Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki, mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi),

ketidakmampuan memperbaiki kerusakan dan secara progresif kehilangan daya

tahan terhadap infeksi yang akan meningkatkan penyakit degeneratif

(Pranarka,

2018).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan usia

lanjut mengalami tingkat harapan hidup tertinggi sejak tahun 2000. Populasi usia

lanjut di dunia juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, tahun 2013

didapatkan proporsi tertinggi pada usia lanjut sebesar 8,1% dari total populasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, di Indonesia pada

tahun 2011 memiliki tingkat populasi usia lanjut yang tinggi dengan persentase

7,8 %. Data yang diperoleh BPS kota Medan tahun 2015 jumlah penduduk usia

lanjut mencapai 117.216 orang yang meningkat jumlahnya dari tahun 2015

sebesar 77.837 orang.

Di beberapa Negara maju, keluhan klimakterik dan menopause sudah

merupakan masalah kesehatan nasional. Sedangkan untuk Negara Indonesia, hal

ini bukanlah masalah kesehatan nasional yang utama, walaupun demikian sudah

1
2

mulai dipikirkan perlu adanya persiapan dan pembenahan terhadap cara-cara

penanganan masalah kesehatan bagi wanita usia lanjut khususnya wanita yang

sudah menopause (Soejoenoes, 2018).

Suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Iosif dan Bekasy (1984)

pada wanita pasca menopause, seperti dikutip oleh Soejoenoes, menunjukkan

bahwa 50% wanita sehat yang berusia 61 tahun mengeluh tentang masalah

urogenital. Dua puluh sembilan persen mengakui pernah menderita inkontinensia

urin, sedangkan 70% dari kelompok ini inkontinensia urin yang terjadi

berhubungan dengan defisiensi estrogen. Makin tinggi usianya, makin banyak

pula prevalensi inkontinensia urin ini bahkan gejala ini menjadi problem utama

pada usia di atas 75 tahun (Soejoenoes, 2018).

Menurut Sandvix Hogne sedikitnya prevalensi wanita usia lanjut yang

3
mengalami Inkontinensia urin berkisar antara 4% - 6% . Menurut hasil penelitian

Iglesias di Spanyol pada komunitas usia lanjut umur ≥ 65 tahun, prevalensi

Inkontinensia urin pada wanita usia lanjut dalam komunitas berkisar antara 5%

4
-20% . Sedangkan menurut Brown kemungkinan usia lanjut bertambah berat

Inkontinensia urinnya 25% - 30% saat berumur 65-74 tahun (Martin, 2015).

Prevalensi inkontinensia urin dilaporkan pada wanita selama transisi

menopause bervariasi 8% - 56% tergantung pada definisi operasional

inkontinensia urin dan sampel populasi. Meskipun menopause menunjukkan

hubungan dengan inkontinensia urin namun pembuktian untuk menjadi faktor

independen pada prevalensi inkontinensia urin belum didapatkan. Di Amerika


3

Serikat dilaporkan lebih dari 13 juta orang yang mengalami inkontinensia

urin dan kurang lebih 7 juta diantaranya wanita (Soejoenoes, 2018)

Di Indonesia, survey Inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi

Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto

Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan

Keluarga di Jakarta (2002), mendapatkan angka kejadian Inkontinensia urin tipe

stress sebesar 32.2 %. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli Geriatri

RS Dr. Sardjito didapatkan angka prevalensi Inkontinensia urin sebesar 14.47

(Setiati, 2018).

Proses menua pada usia lanjut dapat menimbulkan gejala yang meliputi

gangguan kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan fungsional, dan jatuh.

Masalah ini dapat menyebabkan angka kematian yang signifikan dalam keadaan

yang buruk pada usia tua yang lemah. Inkontinensia urin merupakan salah

satu

masalah proses penuaan yang dapat memberi dampak bermakna pada

kehidupan sosial, fisik, dan psikososial (Panita et al, 2018).

Pengertian Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak

terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi

maupun jumlahnya yang mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah

fisik, emosional, sosial dan higienis bagi penderitanya. Inkontinensia urin

pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses penuaan, melainkan

adanya perubahan pada traktus urinarius yang berkaitan dengan


4

penambahan usia. Sehingga hal ini juga merupakan faktor predisposisi bagi

usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (Martin, 2014).

The International Continence Society (2018) menyatakan 15-35% orang

usia lanjut di atas 60 tahun memiliki prevalensi wanita dua kali lebih banyak

dari pria. Prevalensi inkontinensia urin meningkat hingga 53% pada usia lanjut

yang dirawat, 30% usia lanjut di perawatan akut rumah sakit serta 40-60%

usia lanjut berada di Panti. Hasil penelitian inkontinensia urin yang dilakukan

oleh Divisi Geriatri departemen Internal Kedokteran Rumah sakit di Jakarta

tahun 2018 mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin yang relatif tinggi.

Inkontinensia urin pada usia lanjut berdampak pada timbulnya

penurunan kualitas hidup, salah satunya penyakit fisik. Berbagai penyakit fisik

yang sering terjadi pada usia lanjut dapat menyebabkan gejala-gejala depresi.

Hal tersebut mencakup gangguan metabolik, gangguan endokrin, gangguan

muskuloskeletal, gangguan gastrointestinal, gangguan genitourinaria, penyakit

neurologis, penyakit vaskuler kolagen, kanker, infeksi virus dan bakteri.

Penyakit fisik juga dapat memicu depresi karena dapat menyebabkan

nyeri kronis, disabilitas dan kehilangan fungsi, penurunan harga diri,

peningkatan ketergantungan atau menyebabkan ketakutan terhadap nyeri atau

kematian. Sehingga timbulnya kekhawatiran pada usia lanjut terhadap

kondisi kehidupannya (Stanley&Beare, 2016)

Depresi merupakan gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai

dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan

sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam


5

menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian tetap

utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian) perilaku dapat terganggu tetapi

dalam batas-batas normal. Sedangkan menurut Nugroho (2015) depresi itu

adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu

penderitaan, dapat berupa serangan yang ditunjukkan pada diri sendiri atau

perasaan marah yang dalam diri sendiri (Martin, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2015) penyakit psikologis yang

paling sering terjadi pada usia lanjut adalah depresi. World Health Survey

dalam WHO (2010) menyebutkan bahwa depresi merupakan masalah

kesehatan yang sangat mengancam dunia dan sebagai penyebab kecacatan

(years lost due to disability) di negara maju dan berkembang. Depresi

merupakan gangguan psikologis umum yang diderita oleh hampir 150 juta

orang didunia, dimana 60% dialami oleh usia lanjut. Prevalensi depresi pada

lansia berdasarkan penelitian kesehatan Universitas Indonesia dan Oxford

Institute of aging menunjukkan 30% dari jumlah lansia di Indonesia

mengalami depresi (Komisi Nasional Lansia, 2015). Pada tahun 2020 depresi

akan mencapai urutan teratas menggantikan penyakit-penyakit infeksi di

negara berkembang terutama Indonesia.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan Serly pada

tahun 2019 di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan, peneliti

memperoleh data 3 dari 5 orang memiliki status kesehatan yang buruk, yaitu

mengalami gejala depresi dengan keluhan merasa tidak berdaya, tidak berguna,

kesepian, malas mengikuti aktivitas dan sosialisasi dengan lansia lainnya. Hasil
6

observasi juga menunjukkan bahwa dari 5 orang lansia mengalami gejala

inkontinensia urin, mereka mengatakan sering terbangun pada malam hari

hanya untuk buang air kecil, merasa kandung kemihnya penuh walaupun

sudah berkali-kali buang air kecil, dan merasa terganggu.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang hubungan inkontinensia urin dengan tingkat

depresi pada usia lanjut di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah adalah “Apakah ada

Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti

Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019 ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah ada “Hubungan Inkontinensia Urin Dengan

Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan

Tahun 2019 “

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo

Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019”

2. Untuk Mengetahui Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo

Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019”

3. Untuk Mengetahui Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi


7

Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Tempat Peneliti

Dapat menambah wawasan tempat peneliti dalam hal menangani

Inkontinensia Urin terhadap Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo

Harapan Jaya Medan Marelan serta melatih tempat peneliti dalam

mengembangkan berfikir secara objektif sehingga menjadi pengalaman yang

berguna bagi tempat peneliti.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat memberikan manfaat terhadap kemajuan ilmu dan penulisan ini juga

diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dari perpustakaan program

Ilmu Keperawatan STIKes RS Haji Medan.

1.4.3. Peneliti Selanjutnya

Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam upaya Memberikan

informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang Hubungan

Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo

Harapan Jaya Medan Marelan, dan menambah variabel lainnya dalam penelitian

selanjutnya.
8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usia lanjut

2.1.1. Definisi Usia Lanjut

Undang-undang RI No 23 tahun 1992 pasal 19 ayat 1 tentang kesehatan

bahwa usia lanjut adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan

biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang memberikan pengaruh pada seluruh

aspek kehidupan (Khoiriyah, 2018)

Usia lanjut merupakan menurunnya kemampuan akal dan fisik, dimulai

dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Ketika manusia mencapai usia

dewasa, akan mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak berlanjut

dengan usia lanjut kemudian mati. Bagi manusia normal tentu telah siap

menerima keadaan baru dalam setiap fase kehidupan dan menyesuaikan diri

dalam lingkungan (Darmojo, 2015)

2.1.2. Klasifikasi Usia Lanjut

Menurut World Health Organization, usia lanjut dibagi menjadi 4 bagian.

Usia pertengahan (Middle age) berusia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) 60-74

tahun, usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very
9

old) diatas 90 tahun. kesehatan. Lansia potensial adalah lansia yang masi mampu

melakukan pekerjaan atau kegiatan yang masih menghasilkan barang dan jasa.

Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.3. Perubahan-perubahan pada usia lanjut

Menurut Maryam et al (2018) usia mengalami perubahan-perubahan

sebagai berikut :

a. Perubahan fisik

1. Sel

Terjadinya penurunan jumlah sel, perubahan ukuran sel, berkurangnya

jumlah cairan dalam tubuh dan berkurangnya cairan intra seluler,

menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati,

penurunan jumlah sel pada otak, terganggunya mekanisme perbaikan sel,

serta otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.

2. Sistem Persyarafan

Berat otak yang menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel

syaraf otaknya dalam setiap harinya), cepat menurunnya hubungan

persyarapan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya

dengan stres, mengecilnya syaraf panca indra, berkurangnya penglihatan,

hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa lebih

sensitif terhadap perubahan suhu dengan ketahanan terhadap sentuhan,

serta kurang sensitif terhadap sentuhan.

3. Sistem Pendengaran
10

Terjadinya presbiakusis yaitu gangguan dalam pendengaran pada

telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi,

suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, otosklerosis akibat atropi

membran timpani. Pengumpulan serumen dapat mengeras karena

meningkatnya keratinin. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran

pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres.

4. Sistem Penglihatan

Timbulnya sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih

berbentuk sferis (bola), terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan

katarak, meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat dan susah melihat pada cahaya gelap,

hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta

menurunnya daya untuk membedakan warna biru atau hijau. Pada mata

bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan

reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi, lensa

menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan

katarak, sehingga memengaruhi kemampuan untuk menerima dan

membedakan warna-warna. Pandangan dalam area yang suram dan

adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam cahaya

gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera.

5. Sistem Kardiovaskuler

Terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal

dan menjadi kaku, menurunnya kemampuan jantung untuk


11

memompa darah yang menyebabkan menurunnya kontraksi dan

volumenya, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang

dapat mengakibatkan tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan

dari duduk ke berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah

perifer.

6. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh

Pada pengaturan sistem tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai

thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi

berbagai faktor yang mempengaruhinya, perubahan yang sering ditemui

antara lain temperature suhu tubuh menurun (hipotermia) secara

fisiologik kurang lebih 35 °C, ini akan mengakibatkan metabolisme yang

menurun. Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat

memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas

otot.

7. Sistem Respirasi

Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, aktivitas

silia menurun, paru kehilangan elastisitas, berkurangnya elastisitas

bronkus, oksigen pada arteri menurun, karbon dioksida pada arteri tidak

berganti, reflek dan kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap

hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis,

kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun

seiring pertambahan usia.


12

8. Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi

setelah umur 30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitifitas

saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar,

rasa lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu

pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul

konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil dan

tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.

9. Sistem Perkemihan

Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang merupakan

alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urin, darah

masuk keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang

disebut nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian mengecil dan

nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%

sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan

mengkonsentrasi urin menurun, berat jenis urin menurun. Otot-otot

vesika urinaria menjadi lemah, sehingga kapasitasnya menurun sampai

200 ml atau menyebabkan buang air seni meningkat. Vesika urinaria

sulit dikosongkan sehingga terkadang menyebabkan retensi urin pada

pria.

10. Sistem Endokrin

Produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic

rate), dan daya pertukaran zat menurun, produksi aldosteron


13

menurun, sekresi hormon kelamin seperti progesteron, estrogen, dan

testosteron menurun.

11. Sistem Integumen

Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.

Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisi, timbul bercak

pigmentasi, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu,

berkurangnya elestisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi,

kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat

berkurang.

12. Sistem musculoskeletal

Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan

stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon

mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot

mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan manjadi

tremor, aliran darah ke otot berkurang.

b. Perubahan mental

Faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan

fisik khususnya organ perasa kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan

(hereditas), dan lingkungan. Kenangan (memory) terdiri dari kenangan

jangka panjang (berjam–jam sampai berhari–hari yang lalu mencakup

beberapa perubahan), dan kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit,

kenangan buruk), I.Q (Intellegentian Quantion) tidak berubah dengan

informasi matematik. dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan,


14

persepsi dan keterampilan psikomotor (terjadinya perubahan pada daya

membayangkan karena tekanan- tekanan dari faktor waktu).

2.1.4. Sifat Penyakit pada Usia Lanjut

1. Penyebab penyakit

Penyebab penyakit pada lansia umumnya berasal dari dalam tubuh

(endogen), dan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal

ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi organ-

organ tubuh akibat kerusakan sel proses menua, sehingga produksi

hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan tubuh

menjadi berkurang. Dengan demikian lansia akan mudah

mengalami infeksi, memiliki penyakit lebih dari satu jenis

(multipatologi).

2. Gejala penyakit tidak khas / tidak jelas

Misalnya pada penyakit infeksi paru (pneumonia) sering kali tidak

didapati demam tinggi dan batuk darah, gejala terlihat ringan padahal

penyakit sebenarnya cukup serius, sehingga penderita menganggap

penyakitnya tidak berat.

3. Memerlukan banyak obat (polifarmasi)

Banyaknya penyakit pada usia lanjut akan memerlukan beraneka ragam

obat dibandingkan dengan orang dewasa. Fungsi organ-organ vital tubuh


15

seperti hati dan ginjal yang berperan dalam mengolah obat yang masuk

ke dalam tubuh telah berkurang dan mengakibatkan penumpukan

sehingga terjadi keracunan obat dengan segala komplikasinya jika

diberikan dosis yang sama dengan orang dewasa. Oleh karena itu,

dosis obat pada lansia perlu dikurangi. Efek samping obat pada

usia lanjut dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit baru.

Misalnya, sering berkemih akibat pemakaian obat diuretik (obat untuk

meningkatkan pengeluaran air seni), dapat terjatuh akibat penggunaan

obat-obat penurun tekanan darah, penenang, antidepresi, dan lainnya.

4. Mengalami gangguan jiwa

Pada lansia yang telah lama menderita sakit sering mengalami tekanan

jiwa (depresi). Oleh karena itu, dalam pengobatannya tidak hanya

gangguan fisiknya saja yang diobati, tetapi juga gangguan jiwanya yang

justru sering tersembunyi gejalanya. Jika yang mengobatinya tidak teliti

akan mepersulit penyembuhan penyakitnya.

2.2. Inkontinensia urin

2.2.1. Definisi Inkontinensia urin

Menurut Pranarka (2015), inkontinensia urin adalah pengeluaran urin

tanpa disadari serta dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sering sehingga

mengakibatkan gangguan kesehatan atau sosial. Menurut Lewis et al (2016),

inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak

terkendali atau terjadi di luar keinginan. Sedangkan menurut Saxer et al (2008),

inkontinensia didefinisikan oleh International Contience Society (ICS) sebagai


16

keluhan atas kebocoran urin yang tidak disadari. Selain itu, Mauk (2017) juga

mendefinisikan inkontinensia urin sebagai pengeluaran urin yang tidak

disengaja

dan merupakan masalah kesehatan umum yang bisa menyebabkan kecacatan

dan penurunan kualitas hidup (Henderson, 2018)

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

inkontinensia adalah suatu kondisi pengeluaran atau kebocoran urin tanpa

disadari dan tidak terkendali yang terjadi diluar keinginan dalam jumlah dan

frekuensi yang cukup sering serta bisa menyebabkan kecacatan dan

penurunan kualitas hidup.

2.2.2 Tipe-tipe inkontinensia urin

1. Inkontinensia stress

Kondisi keluarnya urin ketika tekanan intraabdomen meningkat seperti

pada saat batuk, bersin, tertawa, atau latihan yang disebabkan oleh

melemahnya otot dasar panggul. Melemahnya otot dasar panggul juga dapat

disebabkan terlalu banyak latihan atau aktivitas, batuk yang terus

menerus, konstipasi, luka pada dasar panggul atau uretra, melahirkan, atau

masalah pada lapisan spinal belakang bawah (lumber disc syndrome).

Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita usia lanjut walaupun pada pria

dapat terjadi.

2. Inkontinensia Urgensi

Kondisi ketidakmampuan untuk menahan urin cukup lama untuk mencapai

toilet, keinginan yang kuat dan tiba-tiba diikuti keluarnya urin tanpa
17

dapat ditahan. Penyebabnya karena daya tampung kandung kemih yang

menurun, iritasi pada reseptor peregang kandung kemih, konsumsi

alkohol atau kafein, peningkatan asupan dan adanya infeksi (Potter&Perry,

2015).

3. Inkontinensia Overflow

Kondisi keluarnya urin dalam jumlah sedikit dari kandung kemih yang

selalu penuh, kehilangan urin tanpa disengaja yang biasanya dihubungkan

dengan overdistensi kandung kemih. Inkontinensia overflow lebih sering

terjadi pada pria dibandingkan wanita biasanya disebabkan oleh sumbatan

anatomis, seperti pada hipertrofi prostat, akibat faktor saraf (pada diabetes)

atau obat-obatan. Keluhan yang terjadi sedikitnya urin keluar tanpa ada

sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

4. Inkontinensia fungsional

Kondisi keluarnya urin tanpa dikehendaki (mengompol) dan merupakan

akibat di luar faktor saluran kemih sendiri. Faktor utama yang

menyebabkan inkontinensia urin adalah gangguan mobilitas dan gangguan

kognitif. Demensia berat, gangguan musculoskeletal, lingkungan tidak

mendukung sehingga sulit untuk mencapai kamar mandi, dan adanya faktor

psikologis seperti depresi dapat menyebabkan inkontinensia urin. Pada

pasien geriatrik sering pula terjadi inkontinensia tidak satu tipe melainkan

tipe campuran atau kombinasi dari dua tipe atau lebih.

5. Inkontinensia reflex
18

Kondisi keluarnya urin secara involunter terjadi pada interval atau jarak

waktu tertentu yang dapat diprediksi bila isi kandung kemih terpenuhi.

Biasanya terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, dalam

hal ini pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflek yang dirangsang

oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih

tidak ada.

6. Inkontinensia total

Kondisi hilangnya urin yang berkelanjutan dan tidak dapat diprediksi.

Menurut Potter dan Perry (2005) Inkontinensia total disebabkan karena adanya

neuropati saraf sensorik, trauma/penyakit pada saraf spinalis atau spingter

uretra, fistula yang berada diantara kandung kemih dan vagina. Gejalanya

antara lain urin tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat

diperkirakan, nokturia, tidak menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau

inkontinensia.

2.2.3 Dampak inkontinensia urin

Inkontinensia urin juga memiliki efek terhadap kualitas hidup,

bahkan pada kegiatan sehari-hari, seperti bekerja, berjalan, kegiatan

interpersonal, aktivitas fisik, fungsi seksual, dan tidur. Pasien dengan

inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di setiap

domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan mental, persepsi

kesehatan, dan nyeri). Sedangkan dari segi ekonomi, biaya terkait konsekuensi

inkontinensia urin diperkirakan mencapai $16.3 miliar per tahun. Sedangkan


19

untuk biaya perawatannya, jumlah yang dibutuhkan berkisar antara $860

sampai $960 per bulan (Doughlity, 2016)

Menurut Booker (2019), inkontinensia urin memiliki beberapa dampak,

di antaranya:

a. Perubahan pada kesejahteraan emosi, sosial, fisik, dan ekonomi

individu yang mengalami inkontinensia urin

b. Ketakutan akan kehilangan kontrol yang disaksikan oleh orang

lain menyebabkan pasien membatasi aktivitas sosial dan

kemasyarakatan.

c. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan suatu rentang

emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan perasaan

tidak berdaya.

Adapun menurut Continence Essential Guide (2019), dampak

inkontinensia urin yaitu jatuh, depresi, luka dekubitus, masalah bowel,

infeksi kulit, isolasi, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan perhatian

institusi kesehatan.

2.2.4. Cara Pengukuran Inkontinesia Urin

Pengukuran Inkontinesia urin mengunaka International Consultation on

Incontinence Questionnaire Urinary Incontinence Short Form (ICIQ-UI Short form)

dikonsumsi. Bagian kedua untuk mengukur derajat inkontinensia urin

menggunakan kuesioner International Consultation on Incontinence

Questionnaire Urinary Incontinence Short Form (ICIQ-UI SF). 0 = apa bila


20

tidak pernah, 1 = jarang, 2 = kadang – kadang, 3 = sering, 4 = selalu, 5 = setiap

waktu.

2.3 Depresi

2.3.1 Definisi Depresi

Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan

(afektif, mood) yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan,

kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat, dan merasa tidak berdaya,

perasaan bersalah atau berdosa, tidak berguna dan putus asa (Yosep, 2017).

Menurut Hawari (2001) depresi merupakan gangguan alam perasaan (mood)

yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan

berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami

gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik),

kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian) perilaku dapat

terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Sedangkan menurut Nugroho

(2015) depresi itu adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan

dengan suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditunjukkan pada diri

sendiri atau perasaan marah yang dalam.

2.3.2 Gejala Depresi


21

Menurut PPDGJ III gejala depresi di bedakan menjadi 2 yaitu gejala utama

dan gejala lainnya. Gejala utama dapat ditemukan afek depresi.

kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi dalam

meningkatkan keadaan, rasa mudah lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja,

dan menurunnya aktivitas. Sedangkan gejala lainnya ditandai dengan

konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri rendah, merasa bersalah dan

tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesemistis, perbuatan

membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan

berkurang.

Menurut Stanley dan Beare (2016) gejala-gejala depresi, yang tetap

sama selama rentang kehidupan, dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama,

sering disebut dengan triad depresif yaitu:

a. Gangguan alam perasaan pervasive

Diantaranya adalah adanya kesedihan, kehilangan semangat, menangis,

ansietas, serangan panik, murung, iritabilitas, pernyataan merasa sedih,

tertekan, rendah atau susah dan paranoid.

b. Gangguan persepsi diri, lingkungan dan masa depan

Menarik diri dari aktivitas biasa, penurunan gairah seks,

ketidakmampuan mengekspresikan kesenangan, perasaan tidak

berharga, ketakutan yang tidak beralasan, pendekatan diri kembali pada

kegagalan kecil, delusi, halusinasikritik yang ditujukan pada diri sendiri

dan orang lain.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi


22

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi seseorang adalah:

1. Status ekonomi dan dukungan sosial

Banyak usia lanjut yang menghadapi berbagai stressor, seringkali

kumulatif, yang dapat mencetuskan depresi. Stressor-stressor tersebut dapat

berupa stressor ekonomi, sosial, fisik, emosional dan kehilangan aktivitas.

Teori sosiologis mengemukakan bahwa stressor-stressor dan kehilangan

tersebut dapat bergabung menghasilkan kehilangan status peran dan sistem

pendukung sosial, suatu pandangan yang diperkuat dengan kerugian, sikap

terhadap penuaan dari masyarakat. Perubahan-perubahan ini dapat

menyebabkan kehilangan makna dan tujuan hidup sehingga menyebabkan

depresi (Stanley&Beare, 2016)

2. Penyakit fisik

Berbagai penyakit fisik yang sering terjadi pada usia lanjut dapat

menyebabkan gejala-gejala depresi. Hal tersebut mencakup gangguan

metabolik, gangguan endokrin, penyakit neurologis, kanker, infeksi virus

dan bakteri, gangguan muskuloskeletal, gangguan gastrointestinal,

gangguan genitourinaria, penyakit vaskuler kolagen dan anemia. Penyakit

fisik juga dapat memicu depresi karena dapat menyebabkan nyeri kronis,

disabilitas dan kehilangan fungsi, penurunan harga diri, peningkatan

ketergantungan atau menyebabkan ketakutan terhadap nyeri atau kematian

(Stanley&Beare, 2016).

3. Inkontinensia urin
23

Untuk usia lanjut, inkontinensia mungkin hanya merupakan gangguan pada

waktu-waktu tertentu atau yang lebih signifikan adalah yang menyebabkan

terjadinya depresi dan isolasi sosial (Stanley dan Beare, 2016)

4. Jenis kelamin

Depresi lebih sering terjadi pada wanita. Ada dugaan bahwa wanita lebih

sering mencari pengobatan sehingga depresi lebih sering terdiagnosis. Dan

menyatakan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan

dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah dibandingkan pria.

Adanya, depresi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormon pada

wanita menambah prevalensi depresi pada wanita (Amir, 2015)

5. Status perkawinan

Gangguan depresi mayor lebih sering dialami individu yang bercerai atau

berpisah bila dibandingkan dengan yang menikah atau lajang. Status

perceraian menempatkan seseorang pada risiko yang lebih tinggi untuk

menderita depresi, hal ini juga dapat terjadi sebaliknya yaitu depresi

menempatkan seseorang pada risiko perceraian. Depresi juga lebih sering

pada orang yang tinggal sendiri dibandingkan dengan yang tinggal bersama

kerabat lain (Amir, 2015).

6. Geografis

Di Negara maju, depresi lebih sering terjadi pada wanita. Penduduk kota

lebih sering menderita depresi dibandingkan dengan yang di desa. Depresi

lebih tinggi dalam institusi perawatan dibandingkan di dalam masyarakat.

Sekitar 10%-15% penderita dalam perawatan akut menderita depresi


24

mayor dan 20%-30% menderita depresi minor. Depresi di pusat kesehatan

masyarakat lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum (Amir,

2015)

7. Kepribadian

Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas,

hipersensitif dan lebih bergantung pada orang lain lebih rentah terhadap

depresi (Amir, 2005). Seseorang yang sehat jiwanya bisa saja jatuh dalam

depresi apabila yang bersangkutan tidak mampu menanggulangi stressor

psikososial yang dialaminya. Selain itu ada juga orang yang lebih rentan

(vulnerable) jatuh dalam keadaan depresi dibandingkan dengan orang lain.

Orang yang lebih rentan ini biasanya mempunyai corak kepribadian

depresif (Amir, 2015)

8. Usia

Depresi meningkat secara drastis diantar lansia yang berada diinstitusi,

sekitar 50%-70% penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala

depresi ringan sampai sedang (Stanley&Beare, 2016)

2.3.4 Dampak Depresi

Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan dan

merupakan gangguan psikiatrik yang paling banyak terjadi pada usia lanjut.

Tetapi hampir 80% penderita depresi serius berhasil diobati dan kembali sehat.

Depresi dapat menguras habis emosi dan finansial seseorang yang terkena juga

pada keluarga dan sistem pendukung sosial informal dan formal yang dimilikinya.
25

Akhirnya angka bunuh diri yang tinggi menjadi konsekuensi yang serius dari

depresi yang tidak ditangani (Stanley&Beare, 2016).

2.3.5. Cara Pengukuran Depresi

Pengukuran Depresi dengan menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS)

Kuesioner ini terdiri dari 15 item pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”.

Kuesioner ketiga untuk mengukur tingkat depresi digunakan kuesioner

Geriatric Depression Scale (GDS) bentuk singkat oleh Brink dan Yesavage

(1983). Kuesioner GDS terdiri dari 16 pertanyaan, 11 pertanyaan dengan

pernyataan positif dan 5 pertanyan dengan pernyataan negatif. Pernyataan positif

pada nomor 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 13, 15, 16, yang akan diberi skor 1 apabila

menjawab“ Ya” dan untuk jawaban “tidak” diberi skor 0. Sedangkan untuk 5

pertanyaan dengan pernyataan negatif pada nomor 1, 6, 8, 12, dan 14, untuk

setiap jawaban “ tidak” diberi skor 1, untuk skor jawaban “Ya” diberi skor 0.

Untuk jumlah Skor 0-4 dikatakan normal, untuk jumlah skor 5-8 dikatakan

ringan, untuk jumlah skor 9-11 dikatakan sedang, dan untuk jumlah skor 12-15

dikatakan berat. Instrumen ini diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini menjelaskan variabel-variabel yang

akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Pada skema

kerangka konsep dapat dilihat bahwa sampel dalam penelitian ini adalah

Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti

Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019.

Variabel Independent (X) Variabel Dependent (Y)


26

Inkontinensia Urin Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut


Di Panti Jompo Harapan Jaya
Medan Marelan

Keterangan :

X = Variabel Independen (Inkontinensia Urin )


Y = Variabel Dependen (Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo
Harapan Jaya Medan Marelan)
= Menyatakan hubungan antara variabel Independen dan Dependen

2.5. Hipotesis

Hipotesa berasal dari kata hipo (lemah) dan tesis (pertanyaan), yaitu suatu

pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan

apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak, berdasarkan fakta atau data

empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian(Hidayat, 2018)

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan hipotesisnya yaitu

Ha = Ada Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Usia

Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019 .

H0 = Tidak Ada Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada

Usia Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun 2019 .
27

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Salah satu bentuk statistik yang digunakan untuk mencari hubungan dua

variabel atau lebih dilakukan secara kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan

bertujuan untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat

(Hidayat, 2015).

Jenis penelitian menggunakan deskriptif korelasional guna mengetahui

hubungan variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).

Jenis penelitian bertujuan untuk mengetahui “Hubungan Inkontinensia Urin

Dengan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan

Marelan Tahun 2019 ”


28

3.1.2 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan desain crosssectional. Menurut

Notoatmodjo (2015) crosssectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point

time approach).

Rancangan crosssectional merupakan penelitian dengan melakukan

pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan ( sekali waktu)

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
27
penelitian. Variabel dapat di bedakan atas yang kuantitatif dan kualitatif. Contoh

variabel kuantitatif misalnya luas kota, umur, banyaknya jam dalam sehari,dan

sebagainya. Contoh variabel kualitatif misalnya kemakmuran kepandaian

(Arikunto, 2018).

Penelitian ini menggunakan variabel yaitu suatu variabel bebas (variabel

independent) atau variabel x dan satu variabel terikat (variabel dependent) atau

variabel Y. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Inkontinensia Urin

sedangkan variabel terikat adalah Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti

Jompo Harapan Jaya Medan Marelan”

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan.

Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah adanya masalah yaitu
29

Adanya kasus tentang Inkontinensia Urin pada lansia, Responden yang cukup.

Belum ada pernah meneliti tentang Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat

Depresi Pada Usia Lanjut Di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan Tahun

2019 .

3.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan Desember 2019 sampai Januari

2020 yaitu dimulai dari pengajuan judul sampai dengan selesai penelitian.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang meliputi semua elemen

yang ada dalam wilayah penelitian (Arikunto,2012). Populasi adalah keseluruhan

objek penelitian yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian

ini adalah semua lansia di Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan dengan

jumlah populasi 45 orang.

3.3.2. Sampel Penelitian

Menurut Sugiyono (2016), definisi sampel yaitu bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.” Pengukuran sampel

merupakan suatu langkah untuk menentukan besarnya sampel yang diambil dalam

melaksanakan suatu penelitian. Selain itu juga diperhatikan bahwa sampel yang

dipilih harus menunjukkan segala karakteristik populasi sehingga tercermin dalam

sampel yang dipilih, dengan kata lain sampel harus dapat menggambarkan

keadaan populasi yang sebenarnya atau mewakili (representatif).


30

Pengambilan sampel yaitu menggunakan Non Probability cara penentuan

sampel dengan Total Sampling dimana seluruh populasi adalah sampel dari

penelitian sampel dalam penelitian ini sebayak 45 lansia yang berada di panti

jompo harapan jaya medan .

3.4. Definisi Operasional Penelitian

Defenisi operasional adalah uraian tentang batas variable yang dimaksud,

atau tentang apa yang diukur oleh variable yang bersangkutan (Notoadmodjo,

2015).

Tabel 3.1.

Defenisi Operasional

Variabel Defenisi
Independen operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

Inkontinensia Inkontinensia Kuesioner 1. Rendah = 1- ordinal


urin urin adalah 10
pengeluaran urin 2. Sedang = 11-
tanpa disadari pada 20
lansia 3. Berat = 21-
30
Variabel Definisi
dependen operasional Alat ukur Hasil ukur Skala
Tingkat Depresi adalah Kuesioner 1. Tidak ada Ordinal
depresi suasana hati yang Depresi = 0-4
buruk dalam kurun 2. Depresi ringan
waktu tertentu, = 5-8
pada lansia yang 3. Depresi
mengalami sedang 9-11
inkontensia urin 4. Depresi Berat
12-16

3.5. Etika Penelitian


31

Adapun etika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Informed Concent (Lembar Persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden. Penelitian menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang mungkin

terjadi sebelum dan sesudah meneliti. Jika responden bersedia maka mereka

diminta untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika mereka

menolak, maka penelitian tidak akan memaksa dan akan tetap menghargai

hak-haknya.

b. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasian data, peneliti tidak mencantumkan namanya pada

lembar pengumpulan data, tetapi cukup memberikan kode pada masing-

masing

c. Confidentiality (Kerahasian)

Kerahasian data akan dijaga oleh penelitian, hanya sekelompok data saja

yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian (Hidayat,2015).

3.6. Teknik Pengumpulan Data dan Instrument Penelitian

3.6.1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden

(data primer). Data diukur menggunakan alat ukur kuesioner dengan

menggunakan kategori (Hidayat, 2018).

Proses pengumpulan data dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:


32

1. Peneliti terlebih dahulu mengurus surat izin penelitian dari institusi

pendidikan.

2. Setelah mendapat surat izin penelitian dari institusi pendidikan, peneliti

mengajukan surat izin penelitian kepada Kepala Panti Jompo Harapan Jaya

Medan Marelan

3. Setelah Kepala Sekolah Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan

memberi surat balasan dan izin penelitian, peneliti mengadakan pendekatan

kepada responden sehingga peneliti memperoleh data primer.

4. Apabila calon responden bersedia menjadi responden, maka peneliti akan

meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi

responden.

5. Kemudian peneliti mengajukan pernyataan yang sesuai dengan kuesioner

kepada responden dan peneliti yang menceklist jawaban responden di

lembar kuesioner.

6. Setelah selesai mengisi kuesioner, peneliti mengecek kembali kelengkapan

lembar kuesioner tersebut. Apabila ada jawaban yang kurang lengkap,

peneliti mengajukan pernyataan lagi dan melengkapinya kembali.

7. Kemudian peneliti mengolah data terlebih dahulu kemudian melakukan

analisa data.

3.6.2 Instrument Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan jenis

kuesioner tertutup dimana responden tinggal memilih alternative jawaban

yang telah disediakan sesuai dengan petunjuk dengan tujuan supaya lebih
33

mudah mengarahkan jawaban responden dan lebih mudah diolah Instrumen

dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner (Notoatmodjo, 2010).

3.7. Uji Instrument Penelitian

3.7.1. Uji Validitas dan Rehabilitas

Dalam penelitian ini tidak perlu dilakukan uji validitas dan reabilitas

karena sudah pernah ada peneliti yang meneliti tentang Hubungan

Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut (Melina Br.

Gultom, 2016) dan sudah melakukan uji validitas isi (content validity index)

dalam versi Bahasa Indonesia dari instrumen penelitian Geriatric Depression

Scale (GDS) dan International Consultation on Incontinence Questionnaire

Urinary Incontinence Short Form (ICIQ-UI SF). sedangkan Reliabilitas adalah

sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat

pengumpulan data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2015).

Pengujian reliabilitas instrument inkontinensia urin dan tingkat depresi telah

dilakukan peneliti di Yayasan Sosial Karya Kasih Medan pada bulan April

2017 terhadap usia lanjut yang mempunyai karakteristik yang sama dengan

responden penelitian sebanyak 20 orang.

Uji reliabilitas instrumen inkontinensia urin menggunakan analisa

Cronbach’s Alpha dengan nilai α = 0,799 dimana α > 0,7 artinya reliabilitas

mencukupi (sufficient reliability). Uji reliabilitas instrument tingkat depresi

menggunakan rumus KR-21(Kuder & Richard, 2015)

3.8. Teknik Pengelolahan dan Teknik Analisa Data

3.8.1. Teknik Pengelolaan


34

Menurut Arikunto (2013) teknik pengolahan data dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Proses Editing ( proses pengeditan)

Dilakukan pengecekan data yang dikumpulkan. Pada proses editing ini

peneliti kelengkapan jawaban pada saat intervieu tes untuk memastikan

memeriksa bahwa semua pertanyaan dijawab oleh responden. Bila terdapat

kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data diperbaiki dan dilakukan

pendataan ulang terhadap responden.

b. Proses coding (pemberian kode)

data yang telah diteliti dirubah dalam bentuk angka (kode). Nama responden

dirubah menjadi kode responden 0,1, 02, 03,........ 10.

c. Proses scoring (pemberian skor)

Penelitian memberikan skor / nilai terhadap jawaban yang telah diberikan

respon sesuai dengan aspek pengukuran yang telah ditentukan.

d. Proses tabulating (tabulasi)

Untuk mempermudah analisa data dan pengolahan data serta pengambilan

kesimpulan, data dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi.

3.9 Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk menunjang pembuktian hipotesa, dengan

menggunakan :

1. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran identitas

responden meliputi : jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan terakhir,


35

agama, suku, Inkontinensia Urin dan Tingkat Depresi Pada Usia Lanjut Di

Panti Jompo Harapan Jaya Medan Marelan.

2. Analisa Bivariate

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan setiap variabel

independen dengan variabel dependen. Uji statistik dalam penelitian ini,

digunakan rumus chi square (kai kuadrat) untuk mengestimasi atau

mengevaluasi frekuensi yang diselidiki memiliki hubungan yang signifikan

atau tidak, dengan derajat kepercayaan 95%.

Uji kemaknaan digunakan batas kemaknaan sebesar 5% (0,05) :

a. Nilai P value < 0,05, maka Ha diterima yang artinya data sampel

mendukung adanya perbedaan bermakna (signifikan).

b. Nilai P value > 0,05, maka Ho ditolak yang artinya data sampel tidak

mendukung adanya perbedaan bermakna (tidak signifikan).


36

DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, (2015), Beberapa penyakit dan Kelainan alat reproduksi wanita


menjelang usia senja. Dalam : Pramono N, dkk. Simposium kesehatan
Wanita menjelang usia senja. BP Undip Semarang 1999.

Henderson, (2018). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Dalam


: Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta :FK UI. 2007;pp: 1392-95

Khoiriyah, (2018), Permasalahan pada menopause, Dalam : Kristatnto,dkk,


Peran keluarga dalam kesinambungan kesehatan menopause, Semarang
2009

Martin, (2014), Inkontinensia Urin pada Perempuan, Majalah Kedokteran


Indonesia,Volume:58,No:7,Juli 2018;Hal 258-64

Panita et al, (2018), Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup manusia,


Disampaikan pada

Pidato Guru Besar bagian Obstetri dan Ginekologi FK. Undip, Semarang,1998

Potter&Perry, (2015). Wanita dalam berbagai masa kehidupan, Dalam :


Wiknjosastro H (ed). Ilmu kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, Jakarta.2010; 5 : 125-28

Setiati, (2018). Perubahan tubuh menjelang menopause dan gejala serta tanda
yang menyertainya Dalam : pakasi LS (ed). Menopause masalah dan
penanggulangannya, FK-UI.2006; 1-19.

Soejoenoes,( 2018). Masalah Inkontinensia Urin pada Pasien Usia Lanjut dan
Penatalaksanaannya. Dalam: Markum HMS, Hardjodisastro D, Sudoyo
AW, dkk.Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyakit Dalam. FKUI,
Jakarta.1996: 139-49

Stanley&Beare,( 2016), Gambaran Inkontinensia Urin Pada Wanita Gemuk di


RSU.
37

Prof.Dr.R.D Kandou Manado, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas


Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.2009

Lampiran 1
INFORMED CONSENT

Perihal : Pemberian Informasi dan Persetujuan


Lampiran : 1 (satu ) lembar
Dengan hormat,

Nama Saya : Sri Masita


Nim : 1814201142

Mahasiswa program Ilmu Keperawatan STIKes Rumah Sakit Haji Medan,


yang akan melaksanakan penelitian dengan judul Hubungan inkontinensia urin
dengan tingkat depresi pada usia lanjut di panti jompo harapan jaya medan
marelan tahun 2019. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
program Ilmu Keperawatan STIKes Rumah Sakit Haji Medan judul Penelitian
Hubungan inkontinensia urin dengan tingkat depresi pada usia lanjut di panti
jompo harapan jaya medan marelan tahun 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data tentang Hubungan
inkontinensia urin dengan tingkat depresi pada usia lanjut di panti jompo harapan
jaya medan marelan tahun 2019
Agar terlaksananya penelitian ini saya mohon agar ibu sekalian, akan saya
ikut sertakan sebagai sukarelawan penelitian ini, berdasarkan pertimbangan
sebelumnya, khususnya pada lansia. Karena salah satu maksud penelitian ini
adalah menemukan karakteristik inkontensia pada lansia akan kami wawancarai
dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun oleh peneliti.
Setelah memahami berbagai hal yang menyakut penelitian, diharapkan ibu
akan menjadi sukarelawan pada penelitian ini, dapat mengisi lembar persetujuan
turut serta dalam penelitian yang telah disiapkan.
Atas bantuan bapak/ ibu dan kerja samanya saya mengucapkan banyak terima
kasih

Medan , 2020
Hormat saya

(Sri Masita)
38

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)


(INFORM CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama :
Umur :
Alamat :
Telp/HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang Penelitian “Hubungan


inkontinensia urin dengan tingkat depresi pada usia lanjut di panti jompo harapan
jaya medan marelan tahun 2019” maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa
paksaan menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan,..................2020

( )
39

Lampiran 4

LEMBAR KONSUL

Judul : Hubungan inkontinesia urin dengan tingkat depresi pada usia lanjut di
panti jompo depresi pada usia lanjut di panti jompo harapan jaya
medan marelan tahun 2019
Nama : Sri Masita
Nim : 1814201142
Prodi : Ilmu Keperawatan
Institusi : Stikes RS Haji Medan

No Hari/Tanggal Materi Saran Paraf

1 Senin/05 Konsul judul Perbaikin judul


November penenlitian penelitian
2019

2 Sabtu/09 ACC judul penelitian Buat bab 1, 2, dan


November 3
2019

3 Jumaat / 6 Konsul bab 1 , 2,dan 3 Perbaikai bab 1,2,


Desember dan 3 sekal;ian
2019 lanjut kuesioner

Sabtu / 7
4 Januari 2019 Acc bab 1, 2, dan 3 Perbaikan
kuesioner

5. Jumaat/ 27 Acc bab 1,2, 3 dan Lanjut ujian


Desember kuesioner
2019
40

Dosen Pembimbing

Yulis Hati, S.Kep, Ns, M.Kep

Anda mungkin juga menyukai