Anda di halaman 1dari 95

KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGANDALAM MENCABUT

IZIN BANK PERKEDITAN RAKYATBERDASARKAN PERATURAN


OJK NOMOR 20/POJK.03/2014TENTANG BANK PERKREDITAN
RAKYATSTUDI KASUS (PT BPR NUSA GALANG MAKMUR)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat


untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara

OLEH
JOHANNES R MANALU
120200359

Departemen Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGANDALAM MENCABUT
IZIN BANK PERKEDITAN RAKYATBERDASARKAN PERATURAN
OJK NOMOR 20/POJK.03/2014TENTANG BANK PERKREDITAN
RAKYATSTUDI KASUS (PT BPR NUSA GALANG MAKMUR)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat


untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara

OLEH
JOHANNES R MANALU
120200359

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H


NIP. 195603291986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum
NIP. 195603291986011001 NIP. 197302202002121001

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGANDALAM MENCABUT


IZIN BANK PERKEDITAN RAKYATBERDASARKAN PERATURAN
OJK NOMOR 20/POJK.03/2014TENTANG BANK PERKREDITAN
RAKYATSTUDI KASUS (PT BPR NUSA GALANG MAKMUR)
*Johannes Rojer Manalu
** Bismar Nasution
*** Mahmul Siregar

Kewenangan OJK dalam melakukan pencabutan izin terhadap Bank


Perkreditan Rakyat diatur dalam Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kewenangan otoritas
jasa keuangan dalam melakukan pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan
Rakyat, apakah alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan izin, dan bagaimana
prosedur pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat oleh OJK.
Jenis penelitian ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatifatau
Penelitian Yuridis Normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui Penelitian Lapangan
(Field Reseacrh)dan Studi Kepustakaan (Library research).
OJK berwenang untuk melakukan pencabutan izin BPR apabila adanya
permintaan dari pemegang saham dan apabila BPR ditetapkan Dalam Pengawasan
Khusus. Alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan Izin terhadap BPR adalah
karena adanya permintaan dari pemegang saham dan pencabutan izin karena BPR
dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha BPR yaitu
ketika BPR memenuhi satu atau lebih syarat berikut yaitu rasio KPMM kurang
dari 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang
dari 3 % (tiga persen). Prosedur pencabutan izin terhadap BPR karena adanya
permintaan dari pemegang saham dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu persetujuan
persiapan pencabutan izin usaha dan keputusan pencabutan usaha.Pencabutan izin
usaha terhadap BPR DPK adalah diawali dengan pemberitahuan kepada LPS
mengenai kondisi BPR DPK yang tidak dapat disehatkan dan meminta LPS untuk
memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang
memenuhi kriteria BPR DPK. Selanjutnya, apabila LPS memutuskan untuk tidak
melakukan penyelamatan terhadap BPR, maka OJK mencabut izin usaha BPR
yang bersangkutan. Penyebab dicabutnya izin usaha PT BPR Nusa Galang
Makmur adalah dikarenakan tidak dapat memenuhi rasio Kewajiban Penyertaan
Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) menjadi kurang
4% dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
penetapan status DPK yaitu tanggal 19 Agustus. LPS memutuskan untuk tidak
menyelamatkan PT BPR Nusa Galang Makmur sehingga pada tanggal 7 Maret
ditetapkanlah pencabutan izin usaha.

Kata Kunci: Kewenangan OJK, Bank Perkreditan Rakyat, Izin Usaha.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Kewenangan Otoritas Jasa Keuangandalam Mencabut Izin Bank Perkeditan

Rakyatberdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014tentang Bank

Perkreditan RakyatStudi Kasus (PT BPR Nusa Galang Makmur)” yang

merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha melakukan yang

terbaik, namun karena keterbatasan yang dimiliki, penulis menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan kerendahan hati

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan

skripsi ini.

Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari

berbagai pihak selama penulisan skipsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H selaku Kepala Departemen

Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II.

8. Seluruh staff pengajar Fakulltas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada keluarga, Ayahanda Abet Nego Manalu, Ibunda Renty Sitohang,

Verawaty Manalu, Nelly Saputri Manalu, Ervina Manalu, Evolina Manalu,

dan Maria Polla Manalu.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

yang membacanya dan bagi semua pihak.

Medan, September 2017


Penulis,

Johannes Rojer Manalu

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan .................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan .................................................................. 5
1. Manfaat Teoritis .............................................................. 5
2. Manfaat Praktis................................................................ 5
E. Keaslian Penulisan.................................................................. 6
F. Tinjauan Kepustakaan ............................................................ 7
1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 1.............................................................................. 7
2. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ........................... 10
3. Pengertian Pencabutan Izin Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014
tentang Bank Perkreditan Rakyat .................................... 15
G. Metodologi Penulisan ............................................................. 17
1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................. 17
2. Sumber Data .................................................................... 18
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 19
4. Analisis Data ................................................................... 20
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 21
BAB II KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
DALAM MELAKUKAN PENCABUTAN IZIN TERHADAP
BANK PERKREDITAN RAKYAT ........................................ 23
A. Kewenangan OJK berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.............................................. 23
1. Latar Belakang Pembentukan OJK ................................. 23
2. Tujuan Pembentukan OJK............................................... 25
3. Visi dan Misi OJK ........................................................... 26
4. Struktur Organisasi OJK ................................................. 27
5. Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK ............................... 29
6. Hubungan Kelembagaan ................................................. 35
B. Kewenangan OJK berdasarkan dalam Pencabutan Izin Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/
POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat .................. 39

Universitas Sumatera Utara


BAB III ALASAN-ALASAN DAPAT DILAKUKANNYA
PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT ................................................................................... 45
A. Pencabutan Izin Usaha Atas Permintaan Pemegang Saham .. 45
B. Pencabutan Izin Usaha setelah Pengawasan Khusus oleh
Otoritas Jasa Keuangan .......................................................... 52

BAB IV PROSEDUR PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK


PERKREDITAN RAKYAT OLEH OTORITAS JASA
KEUANGAN STUDI KASUS (PENCABUTAN IZIN PT
BPR NUSA GALANG MAKMUR) ......................................... 55
A. Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat
oleh Otoritas Jasa Keuangan .................................................. 61
1. Prosedur Pencabutan Izin Usaha Atas Permintaan
Pemegang Saham ............................................................ 61
2. Prosedur Pencabutan Izin Usaha Setelah pengawasan
khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan ............................... 65
B. Prosedur Pencabutan Izin PT BPR Nusa Galang Makmur
(Study Kasus) ......................................................................... 75

BAB V PENUTUP ................................................................................... 84


A. Kesimpulan ............................................................................. 84
B. Saran ...................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 88


LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan

mendukung perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan

nasional yang tangguh, termasuk industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat,

kuat, produktif, dan memiliki daya saing agar mampu melayani masyarakat,

terutama usaha mikrodan kecil. Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk

mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan

kestabilan sistem keuangan, kelembagaan industri Bank Perkreditan Rakyat perlu

diperkuat, antara lain pada aspek permodalan, penataan struktur kepemilikan,

serta peningkatan kompetensi dan kualitas anggota dan calon anggota Direksi dan

Dewan Komisaris. 1

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalahbank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.Kegiatan BPR

jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum karena BPR

dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian. 2

Adapun kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan oleh Bank Perkreditan

Rakyat, menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan Pasal 13 antara lain:

1
Penjelasan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang
Bank Perkreditan Rakyat, Hal. 1
2
UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Pasal 1 ayat (4)

Universitas Sumatera Utara


1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu.

2. Memberikan kredit.

3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip

Syariah,sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.

Dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya, Bank Perkreditan Rakyat

tunduk kepada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Peraturan OJK

Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat dan diawasi oleh

Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan. Dalam hal kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat memburuk,

maka sesuai dengan Pasal 7 a Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilakukan pencabutan izin Bank Perkreditan

Rakyat oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Saat ini, tercatat sebanyak 60 Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia yang

telah dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu Bank

Perkreditan Rakyat yang dicabut izinnya oleh OJK adalah PT Bank Perkreditan

Rakyat Nusa Galang Makmuryang beralamat di JalanPerintis Kemerdekaan No.88

Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Keputusan

pencabutan izin dikeluarkan dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa

Keuangan pada 1 Maret 2017 dan telah ditetapkan dalam Keputusan Dewan

Komisioner (KDK) Nomor 8/KDK.03/2017 tanggal 7 Maret 2017 tentang

Universitas Sumatera Utara


Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Nusa Galang

Makmur, terhitung sejak tanggal 7 Maret 2017. 3

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/20/PBI/2009

tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam

Status Pengawasan Khusus, sebelum dilakukan pencabutan izin usaha, PT Bank

Perkreditan Rakyat Nusa Galang Makmur terlebih dahulu telah ditetapkan

statusnya sebagai BPR Dalam Pengawasan Khusus (DPK) oleh OJK sejak tanggal

19 Agustus 2016 dikarenakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

(KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) kurang dari 4%. 4

Penetapan status bank dalam pengawasan khusus disebabkan pengelolaan

PT BPR Nusa Galang Makmur yang tidak memperhatikan azas perbankan yang

sehat dan prinsip kehati-hatian serta diperburuk dengan penurunan Cash Ratio

(CR), yang menyebabkan hingga saat ini BPR tidak dapat memenuhi standar

kinerja keuangan sesuai ketentuan yang berlaku. 5

Atas hal tersebut, PT Bank Perkreditan Rakyat Nusa Galang Makmur telah

diminta untuk melakukan langkah-langkah (action plan) penyehatan agar rasio

KPMM/CAR menjadi paling kurang 4% dalam jangka waktu 180 (seratus delapan

puluh) hari terhitung sejak tanggal penetapan status DPK yaitu 19 Agustus

2016.Namun demikian, upaya-upaya penyehatan yang dilakukan oleh Pemegang

Saham/Manajemen BPR sampai dengan berakhirnya batas waktu yang ditentukan

tidak dapat memperbaiki kondisi BPR untuk memenuhi kriteria keluar dari status

bank dalam pengawasan khusus yang harus memiliki rasio KPMM/CAR paling

3
Siaran Pers: SP 19/DKNS/OJK/III/2017, hlm. 1
4
Ibid, hlm. 1
5
Ibid, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


kurang 4% disertai dengan pernyataan ketidaksanggupan dari pemegang saham

dalam menyehatkan BPR.

Dengan pencabutan izin usaha PT BPR Nusa Galang Makmur, selanjutnya

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan menjalankan fungsi penjaminan dan

melakukan proses likuidasi sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2009.

Mengingat bahwa saat ini sudah banyak Bank Perkreditan Rakyat yang

telah dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka perlu dikaji lebih dalam

penyebab Bank Perkreditan Rakyat dicabut izinnya dan bagaimana prosedur yang

dilaksanakan oleh Otoriotas Jasa Keuangan sebelum dilakukan pencabutan izin

terhadap Bank Perkreditan Rakyat. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis

mengambil topik Pencabutan Izin Bank Perkreditan Rakyat sebagai topik skripsi

penulis, yaitu suatu “Kewenangan Otoritas Jasa Keuangandalam Mencabut Izin

Bank Perkeditan Rakyatberdasarkan Peraturan OJK Nomor

20/POJK.03/2014tentang Bank Perkreditan RakyatStudi Kasus (PT BPR Nusa

Galang Makmur)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, maka

yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan

pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat?

Universitas Sumatera Utara


2. Apakah alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan izin terhadap Bank

Perkreditan Rakyat?

3. Bagaimana prosedur pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat

oleh Otoritas Jasa Keuangan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam

pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat.

2. Untuk mengetahui alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan izin

terhadap Bank Perkreditan Rakyat.

3. Untuk mengetahui prosedur pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan

Rakyat oleh Otoritas Jasa Keuangan.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran danmenambah

khasanah dalam bidang pengetahuan ilmu hukum ekonomi pada

umumnya dan tentang perbankan pada khususnya, sehingga diharapkan

dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang

berkaitan dengan hal tersebut.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikankontribusi dalam sosialisasi tentang Otoritas Jasa

Keuangan serta kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam

Universitas Sumatera Utara


pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat kepada masyarakat

dan mahasiswa.

b. Untuk memberikan masukan kepada Bank Perkreditan Rakyat atau

lembaga perbankan lainnya untuk dapat mencegah terjadinya

pencabutan izin terhadap usahanya.

E. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari

perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun media elektronik.

Skripsi dengan judul Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mencabut Izin

Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014

tentang Bank Perkreditan Rakyat Sudi Kasus (PT BPR Nusa Galang Makmur) ini

merupakan hasil karya yang belum pernah diangkat oleh mahasiswa sebelumnya.

Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data yang terdaftar disekretariat jurusan

Ekonomi.

Untuk mengetahui keaslian penulisan, sebelumnya dilakukan penelusuran

terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Hal ini dibenarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi

Hukum/Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum melalui surat

tertanggal 14 Maret 2017 yang menyatakan bahwa “Tidak ada judul yang sama

pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU/Pusat

Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU” dan telah dilakukan

penelusuran dan pemeriksaan melalui media internet untuk membuktikan bahwa

judul skripsi tersebut belum ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1

Otoritas Jasa Keuangan memiliki arti yang sangat penting, tidak

hanya bagi masyarakat umum dan pemerintah saja, akan tetapi juga bagi

dunia usaha (bisnis). Bagi masyarakat tentunya dengan adanya OJK akan

memberikan perlindungan dan rasa aman atas investasi atau transaksi

yang dijalankannya lewat lembaga jasa keuangan. Bagi pemerintah adalah

akan memberikan keuntungan rasa aman bagi masyarakatnya dan

perolehan pendapatan dari perusahaan berupa pajak atau penyediaan

barang dan jasa yang berkualitas baik. Sedangkan bagi dunia usaha,

dengan adanya OJK maka pengelolaanya semakin baik dan perusahaan

yang dijalankan makin sehat dan lancar, yang pada akhirnya akan

memperoleh keuntungan yang berlipat. 6

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang dibentuk

berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi

terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah

lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang

mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,

pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan


6
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 323

Universitas Sumatera Utara


peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan

lembaga keuangan, serta menggantikan peran Bank Indonesia dalam

pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen

industri jasa keuangan.

Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan

bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan,

akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen

maupun masyarakat dan dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini

diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara

menyeluruh sehingga meningkatkan daya saing perekonomian. Selain itu,

OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi

sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di

sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif

globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola

yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: 7

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan serta non perbankan .

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun,

lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

7
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6

Universitas Sumatera Utara


Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai

wewenang: 8

a. Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis

terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola

statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai

wewenang: 9

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh

Kepala Eksekutif;

8
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 8
9
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 9

Universitas Sumatera Utara


c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,

pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan

dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut:

1) Izin usaha;

2) Izin orang perseorangan;

3) Efektifnya pernyataan pendaftaran;

4) Surat tanda terdaftar;

5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha;

6) Pengesahan;

7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8) Penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan UU No. 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang

PerbankanPasal 1

Dalam praktik perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa

jenis perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Jika

dilihat jenis perbankan sebelum keluar Undang-Undang Perbankan

Nomor 10 Tahun 1998 dengan sebelumnya Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1967, maka terdapat beberapa perbedaan. Namun kegiatan utama

atau pokok bank sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkan dana tidak berbeda satu sama lainnya.

Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi bank, serta

kepemilikan bank. Dari segi fungsi perbedaan yang terjadi terletak pada

luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan mauppun

jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dilihat

dari segi pemilikan saham yang ada serta akte pendiriannya. 10

Menurut Undang‐Undang No. 10 Tahun 1998, bank adalah badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau

bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.Masih mengacu kepada undang-undang yang sama, dapat

diketahui bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu

menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa kepada

bank-bank lainnya.

10
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 31

Universitas Sumatera Utara


Kegitan usaha bank dapat dilakukan secara konvensional dan

berdasarkan prinsip syariah. Bank Konvensional adalah Bank yang

menjalankankegiatan usahanya secara konvensional danberdasarkan

jenisnya terdiri atas Bank UmumKonvensional (BUK) dan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan

kegiatanusahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurutjenisnya

terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) danBank Pembiayaan Rakyat

Syariah (BPRS). 11

Ketiga kegiatan tersebut pada dasarnya memiliki suatu tujuan,

yang menurut UU No. 7 Tahun 1992, adalah untuk menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Jenis Bank menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 5 terdiri dari

dua jenis, yaitu:

a. Bank Umum

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvesional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran. Sifat jasa

yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh

jasa perbankan yang ada, usaha bank umum salah satunya

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

giro, tabungan deposito, tabungan berjangka, sertifikat

11
Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, hlm.9

Universitas Sumatera Utara


deposito, tabungan biasa, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan

di seluruh wilayah. Bank umum sering disebut Bank komersil

(Commercial Bank).

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang

melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan

prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran. Artinya disini kegiatan BPR jauh lebih sempit

jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum. Usaha BPR

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu.

Tugas Bank Perkreditan Rakyat, antara lain: 12

1) Memberikan kredit;

2) Menghimpun dana masyarakat berupa tabungan, deposito

berjangka ataupun lainnya yang serupa;

3) Menawarkan penempatan dana dan pembiayaan melalui prinsip

syariah, berdasarkan ketetapan dari Bank Indonesia;

4) Menempatkan dananya berbentuk Sertifikat Bank Indonesia,

sertifikat deposito, tabungan bank lain, dan deposito berjangka.

Beberapa kegiatan usaha yang dilarang untuk dilaksanakan

oleh Bank Perkreditan Rakyat, antara lain: 13

12
UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Pasal 13

Universitas Sumatera Utara


1) Melaksanakan usaha asuransi;

2) Melaksanakan penyertaan modal;

3) Melaksanakan aktivitas usaha berbentuk valuta asing;

4) Menerima simpanan berbentuk giro;

5) Ikut serta menjalankan lalu lintas pembayaran;

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh Bank

Perkreditan Rakyat, antara lain: 14

1) Dalam memberikan kredit, BPR wajib mempunyai keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya

sesuai dengan perjanjian;

2) Dalam memberikan kredit, BPR juga wajib memenuhi ketentuan

Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit,

pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat

dilakukan oleh BPR kepada peminjam atau sekelompok

peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan

dalam kelompok yang sama dengan BPR tersebut, batas

maksimum dalam hal tersebut sendiri tidak melebihi 30% dari

modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank

Indonesia;

3) Dalam memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank

Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit,

pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat

13
UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Pasal 14
14
UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Pasal 15

Universitas Sumatera Utara


dilakukan oleh BPR kepada pemegang saham (dan keluarga) yang

memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan

komisaris (dan keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat

BPR lainnya, serta perusahaan-perusahaan yang di dalamnya

terdapat kepentingan pihak pemegang saham (dan keluarga) yang

memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan

komisaris (dan keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat

BPR lainnya. Batas maksimum tersebut tidak melebihi 10% dari

modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank

Indonesia.

3. Pengertian Pencabutan Izin Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan

Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan

Rakyat

Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur

dana masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan

hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan

usahanya selaku berada dalam keadaan sehat. Oleh sebab itu, bank wajib

selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya. 15

Pencabutan izin usaha merupakan usaha terakhir, karena

pencabutan izin usaha, pembubaran bank dapat mempengaruhi

kepercayaan masyarakat pada perbankan, oleh karena itu sebelum

15
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1996
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
Paragraf I

Universitas Sumatera Utara


melakukan pencabutan izin usaha, pembubaran terhadap bank,

maka terlebih dahulu akan dilakukan upaya-upaya penyelamatan

terhadap bank tersebut, akan tetapi jika upaya–upaya penyelamatan yang

dilakukan ternyata tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapi bank

tersebut dan keadaan bank tersebut membahayakan sistem perbankan,

maka dapat dilakukan pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi

terhadap bank tersebut.

Setelah diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan dan pengawasan bank dialihkan

kepada Otoritas Jasa Keuangan, seperti ditegaskan dalam Pasal 6 Otoritas

Jasa Keuangan mempunyai kewenangan melakukan pengaturan dan

pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, pasar

modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa

keuangan lainnya.Bank wajib menjaga tingkat kesehatannya, untuk

menjaga kesehatan maka setiap 6 (enam) bulan akan dilakukan penilaian

atas keadan tingkat kesehatan bank. Kewajiban bank menjaga tingkat

kesehatan melalui prinsip kehati-hatian ini diatur dalam UU No. 10 Tahun

1998 Pasal 29 (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai

dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan

dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan

prinsip kehati-hatian. Predikat hasil penilaian adalah sebagai berikut; (1)

sehat, (2) cukup sehat, (3) kurang sehat, (4) tidak sehat.

Universitas Sumatera Utara


Bank yang tidak sehat karena tidak hati-hati dalam pengelolaan

akan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

maka Bank tersebut ditetapkan dalam status pengawasan khusus oleh

Bank Indonesia. Kemudian Bank tersebut diberikan waktu 180 hari untuk

melakukan penyehatan.Apabila langkah-langah tidak dapat terpenuhi oleh

Bank, Bank tersebut disebut Bank gagal (failure bank). Dalam Pasal 1

ayat (7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan, bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan

keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan

tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai

dengan kewenangan yang dimilikinya bank yang tidak dapat disehatkan,

OJK meminta LPS untuk memberikankeputusan menyelamatkan atau

tidak menyelamatkan bank tersebut. Selanjutnya apabila LPS

memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan sehingga Bank

tersebut dicabut izin usahanya oleh OJK. seperti dijelaskan dalam Pasal 9

huruf h Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yaitu: untuk

melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang

memberikan dan/atau mencabut Izin usaha. Setelah pencabutan izin usaha

dilanjutkan dengan pembubaran badan hukum bank dan proses likuidasi.

G. Metodologi Penulisan

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

Metode Penelitian Hukum Normatifatau Penelitian Yuridis Normatif.

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian Hukum Normatifdilakukan melalui pendekatan

undang-undang(statute approach) yang dilakukan dengan menelaah

semua undang-undangdan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. 16

Penelitian hukum Normatif dilakukan dengan mengolah data-data

sekunder. Disamping menggunakan data sekunder, penelitian ini juga

menggunakan data primer untuk mendukung data sekunder yaitu dengan

cara melakukan wawancara kepada Otoritas Jasa Keuangan Sumatera

Utara untuk mendapatkan data tentang kasus pencabutan izin PT BPR

Nusa Galang Makmur.

2. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh. 17 Dalam

penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur-

literatur yang berhubungan dengan penelitian. Oleh karena itu, sumber

data pada penelitian ini berasal dari:

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara

dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara

(Bapak Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi).

b. Data Sekunder

Data sekunder tersebut meliputi:

1) Bahan hukum primer

16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Cetakan ke-6(Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2010),hlm. 53.
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm. 172

Universitas Sumatera Utara


Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak

yang berwenang diantaranya Peraturan OJK Nomor

20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992tentang

Perbankan,UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan, UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan

Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Peraturan Bank

Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut

Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengawasan Khusus, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan, SP 19/DKNS/OJK/III/2017.

2) Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian

hukum yang mendukung permasalahan yang diajukan dalam

penulisan skripsi ini seperti buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan

tulisan yang mendukung.

3) Bahan hukum tertier

Yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah

a. Penelitian Lapangan (Field Reseacrh), penelitian ini dilakukan pada

Otoritas Jasa Keuangan Sumatera Utara dengan melakukan

wawancara. Selama ini wawancara dianggap sebagai metode yang

paling efektif dalam pengumpulan data primer dilapangan. Dianggap

efektif karena interviewer dapat bertatap muka langsung dengan

narasumber untuk menanyakan perihal pribadi narasumber, fakta-

fakta yang ada dan pendapat (opinion)maupun persepsi diri

narasumber dan bahkan saran-saran narasumber. 18 Adapun yang

menjadi narasumber dalam wawancara ini adalah pihak Otoritas Jasa

Keuangan Sumatera Utara.

b. Penelitian Kepustakaan (Library research), merupakan metode

tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.

Sedang bagi penelitian hukum empris (sosiologis), studi kepustakaan

merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-

sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan

kuesioner. 19Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan

atau data-data yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

Metode ini bisa dilakukan dengan cara mengkaji, mempelajari serta

menelaah berbagai macam literatur seperti buku, jurnal, koran, dan

18
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hal. 57
19
Ibid, hal. 50

Universitas Sumatera Utara


berbagai sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan objek yang

akan diteliti.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisa

kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis

dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan

masalah yang akan dibahas. Analisis kualitatif adalah menganalisa secara

lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh

sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

diuraikan secara sistematis dalam tahapan-tahapan tertentu yang teratur dan

terbagi dalam bab-bab yang saling berhubungan antara yang bab yang satu

dengan bab yang lain.

Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN, Berisikan pendahuluan yang didalamnya

diuraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah,

kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan skripsi,keaslian

penulisan,tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai defenisi dan pengertian-

pengertian dari beberapa istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan

dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut dan terakhir diuraikan

sistematika penulisan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM

MELAKUKAN PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK PERKREDITAN

RAKYAT, berisikan bagaimanakahKewenangan Otoritas Jasa Keuangan

Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Pencabutan Izin Bank Perkreditan

Rakyat berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank

Perkreditan Rakyat.

BAB IIIALASAN-ALASAN DAPAT DILAKUKANNYA

PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT,

berisikan alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan izin terhadap Bank

Perkreditan Rakyat, yaitu Pencabutan Izin Usaha Atas Permintaan Pemegang

Saham dan Pencabutan Izin Usaha Setelah Pengawasan Khusus oleh Otoritas Jasa

Keuangan.

BAB IVPROSEDUR PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK

PERKREDITAN RAKYAT OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN STUDI

KASUS (PENCABUTAN IZIN PT BPR NUSA GALANG MAKMUR),

berisikan bagaimanakah Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan

Rakyat oleh Otoritas Jasa Keuangan Atas Permintaan Pemegang Saham dan

bagaimanakah Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat

setelah pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan, dengan Study Kasus

“Pencabutan Izin PT BPR Nusa Galang Makmur”.

BAB V PENUTUP, berisikan kesimpulan dari skripsi ini dan saran-saran

untuk topik yang diangkat dalam skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM

MELAKUKAN PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK PERKREDITAN

RAKYAT

A. Kewenangan OJK berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan

1. Latar Belakang Pembentukan OJK

Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

(OJK), yang dimaksud dengan OJK adalah lembaga yang independen dan bebas

dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang tersebut.

Salah satu bidang pengawasan yang paling penting adalah bidang

keuangan, karena bidang keuangan sangat banyak dan mudah terjadi kasus

peyimpangan. Manusia atau karyawan pada dasarnya sulit mengendalikan emosi

dan perasaan untuk berbuat kurang baik jika diberi kesempatan untuk melakukan

penyelewengan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, bidang

pengawasan harus dilakukan dengan pengawasan yang melekat secara terus

menerus.

Dalam skala yang lebih luas aktivitas pengawasan perlu dilakukan

terhadap suatu organisasi atau perusahaan. Artinya jangan sampai suatu

perusahaan atau suatu organisasi melakukan penyimpangan terhadap kegiatan

usahanya, sehingga merugikan masyarakat dan pemerintah. Dalam praktiknya

Universitas Sumatera Utara


klasifikasi aktivitas perusahaan dibagi dua jenis yaitu perusahaan bergerak di

bidang jasa keuangan dan yang bergerak di luar bidang jasa keuangan. Masing-

masing bidang diawasi oleh lembaga tersendiri yang telah dituasi oleh

pemerintah. 20 OJK sendiri menjadi lembaga pengawasan yang dibidang lembaga

keuangan bank dan non bank.

Lembaga independen tersebut akan mengambil alih tugas pengawasan

lembaga keuangan bank dan non bank, yang selama ini dilakukan oleh Bank

Indonesia sebagai pengawas bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non

bank sebagaimana disebutkan di atas. 21Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi,

tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan non

bank seperti pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan

lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Bapepam-LK ke Otoritas Jasa

Keuangan (OJK). Satu tahun kemudian (31 Desember 2013) peralihan yang sama

dilakukan untuk pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor

perbankan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 22 Artinya

dengan keluarnya UU Nomor 21 Tahun 2011 maka seluruh pengawasan yang

berhubungan jasa keuangan, baik untuk jasa keuangan bank maupun jasa bukan

bank dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Otoritas Jasa Keuangan memiliki arti yang sangat penting, tidak hanya

bagi masyarakat umum dan pemerintah saja, akan tetapi juga bagi dunia usaha

(bisnis). Bagi masyarakat tentunya dengan adanya OJK akan memberikan

20
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 319
21
Bambang Murdadi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawas Lembaga Keuangan
Baru yang Memiliki Kewenangan Penyidikan, http://jurnal.unimus.ac.id Vol.8, No.2, 2012, hal. 1
22
Hermansyah, HukumPerbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 237

Universitas Sumatera Utara


perlindungan dan rasa aman atas investasi atau transaksi yang dijalankannya

lewat lembaga jasa keuangan. Bagi pemerintah adalah akan memberikan

keuntungan rasa aman bagi masyarakatnya dan perolehan pendapatan dari

perusahaan berupa pajak atau penyediaan barang dan jasa yang berkualitas baik.

Sedangkan bagi dunia usaha, dengan adanya OJK maka pengelolaannya semakin

baik dan perusahaan yang dijalankan makin sehat dan lancar, yang pada akhirnya

akan memperoleh keuntungan yang berlipat. 23

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada dasarnya memuat

ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governace) dari lembaga yang

memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.

Artinya dengan adanya OJK akan memberikan pengelolaan lembaga secara baik

dan benar.

Lembaga keuangan yang memegang kepercayaan dari dana yang

dititipkan masyarakat harus tetap dijaga. Tujuannya jangan sampai merugikan

masyarakat sehingga hilanggnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga

keuangan. Di samping masyarakat pemerintah juga mengalami kerugian karena

tidak mampu melindungi masyarakatnya maupun perusahaan tersebut karena

telah melakukan praktik-praktik yang tidak terpuji yang akhirnya membuat tidak

dipercaya masyarakat. Dengan adanya OJK maka praktik-praktik penipuan atau

kejahatan di bidang keuangan dapat diminimalkan atau dihilangkan. 24

2. Tujuan Pembentukan OJK

23
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 323
24
Ibid, hlm. 324

Universitas Sumatera Utara


Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan

jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung

kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya

saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional,

antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan

kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek

positif globalisasi. 25

Dengan pembentukan OJK, lembaga ini diharapkan dapat mendukung

kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan

daya saing perekonomian. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan

prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). 26

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor

jasa keuangan: 27

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan

dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

3. Visi dan Misi OJK

25
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, hlm. 3
26
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, hlm. 3
27
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 4

Universitas Sumatera Utara


Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang

terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu

mewujudkan industri keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang

berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. 28

Misi OJK adalah:

a. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuagan

secara teratur, adil, transparan dan akuntabel.

b. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

c. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

4. Struktur Organisasi OJK

Struktur Organisasi OJK terdiri atas Dewan Komisioner OJK dan

Pelaksana Kegiatan Operasional. 29Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi

OJK yang bersifat kolektif dan kolegial. 30 Kepala Eksekutif adalah anggota

Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan

jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan

Komisioner. 31

Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan

anggaran OJK. Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa

keuangan. Anggaran OJK sebagaimana dimaksud digunakan untuk membiayai

28
www.ojk.go.id diakses tanggal 27 Agustus 2017
29
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan Edisi Ke 2, (Jakarta:
Otoritas Jasa Keuangan, 2015), hlm. 13
30
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 (2)
31
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 (3)

Universitas Sumatera Utara


kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung

lainnya.

Susunan Dewan Komisioner OJK terdiri atas:

a. Seorang Ketua merangkap anggota;

b. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

c. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

e. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

f. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;

h. Seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan

pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:

a. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I.

b. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II.

c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor

Pasar Modal.

d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan

Sektor Pasar Modal.

Universitas Sumatera Utara


e. Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang

Pengawas Sektor IKNB.

f. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko.

g. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen

memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.

5. Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK

OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang

secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. 32

Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah,

yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari

kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur

perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan

merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan

yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh

karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas

tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka

koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan

sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan

terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan

32
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 2 (2)

Universitas Sumatera Utara


kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam

rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. 33

Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan

yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan

lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan

cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara

Kesatuan Republik Indonesia. 34

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor

Perbankan OJK mempunyai wewenang: 35

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya

manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin

usaha bank; dan

2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman

terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

33
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,hlm.3
34
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, hlm. 4
35
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 7

Universitas Sumatera Utara


3) Sistem informasi debitur;

4) Pengujian kredit (credit testing); dan

5) Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1) Manajemen risiko;

2) Tata kelola bank;

3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

d. Pemeriksaan bank.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan OJK mempunyai wewenang: 36

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh

Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,

dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud

dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau

pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

36
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 9

Universitas Sumatera Utara


g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut:

1) Izin usaha;

2) Izin orang perseorangan;

3) Efektifnya pernyataan pendaftaran;

4) Surat tanda terdaftar;

5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha;

6) Pengesahan;

7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8) Penetapan lain,

Dalam hal pelaporan dan akuntabilitas OJK wajib:

a. OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan

semesteran dan tahunan.

b. OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan

bulanan, triwulanan, dan tahunan.

c. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib

menyampaikan laporan.

d. Periode laporan keuangan adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31

Desember.

e. OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada

masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


f. Laporan kegiatan tahunan disampaikan kepada Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat.

Untuk penyusunan laporan keuangan Dewan Komisioner menetapkan

standar dan kebijakan akuntansi OJK. Laporan keuangan tahunan tersebut akan

diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang

ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. OJK wajib mengumumkan laporan

tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik.

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia

dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta

asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important

bank; dan

f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai

bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal OJK

mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi

kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia

untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya

berlandaskan asas-asas sebagai berikut: 37

a. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan

dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

c. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan

umum;

d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta

rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan;

e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

37
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, hlm. 4

Universitas Sumatera Utara


f. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan

Otoritas Jasa Keuangan; dan

g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas

Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”.

Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas,

dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui

pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan.

Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik,

pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan

konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor

Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,

dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 38

6. Hubungan Kelembagaan

a. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia

Menurut Pasal 39 UU Nomor 21 Tahun 2011, OJK dapat

berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dalam pengaturan dan

pengawasan perbankan, misalnya, dalam hal kewajiban pemenuhan modal

minimum bank ataupun kebijakan penerimaan dana dari luar negeri,

38
Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,hlm. 5

Universitas Sumatera Utara


penerimaan dana valuta asing maupun pinjaman komersial luar negeri.

Adapun bentuk nyata sinergi antara OJK dan BI adalah:

1) OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan

pengawasan di bidang perbankan. Hal tersebut merupakan salah

satu contoh bahwa kesatuan langkah kedua lembaga harus selalu

ada. Kombinasi kompetensi dari personil masing-masing lembaga

dimaksud akan mampu menciptakan suatu tatanan aturan

perbankan yang lebih sempurna. Penyamaan persepsi antara BI dan

OJK dalam menentukan kebijakan/pengaturan perbankan akan

menghasilkan tatanan sistem perbankan yang tangguh dalam

menghadapi segala kondisi.

2) OJK dan BI harus terintegrasi dalam tukar menukar informasi

perbankan. Melalui penggabungan sistem informasi ini, BI dan

OJK akan lebih mudah mengakses informasi perbankan yang

disediakan masing-masing lembaga setiap saat. Informasi strategis

yang dimiliki masing-masing lembaga dan aksesibilitas yang

mudah dapat menunjang efektifitas pelaksanaan tugas.

3) Dalam rangka pemeriksaan bank, BI dan OJK juga terus

melakukan hubungan timbal balik. BI dalam kondisi tertentu akan

melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank setelah

berkoordinasi dengan OJK. Begitulah sebaliknya, dalam hal OJK

mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kondisi yang

memburuk maka OJK akan segera menginformasikan kepada BI.

Kerjasama tersebut sangat bermanfaat untuk mengantisipasi

Universitas Sumatera Utara


dampak sistematiknegatif dari suatu perbankan. Dengan kerjasama

itu tindakan penganganan yang tepat dapat diambil dengan cepat.

b. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga

independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan

di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang

ditetapkan pada 22 September2004. Undang-undang ini mulai berlaku

efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional

LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap bank yang melakukan

kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta


39
penjaminan LPS. Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah

penyimpan; dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan

sesuai dengan kewenangannya. 40

Sesuai dengan Pasal 41 UU Nomor 21 Tahun 2011, OJK

menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai

bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Begitu

juga LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait

dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih

dahulu dengan OJK.

Untuk terus meningkatkan kinerja perbankan, perlu didukung oleh

peningkatan pengaturan Sektor Jasa Keuangan yang selaras dan

terintegrasi. OJK secara berkesinambungan melakukan penguatan pada


39
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Penjamin_Simpanan diakses tgl 06 Oktober
2017
40
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 4

Universitas Sumatera Utara


struktur perbankan, salah satunya dengan manajemen risiko terintegrasi,

good corporate governance terintegrasi, dan kecukupan permodalan untuk

konglomerasi keuangan. 41

Penguatan industri perbankan juga sangat bergantung pada

kepercayaan masyarakat. Salah satu cara meningkatkan kepercayaan

masyarakat sebagai nasabah penyimpan adalah dengan adanya sistem

penjaminan yang terbatas yang merupakan fungsi dari LPS. Dalam rangka

menjaga tingkat kepercayaan masyarakat pada industri perbankan maka

diperlukan kerjasama dan koordinasi antara OJK dan LPS, khususnya

dalam hal menangani bank bermasalah. Penanganan bank bermasalah

tersebut memerlukan koordinasi yang erat terutama dalam hal diperlukan

pemeriksaan bersama.

Untuk kelancaran tugas OJK dan LPS maka diperlukanlah nota

kesepahaman agar kerjasama dan koordinasi dapat berjalan dengan

bersinergi. Nota kesepahaman ini memuat pokok-pokok yang terkait

dengan efektivitas: 42

1) Pelaksanaan penjaminan simpanan dan pengawasan terhadap bank;

2) Koordinasi tindak lanjut hasil pengawasan dan analisis bank;

3) Koordinasi terkait bank dalam pengawasan intensif dan bank dalam

pengawasan khusus;

4) Koordinasi penyelesaian dan penanganan bank gagal;

41
SIARAN PERS NO.SP-18/DKNS/OJK/7/2014, Siaran Pers Bersama Nota
Kesepahaman Antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
hlm. 1
42
Ibid, hlm. 2

Universitas Sumatera Utara


5) Koordinasi tindak lanjut penyelesaian bank yang dicabut izin

usahanya;

6) Penetapan tingkat bunga yang wajar dalam rangka pembayaran klaim

penjaminan; dan

7) Penanganan pelaksanaan tugas lainnya, termasuk sifat kerahasiaan

data dan informasi.

OJK dan LPS memiliki peran signifikan dalam jaring pengaman

sistem keuangan, sehingga kerjasama dan koordinasi antara OJK dan

LPSkhususnya dalam pengawasan Perbankan perlu dilakukan secara

komprehensif dan bersinergi agar masing-masing lembaga dapat

menjalankan tugasnya secara efektif.

B. Kewenangan OJK dalam Pencabutan Izin Bank Perkreditan Rakyat

berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang

BankPerkreditan Rakyat

Sejak berdiri Otoritas Jasa Keuangan sudah melakukan beberapa tugas

yang memberikan dampak cukup signifikan bagi masyarakat. Tindakan yang

dilakukan dalam rangka imbauan, peringatan, membekukan kegiatan, mencabut

izin usaha suatu lembaga jasa keuangan. 43

Adapun kewenangan pengaturan dan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa

Keuangan diantaranya adalah: 44

43
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016)
hlm. 333
44
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan Edisi Ke 2, (Jakarta:
Otoritas Jasa Keuangan, 2015), hlm. 73

Universitas Sumatera Utara


1. Kewenangan memberikan izin (right to lisence), yaitu kewenangan untuk

menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank, meliputi pemberian

izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penututpan

dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan

kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan

kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu untuk menetapkan

ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam

rangka menciptakan perbankan sehat guna memenuhi jasa perbankan yang

diinginkan oleh masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu:

a. Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision) terdiri dari

pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk

mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau

tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk

mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang

membahayakan kelangsungan usaha bank.

b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan

melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan

bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to imposive sanction), yaitu

untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan.

Universitas Sumatera Utara


Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai

dengan asas perbankan sehat.

Menurut Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank

Perkreditan Rakyat Pasal 3 Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan

melakukan kegiatan usaha dengan izin Otoritas Jasa Keuangan. BPR hanya dapat

didirikan dan dimiliki oleh: 45

1. Warga negara Indonesia;

2. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;

dan/atau

3. Pemerintah Daerah.

Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dalam 2

(dua) tahap: 46

1. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian

BPR; dan

2. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR

setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan.

Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon PSP

kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, disertai dengan: 47

1. Rancangan akta pendirian badan hukum, yang memuat rancangan anggaran

dasar;

45
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 4
46
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 7
47
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 8

Universitas Sumatera Utara


2. Data kepemilikan:

a. Daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing

kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas

atau Perusahaan Daerah;

b. Daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan

simpanan wajib bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi,

3. Daftar Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;

4. Rencana struktur organisasi dan jumlah personalia;

5. Analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR;

6. Rencana sistem dan prosedur kerja;

7. Bukti setoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam bentuk

fotokopi bilyet deposito;

8. Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbadan

hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon anggota

bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana

dimaksud dalam huruf g:

a. Tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk

apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau

b. Tidak berasal dari dan untuk pencucian uang.

Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah Daerah, surat

pernyataan dapat digantikan oleh Surat Keputusan Kepala Daerah.

9. Bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka pendirian BPR kepada

Otoritas Jasa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara


Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas

permohonan persetujuan prinsip paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak

permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara

lengkap. 48 Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: 49

1. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;

2. Penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e;

3. Uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan

wawancara terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota

Dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan tentang uji kemampuan dan

kepatutan BPR;

4. Pemeriksaan setoran modal; dan

5. Penelitian terhadap kinerja keuangan BPR dan/atau lembaga keuangan lain

yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama.

Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas

permohonan izin usaha paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak

permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. 50BPR

yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan

kegiatan usaha BPR paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak
51
tanggal izin usaha diterbitkan. Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Otoritas Jasa

48
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 9 (1)
49
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 9 (2)
50
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 12 (1)
51
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 13 (1)

Universitas Sumatera Utara


Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan

kegiatan operasional. 52Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam

jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah

diterbitkan batal dan dinyatakan tidak berlaku. 53

Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat

Otoritas Jasa Keuangan berwenang mencabut izin usaha BPR atas permintaan

pemegang saham BPR dan BPR Dalam Pengawasan Khsus (DPK). Otoritas Jasa

Keuangan berwenang mencabut izin usaha BPR atas permintaan pemegang saham

BPR. 54 Pemegang saham BPR dapat mengajukan permintaan pencabutan izin

usaha BPR sepanjang BPR dimaksud tidak sedang ditempatkan dalam

pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam status

pengawasan khusus. 55

Dalam Pasal 75 Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank

Perkreditan Rakyat Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:

1. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha;

2. Keputusan pencabutan izin usaha.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPR atas

permintaan pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 apabila

BPR telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur lainnya.
52
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 13 (2)
53
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 13 (3)
54
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 72
55
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 73

Universitas Sumatera Utara


BAB III

ALASAN-ALASAN DAPAT DILAKUKANNYA PENCABUTAN IZIN

TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT

A. Pencabutan Izin Usaha Atas Permintaan Pemegang Saham

Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil

guna mencapai sasaran-sasarannya yaitu pertumbuhan ekonomi, pendapatan

perkapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan lain-lain. Sasaran ini terus

diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya

memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan

menjadi sangat penting.

Sebuah bank memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, nasabah,

pemegang saham, dan karyawannya. Bank harus bertanggung jawab terhadap

mereka yang telah memberikan modal. Motif pemberi modal pada umumnya

adalah hasrat untuk melakukan investasi yang baik. Mereka memilih saham

sebuah bank untuk alasan yang sama memilih suayu perusahaan lain, yaitu

memperoleh pengembalian yang kompetitif dari dana-dana mereka dan dengan

harapan nilai saham mereka akan meningkat.

Para pemilik melalui wakil-wakil mereka (dewan komisaris)

mempekerjakan manajemen untuk mengelola bank itu bagi kepentingan terbaik

mereka. Jika pada suatu waktu mereka menyangsikan keamanan dana mereka,

mereka mungkin akan menawarkan penjualan saham-saham bank mereka dan

bahkan mengajukan pencabutan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Disamping proteksi terhadap investasi mereka, para persero juga berhak

Universitas Sumatera Utara


memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya sama besarnya dengan penghasilan

yang mungkin diperolehnya dari investasi yang sebanding di tempat lain. Jika

penghasilan ini tidak diperoleh, maka para persero itu tidak mempunyai alasan

untuk melanjutkan suplai modal mereka kepada bank itu. 56

Dalam usaha untuk selalu menciptakan kondisi perbankan yang baik dan

tegas serta menerapkan prinsip-prinsip GCG (Good Coorporate Governance) atau

tata kelola perusahaan yang baik, maka lembaga perbankan harus selalu diawasi

dengan seksama. Secara umum pengawasan pada lembaga perbankan ada dua

yaitu: 57

1. Pengawasan yang dilakukan internal perbankan, yaitu pengawasan yang

dilakukan oleh Direktur Kepatuhan, Satuan Kerja Audit Intern.

2. Pengawasan yang dilakukan oleh eksternal perbankan, yaitu pengawasan

yang dilakukan oleh pihak bank sentral, OJK, dan LPS. Setiap lembaga

perbankan berkewajiban untuk memberikan laporan keuangan dalam

bentuk tertulis dan itu bersifat berkala.

OJK memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha

tertentu bank, menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan bank serta

mengenakan sanksi terhadap bank. Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan

untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan

yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara

56
American Institute of Banking, Manajemen Bank, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 8
57
Irham Fahmi, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya Teori dan Aplikasi, (Bandung:
Alfabeta, 2014), hlm. 114

Universitas Sumatera Utara


kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat

bagi perekonomian nasional. 58

Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai

pengatur urat nadi perekonomian nasional. Lancarnya aliran uang sangat

diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi

sektor-sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari

kebijakan di sektor perbankan. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya

menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat

penting untuk dilakukan. 59

Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada

kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya kepercayaan dari

masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya

dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikan

rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat. 60

Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti

membuka keran sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola

ataupun menjalankan bisnis perbankan tanpa didukung dengan aturan perbankan

yang baik dan sehat. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan berwenang

menerapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhaap

jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah di

58
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan Edisi Ke 2, (Jakarta:
Otoritas Jasa Keuangan, 2015), hlm. 72
59
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,
dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 130
60
Hermansyah, HukumPerbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.
144

Universitas Sumatera Utara


sektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat,

kuat dan kokoh. 61

Menurut Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank

Perkreditan Rakyat Pasal 72 Otoritas Jasa Keuangan berwenang mencabut izin

usaha BPR atas permintaan pemegang saham BPR. Menurut Pasal 73 Pemegang

saham BPR dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usaha BPR sepanjang

BPR dimaksud tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh Otoritas

Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tindak lanjut

penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus.

Menurut wawancara yang dilakukan terhadap Otoritas Jasa Keuangan

Regional 5 Sumatera Bagian Utara tanggal 22 Agustus 2017 adapun yang

menjadi penyebab pemegang saham mengajukan permintaan pencabutan izin

usaha perbankan dapat dilatarbelakangi oleh berbagai hal, diantaranya pemegang

saham sudah tidak berkeinginan untuk melanjutkan usaha perbankan. Hal yang

harus diperhatikan dalam permohonan pemegang saham dalam mengajukan

permintaan pencabutan izin usaha adalah BPR tidak sedang ditempatkan sebagai

BPR Dalam Pengawasan Khusus (DPK). 62

Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPR atas

permintaan pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 apabila

BPR telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur

61
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,
dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 131
62
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)

Universitas Sumatera Utara


lainnya. 63 Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dalam 2 (dua) tahap:

1. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha;

Diawali dengan Direksi BPR mengajukan permohonan persetujuan

persiapan pencabutan izin usaha kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa

Keuangan dengan melampirkan:

1) Risalah RUPS mengenai rencana pencabutan izin usaha atas permintaan

pemegang saham BPR;

2) Alasan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR;

3) Rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPR kepada nasabah, kreditur,

karyawan, dan pihak-pihak lainnya;

4) Laporan keuangan terakhir; dan

5) Bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara.

Setelah dokumen tersebut disiapkan Otoritas Jasa Keuangan

melakukan penelitian terhadap dokumen yang disampaikan dalam

permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha yang diajukan oleh

Direksi BPR. Berdasarkan hasil penelitian terhadap permohonan tersebut

Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan

izin usaha BPR dan mewajibkan BPR untuk:

1) Menghentikan seluruh kegiatan usaha BPR;

2) Mengumumkan rencana pembubaran badan hukum BPR dan rencana

penyelesaian kewajiban BPR dalam surat kabar harian yang mempunyai

63
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 74

Universitas Sumatera Utara


peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat

persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR;

3) Menyelesaikan seluruh kewajiban BPR dalam jangka waktu paling lama 3

(tiga) bulan sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin

usaha BPR; dan

4) Menunjuk kantor akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk

melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban

BPR.

Direksi BPR mengajukan permohonan pencabutan izin usaha BPR

kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh kewajiban BPR disertai

dengan laporan yang paling sedikit memuat:

1) Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha BPR;

2) Pelaksanaan pengumuman;

3) Pelaksanaan penyelesaian kewajiban BPR;

4) Neraca akhir BPR; dan

5) Surat pernyataan dari pemegang saham BPR.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan

pencabutan izin usaha yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana

dimaksud diatas.

2. Keputusan pencabutan izin usaha.

Setelah dilakukan penelitian terhadap dokumen permohonan

pencabutan izin usaha oleh pemegang saham, Otoritas Jasa Keuangan

menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Usaha BPR dan

Universitas Sumatera Utara


memerintahkan BPR untuk melakukan pembubaran badan hukum dan

mengumumkan berakhirnya atau bubarnya badan hukum sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.Sejak tanggal pencabutan izin usaha

diterbitkan, apabila di kemudian hari muncul kewajiban yang belum

diselesaikan, pemegang saham BPR bertanggung jawab atas segala kewajiban

BPR. Status badan hukum BPR berakhir atau bubar sejak tanggal

pengumuman berakhirnya atau bubarnya badan hukum BPR dalam Berita

Negara Republik Indonesia.

Pencabutan izin usaha suatu bank merupakan tindakan yang amat

menyakitkan guna mengeluarkan suatu bank yang sedang dalam kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya dan tidak dapat dilaksanakan lagi, yang

harus di keluarkan dari sistem perbankan (exit policy).

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan

secara atribusi,Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut usaha suatu bank yang

mengalami kesulitan yang membahayakan sistem perbankan.Pencabutan izin

usaha suatu bank oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan tindakan terakhir bila

kesulitan yang dihadapi bank yang bersangkutan tidak dapat di atasi lagi.

Ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

menetapkan dua alasan hukum yang memungkinkan suatu bank dicabut izin

usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu :

1. Apabila menurut penilaian keadaan suatu bank membahayakan sistem

perbankan; atau

Universitas Sumatera Utara


2. Apabila menurut penilaian suatu bank mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya dan tindakan untuk mengatasinya

belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh bank.

Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan,

kondisi bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya

permodalan, kualitas aset likuiditas dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang

tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.

langkah-langkah yang perlu dilakukan terhadap bank yang mengalami kesulitan

dan membahayakan kelangsungan usahanya, agar tidak terjadi pencabutan izin

usahanya dan atau tindakan likuiditas.

B. Pencabutan Izin Usaha setelah Pengawasan Khusus oleh Otoritas Jasa


Keuangan

Sebagaimana layaknya manusia, dimana kesehatan merupakan hal yang

paling penting di dalam kehidupannya. Tubuh yang sehat akan meningkatkan

kemampuan kerja dan kemampuanlainnya. Begitu pula dengan perbankan harus

selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam melayani para nasabahnya. 64

Sama halnya dengan bank umum, BPR juga senantiasa di evaluasi

kinerjanya. Indikator yang digunakan juga sama seperti yang digunakan dalam

analisis kinerja bank umum. Dengan demikian laporan-laporan keuangan utama,

64
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 31

Universitas Sumatera Utara


yaitu neraca dan laporan rugi laba, menjadi sangat penting. 65 Kinerja BPR perlu

dievaluasi karena memberikan gambaran tentang efisiensi alokasi sumber daya

keuangan. Efisiensi alokasi sumber daya keuangan oleh perbankan dapat

mencerminkan kondisi internal perusahaan, seperti struktur permodalan,

pendanaan, manajemen, dan kualitas sumber daya manusia. Karena itu,

pengukuran kinerja bank juga sangat bermanfaat bagi manajemen dan pemilik bak

dalam pengelolaan bank yang mereka miliki.

Dalam upaya penyehatan BPR yang merupakan kegiatan yang

berkelanjutan dalam rangka mendorong tumbuhnya industri perbankan yang

sehat, diperlukan deteksi sejak awal terhadap permasalahan serta kondisi BPR

yang berada dalam pengawasan normal namun mengalami penurunan kinerja

yang berpotensi berada dalam pengawasan intensif. Hal tersebut merupakan

langkah preventif untuk mengatasi permasalahan sejak dini sehingga tidak

mengganggu kelangsungan usaha BPR.

Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, OJK melaksanakan

pengawasannya dengan 2 pendekatan yaitu: 66

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision),

yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang

terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan

untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik

dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap

65
Mandala Manurung, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual
Indonesia), (Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004) hlm. 209
66
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan Edisi Ke 2, (Jakarta:
Otoritas Jasa Keuangan, 2015), hlm. 75

Universitas Sumatera Utara


pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan risiko.

2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision), yaitu

pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan

risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang

signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai

dan tepat waktu.

Pengawasan/pemeriksaan bank berdasarkan risiko dilakukan terhadap

jenis-jenis risiko sebagai berikut:

1. Risiko Kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan mitra

(counterparty) memenuhi kewajibannya.

2. Risiko Pasar, yaitu risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel

pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh bank yang

dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain suku bunga dan nilai

tukar.

3. Risiko Likuiditas, yaitu risiko yang antara lain disebabkan bank tidak

mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo.

4. Risiko Operasional, yaitu risiko yang antara lain disebabkan adanya

ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan

manusia, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang

mempengaruhi operasional bank.

5. Risiko Hukum, yaitu risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek

yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan

hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau

Universitas Sumatera Utara


kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sah kontrak dan

pengikatan agunan yang tidak sempurna.

Bank Perkeditan Rakyat sebelumnya berada dalam pengawasan normal

atau pengawasan intensif kemudian mengalami kesulitan keuangan yang

membahayakan kelangsungan usahanya perlu ditetapkan dalam pengawasan

khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dalam upaya penyehatan Bank Perkreditan

Rakyat baik dalam pengawasan intensif maupun pengawasan khusus, Otoritas

Jasa Keuangan menetapkan tindakan pengawasan yang harus didukung dan

dilaksanakan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang

saham Bank Perkreditan Rakyat dalam batas waktu tertentu.

Pada saat pemerintah melihat suatu perbankan bermasalah maka secara

umum ada tindakan yang diambil, yaitu: 67

1. Pembinaan

Pada kondisi ini pemerintah sifatnya akan masih menganggap bank

tersebut membutuhkan pembinaan atau advice saja, baik advise (nasehat)

pada sisi keuangan maupun non-keuangan guna menstabilkan kembali

posisinya ke arah yang diharapkan.

2. Tindak lanjut pengawasan

Pada kondisi ini Otoritas Jasa Keuangan bertugas untuk melakukan

pemantauan secara intensif akan setiap kebijakan dari bank tersebut dan

bagaimana ia menyelesaikan berbagai permasalahannya serta sesuatu yang

menyangkut kemampuannya menciptakan likuiditas, kemampuannya

67
Irham Fahmi, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya Teori dan Aplikasi, (Bandung:
Alfabeta, 2014), hlm. 111

Universitas Sumatera Utara


memenuhi CAR (Capital Adequacy Ratio) sesuai yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia dan lain-lainnya.

3. Likuidasi Bank

Pada kondisi ini Otoritas Jasa Keuangan telah merundingkan

secara dalam dengan pemerintah untuk melakukan kebijakan melikuidasi

atau menghentikan aktivitas bank tersebut.

BPR berada dalam pengawasan khusus, perlu dilakukan peningkatan

tindakan pengawasan dengan menitikberatkan pada upaya penambahan modal

untuk memenuhi tingkat solvabilitas dan likuiditas sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan untuk mendukung kelangsungan usahanya. Dalam praktik, BPR dapat

ditetapkan dalam pengawasan khusus tanpa melalui penetapan intensif dalam hal

tingkat solvabilitas dan/atau likuiditas baik dalam pengawasan normal atau

pengawasan intensif mengalami penurunan secara drastis, yang antara lain dapat

disebabkan oleh kecurangan (fraud). 68

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kinerja keuangan sebuah

BPR menjadi bermasalah hingga berujung pada pencabutan izin usaha. OJK

menyatakan bahwa kebanyakan BPR yang dicabut izin usahanya bukan karena

kalah dalam persaingan, melainkan lebih disebabkan fraud (kecurangan)yang

dilakukan pengurus BPR. Fraud banyak terjadi salah satunya karena BPR tidak

melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance

(GCG).

68
Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK/.03/2017 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


Penerapan GCG dan manajemen risiko yang baik tidak hanya

menghindarkan BPR dari potensi fraud, tapi juga dapat meningkatkan kinerja

keuangan BPR. Penerapan tata kelola penting dilakukan karena risiko dan

tantangan yang dihadapi BPR tak hanya berasal dari eksternal, tapi juga internal

BPR itu sendiri.Selain itu, penerapan GCG sangat diperlukan agar perbankan

dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang makin ketat serta

dapat menerapkan etika bisnis sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang

sehat dan transparan.

Penerapan praktik GCG dan manajemen risiko tidak sebatas tuntutan

regulasi, tetapi sudah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap perkembangan

BPR pada masa yang akan datang. Komitmen BPR terhadap penerapan GCG akan

menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi. Tanpa didukung

praktik GCG, BPR berpotensi menjadi tidak sehat.

Kegiatan perbankan yang dilakukan sehari-hari, baik oleh bank umum

maupun Bank Perkreditan Rakyat tidak terlepas dari berbagai kesalahan.

Kesalahan ini dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena

itu, agar dunia perbankan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang telah

ditetapkan, maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap segala

aktivitas yang dilakukan oleh dunia perbankan. 69

Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu ketentuan yang menjadi

dasar untuk melakukan penanganan terhadap BPR atau BPRS yang bermasalah

69
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hlm. 50

Universitas Sumatera Utara


dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Adapun peraturan tersebut adalah

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut

Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan

Khusus. Memperhatikan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 55 Undang-

Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuanga

maka sejak tanggal 21 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan

dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan berlaih dari Bank

Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, sehingga dalam peraturan ini semua

kewenangan yang dilakukan oleh Bank Indonesia digantikan oleh Otoritas Jasa

Keuangan.

Sebagaimana Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengawasan Khusus Pasal 2 (1) disebutkan bahwa BPR akan ditetapkan dalam

status pengawasan khusus jika dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usaha BPR tersebut.

BPR dalam status pengawasan khusussebagaimana dimaksud pada ayat (1)

apabila memenuhi 1 (satu) atau lebihkriteria sebagai berikut:

1. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen).

2. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tigapersen).

Bank Indonesia harus memberitahukan mengenai penetapan BPR dalam status

pengawasan khusus kepada BPR yang bersangkutan.

Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut

dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva

Universitas Sumatera Utara


tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia

tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat.

Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan

antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan

Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan

Rakyat.

Ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengawasan Khusus akan dicabut dan diganti dengan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 19/POJK.03?2017 tentang Penetapan Status Tindak Lanjut

Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

pada tanggal 1 November 2017.

Menurut wawancara yang dilakukan terhadap Otoritas Jasa Keuangan

Regional 5 Sumatera Bagian Utara tanggal 22 Agustus 2017 dijelaskan

perbedaan antara kedua peraturan tersebut adalah: 70

1. Jenis pengawasan yang dilakukan berubah dari dua jenis pengawasan menjadi

tiga jenis pengawasan, yaitu pengawasan normal, pengawasan intensif, dan

pengawasan khusus. Sebelumnya jenis pengawasan terhadap Bank

Perkreditan Rakyat hanya terdiri dari pengawasan normal dan pengawasan

khusus.

70
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)

Universitas Sumatera Utara


2. Perubahan threshold penetapan kriteria Bank Perkreditan Rakyat dan Bank

Perkreditan Rakyat Syariah dalam pengawasan khusus serta penambahan

thresholdpenetapan kriteria Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan

Rakyat Syariah dalam pengawasan intensif.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
PROSEDUR PENCABUTAN IZIN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN

A. Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat oleh


Otoritas Jasa Keuangan

1. Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat oleh


Otoritas Jasa Keuangan Atas Permintaan Pemegang Saham

Menurut Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank

Perkreditan Rakyat Pasal 72 Otoritas Jasa Keuangan berwenang mencabut izin

usaha BPR atas permintaan pemegang saham BPR. Menurut Pasal 73 Pemegang

saham BPR dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usaha BPR sepanjang

BPR dimaksud tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh Otoritas

Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tindak lanjut

penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPR atas

permintaan pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 apabila

BPR telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur


71
lainnya. Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:

a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha.

b. Keputusan pencabutan izin usaha.

71
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 74

Universitas Sumatera Utara


a. Persetujuan Persiapan Pencabutan Izin Usaha

Direksi BPR mengajukan permohonan persetujuan persiapan

pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 kepada Dewan

Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: 72

6) Risalah RUPS mengenai rencana pencabutan izin usaha atas permintaan

pemegang saham BPR;

7) Alasan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR;

8) Rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPR kepada nasabah, kreditur,

karyawan, dan pihak-pihak lainnya;

9) Laporan keuangan terakhir; dan

10) Bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara.

Setelah dokumen tersebut disiapkan Otoritas Jasa Keuangan

melakukan penelitian terhadap dokumen yang disampaikan dalam

permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha yang diajukan oleh

Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76. Berdasarkan hasil

penelitian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,

Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan

izin usaha BPR dan mewajibkan BPR untuk: 73

5) Menghentikan seluruh kegiatan usaha BPR;

6) Mengumumkan rencana pembubaran badan hukum BPR dan rencana

penyelesaian kewajiban BPR dalam surat kabar harian yang mempunyai

72
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 76
73
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 78
(1)

Universitas Sumatera Utara


peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat

persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR;

7) Menyelesaikan seluruh kewajiban BPR dalam jangka waktu paling lama 3

(tiga) bulan sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin

usaha BPR; dan

8) Menunjuk kantor akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk

melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban

BPR.

Kewajiban yang dimaksud dalam huruf (c) termasuk dalam

penyelesaian seluruh kewajiban BPR antara lain penyelesaian kewajiban

kepada nasabah, kreditur, karyawan, dan pihak lainnya, misalnya pembayaran

gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak terhutang, dan biaya-biaya

lainnya yang relevan. Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan seluruh

kewajiban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,

BPR harus melakukan langkah-langkah sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Direksi BPR mengajukan permohonan pencabutan izin usaha BPR

kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh kewajiban BPR sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 76 huruf c diselesaikan, disertai dengan laporan yang

paling sedikit memuat:

6) Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha BPR;

7) Pelaksanaan pengumuman;

8) Pelaksanaan penyelesaian kewajiban BPR;

Universitas Sumatera Utara


9) Neraca akhir BPR; dan

10) Surat pernyataan dari pemegang saham BPR.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan

pencabutan izin usaha yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana

dimaksud diatas.

b. Keputusan Pencabutan Izin Usaha

Berdasarkan hasil penelitian terhadap dokumen permohonan pencabutan

izin usaha tersebut, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Surat Keputusan

Pencabutan Izin Usaha BPR dan memerintahkan BPR untuk melakukan

pembubaran badan hukum dan mengumumkan berakhirnya atau bubarnya badan

hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 74

Sejak tanggal pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila di kemudian hari

muncul kewajiban yang belum diselesaikan, pemegang saham BPR bertanggung

jawab atas segala kewajiban BPR. 75 Status badan hukum BPR berakhir atau

bubar sejak tanggal pengumuman berakhirnya atau bubarnya badan hukum BPR

dalam Berita Negara Republik Indonesia. 76

74
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 81 (1)
75
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 81 (2)
76
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal 82

Universitas Sumatera Utara


2. Prosedur Pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat oleh
Otoritas Jasa Keuangan Setelah pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa
Keuangan

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengawasan Khusus Pasal 2Bank Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan

yang membahayakan kelangsungan usahanya akan ditetapkan oleh OJK dalam

status BPR Dalam Pengawasan Khusus (DPK). OJK menetapkan BPR DPK

apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:

a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen);

b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).

Menurut wawancara yang dilakukan terhadap Otoritas Jasa Keuangan

Regional 5 Sumatera Bagian Utara tanggal 22 Agustus 2017 dijelaskan bahwa

pencabutan izin usaha BPR DPK diawali dengan pemberitahuan kepada Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) mengenai kondisi BPR DPK yang tidak dapat

disehatkan dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau

tidak menyelamatkan BPR apabila BPR memenuhi kriteria tersebut diatas.

Selanjutnya apabila LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan

terhadap BPR DPK, maka OJK akan mencabut izin usaha BPR yang

bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS, dan penyelesaian

lebih lanjut BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh OJK dilakukan oleh LPS

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 77

77
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)

Universitas Sumatera Utara


Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud Bank Indonesia

dapat memerintahkan BPR dan/atau pemegang saham BPR untuk melakukan

tindakan antara lain:

a. Menambah modal,

b. Menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan

kerugian BPR dengan modalnya,

c. Mengganti anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR,

d. Melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain,

e. Menjual BPR kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh

kewajiban BPR,

f. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada

pihak lain,

g. Menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR kepada

pihak lain, dan/atau

h. Menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia.

BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus wajib:

a. Menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPR yang

realistis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lambat 7 (tujuh)

hari kerja sejak BPR ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang

ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham

Pengendali BPR;

b. Melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

Universitas Sumatera Utara


c. Menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud

pada huruf b paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan

actionplan;

d. Melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana

dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia.

Action plan yang realistis adalah tindakan yang telah mempertimbangkan

kemampuan BPR untuk melakukan penyehatan terutama perbaikan permodalan

dan/atau likuiditas sehingga dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengawasan Khusus Pasal 5, Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS

mengenai BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus. Pemberitahuan

kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan

mengenai kondisi BPR yang bersangkutan.

BPR dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama

dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam)

bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang

melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. Larangan

penghimpunan dan penyaluran dana tersebut berlaku sejak tanggal penetapan

larangan sampai dengan BPR keluar dari status pengawasan khusus. 78

Kegiatan penghimpunan dana yang dilarangadalah penghimpunan dana

dalam bentuk tabungan dan/atau depositoyang sumber dananya berasal dari :


78
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 6

Universitas Sumatera Utara


a. Fresh money, berupa setoran tunai dan/atau melalui transfer kerekening

BPR di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasankredit;

b. Pemindahbukuan selain dari :

1) Akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama,

2) Akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dankaryawan

BPR yang bersangkutan ke akun tabungan.

Kegiatan penyaluran dana yang dilarangadalah penyaluran kredit baru, termasuk

komitmen penyaluran kredityang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka

restrukturisasi kredit.

Dalam rangka pengawasan khusus BPR, Bank Indonesia dapat

menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara

langsung terhadap kegiatan operasional BPR. Penempatan petugas Bank

Indonesia tidak mengurangi tanggungjawab pengurus dan/atau pemegang saham

BPR terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR. 79

Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan

BPR dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia. Jangka waktu

sebagaimana dimaksud tidak termasuk waktu yang digunakan oleh Bank

Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap upaya-upaya perbaikan yang

telah dilakukan oleh BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila waktu

yang digunakan untuk penelitian melampaui batas waktu pengawasan khusus.

Dalam hal jangka waktu pengawasan khusus tersebut jatuh pada hari Sabtu atau

hari libur maka jangka waktu pengawasan khusus tersebut jatuh pada hari kerja

79
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 7

Universitas Sumatera Utara


berikutnya. 80 Upaya perbaikan yang dilakukan oleh BPR antara lain berupa

penambahan modal.

Sesuai dengan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009

tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam

Status Pengawasan Khusus BPR DPK dapat melakukan penambahan modal.

Penambahan modal yang dilakukan oleh BPR dalam status pengawasan khusus

wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum. Bank Indonesia

melakukan penelitian atas penambahan modal BPR tersebut untuk memastikan

bahwa penambahan modal tersebut telah sesuai dengan ketentuan permodalan

yang berlaku. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia penambahan

modal BPR tidak memenuhi ketentuan permodalan maka penambahan modal

tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal. BPR dalam status

pengawasan khusus yang telah melakukan penambahan modal hanya dapat

melakukanpencairan dana dalam escrow account dengan persetujuan Bank

Indonesia. Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pencairan

danasetelah Bank Indonesia melakukanpenelitian atas dana setoran modal

tersebut.

Penambahan modal adalah dana setoran modal dari pemilik/calon pemilik

yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas

nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq BPR yang bersangkutan” dengan

mencantumkan keterangan “Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah

mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”.

80
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 8

Universitas Sumatera Utara


Adapun syarat penambahan modal telah sesuai denganketentuan

permodalan yang berlaku adalah:

a. Sumber dana setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tidak berasal

dari dan untuk tujuan pencucian uang.

b. Bagi calon pemegang saham, yang bersangkutan telah

memenuhipersyaratan administratif, antara lain tidak tercantum

dalamDaftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet.

Jangka waktu status pengawasan khusus BPR sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama

180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status

pengawasan khusus. Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan

khususdisertai dengan alasan yang mendukung dan action plan yang

telahdisesuaikan dengan adanya perpanjangan jangka waktu pengawasankhusus.

BPR dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status

pengawasan khusus dengan syaratBPR telah meningkatkan: 81

a. Rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari

selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM

lebih dari 0% (nol persen); dan/atau

b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75%

(tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen)

dan CR lebih dari 1% (satu persen).

Contohnya untuk dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu status


81
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 10 (2)

Universitas Sumatera Utara


pengawasan khusus:

a. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio

KPMM 1%, wajib meningkatkan rasio KPMM sebesar 75% x (4%-1%)

atau sama dengan 2,25%, sehingga menjadi 3,25% pada waktu

mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.

b. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio

KPMM -14%, wajib meningkatkan rasio KPMM paling kurang sebesar

75% x [4%-(-14%)] atau sama dengan 13,5% sehingga menjadi -0,5%.

Karena BPR wajib meningkatkan rasio KPMM lebih besar 0% maka BPR

wajib meningkatkan rasio KPMM lebih dari 14% pada waktu mengajukan

permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.

BPR yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas namun sumber dana

setoran modalnya berasal dari APBD dapat mengajukan permohonan

perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen

pemegang saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio

KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6

(enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen). Bentuk komitmen antara

lain berupa surat dari pemegang saham (gubernur/walikota/bupati) kepada Bank

Indonesia yang menyatakan akan menambah modal disetor sesuai action plan

paling lambat sampai dengan berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang

diberikan.

Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus

disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat dalam batas waktu 150

(seratus lima puluh) hari sejak BPR ditetapkan dalam pengawasan khusus.

Universitas Sumatera Utara


Apabila BPR menyampaikan permohonan melewati batas waktu 150 (seratus lima

puluh) harimaka dianggap tidak mengajukan permohonan perpanjangan jangka

waktu pengawasan khusus.

Jika batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari tersebut jatuh pada hari

Sabtu atau hari libur maka penyampaian permohonan perpanjangan jangka waktu

pengawasan khusus dilakukan pada hari kerja berikutnya. Bank Indonesia

memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka

waktu pengawasan khusus setelah melakukan penelitian atas permohonan

perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.

Bank Indonesia menetapkan BPR dikeluarkan dari status pengawasan

khusus apabila memenuhi kriteria: 82

a. Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen), dan

b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3%(tiga

persen).

Bank Indonesia memberitahukan kepada BPR sebagaimana dimaksud

padaayat (1) bahwa:

a. BPR tersebut dikeluarkan dari status pengawasan khusus Bank Indonesia,

dan

a. larangan melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran danabagi

BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dicabut.

82
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 11 (1)

Universitas Sumatera Utara


Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yangdikeluarkan

dari status pengawasan khusus.

Selama jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana

dimaksuddalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia sewaktu-waktu

dapatmemberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk

memberikankeputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR, dalam hal

BPRyang ditetapkan dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteriasebagai

berikut:

a. BPR memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nolpersen)

dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir samadengan atau

kurang dari 1% (satu persen); dan

b. Berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPR tidak mampumeningkatkan

rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empatpersen) dan CR

rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurangsebesar 3% (tiga

persen).

Apabila pelaksanaan action plan BPR dinilai tidak sesuai, tidak terdapat

perbaikan kondisi keuangan dan/atau kondisi keuangan semakin memburuk maka

Bank Indonesia setelah memberikan surat pembinaan kepada BPR, meminta

kepada LPS untuk memutuskan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan.Pada

saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan

meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak

menyelamatkan BPR yang memenuhi kriteria:

a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau

Universitas Sumatera Utara


b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tigapersen).

Penyelamatan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpangan, dalam rangka

memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas suatu bank.

Apabila LPS memutuskan untuk menyelamatkan BPR, maka OJK tidak

melakukan pencabutan izin usaha BPR DPK tersebut.

Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan

terhadap BPR, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan

setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS. 83 Bank Indonesia memberitahukan

keputusan pencabutan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

kepada BPR yang bersangkutan dan LPS. Penyelesaian lebih lanjut BPR yang

telah dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Bank Indonesia mengumumkan BPR yang ditetapkan:

a. Dalam status pengawasan khusus;

b. Dikeluarkan dari status pengawasan khusus;

pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.

Bank Indonesia mengumumkan penetapan BPR yang:

a. Dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana;

b. Diperkenankan kembali melakukan penghimpunan dan penyalurandana;

pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.

83
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus Pasal 13

Universitas Sumatera Utara


BPR wajib mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran

danapada hari yang sama dengantanggal penetapan larangan.Bank Indonesia

mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPRkepada masyarakat.

BPR dalam status pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan

neracaharian secara mingguan kepada Bank Indonesia. Laporan tersebut wajib

disampaikan pada hari kerja pertama minggu berikutnya.

BPR dalam status pengawasan khusus yang melanggar

ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 15 ayat (3)

dan/atauPasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52

ayat(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:

a. Teguran tertulis; dan/atau

b. Pencantuman anggota pengurus dan/atau pemegang saham dalamdaftar

pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalampenilaian

kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalamketentuan Bank

Indonesia yang berlaku.

B. Prosedur Pencabutan Izin PT BPR Nusa Galang Makmur

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan keputusan pencabutan izin

usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Nusa Galang Makmur, yang beralamat di

Jalan Perintis Kemerdekaan No.88 Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara. Pengawasan PT BPR Nusa Galang Makmur sudah dilakukan

oleh OJK terhitung sejak 31 Desember 2013 sebagaimana Pasal 55 (2) Undang-

Universitas Sumatera Utara


Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pengawasan yang

dilakukan adalah pengawasan normal. 84

Menurut Pasal 7 PBI No. 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut

Penanganan Terhadap BPR Dalam Pengawasan Khusus OJK dapat menempatkan

petugas OJK selama pengawasan khusus di dalam BPR DPK apabila dibutuhkan.

Untuk kasus PT BPR Nusa Galang Makmur OJK tidak menempatkan petugas

OJK karena kegiatan operasional dan kewajiban BPR tetap menjadi tanggung

jawab Pengurus dan/atau Pemegang Saham PT BPR Nusa Galang Makmur. Di

sisi lain, pelaksanaan pengawasan terhadap BPR telah dilakukan baik secara on-

site maupun off-site. 85

Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision) terdiri dari

pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan

gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank

terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-

praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan

tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat pemantauan

seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan

informasi lainnya.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/20/PBI/2009

tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam

Status Pengawasan Khusus, sebelum dilakukan pencabutan izin usaha, PT Bank

84
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)
85
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)

Universitas Sumatera Utara


Perkreditan Rakyat Nusa Galang Makmur terlebih dahulu telah ditetapkan

statusnya sebagai BPR Dalam Pengawasan Khusus (DPK) oleh OJK sejak tanggal

19 Agustus 2016 dikarenakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

(KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) kurang dari 4%.

Keputusan pencabutan izin dikeluarkan dalam Rapat Dewan Komisioner

(RDK) Otoritas Jasa Keuangan pada 1 Maret 2017 dan telah ditetapkan dalam

Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 8/KDK.03/2017 tanggal 7 Maret

2017 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Nusa Galang

Makmur, terhitung sejak tanggal 7 Maret 2017.

Penurunan rasio KPMM atau CAR pada PT BPR Nusa Galang Makmur

disebabkan pengelolaan PT BPR Nusa Galang Makmur yang tidak

memperhatikan azas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian serta

diperburuk dengan penurunan Cash Ratio (CR), yang menyebabkan sampai

dengan battas waktu yang ditentukan yaitu dalam jangka waktu 180 (seratus

delapan puluh) hari sejak penetapan status DPK, BPR Nusa Galang Makmur

tidak dapat memenuhi standar kinerja keuangan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/20/PBI/2009

tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam

Status Pengawasan Khusus Pasal 4, PT Bank Perkreditan Rakyat Nusa Galang

Makmur telah diminta oleh OJK untuk melakukan langkah-langkah (action plan)

penyehatan agar rasio KPMM/CAR menjadi paling kurang 4% dalam jangka

waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal penetapan status

Universitas Sumatera Utara


DPK yaitu 19 Agustus 2016.Namun demikian, upaya-upaya penyehatan yang

dilakukan oleh Pemegang Saham/Manajemen BPR sampai dengan berakhirnya

batas waktu yang ditentukan tidak dapat memperbaiki kondisi BPR untuk

memenuhi kriteria keluar dari status bank dalam pengawasan khusus yang harus

memiliki rasio KPMM/CAR paling kurang 4% disertai dengan pernyataan

ketidaksanggupan dari pemegang saham dalam menyehatkan BPR. 86

OJK kemudian memberitahukan kepada LPS bahwa BPR Nusa Galang

Makmur tidak dapat disehatkan, dan meminta LPS untuk mengambil keputusan

menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR. Sebagaimana Pasal 13 PBI No.

11/20/PBI/2009 tentang Tidak Lanjut Penanganan terhadap BPR DPK,

disebutkan “Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelematan

terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia mencabut

izin usaha BPR yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari

LPS”. LPS memutuskan untuk tidak menyelamatkan BPR Nusa Galang Makmur

sehingga OJK melakukan pencabutan izin BPR tersebut. 87

Dengan dikeluarkannya Keputusan Dewan Komisioner pencabutan izin

usaha tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan menjalankan fungsi

penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 dan peraturan

pelaksanaannya.

86
Siaran Pers, SP 19/DKNS/OJK/III/2017
87
Wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 5 Sumatera Utara (Bapak
Rony Ukurta Barus, Kepala Bagian Administrasi) tanggal 22 Agustus 2017)

Universitas Sumatera Utara


Dalam rangka pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah PT BPR

Nusa Galang Makmur, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data

simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang layak dibayar

dan tidak layak dibayar. Rekonsiliasi dan verifikasi dimaksud akan diselesaikan

LPS paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha. 88

Dalam angka likuidasi PT BPR Nusa Galang Makmur, LPS mengambil

alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak

dan wewenang RUPS. LPS sebagai RUPS PT BPR Nusa Galang Makmur akan

mengambil tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Membubarkan badan hukum bank.

2. Membentuk tim likuidasi.

3. Menetapkan status bank sebagai “Bank Dalam Likuidasi”.

4. Menonaktifkan seluruh Direksi dan Dewan Komisaris.

Pembubaran atau likuidasi bank dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan bahwa likuidasi adalah proses membubarkan perusahaan sebagai badan

hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian

harta yang tersisa kepada para pemegang saham (persero). Dapat dijelaskan

bahwa likuidasi bank itu bukan sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran

badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan

kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut

izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank

yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa

88
PRESS RELEASE LPS, NOMOR : PRESS-10 /SEKL/2017

Universitas Sumatera Utara


penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat

dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.

Selanjutnya, hal-hal yang berkaitan dengan pembubaran badan hukum dan

proses likuidasi PT BPR Nusa Galang Makmur akan diselesaikan oleh Tim

Likuidasi yang dibentuk LPS. Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi PT BPR

Nusa Galang Makmur tersebut akan dilakukan oleh LPS sesuai dengan UU

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Dalam rangka melakukan likuidasi Bank Gagal yang dicabut izin

usahanya, LPS melakukan tindakan sebagai berikut: 89

a. Melakukan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);

b. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan

talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

c. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank

sebelum proses likuidasi dimulai; dan

d. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi,

dan menyatakan status bank sebagai bank dalam likuidasi, berdasarkan

kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Keputusan pembubaran badan hukum bank sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 43 huruf d wajib:

a. Didaftarkan dalam daftar perusahaan dan di panitera pengadilan negeri

yang meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan;

89
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 43

Universitas Sumatera Utara


b. Diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat

kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan

c. Diberitahukan kepada instansi yang berwenang.

Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat pula

pernyataan bahwa seluruh aset bank dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab

dan pengurusan tim likuidasi.

Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh tim likuidasi. Dengan

terbentuknya tim likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan bank dalam

likuidasi dilaksanakan oleh tim likuidasi. Dalam melaksanakan tugasnya, tim

likuidasi berwenang mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang

berkaitan dalam penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut.

Sejak terbentuknya tim likuidasi, direksi dan dewan komisaris bank dalam

likuidasi menjadi non aktif. Pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris serta

pegawai dan mantan pegawai bank dalam likuidasi berkewajiban untuk setiap saat

membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh tim

likuidasi. Pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris serta pegawai bank

dalam likuidasi dilarang secara langsung atau tidak langsung menghambat proses

likuidasi.

Pelaksanaan likuidasi bank oleh tim likuidasi wajib diselesaikan dalam

jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pembentukan tim

likuidasi dan dapat diperpanjang oleh LPS paling banyak 2 (dua) kali masing-

masing paling lama 1 (satu) tahun. Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi bank

dilakukan oleh LPS. Dalam hal terdapat sengketa dalam proses likuidasi, maka

Universitas Sumatera Utara


sengketa dimaksud diselesaikan melalui pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Likuidasi bank dilakukan dengan cara: 90

1. Pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti

dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil

pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau

2. Pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan

persetujuan LPS.

Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan

dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan

urutan sebagai berikut: 91

1. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;

2. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;

3. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya

operasional kantor;

4. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas

klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS;

5. Pajak yang terutang;

6. Bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan

penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin;

dan

7. Hak dari kreditur lainnya.

90
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 53
91
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 54

Universitas Sumatera Utara


Apabila seluruh kewajiban bank dalam likuidasi telah dibayarkan dan

masih terdapat sisa hasil likuidasi, maka sisa tersebut diserahkan kepada

pemegang saham lama. Apabila seluruh aset bank telah habis dalam proses

likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban

tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan

bank menjadi Bank Gagal.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dn pembahasan pada bab sebelumnya, maka

kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Kewenangan OJK dalam melakukan pencabutan izin terhadap Bank

Perkreditan Rakyat diatur dalam Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014

yaitu bahwa OJK berwenang untuk melakukan pencabutan izin BPR apabila

adanya permintaan dari pemegang saham dan apabila BPR ditetapkan dalam

Pengawasan Khusus dan setelah dilakukan pengawasan dinilai tidak dapat

disehatkan, sehingga Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak

menyelamatkan BPR dan OJK harus mencabut izin usahanya. Hal ini

dilakukan untuk mencapai tujuan OJK yaitu agar keseluruhan kegiatan jasa

keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat.

2. Alasan-alasan dapat dilakukannya pencabutan Izin terhadap Bank Perkreditan

Rakyat adalah karena adanya permintaan dari pemegang saham dan

pencabutan izin karena Bank Perkreditan Rakyat dinilai mengalami kesulitan

yang membahayakan kelangsungan usaha BPR yaitu ketika BPR memenuhi

satu atau lebih syarat berikut:

a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen).

Universitas Sumatera Utara


b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3 % (tiga

persen).

3. Prosedur pencabutan izin terhadap Bank Perkreditan Rakyat karena adanya

permintaan dari pemegang saham dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:

a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha.

b. Keputusan pencabutan usaha.

Sedangkan pencabutan izin usaha terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam

Pengawasan Khusus (DPK) adalah diawali dengan pemberitahuan kepada

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai kondisi BPR DPK yang tidak

dapat disehatkan dan meminta LPS untuk memberikan keputusan

menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang memenuhi kriteria BPR

DPK. Selanjutnya, apabila LPS memutuskan untuk tidak melakukan

penyelamatan terhadap BPR, maka OJK mencabut izin usaha BPR yang

bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS, dan penyelesaian

lebih lanjut dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan

penyebab dicabutnya izin usaha PT BPR Nusa Galang Makmur adalah

dikarenakan tidak dapat memenuhi rasio Kewajiban Penyertaan Modal

Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) menjadi kurang 4%

dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal

penetapan status DPK yaitu tanggal 19 Agustus 2016. LPS memutuskan

untuk tidak menyelamatkan PT BPR Nusa Galang Makmur sehingga pada

tanggal 7 Maret 2017 ditetapkanlah pencabutan izin usaha PT BPR Nusa

Galang Makmur dalam Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor

Universitas Sumatera Utara


8/KDK.03/2017 tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Nusa Galang

Makmur.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, maka saran-saran yang dapat

diajukan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melihat hasil penelitian ini disarankan kepada manajemen BPR agar selalu

menjaga tingkat kesehatan banknya sehingga tidak sampai kepada tahap BPR

Dalam Pengawasan Khusus (DPK) oleh Otoritas Jasa Keuangan.

2. Pemegang saham BPR maupun pihak manajemen hendaknya selalu

melakukan kontrol dan pengawasan terhadap setiap aktivitas di dalam

maupun diluar lingkungan bank untuk menghindari resiko yang mungkil

timbul yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko

Operasional, dan Risiko Hukum.

3. Bank Perkreditan Rakyat hendak mematuhi seluruh regulasi/peraturan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah baik melalui Otoritas Jasa Keuangan

maupun Bank Indonesia dan menghindari segala kecurangan (fraud) yang

mungkin bisa terjadi.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
American Institute of Banking, Manajemen Bank,Jakarta:Bina Aksara, 1987 .
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 2010
Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014
Fahmi,Irham, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya Teori dan Aplikasi, Bandung:
Alfabeta, 2014
Hermansyah, HukumPerbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2014
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2016
Manurung, Mandala,Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian
Kontekstual Indonesia),Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2004
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Cetakan ke-6, Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010
Murdadi, Bambang,Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawas Lembaga
Keuangan Baru yang Memiliki Kewenangan
Penyidikan, http://jurnal.unimus.ac.id,Vol.8, No.2, 2012
Otoritas Jasa Keuangan,Buku Saku Otoritas Jasa Keuangan Edisi Ke
2,Jakarta:Otoritas Jasa Keuangan, 2015

Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,


Likuidasi, dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


2002

UNDANG-UNDANG:
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut
Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan
Khusus
Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1996 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan
Likuidasi Bank

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,UU
No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

INTERNET:
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Penjamin_Simpanan diakses tgl 06
Oktober 2017

SIARAN PERS NO.SP-18/DKNS/OJK/7/2014, Siaran Pers Bersama


Nota Kesepahaman Antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dengan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
SP 19/DKNS/OJK/III/2017
PRESS RELEASE LPS, NOMOR : PRESS-10 /SEKL/2017

www.ojk.go.id diakses tanggal 27 Agustus 2017

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai