SKRIPSI
OLEH:
WINDA RAMADHANI
NIM : 140200263
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2018
*
Mahasiswa Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Pembimbing II Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
persyaratan dalam menempuh sarjana Strata 1 (S-1) pada Program Studi Ilmu
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna dan tidak terlepas dari yang namanya kekurangan, karena keterbatasan
kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis akan menerima
segala kritik dan saran yang bersifat membangun penulis untuk menjadi lebih baik
lagi di kedepannya.
Dalam pengerjaan skripsi ini, mulai dari saat pengerjaan hingga selesainya
tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh
karenanya, dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan ketulusan
1. Yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,
ii
Wakil Dekan I.
4. Yang terhormat dan amat terpelajar, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution,
5. Yang terhormat dan amat sangat terpelajar, ibu Dr. Detania Sukarja, SH,
LLM, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga sangat membantu serta
6. Yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H.
Utara.
10. Kepada Tengku Adelia Falevi, Terima Kasih sudah banyak sekali
sekarang.
11. Sri Rossa Tiurma Pakpahan, Rima Yunita, Terima Kasih sudah
tulis.
iii
14. Kepada rekan seperjuangan di Fakultas Hukum usu, Terima Kasih sudah
memberikan andil mulai dari proses studi hingga rampungnya skripsi ini, dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa membalas jasa-jasa dari Bapak, Ibu, seta Teman-taman
sekalian.
Penulis
WINDA RAMADHANI
iv
Halaman
ABSTRAK.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah......................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 8
D. Manfaat Penulisan............................................................................ 8
E. Keaslian Penulisan............................................................................ 8
F. Tinjauan Kepustakaan...................................................................... 9
G. Metode Penulisan............................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan...................................................................... 12
1. Pengertian Konsumen................................................................... 14
2. Perlindungan Konsumen.................................................................20
DAN MAKANAN
Obatan Di Indonesia................................................................................. 43
CARNOPHEN
Perlindungan
Konsumen................................................................................................52
Obatan...................................................................................................... 61
1. Identitas Terdakwa................................................................ 68
2. Posisi Kasus........................................................................... 69
vi
6. Pertimbangan Hakim............................................................ 78
7. Putusan Hakim....................................................................... 86
8. Analisis Penulis....................................................................... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 91
B. Saran...................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA
vii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Usaha tersebut meliputi
merupakan hal terpenting yang diperlukan oleh tubuh manusia. Karena, kesehatan
menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat
pengertian Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.1 Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia dan
pemerintah dalam setiap negara. Karena kesehatan merupakan salah satu upaya
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat
kesehatan konsumen yang optimal. Maka dari itu, Pemerintah setiap negara
Salah satu komponen kesehatan yang penting adalah Obat. Obat merupakan
salah satu unsur yang penting dalam pelayanan kesehatan. Yang disebut dengan
1
Indonesia, UU Nomor 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.
2
Ibid pasal 14-20.
1
obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan untuk digunakan dalam
penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan,
berkualitas.
hidup manusia, salah satunya adalah obat-obatan. Hal ini menyebabkan banyak
transaksi barang dan jasa melintas batas-batas wilayah suatu negara. Jenis barang
tersebut pada umumnya berasal dari dalam maupun yang di impor dari luar
negeri.
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dan membuat obat-obat tersebut mahal untuk
kalangan orang yang tidak mampu. Maka, kegiatan penelitian dan pengembangan
Tetapi ada kalanya, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi
persyaratan, serta digunakan secara tidak tepat. Dan pada masa sekarang ini masih
tersebut. Maka banyak pelaku usaha nakal yang dengan sengaja mengedarkan
obat-obatan tanpa mendapatkan ijin dari Kepala BPOM. Biaya yang mahal dan
prosedur pengurusan izin yang tidak mudah membuat para pelaku usaha menacari
mengedarkan obat ilegal. Obat-obat tersebut mudah didapat dan harganya jauh
lebih murah dibanding obat-obatan legal. Keuntungan yang didapat oleh pelaku
usahapun lebih banyak. Maka banyak pelaku usaha yang tergiur untuk melakukan
usaha yang curang ini. Kecurangan yang mereka lakukan bisa dari segi promosi,
adalah:
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
Dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan dari UUPK itu adalah
Konsumen adalah orang yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang tersedia
di masyarakat baik untuk digunakan sendiri ataupun orang lain dan tidak untuk di
pelaku usaha. Karena tanpa pelaku usaha tidak akan ada konsumen begitu juga
sebalikanya. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
4
Kamus besar bahasa indonesia.
5
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
barang dan atau jasa di antaranya tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang
memperdagangkan barang dan atau jasa tidak sesuai berat bersih, isi bersih, atau
netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut. Kemudian barang atau jasa yang tidak sesuai dengan
Kemudian untuk barang atau jasa tidak sesuai mutu, tingkatan, komposisi, proses
adanya peredaran obat illegal dan sanksi yang mereka terima apabila
Pada hal ini juga diharapkan presiden untuk menegaskan kepada kepala
BPOM untuk mengawasi peredaran obat yang tidak memiliki izin tersebut.
6
Indonesia, UU Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan konsumen Pasal 1 angka 3
sekali beredar obat- obatan yang mengandung bahan berbahaya, obat palsu, obat
ilegal, obat-obat yang sudah kadaluwarsa dan mengandung efek samping yang
BPOM sendiri adalah saat sebelum beredarnya obat dan makanan untuk
mencegah beredarnya obat dan makan yang tidak memenuhi standar dan
keamanan dan mutu produk yang di tetapkan serta tindakan penegakan hukum.
Wewenang BPOM adalah menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai
dengan standar dan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat
melakukan intelijen dan pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.8
produk pangan dan nonpangan yang menyalahi aturan pemerintah dan tidak
terciptanya iklim usaha yang sehat. Pengawasan yang efektif perlu ditingkatkan
oleh Balai Besar POM selaku lembaga pengawas obat untuk mengurangi
7
Indonesia, Peraturan Presiden, Nomor 80 Tahun 2017, Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Pasal 1 ayat 1.
8
Ibid, pasal 3 ayat 1.
ilegal.
Salah satu contoh obat illegal yang beredar di berbagai daerah yang ada di
Obat carnophen sendiri adalah obat yang tidak memiliki izin edar dari BPOM
serta memiliki kandungan zat didalamnya yang apabila orang yang ingin
Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji pengawasan BPOM atas
ZENITH CARNOPHEN)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
C. TUJUAN PENULISAN
D. Manfaat Penulisan
hak-hak nya.
E. Keaslian Penulisan
Pada Obat-Obatan Yang Tidak Memiliki Label BPOM (Studi Kasus Obat Zenith
Carnophen). Judul skripsi ini belum pernah di tulis dan diteliti dalam bentuk yang
sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama
dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini
F. Tinjauan Kepustakaan
pembahasan skripsi.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
konsumen terlihat menjadi konsumen akhir yang biasanya lemah dalam bidang
ekonomi, pendidikan dan juga daya tawar. Oleh karena itu, diperlukan
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
usaha ini cukup luas cakupannya, dan hal ini dapat mempermudah konsumen
untuk menuntut ganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat penggunaan produk
pelaku usaha sendiri, maka untuk mewujudkan pemberdayaan itu sangat sulit,
harus dilindungi oleh hukum. Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen sebenarnya sudah sangat sering didengar. Namun belum jelas apa saja
konsumen adalah segala hal upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
adanya UUPK beserta hukum yang lainnya, konsumen dapat memiliki hak dan
dan tegas dapat berpengaruh terhadap pelaku usaha untuk semakin berhati-hati
terhadap menjual Obat-Obatan ilegal. Obat ilegal adalah obat yang tidak memiliki
nomor registrasi serta mengandung kandungan yang tidak sesuai dengan tulisan
yang tercantum dalam kemasan serta tidak sesuai dengan standar izin edarnya.
G. Metode Penulisan
hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikit :
1. Jenis Penelitian
dalam hukum positif. Penelitian normatif dalam skripsi ini didasarkan pada
2. Sifat Penelitian
yang merugikan konsumen dan seperti apa peran BPOM dalam menangani
khasus ini
3. Sumber Data
yang dipakai dalam tulisan. Dalam penulisan ini dipakai tiga alat
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini diuraikan dalam lima bab dan setiap bab terbagi
atas beberapa sub bab, untuk mempermudah dan memaparkan materi skripsi ini
kewajiban konsumen.
BAB V PENUTUP, bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi,
dimana dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulis.
BAB II
KONSUMEN
1. PENGERTIAN KONSUMEN
a. Konsumen
konsumen, atau pengertian konsumen, hal ini hanya ditemui dalam Perundang-
orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris
“consument” itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
9
Husni syawal, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, PT Mandor Maju, 2000, hlm
29.
pakaian, makanan, dan sebagainya), penerima pesan iklan, dan pemakai jasa
“Konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap
pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai
produksi terakhir dari benda dan jasa. Dimana Hodius ingin membedakan antara
“konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
10
Az. Nasution, ukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media,
2001, hal. 3
11
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2006, hal. 17
12
Gregorius Chandra, 2002, Konsumen dan Kepuasannya,
http://elqomi.wordpress.com/2008/05/03/konsumen-dan-kepuasannya/., diakses pada tanggal 22
April 2018
13
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2000, hal. 2.
antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah setiap orang yang
adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/ atau
jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/ atau
orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu, atau
setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan
tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan kembali, atau setiap
orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
Konsumen Indonesia (YLKI) ini tidak jauh berbeda dengan pengertian konsumen
dalam UUPK.
Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
14
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit
Media, 2001, hal. 13.
15
Ibid, hal. 10
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
tersebut bahwa didalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian
akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum.
barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi
lagi).18
Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia
16
Indonesia,UUPK, op.cit
17
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung
: Citra Aditya Bakti, 2003, hal.247
18
Az Nasution, Op.Cit, hal. 9
dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
berdasarkan Pasal 1 angka 2 menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti
19
Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan
Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan
Lembaga Konsumen, 1981), Hal. 2.
konsumen.20
yakni: konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu, konsumen antara adalah setiap orang yang
konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan
keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(nonkomersial).21
cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas, serta lancar
berkomunikasi.
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Rajawali Pers, Hal 4-6.
21
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, Hal. 13.
2. PERLINDUNGAN KONSUMEN
terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi
22
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi
Revisi, Hal 3.
23
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, Hal. 9
24
Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 37.
dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita
mengartikan.25
a. Konsumen
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang
jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Jika
layak dari pihakpihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen
25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, Hal. 5.
b. Pelaku Usaha
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
c. Menteri
yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. Ahmadi
Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan
dan/atau jasa diproduksi oleh pelaku usaha, tetapi yang menentukan apakah
barang dan/atau jaa tersebut layak dikonsumsi dan dapat diedarkan ke dalam
dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan mempunyai
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 38.
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 22.
diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha
sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan
produk barang yang dibeli, sebelum UUPK lahir, maka peraturan perundang-
KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di
Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industri itu adalah
28
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, hal. 67.
Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. UUPK ini berlaku efektif
konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi
konsumen.
angka (1) UUPK Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyebutkan bahwa: Kalimat
29
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 4.
nasional yaitu:
secara keseluruhan.
ataupun spiritual.
30
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.
kepastian hukum.
melindungi diri;
informasi;
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
keselamatan konsumen.
karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang
konsumen.31
hak konsumen.32
31
Ibid, Hal. 34.
32
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 30.
33
Sidharta, Op. Cit, Hal. 16-27.
ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
sebagai berikut:
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
lainnya.
merupakan suatu hak mutlak yang perlu direalisasikan tanpa pembatasan dalam
bentuk apapun. Adanya hak dan kebebasan untuk memenuhi dan mengkonsumsi
suatu produk tertentu seara tidak langsung memberikan arti bahwa dengan hak
dan kebebasan tersebut berarti konsumen harus dilindungi, karena dalam kondisi
seperti itu biasanya konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave it, artinya
jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di tempat lain. 34
berada pada posisi yang lemah, dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku
dan keselamatan;
jasa;
34
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, Jakarta: PT.
Grasindo, Hal. 28.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
kesalahan konsumen.
Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha
lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen
Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan
35
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen
Hal 65-66.
menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung
jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak
jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan
ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang menjual
perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha
lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau
produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
mengemukakan bahwa jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa
dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah
purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
36
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 155-156.
37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, Hal 67.
Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas
jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau
perbaikan.38
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab
konsumen.
barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
jika:
38
Ibid.
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibelinya atau
Berkaitan dengan hal tersebut apabila dikaitkan pada asas umum hukum
perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain,
wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika
berbicara mengenai konsep dan teori dalam ilmu hukum, menurut Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya menyebutkan bahwa perbuatan yang
1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang
Akibat dari kerugian yang diderita oleh konsumen maka gugatan yang
39
Ibid, Hal. 67-68.
40
Ibid, Hal. 62.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh
kategori, yaitu:
ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat
tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, tuntutan ganti kerugian
yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan
dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat
Hal ini di perkuat dalam UUPK bagian ke dua tentang pengawasan. BPOM juga
41
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, Hal 127-129.
BPOM . sanksi administratif berupa pencabutan surat izin apoteker sesuai dengan
ilegal adalah menyelidiki terlebih dahulu apakah memang benar obat yang
perundang-undangan.
Jika pihak yang mengedarkan tidak melalui apotek, maka BPOM dapat
BAB III
pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam
Tahun 2000.
yaitu di apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan
Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan jurnalis. Dapat diketahui
Keputusan Nomor 15 (Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan Nomor. 45 (Stb.
No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van
ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam Surat Keputusan
Kepala DVG Nomor 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian diubah lagi
dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8 September 1936 dan Nomor
11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain dinyatakan
farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang
relatif besar. Namun pada tahun 1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga
boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah. Dengan
untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah cukup dianggap memadai.
Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah -daerah yang belum ada
atau belum memadai jumlah apoteknya. Undang -Undang Nomor 3 ini kemudian
sebuah apotek. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit,
Oktober 1983.
Pada periode Tahun 1958 Sampai dengan 1967 meskipun usaha untuk
menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan
devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai
relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat
terbatas dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan
belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun
Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah
sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta
dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting,
antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin
42
Midian, Sirait, 2001. Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Darma Mahardika,
Jakarta, h. 2-12.
mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada
Departemen berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 dan telah
mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2003. Pada
saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan diatur dalam Peraturan Presiden
Fungsi Badan Pengawas Obat Dan Makanan dapat kita lihat berdasarkan
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat
menyelenggarakan fungsi:
Makanan;
Makanan;
Selama Beredar;
Sesuai dengan hal di atas, maka Badan Pengawas Obat Dan Makanan juga
mempunyai Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis). Fungsi dari Balai
Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis) dapat dilihat pada Pasal 3 Peraturan
berbahaya;
Tujuan Badan Pengawas Obat Dan Makanan yang juga sebagai tugasnya
dapat dilihat dari Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
perundang-undangan.
2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
Obatan Di Indonesia
adalah obat yang dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-
1971, yang disebut dengan obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan untuk
menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia
adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
pemulihan atau penyembuhan fisik atau rohaniah suatu makhluk hidup. Dalam hal
lainnya, Bukan berarti obat tradisional ini tidak efektif untuk menyembuhkan,
tetapi banyak obat-obat tradisional ini yang tidak memenuhi standar BPOM, atau
bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung
jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah,
43
Profil Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republic of Indonesia
obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan
beredar harus terjamin keamanan, khasiat dan mutunya agar memberikan manfaat
bagi kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah
menjamin :
esensial.;
2. Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi
44
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/III/2006
tentang Kebijakan Obat Nasional.
Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND yang
45
Ibid.
berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka tentunya akan dilakukan
pemisahan antara fungsi dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan
bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai
maupun ketentuan yang secara hirarkis berada di bawahnya untuk dapat efektif
berlaku, jelas membutuhkan sumber daya yang mampu menjalankan perintah dan
tersebut. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawas Obat dan
2001. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa fungsi Badan POM meliputi sebagai
berikut :
dan makanan
Makanan
Tugas dari BPOM diatur dalam Kepres No. 166/2000, yaitu dalam Pasal 73
BPOM yang lebih spesifik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan
tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari pelaku usaha,
menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi kedua
46
peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM.
ditetapkan dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 bahwa
secara makro
makanan
farmasi
tanaman obat
(LPND) dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dalam Keputusan Presiden
Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
46
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-faisalboy-7614.
110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang
membidangi :
makanan serta
Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, yaitu :
1. menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
perundang-undangan.47
Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di dalam
membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka pelaksanaan
Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila ditinjau dari
47
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pasal 4.
UUPK menjamin hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dimana
konsumen berhak atas informasi yang jelas dari pelaku usaha dan pelaku usaha
konsumen juga diperlukan agar tidak mendukung peredaran dan konsumsi obat-
obatan ilegal.
hak nya di langgar dapat menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui
BAB IV
Konsumen
masalah konsumen juga merupakan masalah nasional yang harus diperhatikan dan
tanggung jawab.49 Namun masih banyak konsumen yang belum mengerti hukum,
hak dan juga kewajiban sebagai konsumen. Perlindungan konsumen ini bertujuan
dan sudah jelas berhubungan dengan ketentuan yang telah diatur di dalam
UUPK.50
48
Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Huku Perlindungan Konsumen, Nusa Media :
Bandung.
49
Ahmadi, Miru dan Sutarman Yodo, op.cit hlm 41.
50
Ibid
agar tidak dirugikan atau untuk melindungi pihak konsumen dari tindakan curang
pelaku usaha. Selain itu UUPK juga merupakan jaminan produsen apabila
pelaku usaha yang nantinya akan memberikan kerugian kepada konsumen. Bahwa
pelaku usaha telah melanggar beberapa ketentuan pasal dalam UUPK, yaitu:
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang.10 Terkait pasal yang
boraks, karisoprodol dan zat aktif Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat
51
Janus Sidabalok, op.cit, halaman 37.
52
Marianus, Gaharpung, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha, Jurnal Yustika, Vol.III No. 1 Juli 2001.
berlaku.53 Dalam hal ini pelaku usaha telah melanggar kewajibannya untuk
zat aktif BKO yang terdapat dalam obat dan obat tradisional tersebut.
Bahkan telah menjual produk yang tidak memiliki izin edar dari BPOM
sehingga produk tersebut tidak memenuhi standar mutu yang telah diatur
di Indonesia.
dengan kondisi dan kemanjuran, selain itu tidak sesuai dengan mutu
label.54 Pelaku usaha telah menjual dan mengedarkan obat dan obat
tradisional yang tidak memenuhi standar pembuatan obat yang baik dan
undangan yang berlaku dengan tidak adanya izin edar dari BPOM. Selain
bahan kimia obat dan zat berbahaya lainnya yang sama sekali tidak sesuai
tersebut. Oleh karena itu, obat yang diperdagangkan tidak sesuai dengan
Dalam hal ini undang-undang tersebut belum berjalan lancar karena masih
banyak produk obat-obatan ilegal di Indonesia yang dapat dijual bebas padahal
53
Pasal 7 huruf a dan d, opcit UUPK
54
Pasal 8 ayat 1 huruf a, d dan e, op.cit UUPK
dengan mudahnya dan sangat merugikan konsumen. Akibatnya tidak hanya dari
segi materi yang rugi melainkan dapat mengancam jiwa jika dikonsumsi.
menghawatirkan, produk-produk obat yang ada di pasar Indonesia saat ini banyak
yang berasal dari produk impor yang tidak dengan tata cara hukum yang benar.
Dari hasil survey dengan populasi dan sampling BPOM mendapatkan bahwa
hampir sebagian obat yang beredar adalah obat ilegal yang beredar di pasar
indonesia.55
yang terjadi di era pasar bebas saat ini posisi produsen selama ini lebih kuat
daripada konsumen.56
55
http://m.bisnis.com/kabar24/read/20141111/78/272099/ribuan-kosmetik-dan-obat-
ilegal-beredar-di-manado. diakses 17 July 2018pukul 15:20
56
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia
Pustaka, 2008), hlm.3.
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
adil.
spiritual.
digunakan.
yang berbunyi, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
57
Pasal 2 op.cit UUPK
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akir
adalah penggunan atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari
Seperti yang telah di sebutkan diatas, terlihat bahwa ada pembeda antara
konsumen sebagai orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau
menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau bertujuan untuk dijual atau
diproduksi lagi. Seperti yang sudah di sebutkan di atas bahwa konsumen yang
Dalam UUPK sendiri tidak diatur secara jelas mengenai masalah kejelasan
tentang obat-obatan, akan tetapi yang menjadi landasan adalah diaturnya hak
konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang masing masing diatur dalam pasal 4
dan pasal 7. Bila dilihat dari hak konsumen, sudah dijelaskan bahwa konsumen
berhak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan uang
yang mereka keluarkan dan diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur.
Kemudian, jika melihat kewajiban pelaku usaha yang diantaranya adalah beritikat
baik dan memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur.
yang timbul oleh ulah pelaku usaha sendiri. salah satu masalah yang terjadi adalah
beredarnya pelaku usaha yang menjualkan obat yang tidak memiliki standar yang
Jika pelaku usaha melakukan kesalahan, maka hal tersebut harus bisa
dapat terjadi jika adanya hak konsumen yang dilanggar ataupun dirugikan dan
adanya kewajiban pelaku usaha yang tidak terpenuhi.58 Dengan terjadinya dua hal
dengan masalah obat yang tidak memiliki label BPOM, pertanggungjawaban yang
tanggung jawab mutlak. Prinsip ini dianggap penting dalam hukum perlindungan
relatif baru dalam memperjuangkan hak konsumen. Tanggung jawab mutlak juga
merupakan bagian dari hasil perubahan dibidang ekonomi, lalu penerapan prinsip
di dalam tanggung jawab mutlak ini melahirkan masalah baru bagi pelaku usaha
serta di indonesia sendiri terdapat dua kesenjangan, dan tanggung jawab mutlak
tanggung jawab mutlak. Adapun persepsi pasal 19 UUPK bahwa apabila pelaku
58
Sudaryatmo, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti : Bandung
berarti pelaku usaha telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu pelaku usaha
yang melakukan kesalahan dengan menjualkan obat yang tidak memiliki label
BPOM mendapati keuntungan yang lebih. Sebab, harga obat yang tidak memiliki
label BPOM tersebut pasti akan lebih murah dari pada obat yang telah memiliki
label BPOM.
(2). Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan
(5). Ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
dimaksud dalam penjelasan pasal di atas, merupakan beban dan tanggung jawab
untuk pelaku usaha, dan tidak memungkiri kemungkinan adanya tuntutan pidana.
Dimana sistem beban pembuktian yang dianut oleh UUPK adalah sistem beban
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha menjadi lemah, mengingat kedudukan pelaku usaha biasanya lebih
tinggi.
Akan tetapi jika dilihat berdasarkan pasal 19 ayat 1 UUPK bahwa pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang
UUPK, yaitu :
a. Pelaku usaha : Menurut pasal 1 ayat 3 UUPK bahwa pelaku usaha adalah
menerima ganti rugi yang ditimbulkan oleh pelaku usaha walaupun obat-obatan
yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal dan tidak ada kantor perwakilan
konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk obat dan obat
tradisional ilegal tanpa izin edar merupakan perbuatan melawan hukum yang
dan meskos, meskos yaitu suatu kegiatan yang dilakukan BPOM dan pelaku usaha
meliputi pengumpulan data, pencatatan, dan evaluasi efek samping yang timbul
mengandung bahan berbahaya, maka akan dilakukan tindak lanjut berupa sanksi
administrasi maupun sanksi pidana karena produsen yang lalai terhadap mutu,
Kemanan bagi obat-obatan penting untuk menjamin obat itu aman dan
generasi muda yang akan datang. Indonesia sendiri mempunyai Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang berkaitan dengan keamanan obat. Standar ini diantaranya
sendiri.
secara berskla dan acak ini tentu akan berpengaruh pada adanya produk ilegal
maupun produk yang membahayakan beredar d pasaran, serta akan adanya produk
ilegal yang mengandung bahan yang berbahaya yang akan beredar di pasar yang
Maka dari itu, masih juga banyak pelaku usaha yang menjualkan obat
penghilang nyeri berbentuk pil yang bernama Zenith Carnophen. Obat tersebut
termasuk obat keras yang tidak memiliki label BPOM atau dengan kata lain tidak
memiliki izin edar dari BPOM. Seperti yang tertera dalam Pasal 3 Butir 1 yang
harus memiliki izin edar”, Obat-obat seperti inilah yang dapat merugikan
konsumen. Konsumen hanya akan mengetahui fungsi dari obat tersebut tetapi
konsumen tidak mengetahui apa isi kandungan dari obat tersebut sehingga tidak
sudah jelas bahwa BPOM lah yang mendapat andil besar dalam mengawasi
obat dan keamanan produk yaitu, “Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
dan mutu”.60 Sesuai dengan ketentuan diatas, obat-obatan yang tidak memenuhi
standar persyaratan tidak lah boleh di edarkan. Maka dari itu, untuk melindungi
Terkait dengan hal ini, BPOM yang mempunyai tugas untuk memantau
para pelaku usaha dalam menjualkan dagangannya. Maksud dari tugas tersebut
59
Pasal 24, op.cit Undang-Undang Badan Pengawas Obat dan Makanan
60
Pasal 3 ayat (2), op.cit BPOM
adalah untuk menjaga agar tidak terjadinya pelaku usaha yang mejualkan obat
yang tidak memiliki standar ketentuan yang telah di tetapkan BPOM. Sebab,
dalam UU BPOM sendiri telah menentukan harus adanya uji kelayakan dulu
Melihat dari cukup jelasnya aturan yang dibuat oleh BPOM, namun di
kesehariannya masih saja banyaki di temukan obat yang beredar tanpan adanya
surat izin edar itu sendiri. Oleh sebab itu, karena penggunaan obat di indonesia itu
merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan, maka apabila pelaku
usaha yang menjualkan obat tanpa adanya izin edar , akan di kenakan sanksi
pidana yang telah di atur dalan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.000,00 (satu miliar lima
Seperti yang ingin penulis bahas disini adalah penyelesaian sengketa yang
terjadi kepada pelaku usaha yang menjualkan obat pereda nyeri berbentuk pil
setidaknya kita harus lebih dulu mengetahui apa saja jenis jenis sengketa itu, dan
usaha tersebut.
61
Pasal 197, op.cit UU Tentang Kesehatan
oleh pelaku usaha ada beberapa jalur penyelesaian sengketa konsumen yang dapat
secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan
dan proses pengambilan putusan sangat sederhana. Murah terletak pada biaya
perkara yang terjangkau. Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku
kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang
bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa
baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran
kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami
62
Ahmad Miru, op. cit, halaman 157
63
Yusuf Sofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Penerbit : Piramedia,
Jakarta .
berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
lembaga yang bertugas menyelesaikan segketa antara konsumen dan pelaku usaha
kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 118 HIR, tetapi diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan
64
Ibid
65
op.cit, halaman 169
66
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasi, Penerbit : Prenada Media Group.
67
Ibid.
dalam hal ini obat tersebut tidak memiliki izin edar diatur dalam Pasal 197
mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar pada Putusan Perkara
pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin
yaitu :
1. Identitas Terdakwa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
2. Posisi Kasus
Bahwa pada hari selasa, tanggal 09 April 2013, sekitar pukul 20:00 Wib,
mengedarkan obat-obatan berupa pil Carnophen tanpa memiliki izin edar atas
obat-obatan tersebut.
cara membelinya dari saudara HADI yang beralamat dijalan Trunojoyo, Gang
membeli pil Carnophen tersebut dengan harga sebesar Rp. 17.000,- (tujuh
belas ribu rupiah) untuk setiap 10 (sepuluh) butirnya dan rencananya akan
dijual dengan harga sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah), keuntungan
yang di perolehnya sebesar Rp. 3.000.- (tiga ribu rupiah) Keuntungan tersebut
barang bukti berupa 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil
Carnophen dan uang tinai sebesar rp. 510.000,- (lima ratus sepuluh ribu
sebelumnya.
Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang
materiil, sesuai dengan bunyi Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP disebutkan
harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak
Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil.
Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil. meliputi :
yang didakwakan;
tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara
Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang
satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak atau ciri
yang sama atau hampir bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang
tidak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan ini
terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu
secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang
dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada
yaitu :
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
rupiah).”
Atau
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
dan sesuai dengan fakta persidangan sehingga dakwaan kedua tidak perlu
dipertimbangkan.
atau dalam bahasa lain disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat
disertai dengan tuntutan pidana. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah
c. Menyatakan barang bukti 1.346 (seibu tiga ratus empat puluh enam)
a. Keterangan Saksi
Ari Christiyanto W
tersebut .
puluh enam) butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp.
dibidang tersebut.
butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima
Juli Bagus
puluh enam) butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp.
dibidang tersebut.
butir pil Carnophen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima
golongan daftar G.
b. Keterangan Terdakwa
tersebut.
persidangan.
c. Barang Bukti
- 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil Charnophen.
- Uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima ratus sepuluh ribu rupiah)
6. Pertimbangan Hakim
selesai, maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat
keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, maupun
masyarakat.
memiliki izin edar yang dilakukan oleh terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN
Arif Andi Setyawan, S.Si. M.T., Imam Mukti S, Si. Apt., dan Luluk Muljani
serta Dr. M.S. Hanjajani, M.Si., DFM, Apt., (Kepala Labfor Cabang Surabaya),
atas barang bukti milik tersangka Ragil Priandik Bin Karjono, dengan
disimpulkan bahwa barang bukti dengan nomor 3107/ 2013/ NOF, berupa
tablet berwarna putih logo “zenith” tersebut diatas adalah benar tablet yang
1. Setiap orang ;
umum melanggar pasal yang telah disebutkan diatas, maka berdasarkan fakta
dapat memenuhi semua unsur dari tidak pidana yang di dakwakan kepadanya ;
dari suatu delik yaitu pelaku, orang atau siapa saja yang melakukan tindak
Majelis Hakim berkesimpulan unsur ke-1 (satu) yaitu setiap orang, telah
kesehatan ;
berbuat atau bertindak, atau dengan kata lain bahwa kesengajaan itu ditujukan
apabila si terdakwa berbuat dengan sengaja atau sengaja tidak berbuat, apa
yang dilarang oleh undang-undang atau apa saja yang di perintahkan oleh
tidak berbuat terhadap suatu hal yang menurut undang-undang dapat di hukum,
farmasi adalah obat bahan obat, obat tradisional dan kosmetik, lebih lanjut
manusia” ;
persidangan, pada hari selasa, Tanggal 09 April 2013, aekitar pukul 20.00 wib,
saksi Ari Christiyanto W. Dan saksi Juli Bagus melakukan penagkapan dan
berupa pil Charnophen tanpa memiliki izin edar atas obat-obatan tersebut ;
berhasil diamankan barang bukti berupa 1.346 (seribu tig ratus empat puluh
enam ) butir pil Charnopen dan uang tunai sebesar Rp. 510.000,- (lima ratus
sepuluh ribu) yang merupakan uang hasil penjualan pil Charnopen terdakwa
sebelumnya ;
tersebut dengan harga sebesar Rp.17.000,- (tujuh belas ribu rupiah) untuk tiap
10 (sepuluh) butirnya dan rencananya akan di jual dengan harga sebesar Rp.
surabaya, yang dilakukan pemeriksaan oleh Arif Andi Setyawan, S.Si. M.T.,
Imam Mukti S.Si, Apt., dan Luluk Muljani serta Dr. M.S Hanjajani, M.Si.,
DFM, Apt., (kepala labfor cabang surabaya), atas barang bukti milik terdakwa
bahwa barang bukti dengan Nomor 3107/2013/NOF, berupa tablet warna putih
logo “Zenith” tersebut diatas adalah benar tablet yang mengandung bahan aktif
terlihat dengan tegas dan jelas barang berupa pil Charnophen tersebut yang
Kesehatan dan tergambar dengan tegas dan jelas rangkaian perbuatan terdakwa
obat” ;
dipersidangan, pil Charnophen tidak dapat diperjual belikan secara bebas, yang
tersebut, terdakwa selain tidak memiliki izin edar, terdakwa juga tidak
majelis hakim berkesimpulan unsur ketiga atau dua yaitu yang tidak memiliki
izin edar telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa RAGIL PRIANDIK BIN
KARJONO ;
tidak terdapat hal-hal yang dapat di jadikan penghapusan pidana baik alasan
dengan kesalahannya ;
seseorang ;
akan tetapi merupakan peringatan agar dikemudian hari terdakwa tidak lagi
7. Putusan Hakim
- 1.346 (seribu tiga ratus empat puluh enam) butir pil Charnophen ;
8. Analisis Penulis
Mencermati posisi kasus dalam perkara ini, penerapan Pasal atau dakwaan
Jaksa Penuntut Umum sudah tepat. Menurut Penulis, bahwa perkara Nomor :
bahwa dalam perkara ini jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif.
Dakwaan alternatif yaitu terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis,
lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada
beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus
memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada
Pasal 197 Undang-Undang tentang Kesehatan dan dakwaan kedua yaitu Pasal 196
diantara dakwaan kesatu dan dakwaan kedua berdasarkan fakta-fakta hukum yang
dakwaan pertama memiliki potensi dan sesuai dengan fakta persidangan sehingga
a. Setiap orang;
Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” disini siapa saja, setiap
orang selaku subyek hukum pidana sebagai pendukung hak dan kewajiban
tidak termasuk dalam pasal 44 KUHP dan dalam hal ini yang didakwa
benar terdakwa telah mengedarkan obat dan terdakwa tidak memiliki izin
terpenuhi.
barang bukti obat pil Charnophen yang akan di jual kembali. Terdakwa
diperjualbelikan secara bebas tanpa izin edar atau resep dokter. Majelis
barang bukti obat pil Charnophen untuk dijual. Obat jenis Charnophen
hanya boleh dijual dengan resep dokter dan termasuk obat keras dalam
menjual/mengedarkan obat.
ribu rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti
Hakim lebih didasarkan pada fakta–fakta persidangan dan alat bukti yang
(empat) bulan kepada terdakwa sudah cukup untuk menimbulkan efek jera
terdakwa lebih rendah daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hal itu
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
sebagai berikut:
obat yang tidak memiliki izin edar diatur dalam Pasal 197, tindak
B. Saran
berikut:
obat-obatan, serta harus cermat dalam memilih obat yang sudah memiliki
izin edar dari BPOM. Penulis juga mengharapkan kepada segenap aparat
jera kepada para pelaku. Dan dengan pemberian sanksi pidana yang tegas
A. Buku
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra
Aditya Bakti Bandung
Husni Syawal, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, PT. Mandor Maju,
2000
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit
Diadit Media, 2001
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2000
Yusuf Sofie, Perlindungan Hukum Konsumen dan Instrumen – Instrumen
Hukumnya, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Yayasan Lembaga Konsumen, Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang
Rancangan UU Perlindungan Konsumen, Jakarta, Yayasan Lembaga
Konsumen
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta, Sinar Grafika
Adrian Sufedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Bogor, Ghalia Indonesia
Skidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, PT.
Grasindo, Jakarta
Gunawar Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen
Midian Sirait, 2001, Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Dharma Mahardika, Jakarta
Profil BPOM National Agency of Drugs and Food Control Republic OF
Indonesia
Barkatul, Abdul Hakim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media,
Bandung
Marianus, Gaharpung, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas
Tindakan Pelaku Usaha, Jurnal Yustika, Vol. III No.1 Juli 2001
Happy SuSanto, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan, PT. Transmedia Pusat,
Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sudaryatmo, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT.Citra
Aditya,Bandung
Yusuf Sofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap
Berbagai Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), Penerbit Peramedia, Jakarta
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
Dari Hukum Acara Perdata Implementasi, Penerbit Prenada Media grup
C. Internet
Gregorius Chandra, 2002, Konsumen dan Kepuasan, http:// Elgomi.
Wordpress.com/2008/05/03/konsumen-dan-kepuasannya, diakses pada
tanggal 22 April 2018
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gd/hub-gl-s-1-2008-faisalboy-7614, diakses
pada 27 Mei 2018
http://m.bisnis.com/kabar24/read/2014111/78/2099/Ribuan-Kosmetik-dan-Obat-
Illegal-Beredar-Di-Manado, di akses pada 1 Juni 2018