Anda di halaman 1dari 137

ANALISIS YURIDIS KARTEL DALAM INDUSTRI OTOMOTIF

TERKAIT BAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT (STUDI


KASUS PUTUSAN KPPU NOMOR: 08/KPPU-I/2014)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIMPU HAMONANGAN HARAHAP


NIM : 160200094

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat

serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Yuridis Kartel dalam Industri Otomotif Terkait Ban Kendaraan Bermotor Roda

Empat (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014)” dengan tepat

waktu. Skripsi ini ditulis guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia,

khususnya mengenai perjanjian kartel. Dalam skripsi ini, penulis sadar bahwa

masih banyak terdapat kekurangan dalam hal pemaparannya, sehingga masih jauh

dari kata sempurna. Kritik dan saran yang membangun tentu sangat diharapkan

demi perbaikan kepada penulis di kemudian hari.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak

yang telah memberikan doa, motivasi, semangat dan bantuan dalam bentuk

apapun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada

kedua orang tua dan satu-satunya saudara perempuan yang penulis sayangi, Papa

Drs.Mahkota, Mama Erlina Batubara dan Kakak Nurmahayati Sari Harahap, S.Si.

Penulis juga berterimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

Universitas Sumatera Utara


ii

3. Ibu Puspa Melati, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Tri Murti Lubis, SH.,MH., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH.,MLI. Selaku Dosen

Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan

bimbingan serta mengajarkan banyak hal kepada penulis hingga skripsi ini

dapat diselesaikan;

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing II

yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan maupun

bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

9. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang selama ini telah banyak membimbing dan membantu penulis;

10. Teman seperantauan penulis dari Kota Padangsidimpuan selama menjalani

masa kuliah, Faisal, Ilham, Acong, Puput, Dendy, Hafiz, Dina, Wulan,

Yulia dan Subhan;

11. Keluarga Yellow Kost yang merupakan tempat penulis tinggal dan berbagi

cerita selama masa kuliah, Dimas, Putra, Kepercayaan, Akram, Reza, Fikri

dan Agung;

Universitas Sumatera Utara


iii

12. Kelompok Dading yang merupakan teman seperjuangan penulis untuk

bersama memperoleh gelar Sarjana Hukum, Kika, Fany, Liza, Vivi, Mia,

Andri, Ricky dan Ali;

13. Teman-teman penulis Ikatan Mahasiswa Fakultas Hukum stambuk 2016

khususnya grup C.

14. Teman penulis selama ikut serta dalam organisasi di kampus, rekan-rekan

KPU FH USU 18/19, Kementeriaan Kebijakan Kampus Pema USU 19/20,

Kelompok Aspirasi Mahasiswa Revolusi dan Satma AMPI Sub. Kom. FH

USU.

15. Serta semua pihak yang telah membantu dengan memberikan semangat,

dorongan, hiburan dan hal apapun sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi bahan yang berguna bagi

pembaca dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai

hukum persaingan usaha di Indonesia. Selain itu, ilmu yang penulis dapat selama

menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sumatera Utara kiranya menjadi ilmu

yang bermanfaat dan berkah.

Medan, 13 Januari 2020


Penulis,

Dimpu Hamonangan Harahap


NIM. 160200094

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................... vii

DAFTAR ISTILAH .................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................................... 7

D. Keaslian Penulisan ............................................................................ 9

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10

F. Metode Penulisan ............................................................................. 12

G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 17

BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Hukum Persaingan Usaha ................................................................. 19

1. Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ............. 19

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha ......................................... 21

B. Substansi Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999.......................... 22

1. Asas dan Tujuan .......................................................................... 24

2. Perjanjian yang Dilarang ............................................................. 26

3. Kegiatan yang Dilarang............................................................... 34

iv

Universitas Sumatera Utara


v

4. Posisi Dominan ........................................................................... 37

5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha .......................................... 38

C. Prinsip Per se illegal dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan

Usaha. ................................................................................................ 49

BAB III KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Kartel ................................................................................................. 54

1. Pengertian Kartel ......................................................................... 54

2. Indikasi Kartel ............................................................................. 56

3. Dampak Buruk Kartel ................................................................. 58

4. Pendekatan Prinsip Per se illegal dan Rule of Reason dalam

Kartel ........................................................................................... 61

5. Penerapan Pembuktian Tidak Langsung (Indirect Evidence)

dalam Kartel ................................................................................ 63

B. Pandangan Organisation for Economic Co-Operation Development

(OECD) tentang Kartel ..................................................................... 67

C. Pengaturan Kartel .............................................................................. 70

1. Kartel dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 .............. 70

2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4

Tahun 2010 Tentang Kartel ........................................................ 74

BAB IV ANALISIS YURIDIS KASUS KARTEL DALAM INDUSTRI

OTOMOTIF TERKAIT BAN KENDARAAN BERMOTOR

RODA EMPAT (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NOMOR:

08/KPPU-I/2014).

Universitas Sumatera Utara


vi

A. Analisis Yuridis Putusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan

Usaha dalam Perkara Nomor: 08/KPPU-I/2014 ............................... 79

1. Kasus Posisi ................................................................................ 80

2. Analisis Putusan .......................................................................... 89

a. Analisis Penerapan Pembuktian Tidak Langsung (Indirect

Evidence) ............................................................................... 90

1.) Bukti Komunikasi ........................................................... 90

2.) Bukti Ekonomi ................................................................ 94

B. Upaya Hukum atas Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014.......... 96

1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 70/Pdt.Sus-

KPPU/2015/PN.Jkt.Pst................................................................ 96

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 221 K/Pdt.Sus-KPPU

/2016............................................................................................ 100

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 167 PK/Pdt.Sus-KPPU

/2017............................................................................................ 105

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 112

B. Saran.................................................................................................. 116

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 117

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS KARTEL DALAM INDUSTRI OTOMOTIF
TERKAIT BAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT (STUDI
KASUS PUTUSAN KPPU NOMOR: 08/KPPU-I/2014)

Dimpu Hamonangan Harahap*


Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH.,MLI.**
Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum.***

Salah satu ketentuan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1999 adalah kartel sebagai perjanjian yang dilarang. Larangan kartel
dilandaskan pada dampak dari kartel yang tidak hanya merugikan sesama pelaku
usaha tetapi juga merugikan konsumen bahkan perekonomian nasional. KPPU
sebagai lembaga yang berwenang dalam persaingan usaha telah melakukan
penegakan akan hukum persaingan usaha termasuk dengan memutus kasus kartel
yang terjadi yaitu kartel dalam industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor
roda empat lewat putusan nomor: 08/KPPU-I/2014.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ialah bagaimana
konsep dari kartel sebagai perjanjian yang dilarang dan bagaimana penerapan
pembuktian tidak langsung (indirect evidence) yang digunakan KPPU dalam
memutus kasus kartel ditinjau melalui analisis yuridis terhadap putusan KPPU
nomor: 08/KPPU-I/2014. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
ialah metode analisis data kualitatif lewat studi kepustakaan terhadap bahan-bahan
yang berkaitan dengan permasalahan pada skripsi ini.
Kartel merupakan salah satu ketentuan yang dilarang dalam hukum
persaingan usaha, kartel berbentuk perjanjian sehingga tergolong dalam perjanjian
yang dilarang. Kartel dalam industri otomotif dimulai lewat putusan KPPU yang
menetapkan para terlapor terbukti melakukan kartel dengan menggunakan
pembuktian tidak langsung, antara lain bukti komunikasi lewat risalah rapat APBI
dan bukti ekonomi berupa penggunaan metode kartel Harrington. Upaya
keberatan para terlapor dari tingkat keberatan hingga peninjauan kembali di MA
ditolak, sehingga putusan KPPU diperkuat dalam menetapkan terlapor telah
melakukan perjanjian kartel. Penulis berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan
KPPU hingga putusan di tingkat peninjauan kembali sudah tepat karena telah
dapat membuktikan setiap unsur dari Pasal 11 dengan pembuktian tidak langsung.
Walaupun dalam penggunaaan pembuktian tidak langsung selalu mendapat
penolakan, namun dengan dikuatkannya putusan KPPU maka majelis hakim pada
tingkat keberatan, kasasi dan peninjauan kembali mengakui penggunaan bukti
tidak langsung sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Kartel, Bukti Tidak Langsung (Indirect


Evidence).

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH

ISTILAH PENGERTIAN SUMBER

Jimly Asshiddiqie,
Demokrasi yang didasarkan atas
Konstitusi Ekonomi,
Demokrasi kebebasan dan otonomi
(Jakarta: Kompas Media
Ekonomi individu yang membuka ruang
Nusantara, 2010), hlm.
kompetisi terbuka.
381
Suhasril dan Mohammad
Kesepakatan di antara penjual Taufik
yang bersaing di pasar yang Makarao, Hukum
sama untuk menaikkan atau Larangan Praktik
Penetapan Harga menetapkan harga dengan Monopoli dan
(Price Fixing) tujuan untuk membatasi Persaingan Tidak
persaingan di antara mereka dan Sehat di Indonesia,
mendapatkan keuntungan yang (Bogor: Ghalia Indonesia,
lebih banyak 2010),
hlm. 118.
Sebuah konflik berkepentingan
yang terjadi ketika sebuah
individu atau organisasi yang http://lisapurnamylullaby.
terlibat dalam berbagai blogspot.com/2012/01/co
Conflict Of Interest
kepentingan, salah satu nflict-ofinterest.
yang mungkin bisa merusak html?m=1
motivasi untuk bertindak dalam
lainnya.
Kewenangan hakim untuk
memeriksa dan memutus suatu https://www.kompasiana.
perkara meskipun Tergugat com/dadangsukandar/550
dalam perkara tersebut tidak 99e30a33311723d2e3a66
Verstek
hadir di persidangan pada /verstek-putusan-tanpa-
tanggal yang telah ditentukan – kehadiran-tergugat
menjatuhkan putusan tanpa
hadirnya Tergugat.
Semata-mata, langsung
bertujuan untuk mengurangi
atau mematikan persaingan, Perkom Nomor 4 Tahun
Naked Restranit
atau bersifat ancillary (bukan 2010, hlm. 24
tujuan dari kolaborasi
melainkan hanya akibat ikutan).
Kemampuan sebuah perusahaan https://www.dictio.id/t/ap
Market Power dalam a-yang-dimaksud-dengan-
mengendalikan harga jual atau kekuatan-pasar-atau-

viii

Universitas Sumatera Utara


ix

harga penawaran produknya market-power/120193


kepada konsumen tanpa
mendapatkan gangguan atau
persaingan dari perusahaan lain.
Indikator deteksi kartel yang
terdiri dari; tingkat konsentrasi
dan jumlah perusahaan, ukuran
perusahaan, homogenitas
produk, kontak multi-pasar, Perkom Nomor 4 Tahun
Faktor Struktural
persediaan dan kapasitas 2010
produksi, keterkaitan
kepemilikan, kemudahan masuk
pasar, karakter permintaan dan
kekuatan tawar membeli
Indikator deteksi kartel yang
terdiri dari; transparansi dan Perkom Nomor 4 Tahun
Faktor Perilaku
pertukaran informasi serta 2010
peraturan harga dan kontrak
Keuntungan yang lebih besar
http://arti-definisi-
dari keuntungan yang hanya
pengertian.info/keuntung
Excessive Profit cukup untuk menjamin
an-di-atas-normal-atau-
perusahaan dapat melanjutkan
kelebihan-keuntungan/
pengadaan barang atau jasa
https://lawmark.wordpres
Ketergantungan antara masing-
Concius s.com/2011/02/20/oligop
masing oligopolies (Paralelisme
Paralelism oli-sebagai-perjanjian-
Kesadaran)
yang-dilarang/
Seluruh dokumen yang sah
https://www.coursehero.c
termasuk dokumen seperti cek,
om/file/pgq33j/Bukti-
Corroborating faktur, kontrak, hasil rapat,
dapat-dibagi-menjadi-
Evidence konfirmasi, pernyataan, hasil
sebagai-berikut-a-
tanya jawab, laporan
Corroborative-evidence/
pengamatan, dan hasil inspeksi
Meliputi antara lain pertukaran
informasi termasuk yang berisi
informasi tentang harga saat ini, Anna Maria Tri
biaya, rencana bisnis, Anggraini, “Penggunaan
pemanfaatan kapasitas, atau Bukti Ekonomi Dalam
non-publik, informasi bisnis Kartel Berdasarkan
Facilitating
sensitif, pengumuman harga, Hukum Pesaingan
Practice
pengumuman mengenai rencana Usaha”, Jurnal Hukum
bisnis akan datang yang PRIORIS Vol 3, No. 3,
memberikan kesempatan 2013, hlm. 11.
kepada peserta lain untuk
mengadakan adaptasi,
diseminasi atau penyebarluasan

Universitas Sumatera Utara


x

data diantara para pesaing


mengenai kegiatan ekonomi
mereka, alat dan cara untuk
mengobservasi dan mendeteksi
penurunan atau pemotongan
harga melalui klausula dalam
kontrak dan standardisasi dalam
perdagangan.
Suatu industri atau asosiasi
profesi bertanggung jawab OECD, “Toolkit
penuh atas pengaturan perilaku Penilaian Persaingan
Pengaturan Sendiri
para anggotanya, tanpa Usaha Jilid I: Prinsip-
(Self-Regulator)
sokongan legislatif pemerintah Prinsip”, Versi 2.0, 2011,
(sering kali atas desakan hlm. 19.
pemerintah)
Pemerintah memberikan
OECD, “Toolkit
sokongan legislatif untuk
Pengaturan Penilaian Persaingan
mengatur hal yang
Bersama (Co- Usaha Jilid I: Prinsip-
dikembangkan setidaknya
Regulator) Prinsip”, Versi 2.0, 2011,
sebagian oleh industri/asosiasi
hlm. 19.
profesi
Kendaraan bermotor, selain
sepeda motor, yang ditujukan
Mobil Penumpang
untuk pengangkutan https://stats.oecd.org/glos
(Passenger Car
penumpang dan dirancang sary/detail.asp?ID=3524
Radial/PCR)
untuk tempat duduk tidak lebih
dari sembilan orang
Presentase dari keseluruhan
output industri yang dihasilkan
http://e-
oleh perusahaan terbesar.
CR4 journal.uajy.ac.id/3960/3/
Biasanya jumlah perusahaan N
2EP13211.pdf
yang dihitung proporsi pangsa
pasarnya adalah 4
Metodologi yang dipakai untuk
mengukur distribusi penguasaan https://kageweblog.wordp
HHI pasar atau penghitungan ress.com/2017/07/24/inde
konsentrasi pasar di dalam ks-harfindahl/
industri.
Digunakan untuk menganalisis
hubungan struktur pasar
http://theo-
terhadap kinerja perusahaan.
education.blogspot.com/2
PCM PCM merupakan salah satu
013/03/ekonomi-
indikator kinerja yang
industri.html
digunakan sebagai perkiraan
kasar dari keuntungan industri

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ekonomi yang tidak pernah merasa puas

dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha terus menerus dalam

memperoleh kebutuhannya. Karena inilah manusia sering kali dikatakan sebagai

makhluk ekonomi (homo economicus) yang berarti sebagai makhluk yang selalu

bertindak dengan penuh perhitungan rasional dan selalu berusaha mencari

keuntungan bagi dirinya.1

Dengan demikian manusia selalu berusaha untuk tetap memperoleh

kebutuhannya dengan cara apapun guna melanjutkan kehidupannya. Pada keadaan

untuk memperoleh kebutuhan ini, seringkali timbul daya saing antar manusia

sehingga diperlukan adanya seperangkat aturan untuk mengatur bagamaina cara

manusia tersebut memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas sementara sumber

pemuas kebutuhannya sangat terbatas. Ketentuan aturan mengenai manusia

sebagai makhluk ekonomi juga diperlukan guna mencegah adanya konflik yang

timbul antar manusia dalam hal memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu

seperangkat aturan yang mengatur mengenai manusia sebagai makhluk ekonomi

1 Nurhenny Octavia, “Manusia dan Ekonomi”,


(https://www.academia.edu/33169188/MANUSIA_DAN_EKONOMI, diakses pada 28 Oktober
2018, 2018)

Universitas Sumatera Utara


2

dapat ditetapkan sebagai hukum yang mengikat dan memiliki ketentuan sanksi

bagi siapa pun yang melanggar ketentuan tersebut.

Beranjak dari apa yang dikemukakan di atas jelas bahwa hukum

mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi terutama berkaitan

dengan terciptanya efisiensi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. 2

Dalam konteks hukum, usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

seringkali menimbulkan konflik yang mengakibatkan adanya praktek curang yang

dilakukan oleh manusia terutama oleh pelaku usaha. Hukum digunakan untuk

mengontrol serta memberi aturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan.

Pada tahun 1997 Asia mengalami krisis finansial yang juga menyeret

Indonesia ke dalamnya. Bahkan krisis yang berlanjut sampai pada tahun 1998 itu

tidak hanya berpusat pada krisis ekonomi tetapi juga menjalar menjadi krisis

sosial kemudian krisis politik di Indonesia. Dalam upaya untuk mempercepat

berakhirnya krisis ekonomi, pada bulan januari 1998, Indonesia mendatangkan

Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund

(IMF).3 Pada peristiwa ini maka Indonesia yang pada saat itu dihadapkan dengan

masalah besar berupa terjadinya krisis ekonomi yang disebabkan karena adanya

kelompok pengusaha yang mempunyai kedekatan dengan pemerintah sehingga

diberikan fasilitas khusus kepadanya, keadaan seperti ini menciptakan keadaan

pasar yang hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja di berbagai industri,

2
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2012), hlm. 2.
3
Ningrum Natasya Sirait I, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2011), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara


3

seperti pada industri cengkeh, pala, kayu, cendana, rotan serta proyek mobil

nasional, mulai melakukan perbaikan terkait aturan hukum persaingan usaha.

Beberapa dari isi Letter of Intent secara langsung menyoroti kepada

perbaikan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia. Salah satu diantaranya

adalah untuk menjamin adanya iklim persaingan usaha yang sehat diantara para

pelaku usaha dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau

dikenal dengan nama Undang-Undang Larangan Praktek Monnopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Substansi undang-undang ini mengatur tentang

larangan melakukan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat diantara

pelaku usaha, menjabarkan perbuatan apa saja yang dapat didefinisikan sebagai

perbuatan yang dapat merusak persaingan usaha melalui monopoli, monopsoni,

kartel, oligopoli, oligpsoni, persekongkoolan, adanya suatu komisi independen

yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan

mengatur mengenai sanksi dan prosedur penegakan hukum.4

Kehadiran undang-undang anti monopoli ini seharusnya disambut

gembira oleh keseluruhan masyarakat Indonesia, baik kalangan dunia usaha

maupun masyarakat konsumen, karena dengan adanya undang-undang ini kita

memiliki suatu parameter yang objektif dan normatif untuk menilai perjalanan

usaha di tanah air.5 Sebagai salah satu yang menjadi cakupan pengaturan yang

terdapat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ialah perjanjian kartel. Kartel

merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dalam undang-undang ini, tepatnya

4
Ibid, hlm. 10.
5
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara


4

pada Pasal 11 yang mengatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,

dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga

dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.6 Kartel sebagai perjanjian yang dilarang tentu memiliki dampak yang buruk

kepada dunia perekonomian khususnya bidang persaingan usaha, maka dari itu

penetapan kartel sebagai perjanjian yang dilarang merupakan langkah untuk tetap

menjaga iklim persaingan usaha yang sehat.

Pada pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menerangkan

bahwa perjanjian adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,

baik secara tertulis maupun tidak tertulis.7

Salah satu industri yang menjadi kebutuhan dari berbagai pihak dalam

menjalankan kehidupan sehari-hari maupun menunjang berbagai kegiatan

ekonomi ialah industri ban kendaraan bermotor. Ban adalah salah satu komponen

penting yang mempengaruhi gerak laju akselerasi sebuah kendaraan. Industri ban

nasional merupakan salah satu andalan yang mampu berkompetisi di tingkat

global. Hal ini terindikasi dari pertumbuhan industri ban yang rata-rata 7 sampai 8

persen per tahun.8 Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) merupakan asosiasi

pelaku usaha industri ban Indonesia, berbentuk badan hukum non-profit dan non-

6
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
7
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
8
Kompas, “Industri Ban Diandalkan” (https://kemenperin.go.id/artikel/7435/Industri-
Ban-Diandalkan, diakses pada 18 September 2013, 2013)

Universitas Sumatera Utara


5

politik yang memiliki fungsi utama sebagai jembatan antara para pelaku usaha

kepada Pemerintah, baik untuk menyampaikan saran-saran maupun keberatan-

keberatan yang berkenaan dengan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan

Pemerintah, yang dibentuk untuk membantu kemajuan dan kepentingan anggota

secara bersama-sama dan lebih memfokuskan pada tujuan ekonomi, dimana setiap

anggota APBI memiliki kewajiban untuk:

1. Menjunjung tinggi makna, tujuan dan nama asosiasi serta kode etik

asosiasi;

2. Melaksanakan dan mentaati segala keputusan asosiasi;

3. Ikut serta dan aktif dalam kegiatan asosiasi; dan

4. Membayar uang pangkal, uang iuran dan sumbangan-sumbangan lain

yang diwajibkan.9

Dalam perjalanannya, industri ban di Indonesia juga diwarnai dengan

indikasi praktek persaingan usaha tidak sehat, hal tersebut terbukti dengan adanya

kasus kartel yang telah dijatuhkan putusannya oleh KPPU yaitu kartel dalam

industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda empat, dengan nomor:

08/KPPU-I/2014. Lewat kewenangannya yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU melakukan penelitian tentang adanya

dugaan kartel pada indusri ban kendaraan bermotor roda empat, lewat hasil

penelitian dan dilanjutkan dengan penyelidikan maka ditemukan bukti yang cukup

sehingga KPPU menetapkan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap

9
Ananda Febrita Wijayanti, Tesis: “Penggunaan Metode Harrington Untuk Menilai
Terjadinya Kartel dalam Produksi Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat Studi Kasus Putusan
KPPU Nomor:08/Kppu-I/2014”, (Yogyakarta: UGM, 2016), hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


6

kasus ini, maka dari itu kasus kartel pada industri ban kendaraan bermotor roda

empat ini merupakan inisatif KPPU sebagai lembaga yang berwenang. KPPU

memutuskan bahwa 6 produsen ban diantaranya PT Bridgestone Tire Indonesia,

PT Sumi Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal Tbk, PT Goodyer Indonesia Tbk,

PT Elang Perdana Tyre Indusry, PT Industri Karet Deli terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10 Adanya temuan tentang risalah rapat APBI

terkait kesepakatan penetapan harga oleh anggota asosiasi dijadikan majelis

komisi sebagai bukti komunikasi dan penggunaan metode Harrington untuk

deteksi kartel sebagai bukti ekonomi, yang masing-masing termasuk ke dalam

penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence). Walaupun mendapat

penolakan terkait penggunaan pembuktian tidak langsung oleh terlapor, majelis

komisi tetap memutuskan bahwa para terlapor telah terbukti secara sah dan

meyakinkan telah melanggar ketentuan dari hukum persaingan usaha tepatnya

terkait kartel. Terhadap putusan ini telah dilakukan pengajuan keberatan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kasasi ke Mahkamah Agug kemudian

dilanjutkan dengan melakukan upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Dari hal di atas penulis akan memaparkan melalui skripsi ini, bagaimana

kartel dalam industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda empat yang

dilakukan oleh para terlapor, bagaimana KPPU sebagai lembaga berwenang

10
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014”,
hlm. 231.

Universitas Sumatera Utara


7

dalam menyelesaikan kasus ini sehingga iklim dari persaingan usaha pada indutri

ban kendaraan bermotor merupakan iklim usaha sehat bagi setiap pelaku usaha.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka dirumuskan hal-hal

yang menjadi masalah dalam skiripsi ini ialah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep dari kartel sebagai perjanjian yang dilarang dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ?

2. Bagaimanakah penerapan pembuktian tidak langsung (indirect evidence)

pada kasus pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban

kendaraan bermotor roda empat ?

3. Bagaimanakah analisis hukum terhadap putusan KPPU nomor:

08/KPPU-I/2014 tentang pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait

ban kendaraan bermotor roda empat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep dari kartel sebagai perjanjian yang dilarang

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

2. Untuk mengetahui penerapan pembuktian tidak langsung (indirect

evidence) yang diterapkan KPPU pada kasus pelanggaran Pasal 5 ayat

Universitas Sumatera Utara


8

(1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri

otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda empat.

3. Untuk melakukan analisis yuridis dari putusan KPPU nomor: 08/KPPU-

I/2014 tentang pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait ban

kendaraan bermotor roda empat.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Pembahasan mengenai praktek kartel dalam industri otomotif

terkait ban kendaraan bermotor dalam penelitian ini diharapkan mampu

memberikan tambahan referensi tentang bidang ilmu ekonomi dan ilmu

hukum khususnya bidang Hukum Persaingan Usaha mengenai praktek

kartel serta bagaimana dalam hal pembuktiannya. Selain itu dengan

dengan adanya skripsi ini maka diharapkan dapat meningkatkan sikap

kritis dan peduli akan persaingan usaha guna menciptakan iklim usaha

yang kondusif bagi para pelaku usaha dengan menegakkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Secara Praktis

Kepada penulis secara khusus manfaat dari penulisan skripsi ini

memberikan pengembangan pemahaman dan kemampuan dari apa yang

Universitas Sumatera Utara


9

diperoleh. Sealain itu memberikan manfaat juga kepada berbagai pihak

khususnya di bidang persaingan usaha baik itu pemerintah kiranya lebih

meningkatkan pengawasan terhadap bidang persaingan usaha terutama

kartel agar menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat bagi setiap

pelaku usaha dan memberikan manfaat bagi konsumen atas efisiensi dari

tiap produk atau pelayanan yang diberikan pelaku usaha.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Analisi Yuridis Kartel Dalam Industri Otomotif

Terkait Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat (Studi Kasus Putusan KPPU

Nomor: 08/KPPU-I/2014)”. Sebelum menulis skripsi ini penulis telah melakukan

penelurusan di berbagai buku-buku, peraturan perundang-undangan dan media

cetak maupun elektronik guna dijadikan sebagai referensi. Dalam penelusuran

tersebut penulis juga menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang hampir

mirip pembahasannya dengan skripsi ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Penerapan Bukti Tidak Langsung dalam Pelanggaran Kartel Produksi

Bibit Ayam Pedaging (Broiler) di Indonesia (Studi Kasus Putusan KPPU

Nomor: 02/KPPU-I/2016). Oleh Rinawati Sitorus, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Namun penelitian ini menitik beratkan pada

sisi penerapan bukti tidak langsung.

2. Persaingan Usaha Akibat Kartel Yamaha dan Honda atas Produk Motor

Matic 110-125 Cc Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Universitas Sumatera Utara


10

Tidak Sehat. Oleh Fachry Fajar, Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Pada penelitian ini hal yang menjadi sorotan ialah akibat dari kartel.

3. Persekongkolan dan Perjanjian Kartel dalam Impor Bawang Putih

(Analisis Kasus Terhadap Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-I/2013).

Oleh Syamsul Arifin, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Melalui surat hasil uji bersih yang dikeluarkan oleh Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menyatakan bahwa “tidak ada judul

yang sama” dengan judul skripsi ini. Penulisan skripsi ini bersifat jujur dan

merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Apabila dikemudian hari ditemukan

kesamaan judul dengan skripsi ini di pusat dokumentasi Universitas Sumatera

Utara maupun di tempat lain, maka hal tersebut di luar pengetahuan penulis.

E. Tinjauan Pustaka

Salah satu tujuan penting pengaturan Hukum Persaingan adalah

pencegahan dan penanganan terhadap kartel, karena hampir dapat dipastikan

bahwa dampak atas kartel adalah menghambat persaingan dengan cara menaikkan

harga atau profit. 11 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu pengertian

kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan

harga komoditas tertentu.12 Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang

disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, cartel atau kartel diartikan

11
Anna Maria Tri Anggraini, “Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha Edisi 4, 2010, hlm. 33.
12
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009),hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara


11

sebagai suatu bentuk kolusi atau persekongkolan antara suatu kelompok pemasok

yang bertujuan untuk mencegah persaingan sesama mereka secara keseluruhan

atau sebagian.13 Dalam praktik, anggota kartel biasanya dapat menetapkan suatu

harga ataupun suatu persyaratan tertentu atas suatu produk dengan tujuan

menghambat persaingan, sehingga dengan cara demikian diharapkan dapat

memberikan keuntungan dengan para anggota perhimpunan.14 Karena praktiknya

yang sering dilakukan secara tersembunyi maka sangat sulit untuk dilakukannya

pembuktian dalam kartel, untuk itu dengan beberapa ketentuan, penggunaan bukti

tidak langsung (indirect evidence) yang meliputi bukti komunikasi dan bukti

ekonomi dapat dipertimbangkan oleh majelis komisi dalam memutus suatu

perkara kartel.

Indonesia memberlakukan undang-undang Hukum Persaingan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999). Sama dengan

undang-undang di berbagai negara lainnya, maka UU No,5/1999 dalam pasal 30

sampai dengan pasal 37 membentuk suatu komisi independen yang disebut

dengan nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 15 Sebagaimana

layaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara-negara lain, komisi juga

diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah

eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif.16

13
Ibid.
14
Suyud Margono, Op.Cit.,hlm. 94.
15
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 106.
16
Ibid, hlm. 109.

Universitas Sumatera Utara


12

Pasal 38, 39, dan pasal 40 UU No. 5 Tahun 1999 menugaskan KPPU

untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran UU atau dugaan teradinya

pelanggaran UU baik karena adanya laporan dari anggota masyarakat yang

mengetahui, dan/atau laporan dari pelaku usaha yang dirugikan maupun atas

inisiatif KKPU sendiri tanpa adanya laporan. 17 Aturan mengenai hukum acara

persaingan usaha juga ditemukan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2019 tentang Tata

Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.

F. Metode Penelitian

Pengertian sederhana metode penelitian adalah tata cara bagaimana

melakukan penelitian. Metode penelitian membicarakan mengenai tata cara

pelaksanaan penelitian. 18 Lebih lanjut diketahui bahwa adanya istilah yang

digunakan untuk melakukan penelitian di bidang hukum yang disebut dengan

metode penelitian hukum. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian

hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau

17
Ningrum Natasya Sirait, dkk., Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), hlm. 226.
18
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Depok: Kencana, 2018), hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


13

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Berikut

merupakan metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini,

antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi

ini ialah penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif bisa juga

disebut sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini sering

kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepsikan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas.19

Cara pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu

penelitian normatif, akan memungkinkan seorang peneliti untuk

memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu

lain untuk kepentingan analisis serta eksplanasi hukum, tanpa mengubah

karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. 20 Dalam penelitian ini

penulis melakukan berbagai pendekatan guna mempermudah

penyusunan, antara lain pendekatan perundang-undangan, pendekatan

konsep, pendekatan analisis, pendekatan perbandingan, pendekatan

hiistoris dan pendekatan kasus.

19
Ibid, hlm. 124.
20
Ibid, hlm. 130.

Universitas Sumatera Utara


14

2. Sumber Data

Dalam melakukan suatu penelitian, maka peneliti

memerlukan berbagai literatur yang dijadikan sebagai bahan untuk

melakukan penjabaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

pemecahan masalah dari suatu karya tulis, berikut merupakan

sumber data dalam penelitian ini:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang

mempunyai otoritas (autoritatif). 21 Bahan hukum tersebut terdiri

atas: (a) peraturan perundang-undangan; (b) catatan-catatan resmi

atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan;

(c) putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini ialah Undang-Undang Dasar 1945, UU No. 5

tahun 1999, Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel, Peraturan KPPU No. 1 Tahun

2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan

Persainngan Usaha Tidak Sehat, Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-

I/2014, Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 70/Pdt.Sus-

KPPU/2015/PN.Jkt.Pst, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 221

K/Pdt.Sus-KPPU/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 167

PK/Pdt.Sus-KPPU/2017.

b. Bahan Hukum sekunder

21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara


15

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang

hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi

tersebut terdiri atas: (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu

dan/atau permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi

hukum, (b) kamus-kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, dan (d)

komentar-komentar atas putusan hakim. Publikasi tersebut

merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer

atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia,

jurnal, surat kabar dan sebagainya. 22 Bahan hukum sekunder yang

penulis gunakan dalam skripsi ini salah satunya adalah website resmi

KPPU dan direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier diartikan sebagai bahan hukum di luar

primer dan sekunder yang dapat digunakan sebagai penunjang

penelitian atau dapat dikatakan sebagai bahan nonhukum. Dalam

kata lain bahan hukum tersier dapat diartikan sebagai bahan hukum

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hkum sekunder.23 Bahan-bahan nonhukum

dapat berupa buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian mengenai

22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 33-37.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press), 2007), hlm. 52

Universitas Sumatera Utara


16

ilmu ekonomi, ilmu politik, dan disiplin ilmu lainnya sepanjang

mempunyai relevansi dengan objek permasalahan yang akan diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam

penyusunan skripsi ini ialah dengan studi kepustakaan (library

research). Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga

disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat serta mengolah

bahan penelitian.24 Selain itu penulis juga menggunakan internet untuk

memperoleh data yang berkaitan dengan pembahasan pada skripsi ini

seperti, buku-buku, literatur, peraturan perunang-undangan, majalah dan

sumber lain yang terkait.

4. Analisis Data

Metode analisi data yang penulis gunakan ialah analisis data

kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah

penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-

norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.25 Metode analisis

kualitatif yang penulis gunakan berupa :

a. Mengumpulkan data berupa bahan hukum primer, sekunder dan

tersier atau non hukum yang berkaitan dengan skripsi ini.

24
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), hlm. 3.
25
Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 105.

Universitas Sumatera Utara


17

b. Melakukan pembahasan dan pengelompokan terhadap data tersebut

sehingga memudahkan penulis untuk pemaparannya pada tiap

bahasan permasalahan.

c. Memaparkan kesimpulan yang bersifat kualitatif, dalam hal ini

kesimpulan tersebut berbentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi “Analisis Yuridis Kartel Dalam Industri Otomotif Terkait

Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor:

08/KPPU-I/2014)”, penulis merincikan skripsi ini ke dalam beberapa bab guna

mempermudah pemahaman dan keteraturan penulisannya. Setiap bab pada skripsi

ini saling berkaitan satu dengan yang lain, berikut merupakan sistematika

penulisan dari skripsi ini :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan penulis memaparkan konsep dasar dari

skripsi ini yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Pada bagian ini yang menjadi pembahasan penulis secara umum

ialah mengenai persaingan usaha di Indonesia yang mencakup

beberapa ketentuan seperti hukum persaingan usaha baik itu latar

belakang maupun pengertiannya, substansi dari Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara


18

No.5 Tahun 1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

dan Prinsip Per se illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum

Persaingan Usaha.

BAB III : KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai kartel secara

keseluruhan yang meliputi pengertian, indikasi, dampak,

pendekatan serta pembuktian dari kartel itu sendiri. Selain itu

pada bagian ini penulis juga memaparkan mengenai pengaturan

dari kartel di Indonesia.

BAB IV : ANALISIS YURIDIS KASUS KARTEL DALAM INDUSTRI

OTOMOTIF TERKAIT BAN KENDARAAN BERMOTOR

RODA EMPAT (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NOMOR:

08/KPPU-I/2014)

Pada bagian ini penulis akan memaparkan analisi dari kasus Kartel

Dalam Industri Otomotif Terkait Ban Kendaraan Bermotor Roda

Empat (Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014).

BAB V : PENUTUP

Pada bagian terkahir penulis akan memaparkan kesimpulan atas

pembahasan dari setiap bab yang diikuti dengan saran terkait hal

yang menjadi perbaikan pada bidang ilmu hukum khususnya

bidang hukum persaingan usaha di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Hukum Persaingan Usaha

1. Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Reformasi sistem ekonomi yang besar, dan khususnya kebijakan regulasi

yang dilakukan mulai 1980, setelah 10 tahun telah menimbulkan situasi yang

sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau

pihak tertentu yang menyingkirkan pelaku usaha kecil menengah melalui praktik

usaha kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin

penyusunan undang-undang serta pasar keuangan. Kalangan konglomerat tersebut

bahkan menikmati perlindungan undang-undang melalui serangkaian kartel untuk

semen, kaca, kayu, serta penetapan harga semen, gula, dan beraspengaturan akses

ke pasaruntuk kayu dan kendaraan bermotor, lisensi istimewa untuk pajak pabean,

dan kemudahan kredit dalam sektor industri pesawat dan mobil. 26 Akibat dari

beberapa tindakan pelaku usaha dan pemerintah ini, iklim persaingan usaha di

Indonesia menjadi terdistorsi, tidak hanya itu Indonesia juga mengalami krisis

ekonomi yang cukup parah sebagai imbas dari krisis financial yang melanda Asia

pada 1997.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar acuan

normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional yang menjelaskan bahwa

26
Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 26.

19

Universitas Sumatera Utara


20

tujuan pembangunan ekonomi adalah berdasarkan demokrasi yang bersifat

kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui

pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.27 Dalam beberapa dekade GBHN

sejak tahun 1973, karakteritik perekonomian Indonesia memang dipersiapkan

berdasarkan usaha bersama dengan orientasi kekeluargaan dimana cabang

produksi yang vital adalah dikuasai oleh negara. 28 Beberapa hal yang terlihat

sebagai bentuk dari penerapan ekonomi berasaskan kekeluargaan tersebut ialah

melalui beberapa Ketatapan MPR yang dikeluarkan. Bahwa untuk mencapai

tujuan perekonomian nasional maka haruslah melalui pemberian persamaan

kesempatan berusaha bagi setiap pelaku usaha baik besar maupun kecil.29

Dengan adanya keadaan krisis financial hebat yang dialami Indonesia

serta keadaan pasar yang terdistorsi akibat dari adanya konglomerasi beberapa

pelaku usaha dengan pemerintah yang sama sekali tidak mencerminkan tujuan

dari perekonomian nasional Indonesia, maka dipandang penting bahwa harus

adanya suatu tindakan yang diambil oleh pemerintah pada saat itu. Dalam upaya

untuk mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998

Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan

International Monetary Fund (IMF). Dari 50 butir memorandum maka

serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan pemerintah pada waktu itu.

Diantaranya adalah Keppres Nomor 20 Tahun 1998 yang mencabut fasilitas

istimewa yang sebelumnya diberikan kepada proyek Mobil Nasional, Keppres

Nomor 15 tahun 1998 yang mencabut monpoli Bulog (kecuali beras) dan Keppres
27
Ningrum Natasya I, Op.Cit., hlm. 1.
28
Ibid
29
Ibid, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


21

Nomor 21 Tahun 1998 yang membubarkan Badan Penyangga Pemasaran

Cengkeh (BPPC). Ada yang berpendapat bahwa peran serta IMF cukup penting

dalam mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi pada beberapa materi

perundang-undangan baru khususnya yang menyangkut mengenai persaingan

usaha.30

Untuk mencegah dan menindak pelaku usaha yang melakukan

persaingan usaha tidak sehat itu diperlukan adanya aturan hukum. Tanda adanya

aturan hukum, persaingan usaha yang sehat tidak mungkin dapat diwujudkan.

Oleh karena itu, untuk menjamin adanya persaingan usaha yang sehat itu

dibuatlah Undang-Undang Persaingan Usaha yang mengatur berbagai mekanisme

persaingan usaha dan menjamin terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan

adil.31

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Terdapat beberapa istilah yang dapat dipersamakan dengan istilah

hukum persaingan usaha, dikarenakan pada beberapa Negara istilah hukum

persaingan usaha ini dapat disebut sebagai Antitrust Law, Antimonopoly Law,

Competition Law, Unfair Trade Practice Law serta Fair Competition Law. Secara

sederhana hukum persaingan usaha dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur

tentang persaingan usaha.

Hakikatnya hukum merupakan satu kaidah sosial yang ditujukan untuk


32
mempertahankan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Dalam Undang-

30
Ibid, hlm. 7.
31
Hermansyah, Op.Cit., hlm. 12.
32
Ibid, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


22

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa persaingan usaha tidak sehat

adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan

atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 33 Menurut Arie Siswanto,

hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang

menentukan tentang bagaimman persaingan itu harus dilakukan. 34 Sedangkan

dalam Kamus Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christopher Pass dan Bryan

Lowes, yang dimaksud dengan Competition Law (hukum persaingan) adalah

bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli, penggabungan

dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan praktik anti

persaingan.35

Menurut Hermansyah yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha

adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang

berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan

dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedang kebijakan

persaingan usaha adalah kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah di

bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan usaha dan melindunngi kepentingan konsumen.36

33
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999
34
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 25.
35
Hermansyah, Op.Cit., hlm. 2.
36
Ibid

Universitas Sumatera Utara


23

B. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan dasar hukum yang

mengatur ketentuan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia.

Sebagaimana struktur undang-undang lainnya, maka Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 juga diawali dengan berbagai definisi umum yang dipergunakan

dalam udang-undang. Struktur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur

mengenai Ketentuan Umum, Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan yang Dilarang,

Posisi Dominan maupun mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),

Prosedur Penanganan Perkara, Sanksi serta Pengecualian.37

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini terdiri atas 11 bab dan 53 Pasal,

yaitu :

Bab I : Ketentuan Umum

Bab II : Asas dan Tujuan

Bab III : Perjanjian yang Dilarang

Bab IV : Kegiatan yang Dilarang

Bab V : Posisi Dominan

Bab VI : Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Bab VII : Tata Cara Penanganan Perkara

Bab VIII : Sanksi

Bab IX : Ketentuan Lain

Bab X : Ketentuan Peralihan

37
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 84.

Universitas Sumatera Utara


24

Bab XI : Ketentuan Penutup. 38

1. Asas dan Tujuan

Tujuan pembentukan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli

secara tegas tercantum di dalam Pasal 3 dan secara implisit ada pula di bagian
39
konsiderans. Di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengatakan bahwa :

Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk :


a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.40

Apabila dlihat bagian konsiderans, dapat ditarik tiga tujuan umum yang

hendak dicapai dengan penyususnan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli

ini. Pertama, undang-undang ini ditujukan untuk mengarahkan pembangunan

ekonomi kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, undang-undang ini disusun untuk

mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang

sama bagi setiap warga negara yang ikut serta dalam proses produksi dan

pemasaran barang dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi

38
Ayudha D Prayoga dkk, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia, (Jakarta: Proyek ELIPS, 2000), hlm. 50.
39
Arie Siswanto, Op.Cit, hlm. 75.
40
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


25

pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar secara wajar.

Ketiga, undang-undang ini dimaksudkan untuk menegah pemusatan kekuatan

ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

Apabila tiap-tiap dari tujuan tersebut terwujud maka akan menciptakan

efisiensi terhadap produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Persaingan usaha

memungkinkan pasar menghargai kinerja pelaku usaha yang baik, sedangkan

kinerja yang tidak baik dikenakan sanksi. Dengan demikian, persaingan usaha

mendorong kegiatan pelaku usaha, memungkinkan pelaku usaha baru masuk

pasar, dan efisiensi kegiatan pelaku usaha dapat ditingkatkan.41

Perlu dipahami bahwa setiap peraturan hukum itu berakar atau bertumpu

pada asas hukum, yakni sustu nilai yang diyakini berkenaan dengan penataan

masyarakat untuk mencapai ketertiban yang berkeadilan. Karena kebenaran

materil dari suatu tata hukum yang menjadi landasan formal suatu sistem hukum

menunjuk pada asas-asas yang menjadi fondasi bangunan keseluruhan aturan-

aturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif yang harus ditaati di negara

mana diberlakukan. Asas hukum yang menjadi fondasi hukum positif itu

sesungguhnya adalah abstraksi sebuah kaidah yang lebih umum yang

penerapannya lebih luas dari ketentuan norma-norma hukum positif.42

Asas Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli secara tegas

dicantumkan dalam Pasal 2. Menurut Pasal tersebut , asas kegiatan usaha di

Indonesia adalah “demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan

41
Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 29.
42
Dewa Gede Atmadja, “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum”, Kerta Wichaksana,
2018, Volume 12, Nomor 2. Hal 145-155

Universitas Sumatera Utara


26

antara kepentingan pelaku usaha dan kepentinngan umum”. Dalam konteks ini

yang masih perlu dipertegas sesungguhnya adalah apa yang dimaksud dengan

“keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Tanpa

ada penegasan lebih lanjut, bagian kalimat tersebut terbuka bagi penafsiran yang

sangat subjektif, yang selanjutnya akan berakibat dikorbankannya “kepentingan

pelaku usaha” atau “kepentingan umum” dengan dalih “memperhatikan

keseimbangan”. 43 Bunyi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya


berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
44
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.

2. Perjanjian yang Dilarang

Mengingat arti penting persaingan di dalam perekonomian suatu negara,

tidak mustahil beberapa negara berusaha mendukungnya dengan peraturan.

Indonesia juga tidak ketinggalan dalam hal ini mengundangkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Undang-undang ini melarang beberapa perjanjian (Pasal 4 sampai

dengan Pasal 16), beberapa kegiatan (Pasal 17 sampai dengan Pasal 24) dan

penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 25 sampai dengan 29).45

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, juga menggunakan kata “perbuatan”. Ketentuan Pasal 1313 Kiatb

Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan pengertian “perjanjian seabagai

43
Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 76.
44
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
45
Ayudha D Prayoga dkk, Op.Cit., hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara


27

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih”. Lahirnya suatu perjanjian karena, adanya persetujuan atau

kesepakataan diantara para pihak bukan persetujuan sepihak saja. 46 Ketentuan

mengenai yang dimaksud dengan perjanjian pada Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 terdapat pada Pasal 1 angka 7, yang menjelaskan bahwa:

“perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha


untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.47
Definisi perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 ini tidak menyebutkan

tujuan. Artinya tidak menyebutkan untuk apa para pihak mengadakan perjanjian.

Oleh karena itu, pengertian perjanjian menurut pasal ini tidak bisa dikatakan jelas

tanpa dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan perjanjian

yang diatur pada pasal-pasal berikutnya.48

Pihak-pihak di dalam perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 tersebut adalah

para pelaku usaha. Pada Pasal 1 angka 5 undang-undang ini secara tegas

disebutkan bahwa pelaku usaha bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha

baik berbentuk badan hukum atau bukan. 49 Menurut Ayudha D Prayoga dalam

buku Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, penggunaan

istilah perbuatan dalam pengertian perjanjian di Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, akan sangat menguntungkan karena akan memperluas cakupan larangannya.

Berikut merupakan beberapa ketentuan mengenai perjanjian yang

dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 :

46
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakrta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 188.
47
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
48
Ayudha D Prayoga dkk, Op.Cit., hlm. 75.
49
Ibid

Universitas Sumatera Utara


28

1. Pasal 4, mengatur mengenai Oligopoli

Oligopoli merupakan salah satu struktur pasar, di mana

sebagian besar komoditi (barang dan jasa) dalam pasar tersebut

dikuasai oleh beberapa perusahaan. 50 Aturan mengenai oligopoli

terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang

mengatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha


lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama


melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua)
atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompokpelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.51

2. Pasal 5, 6, 7 dan 8 mengatur mengenai Penetapan Harga

Pada literatur ilmu ekonomi, perilaku penetapan harga

(price fixing) antara perusahaan yang sedang bersaing di pasar

merupakan salah satu dari bentuk kolusi. Kolusi merujuk pada

situasi di mana perusahaan-perusahaan yang ada di pasar

melakukan koordinasi atas tindakan-tindakan mereka yang

bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. 52

Undang-Undang menetapkan pengaturan mengenai penetapan

50
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 195.
51
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
52
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 224

Universitas Sumatera Utara


29

harga sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 yang

mengatakan bahwa:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan
atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama.53
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga
yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan atau jasa yang sama.54
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar,
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.55
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan
atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.56

3. Pasal 9 mengatur mengenai Pembagian Wilayah

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar

adalah salah satu cara untuk menghindari terjadinya persaingan

diantara mereka.57 Berikut aturan mengenai pembagian wilayah.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa

53
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
54
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
55
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
56
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
57
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 273.

Universitas Sumatera Utara


30

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan


atau persaingan usaha tidak sehat.58

4. Pasal 10 mengatur mengenai Pemboikotan

Boikot mengandung arti penghentian pasokan barang oleh

produsen untuk memaksa distributor menjual kembali barang


59
tersebut dengan ketentuan khusus. Berikut aturan tentang

pemboikotan dalam undang-undang, antara lain:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku


usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain
untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha


pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa
dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha
lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.60

5. Pasal 11 mengatur mengenai Kartel

Kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, di mana

beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol

produksi, menentukan harga dan/atau wilayah pemasaran atas

suatu barang dan/atau jasa, sehingga diantara mereka (pelaku

usaha) tidak tercipta atau ada lagi persaingan. 61 Berikut aturan

kartel dalam undang-undang, antara lain :

58
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
59
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 279.
60
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
61
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 283.

Universitas Sumatera Utara


31

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku


usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.62

6. Pasal 12 mengatur mengenai Trust

Trust sebenarnya merupakan wadah bagi pelaku usaha yang

didesian untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau

industri tertentu.63 Ketentuan mengenai trust antara lain:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.64

7. Pasal 13 mengatur mengenai Oligopsoni.

Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik anti

persaingan yang cukup unik, karena dalam praktik oligopsoni

yang menjadi korban adalah produsen atau penjual dimana

biasanya untuk bentuk-bentuk praktik anti persaingan lain yang

menjadi korban umumnya konsumen atau pesaing. 65 Berikut

aturan oligopsoni:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama

62
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
63
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 308.
64
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
65
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 311.

Universitas Sumatera Utara


32

menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat


mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama


menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.66

8. Pasal 14 mengatur mengenai Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal adalah bila perusahaan-perusahaan yang

bergerak dalam jalur distribusi masih dalam satu kepemilikan atau

dibawah satu kelompok usaha dengan produsennya. 67 Berikut

aturan tentang integrasi vertikal:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah
produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau
jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan
masyarakat.68

9. Pasal 15 mengatur mengenai Perjanjian Tertutup

Perjanjian tertutup adalah suatu hambatan vertikal berupa

suatu perjanjian antara produsen atau importir dengan pedagang

pengecer yang menyatakan bahwa pedagang pengecer hanya

66
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
67
Nur Fadhila Amri, “Pengertian Strategi Integrasi Vertikal, Manfaat, Kelemahan dan
Contohnya”, (https://www.e-akuntansi.com/strategi-integrasi-vertikal/), diakses pada16 September
2019, 2019)
68
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


33

diperkenankan untuk menjual merek barang tertentu sebagai

contoh sering kita temui bahwa khusus untuk merek minyak wangi

tertentu hanya boleh dijual di tempat yang eksklusif. 69 Aturan

mengenai perjanjian tertutup, antara lain:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain


yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau


potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemasok.70

10. Pasal 16 mengatur mengenai Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri.

Pada ketentuan hukum persaingan usaha juga dilarang

untuk melakukan perjanjian dengan pihak luar negeri apabila dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Berikut aturan tentang perjanjian dengan pihak

luar negeri:

69
Muliayawan, “Persaingan Usaha Tidak Sehat dalm Tinjauan Hukum”,
(http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-sehat-dalam-
tinjauan-hukum), diakses pada 28 Oktober 2015, 2015)
70
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


34

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak


lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.71
Khusus pada perjanjian yang dilarang, tepatnya pada perjanjian kartel

yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, akan dibahas

lebih lanjut dalam bab berikutnya. Kartel sendiri merupakan kegiatan yang

dilarang karena memiliki dampak yang buruk tidak hanya bagi perekonomian

negara tetapi juga bagi konsumen itu sendiri. Dengan kartel maka pedagang dapat

melakukan perjanjian baik itu pada penetapan harga, kartel pembagian wilayah

(rayon) dan pengaturan produksi akan suatu barang, hal ini akan menimbulkan

distorsi pada pasar produk tertentu yang lebih lanjut dapat menyebabkan

terjadinya kerugian pada suatu bidang perkonomian negara. Untuk itu KPPU

sebagai lembaga berwenang harus melakukan optimalisasi dalam pengawasan

kartel. Tetapi seiring berjalannya waktu, dapat dilihat bahwa kartel masih tetap

terjadi, KPPU sebagai lembaga berwenang kurang efektif dalam hal pengawasan

maupun dalam mengadili kasus-kasus kartel yang ada, karena sampai saat ini

kartel itu sendiri masih terjadi. Maka dari itu perlu ditekankan apakah hukuman

yang diberikan terhadap para pelaku sudah tepat atau permasalahannya terdapat

pada tidak optimalnya kinerja KPPU sebagai lembaga yang berwenang dalam

menindak lanjuti kasus-kasus di bidang persaingan usaha.

3. Kegiatan yang Dilarang

Sama halnya dengan perjanjian yang dilarang, dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan


71
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


35

Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mengatur mengenai beberapa kegiatan yang

dilarang. Beberapa kegiatan tersebut dilarang dengan maskud untuk menciptakan

iklim persaingan yang kondusif, mencegah terjadinya praktek monopoli serta

tujuan lain dari diundangkannya undang-undang ini. Berikut merupakan ketentuan

pengaturan mengenai kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5

tahun 1999:

a.) Monopoli

Melihat substansi pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 tahun

1999 memberi gambaran jelas bahwa perbuatan monopoli dapat

dikategorikan melanggar hukum persaingan. Tetapi patut dicermati bila

kedudukan monopoli ini didapat melalui persaingan yang sehat maka

sesuai dengan pendekatan pasal yang bersifat rule of reason, monopoli

tidak sendirinya menjadi kegiatan yang dilarang secara mutlak.72

b.) Monopsoni

Dengan monopsoni, pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan

atau menjadi pembeli tunggal atas suatu barang atau jasa tertentu yang

kemudian akan menjadi penjual tunggal atas barang atau jasa tersebut.

Dengan kata lain, monopsoni dilarang supaya tidak menimbulkan

monopoli. 73 Ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan yang dilarang

adalah Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pelaku usaha patut

diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi

72
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 96.
73
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 169.

Universitas Sumatera Utara


36

pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima

puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.74

c.) Penguasaan Pasar

Tidak ditentukan mengenai pengertian penguasaan pasar dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun demikian, penguasaan

pasar ini adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat

sebagaimana dientukan dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-

Undang Antimonopoli tersebut. 75 Menguasai pasar adalah tujuan dari

setiap pelaku usaha, sebab dengan ini pelaku usaha akan memperoleh

keuntunngan. Yang dilarang oleh undang-undang persaingan ini

sehubungan dengan penguasaan pasar adalah cara-cara memperoleh

penguasaan dan mempertahankan penguasaan pasar.76

d.) Persekongkolan

Perbuatan berseskongkol dalam Pasal 22 menyatakan bahwa

pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur

atau menentukan pemenang tender (bid riggin). Perbuatan ini merupakan

jelas perbuatan curang karena pada dasarnya (inherently) tidak diatur dan

bersifat rahasia (walaupun ada tender yang dilakukan secara terbuka). 77

Penentuan pemenang tender dapat dilakukan dengan bergiliran (bid

riggin), menentukan penawaran tertinggi atau terendah, bergiliran menjadi

74
Ningrum Natasya Sirait I, OP.Cit., hlm. 97.
75
Hermansyah, Op.Cit., hlm. 41.
76
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 170.
77
Ayudha D Prayoga, Op.Cit., hlm 122.

Universitas Sumatera Utara


37

pemenang tender dimana seluruh proses ini dimanipulasi sehingga terlihat

seolah olah telah terjadi proses tender atau proses persaingan yang

sebenarnya padahal yang terjadi adalah persaingan semu yang telah diatur.

4. Posisi Dominan

Ketentuan pengaturan posisi dominan diatur dalam Pasal 24 sampai

dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Posisi dominan atau

menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah menjadi salah satu tujuan

pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha menjadi yang lebih

unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan. Penguasaan posisi

dominan di dalam hukum persaingan usaha tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha

tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih

unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri

dengan cara yang fair. Konsep hukum persaingan usaha adalah menjaga

persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan

mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan

(menjadi unggul) melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.78

Pada ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tepatnya pada

Pasal 1 angka 4 posisi dominan dimaksudkan sebagai keadaan dimana pelaku

usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan

dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi

di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan

78
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks, (Jakarta: KPPU,
2017), hlm. 233.

Universitas Sumatera Utara


38

keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serat kemampuan

untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. 79 Dari

ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang

dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi

dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku

usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha

pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan:

1.) Pangsa pasarnya;

2.) kemampuan keuangan;

3.) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan

4.) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa

tertentu.80

5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Hukum persaingan usaha di Indonesia yang landasannya ialah Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana dengan hukum persaingan usaha di

lain negara, mensyaratkan bahwa adanya keperluan akan pembentukan suatu

badan yang mempunyai kewenangan khusus di bidang persaingan usaha. Dalam

istilah lain badan ini dapat disebut pula dengan competition authority. Dalam

ketentuannya pengaturan mengenai badan yang bertugas mengawasi jalannya

persaingan usaha di Indonesia diatur dala Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 dan di

dalam Pasal-Pasal di luar dari bab VI Undang-Undang Nommor 5 Tahun 1999.

79
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
80
Andi Fahmi Lubis dkk, Op.Cit., hlm. 234.

Universitas Sumatera Utara


39

Badan tersebut berbentuk komisi yang disebut dengan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU).

KPPU adalah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam

menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat

dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak lain yang

memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan

tugasnya bertanggunng jawab kepada presiden. 81 Berdasarkan hal tersebut jelas

bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya segala sesuatu yang

dilakukan KPPU haruslah bersifat independen.

Dalam kajian Hukum Tata Negara, maka jenis dan fungsi badan

independen seperti KPPU misalnya, sebenarnya tidak dapat digolongkan dalam

trikotomi Montesqueiu, yaitu sebagai fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Hal ini dikarenakan dalam hal kompleksitas struktur negara-negara di zaman

modern maka badan yang merupakan produk baru demokratisasi ini sebenarya

bisa disejajarkan dengan kabinet. Walaupun demikian, kedudukan badan-badan

independen ini bukan berarti berada dalam level yang lebih tinggi dari lembaga

tinggi negara lainnya, karena justru derajat keindependensiannyalah yang akan

menentukan.82

Keanggotaan dalam komisi terdiri atas seorang ketua (merangkap

anggota), seorang wakil ketua (merangkap anggota), dan sekurang-kurangnya 7

(tujuh) orang anggota. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota

81
Hermansyah, Op.Cit., hlm. 73.
82
Hikmahanto Juwana dkk, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara
Persaingan Usaha, (Jakarta: PBC, 2003), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara


40

komisi.83 Kemudian sebagai lembaga tentunya KPPU memiliki tugas, fungsi serta

wewenang yang diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 35 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa :

Tugas Komisi meliputi:


a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.84

Kemudian pada Pasal 36 diatur mengenai wewenang dari KPPU,

dijelaskan bahwa :

Wewenang Komisi meliputi:


a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus
dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

83
Arie Siswanto, Op.Cit., hlm 93.
84
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


41

d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada


atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf
f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.85

Selain tugas dan wewenang yang telah dipaparkan, fungsi dari KPPU

telah ditentukan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun

1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam Keputusan tersebut

dijelaskan bahwa KPPU memiliki fungsi yang meliputi :

a. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha dan penyalahgunaan

posisi dominan; atau

b. Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan

c. Pelaksanaan administratif.86

Sebagaimana layaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara

negara lain, komisi juga diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang

85
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
86
Pasal 5 Keppres Nomor 75 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


42

meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif. Sehingga dari

berbagai pendapat melihhat bahwa KPPU dapat dikatakan bersifat multifungsi

karena memiliki wewenang sebagai investigator (investigative function), penyidik,

pemeriksa, penuntut (prosecuting function), pemutus (adjudication function),

maupun fungsi konsultatif (consultative function). Tetapi sebagaimana dengan

karakter yang khas dalam Hukum Persaingan Usaha maka KPPU dikatakan

sebagai lembaga quasi judicial yang artinya lembaga penegak hukum yang

mengawasi persaingan usaha. 87 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak

mengatur tentang hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian perkara di

KPPU, maka dasar hukum untuk beracara di KPPU dapat ditentukan atau tersebar
88
dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Adapaun peraturan yang

menjadi dasar hukum acara KPPU adalah seperti Pasal 36-46 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999, Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019, Peraturan Komisis Nomor 1 Tahun

2019, HIR/Rbg atau hukum acara perdata dan KUHAP. Proses penanganan

perkara yang sepenuhnya berada pada lingkup KPPU diantaranya :

a. Tindak Lanjut Laporan

b. Pemeriksaan Pendahuluan

c. Pemeriksaan Lanjutan

d. Membuat Putusan

Berikut merupakan rangkaian tata cara penanganan perkara atas dugaan

pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999:

87
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 109.
88
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara


43

a. Laporan

Penyampaian laporan atas pelanggaran undang-undang persaingan

usaha diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan

bahwa:

(1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga
telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat
melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan
yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan
menyertakan identitas pelapor.

(2) Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran


terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis
kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas
tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang
ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.89

Sementara itu ketentuan tentang syarat laporan dipertegas dalam

Peraturan Komisi yang mengatakan bahwa laporan terebut berbentuk

tertulis dan disampaikan kepada ketua komisi dengan memasukkan

identitas pelapor dan terlapor, uraian lengkap tentang dugaan pelanggaran

serta menyertakan alat bukti.

1.) Klarifikasi

Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang

menangani laporan untuk memeriksa kelengkapan administrasi laporan

dan kompetensi absolut atas laporan yang diajukan Pelapor.90 Kemudian

pada ketentuan selanjutnya dijelaskan bahwa:

(3) Hasil Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setidak-


tidaknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
a. kelengkapan administrasi laporan;

89
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
90
Pasal 1 Perkom Nomor 1 Tahun 2019

Universitas Sumatera Utara


44

b. kejelasan dugaan pasal Undang-Undang yang dilanggar;


c. penilaian kompetensi absolut Komisi; dan
d. simpulan perlu atau tidaknya dilanjutkan ke tahap Penyelidikan.

(4) Hasil Klarifikasi yang dilanjutkan ke tahap Penyelidikan harus


memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kelengkapan administrasi laporan;
b. kejelasan dugaan pasal Undang-Undang yang dilanggar;
c. kesesuaian kompetensi absolut Komisi; dan
d. terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) alat bukti. 91

b. Perkara Inisiatif

Selain berdasarkan laporan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat

(1) dan (2), KPPU dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha

yang diduga melanggar undang-undang walaupun tidak ada laporan. Dasar

hukum kewenangan KPPU ini dicantumkan dalam Pasal 40 ayat (1).

Lanjutan dasar hukum KPPU dalam hal perkara inisiatif terdapat dalam

Pasal 10 Perkom Nomor 1 Tahun 2019. Untuk melakukan inisatif

pemeriksaan perkara maka KPPU melakukannya dengan penelitian

terhadap data ataupun informasi tentang adanya dugaan pelanggaran

Undang-Undang.

c. Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Investigator Pemeriksaan untuk mendapatkan bukti yang cukup.

Penyelidikan dilakukan oleh unit kerja dan dilakukan selama 60 hari atau

dapat diperpanjang berdasarkan rapat komisi. Dalam ketentuan

penyelidikan, khususnya pada frasa “penyelidikan” yang terdapat dalam

Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruuf I serta Pasal 41 ayat (1) dan (2)
91
Pasal 6 Perkom Nomor 1 Tahun 2019

Universitas Sumatera Utara


45

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perlu diperhatikan bahwa KPPU

hanya mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan terkait alat


92
pengumpulan alat bukti sebagai pemeriksaan. Adapun tujuan dari

penyelidikan adalah sebagai berikut :

(1) Penyelidikan dilakukan untuk memperoleh bukti yang cukup,


kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran Undang-
Undang.

(2) Dalam melakukan Penyelidikan, Investigator Pemeriksaan


dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memanggil dan menghadirkan Pelapor untuk dimintai
keterangan;
b. memanggil dan menghadirkan Terlapor untuk dimintai
keterangan;
c. memanggil dan menghadirkan Saksi untuk dimintai
keterangan;
d. memanggil dan menghadirkan Ahli untuk dimintai keterangan;
e. mendapatkan surat dan/atau dokumen yang terkait dengan
perkara;
f. memperoleh data terkait aset dan omset Terlapor;
g. melakukan Pemeriksaan setempat; dan/atau
h. melakukan analisis terhadap keterangan-keterangan, surat,
dan/atau dokumen serta hasil Pemeriksaan setempat.

(3) Investigator Pemeriksaan membuat dan menandatangani Berita


Acara Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat


sebagaimana Lampiran I.93

Hasil dari penyelidikan harus memenuhi ketentuan sebagaimana

yang diatur dalam perkom, yaitu memuat identitas terlapor, memuat uraian

lengkap dari ketentuan undang-undang yang dilanggar kemudian memuat

minimal 2 alat bukti.

92
Mahkamah Konstitusi, “Putusan MK Nomor: 85/PUU-XIV/2016”. Hlm. 197.
93
Pasal 17 Perkom Nomor 1 Tahun 2019

Universitas Sumatera Utara


46

d. Pemberkasan

Hasil dari penyelidikan kemudian akan dilakukan tahap

pemberkasan, dalam ketentuan peraturan komisi, dijelaskan bahwa laporan

penyelidikan yang telah memenuhi ketentuan akan diserahkan kepada unit

untuk dilakukan pemberkasan atau penanganan perkara. Sedangkan yang

tidak lengkap akan dimasukkan dalam daftar pengentian penyelidikan.

Kemudian unit kerja penanganan perkara akan melakukan penilaian layak

atau tidak layaknya laporan hasil penyelidikan untuk dilakukan pelaporan.

e. Pemeriksaan Pendahuluan

Laporan yang dinilai telah layak dan telah dilakukan pelaporan

disusun oleh investigator penuntutan dalam laporan dugaan pelanggaran.

Laporan tersebut memuat identitas terlapor yang diduga melakukan

pelanggaran, identitas saksi dan/atau ahli, ketentuan undang-undang yang

diduga dilanggar, alat bukti dan analisis pembuktian unsur pasal yang

diduga dilanggar. Kemudian komisi akan melakukan pemeriksaan

pendahuluan. Dalam ketentuan Pasal 1 Perkom Nomor 1 Tahun 2019,

pemeriksaan pendahuluan merupakan serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh majelis komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk

menetapkan perubahan perilaku, menjatuhkan putusan atau menyimpulkan

perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan

pendahuluan dilakukan dalam jangka waktu 30 hari dan dilakukan terbuka

untuk umum. Dalam pemeriksaan pendahuluan investigator akan

Universitas Sumatera Utara


47

membacaan laporan dugaan pelanggaran dan terlapor berhak untuk

memberikan tanggapan.

f. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku merupakan komitmen pelaku usaha dan/atau

pihak lain dalam bentuk pakta integritas perubahan perilaku. Setelah

laporan dugaan pelanggaran dibacakan maka majelis komisi memberikan

kesempatan kepada terlapor untuk melakukan perubahan perilaku, dengan

ketentuan apabila seluruh terlapor setuju untuk melakukan perubahan

perilaku. Dalam hal ini majelis komisi melakukan pertimbangan untuk

memberikan kesempatan perubahan perilaku dengan pertimbangan berupa

jenis pelanggaran, waktu pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan dari

pelanggaran. Pengawasan terhadap perubahan perilaku dilakukan oleh unit

kerja yang menangani penyelidikan paling lama 60 hari dan hasil

pengawasan disusun dalam laporan pengawasan perubahan perilaku.

Apabila terlapor melakukan pelanggaran terhadap pakta integritas

perubahan perilaku maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan.

g. Pemeriksaan Lanjutan

Pemeriksaan lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh majelis komisi unntuk membuktikan ada atau tidak adanya

pelanggaran. Pemeriksaan lanjutan terdiri dari pemeriksaan saksi,

pemeriksaan ahli, pemeriksaan terlapor, pemeriksaan alat bukti dan

penyampaian simpulan hasil persidangan oleh terlapor dan investigator

Universitas Sumatera Utara


48

penuntutan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan dalam masa waktu 60 hari

dan dapat diperpanjang selam 30 hari.

h. Putusan KPPU

Sebelum membacakan putusan, majelis komisi melakukan

musyawarah tertutup untuk menilai, menganalisis, menyimpulkan dan

memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah

terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang yang

terungkap dalam persidangan dan akan dituangkan dalam putusan majelis

komisi. Dalam hal musyawarah komisi tidak menghasilkan kesepakatan

maka akan dilakukan pengambilan keputusan lewat suara terbanyak.

Putusan majelis komisi harus dibacakan dalam masa waktu paling lama 30

hari setelah pemeriksaan lanjutan. Isi dari putusan majelis komisi

setidaknya memuat tentang identitas terlapor, dugaan pelanggaran,

pertimbangan dan penilaian alat bukti yang diajukan dan/atau diperoleh

selama persidangan, analisis terhadap penerapan pasal-pasal dalam

undang-undang yang diduga dilanggar oleh terlapor, amar putusan, di hari

dan tanggal pengambilan putusan, hari dan tanggal pembacaan putusan,

nama ketua dan anggota majelis yang memutus serta nama panitera.

Panitera menyerahkan salinan putusan kepada terlapor, apabila terlapor

menolak atau tidak jelasnya alamat untuk memberikan salinan putusan

maka putusan akan diumumkan ke publik lewat situs web resmi KPPU.

Tata cara di atas merujuk pada ketentuan baru mengenai tata cara

penyelesaian sengketa persaingan usaha dengan Perkom Nomor 1 Tahun 2019

Universitas Sumatera Utara


49

sebagai landasan tertulisnya. Sebelumnya ketentuan tentang tata cara penyelesaian

perkara persaingan usaha diatur pada Perkom Nomor 1 Tahun 2010. Hal yang

menjadi sorotan dalam aturan baru yang dikeluarkan oleh KPPU ini ialah terdapat

beberapa poin baru yang berimplikasi pada proses perkara persainga usaha, antara

lain: kesempatan perubahan perilaku sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,

setiap dokumen yang diajukan bukti harus dilegalisasi di kantor pos, adanya

pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait apabila penyelidikan dihentikan, tata

cara panggilan sidang kepada pihak yang di luar negeri, verstek atau kewenangan

hakim memutus perkara jika terlapor tidak hadir setelah 2 kali dipanggil,

penegasan mengenai prinsip minimum pembuktian dengan minimal 2 alat bukti,

kriteria bukti petunjuk dan saksi yang bisa memberikan keterangan, tindakan-

tindakan yang dapat dilakukan KPPU dalam pelaksanaan putusan seperti

penyitaan serta hal-hal lain yang bersifat teknis untuk kelancaran persidangan.94

C. Prinsip Per se illegal dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan

Usaha.

Suatu tindakan yang dinyatakan bersifat anti persaingan (anti

competitive behavior) serta akibat yang ditimbulkan pada proses persaingan tentu

harus melewati beberapa acuan. Ukuran dari akibat persaingan haruslah bersifat

nyata dan substansial. Dalam hal ini terdapat ukuran yang dipergunakan dalam

hukum persaingan yaitu: melalui pembuktian yang sifatnya nyata anti persaingan

(naked restraint) misalnya seperti penetapan harga, dengan melihat akibat yang
94
Mochamad Januar, “Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan KPPU”,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cc183231f5af/yuk--pahami-aturan-baru-tata-cara-
persidangan-kppu/, diakses pada 25 April 2019, 2019)

Universitas Sumatera Utara


50

ditimbulkannya pada persaingan dan dengan melihat tindakan atau hambatan yang

dilakukan apakah akan mengakibatkan pelaku dapat menggunakan kekuatan

pasarnya (market power) untuk menghambat persaingan.95

Menurut Black’s Laws Dictionary, kata “per se” berasal dari bahasa latin

berarti by itself; in it self; taken alone; by means of itself; through itself;

inherently; in isolation; unconnected with other matters; simply as such; in its

own nature without reference to its relation. Apabila suatu aktivitas adalah jelas

maksudnya dan mempunyai akibat merusak, hakim tidak perlu sampai harus

mempermasalahkan masuk akal tidaknya peristiwa yang sama (dengan peristiwa

yang sedang diadili) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang bersangkutan

merupakan pelanggaran hukum persaingan. 96 Perse illegal yang sering juga

disebut per se violation dalam hukum persaingan adalah istilah yang mengandung

maksud bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, misalnya penetapan harga, dianggap

secara inheren bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat tanpa perlu

dibuktikan bahwa perbuatan tersebut telah merusak persaingan.97

Konsep Rule of Reason dimaksudkan untuk menyatakan suatu perbuatan

yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus

mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan

itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa

penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat antikompetitif, atau kerugian yang

95
Ningrum Natasya Sirait II, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan:
Pustaka bangsa Press, 2003), hlm. 103.
96
Ayudah D Prayoga dkk, Op.Cit., hlm. 62.
97
Ibid, hlm. 63.

Universitas Sumatera Utara


51

nyata terhadap persaingan, dan tidak berupa apakah perbuatan itu tidak adil

ataupun melawan hukum.98

Pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menggambarkan

bentuk dari pendekatan perse illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative

dengan interpretasi yang memaksa. Sebagai kebalikan dari pendekatan perse

illegal maka pendekatan rule of reason menggunakan alasan-alasan pembenaran.

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 maka substansi pasal-pasalnya yang

menggunnakan pendekatan rule of reason tergambar dalam konteks kalimat yang

membuka alternative interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu

akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan

dalam undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

atau praktek persaingan tidak sehat.99 Pasal-pasal yang munggunakan pendekatan

rule of reason biasanya ditandai dengan kata “…menimbulkan..”,

“…mengakibatkan…”, dan “…sehingga perbuatan tersebut…”.

Baik pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama

diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku bisnis

melanggar Undang-Undang Antimonopoli. Pendekatan rule of reason adalah

pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk

membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna

menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau

mendukung persaingan. Sebaliknya pendekatan per se illegal menyatakan setiap

perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas

98
Ibid
99
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 81.

Universitas Sumatera Utara


52

dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan

yang biasanya dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga

secara kolusif atas produk tertentu serta pengaturan harga penjualan kembali.100

Berikut merupakan pasal-pasal dengan pendekatan rule of reason dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat:

a. Pasal 1 ayat 2 “....... sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

dan dapat merugikan kepentingan umum”.

b. Pasal 4 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat”.

c. Pasal 7 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat”.

d. Pasal 8 “…… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat”.

e. Pasal 9 “…… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

f. Pasal 10 ayat 2 “……. sehingga perbuatan tersebut: (a) merugikan atau

dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain”

g. Pasal 11, 12, 13, 16, 17, 19 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat”.

h. Pasal 14 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya persaigan usaha

tidak sehat dan dapat merugikan masyarakat”.


100
Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam
Hukum Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis Persaingan Usaha dan Persekongkolan Tender Vol.24
No.2, 2005, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


53

i. Pasal 18, 20, 26 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

j. Pasal 28 ayat (1) dan (2) “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Kartel

1. Pengertian Kartel

Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun di sisi lain juga

diartikan secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan

yang seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain

untuk ”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan

dalam pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk

membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. 101 Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan

dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. Lebih lanjut, pengertian

mengenai kartel dapat diperjelas oleh beberapa pendapat ahli diantaranya

Samuelson dan Nordhaus dalam buku “economics” menuliskan pengertian kartel,

Cartel is an organization of independent firms, producing similar products, that

work together to raise prices and restrict outputs.102 Artinya kartel adalah sebuah

organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan independen

101
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit., hlm. 31.
102 Paul A Samuelson dan William D Nordhaus, Economics 19e, The McGraw-Hill
Companies, Inc., New York, 2010, hlm. 190.

54

Universitas Sumatera Utara


55

yang memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja sama untuk menaikkan

harga dan membatasi output (produksi).

Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti “cartel” dalam

bahasa Inggris dan “kartel” dalam bahasa Belanda. “Cartel” disebut juga

“syndicate” yaitu suatu kesepakatan (tertulis) antara beberapa perusahaan

produsen dan lain-lain yang sejenis untuk mengatur dan mengendalikan berbagai

hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, dengan tujuan menekan

persaingan dan atau persaingan usaha pada pasar yang bersangkutan, dan meraih

keuntungan. 103 Sementara itu dalam ketentuan hukum persaingan usaha dengan

landasannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara

jelas mengenai pengertian dari kartel itu sendiri, namun dijelaskan dalam

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang

kartel, pada bagian latar belakang bahwa :

Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing


untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan
jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh
keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa
konsumen membayar lebih mahal suatu produk, baik itu barang mewah
maupun barang-barang yang biasa diperlukan masyarakat seperti obat-
obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan perekonomian, karena para
pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang
berdampak pada pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah
produksi, yang akan menyebabkan inefisiensi alokasi.104

Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama,

terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan

harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi

103
Hasim Purba, “Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan
Concern”, (http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf, diakses pada 14 September
2007).
104
Perkom Nomor. 4 Tahun 2010 tentang Kartel

Universitas Sumatera Utara


56

konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan di

antara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. 105 Praktik kartel dapat

berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel

tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar

tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang terlibat di

dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel tidak akan efektif dalam

mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam

pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam

perjanjian kartel.106

Adapun teori mengenai kesuksesan perjanjian kartel ini adalah sangat

bergantung kepada kesetiaan para pelakunya yang bila tidak dapat dipertahankan

maka akan mengakibatkan harga kembali pada titik persaingan.107

2. Indikasi Kartel

Kartel sebagai salah satu perjanjian yang dilarang dalam Undang-

Undang Nommor 5 Tahun 1999 dianggap sangat merugikan bagi konsumen dan

iklim persaingan, maka dari itu dalam hal mendeteksi suatu indikasi dari kartel

akan sangat diperlukan untuk menentukan apakah suatu perjanjian yang dilakukan

pelaku usaha tersebut termasuk ke dalam perjanjian kartel yang melanggar

ketentuan peraturan prundang-undangan. Dalam hal indikasi dari kartel, lembaga

yang melakukan deteksi terhadap hal tersebut adalah Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU). Melalui penentuan faktor-faktor internal maupun


105
Andi Fahmi Lubis dkk, Op.Cit., hlm. 110
106
Ibid
107
Ningrum Natasya Sirait I, Op.Cit., hlm. 91

Universitas Sumatera Utara


57

eksternal stabillitas suatu kartel, maka kebijakan larangan kartel akan memicu

pembubaran atau paling tidak mencegah pembentukan suatu kartel. Sementara itu,

penentuan ada atau tidaknya kolusi (persekongkolan) dalam suatu industri adalah

tergantung pada struktur pasar dari industri terkait serta efektivitas dari penegakan

Hukum Persaingan.108

Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun

2010 tentang kartel, ketentuan mengenai indikasi kartel dikelompokkan ke dalam

indikator awal identifikasi kartel yang terbagi dalam faktor struktural dan faktor

perilaku, Untuk memenuhi persyaratan bukti awal yang cukup, KPPU dapat

memeriksa beberapa indikator awal yang dapat disimpulkan sebagai faktor

pendorong terbentuknya kartel, antara lain sebagai berikut :

a. Faktor Struktural ;

1.) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan

2.) Ukuran perusahaan

3.) Homogenitas produk

4.) Kontak multi-pasar

5.) Persediaan dan kapasitas produksi

6.) Keterkaitan kepemilikan

7.) Kemudahan masuk pasar

8.) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan

9.) Kekuatan tawar pembeli (buyer power)109

108
Anna Maria Tri Anggraini, Loc.Cit.,
109
Daya beli (buying power) merupakan uang investor yang berada di akun broker,
ditambah dengan dana tambahan yang berpotensi diperoleh. Perkembangan pasar dibatasi oleh
ruang lingkup daya beli yang ada. Dalam pengertian secara umum, daya beli adalah indikator

Universitas Sumatera Utara


58

b. Faktor Perilaku ;

1.) Transparansi dan Pertukaran Informasi

2.) Peraturan Harga dan Kontrak

Beberapa pendekatan di atas, merupakan indikator awal yang dapat

dijadikan sebagai deteksi terhadap kartel. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa

pendekatan yang digunakan pada kartel ialah lebih mengarah kepada analisis

ekonomi. Di dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel,

dijelaskan bagaimana penerapan rule of reason. Menurut peraturan ini, harus

dilakukan pemeriksaan secara mendalam tentang alasan-alasan mengapa para

pelaku usaha terlapor membuat kartel. KPPU harus memeriksa apakah alasan-

alasan para pelaku usaha membuat kartel ini dapat diterima (reasonable

restraint).110 Dengan demikian sebagai lembaga yang memiliki otoritas di bidang

persaingan usaha, KPPU diharapkan mampu menggunakan beberapa indikator

awal dalam penentuan kartel sejalan dengan menggunakan pendekatan prinsip

rule of reason untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut terindikasi

melakukan perjanjian kartel.

3. Dampak Buruk Kartel

Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang

mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk

mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi

ekonomi yang mendefinisikan jumlah barang atau jasa yang dapat dibeli/diperoleh dengan mata
uang tertentu. Lihat https://alpari-finance.com/id/beginner/glossary/buying-power/ diakses pada
tanggal 15 Agustus 2015.
110
Andi Fahmi Lubis dkk, Op.Cit., hlm. 112.

Universitas Sumatera Utara


59

mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk

membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama

diantara mereka.111 Sikap tersebut merupakan awal mula dari terjadinya perjanjian

kartel yang memiliki dampak buruk sehingga termasuk ke dalam perjanjian yang

dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Akibat atas tindakan kartel, secara umum para ahli sepakat bahwa kartel

mengakibatkan kerugian baik bagi perekonomian negara maupun bagi konsumen.

Kerugian bagi perekonomian suatu negara sebagai contoh misalnya dapat

mengakibatkan terjadinya inefisinsi alokasi, inefisiensi produksi, menghambat

inovasi dan penemuan teknologi baru, menghambat masuknya investor baru, serta

menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak kondusif dan kurang kompetitif

dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang

sehat. Kerugian atas kartel juga dapat dirasakan konsumen, karena konsumen

harus membayar harga atas barang dan atau jasa lebih mahal dari pada harga

pasar. Di samping itu juga terbatasnya barang dan atau jasa yang diproduksi, baik

dari sisi jumlah maupun mutunya, dan yang terakhir adalah terbatasnya pilihan

Pelaku Usaha.112

Menurut kepada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4

Tahun 2010 tentang kartel, dikatakan bahwa kartel merugikan baik pada

perkonomian Negara maupun kepada konsumen. Berikutnya lebih dikelompokkan

lagi berdasarkan kepada kerugian yang ditimbulkan kartel, antara lain :

a. Kerugian bagi perekonomian suatu Negara ;

111
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 282.
112
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit., hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara


60

1) Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi.

2) Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi.

3) Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru.

4) Menghambat masuknya investor baru.

5) Dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang

bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan

dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha

yang sehat.

b. Kerugian bagi konsumen ;

1) Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal

daripada harga pada pasar yang kompetitif.

2) Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah

dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara

para pelaku usaha.

3) Terbatasnya pilihan pelaku usaha.113

Adanya larangan tentang kartel dalam peraturan prundang-undangan di

Indonesia tentu memiliki dasar serta tujuan yang sesuai dengan falsafah dari

negara. Beberapa dampak yang timbul dari adanya kartel sangat berakibat baik

secara langsung maupun tidak langsung bagi perekonomian negara. Maka dari itu

dengan mengetahui beberapa dampak yang timbul sebagai akibat dari adanya

kartel dapat meningkatkan pola pikir dan perkembangan pengetahuan akan hal

113
Perkom Nomor 4 Tahun 2010

Universitas Sumatera Utara


61

yang menjadi tindakan anti persaingan baik itu berbentuk kegiatan maupun

perjanjian seperti kartel.

4. Pendekatan Prinsip Per se illegal dan Rule of Reason dalam Kartel

Suatu tindakan yang dinyatakan bersifat anti persaingan (anti

competitive behavior) serta akibat yang ditimbulkan pada proses persaingan tentu

harus melewati beberapa acuan. Ukuran dari akibat anti persaingan haruslah

bersifat nyata dan substansial. Dalam hal ini terdapat ukuran yang digunakan

dalam hukum persaingan yaitu: melalui pembuktian yang sifatnya nyata (naked

restraint) misalnya seperti penetapan harga, dengan melihat akibat yang

ditimbulkannya pada persaingan dan dengan melihat tindakan atau hambatan yang

dilakukan apakah akan mengakibatkan pelaku dapat menggunakan kekuatan

pasarnya (market power) untuk menghambat persaingan.114

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 melarang perjanjian

antara pesaing-pesaing untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. Larangan ini hanya

berlaku apabila perjanjian kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam bunyi Pasal 11 tersebut

dapat terlihat bahwa hukum negara-negara barat tidak banyak mempengaruhi

ketentuan pasal ini. Di negara Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa kartel

dianggap sebagai per se illegal. Di Amerika Serikat, sebagaimana price fixing,

kartel disebut sebagai naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk

114
Ningrum Natasya Sirait II, Op.Cit., hlm. 103.

Universitas Sumatera Utara


62

mempengaruhi tingkat harga dan output. 115 Alasan mengapa kartel dianggap

sebagai per se illegal di negara-negara barat terletak pada kenyataan bahwa price

fixing dan perbuatan-perbuatan kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak

negative terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang

kompetitf.116

Sementara di Indonesia sendiri pendekatan yang digunakan dalam kartel

adalah rule of reason artinya bahwa untuk menentukan apakah suatu perjanjian

tersebut merupakan kartel diperlukan adanya alasan-alasan pembenaran yang

diperoleh dari beberapa pertimbangan baik sosial, dampak dan keadilan dari

akibat perbuatan tersebut. Sesungguhnya, penerapan pendekatan rule of reason ini

kurang tepat digunakan untuk membuktikan adanya kartel. Karena dampak tindak

kartel hampir dapat dipastikan merugikan persaingan dan konsumen pengguna

produk terkait. Hampir semua negara memperlakukan kartel ini dengan

pendekatan per se illegal, bahkan beberapa negara menganggap kartel sebagai

tindakan kriminal.117

Bebarapa ahli persaingan menyatakan, bahwa terdapat beberapa

ketentuan dalam Undang-undang yang tidak selaras dengan praktik penerapan atas

kedua pendekatan dalam perkara-perkara antimonopoli dan persaingan usaha

tidak sehat. Sebagai contoh, kartel (Pasal 11) dan persekongkolan tender (Pasal

22) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan rule

of reason, padahal hampir semua negara menghukum kartel dan persekongkolan

tender (bid rigging) secara per se illegal, bahkan anggota kartel umumnya
115
Ayudha D Prayoga dkk, Op.Cit., hlm. 82
116
Ibid
117
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit., hlm. 39

Universitas Sumatera Utara


63

menghadapi tanggung jawab atas potensi kriminal. Terdapat tiga (3) alasan

pembenar dalam penggunaan pendekatan per se illegal terhadap perjanjian

penetapan harga, kartel, maupun bid rigging, yakni pendekatan ini sudah teruji

secara ekonomi, kesederhanaan proses pembuktian, serta dapat diprediksinya

hukum dan bisnis. Penerapan pendekatan per se illegal terhadap penetapan harga

dan kartel menunjukkan pula, bahwa pengadilan lebih memilih kategori hukum

dari pada ekonomi.118

5. Penerapan Pembuktian Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam

Kartel

Dalam jurnal Persaingan Usaha Edisi 4 Tahun 2010, Anna Maria Tri

Anggraini memaparkan bahwa berkaitan dengan pengungkapan sebuah kartel,

maka KPPU harus mampu membuktikan kepada publik, bahwa terdapat alat bukti

yang cukup guna memutuskan adanya pelanggaran terhadap larangan kartel.

Pembuktian tersebut dengan cara mengajukan alat bukti yang kuat untuk

pengambilan putusan bahkan membebankan sanksi administratif sesuai

kewenangannya. Sesuai dengan jenis alat bukti pemeriksaan Komisi dalam Pasal

42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah meliputi:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat dan atau dokumen;

d. Petunjuk;

118
Ibid

Universitas Sumatera Utara


64

e. Keterangan pelaku usaha.119

Dalam pedoman Pasal 11, KPPU juga memaparkan beberapa bukti yang

dapat digunakan dalam penanganan kartel, antara lain :

1) Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau


pembagian wilayah pemasaran.
2) Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan
oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir
(bisa tahunan atau per semester).
3) Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di
beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir
(bulanan atau tahunan).
4) Data kapasitas produksi.
5) Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan
yang saling berkoordinasi.
6) Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang
berlebih/excessive profit.
7) Hasil analisis data concius paralelism terhadap koordinasi harga,
kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8) Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota
yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9) Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta
perubahannya.
10) Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11) Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual
yang diduga terlibat kartel.
12) Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang
diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang
diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13) Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya
faktor pendorong kartel sesuai indikator awal.120

Dalam persoalan penggunaan alat bukti, KPPU bukan saja

menggunakan keberadaan bukti langsung (direct evidence) sebagai satu-satunya

jalur tempuh dan jalan masuk untuk mengungkapkan kegiatan usaha yang

119
Ibid, hlm. 42
120
Perkom Nomor 4 Tahun 2010

Universitas Sumatera Utara


65

melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, melainkan lembaga ini juga


121
menggunakan bukti tidak langsung (indirect evidence). Joshua Dressler

menjelaskan bahwa, indirect evidence harus diperkuat oleh kesaksian atau

sebaliknya kesaksian diperkuat oleh bukti-bukti lainnya. Dalam konteks hukum

pembuktian dikenal istilah corroborating evidence yang secara harfiah berarti

bukti yang diperkuat oleh kesaksian sebelum dipertimbangkan hakim.122

Susanti Adi Nugroho dalam bukunya mengatakan bahwa dasar KPPU

menggunakan indirect evidence ialah sebagai berikut:

a. Disebabkan karena pembuktian dengan menggunakan perjanjian atau

kesepakatan tertulis sulit dilakukan.

b. Ketiadaan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan dan

menyita surat-surat dan dokumen perusahaan menjadi salah satu

penyebab sulitnya pembuktian.123

Pendekatan yang digunakan dalam mengkualifisir unsur-unsur Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah rule of reason. Hal itu sesuai

dengan perumusan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat

rule of reason, maka dalam rangka membuktikan apakah telah terjadi kartel yang

dilarang perlu dilakukan pemeriksaan secara mendalam mengenai alasan-alasan

para pelaku usaha melakukan kartel. Majelis hakim harus memeriksa apakah

alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel ini dapat/tidak dapat diterima

(reasonable/unreasonanble restraint) apabila:

121
Fitrah Akbar Citrawan, Hukum Persaingan Usaha Penerapan Rule of Reason dalam
Penanganan Praktik Kartel, (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), hlm. 91.
122
Ibid, hlm. 92.
123
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori Praktik
serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 607.

Universitas Sumatera Utara


66

1. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang

dan/atau jasa atau ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada maka

perbuatan para pelaku usaha tidak bertentangan dengan Hukum Pelaku

Usaha.

2. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan

untuk mengurangi atau mematikan persaingan), atau bersifat ancillary

(bukan tujuan dari kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan). Apabila

kolaborasi bersifat naked, maka akan melawan hukum.

3. Kartel mempunyai market power124. Apabila kartel mempunyai pangsa

pasar (market power) yang cukup, maka mereka mempunyai kekuatan

untuk menyalahgunakan kekuatan tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada

market power, maka kemungkinan kecil kartel akan dapat

mempengaruhi pasar.

4. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang

cukup besar, sehingga melebihi kerugian yang diakibatkannya. Apabila

tidak membawa efisiensi berarti kartel hanya membawa kerugian.

5. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel

tersebut memang secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata lain

untuk mencapai keuntungan-keuntungan yang pro persaingan yang ingin

dicapai, maka perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan, dan tidak

124
Kekuatan Pasar atau Market Power merupakan kemampuan sebuah perusahaan
dalam mengendalikan harga jual atau harga penawaran produknya kepada konsumen tanpa
mendapatkan gangguan atau persaingan dari perusahaan lain. Lihat https://www.dictio.id/t/apa-
yang-dimaksud-dengan-kekuatan-pasar-atau-market-power/120193 diakses pada tanggal 1 Juli
2019

Universitas Sumatera Utara


67

terdapat cara lain atau alternatif lain yang seharusnya terpikirka oleh

para pelaku usaha.

6. Balancing test. Setelah faktor-fakor lainnya tersebut di atas telah

diperiksa, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap keuntungan yang

diperoleh melalui kartel, dengan kerugian yang diakibatkannya. Apabila

keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan kerugian

yang diakibatkannya, maka perbuatan atau tindakan para pelaku usaha

tersebut dapat dibenarkan.125

Jadi dalam hal pembuktian kartel selain menggunakan alat bukti pada

umumnya, juga dapat menggunakan bukti tidak langsung (indirect evidence)

berupa bukti komunikasi, bukti ekonomi maupun facilitating practice yang

nantinya akan dijadikan hakim sebagai pertimbangan secara rule of reason untuk

menentukan apakah alasan yang diberikan oleh pelaku usaha dapat diterima atau

tidak.

B. Pandangan Organisation for Economic Co-Operation Development

(OECD) dalam Kartel

OECD adalah wadah yang unik di mana pemerintah dari 34 negara

demokrasi bekerja bersama untuk mengatasi tantangan-tantangan globalisasi

dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. OECD juga berada di garis

depan dalam upaya-upaya untuk memahami dan membantu pemerintahan-

pemerintahan dalam menanggapi perkembangan-perkembangan dan persoalan-

125
Fitrah Akbar Citrawan, Op.Cit., 93.

Universitas Sumatera Utara


68

persoalan baru, seperti tata kelola perusahaan, ekonomi informasi dan tantangan-

tantangan dari populasi yang bartambah tua. Organisasi tersebut menyediakan

tempat di mana pemerintah-pemerintah dapat membandingkan pengalaman-

pengalaman yang berkaitan dengan kebijakan, mencari jawaban-jawaban untuk

masalah-masalah bersama, mengidentifikasi praktik yang baik dan berupaya untuk

mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dalam negeri dan internasional.126

Pada toolkit persaingan usaha oleh OECD dikatakan bahwa perilaku

yang menyerupai kartel dapat timbul dengan lebih mudah di bawah rezim dengan

pengaturan sendiri (self-regulation) atau pengaturan bersama (co-regulation),

dengan cara meningkatkan pembagian keluaran pemasok dan informasi tentang

harga atau dengan mengecualikan industri atau sektor tertentu dari jangkauan

undang-undang persaingan usaha. Kartel-kartel bersifat merugikan karena kartel

membatasi keluaran dan menaikkan harga, sehingga keadaan para konsumen

menjadi lebih buruk. Risiko-risiko yang ditimbulkan oleh kegiatan kartel harus

diseimbangkan terhadap potensi manfaat-manfaat pengaturan sendiri (self-

regulation), seperti sertifikasi teknologi baru yang lebih cepat.

Pengaturan sendiri (self-regulation) diartikan sebagai apabila suatu

industri atau asosiasi profesi bertanggung jawab penuh atas pengaturan perilaku

para anggotanya, tanpa sokongan legislatif pemerintah (sering kali atas desakan

pemerintah). Dalam hal ini APBI sebagai asosiasi terkait pada kasus kartel dalam

industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda empat dapat dikatakan

sebagai badan yang membuat pengaturan sendiri dikarenakan APBI bertanggung

126
OECD, “Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip-Prinsip”, Versi 2.0,
2011, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


69

jawab dalam pertukaran informasi antar sesama anggota yang terdaftar dalam

asosiasi ban di Indonesia. Sedangkan pengaturan bersama diartikan sebagai

apabila pemerintah memberikan sokongan legislatif untuk mengatur hal yang

dikembangkan setidaknya sebagian oleh industri/asosiasi profesi tersebut. Struktur

pengaturan sendiri (self-regulation) dan pengaturan bersama (co-regulation) dapat

menghasilkan manfaat-manfaat penting dengan memastikan bahwa standar-

standar teknis telah sesuai dan standar-standar tersebut mengalami kemajuan

seiring dengan kemajuan teknologi.

Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa peraturan-peraturan yang

mensyaratkan para peserta pasar untuk mempublikasikan informasi tentang

tingkat harga atau keluaran mereka dapat secara signifikan membantu

pembentukan kartel, karena syarat utama bagi operasi kartel adalah bahwa para

peserta dalam kartel tersebut dapat secara efektif memantau perilaku pasar para

pesaingnya (atau para mitra konspiratornya). Kartel-kartel kemungkinan besar

timbul apabila terdapat lebih sedikit peserta di pasar tersebut, apabila terdapat

hambatan masuk yang tinggi, apabila produk-produk para pemasok bersifat relatif

homogen, dan apabila informasi tentang perubahan harga atau keluaran tersedia

baik sebelum maupun segera setelah harga atau keluaran tersebut mengalami

perubahan.127

Di sisi lain apabila tujuannya adalah untuk membantu konsumen atau

menyediakan data statistik umum, data statistik agregat memiliki potensi yang

lebih kecil untuk mendukung kartel ketimbang data statistik spesifik perusahaan,

127
Ibid, hlm. 20.

Universitas Sumatera Utara


70

dan data statistik historis memiliki potensi yang lebih kecil untuk mendukung

kartel ketimbang informasi mutakhir yang dibuat pada waktu yang bersamaan.

Data statistik yang dikumpulkan dari berbagai perusahaan tidak akan membantu

anggota kartel untuk mengidentifikasi pemasok yang melanggar perjanjian kartel,

sementara data statistik spesifik perusahaan dapat mengidentifikasi dengan jelas

perusahaan yang menyimpang dari perjanjian kartel atas penetapan harga dan

kuantitas. Data statistik historis memberikan informasi yang kurang bermanfaat

bagi kartel karena kartel sering kali perlu membagi informasi yang mutakhir

dalam memutuskan tentang cara pengalokasian keluaran dan penentuan target

harga, dan dalam hal ini informasi historis tidak akan banyak membantu kartel.128

Berdasarkan pada hal tersebut, pertukaran informasi yang dilakukan para

anggota APBI secara signifikan dapat membantu pada pembentukan kartel, tetapi

apabila tujuan dari publikasi informasi adalah untuk membantu konsumen atau

menyediakan data statistik umum, data statistik agregat memiliki potensi yang

lebih kecil untuk mendukung kartel ketimbang data statistik spesifik perusahaan,

dan data statistik historis.

C. Pengaturan Kartel

1. Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Ketentuan yang mengatur mengenai kartel dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat terdapat pada Pasal 11. Kartel termasuk ke dalam kategori perjanjian

128
Ibid, hlm. 69.

Universitas Sumatera Utara


71

yang dilarang, karena salah satu unsur dari Pasal 11 menyebutkan bahwa kartel

merupakan perjanjian antar pelaku usaha. Untuk mengetahui secara jelas

mengenai kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka perlu

dilakukan penjabaran dari tiap unsur yang ada pada Pasal 11 itu sendiri.

Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian

dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga

dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan

persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk

mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat

tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak

atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya tidak

menghambat persaingan, pembuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mentolerir perjanjian kartel seperti itu.129

Unsur-unsur dalam Pasal 11 dimulai dengan pelaku usaha, pelaku usaha

dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 diartikan sebagai setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

129
Andi Fahmi Lubis dkk, Op.Cit., 110.

Universitas Sumatera Utara


72

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi. 130 Berdasarkan pada ketentuan tersebut maka unsure pelaku usaha

dalam kartel sangat jelas dapat berupa perseorangan dan badan hukum yang

melakukan kegiatannya di wilayah Republik Indonesia.

Kemudian unsur berikutnya dari Pasal 11 ialah unsur perjanjian yang

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diartikan sebagai suatu perbuatan

satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih

pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Unsur

perjanjian dalam Pasal 11 dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, dalam

kartel sendiri perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat dilakukan secara

lisan, maka dari itu dalam hal ini apabila ingin membuktikan suatu karel telah

dilakukan dengan perjanjian secara lisan antara pelaku usaha, diperlukan adanya

saksi-saksi yang dapat menerangkan bahwa perjanjian lisan tersebut memang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Kemudian isi dari

perjanjian lisan tersebut sudah mengarah dengan maksud untuk mempengaruhi

harga, mengatur produksi dan pengaturan pemasaran. Unsur pelaku usaha

pesaingnya diartikan sebagai pelaku usaha lain yang berada dalam satu pasar

bersangkutan.131

Dalam pedoman Pasal 11 tentang kartel, KPPU menjelaskan bahwa

unsur bermaksud mempengaruhi harga diartikan sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk mempengaruhi harga. Untuk

mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi dan atau

130
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
131
Perkom Nomor 3 Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara


73

pemasaran suatu barang dan atau jasa.132 Berikutnya unsur mengatur produksi dan

atau pemasaran artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel

secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih

kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa

yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang

akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya. Unsur

barang dan unsur jasa masing-masing secara jelas dipaparkan dalam Pasal 1 angka

16 dan 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa barang adalah setiap

benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan

oleh konsumen atau pelaku usaha dan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Sementara itu unsur praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

juga ditetapkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa

praktek monopoli diartikan sebagai praktek pemusatan kekuatan ekonomi oleh

satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau

pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan

usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi dan pemasaran atas barang dan

atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir dari kartel adalah

untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan

menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum dan persaingan usaha tidak sehat

132
Perkom Nomor 4 Tahun 2010

Universitas Sumatera Utara


74

diartikan sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan

produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak

jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh

karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para

anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak

sehat dan tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau

melawan.

2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun

2010 Tentang Kartel.

Binoto Nadapdap mengatakan bahwa KPPU dapat dikatakan memiliki

kewenangan yang menyerupai lembaga legislatif karena berdasarkan

kewenangannya, KPPU dapat membuat peraturan-peraturan yang tidak hanya

berlaku internal, namun juga pengaturan eksternal yang mengikat kepada

publik. 133 Salah satu dari peraturan yang dikeluarkan KPPU ialah Peraturan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang kartel. Dalam

Perkom Nomor 4 Tahun 2010, KPPU menjabarkan menyeluruh mengenai kartel

baik dari larangan kartel, pengaturan dan contoh kartel serta aturan dan sanksi dari

kartel.

Tujuan dari pembuatan pedoman tentang kartel dijelaskan KPPU lewat

tujuan pembuatan pedoman yang mengatakan bahwa Pedoman Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 11 tentang Kartel bertujuan untuk:

133
Fitrah Akbar Citrawan, Op.Cit., hlm. 54.

Universitas Sumatera Utara


75

1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang Kartel sebagaimana

dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

2. Memberikan dasar dan pemahaman yang jelas dalam pelaksanaan pasal

11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga tidak ada penafsiran

lain selain yang diuraikan dalam pedoman ini.

3. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan berperilaku untuk

menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat dan tumbuh secara

wajar.

4. Metode pendekatan yang digunakan oleh KPPU dalam memeriksa dan

melaksanakan penegakan hukum yang mengatur tentang kartel.

5. Memberikan gambaran tentang dampak-dampak kartel.134

Pedoman ini akan menjelaskan prinsip-prinsip umum dan standar-

standar dasar yang akan digunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan

dan analisa terhadap suatu kartel sebagaimana diatur dalam pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pedoman ini harus dilihat sebagai penjelasan yang

bersifat umum dan lebih difokuskan pada batasan-batasan ketentuan yang

dianggap melanggar prinsip-prinsip Hukum Persaingan Usaha, sehingga dalam

prakteknya, penerapan pedoman ini akan disesuaikan dengan proses penyelidikan

dan pemeriksaan kasus per kasus. 135 Dengan pedoman ini maka secara lebih

menyeluruh KPPU menjabarkan ketentuan mengenai kartel, sehingga pemahaman

dalam pengaplikasian Pasal 11 dapat dilakukan dengan baik guna mengawal

persaingan usaha di Indonesia.

134
Perkom Nomor 4 Tahun 2010
135
Perkom Nomor 4 Tahun 2010

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN KPPU NOMOR: 08/KPPU-

I/2014 TENTANG KARTEL DALAM INDUSTRI OTOMOTIF

TERKAIT BAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT

Sebelum melakukan analisis terhadap putusan KPPU nomor: 08/KPPU-

I/2014, penulis akan memaparkan beberapa kasus yang telah diputus KPPU terkait

pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut ini merupakan

daftar putusan KPPU tentang kartel, antara lain:

Tabel Putusan KPPU tentang kartel tahun 2000-2019.

Putusan
No Hal Putusan PN Putusan MA
KPPU
02/KPPU- DAY OLD CHICK
1. - -
I/2002 (DOC)
03/KPPU- Kargo (Surabaya-
2. - -
I/2003 Makassar)
Kartel Perdagangan
10/KPPU-
3. Garam ke Sumatera - -
L/2005
Utara
No.
11/KPPU- Distribusi Semen No. 05 K/
4. 24/Pdt.G/2006/PN.
I/2005 Gresik KPPU/2007
SBY

26/KPPP 03/KPPU/2008/PN. No. 09


5. Kartel SMS
U-L/2007 JKT.PST K/Pdt.Sus-
KPPU/2016

76

Universitas Sumatera Utara


77

Jasa Pemeriksaan
Kesehatan Calon
14/KPPU-
6. Tenaga Kerja - -
L/2009
Indonesia ke Timur
Tengah

No. No. 582


24/KPPU-
7. Minyak Goreng 03/KPPU/2010/PN.J K/PDT.SUS/20
I/2009
KT.PST 11

Penetapan Harga dan


01/KPPU-
8. Kartel dalam Industri - -
L/2010
Semen

Industri Farmasi No. 294


17/KPPU-
9. Kelas Terapi - K/PDT.SUS/20
I/2010
Amlodipine 12

Penentuan Tarif
No. 704
Angkutan Kontainer
K/Pdt.Sus-
Ukuran 20 kaki, 40
KPPU/2015(*)
06/KPPU- kaki dan 2ã—20 kaki No. 175/Pdt.G/2014/
10.
I/2013 di 12 Rute dari dan PN Mdn
No. 50
menuju Pelabuhan
PK/Pdt.Sus-
Belawan pada 2011
KPPU/2018(**)
dan 2012

No. 2/Pdt.Sus-
05/KPPU- Importasi Bawang No. 1495
11. KPPU/2015/PN Jkt.
I/2013 Putih K/Pdt.Sus-
Utr
K/2017

No. 221
K/Pdt.Sus-
Ban Kendaraan No. 70/Pdt.Sus- KPPU/2016 (*)
08/KPPU-
12. Bermotor Roda KPPU/2015/PN.Jkt. Putusan MA
I/2014
Empat Pst
No.
167 PK/Pdt.Sus-
KPPU/2017

Universitas Sumatera Utara


78

(**)

No.
Perdagangan Sapi No. 715
10/KPPU- 319/PDT.G/2016/PN
13. Impor K/Pdt.Sus-
I/2015 .JKT.PST
JABODETABEK KPPU/2018

No. 444
K/Pdt.Sus-
KPPU/2018 (*)
No. 01/Pdt.Sus-
02/KPPU- Produksi Bibit Ayam Putusan MA
14. KPPU/2017/PN
I/2016 Pedaging
Jkt.Brt
No. 79
PK/Pdt.Sus-
KPPU/2019(**)

(*) Kasasi Ke Mahkamah Agung

(**) Peninjauan Kembali Ke Mahkamah Agung

KPPU sebagai lembaga yang berwenang menurut Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal mengawasi praktek persaingan usaha di Indonesia

telah menjatuhkan beberapa putusan terkait pelanggaran terhadap hukum

persaingan usaha, sampai pada tanggal 07 Januari 2020 KPPU telah memutus

sebanyak 339 perkara persaingan usaha, baik itu berbentuk inisiatif maupun

laporan terhadap adanya pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, hal

ini diperoleh lewat situs resmi KPPU Republik Indonesia. Diantaranya terdapat 14

kasus terkait pelanggaran Pasal 11 mengenai kartel, dari 14 kasus tersebut 10

kasus merupakan inisiatif dari KPPU dan 4 merupakan laporan.

Universitas Sumatera Utara


79

Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui bahwa pelanggaran terhadap

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah terjadi sejak tahun 2002 jika

merujuk pada putusan yang telah dikeluarkan oleh KPPU. Jenis dari kasus yang

terdaftar ialah berbentuk laporan maupun inisatif dari KPPU sendiri. Dari 14

kasus, 9 diantaranya melakukan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU

lewat pengadilan negeri. Berdasarkan hal tersebut maka angka ketidakpuasan para

terlapor terhadap putusan KPPU cukup tinggi sehingga melakukan upaya hukum

keberatan hingga tingkat peninjauan kembali. Untuk mengetahui bagaimana

perjalanan kasus dari kartel, bagaimana proses persidangannya dengan penerapan

pembuktian tidak langsung (indirect evidence) dan mengetahui apakah sanksi

yang ditetapkan KPPU dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha, maka

penulis akan melakukan analisis terhadap salah satu dari kasus diatas, yaitu

putusan KPPU nomor: 08/KPPU-I/2014 serta mengikuti perjalanan dari kasus

tersebut sampai pada tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

A. Analisis Hukum Putusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha

dalam Perkara Nomor: 08/KPPU-I/2014

Komisi Pegawas Persaingan Usaha (KPPU) lewat putusan nomor

08/KPPU-I/2018 telah menetapkan enam terlapor yang terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Enam

terlapor tersebut diantaranya adalah PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Sumi

Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal, Tbk., PT Goodyear Indonesia, Tbk., PT

Elang Perdana Tyre Industry dan PT Industri Karet Deli. Masing-masing terlapor

Universitas Sumatera Utara


80

dihukum dengan membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000,00 (Dua Puluh

Lima Miliar Rupiah).

Berdasarkan putusan yang ditetapkan oleh KPPU tersebut, penulis akan

melakukan analisis hukum dengan menggunakan ketentuan hukum persaingan

usaha. Apakah putusan yang telah ditetapkan oleh KPPU sesuai dengan ketentuan

yang ada serta mengkaji beberapa hal seperti penerapan pembuktian tidak

langsung (indirect evidence) yang meliputi bukti komunikasi dan bukti ekonomi,

penerapan hukum acara persaingan usaha dan pertimbangan hakim dalam

menetapkan putusan tersebut dengan tetap berpegang pada Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat sebagai dasar hukumnya.

1. Kasus Posisi

Kasus ini bermula pada adanya indikasi perjanjian kartel yang dilakukan

oleh beberapa pelaku usaha pada industri ban, secara tepat terkait mengenai

produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas passenger

car136 (penumpang) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 periode

2009-2012 di wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan

ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI). APBI

secara rutin melakukan aktivitas atau kegiatan untuk melakukan pertemuan

bersama-sama dengan anggotanya baik dalam acara internal APBI maupun

pertemuan-pertemuan dengan mengundang pihak ketiga.

136
Mobil penumpang adalah kendaraan bermotor, selain sepeda motor, yang ditujukan
untuk pengangkutan penumpang dan dirancang untuk tempat duduk tidak lebih dari sembilan
orang (termasuk pengemudi). Lihat https://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=3524 diakses
pada 11 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara


81

Indikasi adanya perjanjian kartel tersebut dilakukan lewat metode

Harrington. Metode Harrington adalah penggabungan dari berbagai metode dan

jika dilihat seperti kartel check list (seperti competition check list yang dimiliki

KPPU) karena dia melihat kartel dari berbagai sisi. Model dari Harrington

menggunakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar

perusahaan dari hasil estimasi data panel tersebut. Dalam ekonometrika, error

atau residual regresi ini selalu dijadikan dasar untuk melihat perilaku dari suatu

kartel. Bahwa ahli ekonometrika menggunakan analisis perilaku menggunakan

pola residual baik antar waktu maupun antar individu.137

Berdasarkan pada buku Grout dan Sonderegger, Harrington, dan Arora

& Sarkar terdapat 2 metode utama untuk mendeteksi keberadaan kartel yaitu:

Metode Struktural (Structural Methods), metode ini merupakan suatu cara untuk

melakukan identifikasi karakteristik pasar yang kemungkinan menjadi kondusif

untuk terjadinya kartel. Dalam penelitian ini digunakan analisis struktural, di

antaranya analisis jumlah perusahaan, analisis hambatan masuk, dan analisis

konsentrasi dan ukuran perusahaan. Sedangkan Metode Perilaku (Behavioral

Methods) terkait dengan observasi cara-cara yang dilakukan perusahaan atau

industri untuk melakukan kartel atau observasi hasil akhir dari kartel. Cara-cara

yang dilakukan bisa dalam bentuk komunikasi langsung antar anggota kartel atau

melihat dampak terhadap pasar dari koordinasi pada harga dan kuantitas yang

dilakukan perusahaan pada industri.138

137
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014”,
hlm. 74.
138
Ibid, hlm. 77.

Universitas Sumatera Utara


82

Berikut merupakan alur deteksi kartel dengan metode Harrington :

Sumber Gambar: Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014, hlm. 75.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah pertemuan rutin APBI, sehingga

dalam hal ini APBI dianggap sebagai fasilitator terjadinya penetapan harga dan

perjanjian kartel yang ketentuannya dilarang dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan temuan investigator dan

sepenedapat dengan hal tersebut Majelis Komisi menyatakan bahwa tentang

pengaruh biaya terhadap harga dan koordinasi harga antar perusahaan dimana

hasil pengujian pada seluruh ukuran ban PCR Replacement pada Ring 13, Ring

14, Ring 15 dan Ring 16 menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan di dalam

penentuan harga antar perusahaan dalam industri ban karena seluruh pengujian

menunjukkan adanya ketergantungan antar perusahaan, hal ini tercermin dalam

Universitas Sumatera Utara


83

hubungan signifikan antar masing-masing residual/error dari setiap persamaan

perusahaan.

Berdasarkan laporan tahunan APBI diketahui bahwa terdapat 13 (tiga

belas) perusahaan yang memproduksi ban, antara lain PT Bridgestone Tire

Indonesia Produsen Ban Roda 4, PT Goodyear Indonesia, Tbk. Produsen, PT

Sumi Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal, Tbk., PT Elang Perdana Tyre

Industry, PT Industri Karet Deli, PT Hung-A Indonesia, PT Suryaraya

Rubberindo Industries, PT Banteng Pratama, PT Surabaya Kencana Tyre Industry,

PT King-Land, PT Multistrada Arah Sarana, PT Hankook Tire Indonesia.

Sedangkan dalam pembagian pasar ban sendiri dibagi menjadi 2, antara lain pasar

penggantian (replacement) dan pasar produk awal bawaan kendaraan (original

equipment).

KPPU dalam investigasinya menyoroti awal terciptanya kesepakatan

akan perjanjian kartel ini melalui adanya temuan tentang risalah rapat presidium

terkait pengaturan produksi dan/atau pemasaran ban periode 2009 sampai dengan

2012. Pada rapat presidium 28 April 2009 bertempat di Hotel Grand Melia, yang

dipimpin oleh Ketua APBI dihadiri oleh :

Universitas Sumatera Utara


84

Kemudian pada rapat tersebut para anggota APBI mengemukakan bahwa

dengan melihat tendensi penjualan salama 3 bulan tahun 2009, disimpulkan

bahwa penjualan ekspor ban roda 4 diperkirakan akan turun cukup besar. Dengan

dasar itu, maka anggota APBI diminta untuk dapat menahan diri dan terus

mengontrol distribusinya. Selanjutnya pada rapat presidium 26 Mei 2009 yang

bertempat di Hotel Nikko, yang dipimpin oleh ketua APBI dan dihadiri oleh :

Dalam rapat ini juga ditemukan ketentuan yang mengatakan bahwa

permintaan kepada seluruh anggota APBI untuk dapat menahan diri dan terus

mengontrol distribusinnya masing-masing dan menjaga kondisi pasar tetap

kondusif sesuai dengan perkembangan permintaan. Pada rapat presidium

selanjutnya yaitu tanggal 26 Januari 2010 dan tanggal 25 Februari 2010 juga

memperkuat kesepakatan yang sama terkait hal tersebut.

Majelis Komisi berpendapat bahwa dalam membahas Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait penetapan produksi, tidak harus dalam

Universitas Sumatera Utara


85

bentuk penetapan kuota tertentu namun dapat berupa kesepakatan untuk

menentukan output dari masing-masing pelaku usaha. Berdasarkan hasil

investigasi Majelis Komisi memaparkan unsur-unsur dari Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait kartel sebagai berikut :

1. Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Dalam perkara ini yang dimaksud sebagai pelaku usaha adalah Terlapor

I (PT Bridgestone Tire Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber

Indonesia), Terlapor III (PT Gajah Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT

Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang Perdana Tyre

Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli). Dengan demikian

unsur pelaku usaha terpenuhi.

2. Unsur Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, definisi perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku

usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain

dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis; usaha lain

dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak Tertulis. Perjanjian

Universitas Sumatera Utara


86

yang dimaksud adalah bersama-sama menyepakati untuk tidak

melakukan banting membanting harga dan warranty claim 139 ban

Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15

dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun

2009 sampai dengan 2012 yang disepakati dan/atau disetujui oleh

Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan

Terlapor VI sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI. Dengan

demikian unsur perjanjian terpenuhi.

3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar

bersangkutan yang sama yang melakukan perjanjian. Pasar bersangkutan

yang sama dalam perkara ini adalah ban Passenger Car Radial (PCR)

Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah

Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan

2012. Pelaku usaha yang bersaing satu sama lain dalam pasar

bersangkutan dan melakukan perjanjian dalam perkara ini adalah

Terlapor I (PT Bridgestone Tire Indonesia), Terlapor II (PT Sumi

Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah Tunggal, Tbk.), Terlapor IV

(PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang Perdana Tyre

139
Warranty Claim adalah jaminan perbaikan dan penggantian item atau bagian
barang/jasa. Apabila pembeli tidak puas atau jika barang/jasa tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan dalam masa tertentu maka penjual setuju untuk memperbaiki dengan mengganti item
atau bagian yang rusak. Lihat https://www.bandingin.com/memahami-warranty-dalam-asuransi
diakses pada 11 Juni 2018.

Universitas Sumatera Utara


87

Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli). Dengan demikian

unsur pelaku usaha pesaingnya terpenuhi.

4. Unsur Mempengaruhi Harga dengan Mengatur Produksi dan/atau

Pemasaran suatu Barang dan/atau Jasa.

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda, baik berwujud

maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang

dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha. Dalam perkara ini yang dimaksud dengan

barang dalam adalah ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement

Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia

dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012. Kemudian yang

dimaksud dengan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa adalah kesepakatan

secara bersama untuk dapat menahan diri dan terus mengontrol distribusi

ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring

15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu

tahun 2009 sampai dengan 2012 yang disepakati dan/atau disetujui oleh

Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan

Terlapor VI sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI. Dengan

demikian unsur mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa terpenuhi.

Universitas Sumatera Utara


88

5. Unsur Mengakibatkan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha

tidak Sehat.

Praktek monopoli dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu

atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi

dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga

menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan

kepentingan umum. Pengertian dampak yang dapat merugikan

kepentingan umum adalah inefisiensi dan kenaikan harga yang

menyebabkan kerugian konsumen. Konsentrasi industri yang tinggi

ditandai dengan tingginya CR4 atau HHI pada ban PCR Replacement

Ring 13 dan 15 berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis, sedangkan

untuk ban PCR Replacement Ring 14 hanya ditandai dengan tingginya

HHI yang juga berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis. Hal ini

menyebabkan inefisiensi yang berakibat kerugian pada sisi konsumen,

sementara para terlapor dalam perkara ini yang seharusnya bersaing dan

menjadi efisien justru tidak terjadi. Kemudian inefisiensi sebagaimana

yang telah diuraikan di atas diperkuat dengan PCM yang mengalami

peningkatan pasca terjadinya kesepakatan APBI tahun 2009, hal ini

menunjukkan bahwa perusahaan mendapatkan profit berlebih pada ban

PCR Replacement Ring 13, 14 dan 15. Meskipun ban PCR Replacement

Ring 16 para Terlapor menggunakan efisiensinya untuk bersaing, namun

pengaruh kesepakatan APBI terhadap PCM adalah positif. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


89

mengindikasikan bahwa kesepakatan para Terlapor untuk mendorong

peningkatan PCM melalui kenaikan harga pada PCR Replacement Ring

16. Dengan demikian praktek monopoli terpenuhi.

Setelah melakukan pertimbangan dari hasil investigasi yang ditemukan

oleh investigator, mendengarkan dan memanggil terlapor serta ahli dan

memeriksa bukti, maka Majelis Komisi menetapkan para terlapor secara sah dan

meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

terkait perjanjian kartel melalui putusan nomor 08/KPPU-I/2014 yang diputus

pada 10 Desember 2014.

2. Analisis Putusan

KPPU lewat putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 telah menetapkan enam

terlapor dalam kasus kartel industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda

empat secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999. Ke enam terlapor tersebut diantaranya PT Bridgestone Tire

Indonesia, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Gajah Tunggal, Tbk., PT Goodyear

Indonesia, Tbk., PT Elang Perdana Tyre Industry dan PT Industri Karet Deli.

KPPU juga menetapkan besaran denda yang harus dibayar oleh masing-masing

terlapor yaitu sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (Dua Puluh Lima Miliar Rupiah).

Selain itu KPPU juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian

Perindustrian sebagai pembina industri ban di Indonesia untuk melakukan

pembinaan kepada APBI agar mematuhi prinsip-prinsip persaingan usaha yang

sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999.

Universitas Sumatera Utara


90

a. Analisis Penerapan Pembuktian Tidak Langsung (Indirect

Evidence)

Penanganan kartel oleh lembaga persaingan usaha di berbagai

belahan dunia berkembang dengan cepat seiring dengan semakin

kompleksnya permasalahan kartel yang dihadapi. Keberadaan lembaga

persaingan telah disiasati oleh berbagai pelaku usaha untuk

menghindarkan diri dari bukti-bukti kartel seperti pertemuan rutin,

perjanjian untuk melakukan pengaturan dan hal-hal yang cenderung

menjadi bukti bagi penegak hukum persaingan. Dalam hal inilah maka

berkembang model pembuktian kartel dengan menggunakan indirect

evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan berbagai

hasil analisis ekonomi yang bisa membuktikan adanya korelasi antar

satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya

menjadi sebuah bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah

kerugian bagi masyarakat di dalamnya.140

Berikut merupakan analisis penggunaan pembuktian tidak

langsung dalam putusan KPPU nomor: 08/KPPU-I/2014.

1. Bukti Komunikasi

Sejalan dengan ketentuan Peraturan Komisi Nomor 4

Tahun 2011 tentang kartel, maka penggunaan bukti tidak langsung

terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Bukti komunikasi

yang digunakan KPPU dalam kasus ini ialah bahwa adanya risalah

140
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011

Universitas Sumatera Utara


91

pada rapat APBI yang mengemukakan kepada anggota APBI untuk

tidak melakukan banting membanting harga dan adanya ketetapan

kepada anggota APBI untuk menahan diri dan terus mengontrol

distribusinya masing-masing sesuai dengan perkembangan

permintaan. Ketetapan-ketetapan dalam rapat APBI tersebut

digunakan sebagai bukti komunikasi dalam penyelesaian perkara

ini.

Menurut penulis, ketetapan dalam rapat APBI dapat

dikategorikan ke dalam perjanjian untuk memenuhi unur perjanjian

dalam Pasal 11. Majelis komisi dalam kesimpulannya berpendapat

bahwa ketetapan dalam rapat APBI merupakan bentuk persetujuan

para anggota untuk melakukan tindakan yang ketentuannya

dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tepatnya

Pasal 11 tentang kartel. Sementara itu para terlapor berpendapat

bahwa ketetapan dalam rapat APBI bukan merupakan perjanjian

antar para terlapor dalam hal untuk melakukan penetapan harga

dan/atau mengatur produksi, masing-masing terlapor dalam

kesimpulannya menyatakan antara lain:

Terlapor I, menyatakan bahwa rapat-rapat APBI bukan

wadah bagi Terlapor II/Surindo dan Para Terlapor lainnya untuk

melakukan pengaturan atau koordinasi mengenai produksi dan/atau

pemasaran ban. Kemudian tidak ada perintah dari APBI kepada

Terlapor II/Surindo dan Para Terlapor lainnya untuk secara

Universitas Sumatera Utara


92

bersama-sama mengatur produksi ban. Produksi dan/atau

pemasaran ban dari Terlapor II tergantung kepada permintaan dari

pasar bukan berdasarkan perintah dari APBI maupun perjanjian

dengan Para Terlapor lainnya.

Terlapor II menyatakan. dugaan Investigator bahwa melalui

kesepakatan dalam rapat APBI (yang mana sebenarnya tidak

pernah ada), Terlapor III bersama-sama dengan Terlapor Lainnya

telah melakukan penetapan harga jual dan jumlah produksi ban

Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah pasar nasional

adalah tidak benar, karena penentuan harga jual dan jumlah

produksi ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 yang

diproduksi oleh Terlapor III tidak merujuk pada Kebijakan APBI

dan/atau Kesepakatan di dalam APBI.

Terlapor IV menyatakan, adanya Risalah Rapat APBI sama

sekali tidak memiliki pengaruh apapun terhadap produksi dan atau

pemasaran dari Terlapor IV dalam menentukan tingkat

produksinya. Dalam hal ini, Terlapor IV sepenuhnya telah

mempunyai mekanisme tersendiri dalam menentukan jumlah

produksi berdasarkan persetujuan manajemen regional.

Terlapor V menyatakan, dari berbagai kegiatan yang

dihimbau oleh APBI kepada anggotanya, seperti permintaan atas

laporan kegiatannya baik produksi, penjualan serta ekspor, hal itu

bukan ditujukan untuk menetapkan harga dan atau produksi,

Universitas Sumatera Utara


93

melainkan sebagai dasar Penyusunan Laporan APBI 2009 kepada

Pemerintah dan instansi terkait sebagai Laporan Tahunan.

Terlapor VI menyatakan, yakin bahwa tidak ada perjanjian

untuk membentuk kartel dalam rapat-rapat APBI. Namun

demikian, kalaupun diasumsikan bahwa ada perjanjian yang

tertuang dalam Risalah Rapat APBI untuk mengontrol produksi

dan distribusi, sekali lagi Terlapor VI menekankan fakta bahwa

Terlapor VI telah berhasil membuktikan dengan data-data produksi

yang aktual bahwa dirinya tidak mengikuti “perjanjian“ tersebut.

Jelas bahwa para terlapor melakukan pembelaan yang

menekankan pada kesimpulan bahwa mereka tidak melakukan

perjanjian sebagaimana yang dijadikan bukti komunikasi dalam

persidangan. Sementara itu majelis komisi tetap menitikberatkan

kalimat yang terdapat pada risalah rapat APBI tertanggal 21

Januari 2009 yeng secara jelas menyatakan bahwa “anggota APBI

jangan melakukan banting membanting harga, karena jika pasar

dibanjiri ban dengan harga murah, sekali turun akan sulit bagi

anggota APBI untuk dapat mengakselerasi harga dikemudian hari”.

Penulis sendiri berpendapat bahwa dalam hal majelis komisi

menetapkan adanya perjanjian yang dibuktikan lewat risalah pada

rapat APBI sudah tepat. Berdasarkan pada peraturan komisi nomor

4 tahun 2011 tentang pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, dikatakan bahwa bentuk perjanjian tertulis tidak

Universitas Sumatera Utara


94

menjadi keharusan dalam membuktikan adanya suatu perjanjian

perilaku penetapan harga sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1

Angka 7 UU No.5 Tahun 1999: “Perjanjian adalah suatu perbuatan

satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu

atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis

maupun tidak tertulis”. Yang diperlukan adalah bukti bahwa

penetapan harga secara bersama-sama disepakati dan para pelaku

usaha mematuhi (conformed) kesepakatan tersebut. Bukti yang

diperlukan dapat berupa: bukti langsung (hard evidence) dan bukti

tidak langsung (indirect evidence).141

2. Bukti Ekonomi

Bentuk lain dari bukti tidak langsung (indirect evidence)

ialah bukti ekonomi, tujuan dari pembuktian bukti tidak langsung

dengan menggunakan bukti ekonomi adalah upaya untuk

mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan

harga yang bersifat independen. 142 bukti ekonomi merupakan

implementasi pendekatan rule of reason di mana KPPU harus

membuktikan dampak atas kartel baik terhadap pesaing maupun

konsumen. Pembuktian unsur merupakan tindakan yang harus

dilakukan untuk memenuhi syarat formil, sedangkan bukti

ekonomi diperlukan untuk memenuhi syarat material dalam suatu

pembuktian. Sebaiknya, bukti ekonomi harus disertai bukti lain

141
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011
142
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011

Universitas Sumatera Utara


95

yang saling melengkapi (cicumstancial evidence), sehingga dapat

meyakinkan semua pihak dalam menerima sistem pembuktian

yang spesifik yang dikenal dalam Hukum Persaingan. 143 Dalam

kasus kartel ban ini, yang dijadikan sebagai bukti ekonomi ialah

penggunaan metode deteksi kartel Harrington.

Penggunaan metode Harrington dalam hal mendeteksi

adanya kartel, mendapat tanggapan oleh terlapor I. Investigator

dinilai tidak melakukan analisis berdasarkan fakta-fakta yang ada,

selain itu terlapor I juga menilai bahwa metode yang digunakan

oleh investigator diragukan relibitas dan validilitasnya. Sementara

itu, majelis komisi berpendapat bahwa mtode deteksi Harrington

yang digunakan oleh investigator sudah teruji dengan berlandaskan

kepaada telah terdapat kasus-kasus kartel yang diputus sebelumnya

menggunakan model deteksi kartel Harrington. Berdasarkan

metode ini maka didapat hasil yang mengkonfirmasi bahwa

terjadinya kartel, sehingga majelis sependapat dengan investigator.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa dalam

penggunaan bukti ekonomi yang tergolong sebagai bukti tidak

langsung, merupakan langkah yang dapat dilakukan dalam hal

melakukan penegakan hukum persaingan usaha, dengan

memperhatikan kesulitan dalam menemukan bukti langsung terkait

dengan penetapan harga maupun kartel maka apabila tidak

143
Anna Maria Tri Anggraini, “Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam Kartel Berdasarkan
Hukum Pesaingan Usaha”, Jurnal Hukum PRIORIS Vol 3, No. 3, 2013, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


96

memungkinkan ditemukannya bukti langsung, KPPU dapat

menggunakan kombinasi dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi

sebagai bukti tidak langsung. bukti ekonomi merupakan

implementasi pendekatan rule of reason di mana KPPU harus

membuktikan dampak atas kartel baik terhadap pesaing maupun

konsumen. Pembuktian unsur merupakan tindakan yang harus

dilakukan untuk memenuhi syarat formil, sedangkan bukti

ekonomi diperlukan untuk memenuhi syarat material dalam suatu

pembuktian. Sebaiknya, bukti ekonomi harus disertai bukti lain

yang saling melengkapi (cicumstancial evidence), sehingga dapat

meyakinkan semua pihak dalam menerima sistem pembuktian

yang spesifik yang dikenal dalam Hukum Persaingan.

Dari pemaparan di atas, maka penulis berpendapat bahwa putusan yang

dijatuhkan oleh Majelis Komisi kepada para terlapor sudah tepat, karena telah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baik dari sisi hukum

acara persaingan usaha maupun hukum persaingan usaha sendiri dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai aturan tertulisnya.

B. Pembahasan Upaya Hukum atas Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014

1. Analisi Putusan Nomor 70/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Pst

Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014 menetapkan bahwa terlapor

dinyatakan secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal 11

Universitas Sumatera Utara


97

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan dihukum dengan denda yang telah

ditetapkan dalam putusan tersebut. Atas putusan tersebut sesuai dengan ketentuan

peraturan yang berlaku maka terlapor diperkenakan untuk melakukan upaya

hukum keberatan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan tenggang waktu dan

domisili yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Keberatan

diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan domisili dari terlapor.

Dasar keberatan yang diajukan oleh pemohon keberatan dalam hal ini

diantaranya adalah dasar formal beracara yang pada poinnya mengatakan bahwa

sebagaimana hukum acara dan pemeriksaan persidangan yang berlaku dan diakui

di Republik Indonesia, pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak yang mengajukan

tuntutan seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan saksi dan ahli

dari pihak yang membela diri terhadap tuntutan, selain itu yang disampaikan pada

keberatan ialah bahwa termohon telah menyalahartikan Putusan Mahkamah

Agung Nomor 336 K/Pdt.Sus/2010 untuk mencapai kesimpulan yang

diinginkannya, kemudian dalam keberatannya juga disampaikan bahwa termohon

tidak menerapkan due process of law dalam proses pemeriksaan perkara, Putusan

kppu didasarkan pada asumsi-asumsi tanpa didukung dengan bukti dan tidak

terpenuhinya unsur-unsur Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengenai kartel. Dengan kettentuan keberatan tersebut maka pemohon pada

pokoknya mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan dengan permohonan

untuk mengabulkan keberatan Pemohon secara keseluruhan:

Universitas Sumatera Utara


98

1. Menyatakan bahwa Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014, tertanggal 7

Januari 2015 batal dan tidak sah berdasarkan hukum atau setidaknya

dibatalkan dengan segala akibat hukumnya;

2. Menyatakan bahwa Pemohon tidak melanggar Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999;

3. Menyatakan bahwa Pemohon tidak melanggar Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999; dan

4. Menghukum Termohon menanggung biaya perkara;

Terhadap keberatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

memberikan putusan Nomor 70/Pdt.G/KPPU/2015/PN Jkt Pst., tanggal 8 Juli

2015, yang amarnya sebagai berikut:

Dalam Provisi:

1. Menolak Permohonan Provisi dari Pemohon Kebertan I, Pemohon

Kebertan III, Pemohon keberatan IV dan Pemohon Keberatan V;

- Dalam Pokok Perkara

1. Menolak Permohonan Keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan I

2. PT. Bridgestone Tire Indonesia, Pemohon Keberatan II : PT Sumi Rubber

Indonesia, Pemohon Keberatan III : PT Gajah Tunggal Tbk, Pemohon

Keberatan IV : PT Goodyear Indonesia, Tbk, Pemohon Keberatan V : PT

Elang Perdana Tire Industry dan Pemohon Keberatan VI : PT Industri

Karet Deli;

Universitas Sumatera Utara


99

3. Menguatkan Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014, tanggal 7 Januari

2015;

4. Menghukum Terlapor I (Pemohon Keberatan I): PT Bridgestone Tire

Indonesia, Terlapor II (Pemohon Keberatan II): PT Sumi Rubber

Indonesia, Terlapor III (Pemohon Keberatan III): PT Gajah Tunggal Tbk.,

Terlapor IV (Pemohon Keberatan IV): PT. Goodyear Indonesia, Tbk.,

Terlapor V (Pemohon Keberatan V): PT Elang Perdana Tire Industry dan

Terlapor VI (Pemohon Keberatan VI): PT Industri Karet Deli, masing-

masing membayar denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha, Kementerian Perdagangan,

Sekretariat Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank

pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

5. Menghukum Para Pemohon untuk membayar ongkos perkara yang hingga

hari ini ditetapkan sebesar Rp1.941.000,00 (satu juta sembilan ratus empat

puluh satu ribu rupiah);

Berdasarkan pada putusan Majelis hakim tersebut, penulis berpendapat

bahwa pertimbangan yang ditetapkan oleh Majelis hakim sudah tepat karena pada

putusan KPPU sebelumnya penulis juga berpendapat telah tepat karena setiap

unsur dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah terpenuhi dengan

jelas. Pada putusan pengadilan negeri terkait keberatan para terlapor, dapat

diperhatikan bahwa salah satu poin yang menjadi keberatan para terlapor ialah

Universitas Sumatera Utara


100

penggunaan pembuktian tidak langsung, tetapi majelis hakim Pengadilan Negeri

Jakarta tetap mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menguatkan putusan

KPPU. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan mengenai pembuktian

dalam hukum persaingan usaha terkhusus pada penggunaan bukti tidak langsung

diterima ketentuannya oleh majelis hakim.

2. Analisis Putusan Nomor 221 K/Pdt.Sus-KPPU/2016

Terhadap putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 yang diputuskan oleh Majelis

Komisi yang keputusannya menetapkan bahwa ke enam terlapor dinyatakan

secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, maka para terlapor diperkenankan untuk mengajukan upaya

hukum terhadap putusan tersebut. Ketentuan mengenai upaya hukum atas putusan

KPPU diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tepatnya pada Pasal 44

ayat (2) yang menyatkan bahwa pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada

Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima

pemeberitahuan putusan tersebut. Lebih lanjut juga diatur dalam Pasal 65

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara, yang mengaskan bahwa keberatan tersebut diajukan ke

Pengadilan Negeri ditempat kedudukan hukum pelaku usaha terlapor. Peraturan

Komisi yang digunakan dalam perkara ini adalah Peraturan Komisi Nomor 1

Tahun 2010, sementara itu KPPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi terbaru

pada saat ini yaitu Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada Pasal 68

Peraturan Komsi Nomor 1 Tahun 2019 terdapat penambahan bahwa upaya

Universitas Sumatera Utara


101

keberatan dapat dilakukan paling lama 14 (empat belas) setelah menerima petikan

dan salinan Putusan Komisi dan/atau diumumkan melalui situs web Komisi.

Putusan terhadap terlapor pada perkara ini dibacakan KPPU pada

tanggal 7 Januari 2015 dan salinan dari Putusan KPPU telah disampaikan kepada

terlapor pada tanggal 30 Januari 2015. Berdasarkan ketentuan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan, keberatan atas Putusan KPPU harus diajukan

dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja dari tanggal diterimanya salinan

Putusan KPPU oleh terlapor yang bersangkutan. Terlapor pada perkara ini

menyampaikan permohonan keberatannya pada 17 Februari 2015, maka

permohonan keberatan yang disampaikan para pemohon dibenarkan.

Berdasarkan aturan tersebut maka para terlapor dalam kasus kartel

industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor roda empat mengajukan

keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis Hakim lewat putusan

Nomor 70/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Pst pada pokoknya menguatkan Putusan

KPPU dan mengubah besaran denda. Tidak sampai pada tahap tersebut, para

terlapor melajutkan ke tingkat kasasi dengan PT Bridgestone Tire Indonesia

sebagai pemohon kasasi I, dahulu pemohon keberatan I, PT Industri Karet Deli

sebagai pemohon kasasi II, dahulu pemohon keberatan VI, PT Elang Perdana Tyre

Industry sebagai pemohon kasasi III, dahulu pemohon keberatan V, PT Gajah

Tunggal, Tbk. Sebagai pemohon kasasi IV, dahulu sebagai pemohon keberatan

III, PT Goodyear Indonesia sebagai pemohon kasasi V, dahulu sebagai pemohon

keberatan IV, PT Sumi Rubber Indonesia sebagai pemohon kasasi VI, dahulu

Universitas Sumatera Utara


102

sebagai pemohon keberatan II serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

sebagai termohon kasasi, dahulu sebagai termohon keberatan.

Mahkamah Agung lewat putusannya menolak permohonan kasasi para

termohon dengan pertimbangan bahwa alasan-alasan yang disampaikan pemohon

telah dipertimbangkan pada tingkat keberatan di Pengadilan Negeri. Selain itu

alasan-alasan pemohon berisi penilaian hasil pembuktian yang bersifat

penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya

berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran

hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang

diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu

dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang

atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30

Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan

Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009.

Majelis Hakim juga berpendapat bahwa Pengadilan Negeri yang

memeriksa permohonan keberatan para pemohon tidak salah dalam menerapkan

hukum yang ada, dengan ketentuan mengenai :

1. Mengenai Pemeriksaan Tambahan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 3

Tahun 2005, tentang Tata Cara Upaya Hukum Keberatan Terhadap

Putusan KPPU, Pemeriksaan Tambahan dapat dilakukan jika Hakim

Universitas Sumatera Utara


103

berpendapat hal tersebut diperlukan untuk membuat terangnya perkara

bagi Hakim, baik atas inisiatif Hakim maupun atas permohonan para

pihak, sehingga sikap Hakim menolak permohonan Para Terlapor untuk

diadakan Pemeriksaan Tambahan dalam perkara ini adalah kewenangan

Hakim, karena itu dalil bahwa sikap tersebut adalah merupakan

pelanggaran hukum ditolak.

2. Mengenai Pemeriksaan Secara Cepat.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri lebih

cepat dari batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang adalah

sesuai dengan asas peradilan cepat dan sederhana, sehingga bukan

merupakan kesalahan penerapan hukum.

3. Mengenai Pokok Perkara

Sesuai dengan fakta persidangan terbukti bahwa struktur pasar

industri ban dalam pasar bersangkutan adalah terkonsentrasi, dan dalam

stuktur pasar demikian Para Terlapor melalui asosiasi in casu Asosiasi

Perusahaan Ban Indonesia (APBI) bersepakat untuk tidak melakukan

banting harga, memberlakukan ketentuan baru mengenai warranty claim,

menahan diri dan secara terus menerus mengontrol distribusi ban

masing- masing perusahaan agar pasar tetap terpelihara, sehingga telah

benar Para Terlapor/Pemohon Kasasi telah membuat kesepakatan

mengenai harga (kartel harga), dan kesepakatan mengenai produksi dan

pemasaran (kartel produksi dan pemasaran) sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

Universitas Sumatera Utara


104

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

Kemudian dalam pemeriksaan Para Terlapor/Pemohon Kasasi

tidak dapat menunjukkan bahwa mereka menolak atau tidak

melaksanakan kesepakatan harga dan produksi/pemasaran tersebut

sehingga dalil bahwa kesepakatan harga dan produksi dalam perkara ini

hanya bersifat himbauan ditolak.

4. Mengenai bukti tidak langsung (circumstantial evidence)

Dalam praktek didunia bisnis kesepakatan mengenai harga,

produksi, wilayah (cartel) maupun kesepakatan anti persaingan sehat

lainnya sering dilakukan secara tidak terang (tacit), sehingga dalam

hukum persaingan usaha bukti-bukti yang bersifat tidak langsung

(indirect/circumstantial evidence), diterima sebagai bukti sah sepanjang

bukti-bukti tersebut adalah bukti yang cukup dan logis, serta tidak ada

bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti yang

bersifat tidak langsung tersebut, standar mana telah terpenuhi dalam

perkara ini sehingga putusan Termohon Keberatan/Termohon Kasasi

yang dikuatkan oleh Penadilan Negeri sudah benar, sehingga layak untuk

dipertahankan.

Berdasarkan putusan kasasi dan pertimbangannya terhadap pemohon,

maka menurut penulis hal tersebut sudah tepat karena, hal yang menjadi dasar

permohonan kasasi yang disampaikan pihak pemohon sebelumnya telah diperiksa

pada Pengadilan Negeri. Pertimbangan yang dipaparkan Majelis Hakim dalam

Universitas Sumatera Utara


105

memutus permohonan kasasi juga telah tepat karena sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Didukung dengan pendapat penulis sebelumnya

bahwa KPPU telah memutus perkara ini dengan tepat, maka sejalan dengan hal

tersebut dasar penetapan Majelis Komisi dalam memutuskan para terlapor yang

saat ini merupakan pemohon kasasi telah tepat. Menambahkan terkait pendapat

penulis sebelumnya bahwa pada tingkat kasasi, pihak pemohon juga

menyampaikan keberatan terkait penggunaan pembuktian tidak langsung. Dalam

hal ini, ditemukan juga bahwa adanya penerimaan tentang pembuktian tidak

langsung yang ketentuan sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, Majelis Hakim

berpendapat bahwa dalam praktik dunia bisnis kesepakatan mengenai harga,

produksi, wilayah (cartel) maupun kesepakatan anti persaingan bukti-bukti yang

bersifat tidak langsung diterima sebagai bukti sah sepanjang bukti tersebut adalah

bukti yang cukup dan logis, serta tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat

melemahkan bukti-bukti yang besifat langsung tersebut.

3. Analisis Putusan Nomor 167 PK/Pdt.Sus-KPPU/2017

Setelah Majelis Hakim memutuskan menolak permohonan kasasi oleh

para pemohon, diantaranya PT Bridgestone Tire Indonesia sebagai pemohon

kasasi I, dahulu pemohon keberatan I, PT Industri Karet Deli sebagai pemohon

kasasi II, dahulu pemohon keberatan VI, PT Elang Perdana Tyre Industry sebagai

pemohon kasasi III, dahulu pemohon keberatan V, PT Gajah Tunggal, Tbk.

Sebagai pemohon kasasi IV, dahulu sebagai pemohon keberatan III, PT Goodyear

Indonesia sebagai pemohon kasasi V, dahulu sebagai pemohon keberatan IV, PT

Sumi Rubber Indonesia sebagai pemohon kasasi VI, dahulu sebagai pemohon

Universitas Sumatera Utara


106

keberatan II maka langkah selanjutnya yang ditempuh apabila merasa tidak terima

dengan hal tersebut adalah mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah

Agung. PT Bridgestone Tire Indonesia dalam hal ini sebagai pemohon

peninjauan kembali I yang sebelumnya sebagai pemohon kasasi I/ pemohon

keberatan I dan PT Sumi Rubber Indonesia sebagai pemohon peninjauan kembal

II yang sebelumnya sebagai pemohon kasasi VI/ pemohon keberatan II.

Dalam ketentuan hukum persaingan usaha, tidak ada ketentuan yang

mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali. Mahkamah Agung

memeriksa perkara ini berdasarkan kepada pada ketentuan Pasal 67, 68, 69, 71

dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam

permohonan peninjauan kembali ini, pemohon I, yaitu PT Bridgestone Tire

Indonesia berpendapat bahwa Majelis Hakim pada tingkat kasasi telah keliru

dalam menjatuhkan putusan yang pada ketentuannya menguatkan putusan

Pengadilan Negeri dengan berpendapat bahwa Majelis Hakim tidak

memperhatikan asas audit et alteram partem, selain itu pemohon peninjauan

kembali I juga memaparkan antara lain :

1. Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi tidak mempertimbangkan

seluruh butir yang dituntut oleh Pemohon Peninjauan Kembali;

2. Majelis Hakim Agung telah melakukan suatu kekhilafan yang nyata

dengan membenarkan jangka waktu pemeriksaan perkara 9 hari sebagai

penerarapan asas peradilan yang cepat, murah dan sedarhana;

Universitas Sumatera Utara


107

3. Majelis Hakim Agung melakukan kekeliruan yang nyata dengan tidak

memberikan pertimbangan hukum yang patut dan tepat pada putusan

kasasi (onvoldoende gemotiveerd);

4. Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi telah melakukan kekeliruan

yang nyata dengan melanggar Pasal 184 HIR;

5. Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi telah melakukan kekeliruan

yang nyata dengan memeriksa bukti-bukti secara tidak saksama;

6. Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi telah melakukansuatu

kekeliruan yang nyata dengan mempertimbangkan bukti tidak langsung

(circumstantial evidence) sebagai alat bukti yang sah. Bukti tidak

langsung bukanlah merupakan alat bukti yang sah berdasarkan hukum

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;

7. Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi telah melakukan suatu

kekeliruan yang nyata terhadap putusan kasasi dalam penerapan unsur-

unsur Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Anti Monopoli;

8. Unsur-unsur Pasal 11 Undang-Undang Anti Monopoli tidak terbukti

secara kumulatif.

Selain itu pemohon kasasi II juga memaparkan keberatan akan purusan

Majelis Hakim Agung terkait upaya hukum kasasi, yang antara lain memaparkan

bahwa :

1. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena telah memutus perkara tersebut meskipun ketua Majelis

Hakim Kasasi memiliki konflik kepentingan;

Universitas Sumatera Utara


108

2. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena melanggar Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman joncto Pasal 178 ayat (1) dan ayat (2) HIR;

3. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena melanggar Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman (asas audi et alteram partem);

4. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena salah menerapkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang

Mahkamah Agung;

5. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena pertimbangan hukum dalam putusan kasasi saling

bertentangan satu sama lain;

6. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena salah menerapkan asas peradilan cepat dan sederhana;

7. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata karena melanggar Pasal 42 Undang-Undang Persaingan Usaha;

8. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeuruan yang

nyata karena salah menerapkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Persaingan Usaha joncto Pasal 1313 KUHPerdata tentang Perjanjian;

9. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeuruan yang

nyata karena salah menerapkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang

Persaingan Usaha Tentang Pasar Bersangkutan;

Universitas Sumatera Utara


109

10. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeuruan yang

nyata karena salah menerapkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Persaingan Usaha;

11. Majelis Hakim Kasasi telah melakukan kekhilafan atau kekeuruan yang

nyata karena salah menerapkan Pasal 11 Undang-Undang Persaingan

Usaha;

12. Majelis Hakim Kasasi telah Melakukan Kekhilafan Atau Kekeuruan

yang Nyata Karena Salah Menerapkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Persaingan Usaha.

Berdasarkan pemamparan dari kedua pemohon peninjauan kembali,

maka Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa alasan-alasan dari pemohon

tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti alasan-alasan

peninjauan kembali tanggal 19 Mei 2017 dan 30 Agustus 2017 dan jawaban

alasan-alasan peninjauan kembali tanggal 21 Juni 2017, tanggal 18 Oktober 2017

dan tanggal 3 November 2017 dihubungkan dengan pertimbangan pada tingkat

kasasi, dalam hal ini Mahkamah Agung tidak melakukan kekeliruan yang nyata

dengan perimbangan bahwa permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang

diajukan oleh pemohon tidak beralaskan sehingga harus ditolak.

Penulis sendiri berpendapat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Agung

terkait permohonan peninjauan kembali dengan keputusan menolak karena

permohonan tersebut tidak beralaskan sudah tepat. Dengan tetap merujuk pada

pendapat sebelumnya pada putusan KPPU, pada tingkat banding/keberatan dan

kasasi bahwa pemohon dalam hal ini pada awalnya sudah terbukti menurut

Universitas Sumatera Utara


110

ketentuan peraturan perundang-undangan melanggar Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Perjalanan kasus kartel dalam industri otomotif ban kendaraan bermotor

roda 4 ini memang tidak singkat, setelah dijatuhkannya putusan terhadap para

terlapor lewat keputusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014, maka perjalanan kasus

ini dilanjutkan dengan beberapa upaya hukum yang dilakukan oleh pihak terlapor

mulai dari mengajukan keberatan/banding ke Pengadilan Negeri yang pada

putusannya menguatkan putusan KPPU dan mengubah besaran denda yang harus

dibayarkan lewat putusan Nomor 70/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Pst. Kemudian

dilanjutkan dengan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), putusan yang

dikeluarkan oleh Majelis Hakim Agung ialah menolak permohonan kasasi oleh

pemohon lewat putusan Nomor 221 K/pdt.Sus-KPPU/2016, dikarenakan tidak

terbukti bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum dalam putusan Pengadilan

Negeri. Upaya hukum terakhir yang dilakukan ialah permhonan peninjauan

kembali yang disampaikan ke MA, setelah mendengarkan alasan-alasan

melakukan permohonan maka Majelis Hakim Agung memutuskan untuk menolak

permohonan peninjauan kembali oleh pemohon dengan alasan tidak beralasan

lewat putusan Nomor 167 PK/Pdt.Sus-KPPU/2017.

Kasus sejenis yang telah diputus KPPU dan mengalami perjalanan upaya

hukum di Mahakamah Agung ialah putusan KPPU nomor: 24/KPPU-I/2009

tentang kartel minyak goreng. Pada putusan KPPU, majelis komisi menetapkan

bahwa terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap

Universitas Sumatera Utara


111

hukum persaingan usaha. Para terlapor kemudian melakukan upaya hukum

keberatan ke tingkat pengadilan negeri. Majelis hakim pengadilan negeri

kemudian membatalkan putusan KPPU dengan pertimbangan bahwa pembuktian

tidak langsung tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. KPPU kemudian

melanjutkan upaya hukum kasasi terkait putusan pengadilan negeri. Majelis

hakim pada tingka kasasi menolak permohonan dari KPPU dengan dalil bahwa

bukti tidak langsung tidak dikenal dalam sistem pembuktian di Indonesia. Dari hal

tersebut dapat diperhatiak bahwa terdapatnya perbedaan pendapat yang

didasarkan pada tidak adanya ketetapan yang tegas terkait penggunaan

pembuktian tidak langsung. Majelis hakim dalam memutus perkara kartel dengan

menggunakan pembuktian tidak langsung berdalil bahwa kesulitan dalam hal

pembuktian dan tidak adanya bukti yang lebih kuat, memungkinkan penggunaan

dari pembuktian tidak langsung. Sedangkan Majelis hakim juga dapat menolak

penggunaan pembuktian tidak langsung dengan dalil tidak dikenalnya sitem

pembuktian tersebut di Indonesia.

Dalam ketentuan terbaru yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3

Tahun 2019, Pasal 15 menyatakan bahwa terhadap putusan keberatan, terlapor

dan/atau KPPU hanya dapat mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah

Agung sebagai upaya hukum terakhir. Dengan demikian saat ini upaya hukum

yang dapat dilakukan terkait putusan KPPU adalah hanya sampai pada tingkat

kasasi.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik

beberpa kesimpulan, antara lain :

1. Kartel merupakan salah satu ketentuan yang dilarang dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat tepatnya pada Pasal 11. Kartel termasuk

dalam kategori perjanjian, sehingga disebut sebagai perjanjian yang

dilarang. Suatu perjanjian kartel dapat lebih mudah terjadi karena adanya

pertukaran informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha pada satu

industri, biasanya pertukaran informasi tersebut dilakukan dalam suatu

asosiasi. Dampak yang ditimbulkan dari kartel sangat merugikan baik

bagi sesama pelaku usaha maupun bagi perekonomian Negara. Untuk

mendeteksi dari adanya kartel maka dapat dilakukan beberapa hal

diantarnya adalah dengan berdasarkan pada Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, yaitu dengan

memperhatikan beberapa faktor yang dapat mendorong atau

memfasilitasi terjadinya kartel diantarnya faktor struktural dan faktor

perilaku. Pada kasus kartel industri otomotif terkait ban kendaraan

bermotor roda empat metode indikasi yang dilakukan adalah dengan

112

Universitas Sumatera Utara


113

metode Harrington yaitu dengan penggabungan dari berbagai metode

dan jika dilihat seperti kartel check list (seperti competition check list

yang dimiliki KPPU) karena pada metode ini kartel dilihat dari berbagai

sisi. Pendekatan yang digunakan pada perjanjian kartel adalah

menggunakan prinsip pendekatan rule of reason yang berarti untuk

menentukan apakah suatu perjanjian tersebut merupakan kartel

diperlukan adanya alasan-alasan pembenaran yang diperoleh dari

beberapa pertimbangan baik sosial, dampak dan keadilan dari akibat

perbuatan tersebut.

2. Kartel sebagai perjanjian yang dilarang seringkali dilakukan secara

tertutup oleh para pelaku usaha, sehingga ditemukan kesulitan dalam hal

pembuktiannya. Dalam Perkom Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan sejalan dengan

Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang pedoman Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembuktian dalam penanganan perkara

persaingan usaha terkait penetapan harga dan kartel, dapat

mempergunakan bukti tidak langsung (indirect/circumstantial evidence)

sebagai alat bukti. Bukti tidak langsung merupakan suatu bentuk bukti

yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan

harga. Bukti tidak langsung digunakan berkenan dengan penentuan

adanya kesepakatan antar para pihak dalam hal penetapan harga. Bukti

tidak langsung terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD)

Universitas Sumatera Utara


114

berpendapat terkait pembuktian kartel, dapat menggunakan pembuktian

tidak langsung yang dijelaskan dalam Prosecuting Cartel Without

Evidence atau pedoman pembuktian kartel menggunakan indirect

evidence. Dalam kasus yang telah diputus oleh KPPU dengan nomor:

08/KPPU-I/2014 tentang kartel ban, investigator menyampaikan bahwa

terdapat risalah dalam rapat APBI yang mengindikasikan adanya

penetapan harga maupun kesepakatan para terlapor untuk mengatur

produksi, hal ini yang merupakan bukti komunikasi. Dalam hal deteksi

kartel, investigator menggunakan metode Harrington sebagai indikator

yang mengukur terjadinya kartel, berdasarkan analisis ekonomi

ditemukan bahwa adanya perilaku tidak kompetitif antar pelaku usaha,

hal ini yang merupakan bukti ekonomi.

3. Kasus kartel dalam industri otomotif terkait ban kendaraan bermotor

roda empat mengalami perjalanan yang panjang dalam penyelesaiannya,

antara lain :

a. KPPU lewat putusannya Nomor 08/KPPU-I/2014 menetapkan

enam terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

perjanjian kartel dan dikenakan sanksi denda masing-masing

sebesar Rp. 25.000.000.000.00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Penulis berpendapat bahwa dalam memutus perkara ini, KPPU

telah menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

secara tepat, dengan inisiatif melalui investigator KPPU telah

menemukan adanya indikasi pelanggaran Pasal 11 pada industri

Universitas Sumatera Utara


115

ban kendaraan bermotor roda empat dan dapat dibuktikan dengan

jelas pada persidangan. Dengan menggunakan pembutian tidak

langsung yaitu bukti komunikasi berupa risalah rapat APBI dan

bukti ekonomi yaitu penggunaan metode Harrington, majelis

komisi menetapkan terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan

perjanjian kartel. Dengan pertimbangan bahwa sulitnya melakukan

pembuktian terhadap kartel, maka majelis komisi menggunakan

pembuktian tidak langsung untuk memutus perkara kartel dalam

insudtri otomotif walaupun dalam penerapannya terdapat

penolakan oleh pihak terlapor dengan dalil bahwa pembuktian

tidak langsung merupakan metode pembuktian yang tidak dikenal

di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa keputusan yang dibuat

oleh majelis komisi telah tepat karena tiap unsur dari Pasal 11 telah

terpenuhi lewat pembuktian tidak langsung (indirect evidence).

Selain itu dengan menguatkan putusan KPPU maka mejalis hakim

menerima ketentuan akan hukum baru yakni penggunaan

pembuktian tidak langsung sebagai pertimbangan untuk

menjatuhkan putusan dan dasar hukum yang dijadikan sebagai

pedoman pembuktian ialah Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang

kartel.

b. Putusan ini kemudian dibawa ke tingkat banding oleh pemohon

yang sebelumnya terlapor dengan dalil keberatan atas putusan yang

ditetapkan oleh Majelis Komisi. Lewat Putusan Nomor 70/Pdt.Sus-

Universitas Sumatera Utara


116

KPPU/2015/PN.Jkt.Pst. Majelis Hakim menolak permohonan

dengan berpendapat bahwa para pemohon yang sebelumnya

terlapor telah terbukti melakukan perjanjian kartel. Dengan

menolak permohonan keberatan pemohon, artinya majelis hakim

menguatkan putusan KPPU sebelumnya. Keberatan yang diajukan

oleh para pemohon salah satunya dilandaskan pada pengguaan

bukti tidak langsung. Dikuatkannya putusan KPPU berarti majelis

hakim menerima penggunaan bukti tidak langsung yang

ketetapannya tidak ada di sistem pembuktian Negara Indonesia.

Dengan demikian majelis hakim membenarkan perkembangan

pembuktian tidak langsung (indirect evidence) dalam hukum

persaingan usaha terkhusus pada kartel. Hasil analisis penulis ialah

dengan menolak permohonan kasasi pemohon maka majelis hakim

agung juga menerima akan penggunaan pembuktian tidak langsung

sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.

c. Kemudian diteruskan dengan upaya permohonan kasasi ke

Mahkamah Agung, Majelis Agung lewat putusan Nomor 221

K/pdt.Sus-KPPU/2016 menolak permohonan kasasi pemohon yang

sebelumnya pemohon keberatan dan terlapor karena berpendapat

tidak adanya kekeliruan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan

Negeri. Upaya hukum selanjutnya ialah permohonan peninjauan

kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung dan lewat putusannya

Nomor 167 PK/Pdt.Sus-KPPU/2017 Majelis Hakim Agung

Universitas Sumatera Utara


117

menolak permohonan peninjauan kembali pemohon karena

berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan. Sejalan

dengan hal tersebut, maka analisis penulis ialah majelis hakim

juga menerima ketentuan tentang penggunaan pembuktian tidak

langsung sebagai pembuktian dalam perkara kartel dengan Perkom

Nomor 4 Tahun 2010 tentang kartel sebagai dasar hukumnya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka berikut akan dipaparkan beberapa saran,

antara lain :

1. Bagi akademisi di bidang ekonomi dan hukum agar mempelajari serta

memberikan edukasi yang mengarah pada pemahaman terkait hukum

persaingan usaha dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai

landasannya, kepada pelaku usaha di Indonesia, sehingga dalam

menjalankan kegiatan usahanya dapat secara bersama mengawasi

jalannya bidang persaingan usaha yang bebas dari ketetapan-ketetapan

yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, salah

satunya ialah kartel sebagai perjanjian yang dilarang. Dengan

mengetahui bagaimana konsep dari perjanjian kartel maka kemungkinan

para pelaku kartel untuk melakukan tindakannya secara bebas akan

berkurang karena merasa diawasi oleh seluruh masyarakat. Selain itu

sejalan dengan rekomendasi dalam putusan KPPU nomor: 08/KPPU-

I/2014 ialah agar kementerian perindustrian melakukan pembinaan

Universitas Sumatera Utara


118

terhadap APBI agar sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1999.

2. Melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

agar dapat menjadi dasar hukum yang mengatur ketentuan yang jelas dan

bersifat komperhensif, artinya bahwa masih banyak ketentuan yang

menjadi alasan pembelaan bagi pelaku karena tidak adanya aturan

mengenai ketetapan tersebut, salah satunya adalah penggunaan

pembuktian tidak langsung. Secara jelas pada Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat tidak ada ketetapan yang mengatur tentang penerapan

pembuktian tidak langsung. Sehingga apabila telah jelasnya ketetapan

tersebut maka akan menambah kekuatan dari KPPU untuk melakukan

pembuktian terhadap perjanjian kartel.

3. Setelah dilakukannya perbaikan terhadap Perkom Nomor 1 Tahun 2010

tentang tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha yang digantikan

menjadi Perkom Nomor 1 Tahun 2019 tentang tata cara penyelesaian

perkara persaingan usaha, maka diharapkan kelemahan-kelemahan pada

peraturan sebelumnya dapat disempurnakan agar lebih memberi

kepastian hukum bagi para pihak. Sehingga KPPU maupun lembaga

terkait dapat melakukan penerapan hukum yang sesuai dengan peraturan

dalam penyelesaian perkara persaingan usaha atau dalam hal hukum

formil jelas ketentuan dan penerapannya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2016.

Citrawan, Fitrah Akbar. Hukum Persaingan Usaha Penerapan Rule Of Reason


dalam Penanganan Praktik Kartel. Yogyakarta: Suluh Media. 2017.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Depok: Kencana. 2018.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:
Kencana. 2009.

Juwana, Hikmahanto, dkk. Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara


Persaingan Usaha. Jakarta: PBC. 2003.

Lubis, Fahmi Andi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Buku Teks. Jakarta: KPPU.
2017.

Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: Jala Permata .


Aksara. 2009.

Nugroho, Adi Susanti. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana.


2012.

Nugroho, Adi Susanti. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori


Praktik serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Kencana. 2014.

Prayoga, D Ayudha, dkk. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di


Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS. 2000

119

Universitas Sumatera Utara


120

Samelson, A Paul dan William D Nordhaus. Economics 19e. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc., 2010.

Sidabalok, Janus. Pengantar Hukum Ekonomi. Medan: Bina Media. 2003.

Sirait, Natasya Ningrum. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan:
Pustaka bangsa Press. 2003.

Sirait, Natasya Ningrum. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka


Bangsa Press. 2011.

Sirait, Natasya Ningrum, dkk. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. Jakarta: PT


Gramedia. 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia


(UI-Press). 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. 2003.

Siswanto, Arie. 2004. Hukum Persaingan Usaha. Bogor: Ghalia Indonesia.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakrta: Sinar Grafika.


2013.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


2008.

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Universitas Sumatera Utara


121

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara

Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 11 Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peraturan Komisi Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1


Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya
Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3/2019 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya
Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

Jurnal, Artikel dan Sumber Lain

Anggraini, Tri Maria. Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal
dalam Hukum Persaingan. Jurnal Hukum Bisnis Persaingan Usaha dan
Persekongkolan Tender Vol.24 Nomor 2. 2005.

Anggraini, Tri Maria. Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel


Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha Edisi 4.
2010.

Universitas Sumatera Utara


122

Anna Maria Tri Anggraini. Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam Kartel


Berdasarkan Hukum Pesaingan Usaha. Jurnal Hukum PRIORIS Vol 3
Nomor 3. 2013.

Atmadja, Dewa Gede. Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, Kerta


Wichaksana, Volume 12, Nomor 2. 2018.

KPPU, Putusan KPPU Nomor: 08/KPPU-I/2014.

Pengadilan Negeri, Putusa PN Nomor: 70/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Pst.

Mahkamah Agung, Putusan MA Nomor: 221 K/Pdt.Sus-KPPU/2016.

Mahkamah Agung, Putusan MA Nomor: 167 PK/Pdt.Sus-KPPU/2017.

Wijayanti, Febrita Ananda. Penggunaan Metode Harrington Untuk Menilai


Terjadinya Kartel dalam Produksi Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat
Studi Kasus Putusan KPPU Nomor:08/Kppu-I/2014, Fakultas Hukum,
UGM, Yogyakarta. 2016.

OECD, Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip-Prinsip, Versi


2.0. 2011.

Purba, Hasim. Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan
Concern.

https://www.academia.edu/33169188/MANUSIA_DAN_EKONOMI
Octavia, Nurhenny. 2018. Manusia dan Ekonomi, 28 Oktober 2018.

https://www.e-akuntansi.com/strategi-integrasi-vertikal/
Amri, Fadhila Nur. 2019. Pengertian Strategi Integrasi Vertikal, Manfaat,
Kelemahan dan Contohnya.

http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-
sehat-dalam-tinjauan-hukum

Universitas Sumatera Utara


123

Muliayawan. 2015. Persaingan Usaha Tidak Sehat dalm Tinjauan Hukum.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cc183231f5af/yuk--pahami-aturan-
baru-tata-cara-persidangan-kppu/
Januar, Mochamad. 2019. Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan
KPPU.

https://news.detik.com/berita/d-3994201/kartel-harga-bridgestone-dkk-dihukum-
rp-30-miliar
DetikNews, Kartel Harga Bridgestone dkk Dihukum Rp 30 Miliar, 27 April 2018.

http://www.kppu.go.id/id/blog/2018/05/putusan-kartel-ban-inkracht/
KPPU, Putusan Kartel Ban Inkracht, 7 Mei 2018.

https://www.kppu.go.id/id/
website resmi KPPU Republik Indonesia.

https://kemenperin.go.id/artikel/7435/Industri-Ban-Diandalkan
Kompas, Industri Ban Diandalkan, 18 september 2013.

Universitas Sumatera Utara


124

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai