-besaran dari pihak induknya. Waralaba sendiri
adalah sebuah format usaha baru yang saat ini sedang menjamur di Indonesia.
Fenomena ini dapat kita buktikan dengan semakin banyaknya usaha-usaha
waralaba di Indonesia. Perkembangan ini sepatutnya memberi nilai positif bagi
pertumbuhan ekonomi di Indonesia kerena dapat menghasilkan devisa bagi
negara. Adapun Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan Skripsi ini
adalah bagaimana perkembangan asas hukum perjanjian dalam sistem hukum di
Indonesia, bagaimana pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia dan
bagaimana penerapan perjanjian waralaba Alfamart di Kota Medan.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan empiris.
Metode pendekatan hukum normatif yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan
atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum,
dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan
pengadilan dan bahan hukum lainnya. Penelitian empiris adalah menelaah hukum
sebagai pola perilaku yang ditujukan pada penerapan peraturan hukum.
Pendekatan yuridis empiris ini digunakan karena untuk mendukung data normatif
Penerapan perjanjian waralaba Alfamart dari sisi perlindungan yang
dilakukan oleh franchisor yakni pihak Alfamart terhadap franchisee terkait
pengelolaan bisnis waralaba yang dilakukan yaitu dalam bentuk dukungan dan
bantuan pembenahan dari awal untuk memulai bisnis dari awal lagi. Franchisor
selalu memberikan kontrol dan menjaga komunikasi dengan franchisee sehingga
apabila franchisee mengalami keadaan yang tidak diinginkan, akan lebih mudah
ditanggapi dan diselesaikan. Selain dari perlindungan hukum yang telah
dipaparkan di atas, perlindungan hukum yag dapat dilakukan para pihak yakni
subyek pelaku franchisee dan franchisor adalah perlindungan hukum preventif
dan perlindungan represif.
1

Kata Kunci : Perjanjian, Waralaba, Perlindungan Hukum

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................... .. 1

B. Rumusan Masalah ................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ 7

D. Keaslian Penulisan.................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9

F. Metode Penulisan .................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 17

BAB II ASAS HUKUM PERJANJIAN DAN PERKEMBANGAN DALAM


SISTEM HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Sistem Hukum Perjanjian .................................. .. 19

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian .................................................... .. 24

C. Perkembangan Hukum Perjanjian ............................................. .. 30

D. Fungsi Hukum Perjanjian ........................................................... .. 35

BAB III PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG

PERJANJIAN FRANCHISE/WARALABA

A. Pengertian dan Pengaturan Bisnis Waralaba di Indonesia ....... 38

B. Jenis-Jenis Waralaba ................................................................ 47

C. Pihak-Pihak dalam Waralaba ................................................... 52

D. Aspek Hukum Bisnis Waralaba................................................ 53

Universitas Sumatera Utara


BAB IV PENERAPAN PERJANJIAN WARALABA/ FRANCHISE

ALFAMART DI KOTA MEDAN

A. Keberadaan Waralaba Alfamart di Kota Medan ...................... 59

B. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba/Franchise Alfamart di Kota

Medan ....................................................................................... 66

C. Hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Waralaba/Franchise

Alfamart di Kota Medan .......................................................... 75

D. Bentuk Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Perjanjian

Waralaba/Franchise Alfamart ................................................... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 92

B. Saran ........................................................................................ 93

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 95

vi

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Waralaba sebagai bentuk usaha banyak mendapat perhatian para pelaku

bisnis, dikarenakan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan

perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah

untuk berusaha, ini berarti, Waralaba dapat memberikan kesempatan kerja,

pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat.

Waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac

Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi

penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya gagal, namun dialah pertama kali

memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS (Amerika Serikat). Kegagalan

tersebut menginspirasi pengusaha lain untuk mencoba metode yang sama dan

terbukti sukses, seperti John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Tehnik atau metode

bisnis tersebut telah menjamur dipelbagai negara seperti Inggris dan di negara-

negara maju lainnya.1

Waralaba atau waralaba yaitu perusahaan atau seseorang (Franchisee)

yang diberikan hak untuk menggunakan merek, cipta, paten untuk menyalurkan

produk/jasa pihak (Franchisor) dengan memberikan imbalan (fee). Dengan kata

lain, waralaba adalah perikatan/perjanjian dimana salah satu pihak diberikan hak

1
Sonny Sumarsono, Manajemen Bisnis Waralaba, Yogyakarta, Graha Ilmu, hal. 2-3

Universitas Sumatera Utara


2

untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual (HKI)

penemuan ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan

berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain dalam rangka penyediaan

dan atau penjualan barang atau jasa.2

Badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain

untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau

penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki disebut dengan Pemberi Waralaba

(Franchisor), sedangkan badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk

memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau

penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba (Franchisor) disebut

dengan Penerima Waralaba/Franchisee.

Dalam Perjanjian ada beberapa asas penting yaitu asas kebebasan

berkontrak, sepakat mengikatkan diri, asas kepastian hukum, asas itikad baik, asas

kepercayaan, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kepribadian, asas

kebiasaan, asas rebus sic stantibus.

Waralaba bukanlah suatu industri baru bagi Indonesia, legalitas yuridisnya

sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah Nomor.16 Tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba, yang

disusul dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Peraturan ini kemudian dirubah dengan

Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan


2
Siti Nurviani, Waralaba sebagai suatu perikatan atau perjanjian, Juni 2017 dari
http://www.untukku.com/artikel-untukku/waralaba-sebagai-suatu-perikatanatauperjanjian-
untukku.html yang diakses pada tanggal 28 Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara


3

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-

DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Namun menurut Gunawan

Widjaja pengaturan mengenai waralaba di Indonesia tidaklah seketat di negara-

negara lain, seperti di Amerika Serikat, yang mengatur waralaba dalam berbagai

peraturan perundang-undangan seperti ketentuan Federal yang diatur dalam Titel

16, Chapter 1 Federal Trade Commission (FTC), Sub Chapter D Part 436 tentang

Disclosure Requirements And Prohibitions Concerning Franchising And Business

Opportunity Ventures, maupun dalam aturan negara bagian (state) berdasarkan

pada Uniform Waralaba and Business Opportunities Act (UFBO).3

Penerapan perjanjian waralaba Alfamart di Kota Medan dari sisi

perlindungan yang dilakukan oleh Franchisor yakni pihak Alfamart terhadap

Franchisee terkait pengelolaan bisnis waralaba, bentuk perlindungan yang

dilakukan yaitu dalam bentuk dukungan dan bantuan pembenahan dari awal untuk

memulai bisnis dari awal lagi. Franchisor selalu memberikan kontrol dan

menjaga komunikasi dengan Franchisee sehingga apabila Franchisee mengalami

keadaan yang tidak diinginkan, akan lebih mudah ditanggapi dan diselesaikan.

Jenis perlindungan hukum bagi Franchisee telah di terapkan dalam bisnis

waralaba Alfamart.

Format bisnis waralaba merupakan format bisnis yang mampu

meningkatkan pengembangan perekonomian dan merupakan sistem yang tepat

bagi terciptanya pemerataan kesempatan berusaha. Saat ini pengembangan usaha

melalui sistem waralaba mulai banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di

3
Gunawan Widjaja, Franchise Di Indonesia, http: www.Franchise.com, yang diakses
pada tanggal 29 Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara


4

Indonesia sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi, waralaba merupakan suatu

alternatif lain di samping saluran konvensional yang dimiliki perusahaan sendiri.

Cara ini memungkinkan untuk mengembangkan saluran distribusi tanpa harus

membutuhkan investasi besar-besaran dari pihak induknya.

Dalam terjemahan bebas, waralaba adalah kontrak atau persetujuan lisan

atau tulisan yang dinyatakan secara tegas dimana pihak yang disebut pewaralaba

memberikan hak kepada orang lain atau yang disebut terwaralaba untuk

menggunakan nama dagang, merek jasa, merek dagang, logo, atau karakteristik

yang berhubungan, dimana terdapat kepentingan bersama dalam bisnis yang

menawarkan, menjual, mendistribusikan barang-barang atau jasa lainnya, dimana

Franchisee harus melakukan pembayaran biaya waralaba (waralaba fee) langsung

atau tidak langsung. Selama kontrak berjalan pihak terwaralaba juga harus

membayar royalty fee yaitu kontribusi bagi hasil dari pendapatan (biasanya hasil

penjualan), lebih jelasnya royalty fee adalah jumlah uang yang dibayarkan secara

periodik oleh terwaralaba kepada pewaralaba sebagai imbalan dari pemakaian hak

waralaba yang merupakan persentase dari omzet penjualan.4

Waralaba sendiri adalah sebuah format usaha baru yang saat ini sedang

menjamur di Indonesia. Fenomena ini dapat kita buktikan dengan semakin

banyaknya usaha-usaha waralaba di Indonesia baik yang merupakan waralaba

asing seperti KFC, Mc Donald ataupun waralaba lokal seperti Indomart, Alfamart

dan merk waralaba lainnya. Perkembangan ini sepatutnya memberi nilai positif

4
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 11

Universitas Sumatera Utara


5

bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia kerena dapat menghasilkan devisa bagi

negara.

Adanya kepentingan antara dua belah pihak yang terlibat dalam bisnis

waralaba inilah maka terjadilah suatu bentuk kerjasama bisnis. Bentuk kerjasama

yang melibatkan antara pengusaha yang kekurangan modal dengan pihak yang

ingin membuka usaha dengan tidak/belum memiliki pengalaman atau keahlian

berbisnis. Kedua pihak ini melakukan kesepakatan yang biasanya disahkan dalam

sebuah kontrak atau perjanjian bisnis. Waralaba merupakan suatu perjanjian yang

bertimbal balik karena baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba

keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasitertentu. Melalui kontrak tercipta

perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada

masing-masing pihak yang membuat kontrak.5

Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah

mereka buat. Kontrak sangat bermanfaat sebagai pegangan, pedoman, dan alat

bukti bagi pihak pembuatnya. Adanya kontrak yang baik mencegah terjadinya

perselisihan, karena semua perjanjian sudah diatur dengan jelas sebelumnya. Pada

praktek saat ini banyak waralaba konvensional yang memakai konsep yang

cenderung menguntungkan bagi pewaralaba dan merugikan terwaralaba, misalnya

dalam penetapan royalty fee. Waralaba konvensional umumnya memberikan

kewajiban royalty fee pada terwaralaba walaumpun terwaralaba dalam kerugian.

Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak mitra selaku Franchisee.6

5
Gunawan Widjaja, Waralaba, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 776
6
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak, Visimedia,
Jakarta, 2008, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara


6

Waralaba dalam dunia perdagangan merupakan salah satu sistem yang

dianggap sangat menguntungkan ini telah dibuktikan oleh berbagai perusahaan

nasional maupun perusahaan berkaliber internasional. Di Indonesia aturan hukum

mengenai waralaba belum lengkap. Indikator hal ini dapat kita cermati dari

ketentuan hukum yang mengatur bisnis waralaba, yang sampai saat ini baru diatur

dalam satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu (1) Peraturan Menteri, sebagaimana

disebut di atas.7

Dalam hal penyelenggaraannya waralaba diatur dalam Peraturan Menteri

Perdagangan No. 57/M-Dag/Per/9/2014 Tentang Perubahan Kedua Peraturan

Menteri Perdagangan No. 53/M-Dag /Per / 8/2012 mengenai penyelenggaraan

waralaba yang mengatur mengenai syaratsyarat pendirian waralaba dan daftar

dokumen-dokumen apa saja yang harus dilengkapi untuk mendapatkan STPW

(Surat Tanda Pendaftaran Waralaba). Kegiatan waralaba juga wajib didaftarkan

sesuai ketentuan UU No.3 Tahun 1982 Tentang wajib Daftar Perusahaan. Pasal 1

huruf a menjelaskan UU No.3 1982 menjelaskan “daftar perusahaan adalah daftar

catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan UU ini dan

peraturan pelaksana dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap

perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran

perusahaan”.8

Kerja sama bisnis yang saling menguntungkan dalam sistem waralaba

merupakan suatu kebutuhan karena baik pemberi maupun penerima waralaba

7
Gunawan Widjaja, Waralaba, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 37
8
Zulfi Chairi,Aflah, Utari Maharani Y, Aspek Hukum keberadaan Waralaba Minimarket
terhadap Toko Tradisional di Kota medan, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Vol 6 No 2: Desember
2019, hal. 120

Universitas Sumatera Utara


7

mempunyai kepentingan yang sama untuk mengembangkan usahanya dalam suatu

kerangka sistem yang terpadu dan terkait satu sama lain.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas adapun permasalahan dalam penulisan

skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana perkembangan asas hukum perjanjian dalam sistem hukum di

Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia ?

3. Bagaimana penerapan perjanjian waralaba Alfamart di Kota Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, yaitu

1. Untuk mengetahui perkembangan asas hukum perjanjian dalam sistem

hukum di Indonesia

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum perjanjian waralaba di Indonesia

3. Untuk mengetahui penerapan perjanjian waralaba Alfamart di Kota Medan.

Manfaat penulisan merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama,

maka dengan demikian, dari penulisan ini diharapkan akan dapat memberi manfaat,

antara lain :

1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang bentuk hubungan

hukum dalam bisnis waralaba dan pengaturan hukum tentang perbuatan

melawan hukum menurut hukum perdata lanjut bagi masyarakat umum serta

Universitas Sumatera Utara


8

kiranya dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu pengetahuan

khususnya dalam ilmu hukum waralaba.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat

dan bagi para praktisi hukum, khususnya bagi para pihak dalam perjanjian

waralaba agar lebih mengetahui bentuk perlindungan hukum dan kepastian

hukum yang diberikan kepada para pihak dalam pelaksanaan perjanjian bisnis

waralaba Alfamart.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan

fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga skripsi ini

tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum

Mengenai Penerapan Perjanjian Waralaba Alfamart Di Kota Medan” adalah hasil

pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum

pernah ada yang mengangkatnya ataupun membuatnya.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha

penulis sendiridengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing

penulis tanpa adanya unsur penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lain yang dapat

merugikan pihak tertentu. Dan untuk itu Penulis dapat mempertanggungjawabkan

atas semua isi yang terdapat di dalam skripsi ini dan keaslian penulisan skripsi

ini.

Universitas Sumatera Utara


9

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda, overeenkomst dan

verbintenis. Perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan

sebagai wilsovereensteming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Pengertian

perjanjian ini mengandung unsur perbuatan, satu orang atau lebih terhadap satu

orang lain atau lebih dan mengikatkan dirinya. 9 Perjanjian adalah hubungan

hukum antara dua orang atau lebih, subjek hukum yang saling mengikatkan diri

didasarkan kepada kata sepakat mengenai objek tertentu dengan tujuan untuk

menimbulkan akibat hukum.

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali dipergunakan istilah perjanjian,

meskipun hanya dibuat secara lisan saja. Tetapi di dalam dunia usaha, perjanjian

adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut bidang usaha yang

digeluti. Mengingat akan hal tersebut, dalam hukum perjanjian merupakan suatu

bentuk manifestasi adanya kepastian hukum. Oleh karena itu hendaknya setiap

perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga

tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Sehubungan dengan perjanjian Pasal

1313 KUH Perdata memberikan definisi sebagai berikut “Suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih”.

9
Chairun Pasaribu, Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta, Rineka
Cipta, 2011, hal.26

Universitas Sumatera Utara


10

Menurut R. Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap karena dengan

dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan

perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi tersebut :10

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum,

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 KUH Perdata.

Sehingga menurut perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

atau lebih lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga

sangat luas.

R. Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu

hubungan perikatan. Perjanjian adalah merupakan bagian dari perikatan, jadi

perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan dan perikatan itu mempunyai

cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Perikatan itu sendiri diatur dalam

Buku III KUHPerdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber

dari perjanjian dan undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah

sama artinya dengan kontrak.11

Pendapat yang senada juga di ungkapkan oleh para sarjana hukum perdata,

pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata

10
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994, hal. 49.
11
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal.1.

Universitas Sumatera Utara


11

itu tidak lengkap dan terlalu luas. R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan

perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua

belah pihak, dimana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.12

Menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH

Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan

dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan

sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.13

Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu

perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah). Keempat unsur

tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut

subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur

pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur

objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari

para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian.

Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan

objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak

terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat

dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam

bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif),

maupun batal demi hukum (dalam hak tidak terpenuhinya unsur objektif).

Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian telah

memenuhi semua syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian telah memenuhi

12
R. Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung , 2003, hal. 9
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 78

Universitas Sumatera Utara


12

rukun dan syarat-syaratnya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta

berlaku sebagai hukum, dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat

hukum yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak terkait, sebagaimana tertuang dalam

Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Pada asasnya perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya,

seperti tampak dalam bunyi pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata, hal ini juga

ditegaskan dalam Pasal 1315 KUH Perdata. Perjanjian itu merupakan sumber

perikatan yang terpenting, karena perikatan adalah suatu pengertian abstrak

sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa yang

nyata mengikat para pihak yang membuat suatu perjanjian.14

2. Pengertian Waralaba

Pada awalnya, istilah waralaba tidak dikenal dalam kepustakaan hukum

Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena memang waralaba sejak awal tidak

terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun, karena

pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka waralaba kemudian

masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia.

Istilah waralaba selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan

masyarakat, khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian

banyak pihak untuk mendalaminya. Waralaba berasal dari kata “wara” yang

14
Chairun Pasribu, Suhrawardi Lubis, Op.Cit, hal. 27

Universitas Sumatera Utara


13

berarti lebih atau istimewa dan “laba” berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha

yang memberikan keuntungan lebih/istimewa.15

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) PP 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

menyatakan Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan

atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat

dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-

DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba (selanjutnya disingkat

Permendag 31 Tahun 2008) menyatakan bahwa, waralaba yaitu hak khusus yang

dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan

ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti

berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan

perjanjian waralaba.

Asosiasi Waralaba Indonesia sendiri memberikan arti yang berbeda

tentang waralaba, yang dimaksud dengan waralaba ialah suatu sistem

pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek

(Franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk

melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang

telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu. 16

15
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.25
16
Ibid, hal.21

Universitas Sumatera Utara


14

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan empiris.

Metode pendekatan hukum normatif yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan

atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang

terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum,

dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan

pengadilan dan bahan hukum lainnya. 17 Penelitian empiris adalah menelaah

hukum sebagai pola perilaku yang ditujukan pada penerapan peraturan hukum.

Pendekatan yuridis empiris ini digunakan karena untuk mendukung data

normatif.18

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang

meliputi tiga bahan hukum, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat kepada masyarakat, seperti Undang-Undang Dasar,

peraturan perundang-undangan, yang berhubungan dengan penulisan ini

adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor

28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2007 tentang Waralaba

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai

bahan hukum primer. Yang digunakan dalam hal ini berupa buku-buku,
17
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Jakarta, 2010, hal.36
18
Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 31

Universitas Sumatera Utara


15

artikel internet, skripsi, dan hasil-hasil penelitian dan hasil karya

kalangan hukum yang berkaitan dengan penulisan ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder,bahan hukum tersier yang digunakan berupa kamus, baik

kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris maupun kamus hukum

di internet.19

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan dalam

penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu

dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

diperoleh dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh teori-teori

atau bahan-bahan yang berkaitan dengan judul tulisan yaitu mengenai

permasalahan perjanjian waralaba.

4. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini dengan cara

kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau

tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka dan studi

kasus kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ed.1, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal. 13-14

Universitas Sumatera Utara


16

Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan membagi dalam lima bab. Tata

urutan sistematikanya sebagai berikut:

Bab I : Terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang, diikuti

dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan

pustaka, keaslian penulisan, metode penelitian, dan yang terakhir

sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan Asas Hukum Perjanjian Dan Perkembangan Dalam

Sistem Hukum Perjanjian Di Indonesia terdiri dari Pengertian dan

Sistem Hukum Perjanjian, Asas-Asas Hukum Perjanjian,

Perkembangan Hukum Perjanjian dan Fungsi Hukum Perjanjian.

BAB III : Merupakan Pengaturan Hukum Di Indonesia tentang Perjanjian

Waralaba subbabnya terdiri dari Pengertian dan Pengaturan Bisnis

Waralaba di Indonesia, Jenis-Jenis Waralaba, Pihak-Pihak dalam

Waralaba dan Aspek Hukum Bisnis Waralaba.

BAB IV : Merupakan Penerapan Perjanjian Waralaba Alfamart Di Kota

Medan yang subbabnya terdiri dari Pelaksanaan Perjanjian

Waralaba Alfamart di Kota Medan, Hambatan dalam pelaksanaan

Perjanjian Waralaba Alfamart di Kota Medan dan Bentuk

Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Perjanjian Waralaba

Alfamart.

BAB V : Merupakan Penutup

Universitas Sumatera Utara


BAB II

ASAS HUKUM PERJANJIAN DAN PERKEMBANGAN DALAM SISTEM

HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Sistem Hukum Perjanjian

Kehidupan sehari-hari seringkali dipergunakan istilah perjanjian,

meskipun hanya dibuat secara lisan saja. Dalam dunia usaha, perjanjian adalah

suatu hal yang sangat penting karena menyangkut bidang usaha yang digeluti.

Mengingat akan hal tersebut, dalam hukum perjanjian merupakan suatu bentuk

manifestasi adanya kepastian hukum. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian

dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan

kepastian hukum dapat terwujud. Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313

KUHPerdata memberikan definisi sebagai berikut “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih”.

Menurut R. Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap karena dengan

dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan

perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi tersebut :

Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, menambahkan perkataan “atau

saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. 20

20
R. Setiawan, Op.Cit, hal. 49.

17

Universitas Sumatera Utara


18

Menurut perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum,

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih

lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat

luas.

R. Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu

hubungan perikatan. Perjanjian adalah merupakan bagian dari perikatan, jadi

perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan dan perikatan itu mempunyai

cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Perikatan itu sendiri diatur dalam

Buku III KUHPerdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber

dari perjanjian dan undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah

sama artinya dengan kontrak.21

Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh para sarjana hukum perdata,

pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata

itu tidak lengkap dan terlalu luas. R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan

perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua

belah pihak, dimana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.22

Menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal

1313 KUHPerdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu

21
R. Subekti, Op.Cit, hal. 1.
22
R. Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hal. 9

Universitas Sumatera Utara


19

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 23

Setiap perjanjian di dalamnya mengandung beberapa unsur yang satu sama

lain saling berhubungan, sebagaimana yang dimaksud dengan pengertian unsur

didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Unsur adalah bagian terkecil dari suatu

benda yang tidak dapat dibagibagi lagi, sehingga di dalam suatu perjanjian juga

terdapata unsurunsur yang terdiri dari, sebagai berikut :24

a. Unsur Essentialia

Merupakan bagian pokok dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu, harus

mutlak adanya, sebab apabila perjanjian tidak memiliki bagian pokok,

perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat. Misalnya, dalam perjanjian jual

beli, bagian pokoknya harus ada harga barang yang diperjualbelikan.

b. Naturalia

Merupakan bagian yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan

yang bersifat mengatur. Misalnya, dalam jual beli, unsur naturalianya

terletak pada kewajiban penjual untuk menjamin adanya cacat tersembunyi.

c. Accidentalia

Merupakan bagian tambahan dalam perjanjian. Tambahan tersebut

dinyatakan atau ditetapkan sebagai peraturan yang mengikat para pihak atau

sebagai undang-undang yang harus dilaksanakan. Misalnya, perjanjian jual

beli mobil, bukan hanya ada mesin dan karoserinya, melainkan ditambahkan

harus ada AC, tape, dan variasinya.


23
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 78
24
R. Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 11

Universitas Sumatera Utara


20

Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu

perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah). Keempat unsur

tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut

subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur

pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur

objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari

para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian.

Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan

objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak

terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat

dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam

bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif),

maupun batal demi hukum (dalam hak tidak terpenuhinya unsur objektif).

1. Sepakat mengikatkan diri (konsensualisme)

Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic

Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the

agreement”. Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak

yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas

konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan

kehendak adalah persepakatan antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi)

perjanjian.25

25
R.Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum,
Alumni, Bandung, 2009, hal. 12

Universitas Sumatera Utara


21

Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak

ada kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan

ancaman yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan

apabila perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan

kerugian secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan

(dwaling) adalah suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian

atau sifat-sifat penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian.

Penipuan (bedrog) merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan

dengan menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak.

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu

pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk

pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala

macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh

parapihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan

penerimaan yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan

simbol.

2. Kecakapan para pihak

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan

hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap. Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat

perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah

Universitas Sumatera Utara


22

pengampuan dan perempuan yang telah kawin. Ketentuan KUH Perdata mengenai

tidak cakapnya perempuan yang telah kawin melakukan suatu perjanjian kini telah

dihapuskan, karena menyalahi hak asasi manusia.26

3. Suatu hal tertentu

Menurut KUHPerdata hal tertentu adalah :

a. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus

suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit

ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUHPerdata);

b. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUHPerdata), contohnya

seorang pedagang telur, pedagang ayam ternak harus jelas barang

tersebut ada didalam gudang, jual beli tanah harus jelas ukuran luas tanah

dan letak dimana tempatnya. 27

4. Suatu sebab yang halal

Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada

pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang,ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata).

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru

dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Dalam perjanjian terdapat beberapa asas penting yang perlu diketahui.

Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

26
Ibid, hal.12
27
Ibid, hal.16

Universitas Sumatera Utara


23

1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah bahwa orang

bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun,

dengan bentuk dan isi apapun serta bebas untuk menentukan hukum mana yang

akan dipilih dalam menyelesaikan perjanjian tersebut. Asas ini merupakan salah

satu asas utama dan sangat penting dalam suatu perjanjian. Pada prinsipnya suatu

kontrak hanyalah urusan-urusan para pihak semata-mata sehingga campur tangan

pihak lain tidak diperlukan. Para pihak dalam suatu kontrak bebas mengatur

sendiri kontrak tersebut sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of

contract) dengan syarat bahwa kebebasan berkontrak ini dibatasi dengan

pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata sepanjang

memenuhi ketentuan :

a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;

b. Tidak dilarang oleh undang-undang;

c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

d. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak ini bersifat relatif sepanjang

kebebasan berkontrak tersebut dilakukan dengan bertanggung jawab, yaitu tidak

melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan

berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

Universitas Sumatera Utara


24

d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.28

Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak ini para pihaklah yang

berhak menentukan dengan siapa dia melakukan ikatan perjanjian dan setiap

orang bebas menentukan ikatan perjanjiannya yaitu menyangkut isi perjanjian

yang dibuat. Di samping itu para pihak juga berhak menentukan hukum yang

hendak mereka pilih untuk mengatur perjanjian mereka, hukum yang berlaku

sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa apabila

timbul masalah dari perjanjian yang mereka buat.

2. Sepakat mengikatkan diri (konsensualisme)

Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic

Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the

agreement”. Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak

yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas

konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan

kehendak adalah persepakatan antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi)

perjanjian.29

Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak

ada kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan

ancaman yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan

apabila perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan

kerugian secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan

28
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009, hal. 44
29
R.Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan, Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum,,
Alumni, Bandung , 1999, hal. 12

Universitas Sumatera Utara


25

(dwaling) adalah suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian

atau sifat-sifat penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian.

Penipuan (bedrog) merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan

dengan menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak.

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu

pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk

pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala

macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh

parapihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan

penerimaan yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan

simbol.

3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Asas pacta sunt servanda merupakan asas dalam perjanjian yang

berhubungan dengan mengikatnya perjanjian. Yaitu bahwa semua perjanjian yang

dibuat oleh para pihak, asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka mengikat sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Pasal 1338 KUHPerdata. Jadi

asas pacta sunt servanda ini merupakan asas bahwa para pihak harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak.

4. Asas itikad baik (good faith)

Universitas Sumatera Utara


26

Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, suatu kontrak haruslah

dilaksanakan dengan itikad baik (tegoeder trouw). Rumusan tersebut memberikan

arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh

para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati

sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. 30

Itikad baik tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak, tetapi harus pula

mengacu pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab itikad baik

merupakan bagian dari masyarakat. Itikad baik mencerminkan standar keadilan

atau kepatutan masyarakat. Hal lain yang mendasari keberadaan Pasal 1338

KUHPerdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang

dibuat hendaknya perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk

merugikan kepentingan para pihak maupun pihak lain di luar perjanjian. Rumusan

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik

bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak. Unsur itikad baik hanya

disyaratkan dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan

suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah

dicakup oleh unsur kausa yang legal dari Pasal 1320 KUHPerdata.31

5. Asas Kepercayaan

30
Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi
Perjanjian, Elips Project, Jakarta, 1993, hal. 3
31
Ibid

Universitas Sumatera Utara


27

Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang

akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di

antara mereka dibelakang hari.32

6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki kedua belah

pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan

untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi

melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

7. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, dimana berkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

8. Asas Kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata dinyatakan “pada umumnya seseorang

tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata

menyatakan “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini

32
Salim HS, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta
, 2006, hal. 75

Universitas Sumatera Utara


28

mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku

bagi mereka yang membuatnya. 33

9. Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak

hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang

menurut kebiasaan lazim diikuti. Diatur dalam Pasal 1339 Jo Pasal 1347

KUHPerdata, Pasal 1339 KUHPerdata, dinyatakan : Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga

untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang. Pasal 1347 KUHPerdata dinyatakan syarat-syarat

yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk

dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.

10. Asas Rebus sic stantibus

Yaitu asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara

sepihak apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan

yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati. Asas rebus

sis stantibus sebagai jalan untuk menangguhkan dan membatalkan perjanjian

dengan memberi aturan atau persyaratan kepada negara atau para pihak yang tidak

dapat melakukan kewajibannya atau membatalkan perjanjian dengan syarat-syarat

tertentu yang juga dituangkan dalam isi perjanjian dan disepakati oleh para

pihak.34

33
Ibid.
34
Ibid, hal.77

Universitas Sumatera Utara


29

C. Perkembangan Hukum Perjanjian

Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah

menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan

penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang

dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi

Jerman. Adapun sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini

adalahhukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa

Kontinental) oleh negara-negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain.

Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari

Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon

dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali

berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law yaitu hukum

yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem

hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.

Hukum di negara dengan sistem civil law pada umumnya ditujukan untuk

menetapkan suatu kaidah atau norma yang berada di suatu lingkungan masyarakat

untuk diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum

merupakan bagian integral dari kehidupan bersama yang mengatur dan menguasai

sesama manusia. Jadi dapat dikatakan hukum terdapat dalam masyarakat manusia

sehingga dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum. Hal ini sesuai

adagium ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada

hukum. Berbeda dengan sistem hukum common law yang tidak mengenal

pembagian secara prinsipil atas hukum publik dan hukum perdata, maka pada

Universitas Sumatera Utara


30

sistem hukum civil law pembagian hukum publik dan hukum perdata (privat)

merupakan hal yang sangat esensial.

Hukum Publik lazimnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur

kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya.

Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa. Sedangkan

Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan

kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga

dan di dalam pergaulan masyarakat.

Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak. Perkataan

“Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil,

yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia atau

masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda.


35
.

Menurut Hukum Positif suatu Perikatan bersumber dari dua hal yaitu dari

perjanjian dan dari undang-undang. Perjanjian baku, perkembangan perdagangan

atau bisnis yang terus berkembang juga diikuti dengan model perjanjian/kontrak

yang smederhana, efisien dan mampu menampung kepentingan para pelaku

perdagangan melalui Perjanjian baku. Pelaku usaha atau penjual, pelaku bisnis

terutama produsen dan kreditur telah menyiapkan klausula-klausula baku yang

dituangkan dalam bentuk perjanjian atau kontrak tertentu.

35
Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata,” Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


31

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat Asas-asas Hukum

yang dapat menjadi tolok ukur guna menentukan substansi suatu klausul dalam

perjanjian/kontrak baku merupakan klausula yang secara di dalam perkembangan

hukum di Indonesia klasusul tersebut secara tidak wajar sangat memberatkan

pihak lainnya. Pasal 1337 dan pasal 1339 KUHPerdata dapat dipakai sebagai

tolok ukur yang dimaksud. Menurut pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa

adalah terlarang apabila kausa itu dilarang dan bertentangan dengan moral atau

dengan ketertiban umum. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-

klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, moral

dan atau ketertiban umum.

Larangan-larangan yang ditentukan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-

undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu kontrak. Perjanjian atau kontrak

pada dasarnya dibuat berlandaskan Asas Kebebasan Berkontrak. Dalam Hukum

Positif hukum perjanjian di Indonesia menganut asas terbuka yang artinya

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian berisi apa saja yang lazim disimpulkan dalam pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yaitu “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hukum perjanjian

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban

umum dan kesusilaan. Meskipun kebebasan para pihak sangat esensial, namun

kebebasan tersebut ada batas-batasnya.36

36
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 2001, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


32

Perjanjian tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya.

Pertama, pembatasan kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan. Kedua,

status kontrak itu sendiri, contohnya kontrak dalam perdagangan internasional

tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya. Artinya kontrak

paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu).37

Hukum itu adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni dibuat

oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan

tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukum tertentu. Ketiga,

pembatasan mengikat para pihak adalah kesepakatan atau kebiasaan dagang yang

sebelumnya dilakukan para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat

kesepakatan-kesepakatan sebelumnya ini meskipun tidak tertulis, tetapi mengikat.

Perkembangan hukum perjanjian (kontrak) dipacu oleh transaksi

perdagangan dan menjawab tuntutan perdagangan (bisnis) nasional dan

internasional yang butuh kecepatan dan akurasi. Mengingat dalam praktik yang

diaplikasikan dengan hukum perjanjian baku sebagai model mengandung syarat-

syarat yang menguntungkan kedua belah pihak yang diajukan kepada konsumen.

Perjanjian baku diterima karena:

1. Prinsip ekonomi yaitu efisiensi dalam menghadapi tuntutan perkembangan

sosial dan dijadikan model perjanjian dinegara-negara berkembang dan

negara-negara maju.

37
Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung,
2005, hal.27.

Universitas Sumatera Utara


33

2. Dengan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam melayani

konsumen dan

3. Pengusaha berpegang pada prinsip hubungan hukum atas dasar perjanjian

baku yang menyenangkan kedua pihak, maka timbullah hubungan harmonis

antara pengusaha dengan konsumen.

4. Syarat-syarat yang ditetapkan pihak pengusaha ditulis secara lengkap,

diumumkan diberi kesempatan mempelajari secara sempurna hak-hak

mereka tercantum.

D. Fungsi Hukum Perjanjian

Ada dua macam fungsi perjanjian yaitu fungsi yuridis dan fungsi

ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum

bagi para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik)

sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih

tinggi.38

Mark Zimmerman mengemukakan mengenai pandangan yang dimiliki

oleh orang barat tentang fungsi perjanjian, bahwa bagi orang-orang Barat,

perjanjian adalah dokumen hukum yang mengatur hak-hak dan

kewajibankewajiban dari para pihak yang membuatnya. Apabila terjadi

perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian diantara para pihak, dokumen itu

akan dirujuk untuk penyelesaian perselisihan itu. Apabila perselisihan tidak dapat

diselesaikan dengan mudah melalui perundingan diantara para pihak sendiri

(karena memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit), mereka akan

38
H. Salim HS, H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak: Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.23

Universitas Sumatera Utara


34

menyelesaikan melalui proses litigasi di pengadilan. Isi perjanjian itu yang akan

dijadikan dasar oleh hakim untuk menyelesaikan pertikaian itu. 39

Disamping itu perjanjian juga berfungsi untuk mengamankan transaksi

bisnis. Suatu perjanjian dalam bisnis merupakan hal yang sangat penting, karena

dari perjanjian tersebut paling tidak dapat diketahui:40

a. Perikatan apa yang dilakukan, kapan, dan dimana perjanjian tersebut

dilakukan;

b. Siapa saja yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut;

c. Hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang boleh, dan apa

yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;

d. Syarat-syarat berlakunya perjanjian tersebut;

e. Cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan dan pilihan

domisili hukum yang dipilih bila terjadi perselisihan antara para pihak;

f. Kapan berakhirnya kontrak atau hal-hal apa saja yang mengakibatkan

berakhirnya kontrak tersebut;

g. Sebagai alat kontrol bagi para pihak, apakah masing-masing pihak telah

menunaikan kewajiban atau prestasinya atau belum ataukah malah telah

melakukan suatu wanprestasi;

h. Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila di kemudian hari terjadi

perselisihan diantara mereka, misalnya salah satu pihak wanprestasi.

39
Ibid. hal 25
40
Abdullah, Peranan Notaris dalam Pembuatan Kontrak Bisnis. Makalah disajikan pasa
Workshop Pengembangan Unit Revenue Generating untuk Memacu Peningkatan Kualifikasi
Akademik melalui Program Layanan Kepakaran Legal Aspek Industri dan Sektor Usaha, pada
Program Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum, TPSDP, BATCH III 2006, Mataram, 2006,
hal. 1-2.

Universitas Sumatera Utara


35

Termasuk juga apabila ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan

suatu perjanjian dan mengharuskan kedua belah pihak untuk membuktikan

hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian yang dimaksud.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi yang utama dari sebuah perjanjian adalah

fungsi yuridis dimana fungsi ini mengatur hak dan kewajiban dari para pihak,

mengamankan transaksi bisnis, dan mengatur tentang pola penyelesaian sengketa

yang timbul antara kedua belah pihak. Mengingat pentingnya sebuah perjanjian

dalam transaksi bisnis, tentu di dalam pembuatannya diperlukan persyaratan-

persyaratan tertentu sehingga perjanjian tetap berada di dalam koridor-koridor

aturan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG PERJANJIAN

WARALABA

A. Pengertian dan Pengaturan Bisnis Waralaba di Indonesia

Perkembangan hukum di Indonesia mengenai penerapan hukum perjanjian

selama ini hanya terbatas kepada persoalan-persoalan tertentu seperti

permasalahan kredit, hutang-piutang, perkawinan, pembagian waris dan lain-lain.

Seiring dengan berkembangnya zaman salah satu bentuk perjanjian yang sering

digunakan oleh masyarakat dalam melakukan usaha bisnis ataupun dagang adalah

tentang mengenai waralaba yang dimana bisinis waralaba semakin sering

digunakan untuk mengembangkan usahanya dan hubungan bisnis waralaba

tersebut haruslah dibuatkan dalam suatu bentuk perjanjian waralaba.

Waralaba di Indonesia baru mengalami perkembangan yang cukup

membanggakan baru pada awal tahun 2004-an. Walau memang kalau kita menilik

sejarah franchise di Indonesia sudah dirintis sejak 22 tahun silam tepatnya 22

November 1991, ditandai dengan didirikan sebuah Asosiasi Franchise Indonesia,

wadah bagi para pengusaha Franchise. Di Indonesia waralaba telah memiliki

padanan kata yaitu waralaba. Konon ada yang mengartikan, waralaba berasal dari

gabungan kata “wara-wiri” yang berarti bola balik dan “laba” keuntungan. Jadi

waralaba berarti keuntungan yang banyak.

Waralaba Indonesia dimulai dengan masuknya brand-brand Franchise

Asing seperti KFC, McDonalds, Burger King dan Wendys. Dari sanalah

36

Universitas Sumatera Utara


37

kemudian proses benchmarking terjadi.Waralaba lokal timbul dan tumbuh hingga

kini mengalami kejayaan. Pesatnya pertumbuhan Franchise di Indonesia kini

ternyata mempunyai sejarah yang cukup panjang dan berliku. Dalam tulisan ini

kami mencoba untuk mengangkat sebuah proses bagaimana Franchise Indonesia

dikembangkan dan juga bagaimana Asosiasi di Indonesia terbentuk.

Berawal dari sebuah pemikiran bahwa sistem Franchise terbukti sukses

memacu perekonomian di banyak negara Maju seperti Amerika dan beberapa

negara maju lainnya. Tidak hanya itu Franchise juga mampu menyediakan

lapangan pekerjaan bagi cukup banyak tenaga kerja. Sejarah Franchise di

Indonesia berawal dari upaya pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan.

yang melihat sistem waralaba sebagai suatu cara, usaha untuk menggiatkan

perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Maka dimulailah sebuah

usaha untuk mendata usaha Franchise yang ada di Indonesia dengan

menggandeng International Labour Organization (ILO). Untuk proses di

lapangannya sendiri berupa pelaksanaan pengumpulan dan pengelolaan data-data

dilaksanakan oleh LPPM (Lembaga Pengembangan dan Pendidikan Managemen

dengan melakukan “Baseline Study.”

Perkembangan bisnis waralaba telah mendapat pengakuan dari berbagai

kalangan pelaku usaha dan pakar hukum bisnis, sejak tahun 1983 melalui

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3051/K/Sip/1981 tanggal 26 Desember

1983 dalam perkara merk Gold Bond mengawali adanya pemberian lisensi merk

di Indonesia, karena salah satu dari aspek hukum waralaba adanya pemakaian

merk lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi merk.

Universitas Sumatera Utara


38

Jadi sebelum adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) itu,

perlindungan hukum tentang waralaba dilakukan melalui kontrak waralaba yang

dibuat oleh para pihak dengan menggunakan Buku Ketiga tentang Perikatan dan

pasal-pasal yang terdapat dalam KUH Perdata atau Burgelijke wet Boek (BW)

yang mengatur tentang perjanjian, seperti Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1365

KUH Perdata. Pasca yurisprudensi MA itu, terdapat beberapa regulasi yang

berupa Keputusan Menteri Kehakiman No: M.02-HC.01.01 tahun 1987 tanggal 16

Juni 1987 tentang Pedoman Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Kepmen itu

berarti bahwa akta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang mendaftar

akan ditolak jika nama perseroan terbatas yang baru mendaftar memiliki

kemiripan dengan nama PT yang telah mendaftar terlebih dahulu dari perseroan

terbatas yang baru mau mendaftar nama perseroannya.

Aturan itu kemudian dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman

No: M.03-HC.02.01 tahun 1991, selain itu perseroan yang telah mendaftar

terlebih dahulu dapat menuntut/menggugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata,

jika suatu perseroan yang belum terdaftar tersebut telah beroperasi dan

memperoleh keuntungan secara ekonomi dari pemakaian nama yang mirip

tersebut.

Pemerintah Indonesia pada tahun 1997, untuk pertama kalinya

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba,

yang diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Dalam peraturan perundang-undangan

Universitas Sumatera Utara


39

tersebut ditegaskan bahwa waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak

diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan

intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan

suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam

rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Dalam rangka

mengembangkan usaha waralaba di Indonesia untuk lebih maju lagi, maka

dikeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-

DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda

Pendaftaran Usaha Waralaba.

Saat ini, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba

dirasakan sudah tidak memadai lagi untuk mengatur dinamika perkembangan

usaha waralaba di Indonesia terkait dengan persoalan hak kekayaan intelektual

yang menjadi salah satu obyek usaha waralaba. Untuk itu pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba

untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, dengan

harapan dapat lebih memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi

pemberi waralaba dan penerima waralaba dalam memasarkan produknya, serta

dalam rangka untuk lebih meningkatkan tertib usaha melalui waralaba serta

meningkatkan kesempatan usaha nasional, terutama untuk mendorong pengusaha

kecil dan menengah tumbuh sebagai Franchisee nasional yang handal dan

mempunyai daya saing.

Istilah waralaba dalam bahasa Prancis memiliki arti “kebebasan” atau

“freedom”. Namun dalam praktiknya, istilah waralaba justru di populerkan di

Universitas Sumatera Utara


40

Amerika Serikat. “Wara” berarti “lebih” sedangkan “Laba” berarti “untung”.

Istilah waralaba atau waralaba berakar dari sejarah masa silam praktik bisnis di

Eropa. Waralaba di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan waralaba. Ketentuan

pengertian waralaba diatur dalam PP No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba

adalah hak khusus yang dimiliki dengan orang perseorangan atau badan usaha

terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang

dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan digunakan

oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.41

Waralaba adalah bagian dari kegiatan perdagangan bukan dari kegiatan

pembiayaan usaha, sehingga pengaturan dan pengawasan bisnis waralaba menjadi

kewenangan Menteri Perdagangan berserta jajarannya. Berdasarkan pengertian

Pasal 1 di atas, dapat diperinci bahwa terdapat unsur-unsur pengertian waralaba

yaitu hak khusus, para pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba

perseorangan atau badan hukum, sistem bisnis, ciri khas usaha, pemasaran barang

dan/atau jasa serta perjanjian waralaba.

Pengertian waralaba di Indonesia beragam, waralaba dapat dirumuskan

sebagai suatu bentuk sinergi usaha yang ditawarkan oleh suatu perusahaan yang

telah unggul dalam kinerja karena sumber daya berbasis ilmu pengetahuan dan

orientasi kewirausahaan yang cukup tinggi dengan tata kelola yang baik dan dapat

dimanfaatkan oleh pihak lain dengan melakukan hubungan kontraktual untuk

41
Iswi Hariyani, Membangun Gurita Bisnis Franchise, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2011, hal.37

Universitas Sumatera Utara


41

menjalankan bisnis dibawah format bisnisnya dengan imbalan yang telah

disepakati.42

Pada tahap ini pengertian waralaba masih sederhana, waralaba hanya

dikenal sebagai pemberian hak untuk mendistribusikan produk serta menjual

produk-produk hasil manufaktur. Namun setelah bertahun-tahun mengalami

perkembangan akhirnya pengertian waralaba dan kegiatannya tidak hanya

pendistribusian dan penjualan produk-produk manufaktur, melainkan mencakup

segala jenis produk, baik itu jasa pendidikan seperti Primagama, perhotelan,

termasuk industri makanan dan minuman. Pada mulanya waralaba dipandang

bukan sebagai bisnis, melainkan suatu konsep, metode, atau sistem pemasaran

yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan pemberi waralaba untuk

mengembangkan pemasaranya tanpa melakukan investasi langsung pada tempat

penjualan outlet, melainkan dengan melibatkan kerja sama pihak lain sebagai

pemilik outlet.43

Waralaba adalah suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2

(dua) perusahaan atau lebih, dimana 1 (satu) pihak akan bertindak sebagai

pemberi waralaba dan pihak lain sebagai penerima waralaba, dimana di dalamnya

diatur bahwa pihak pemberi sebagai pemilik suatu merek terkenal, memberikan

hak kepada penerima waralaba untuk melakukan kegiatan bisnis dari/atas suatu

produk barang atau jasa berdasar dan sesuai dengan rencana komersil yang telah

dipersiapkan, diuji keberhasilanya dan diperbaharui dari waktu kewaktu, baik atas

42
Bambang N Rahmadi, Aspek Hukum dan Bisnis, Nusantara Sakti, Bandung, 2007,
hal.7
43
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hal.52

Universitas Sumatera Utara


42

dasar hubungan eksklusif maupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu imbalan

tertentu akan dibayarkan kepada pemberi waralaba sehubungan dengan hal

tersebut.44

Unsur-unsur pengertian waralaba dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Waralaba adalah kegiatan bisnis yang didasarkan perjanjian/perikatan antara

pemberi waralaba dengan pihak penerima waralaba. Perjanjian/perikatan

juga tunduk pada ketentuan tentang hukum perjanjian yang ada dalam

KUHPerdata seperti aturan tentang syarat sahnya perjanjian dan asas-asas

perjanjian;

b. Hubungan bisnis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba

bersifat “kemitraan usaha” sehingga kedudukan keduanya adalah setara.

Penerima waralaba bukanlah anak cabang perusahaan pemberi waralaba

melainkan perusahaan terpisah yang juga memiliki kemandirian dalam

berusaha;

c. Pemberi waralaba memberikan izin (lisensi) kepada penerima waralaba

untuk menggunakan dan memanfaatkan HKI milik pemberi waralaba. Atas

dasar inilah maka perjanjian waralaba dapat digunakan sebagai bukti

dokumen si pemberi waralaba pada saat melakukan pendaftaran lisensi HKI

kepada instansi berwenang Ditjen HKI;

d. Perjanjian waralaba, meskipun mengandung perjanjian lisensi HKI, juga

mengandung perjanjian tentang izin penggunaan sistem bisnis milik

pemberi waralaba yang meliputi sistem manajemen, keuangan, dan

44
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung , 2001, hal. 339

Universitas Sumatera Utara


43

pemasaran. Penerima waralaba harus menggunakan sistem bisnis tersebut

agar kegiatan usahanya benar-benar sesuai dengan standar yang ditetapkan

oleh pemberi waralaba;

e. Pemberi waralaba berkewajiban memberikan dukungan teknis, manajemen,

keuangan, dan promosi pemasaran agar dapat membantu kelancaran usaha

gerai (outlet) yang dikelola oleh penerima waralaba;

f. Pemberi waralaba menetapkan besarnya biaya (fee) yang harus dibayar oleh

penerima warlaba;

g. Waralaba adalah tergolong dalam bidang bisnis/perdagangan sehingga

pengaturan dan pengawasannya menjadi kewenangan Menteri

Perdagangan.45

Perjanjian waralaba (waralaba agreement) adalah perjanjian kerja sama

bisnis waralaba yang dibuat secara tertulis antara pemberi waralaba dengan

penerima waralaba, yang dalam perjanjian tersebut juga terkandung perjanjian

lisensi HKI dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan

bisnis waralaba secara keseluruhan. 46

Sebelum membuat perjanjian waralaba pertama yang harus dilakukan oleh

pemberi waralaba adalah mendaftarkan prospektus penawaran waralaba,

ketentuan yang mengatur tentang pendaftaran prospektus penawaran waralaba

diatur dalam Pasal 10 PP No. 42 Tahun 2007 yaitu :

1) Pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba

sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba.

45
Iswi Hariyani, Op.Cit, hal.40.
46
Ibid, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara


44

2) Pendaftaran prospektus penawaran waralaba sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dilakukan oleh pihak yang diberi kuasa.

Prospektus penawaran waralaba ini harus diberikan oleh pemberi waralaba

kepada calon penerima waralaba paling singkat dua minggu sebelum

penandatanganan perjanjian waralaba. Prospektus penawaran waralaba meliputi

keterangan tertulis dari pemberi waralaba yang sedikitnya menjelaskan tentang

identitas, legalitas, sejarah, kegiatan, struktur organisasi, keuangan, jumlah tempat

usaha, daftar penerima waralaba, hak dan kewajiban pemberi dan penerima

waralaba. Pendaftaran prospektus penawaran waralaba dapat dilimpahkan oleh

pihak lain yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh pemberi waralaba. Setelah proses

prospektus penawaran waralaba selesai dan penerima waralaba telah membuat

perjanjian dengan pemberi waralaba maka selanjutnya pihak penerima waralaba

diwajibkan untuk mendaftarkan perjanjian kepada instansi yang berwenang.

Penerima waralaba diwajibkan untuk mendaftarkan perjanjian waralaba didasari

pertimbangan untuk membagi beban kewajiban diantara kedua pihak secara adil

karena kedua belah pihak adalah mitra usaha yang mempunyai kedudukan hukum

yang setara.

Perjanjian waralaba merupakan perbuatan hukum antara pemberi waralaba

dan penerima waralaba yang menimbulkan kewajiban dan hak timbal balik antara

kedua pihak. Kewajiban pemberi waralaba adalah memberikan hak kepada

penerima waralaba, sedangkan penerima waralaba adalah mendistribusikan

barang dan jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu dengan

mempergunakan merek, logo dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan

Universitas Sumatera Utara


45

oleh pemberi waralaba. Pemberian hak itu dituangkan dalam bentuk perjanjian

waralaba.47

B. Jenis-Jenis Waralaba

Waralaba harus memiliki syarat dan kriteria yang benar agar dapat

digolongkan sebagai waralaba yang layak dan sesuai koridor hukum. Aturan

tentang kriteria kelayakan waralaba diatur secara jelas dalam Pasal 3 PP No. 42

Tahun 2007 Tentang Waralaba yaitu :

1. Waralaba harus memiliki ciri khas usaha;

2. Waralaba harus terbukti memiliki sudah memberikan keuntungan;

3. Waralaba harus memiliki standar pelayanan dan standar produk yang dibuat

secara tertulis;

4. Sistem bisnis waralaba harus mudah diajarkan dan diaplikasikan;

5. Adanya dukungan secara berkesinambungan;

6. Hak kekayaan intelektual (HKI) yang telah terdaftar.

Kriteria tersebut meliputi :

a. Waralaba harus memiliki ciri khas usaha, maksud dari “harus memiliki ciri

khas usaha” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan

yang tidak mudah ditiru atau dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan

yang membuat konsumen selalu mencari ciri khas tersebut;

b. Waralaba harus terbukti memiliki sudah memberikan keuntungan maksud

dari “terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah menunjuk kepada

47
Amir Karamoy, Waralaba Jalur Bebas Hambatan Menjadi Pengusaha Sukses, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.56

Universitas Sumatera Utara


46

pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima)

tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-

masalah dalam perjalanan suatu usahanya, dan ini terbukti dengan masih

bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan;

c. Waralaba harus memiliki standar pelayanan dan standar produk yang dibuat

secara tertulis, atau dikenal sebagai Standar Operational Prosedur (SOP)

Standar Operational Prosedur (SOP) ini adalah standar yang dibuat secara

tertulis oleh pemberi waralaba dengan maksud supaya penerima waralaba

dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama

standarnya;

d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan, maksud dari “mudah diajarkan dan

diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba

yang belum memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai usaha sejenis

dapat melaksanakanya dengan baik sesuai bimbingan operasional dan

manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba;

e. Pemberi waralaba harus berkomitmen untuk memberikan dukungan secara

berkesinambungan pada penerima waralaba, maksud dari “memberikan

dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi waralaba

kepada penerima waralaba secara terus-menerus seperti bimbingan

operasional, pelatihan dan promosi. Tanpa adanya dukungan yang

berkesinambungan, maka usaha yang dikembangkan oleh penerima

waralaba akan sulit untuk berkembang;

Universitas Sumatera Utara


47

f. Pemberi waralaba harus memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

telah terdaftar. Bisnis waralaba sangat berkaitan dengan HKI. Bisnis

waralaba berkaitan dengan lisensi HKI, dari pemberi waralaba (pemilik

HKI) kepada penerima waralaba,yang kemudian diikuti dengan pembayaran

royalti oleh penerima waralaba. HKI tersebut dapat berupa hak cipta, merek,

desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), rahasia dagang

dan perlindungan varietas tanaman (PVT). Namun demikian, dalam

praktiknya, jenis HKI yang banyak di lisensikan dalam bisnis waralaba saat

ini adalah hak cipta, merek, paten, desain industri dan rahasia dagang.48

Pada umumnya, jenis-jenis waralaba di dunia dibedakan menjadi tiga

jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Distributorships (product waralaba)

Dalam waralaba ini, Franchisor memberikan lisensi kepada Franchisee

untuk menjual barang-brang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa

bersifat eksklusif ataupun noneksklusif. Seringkali terjadi Franchisee diberi

hak eksklusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu.

2) Chain-style business

Jenis waralaba inilah yang banyak dikenali oleh masyarakat. Dalam jenis

ini, Franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai

nama Franchisor. Sebagai imbalan dari pengunaan nama Franchisor, maka

Franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan

berada di bawah pengawasan Franchisor dalam hal bahan-bahan yang

48
Iswi Hariyani, Op.Cit, hal.70

Universitas Sumatera Utara


48

digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan,

persyaratan para karyawan, dan lain-lain.

3) Manufacturing atau processing plants

Pada waralaba jenis ini, Franchisor memberitahukan bahan-bahan serta tata

cara pembuatan suatu produk, termasuk di dalamnya formula-formula

rahasianya. Franchisee memproduksi kemudian memasarkan barang-barang

itu sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Franchisor.49

Di Indonesia sendiri sistem bisnis waralaba dibagi menjadi empat jenis

yaitu :

(a) Waralaba dengan sistem format bisnis

Di dalam waralaba dengan sistem format bisnis, sistem waralaba tersebut

tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo saja, tetapijuga

menawarkan sistem yang komplit dan komprehensif mengenai tata cara

menjalankan bisnis. Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah

pemberian sebuah lisensi dari seorang pemberi waralaba (Franchisor)

kepada orang yang menerima waralaba (Franchisee). Lisensi tersebut

diberikan memberikan hak kepada Franchisee untuk berusaha

menggunakan merek dagang/nama dagang Franchisor.

(b)Waralaba bagi keuntungan

Pada waralaba bagi keuntungan seorang Franchisor memberikan lisensinya

kepada seorang Franchisee untuk menggunakan merek dagangnya yang

kemudian dari penggunaan lisensi tersebut Franchisee wajib membayarkan

49
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal.15

Universitas Sumatera Utara


49

royalty kepada Franchisor dari keuntungan barang dan/atau jasa yang

dijualnya.

(c) Waralaba kerja sama investasi

Pada waralaba kerjasama investasi biasanya melakukan penganekaragaman

pengelolaan, tetapi dikarenakan manajemennya tidak berpengalaman di

dalam mengelola usaha baru sehingga biasanya seorang Franchisee

mengambil jenis bisnis waralaba kerja sama investasi. Misalnya saja

waralaba usaha hotel.

(d)Waralaba produk dan merek dagang

Di dalam waralaba produk dan merek dagang, Franchisor memberikan hak

kepada Franchisee untuk menjual produk yang dikembangkan oleh

Franchisor yang disertai dengan pemberian izin untuk menggunakan merek

dagang Franchisor. Dari pemberian izin merek dagang tersebut, biasanya

Franchisor mendapatkan pembayaran royalty di muka dan selanjutnya

Franchisor memperoleh keuntungan melalui penjualan barang dan/atau jasa

yang diwaralabakan kepada Franchisee.50

Dari keempat jenis sistem waralaba yang dikenal di Indonesia ini, jenis

waralaba yang sangat berkembang hingga saat ini ialah waralaba sistem format

bisnis dan waralaba produk dan merek dagang.

Di Indonesia terdapat beragam jenis waralaba yang dilihat dari sektor

usaha. Jenis-jenis tersebut antara lain:

a. Makanan dan minuman;

50
Lindawaty Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 16

Universitas Sumatera Utara


50

b. Ritel (non food & food);

c. Di bidang jasa;

d. Salon rambut dan kecantikan;

e. Binatu / jasa perbaikan;

f. Jasa konsultasi;

g. Fitness dan perawatan jasmani;

h. Photo furniture/Printing;

i. Rental mobil.

C. Pihak-Pihak Dalam Waralaba

Berdasakan uraian diatas mengenai waralaba, jelas terlihat bahwa bisnis

waralaba dilakukan oleh para pihak baik orang perorangan maupun badan usaha.

Para pihak dalam waralaba ini biasa disebut sebagai pemberi waralaba atau dalam

bahasa asingnya disebut Franchisor dan penerima waralaba atau dalam bahasa

asingnya disebut Franchisee.

Pengertian pemberi waralaba berdasarkan PP No. 42 Tahun 2007 Pasal 1

angka 2, pemberi waralaba adalah orang perorangan atau badan usaha yang

memberikan hak untuk memanfaatkan hak dan/atau menggunakan waralaba yang

dimilikinya kepada penerima waralaba. Berdasarkan Peraturan Kepmendag No.31

Tahun 2008 Pasal 1 angka 2, pemberi waralaba adalah badan usaha atau

perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan

dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas

yang dimiliki pemberi waralaba

Universitas Sumatera Utara


51

Dilihat dari pengertian pemberi waralaba yang dijelaskan dalam Pasal 1

PP No. 42 Tahun 2007 dan Kepmendag No. 31 Tahun 2008 pemberi waralaba

merupakan orang perorangan atau badan usaha yang memiliki atau menciptakan

suatu ciri khas pada jenis usahanya ataupun hal-hal yang berkaitan dengan hak

kekayaan intelektual dan dengan maksud memperluas pasar dan mendapatkan

keuntungan dengan memberikan hak kepada penerima waralaba untuk

memanfaatkan dan menggunakan ciri khas tersebut atau hak kekayaan intelektual

yang dimilikinya.

Pengertian penerima waralaba sebagai pihak kedua dalam waralaba ini

dirumuskan dalam PP No. 42 Tahun 2007 Pasal 1 angka 3, penerima waralaba

adalah orang perorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi

waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilkinya.

Berdasarkan Kepmendag No.31 Tahun 2008, penerima waralaba adalah badan

usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau

menggunakan hak kekayaan intelektualatau penemuan atau ciri khas yang dimiliki

pemberi waralaba.

D. Aspek Hukum Bisnis Waralaba

Waralaba harus memiliki syarat dan kriteria yang benar agar dapat

digolongkan sebagai waralaba yang layak dan sesuai koridor hukum. Aturan

tentang kriteria kelayakan waralaba baru diatur secara jelas dalam Pasal 3 PP No.

42 Tahun 2007 Tentang Waralaba yaitu

a. Waralaba harus memiliki ciri khas usaha;

b. Waralaba harus terbukti memiliki sudah memberikan keuntungan;

Universitas Sumatera Utara


52

c. Waralaba harus memiliki standar pelayanan dan standar produk yang

dibuat secara tertulis;

d. Sistem bisnis waralaba harus mudah diajarkan dan diaplikasikan;

e. Adanya dukungan secara berkesinambungan;

f. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar”.

Kriteria tersebut meliputi:51

1. Waralaba harus memiliki ciri khas usaha

Maksud dari “harus memiliki ciri khas usaha” adalah suatu usaha yang

memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru atau

dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan yang membuat konsumen

selalu mencari ciri khas tersebut;

2. Waralaba harus terbukti memiliki sudah memberikan keuntungan

Maksud dari “terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah menunjuk

kepada pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5

(lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-

masalah dalam perjalanan suatu usahanya, dan ini terbukti dengan masih

bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan;

3. Waralaba harus memiliki standar pelayanan dan standar produk yang dibuat

secara tertulis, atau dikenal sebagai Standard Operational Prosedure ( SOP)

Standard Operational Prosedure (SOP) ini adalah standar yang dibuat

secara tertulis oleh pemberi waralaba dengan maksud supaya penerima

51
Lindawaty P Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 16

Universitas Sumatera Utara


53

waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan

sama standarnya;

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan

Maksud dari “mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah

dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki

pengalaman dan pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat

melaksanakanya dengan baik sesuai bimbingan operasional dan manajemen

yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba;

5. Pemberi waralaba harus berkomitmen untuk memberikan dukungan secara

berkesinambungan pada penerima waralaba

Maksud dari “memberikan dukungan yang berkesinambungan” adalah

dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus-

menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan dan promosi. Tanpa

adanya dukungan yang berkesinambungan, maka usaha yang dikembangkan

oleh penerima waralaba akan sulit untuk berkembang;

6. Pemberi waralaba harus memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

telah terdaftar

Bisnis waralaba sangat berkaitan dengan HKI. Bisnis waralaba berkaitan

dengan lisensi HKI, dari pemberi waralaba (pemilik HKI) kepada penerima

waralaba, yang kemudian diikuti dengan pembayaran royalti oleh penerima

waralaba. HKI tersebut dapat berupa Hak Cipta, Merek, Desain Industri,

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang dan

Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Namun demikian, dalam

Universitas Sumatera Utara


54

praktiknya, jenis HKI yang banyak dilisensikan dalam bisnis waralaba saat

ini adalah Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri dan Rahasia dagang.

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, untuk sahnya perjanjian waralaba

harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam

Pasal 1320 KUHPerdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1) adalah adanya suatu

kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya, jika dihubungkan dengan

unsur-unsur di atas maka dalam perjanjian waralaba harus ada persetujuan antara

pemberi waralaba dan penerima waralaba, tanpa ada paksaan, tipuan dan

kekeliruan. Maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata ayat (2) ini erat kaitannya

dengan subjek hukum. Apabila dihubungkan dengan unsur-unsur perjanjian di

atas maka dalam suatu perjanjian harus ada subjek hukum atau pihak-pihak yang

terdiri dari sedikitnya dua orang. Pihak-pihak dalam perjanjian waralaba harus

masuk dalam kriteria cakap melakukan perbuatan hukum, sudah dewasa atau

mencakup umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21

tahun.

Pasal 1320 KUHPerdata yang disebutkan dalam ayat (3) yaitu “suatu hal

tertentu” jika dihubungan dengan unsur-unsur perjanjian di atas maka suatu hal

tertentu artinya ada prestasi yang akan dilaksanakan dan tujuan yang akan dicapai

Universitas Sumatera Utara


55

penerima waralaba adalah mempergunakan merek yang dimiliki oleh pemberi

waralaba. Pasal 1320 KUHPerdata yang disebutkan dalam ayat (4) yaitu “suatu

sebab yang halal” artinya perjanjian waralaba yang dibuat oleh pemberi dan

penerima waralaba harus tertuang dalam bentuk tertulis, lisan atau tulisan dan ada

syarat tertentu sebagai isi pelaksanaan perjanjian. Isi perjanjian yang dibuat tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 52

Perjanjian waralaba antara pemberi dan penerima waralaba jika telah

memenuhi empat syarat yang telah diuraikan di atas maka suatu perjanjian

tersebut sah menurut hukum. Berdasarkan Pasal 5 PP No. 42 Tahun 2007 Tentang

Waralaba “perjanjian waralaba harus memuat beberapa klausula”, yaitu:

a. Nama dan alamat para pihak;

b. Jenis hak kekayaan intelektual;

c. Kegiatan usaha;

d. Hak dan kewajiban para pihak;

e. Bantuan, fasilitas bimbingan operasional, dan pemasaran yang diberikan

pemberi waralaba dan penerima waralaba;

f. Wilayah usaha;

g. Jangka waktu perjanjian;

h. Tata cara bayaran imbalan;

i. Kepemilikian, perubahan kepemilikan, dan ahli waris;

j. Penyelesaian sengketa; dan

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

52
Ibid. hal 45

Universitas Sumatera Utara


56

Suatu paket usaha waralaba pada dasarnya merupakan suatu paket yang

terdiri dari beberapa jenis perjanjian. Perjanjian yang dimaksud biasanya terdapat

perjanjian lisensi, perjanjian merek, perjanjian paten, perjanjian bantuan teknis

dan mengenai perjanjian yang menyangkut kerahasiaan. Setelah syarat-syarat

perjanjian terpenuhi oleh pihak penerima waralaba dan pemberi waralaba, para

pihak telah bersepakat maka perjanjian waralaba dapat segera dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENERAPAN PERJANJIAN WARALABA ALFAMART

DI KOTA MEDAN

A. Keberadaan Waralaba Alfamart di Kota Medan

Alfamart adalah sebuah brand minimarket penyedia kebutuhan hidup

sehari-hari yang dimiliki oleh PT. Sumber Alfaria Trijaya, Tbk. Pada tahun 1989

merupakan awal berdirinya Alfamart, dengan dimulainya usaha dagang rokok dan

barang-barang konsumsi oleh Djoko Susanto dan keluarga yang kemudian

mayoritas kepemilikannya dijual kepada PT. HM Sampoerna pada Desember

1989. Pada tahun 1994 Struktur kepemilikan berubah menjadi 70% dimiliki oleh

PT HM Sampoerna Tbk dan 30% dimiliki oleh PT Sigmantara Alfindo (keluarga

Djoko Susanto).

PT. Alfa Minimart Utama (AMU) didirikan pada tanggal 27 Juli 1999,

dengan pemengang saham PT. Alfa Retailindo, Tbk sebesar 51% dan PT. Lancar

Distrindo sebesar 49%. PT. Alfa Minimart Utama (AMU) ini kemudian membuka

Alfa Minimart pada tanggal 18 Oktober 1999 berlokasi dijalan Beringin Raya,

Karawaci Tangerang.

Pada tanggal 27 Juni 2002, PT.HM Sampoerna Tbk secara resmi

merestrukrurisasi kepemilikan sahamnya di PT.Alfa Retailindo Tbk. Saham HM

Sampoerna di Alfa Retailindo yang semula 54,4% dikurangi menjadi 23,4%. Di

sisi lain, perusahaan rokok terbesar kedua di Indonesia akan mulai menggarap

serius pasar minimarket yang selama ini belum tergarap melalui Alfa.

90

Universitas Sumatera Utara


91

Pada tanggal 1 Agustus 2002, kepemilikan beralih ke PT. Sumber Alfaria

Trijaya dengan pemegang saham PT.HM. Sampoerna, Tbk sebesar 70% dan

PT.Sigmantara Alfalindo sebesar 30%. Kemudian nama Alfa Minimart diganti

menjadi Alfamart pada tanggal 1 Januari 2003. Pada tahun 2005 Jumlah gerai

Alfamart bertumbuh pesat menjadi 1.293 gerai hanya dalam enam tahun. Semua

toko berada di pulau Jawa.

Awal tahun 2006 PT HM Sampoerna Tbk menjual sahamnya, sehingga

struktur kepemilikan menjadi PT Sigmantara Alfindo (60%) dan PT Cakrawala

Mulia Prima (40%). Mendapat Sertifikat ISO 9001:2000 untuk Sistem

Manajemen Mutu”.

Pertengahan 2007 Alfamart sebagai Jaringan Minimarket Pertama di

Indonesia yang memperoleh Sertifikat ISO 9001:2000 untuk Sistem Manajemen

Mutu. Jumlah gerai mencapai 2000 toko dan telah memasuki pasar Lampung.

Awal 2009 menjadi perusahaan publik pada tanggal 15 Januari 2009 di Bursa

Efek Indonesia disertai dengan penambahan jumlah gerai mencapai 3000 toko dan

juga memasuki Pasar Bali.

Adapun sejarah pendirian Alfamart du Indonesia diuraikan sebagai

berikut:

a. Tahun 1989, berdiri sebagai perusahaan dagang aneka produk oleh Djoko

Susanto dan keluarga yang kemudian mayoritas kepemilikannya dijual

kepada PT. HM Sampoerna pada Desember 1989.

Universitas Sumatera Utara


92

b. Tahun 1994, struktur kepemilikan berubah menjadi 70 % PT. HM

Sampoerna Tbk dan 30 % PT Sigmantara Alfindo (keluarga Djoko

Susanto).

c. Tahun 1999, Alfa Minimart pertama mulai beroperasi di Jl. Beringin Jaya,

Karawaci, Tangerang, Banten.

d. Tahun 2003, Alfa Minimart‟ menjadi „Alfamart‟.

e. Tahun 2005, jumlah gerai Alfamart bertumbuh pesat menjadi 1293 gerai

hanya dalam enam tahun. Semua toko berada di pulau jawa.

f. Tahun 2006, PT HM Sampoerna Tbk menjual sahamnya, sehingga struktur

kepemilikan menjadi PT Sigmantara Alfindo (60%) dan PT Cakrawala

Mulia Prima (40%). Mendapat Sertifikat ISO 9001:2000 untuk Sistem

Manajemen Mutu”.

g. Tahun 2007, Alfamart sebagai Jaringan Minimarket Pertama di Indonesia

yang memperoleh Sertifikat ISO 9001:2000 untuk Sistem Manajemen Mutu,

pada saat itu jumlah gerai mencapai 2000 toko dan sudah memasuki pasar

Lampung.

h. Tahun 2009, menjadi perusahaan publik pada tanggal 15 Januari di Bursa

Efek Indonesia, pada saat itu jumlah gerai mencapai 3000 toko dan sudah

memasuki pasar Bali.

i. Tahun 2010, jumlah gerai lebih dari 3500.

j. Tahun 2012, Soft Launching Online Shopping dengan nama “Alfaonline” di

wilayah Tangerang

Universitas Sumatera Utara


93

k. Tahun 2013, Menambah kepemilikan saham di PT Midi Utama Indonesia

menjadi 56.72% dan Pendirian anak perusahaan Alfamart Retail Asia

Pte.Ltd (Kepemilikan saham 100%)

l. Tahun 2014, Menambah kepemilikan saham di PT Midi Utama Indonesia

menjadi 86.72% dan memasuki pasar Philipines dengan joint

venture melalui Alfamart Retail Asia Pte.Ltd dengan mendirikan Alfamart

Trading Philippines Inc.

Pengaturan mengenai usaha mikro, kecil dan menengah di atur dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah. Undang-undang ini bertujuan untuk menumbuhkan dan

mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional

berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Adanya tuntutan pemenuhan

kebutuhan dalam perekonomian menyebabkan banyaknya pertumbuhan dari

usaha-usaha mikro, kecil dan menengah yang dalam peraturan ini mengatur agar

mendorong hubungan saling menguntungkan dalam pelaksanaannya serta adanya

kebijakan mengenai pendanaan dan pengembangan usahanya agar tetap

terberdayakan usahausaha yang berskala kecil.

Pelaksanaan perekonomian perdagangan Indonesia tidak hanya bagi Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah saja, namun juga bagi toko-toko modren (waralaba

minimarket) yang semakin berkembang di dunia perdagangan. Adanya Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, diharapkan untuk lebih

meningkatkan tertib usaha dengan cara waralaba serta meningkatkan kesempatan

usaha nasional. Pemberi dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan

Universitas Sumatera Utara


94

barang dan/atau jasa hasil produksi dalam Indonesia. Peraturan Pemerintah ini

juga menjelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) bahwa pemberi waralaba hanya

bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah sebagai penerima

waralaba/pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan

persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Dalam hal ini diperlukan adanya peran pemerintah daerah untuk

melakukan pembinaan waralaba serta adanya pengawasan dari menteri dalam

pelaksanaan waralaba khususnya waralaba minimarket. Minimarket dalam

peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian “Toko Modern”.

Peraturan mengenai toko modern diatur dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun

2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan

Toko Modern (“Perpres 112/2007”). Pengertian toko modern menurut Pasal 1

angka 5 Perpres 112/2007 adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual

berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket,

Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan.

Pertumbuhan waralaba minimarket di Kota Medan saat ini terbilang sangat

pesat. Pemerintah Kota Medan dalam hal ini juga sudah mengeluarkan beberapa

kebijakan dalam sektor ritel yaitu, pertama adalah Perwal No. 20 Tahun 2011

Tentang Penataan & Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan & Toko

Modern. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Perwal ini yaitu:53

a. Khusus minimarket jarak minimal 500 meter dari minimarket yang sudah

ada dan minimal berjarak 500 meter dari pasar tradisiona;

53
Zulfi Chairi, Aflah, Utary Maharany, Op.Cit. hal. 121

Universitas Sumatera Utara


95

b. Ijin usaha untuk minimarket diterbitkan oleh Walikota cq. Dinas Penanaman

Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kota Medan;

c. Persyaratan IUTM minimarket melampirkan KTP, Akta Pendirian

Perusahaan yang berbadan hukum, IMB sesuai peruntukan, Surat Izin

Prinsip Usaha yang telah disahkan Disperindag Kota Medan, SITU dan

Surat Izin Gangguan;

d. Setiap orang dan badan hukum dilarang mendirikan bangunan minimarket

kurang 100 meter dari rumah ibadah, lembaga pendidikan, dan perkantoran

pemerintah

Pada tahun 2012 Perwal ini diubah menjadi Perwal No. 47 Tahun 2012

Tentang Perubahaan Kedua. Dalam Perwal Nomor 47 Tahun 2012 tidak

menjelaskan lagi berapa jauh jarak antara pasar tradisonal dengan toko modren,

hal ini yang menyebabkan timbulnya suatu masalah baru dalam masyarakat yaitu

bermunculan pasar modern (waralaba minimarket) yang berdekatan satu sama

lainnya, berhadaphadapan dan bahkan ada pasar modern yang bersebelahan

dengan pasar tradisional dan pedagang kecil lainnya. Munculnya waralaba

minimarket ke setiap jaringan jalan bertentangan dengan Pepres No. 112/2007 di

dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa toko modern harus memperhitungkan

kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan

usaha menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan.

Suatu toko modern (minimarket) harus memiliki izin pendirian yang

disebut dengan Izin Usaha Toko Modern (“IUTM”) yang diterbitkan oleh

Bupati/Walikota (Pasal 12 Perpres 112/2007). Kemudian kewenangan untuk

Universitas Sumatera Utara


96

menerbitkan IUTM ini dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas/Unit yang

bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab

dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat (Pasal 11 Permendag

No. 53/MDAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan

Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Oleh sebab

itu, pemerintah perlu bertindak teliti dan tegas dalam pemberian izin usaha toko

modern karena pendiriannya yang telah melanggar ketentuan mengenai usaha

toko modern tersebut.

Dalam Prakteknya penerapan peraturan mengenai waralaba minimarket

belum dapat dikatakan optimal karena banyak para pemilik pasar tradisional yang

dimaksudkan dalam hal ini adalah usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang

dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau

koperasi dengan usaha kecil, modal kecil, dan dengan jual beli barang dagang

melalui tawar menawar (Peraturan Walikota Medan Nomor 47 Tahun 2012)

mengalami kerugian setelah adanya waralaba (minimarket) yang berdekatan

dengan pasar tradisional tersebut.

Terkait dengan izin pendirian waralaba di kota Medan, menurut data dari

Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM dan

PPTSP) banyak waralaba-waralaba yang berdiri di kota medan tidak berdasarkan

izin, salah satu yang menjadi alasan tidak memberikan izin karena tidak

memenuhi syarat-syarat dan ketentuan pendirian. Sehingga perlu adanya

pengawasan dari Dinas Perdagangan dalam pendirian waralaba serta adanya

kebijaksanaan dari pemerintah mengenai pengaturan jarak dan lokasi antara toko

Universitas Sumatera Utara


97

tradisional dengan minimarket. Keterkaitan peraturan mengenai waralaba dengan

pendirian waralaba minimarket terjadi inkonsistensian karena apa yang diharapan

oleh Perpres 112/2007 tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain masalah jarak

juga terhadap aturan mengenai izin pendirian, banyak ritel modern yang

melanggar izin, tapi pemerintah seakan menutup mata, dan kenyataannya sampai

saat ini banyak yang masih tetap buka.

B. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Alfamart di Kota Medan

Waralaba merupakan suatu sistem dalam pemasaran barang dan jasa yang

melibatkan dua pihak (Franchisor dan Franchisee). Sistem ini merupakan suatu

kiat untuk memperluas usaha dengan cara menularkan sukses. Dengan demikian

dalam sistem ini harusterdapat pelaku bisnis yang sukses terlebih dahulu dimana

kesuksesan yang diperolehnya tersebut akan disebarluaskan kepada pihak lain.

Manfaat utama bagi pemilik waralaba (Franchisor atau pengusaha yang

sukses) adalah pengurangan risiko dan investasi modal yang diperlukan untuk

suatu keperluan internal atau melalui pembagian bersama keahliannya dan

kesuksesannya, maka dalam pembagian keahlian dan kesuksesanya kepada pihak

“Franchisee” harus membayar biaya berupa royalty yang berkelanjutan sepanjang

keahlian dan kesuksesan pihak Franchisor masih digunakan, demikian pula

Franchisor dapat memperoleh laba melalui pendistribusian barang jika paket

waralaba tersebut adalah waralaba distribusi.

Namun demikian ia memikul tanggung jawab tambahan atas bisnisnya

yang menuntut banyak usaha, dalam hal ini kewajiban Franchisor maka harus

bersedia membangun susunan manajemen yang menyediakan dukungan kepada

Universitas Sumatera Utara


98

para pemegang waralaba (Franchisee). Dalam paket dukungan tersebut termasuk

komitmen untuk melatih memasarkan, mengendalikan mutu dan dukungan

yangberkelanjutan. Disamping itu Franchisor juga akan menyediakan pelayanan

pemilihan lokasi dan kajiannya, rancangan fasilitas dalamhal bisnis yang

mempergunakan peralatan khusus dan bergantung pada arus pelanggan yang

terkendali seperti rumah makan, pelayanan fast food dan pemeliharaan kendaraan

bermotor, demikian pula toko pengecer produk mempunyai rancangan denah dan

teknik peragaan produk yang khas. Juga dalam hal periklanan, pihak Franchisor

bertanggung jawab untuk mengkoordinasi dan melaksanakan program periklanan

serta promosi.

Bagi pemegang waralaba (Franchisee) dapat menikmati suatu sistem

bisnis teruji yang dimiliki oleh Franchisor yang dalam banyak hal dilengkapi

dengan nama dagang yang sudah diterima oleh khalayak ramai. Dengan membuka

usaha yang nama dagang dan jenisnya sudah dikenal oleh khalayak ramai maka

pihak Franchisee terhindar dari risiko yang cukup besar, sebab para pelanggan

(khalayak ramai) sudah kenal betul dengan nama dan jenis barang dan jasa yang

baru dibuka oleh Franchisee sehingga khalayak ramai tidak ragu lagi dengan

kualitas yang selama ini dipunyai oleh Franchisor yang sukses.

Berdasarkan bentuk pengaturan perjanjian yang dibuat oleh salah satu

pihak Franchisor yaitu PT. Sumber Alfaria Trijaya TBK yang dikenal sebagai

Alfamart adalah guna mendapatkan perlindungan dari aspek bisnis maupun

perlindungan hukum bagi Franchisor sendiri, karena Franchisor belum mengenal

secara detil orang yang akan menjadi mitra Franchisee nya. Agar usaha yang

Universitas Sumatera Utara


99

dibuat oleh Franchisor berjalan, maka Franchisor harus menerapkan sistem usaha

mereka dan sistem usaha tersebut dimasukan di dalam perjanjian guna

mendapatkan keuntungan antara Franchisor dan Franchisee, maka Franchisor

menetapkan perjanjian standart (standart contract), tetapi lebih dari pada itu,

Franchisor juga memberikan perlindungan hukum bagi Franchisee agar

kewajiban dan hak sama-sama dapat terpenuhi dan memberikan perlindungan

hukum bagi masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, yang

demikian disebutkan dalam perjanjian waralaba terdapat Pasal-Pasal yang mesti

dilaksanakan oleh Franchisee maupun Franchisor sendiri, tentunya dalam

pelaksanaan isi dari perjanjian ini memerlukan kesepakatan antara masing-masing

pihak yang terlibat dalam perjanjian ini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas

Bisnis Waralaba Alfamart mengatakan bahwa apabila isi dalam perjanjian tersebut

sudah ditanda tangani, maka perjanjian standar ini tidak dapat diubah, melainkan

secara mutlak seperti apa adannya yang tertuang di dalam perjanjian tersebut.

Apabila dihubungkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan

berkontrak, tentu saja hal ini bertentangan. Maka dari itu hal ini membuat posisi

Franchisee tidak dapat melakukan negosiasi dalam pembuatan atau perancangan

isi perjanjian ini, hal ini berakibat posisi Franchisee memang sedikit lemah dari

pada posisi Franchisor itu sendiri, tetapi dalam pembuatan atau perancangan

Universitas Sumatera Utara


100

perjanjian tersebut tentunya harus saling menguntungkan kedua belah pihak agar

terciptanya keadaan yang berimbang antara Franchisor dan Franchisee.54

Perjanjian standar tersebut tidak dapat diubah karena perjanjian tersebut

telah dibuat dengan melihat seluruh aspek dan klausul-klausul perjanjian yang

telah tercantum di dalamnya, dimana perjanjian tersebut haruslah tidak boleh

merugikan salah satu pihak, terlebih pihak Franchisor sendiri sebagai pemilik hak

waralaba ini. Ini gunanya untuk melindungi hak kekayaan intelektual yang

mereka buat agar mereka dapat menjalankan usaha mereka dan usaha mitra

binaannya. Dengan sistem yang telah mereka buat agar dapat berjalan. Apabila di

luar dari isi perjanjian waralaba yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak

masih dapat dibuat perjanjian tambahan yang tidak dicantumkan di dalam

perjanjian waralaba tersebut (terpisah).

Misalkan pemilik toko waralaba ingin mempekerjakan orang yang ia

tunjuk sebagai pegawai atau pimpinan pada toko Waralaba mereka atau

mendesain tatanan barang-barang yang ada di toko waralaba tersebut agar lebih

menarik konsumen, dan tentunya perjanjian tambahan ini tidak melampaui

perjanjian standar yang ada agar sistem usaha yang telah ditetapkan oleh

Franchisee dapat berjalan. Dalam perjanjian tambahan tersebut tentunya harus

melihat kembali perjanjian standar waralaba tersebut agar perjanjian tambahan

tersebut tidak bertentangan dengan perjanjian pokoknya sehingga perjanjian

tambahan tersebut tetap memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang

terlibat dalam perjanjian, dan tentunya hal ini membuat posisi Franchisee masih

54
Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba Alfamart
pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 di Sumber Alfaria Trijaya

Universitas Sumatera Utara


101

dapat melakukan sedikit negosiasi sehingga posisi Franchisee lebih berimbang

dengan Franchisor karena adanya perjanjian tambahan ini. Dalam sebuah

perjanjian juga haruslah terdapat kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian yang mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata seperti yang dijelaskan

dalam bab 3.55

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dalam sebuah perjanjian terdapat

perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian dan perjanjian

tersebut harus dilaksanakan para pihak. Tentu saja dalam pembuatan perjanjian ini

gunanya untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat

dalam perjanjian. Kemudian berdasarkan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata

menyatakan bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian terdapat asas kebebasan

berkontrak dimana asas ini memberikan keleluasaan kepada setiap orang atau

badan usaha untuk membuat perjanjian apa saja tanpa melanggar ketentuan yang

dilarang oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undangan maka

perjanjian tersebut sah menurut undang-undang. Dilanjutkan dalam Pasal 1338

Ayat (2) KUH Perdata yaitu bilamana suatu perjanjian telah dibuat dan disepakati

telah sah, maka salah satu pihak tidak dapat menarik atau membatalkan perjanjian

tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

Dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata adalah mengenai asas itikad baik dalam

melakukan perjanjian.

Maksudnya bahwa perjanjian bisnis harus berlandaskan itikad baik,

apabila perjanjian bisnis tersebut beriktikad buruk, maka perjanjian bisnis tersebut

55
Hasil wawancara dengan Ibu Rahimah selaku Supervisor Alfamart Cabang Bromo
Kecamatan Medan Area pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 11.00

Universitas Sumatera Utara


102

dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum. Dengan demikian asas

itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan dalam membuat suatu

perjanjian bisnis, tidak dapat diwujudkan atas kehendak sendiri dari salah satu

pihak tanpa dibatasi oleh itikad baiknya. Dengan adanya asas itikad baik, setiap

pihak yang membuat perjanjian akan melaksanakan kewajiban dan hak yang

timbul dari adanya perjanjian tersebut. Maka jika dilihat dari kewajiban dan hak

yang timbul dalam perjanjian waralaba, dapat diambil kesimpulan bahwa

perjanjian yang dibuat telah sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam undang-

undang, dan sesuai dengan syarat yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah

tentang Waralaba yaitu tentang klausula yang harus termuat di dalam suatu

perjanjian waralaba, maka perjanjian yang dibuat telah cukup mempunyai

perlindungan hukum bagi masing-masing pihak yang termuat di dalamnya.

Untuk membuat Alfamart di suatu lokasi berdasarkan kerjasama waralaba

ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu:56

1. Skema gerai baru dimana Franchisee mengajukan usulan lokasi utuk

pembukaan gerai baru alfamart

2. Untuk gerai konversi, menawarkan kerjasama waralaba kepada pemilik

minimarket yang mau mengembangkan usahany.

3. Untuk gerai take over (ambil alih), calon Franchisee dapat mengambil alih

gerai milik Alfamart yang telah beroperasi dengan baik.

4. Setiap Franchisee harus berbentuk Perseroan Terbatas ataupun CV

5. Franchisee berkewarganegaraan Indonesia (WNI)

56
Hasil wawancara dengan Ibu Rahimah selaku Supervisor Alfamart Cabang Bromo
Kecamatan Medan Area pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 11.00

Universitas Sumatera Utara


103

6. Franchisee harus mendapatkan perizinan (izin tetangga, NPWP, Domisili)

7. Bersedia mengikuti sisitem dan prosedur yang berlaku di Alfmart.

Perjanjian adalah perbuatan hukum, perbuatan hukum yang dimaksud

adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang dimana dapat

menimbulkan suatu akibat yang dikehendaki oleh orang yang melakukannya.

Perbuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban. Demikian juga dalam hak

dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba sebagai berikut:57

1. Hak Franchisor

Hak waralaba untuk mendirikan dan mengelola gerai sesuai dengan

syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian ini.

2. Kewajiban Franchisor

Kewajiban bagi Franchisor dijelaskan antara lain seperti tentang

“Karyawan, Pendidikan, Pelatihan, Pemesanan, Pembelian, Pengiriman dan

Pembayaran.” yang dijelaskan pada pasal tujuh, delapan dan sepuluh

berbunyi Franchisee wajib memperkerjakan dan mengawasi seluruh

karyawan, memberikan gaji kepada seluruh karyawan sesuai dengan

peraturan dalam bidang ketenagakerjaan, memperoleh semua ijin yang

diperlukan untuk memperkerjakan karyawan, mematuhi seluruh peraturan

perundang-undangan dan ketentuan pemerintah yang berhubungan dengan

ketenagakerjaan. Franchisee wajib untuk membayar dan menanggung

seluruh biaya pendidikan dan pelatihan kepada Franchisor, kecuali dalam

hal pendidikan dan pelatihan awal sebelum pembukaan gerai, pendidikan

57
Hasil wawancara dengan Ibu Rahimah selaku Supervisor Alfamart Cabang Bromo
Kecamatan Medan Area pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 11.00

Universitas Sumatera Utara


104

dan pelatihan yang diadakan untuk maksimal 4 kali terhadap karyawan baru

untuk menggantikan karyawan lama yang berhenti atau mengundurkan diri.

Franchisor akan memasok produk kepada Franchisee dengan harga sesuai

dengan harga pokok penjualan rata-rata bergerak Franchisor kepada

Franchisee (harga produk)

3. Hak Franchisee

Hak Franchisee ini menjelaskan tentang “Pemesanan, Pembelian,

Pengiriman dan Pembayaran”. Franchisee dapat mengembalikan produk

yang rusak kepada Franchisor dengan syarat bahwa pemberitahuan atas

kerusakan dan mendekati masa kadarluarsa kepada Franchisor dengan

syarat bahwa produk tersebut dikembalikan sebelum tanggal kadarluarsa

yang tertera pada produk, sebagaimana diatur dalam panduan.

4. Kewajiban Franchisee

Kewajiban bagi Franchisee juga menjelaskan antara lain “Jangka Waktu,

Gerai Pendidikan, Pelatihan Rekening Bersama (Joint Account), Royalti

Iklan, Promosi, Akuntansi dan Keuangan.” Yang dijelaskan pada pasal lima,

enam, delapan, sebelas, dua belas, empat belas dan delapan belas yang

berbunyi Franchisee menyatakan setuju dan bersedia sekarang untuk nanti

pada waktunya pada saat memasuki periode perpanjangan periode waralaba

untuk membayar kepada Franchisor, imbalan waralaba yang jumlahnya

akan ditentukan oleh Franchisor dari waktu kewaktu, yang dilakukan oleh

Franchisee dengan memberi kuasa kepada Franchisor untuk memotong

saldo bank. Ketika berbicara mengenai gerai maka Franchisee wajib

Universitas Sumatera Utara


105

membuka gerai dalam jangka waktu maksimal 60 hari sejak tanggal

efektifnya perjanjian waralaba atau sejak Franchisor memberikan

persetujuanya. Bagi pendirian dan/atau perbaikan gerai sebagai Franchisee

atas biaya sendiri akan menggunakan kontraktor untuk mendirikan,

merenovasi dan/atau memperbaiki gerai sesuai spesifikasi yang ditentukan

Franchisor, sistem dan panduan. Franchisee juga wajib atas biayanya

sendiri melakukan perbaikan gerai, termasuk namun tidak terbatas pada

penggantian shop sign, AC, komputer, dan/atau perlengkapan lainnya

sekurang-kurangnya satu kali dalam satu periode periode waralaba atau

perpanjangan periode waralaba atau bilamana dinilai perlu oleh Franchisor.

Franchisee wajib untuk membayar dan menanggung seluruh biaya

pendidikan dan pelatihan kepada Franchisor. Apabila dalam pendidikan

danpelatihan rekening bersama (Joint Account) pada saat jatuh tempo atau suatu

pembayaran kewajiban Franchisee, dan pada rekening bersama tidak mencukupi,

maka Franchisee wajib untuk menyetorkan dana tambahan dana tambahan

sejumlah kekurangan yang diperlukan. Royalti wajib dibayar oleh penerima

waralaba kepada Franchisor paling lambat setiap tanggal 15 bulan berikutnya

selama periode waralaba. Apabila berbicara mengenai iklan dan promosi, maka

Franchisee wajib untuk mengikuti promosi gabunngan (joint promotion) yang

diadakan oleh pemberi waralaba. Selanjutnya mengenai akuntansi dan keuangan,

Franchisee wajib membuat catatan dan/atau laporan harian, bulanan, atau tahunan

atas setiap transaksi penjualan produk, dan/atau transaksi lainya dan pengeluaran-

pengeluaran sehubungan dengan aktifitas gerai yang dikelola Franchisee. Dalam

Universitas Sumatera Utara


106

ketentuan perjanjian mengenai rekening bersama sudah terlihat adanya

keseimbangan kepentingan apalagi dipertegas dengan kesepakatan untuk

membuka rekening bersama pada bank guna menampung dana operasional gerai

dan menjamin ketersediaan dana atas setiap pemenuhan kewajiban pembayaran

Franchisee kepada Franchisor dan kewajiban pembayaran lainya sehubungan

dengan pelaksanaan perjanjian ini.

C. Hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Waralaba/Waralaba Alfamart

di Kota Medan

Setiap orang yang memutuskan untuk memiliki bisnis sendiri hendaknya

tunduk kepada penilaian diri sendiri mengenai sikap, kapasitas serta tujuan jangka

panjangnya. Beberapa faktor dari penilaian tersebut berlaku untuk bisnis waralaba

ataupun bukan dan beberapa di antaranya berlaku khusus hanya untuk franchising.

Terdapat faktor-faktor yang fundamental untuk penilaian tersebut, setiap calon

waralaba harus :58

1. Melakukan self examination ini;

2. Sepenuhnya jujur pada diri sendiri, dan;

3. Tidak menipu diri sendiri dengan mengejar hasratnya sendiri tidak

mengabaikan jawaban-jawaban yang benar dari pertanyaanpertanyaan yang

harus dijawabnya sendiri

58
Hasil wawancara dengan Bapak Rizky selaku Supervisor Alfamart Cabang Kecamatan
Medan Timur pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 14.00

Universitas Sumatera Utara


107

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sarah dalam pelaksanaan

perjanjian waralaba/waralaba alfamart di kota medan umumnya hambatan yang

muncul dalam pelaksanaan franchiese berasal dari pihak Franchisee nya seperti:59

1. Franchisee yang sebelumnya telah berbisnis sendiri dan mungkin pada tipe

bisnis yang sama dengan sistem waralaba.

Orang seperti ini mungkin mempunyai gagasan –gagasan sendiri sehingga

kurang dapat menerima ide dari Franchisor dan disiplin dari sistem. Karena

alasan semacam ini banyak Franchisor tidak mau menerima orang yang

telah mempunyai pengalaman bisnis pada tipe yang sama untuk menjadi

Franchisor. Meskipun demikian terdapat pula pengecualian-pengecualian.

Beberapa Franchisor mempunyai pandangan dan keyakinan yang sangat

bertentangan mereka berpendapat bahwa pengetahuan dan pengalaman

sebelumnya terhadap pasar adalah penting bagaimanapun penerima terhadap

disiplin dari sistem sangatlah mendasar.

2. Franchisee yang puas dengan dirinya sendiri.

Franchisee seharusnya tidak cepat puas dengan diri sendiri. Terdapat

banyak contoh di mana Franchisee gagal membuat usaha yang perlu karena

mengatakan “saya sekarang seorang bos dan bos tidak bekerja” sindrom bos

seperti itu bisa berbahaya. Franchisee yang mempunyai masalah ini

bersikap sebagaimana menurut mereka para bos berperilaku yaitu

berpenghasilan tanpa harus bekerja, sangat sedikit dari orang-orang seperti

itu yang sukses. Seandainya anda mempunyai sindrom bos, sebaiknya anda

59
Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba Alfamart
pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 di Sumber Alfaria Trijaya

Universitas Sumatera Utara


108

menghindari untuk berusaha secara mandiri, karena diramalkan anda akan

gagal.

3. Franchisee yang penakut

Ketakutan ini terwujud dalam dua bentuk yaitu :

a. Franchisee yang mudah menjadi takut ketika setelah pembukaan,

besarnya tanggung jawab dan tugas sebagai pengusaha mandiri membuat

khawatir.

b. Franchisee yang tidak bisa menerima kegagalan seperti yang umumnya

dialami oleh banyak bisnis pada masa-masa awal. Bahkan ketika

Franchisee telah diperingatkan bahwa kegagalan semacam itu akan

terjadi dan diberi nasihat bahwa modal kerjanya adalah untuk

menyokong usaha mereka selama periode awal sehingga keuangan

mereka harus diatur berdasarkan basis itu, mereka tetap saja takut.

4. Franchisee yang tidak mengikuti sistem

Hal ini adalah fenomena yang lebih sering terjadi setelah Franchisee berada

dalam bisnis untuk suatu jangka waktu tertentu dan sukses, dia mulai

percaya bahwa dia dan bukannya Franchisor, yang menjadi penyebab

kemakmurannya. Tentu saja Franchisee memiliki kontribusi terhadap

kesuksesannya sendiri. Beberapa Franchisee lebih baik dari yang lain dan

beberapa yang lain lebih sejahtera dari yang lain dikarenakan kerajinan dan

kerja kerasnya. Bahaya yang timbul adalah bahwa hal ini bisa menciptakan

kesombongan Franchisee. Dia merasa tahu yang terbaik dan akibatnya hal

ini dapat menyebabkan penolakannya kepada sistem Franchisor.

Universitas Sumatera Utara


109

5. Dukungan keluarga terhadap usaha fanchisee memang penting (khususnya

dari, namun dukungan adalah salah satu hal dan campur tangan adalah hal

lain, dapat dipahami bahwa seorang akan mendapatkan semangat dari

partnernya, tetapi seharusnya tidak mengambil alih fungsi Franchisor

berkinginan untuk mewawancarai baik suami maupun istri bahkan bila

hanya seorang yang mengajukan lamaran waralaba, Franchisor akan

melakukan penilaian terhadap tingkat dukungan dan campur tangan yang

mungkin datang. Teman-teman yang tidak serius seharusnya dihindari

seperti halnya menghindari suatu wabah. Mereka sebaiknya dengan sopan

dijauhkan dari bisnis, khususnya orang-orang yang mengaku mempunyai

keahlian yang mereka anggap penting dan menguntungkan bagi Franchisee.

6. Franchisee yang berharap terlalu banyak

Beberapa Franchisee merasa bahwa Franchisor seharusnya melakukan hal-

hal yang diperkenankan oleh sistem waralaba lebih banyak lagi untuk

operasi mereka pada setiap hari. Franchisee yang sebelumnya bekerja

dengan gaji harus menerima bahwa dia kini tergantung pada kinerjanya

sendiri untuk mendapatkan gaji bersih. Seorang Franchisor tentunya,

memberikan bantuan bagi seorang Franchisee yang menghadapi persoalan,

meskipun demikian seorang Franchisor tidak akan terlibat pada kegiatannya

sehari-hari atau keterlibatan lokal dan inisiatif yang dibutuhkan untuk

mengembangkan bisnis, itulah kontribusi Franchisor. Apabila Franchisee

yakin bahwa Franchisor seharusnya terlibat dalam operasi bisnisnya sehari-

hari, tak ada perspektif yang mengharuskan dia terlibat dalam sebuah

Universitas Sumatera Utara


110

hubungan waralaba. Pengecualian-pengecualiannya adalah pada sistem

waralaba yang memang membutuhkan keterlibatan seperti itu. Hal ini

terjadi misalnya apabila Franchisor mengoprasikan central booking fasilitas

(pemesanan atau sistem akunting)

7. Franchisee yang tidak mempunyai bakat yang cocok.

Orang-orang yang sangat dibutakan oleh menariknya peluang waralaba

sehingga tidak mengetahui ketidak mampuan dan ketidak efisienan mereka.

Apa yang diketahui oleh seorang Franchisor tentang Franchisee, tak pernah

sebanyak yang diketahui oleh Franchisee tentang dirinya sendiri.

Franchisee harus jujur pada dirinya sendiri dan pada Franchisor, jika

salesman yang aktif dan ia tahu itu merupakan sesuatuyang sulit baginya,

dia seharusnya berpikir dulu sebelum terlibat. Sebaliknya seorang

Franchisee yang suka bertemu dengan orangorang dan yang merasa bahwa

waralaba tersebut akan melibatkannya pada tugas-tugas administratif yang

membosankan, seharusnya dia berpikir dua kali. Termasuk juga dalam

kategori ini adalah orangorang yang barangkali telah bekerja pada level

pimpinan senior dan tidak terbiasa menyingsingkan lengan baju dan bekerja

keras pada dasar dan pada tujuan bisnis yang pasti. Penjualan bisnis

waralaba kepada seorang Franchisee yang berbakat sering membuktikan

betapa salahnya sikap pendahulunya.

Universitas Sumatera Utara


111

Selain hambatan diatas, menurut Ibu Sarah ada juga beberapa hambatan

dari pelaksanan perjanjian franchisee seperti:60

a. Mengenai Pajak atas royalty (PPn) selama ini menjadi beban Franchisee,

sedangkan royalty yang diterima oleh Franchisor adalah nilai bersih dari

gross sales.

b. Pengenaan royalty umumnya didasarkan pada gross sales, namun demikian

pada perjanjian Waralaba Indonesia didasarkann pada gross income

sedangkan pada perjanjian Waralaba asing menggunakan dasar gross sales

dan adanya kewajiban pembayaran fee-fee lainnya sebagaimana ditentukan

oleh Franchisor antara lain seperti advertising fee, training fee, dan

management service fee.

c. Program pelatihan yang tertuang dalam perjanjian Waralaba Indonesia tidak

diatur secara tegas bentuk dan waktunya berbeda halnya dengan di sebagian

perjanjian Waralaba asing.

D. Bentuk Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Perjanjian Waralaba

Alfamart

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari

munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau

aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa

hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara

hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang

60
Hasil wawancara dengan Bapak Rizky selaku Supervisor Alfamart Cabang Kecamatan
Medan Timur pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 14.00

Universitas Sumatera Utara


112

bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal

dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.61

Dilihat dari konsepnya, sebenarnya kontrak waralaba berada diantara

kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang Hak Milik

Intelektual atau know how lainnya kepada pihak lain unuk menggunakan merk

ataupun prosedur tertentu merupakan unsure perjanjian lisensi. Sedangkan di lain

pihak juga adanya quality control dari Franchisor terhadap produk-produk

pemegang lisensi yang harus sama dengan produkproduk lisensor.

Sebagaimana dalam kontrak lisensi, pada kontrak waralaba, pemegang

waralaba wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan

proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian.

Royalty kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan

dari berapa unit. Dalam hal demikian pihak Franchisor tidak peduli apakah

pemegang Franchisee untung atau tidak. Disamping harus membayar royalty,

pihak pemegang waralaba juga seringkali harus memenuhi kewajiban yang

ditetapkan oleh Franchisor untuk mendesign perusahaannya sedemikian rupa

sehingga mirip desain perusahaan Franchisor. Begitu pula dengan manajemennya,

tidak jarang Franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen.62

Objek dalam perjanjian waralaba adalah lisensi. Lisensi adalah izin yang

diberikan oleh Franchisor kepada Franchisee. Ada dua kriteria lisensi

sebagaimana dikemukakan oleh Dieter Plaff, yaitu (1) tujuan ekonomis, dan (2)

acuan yuridis. Tujuan ekonomis adalah apa yang hendak dicapai oleh lisensi itu.
61
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.53.
62
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2014, Hal.166

Universitas Sumatera Utara


113

Sedangkan acuan hukum, yaitu instrument hukumyang digunakan untuk mencapai

tujuan tersebut. 63

Dari sudut muatan yang terkandung dalam perjanjian waralaba yang

umumnya terdiri dari pasal-pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap

pokok-pokok materi terpenting di dalam perjanjian tersebut, maka minimal

terdapat klausal-klausal utama, sebagai berikut :64

1. Objek yang di-waralaba-kan

Objek yang di-waralaba-kan biasanya dikemukakan diawal perjanjian

franchising. Objek yang di-waralaba-kan harus menjelaskan secara cermat

mengenai bisnis barang/jasa apa yang termasuk dalam waralaba.

2. Tempat berbisnis

Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri Franchisor

dibutuhkan dalam usaha waralaba. Tempat yang dijadikan lokasi berbisnis

harus diperhatikan dengan baik agar kerjasama yang dijalankan

menghasilkan keuntungan yang layak.

3. Wilayah waralaba

Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh Franchisor kepada

Franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus

didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah yang diberikan

merupakan wilayah yang tidak terlampaui luas ataupun terlalu sempit,

sehingga dapat di eksplotasi secara maksimal.

4. Sewa guna
63
Ibid, hal 177
64
Johannes Ibrahim & Lindawaty sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
Bandung, Refika Aditama, 2007, hal.134-145

Universitas Sumatera Utara


114

Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha waralaba didapat dengan

suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama dengan jangka

waktu berlakunya perjanjian waralaba.

5. Pelatihan dan bantuan Teknik dari Franchisor

Pelatihan merupakan hal mutlak yang harus dijalankan oleh calon

Franchisee ataupun waralaba. Franchisor merasa bahwa pelatihan

terutama untuk tahap awal merupakan hal yang terpenting, Franchisor

harus mendapat kepastian bahwa para Franchisee beserta staff mereka

telah mendapatkan pelatihan yang baik.

6. Standar Operasional

Standar operasional biasanya tertuang dalam buku petunjuk

operasional/operasional manuas. Petunjuk tersebut mengandung metode

tertulis yang lengkap

7. Pertimbangan-petimbangan keuangan

Besarnya uang yang harus dibayarkan oleh Franchisee kepada Franchisor

pada hakekatnya merupakan pengganti atas pemberian hak-haknya dari

Franchisor kepada Franchisee.

8. Klausula-klausula Kerahasiaan

9. Perjanjian waralaba selalu memuat klausula yang melarang para pihak

(Franchisor dan Franchisee) untuk memberitahukan rahasia dagang

kepada pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan bisnis.

10. Klausula-klausula yang membatasi Persaingan

Universitas Sumatera Utara


115

Biasanya selalu dicantumkan pula bahwa setelah berakhirnya perjanjian

maka pihak Franchisee dibatasi untuk tidak berusaha dalam bisnis yang

sejenis dengan usaha waralaba yang sebelumnya telah dijalani selama

periode tertentu.

11. Pertanggungjawab

Hal ini memuat mengenai sampai sejauh mana tanggungjawab yang

dipikul baik oleh Franchisor dan Franchisee

12. Pengiklanan dan Strategi Pemasaran

Pengiklan merupakan bagian yang penting dari strategi pemasaran, oleh

karena itu, dalam perjanjian waralaba untuk kebijaksanaan pengiklanan ini

biasanya ditetapkan secara terpusat oleh Franchisor.

13. Penetapan harga dan Pembelian-Pembelian

Pembelian disini berhubungan dengan bahan-bahan yang dijadikan

pembuatan suatu produk. Seringkali Franchisor mensyaratkan bahwa

pembelian bahan baku disyaratkan untuk membeli pada pihak Franchisor

atau pihak yang ditunjuk oleh Franchisor.

14. Status Badan Usaha/Perusahaan

Status badan Usaha ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban baik

dari pihak Franchisor maupun Franchisee.

15. Hak Untuk Menggunakan Nama Merek Dagang

Franchisor akan memberikan hak penggunaan logo/desain/merek

perusahaan kepada Franchisee sehingga identitas serta penampilan bisnis

Franchisee akan sama dengan bisnis milik Franchisor.

Universitas Sumatera Utara


116

16. Masa berlaku dan Kemungkinan Pembaharuan/Perpanjangan

Perjanjian Prinsip dasar dalam mengatur jangka waktu perjanjian ini

adalah bahwa hubungan waralaba harus bertahan pada jangka waktu yang

cukup lama.

17. Pengakhiran Perjanjian Kerjasama dibidang waralaba ini biasanya berlaku

5-10 tahun

Perlindungan yang dilakukan oleh Franchisor yakni pihak Alfamart

terhadap Franchisee terkait pengelolaan bisnis waralaba berdasarkan wawancara

dengan Ibu Sarah bentuk perlindungan yang dilakukan yaitu dalam bentuk

dukungan dan bantuan pembenahan dari awal untuk memulai bisnis dari awal

lagi. Franchisor selalu memberikan kontrol dan menjaga komunikasi dengan

Franchisee sehingga apabila Franchisee mengalami keadaan yang tidak

diinginkan, akan lebih mudah ditanggapi dan diselesaikan. Dalam Franchisee

Alfamart apabila terjadi force majeur (keadaan memaksa), keadaan yang secara

tiba-tiba dan tidak disengaja, misalkan korsleting listrik mengalami kerusakan dan

akibat dari itu mengalami kebakaran. Maka peran Franchisor disini tidak diam

dan hanya menyaksikan, namun ikut membantu dan membenahi lagi dari awal.65

Waralaba merupakan suatu sistem dalam pemasaran barang dan jasa yang

melibatkan dua pihak (Franchisor dan Franchisee). Sistem ini merupakan suatu

kiat untuk memperluas usaha dengan cara menularkan sukses. Dengan demikian

dalam sistem ini harus terdapat pelaku bisnis yang sukses terlebih dahulu dimana

kesuksesan yang diperolehnya tersebut akan disebarluaskan kepada pihak lain.

65
Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba Alfamart
pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 di Sumber Alfaria Trijaya

Universitas Sumatera Utara


117

Manfaat utama bagi pemilik waralaba (Franchisor atau pengusaha yang sukses)

adalah pengurangan risiko dan investasi modal yang diperlukan untuk suatu

keperluan internal atau melalui pembagian bersama keahliannya dan

kesuksesannya, maka dalam pembagian keahlian dan kesuksesanya kepada pihak

“Franchisee” harus membayar biaya yang digunakan untuk pembelian waralaba

dengan harga yang telah sitentukan oleh Franchisor. Demikian pula Franchisor

dapat memperoleh laba melalui pendistribusian barang jika paket waralaba

tersebut adalah waralaba distribusi.

Franchisor memikul tanggung jawab tambahan atas bisnisnya yang

menuntut banyak usaha, Dalam hal ini kewajiban Franchisor maka harus bersedia

membangun susunan manajemen yang menyediakan dukungan kepada para

pemegang waralaba (Franchisee). Dalam paket dukungan tersebut termasuk

komitmen untuk melatih memasarkan, mengendalikan mutu dan dukungan yang

berkelanjutan.

Rumusan waralaba tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pemberian

waralaba merupakan suatu bentuk pemberian hak dan atau kewenangan dari satu

pihak tertentu (Franchisor) kepada pihak lainnya (Franchisee) untuk suatu jangka

waktu tertentu, menjalankan usaha, termasuk menjual atau memperdagangkan

produk-produk dalam bentuk barang dan jasa, dengan memanfaatkan atau

mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan imbalan dalam bentuk

pembayaran royalty, sebagaimana diatur dalam perjanjian waralaba tersebut.

Pada prinsipnya penyelenggaraan waralaba tidak jauh berbeda dengan

pembukaan kantor cabang. Hanya saja dalam pembukaan kantor cabang segala

Universitas Sumatera Utara


118

sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan pada waralaba penyelenggaraan

perluasan usaha tersebut didanai dan dikerjakan oleh pihak lain yang dinamakan

Franchisee atas risiko dan tanggung jawabnya sendiri, dalam bentuk usaha

sendiri, namun sesuai dengan arahan dan instruksi serta petunjuk Pemberi

Waralaba. Pada sisi lain waralaba juga tidak berbeda jauh dari bentuk

pendistribusian dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Keduanya

mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual yang sama, milik Franchisor atau

Prinsipal (dalam bentuk kegiatan distribusi). Hanya saja distributor

menyelenggarakan sendiri kegiatan penjualannya, sedangkan dalam Franchisor,

Franchisee melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan pada “arahan” atau

“petunjuk” atau “instruksi” yang telah ditetapkan atau digariskan oleh

Franchisor.66

Waralaba harus memiliki dasar hukum yang merupakan bagian dari

perjanjian atau kontrak. Perjanjian sebagai dasar hukum KUHPerdata Pasal 1338

ayat (1), 1233 s/d 1456 KUH Perdata; para pihak bebas melakukan apapun

sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kebiasaan, kesopanan

atau hal-hal lain yang berhubungan dengan ketertiban umum, juga tentang syarat-

syarat sahnya perjanjian.67

Sebagai suatu regulasi sosial dalam kehidupan ekonomi, kehadiran bisnis

waralaba telah menimbulkan permasalahan dibidang hukum. Hal ini sebagai

akibat adanya hubungan-hubungan dalam sistem waralaba yang dibangun atas

66
Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba Alfamart
pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 di Sumber Alfaria Trijaya
67
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya
Paramita,2004. Hal 339.

Universitas Sumatera Utara


119

dasar hubungan kontrak, yang dikenal dengan kontrak waralaba.Kontrak waralaba

merupakan pedoman hukum. Selain itu, Pemerintah memandang perlu

mengembangkan usaha waralaba dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, serta sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

ekonomi masyarakat Indonesia, untuk itu pemerintah menciptakan tertib usaha

serta upaya perlindungan terhadap Franchisee dan Franchisor maka dipandang

perlu menetapkan ketentuan tentang kegiatan usaha cara waralaba sehingga

pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah no. 42 tahun 2007 tentang

usaha waralaba.68

Dapat dikatakan bahwasanya para pihak (Franchisor dan Franchisee)

dalam bisnis waralaba dilindungi oleh pemerintah, karena ada peraturan yang

mengatur hal tersebut. Artinya yang melindungi para pihak tersebut merupakan

orang yang berada diatasnya dalam artian orang yang lebih tinggi diatasnya. Jadi

untuk perlindungan bagi Franchisee sendiri di lindungi oleh Franchisor dalam

bisnis waralaba Alfamart tersebut. Hal-hal mengenai perlindungan hukum dan tata

aturan sampai mekanisme pengelolaan telah diatur dalam perjanjian waralaba

yang dibuat oleh para pihak. Sehingga jenis perlindungan hukum bagi Franchisee

telah di terapkan dalam bisnis waralaba Alfamart. Perjanjian yang telah dibuat

beserta pelaksanaan telah sesuai dengan isi perjanjian dan sesuai dengan aturan

yang berlaku. Tidak terjadi kesenjangan diantara keduanya.

Selain dari perlindungan hukum yang telah dipaparkan di atas, Ibu Sarah

juga menjelaskan bahwa perlindungan hukum yag dapat dilakukan para pihak

68
Hasil wawancara dengan Bapak Rizky selaku Supervisor Alfamart Cabang Kecamatan
Medan Timur pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 14.00

Universitas Sumatera Utara


120

yakni subyek pelaku Franchisee dan Franchisor adalah perlindungan hukum

preventif dan perlindungan represif. Perlindungan preventif bertujuan mencegah

terjadinya suatu sengketa yang dilakukan kedua belah pihak selaku pelaku bisnis

waralaba. Perlindungan represif untuk menyelesaikan suatu sengketa dari kedua

belah pihak pelaku waralaba. 69

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh

pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan

dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan

perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman

tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah

dilakukan suatu pelanggaran.70

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua

macam, yaitu :

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

69
Hasil wawancara dengan Bapak Iqbal selaku Supervisor Alfamart Cabang Sekip
Kecamatan Medan Petisah pada tanggal 19 November 2019 pada pukul 16.20
70
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta, Kencana. 2008. hal. 157-158

Universitas Sumatera Utara


121

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum

suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya

adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif

sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada

kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang

preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil

keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada

pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

b. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan

Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan

hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah

bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah

dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan

pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap

tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan

Universitas Sumatera Utara


122

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat

utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Bentuk penyelesaian sengketa apabila terjadi permasalahan dalam

pelaksanaan perjanjian waralaba Alfamart berdasarkan keterangan dari Ibu Sarah

adalah jika penyelesaian secara musyawarah tidak dapat menghasilkan perdamain

ataupun jalan keluar, maka akan ditempuh dengan menggunakan mekanisme

tertentu yang disepakati sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Jika para

pihak tidak memilih forum tertentu maka akan berlaku mekanisme hukum acara.

Para pihak dalam perjanjian franchiese dapat memilih forum yang hendak dipakai

dalam penyelesaian sengketa yang timbul. Apabila tidak bisa diselesaikan dengan

musyawarah maka para pihak memilih penyelesaian sengketa di Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) yang berkedudukan di Jakarta, maka sengketa

tersebut diselesaikan dibawah penyelenggaran BANI berdasarkan peraturan

tersebut. Penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase dilandasi itikad

baik dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan non konfrontatif.71

71
Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba Alfamart
pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 di Sumber Alfaria Trijaya

Universitas Sumatera Utara


123

BAB V

KESINPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Asas hukum perjanjian dalam system hokum di Indoneisa adalah Asas

kebebasan berkontrak (freedom of contract) Sepakat mengikatkan diri

(konsensualisme), Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), Asas itikad

baik (good faith), Asas Kepercayaan, Asas Keseimbangan, Asas Kepatutan,

Asas Kepribadian, Asas Kebiasaan dan Asas Rebus sic stantibus.

2. Pengaturan hukum di Indonesia tentang perjanjian waralaba diatur dalam PP

No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Waralaba adalah hak khusus yang

dimiliki dengan orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis

dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang

telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh pihak

lain berdasarkan perjanjian waralaba. Untuk Peraturan mengenai toko

modern diatur dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang

Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko

Modern (“Perpres 112/2007”). Pengertian toko modern menurut Pasal 1

angka 5 Perpres 112/2007 adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri,

menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket,

Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang

berbentuk Perkulakan.

Universitas Sumatera Utara


124

3. Penerapan perjanjian waralaba Alfamart di Kota Medan dari sisi

perlindungan yang dilakukan oleh Franchisor yakni pihak Alfamart

terhadap Franchisee terkait pengelolaan bisnis waralaba, bentuk

perlindungan yang dilakukan yaitu dalam bentuk dukungan dan bantuan

pembenahan dari awal untuk memulai bisnis dari awal lagi. Franchisor

selalu memberikan kontrol dan menjaga komunikasi dengan Franchisee

sehingga apabila Franchisee mengalami keadaan yang tidak diinginkan,

akan lebih mudah ditanggapi dan diselesaikan. Jenis perlindungan hukum

bagi Franchisee telah di terapkan dalam bisnis waralaba Alfamart.

Perjanjian yang telah dibuat beserta pelaksanaan telah sesuai dengan isi

perjanjian dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak terjadi kesenjangan

diantara keduanya. Selain dari perlindungan hukum yang telah dipaparkan

di atas, perlindungan hukum yag dapat dilakukan para pihak yakni subyek

pelaku Franchisee dan Franchisor adalah perlindungan hukum preventif

dan perlindungan represif.

B. Saran

1. Dalam melakukan suatu perikatan atau perjanjian lebih baik terlebih dahulu

par pihak memperhatikan asas-asas di dalam melakukan suatu perjanjian

agar di kemudian hari perjanjian tersebut dapat berjalan lancar dan

sebagaimana mestinya.

2. Baik Pemerintah Daerah ataupun Pemerintah Pusat perlu segera membentuk

ataupun diperbaharui peraturan yang secara langsung maupun tidak

Universitas Sumatera Utara


125

langsung menyangkut praktek bisnis Waralaba di kota-kota besar karena

seiring berkembangnya bisnis waralaba ini di perkotaan bahkan sudah

meluas ke daerah-daerah kabupaten.

3. Hendaknya pemilik usaha waralaba memberikan penjelasan dan

pemahaman yang jelas kepada Franchisee mengenai kondisi usahanya yang

mereka sedang jalankan dan memberikan perlindungan hukum yang jelas

sehingga hal ini akan lebih baik bagi pihak Franchisee.

Universitas Sumatera Utara


126

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainuddin. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Christopher. 2011. The Law of Contract. London: Clarendon Press

Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Fuady, Munir. 2005. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era
Global. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Gautama, Bisnis. 1995. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung:


PT Alumni

Hariyani, Iswi. 2011. Membangun Gurita Bisnis Franchise. Yogyakarta: Pustaka


Yustisia

Huala, Adolf. 2005. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: Refika


Aditama

HS. Salim HS, H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2005. Hukum Kontrak:
Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika

H.S, Salim. 2014. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia.


Jakarta: Sinar Grafika

HS, Salim. 2006. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta:
Sinar Grafika

Ibrahim, Jhonny . 2010. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.


Jakarta: Bayu Media Publishing

Ibrahim Johannes & Lindawaty Sewu. 2007. Hukum Bisnis dalam Persepsi
Manusia Modern. Bandung : PT Refika Aditama

Kansil, C.S.T. 2001. Modul Hukum Dagang, Jakarata: Djambatan, 2001

Karamoy, Amir. 2011. Waralaba Jalur Bebas Hambatan Menjadi Pengusaha


Sukses. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana

Universitas Sumatera Utara


127

Mendelsohn, Martin . 2007. Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan


Franchisee. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Press Indo

Muhammad, Abdulkadir. 2012. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti,

Muhammad, Abdulkadir. 2006. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti

Najma, Siti. 2007. Bisnis Syariah dari Nol. Jakarta: Hikmah

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar
Maju

Pasaribu, Chairun, dan Suhrawardi Lubis. 2011 Hukum Perjanjian dalam Islam.
Jakarta: Rineka Cipta

Patrik, Purwahid. 1993. Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk
Merevisi Isi Perjanjian. Jakarta: Elips Project

Projodikoro, Wirjono.R,. 2003. Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur

Rahmadi, Bambang N. 2007. Aspek Hukum dan Bisnis. Bandung: PT. Nusantara
Sakti

Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. cet. 1. Yogyakarta:


Penerbit Pustaka Yustisia

Sanson, Michelle. 2002. Essential International Trade Law. Sidney: Cavendish

Setiawan, R. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta

Sewu, Lindawaty. 2004. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif


Hukum dan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Sewu, Lindawaty. 2007. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif


Hukum dan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Soeroso, R. 2011. Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan


Aplikasi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Soeroso, R. 2009. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Pembuatan dan


Aplikasi Hukum. Bandung: Alumni

Universitas Sumatera Utara


128

Soeroso, R. 1999. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Pembuatan dan


Aplikasi Hukum. Bandung: Alumni

Subekti dan Tjitrosudibio, 2004. Kitab undang-undang Hukum Perdata. Jakarta:


PT Pradnya Paramita

Subekti. 2001. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, Jakarta: PT. Intermasa

Subekti, R.2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa

Sumarsono, Sonny. 2009. Manajemen Bisnis Waralaba. Cet. I. Yogyakarta:


Graha Ilmu

Surayin, 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Yrama Widya

Sutedi, Adrian. 2008. Hukum Waralaba. Cet. II; Jakarta: Ghalia Indonesia

Sutedi, Adrian. 2008. Hukum Waralaba. Jakarta: Ghalia Indonesia

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003. Penelitian Hukum Normatif. Ed.1,
cet.7. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Wicaksono, Frans Satriyo. 2008. Panduan Lengkap Membuat Surat-surat


Kontrak. Jakarta: Visimedia

Widjaja, Gunawan. 2003. Waralaba Cet ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Peraturan perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Jurnal, Website dan Karya Ilmiah lainnya

Nurviani, Siti. Waralaba sebagai suatu perikatan atau perjanjian, Juni 2017 dari
http://www.untukku.com/artikel-untukku/waralaba-sebagai-suatu-
perikatanatauperjanjian-untukku.html yang diakses pada tanggal 28
Oktober 2019

Widjaja, Gunawan. Franchise Di Indonesia, http: www.Franchise.com, yang


diakses pada tanggal 29 Oktober 2019

Abdullah, Peranan Notaris dalam Pembuatan Kontrak Bisnis. Makalah disajikan


pasa Workshop Pengembangan Unit Revenue Generating untuk Memacu
Peningkatan Kualifikasi Akademik melalui Program Layanan Kepakaran
Legal Aspek Industri dan Sektor Usaha, pada Program Studi Hukum
Fakultas Hukum, TPSDP, BATCH III 2006, (Mataram: 2006)

Chairi, Zulfi., Aflah, dan Utary Maharany, Aspek Hukum Keberadaan Waralaba
Minimarket terhadap Toko Tradisional di Kota Medan, Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum, Vol 6 No. 2 Desember 2019

Universitas Sumatera Utara


129

Wawancara:

Hasil wawancara dengan Ibu Sarah selaku Divisi Humas Bisnis Waralaba
Alfamart pada tanggal 18 November 2019 pada pukul 14.20 WIB di
PT Sumber Alfaria Trijaya

Hasil wawancara dengan Ibu Rahimah selaku Supervisor Alfamart Cabang


Bromo Kecamatan Medan Area pada tanggal 19 November 2019 pada
pukul 11.00 WIB

Hasil wawancara dengan Bapak Rizky selaku Supervisor Alfamart Cabang


Kecamatan Medan Timur pada tanggal 19 November 2019 pada pukul
14.00 WIB

Hasil wawancara dengan Bapak Iqbal selaku Supervisor Alfamart Cabang Sekip
Kecamatan Medan Petisah pada tanggal 19 November 2019 pada pukul
16.20 WIB

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai