Anda di halaman 1dari 139

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK (PRUDENT

BANKING PRINCIPLE) DALAM MENERBITKAN LETTER OF CREDIT


DITINJAU DARI UU NO. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

OLEH

ARIMANSYAH
140200050

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK (PRUDENT
BANKING PRINCIPLE) DALAM MENERBITKAN LETTER OF CREDIT
DITINJAU DARI UU NO. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ARIMANSYAH

NIM : 140200050

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui/ Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH


NIP : 1956003291986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum
NIP : 1956003291986011001 NIP : 197302202002121001

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK (PRUDENT


BANKING PRINCIPLE) DALAM MENERBITKAN LETTER OF CREDIT
DITINJAU DARI UU NO. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN
Arimansyah
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H **)
Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum ***)

Seiring berkembang pesatnya perdagangan yang dilakukan antar negara,


Letter of Credit (L/C) menjadi salah satu pilihan dalam mengatasi sistem
pembayaran yang dilakukan oleh para pihak. Hal ini juga harus dibarengi dengan
sikap antisipatif, oleh karenanya banyak juga pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab dengan memanfaatkan peluang tersebut sebagai sarana untuk mendapatkan
keuntungan dengan jalan yang tidak sepatutnya yang juga merugikan banyak
pihak lainnya. Bank sebagai pemeran penting dalam pelaksanaan L/C tersebut
haruslah menjaga agar dapat berjalan dengan baik. Kunci utama ialah dengan
selalu berpedoman pada prinsip kehati-hatian bank (prudent banking principle).
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tentunya menjadi dasar dalam
penerapan prinsip itu.Berdasarkan hal tersebut diatas, terdapat 3 (tiga) yang
menjadi permasalahan skripsi ini. Pertama, bagaimana peranan bank dalam
menerbitkan L/C? Kedua, bagaimana mekanisme penerbitan L/C oleh bank?
Ketiga, bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian pada bank (prudent banking
principle) dalam menerbitkan L/C ditinjau dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan?
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitiaan
hukum yuridis normatif, dengan teknik pengumpulan data secara studi
kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum skunder, serta
bahan hukum tersier, kemudian data dianalisis dengan metode analisis yuridis
normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama penyebab terjadinya
sengketa dalam penanganan L/C adalah tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian
pada bank (prudent banking principle) dengan adanya kelalaian yang dilakukan
oleh bank dalam melaksanakan tahapan-tahapan pelaksanaan L/C, baik karena
prosedur atau SOP yang ada dikesampingkan maupun penyimpangan dariUniform
Custom and Practice for Documentary Credits (UCP), Peraturan Bank Indonesia
(PBI), peraturan internal bank, kebiasaan-kebiasaan internasional, serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan lainnya.Disamping itu juga perlunya
pengawasan yang lebih ketat baik dari eksternal maupun internal dalam upaya
antisipastif adanya itikad buruk dari pihak manapun. Disanalah terlihat adanya
kekurangan dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan maupun peraturan
pelaksananya yang masih memberikan celah bagi pihak-pihak yang mempunyai
niat jahat dengan menggunakan modus yang dinamakan L/C fiktif.

Kata Kunci : Letter of Credit (L/C), Prinsip Kehati-hatian, Perbankan

**)
Dosen Pembimbing I
***)
Dosen Pembimbing II

i
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan curahan

rahmatnya, kesempatan dan serta kekuatan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan

dengan tepat waktu. Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan

studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan

mendapatkan gelar Sarjana Hukum.

Adapun skripsi ini diberi judul “PENERAPAN PRINSIP KEHATI-

HATIAN PADA BANK (PRUDENT BANKING PRINCIPLE) DALAM

MENERBITKAN LETTER OF CREDIT DITINJAU DARI UU NO. 10

TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan

penghargaan kepada banyak orang yang berperan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini atas adanya bantuan,

bimbingan, serta motivasi dari mereka. Oleh karena itu penulis ingin

menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan

Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

ii
Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Ketua

Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Dosen

Pembimbing I yang banyak membantu saya baik dalam bentuk

masukan, arahan-arahan, serta bimbingannya didalam pelaksanaan

penulisan skripsi ini.

7. Ibu Tri Murti Lubis, SH., MH, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang membantu saya berdiskusi

sehingga saya mendapatkan judul skripsi ini.

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat,

dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

9. Bapak Amsali Sembiring, SH., M.Hum, selaku Dosen Penasehat

Akademik saya selama mengikuti masa perkuliahan.

10. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang penuh dedikasi menuntun dan membimbing saya selama

mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada keluarga saya Jose Rizal, Ir. Iskandarini, MM.,

PhD,Syahrul Akbar, SP, Dr. Sri Maryuni Soetadi, Sp.PD,KGEH

atas doa, perhatian, dan dukungan yang diberikan sehingga menjadi

semangat dan inspirasi tiada henti.

iii
Universitas Sumatera Utara
12. Kepada sahabat saya Sayid Harris Firza, Fauzan Akbar Lubis,

Iman Hidayat, Arif Pasaribu, Reza A.F Lubis, DT. Ananda

Farkhie, Indira Syafira, Avissa Novali, Essy Dwi Rahma, Desy

Putri Dira yang selalu memberikan semangat kepada saya.

13. Kepada seluruh rekan organisasi saya di JAPNAS, HIPMI, JCI, dan

IMAHMI yang banyak memberikan pengalaman yang berharga bagi

saya.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca serta juga bagi penulis sendiri. Walaupun penulis menyadari skripsi ini

masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyajian materi maupun

penyampaiannya. Untuk itu penulis tetap menerima masukan dalam bentuk kritik

dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Demikianlah yang dapat penulis

sampaikan, atas segala kekurangan dan kesalahan saya mohon maaf. Atas

perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2017

Penulis

Arimansyah

iv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................. 1

B. Permasalahan ..................................................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................... 9

D. Keaslian Penulisan ............................................................ 11

E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 13

F. Metode Penelitian .............................................................. 19

G. Sistematika Penulisan ........................................................ 22

BAB II PERANAN BANK DALAM MENERBITKAN LETTER OF

CREDIT (L/C)

A. Kelembagaan Perbankan ................................................... 24

1. Pengertian Dan Asas-Asas Dalam Perbankan .............. 24

2. Tujuan Dan Fungsi Perbankan ..................................... 29

B. Kredit Perbankan ............................................................... 32

1. Pengertian Kredit .......................................................... 32

2. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit ................................. 35

C. Letter of Credit (L/C) ........................................................ c 40

v
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Letter of Credit ........................................... 40

2. Uniform Custom and Practice for Documentary

Credit

(UCP) Sebagai Dasar Pengaturan Letter ofCredit ....... 42

3. Keuntungan dan Kerugian Letter of Credit .................. 45

D. Jenis-jenis Letter of Credit ................................................ 49

E. Bank Yang Dapat Melakukan Transaksi Letter of Credit . 59

F. Peranan Bank Indonesia Dalam Mendukung Transaksi

L/C ..................................................................................... 64

BAB IIIMEKANISME PENERBITAN LETTER OF CREDIT (L/C) OLEH

BANK

A. Pihak-pihak Yang Terkait Dalam Letter Of Credit ........... 69

B. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Letter of Credit...... 70

1. Hubungan Hukum Pemohon dan Penerima .................. 70

2. Hubungan Hukum Pemohon dan Bank Penerbit .......... 73

3. Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Penerima .......... 76

4. Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Bank Penerus ... 78

5. Hubungan Hukum Bank Penerus dan Penerima........... 82

C. Mekanisme Penerbitan Letter of Credit Oleh Bank .......... 84

1. Tahapan Penerbitan Letter of Credit Oleh Bank .......... 84

2. Tahapan Pembayaran Dan Penyerahan Barang Dalam

L/C ................................................................................ 88

D. Pilihan Hukum dalam Letter of Credit .............................. 91

vi
Universitas Sumatera Utara
E. Pilihan Forum dalam Letter of Credit ······························· 95

BAB IV PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK

(Prudent Banking Principle)DALAM MENERBITKAN L/C

A. Prinsip Kehati-hatian Pada Bank (Prudent Banking

Principle) ........................................................................... 98

1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian .................................. 98

2. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Dalam UU No. 10

Tahun 1998 ................................................................... 102

3. Kehati-hatian Bank Dalam Menerbitkan Letter

of Credit ....................................................................... 106

4. Kehati-hatian Bank Dalam Melakukan Penelitian

Dokumen ...................................................................... 110

B. Sengketa dalam Letter of Kredit Akibat Tidak

Diterapkannya Prinsip Kehati-hatian Pada Bank .............. 115

1. Sengketa Skandal L/C Ekspor Bank BNI .................... 115

2. Sengketa L/C “Bodong” Bank Century ....................... 118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ........................................................................ 122

B. Saran................................................................................... 124

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 127

vii
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan semakin majunya ekonomi suatu negara, maka semakin banyak

kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk kepuasan hidup masyarakat. Barang

kebutuhan itu belum tentu dapat dihasilkan oleh negara itu sendiri dan harus

dibeli dari negara lain. Negara-negara maju menghasilkan barang-barang

teknologi tinggi dan negara-negara berkembang menghasilkan bahan baku,

sehingga masing-masing pihak saling membutuhkan. Akhirnya mereka saling

terikat dalam suatu perdagangan barang karena faktor kebutuhan, dan terjalinlah

hubungan-hubungan antara pengusaha yang satu dengan pengusaha lainnya dari

negara yang berbeda.

Pembayaran yang harus dilakukan dalam hubungan dagang dengan

pengusaha asing di luar negeri biasanya memerlukan campur tangan bank. Salah

satu cara pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dari suatu negara kepada

penjual di negara lain ialah dengan “Letter of Credit” atau pembukaan kredit

berdokumen, melalui bank.1

Letter of Credit yang biasa disingkat dengan (L/C) merupakan salah satu

instrumen pembayaran yang sangat penting dalam perdagangan internasional.

Letter of Credit sangat vital dalam memberikan keyakinan kepada pembeli

(buyer) maupun penjual (seller) dalam melakukan perdagangan internasional

(export-import).

1
Moerdjono dan Jamal Wiwoho, Seri : Hukum Dagang Transaksi Perdagangan Luar
Negeri Documentary Credit & Devisa, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 1.

1
Universitas Sumatera Utara
2

Dengan tersedianya Letter of Credit, Penjual (Seller/Exporter) akan

mendapat keyakinan akan ketersediaan pembayaran atas barang atau jasa yang

diserahkan. Dengan dibukanya Letter of Credit oleh pihak buyer, seller tidak

perlu khawatir mengenai adanya kemungkinan barang dan atau jasa yang

diserahkan tidak (kurang) dibayar, sepanjang klausa (Term and Condition) yang

tercantum di dalam L/C dipenuhi. Keyakinan tersebut diperoleh dengan adanya

penegasan dari pihak bank pembuka L/C bahwa pihak pembeli (buyer) memiliki

kemampuan yang cukup untuk membayar dan dalam hal ini bank pembuka L/C

menjamin akan mendebit rekening pihak pembeli, jika pihak penjual

menyerahkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Bahkan di Indonesia,

penguasaan terhadap sebuah Letter of Credit (L/C), bisa dijadikan dasar

permohonan “Kredit Ekspor (KE)” guna memperoleh dana lebih awal dari bank

devisa, untuk dipergunakan sebagai modal kerja dalam produksi barang yang

difasilitasi oleh Letter of Credit tersebut. Tentu saja pihak bank akan mengenakan

bunga tertentu atas kredit tersebut, yang biasa disebut dengan bunga diskonto. 2

Ada beberapa alasan mengapa L/C dipilih atau digunakan pada

pembayaran ini dikarenakan adanya jaminan yang melibatkan pihak bank sebagai

pihak penjamin. Jaminan yang melindungi kedua belah pihak. Bagi importir

(pembeli/ applicant), jaminan itu berupa kepastian pengambilan barang setelah

memastikan dokumen yang dikirimkan eksportir sesuai dengan persyaratan L/C.

Sedangkan bagi eksportir (penjual/beneficiary), jaminan yang didapat berupa

kepastian pembayaran dari issuing bank, selama dokumen yang dikirimkannya

sesuai dengan syarat L/C. Hal ini dikarenakan adanya faktor ketidakpercayaan

2
Adrian Sutedi, Tinjauan Yuridis Letter Of Credit dan Kredit Sindikasi, (Bandung:
Alfabeta, 2012), hal. iii.

Universitas Sumatera Utara


3

antara eksportir dengan importir. Mungkin karena belum kenal, jangkauan

wilayah yang jauh, bahasa pengantar yang berbeda dan sebagainya. Oleh karena

itulah dipilih L/C karena adanya pihak bank sebagai pihak ketiga yang menjadi

penengah dalam hal ini. Dan dengan L/C pula, dapat diketahui kapan eksportir

harus mengirim pengiriman barang dan kapan importir melakukan pembayaran. 3

Dapatlah dimaklumi, bahwa eksistensi bank dalam kehidupan masyarakat

seperti keuangan, industri, perdagangan, dan lain-lain sangat besar pengaruhnya, 4

khsusnya dalam penanganan L/C.

Di penghujung tahun 1998 telah diundangkan Undang-Undang No. 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (selanjutnya kedua-duanya disebut saja “Undang-Undang Perbankan”).

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengubah/ mengganti/ menambah beberapa

pasal dari Undang-Undang Perbankan yang lama No. 7 Tahun 1992. Sehingga

yang sekarang berlaku adalah bahwa baik undang-undang lama yaitu Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 yaitu terhadap pasal-pasalnya yang belum diubah,

maupun undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.5

Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 yang mengatur tentang

Bank. Adapun Bank dalam Pasal 1 huruf 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang

3
Darwin, “Faktor-Faktor Mengapa L/C Paling Diminati Bagi Eksportir Dan Importir”
dalam http://darwin-arsip.blogspot.co.id/2010/12/faktor-faktor-mengapa-lc-paling.html Minggu 12
Desember 2010, diakses 21 Agustus 2017.
4
Moerdjono dan Jamal Wiwoho, Loc. Cit.
5
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


4

bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

dalam melaksanakan kegiatan usaha.6

Bank mempunyai asas yang sangat penting yang diselalu dijunjung tinggi,

yakni asas kepercayaan (fiduciary), asas kerahasiaan (confidentiality), dan asas

kehati-hatian (prudentiality). Bila asas ini tidak dilaksanakan, maka bank tidak

akan laku dan dijauhi oleh publik.7

Terwujudnya suatu sistem perbankan nasional yang sehat dan stabil itu

memungkinkan dunia perbankan mampu memainkan peranan penting dalam

menunjang pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada peningkatan

kesejahteraan rakyat.

Peran penting yang harus dimainkan oleh dunia perbankan nasional untuk

masa sekarang dan akan datang adalah memposisikan diri sebagai salah satu pilar

utama pembangunan ekonomi nasional, dan mampu menjadi agent of

development dalam mencapai tujuan nasional. Dengan perkataan lain, dunia

perbankan tidak menjadi beban dan hambatan dalam pembangunan ekonomi yang

sedang berusaha untuk dipulihkan setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter

sejak tahun 1997. Berkaitan dengan hal itu, peranan peraturan di bidang

perbankan pun semakin penting.8

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlunya diterapkan prinsip kehati-

hatian pada bank (prudent banking principle). Bank merupakan lembaga

keuangan yang memberi jasa keuangan yang paling lengkap. Usaha keuangan

6
Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), hal. 17. Lebih jelas mengenai definisi perbankan lihat Pasal 1 Huruf 1 UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan.
7
Ibid, hal. 21.
8
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005),
hal. v.

Universitas Sumatera Utara


5

yang dilakukan disamping menyalurkan dana atau memberikan pinjaman (kredit)

juga melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk

simpanan. Kemudian usaha bank lainnya memberikan jasa-jasa keuangan yang

mendukung dan memperlancar kegiatan, memberikan pinjaman dengan kegiatan

menghimpun dana. Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung

kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan

kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan sektor perbankan. Peran sektor

perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat

transmisi kebijakan moneter. Disamping itu, perbankan merupakan alat yang

sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional

maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjaga

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting

dilakukan. Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh resiko, disamping

menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola sangat baik dan

prudent.9Pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal penting guna

mewujudkan system perbankan yang sehat, kuat dan kokoh.

Prinsip Kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau

prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya

wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat

yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun

1998 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa

perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Memang di dalam Pasal 2 UU No. 10

9
T. Darwini, “Urgensi Pengaturan Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle)
Dalam Pengelolaan Bank” Jurnal Equality, Volume 10 No. 2, Agustus 2005, hal. 75.

Universitas Sumatera Utara


6

Tahun 1998 itu tidak diberikan penjelasan secara resmi, namun ada beberapa

pasal lain yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian yakni

Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4) serta Pasal 8, 10, dan 11 UU No. 10 Tahun 1998.10

Terkhusus bank yang mempunyai peran penting dalam transaksi

pembayaran menggunakan L/C sudah kewajibannya harus melaksanakan prinsip

kehati-hatian itu. Persoalan mendasarnya yaitu perbedaan penafsiran terhadap

ketentuan-ketentuan L/C. Uniform Custom and Practice for Documentary

Collection (UCP) yang menjadi dasar pengaturan L/C yang berlaku secara

internasional, mengatakan bahwa bank penerbit atau kuasanya melakukan

pembayaran L/C jika semua dokumen yang dipersyaratkan L/C telah dipenuhi

oleh penerima. UCP tidak mengatur kualitas pemenuhan dimaksud apakah seratus

persen atau boleh kurang dari seratus persen. Konsekuensinya, kadang-kadang

terjadi penundaan pembayaran L/C karena harus ditemukan kesamaan penafsiran

terlebih dahulu di antara para pihak terkait atas ketentuan-ketentuan L/C.

Kesamaan penafsiran terlebih dapat diperoleh dengan merujuk pada pendapat

Internasional Chamber of Commerce (ICC), putusan pengadilan, buku atau artikel

mengenai L/C yang ditulis para penulis termuka.11

Masalah mendasar lainnya dalam pembukaan L/C dengan fasilitas.

Dengan mendapat fasilitas impor dari banknya, importir dimungkinkan

berkewajiban menyetor Marginal Deposit/MD tidak secara full cover, melainkan

hanya 10 atau 20 persen, tergantung klausul perjanjian kredit yang diberikan.

Disini, resiko atas importir diambil alih bank setelah tentu saja melalui tahapan

10
Ibid, hal. 77.
11
Ramlan Ginting (I), Letter Of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Empat, 2000), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


7

analisis kredit.12 Berkaitan dengan itu bank harus memperhatikan prinsip-prinsip

pemberian kredit agar tidak terjadi krisis kredit macet atau yang lazim disebut

sebagai debt crisis.13

Masalah menarik lainnya terjadi penipuan (fraud) dalam transaksi L/C.

Penipuan merupakan alasan hukum bagi bank penerbit (issuing bank) atau

kuasanya untuk menolak melakukan pembayaran L/C kepada penerima walaupun

semua dokumen yang diajukannya kepada bank sesuai dengan persyaratan L/C.14

Penipuan yang biasa terjadi dalam hal pemalsuan dokumen. Dengan kemajuan

tekonologi yang semakin canggih, orang semakin mudah untuk memalsukan

sesuatu meskipun sudah ada pengawasan yang ketat. Tindakan pemalsuan

dokumen ini merupakan suatu tindak pidana dimana dapat mencemarkan nama

baik bank yang menangani pembayaran dengan menggunakan L/C tersebut, sebab

pihak bank lah yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan

L/C. Secara lebih luas, tindakan tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan

pihak asing kepada negara dimana tindak pemalsuan tersebut dilakukan. 15

Walaupun UCP tidak mengatur masalah penipuan (fraud) ini namun Pengadilan

Amerika dan Inggris mengeluarkan penetapan atau putusan sela yang

membenarkan bank penerbit atau bank penerus menolak melakukan pembayaran

L/C hanya jika terdapat penipuan dalam transaksi L/C. 16 Maka dengan itu bank

harus teliti dalam menerbitkan atau pun memeriksa dokumen agar tidak terjadi

demikian.

12
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 43.
13
Gunarto Suhardi, Op. Cit, hal. 9.
14
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.
15
Denny Hernawan, Skripsi Mahasiswa: “Akibat Hukum Dari Penyerahan Dokumen-
Dokumen Palsu Dalam Pembayaran Eskpor Impor Yang Menggunakan L/C (Letter Of Credit)”
(Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 3.
16
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


8

Apabila bank sudah menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana

mestinya dalam penanganan L/C segala resiko yang terjadi atas transaksi tersebut

sudah diluar tanggung jawab bank lagi, atau dapat dikatakan bank tidak dapat

dipertanggung jawabkan. Salah satu putusan pengadilan Singapura telah

membuktikan hal tersebut dalam kasus Gyan Singh& Co. Ltd. vs. Banque de

L‟Indoschine, dalam kasus ini penggugat memesan sebuah new fishing vessel

yang dibangun di Taiwan. Untuk pembayarannya, penggugat menginstruksikan

bank tergugat untuk menerbitkan L/C dengan klausul pembayaran dilakukan atas

penyerahan certificate. Certificate tersebut ditandatangani oleh direktur

perusahaan penggugat sepanjang fishing vessel telah selesai dan sesuai dengan

spesifikasi yang dipersyaratkan serta siap untuk dikapalkan. Setelah pengajuan

dokumen-dokumen yang relevan pembayaran dilakukan kepada penjual. Tetapi,

pada saat pengiriman fishing vessel, pemesan menemukan bahwa fishing vessel

tersebut telah berusia 14 tahun dan penggugat menggugat bank agar

mengembalikan uang penggugat. Pengadilan memutus bahwa sepanjang

pembayaran dilakukan bank sesuai dengan persyaratan L/C, maka bank yang telah

melakukan pembayaran tersebut tidak dapat digugat. 17

Di Indonesia opini publik atas L/C semakin buruk karena ada 2 kasus

besar (yaitu Bank BNI dan Bank Century) yang mempermasalahkan L/C dalam

jumlah dana besar18 akibat tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian, kasus ini

akan dibahas dalam sub bab nanti.

17
Ibid, hal. 67.
18
Rivera Pantro Sukma, “Analisis Discrepancy L/C Dan Cara Penanganannya Untuk
Meningkatkan Pemakaian L/C Pada Perdagangan Internasional” Jurnal Ilmiah Panorama
Nusantara, Edisi IX, Juli-Desember 2010, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara


9

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis menganggap perlu

secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul : Penerapan

Prinsip Kehati-hatian Pada Bank (Prudent Banking Principle) Dalam

Menerbitkan Letter Of Credit Ditinjau Dari UU No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan Bank dalam menerbitkan Letter of Credit (L/C) ?

2. Bagaimana mekanisme penerbitan Letter of Credit (L/C) oleh Bank?

3. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian pada Bank (prudent

banking principle) dalam menerbitkan L/C ditinjau dari UU No. 10

Tahun 1998 tentang Perbankan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam permasalahan diatas, maka yang

menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Tujuan Umum:

Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal

penerapan prinsip kehati-hatian pada Bank (prudent banking principle)

dalam menerbitkan Letter of Credit ditinjau dari UU No. 10 Tahun

1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara


10

b. Tujuan Khusus:

1. Untuk memahami peranan Bank sebagai akses pembiayaan bagi

masyarakat.

2. Untuk mengetahui mekanisme penerbitan Letter of Credit oleh

Bank.

3. Untuk mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian pada Bank

(prudent banking principle) dalam menerbitkan Letter of Credit

ditinjau dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

2. Manfaat Penulisan

Ada salah satu pendapat ahli yaitu Soerjono Soekanto yang mengatakan

bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.

Disamping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum

tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-

permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 19

Untuk mencapai hal tersebut maka penulisan harus memberikan manfaat

bagi pembacanya, adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dalam bidang ilmu

hukum khususnya hukum ekonomi bagi kalangan akademis guna

19
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.18.

Universitas Sumatera Utara


11

mengetahui lebih lanjut tentang penerapan prinsip kehati-hatian pada

Bank (prudent banking principle) dalam menerbitkan Letter of Credit

ditinjau dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

b. Secara Praktis

Tulisan ini secara praktis dapat menjadi bahan masukan bagi para

bankers agar dapat mengurangi sengketa-sengketa yang terjadi dalam

penanganan Letter of Credit oleh Bank serta menambah pengetahuan

dan wawasan khusus bagi penulis dan secara umum bagi masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Beberapa hasil penelitian tentang prinsip kehati-hatian pada bank (prudent

banking principle) telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dilingkungan

Universitas Sumatera Utara dalam skripsi Mahasiwa/I yaitu oleh Christin N

Tobing yang berjudul “Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Pada Bank Mandiri

Ditinjau Dari UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (Studi Pada Bank

Mandiri Area Balai Kota Medan), Restika Capriana yang berjudul “Penerapan

Prinsip Kehati Hatian Dalam Kredit Sindikasi”, Dyna Mindaughter Simamora

yang berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Perjanjian Kredit

Kepemilikan Rumah (Studi PT. Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Medan),

Chairun Nabilla yang berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktifitas

Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun

1995 Tentang Pasar Modal”, Irfan Haryantho yang berjudul “Prinsip Kehati-

hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat”, Unggul Mardiatmo yang berjudul

“Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Penilaian Agunan”, Ika Anggreinie yang

Universitas Sumatera Utara


12

berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian Oleh Bank Umum Dalam Produk

Keuangan Non Konvensional”, Firda Rahimawati yang berjudul “Prinsip Kehati-

hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat”.

Adapun dalam bentuk mastertheses yaituoleh Katharina Melati Siagian

yang berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit (Studi

Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk), M. Yusuf Ismail yang berjudul

“Penerapan Prinsip Kehati-hatian Sebagai Salah Satu Kewajiban Bank (Studi

Pada Bank Aceh Cabang Lhokseumawe), Liza Bayduri Nasution yang berjudul

“Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit Pada PT. Bank Negara

Indonesia Sentra Bisnis Kartu Medan”, Jamaluddin yang berjudul “Prinsip

Kehati-hatian Dalam Penyaluran Kartu Kredit Kepada UMKM Pada Bank BUMN

Berdasarkan Prinsip Business Judgement Rule”.

Dari beberapa skripsi maupun master theses yang diuraikan diatas tidak

satupun yang membahas tentang prinsip kehati-hatian bank dalam menerbitkan

Letter of Credit. Namun, penulis menemukan penelitian dalam bentuk skripsi di

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang ditulis oleh Priskila Gratianinta

dengan judul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian PT CIMB Niaga Tbk Dalam

Pemberian Layanan Dan Pembiayaan Transaksi Ekspor Impor Menggunakan

Letter Of Credit”. Penelitian saudara Priskila Gratianinta tersebut menggunakan

jenis penelitian empiris dengan menganalisis pada prinsip kehati-hatian yang

diterapkan oleh PT. CIMB Niaga Tbk sedangkan pada penelitian ini penulis

menggunakan jenis penelitian normatif dengan mengkaji UU No. 10 Tahun 1998

tentang Perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian yang diterapkan

dalam penerbitan Letter of Credit selain itu rumusan permasalahan dan subtansi

Universitas Sumatera Utara


13

skripsi tersebut berbeda jauh dengan permasalahan dan substansi skripsi yang

penulis teliti.

Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah

tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kerjasama sebelum skripsi ini dibuat,

maka hal tersebut dapat diminta pertanggung jawaban dikemudian hari.

E. Tinjauan Pustaka

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Penerapan Prinsip

Kehati-hatian Pada Bank (Prudent Banking Principle) Dalam Menerbitkan

Letter Of Credit Ditinjau Dari UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan”,

maka sebelum diuraikan lebih lanjut terlebih dahulu penulis akan memberikan

penjelasan tentang judul dengan maksud untuk menghindarkan dari

kesalahpahaman dan memberikan batasan yang jelas.

1. Pengertian Perbankan

Apabila kita menelusuri sejarah dari terminologi “bank” maka kita akan

ketemukan bahwa kata bank berasal dari Bahasa Italy “banca” yang berarti bence

yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir

Italy yang memberikan pinjaman-pijaman melakukan usahanya tersebut dengan

duduk di bangku-bangku di halaman pasar.

Dalam perkembangan dewasa ini, maka istilah bank dimaksudkan sebagai

suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup

beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang,

Universitas Sumatera Utara


14

mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat

penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan.20

Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan hukum

perbankan (Banking Law). Yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam

bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain

sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan

aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank,

perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para

pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan

dunia perbankan tersebut.

Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan

adalah sebagai berikut :

1. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektivan, kesehatan

bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga

perbankan, hubungan, hak dan kewajiban bank;

2. Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan

karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum

pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, koperasi atau

perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik

pemerintah, swasta, patungan dengan asing, atau bank asing.

3. Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur

perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti

20
Munir Fuadi, Op. Cit, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


15

pencegahan persaingan yang tidak sehat, antitrust, perlindungan

nasabah, dan lain-lain.

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan

dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter,

Bank Sentralm dan lain-lain

5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak

dicapai oleh bisnisnya bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi,

insentif, pengawasan, prudent banking, dan lain-lain.21

Di dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan memberikan definisi

tentang Perbankan pada Pasal 1 angka 1 yang mengatakan :

“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya”.22

Sedangkan pada angka 2 memberikan definisi tentang bank yang

mengatakan :

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit

dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak”.23

2. Letter of Credit (L/C)

Letter of Credit sebagai metode pembayaran perdagangan internasional

merupakan produk perbankan internasional. Setiap bank, dalam hal ini bank

21
Ibid, hal. 14.
22
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
23
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


16

komersial (commercial bank) dapat menerbitkan dan melakukan pembayaran

Letter of Credit. Di Indonesia, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. Bank yang dapat melakukan transaksi Letter of Credit adalah

Bank Umum yang telah diberi izin oleh Bank Indonesia untuk melakukan

kegiatan devisa. Bank Umum yang demikian disebut juga bank devisa.

Sebaliknya, Bank Umum yang belum diberi izin untuk melakukan kegiatan devisa

tidak dapat melakukan penerbitan atau pembayaran Letter of Credit. Bank Umum

yang seperti ini disebut juga bank non-devisa. Sementara, Bank Perkreditan

Rakyat dilarang melakukan transaksi Letter of Credit.24Mengenai definisi dari

Letter of Credit ini banyak penulis (yang dapat kita baca di dalam literatur) telah

membuatnya antara lain :

JT. Sianipar SE memberi definisi tentang L/C sebagai berikut : Letter of

Credit (L/C) adalah suatu persetujuan atau surat perintah untuk membayarkan

uang dari seorang kepada orang lain dengan syarat. Biasanya surat perintah

membayar ini datangnya dari pembeli untuk penjual.

Kartono SH, mengatakan L/C adalah suatu alat atau surat, yang

dikeluarkan oleh suatu bank, atas permintaan dan atas beban si pembeli. Dengan

L/C itu bank tersebut menyetujui, bahwa wesel-wesel si penjual dapat menarik

atas bank itu atau bank lainnya, yang ditunjuk dalam L/C, dan bahwa wesel-wesel

tersebut, jika memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam L/C-nya akan

dibayar sebagaimana mestinya dengan akseptasi dan/ atau pembayaran yang

terakhir ini bergantung kepada jenis-jenis wesel yang ditentukan dalam L/C yaitu

24
Ramlan Ginting (II), Metode Pembayaran Perdagangan Internasional, (Jakarta:
Universitas Trisaksi, 2009), hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


17

apakah wesel-wesel itu adalah “time bills of exchange” atau “bill of exchange

payable on demand”.

Amir MS, Letter of Credit atau biasa disingkat dengan L/C adalah suatu

surat yang dikeluarkan oleh suatu Bank atas permintaan importir langganan Bank

tersebut yang ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi

importir itu, yang memberi hak kepada eksportir itu untuk menarik wesel-wesel

atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebutkan dalam surat itu.

Seterusnya Bank bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir

wesel yang ditarik itu asal saja sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum

dalam surat itu.25

Sedangkan Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP)

memberi definisi mengenai L/C pada article 2 UCP 600 yang berisi:

Letter of Credit berarti setiap janji, bagaimanapun dimanakan atau

diuraikan, yang bersifat irrevocable dan karenanya merupakan janji pasti dari

issuing bank untuk membayar presentasi yang sesuai, membayar/honour berarti:

a) Membayar atas unjuk jika kredit tersedia dengan pembayaran atas unjuk.

b) Menanggung janji pembayaran yang ditangguhkan dan membayar pada

saat jatuh tempo jika kredit tersedia dengan pembayaran yang

ditangguhkan.

c) Mengaksep Bill of Exchange (draft) yang ditarik oleh baneficiary dan

membayar pada saat jatuh tempo, jika kredit tersedia dengan akseptasi. 26

3. Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle)

25
Hartono Hadisoeprapto, Op. Cit, hal. 25.
26
Article 2, Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP 500) yang sudah
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


18

Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau

prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya dan kegiatan

usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana

masyarakat yang dipercayakan padanya. 27 Hal ini jelas di disebutkan dalam UU

No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan pada Pasal 2, yang mengatakan:

“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi

ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.28

Selain itu, pada Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4) juga menyebutkan:

(2). Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan

dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai

dengan prinsip kehati-hatian.

(3). Bank memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib

menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan

nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

(4). Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi

mengenai kemungkinan timbulnya resiko sehubungan dengan

transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 29

Prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara

baik dan benar dengan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum

27
T. Darwini, Loc. Cit.
28
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
29
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


19

yang berlaku dalam dunia perbankan, agar bank yang bersangkutan selalu dalam

keadaan sehat sehingga masyarakat semakin mempercayainya, yang pada

gilirannya akan mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien, dalam arti

sempit dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang

secara wajar dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena

itu, penjelasan umum Undang-Undang Perbankan mengamanatkan agar prinsip

kehati-hatian tersebut dipegang teguh, dan ketentuan mengenai kegiatan usaha

bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana.30

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi dan legal memorandum harus memenuhi syarat

penulisan ilmiah yaitu obyektif, metodologis, sistematik, dan komunikatif. 31

Untuk mencapai hal tersebut, maka dalam penulisan skripsi ini penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum

yuridis normatif, yaitu penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas

dalam ilmu hukum.32 Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

30
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hal. 19.
31
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012),
hal. 150.
32
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara


20

patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 33 Dalam penelitian ini akan

mengkaji Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan

pelaksananya yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh

bank dalam penerbitan L/C.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu yang

bertujuan menggambarkan secara tepat bagaimana penerapan prinsip kehati-

hatian pada Bank dalam menerbitkan Letter of Credit yang biasanya terjadi dan

yang sepatutnya terjadi dalam suatu peristiwa.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-

undangan (statute aprroach), yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi

atau regulasi. Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu

memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.34

2. Sumber Data

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu

penelitian terhadap data skunder. Data skunder di bidang hukum dipandang dari

sudut kekuatan mengikatnya. 35 Data skunder yang dipakai dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas.36 Terdiri atas:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

33
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 118.
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 137.
35
Suratman dan Philips Dillah, Op. Cit, hal. 66.
36
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal. 181.

Universitas Sumatera Utara


21

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

4) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/ 11/ PBI/ 2003 tentang

Pembayaran Transaksi Impor;

5) Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP

600).

b. Bahan Hukum Skunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.37

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu baham yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedi.38

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah studi kepustakaan, dimana bahan dasar penelitian kepustakaan ini dapat

merupakan bahan/ sumber primer dan bahan/ sumber skunder yang mempunyai

karakteristik dan jenis yang berlainan.39

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini dibahas mengenai penerapan prinsip kehati-hatian

pada bank dalam menerbitkan Letter of Credit dengan menggunakan metode

analisis yuridis normatif, yaitu menekankan pada metode deduktif sebagai

pegangan utama dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang, bahan-bahan

37
Ibid.
38
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit, hal 32.
39
Suratman dan Philips Dillah, Op. Cit, hal. 123.

Universitas Sumatera Utara


22

kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. 40 Adapun tahap-tahap dari

analisis yuridis normatif adalah:

a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data

hukum positif tertulis;

b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum;

c. Pembentukan standar-standar hukum;

d. Perumusan kaidah-kaidah hukum.41

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan

masing-masing bab terbagi lagi atas sub bab yang diuraikan sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab ini berisikan mengenai latar

belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,

tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang peranan bank dalam menerbitkan Letter of

Credit yang mana nantinya akan dimuat mengenai kelembagaan perbankan,

perkreditan perbankan, Letter of Credit (L/C), jenis-jenis Letter of Credit, bank

yang dapat melakukan transaksi Letter of Credit, dan peranan Bank Indonesia

dalam mendukung transaksi Letter of Credit. Pembahasan pada bab II ini akan

membahas permasalahan pertama dalam skripsi ini.

Bab III membahas tentang mekanisme penerbitan Letter of Credit (L/C)

oleh Bank yang mana nantinya akan dimuat mengenai pihak-pihak yang terkait

dalam Letter of Credit, hubungan hukum para pihak dalam Letter of Credit,

40
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit, hal. 166.
41
Ibid, hal. 167.

Universitas Sumatera Utara


23

mekanisme penerbitan Letter of Credit oleh bank, pilihan hukum dalam Letter of

Credit, dan pilihan forum dalam Letter of Credit. Pembahasan pada bab III akan

membahas permasalahan kedua dalam skripsi ini.

Bab IV membahas tentang penerapan prinsip kehati-hatian pada bank

(prudent banking priciple) dalam menerbitkan Letter of Credit yang mana

nantinya akan dimuat mengenai prinsip kehati-hatian pada bank (prudent banking

principle), kehati-hatian bank dalam mengeluarkan Letter of Credit, kehati-hatian

bank dalam melakukan penelitian dokumen, dan sengketa dalam Letter of Credit

akibat tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian pada bank. Pembahasan pada bab

IV akan membahas permasalahan ketiga dalam skripsi ini.

Bab V merupakan bab kesimpulan dan saran, bab ini berisi kesimpunlan

dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran yang mungkin berguna dan

dapat dipergunakan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PERANAN BANK DALAM MENERBITKAN LETTER OF CREDIT (L/C)

A. Kelembagaan Perbankan

1. Pengertian dan Asas-asas Perbankan

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang perbankan dan undang-undang mengenai

perbankan syariah.42 Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan

hukum perbankan (Banking Law). Yakni merupakan seperangkat kaidah hukum

dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain

sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan

aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank,

perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para

pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan

dunia perbankan tersebut.43

Bank yang memegang peran penting dalam istilah perbankan tersebut

mengandung arti suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di

bidang jasa keuangan, yang dapat menghimpun dana dari masyarakat secara

langsung dan menyalurkan kembali ke masyarakat melalui pranata hukum

42
Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, (Malang: Setara Press, 2017), hal. 20.
43
Munir Fuady, Op. Cit, hal. 14.

24

Universitas Sumatera Utara


25

pengkreditan.44 Adapun dalam Black‟s Law Dictionary, dirumuskan sebagai

berikut:45

“an instituion, usually incopated, whose business to receive money on

deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue

promissory notes payable to bearer known as bank notes.”

Selain itu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan

perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam

Pasal 1 angka 2 memberikan definisi tentang bank yang mengatakan bank adalah

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 46

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa bank berfungsi sebagai “financial

intermerdiary” atau sering disebut dengan fungsi intermediasi. Dimana bank

mempunyai usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta

memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak

bisa dipisahkan. Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya

sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga

kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan

kerja.47

Sebelum memulai kegiatannya, bank wajib memiliki izin terlebih dahulu

dengan memenuhi syarat tertentu. Biasanya bentuk badan usaha bank sebagai

44
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 21.
45
Hermansyah, Op. Cit, hal. 7.
46
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
47
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 60.

Universitas Sumatera Utara


26

perseroan terbatas atau bentuk badan usaha lainnya yang ditentukan oleh

perundang-undangan, misalnya perusahaan daerah, dan koperasi.48

Dalam perkembangan dewasa ini, maka istilah bank dimaksudkan sebagai

suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup

beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang,

mengadakan pengawasan mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan

untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan.49 Oleh karena

hal tersebut, maka perlu diatur mengenai hukum perbankan sebagaimana

dijelaskan diatas yang mencakup ruang lingkup sebagai berikut:50

a) Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektivan, kesehatan bank,

profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga

perbankan, hubungan, hak dan kewajiban bank;

b) Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan

karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum

pengelola, seperti PT. Persero, Perusahaan Daerah, koperasi atau

perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik

pemerintah, swasta, patungan dengan asing, atau bank asing;

c) Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur

perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti

pencegahan persaingan yang tidak sehat, antitrust, perlindungan nasabah,

dan lain-lain;

48
Uswatun Hasanah, Loc. Cit.
49
Munir Fuady, Op. Cit, hal. 13.
50
Ibid, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


27

d) Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan

bidang perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank Sentral,

dan lain-lain;

e) Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai

oleh bisnisnya bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif,

pengawasan, prudent banking, dan lain-lain.

Dalam melaksanakan kegiatan perbankan, ada empat asas hukum yang

menjadi landasan hukum perbankan, yakni:

a) Asas Demokrasi Ekonomi

Asas ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada

Pasal 2 yang menyatakan perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.51

Adapun demokrasi ekonomi yang dimaksud terkandung dalam Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia pada Pasal 33 ayat (4) yang menyatakan perekonomian

nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional.52

b) Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Asas Kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank

dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Bank terutama

51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
52
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Universitas Sumatera Utara


28

bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar

kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap

memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya.53

c) Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)

Asas Kerahasiaan ini ditegaskan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 pada ayat (1) menyatakan bank wajib merahasiakan keterangan

mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

Dan juga di ayat (2) menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berlaku pula bagi pihak Terafiliasi.54 Baru-baru ini ada penyelewengan yang

dilakukan bankir dengan memperjual belikan paket data nasabah yang ditawarkan

dengan bervariasi harga mulai dari Rp. 350.000 untuk 1000 nasabah sampai

dengan paket Rp. 1.100.000 untuk 100.000 nasabah per paket database, saat ini

pelaku sudah dijadikan tersangka.55

d) Asas Kehati-hatian (Prudential Principle)

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam

menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-

hatian dalam melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. 56 Asas ini

nanti akan lebih dalam dibahas pada bab selanjutnya.

2. Tujuan dan Fungsi Perbankan

53
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 16.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
55
Detik News, “Bareskrim Tangkap Jaringan Penjualan Data Nasabah Bank” dalam
https://news.detik.com/berita/3610769/bareskrim-tangkap-jaringan-penjualan-data-nasabah-bank
Rabu, 23 Agustus 2017, diakses 29 Agustus 2017.
56
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


29

Tujuan perbankan ditegaskan di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengatakan perbankan Indonesia bertujuan

menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak. 57 Untuk itu, sejalan dengan peningkatan tuntutan

kebutuhan masyarakat akan jasa perbankan yang tangguh dan sehat maka

perbankan Indonesia harus memiliki sikap tanggap terhadap perkembangan taraf

hidup rakyat banyak, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta

peningkatan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional dapat terwujud secara

lebih nyata dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan UUD NRI 1945. 58 Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang

strategis dan tidak semata-mata berorientasi kepada hal-hal yang non ekonomis

seperti masalah yang menyangkut stabilitas nasional yang mencakup antara lain

stabilitas politik dan sosial.59

Mengenai fungsi perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengatakan

fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat.60 Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-

pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang

kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds).61

57
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
58
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 25.
59
Hermansyah, Op. Cit, hal. 19.
60
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
61
Hermansyah, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


30

Dari ketentuan kedua pasal tersebut, Rachmadi Usman memberi

kesimpulan tersendiri mengenai fungsi dan tujuan perbankan dalam kehidupan

ekonomi nasional bangsa indonesia sebagai berikut:62

1. Bank berfungsi sebagai “financial intermediary” dengan kegiatan

usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau

memindahkan dana masyarakat dari unit surplus kepada unit defisit

atau pemindahan uang dari penabung kepada peminjam.

2. Penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat tersebut bertujuan

menunjang sebagian tugas penyelenggara negara yakni:

a. Menunjang pembangunan nasional, termasuk pembangunan

daerah; bukan melaksanakan misi pembangunan suatu

golongan apalagi perseorangan; jadi perbankan Indonesia

diarahkan untuk menjadi agen pembangunan (agent of

development);

b. Dalam rangka mewujudkan triologi pembangunan nasional,

yakni:

1) Meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak,

bukan kesejahteraan segolongan orang atau perseorangan

saja; melainkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia

tanpa terkecuali;

2) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, bukan

pertumbuhan ekonomi segolongan orang atau

perseorangan; melainkan pertumbuhan ekonomi seluruh

62
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 61.

Universitas Sumatera Utara


31

rakyat Indonesia, termasuk pertumbuhan ekonomi yang

diserasikan;

3) Meningkatkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis;

4) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat banyak,

artinya tujuan yang hendak dicapai oleh perbankan nasional

adalah meningkatkan pemerataan taraf hidup dan

kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan segolongan orang

atau perseorangan saja;

3. Dalam menjalankan fungsi tersebut, perbankan Indonesia harus

mampu melindungi secara baik apa yang dititipkan masyarakat

kepadanya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential

banking), dengan cara:

a. Efisien, sehat, wajar dalam persaingan yang sehat yang

semakin mengglobal atau mendunia; dan

b. Menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang

produktif, bukan konsumtif;

4. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada

bank, selain melalui penerapan prinsip kehati-hatian, juga pemenuhan

ketentuan persyaratan kesehatan bank, serta sekaligus berfungsi untuk

mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan

masyarakat luas.

Dengan demikian, fungsi perbankan kita tidak hanya sekedar sebagai

wadah penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau perantara penabung dan

investor, tetapi fungsinya akan diarahkan kepada peningkatan taraf hidup rakyat

Universitas Sumatera Utara


32

banyak, agar masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera daripada sebelumnya.

Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, perbankan Indonesia seyogyanya

selalu mengacu pada tujuan perbankan Indonesia tersebut.63

B. Kredit Perbankan

1. Pengertian Kredit

Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama

untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu adalah kredit dan pembiayaan

berdasarkan pada prinsip syariah. Penggunaan istilah tersebut tergantung pada

kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam menjalankan

kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Bank

yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional menggunakan istilah

kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya berdasarkan syariah

menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 64

Kita dapat membedakan kedua dari istilah tersebut dengan berpandu dari

definisi yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan yang menjelaskan mengenai arti kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah terdapat dalam angka 12 yang

63
Ibid, hal 62.
64
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara


33

mengatakan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk

mengembalikan uang atau tagihan tabungan setelah jangka waktu tertentu dengan

imbalan atau bagi hasil.65 Perbedaan antara rumusan kedua istilah tersebut terletak

pada bentuk kontraprestasi yang diberikan nasabah peminjam dana (debitur) atas

pemberian kredit atau pembiayaan.66

Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya.

Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit

yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si

penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban

untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh

karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat

dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan

analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan,

prospek usahanya, jaminan yang diberikan, serta faktor-faktor lainnya. Tujuan

analisis kredit ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-

benar aman.

Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dulu akan sangat

membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-

data fiktif, sehingga mungkin saja kredit sebenarnya tidak layak menjadi layak

sehingga akan berakibat sulit untuk ditagih alias macet. Namun, faktor salah

analisis ini bukanlah merupakan penyebab utama kredit macet. Penyebab lainnya

65
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
66
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 67.

Universitas Sumatera Utara


34

mungkin disebabkan oleh bencana alam yang memang tidak dapat dihindari oleh

nasabah. Misalnya kebanjiran atau gempa bumi atau dapat pula kesalahan dalam

pengelolaan usaha yang dibiayai.67

Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Perkreditan, Thomas Suyatno,

mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas:68

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi

yang diberikannnya baik dalam bentuk yang, barang, atau jasa, akan

benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa

yang akan datang.

b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian

prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang

akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio

dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang

yang akan diterima pada masa yang akan datang.

c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat

dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi

dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin

lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena

sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu,

maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat

diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko.

Dengan adanaya unsur resiko inilah, maka timbullah jaminan dalam

pemberian kredit.

67
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 112.
68
Hermansyah, Op. Cit, hal. 56.

Universitas Sumatera Utara


35

d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena

kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang,

maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap

kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.

Bertitik tolak dari pendapat diatas, maka bisa dikemukakan bahwa selain

unsur kepercayaan tersebut, dalam permohonan dan pemberian kredit juga

mengandung unsur lain, yaitu unsur waktu, unsur resiko, dan unsur prestasi.69

2. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

bank wajib memperhatikan hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

berbunyi:70

Pasal 8 ayat (1):

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang

mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah

Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan

dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Pasal 8 ayat (2):

69
Ibid, hal. 57.
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara


36

Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan Bank Indonesia.

Berkaitan dengan itu, menurut penjelasan Pasal 8 ayat (2) dikemukakan

bahwa pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang

diterapkan oleh Bank Indonesia wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam

pemberian kredit dan pembiayaan adalah sebagai berikut:71

a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat

dalam bentuk perjanjian tertulis.

b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama

terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari

nasabah debitur.

c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian

kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai

prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah.

e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah

debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.

f. Penyelesaian Sengketa.

71
Hermansyah, Op. Cit, hal. 58.

Universitas Sumatera Utara


37

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) di atas merupakan dasar atau landasan

bagi bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur. Lebih dari itu,

karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari bank, maka

dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan menerapkan prinsip kehati-hatian

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan.72 Selain itu, disebutkan bahwa bank juga harus mempunyai

penilaian tersendiri mengenai watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek

usaha dari nasabah debitur, yang kemudian terkenal dengan sebutan “the five C of

credit analysis” atau prinsip 5C dapat diuraikan sebagai berikut:73

1. Penilaian watak (character)

Dalam rangka mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk

melunasi pinjamannya maka perlu dilakukan penilaian watak atau kepribadian

calon debitur. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup,

riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang sejenis.

2. Penilaian kemampuan (capacity)

Penelitian tentang keahlian calon debitur dalam bidang usaha dan

kemampuan manajerialnya harus dilakukan oleh bank sehingga bank yakin bahwa

usaha yang akan didanai dikelola oleh orang-orang yang tepat sehingga dalam

jang waktu tertentu mampu melunasi pinjamannya.

3. Penilaian terhadap modal (capital)

Analisis terhadap keuangan secara menyeluruh tentang masa lalu dan

masa yang akan datang perlu dilakukan dalam rangka mengetahui kemampuan

72
Ibid, hal. 59.
73
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 72.

Universitas Sumatera Utara


38

permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan usaha yang

bersangkutan.

4. Penilaian terhadap agunan (collateral)

Dalam rangka menanggung pembayaran kredit jika terjadi kredit

macet,maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan

yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar

jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan padanya.

5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitu (condition of

economy)

Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik

masa lalu maupun yang akan datang sehingga masa depan pemasaran dari hasil

proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui.

Selanjutnya penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P

kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:74

1. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkahlakunya

sehari-hari maupun kepribadiannya masa lalu. Penilaian personality juga

mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi

suatu masalah dan menyelesaikannya.

2. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau

golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya.

74
Kasmir, Op. Cit, hal. 138.

Universitas Sumatera Utara


39

Nasabah yang digolongkan ke dalam golongan tertentu akan mendapat fasilitas

yang berbeda dari bank.

3. Purpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit,

termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat

bermacam-macam sesuai kebutuhan. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja,

investasi, konsumtif, produktif, dan lain-lain.

4. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang

menguntungkan atau tidak atau dengan kata lain mempunyai prospek atau

sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai

tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi, akan tetapi juga nasbah.

5. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang

telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit.

Semakin banyak sumber penghasilan debitur, maka akan semakin baik. Sehingga

jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh usaha lainnya.

6. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba.

Profitiability diukur dari periode ke periode, apakah akan tetap sama atau akan

semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.

7. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar kredit yang diberikan

mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga kredit yang diberikan benar-benar

Universitas Sumatera Utara


40

aman. Perlindungan yang diberikan oleh debitur dapat berupa jaminan barang atau

orang atau jaminan asuransi.

C. Letter of Credit (L/C)

1. Pengertian Letter of Credit

Bank Indonesia memberikan definisi mengenai Letter of Credit yang

terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/11 /PBI/2003 tentang

Pembayaran Transaksi Impor pada Pasal 1 angka 3 yang mengatakan Letter of

Credit untuk selanjutnya disebut L/C adalah janji membayar dari bank penerbit

kepada penerima jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen

yang sesuai dengan persyaratan L/C. 75

Di dalam dunia perdagangan khususnya dunia perbankan dikenal dengan

apa yang disebut dengan Letter of Credit. Mengenai istilah Letter of Credit ini

masih banyak terdapat keaneka ragaman tentang penyebutannya. Biasanya lazim

juga di dalam percakapan sehari-hari disingkat orang dengan sebutan L/C yaitu

singkatan dari Letter of Credit dan ada juga yang mengatakan credit

opening(acreditief opening) dimana dalam bahasa Belanda disebut credietbrief

dan bahasa Perancis lettre de credet, sedangkan di Negara Jerman dikenal dengan

nama Accreditief dan di negara Belgia dan Amerika Serikat lebih dikenal denan

istilah crediet tetapi bukan dalam arti yang sebenarnya bagi kredit.

Di dalam buku Mr. WLPA. Molengraaf 2 e deel 1954 cetakan ke 9 (yang

diperbarui) oleh Mr. Chr. Zevenbergen membuka kredit atau credit opening

75
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/11 /PBI/2003 tentang Pembayaran Transaksi
Impor.

Universitas Sumatera Utara


41

sebenarnya bukan credit opening di dalam arti sebenarnya yaitu suatu pemberian

kredit (crediet verlening) melainkan harus diartikan :

“Bahwa Bank memberitahukan kepada penjual bahwa uang yang

diperjanjikan dalam perjanjian jual beli itu telah dikuasainya/ dipegangnya untuk

kepentingan penjualan”.76

Untuk mencari pengertian sebenarnya tentang membuka kredit (credit

opening) maka perlu kiranya dilihat di dalam General Privitation and Difinitions

article IB yang isinya sebagai berikut :77

“For the purpose of such provisions, definitions and articles the

exporessions” documentary credit(S)”. And Credit(S)” used therein mean any

arrangement, how ever named of described, where by a bank (the issuing bank),

acting at the request and in accordance with the instructions of a customer (the

applicant for the credit);

i. is to make payment to the order of a third party (the baneficiary),

or is to pay, accept or negotiate bills of exchange (drafts) drawn by

the banneficiary, or

ii. Authorises such payments to be made or such drafts to be pait

accepted or negotiated by another bank, against stipulated

documents, provided that the term and conditions of the credit are

complited with.

Adapun syarat dan ketentuan dasar dari sebuah dokumen Letter of Credit

sebelum Letter of Credit diterbitkan yang dikutip dari buku Rumu Sakar yang

berjudul Transnasional Business Law: A Development Law Perspective. Pertama,

76
Hartono Hadisoeprapto, Op. Cit, hal 23.
77
Ibid, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara


42

jumlah maksimum yang dapat ditarik daripada Letter of Credit (biasanya harga

pembelian barang), dan tanggal kadaluwarsa Letter of Credit harus ditentukan

oleh para pihak pada awalnya. Kedua, Letter of Credit harus menentukan tanggal

kadaluwarsa, dengan kata lain, Letter of Credit harus dibatasi pada waktunya.

Ketiga, para pihak harus memutuskan apakah Letter of Credit perlu Revocable

(dapat dibatalkan) atau Irrevocable (tidak dapat dibatalkan). Terakhir, Letter of

Credit harus menentukan apakah ia memasukkan Uniform Custom and Practice

for Documentary Credit (UCP) sebagai dasar pengaturannya.78

2. Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP) Sebagai

Dasar Pengaturan Letter of Credit

International Chamber of Commerce (ICC) yaitu Kamar Dagang

Internasional telah menerbitkan ketentuan mengenai Letter of Credit. Ketentuan

tersebut yakni Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP).

Aturan-aturan yang termuat di dalamnya merupakan kodifikasi dari praktik-

praktik perdagangan internasional dan praktik perbankan.79

Seiring perkembangan waktu UCP telah beberapa kali mengalami

penyempurnaan secara komperhensif. Penyempurnaan ketentuan ini dinamakan

„revisi‟ (revision). UCP pertama kali diterbitkan oleh ICC pada tahun 1933. UCP

yang pertama ini hanya diadopsi oleh perbankan di beberapa negara Eropa tidak

termasuk Inggris. Pada tahun 1951 dilakukan revisi pertama atas UCP yang

diterbitkan pada tahun 1933 tersebut. UCP hasil revisi tahun 1951 ini kemudian

diadopsi termasuk oleh perbankan Inggris dan negara-negara persemakmuran.

Revisi ketiga terhadap UCP dilakukan pada tahun 1974. Hasil revisi tahun 1974
78
Rumu Sakar, Transnational Business Law:A Development Law Perspective, (London:
Kluwer Law International, 2003), hal 18.
79
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal 112.

Universitas Sumatera Utara


43

ini diadopsi oleh hampir semua perbankan internasional. Revisi UCP yang

keempat dilakukan tahun 1983 dan juga tetap diadopsi oleh perbankan

internasional. Kemudian revisi kelima terhadap UCP dilakukan tahun 1993

dengan nomor publikasi 500, sering juga dinamakan UCP 500 yang berlaku

tanggal 1 Januari 1994.80 Terakhir hingga saat ini, UCP tahun 1993 direvisi pada

tahun 2007 dengan nomor publikasi 600 yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2007

dinamakan UCP 600.

Hal yang perlu dipahami juga dalam mekanisme revisi UCP, UCP

terdahulu yang materinya direvisi tidak pernah dicabut oleh UCP hasil revisi

sebagai UCP baru. Sehingga, semua UCP terdahulu dan UCP hasil revisi terbaru

yaitu UCP 600, tetap dapat digunakan oleh para pihak dalam Letter of Credit

sesuai dengan kebutuhan. Pilihan UCP yang digunakan oleh para pihak dalam

Letter of Creditdidasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan

1338 KUH Perdata. Bahkan, para pihak juga berhak untuk tidak menggunakan

UCP sama sekali untuk Letter of Credit yang diterbitkan. Artinya, Letter of Credit

dapat diterbitkan dengan memuat pernyataan tunduk pada UCP atau tidak.

Sahnya suatu Letter of Credit tidak ditentukan oleh penundukan pada

UCP. Sahnya suatu Letter of Credit diuji berdasarkan syarat-syarat sahnya suatu

kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata karena Letter of Credit

adalah kontrak. Sepanjang suatu Letter of Credit, sesuai dengan hukum yang

berlaku, memenuhi persyaratan sahnya suatu kontrak, maka Letter of Credit sah

sebagai kontrak terlepas dari tunduk atau tidak pada UCP.81

80
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 20.
81
Ramlan Ginting (II), Op. Cit, hal. 28.

Universitas Sumatera Utara


44

Sebagaimana dikatakan Herbet A. Getz, sarjana Amerika yang banyak

dikutip pendapatnya, mengatakan bahwa UCP tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat (force of law). UCP bukan produk hukum legislatif. UCP juga bukan

produk hukum yudikatif. UCP merupakan kompilasi kebiasaan dan praktik

internasional mengenai L/C. Tetapi, UCP diberlakukan secara sukarela di lebih

160 negara. Oleh karena itu C.F.G. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa UCP

dapat dikatakan merupakan hukum kebiasaan yang berlaku secara internasional.

Bank Indonesia dalam Surat Edaran No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember

1993 mengatur bahwa L/C yang diterbitkan bank devisa (bank umum) boleh

tunduk atau tidak pada UCP. Bank Indonesia secara yuridis formal memberikan

kebebasan kepada bank devisa di Indonesia untuk menentukan sikap.

Isi Surat Edaran Bank Indonesia tersebut dilatarbelakangi status UCP yang

bukan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Jika

Bank Indonesia dalam Surat Edaran dimaksud secara eksplisit mengharuskan L/C

diterbitkan bank umum tunduk pada UCP, ini berarti Bank Indonesia menjadikan

UCP bagian dari hukum nasional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bank Indonesia tidak menghendaki hal ini. Namun demikian, secara

implisit Bank Indonesia mendukung agar L/C yang diterbitkan bank umum

tunduk pada UCP. Sikap di atas, pada satu sisi mencerminkan rasa percara Bank

Indonesia pada UCP sebagai satu-satunya ketentuan L/C yang berlaku

internasional, tetapi disisi lain Bank Indonesia menghindari UCP berstatus

sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia demi fleksibilitas penerbitan L/C

Universitas Sumatera Utara


45

yang mungkin saja penerbitannya ke negara tertentu seperti RRC tidak

memerlukan penundukan pada UCP.82

3. Keuntungan dan Kerugian Letter of Credit

Maksud dan tujuan dipakainya L/C sebagai cara pembayaran dalam

transaksi ekspor – impor adalah untuk memberikan keyakinan kepada pihak-pihak

terkait terutama beneficiary dan applicant bahwa dengan L/C semua pihak akan

tunduk kepada ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang tertuang dalam L/C.

Namun demikian dalam praktek sesungguhnya transaksi dengan L/C juga

memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

Bagi eskportir, jika dokumen mengandung discrepancy(ies) atau

penyimpangan, maka meskipun barang telah dikapalkan/ dikirim sesuai dengan

pesanan, eskportir berpotensi tidak memperoleh pembayaran (karena bank hanya

berurusan dengan dokumen) dan bila dibayarkan dipotong dengan biaya

discrepancy.

Bagi importir, biaya-biaya yang sehubungan dengan transaksi L/C,

pembukaan L/C, akseptasi L/C, dan lain-lain.83

Sedangkan keuntungan yang diperoleh sehubungan dengan itu dapat

berupa L/C yang menjadi jembatan bagi eksportir dan importir yang terpisah oleh

negara dan belum saling mengenal dengan baik. L/C akan memudahkan

perlunasan pembayaran, mengamankan dana yang disediakan importir dan

menjamin kelengkapan dokumen pengapalan, serta resiko dapat dialihkan kepada

bank yang terkait.

82
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal 18.
83
Maryam, “Mekanisme Pembayaran Melalui Letter Of Credit (L/C) Dalam Transaksi
Perdagangan Internasional Pada PT. Semen Bosowa Maros”, Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun
2013, hal. 183.

Universitas Sumatera Utara


46

Eksportir dapat mengantungkan kepercayaan pada L/C karena pembayaran

terjamin. Pada jenis L/C tertentu seperti Sight L/C pembayaran dapat segera

diterima yang berarti eksportir memperoleh kredit tanpa bunga. L/C juga dapat

dijadikan jaminan untuk memperoleh pinjaman.

Bagi importir dengan adanya L/C tersebut berarti dengan dana minimum

dapat mengimpor barang setidak-tidaknya sampai barang tiba. Importir akan

merasa aman karena bank akan menolak pembayaran kalau semua persyaratan

L/C belum terpenuhi.84

Adapun berikut hal-hal yang dapat dilakukan oleh L/C yaitu:85

a. Memberikan jaminan pembayaran tepat waktu kepada penjual dengan

syarat-syarat yang tertera di dalam L/C telah terpenuhi (provide a

means of prompt payment to the seller provided the credit details are

fulfilled).

b. Menghilangkan penyelidikan kredit yang panjang terhadap pembeli,

karena resiko kredit dari penjual telah dilakukan oleh bank penerbit

dan/ atau bank pengkonfirmasi (eliminate extensive credit

investigation of the buyer, since the seller‟s credit tisk has been

assumed by the issuing and/ or confirming bank).

c. Menjamin kepada pembeli bahwa pembeli hanya berkewajiban

membayar apabila persyaratan di dalam L/C sudah terpenuhi (assure

the buyer it will only be required to pay if the conditions of the credit

are met).

84
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 29.
85
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 58.

Universitas Sumatera Utara


47

d. Memberikan dasar bagi bank untuk melakukan penyimpanan

sementara dan perputaran keuangan (provide a base for a bank to

engage in temporary inventory and receivable cycle financing).

Sedangkan hal-hal yang tidak dapat dilakukan sebagai berikut:86

a. Menggantikan integritas dari penjual atau memberikan jaminan bahwa

pemeriksaan latar belakang dan integritas tidak diperlukan lagi

(substitute for the integrity of the seller or make background and

integrity checking unnecessary).

b. Memberikan kestabilan terhadap transaksi yang pada dasarnya tidak

stabil pada awal transaksi (lend soundness to transactions that were

not basically sound in their inception).

c. Membebaskan pembeli maupun penjual dari kewajiban mereka

berdasarkan kontrak (absolve the seller or buyer from contractual

liability).

d. Menghilangkan resiko pada jual-beli (remove the exhange risk).

e. Menjaminkan bahwa pengiriman akan dilakukan oleh penjual

(guarantee that shipmet will be made by seller).

Selain itu, Rumu Sarkar juga membagikan antara keuntungan dan

kerugian bagi penjual dan pembeli dalam penggunaan L/C sebagai bahan

pertimbangan untuk berhati-hati dari awal. Keuntungan yang didapat bagi penjual

yaitu:87

a. Menghilangkan resiko kredit pembeli (resiko tidak bayar) dengan

mengalihkan resiko ke bank.

86
Ibid.
87
Rumu Sarkar, Op. Cit, hal. 26.

Universitas Sumatera Utara


48

b. Mengurangi/ menghilangkan resiko pertukaran mata uang dan perang

politik, pemberontakan, penarikan lisensi impor/ ekspor yang

dikeluarkan oleh negara pembeli. Jika penjual membuka konfirmasi

kredit dengan bank termuka di negaranya sendiri, maka resiko gagal

bayar berkurang secara signifikan.

c. Kebutuhan untuk memeriksa kelayakan kredit pembeli berkurang.

d. Jika L/C dibuka saat kontrak penjualan dikeluarkan, maka pengekspor

mengetahui bahwa jika barang diproduksi dan diserahkan sesuai syarat

penjualan, maka dia akan dibayar. Dengan demikian, importir tidak

dalam posisi membatalkan kontrak penjualan selama periode produksi.

e. L/C adalah pesanan pembeli yang dijamin oleh bank asing (penyediaan

barang benar-benar diproduksi dan dikirim). Dengan demikian

eksportir mengesampingkan kredit untuk membiayai pembuatan

barang.

f. Pembayaran segera pada saat pengiriman barang.

Sedangkan keuntungan bagi pembeli yaitu: 88

a. Pembeli membayar atas pengapalan barang yang sebenarnya, bukan

saat penjualan dilakukan. Pembeli dapat menentukan kapan barang

dikirim dengan meminta On-Board Bill of Lading.

b. Bank memberikan pemeriksaan ahli atas dokumen yang sesuai, dan

jika bank penerbit melakukan kesalahan, bertanggung jawab kepada

pembeli atas kerugian yang terjadi.

88
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


49

c. Tidak perlu pengeluaran tunai yang berlebih. (mungkin lebih mudah

untuk menghentikan pembiayaan di bawah L/C).

d. Pembayaran hanya dilakukan setelah memenuhi persyaratan lengkap

yang tercantum dalam L/C. Impotir/ pembeli mungkin termasuk

sertifikat inspeksi sebagai bagian dari dokumentasi yang diperlukan

jika kinerja penuh oleh eksportir/ penjual diragukan.

e. Pembiayaan melalui L/C mungkin merupakan jalur termudah dan

termurah untuk mendapatkan kredit, sehingga memungkinkan pembeli

untuk memperluas jumlah penjualan.

f. Pembayaran pada saat pengiriman.

D. Jenis-jenis Letter of Credit

Jenis Letter of Credit merupakan kebutuhan teori. Dalam praktik,

pembedaan Letter of Credit berdasarkan jenis tidak diperlukan. Dalam praktik

yang dilihat adalah bagaimana cara pembayaran Letter of Credit berdasarkan

pembayaran atas unjuk (Sight Payment), pembayaran yang ditangguhkan

(Deffered Payment), pembayaran akseptasi (Payment by Acceptance) atau

pembayaran negosiasi (Payment by Negotiation). Keempat cara pembayaran

Letter of Credit ini disebutkan dalam Artikel 2, 7 dan 8 UCP 600.89

a. Sight Payment L/C

Sight payment L/C adalah L/C yang pembayarannya dilakukan secara

tunai,90 L/C yang jika semua persyaratan dipenuhi maka negotiating

bank wajib membayar nominal L/C kepada eksportir paling lama

89
Ramlan Ginting (II), Op. Cit, hal. 39.
90
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 39.

Universitas Sumatera Utara


50

dalam 7 hari kerja.91 Setelah penerima mengapalkan barang, maka dia

langsung minta pembayaran kepada negotiating bank dengan

menyerahkan dokumen-dokumen pengapalan yang diperlukan disertai

dengan wesel/ draftnya. Atas pembayaran yang dilakukan, maka bank

penegosiasi (negotiating bank) segera melakukan penagihan/

reimbursement kepada bank penerbit (opening/ issuing bank). Bank

penerbit akan segera pula melakukan pembayaran pada saat menerima

dokumen-dokumen tersebut.92 Jika bank penerbit menerbitkan sight

payment L/C, maka bank penerus diinstruksikan untuk melakukan

pembayaran atau mengatur pembayaran kepada penerima pada saat

pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C. Pembayaran

L/C semacam ini dinamakan pembayaran berdasarkan dokumen-

dokumen (payment against documents). Jika wesel unjuk ditarik dalam

rangka sight payment L/C, maka fungsi wesel hanya sebagai tanda

terima pembayaran. Rolf Eberth dan E.P. Ellinger mengatakan dalam

sight payment L/C janji pembayaran dari bank penerbit ditujukan

semata-mata kepada penerima.93

b. Deferred Payment

Defererred payment L/C adalah L/C yang pembayarannya dilakukan

di kemudian hari. Dalam L/C jenis ini tidak termasuk wesel sebagai

dokumen yang diajukan dalam rangka pembayaran L/C. Penerima

merasa aman akan mendapat pembayaran pada waktu yang ditentukan

91
Gunawan Widjaja & Ahman Yani, Op. Cit, hal. 28.
92
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 23.
93
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


51

karena ada jaminan dari bank penerbit. Namun, jika pemohon harus

menerima barang, pemohon harus memperoleh dokumen-dokumen

dari bank penerbit. Untuk mengamankan bank penerbit dari resiko

kerugian karena penyerahan dokumen-dokumen dimaksud, maka

penyerahan dokumen-dokuemn dapat disertai dengan penggunaan

instrumen trust receipt. Dalam pelaksanaan trust receipt bank melepas

bill of lading kepada pemohon atas jaminan pemohon bahwa setelah

mengambil alih kepemilikan barang pemohon menguasai barang

tersebut sebagai pihak kepercayaan bank dan akan menjual barang

dimaksud atas nama bank. Pemohon menjamin untuk menguasai hasil

penjualan barang berdasarkan kepercayaan dan akan

menyampaikannya kepada bank sebesar minimal sama dengan fasilitas

bank yang digunakan pemohon. Dalam trust receipt dimuat

persyaratan lain untuk melindungi kepentingan bank misalnya

pemohon dipersyaratkan untuk menguasai barang dan uang hasil

penjualan barang tersebut terpisah dari barang dan uang lainnya dan

barang wajib diasuransikan.94

c. Acceptance L/C

Acceptance L/C adalah L/C yang pembayarannya secara berjangka.

L/C dibayar pada saat pembayaran jatuh tempo, tidak pada saat

pengajuan dokumen-dokumen. Dikatakan juga sebagai pemberian

kredit kepada pembeli oleh penjual sebab pembeli di luar negeri akan

menerima barang-barang tanpa melakukan pembayaran pada saat yang

94
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 43.

Universitas Sumatera Utara


52

sama melainkan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang

ditetapkan dalam L/C. 95 Dalam acceptance L/C, akseptasi dilakukan

atas wesel berjangka yang ditarik oleh penerima. Akseptasi atas wesel

berjangka berarti jaminan pembayaran pada saat jatuh tempo. Wesel

berjangka yang sudah diaksep bersifat dapat dipindahtangankan.

Melalui akseptasi penerima memperoleh janji tanpa syarat

(unconditional commitment) dari bank untuk membayar pada saat

wesel berjangka jatuh tempo. Terhadap wesel berjangka yang sudah

diaksep dapat dijual kepada bank dengan cara diskonto. Di Indonesia,

bank yang mendiskonto wesel berjangka berdasarkan transaksi ekspor

dapat menerbitkan wesel bank untuk dijual secara diskonto juga

kepada Bank Indonesia. Selain itu, bank yang mendiskonto tagihan

ekspor yang akan datang berdasarkan kontrak penjualan atau pesanan

pembelian atau L/C dalam rangka ekspor juga dapat menerbitkan

wesel bank untuk dijual secara diskonto kepada Bank Indonesia.

Penjualan ke Bank Indonesia secara diskonto ini tidak berlaku lagi

sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia.96

d. Negotiation L/C

Negotiation L/C adalah L/C yang pembayarannya dengan cara

membeli wesel dan/ atau dokumen-dokumen yang diajukan penerima.

Jika negosiasi dilakukan oleh bank penerbit atau bank pengkonfirmasi

selalu tanpa disertai hak regres (without recourse) terhadap penerima,

95
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 24.
96
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 40.

Universitas Sumatera Utara


53

sedangkan negosiasi oleh bank lainnya selalu dengan hak regress (with

recourse) terhadap penerima. Negosiasi dapat dilakukan atas wesel

unjuk dan wesel berjangka. Tujuan negosiasi adalah untuk memberi

kesempatan kepadabank untuk menegosiasi (membeli) wesel-wesel

dan/ atau dokumen-dokumen dari penerima dan kemudian

mengajukannya kepada bank penerbit untuk memperoleh pembayaran

sesuai dengan persyaratan L/C. Penerima, dapat pembayaran segera

dan bank penegosiasi dijanjikan untuk memperoleh pembayaran dari

bank penerbit sepanjang diajukan dokumen-dokumen sesuai

persyaratan L/C. Rolf Elbert dan E.P Ellinger mengatakan dalam

negotiation L/C janji pembayaran dari bank penerbit ditujukan kepada

penarik, indorser dan semua pemegang wesel yang berhak yang

mengajukan dokumen-dokumen sesuai degan persyaratan L/C. 97

Di dalam bukunya John H. Willes dan John A. Willes yang berjudul

International Business Law Environments and Transactions mengatakan bahwa

cara kerja L/C pada umumnya dapat diklasifikasikan atas beberapa kriteria. Paling

sering L/C diklasifikasikan atas documentary atau stanby, irrevocable atau

revocable, confirmed atau unconfirmed, dan payable at sight atau time draft.

Namun, sebagian besar dalam perdagangan internasional memakai documentary,

irrevocable, dan confirmed.98

97
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 31.
98
John H. Willes dan John A. Willes, International Business Law Environments and
Transactions, (New York: Mc Graw Hill, 2005), hal. 398.

Universitas Sumatera Utara


54

Selain itu, Amir M.S juga memberi klasifikasi L/C atas beberapa jenis

yaitu:99

a. Commercial Documentary L/C

Commersial Documentary L/C atau L/C berdokumen niaga adalah L/C

yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk menyerahkan

dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta

dokumen penunjang lainnya sebagai syarat untuk memperoleh

pembayaran dari dana yang tersedia pada L/C tersebut.

b. Clean L/C

Clean L/C adalah suatu L/C yang dapat dicairkan dananya dengan

penyerahan wesel atau hanya kuintansi biasa.

c. Open L/C

Open L/C adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima

L/C untuk menegosiasi dokumen pengapalan melalui bank mana saja

yang diinginkannya.

d. Restricted L/C

Restricted L/C adalah L/C yang membatasi hak eksportir penerima

L/C untuk menegosiasi dokumen pengapalan pada bank tertentu yang

disebut oleh Opening Bankdi dalam L/C tersebut, dan biasanya

terbatas pada Advising Bank saja.

e. Straight L/C

Straight L/C adalah L/C yang negosiasi atau penulasan dokumen

pengapalannya hanya dapat dilakukan di kassa Opening Bank sendiri.

99
Amir M.S., Letter of Credit Dengan Pembahasan Khusus UCP 600 dan Standby L/C,
(Jakarta: PPM, 2009), hal. 8.

Universitas Sumatera Utara


55

f. Revocable L/C

Revocable L/C adalah L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja

oleh importir tanpa memerlukan persetujuan eksportir.

g. Irrevocable L/C

Irrevocable L/C adalah L/C yang dibuka oleh bank devisa untuk

eksportir, dimana Opening Bank mengikatkan diri untuk melunasi

wesel-wesel yang ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C.

h. Irrevocable and Confirmed

Irrevocable and Confirmed L/C adalah L/C yang:

1. Tidak dapat dibatalkan atau diubah selama jangka waktu

berlakunya, kecuali bila mendapat persetujuan dari semua pihak

yang telibat dengan L/C itu.

2. Mempunyai jaminan pelunasan pengapalan berganda atas wesel

dan atau penyerahan dokumen pengapalan yang diberikan oleh

Opening Bank bersama Advising Bank.

3. Merupakan cara pembayaran yang paling aman dipandang dari

sudut kepentingan eksportir penerima L/C.

i. Red Clause L/C

Red Clause L/C adalah yang:

1. Memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk mencairkan

sebagian tertentu dari dana L/C tersebut sebagai uang panjar,

dengan penyerahan kuitansi biasa dan surat pernyataan memenuhi

janji.

Universitas Sumatera Utara


56

2. Mengambil sisa dana yang tersedia dengan penyerahan dokumen

pengapalan yang lengkap.

3. Sangat menguntungkan eksportir penerima L/C karena

memperoleh Buyer‟s Credit tanpa bunga, yang dapat dipakai untuk

memulai produksi barang yang dipesan.

j. Irrevocable Unconfirmed L/C

Irrevocable Unconfirmed L/C sama dengan Irrevocable L/C biasa,

hanya dalam menyampaikan amanat pembukaan L/C itu Advising

Bank dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak ikut serta

memberikan konfirmasi (jaminan) atas L/C tersebut.

k. Revolving L/C

Revolving L/C adalah:

1. Kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu mengadakan

perubahan syarat.

2. Pemakaian ulang dapat dilakukan untuk “waktu dan nilai”.

Misalnya kredit disediakan sebesar US$ 15.000 sebulan, dengan

jangka waktu 6 bulan. Ini berarti secara otomatis setiap bulan

tersedia kredit sebesar US$ 15.000 selama 6 bulan berturut-turut,

tidak perduli kredit itu dipakai atau tidak. Dengan sendirinya kredit

semacam ini bersifat “Cumulative” atau “Non-Cumulative”. Jika

kredit “Cumulative” berarti setiap jumlah yang tidak terpakai

dalam bulan terdahulu masih dapat dipakai dalam bulan

berikutnya. Jika Kredit “Non-Cumulative” berarti setiap jumlah

Universitas Sumatera Utara


57

kredit yang tidak terpakai dalam bulan terdahulu otomatis menjadi

batal.

3. Pemakaian ulang juga dapat dilakukan untuk “nilai” saja. Misalnya

kredit disediakan sebesar US$ 100.000. Nilai kredit tersebut akan

diperbarui secara otomatis setiap kali jumlah itu dipakai, asal saja

masih dalam jangka waktu berlakunya kredit (validity).

l. Transferable L/C

Transferable L/C adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir

penerima untuk mengoperkan atau menguasakan haknya atas L/C itu

kepada pihak lain atau eksportir lain yang menyanggupi. Hal ini terjadi

misalnya karena penerima L/C pertama bukanlah produsen sendiri.

m. Back-to-Back L/C

Bila eksportir penerima L/C tidak sanggup melaksanakan pengiriman

barang karena tidak punya, maka transaksi itu masih bisa diteruskan

melalui 2 cara:

1. Eksportir melakukan pengoperan atas L/C itu kepada eksportir atau

produsen lain. Hal ini mungkin dilakukan kalau L/C itu bersifat

transferable.

2. Eksportir penerima L/C pertama membuka L/C-nya sendiri untuk

eksportir atau produsen kedua, dengan menjaminkan L/C yang

diterimanya. Cara ini disebut Back-to-Back, dan biasanya dipakai

dalam perdagangan transito atau perdagangan segitiga.

Universitas Sumatera Utara


58

n. Standby L/C

Standby L/C sesungguhnya adalah semacam bank garansi yang

dikeluarkan oleh mitra dagang asing, untuk menjamin pinjaman yang

dilakukan perusahaan lokal yang bekerja sama dengan mitra dagang

asing itu.

o. Usance L/C

Usance L/C adalah L/C yang mengharuskan eksportir penerima L/C

untuk menarik wesel berjangka (Long Bill of Exchange) dan buka

wesel-unjuk (Sight-Drafts) sebagaimana lazimnya. Ini berarti bahwa

eksportir penerima L/C memberi kredit jangka pendek kepada importir

untuk jangka waktu antara 90 hari sampai 180 hari. Eksportir tetap

dapat mencairkan wesel berjangka ini, dengan mendiskontokannya

pada bank, sehingga tidak mengganggu likuiditas.

p. Merchant L/C

Merchant L/C adalah L/C yang dibuka oleh importir untuk eksportir,

yang memberikan hak kepada eksportir penerima L/C untuk menarik

wesel terhadap importir, dan importir pembuka L/C itu menjamin

untuk melunasi wesel-wesel tersebut pada saat jatuh temponya. Di

dalam Merchant L/C dengan tegas disebutkan bahwa bank tidak

mengikat diri dan tidak bertanggung jawab atas pelunasan L/C

tersebut.

Pada Artikel 1 UCP 600, memberi keleluasaan dalam hal penggunaan

jenis dari L/C yang dimaksud diatas. Hal ini sejalan dengan asas kebebasan

berkontrak karena L/C juga merupakan kontrak seperti yang telah dijelaskan

Universitas Sumatera Utara


59

sebelumnya. Namun, perubahan ini hanya berlaku untuk Letter of Credit

dimaksud, tidak berlaku untuk Letter of Credit lainnya. Hal ini mengingat

perubahan materi aturan UCP 600 dalam materi Letter of Credit, bila diperlukan,

dilakukan atas dasar kasus per kasus. Perubahan pada satu L/C dapat berbeda

dengan perubahan pada L/C yang lain dan demikian seterusnya. 100

E. Bank Yang Dapat Melakukan Transaksi Letter of Credit

Letter of Credit sebagai metode pembayaran perdagangan internasional

merupakan produk perbankan internasional. Setiap bank, dalam hal ini bank

komersial (commercial bank) dapat menerbitkan dan melakukan pembayaran

Letter of Credit. Di Indonesia, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. Bank yang dapat melakukan transaksi Letter of Credit adalah

Bank Umum yang telah diberi izin oleh Bank Indoneisa Untuk melakukan

kegiatan devisa. Bank Umum yang demikian disebut juga bank devisa.

Sebaliknya, Bank Umum yang belum diberi izin untuk melakukan kegiatan devisa

tidak dapat melakukan penerbitan atau pembayaran Letter of Credit. Bank Umum

yang seperti ini disebut juga bank non-devisa. Sementara, Bank Perkreditan

Rakyat dilarang melakukan transaksi Letter of Credit.101 Sebagaimana disebutkan

dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/11 /PBI/2003 tentang Pembayaran

Transaksi Impor dalam Pasal 1 Angka 1 yang berbuyi: 102

Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

100
Ramlan Ginting (II), Op. Cit, hal. 40.
101
Ibid.
102
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/11 /PBI/2013 tentang Pembayaran Transaksi
Impor.

Universitas Sumatera Utara


60

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah mendapat izin dari Bank

Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing

dan atau melakukan transaksi perbankan dengan pihak-pihak luar negeri.

Adapun persyaratan bank umum dapat diberi izin oleh Bank Indonesia

untuk melakukan kegiatan devisa terdapat dalam Surat Edaran Eksternal Bank

Indonesia Nomor : 15/27/DPNP tanggal 19 Juli 2013 Prihal Persyaratan Bank

Umum untuk Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing, berikut

persyaratan yang harus dipenuhi:103

1. Bank yang mengajukan permohonan untuk melakukan Kegiatan Usaha

dalam valuta asing wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2

(dua) selama 18 (delapan belas) bulan terakhir;

b. Memiliki modal inti paling sedikit Rp. 1.000.000.000.000,00 (satu

triliun rupiah); dan

c. Memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

(KPMM) sesuai Profil Resiko untuk penilaian KPMM terakhir

sebagaimana dimaksud ketentuan Bank Indonesia yang mengatur

mengenai KPMM dengan persyaratan sebagai berikut:

1) Dalam hal KPMM sesuai Profil Resiko kurang dari 10%

(sepuluh persen) maka KPMM ditetapkan paling kurang

dari 10% (sepuluh persen).

2) KPMM untuk Bank Umum Syariah (BUS) ditetapkan

paling kurang dari 10% (sepuluh persen) sepanjang belum

103
Surat Edaran Eksternal Bank Indonesia Nomor : 15/27/DPNP tanggal 19 Juli 2013
Prihal Persyaratan Bank Umum untuk Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.

Universitas Sumatera Utara


61

terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM sesuai

profil resiko dari Bank Umum Syariah.

2. Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapaat

melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing sepanjang telah

memenuhi persyaratan Modal Inti sebagaimana dimaksud pada butir

1.b yang berasal dari dana usaha yang telah dialokasi sebagai Capital

Equivalency Maintained Assets (CEMA) sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai KPPM.

3. Unit Usaha Syariah (UUS) dapat mengajukan permohonan untuk

melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing sepanjang Bank Umum

Konvensional (BUK) yang menjadi induknya telah mendapat

persetujuan untuk melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing.

Adapun tahap pengajuan permohonan yang dilakukan sebagai berikut:104

1. Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing harus

mencantumkan rencana dimaksud dalam Rencana Bisnis Bank (RBB)

untuk tahun yang sama dengan tahun pengajuan permohonan.

2. Rencana Kegiatan Usaha dalam valuta asing yang tercantum pada

RBB paling kurang memuat:

a. Tujuan dan manfaat Kegiatan Usaha dalam valuta asing bagi Bank,

yang antara lain memuat:

1) Hasil penilaian singkat terhadap peluang pasar atas

Kegiatan Usaha dalam valuta asing dan potensi permintaan

104
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


62

produk dan aktifikas dalam valuta asing yang mendukung

perkembangan bisnis para nasabah Bank; dan

2) Strategi bank dalam mengembangkan Kegiatan Usaha

dalam valuta asing untuk mendukung bisnis Bank secara

umum;

b. Cakupan Kegiatan Usaha dalam valuta asing, termasuk penerbitan

produk dan/ atau pelaksanaan aktivitas baru yang akan dilakukan

Bank; dan

c. Penjelasan singkat mengenai struktur organisasi, sumber daya

manusia, dan sistem informasi yang akan dipersiapkan dalam

rangka pelaksanaan Kegiatan Usaha dalam valuta asing.

3. Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir

A.1 dan butir B.1 dapat mengajukan permohonan untuk melakukan

Kegiatan Usaha dalam valuta asing kepada Bank Indonesia disertai

dengan:

a. Dokumen pendukung terkait persiapan Bank dalam rangka

pelaksanaan Kegiatan Usaha dalam valuta asing paling kurang

meliputi:

1) Studi kelayakan usaha (feasibility study) Kegiatan Usaha

dalam valuta asing, antara lain seperti potensi ekonomi,

peluang pasar (penghimpunan dana dan penyaluran dana),

tingkat persaingan antar bank, dan proyeksi pertumbuhan

neraca terkait dengan produk dan aktivitas dalam valuta

asing selama 12 (dua belas) bulan;

Universitas Sumatera Utara


63

2) Kesiapan penerapan manajemen resiko atas Kegiatan

Usaha dalam valuta asing dengan mengacu kepada

ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen

resiko bagi Bank Umum atau penerapan manajemen resiko

bagi BUS dan UUS;

3) Prosedur pelaksanaan (standard operating prosedure);

4) Kesiapan struktur organisasi, sumber daya manusia dan

sistem informasi yang digunakan;

5) Rencana penerapan program Anti Pencucian Uang dan

Pencegahan Pendanaan Teroris (APU PPT); dan

6) Kesiapan hubungan korespondensi dengan bank di luar

negeri.

b. Daftar kantor cabang Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha

dalam valuta asing.

4. Pengajuan permohonan untuk melakukan Kegiatan Usaha dalam

valuta asing bagi UUS sebagaimana dimaksud pada butir A.3

dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai UUS.

5. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas

permohonan Bank untuk melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta

asing paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah seluruh persyaratan

dipenuhi dan dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


64

6. Dalam hal masih diperlukan tambahan dokumen dan/ atau penjelasan

berkenaan dengan evaluasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam

proses memberikan persetujuan, maka batas waktu 60 (enam puluh)

hari dihitung sejak Bank melengkapi dokumen dan/ atau memberikan

penjelasan yang diminta oleh Bank Indonesia.

7. Bank yang telah mendapatkan persetujuan untuk melakukan Kegiatan

Usaha dalam valuta asing harus melaksanakan Kegiatan Usaha dalam

valuta asing dimaksud selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak surat

persetujuan diberikan. Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan

sejak persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak

melaksanakan Kegiatan Usaha dalam valuta asing, maka persetujuan

Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.

8. Dalam hal persetujuan Bank Indonesia sudah tidak berlaku

sebagaimana dimaksud pada angka 7, namun Bank tetap akan

melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing, maka Bank harus

menyampaikan kembali permohonan persetujuan untuk melakukan

Kegiatan Usaha dalam valuta asing kepada Bank Indonesia.

F. Peranan Bank Indonesia Dalam Mendukung Transaksi Letter of Credit

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa bank memegang peranan

yang paling penting dalam transaksi Letter of Credit. Disamping itu Bank

Indonesia sebagai bank sentral juga telah melakukan beberapa upaya untuk

Universitas Sumatera Utara


65

mengatasi hambatan dalam pembiayaan dan kelancaran transaksi agar

menciptakan iklim yang kondusif, seperti:105

1. Trade Maintenance Facility (TMF) yang menjamin seluruh transaksi

perdagangan internasional baik melalui L/C dan Non L/C. Dengan

fasilitas ini, maka pemerintah cq. Bank Indonesia memberikan jaminan

pembayaran kepada kreditur luar negeri apabila bank di dalam negeri

mengalami gagal bayar (default). Jaminan tersebut membawa

implikasi yang berarti bagi pembiayaam perdagangan maupun

kelancaran transaksi perdagangan internasional. Hal ini terlihat dengan

pembukaan credit line senilai US$ 2,6 miliar dengan melibatkan 64

bank luar negeri.

2. Penjaminan dan pembiayaan L/C dengan penempatan dana BI di bank

asing. Dengan fasilitas ini, Bank Indonesia menempatkan dana sebesar

US$ 1 miliar pada 12 bank asing guna menjamin L/C dan memberikan

pembiayaan pra pengapalan untuk keperluan impor bahan baku. Total

fasilitas yang telah diberikan tercatat sebesar US$ 931 juta dan DM 1,1

juta.

3. Pembiayaan pre-shipment dan past shipment kepada dunia usaha.

Fasilitas pembiayaan pra pengapalan dilakukan dengan menyediakan

pembiayaan kepada dunia usaha atas dasar L/C ekspor/ purchase order

dari pembeli luar negeri. Jumlah fasilitas yang telah diberikan sampai

dengan penghentian fasilitas tercatat sebesar US$ 554 juta dan Rp 1,8

triliun. Adapun fasilitas pembiayaan post shipment diberikan melalui

105
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 132.

Universitas Sumatera Utara


66

penyediaan dana dengan melakukan pembelian tagihan wesel ekspor

jumlah pembelian wesel ekspor tercatat sebesar US$ 23,2 miliar.

4. Fasilitas swap beli dan forward beli. Fasilitas swap beli dan forward

beli diberikan untuk mengatasi masalah ketidakstabilan nilai tukar

rupiah. Fasilitas swap beli diberikan untuk eksportir yang memerlukan

pendanaan dalam valuta Rupiah dengan menjual valas yang diperoleh

dari hasil ekspor. Selanjutnya pada waktu yang telah ditentukan dapat

membeli kembali valas tersebut dengan kurs yang telah disepakati

sebelumnya. Fasilitas forward beli diberikan untuk membantu

eksportir yang membutuhkan US$ untuk pembayaran impor dalam

jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, importir melalui perbankan dapat

membeli US$ dari Bank Indonesia dengan kurs yang telah disepakati.

5. Berbagai skema penjaminan L/C dengan lembaga ekspor negara

counter part antara lain GSM-102-USA, EFIC-Australia, Skema

CWB-Kanada dan beberapa skema penjaminan lainnya. Fasilitas ini

diberikan untuk menjamin kemungkinan gagal bayar (default) atas L/C

yang diterbitkan perbankan Indonesia guna pembelian komoditi

tertentu dari negara counterpart khususnya komoditi pertanian seperti

tepung terigu, kapas, gandum, dan kedelai.

Berlakunya Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999,

menyebabkan berbagai skema penjaminan dan pembiayaan perdagangan yang

bersifat pemberian kredit kepada perbankan dihentikan. Saat ini, Bank Indonesia

sedang berupaya mempercepat pemulihan fungsi intermediasi perbankan dengan

memperkuat struktur perbankan melalui penerapan 25 Basle Core Principles for

Universitas Sumatera Utara


67

Effective Banking Supervision secara bertahap. Penerapan Basle Core Principles

tersebut dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan sistem pengawasan perbankan

antara lain melalui penentuan kegiatan yang diperkenankan bagi perbankan

(presumable activities), wewenang pengawas untuk meneliti dan menolak

pengalihan kepemilikan bank dalam jumlah yang signifikan dapat mempengaruhi

pengelolaan bank (ownership transfer), dan melakukan pengawasan konsolidasi

terhadap kelompok usaha perbankan (consolidated supervision).106

Dalam rangka mendukung dan sinkronisasi dengan kebijakan pemerintah,

Bank Indonesia juga mengeluarkan ketentuan Pembayaran Transaksi Impor

melalui PBI No. 5/11/ PBI/2013 yang mengatur penerbitan L/C oleh perbankan

Indonesia wajib memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah terkait

dengan pelaksanaan impor. Dengan ketentuan ini diharapkan, pelaksanaan

pembayaran tramsaksi impor tidak melanggar ketentuan yang dikeluarkan

pemerintah.

Untuk menjalin peningkatan hubungan perbankan di negara-negara non

mitra dagang utama, Bank Indonesia mengupayakan kerjasama dengan bank

sentral di negara-negara tersebut yang diharapkan menjadi payung transaksi

perbankan komersial serta dapat mengurangi hambatan hubungan perbankan yang

disebabkan oleh informasi perbankan antar negara yang kurang memadai.

Kerjasama tersebut telah dilakukan dengan bank sentral di 27 negara Asia, Eropa

dan 10 bank sentral lainnya.

Selanjutnya dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaku

usaha, Bank Indonesia senantiasa melakukan pengendalian inflasi, menjaga

106
Ibid, hal. 133.

Universitas Sumatera Utara


68

kestabilan nilai tukar dan penurunan suku bunga SBI secara bertahap dan berhati-

hati. Bank Indonesia juga telah membuat dan mengembangkan Website Investor

Information and Enquires (IIE) yang menyediakan informasi dan data yang akurat

mengenai kondisi perekonomian Indonesia antara lain data mengenai kondisi

makro ekonomi, utang luar negeri, restrukturisasi sektor keuangan dan ketentuan

perbankan. Diharapkan dengan informasi yang akurat dapat membantu lembaga

rating/ investor dalam melakukan penilaian rating Indonesia (sovereign rating)

secara proporsional.107

107
Ibid, hal 135.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

MEKANISME PENERBITAN LETTER OF CREDIT (L/C) OLEH BANK

A. Pihak-pihak Yang Terkait Dalam Letter of Credit

Sebelum menggambarkan mekanisme penerbitan Letter of Credit oleh

Bank, perlu dikemukakan lebih dahulu pihak-pihak yang terlibat dalam proses

sebuah Letter of Credit:108

a. Pemohon atau Applicant

Importir yang meminta bantuan bank devisanya untuk membuka L/C

guna keperluan penjual atau eksportir, disebut sebagai Pemohon atau

Applicant dari L/C itu.

b. Bank Penerbit atau Issuing Bank

Bank devisa yang dimintai bantuannya oleh importir untuk membuka

suatu L/C untuk keperluan eksportir disebut Bank Penerbit atau

Issuing Bank. Bank devisa inilah yang memberikan jaminan kepada

eksportir. Oleh karena itu, “nilai” L/C sangat tergantung pada nama

baik dan reputasi dari bank devisa yang membuka L/C tersebut.

Dalam penawaran biasanya disebutkan syarat pembayaran sebagai

berikut:

Payment: by opening an irrevocable confirmed Letter of Credit

through a first class bank or other reputable banks in our favour.

c. Bank Penerus atau Advising Bank

Bank Penerbit membuka L/C untuk eksportir melalui bank lain di

negara eksportir yang menjadi koresponden dari Bank Penerbit

108
Amir M.S., Op. Cit, hal. 3.

69

Universitas Sumatera Utara


70

tersebut. Bank korespondensi ini berkewajiban untuk menyampaikan

amanat yang terkandung dalam L/C kepada eksportir yang berhak.

Oleh karena itu, bank koresponden bersangkutan disebut Advising

Bank, atau Bank Penyampai Amanat.

d. Penerima atau Beneficiary

Eksportir yang menerima pembukaan L/C dan diberi hak untuk

menarik uang dari dana L/C yang tersedia itu disebut sebagai Penerima

L/C atau Beneficiary.

e. Bank Penegosiasi atau Negotiating Bank

Di dalam L/C biasanya disebutkan bahwa Beneficiary boleh

menguangkan (menegosiasikan shipping document) melalui bank

mana saja yang disukainya asalkan memenuhi syarat L/C. Bank yang

membayar dokumen itu disebut sebagai Negotiating Bank. Di dalam

L/C adakalanya disebutkan bahwa negosiasi L/C itu hanya boleh

dilakukan melalui bank tertentu saja, maka L/C semacam itu disebut

Restricted L/C. Bila L/C menyebutkan bahwa negosiasi dokumen

boleh dilakukan di bank mana saja, maka disebut Open L/C. Oleh

karena itu, Advising Bank tidak selalu menjadi Negotiating Bank.

B. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Letter of Credit

1. Hubungan Hukum Pemohon dan Penerima

Kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C ialah kontrak penjualan.

Kontrak penjualan memuat hak dan kewajiban pembeli (yang dalam UCP menjadi

pemohon) dan penjual (yang dalam UCP menjadi penerima). Klausul cara

Universitas Sumatera Utara


71

pembayaran dalam kontrak penjualan harus dituangkan menjadi L/C. L/C

diterbitkan karena kontrak penjualan mengatur demikian. L/C diterbitkan bank

penerbit atas permintaan pemohon sesuai dengan kontrak penjualan.109

Dalam kontrak penjualan, para pihak sepakat untuk menggunakan cara

pembayaran dengan L/C yang akan menimbulkan kewajiban bagi pembeli untuk

mengajukan penerbitan L/C kepada bank. Selanjutnya akan menimbulkan

kewajiban bagi penjual untuk menggunakan L/C sebagai cara pembayaran

transaksi dari pembeli melalui bank. Dengan demikian tidak terdapat pembayaran

langsung oleh pembeli dan penjual. Dalam kontrak tersebut pada umumnya juga

dicantumkan bank yang akan menerbitkan/ meneruskan L/C kepada penjual.110

Bank penerbit atau bank penerus bukan para pihak dalam kontrak

penjualan walaupun nama kedua bank ini dimuat dalam kontrak penjualan. Para

pihak dalam kontrak penjualan adalah pembeli dan penjual. Sengketa mengenai

barang yang menjadi subyek kontrak penjualan harus diselesaikan antara pembeli

dan penjual dengan merujuk pada kontrak penjualan.

L/C yang diterbitkan atas dasar kontrak penjualan, menurut hukum L/C

merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan. Sengketa kontrak

penjualan tidak boleh dikaitkan dengan L/C. L/C adalah L/C dan kontrak

penjualan adalah kontrak penjualan. Pemisahan seperti ini dinamakan prinsip

pemisahan kontrak atau prinsip independensi L/C. Dalam pelaksanaannya

kadang-kadang terjadi intervensi atas prinsip pemisahan kontrak tersebut.

109
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 85.
110
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 142.

Universitas Sumatera Utara


72

Sengketa mengenai barang yang merupakan subyek kontrak penjualan diikuti

dengan penangguhan pembayaran yang merupakan subyek L/C. 111

Niat melakukan penipuan (fraud) dalam transaksi L/C sebenarnya dapat

lahir pada saat pembeli dan penjual melakukan negosiasi kontrak penjualan. Bila

pembeli dan penjual beritikad tidak baik, maka relatif mudah bagi keduanya untuk

menguras dana bank melalui penipuan. Kegiatan penipuan ini beraneka ragam

bentuknya, seperti pemberian tanggal mundur pada bill of lading dengan

sepengatahuan penjual, pemalsuan bill of lading dengan sepengatahuan penjual,

penggantian kualitas barang dengan sengaja oleh penjual atau oleh pihak ketiga

dengan sepengatahuan penjual, atau mengurangi kuantitas barang dengan sengaja

oleh penjual atau oleh pihak ketiga dengan sepengatahuan penjual, atau ekspor

fiktif. Penipuan dalam transaksi L/C ini dapat terjadi dalam lingkup hukum

perdata atau hukum pidana, sehingga penipuan dapat berupa penipuan perdata

(civil fraud) atau penipuan pidana (criminal fraud).

Bila penipuan terjadi pada tahapan hubungan kontraktual antara pembeli

dan penjual, maka penipuan ini terjadi dalam transaksi internasional. Dalam

transaksi internasional, relatif mudah menangani penipuan perdata, namun relatif

sulit menangani penipuan pidana. Ketika terjadi penipuan perdata dalam

hubungan kontraktual antara pembeli dan penjual, bentuknya dapat berupa

kesepakatan melakukan ekspor fiktif atau kesepakatan mengirim barang yang

tidak sesuai dengan kontrak penjualan.

Bila bank penerbit dapat memperoleh bukti mengenai kebenaran ekspor

fiktif atau pengiriman barang yang tidak sesuai dengan kontrak penjualan, maka

111
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


73

bank penerbit wajib menolak pembayaran L/C yang diterbitkannya. Penolakan

yang demikian ini telah sejalan dengan putusan pengadilan-pengadilan

internasional berkenaan dengan penipuan.

Perbuatan untuk melakukan ekspor fiktif, selain perbuatan perdata, juga

merupakan perbuatan pidana. Namun, hukum pidana nasional relatif sulit untuk

diberlakukan terhadap pelaku ekspor fiktif yang berasal dari negara lain.

Penerapan hukum pidana nasional hanya dapat dilakukan terhadap pihak ketiga

yang berasal dari negara lain jika di antara kedua negara, yaitu negara yang warga

negaranya dirugikan dan negara yang warganya merugikan, telah terdapat

perjanjian bilateral yang berisi kerja sama di antara kedua negara dalam bidang

pemidanaan. Berkenaan dengan perjanjian bilateral ini, maka dalam hukum

pidana nasional masing-masing negara perlu dibuat pengaturan yang menyatakan

bahwa perbuatan ekspor fiktif merupakan perbuatan pidana.112

2. Hubungan Hukum Pemohon dan Bank Penerbit

Hubungan hukum antara pemohon dan bank penerbit didasarkan pada

kontrak yang dinamakan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C

diperlukan dalam rangka merealisasi cara pembayaran sebagaimana diatur dalam

kontrak penjualan. Jika bank penerbit setuju untuk melaksanakan permintaan

pemohon, maka bank penerbit menerbitkan L/C. L/C dengan demikian diterbitkan

berdasarkan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C dan kontrak

penjualan juga terpisah satu sama lain.113

Kewajiban bank penerbit sesuai kontrak adalah menerbitkan L/C sesuai

persyaratan dan kondisi yang ditetapkan pembeli dan membayar apabila penjual
112
Ramlan Ginting (III), Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, (Jakarta: Salemba
Empat, 2007), hal. 92.
113
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 86.

Universitas Sumatera Utara


74

mengajukan dokumen yang sesuai dengan (comply with) persyaratan dan kondisi

dalam L/C. Kewajiban pembeli adalah me-reimburse (membayar kembali) bank

penerbit L/C yang telah melaksanakan instruksi pembeli untuk melakukan

pembayaran kepada penjual.114

Dalam praktik, kontrak penerbitan L/C terdiri atas dua dokumen, yaitu

Formulir Permohonan Penerbitan L/C dan Syarat-syarat Umum Penerbitan L/C.

Kedua dokumen wajib disetujui oleh pembeli selaku pemohon dan bank selaku

pembeli fasilitas L/C. Bukti persetujuan dari permohonan adalah berupa

pembubuhan tanda tangan pada kedua dokumen. Bukti persetujuan dari bank

adalah berupa pembubuhan „fiat setuju‟ atau rumusan kata lain yang maksudnya

sama diikuti dengan identitas pihak bank pada kedua dokumen.115

Bank penerbit menerbitkan L/C kepada penerima tidak boleh menyimpang

dari permintaan penerbitan L/C. Jika bank penerbit melakukan penyimpangan,

maka bank penerbit bertanggung jawab akan dampak negatif (resiko) yang

mungkin timbul dari tindakannya. Pemohon hanya bertanggung jawab sebatas isi

permintaan penerbitan L/C. Pemohon berhak menolak pembayaran kembali

kepada bank penerbit terhadap L/C yang diterbitkan bank tersebut yang

menyimpang dari permintaan penerbitan L/C. Sikap ini sejalan dengan Trust

Theory yang mengatakan bahwa dana pemohon yang dibayarkan langsung kepada

bank penerbit merupakan dana khusus yang dimaksudkan untuk digunakan

sebagai pembayaran kepada pemegang wesel apakah penerima atau bank

pengaksep yang telah melakukan pembayaran L/C kepada penerima. Bank

penerbit berfungsi sebagai trustee.

114
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 142.
115
Ramlan Ginting (III), Op. Cit, hal. 93.

Universitas Sumatera Utara


75

Dana permohon tersebut sudah pasti hanya boleh digunakan oleh bank

penerbit sepanjang bank penerbit bertindak sesuai dengan isi permintaan

penerbitan L/C yang telah disepakati antara pemohon dan bank penerbit. Apabila

bank penerbit bertindak di luar kesepakatan sehingga merugikan pemohon, maka

pembayaran yang telah dilakukan oleh bank penerbit kepada penerima baik

langsung ataupun melalui kuasanya menjadi tanggungjawab bank penerbit dan

tidak boleh dibebankan kepada pemohon.116

Dalam pelaksanaan kontrak penerbitan L/C ini seharusnya tidak akan

terjadi penipuan, kecuali pembeli dan penjual memang sejak saat pembuatan

kontrak penjualan telah sepakat untuk melakukan penipuan. Jika demikian halnya,

kontrak penjualan yang dibuat oleh keduanya tidak merupakan kontrak penjualan

yang sebenarnya. Bila benar telah ada kesepakatan tersebut, maka sebagai

akibatnya kontrak penerbitan L/C antara pembeli dan bank penerbit hanya

memiliki kebenaran formal. Bank penerbit akan mengalami kesulitan untuk

mendeteksi penipuan terencana seperti ini.

Namun, dalam hubungan kontraktual antara pembeli dan bank penerbit ini

dapat juga terjadi penipuan bila pembeli dan „pihak‟ bank penerbit sepakat dan

bekerja sama melakukannya. Penipuan dapat terjadi bila „pihak tertentu‟ pada

bank penerbit merencanakan untuk melakukan penipuan tanpa bekerja sama

dengan pembeli. Pada bentuk penipuan terakhir ini, oknum dimaksud dapat

menggunakan jasa pembeli palsu atau pembeli fiktif.

Hubungan hukum antara pembeli dan bank penerbit ini merupakan

hubungan yang bersifat nasional. Sehingga, dalam hal terjadi penipuan baik

116
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 87.

Universitas Sumatera Utara


76

penipuan perdata maupun penipuan pidana, penanganannya dilakukan

berdasarkan hukum nasional. Namun, hendaknya tidak dilupakan bahwa dampak

dari hubungan hukum yang bersifat nasional ini dapat bersifat internasional bila

berdampak pada negara lain.117

3. Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Penerima

Hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima lahir atas dasar L/C

yang diterbitkan bank penerbit yang disetujui penerima. Persetujuan penerima

terhadap L/C diwujudkan melalui pengajuan dokumen-dokumen yang

dipersyaratkan L/C kepada bank penerbit. Tetapi, penerima tidak berkewajiban

untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh bank penerbit. Sebelum L/C disetujui

oleh penerima, maka L/C merupakan kontrak sepihak dari bank penerbit yang

tidak mengikat penerima. L/C diterbitkan atas dasar permintaan penerbitan L/C

tetapi kedua kontrak ini terpisah satu sama lain.

Hak dan kewajiban bank penerbit dan penerima diatur dalam UCP

sepanjang L/C tunduk pada UCP. Namun, walaupun L/C tunduk pada UCP tidak

berarti bahwa semua ketentuan UCP harus berlaku bagi L/C tersebut. L/C dapat

memuat klausul-klausul tersendiri terlepas dari ada atau tidak pengaturannya

dalam UCP. Dalam hal klausul-klausul tersebut bertentangan dengan ketentuan

UCP, maka yang berlaku adalah klausul-klausul tersebut. Namun, dalam hal

klausul-klausul tersebut tidak diatur dalam UCP maka dengan sendirinya klausul-

klausul tersebut berlaku bagi L/C. Pengaturan klausul-klausul demikian dalam

L/C sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dikenal secara internasional.

117
Ramlan Ginting (III), Op. Cit, hal. 93.

Universitas Sumatera Utara


77

Hak dan kewajiban bank penerbit dan penerima terutama berkenaan

dengan masalah L/C yang tidak diatur dalam UCP dan L/C tunduk pada hukum

nasional. Penentuan hukum nasional tersebut dilakukan atas dasar klausul pilihan

hukum dalam L/C atau berdasarkan teori penentuan hukum nasional yang berlaku

bagi L/C yang dilakukan oleh hakim. Terlepas dari L/C tunduk atau tidak pada

UCP atau L/C tunduk sekaligus pada UCP dan hukum nasional, hakikat dari L/C

adalah “janji pembayaran” dari bank penerbit kepada penerima. Bank penerbit

melakukan pembayaran kepada penerima sepanjang ia mengajukan dokumen-

dokumen yang dipersyaratkan L/C. Hal ini sejalan dengan Agency Theory dan

Seller‟s Offer Theory.

Menurut Agency Theory, dalam kontrak penjualan terdapat kuasa secara

tersirat dari penjual kepada pembeli untuk melakukan pembayaran sesuai dengan

ketentuan pembayaran dalam kontrak penjualan. Sehubungan dengan itu, pembeli

yang mengupayakan penerbitan L/C untuk kepentungan penjual dapat dianggap

sebagai agen penjual. L/C tersebut merupakan tambahan terhadap kontrak

penjualan atas dasar mana bank berjanji untuk membayar harga penjualan kepada

penjual sepanjang penjual menyerahkan document of title dari barang yang

bersangkutan. Sementara menurut Seller‟s Offer Theory, penjual, dengan pengatur

dalam kontrak penjualan ketentuan L/C yang tidak dapat dibatalkan menawarkan

untuk menyerahkan document of title atas barang kepada bank pembayar yang

membayarkan wesel penjual.

Selama realisasi pembayaran L/C berjalan lancar, maka tidak perlu

dipermasalahkan “referensi hukum”

Universitas Sumatera Utara


78

4. Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Bank Penerus

Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus didasarkan pada

instruksi bank penerbit kepada bank penerus yang disetujui bank penerus. Bank

Penerbit memberi instruksi kepada bank penerus untuk meneruskan L/C.

Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus adalah “hubungan

keagenan” dimana bank penerbit bertindak sebagai prinsipal dan bank penerus

sebagai agen. Hak dan kewajiban kedua bank ini diatur dalam instruksi bank

penerbit yang dimuat didalam L/C. Selain itu, hak dan kewajiban kedua bank juga

diatur dalam UCP jika L/C tunduk pada UCP. UCP mengatur hak dan kewajiban

bank penerbit dan bank penerus dalam melakukan penerusan dan perubahan L/C

kepada penerima. Sebagai bank penerus saja bank ini tidak berkewajiban untuk

melakukan pembayaran, negosiasi, atau akseptasi terhadap wesel penerima, 118

terkecuali bank penerbit menentukan peranan bank yang ditunjuk sebagai bank

pembayar (paying bank), bank penegosiasi (negotiating bank), bank pengaksep

(accepting bank), atau bank pengkonfirmasi (confirming bank).

Tugas suatu bank sebagai bank penerus adalah menerima L/C dari bank

penerbit, menentukan keabsahan L/C yang diterimanya, meneruskan L/C kepada

penjual, menerima dokumen L/C dari penjual, dan mengirimkan dokumen L/C

kepada bank penerbit.

Bilamana bank yang ditunjuk sekaligus juga menjalankan peran sebagai

bank penerus, maka bank yang ditunjuk menjalankan peran ganda, yaitu sebagai

institusi yang menangani lalu lintas „dokumen‟ dan institusi yang melakukan

118
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 89.

Universitas Sumatera Utara


79

pembayaran L/C. Pelaksanaan peran ganda semacam ini lazim ditemukan dalam

praktik perbankan internasional.

Setiap bank penerbit berhak menunjuk suatu bank sebagai bank sebagai

bank yang ditunjuk untuk melaksanakan instruksi bank penerbit berupa

pembayaran L/C. Namun, setiap bank yang ditunjuk berhak pula menolak

penunjukan sebagai bank yang ditunjuk. Artinya, bank penerbit tidak berhak

memaksa bank yang ditunjuk agar bersedia melaksanakan instruksinya. Tanpa

persetujuan bank yang ditunjuk, instruksi bank penerbit tidak akan pernah

dilaksanakan. Dengan kata lain kesepakatan ini diindikasikan dalam kontrak

keagenan (agency contract) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dapat

juga dikatakan, bank penerbit adalah pemberi kuasa dan bank yang ditunjuk

adalah penerima kuasa. Perjanjuan di antara keduanya dalah perjanjian pemberian

kuasa.

Namun, perlu dipahami bahwa kontrak keagenan tidak merupakan kontrak

yang berdiri sendiri. Kontrak keagenan merupakan bagian dari L/C sebagai

kontrak. Dalam kontrak L/C yang telah dikenal secara internasional lebih dari 70

tahun, selalu ditemukan keberadaan dua kontrak sekaligus , yaitu L/C sendiri atau

sering disebut L/C murni sebagai kontrak dan kontrak keagenan. Kedua kontrak

ini dapat diidentifikasikan dalam sebuah L/C melalui identifikasi substansi

masing-masing kontrak. L/C murni substansinya mengatur hubungan kontraktual

antara bank penerbit dan penjual, sementara kontrak keagagenan substansinya

mengatur hubungan kontraktual antara bank penerbit dan bank yang ditunjuk.

Dilihat dari segi transaksi, transaksi L/C murni selesai ketika penjual

menerima pembayaran L/C dari bank yang ditunjuk. Sementara, transaksi kontrak

Universitas Sumatera Utara


80

keagenan baru selesai setelah bank yang ditunjuk menerima reimbursement dari

bank penerbit. Transaksi L/C murni lebih dahulu selesai dibanding transaksi

kontrak keagenan.

Tetapi, telah diterima dan telah menjadi kebiasaan secara internasional,

bahkan universal, bahwa kedua kontrak tersebut berada sebagai kesatuan dalam

satu dokumen yang sama yang dinamakan L/C. Dengan demikian, L/C yang

dikenal sehari-hari itu adalah L/C dalam arti luas yang mencakup L/C murni dan

kontrak keagenan.119

Dalam hal bank penerus adalah juga sebagai bank pengkonfirmasi

(confirming bank), maka kewajiban bank ini adalah sama dengan kewajiban bank

penerbit yaitu melakukan pembayaran, negosiasi, atau akseptasi wesel terhadap

penerima. Konsekuensinya, bank pengkonfirmasi berkewajiban pula melakukan

penetilitian kesesuaian antara dokumen-dokumen yang diajukan dan L/C sebagai

syarat untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi.120

Dalam kapasitasnya bank penerus juga sebagai bank penegosiasi

(negotiating bank), maka bank ini berkewajiban melakukan penelitian atas

dokumen-dokumen yang diajukan dan melakukan pembayaran dengan cara

membeli (menegosiasi) dokumen-dokumen tersebut jika ada penyimpangan. Bank

penegosiasi melakukan pembelian dokumen-dokumen dengan hak regres terhadap

penerima, tetapi sebagai bank penegosiasi bank ini tidak turut menjamin

pembayaran L/C sebagaimana halnya bank pengkonfirmasi. Bank penegosiasi

berhak melakukan pembelian dokumen-dokumen L/C atau menolaknya. Atas

pembelian dokumen-dokumen ini, bank penegosiasi berhak pula meminta

119
Ramlan Ginting (III), Op. Cit, hal. 96.
120
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


81

pembayaran kembali kepada bank penerbit atau pereimburs yang ditunjuk bank

penerbit.121

Kemudian, jika bank penerus juga bertindak sebagai bank pembayar

(paying bank), maka bank ini melakukan pembayaran kepada penerima yang

mengajukan dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Bank

pembayar melakukan pembayaran tanpa hak regres terhadap penerima. Bank

pembayar melakukan pembayaran kepada penerima atas beban rekening valuta

asing bank penerbit yang ada pada bank pembayar atau pembayaran kembali dari

bank penerbit atau atas beban rekening bank penerbit pada bank pereimburs yang

ditunjuk bank penerbit.

Selanjutnya, jika bank penerus juga bertindak sebagai bank pengaksep,

maka bank ini diminta melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan

penerima dan melakukan pembayaran atas wesel berjangka yang diajukan

penerima dan melakukan pembayaran atas wesel berjangka tersebut kepada

penerima atau pemegang yang sah (bonafide holder) pada saat pembayaran jatuh

tempo. Bank pengaksep meminta pembayaran kembali dari bank penerbit atas

pembayaran yang dilakukannya.

Bank yang diberi kuasa oleh bank penerbit menjadi bank penerus tidak

harus sekaligus menjadi bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank penegosiasi

atau bank pengaksep. Artinya, bank penerus dapat berfungsi murni hanya sebagai

bank penerus dan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank

penegosiasi, atau bank pengaksep dilakukan oleh bank lain. Tindakan bank

penerus atau bank lain untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi

121
Ibid, hal. 90.

Universitas Sumatera Utara


82

merupakan kontrak yang mengikat (binding contract) terhadap bank penerbit

sepanjang persyaratan L/C dipenuhi.122

5. Hubungan Hukum Bank Penerus dan Penerima

Hubungan hukum antara bank penerus dan penerima tergantung dari

fungsi yang dilakukan oleh bank penerus sesuai dengan persyaratan L/C. Bank

penerus dapat berfungsi sebagai bank penerus semata-mata, bank pengkonfirmasi,

bank penegosiasi, bank pembayar, atau bank pengaksep.

Dalam hal bank penerus murni menjalankan fungsinya sebagai bank

penerus, maka kewajibannya terhadap penerima hanya terbatas pada penerusan

L/C dan penerusan perubahannya. Oleh karena itu, penerima tidak berhak untuk

meminta pembayaran L/C dari bank penerus. Tetapi, dalam hal bank penerus juga

sebagai bank pengkonfirmasi maka selain meneruskan L/C kepada penerima bank

ini juga melakukan konfirmasi atas L/C tersebut. Konsekuensinya, penerima dapat

meminta pembayaran L/C kepada bank pengkonfirmasi dimaksud karena

kewajiban bank pengkonfirmasi merupakan tambahan terhadap pembayaran dari

bank penerbit terhadap penerima. Kemudian, jika bank penerus bertindak pula

sebagai bank penegosiasi maka kewajiban bank ini yaitu selain meneruskan L/C

juga melakukan pembelian dokumen-dokumen yang diajukan penerima.

Seterusnya, apabila bank penerus diminta pula sebagai bank pembayar maka

kewajiban bank ini adalah meneruskan L/C dan melakukan pembayaran kepada

penerima. Selanjutnya, apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank

pengaksep, maka kewajiban bank ini selain meneruskan L/C kepada penerima

122
Ibid, hal. 91.

Universitas Sumatera Utara


83

juga melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan penerima dan

membayarnya pada saat pembayaran jatuh tempo.

Kecuali dalam kapasitas bank penerus murni sebagai bank penerus, maka

bank penerus dalam menjalankan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank

penegosiasi, bank pembayar, atau bank pengaksep wajib melakukan penelitian

atas kesesuaian dokumen-dokumen yang diajukan penerima dengan persyaratan

L/C. Jika dokumen-dokumen sesuai dengan L/C, maka bank tersebut

berkewajiban melakukan pembayaran L/C kepada penerima.123

Sejalan dengan putusan-putusan pengadilan internasional, bank yang

ditunjuk wajib menolak pembayaran L/C jika mengetahui terdapat penipuan

dalam transaksi L/C. Lihat misalnya pengadilan internasional yang memutus isu

penipuan tersebut dalam kasus Sztejn vs. J. Henry Schroder Banking Co. dan

kasus Bossier Bank &Trust Co. & Union Planters National Bank masing-masing

di Amerika, dan kasus United City Merchants vs. Royal Bank of Canada di

Inggris. Dalam hal terjadi penipuan, bank yang ditunjuk tidak perlu lagi terikat

pada „pemenuhan persyaratan L/C‟ yang dilihat sesuai dengan prinsip keterikatan

pada dokumen dan prinsip independensi. Singkatnya, bank yang ditunjuk wajib

menolak pembayaran jika mengetahui terdapat penipuan dalam transaksi L/C

terlepas dari apakah dipenuhi persyaratan L/C atau tidak.

Pengaturan mengenai penipuan tidak ditemukan dalam UCP 500 atau UCP

600. Bahkan UCP 500 atau UCP 600 menyatakan, walaupun tidak tegas, bahwa

bank tidak bertanggung jawab atas terjadinya penipuan dalam transaksi L/C (UCP

123
Ibid, hal. 92.

Universitas Sumatera Utara


84

500 Artikel 15 atau UCP 600 Artikel 34). Penipuan memang dimaksudkan untuk

menjadi materi aturan hukum nasional masing-masing negara.

Sebenarnya, prinsip independensi dan prinsip keterikatan pada dokumen

selain dibuat untuk tujuan kelancaran pelaksanaan L/C, sebaliknya dapat juga

dimanfaatkan oleh pihak yang beritikad tidak baik untuk tujuan melakukan

penipuan. Dengan perkataan lain, sistem L/C memiliki kekuatan dan kelemahan

sekaligus. Pemanfaatan kelemahan L/C dimaksud perlu dideteksi oleh bank agar

bank tidak menjadi korban penipuan.124

Pelaksanaan pembayaran L/C tunduk pada UCP dan hukum nasional yang

berkaitan dengan L/C. UCP hanya sebagai “payung” terhadap pelaksanaan

pembayaran L/C, sedangkan teknis realisasi pembayarannya diatur dalam hukum

nasional.

Di Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang. Sementara, di Amerika diatur dalam Uniform Commercial Code

(UCC) dan di Inggris diatur dalam Bills of Exchange Act 1882. UCP dan hukum

nasional saling melengkapi dalam mewujudkan pembayaran L/C. Khusus di

Amerika, fungsi UCP sebagai payung bahkan dapat digantikan oleh UCC. 125

C. Mekanisme Penerbitan Letter of Credit Oleh Bank

1. Tahapan Penerbitan Letter of Credit Oleh Bank

Letter of Credit dapat dibuka setiap saat setelah kontrak penjualan

ditandatangani, namun harus dilakukan sebelum pengiriman barang dilakukan. Ini

124
Ramlan Ginting (III), Op. Cit, hal. 98.
125
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


85

adalah keuntungan bagi penjual untuk membuka L/C sesegera mungkin setelah

kontrak jual beli ditandatangani.126 Adapun syarat-syarat yang harus dilengkapi

dalam penerbitan Letter of Credit adalah sebagai berikut:127

a. L/C harus merupakan commercial documentary L/C sehingga importir

dapat menentukan persyaratan yang tercantum dalam L/C disesuaikan

dengan kebutuhan, untuk pengamanan administrasi dan persyaratan

dikeluarkannya Surat Izin Impor Persyaratan:

q. Nama dan alamat penerima L/C;

r. Besarnya jumlah dana atau kredit yang tersedia;

s. Keharusan penerima L/C (eksportir) untuk menarik wesel;

t. Jenis wesel, misalnya: wesel untuk (Demand/ Sight Bill of) atau wesel

berjangka (Time Draft atau Long Bill of Exchange);

u. Dokumen-dokumen beserta jumlah rangkapnya: duplicate untuk

rangkap 2, triplecate untuk rangkap 3, quadruplicate untuk rangkap 4.

b. Kelengkapan dokumen.

c. Uraian barang secara ringkas tetapi jelas.

d. Persyaratan pengiriman barang, misalnya: pelabuhan muat (loading

port), dan pelabuhan tujuan (destination atau discharging port).

e. Persyaratan yang diwajibkan oleh instansi yang berwenang, misalnya

nomor license, nomor export license, nomor order, nomor kontrak

penjualan dan merek dagang dari barang.

126
Rumu Sarkar, Op. Cit, hal. 21.
127
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 54.

Universitas Sumatera Utara


86

f. Klausula tentang ada atau tidaknya suatu hak penerima L/C untuk

mengoperkan L/C kepada pihak lain atau supplier lain, dengan

mencantumkan assignable L/C atau transferable L/C.

g. Waktu berlakunya L/C harus lebih lama dari pada waktu pengapalan

terakhir, sekurang-kurangnya harus sama dengan tanggal pengapalan

terakhir.

Meskipun terdapat perbedaan bentuk dan ketentuan di tiap-tiap bank,

secara umum hal-hal yang dimasukkan ke dalam L/C antara lain:128

a. Nama Issuing Bank, dan tipe kredit dengan nomor dan tanggal;

b. Tanggal berlakunya kredit, tanggal terbaru untuk pengiriman juga

dapat dipaparkan;

c. Atas nama siapa kredit tersebut diterbitkan (applicant/ pembeli);

d. Jumlahnya (termasuk mata uang yang digunakan);

e. Apakah pengiriman secara bertahap dan/ atau transshipment diijinkan;

f. Karena beneficiary disyaratkan membuat bill of exchange (umumnya

disebut “draft” di dalam L/C):

v. Ketentuan di dalam draft;

w. Apakah draft akan ditarik pada sebuah bank yang ditunjuk atau

pembeli;

g. Ports dari pengiriman dan tujuan dari barang (terkadang hanya negara

yang dituliskan);

h. Definisi singkat mengenai barang;

i. Harga dab ketentuan pengiriman, co/ CIF (Port Tujuan);

128
Ibid, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara


87

j. Dokumen yang diperlukan;

k. Kondisi-kondisi lain yang dapat diterapkan terhadap kredit;

l. Periode yang ditentukan setelah tanggal penerbitan dari B/L atau

dokumen lainnya yang membuktikan transportasi selama yang mana

dokumen harus ditunjukkan untuk pembayaran, penerimaan atau

negosiasi;

m. Pernyataan bahwa kredit tersebut adalah subyek dari ketentuan UCP;

n. Sertifikat yang merupakan tanggung jawab bank penerbit diterbitkan,

hal tersebut dapat diimplikasikan dari tipe kredit yang diindikasikan di

dalamnya.

Pihak pemohon (applicant) mengisi aplikasi dengan bank penerbit

sebagaimana aplikasi memenuhi ketentuan di atas. Bank menerima aplikasi L/C

yang telah selesai, dan memprosesnya. L/C kemudian dikirim ke penerima secara

langsung atau melalui Bank Penerus (Advising Bank) melalui transmisi elektronik.

Bergantung pada kelayakan kredit pemohon, bank penerbit dapat memutuskan

bahwa daya jual barang-barang yang mendasarinya tidak menjadi masalah dan

oleh karena itu tidak memerlukan jaminan khusus diberikan oleh pihak pemohon.

Jika tidak ada jaminan dari pihak pemohon oleh bank penerbit, hal ini dikenal

sebagai L/C tanpa jaminan (unsecured L/C).129 Setelah selesai pada tahapan ini

maka dapat melanjutkan pada tahapan selanjutnya yaitu Penyerahan dan

Pembayaran Barang.

129
Rumu Sarkar, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


88

2. Tahapan Pembayaran dan Penyerahan Barang Dalam Letter of

Credit

Untuk menarik atau mendapatkan pembayaran atas L/C, penerima harus

menyerahkan dokumen sebelum tanggal kadaluwarsa L/C. Selanjutnya, agar bank

penerbit dapat memeriksa dokumen dan memberi kesempatan kepada penerima

untuk memperbaiki kecacatan dalam dokumentasi, disarankan untuk melakukan

presentasi paling sedikit 7 hari sebelum tanggal kadaluwarsa. 130 Dokumen-

dokumen yang pada umumnya harus dilengkapi penerima untuk mendapatkan

pembayaran atas L/C, antara lain:131

a. Bill of Lading (B/L) yang dikeluarkan oleh pengangkut atau agen yang

bertindak dan untuk dan atas nama pengangkut atau nakhoda kepada

penjual untuk barang yang akan diangkut. Bill of Lading ini berfungsi

sebagai dokumen yang memberitahukan kepemilikan atas barang-

barang yang diuraikan didalamnya.

b. Faktur Dagang yang disiapkan oleh penjual untuk pembeli yang

menjelaskan barang yang dijual bersama dengan biaya barang

dagangan tersebut.

c. Draft atau Bill of Exchange (B/L) yang merupakan instrumen yang

dapat dinegosiasikan atau dibayarkan kepada penjual dan ditarik ke

bank penerbit dan/ atau pembeli, hampir seperti cek yang ditarik pada

akun pembeli, namun dikeluarkan oleh penjual. Konsep seperti itu

meski tidak diwajibkan secara hukum, mungkin dapat berupa Sight

Draft ataupun Time Draft.

130
Ibid.
131
Ibid, hal. 19.

Universitas Sumatera Utara


89

d. Dokumen resmi pemerintah atau dokumen lain yang menunjukkan

bahwa barang tersebut siap untuk dieskpor (misalnya lisensi ekspor)

dan memenuhi persyaratan peraturan negara pengimpor (misalnya

lisensi devisa).

e. Sertifikat inspeksi yang menunjukkan bahwa barang telah melewati

pemeriksaan mutu sebelum dikirim. Agen pembeli atau agen

independen harus melakukan pemeriksaan barang untuk memverifikasi

yang sesuai dengan kontrak penjualan.

f. Sertifikat asuransi yang menunjukkan bahwa penerima memperoleh

asuransi untuk pengangkutan barang atau jika ada, bahwa penjual telah

memperoleh asuransi tersebut.

Jika dokumen telah siap, maka penerima akan menyerahkan dokumen

tersebut kepada Bank Penerus (Advising Bank) dan Bank Penerus akan

mempelajari isi dokumen. Apabila dokumen yang dimaksud telah memenuhi

syarat (sesuai dengan kondisi L/C) maka dokumen akan dikirimkan kepada Bank

Penerbit (Issuing Bank) untuk meminta pembayaran, jika tidak maka dokumen

akan ditolak dan dikembalikan kepada penerima serta memberitahukann

penyimpangan yang telah terjadi.

Begitu dokumen diterima, Bank Penerbit akan memeriksa kelengkapan

dan kesesuaian dokumen yang diterima dengan Term and Condition di dalam

L/C. Jika tidak sesuai maka pembayaran akan ditolak dan jika sesuai maka Bank

Penerbit akan membayar pihak penerima (seller) melalui Bank Penerus (Advising

Bank), serta mengirimkan dokumen tersebut ke pihak buyer. Dengan dokumen

asli yang diterima dari Bank Penerbit, pihak buyer akan mengambil barang/ jasa

Universitas Sumatera Utara


90

di custom. Tanpa dokumen asli tersebut, pihak buyer tidak akan bisa mengambil

barang/ jasa tersebut.132 Dari penjelasan diatas dapat digambarkan skema tahapan

proses penyelesaian L/C sebagai berikut:133

Pemohon
5 Penerima
(Applicant)
(Beneficiary)

10 9 2 6 4 8

3
Bank Penerbit Bank Penerus
(Issuing Bank) (Advising Bank)
8

Keterangan lebih lanjut skema di atas:

1. Pemohon (Applicant) dan Penerima (Beneficiary) mengadakan

perjanjian dan persetujuan barang yang tertuang dalam sales contract.

2. Pemohon (Applicant) melakukan pembukaan L/C di Bank Penerbit

(Issuing Bank).

3. Berdasarkan aplikasi Pemohon (Applicant), Bank Penerbit (Issuing

Bank) meneruskan L/C ke Bank Penerus (Advising Bank) berikut

syarat-syarat yang harus dipenuhi.

4. L/C berikut dokumen diserahkan oleh Bank Penerus (Advising Bank)

kepada Penerima (Beneficiary).

132
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 36.
133
Kasmir, Op. Cit, hal. 215.

Universitas Sumatera Utara


91

5. Setelah menerima dokumen dari Bank Penerus (Advising Bank), maka

Penerima (Beneficiary) mengirim barang kepada importir sesuai

perjanjian.

6. Bukti pengiriman barang berikut dokumen oleh Penerima

(Beneficiary) diserahkan untuk memperoleh pembayaran dari Bank

Penerus (Advising Bank).

7. Bank Penerus (Advising Bank) akan melakukan pembayaran setelah

mempelajari dokumen yang diserahkan Penerima (Beneficiary)

memenuhi syarat.

8. Bank Penerus (Advising Bank) meneruskan dokumen pembayaran dan

pengapalan barang kepada Bank Penerbit (Issuing Bank) untuk

menerima pembayaran kembali.

9. Bank Penerbit (Issuing Bank) akan mempelajari dokumen dari Bank

Penerus (Advising Bank) dan apabila sudah lengkap barulah akan

dibayar kembali. Bank Penerbit (Issuing Bank) memberitahukan

Pemohon (Applicant) atas kedatangan dokumen dari Penerima

(Beneficiary)/ Bank Penerus (Advising Bank).

10. Pemohon (Applicant) akan melunasi pembayaran L/C yang telah

dibuatnya serta memperoleh dokumen yang dikirim oleh Bank Penerus

(Advising Bank).

D. Pilihan Hukum dalam Letter of Credit

Dalam transaksi L/C, pengaturan pilihan hukum tidak sesederhana

sebagaimana halnya penentuan pilihan hukum dalam kontrak pada umumnya. Hal

Universitas Sumatera Utara


92

ini disebabkan transaksi L/C melibatkan beberapa kontrak yang terkait satu sama

lain. Kontrak-kontrak tersebut pada dasarnya terdiri dari kontrak penjualan,

permintaan penerbitan L/C, L/C dan kontrak keagenan134 seperti yang juga telah

dijelaskan diatas masing-masing kontrak berbeda para pihaknya.

Merujuk beberapa hubungan hukum dalam L/C, hubungan hukum antara

(i) pemohon dengan penerima, (ii) bank penerbit dengan penerima, dan (iii) bank

penerbit dengan bank penerus berpotensi menimbulkan conflict of law mengingat

para pihak dalam kedua hubungan tersebut berkedudukan di dua negara yang

berbeda. Sementara hubungan hukum yang terjadi antara (i) pemohon dengan

bank penerbit dan (ii) bank penerus dengan penerima, tidak menimbulkan

permasalahan conflict of law karena kedua hubungan tersebut pada umumnya

terjadi pada negara yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pilihan

hukum yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa L/C ditentukan

berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Apabila dalam kontrak L/C telah dicantumkan pilihan hukum, maka

kesepakatan para pihak tersebut menjadi pedoman/rujukan dalam

penyelesaian sengketa L/C.

b. Dalam hal kontrak L/C tidak mencantumkan pilihan hukum, maka

hakim atau arbiter yang akan menentukan hukum mana yang harus

diberlakukan. Untuk menentukan hukum yang akan diberlakukan,

hakim atau arbiter dapat menggunakan teori yang ada dalam Hukum

Perdata Internasional, antara lain teori lex loxi contractus, lec loxi

solutionis atau characterisitc connections.

134
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 117.

Universitas Sumatera Utara


93

Teori lex loci contractus menetapkan bahwa hukum nasional yang berlaku

untuk kontrak adalah hukum nasional tempat kontrak ditandatangani. L/C

ditandatangani oleh bank penerbit dan oleh karena itu, hukum nasional yang

berlaku adalah hukum nasional negara di mana bank penerbit berada.

Teori lex loci solutions mengatakan bahwa hukum nasional yang berlaku

adalah hukum negara tempat pelaksanaan kontrak L/C. L/C dilaksanakan dengan

cara menerbitkan dan melakukan pembayaran L/C. Bank yang menerbitkan dan

membayar L/C adalah bank penerbit, sehingga hukum nasional yang berlaku atas

L/C adalah hukum nasional di mana bank penerbit berada.135

Teori most characteristic connection menentukan bahwa hukum nasional

yang berlaku adalah hukum negara yang memiliki keterkaitan paling dekat dan

paling nyata dengan transaksi L/C. Terdapat perbedaan antara negara yang

menganut civil law dan common law yang berdampak kepada penentuan hukum

negara yang digunakan. Dalam yang menganut civil law masih terdapat sejumlah

perbedaan apakah dengan ditunjuknya bank koresponden sebagai bank-bank

tertunjuk akan berpengaruh kepada penentuan hukum yang berlaku. Namun

demikian, sebagian pengadilan dan pakar hukum berpendapat bahwa penunjukan

bank tertunjuk merupakan realokasi pelaksanaan L/C dari bank penerbit kepada

bank tertunjuk dan menganggap adanya bank tertunjuk sebagai faktor

pertimbangan dalam menentukan hukum yang berlaku (applicable law). Namun

demikian, dalam hal bank koresponden hanya bertindak sebagai bank penerus

(advising bank), maka hukum yang berlaku adalah hukum negara bank penerbit

135
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 144.

Universitas Sumatera Utara


94

mengingat kewajiban bank penerus yang terbatas memberikan jasa penerusan L/C

dan tidak memiliki keterikatan erat dengan hukum negaranya.

Sebaliknya bagi negara yang menganut common law menyatakan bahwa

hukum yang digunakan adalah merujuk kepada hukum yang berlaku dimana

tempat bank koresponden berkedudukan meskipun kedudukan bank koresponden

hanya sebagai bank penerus (advising bank).

Khusus bagi L/C yang dikonfirmasi, baik yurisdiksi yang menganut civil

law maupun common law berpendapat bahwa hukum yang berlaku adalah hukum

di negara Bank Pengkonfirmasi berkedudukan mengingat kedudukan Bank

Pengkonfirmasi sama dengan kedudukan Bank Penerbit.136

Dalam hal L/C tunduk pada UCP, maka hak dan kewajiban para pihak

dalam rangka pelaksanaan L/C telah jelas diatur dalam UCP selain dalam L/C.

Untuk kontrak keagenan, dalam praktik, penulis belum pernah melihat ada

pengaturan klausul pilihan hukum tersendiri di luar L/C antara bank penerbit dan

bank penerus. Pilihan hukum untuk kontrak keagenan ini adalah UCP sepanjang

L/C tunduk pada UCP. Hal ini karena instruksi pelaksanaan L/C tunduk pada

UCP, maka dengan sendirinya kontrak keagenan yang lahir berdasarkan instruksi

tersebut dan merupakan bagian dari L/C juga tunduk pada UCP. 137 Namun ada

kalanya pilihan hukum sebagai hukum yang berlaku atas L/C sebagai kontak juga

merupakan isu penting. Dengan menerbitkan L/C yang tunduk pada UCP 500 atau

UCP 600 belum berarti L/C telah memiliki governing law. UCP 500 atau UCP

600 dapat dianggap sebagai „governing law‟ hanya untuk mekanisme dan

prosedur penerbitan L/C. Untuk isu-isu hukum seperti penipuan, governing law-

136
Ibid, hal. 145.
137
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 118.

Universitas Sumatera Utara


95

nya harus tersendiri di luar UCP 500 atau UCP 600. Dalam hal ini perlu

pemberlakuan hukum nasional berkenaan dengan L/C dari negara tertentu, misal

Amerika, Inggris, atau negara lainnya. Dengan demikian, idealnya, L/C selain

tunduk pada UCP 500 atau UCP 600, L/C juga tunduk pada hukum nasional

tertentu.138

E. Pilihan Forum dalam Letter of Credit

Pilihan forum (choice of forum) juga penting dalam transaksi L/C.

Transaksi L/C tidak selamanya berjalan dengan normal, ada kalanya terdapat

perselisihan hukum dalam pelaksanaan L/C. Dalam hal ini para pihak tentu perlu

memahami keberadaan forum yang dapat memeriksa dan menyelesaikan

perselisihan hukum tersebut. Forum dimaksud berupa forum peradilan umum atau

peradilan arbitrase. Mengingat bahwa kedudukan kedua forum ini sederajat dalam

menangani perselisihan hukum dalam pelaksanaan L/C, maka para pihak dalam

L/C sudah sewajarnya diberi pilihan untuk memilih forum peradilan umum atau

peradilan arbitrase. Para pihak tidak boleh memilih kedua forum sekaligus.

Putusan peradilan arbitrase (arbitral award) bersifat final dan binding, sama

kekuatannya dengan putusan peradilan umum yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap. Dengan demikian, bila perselisihan hukum dalam pelaksanaan L/C

telah diperiksa dan diselesaikan oleh forum peradilan arbitrase yang dibuktikan

dengan arbitral award, maka terhadap penyelesaian arbitrase ini tidak dapat

138
Ramlan Ginting (III), Op. Cit, hal. 67.

Universitas Sumatera Utara


96

dilakukan pemeriksaan ulang oleh forum peradilan umum, dan demikian

sebaliknya.139

Ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase

asing (internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat

dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan-ketentuan tersebut

pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New

York 1958.140

Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang

menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan putusan arbitrase internasional

adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.141

Selanjutnya pasal 66 mengatakan putusan arbitrase internasional hanya

diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:142

a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbiterase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada

perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, menganai

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

139
Ibid.
140
M. Hussyen Umar, “Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia” dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-
putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar- Kamis 8 April 2010,
diakses 2 Desember 2017.
141
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
142
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


97

b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a

terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a

hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang

tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

dan

e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a

yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak

dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh

eksekuator dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang

selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan

arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan

didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.143

143
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK (PRUDENT

BANKING PRINCIPLE) DALAM MENERBITKAN L/C

A. Prinsip Kehati-hatian Pada Bank (Prudent Banking Principle)

1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian

Istilah prinsip dalam bahasa Inggris disebut Priciple diartikan sebagai

dasar, sehingga menggunakan asas hukum berarti fondasi atau landasan dari suatu

aturan hukum. Black dalam bukunya memberi pengertian principle sebagai

berikut A fundamental truth or doctrine, as of law.

Suatu prinsip adalah suatu pernyataan atau suatu kebenaran yang pokok,

yang memberikan suatu petunjuk kepada pemikiran atau tindakan. Penerapan

prinsip kehati-hatian bank merupakan dasar untuk menjalankan kegiatan

operasional bank.

Istilah kehati-hatian dalam bahasa Inggris dapat dipadankan dengan care

sebagai kata benda dan carefull sebagai kata sifat. Sedangkan prudent sebagai

kata sifat diartikan sebagai bijaksana atau hati-hati. Menurut Black istilah prudent

diartikan sebagai “Sagacious in adapting means to end; circumspect in action, or

in deterneming any line of conduct. Practically wise, judicious, careful, discreet,

circumpect, sensible... in defineng neglegence, practically synonymous with

caution”.144

144
Toto Octaviano Dendhana, “Penerapan Prudential Banking Principle Dalam Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana” Lex et Societatis, Vol.1/No.1/Jan-
Mrt/2013, hal. 41.

98

Universitas Sumatera Utara


99

Bila melihat tulisan yang membahas perbankan maka prinsip kehati-

hatian diambil dari istilah prudent yang dalam tulisan-tulisan tersebut diistilahkan

sebagai prudential banking. Disamping itu ada pula tulisan yang menggunakan

istilah prudential regulation yang diartikan sebagai prinsip kehati-hatian bank

pada saat membicarakan tingkat kesehatan bank.

Istilah-istilah yang digunakan dalam berbagai tulisan ditanggapi oleh

Sjahdeini sebagai berikut : prinsip kehati-hatian oleh Undang-undang perbankan

1992 telah diambil sebagai terjemahan dari prudential principle yang sudah

dikenal dikalangan perbankan. Terjemahan itu tidak tepat, seharusnya prudential

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan arif, sedangkan prudential

priciple seyogyanya diterjemahkan dengan prinsip kearifan.

Bank Indonesia dalam menerjemahkan prudential banking ke dalam

Bahasa Indonesia sebagai prinsip kehati-hatian. Hal ini dicantumkan di dalam

peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bila dilihat pasal-

pasal dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan perubahannya dalam UU No. 10 Tahun

1998 ditemukan istilah prinsip kehati-hatian seperti tersebut dalam Pasal 2, Pasal

29 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berikut perubahannya dalam

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta penjelasan-penjelasan yang

terdapat dalam kedua undang-undang tersebut.

Pengertian kedua istilah tersebut tidak ditemukan baik didalam UU No. 7

Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998 maupun peraturan perbankan lainnya. Oleh

sebab itu menyimak isi yang tercantum dalam kedua undang-undang perbankan,

dapatlah dikatakan bahwa prinsip kehati-hatian adalah berkaitan dengan aktivitas

atau kegiatan perbankan dalam menjalankan operasionalnya sehingga melalui

Universitas Sumatera Utara


100

penerapan prinsip tersebut diharapkan dapat tercipta kondisi atau keadaan bank

yang sehat dan berfungsi dengan baik.145

Ross Cranston mengemukakan bahwa di perbankan, aturan kehati-hatian

(prudential regulation) membedakan antara aturan preventif dan aturan protektif

sebagai berikut:

a. Preventif, mencakup hal-hal bersifat teknis yang sengaja diadakan


untuk mencegah krisis dengan cara mengurangi risiko yang dihadapi
bank. Teknik-teknik ini meliputi pengawasan manajemen bank,
kecukupan modal, kemampuan perusahaan membayar kewajibannya
(solvensi), standar likuiditas, dan batas maksimum pemberian kredit.
b. Protektif, bermaksud memberikan perlindungan dan dukungan kepada
bank, terutama pada saat krisis mengancam. Fasilitas pinjaman dari
bank sentral (lender of last resort) merupakan manfaat yang segera
tersedia. Namun, hal utama adalah bantuan penyelamatan (rescue
operation) dan skema pembayaran di bawah asuransi perlindungan
deposan.146
Prinsip kehati-hatian tersebut harus tercermin dan menjadi bagian dalam

sikap dan prilaku dari manajemen dan direksi perusahaan, serta dituangkan dalam

sistem prosedur secara tertulis.

Pada korporasi yang bergerak dalam jasa perbankan, aspek hukum “the

prudential banking practice” sudah diakomodasikan dalam peraturan perundang-

undangan yang menegaskan bahwa Bank Indonesia menetapkan batas maksimum

pemberian kredit, pemberian jaminan penempatan investasi surat berharga (atau

hal lain yang serupa) yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam/ nasabah

yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan

bank tersebut.147

145
Ibid, hal. 42.
146
Juni Sjafrien Jahja, Prinsip Kehati-hatian Dalam Memberantas Manajemen Koruptif
Pada Pemerintah & Korporasi, (Jakarta: Visimedia, 2013), hal. 16.
147
Ibid, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


101

Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena

dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan nasabah

yang mempercayakan dananya kepada masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari

sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang

bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu saja. Dengan demikian,

prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik

dan benar dengan mematuhi ketentuan-ketantuan dan norma-norma hukum yang

berlaku dalam dunia perbankan agar bank selalu dalam keadaan sehat sehingga

masyarakat semakin mempercayainya yang pada gilirannya akan mewujudkan

sistem perbankan yang sehat dan efisien serta berkembang secara wajar dan

bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional.148

Begitu pun dalam hal bank melaksanakan kegiatan penanganan L/C, baik

perannya sebagai penerbit (issuing bank) maupun sebagai penegosiasi

(negotiating bank), bank harus selalu menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal itu

penting agar menghindari dari adanya sengketa yang berakibat bagi kesehatan

bank itu sendiri maupun dampak bagi perkembangan perekonomian nasional.

Resiko-resiko itu mungkin terjadi apabila adanya gagal bayar ataupun penipuan

dari pihak-pihak yang terlibat di dalam L/C tersebut. Oleh karena itu, secara garis

besar penerapan kehati-hatian bank dalam penanganan L/C dapat dibagi atas 2

tahap yaitu tahap penerbitan L/C dan tahap penelitian dokumen atas L/C. Kedua

tahap ini akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

148
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara


102

2. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Pada Bank Dalam UU No. 10

Tahun 1998

Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 dikemukakan, bahwa

perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.Dari ketentuan ini, menunjukkan

bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib

diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu

berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu

konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang

perbankan berdasarkan profesionalisme dan iktikad baik.

Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegas kembali mengenai pentingnya

prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, 149 yakni

dalam Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4).

Pasal 29 ayat (2) mengemukakan bahwa:150

Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,

rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha

bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-

hatian.

Pada ayat (3):

149
Hermansyah, Op. Cit, hal. 124.
150
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara


103

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara

yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang

mempercayakan dananya kepada bank.

Sedangkan ayat (4):

Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai

kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi

nasabah yang dilakukan melalui bank.

Jika memperhatikan Bab V UU Perbankan (terdiri dari Pasal 29 s/d Pasal

37B), maka Pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup

pembinaan dan pengawasan bank. Lebih lagi menurut Anwar Nasution, ketentuan

prudent banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti

sempit.151 Pada penjelasan Pasal 29 ini menegaskan bahwa Bank Indonesia diberi

kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya, baik yang bersifat

preventif maupun represif.

Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan

intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan

dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Jelaslah

pengelolaan dan pengawasan bank diamanatkan oleh undang-undang wajib

dilakukan dengan memegang teguh prinsip kehati-hatian. Adapun institusi yang

bertanggung jawab dalam membina dan mengawasi bank agar menerapkan

151
T. Darwini, Op. Cit, hal. 77.

Universitas Sumatera Utara


104

prinsip kehati-hatian tersebut adalah Bank Indonesia, sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.152

Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini secara eksplisit ternyata

termasuk juga pada bagian pasal sebelumnya, seperti Pasal 8, 10, dan 11 UU

Perbankan.153

Pada Pasal 8 mengemukakan:154

(1). Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis

yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah

Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan

dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2). Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan

dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan Bank Indonesia.

Pasal 10 mengemukakan:

Bank Umum dilarang:

a. Melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf b dan huruf c;

b. Melakukan usaha perasuransian;

c. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Sedangkan pada Pasal 11 mengemukakan:

152
Juni Sjafrien Jahja, Op. Cit, hal. 20.
153
T. Darwini, Loc. Cit.
154
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara


105

(1). Bank Indonesia menerapkan ketentuan mengenai batas maksimum

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain

yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau

sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-

perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

(2). Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(3). Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum

pemberian kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

pemberian jaminan, dan penempatan investasi surat berharga, atau hal

lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:

a. Pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau

lebih dari modal disetor bank;

b. Anggota Dewan Komisaris;

c. Anggota Direksi;

d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,

dan huruf c;

e. Pejabat bank lainnya; dan

f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari

pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf

d, dan huruf e.

Universitas Sumatera Utara


106

(4). Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat

(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disebutkan diatas maka dalam

penerbitan maupun penelitian dokumen dalam Letter of Credit yang dilakukan

oleh bank harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud

diatas, yang pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut.

B. Kehati-hatian Bank Dalam Menerbitkan Letter of Credit

Sebagaimana telah dijelaskan mengenai prinsip kehati-hatian, dalam hal

ini tahap bank akan menerbitkan Letter of Credit maka sudah menjadi kewajiban

untuk menerapkan prinsip kehati-hatian tersebut. Mulai dari tahap inilah timbul

risiko-risiko terhadap bank maka dengan itu guna melaksanakan tindakan

preventif sebagaimana telah dijelaskan di atas maka bank harus melaksanakan

tugasnya dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian tentunya.

Seperti yang dikatakan Ross Cranston, bahwa tindakan preventif

mencakup hal-hal yang bersifat teknis yang sengaja diadakan untuk mencegah

krisis dengan cara mengurangi risiko yang dihadapi bank. Ketentuan yang bersifat

preventif (pencegahan) mencakup hal-hal yang bersifat teknis yang sengaja

diadakan untuk mencegah krisis dengan cara melakukan pengawasan terhadap

manajemen bank, kecukupan modal, solvensi likuiditas, dan batas maksimal

pemberian kredit.155Namun, khusus untuk penanganan L/C ada beberapa hal yang

155
Juni Sjahfrien Jahja, Op. Cit, hal. 19.

Universitas Sumatera Utara


107

harus dipastikan oleh bank penerbit sebelum L/C diterbitkan, hal tersebut

adalah:156

1. Importir telah mendapatkan fasilitas impor, bila tidak harus

menyetorkan MD (marginal deposit) sebesar 100% dari nilai L/C yang

dibuka (full cover).

2. Barang yang diimpor pemohon tidak termasuk barang yang dilarang.

Aplikasi telah ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang berwenang

(authorized person) dengan tanda tangan yang cocok dengan specimen

pada bank penerbit.

3. Izin impor pemohon masih berlaku (valid).

Seperti dikatakan jika pemohon menggunakan fasilitas impor dengan

menyetorkan MD (marginal deposit) tidak secara full cover, maka disini bank

memegang peranan sangat penting karena di sini risiko atas importir diambil alih

oleh bank. Oleh karena itu bank sebelumnya harus melalui tahapan analisis kredit

terlebih dahulu, berdasarkan prinsip 5C dan 7P yang sudah dijelaskan

sebelumnya. Hal ini tentunya juga sejalan dengan penerapan prinsip kehati-hatian

dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya yang

terkandung dalam bunyi Pasal 29 ayat 3 UU Perbankan yaitu bank dalam

memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan

kegiatan usaha lainnya wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan

kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.157

156
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 44.
157
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara


108

Jika hal-hal di atas telah dipenuhi pemohon, maka bank penerbit siap

menerbitkan L/C yang dimasukud. Dengan begitu, bank penerbit telah

berkomitmen untuk:158

a. Mengambil alih kewajiban membayar dari pemohon. Beneficiary atau

kuasanya hanya dapat meminta pembayaran kepada bank penerbit,

bukan kepada pemohon.

b. Melakukan pembayaran dengan bilamana dokumen yang diterima dari

beneficiary memenuhi syarat dan ketentuan L/C, atau atas dasar

persetujuan pemohon.

c. L/C dapat dibuka menggunakan berbagai sarana, antara lain surat

(mail), telex, maupun SWIFT. Di antara semuanya, SWIFT yang

paling banyak digunakan karena praktis dan memiliki tingkat

keamanan yang relatif lebih terjamin.

Segera setelah penjual dan pembeli menandatangani kontrak penjualan.

Dalam kontrak tersebut memuat kesepakatan bahwa transaksi akan diselesaikan

dengan Letter of Credit (L/C), maka pembeli akan meminta kepada banknya

untuk membuka L/C.

Data-data yang harus tercantum dalam formulir aplikasi terdiri dari:159

a. Nama dan alamat Beneficiary;

b. Nama dan alamat pembeli/pemohon;

c. Nilai L/C yang dibuka dengan shipping terms yang telah disetujui

(FOB/CIF/C&F);

d. Jenis L/C (Revocable/Irrevocable);

158
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 45.
159
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


109

e. Syarat pembayaran (Sight/ Usance);

f. Uraian barang;

g. Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya;

h. Msa berlaku L/C (Validity of the Credit) dengan menetapkan “expire

date”;

i. Tanggal pengapalan terakhir;

j. Pelabuhan bongkar muat;

k. Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual;

l. Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh

tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya pengapalan sebagian);

m. Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya.

Atas dasar aplikasi pembukaan L/C yang telah disetujui, bank penerbit

membuka dan menerbitkan L/C yang ditujukan kepada penerima, yang isinya

sesuai benar dengan apa yang telah tercantum pada formulir aplikasi. Ketentuan-

ketentuan yang ditambahkan oleh bank penerbit tersebut umumnya terdiri dari:160

a. Syarat pengapalan, seperti: larangan terhadap penggunaan kapal-kapal

berbendera negara tertentu;

b. Jangka waktu penyerahan dokumen;

c. Ketentuan-ketentuan tentang endorsement terhadap dokumen-

dokumen yang negotiable seperti B/L, Draft dan sebagainya;

d. Reimbursement instruction (perintah kepada negotiating bank untuk

penagihan terhadapnya);

e. Ketentuan pengiriman dokumen, ke mana dan berapa kali pengiriman.

160
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 46.

Universitas Sumatera Utara


110

Setelah formulir aplikasi diisi, dan juga telah diinput serta disempurnakan

oleh bank penerbit, maka L/C telah siap untuk diterbitkan dan diteruskan kepada

bank penerus, pada saat itu pun tahap preventif berakhir.

C. Kehati-hatian Bank Dalam Melakukan Penelitian Dokumen

Syarat pembayaran L/C adalah pengajuan dokumen-dokumen yang sesuai

dengan persyaratan L/C. Pengajuan dokumen-dokumen ini merupakan kondisi

agar L/C dapat dibayar atau diaksep dan dibayar pada saat jatuh tempo.

Dokumen-dokumen tersebut adalah dasar utama menentukan sikap bank dalam

rangka pembayaran L/C.161

Dalam Pasal 4 UCP 500 dengan tegas dinyatakan bahwa dalam

pelaksanaan Kredit semua pihak yang bersangkutan berurusan dengan dokumen-

dokumen dan bukan dengan barang-barang, jasa dan/atau pelaksanaan lainnya

yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan. 162 Karena itu

kehati-hatian dan penelitian yang seksama atas semua dokumen yang terkait

dengan pelaksanaan ekspor impor menjadi suatu keharusan bagi semua pihak. 163

Bank dan pihak-pihak lainnya dalam merealisasi L/C hanya berurusan dengan

dokumen-dokumen saja. Sepanjang dokumen-dokumen yang diajukan kepada

bank telah sesuai dengan persyaratan L/C maka sejalan dengan Pasal 4 UCP 500

bank harus membayar dokumen-dokumen tersebut.

Inti dari pada realisasi L/C adalah kesesuaian dokumen-dokumen dengan

persyaratan L/C. Oleh karena itu, bank harus melakukan penelitian atas dokumen-

161
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 93.
162
Uniform Custom dan Practice for Documentary Credits (UCP 500)
163
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 79.

Universitas Sumatera Utara


111

dokumen tersebut untuk dasar menentukan apakah dapat dibayar atau tidak. Hal

tersebut juga harus dibarengi dengan pengawasan intern dalam rangka menjamin

terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai

dengan prinsip kehati-hatian seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 29

UU Perbankan.164

Bank wajib melakukan penelitian atas dokumen-dokumen yang diajukan

kepadanya secara ketelitian yang wajar untuk menentukan apakah dokumen-

dokumen telah memiliki kesesuaian dengan persyaratan L/C sebagaimana

disebutkan pada Pasal 13 huruf a UCP 500. 165 Ukuran kesesuaian tersebut

didasarkan pada standar praktik perbankan internasional. Dokumen-dokumen

yang tidak konsisten satu terhadap yang lainnya merupakan cerminan bahwa tidak

terdapat kesesuaian antara dokumen-dokumen dan L/C.

Keputusan untuk menentukan dokumen-dokumen telah atau belum sesuai

dengan persyaratan L/C dan dokumen-dokumen konsisten satu dengan yang

lainnya sepenuhnya didasarkan pada penelitian bank bukan berdasarkan

pemahaman pihak lain. Penelitian dokumen-dokumen semacam ini dinamakan

berdasarkan “tampak muka” (appear on their face). Bank tidak perlu meneliti

lebih jauh dari itu. Pernyataan tampak muka jangan ditafsirkan sebagai muka atau

belakang dokumen.

Standar praktik perbankan internasional yang merupakan ukuran untuk

menentukan kesesuaian dokumen dengan L/C tidak membatasi meneliti

dokumen-dokumen. Ukuran tersebut dimaksudkan untuk menentukan cakupan

dalam mana ketelitian yang wajar diaplikasikan. Gagasan ketelitian yang wajar

164
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
165
Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP 500).

Universitas Sumatera Utara


112

sering digunakan oleh pengadilan-pengadilan dalam kaitannya dengan doktrin

Kesesuaian Mutlak. Ketelitian yang wajar dalam kaitannya dengan doktrin

Kesesuaian Mutlak dimaksud tidak konsisten penerapannya oleh pengadilan-

pengadilan. Pengadilan-pengadilan menggunakannya atas dasar analisis kasus per

kasus tidak penerapan yang berlaku umum.166

Berdasarkan UCP 600, dalam penelitian dokumen bank tidak memikul

kewajiban atau tanggung jawab atas bentuk, kecukupan, ketepatan, keaslian,

kepalsuan atau akibat hukum dari setiap dokumen, atau kondisi umum atau

khusus yang ditentukan dalam dokumen atau ditambahkan padanya. Namun,

khusus untuk dokumen transpor bank bertanggung jawab untuk mengidentifikasi

tanda tangan pihak yang menandatangani dokumen transpor tersebut.

Perumus UCP 600 membuat tanggung jawab bank ringan dalam

melakukan penelitian dokumen-dokumen yang diajukan oleh beneficiary.

Tanggung jawab yang ringan ini bertujuan untuk memastikan kelancaran

pelaksanaan penelitian dokumen yang hasilnya menentukan pembayaran L/C.

Bila kemudian setelah bank melakukan pembayaran L/C kepada beneficiary

ditemukan kenyataan bahwa terdapat dokumen yang merupakan dokumen palsu,

maka penanganan dokumen palsu tersebut tidak menjadi tanggung jawab bank.

Pembeli dan penjual yang akan melakukan penanganan dokumen palsu dimaksud.

Bank dianggap telah melakukan pembayaran L/C dengan itikad baik bila pada

saat bank melakukan proses pembayaran L/C bank tidak mengetahui keberadaan

dokumen palsu pada dokumen-dokumen yang diajukan oleh beneficiary

kepadanya. Bila bank mengetahuinya sebelum melakukan pembayaran L/C maka

166
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 94.

Universitas Sumatera Utara


113

bank yang bersangkutan wajib menolak pembayaran L/C kepada beneficiary

terlepas dari keberadaan penyimpangan pada dokumen-dokumen yang diajukan

beneficiary. Dalam hal ini, prinsip independensi dan prinsip keterikatan pada

dokumen batal demi hukum. Keberadaan dokumen palsu merupakan penipuan

dalam pelaksanaan L/C. Ketika ditemukan penipuan sebelum L/C dibayar maka

atas dasar penipuan itu bank wajib menolak pembayaran kepada beneficiary.

Penipuan merupakan perkecualian terhadap keharusan penerapan prinsip

independensi dan prinsip keterikatan pada dokumen. Artinya, ketika bank

menemukan penipuan dalam proses pembayaran L/C maka bank tidak lagi

melanjutkan penelitian dokumen berdasarkan prinsip independensi dan prinsip

keterikatan pada dokumen.167

Bank dalam meneliti dokumen-dokumen dan menentukan sikap

mengambil alih atau menolak dokumen-dokumen tersebut serta memberitahu

pihak pengirim dokumen-dokumen yang bersangkutan hanya punya waktu

maksimum 5 (lima) hari kerja perbankan setelah hari penerimaan dokumen-

dokumen dimaksud. Akan tetapi, dalam era persaingan perbankan yang sangat

kompetitif sekarang ini bank terkait akan berupaya melaksanakan dan

menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari batas waktu 5 (lima) hari tersebut.168

Namun dalam keadaan force majeur karena tindakan pemerintah atau akibat-

akibat alam, jangka waktu tersebut dimaksud dapat terlampaui. 169 Adapun jenis

masalah yang paling sering dihadapi dengan L/C adalah:170

167
Ramlan Ginting (II), Op. Cit, hal. 34.
168
Article 14 huruf b, Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP 600).
169
Ramlan Ginting (I), Loc. Cit.
170
Rumu Sarkar, Op. Cit, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara


114

a. Dokumen tersebut dipresentasikan ke bank penerbit setelah L/C telah

berakhir;

b. Bill of lading "basi" disajikan saat pengiriman barang dan pengiriman

bill of lading ke bank penerbit dianggap oleh bank terlalu lama

(misalnya, lebih dari 21 hari setelah barang dikirim), namun L/C masih

berlaku;

c. Draf L/C melebihi jumlah sebenarnya yang ditentukan dalam L/C;

d. Dokumen-dokumen tersebut secara internal tidak konsisten (misalnya,

bill of lading yang tidak lengkap, bill of lading tidak ditandai

"pengiriman barang", nama pembawa tidak muncul di muka dokumen

transportasi, atau nama dan / atau alamat yang salah muncul di faktur);

e. Dokumen disajikan lebih dari satu transaksi kredit; atau

f. Persyaratan asuransi yang berlaku belum terpenuhi secara memadai

(misalnya, Jumlah yang salah, cakupan yang tidak memadai, tidak

disetujui, tidak berlaku bila cakupan asuransi efektif, atau bila klaim

dibayarkan).

Bank dapat dikatakan sudah berhati-hati dalam penanganan L/C ini

apabila bank tersebut telah melaksanakan tindakannya sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang disebutkan di atas. Mulai dari tahap analisis sebelum L/C

diterbitkan sampai dengan penelitian dokumen sebelum dilakukannya

pembayaran, bank harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan

perundang-undangan mengenai L/C ini ataupun peraturan internal banknya sendiri

berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Di samping itu di internal bank

sendiri dalam membuat SOP atau standar prosedur dalam penanganan L/C harus

Universitas Sumatera Utara


115

senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU

Perbankan.171Dengan dilaksanakannya prinsip kehati-hatian sebagaimana

disebutkan ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa atau apabila

terjadi sengketa pun segala resiko yang terjadi atas transaksi tersebut sudah diluar

tanggung jawab bank lagi, atau dapat dikatakan bank tidak dapat dipertanggung

jawabkan.172

D. Sengketa dalam Letter of Credit Akibat Tidak Diterapkannya Prinsip

Kehati-hatian Pada Bank

1. Sengketa Skandal L/C Ekspor Bank BNI

Kasus ini bermula dari Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta

menerima 105 lembar L/C dengan nilai transaksi US$ 157,4 juta dan euro 56,1

atau senilai Rp 1,7 triliun, terhitung mulai juni 2002 sampai dengan juni 2003.

L/C tersebut diterbitkan oleh Issuing Bank dari Rosbank Switzerland, Dubai Bank

Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd

dengan tujuan ekspor Congo dan Kenya. Oleh karena BNI belum mempunyai

hubungan koresponden langsung dengan sebagian tersebut, mereka memakai bank

mediator yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank. L/C ini

ditujukan kepada penerima/ Beneficiary 11 perusahaan dibawah Gramarindo

Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group. 173 Dimana L/C yang dibuka

171
Hermansyah, Op. Cit, hal. 125.
172
Ramlan Ginting (I), Op. Cit, hal. 67.
173
Media Indonesia, “Terjadi 105 L/C Fiktif di BNI Kebayoran Baru” dalam
https://antikorupsi.org/news/terjadi-105-lc-fiktif-di-bni-kebayoran-baru Jum‟at, 28 Mei 2004,
diakses 5 Desember 2017.

Universitas Sumatera Utara


116

adalah jenis Usance, yang artinya wesel ekspor berjangka yang dibuat eksportir

adalah wesel ekspor berjangka yang harus dibayar importir dalam jangka waktu

tertentu.

Pada saat itu Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor

berjangka (kredit ekspor) atas L/C tersebut kepada BNI dan disetujui oleh pihak

Bank BNI. Dalam hal ini Gramarindo Group menerima Rp 1,6 triliun dan Petindo

Group menerima Rp 105 miliar. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo,

Issuing Bank tidak dapat membayar kepada Bank BNI dan pihak importir pun

tidak dapat mengembalikan hasil ekspor yang sudah dikirimkan sebelumnya.

Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah

terjadi.

Selanjutnya, pihak Gramindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542

miliar dan sisanya Rp 1,2 triliun merupakan potensi kerugian BNI yang juga

tentunya terkait dengan kerugian negara.174

Terkait dengan hal itu, Bank BNI banyak melakukan pelanggaran dalam

penganan L/C tersebut, terutama pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian

perbankan (prudent banking principle). Dalam pasal 29 ayat 4 UU perbankan

mengatakan bahwa bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank

dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Dimana

Bank BNI dianggap tidak melaksanakan SOP atau kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku bagi transaksi bisnis terkait dari ketentuan Bank Indonesia, UCP 600, dan

ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal itu terkait informasi

yang beredar bahwa Bank BNI tidak membuat work sheet atau lembaran catatan
174
Liputan6, “Aset Hasil L/C Fiktif BNI Belum Dikembalikan” dalam
http://news.liputan6.com/read/79968/aset-hasil-lc-fiktif-bni-belum-dikembalikan Jum‟at, 11 Juni
2004, diakses 5 Desember 2017.

Universitas Sumatera Utara


117

bank yang seharusnya selalu diisi untuk menjadi pedoman petugas-petugas bank

dalam menangani L/C tersebut, dari mulai saat L/C itu diterima sampai saat L/C

itu dinegosiasikan dan dibayar. Work sheet yang berisi informasi mengenai siapa

issuing bank, nomor dan tanggal L/C, siapa eksportirnya, untuk komoditas apa

(barang yang diekspor), berapa jumlah satuan atau beratnya, berapa nilainya dan

dalam mata uang apa, batas waktu L/C (expire date), batas waktu tanggal bill of

lading (dokumen pengangkutan kapal), maupun jenis L/C yang dipakai. Dengan

tidak adanya work sheet tersebut, Bank pun tidak dapat mengetahui secara jelas

keganjilan-keganjilan (unusualities) menurut ketentuan-ketentuan bank tersebut

(dalam hal ini Bank BNI).

Hal lainnya juga dalam penerimaan pendiskontoan wesel ekspor berjangka

dengan mendiskonto wesel yang diajukan oleh pihak eksportir (Gramarindo &

Petindo Group), dimana dalam hal ini bank dianggap tidak melawati tahap

analisis kredit terlebih dahulu.175 Di dalam pasal 8 ayat 1 dan 2 UU Perbankan

dikatakan bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam

atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan untuk mengembalikan pembiayaan

tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal

tersebut sangat menyimpang dengan peraturan perundang-undangan, seharusnya

BNI melihat prestasi ekspotir terlebih dahulu, dan menganalisis apakah transaksi

memang sesuai dengan usaha yang selama ini digeluti, bila tidak, maka harus

diwaspadai.

Pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank juga seharusnya

mensyaratkan kepada eksportir untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang


175
Tempo, “BNI Tidak Jalankan Prinsip Kehati-hatian” dalam
https://nasional.tempo.co/read/43846/bni-tidak-jalankan-prinsip-kehati-hatian Kamis, 17 Juni
2004, diakses pada 5 Desember 2017.

Universitas Sumatera Utara


118

dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, Bank

BNI sebagai Negotiating Bank dapat menarik kembali dari pihak eksportir atau

sering disebut dengan hak regres. Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh

Negotiating Bank berupa surat jaminan dimana jika ternyata wesel ekspornya

tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat menarik kembali

dari beneficiary.176 Hak ini hanya berlaku bagi L/C yang tidak di konfirm, untuk

L/C yang di konfirm negotiating bank tidak mempunyai hak regres (Pasal 9 angka

iv UCP 600).177 Jadi seharusnya, sebelum melakukan negosiasi bank akan

meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya digunakan negotiating bank

untuk mengeksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini bahwa pada saat

hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.

Inilah yang menyebabkan bobolnya Bank BNI sebesar Rp 1,2 triliun.

2. Sengketa L/C “Bodong” Bank Century

Dalam kasus L/C di Bank Century, disinyalir L/C tersebut adalah fiktif

dengan tujuan pencucian uang (money laundry) oleh pemiliknya Robert Tantular.

L/C yang diterbitkan oleh Bank Century yang bertindak sebagai issuing bank,

diidentifikasi dilakukan oleh 10 perusahaan, yaitu: 1. PT. Polymer Spectrum: US$

17,999 juta, 2. PT. Trio Rhythm: US$ 10,999 juta, 3. Selalang PT Prima

Intenational: US$ 22,5 juta, 4. PT. Sinar Central Clothing: US$ 26,5 juta, 5. PT.

Petrobas Indonesia: US$ 4,3 juta, 6. PT. Citra Abadi Always (CSA): US$ 19,9

juta, 7. PT. Dwi Putra Mandi: US$ 9,999 juta, 8. PT. Damar Crystals Mas: US$

176
Rivera Pantro Sukma, Op. Cit, hal. 31.
177
Uniform Custom and Practice for Documentary Credits (UCP 600).

Universitas Sumatera Utara


119

21,499 juta, 9. PT Sakti Terpadaya Raya: US$ 21,999 juta, 10. PT. Energy

Quantum: US$ 19,999 juta.178

Dari 10 kasus yang dilakukan dengan perusahaan-perusahaan diatas,

namun hanya kasus L/C dari PT Selalang Prima Indonesia (SPI) milik Misbakhun

yang di ekspos oleh beberapa media. Dalam hal ini PT SPI sebagai applicant atau

pemohon atas penerbitan L/C di Bank Century, diketahui memperoleh perlakuan

istimewa dalam memperoleh fasilitas L/C. Dimana L/C yang diberikan didasarkan

kepada intruksi dari pemegang saham Bank Century yaitu Robert Tantular dan

direktur utama Bank Century sendiri, Hesmanus Hasan Muslim.

Fasilitas L/C yang diberikan kepada PT SPI sebesar US$ 22,5 juta dengan

jaminan (margin deposit) berupa deposito sebesar US$ 4,5 juta (atau 20% dari

plafond L/C). Fasilitas tersebut digunakan untuk transaksi impor Bintulu

Condensate dari Grains and Industrial Product Trading PTE, Ltd. di Singapura

sebagai beneficiary dengan negotiating bank dari National Commercial Bank,

Jeddah dan Bank Koresponden adalah Saudi National Commercial Bank (SNCB),

Bahrain.

Pemberian fasilitas L/C tidak didukung oleh analisa dan prosedur yang

komperhensif, khususnya kemampuan/kondisi keuangan perusahaan, namun L/C

tersebut telah mendapat persetujuan dari Komite Kredit, baik ditingkat cabang,

wilayah, pusat, serta komisaris.179 Kondisi tersebut tidak sesuai dengan prinsip

178
Kompasiana, “L/C Fiktif atau Gagal Bayar” dalam
https://www.kompasiana.com/umarhapsoro/l-c-fiktif-atau-gagal- bayar,54fd4114a33311l
c92150f85c Jum‟at, 26 Juni 2015, diakses pada 7 Desember 2017.
179
Berita Satu, “Pemegang Saham Bank Century Disebut Sumbang Banyak
Penyimpangan” dalam http://www.beritasatu.com/hukum/179263-pemegang-saham-bank-century-
disebut-sumbang-banyak-penyimpangan.html Selasa, 22 April 2014, diakses pada 7 Desember
2017.

Universitas Sumatera Utara


120

kehati-hatian dalam kebijakan perkreditan perbankan dan pedoman pelaksana

kredit Bank Century sendiri.

Dalam pencairan L/C ini pun penuh penyimpangan. Syarat L/C yang

diajukan SPI tidak umum dan sangat beresiko yang mengakibatkan terjadinya

dugaan pemalsuan dokumen dengan tidak ditemukannya dokumen yang

berbentuk asli (dokumen-dokumen hanya fotokopian saja), barang yang dikirim

tidak sesuai dengan permintaan, pelabuhan tujuan tidak disebutkan dalam

dokumen (hanya disebutkan pelabuhan di negara Indonesia).180

Pada kasus Bank Century terlihat jelas bahwa hampir semua proses L/C

dilakukan menyimpang dari semua aturan yang berlaku, baik UCP, UU

Perbankan, PBI, maupun peraturan internal di Bank Century sendiri. Disinyalir

proses pembuatan L/C dilakukan sebagai kasus pencucian uang bailout Century

Rp 6,7 triliun, yang sebelumnya Bank Century sempat menerima suntikan dana

dari BI untuk menjaga/ memenuhi standar minimum Capital Adequacy Ration/

CAR perbankan.

Jadi seharusnya untuk kasus L/C Bank Century deteksi dini sudah dapat

dilakukan, karena semua proses pendokumentasian dan transaksi tidak sesuai

dengan peraturan yang ada. Masalahnya adalah siapakah yang akan mengawasi

penyelewengan ini, bila semua memang adalah rekayasa Bank Century dari mulai

issuing bank, applicant, beneficiary, hingga negotiating bank?181 Sebagaimana

dijelaskan dalam penjelasan pasal 29 UU Perbankan, Bank Indonesia diberi

wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap

180
Detik, “Polisi Beberkan Kronologi Kasus L/C Misbakhun” dalam
https://news.detik.com/berita/d-1346448/polri-beberkan-kronologi-kasus-lc-misbakhun Selasa, 27
April 2010, diakses pada 7 Desember 2017.
181
Rivera Pantro Sukma, Op. Cit, hal. 33.

Universitas Sumatera Utara


121

bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun dalam

bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasehat, bimbingan dan pengarahan

maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-

tindakan perbaikanBank Indonesia. Fungsi tersebut harus dijalankan dengan baik,

terutama pada bank yang telah menerima suntikan dana (bail out).

Dalam kasus ini Bank Indonesia yang seharusnya menjalankan tugas

prudent banking principle-nya sesuai dengan perintah UU Perbankan yang

disebutkan di atas. Pengawasan yang dilakukan terhadap transaksi-transaksi

mencurigakan diteruskan dengan tindakan langsung berupa teguran ataupun

sanksi keras berupa pencabutan wewenang yang dimiliki bank yang mempunyai

iktikad buruk dalam melaksanakan kegiatan usahanya seharusnya dapat mencegah

terjadinya peristiwa ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya

jika dikaitkan dengan permasalahan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi antara

pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-

pihak yang kekurangan dan membutuhkan dana (lacks of funds) memiliki

perananan penting dalam penanganan Letter of Credit (L/C). Dimana L/C

merupakan janji dari bank penerbit untuk membayar sejumlah uang kepada

eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi L/C tersebut.

Disamping itu, L/C juga dapat digunakan sebagai dasar permohonan Kredit

Ekspor (KE) guna memperoleh dana lebih awal dari bank devisa, untuk

dipergunakan sebagai modal kerja dalam produksi barang yang difasilitas

oleh L/C tersebut. Dalam pelaksanaannya juga dibatasi, tidak semua bank

yang dapat melaksanakan transaksi L/C tersebut oleh karena resiko-resiko

yang ada bukan hanya berdampak pada kesehatan bank itu sendiri tapi juga

berdampak kepada perkembangan perekonomian nasional. Maka dengan itu

bank yang dapat melakukan transaksi L/C ini hanya Bank Umum yang telah

mendapatkan izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan devisa.

Bank Indonesia sebagai bank sentral juga mempunyai peranan penting dalam

upayanya mengatasi hambatan dalam pembiayaan dan kelancaran transaksi

agar menciptakan iklim yang kondusif, baik dalam bentuk pengawasan

122

Universitas Sumatera Utara


123

maupun regulasi-regulasi yang dikeluarkan. Salah bentuk dukungan Bank

Indonesia adalah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No.

5/11/PBI/2013 yang mengatur mengenai penerbitan L/C oleh perbankan

Indonesia.

2. Mekanisme penerbitan Letter of Credit (L/C) oleh bank selain diatur dalam

PBI No. 5/11/PBI/2013 juga terdapat dalam Uniform Custom and Practice

for Documentary Credits (UCP) yang revisi terbarunya dengan nomor

publikasi UCP 600. Di dalam pengaturan tersebut, L/C dibuka oleh bank

penerbit atas permohonan dari importir yang kemudian diteruskan kepada

bank penerus. Bank penerus akan menyerahkan L/C berikut dokumen kepada

eksportir. Kemudian eksportir mengirim barang kepada importir sesuai

dengan persyaratan L/C yang diberikan. Bukti pengiriman barang berikut

dokumen sesuai persyaratan tersebut diserahkan kepada bank penerus untuk

memperoleh pembayaran. Dalam jangka waktu 5 hari bank penerus akan

mempelajari dokumen dan akan melakukan pembayaran apabila dokumen

telah memenuhi persyaratan L/C. Bank penerus akan meneruskan dokumen

pembayaran dan pengapalan barang kepada bank penerbit untuk menerima

pembayaran kembali. Bank penerbit akan mempelajari dokumen tersebut

apabila sudah lengkap barulah dibayar kembali. Bank penerbit pun

memberitahukan importir atas kedatangan dokumen tersebut. Importir akan

melunasi pembayaran L/C yang telah dibuatnya serta memperoleh dokumen

yang dikirim oleh eksportir untuk pengambilan barang tersebut.

3. Pentingnya diterapkan prinsip kehati-hatian oleh bank khususnya dalam

menerbitkan Letter of Credit (L/C) tersirat dalam Undang-Undang No. 10

Universitas Sumatera Utara


124

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

tentang Perbankan. Beberapa pasal dalam undang-undang ini juga menjadi

pedoman bagi bankir yang menganani L/C dalam penangannya agar tidak

terjadi sengketa atas L/C tersebut selain juga berpedoman pada peraturan

lainnya seperti Uniform Custom and Practice for Documentary Credits

(UCP), Peraturan Bank Indonesia (PBI), kebiasaan-kebiasaan internasional,

serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan.Beberapa hal

yang perlu diperhatikan oleh bank dalam penanganan L/C, yaitu pertama,

sebelum diterbitkannya L/C bank harus melakukan analisis kredit terlebih

dahulu, terutama pada L/C yang dibuka dengan fasilitas yang menyetorkan

Marginal Deposit (MD) tidak full cover. Kedua, melakukan prosedur

penanganan L/C sesuai dengan ketentuan UCP ataupun PBI yang mengatur

mengenai hal itu. Ketiga, dalam hal bank bertindak sebagai negotiating bank,

maka bank itu juga harus memperhatikan kredibilitas dari bank penerbit/

issuing bank. Keempat, disamping itu, dibutuhkan juga peran fungsi

pembinaan dan pengawasan oleh Bank Indonesia baik dalam bentuk regulasi-

regulasi yang dikeluarkan maupun pemeriksaan langsung untuk memastikan

berjalannya penanganan L/C dengan baik.Kelima, bank harus memperhatikan

dua kasus sengketa L/C dalam sejarah yang terjadi pada Bank Century dan

Bank BNI untuk menjadi pelajaran bagi institusi perbankan untuk

memperbaiki diri.

Universitas Sumatera Utara


125

B. Saran

1. Sebagaimana diketahui bank mempunyai peranan yang paling penting dalam

hal penanganan L/C. Maka dengan itu sudah menjadi kewajiban bagi bank

untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dengan berpedoman pada Undang-

Undang Perbankan maupun peraturan-peraturan yang terkait lainnya. Dalam

hal ini bank tidak boleh menganggap remeh setiap proses dalam penanganan

L/C yang diatur dalam peraturan tersebut maupun peraturan internal bank itu

sendiri sebagai upaya untuk menghindari adanya sengketa yang terjadi seiring

proses penanganan L/C dilaksanakan.

2. Disamping itu Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memiliki fungsi

pembinaan dan pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha bank harus

menjalankan fungsi itu dengan baik. Potensi adanya itikad buruk dari para

pihak yang bekerjasama dengan pihak bank harus diantisipasi oleh Bank

Indonesia dengan regulasi-regulasi yang diperketat maupun pemeriksaan

langsung. Dengan berkembangnya era modernisasi di bidang informasi dan

teknologi selayaknya Bank Indonesia sudah harus membuat regulasi baru

terkait dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dalam penanganan

L/C. Hal itu diperlukan untuk menghindari adanya kesempatan yang dapat

dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan

keleluasaan regulasi yang ada.

3. Berkaitan dengan itu UU Perbankan juga sudah selayaknya dapat diperbarui

dengan mengikuti perkembangan yang ada. Banyak hal-hal yang menyangkut

prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) belum diatur secara

komperhensif disitu. Misalnya hal mengenai pengawasan didalam lingkungan

Universitas Sumatera Utara


126

internal bank, upaya menghindari itikad buruk yang dilakukan oleh bank

dalam melaksanakan kegiatan usahanya, serta hal-hal lain sebagai usaha

memperketat dari segi regulasi untuk mempersempit ruang bagi pihak

tersebut untuk melakukan penyelewengan hukum.

4. Pada kasus Bank BNI dan Bank Century harus menjadi pelajaran bagi

institusi perbankan untuk memperbaiki diri. Faktor terjadinya sengketa pada

kedua kasus tesebut adalah adanya ketidaksesuaian tahapan proses yang telah

dilakukan dengan yang seharusnya dilakukan. Maka dengan itu institusi

perbankan harus menjalankan fungsinya dengan baik, teliti, serta selalu

berpedoman kepada prinsip kehati-hatiannya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2003.

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun

1998, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Ginting, Ramlan, Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum Dan Bisnis, Jakarta:

Salemba Empat, 2000.

-------------, Metode Pembayaran Perdagangan Internasional, Jakarta: Universitas

Trisaksi, 2009.

-------------, Transaksi Bisnis Dan Perbankan Internasional, Jakarta: Salemba

Empat, 2007.

Hadisoeprapto, Hartono, Kredit Berdokumen(Letter of Credit)Cara Pembayaran

Dalam Jual Beli Perniagaan, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Hasanah, Uswatun, Hukum Perbankan, Malang: Setara Press, 2017.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2005.

Jahja, Juni Sjafrien, Prinsip Kehati-hatian Dalam Memberantas Manajemen

Koruptif Pada Pemerintah & Korporasi, Jakarta: Visimedia, 2013.

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

M.S., Amir, Letter of Credit Dengan Pembahasan Khusus UCP 600 dan

StandbyL/C, Jakarta: PPM, 2009.

127

Universitas Sumatera Utara


128

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.

Moerdjono, Jamal Wiwoho, Seri Hukum Dagang Transaksi Perdagangan Luar

Negeri Documentary Credit & Devisa, Yogyakarta: Liberty, 1989.

Sarkar, Rumu, Transnational Business Law: A Development Law Perspective,

London: Kluwer Law International, 2003.

Suhardi, Gunarto,Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta:

Kanisius, 2003.

Suratman, Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2012.

Sutedi, Adrian, Tinjauan Yuridis Letter of Credit dan Kredit Sindikasi, Bandung:

Alfabeta, 2012.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani,Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis

Internasional (Ekspor-Impor & Imbal-Beli), Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003.

Willes, John H.,John A. Willes,International Business Law Environments and

Transactions, New York: Mc Graw Hill, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara


129

Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP 600)

Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/11 /PBI/2013 tentang Pembayaran Transaksi

Impor.

Surat Edaran Eksternal Bank Indonesia Nomor : 15/27/DPNP tanggal 19 Juli

2013 Prihal Persyaratan Bank Umum untuk Melakukan Kegiatan Usaha

dalam Valuta Asing.

Skripsi/ Tesis/ Artikel/ Makalah/ Jurnal

Denny Hernawan, Skripsi Mahasiswa: “Akibat Hukum Dari Penyerahan

Dokumen-Dokumen Palsu Dalam Pembayaran Ekspor Impor Yang

Menggunakan L/C (Letter of Credit), Medan: Universitas Sumatera Utara,

2011.

Maryam, “Mekanisme Pembayaran Melalui Letter Of Credit (L/C) Dalam

Transaksi Perdagangan Internasional Pada PT. Semen Bosowa Maros”,

Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013.

Rivera Pantro Sukma, “Analisis Discrepancy L/C Dan Cara Penanganannya

Untuk Meningkatkan Pemakaian L/C Pada Perdagangan Internasional”,

Jurnal Ilmiah Panorama Nusantara, Edisi IX, Juli-Desember 2010.

Toto Octaviano Dendhana, “Penerapan Prudential Banking Principle Dalam

Upaya Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana”, Lex Et

Societatis, Vol.1/No.1/Jan-Mrt/2013.

T. Darwini, “Urgensi Pengaturan Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking

Principle) Dalam Pengelolaan Bank”, Jurnal Equality, Volume 10 No. 2,

Agustus 2005.

Universitas Sumatera Utara


130

Internet

https://antikorupsi.org/news/terjadi-105-lc-fiktif-di-bni-kebayoran-baru Jum‟at,

28 Mei 2004, diakses 5 Desember 2017.

http://darwin-arsip.blogspot.co.id/2010/12/faktor-faktor-mengapa-lc-paling.html,

diakses pada tanggal 21 Agustus 2017.

https://news.detik.com/berita/3610769/bareskrim-tangkap-jaringan-penjualan-

data-nasabah-bank Rabu, 23 Agustus 2017, diakses 29 Agustus 2017.

https://news.detik.com/berita/d-1346448/polri-beberkan-kronologi-kasus-lc-

misbakhun Selasa, 27 April 2010, diakses pada 7 Desember 2017.

http://news.liputan6.com/read/79968/aset-hasil-lc-fiktif-bni-belum-dikembalikan

Jum‟at, 11 Juni 2004, diakses 5 Desember 2017.

http://www.beritasatu.com/hukum/179263-pemegang-saham-bank-century-

disebut-sumbang-banyak-penyimpangan.html Selasa, 22 April 2014,

diakses pada 7 Desember 2017.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-

masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-

m-husseyn-umar- Kamis 8 April 2010, diakses 2 Desember 2017.

Kompasiana, “L/C Fiktif atau Gagal Bayar” dalam


https://www.kompasiana.com/umarhapsoro/l-c-fiktif-atau-gagal-
bayar,54fd4114a33311c92150f85c Jum‟at, 26 Juni 2015, diakses pada 7
Desember 2017.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai