Anda di halaman 1dari 104

PERLINDUGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA OBAT-

OBATAN YANG TIDAK MEMILIKI LABEL BPOM

(STUDI KASUS OBAT ZENITH CARNOPHEN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:
WINDA RAMADHANI
NIM : 140200263

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA OBAT-
OBATAN YANG TIDAK MEMILIKI LABEL BPOM (STUDI KASUS
OBAT ZENITH CARNOPHEN)
Winda Ramadhani*
Bismar Nasution**
Detania Sukarja***
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tentang
beredarnya obat-obatan secara ilegal di Indonesia. Serta untuk mengetahui
penerapan hukum, pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana pengedar
obat secara ilegal dalam putusan perkara Nomor : 287/Pid.Sus/2013/PN.TBN.
Metode yang di pakai pada penulisan skripsi ini adalah metode Hukum
Normtif, dengan tekhnik pengumpulan data secara kepustakaan. Guna
memperoleh bahan hukum Primer, Sekunder dan Tersier.
Adapun hasil penelitian ini menunjukkan menunjukkan bahwa obat
merupakan hal terpenting dalam masyarakat, sehingga sebagian masyarakat tidak
mementingkan lagi seberapa pentingnya obat yang yang harus memiliki label
BPOM. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sendiri
telah mengatur tentang syarat peredaran obat. Serta dalam kasus ini BPOM sendiri
yang langsung melakukan pemeriksan tersebut kepada pelaku usaha, namun
masih saja banyak pelaku usaha yang tidak mau mengikuti aturan tersebut. Maka
dari itu, peran aktif pemerintah sangat berguna dalam menyosialisasikan peraturan
obat-obatan dan hak-hak konsumen agar konsumen mengerti sebelum membeli
obat tersebut.

Kata Kunci : Konsumen, BPOM dan Perlindungan Konsumen

*
Mahasiswa Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Pembimbing II Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang

atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA

OBAT-OBATAN YANG TIDAK MEMILIKI LABEL BPOM (STUDI KASUS

OBAT ZENITH CARNOPHEN” mulai dari awal hingga akhirnya.

Penulisan Skripsi ini Dimaksudkan untuk memenuhi dan melengkapi

persyaratan dalam menempuh sarjana Strata 1 (S-1) pada Program Studi Ilmu

Hukum, Program Hukum Ekonomi, Universitas Sumatera Utara. Penulis

menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna dan tidak terlepas dari yang namanya kekurangan, karena keterbatasan

kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis akan menerima

segala kritik dan saran yang bersifat membangun penulis untuk menjadi lebih baik

lagi di kedepannya.

Dalam pengerjaan skripsi ini, mulai dari saat pengerjaan hingga selesainya

tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh

karenanya, dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan ketulusan

hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,

M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Budiman Ginting, S.H.,

M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Sumatera Utara.

ii

Universitas Sumatera Utara


3. Yang terhormat dan amat terpelajar Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, selaku

Wakil Dekan I.

4. Yang terhormat dan amat terpelajar, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution,

S.H., M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Universitas

Sumatera Utara, dan juga sebagai Dosen Pembimbing I yang sangat

amat membantu dalam penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Yang terhormat dan amat sangat terpelajar, ibu Dr. Detania Sukarja, SH,

LLM, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga sangat membantu serta

bnyak membiri masukan kepada penulis.

6. Yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H.

Selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera

Utara.

7. Kepada orang tua penulis yang sangat amat banyak membantu,

menyayangi serta membiayai penulis, terimakasih atas segalanya.

8. Kepada semua keluarga besar, Terima Kasih atas pertanyaan “kapan

lulus” yang menjadi motivasi untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada Devano Sinaga, Terimakasih atas cinta, kasih sayang, motivasi,

omelan, serta membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

10. Kepada Tengku Adelia Falevi, Terima Kasih sudah banyak sekali

membantu penulis, serta menemani penulis dari awal perkuliahan hingga

sekarang.

11. Sri Rossa Tiurma Pakpahan, Rima Yunita, Terima Kasih sudah

menemani penulis dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini di

tulis.

iii

Universitas Sumatera Utara


12. Kepada Nurul Hafni, Terima Kasih sudah membuat perjalanan hidup

penulis menjadi lebih berwana.

13. Kepada Narisha Pissalima Hutagalung, Shindih Hersiva Emilia, Tasia

Masitah Purba, Anggia Debora Sitompul, Terima Kasih tiada hentinya

mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini serta

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Kepada rekan seperjuangan di Fakultas Hukum usu, Terima Kasih sudah

memberikan semangat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

15. Yang terhormat, para pegawai/staf pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan administrasi perkuliahan.

Demikianlah dapat penulis sampaikan. Kepada banyak pihak yang turut

memberikan andil mulai dari proses studi hingga rampungnya skripsi ini, dengan

segala keterbatasan, penulis tidak dapat menyebutkannya satu persatu, semoga

Tuhan Yang Maha Kuasa membalas jasa-jasa dari Bapak, Ibu, seta Teman-taman

sekalian.

Medan, 20 Juli 2018

Penulis

WINDA RAMADHANI

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah......................................................................... 7

C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 8

D. Manfaat Penulisan............................................................................ 8

E. Keaslian Penulisan............................................................................ 8

F. Tinjauan Kepustakaan...................................................................... 9

G. Metode Penulisan............................................................................ 10

H. Sistematika Penulisan...................................................................... 12

BAB IITINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen.......................... 14

1. Pengertian Konsumen................................................................... 14

2. Perlindungan Konsumen.................................................................20

3. Pihak – Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen........ 21

B. Pengaturan Perlindungan Konsumen.................................................. 23

C. Asas – Asas Perlindungan Konsumen............................................... 26

Universitas Sumatera Utara


D. Hak Dan Kewajiban Konsumen.......................................................... 28

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWAS OBAT

DAN MAKANAN

A. Sejarah dan Dasar Hukum Badan Pengawas Obat Dan Makanan............38

B. Fungsi dan Tujuan Badan Pengawas Obat Dan Makanan....................... 41

C. Peran Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Mengawasi Obat-

Obatan Di Indonesia................................................................................. 43

BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN YANG

TIDAK MEMILIKI LABEL BPOM PADA OBAT ZENITH

CARNOPHEN

A. Perlindungan Konsumen Terhadap Obat-Obatan yang Tidak Memiliki

Label BPOM Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan

Konsumen................................................................................................52

B. Pengawasan BPOM Terhadap Kelayakan dan Keamanan Produk Obat-

Obatan...................................................................................................... 61

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Obat-obatan yang tidak

memiliki label BPOM ............................................................................. 64

1. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan................................. 65

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum (Litigasi). 67

1. Identitas Terdakwa................................................................ 68

2. Posisi Kasus........................................................................... 69

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum........................................... 70

vi

Universitas Sumatera Utara


4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum............................................ 73

5. Alat Bukti Dan Barang Bukti................................................. 74

6. Pertimbangan Hakim............................................................ 78

7. Putusan Hakim....................................................................... 86

8. Analisis Penulis....................................................................... 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................. 91

B. Saran...................................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan

suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Usaha tersebut meliputi

peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Kesehatan

merupakan hal terpenting yang diperlukan oleh tubuh manusia. Karena, kesehatan

menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat

luas dan kompleks.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

pengertian Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara

sosial dan ekonomis.1 Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia dan

pemenuhan kebutuhan hak atas kesehatan yang menjadi tanggung jawab

pemerintah dalam setiap negara. Karena kesehatan merupakan salah satu upaya

pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan

kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat

kesehatan konsumen yang optimal. Maka dari itu, Pemerintah setiap negara

berkewajiban memberikan hak kesehatan kepada rakyatnya. 2

Salah satu komponen kesehatan yang penting adalah Obat. Obat merupakan

salah satu unsur yang penting dalam pelayanan kesehatan. Yang disebut dengan

1
Indonesia, UU Nomor 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.
2
Ibid pasal 14-20.
1

Universitas Sumatera Utara


2

obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan untuk digunakan dalam

menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan

penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan,

memperelok badan atau bagian badan manusia.3 Dewasa ini meningkatnya

kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mendorong

masyarakat menuntut pelayanan kesehatan termasuk pelayanan obat yang semakin

berkualitas.

Perkembangan perekonomian yang pesat dan kemajuan teknologi dan ilmu

pengetahuan telah menimbulkan perubahan yang cukup cepat pada kebutuhan

hidup manusia, salah satunya adalah obat-obatan. Hal ini menyebabkan banyak

berdirinya industri-industri farmasi. Dengan melalui dukungan kemajuan

teknologi telekomunikasi dan informasi, terjadilah perluasan ruang gerak arus

transaksi barang dan jasa melintas batas-batas wilayah suatu negara. Jenis barang

tersebut pada umumnya berasal dari dalam maupun yang di impor dari luar

negeri.

Obat-obat yang di impor dinilai sama seperti barang-barang mewah dan

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dan membuat obat-obat tersebut mahal untuk

kalangan orang yang tidak mampu. Maka, kegiatan penelitian dan pengembangan

yang lebih mandiri diharapkan terus ditingkatkan untuk menghasikan obat-obatan

lokal yang lebih murah dan tersedia bagi semua kalangan.

Tetapi ada kalanya, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi

persyaratan, serta digunakan secara tidak tepat. Dan pada masa sekarang ini masih

banyak masyarakat yang tidak mengerti prosedur-prosedur peredaran obat


3
SK Menteri Kesehatan No.25/Kab/B.VII/71 tanggal 9 Juni 1971.

Universitas Sumatera Utara


3

tersebut. Maka banyak pelaku usaha nakal yang dengan sengaja mengedarkan

obat-obatan tanpa mendapatkan ijin dari Kepala BPOM. Biaya yang mahal dan

prosedur pengurusan izin yang tidak mudah membuat para pelaku usaha menacari

jalan pintas dan mengabaikan peraturan perundang-undangan dengan cara

mengedarkan obat ilegal. Obat-obat tersebut mudah didapat dan harganya jauh

lebih murah dibanding obat-obatan legal. Keuntungan yang didapat oleh pelaku

usahapun lebih banyak. Maka banyak pelaku usaha yang tergiur untuk melakukan

usaha yang curang ini. Kecurangan yang mereka lakukan bisa dari segi promosi,

penjualan atau penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh

karena itu, konsumen memerlukan perlindungan yang ditinjau dari Pasal 4 UU

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), hak konsumen

adalah:

a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Universitas Sumatera Utara


4

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya.

Dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan dari UUPK itu adalah

melindungi hak konsumen yang diantaranya adalah hak katas kenyamanan,

keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Perlindungan adalah tempat berlindung.4 perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen.5

Sebelum berlanjut, lebih baiklah kita mengetahui apa itu konsumen.

Konsumen adalah orang yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang tersedia

di masyarakat baik untuk digunakan sendiri ataupun orang lain dan tidak untuk di

perdagangkan. kalau kita membicarkan konsumen pasti kita akan membicarakan

pelaku usaha. Karena tanpa pelaku usaha tidak akan ada konsumen begitu juga

sebalikanya. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

4
Kamus besar bahasa indonesia.
5
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Universitas Sumatera Utara


5

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.6

Larangan bagi pelaku usaha adalah memproduksi dan atau memperdagangkan

barang dan atau jasa di antaranya tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang

dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan.Serta melarang

memperdagangkan barang dan atau jasa tidak sesuai berat bersih, isi bersih, atau

netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut. Kemudian barang atau jasa yang tidak sesuai dengan

ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut sebenarnya.

Kemudian untuk barang atau jasa tidak sesuai mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan. tidak mencantumkan tanggal kedaluarsa, tidak mengikuti

ketentuan produksi secara halal sebagaimana dicantumkan label halal.

Tetapi masyarakat tetap tidak memperdulikan larangan tersebut demi

kepentingan pribadi. Masih saja mengedarkan obat-obatan illegal dengan cara

apapun. Dan kurangnya informasi terhadap obat-obatan ilegal juga membuat

masyarakat konsumen terjerumus kedalamnya, bagi masyarakat pelaku peredaran

obat ilegal, kurangnya informasi tentang akibat-akibat yang ditimbulkan karena

adanya peredaran obat illegal dan sanksi yang mereka terima apabila

mengedarkan obat-obatan illegal tersebut juga mempengaruhi tindakan ini.

Pada hal ini juga diharapkan presiden untuk menegaskan kepada kepala

BPOM untuk mengawasi peredaran obat yang tidak memiliki izin tersebut.

6
Indonesia, UU Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan konsumen Pasal 1 angka 3

Universitas Sumatera Utara


6

Kenapa presiden? Karena bpom adalah lembaga non pemerintah yang

tanggungjawabnya lansung terhadap presiden. Seiring berjalannya waktu, banyak

sekali beredar obat- obatan yang mengandung bahan berbahaya, obat palsu, obat

ilegal, obat-obat yang sudah kadaluwarsa dan mengandung efek samping yang

berbahaya untuk dikomsumsi.

BPOM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi

peredaran obat-obatan dan makanan di indonesia.7 Pengawasan yang dilakukan

BPOM sendiri adalah saat sebelum beredarnya obat dan makanan untuk

mencegah beredarnya obat dan makan yang tidak memenuhi standar dan

persyaratan keamanan. Serta BPOM juga melakukan pengawasan selama

beredarnya obat dan makan tersebut umtuk memastikan khasiat/manfaat,

keamanan dan mutu produk yang di tetapkan serta tindakan penegakan hukum.

Wewenang BPOM adalah menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai

dengan standar dan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat

dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu

melakukan intelijen dan pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dan pemberian sanksi administratif sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.8

Apabila kekurangan pengawasan dari BPOM dapat menimbulkan peredaran

produk pangan dan nonpangan yang menyalahi aturan pemerintah dan tidak

terciptanya iklim usaha yang sehat. Pengawasan yang efektif perlu ditingkatkan

oleh Balai Besar POM selaku lembaga pengawas obat untuk mengurangi

7
Indonesia, Peraturan Presiden, Nomor 80 Tahun 2017, Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Pasal 1 ayat 1.
8
Ibid, pasal 3 ayat 1.

Universitas Sumatera Utara


7

tingginya resiko yang berbahaya yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi

obat-obatan yang di bawah pengawasan dan mencegah beredarnya obat-obat

ilegal.

Salah satu contoh obat illegal yang beredar di berbagai daerah yang ada di

Indonesia adalah Obat ZENITH CARNOPEN.

Obat carnophen sendiri adalah obat yang tidak memiliki izin edar dari BPOM

serta memiliki kandungan zat didalamnya yang apabila orang yang ingin

mengkonsumsi obat tersebut harus memiliki panduan dari resep dokter.

Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji pengawasan BPOM atas

beredarnya obat-obat yang tidak memiliki izin edar, dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA OBAT-

OBATAN YANG TIDAK MEMILIKI OBAT BPOM (STUDI KASUS OBAT

ZENITH CARNOPHEN)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengawasan BPOM terhadap Obat-Obatan ilegal?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen yang

mengkonsumsi obat yang tidak memiliki label BPOM menurut Undang-

Undang yang berlaku?

3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa terhadap penjualan obat yang tidak

memiliki label BPOM ?

Universitas Sumatera Utara


8

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan konsumen terhadap obat yang tidak

memiliki label BPOM menurut undang-undang

2. Untuk mengetahui bagaimana BPOM mengawasi peredaran obat-obatan

ilegal itu sendiri

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa akibat peredaran obat-obatan

yang tidak memiliki label BPOM

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan kripsi ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi penulis untuk menambah pemahaman

terhadap perlindungan hukum bagi konsumen yang tidak mendapatkan

hak-hak nya.

2. Untuk menerapkan pengetahuan penulis agar masyarakat mengetahui

bagaimana syarat dan ketentuan yang seharusnya ada pada obat-obatan.

E. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Pada Obat-Obatan Yang Tidak Memiliki Label BPOM (Studi Kasus Obat Zenith

Carnophen). Judul skripsi ini belum pernah di tulis dan diteliti dalam bentuk yang

sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama

dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara


9

F. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi, diperlukan tinjauan kepustakaan sebagai

penunjang pemikiran penulis melalui literatur-literatur yang berkaitan dengan

pembahasan skripsi.

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lsin untuk diperdagangkan. Dalam pengertian tersebut,

konsumen terlihat menjadi konsumen akhir yang biasanya lemah dalam bidang

ekonomi, pendidikan dan juga daya tawar. Oleh karena itu, diperlukan

penyeimbangan daya tawar dan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan

hukum terhadap konsumen.

Menurut UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pengertian pelaku

usaha ini cukup luas cakupannya, dan hal ini dapat mempermudah konsumen

untuk menuntut ganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat penggunaan produk

yang dijual oleh pelaku usaha.

Permasalahan yang terkait tentang hak konsumen yang dirugikan semakin

marak terjadi khususnya di indonesia sendiri, berdasarkan kondiri tersebut, upaya

pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Jika melihat dari perilaku

pelaku usaha sendiri, maka untuk mewujudkan pemberdayaan itu sangat sulit,

Universitas Sumatera Utara


10

sebab pelaku usaha sendiri hanya mementingkan keuntungan terhadap usahanya

sendiri. Oleh karena itu, adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan

konsumen sangat membantu untuk mewujudkan pemberdayaan tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, posisi konsumen yang lemah maka ia

harus dilindungi oleh hukum. Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan

konsumen sebenarnya sudah sangat sering didengar. Namun belum jelas apa saja

yang masuk kedalam materi keduanya adalah memberikan perlindungan terhadap

masyarakat, jadi sebenarnya kedua materi ini sulit untuk dipisahkan.Perlindungan

konsumen adalah segala hal upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum yang dapat diperkuat

didalam Undang-Undang, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi

bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. dengan

adanya UUPK beserta hukum yang lainnya, konsumen dapat memiliki hak dan

posisi yang berimbang.

Sesuai dengan definisi perlindungan tersebut, kepastian hukum yang jelas

dan tegas dapat berpengaruh terhadap pelaku usaha untuk semakin berhati-hati

terhadap menjual Obat-Obatan ilegal. Obat ilegal adalah obat yang tidak memiliki

nomor registrasi serta mengandung kandungan yang tidak sesuai dengan tulisan

yang tercantum dalam kemasan serta tidak sesuai dengan standar izin edarnya.

G. Metode Penulisan

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis,sistematis dan konsisten.

Penelitian hukum sendiri didasarkan pada metode sistematika dan pemikirana

Universitas Sumatera Utara


11

hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikit :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang

difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma

dalam hukum positif. Penelitian normatif dalam skripsi ini didasarkan pada

aturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan BPOM.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan

atau menjelaskan mengenai bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha

yang merugikan konsumen dan seperti apa peran BPOM dalam menangani

khasus ini

3. Sumber Data

Dalam melaksanakan penulisan ini, perlu ditegaskan alat pengumpul data

yang dipakai dalam tulisan. Dalam penulisan ini dipakai tiga alat

pengumpul data, yaitu :

1. Bahan hukum primer, yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat,seperti peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Republik Indonesia dan Badan Pengawas Obat dan Makanan seperti

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80

Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Universitas Sumatera Utara


12

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat

kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti buku-buku,

jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran dan beberapa

sumber lainnya yang berkaitan dengan persoalan diatas.

3. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-

konsep yang mendukung bahan hukum sekunder, seperti kamus,

ensiklopedia, dan lain-lain

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini diuraikan dalam lima bab dan setiap bab terbagi

atas beberapa sub bab, untuk mempermudah dan memaparkan materi skripsi ini

yang terdiri dari :

BAB I PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat,

keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN

KONSUMEN, bab ini berisikan tentang pengertian konsumen,

perlindungan konsumen, asas-asas konsumen serta hak dan

kewajiban konsumen.

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWAS

OBAT DAN MAKANAN, bab ini berisikan tentang sejarah dan

dasar BPOM, fungsi, tujuan serta peran BPOM dalam mengawasi

obat-obatan yang beredar di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


13

BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN YANG TIDAK

MEMILIKILABEL BPOM PADAA OBAT ZENITH

CARNOPHEN, bab ini berisikan tentang perlindungan konsumen

terhadap obat yang tidak memiliki label BPOM, pengawasan

BPOM terhadap kelayakan dan keamanan produk obat-obatan,

serta seperti apa upaya penyelesaian sengketa terhadap peredaran

obat ilegal di masyarakat.

BAB V PENUTUP, bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi,

dimana dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulis.

Universitas Sumatera Utara


14

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. PENGERTIAN KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN

KONSUMEN

1. PENGERTIAN KONSUMEN

a. Konsumen

Dalam aturan hukum positif di Indonesia tidak ditemui perkataan

konsumen, atau pengertian konsumen, hal ini hanya ditemui dalam Perundang-

undangan khususnya UUPK, yang menyatakan bahwa konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.9

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris

Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari “consumer” atau

“consument” itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer

sebagai pemakai atau konsumen. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

mengartikan bahwa konsumen adalah pemakai barang hasil produksi (bahan

9
Husni syawal, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, PT Mandor Maju, 2000, hlm
29.

Universitas Sumatera Utara


15

pakaian, makanan, dan sebagainya), penerima pesan iklan, dan pemakai jasa

(pelanggan dan sebagainya). 10

Beberapa pakar juga mencoba mendefinisikan arti dari konsumen, seperti

Dr. Munir Fuady,mengatakan bahwa :

“Konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap

pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan”. 11

Menurut Janus Sidabalok, “Konsumen adalah semua orang yang

membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri,

keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya”. 12

Menurut Hodius, seorang pakar masalah Belanda menyimpulkan, bahwa

para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai

produksi terakhir dari benda dan jasa. Dimana Hodius ingin membedakan antara

konsumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan konsumen akhir.13

Menurut AZ Nasution dalam bukunya yang berjudul “Hukum

Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar”, menyebutkan bahwa :

“konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan

untuk tujuan tertentu. Dimana dia membedakan konsumen menjadi konsumen

10
Az. Nasution, ukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media,
2001, hal. 3
11
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2006, hal. 17
12
Gregorius Chandra, 2002, Konsumen dan Kepuasannya,
http://elqomi.wordpress.com/2008/05/03/konsumen-dan-kepuasannya/., diakses pada tanggal 22
April 2018
13
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2000, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara


16

antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah setiap orang yang

mendapatkan barang/jasa untuk digunakan dengan tujuan tertentu membuat

barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial). Konsumen akhir

adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/ atau

jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/ atau

rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.14

Dari pendapat-pendapat sarjana, maka pengertian konsumen adalah setiap

orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu, atau

setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan

tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan kembali, atau setiap

orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.

Sedangkan menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),

konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi

keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.15 Pengertian Konsumen menurut Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI) ini tidak jauh berbeda dengan pengertian konsumen

dalam UUPK.

UUPK menyebutkan bahwa pengertian konsumen diatur dalam ketentuan

Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

14
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit
Media, 2001, hal. 13.
15
Ibid, hal. 10

Universitas Sumatera Utara


17

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.16 Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2

tersebut bahwa didalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan

konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari

suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan

suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian

konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Menurut UUPK diterapkannya pengertian konsumen untuk mempersempit

ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan sulit menetapkan

batas-batas seperti itu. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen

akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaat

akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. 17

Pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai

orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum.

Pembedaan ini penting untuk membedakan konsumen tersebut menggunakan

barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi

lagi).18

Pengertian konsumen dalam UUPK yang diajukan oleh Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia

16
Indonesia,UUPK, op.cit
17
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung
: Citra Aditya Bakti, 2003, hal.247
18
Az Nasution, Op.Cit, hal. 9

Universitas Sumatera Utara


18

dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain

yang tidak untuk diperdagangkan kembali.19

Sebagai akhir dari usaha pembentukan UUPK yaitu dengan lahirnya

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya dikemukakan

definisi konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: Konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan mengenai pengertian konsumen

berdasarkan Pasal 1 angka 2 menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam

bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa :

“Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,

sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen

dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.” Dapat diketahui pengertian

konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena dalam UUPK juga

meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti

bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan

manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang luas seperti itu,

19
Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan
Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan
Lembaga Konsumen, 1981), Hal. 2.

Universitas Sumatera Utara


19

sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada

konsumen.20

Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yakni: konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu, konsumen antara adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat

barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial), kemudian

konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan

barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,

keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali

(nonkomersial).21

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz, secara garis

besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu:

1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri seperti,

Memiliki tingkat pendidikan tertentu, mempunyai sumber daya ekonomi yang

cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas, serta lancar

berkomunikasi.

20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Rajawali Pers, Hal 4-6.
21
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, Hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


20

2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri seperti, kurang

berpendidikan, termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah dan,

tidak lancar dalam berkomunikasi.22

2. PERLINDUNGAN KONSUMEN

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Shidarta

dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa: Istilah

“hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering

terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi

keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik.23

A.Z Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa:

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang

dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian khusus

dari hukum konsumen. Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-

asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen antara

penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.24

Selanjutnya, Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perlindungan Konsumen, juga berpendapat bahwa:

Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas

meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di

22
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi
Revisi, Hal 3.
23
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, Hal. 9
24
Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 37.

Universitas Sumatera Utara


21

dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita

mengartikan.25

3. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

Mengingat kedudukan konsumen yang masih lemah, maka perlindungan

konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam

perlindungan konsumen, yaitu:

a. Konsumen

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) UUPK, yaitu:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum Perlindungan

Konsumen, menyatakan bahwa, jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas

barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan

jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku

atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk memperoleh ganti kerugian,

konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Jika

permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang

layak dari pihakpihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen

berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain,

25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, Hal. 5.

Universitas Sumatera Utara


22

konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang

dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu.26

b. Pelaku Usaha

Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka (3) UUPK, menyebutkan bahwa:

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

c. Menteri

Menteri disini yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 13 UUPK adalah menteri

yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. Ahmadi

Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen, menyatakan bahwa: pengertian menteri dalam undang-undang

tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Menteri Perindustrian dan

Perdagangan (Menperindag). Menteri Perindustrian boleh mengizinkan barang

dan/atau jasa diproduksi oleh pelaku usaha, tetapi yang menentukan apakah

barang dan/atau jaa tersebut layak dikonsumsi dan dapat diedarkan ke dalam

masyarakat adalah Menteri Perdagangan. 27

d. Departemen atau Instansi Pemerintah

Departemen atau Instansi Pemerintah disini adalah instansi yang terkait

dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan mempunyai

kewenangan dalam perizinan serta penentuan standar produksi. Departemen atau

26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 38.
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 22.

Universitas Sumatera Utara


23

instansi pemerintah yang terkait dengan peredaran kosmetik yaitu Badan

Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

e. Lembaga atau Instansi Dalam Perlindungan Konsumen

Lembaga atau instansi di sini berperan dalam perlindungan terhadap

konsumen untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam

upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

B. PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyebutkan bahwa: lambannya

perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang

perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap pemerintah

pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor

yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari perlindungan

kepentingan industri pada negara berkembang termasuk Indonesia tersebut, maka

ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindungan

kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena tidak

diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha

pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan

sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan

tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi

kepentingan konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai

ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka peraturan perundang-

undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan yang memberikan perlindungan

Universitas Sumatera Utara


24

kepada konsumen, walaupun dalam konsiderans peraturan perundang-undangan

tersebut tidak disebutkan untuk tujuan perlindungan konsumen.28

Selanjutnya, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas

produk barang yang dibeli, sebelum UUPK lahir, maka peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk

peninggalan penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah menjadi pedoman

dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang

mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya. Meskipun

KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di

dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”, “tertanggung”, atau

“penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai

konsumen akhir atau konsumen antara;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang

Barang. Penerbitan undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai

dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industri itu adalah

meningkatkan mutu dan hasil industri;

28
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, hal. 67.

Universitas Sumatera Utara


25

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang

Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan

Baku dan Hasil Industri.29

Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru

mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya UUPK yang dimuat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan

Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. UUPK ini berlaku efektif

pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan

konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi

konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk

bermutu. Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka (1)

UUPK, menegaskan bahwa: Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka (1) UUPK Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyebutkan bahwa: Kalimat

yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”,

diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang

merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai UUPK namun bukan berarti

29
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


26

kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena

keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.30

C. ASAS-ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Terdapat dalam Pasal 2 UUPK menyatakan bahwa perlindungan

konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan

keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan resmi dari Pasal 2

UUPK, menyatakan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai

usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan

nasional yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

30
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


27

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

Universitas Sumatera Utara


28

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan

isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.31

D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh

karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi

yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih

hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

.sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-

hak konsumen.32

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. hak untuk memilih (the right to choose);

4. hak untuk didengar (the right to be heard).33

4 (Empat) hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional. Dalam

perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The

International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi

31
Ibid, Hal. 34.
32
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 30.
33
Sidharta, Op. Cit, Hal. 16-27.

Universitas Sumatera Utara


29

beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan

ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah

sebagai berikut:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara


30

Kebebasan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

merupakan suatu hak mutlak yang perlu direalisasikan tanpa pembatasan dalam

bentuk apapun. Adanya hak dan kebebasan untuk memenuhi dan mengkonsumsi

suatu produk tertentu seara tidak langsung memberikan arti bahwa dengan hak

dan kebebasan tersebut berarti konsumen harus dilindungi, karena dalam kondisi

seperti itu biasanya konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave it, artinya

jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di tempat lain. 34

Kebutuhan hidup setiap orang selalu bertambah, hal tersebut untuk

menunjang kelangsungan hidupnya. Namun, kedudukan konsumen cenderung

berada pada posisi yang lemah, dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang

disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku

usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian

konsumen dari berbagai aspek.

Selanjutnya, Pasal 5 UUPK juga menyebutkan mengenai kewajiban

konsumen sebagai berikut :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan

dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

34
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, Jakarta: PT.
Grasindo, Hal. 28.

Universitas Sumatera Utara


31

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

e. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut..

(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian

lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

kesalahan konsumen.

Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam

bukunya mengemukakan tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum Tentang

Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa: Pasal 19 mengatur tentang

pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan dan/atau distributor pada umumnya,

untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

Universitas Sumatera Utara


32

diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan

dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal transaksi.35

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan

perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh

pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan

komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung

jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha

lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen

dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa pelaku usaha yang

35
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen
Hal 65-66.

Universitas Sumatera Utara


33

menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung

jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak

memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung

jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan

perbuatan melanggar hukum.

Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang

ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang menjual

barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak melakukan

perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha

lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau

produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak

sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya. 36

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

mengemukakan bahwa jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa

menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang

dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau

gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah

melakukan perubahan tersebut.37

Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan Ahmad

Yani menyebutkan bahwa: Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan

purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

36
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 155-156.
37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, Hal 67.

Universitas Sumatera Utara


34

Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas

jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau

perbaikan.38

Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab

atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli

atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha yang

melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada

konsumen.

Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang memproduksi

barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,

jika:

a. Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

38
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


35

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibelinya atau

lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.39

Berkaitan dengan hal tersebut apabila dikaitkan pada asas umum hukum

perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain,

wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika

berbicara mengenai konsep dan teori dalam ilmu hukum, menurut Gunawan

Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya menyebutkan bahwa perbuatan yang

merugikan tersebut dapat lahir karena:

1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang

pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau

2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau dikenal dengan

perbuatan melawan hukum).40

Akibat dari kerugian yang diderita oleh konsumen maka gugatan yang

lazim digunakan biasanya adalah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha,

maka gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen

dikarenakan tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha atau pelaku usaha.

Apabila konsumen menggunakan gugatan perbuatan melawan hukum, maka

39
Ibid, Hal. 67-68.
40
Ibid, Hal. 62.

Universitas Sumatera Utara


36

hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah disyaratkan.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam

bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:

Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh

konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi dua

kategori, yaitu:

a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian

didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat

(produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak

ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat

menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Berbeda dengan

tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, tuntutan ganti kerugian

yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan

perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian

dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat

hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak

ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.41

BPOM dalam pengawasannya, harus sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Hal ini di perkuat dalam UUPK bagian ke dua tentang pengawasan. BPOM juga

berwenang untuk memberikan sanksi administratif.

41
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, Hal 127-129.

Universitas Sumatera Utara


37

Peranan BPOM Nomor 26 Tahun 2017 tentang organisasi tata kerja

BPOM . sanksi administratif berupa pencabutan surat izin apoteker sesuai dengan

Permenkes Nomor 9 Tahun 2017 Tentang apotek.

Dengan demikian, pengawasan yang di lakukan BPOM mengenai obat

ilegal adalah menyelidiki terlebih dahulu apakah memang benar obat yang

diedarkan sudah memenuhi standar yang telah di tetapkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Jika pihak yang mengedarkan tidak melalui apotek, maka BPOM dapat

bekerja sama dengan penyidik untuk mencegah masalah yang berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara


38

BAB III

Gambaran Umum Mengenai Badan Pengawas Obat Dan Makanan

A. Sejarah dan Dasar Hukum Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia

pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam

pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah dalam

melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat.

Sejarah terbentuknya BPOM di mulai pada Periode zaman penjajahan sampai

Tahun 2000.

Semula pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja

yaitu di apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.

Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan

dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang

diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku Verzameling

Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli Venkataramanaiah

Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan jurnalis. Dapat diketahui

bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan surat Keputusan Pemerintah

Nomor 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah dengan Surat

Keputusan Nomor 15 (Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan Nomor. 45 (Stb.

No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van

apothekerbedienden onder den naam van apothekersassistenschool”. Peraturan

ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam Surat Keputusan

Kepala DVG Nomor 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian diubah lagi

Universitas Sumatera Utara


39

dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8 September 1936 dan Nomor

11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain dinyatakan

bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijazah MULO

bagian B, memiliki surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan

kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang

apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti

pendidikan asisten apoteker di Jakarta.

Setelah perang kemerdekaan pada periode tahun 1950an jumlah tenaga

farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang

relatif besar. Namun pada tahun 1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga

pemerintah mengeluarkan Undang - Undang Nomor 3 tentang Pembukuan

Apotek. Sebelum dikeluarkannya undang - undang ini, untuk membuka apotek

boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah. Dengan

adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu

untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah cukup dianggap memadai.

Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah -daerah yang belum ada

atau belum memadai jumlah apoteknya. Undang -Undang Nomor 3 ini kemudian

diikuti dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1953 Tentang

Apotek Darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin

sebuah apotek. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit,

undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29

Oktober 1983.

Universitas Sumatera Utara


40

Pada periode Tahun 1958 Sampai dengan 1967 meskipun usaha untuk

memproduksi obat telah banyak dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi

menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan

devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang

dapat bertahan hanyalah industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai

relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat

terbatas dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan

belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun

obat jadi yang tidak memenuhi standar.

Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah

semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan

dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian

integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan

sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta

jangkauan yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah

dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting,

antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin

menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti. Terhadap distribusi

obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980.42

Pads periode Tahun 2000, untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap

obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan

42
Midian, Sirait, 2001. Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Darma Mahardika,
Jakarta, h. 2-12.

Universitas Sumatera Utara


41

mengadakan perubahan Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, yang

mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada

Departemen Kesehatan, namun sekarang setelah terjadinya perubahan makaBadan

Pengawas Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan

Pengawas Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non

Departemen berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 dan telah

mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2003. Pada

saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan diatur dalam Peraturan Presiden

Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat Dan Makanan.

B. Fungsi dan Tujuan Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Fungsi Badan Pengawas Obat Dan Makanan dapat kita lihat berdasarkan

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat

dan Makanan, BPOM mempunyai fungsi:

1. Dalam melaksanakan tugas Pengawas Obat dan Makanan, BPOM

menyelenggarakan fungsi:

a) penyusunan kebijakan nasional di bidang Pengawas Obat dan

Makanan;

b) pelaksanaan kebijakan nasional di bidang Pengawas Obat dan

Makanan;

c) penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan

kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan

Pengawasan Selama Beredar;

Universitas Sumatera Utara


42

d) pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan

Selama Beredar;

e) koordinasi pelaksanaan Pengawas Obat dan Makanan dengan

instansi pemerintah pusat dan daerah;

f) pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang Pengawas

Obat dan Makanan;

Sesuai dengan hal di atas, maka Badan Pengawas Obat Dan Makanan juga

mempunyai Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis). Fungsi dari Balai

Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis) dapat dilihat pada Pasal 3 Peraturan

Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014, yaitu :

1. Penyusunan rencana dan program Pengawas Obat dan Makanan;

2. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian

mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat adiktif, obat

tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan

berbahaya;

3. Pelaksanaan pemeriksaanlaboratorium, pengujian dan penilaian mutu

produk secara mikrobiologi;

4. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan

pemeriksaan sarana produksi dan distribusi;

5. Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum;

6. Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu

yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan;

7. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen;

Universitas Sumatera Utara


43

8. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan;

9. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan;

10. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BadanPengawas

Obatdan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya;

Tujuan Badan Pengawas Obat Dan Makanan yang juga sebagai tugasnya

dapat dilihat dari Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan

Pengawas Obat dan Makanan, yaitu :

1. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di

bidang Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat

tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

C. Peran Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Mengawasi Obat-

Obatan Di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi, Obat

adalah obat yang dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-

tumbuhan, mineral dan obat syntetis.

Menurut SK Menteri Kesehatan. No.25/Kab/B.VII/ 71 tanggal 9 Juni

1971, yang disebut dengan obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan untuk

digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,

menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia

atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia.

Universitas Sumatera Utara


44

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, obat

adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan

kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

Dapat kita lihat dari definisi-definisi tersebut, obat berhubungan dengan

pemulihan atau penyembuhan fisik atau rohaniah suatu makhluk hidup. Dalam hal

ini, perkembangan obat sangatlah pesat. Walaupun masih banyak masyarakat

Indonesia yang masih menggunakan obat-obat tradisional seperti jamu dan

lainnya, Bukan berarti obat tradisional ini tidak efektif untuk menyembuhkan,

tetapi banyak obat-obat tradisional ini yang tidak memenuhi standar BPOM, atau

bahkan tidak mempunyai sertifikat dari BPOM.

Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju dan supaya

tujuan standarnisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka

pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi

pelaksanaan mengenai peraturan yang berlaku. Sesuai dengan prinsip

pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan

bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung

jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah,

tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan baik. 43

Pemerintah melindungi konsumen dengan cara mengatur pengendalian

mengawasi produksi, distribusi dan pengedaran produk makanan sehingga

konsumen tidak dirugikan baik kesehatan maupun keuangannya. Pengawasan

43
Profil Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republic of Indonesia

Universitas Sumatera Utara


45

yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak produsen bertujuan untuk

membina dan mengembangkan usaha di bidang produksi dan distribusi serta

menciptakan usaha perdagangan yang jujur.

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah melalui Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/III/2006 tentang Kebijakan

Obat Nasional sudah memberikan titik acuan mengenai mengenai pengedaran

obat dan juga untuk memajukan kesehatan masyarakat.

Tujuan dari Kebijakan Obat Nasional adalah untuk meningkatkan

pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, agar tercapai derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan

obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan

obat yang tepat dengan mengutamakan penyediaan obat esensial dapat

meningkatkan akses serta kerasionalan penggunaan obat. Semua obat yang

beredar harus terjamin keamanan, khasiat dan mutunya agar memberikan manfaat

bagi kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah

penggunaan dan penyalahgunaan obat. Dengan demikian tujuan KONAS adalah

menjamin :

1. Ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat

esensial.;

2. Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi

masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.;

3. Penggunaan obat yang rasional.44

44
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/III/2006
tentang Kebijakan Obat Nasional.

Universitas Sumatera Utara


46

Agar Kebijakan Obat Nasional mengenai target, ruang lingkup Kebijakan

Obat Nasional Ruang lingkup KONAS meliputi pembangunan di bidang obat

untuk menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan dalam upaya

mendapatkan sumberdaya manusia berkualitas. KONAS mencakup pembiayaan,

ketersediaan dan pemerataan, keterjangkauan obat, seleksi obat esensial ,

penggunaan obat rasional, pengawasan, penelitian dan peng'embangan,

pengembangan sumber daya manusia dan pemantauan serta evaluasi.45

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dahulunya adalah

Direktrorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan di bawah Departemen

Kesehatan yang tugas dan fungsinya menjalankan sebagian kewenangan di bidang

obat dan makanan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 130/Menkes/SK/I/2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan. Sesuai dengan perundang-undangan yang ditetapkan bahwa Direktorat

Jenderal Pengawas Obat dan Makanan dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan peraturan yang berlaku, yaitu :

1. Ordonansi tentang Obat Keras;

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND yang

mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pengawas Obat

dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

45
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


47

berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka tentunya akan dilakukan

pemisahan antara fungsi dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan

terfokus dan lebih untuk ditekankan kepada kebijakan dalam pengawasan di

bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai

LPND mempunyai fungsi dan kewenangan di dalam membentuk regulasi di

bidang pengawasan obat dan makanan baik yang berbentuk undang-undang

maupun ketentuan yang secara hirarkis berada di bawahnya untuk dapat efektif

berlaku, jelas membutuhkan sumber daya yang mampu menjalankan perintah dan

melaksanakan penegakan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan

tersebut. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi

pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawas Obat dan

Makanan (Badan POM).

Keberadaan Badan POM didasarkan pada keputusan Presiden Nomor 103

Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa

kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun

2001. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa fungsi Badan POM meliputi sebagai

berikut :

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat

dan makanan

2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang Pengawas Obat dan Makanan

3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM

Universitas Sumatera Utara


48

4. Pemantauan pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

instansi pemerintahdan masyarakat di bidang Pengawas Obat dan

Makanan

5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana,

kepegawaian, keuangan, karsipan, hukum, persandingan, perlengkapan

dan rumah tangga.

Tugas dari BPOM diatur dalam Kepres No. 166/2000, yaitu dalam Pasal 73

yang menyebutkan bahwa BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai tugas dan wewenang dari

BPOM yang lebih spesifik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan

dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/

2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan

Kewenangan di Bidang Pengawas Obat dan Makanan. Namun dalam menjalankan

tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari pelaku usaha,

konsumen maupun pemerintah. Hambatan dari pemerintah tersebut ialah masih

adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan pribadi

maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga tidak bisa

menjalankan tugasnya dengan semestinya. Padahal dengan adanya 2 peraturan

terebut di atas, seharusnya BPOM memiliki wewenang sepenuhnya untuk

Universitas Sumatera Utara


49

menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi kedua
46
peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM.

Demikian juga halnya dengan kewenangan Badan POM sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 bahwa

kewenangan Badan POM meliputi sebagai berikut :

1. Penyusunan secara nasional secara makro di bidangnya

2. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan

secara makro

3. Penetapan sistem informasi di bidangnya

4. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif) tertentu

untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan

makanan

5. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri

farmasi

6. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan pengawasan

tanaman obat

Kewenangan Badan POM sebagai lembaga pemerintah non departemen

(LPND) dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dalam Keputusan Presiden

Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga

Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2005. Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor

46
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-faisalboy-7614.

Universitas Sumatera Utara


50

110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang

membidangi :

1. Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif

2. Pengawasan obat tradisional, kosmetik produk komplemen/suplemen

makanan serta

3. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Kewenangan BPOM juga diperkuat dengan pasal 4 pada Peraturan Presiden

Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, yaitu :

1. menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan

makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan

Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

3. pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.47

Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di dalam

membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka pelaksanaan

Pengawas Obat dan Makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Kedudukan

Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila ditinjau dari

segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka sebagai

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada

47
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pasal 4.

Universitas Sumatera Utara


51

Presiden, diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengajukan prakarsa kepada

Presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan perundang-undangan

sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan makanan

dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

UUPK menjamin hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dimana

konsumen berhak atas informasi yang jelas dari pelaku usaha dan pelaku usaha

harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku atas barang dan/atau

jasa yang di perdagangkan olehnya.

Selain negara juga sudah melakukan sosialisasi dan pengawasan kepada

masyarakat mengenai peredaran obat-obat ilegal. Walaupuun begitu, kesadaran

konsumen juga diperlukan agar tidak mendukung peredaran dan konsumsi obat-

obatan ilegal.

Dengan demikian, berdasarkan pasal 45 UUPK konsumen yang merasa hak-

hak nya di langgar dapat menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui

lingkungan peradilan umum, badan penyelesaian sengketa konsumen, maupun

diluar lingkungan peradilan umum.

Universitas Sumatera Utara


52

BAB IV

UPAYA HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN YANG TIDAK

MEMILIKI LABEL BPOM PADA OBAT ZENITH CARNOPHEN

A. Perlindungan Konsumen Terhadap Obat-Obatan yang Tidak Memiliki Label

BPOM Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

Masalah konsumen merupakan masalah semua orang, dengan demikian

masalah konsumen juga merupakan masalah nasional yang harus diperhatikan dan

diawasi oleh pemerintah.48 Tujuan penyelenggaran, pengembangan dan

pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk

meningkatkan kesadaran konsumen dan juga secara tidak langsung mendorong

pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa

tanggung jawab.49 Namun masih banyak konsumen yang belum mengerti hukum,

hak dan juga kewajiban sebagai konsumen. Perlindungan konsumen ini bertujuan

untuk memberikan hukuman (punishment) bagi setiap pelanggaran yang terjadi

dan sudah jelas berhubungan dengan ketentuan yang telah diatur di dalam

UUPK.50

Bentuk perlindungan hukum melalui suatu peraturan. Dalam hal ini

pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen guna untuk melindungi kegiatan perdagangan antara produsen dan

48
Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Huku Perlindungan Konsumen, Nusa Media :
Bandung.
49
Ahmadi, Miru dan Sutarman Yodo, op.cit hlm 41.
50
Ibid

Universitas Sumatera Utara


53

konsumen.51 Pelaksanaan UUPK dibuat untuk melindungi hak-hak konsumen

agar tidak dirugikan atau untuk melindungi pihak konsumen dari tindakan curang

pelaku usaha. Selain itu UUPK juga merupakan jaminan produsen apabila

produsen melanggar ketentuan yang berlaku maka konsumen berhak untuk

meminta ganti rugi.52

Dalam hal peredaran obat-obat ilegal UUPK memberikan perlindungan

kepada konsumen dengan memberikan pengaturan mengenai larangan kepada

pelaku usaha yang nantinya akan memberikan kerugian kepada konsumen. Bahwa

pelaku usaha telah melanggar beberapa ketentuan pasal dalam UUPK, yaitu:

a) Pelaku usaha telah melanggar hak konsumen atas kenyamanan,

keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang, hak atas informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang.10 Terkait pasal yang

dilanggar, pelaku usaha sudah sangat jelas mengetahui bahwa obat-obatan

yang dijual tergolong obat yang mengandung bahan berbahaya seperti

boraks, karisoprodol dan zat aktif Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat

membahayakan kesehatan bahkan keselamatan konsumen serta

kenyamanan dalam menkonsumsi obat. Selanjutnya, pelaku usaha juga

tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kandungan obat-obatan tersebut.

b) Pelaku usaha melanggar kewajibannya untuk beritikad baik dalam

melakukan kegiatan usahanya, dan tidak menjamin mutu barang yang

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang

51
Janus Sidabalok, op.cit, halaman 37.
52
Marianus, Gaharpung, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha, Jurnal Yustika, Vol.III No. 1 Juli 2001.

Universitas Sumatera Utara


54

berlaku.53 Dalam hal ini pelaku usaha telah melanggar kewajibannya untuk

beritikad baik menjalankan usahanya. Karena sudah jelas bahwa pelaku

usaha tersebut sudah mengetahui kandungan bahan-bahan berbahaya dan

zat aktif BKO yang terdapat dalam obat dan obat tradisional tersebut.

Bahkan telah menjual produk yang tidak memiliki izin edar dari BPOM

sehingga produk tersebut tidak memenuhi standar mutu yang telah diatur

di Indonesia.

c) Pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang untuk

memperdagangkan produk yang tidak sesuai dengan standar yang

disyaratkan dan ketentuan perundang-undangan, selain itu tidak sesuai

dengan kondisi dan kemanjuran, selain itu tidak sesuai dengan mutu

komposisi dan proses pengolahan sebagaimana yang dinyatakan dalam

label.54 Pelaku usaha telah menjual dan mengedarkan obat dan obat

tradisional yang tidak memenuhi standar pembuatan obat yang baik dan

standar pembuatan obat tradisional yang baik dan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku dengan tidak adanya izin edar dari BPOM. Selain

itu pelaku usaha sudah mengetahui bahwa obat-obat tersebut mengandung

bahan kimia obat dan zat berbahaya lainnya yang sama sekali tidak sesuai

dengan kondisi dan kemanjuran yang dinyatakan dalam label produk

tersebut. Oleh karena itu, obat yang diperdagangkan tidak sesuai dengan

mutu dan komposisi yang dicantumkan dalam keterangan barang.

Dalam hal ini undang-undang tersebut belum berjalan lancar karena masih

banyak produk obat-obatan ilegal di Indonesia yang dapat dijual bebas padahal

53
Pasal 7 huruf a dan d, opcit UUPK
54
Pasal 8 ayat 1 huruf a, d dan e, op.cit UUPK

Universitas Sumatera Utara


55

mereka menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti boraks untuk membuat

obat-obatan. Selain itu barang-barang yang diproduksi juga dapat dipalsukan

dengan mudahnya dan sangat merugikan konsumen. Akibatnya tidak hanya dari

segi materi yang rugi melainkan dapat mengancam jiwa jika dikonsumsi.

Peredaran obat-obatan yang tidak memenuhi persyaratan saat ini semakin

menghawatirkan, produk-produk obat yang ada di pasar Indonesia saat ini banyak

yang berasal dari produk impor yang tidak dengan tata cara hukum yang benar.

Dari hasil survey dengan populasi dan sampling BPOM mendapatkan bahwa

hampir sebagian obat yang beredar adalah obat ilegal yang beredar di pasar

indonesia.55

Perlindungan hukum yang dilakukan pemerintah dalam bentuk

perlindungan hukum preventif sekarang ini menurut penulis belum seutuhnya

dilaksanakan, preventif yang berarti kesempatan untuk masyarakat memberikan

keberatannya yang diharapkan bisa diterapkan oleh pemerintah. Pendapat yang

diberikan masyarakat dapat membantu pemerintah untuk membentuk

perlindungan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan terhadap konsumen dengan produsen, dapat

dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen, karena seperti

yang terjadi di era pasar bebas saat ini posisi produsen selama ini lebih kuat

daripada konsumen.56

Bagian dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada

sejumlah asas yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam

55
http://m.bisnis.com/kabar24/read/20141111/78/272099/ribuan-kosmetik-dan-obat-
ilegal-beredar-di-manado. diakses 17 July 2018pukul 15:20
56
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia
Pustaka, 2008), hlm.3.

Universitas Sumatera Utara


56

implementasinya di tingkatan praktis.57 Pada dasarnya perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam

pembangunan nasional yaitu:

a) Asas manfaat, dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan

pelaku usaha secara keseluruhan

b) Asas keadilan, memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil.

c) Asas keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun

spiritual.

d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, untuk memberikan jaminan

atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan.

e) Asas kepastian hukum, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggara perlindungan

konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen,

menyebutkan bahwa pengertian konsumen diatur dalam ketentuan pasal 1 butir 2

yang berbunyi, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

57
Pasal 2 op.cit UUPK

Universitas Sumatera Utara


57

lain, ataupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”. Sebagaimana

disebutkan dalam penjelasan pasal 1 butir 2 tersebut bahwa didalam kepustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akir

adalah penggunan atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen

antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari

proses suatu produk lainnya. pengertian konsumen dalam undang-undang ini

adalah konsumen akhir.

Seperti yang telah di sebutkan diatas, terlihat bahwa ada pembeda antara

konsumen sebagai orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau

badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan konsumen tersebut

menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau bertujuan untuk dijual atau

diproduksi lagi. Seperti yang sudah di sebutkan di atas bahwa konsumen yang

dimaksud dalam perlindungan konsumen adalah konsumen akhir begitu pula

dalam penulisan skripsi ini.

Dalam UUPK sendiri tidak diatur secara jelas mengenai masalah kejelasan

tentang obat-obatan, akan tetapi yang menjadi landasan adalah diaturnya hak

konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang masing masing diatur dalam pasal 4

dan pasal 7. Bila dilihat dari hak konsumen, sudah dijelaskan bahwa konsumen

berhak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan uang

yang mereka keluarkan dan diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur.

Kemudian, jika melihat kewajiban pelaku usaha yang diantaranya adalah beritikat

baik dan memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur.

Universitas Sumatera Utara


58

Dari penjelasan diatas, masih terlihat banyaknya kejadian atau masalah

yang timbul oleh ulah pelaku usaha sendiri. salah satu masalah yang terjadi adalah

beredarnya pelaku usaha yang menjualkan obat yang tidak memiliki standar yang

telah di tetapkan oleh BPOM.

Jika pelaku usaha melakukan kesalahan, maka hal tersebut harus bisa

dipertanggungjawabkan oleh pelaku usaha tersebut. sebab, pertanggungjawaban

dapat terjadi jika adanya hak konsumen yang dilanggar ataupun dirugikan dan

adanya kewajiban pelaku usaha yang tidak terpenuhi.58 Dengan terjadinya dua hal

tersebut barulah pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawabannya. Terkait

dengan masalah obat yang tidak memiliki label BPOM, pertanggungjawaban yang

harus dilakukan menganut beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip

tanggung jawab mutlak. Prinsip ini dianggap penting dalam hukum perlindungan

konsumen karena tanggung jawab mutlak merupakan instrumen hukum yang

relatif baru dalam memperjuangkan hak konsumen. Tanggung jawab mutlak juga

merupakan bagian dari hasil perubahan dibidang ekonomi, lalu penerapan prinsip

di dalam tanggung jawab mutlak ini melahirkan masalah baru bagi pelaku usaha

serta di indonesia sendiri terdapat dua kesenjangan, dan tanggung jawab mutlak

ini menggambarkan dua kesenjangan tersebut.

Pertanggungjawaban dalam UUPK tidak sepenuhnya mengandung prinsip

tanggung jawab mutlak. Adapun persepsi pasal 19 UUPK bahwa apabila pelaku

usaha tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian,

atau dengan rumusan yang berbeda. Apabila konsumen mengalami kerugian,

58
Sudaryatmo, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti : Bandung

Universitas Sumatera Utara


59

berarti pelaku usaha telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu pelaku usaha

yang melakukan kesalahan dengan menjualkan obat yang tidak memiliki label

BPOM mendapati keuntungan yang lebih. Sebab, harga obat yang tidak memiliki

label BPOM tersebut pasti akan lebih murah dari pada obat yang telah memiliki

label BPOM.

Akibat dari perbuatan itulah yang menimbulkan adanya suata

pertanggungjawaban dari pelaku usaha. Maka bentuk pertanggungjawaban

tersebut berasal dari UUPK pasal 19 yaitu :

“(1). Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2). Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian

barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

hari setelah tanggal transaksi.

(4). Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan

adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai

adanya unsur kesalahan.

(5). Ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat

membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

Universitas Sumatera Utara


60

Pembuktian mengenai ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana

dimaksud dalam penjelasan pasal di atas, merupakan beban dan tanggung jawab

untuk pelaku usaha, dan tidak memungkiri kemungkinan adanya tuntutan pidana.

Dimana sistem beban pembuktian yang dianut oleh UUPK adalah sistem beban

pembuktian terbalik. Ketentuan ini yaitu membuktikan terhadap ada tidaknya

unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab

pelaku usaha. Hal ini dilakukan guna seolah-olah menempatkan kedudukan

pelaku usaha menjadi lemah, mengingat kedudukan pelaku usaha biasanya lebih

tinggi.

Akan tetapi jika dilihat berdasarkan pasal 19 ayat 1 UUPK bahwa pelaku

usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan

atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang

dihasilkan atau diperdagangkan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 19 ayat 1

UUPK, yaitu :

a. Pelaku usaha : Menurut pasal 1 ayat 3 UUPK bahwa pelaku usaha adalah

orang perseorangan dan/atau badan usaha baik yang berbadan hukum

maupun bukan badan hukum.

b. Bertanggung jawab memberikan ganti rugi : bertanggung jawab berarti

suatu perbuatan menanggung segala resiko dari akibat yang ditimbulkan

perbuatan. Tanggung jawab diberikan dalam bentuk ganti rugi yaitu

menggantikan sesuatu dengan sesuatu hal lain, yang nilainya diperkirakan

sama besar dengan kerugian.

c. Atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian konsumen : mengenai akibat

yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku usaha, yaitu suatu keadaan

Universitas Sumatera Utara


61

kerugian yang dialami konsumen terkait dengan kesehatan konsumen

setelah mengkonsumsi obat-obat ilegal tersebut.

d. Akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan : ini merupakan penyebab mengapa terjadi kerusakan,

pencemaran dan kerugian konsumen karena mengkonsumsi obat-obat

ilegal yang dihasilkan oleh pelaku usaha.

Dari ke 4 (empat) unsur diatas sudah jelas bahwa konsumen berhak

menerima ganti rugi yang ditimbulkan oleh pelaku usaha walaupun obat-obatan

yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal dan tidak ada kantor perwakilan

yang dapat digugat konsumen. Konsumen yang mengalami kerugian akibat

mengkonsumsi obat tersebut tetap dapat menggugat pelaku usaha yang

memperdagangkan obat-obat tersebut kepada yang bersangkutan. Dasar gugatan

konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk obat dan obat

tradisional ilegal tanpa izin edar merupakan perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh pelaku usaha sebagaimana diatur dalam UUPK.

B. Pengawasan BPOM Terhadap Kelayakan dan Keamanan Produk Obat-Obatan

Dalam melakukan pengawasan, BPOM biasanya selalu melakukan

pengecekan ke berbagai tempat yang menjajakan obat-obatan seperti di apotek

dan kepada pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Pengecekan dan

pengawasan terhadap produk obat-obatan dilakukan pihak BPOM dengan cara

melakukan inspeksi ke sarana produksi dan sarana lainnya.

Inpeksi ini dilakukan melalui pemeriksaan rutin/khusus, laporan konsumen

dan meskos, meskos yaitu suatu kegiatan yang dilakukan BPOM dan pelaku usaha

Universitas Sumatera Utara


62

meliputi pengumpulan data, pencatatan, dan evaluasi efek samping yang timbul

karena pemakaian obat-obatan. Jika dalam kegiatan inspeksi yang dilakukan

BPOM menemukan masalah pada produk obat-obatan, seperti obat-obatan yang

mengandung bahan berbahaya, maka akan dilakukan tindak lanjut berupa sanksi

administrasi maupun sanksi pidana karena produsen yang lalai terhadap mutu,

keamanan dan kemanfaatan produknya.

Kemanan bagi obat-obatan penting untuk menjamin obat itu aman dan

layak dikonsumsi oleh masyarakat di indonesia. Apabila suplai obat-obatan yang

tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan kualitas

generasi muda yang akan datang. Indonesia sendiri mempunyai Standar Nasional

Indonesia (SNI) yang berkaitan dengan keamanan obat. Standar ini diantaranya

adalah bagaimana memproduksi bahan yang benar, dan diharapkan dapat

memberikan jaminan kemanan bagi masyarakat yang mengkonsumsi obat itu

sendiri.

Sistem pengawasan BPOM dilakukan secara berskala dan acak, sehingga

menyebabkan adanya produk pangan yang lepas dari pengawasan. Pengawasan

secara berskla dan acak ini tentu akan berpengaruh pada adanya produk ilegal

maupun produk yang membahayakan beredar d pasaran, serta akan adanya produk

ilegal yang mengandung bahan yang berbahaya yang akan beredar di pasar yang

tidak mendapatkan giliran pemeriksaan oleh BPOM.

Maka dari itu, masih juga banyak pelaku usaha yang menjualkan obat

yang tidak memenuhi standar BPOM , contohnya seperti beredarnya obat

penghilang nyeri berbentuk pil yang bernama Zenith Carnophen. Obat tersebut

Universitas Sumatera Utara


63

termasuk obat keras yang tidak memiliki label BPOM atau dengan kata lain tidak

memiliki izin edar dari BPOM. Seperti yang tertera dalam Pasal 3 Butir 1 yang

berbunyi, “Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang di edarkan

harus memiliki izin edar”, Obat-obat seperti inilah yang dapat merugikan

konsumen. Konsumen hanya akan mengetahui fungsi dari obat tersebut tetapi

konsumen tidak mengetahui apa isi kandungan dari obat tersebut sehingga tidak

tahu seberapa bahayanya obat itu.

Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 24 UU BPOM menyebutkan bahwa

Deputi bidang penindakan mempunyai tugas menyelenggarakan penyusunan dan

pelaksanaan kebijakan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan.59 Maka dari itu

sudah jelas bahwa BPOM lah yang mendapat andil besar dalam mengawasi

kelayakan dan keamanan produk obat-obatan.

Dalam Pasal 3 butir 2 UU BPOM terdapat aturan mengenai kelayakan

obat dan keamanan produk yaitu, “Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor

Farmasi yang diedarkan harus memenuhi standar persyaratan keamanan, khasiat

dan mutu”.60 Sesuai dengan ketentuan diatas, obat-obatan yang tidak memenuhi

standar persyaratan tidak lah boleh di edarkan. Maka dari itu, untuk melindungi

masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan khasiat,

keamanan, dan mutu perlu dilakukan registrasi obat sebelum diedarkan.

Terkait dengan hal ini, BPOM yang mempunyai tugas untuk memantau

para pelaku usaha dalam menjualkan dagangannya. Maksud dari tugas tersebut

59
Pasal 24, op.cit Undang-Undang Badan Pengawas Obat dan Makanan
60
Pasal 3 ayat (2), op.cit BPOM

Universitas Sumatera Utara


64

adalah untuk menjaga agar tidak terjadinya pelaku usaha yang mejualkan obat

yang tidak memiliki standar ketentuan yang telah di tetapkan BPOM. Sebab,

dalam UU BPOM sendiri telah menentukan harus adanya uji kelayakan dulu

sebelum obat diedarkan kepada masyarakat.

Melihat dari cukup jelasnya aturan yang dibuat oleh BPOM, namun di

kesehariannya masih saja banyaki di temukan obat yang beredar tanpan adanya

surat izin edar itu sendiri. Oleh sebab itu, karena penggunaan obat di indonesia itu

merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan, maka apabila pelaku

usaha yang menjualkan obat tanpa adanya izin edar , akan di kenakan sanksi

pidana yang telah di atur dalan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja

memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang

tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.000,00 (satu miliar lima

ratus juta rupiah).61

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Obat-obatan yang Tidak Memiliki Label BPOM

Seperti yang ingin penulis bahas disini adalah penyelesaian sengketa yang

terjadi kepada pelaku usaha yang menjualkan obat pereda nyeri berbentuk pil

dengan nama Zenith Carnophen, dalam melakukan penyelesaian segketa tersebut

setidaknya kita harus lebih dulu mengetahui apa saja jenis jenis sengketa itu, dan

apa saja pertanggungjawaban yang akan di pertanggungjawabkan oleh pelaku

usaha tersebut.

61
Pasal 197, op.cit UU Tentang Kesehatan

Universitas Sumatera Utara


65

Selain pertanggungjawaban pidana dan perdata yang harus di laksanakan

oleh pelaku usaha ada beberapa jalur penyelesaian sengketa konsumen yang dapat

ditempuh yaitu dengan cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dan penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum.

1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

a) Penyelesaian sengketa secara damai oleh pihak yang bersengketa

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43

Ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukanya penyelesaian

secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan

konsumen tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa

konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang

perlindungan konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut

dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan

penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK

menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang

justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang

bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan

sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan ketika mereka

tidak bersepakat untuk berdamai.

b) Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen/ BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),

untuk penyelesaian sengketa konsumen di lur pengadilan. Dengan

Universitas Sumatera Utara


66

adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan

secara cepat, mudah, murah.62

Cepat karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari

kerja, BPSK wajib memberikan putusannya. Mudah karena prosedur administratif

dan proses pengambilan putusan sangat sederhana. Murah terletak pada biaya

perkara yang terjangkau. Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku

usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung,

diwakili kuasanya maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan disampaikan oleh

kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang

bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa

atau warga Negara asing.

Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada

sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di

kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.BPSK tidak hanya bertugas

menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan, tetapi juga melakukan

kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausa

baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha.63

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian

dan/atau mengenai tindakan tertentu untukmenjamin tidak akan terulang kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami

62
Ahmad Miru, op. cit, halaman 157
63
Yusuf Sofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Penerbit : Piramedia,
Jakarta .

Universitas Sumatera Utara


67

konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk

barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah

berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali

perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.64

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum (Litigasi)

Setiap konsumen yang dirugikan dapat meggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan segketa antara konsumen dan pelaku usaha

atau melalui peradilan yang berbeda di lingkungan peradilan umum. 65 Dengan

memperhatikan pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui

pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku.

Dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan

negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa biasa, dengan

mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum,

gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang

menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen. 66 Gugatan perdata

ini diajukan melalui pengadilan negeri ditempat kedudukan konsumen. Dengan

berlakunya UUPK, maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada

pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat

kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 118 HIR, tetapi diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan

konsumen sebagai penggugat.67

64
Ibid
65
op.cit, halaman 169
66
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasi, Penerbit : Prenada Media Group.
67
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


68

Tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi jenis Zenith Carnophen

dalam hal ini obat tersebut tidak memiliki izin edar diatur dalam Pasal 197

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam kasus

mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar pada Putusan Perkara

Nomor : 287/Pid.Sus/2013/PN.TBN perbuatannya telah memenuhi ketentuan

dalam Pasal 197 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Sebelum menguraikan mengenai penerapan hukum pidana terhadap tindak

pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin

dalam Putusan Nomor : 287/Pid.Sus/2013/PN.TBN, maka perlu diketahui dahulu

yaitu :

1. Identitas Terdakwa

Nama Lengkap : RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO

Tempat Lahir : Tuban

Umur/Tanggal Lahir : 27 Tahun/ 17 Pebruari 1986

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jalan W.R Supratman, Gang I, Nomor

71, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan

Tuban, Kabupaten Tuban

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Universitas Sumatera Utara


69

2. Posisi Kasus

Bahwa pada hari selasa, tanggal 09 April 2013, sekitar pukul 20:00 Wib,

bertempat di jalan Patimura, Gang Suponyono, Kelurahan Baturetno,

Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, sejumlah anggota kepolisian melakukan

penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa karena di duga

mengedarkan obat-obatan berupa pil Carnophen tanpa memiliki izin edar atas

obat-obatan tersebut.

Bahwa sebelumnya terdakwa mendapatkan pil Carnophen tersebut dengan

cara membelinya dari saudara HADI yang beralamat dijalan Trunojoyo, Gang

Sadar, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban.

Bahwa pada awalnya terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO

membeli pil Carnophen tersebut dengan harga sebesar Rp. 17.000,- (tujuh

belas ribu rupiah) untuk setiap 10 (sepuluh) butirnya dan rencananya akan

dijual dengan harga sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah), keuntungan

yang di perolehnya sebesar Rp. 3.000.- (tiga ribu rupiah) Keuntungan tersebut

akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, namun

sewaktu terdakwa menunggu pembeli yang membutuhkan di Jalan Patimura,

Gang Suponyono, Kelurahan Baturetno, Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban,

terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO berhasil dikrtahui dan

akhirnya ditangkap oleh pihak yang berwajib.

Bahwa dari penangkapan tersebut, dari diri terdakwa berhasil diamankan

barang bukti berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil

Carnophen dan uang tinai sebesar rp. 510.000,- (lima ratus sepuluh ribu

Universitas Sumatera Utara


70

rupiah) yang merupakan uang hasil penjualan pil Carnophen terdakwa

sebelumnya.

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang

berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Demi keabsahannya, maka

surat dakwaan disusun harus memenuhi persyaratan baik formil maupun

materiil, sesuai dengan bunyi Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP disebutkan

bahwa syarat formil surat dakwaan meliputi :

a. Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut

umum pembuat surat dakwaan;

b. Surat dakwaan harus memenuhi secara lengkap identitas terdakwa

yang meliputi: nama lengkap, jenis kelamin, kebangsaan, tempat

tinggal, agama dan pekerjaan.

Disamping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan

harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak

Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu Tindak

Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil. meliputi :

a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana

yang didakwakan;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan

tempat Tindak Pidana itu dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


71

Dalam surat dakwaan uraiannya harus jelas, uraian unsur-unsur delik

yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan harus dapat

dijelaskan/digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh

terdakwa. Sehingga dalam uraian unsur-unsur dakwaan dapat diketahui secara

jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan

tersebut. Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat

dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil.

menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).

Dalam Putusan Pengadilan Negri Tuban Nomor :

287/Pid.Sus/2013/PN.TBN bentuk dakwaannya adalah bentuk dakwaan

alternatif. Surat dakwaan alternatif adalah Surat dakwaan ini didakwakan

beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan

tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara

tindak pidana yang didakwakan.

Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang

satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak atau ciri

yang sama atau hampir bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang

tidak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan ini

terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu

merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.

Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetap hanya satu

dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan

secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang

Universitas Sumatera Utara


72

dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada

lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Dakwaan alternatif dapat dilihat dalam susunan dakwaan Jaksa Penuntut

Umum dalam perkara nomor registrasi perkara : PDM-80/TUBAN/V/2013,

yaitu :

Pertama : perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 197 UU RI No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin

edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta

rupiah).”

Atau

Kedua : perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 196 UU RI No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi

standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,

Universitas Sumatera Utara


73

dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat

(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan dakwaan alternatif tersebut, maka Majelis Hakim akan

memilih dakwaan yang berpotensi terpenuhi, diantara dakwaan pertama dan

kedua berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan dan

berdasarkan penilaian Majelis Hakim bahwa dakwaan pertama memiliki potensi

dan sesuai dengan fakta persidangan sehingga dakwaan kedua tidak perlu

dipertimbangkan.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan jaksa penuntut umum, diajukan oleh penuntut umum setelah

pemeriksaan disidang pengadilan dinyatakan selesai sesuai dengan Pasal 182

ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa surat tuntutan dibacakan setelah

proses pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan. Surat Tuntutan

atau dalam bahasa lain disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat

pembuktian Surat Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di

persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa

disertai dengan tuntutan pidana. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah

untuk disanggah oleh terdakwa/penasehat hukumnya, maka Surat Tuntutan

harus dibuat dengan lengkap dan benar.

Isi tuntutan penuntut umum pada pokoknya menuntut agar Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Tuban dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO bersalah

melakukan tindak pidana kesehatan yakni, “Dengan Sengaja

Universitas Sumatera Utara


74

Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang Tidak Memiliki Izin Edar”

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 197 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan ;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN

KARJONO berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan, dikurangi

selama terdakwa berada didalam tahanan dan denda sebesar Rp.

100.000,- (seratus ribu rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan

dengan perintah terdakwa tetap ditahan ;

c. Menyatakan barang bukti 1.346 (seibu tiga ratus empat puluh enam)

butir pil Carnophen, di rampas untuk dimusnahkan, uang tunai Rp.

500.000,- (lima ratus ribu rupiah), di rampas untuk Negara ;

d. Menetapkan agar terdakwa di bebani membayar biaya perkara sebesar

Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) .

5. Alat Bukti dan Barang Bukti

a. Keterangan Saksi

 Ari Christiyanto W

- Bahwa pada hari selasa, pada tanggal 09 april 2013, sekitar

pukul 20.00 Wib, bertempat di jalan Patimura, Gang

Soponyono, Kelurahan Baturetno, Kecamatan Tuban,

Kabupaten Tuban, saksi yang merupakan anggota kepolisian

bersama dengan sejumlah rekannya yang juga anggota

kepolisian yang diantaranya adalah bersama dengan saudara

Juli Bagus, melakukan penangkapan dan penggeledahan

Universitas Sumatera Utara


75

terhadap terdakwa karena di duga mengedarkan obat-obatan

berupa pil Carnophen tanpa memiliki izin edar atas obat-obatan

tersebut .

- Bahwa dari penangkapan tersebut, dari diri terdakwa berhasil

diamankan barang bukti berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat

puluh enam) butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp.

510.000,- (lima ratus sepuluh ribu rupiah) yang merupakan

uang dari hasil penjualan pil Carnophen terdakwa sebelumnya .

- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena

sebelumnya pihak kepolisian mendapatkan informasi dari

warga masyarakat yang mengatakan terdakwa sering

melakukan transaksi pil Carnophen di sekitar tempat tersebut,

atas laporan tersebutlah saksi bersama dengan yang lain

menindaklanjutinya dan selanjutnya melakukan penangkapan

dan penggeledahan tersebut.

- Bahwa terdakwa mengedarkan pil tersebut dengan tanpa

memiliki izin edar atas obat-obatan tersebut dan keahlian

dibidang tersebut.

- Bahwa selanjutnya terdakwa bersama dengan sejumlah barang

bukti yang berhasil diamankan tersebut di bawa ke kantor

kepolisian guna pemeriksaan lebih lanjut.

- Bahwa saksi membenarkanbarang bukti yang di perlihatkan di

persidangan berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam)

butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima

Universitas Sumatera Utara


76

ratus sepuluh ribu rupiah) adalah barang bukti yang berhasil di

amankan pada saat terjadinya peristiwa penangkapan dan

penggeledahan terhadap terdakwa tersebut.

 Juli Bagus

- Bahwa pada Hari Selasa, tanggal 09 April 2013, sekitar pukul

20.00 Wib, bertempat di jalan Patimura, Gang Soponyono,

Kelurahan Baturetno, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban,

saksi yang merupakan anggota kepolisian bersama dengan

sejumlah rekannya yang juga anggota kepolisian yang

diantaranya adalah bersama dengan saksi Ari Christiyanto W,

melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa

karena di duga mengedarkan obat-obatan berupa pil Carnophen

tanpa memiliki izin edar atas obat-obatan tersebut .

- Bahwa dari penangkapan tersebut, dari diri terdakwa berhasil

diamankan barang bukti berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat

puluh enam) butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp.

510.000,- (lima ratus sepuluh ribu rupiah) yang merupakan

uang dari hasil penjualan pil Carnophen terdakwa sebelumnya .

- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena

sebelumnya pihak kepolisian mendapatkan informasi dari

warga masyarakat yang mengatakan terdakwa sering

melakukan transaksi pil Carnophen di sekitar tempat tersebut,

atas laporan tersebutlah saksi bersama dengan yang lain

Universitas Sumatera Utara


77

menindaklanjutinya dan selanjutnya melakukan penangkapan

dan penggeledahan tersebut.

- Bahwa terdakwa mengedarkan pil tersebut dengan tanpa

memiliki izin edar atas obat-obatan tersebut dan keahlian

dibidang tersebut.

- Bahwa selanjutnya terdakwa bersama dengan sejumlah barang

bukti yang berhasil diamankan tersebut di bawa ke kantor

kepolisian guna pemeriksaan lebih lanjut.

- Bahwa saksi membenarkanbarang bukti yang di perlihatkan di

persidangan berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam)

butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima

ratus sepuluh ribu rupiah) adalah barang bukti yang berhasil di

amankan pada saat terjadinya peristiwa penangkapan dan

penggeledahan terhadap terdakwa tersebut.

 dra, Esti Surahmi, Apt

- Bahwa ahli adalah staf Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban.

- Bahwa pil Charnophen adalah obat keras dan masuk kedalam

golongan daftar G.

- Bahwa pil Charnophen tidak dapat di perjual belikan secara

bebas, yang berhak mendistribusikannya adalah di fasilitas

kefarmasian di bawah tanggung jawab seorang apoteker.

- Bahwa kegunaan pil Charnophen adalah sebagai terapi

pengobatan muscle relakson atau pelemas otot, sebagai

analgetik atau menghilangkan atau mengurangi rasa sakit.

Universitas Sumatera Utara


78

b. Keterangan Terdakwa

- Bahwa terdakwa membenarkan semua keterangan saksi.

- Bahwa terdakwa menyatakan tidak keberatan atas keterangan ahli

tersebut.

- Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti yang di tunjukan di

persidangan.

c. Barang Bukti

- 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil Charnophen.

- Uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima ratus sepuluh ribu rupiah)

hasil dari penjualan pil Charnophen sebelumnya.

6. Pertimbangan Hakim

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam

membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan

selesai, maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat

perlu untuk menciptakan putusan yang proporsional dan mendekati rasa

keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, maupun

masyarakat.

Dalam perkara ini Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan,

tuntutan jaksa penuntut umum, keterangan saksi, dan keterangan terdakwa,

selain itu Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan

dan memberatkan para terdakwa.

Adapun yang menjadi pertimbangan-pertimbangan Hakim terhadap

tindak pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak

Universitas Sumatera Utara


79

memiliki izin edar yang dilakukan oleh terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN

KARJONO adalah sebagai berikut:

Menimbang, bahwa di persidangan telah pula dibacakan Berita Acara

Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab : 2628/ NOF/ 2013, tanggal 18

April 2013, Badan Reserse Kriminal Polri, Pusat Laboratorium Forensik,

Laboratorium Forensik Cabang Surabaya, yang dilakukan pemeriksaan oleh

Arif Andi Setyawan, S.Si. M.T., Imam Mukti S, Si. Apt., dan Luluk Muljani

serta Dr. M.S. Hanjajani, M.Si., DFM, Apt., (Kepala Labfor Cabang Surabaya),

atas barang bukti milik tersangka Ragil Priandik Bin Karjono, dengan

kesimpulan : Setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratories kriminalistik

disimpulkan bahwa barang bukti dengan nomor 3107/ 2013/ NOF, berupa

tablet berwarna putih logo “zenith” tersebut diatas adalah benar tablet yang

mengandung bahan aktif ;

Menimbang bahwa terdakwa membenarkan saksi-saksi tersebut;

Menimbang, bahwa terdakwa Ragil Priandik Bin Karjono diajukan ke

persidangan oleh Penuntut Umum didakwa dalam dakwaan tunggal yaitu

melanggar pasal 197 Undang-Undang R.I. Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, yang unsur-undurnya adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang ;

2. Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan ;

3. Yang tidak memiliki izin edar;

Menimbang, bahwa oleh karna terdakwa di dakwa oleh penuntut

umum melanggar pasal yang telah disebutkan diatas, maka berdasarkan fakta

Universitas Sumatera Utara


80

hukum yang terungkap di persidangan, Majelis Hakim akan

mempertimbangkan apakah dengan fakta hukum tersebut perbuatan terdakwa

dapat memenuhi semua unsur dari tidak pidana yang di dakwakan kepadanya ;

Menimbang, bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu

tidak pidana, maka perbuatan orang yersebut haruslah memenuhi seluruh

unsur-unsur dari tindak pidana yng didakwakan kepadanya ;

Menimbang, bahwa terlebih dahulu Majelis Hakim akan

mempertimbangkan unsur ke-1 (satu) yaitu setiap orang;

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah subyek

dari suatu delik yaitu pelaku, orang atau siapa saja yang melakukan tindak

pidana, yang mampu berbuat dan perbuatannya tersebut dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum, dalam perkara ini berdasarkan

keterangan saksi-saksi dan terdakwa sendiri, pelakunya yang diajukan dalam

perkara ini adalah terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO dengan

identitasnya sebagaimana tealah di uraikan diatas ;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut diatas

Majelis Hakim berkesimpulan unsur ke-1 (satu) yaitu setiap orang, telah

terpenuhi oleh perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO ;

Menimbang, bahwa selanjutnya di pertimbangkan unsur ke-2 (dua)

yaitu dengan sengaja atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan ;

Menimbang, bahwa yang dimaksud dngan sengaja adalah

melaksanakan suatu perbuatan, yang di dorong oleh suatu keinginan untuk

Universitas Sumatera Utara


81

berbuat atau bertindak, atau dengan kata lain bahwa kesengajaan itu ditujukan

terhadap perbuatan (opzet is gericht op de handeling) ;

Menimbang, bahwa suatu perbuatan sudah dapat dikatakan kesengajaan

apabila si terdakwa berbuat dengan sengaja atau sengaja tidak berbuat, apa

yang dilarang oleh undang-undang atau apa saja yang di perintahkan oleh

undang-undang, sudah cukup bagi si pelanggar dengan sengaja berbuat atau

tidak berbuat terhadap suatu hal yang menurut undang-undang dapat di hukum,

tidak perlu di buktikan bahwa si terdakwa mengetahui bahwa perbuatan atau

tindakannya berbuatnya dapat di hukum, apakah ia isyaf bahwa perbuatannya

di larang atau melanggar hukum;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 4 Undang-

Undang R.I. Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan “sediaan

farmasi adalah obat bahan obat, obat tradisional dan kosmetik, lebih lanjut

dalamn pasal 1 angka 8 Undang-Undang R.I. Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan menyatakan “obat adalah bahan atau panduan bahan, termasuk

produk biologi yang di gunakan untuk memppengaruhi atau menyelidiki sistem

fisiologi atau keadaan patologi, dalam rangka diagnosis pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk

manusia” ;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di

persidangan, pada hari selasa, Tanggal 09 April 2013, aekitar pukul 20.00 wib,

bertempat di jalan patimura, Gang Soponyono, Kelurahan Baturetni, Kecamtan

Tuban, Kabupaten Tuban, sejumlah anggota kepolisian yang diantaranya yaitu

saksi Ari Christiyanto W. Dan saksi Juli Bagus melakukan penagkapan dan

Universitas Sumatera Utara


82

penggeledahan terhadap terdakwa karena di duga mengedarkan obat-obatan

berupa pil Charnophen tanpa memiliki izin edar atas obat-obatan tersebut ;

Menimbang, bahwa dari penagkapan tersebut, dari diri terdakwa

berhasil diamankan barang bukti berupa 1.346 (seribu tig ratus empat puluh

enam ) butir pil Charnopen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima ratus

sepuluh ribu) yang merupakan uang hasil penjualan pil Charnopen terdakwa

sebelumnya ;

Menimbang, bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena

sebelumnya pihak kepolisian mendapatkan informasi dari warga masyarakat

yang mengatakan terdakwa sering melakukan transaksi jual beli pil

Charnophen di sekitar tempat tersebut, atas laporan tersebutlah sejumlah

anggota kepolisian menindaklanjutinya selanjutnya melakukan penangkapan

dan penggeledahan tersbut ;

Menimbang, bahwa sebelumnya terdakwa mendapatkan pil Charnophen

tersebut dengan harga sebesar Rp.17.000,- (tujuh belas ribu rupiah) untuk tiap

10 (sepuluh) butirnya dan rencananya akan di jual dengan harga sebesar Rp.

20.000,- (dua puluh ribu rupiah) keuntungan yang di perolehnya tersebut di

pergunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari ;

Menimbang, bahwa pil Charnophen tidak dapat di perjual belikan

secara bebas, yang berhak mendistribusikan pil Charnophen tersebut adalah

difasilitas kefarmasian di bawah tanggung jawab seorang apoteker ;

Menimbang, bahwa berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratoris

kriminalistik No.Lab : 2628/NOF/2013, Tanggal 18 April 2013, badan resersi

kriminal Polri, pusat laboratorium forensik, laboratorium forensik cabang

Universitas Sumatera Utara


83

surabaya, yang dilakukan pemeriksaan oleh Arif Andi Setyawan, S.Si. M.T.,

Imam Mukti S.Si, Apt., dan Luluk Muljani serta Dr. M.S Hanjajani, M.Si.,

DFM, Apt., (kepala labfor cabang surabaya), atas barang bukti milik terdakwa

RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO, dengan kesimpulan :

Setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratoris kriminalistik disimpulkan

bahwa barang bukti dengan Nomor 3107/2013/NOF, berupa tablet warna putih

logo “Zenith” tersebut diatas adalah benar tablet yang mengandung bahan aktif

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas

terlihat dengan tegas dan jelas barang berupa pil Charnophen tersebut yang

berhasil diamankan dari terdakwa adalah barang sebagaimana yang dimaksud

oleh Pasal 1 angka 4 dan 8 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan dan tergambar dengan tegas dan jelas rangkaian perbuatan terdakwa

dalam mengedarkan pil tersebut dilakukannya dengan sengaja ;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut diatas

Majelis Hakim berkesimpulan unsur ke-2 (dua) yaitu dengan sengaja

memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan, telah

terpenuhi oleh perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO ;

Menimbang, bahwa selanjutnya di pertimbangkan unsur ke-2 (dua)

yaitu yang tidak memiliki izin edar ;

Menimbang, bahwa dalam berdasarkan ketentuan pasal 98 ayat (2)

Undang-Undang RI Tentang Kesehatan, menyebutkan “setiap orang yang tidak

memiliki keahlian dan kewenngan, dilarang mengadakan, menyimpan,

Universitas Sumatera Utara


84

mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahasa yang berkhasiat

obat” ;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap

dipersidangan, pil Charnophen tidak dapat diperjual belikan secara bebas, yang

berhak mendristribusikan pil Charnophen tersebut adalah difasilitas

kefarmasian dibawah tanggung jawab seorang apoteker ;

Menimbang, bahwa lebih lanjut, dalam mengedarkan obat Charnophen

tersebut, terdakwa selain tidak memiliki izin edar, terdakwa juga tidak

memiliki keahlian dan kewenangan untuk mengedarkan obat tersebut ;

Menimbang, bahwa berdasarkan urraian fakta hukum tersebut diatas

majelis hakim berkesimpulan unsur ketiga atau dua yaitu yang tidak memiliki

izin edar telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN

KARJONO ;

Menimbang, bahwa oleh karna semua unsur dalam dakwaan tunggal

telah terpenuhi oleh pebuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO,

maka Majelis Hakim berkesimpulan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN

KARJONO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “ dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak

memiliki izin edar”, sebagaimana yang didakwakan tersebut;

Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan

tidak terdapat hal-hal yang dapat di jadikan penghapusan pidana baik alasan

pemaaf maupun alasan pembenar, oleh karenanya terdakwa dapat dimintakan

pertanggungjawabannya atas perbuatan pidana yang dilakukannya ;

Universitas Sumatera Utara


85

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan terbukti bersalah

maka kepada terdakwa sudah sepatutnya dijatuhkan pidana yang setimpal

dengan kesalahannya ;

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan (pledoi) lisan dari terdakwa

turut di pertimbangkan oleh majelis hakim dalam penjatuhan pidana terhadap

diri terdakwa tersebut ;

Menimbang, bahwa untuk menentukan pidana apakah yang sepatutnya

di jatuhkan terhadap diri terdakwa perlulah diperhatikan bahwa maksud dan

tujuan pemidanaan, bukanlah semata-mata untuk menista atau menderitakan

seseorang ;

Menimbang, bahwa selain itu penjatuhan hukuman terhadap terdakwa

bukanlah merupakan pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukannya

akan tetapi merupakan peringatan agar dikemudian hari terdakwa tidak lagi

melakukan tindak pidana serupa ataupun tindak pidana lainnya.

Menimbang, bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa juga

perlu di pertimbangkan bahwa yang memberatkan maupun hal hal yang

meringankan dari diri terdakwa :

Hal-hal yang Memberatkan

- Perbuaran terdakwa meresahkan masyarakat ;

- Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang

sedang giat giatnya memberantas segala bentuk peredaran ilegal dan

penyalahgunaan obat-obatan pada masyarakat ;

Hal-hal yang Meringankan

- Terdakwa berterusterang dan menyesali perbuatannya ;

Universitas Sumatera Utara


86

- Terdakwa bersikap sopan di persidangan ;

- Terdakwa sebelumnya belum pernah di jatuhi hukuman pidana ;

- Terdakwa adalah tulang punggung bagi keluarganya ;

7. Putusan Hakim

 Menyatakan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN KARJONO terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan

sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar” ;

 Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 4 (empat) bulan, dan pidana denda sebesar Rp.

100.000,- (seratus ribu rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut

tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan ;

 Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang di jatuhkan ;

 Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan

 Menetapkan barang bukti berupa :

- 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil Charnophen ;

dirampas untuk di musnahkan ;

- Uang tunai sejumlah Rp.510.000,- (lima ratus sepuluh ribu rupiah)

; dirampas untuk negara ;

8. Analisis Penulis

Mencermati posisi kasus dalam perkara ini, penerapan Pasal atau dakwaan

Jaksa Penuntut Umum sudah tepat. Menurut Penulis, bahwa perkara Nomor :

287/Pid.Sus/2013/PN.TBN ini adalah tindak pidana dengan sengaja mengedarkan

sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar.

Universitas Sumatera Utara


87

Mencermati dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum diatas dapat dijelaskan

bahwa dalam perkara ini jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif.

Dakwaan alternatif yaitu terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis,

lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada

lapisan lainnya. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari

beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus

memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada

lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu yaitu

Pasal 197 Undang-Undang tentang Kesehatan dan dakwaan kedua yaitu Pasal 196

Undang-Undang tentang Kesehatan. Berdasarkan dakwaan alternatif tersebut,

maka Majelis Hakim akan memilih dakwaan yang berpotensi terpenuhinya

diantara dakwaan kesatu dan dakwaan kedua berdasarkan fakta-fakta hukum yang

terungkap dipersidangan dan berdasarkan penilaian Majelis Hakim bahwa

dakwaan pertama memiliki potensi dan sesuai dengan fakta persidangan sehingga

dakwaan kedua tidak perlu lagi dipertimbangkan.

Menurut penulis, apabila dikaitkan dengan posisi kasus yang dibahas

sebelumnya unsur-unsur pasal 197 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan telah terpenuhi. Dimana unsur dalam pasal 197 Undang-Undang

Kesehatan, sebagai berikut:

a. Setiap orang;

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” disini siapa saja, setiap

orang selaku subyek hukum pidana sebagai pendukung hak dan kewajiban

yang didakwa telah melakukan tindak pidana yang memiliki kemampuan

Universitas Sumatera Utara


88

atau kecakapan untuk mempertanggungjawabkan pidana atau orang yang

tidak termasuk dalam pasal 44 KUHP dan dalam hal ini yang didakwa

telah melakukan tindak pidana adalah terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN

KARJONO. Dalam perkara terdakwa yang diajukan dipersidangan dengan

identitas lengkap terungkap berdasarkan keterangan saksi yang bahwa

benar terdakwa telah mengedarkan obat dan terdakwa tidak memiliki izin

edar. Berdasarkan uraian tersebut, maka unsur “setiap Orang” telah

terpenuhi.

b. yang dengan sengaja;

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan baik dari

keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa, bahwa semua

barang bukti obat pil Charnophen yang akan di jual kembali. Terdakwa

mengerti dan memahami bahwa obat pil Charnophen tidak boleh

diperjualbelikan secara bebas tanpa izin edar atau resep dokter. Majelis

Hakim meyakini bahwa terdakwa sengaja menjual atau mengedarkan

barang tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka unsur “dengan

sengaja” telah terpenuhi.

c. Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam

pasal 106 ayat (1).

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan baik dari

keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa, bahwa semua

barang bukti obat pil Charnophen untuk dijual. Obat jenis Charnophen

hanya boleh dijual dengan resep dokter dan termasuk obat keras dalam

Universitas Sumatera Utara


89

golongan daftar G. Terdakwa tidak memiliki izin edar untuk

menjual/mengedarkan obat.

Berdasarkan uaraian tersebut, maka unsur “memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki

izin edar” telah terpenuhi. Dengan terbuktinya dakwaaan pertama,

demikian menurut hukum dan keyakinan, terdakwa terbukti secara sah

melakukan tindak pidana dengan sengaja memproduksi dan/atau

mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar sebagaimana

diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan. Kepada terdakwa patut diberi ganjaran hukuman yang setimpal

dengan perbuatan yang terdakwa lakukan. Tidak ditemukan dengan

adanya alasan-alasan yang dapat menghapuskan pertanggung jawaban

terdakwa baik alasan pemaaf maupun dengan alasan pembenar sehingga

dengan demikian terdakwa harus dijatuhi hukuman sesuai kesalahannya.

Mengenai penjatuhan putusan oleh hakim dalam kasus ini, hakim

menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang menyatakan terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang

tidak memiliki izin edar, menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa

selama 4 (empat) bulan dan pidana denda sebesarRp. 100.000,- (seratus

ribu rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana

terhadap pelaku dalam perkara ini sudah benar didasarkan pada

pertimbangan yuridis. Penulis berpendapat bahwa penjatuhan sanksi oleh

Universitas Sumatera Utara


90

Hakim lebih didasarkan pada fakta–fakta persidangan dan alat bukti yang

sah. Hukuman yang yang dijatuhkan berupa pidana penjara selama 4

(empat) bulan kepada terdakwa sudah cukup untuk menimbulkan efek jera

bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Jadi menurut Penulis, putusan hakim yang dijatuhkan kepada

terdakwa sudah cukup. Dalam pertimbangan hakim telah sesuai dengan

mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan fakta-fakta yang

terungkap dalam persidangan sehingga hukuman pidana terhadap

terdakwa lebih rendah daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hal itu

dikarenakan Hakim juga mempunyai kebebasan dan kekuasaan dalam

menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa dengan mempertimbangkan

segala aspek termasuk efek jera pemidanaan kepada terdakwa.

Universitas Sumatera Utara


91

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka

penulis menarik kesimpulan sesuai dengan pokok permasalahan adalah

sebagai berikut:

1. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana peredaran obat secara

ilegal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan, yakni tindak pidana memproduksi atau

mengedarkan obat yang tidak sesuai dengan standar obat diatur

dalam Pasal 196, tindak pidana memproduksi atau mengedarkan

obat yang tidak memiliki izin edar diatur dalam Pasal 197, tindak

pidana memproduksi atau mengedarkan obat tanpa keahlian dan

kewenangan diatur dalam Pasal 198, dan tindak pidana

memproduksi atau mengedarkan obat yang dilakukan oleh

korporasi diatur dalam Pasal 201.

2. Penerapan hukum terhadap tindak pidana peredaran obat secara

ilegal dalam putusan perkara pidana Nomor :

287/Pid.Sus/2013/PN.TBN sudah sesuai dengan norma hukum

yang berlaku, semua unsur-unsur tindak pidana peredaran obat

secara ilegal yang diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang No.36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan semua terpenuhi. Dan untuk

pertimbangan hakim terhadap tindak pidana tersebut telah sesuai

dengan aturan tersebut. Hakim menjatuhkan hukuman pidana

Universitas Sumatera Utara


92

penjara selama 4 (empat) bulan dan pidana denda sebesar Rp.

100.000,- (seratus ribu rupiah) dengan kurungan penjara selama 1

(satu) bulan dengan mempertimbangkan tuntutan jaksa penuntut

umum dan fakta-fakta dalam persidangan serta hal-hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa.

B. Saran

Adapun saran penulis berdasarkan kesimpulan di atas adalah sebagai

berikut:

1. Penulis mengharapkan kepada BPOM agar lebih meningkatkan

koordinasi pengawasan dengan instansi terkait dengan di dukung peran

serta masyarakat sebagai konsumen secara lebih aktif dalam memilah

obat-obatan, serta harus cermat dalam memilih obat yang sudah memiliki

izin edar dari BPOM. Penulis juga mengharapkan kepada segenap aparat

penegak hukum khususnya majelis Hakim, agar setiap pelaku kejahatan

khususnya tindak pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi

secara ilegal sekiranya ditindak dengan tegas dan tetap memperhatikan

peraturan perundang–undangan yang berlaku untuk dapat memberi efek

jera kepada para pelaku. Dan dengan pemberian sanksi pidana yang tegas

diharapkan dapat memberikan efek pencegahaan pada pelaku usaha dan

membuat pelaku usaha untuk lebih taat pada hukum.

2. Diharapkan kepada pelaku usaha untuk mengikuti aturan

perundang-undangan yang berlaku agar kejahatan peredaran obat secara

ilegal dapat diminimalisir, dan kepada masyarakat untuk mengambil peran

dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana peredaran obat secara

Universitas Sumatera Utara


93

ilegal dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib jika terdapat

kejahatan peredaran obat secara ilegal di lingkungannya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra
Aditya Bakti Bandung
Husni Syawal, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, PT. Mandor Maju,
2000
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit
Diadit Media, 2001
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2000
Yusuf Sofie, Perlindungan Hukum Konsumen dan Instrumen – Instrumen
Hukumnya, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Yayasan Lembaga Konsumen, Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang
Rancangan UU Perlindungan Konsumen, Jakarta, Yayasan Lembaga
Konsumen
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta, Sinar Grafika
Adrian Sufedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Bogor, Ghalia Indonesia
Skidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, PT.
Grasindo, Jakarta
Gunawar Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen
Midian Sirait, 2001, Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Dharma Mahardika, Jakarta
Profil BPOM National Agency of Drugs and Food Control Republic OF
Indonesia
Barkatul, Abdul Hakim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media,
Bandung
Marianus, Gaharpung, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas
Tindakan Pelaku Usaha, Jurnal Yustika, Vol. III No.1 Juli 2001
Happy SuSanto, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan, PT. Transmedia Pusat,
Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sudaryatmo, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT.Citra
Aditya,Bandung
Yusuf Sofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap
Berbagai Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), Penerbit Peramedia, Jakarta
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
Dari Hukum Acara Perdata Implementasi, Penerbit Prenada Media grup

B. Peraturan Perundang – Undangan


Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
SK Menteri Kesehatan Nomor 25/kan/B.VII/71 tanggal 19 Juni 1971
Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Presiden, Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan,Nomor 80 tahun
2017

Universitas Sumatera Utara


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/Menteri/2006
Tentang Kebijakan Obat Nasional

C. Internet
Gregorius Chandra, 2002, Konsumen dan Kepuasan, http:// Elgomi.
Wordpress.com/2008/05/03/konsumen-dan-kepuasannya, diakses pada
tanggal 22 April 2018
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gd/hub-gl-s-1-2008-faisalboy-7614, diakses
pada 27 Mei 2018
http://m.bisnis.com/kabar24/read/2014111/78/2099/Ribuan-Kosmetik-dan-Obat-
Illegal-Beredar-Di-Manado, di akses pada 1 Juni 2018

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai