Anda di halaman 1dari 81

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH PEMBERIAN

BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT


MISKIN DI PROVINSI GORONTALO

Oleh
RIAN ANTUNTU
H11.15.049

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Sarjana Hukum


Pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

PROGRAM STRATA SATU (S-1)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
2022
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH PEMBERIAN


BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DI
PROVINSI GORONTALO

OLEH
RIAN ANTUNTU
H11.15.049

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disetujui Oleh Tim Pembimbing
Pada Tanggal…

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Rusmulyadi, SH.,MH Andi ST.Kumala Ilyas, SH.,MH


LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH PEMBERIAN


BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DI
PROVINSI GORONTALO

OLEH
RIAN ANTUNTU
H11.15.049

SKRIPSI

Telah Dipertahankan Di Depan Tim Penguji


Pada Tanggal…
Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat

1. Nnn Ketua (…………………………..)


2. Nnnnn Anggota (…………………………..)
3. Nnnn Anggota (…………………………..)
4. Nnnsn Anggota (…………………………..)
5. Nj m Anggota (…………………………..)

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum

Dr. Rusmulyadi, SH.,MH

iii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Rian Antuntu

NIM : H11.15.049

Konsentrasi : Hukum Tata Negara

Program Studi : Ilmu Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa :


1. Skripsi yang berjudul “Implementasi Peraturan Daerah Pemberian
Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo” adalah
benar-benar asli/ merupakan karya sendiri dsn belum pernah diajukan
untuk mendapatkan Gelar Sarjana baik di Universitas Ichsan maupun
Perguruan Tinggi lainnya.
2. Skripsi ini murni gagasan, rumusan dan penelitian sendiri tanpa bantuan
pihak lain kecuali arahan dan saran pembimbing dan penguji pada saat
ujian skripsi ini
3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah di
publikasikan orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai acuan
dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan divcantumkan
dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan yang saya buat tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik yang berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
saya peroleh dari skripsi ini.
Gorontalo, September 2022
Yang Membuat Pernyataan

Rian Antuntu

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan

nikmat kesehatan dan keafiatan kepada peneliti, sehingga peneliti dapat

merampungkan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat ujian guna

untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu pada Fakultas Hukum Universitas

Ichsan Gorontalo.

Skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan penjelasan yang

menyeluruh dan mendalam mengenai “ IMPLEMENTASI PERATURAN

DAERAH PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

MISKIN DI PROVINSI GORONTALO”

Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada :

1. Almarhumah Nenek tersayang Djami Sapii dalam semasa hidup

selalu memberikan dukungan sportifitas dan materi dalam menuntut

ilmu

2. Kedua orang tua tercinta

3. Bapak Muhammad Ichsan Gaffar, SE.,M..Ak Selaku Ketua Yayasan

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (YPIPT) Ichsan

gorontalo

4. Bapak Dr. Abd. Gaffar ladjoke M.Si Selaku Rektor Universitas

Ichsan Gorontalo

5. Bapak Amiruddin M.Kom Selaku Rektor I Bidang akademik

Universitas Ichsan Gorontalo

v
6. Bapak Rheyter Biki, SE.,M.Si Selaku Wakil Rektor II Bidang

Administrasi Dan Keuangan Universitas Ichsan Gorontalo

7. Bapak Dr. Kingdom Makkulawujar, S.HI.,MH Selaku Wakil Rektor

III Bidang Kemahasiswaan Universitas Ichsan Gorontalo

8. Bapak Sudirman Akili S.IP., M.Si Selaku Wakil Rektor IV Bidang

kerjasama Universitas Ichsan Gorontalo

9. Bapak Dr. Rusmulyadi, SH.,MH Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Ichsan Gorontalo Sekaligus Pembimbing I yang banyak

memberikan masukan dan arahan kepada saya

10. Bapak Saharuddin, SH.,MH Selaku Wakil Dekan I Bidang

Akademik Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

11. Bapak Suardi Rais, SH.,MH Selaku Wakil Dekan II Bidang

Administrasi dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Ichsan

Gorontalo

12. Bapak Jupri, SH.,MH Selaku Wakil Dekan III Bidang

Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

13. Ibu Dr. Hijrah Lahaling, S.Hi, MH Selaku Ketua Program Studi

Ilmu Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

14. Bapak Haritsa, SH., MH Selaku Sekertaris Program Studi Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

15. Seluruh Staf Dosen dan Tata Usaha di Lingkungan civitas

Akademika Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

vi
16. Ibu Andi ST.Kumala Ilyas, SH.,MH Selaku Pembimbing II yang

banyak memberikan arahan dan masukan kepada saya

17. Seluruh teman-teman Angkatan Yurisprudensi 2015 Fakultas

Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

18. Seluruh teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Ichsan Gorontalo

19. Seluruh Kader Himpunan mahasisa Islam yang banyak memberikan

dorongan dan motifasi kepada saya

Semoga Bantuan dan dorongan yang penulis terima dari semua pihak

dapat menjadi petunjuk kearah masa depan yang lebih baik . AMIN

Gorontalo, September 2022

PENELITI

RIAN ANTUNTU

vii
ABSTRAK

viii
ABSTRACT

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI......................................................... iii

SURAT PERNYATAAN................................................................................ iv

KATA PENGANTAR.................................................................................... v

ABSTRAK....................................................................................................... viii

ABSTRACT...................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

..........................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian....................................................................... 4

1.4 Manfaat Penelitian..................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6

2.1 Implementasi ............................................................................. 6

2.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi......... 7

2.1.2 Bantuan Hukum Di Indonesia......................................... 8

2.1.3 Pokok-pokok Implementasi Undang-Undang

Tentang Bantuan Hukum ................................................ 11

x
2.2 Pengertian Tentang Peraturan Daerah (PERDA) ..................... 15

2.2.1 Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah...... 17

2.2.2 Hak-Hak Dan Kewajiban Peraturan Daerah ................... 26

2.2.3 Pembentukan Peraturan Daerah....................................... 28

2.2.4 Mekanisme Peraturan Daerah.......................................... 31

2.3 Pengertian Pemberian Bantuan Hukum.................................... 32

2.3.1 Prosedur Bantuan Hukum................................................ 33

2.3.2 Tujuan Dari Pemberian Bantuan Hukum........................ 35

2.3.3 Pemberi Bantuan Hukum................................................. 36

2.3.4 Bantuan Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia................. 39

2.4 Faktor Penghambat Pemberian Bantuan Hukum...................... 41

2.5 Kerangka Pikir.......................................................................... 45

2.6 Defenisi Operasional................................................................. 46

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 47

3.1 Jenis Penelitian.......................................................................... 47

3.2 Objek Penelitian........................................................................ 47

3.3. Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian................................... 47

3.4 Jenis Dan Sumber Data............................................................. 47

3.5 Populasi Dan Sampel................................................................ 48

3.5.1 Populasi............................................................................ 48

3.5.2 Sampel.............................................................................. 48

3.6. Teknik Pengumpulan Data....................................................... 48

3.7. Teknik Analisis Data................................................................ 49

xi
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 50

4.1 Implementasi Peraturan Daerah Pemberian Bantuan

Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo......... 50

4.1.1 Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin.................... 50

4.1.2 Lembaga yang Telah Terakreditas................................. 53

4.2 Faktor Penghambat Implementasi Pemberian Bantuan

Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo.......... 57

4.2.1 Faktor Penegak Hukum................................................. 57

4.2.2 Faktor Anggaran............................................................ 58

4.2.3 Faktor Sarana Pra Sarana............................................... 59

BAB V PENUTUP....................................................................................... 61

5.1 Kesimpulan............................................................................... 61

5.2 Saran.......................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin

dalam kovenan internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik (International

Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR

menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus

dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 Ayat (3)

ICCPR memberikan syarat terkait bantuan hukum yaitu kepentingan-

kepentingan keadilan dan tidak mampu membayar advokat. Ketentuan Pasal 1

Ayat (3) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI 1945) menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.1

Sebagai negara hukum maka semua warga negara memiliki kedudukan yang

sama di hadapan hukum (equality before the law) tidak ada pembedaan apapun

yang dapat mempengaruhi kedudukan sebagai warga negara Indonesia, serta

mempunyai hak untuk dibela sebagai warga negara (acces to legal counsel),

serta hak untuk memperoleh keadilan (acces to justice).2

Salah satu upaya untuk mewujudkan keadilan atau kesamaan kedudukan

dalam hukum yaitu dengan adanya bantuan hukum bagi setiap warga negara

yang telibat dalam kasus hukum. Pemberian bantuan hukum diatur dalam

Undang-undang nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum yang menjadi

1
Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Rianda Seprasia. 2008. Implementasi Bantuan Hukum dan Permasalahannya, (Jakarta : Sinar
Grafika), hlm.2

1
2

dasar bagi negara untuk menjamin warga negara, khususnya bagi masyarakat

miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum.3

Bantuan hukum merupakan salah satu cara menuju masyarakat yang

berkeadilan sosial, di mana pemerataan bukan saja dibidang ekonomi dan sosial

tetapi juga dibidang hukum dan keadilan. Bantuan hukum telah berkembang di

Indonesia sebagai institusi yang mutlak diperlukan dalam menegakkan hak asasi

manusia, hak konstitusional dan gerakan prodemokrasi. Dengan adanya bantuan

hukum yang diberikan oleh negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia diharapkan semua lapisan masyarakat yang kurang mampu untuk

mencari keadilan dan kesetaraan dimuka hukum dapat terpenuhi hak-haknya

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.4

Selain itu, Peran organisasi bantuan hukum juga sangat penting dalam

memberikan bantuan hukum guna memperjuangkan hak asasi manusia, sebab

organisasi bantuan hukum itu bukan semata-mata lembaga yang hanya

memberikan fasilitas bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat

miskin dan buta hukum, melainkan sosial lannya yang mengacu tegaknya nilai-

nilai negara hukum yang demokratis dan di hormati hak-hak manusia.5

Di dalam penegakkan hukum ada kewajiban pemerintah khususnya

pemerintah daerah untuk mempergunakan wewenangnya sebagai penegak

hukum terutama bagi masyarakat miskin. Sebagaimana ditulis dalam Undang-

3
Forum Akses Keadilan untuk Semua. 2012. Bantuan Hukum Untuk Semua, Open Society Justice
Initiative, Jakarta. Hlm.7
4
Rachmad Abduh dan Faisal Riza, 2018, Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin
yang Mengajukan Gugatan Melaui Pos Bantuan Hukum Di Pengadilan Agama, dalam jurnal
EduTech Vol.4 No 2, (Sumatera Utara : ISSN:2442-6024) hal.32
5
Bambang Sunggono dan Aris Harianto,2011, “ Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (
Bandung: Mandar Maju) hal. 135
3

undang dasar 1945 pasal 18 ayat (6) “pemerintah daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

daerah dan tugas pembantuan”.6 Mengacu dari pasal diatas, pemerintah Provinsi

Gorontalo mengeluarkan peraturan daerah No 10 Tahun 2015 tentang

penyelenggaraan bantuan hukum untuk masyarakat miskin.7

Beberapa masyarakat sering menyurat kepada pemerintah bahkan gubernur

sendiri, dalam hal ini meminta bantuan perlindungan hukum bagi masyarakat

kurang mampu. Karena keterbatasan regulasi, pengeluhan itu hanya bisa di

disposisikan ke biro hukum. Dari pihak biro hukum hanya mampu ditinjau

langsung dilapangan tidak sampai memfasilitasi di wilayah pengadilan.

pemerintah tidak bisa memaksimalkan pendampingan karena tidak bisa berdiri

sebagai kuasa hukum perseorangan. Sehingga dengan adanya Undang-undang

bantuan hukum kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan daerah serta kerja

sama organisasi bantuan hukum dianggarkanlah pemberian bantuan hukum

dalam bentuk litigasi guna memberi pelayanan maksimal kepada masyarakat

kurang mampu yang membutuhkan akses keadilan perlindungan hukum.

Peraturan daerah Provinsi Gorontalo nomor 10 tahun 2015 menegaskan

bahwa bantuan hukum di berikan kepada penerima bantuan hukum yang

menghadapi masalah hukum. Selanjutnya di jelaskan pada ayat (3) bantuan

hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menerima dan

6
Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6)
7
Peraturan daerah No 10 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Untuk
Masyarakat Miskin
4

menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.8

Masalah kemiskinan saat ini di negara Indonesia erat sekali hubungannya

dengan proses penegakan hukum atau dengan kata lain kemiskinan yang diderita

seseorang mempunyai dampak yang sangat besar sekali terhadap proses hingga

hasil putusan dalam penegakan hukum, terutama dalam hubungannya dengan

usaha mempertahankan apa yang menjadi haknya.9

Berdasarkan data badan pusat statistik periode Maret 2022, kemiskinan di

Provinsi Gorontalo berada pada angka 15,42%. Hal ini menyebabkan Provinsi

Gorontalo berada pada posisi 5 daerah termiskin.10 Data statistik tersebut

membuktikan bahwa penduduk dalam kategori miskin di Provinsi Gorontalo

masih cukup tinggi dan tentu saja kehadiran bantuan hukum terhadap mereka

harus mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini perlu dikaji pelayanan yang

mereka dapatkan dengan adanya peraturan daerah no 10 Tahun 2015 tentang

penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin serta hambatan apa

saja yang ada dalam proses implementasinya.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik mengangkat penelitian

yaitu “Implementasi Peraturan Daerah Pemberian Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana implementasi peraturan daerah pemberian bantuan hukum

8
Peraturan daerah No 10 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan bantuan hukum untuk masyarakat
miskin
9

10
http://gorontalo.bps.go.id di akses pada tanggal 01 September 2022
5

bagi masyarakat miskin di Provinsi Gorontalo?

2. Faktor apa saja yang menghambat implementasi pemberian bantuan

hukum bagi masyarakat miskin di Provinsi Gorontalo?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi peraturan daerah pemberian bantuan

hukum bagi masyarakat miskin di Provinsi Gorontalo.

2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menghambat implementasi

pemberian bantuan hukum yang belum berjalan baik dan belum sesuai

dengan tujuan program pemberian bantuan hukum di Provinsi

Gorontalo.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan dapat

digunakan sebagai bahan kajian dalam pengembangan khususnya

ilmu hukum tentang penyelenggaraan bantuan hokum untuk

masyarakat miskin.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah dan penegak hukum

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan bagi pemerintah untuk memuat kebijakan yang terkait

dengan penyelenggaran bantuan hukum untuk masyarakat

miskin.

b. Bagi masyarakat diharapkan dapat di publikasikan, sehingga


6

masyarakat mendapatkan informasi tentang tanggung jawab

Negara untuk penyelenggaran bantuan hukum untuk masyarakat

miskin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

Implementasi menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) merupakan suatu

tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah di susun secara matang dan

terperinci.11

Menurut Usman implementasi merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan dari

rencana yang sudah di susun secara matang dan terperinci. Implementsi biasanya di

lakukan setelah perencanaan sudah di anggap sempurna. Menurut usman,

implementasi adalah bermuara pada aktivitas,aksi, tindakan atau adanya mekanisme

suatu sistem, implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang

terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.12

Menurut Purwanto dan Sulistyastuti, implementasi intinya adalah kegitan untuk

mendistribusikan keluaran kebijakan ( to deliver policy output) yang dilakukan oleh

para implementator kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk

mewujudkan kebijakan.13

Menurut E. Mulyasa implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan

sudah di anggap selesai. Guntur Setiawan berpendapat, implementasi adalah perluasan

aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008, hal.580
12
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum,(Jakarta : Grasindo, 2002), hal.70
13
Purwanto dan Sulistyastuti, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1991), hal. 21

7
8

mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksanaan birokrasi yang efektif.14

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi

Keberhasilan implementasi menurut Merile S.Grindle di pengaruhi oleh

dua variabel besar, yakni isi kebijakan (conten of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation).Variabel isi kebijakan ini mencakup:15

1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi

kebijakan.

2) Sejauh mana perubahan yang di inginkan dari sebuah kebijakan

3) Apakah letak sebuah program sudah tepat. Variabel lingkungan

kebijakan mencakup:

1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang di miliki

oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

2. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa

3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran

Van Meter dan Horn (dalam buku winarno), menggolongkan kebijakan-

kebijakan menurut karakteristik yang berbeda yakni, jumlah perubahan yang

terjadi dan sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara pemerintah serta

dalam peoses implementasi berlangsung. Unsur perubahan merupakan

karakteristik yang paling penting setidaknya dalam (2) hal: 16

14
Guntur Setiawan, 2004, Impelemtasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta : Balai Pustaka,), hal.
39
15
Merile S. Grindle (Dalam Buku Budi Winarno), 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik,
(Yogyakarta : Media Pressindo), hal. 21
16
Van Meter, Donal dan Van Horn, Carl E. 1975. ‘The Policy Implementation Process Conceptual
Frame Work”, Journal Administration and Society
9

1) Implementasi akan di pengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang

dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Untuk hal ini, perubahan-perubahan

yang inkramental atau berkembang lebih cenderung menimbulkan

tanggapan positif dari pada perubahan-perubahan drastis (rasional) seperti

di temukan sebelumnya perubahan inkremental yang didasarkan pada

pembuatan keputusan secara inkramental pada dasarnya merupakan

remedial dan di arahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidak

mampuan sosial yang nyata sekarang ini dari pada memperomosikan

tujuan sosial dari masa depan. akibatnya peluang terjadi konflik maupun

ketidak sepakatan antara pelaku pembuat kebijakan akan sangat besar.

2) Proses implementasi akan di pengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi

yang di perlukan. Kegagalan program-program sosial banyak berasal dari

meningkatnya tuntutan yang di buat terhadap sturkur-struktur dan

prosedur-prosedur administrasi yang ada.

2.1.2 Bantuan Hukum Di Indonesia

Dalam pasal 1 ayat (3) undang-undang dasar 1945 ditegaskan bahwa

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai konsekuensi dari negara hukum hak

untuk mendapatkan bantuan hukum harus di berikan oleh negara dan itu

merupakan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu

adanya Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum di

harapkan dapat melindungi hak konstitusional setiap individu untuk

mendapatkan bantuan hukum, selain itu juga di harapkan dapat mengakomodir


10

perlindungan terhadap masyarakat yang kurang mampu dalam menghadapi

kasus-kasus hukum.17

Pengakuan dan jaminan terhadap asas Equality before the law ini tidak

saja sebatas pengakuan politik negara saja. Akan tetapi lebih mengedepankan

tindakan konkrit negara dalam memberikan jaminan kepada masyarakat dalam

mendapatkan akses terhadap keadilan guna terpenuhi hak-hak dasar manusia

(HAM), bahkan tindakan afirmitif juga harus dilakukan untuk menjamin

terselenggaranya kewajiban negara ini. Dengan dasarnya laju pertumbuhan

pembangunan dan politik di Indonesia memunculkan permasalahan-

permasalahan mendasar yang meminggirkan bahkan mengabaikan hak-hak

dasar manusia yang berujung kepada kriminalisasi dan memposisikan rakyat

untuk meminta hak atas keadilan di Pengadilan maupun di luar pengadilan guna

mendapatkan keadilan .18

Bantuan hukum adalah hak konstitusional setiap warga. Lahirnya

undang-undang bantuan hukum seharusnya menjadi wujud nyata tanggung

jawab negara terhadap hak bantuan hukum sebagai akses keadilan bagi

masyarakat Indonesia sebagai mana di amanahkan oleh UUD 1945, UU Nomor

39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), kitab undang-undang hukum

acara pidana (KUHAP), Deklarasi universal hak asasi manusia, pasal 14(3) (d)

konvevan internasional tentang Hak-hak sipil dan politik (International

convenant on civil and political rights) yang telah di sahkan melalui Undang-
17
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
18
Oki Wahju Budijanto, “Peningkatan akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin”, dalam De Jure,
Vol.16, (Jakarta : Fatimiyah Press. 2016), hal.58
11

Undang nomor 12 tahun 2005, juga ada pemberian jaminan bagi setiap orang

untuk mendapatkan bantuan hukum dan pelayanan dari advokat (a right to have

legal counsel) yang berkualitas bagi masyarakat miskin.19

Sesuai praktek internasional, ada 5 pilar mengenai bantuan hukum

yakni:

1. Accesible yakni bantuan hukum harus dapat di akses dengan mudah;

2. Affordability di mana bantuan hukum di biayai oleh negara;

3. Sustainable yakni bantuan hukum harus terus ada dan tidak tergantung

pada donor sehingga negara harus menganggarkanya dalam Anggaran

pemerintah belanja negaran (APBN);

4. Credibility dimana bantuan hukum harus dapat di percaya dan harus

mememberikan keyakinan bahwa yang di berikan dalam rangka

peradilan yang tidak memihak (juga saat mereka menghadapi kasus

negara, tidak ada keraguan tentang itu; serta

5. Accountability dimana pemberi bantuan hukum harus dapat

memberikan pertanggung jawaban keuangan kepada badan pusat dan

kemudian badan pusat harus mempertanggungjawabkan kepada

parlemen.

Lahirnya undang-undang bantuan hukum sudah diadvokasi sejak tahun

1998 oleh para aktivis bantuan hukum. Tahun 2004 draft undang-undang

bantuan hukum sudah di buat. Tahun 2009 Undang-undang masuk ke program

legislasi nasional. Pada tanggal 2 november 2011 diundangkanlah Undang-


19
UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999
12

undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum.20

Hak atas bantuan hukum sendiri merupakan non derogable rights, sebuah

hak yang tidak dapat dapat di kurangi dan tak dapat di tangguhkan dalam

kondisi apapun. Oleh karena itu, bantuan hukum adalah hak asasi semua orang,

yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan oleh negara, tetapi

juga merupakan tanggung jawab negara dalam mewujudkan equality before the

law, acces to justice dan fair trial.21

Kewajiban negara yang tertuang dalam Undang-undang nomor 16 tahun

2011 tentang bantuan hukum. Ada tiga pihak yang di atur di undang-undang

yakni penerima bantuan hukum (orang miskin), pemberi hukum (organisasi

bantuan hukum) serta penyelenggara bantuan hukum (Kementrian Hukum dan

HAM RI). Sebagai sebuah harga demokrasi yang harus di bayar,tentu

pelaksanaan undang-undang ini harus di kawal oleh semua pihak. Dengan

demikian akses terhadap keadilan bagi orang miskin dapat terpenuhi.22

2.1.3 Pokok-pokok Implementasi Undang-Undang Bantuan Hukum

Badan pembinaan hukum nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan

HAM RI memiliki peran yang sangat strategis dan penting dalam implementasi

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum. Bantuan hukum

untuk orang miskin dalam skema undang-undang ini memiliki 3 (tiga) sasaran

20
Undang- Undang Nomor16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum
21
Pitriani, 2015, “Peran Bantuan Hukum Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa
Yang Tidak Mampu”, dalam jurnal Al-Qishthu, (Kerinci : Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
22
Undang- Undang Nomor16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum
13

penerima, yakni:23

1. Penerimaan bantuan hukum, yakni orang atau kelompok masyarakat

miskin

2. Pemberi bantuan hukum yakni organisasi bantuan hukum yang loos

verifikasi/akreditasi

3. Penyelenggara bantuan hukum yakni kementerian hukum dan HAM RI

badan pembinaan hukum nasional. Karena itu, badan pembinaaan

hukum nasional memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk

memastikan implementasi bantuan hukum di laksanakan sesuai dengan

asas-asas yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang nomor 16

tahun 2011 yakni:

1) Keadilan

2) Persamaan kedudukan di dalam hukum

3) Keterbukaan

4) Efisiensi

5) Efektivitas

6) Akuntabilitas

Sebagai pelaksana penyelenggaraan sebuah sistem yang baru, telah

mempersiapkan segala sesuatunya agar implementasi bisa berjalan dengan baik.

Adapun beberapa aspek yang di persiapkan meliputi:24

a) Assesment dana bantuan hukum dan kementerian lembaga

23
Undang Nomor16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum
24
Undang Nomor16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum
14

b) Sosialisasi undang-undang bantuan hukum

c) Regulasi yang meliputi verifikasi/Akreditasi organisasi bantuan

hukum, mekanisme pemberian layanan bantuan hukum, penyaluran

dana bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, standar

biaya, serta pengawasan

d) Pemetaan pra-verifikasi

e) Verifikasi/akreditasi organisasi bantuan hukum

f) Panitia pengawas di tingkat pusat dan daerah

g) Pelaksannan program bantuan hukum

h) Mekanisme pertanggung jawaban keuangan dan reimbuserment

i) Pengembangan program bantuan hukum

j) Sistem informasi database

k) Bantuan hukum

Pembahasan dalam pembentukan peraturan pelaksanaan cukup dinamis.

Dari perdebatan mengenai defenisi miskin, mekanisme penyaluran dana ( antara

menggunakan uang muka dengan bank guarantee atau mekanisme

reimbursement), mekanisme pengawasan (mengenai keterlibatan organisasi

bantuan hukum dan pengawasan), besaran biaya, mekanisme verifikasi,

akreditasi organisasi bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, peran

paralegal dan banyak hal teknis lainnya.25

Akhirnya implementasi Undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang

bantuan hukum di mulai dengan acara rapat kerja nasional pemberian bantuan
25
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=1027
15

hukum tanggal 25-27 juli 2013 yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono di istana negara dengan di hadiri oleh pemberi bantuan hukum, para

menteri dan duta basar. Presiden republik Indonesia menjadi saksi penanda

tanganan kontrak kerja dan fakta integritas pemberi bantuan hukum.26

Pemberi bantuan hukum sudah bisa melaksanakan pemberian bantuan

hukum terhitung tanggal 1 juli 2013. Namun pelaksanaan ini tidak berjalan

dengan mulus ada beberapa kendala yang dapat di identifikasi sebagai berikut: 27

1. Sebaran organisasi bantuan hukum yang tidak merata. Ada 4 provinsi

yang masing-masing hanya memiliki 1 (satu) Organisasi bnatuan

hukum, yakni provinsi kepulauan riau, Bangka Belitung, Sulawesi utara

dan Sulawesi barat. Demikian juga sebaran organisasi bantuan hukum

secara keseluruhan hanya menjangkau kurang dari 50% Kabupaten di

Indonesia.

2. Kurangnya sosialisasi mengenai program ini di kalangan penegak

hukum dan masyarakat.

3. Kurangnya advokat yang ada di organisasi bantuan hukum.

4. Minimnya waktu, yakni hanya 5 bulan terhitung dari tanggal 1 juli

hingga 9 desember 2013.

5. Mekanisme reimbuserment dalam sistem pertanggung jawaban

keuangan negara sangat asing bagi organisasi bnatuan hokum.

6. Sebagian besar organisasi bnatuan hukum tidak aktif dalam pelaksanaan

26
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=1027
27
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=1027
16

pemberian bantuan hukum. Salah satu alasanya adalah belum terbiasa

dengan sisitem reimbursement.

7. Banyak organisasi bantuan hukum yang belum memiliki SK pengesahan

badan hukum dari intelejen administrasi hukum umum, serta

8. Sumber daya manusia di kantor wilayah yang belum memadai baik

secara kuantitas maupun kualitas.

2.2 Peraturan Daerah (PERDA)

Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-

undangan. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud dengan peraturan daerah

Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama

Bupati/Walikota.28

Menurut Maria Farida peraturan daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh

kepala daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dalam ranah

pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah yang menjadi legalitas perjalanan

eksekusi pemerintah daerah.29

Definisi berdasarkan ketentuan Undang-undang tentang Pemerintah Daerah

adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota.


28
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
29
Mariqa Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan ,Cet. Ke-7, (Yokyakarta : Kanisius),
hal.202
17

Dalam ketentuan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

Propinsi/ Kabupaten/ kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan

ciri khas masing-masing daerah.30

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh

materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan peraturan daerah dapat

berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/

Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/ Walikota dan

DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas

adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda

yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota dipergunakan sebagai bahan

peraturan.31

Berdasarkan Pasal 7 Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan, dijelaskan bahwa “Jenis dan hirarkhi

peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:32

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

30
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
31
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
materi muatan Perda
32
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
18

b. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Penggati Undang-undang.

d. Peraturan Pemerintah.

e. Peraturan Presiden.

f. Peraturan Daerah Provinsi.

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

2.2.1 Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah

1. Pasal 18 Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia

adalah negara kesatuan berbentuk Republik”. Sehingga adanya daerah yang

mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan. Selain itu,

berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuklah daerah otonom yang tujuannya

adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dalam

pelaksanaan pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut:33

1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai

pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang

2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur


33
Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
19

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan.

3) Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota

dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

4) Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan.

5) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur

dalam undang-undang.

Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan pembentukannya sesuai dengan

pasal 18 UUD 1945 maka kepada daerah diberikan wewenang- wewenang untuk

melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh karena itu, setiap

pembentukan Daerah Otonom Tingkat I ataupun II harus selalu memperhatikan

syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah pertahanan dan

keamanan yang memungkinkan daerah otonom melaksanakan otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab.34

Selanjutnya bahwa di dalam pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa


34
A.W. Widjaja, 2002, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta : PT. Bumi Aksara), hal.140
20

hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah Provinsi, Kabupaten

dan Kota diatur sebagaimana mestinya oleh undang-undang dengan tetap

memperhatikan keragaman daerah. Hubungan yang diatur antara lain hubungan

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur berdasarkan

undang-undang dan dilaksanakan secara selaras, serasi dan seimbang.35 Selain

itu dalam pasal 18 B UUD 1945 ditegaskan bahwa 36:

1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.

2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur di dalam undang- undang.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pasal-pasal tersebut (pasal 18,

18A, 18B ), Maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Daerah bukan merupakan atau tidak bersifat “staat” atau negara

(dalam negara)

b. Daerah merupakan daerah otonom atau daerah administrasi

c. Wilayah Indonesia adalah merupakan satu kesatuan yang akan

dibagi dalam daerah provinsi, dan dari daerah provinsi akan dibagi

ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil seperti kabupaten atau kota


35
Pasal 18 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
36
Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
21

d. Negara Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serata

adanya suatu kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan

budanyanya sendiri dan hak-hak tradisionalnya, dan ini merupakan

dasar dalam pembentukan daerah istimewa dan pemerintah desa

e. Dalam suatu daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum

f. Adanya suatu prinsip dalam menjalankan otonomi yang seluas-

luasnya (Pasal 18 ayat 5)

g. Adanya suatu prinsip di daerah untuk mengatur dan mengurus

urusan rumah tangganya sendiri berdasar pada asa otonomi dan

tugas pembantuan.

h. Bahwa hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah harus

dijalankan selaras dan adil.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi

daerah, dipandang perlu untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi,peran

serta masyarakat,pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan


keanekaragaman daerah.37

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah dan lembaran Negara Republik Indonesia, diatur secara jelas

mengenai otonomi daerah yang tertulis dalam penjelasan UUD 1945 yaitu:

Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi

seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.38 Dalam menghadapi perkembangan

keadaan baik didalam maupun di luar negeri serta tantangan persaiangan

global dipandang perlu adanya penyelenggaraan otonomi daerah dengan

memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada

daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian,

pemanfaatan sumber daya nasional serta pertimbangan keuangan pusat dan

daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang

dilaksanakan dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.39

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dikemukakan bahwa daerah otonom

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah

37
BN. Marbun, 2003, Kamus Politik, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan)
38
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Lembaran Negara Republik
Indonesia
39
Prof. Drs. Haw. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia dalam rangka
sosialisasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, (Jakarta : PT Raja grafindo persada)

22
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

masyarakat dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu

dalam Pasal 10 (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan

bahwa, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya di daerah,

pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Sehingga pada hakekatnya pembentukan

daerah otonom dimaksud untuk memperlancar roda pemerintahan yang

berorientasi pada pembangunan yang melibatkan adanya partisipasi dari

masyarakat.40

Secara Yudiris asas-asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam

Pasal 20 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang terdiri atas:41

1. Asas kepastian hukum

Yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan landasan pertauran perundang-undangan, kepatutan dan

keadilan dalam setiap kebijaksanaan penyelenggaraan negara.

2. Asas tertib penyelenggara negara

Yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan dan keseimbangan

dalam mengendalikan penyelenggaraan negara.

3. Asas kepentingan umum

40
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
41
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

23
Yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara

aspiratif, akomodatif dan selektif.

4. Asas keterbukaan

Yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi golongan dan rahasia negara.

5. Asas profesionalitas

Yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban penyelenggaraan negara.

6. Asas akuntabilitas

Yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik

dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Asas proporsionalitas

Yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir

dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggung

jawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Asas Efisiensi dan Efektivitas

Yaitu asas yang menyangkut tentang pencapaian tujuan dari

kebijaksanaan yang ditetapkan yaitu untuk mewujudakan

pemerintahan berdaya guna dan berhasil guna khususnya berkenaan

24
dengan prosedur.

Menurut Budiman NPD ada 4 landasan yang digunakan dalam menyusun

perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang tangguh dan

berkualitas, antara lain adalah sebagai berikut:42

a) Landasan yuridis

Merupakan suatu ketentuan hukum yang menjadi dasar

kewenangan (bevoegheid, competentie) pembuat peraturan perundang-

undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan mempunyai dasar

hukum yang ditentukan dalam perundang-undnagan atau tidak. Hal ini

sangat penting untuk disebutkan dalam perundang-undangan karena

seorang pejabat/suatu badan tidak berwenang (onbevogheid)

mengeluarkan aturan.

b) Landasan sosiologis

Landasan Sosiologis adalah suatu peraturan perundang-undangan

yang dibuat, harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan

kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai

dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Dalam

kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas

dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat.

c) Landasan filosofis

Landasan filosofis yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide

42
Budiman N.P.D.Sinaga, 2005, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.12

25
yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan

pemerintah ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Suatu

rumusan perundang-undangan harus mendapat pembenaran

(recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis.

Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup

maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita

keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der

eedelijkheid).

d) Landasan politis

Pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan pada garis

politik landasan politis yakni, suatu garis kebijakan politik yang menjadi

dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan seperti

pada saat ini tertuang pada program legislasi nasional (Prolegnas)

maupun program legislasi daerah (Prolegda), dan juga kebijakan

program pembangunan nasioal (Propenas) sebagai arah kebijakan

pemerintah yang akan dilaksanakan selama pemerintahannya ke depan.

2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah

Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan terutama dalam

penyelenggaraan otonomi daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.

Hak-hak daerah tersebut menurut Pasal 21 Undang- undang Nomor 32 Tahun

2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun

2008 Tentang Pemerintahan Daerah 43:


43
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah

26
1. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya

2. Memilih pemimpin daerah

3. Mengelola aparatur daerah

4. Mengelola kekayan daerah

5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah

6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya yang berada di daerah

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan

Disamping hak-hak tersebut di atas, Pemerintah daerah juga diberi

beberapa kewajiban, yaitu :

1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

3. Mengembangkan kehidupan demokrasi.

4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan

5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan

6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan

7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak

8. Mengembangkan sistem jaminan sosial

9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah

27
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah

11. Melestarikan lingkungan hidup

12. Mengelola administrasi kependudukan

13. Melestarikan nilai sosial budaya

14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan kewenangannya

15.Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Hak dan kewajiban Pemerintah Daerah tersebut diwujudkan dalam

bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk

pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam sistem

pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan

diatas, pengelolaan keuangan dilakukan secara efisien, transparan,

bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada peraturan perundang-

undangan.44

2.2.3 Pembentukan Peraturan Daerah

Pembentukan peraturan daerah pada dasarnya dimulai dari perencanaan,

pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan dan penyebarluasan. Dalam mempersiapkan pembahasan dan

pengesahan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah, harus

berpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Dalam rangka tertib

administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu

44
Abdullah, Rozali. 2007, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta : PT Raja Grasindo)

28
proses atau prosedur penyusunan peraturan daerah agar lebih terarah dan

terkoordinasi.

Proses pembentukan peraturan daerah terdiri dari 3 (tiga) tahapan,

yaitu:45

1. Proses penyiapan rancangan peraturan daerah yang merupakan proses

penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan

Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk

penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic

draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft)

2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD

3. Proses pengesahan oleh kepala daerah dan pengundangan oleh sekretaris

daerah

Ketiga proses pembentukan peraturan daerah tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

a) Proses penyiapan Raperda dilingkungan DPRD, berdasarkan Amandemen I

dan II Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1), DPR memegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 20 ayat (2), anggota- anggota DPR berhak mengajukan

usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD

memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah dan anggota DPRD

berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari

45
Budiman N.P.D. Sinanga, 2005, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: UII Pres) hal. 113

29
lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD

dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh

Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat

Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.

b) Proses penyiapan Raperda di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam proses

penyiapan Peraturan Daerah yang berasal daeri Pemerintah Daerah bisa

dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

c) Proses mendapatkan persetujuan DPRD, pembahasan Raperda di DPRD

baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif di DPRD,

dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/Walikot, Pemda

membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian

Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui bebarapa tingkatan

pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat

Paripurna, rapat Komisi, rapat Gabungan Komisi, rapat Panitia Khusus dan

diputuskan dalam rapat Paripurna. Secara lebih ditail mengenai pembahasan

di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib

DPRD masing-masing. Khusu untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala

Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk

mengkoordinasikan rancangan tersebut.

d) Proses pengesahan dan pengundangan apabila suatu pembicaraan suatu

Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD,

30
Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui

Sekretaris Daerah dalam hal ini Biro/Bagian Hukum untuk mendapatkan

pengesahan. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan Autentifikasi.

Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Peraturan Daerah

tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian

Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi

Peraturan Daerah tersebut. Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan

Peraturan Daerah, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD

dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda

yang telah disetujuai oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala

Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah

diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Derah dapat menyempurnakan

teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah

Peraturan Daerah diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik

penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat

meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Peraturan Daerah

melalui Lembaran Daerah. Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan

Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar

semua masyarakat di daeah setempat mengetahuinya.

2.2.4 Mekanisme Peraturan Daerah

Pembuatan Perda dilakukan secara bersama-sama oleh Gubernur /

31
Bupati/ Walikota dengan DPRD tingkat I dan II.46

1. Pemerintah daerah tingkat I atau II mengajukan Rancangan Perda

kepada DPRD melalui Sekretaris DPRD I atu II

2. Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD

tingkat I atau II.

3. Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengirimkan Rancangan Perda

tersebut kepada komisi terkait.

4. Pimpinan komisi membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas

Rancangan Perda usulan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.

5. Panitia khusus mengadakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-

elemen yang meliputi unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai

politik, LSM, ormas, OKP, tokoh masyarakat, dan unsur lain yang

terkait di daerah.

6. DPRD tingkat I atau II mengadakan sidang paripurna untuk

mendengarkan pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnya

menetapkan Rancangan Perda menjadi Perda.

2.3 Pengertian Pemberian Bantuan Hukum

Pemberian bantuan hukum merupakan pelayanan hukum yang bersifat cuma-

cuma. Semua warga masyarakat atau warga negara memiliki aksesibilitas yang sama

dalam memperoleh pelayanan hukum. Pengertian bantuan hukum dapat dilihat dalam

undang-undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang advokat dalam Pasal 1 butir 9

46
Srijanti & A. Rahman, 2008, Etika Berwarga Negara edis 2, (Jakarta : Salemba Empat), hlm 106-
107

32
disebutkan bahwa : “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat

secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa bantuan

hukum adalah Jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara

cuma-Cuma kepada penerima bantuan hukum.47

Pengertian bantuan hukum juga dapat dilihat dalam pasal 1 (1) peraturan

perhimpunan advokat Indonesia nomor 1 Tahun 2010 tentang petunjuk pelaksanaan

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma menyatakan bahwa “bantuan hukum

secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima

pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan

kuasa, mewakili, mendampingi membela, dan melakukan tindakan hukum lain

untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.48

M. Yahya Harahap mengemukakan pengertian bantuan hukum memiliki 3 (tiga)

ciri dalam istilah yang berbeda 49:

1. Legal Aid yang berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang

yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara. Pada legal aid ini pemberian

jasa atau bantuan hukum menekankan pada pemberian secara cuma-cuma

dan lebih dikhususkan bagi masyarakat tidak mampu pada lapisan

masyarakat miskin.

47
Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
48
Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
49
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika), hal 244

33
2. Legal Assistance, pada jenis jasa hukum legal assistance mengandung

pengertian yang lebih luas daripada legal aid, karena pada legal assistance

selain memberikan jasa bantuan hukum bagi mereka yang mampu membayar

prestasi juga memberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi

masyarakat miskin yang tidak mampu membayar prestasi.

3. Legal Service, konsep dan makna dalam legal service lebih luas

dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid dan legal assistance,

karena pada legal service terkandung makna dan tujuan:

a) Memberi bantuan hukum kepada masyarakat dengan tujuan untuk

menghapus perilaku diskriminatif dalam memberikan bantuan hukum

bagi masyarakat berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang

menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.

b) Memberi pelayanan hukum bagi yang membutuhkan guna

mewujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak

hukum dengan jalan menghormati hak asasi yang telah dijamin oleh

hukum tanpa memandang perbedaan golongan kaya maupun

golongan miskin.

c) Pemberian bantuan hukum dalam legal service cenderung

menghendaki penyelesaian perkara dengan jalan mengutamakan cara

perdamaian

2.3.1 Prosedur Bantuan Hukum

Tata cara pemberian Bantuan Hukum sendiri telah diatur dalam Undang-

34
undang No. 16 Tahun 2011 yaitu pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 19, yang

isinya sebagai berikut:50

1. Untuk memperoleh bantuan hukum, pemohon bantuan hukum harus

memenuhi syarat-syarat

2. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya

identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang

dimohonkan bantuan hukum

3. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara

4. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat

yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

5. Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun permohonan

secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.

Kemudian dalam Pasal 15 berbunyi,

1) Pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan hukum

kepada Pemberi bantuan hukum

2) Pemberi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari

kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus

memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan bantuan

hukum.

3) Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, pemberi bantuan hukum

memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari

penerima bantuan hukum.


50
Undang-undang No. 16 Tahun 2011 yaitu pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 19

35
4) Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan hukum

mencantumkan alasan penolakan.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian

bantuan hukum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pendanaan bantuan hukum dalam hal ini menurut Undang-undang Nomor

16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum terdapat dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal

18 sampai dengan pasal 19 dimana bantuan hukum bagi rakyat yang miskin

mengalokasikan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam anggaran

pendapatan dan belanja negara. Isi dari pasal mengenai pendanaan tersebut sendiri

dalam pasal 16 yaitu:51

1) Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk

penyelenggaraan bantuan hukum sesuai dengan undang-undang ini dibebankan

kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan

bantuan hukum dapat berasal dari hibah atau sumbangan sumber pendanaan

lain yang sah dan tidak mengikat pendanaan untuk bantuan hukum juga

terlihat dalam Pasal 17 yang berbunyi:

a) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum

dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

b) Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum Sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan

51
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terdapat dalam Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18, sampai dengan pasal 19

36
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

2.3.2 Tujuan Dari Pemberian Bantuan Hukum

Arti dan tujuan program bantuan hukum di Indonesia menurut Pasal 3

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 adalah sebagai berikut:52

a. Menjamin dan memenuh hak bagi penerima bantua hukum untuk

mendapatkan akses keadilan.

b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan

prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum.

c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan

secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

2.3.3 Pemberi Bantuan Hukum

Pembatasan pemberian bantuan hukum terbatas pada Advokat dengan

sendirinya akan bertentangan dengan perundangan tersebut diidentifikasi

pemberi bantuan hukum yaitu 53:

1. Advokat/ penasehat hukum

2. Posbakum

3. Lembaga bantuan hukum

4. Pekerja sosial/ pendamping.

Di dalam buku panduan bantuan hukum, didentifikasikan pemberi bantuan

52
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan hukum
53
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

37
hukum selain Advokat adalah pembela publik di organisasi bantuan hukum dan

paralegal.

1. Advokat

Advokat adalah orang yang berpraktik memberikan jasa hukum,

baik di dalam maupun diluar pengadilan, yang memenuhi persyaratan

berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sebelum berlaku UU Nomor

18 Tahun 2003 tentang advokat (UU Advokat), istilah untuk pembela

keadilan ini sangat beragam, seperti pengacara, penasehat hukum,

konsultan hukum, advokat, dan lain- lain.54

Secara harfiah, pengacara berarti orang-individu maupun

individu-individu yang tergabung dalam satu kantor, yang beracara di

pengadilan. Sementara advokat dapat bertindak dalam pengadilan

maupun sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun

perdata. Namun semenjak diundangnya UU Advokat, istilah-istilah

tersebut distandarisasi menjadi advokat.

Kode etik advokat Indonesia (KEAI) menyatakan advokat adalah

suatu profesi terhormat (officium nobile). Profesi terhormat berarti

adanya kewajiban mulia atau terpandang dalam melaksanakan

pekerjaan.

Ungkapan yang mengikat profesi terhormat adalah noblesse

oblige, yaitu kewajiban untuk melakukan hal yang terhormat

(honorable), murah hati (generous), dan bertanggung jawab


54
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

38
(responsible), yang dimiliki oleh mereka yang mulia. Hal itu berarti

setiap advokat tidak saja harus jujur dan bermoral tinggi, tetapi juga

harus mendapatkan kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan

berperilaku demikian.

2. Pembela Publik

Pembela publik bekerja di organisasi bantuan hukum untuk

memberikan pelayanan bantuan hukum. Sebutan bagi pembela publik

ini bermacam-macam : pengabdi bantuan hukum, human rights

advocate, advokat publik, atau istilah yang umum adalah pembela HAM

(human rights defender).

Pembela publik bisa advokat, sarjana hukum, maupun sarjana

dibidang lain. Keterbatasan jumlah advokat di organisasi bantuan hukum

menjadi hambatan tersendiri dalam beracara di pengadilan. Untuk proses

konsultasi, pendidikan hukum, investigasi maupun dokumentasi dapat

dilakukan oleh pembela publik lainnya, namun untuk persidangan tetap

harus dilakukan seorang advokat.

Untuk mengatasinya biasanya dilakukan dengan merekrut

voluntary lawyer, yaitu advokat yang menjadi relawan (part time) di

organisasi bantuan hukum maupun gosh lawyer, yaitu advokat yang

mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan persidangan seperti

gugatan, jawaban dalam peradilan perdata, namun yang hadir

dipersidangan adalah pencari keadilan sendiri.

39
3. Paralegal

Istilah paralegal berasal dari kesamaan istilah yang dikenal dalam

dunia kedokteran, paramedis, yakni seseorang yang bukan dokter

tetapi mengetahui tentang seluk beluk kedokteran. Paralegal yaitu

seorang yang bukan sarjana hukum tetapi mempunyai pengetahuan dan

pemahaman dasar tentang hukum dan hak asasi manusia, memilki

keterampilan yang memadai, serta mempunyai kemampuan dan

kemauan untuk mendayagunakan pengetahuannya itu untuk

memfasilitasi perwujudan hak-hak asasi masyarakat miskin.

Paralegal muncul sebagai reaksi atas ketidak berdayaan hukum

dan dunia profesi hukum untuk mewujudkan hak-hak asasi masyarakat

miskin, seperti hak atas upah yang layak, hak atas tanah, hak atas

lingkungan yang sehat dan bersih, hak atas kebebasan berpendapat, dan

sebagainya, yang hanya mungkin terwujud jika asumsi sosialnya

terpenuhinya, yakni : pertama, warga masyarakat mengerti dan

memahami hak-hak tersebut dalam konteks posisi mereka dalam

masyarakat. Kedua, warga masyarakat mempunyai kekuatan dan

kecakapan untuk memperjuangkan perwujudan hak-hak tersebut. Hak

atas upah yang layak, misalkan hanya mungkin diwujudkan jika kaum

buruh memahami hak-haknya dan mempunyai kecakapan untuk

memperjuangkan hak-haknya tersebut.

2.3.4. Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

40
Kemiskinan yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang

mempunyai dampak yang sangat besar sekali terhadap penegakan hukum,

terutama dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan apa yang telah

menjadi haknya. Hal ini tampaknya selaras dengan kenyataan bahwa

kemiskinan itu sendiri telah membawa bencana bagi kemanusiaan, tidak saja

secara ekonomis, akan tetapi juga secara hukum dan politis. Sementara itu,

bagi mereka yang kaya, biasanya lebih akrab dengan kekuasaan. Dan pada saat

yang bersamaan mereka dengan mudahnya menterjemahkan kekuasaan itu

dengan keadilan..55

Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang

senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik kaya maupun yang miskin. Akan

tetapi kadangkala dapat terjadi di mana si kaya dengan kekayaannya dapat lebih

mudah memperoleh keadilan itu sehingga ia dapat menguasai mekanisme

berjalannya hukum itu, bahkan celakanya dengan cara yang demikian itu akan

menindas si miskin, yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan kesan bahwa

hukum itu hanya untuk si kaya, dan tidak untuk si miskin.56

Menurut Sunggono dan Harianto Dengan adanya pergeseran dan

perkembangan yang demikian itu, maka diharapkan penyelenggaraan program

bantuan hukum jangkauannya kemasyarakan dapat lebih luas, tidak hanya untuk

55
Gede Agung Wirawan Nusantara, 2012, “Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Terhadap Masyarakat Miskin Pada Peradilan Pidana”Kearsipan
Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal : 6

56
Arhjayati Rahim,Noor Asma, 2018,” Eksistensi Lembaga Bantuan Hukum Sebagai Perwujudan Asas
Equality Before The Law”, Dalam jurnal Al Mizan, (Gorontalo : ISSN 1907-0985, E ISSN 2442-8256)

41
perkara-perkara pidana, akan tetapi juga untuk perkara- perkara perdata, bahkan

perkara tata usaha negara. Khusus bagi kalangan miskin dan buta hukum yang

paling sering menjadi korban kesewenang-wenangan si penguasa maupun si kaya.

Maka keberadaan bantuan hukum (struktural) ini juga melibat dimensi untuk

menanggulangi masalah kemiskinan itu sendiri melalui jalur hukum, dan lebih luas

lagi adalah untuk meletakkan kembali dan mengangkat harkat martabat manusia,

utamanya bagi rakyat miskin.57

2.4 Faktor Penghambat Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pemberian bantuan hukum

menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut58:

1. Faktor hukum itu sendiri

Hukum yang akan dibahas dibatasi pada undang-undangnya saja.

Gangguan terhadap penegakan bantuan hukum yang berasal dari Undang-

undang kemungkinan disebabkan oleh:

a) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang yang

mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum;

b) Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk

menempatkan undang-undang.

c) Ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang

mengakibatkan kesimpangsiuran didalam penafsiran serta penerapannya.

57
H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
(Bandung. Mandar Maju), hal. 61-63.
58
Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarata : PT Raja
Grafindo), hal.11

42
2. Faktor penegak hukum

Secara sosiologis setiap penegakan hukum mempunyai kedudukan dan

peranan. Permasalahan yang timbul dari faktor penegakan hukum yaitu

penerapan peran penegakan hukum. Hambatan yang membutuhkan

penanggulangan antara lain:

a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan

pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

b) Tingkat aspirasi yang rendah.

c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,

sehingga sangat sulit untuk membuat suatu proyeksi.

d) Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu

kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.

e) Kurangnya daya inovatif sebenarnya merupakan pasangan

konversatisme.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum

Sarana dan fasilitas memiliki peranan penting dalam penegakan hukum.

Tanpa adanya saran dan fasilitas tersebut, maka penegakan hukum tidak dapat

berjalan dengan lancardan sesuai dengan tujuan. Sarana dan fasilitas tersebut

mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil,organisasi

yang baik,peralatan yang memadai,kemampuan finansial yang cukup,dan

sebagainya

4. Faktor masyarakat

43
Faktor masyarakat yang berhubungan adalah lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan. Pendapat masyarakat mengenai hukum turut

mempengaruhi penegakan hukum dengan kepatuhan hukum.salah satu pendapat

masyarakat yaitu mengenai arti hukum yang dianggap identik dengan petugas .

Pendapat tersebut akan menyebabkan masyarakat akan mematuhi hukum jika

ada petugas yang berjaga.

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan adalah hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia didalam pergaulan hidup. Hukum harus dibuat sesuai dengan

kondisi masyarakat dan tidak boleh bertentangan dnegan kebudayaan yang

hidup di masyarakat. Kemajemukan budaya di Indonesia berpengaruh terhadap

usaha penegakan hukum di Indonesia. Ketentuan yang diatur dalam suatu

peraturan perundang- undangan dapat berlaku bagi suatu daerah, akan tetapi

belum tentu bisa dilaksanakan di daerah lain.

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa sebagai suatu proses penegakan hukum

pada hakikatnya merupakan variabel yang mempunyai korelasi dan interdependensi

dengan faktor-faktor yang lain.59 Ada beberapa faktor terkait yang menentukan proses

penegakan hukum Sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu

komponen substansi, struktur dan kultural. Beberapa komponen tersebut termasuk

ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Faktor-faktor ini akan

sangat menentukan proses penegakan hukum dan kegagalan pada salah satu

komponen akan berimbas pada faktor lainnya. Faktor substansi, struktur, dan kultural
59
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, ( Jakarta : Kompas)

44
akan sangat menentukan proses penegakan hukum atau proses pelaksanaan bantuan

hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana. Pembahasan

faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok

orang miskin dalam perkara pidana, sangat terkait dengan teori sistem hukum dari

Lawrence M. Friedman yang ada di dalam buku Soerjono Sukanto dimana Lawrence

M. Friedman menjelaskan sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum,

yang meliputi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure),

dan budaya hukum (legal culture), Sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan

teoritis mengenai teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. Ketiga sub sistem

inilah yang sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan atau tidak, dan

ketiga sub sistem inilah yang juga menentukan bantuan hukum bagi orang atau

kelompok orang miskin dalam perkara pidana, dapat berjalan dengan baik atau

tidak.60

60
Lawrence M. Friedman, 2009, System Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, The Legal System: A
Sosial Science Perspektive, Nusa Media, Bandung, hlm 16. Diterjemahkan dalam buku Lawrence M.
Friedman, 1969, The Legal System: A Sosial Science Perspektive, Russel Soge Foundation, New York

45
2.5 Kerangka Pikir

PERDA NO. 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGARAAN BANTUAN


HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

Implementasi Perda Pemberian Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Faktor Penghambat :


Miskin Faktor Penegak Hukum
Lembaga Telah Terakreditasi Faktor Anggaran
Faktor Sarana dan Prasarana

Terpenuhinya peraturan daerah pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin.

46
47

2.6 Definisi Oprasional

1. Implementasi adalah suatu tindakan dari sebuah rencana yang disusun secara

matang dan terperinci.

2. Pemberian bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi

bantuan hukum secara cuma-cuma.

3. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama

kepala daerah.

4. Lembaga Terakreditasi adalah lembaga yang diakui oleh badan berwenang

setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria

tertentu.

5. Faktor Penegak Hukum adalah pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

6. Faktor Anggaran adalah mengalokasian anggaran penyelenggaraan bantuan

hukum dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara.

7. Faktor Sarana dan Prasarana adalah fasilitas yang digunakan sebagai alat

untuk mencapai efektivitas hukum.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah empiris yaitu suatu metode penelitian

hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dan meneliti bagaimana bekerjanya

hukum dilingkungan masyarakat.61

3.2 Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah “ Implementasi peraturan daerah pemberian

bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Provinsi Gorontalo.

3.3 Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian di biro hukum Provinsi Gorontalo selama 2 Bulan.

3.4 Jenis Dan Sumber Data

Sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

1. Data primer yaitu berupa wawancara dengan pegawai yang di peroleh secara

langsung dari kantor Biro hukum hukum di Provinsi Gorontalo

2. Data sekunder yaitu data yang berupa dokumen faktual dan literaur-literatur

hukum dan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

61
Suratman dan Philips Dilah.2014, Metode penelitian hukum. (Bandung : alfabeta,viii), hal :256

48
49

3.5 Populasi dan sampel

3.5.1 Populasi

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki

karakteristik tertentu, jelas dan lengkap. Objek atau nilai yang akan diteliti dapat

berupa orang, perusahaan, lembaga, media dan sebagainya. Dalam populasi ini

adalah keseluruhan pegawai Biro Hukum Di Provinsi Gorontalo yakini 28 orang.

3.5.2 Sampel

Penentuan sampel dalam penulisan ini menggunakan purposive sampling,

yaitu pemilihan sampel yang berdasarkan wewenang atau kedudukan sampel yang

dianggap telah mewakili dengan masalah yang hendak di teliti. 62 Adapun

responden dalam penelitian ini adalah :

1. Kepala bagian bantuan hukum

2. Bidang Analisis hukum 1 Orang

3.6 Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi yaitu melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis

terhadap prubahan-perubahan yang terjadi pada objek penelitian.

2. Wawancara (Interview), yaitu kegiatan pengumpulan data primer yang

bersumber langsung dari responden penelitian di lapangan (lokasi). Adapun

yang diwawancarai adalah narasumber, yaitu ketua pimpinan lembaga bantuan

hukum. Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara yang terarah

62
Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada), hal. 97
50

dengan menggunakan daftar pertanyaan yang di mana dimaksudkan untuk

mendapatkan data yang akurat dan tidak menyimpang dari pokok

permasalahan yang penulis teliti.

3.7 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dan yang telah dikumpulkan melalui alat pengumpul data

tersebut, selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif,sehinnga diperoleh suatu

kesimpulan penelitian.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Implementasi Peraturan Daerah Pemberian Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin di Provinsi Gorontalo

4.1.1 Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo

Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum yang di berikan kepada

penerima bantuan hukum merupakan upaya untuk mewujudkan hak-hak

konstitusi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan

melindungi serta menjamin hak warga negara akan kebutuhan akses terhadap

keadilan dan kesamaan di hadapan hukum

Hal ini juga tertuang dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dikatakan

bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan

pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

kecualinya”.63

Pemerintah Provinsi Gorontalo meluncurkan program bantuan hukum

bagi masyarakat miskin guna melindungi dan memberikan pendampingan

kepada masyarakat miskin yang sedang menghadapi permasalahan hukum.

Bantuan hukum bagi masyarakat miskin telah diamanatkan oleh Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum dan peraturan daerah Provinsi

Gorontalo Nomor 10 tahun 2015 tentang peyelenggaraan bantuan hukum untuk

masyarakat miskin merupakan regulasi lokal yang diterbitkan untuk memperkuat


63
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945

51
52

upaya pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Peluncuran

program Provinsi Gorontalo dalam memberikan bantuan hukum bagi

masyarakat miskin merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan

jaminan hukum bagi warga khususnya masyarakat miskin sehingga keadilan

dalam hukum berdiri tegak di wilayah Gorontalo.

Untuk memenuhi peraturan daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 tahun

2015 tentang peyelenggaraan bantuan hukum untuk masyarakat miskin biro

hukum bekerja sama dengan beberapa lembaga bantuan hukum yang ada di

Provinsi Gorontalo :

Tabel : 4.1
Lembaga Bantuan Hukum Yang Bekerja Sama
Dengan Biro Hukum Provinsi Gorontalo
2019-2022

No Tahun Nama Lembaga Bantuan Hukum

1 2019 - Lembaga bantuan hukum Universitas

Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum Fakultas

Syariah dan Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo

2 2020 - Lembaga bantuan hukum Universitas

Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum Fakultas

Syariah dan Ekonomi IAIN Sultan Amai


53

Gorontalo

3 2021 - Lembaga bantuan hukum Universitas

Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum Fakultas

Syariah dan Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo

- Yayasan pendidikan dan Pendampingan

hukum Gorontalo

4 2022 - Lembaga bantuan hukum Universitas

Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum Fakultas

Syariah dan Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo

- Yayasan pendidikan dan Pendampingan

hukum Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum rumah rakyat

- Pusat bantuan hukum Advis

- LKBH Universitas Ichsan Gorontalo

- Lembaga bantuan hukum Universitas

Negeri Gorontalo

Sumber data : Biro Hukum Provinsi Gorontalo


54

Menurut peneliti dari tabel diatas dijelaskan bahwa pada tahun 2019 sampai

tahun 2020 hanya ada dua lembaga bantuan hukum yang bekerja sama dengan

biro hukum yakni lembaga bantuan hukum universitas gorontalo bersama

lembaga bantuan hukum syariah dan ekonomi IAIN Sultan amai gorontalo dari

total tujuh lembaga bantuan hukum yang terakreditasi di provinsi gorontalo,

sehingga ini di anggap belum memadai mengingat segala kebutuhan masyarakat

terkait keluhan persoalan hukum yang banyak dan beragam. Sedangkan pada

tahun 2021 ada tiga lembaga bantuan hukum yang bekerja sama sampai pada

tahun 2022 jumlah lembaga bantuan hukum yang bekerja sama dengan biro

hukum provinsi gorontalo berjumla tujuh lembaga bantuan hukum. Dari uraian

data lapangan ini dianggap belum optimal karena jumlah bantuan hukum yang

tersedia di provinsi gorontalo yang melakukan kerja sama dengan biro hukum

provinsi masih jauh dari harapan kebutuhan masyarakat, maka ini perlu di

anggap penting untuk menjadi perhatian bagi pemerintah provinsi gorontalo,

data lain yang di terima peneliti bahwa di tahun 2021 sampai dengan tahun 2022

perkara yang ditangani hanya terfokus pada pengadilan negeri gorontalo dan

pengadilan negeri limboto sehingga peneliti menganggap ini kurang mewakili

keseluruhan persoalan masyarakat gorontalo karena provinsi gorontalo bukan

hanya kabupaten gorontalo atau kota gorontalo saja,secara di gorontalo terdiri

dari lima kabupaten dan satu kota dengan beragam persoalan hukumnya yang

harus di selelsaikan dalam khususnya dalam pemberian bantuan hukum bagi

masyarakat miskin di provinsi gorontalo.


55

Kenyataan dilapangan peraturan daerah tersebut belum optimal.

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan hal tersebut dikarenakan masih

banyak masyarakat miskin, khususnya masyarakat yang tinggal dipedesaan yang

belum mengetahui tentang adanya peraturan daerah mengenai bantuan hukum.

Hal ini sejalan dengan pendapat Bapak Usman Taip, SH, MH selaku

analisis hukum di biro hukum Provinsi Gorontalo mengatakan bahwa

pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin belum sepenuhya optimal

mengingat pelaksanaan program tersebut baru mulai dilaksanakan sejak tahun

2019 dan mayoritas penerima bantuan hukum didominasi masyarakat Kota

Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.64

Dari hasil wawancara terkait bantuan hukum yang belum optimal,

peneliti mengatakan hal tersebut menjadi persoalan serius yang harus ditangani,

melihat masih kurangnya pemahaman masyarakat bahwa bantuan hukum itu

gratis. Hal ini menerangkan tanggung jawab pemerintah memberikan keadilan di

bidang hukum untuk masyarakat miskin, agar tidak di dominasi oleh orang yang

memiliki harta dan kekuasaan yang mampu mendapatkan perlindungan hukum

secara mudah.

64
Wawancara dengan Usman Taip, Tanggal 20 Juli 2022 di Biro Hukum Provinsi Gorontalo
56

Tabel : 4.2
Data penerimaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin
Tahun 2019-2022

OBH yang memberikan bantuan


No Tahun Jumlah perkara
hokum

- Lembaga bantuan hukum

Universitas Gorontalo 2

perkara

1 2019 4 - Lembaga bantuan hukum

Fakultas Syariah dan

Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo 2 perkara

- Lembaga bantuan hukum

Universitas Gorontalo 3

perkara

2 2020 5 - Lembaga bantuan hukum

Fakultas Syariah dan

Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo 2 perkara

3 2021 7 - Lembaga bantuan hukum

Universitas Gorontalo 2

perkara

- Lembaga bantuan hukum


57

Fakultas Syariah dan

Ekonomi IAIN Sultan Amai

Gorontalo 2 perkara

- Yayasan pendidikan dan

pendampingan hokum

Gorontalo 3 perkara

4 2022 7

Sumber data : Biro Hukum Provinsi Gorontalo

Dari tabel diatas, dari tahun 2019-2022 jumlah perkara yang di biayai

oleh pemerintah Provinsi dan telah diputuskan hanya 23 perkara. Menunjukan

bahwa penerima bantuan hukum di Provinsi Gorontalo masih sedikit.

Berdasarkan hasil penelitian, hal tersebut di karenakan masyarakat belum

mengetahui pentingnya pendampingan hukum. Sebab bantuan hukum masih

terdengar asing dimasyarakat. Selain itu masyarakat beranggapan bahwa

menggunakan jasa advokat harus mengeluarkan biaya yang besar.

Pemberian bantuan hukum oleh lembaga bantuan hukum memiliki

peranan yang sangat besar yaitu untuk mendampingi kliennya sehingga dia tidak

akan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh aparat, demikian juga untuk

membela dalam hal materinya yang mana di sini diharapkan dapat tercapainya

keputusan yang mendekati rasa keadilan dari pengadilan.

Namun yang teralisasikan sampai sekarang ini berdasarkan hasil

wawancara kepala Bantuan Hukum Provinsi Gorontalo mengatakan peraturan


58

daerah tentang bantuan hukum untuk masyarakat miskin belum optimal. Pihak

dari Biro hukum juga mengatakan bahwa mereka belum mensosialisasikan

adanya peraturan tersebut. hal ini dikarenakan anggaran yang tersedia

difokuskan langsung untuk pendampingan hukum oleh lembaga bantuan hukum

dan terkait dengan sosialisasi bagi masyarakat terhadap program tersebut

dilaksanakan secara informal oleh setiap lembaga bantuan hukum selaku

pemberi bantuan hukum.

4.1.2 Lembaga yang Telah Terakreditas di Provinsi Gorontalo

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan

hukum, pelaksanaan pemberian bantuan hukum kepada orang/kelompok

orang miskin dilaksanakan oleh advokat dari organisasi bantuan hukum yang

telah terverifikasi dan terakreditas dari kementerian Hukum dan Hak asasi

manusia.

Tabel : 4.3
Organisasi Lembaga Bantuan Hukum Yang Sudah Terakreditas

Nama Lembaga Bantuan Alamat


No Akreditas
Hukum

Lembaga Bantuan Hukum Jl. Jendral Sudirman No 6


1 C
Universitas Gorontalo Kota Gorontalo

Lembaga Konsulatsi Bantuan Jl Ahmad Nadjamuddin No


2 C
Hukum Unisan Gorontalo 17 Gorontalo

3 Lembaga Bantuan Hukum C Jln. Gelatik No 1 Kota

Fakultas Syariah Dan Ekonomi


59

IAIN Sultan Amai Gorontalo Gorontalo

Jl. Achmad A. Wahab (Ex Jl.


Lembaga Bantuan Hukum
4 C Jendral Sudirman No 247
Universitas Gorontalo
Limboto Kab. Gorontalo

Yayasan Pendidikan Dan Jl. Manado Kelurahan Liluwo

5 Pendampingan Hukum C Kecamatan Kota Tengah Kota

Gorontalo Gorontalo

Jl. Trans Sulawesi Desa


Lembaga Bantuan Hukum
6 C Marisa Utara , Kecamatan
Rumah Rakyat
Marisa Kabupaten Pohuwato

Jl. Simon P.Haji Lipaeto,


Pusat Bantuan Hukum Advis
7 C Kayubulan, Limboto,
Masyarakat
Gorontalo

Jl. Sultan Botutihe Depan

Rumah Bantuan Hukum Kantor Pegadaian Kelurahan


8 C
Rahmat Gobel Moodu Kecamatan Kota

Timur, Kota Gorontalo

Lembaga Konsulatsi Bantuan Gd. Perjuangan Guru

9 Hukum PGRI Provinsi C Indonesia Jl.Jambu Kota

Gorontalo Gorontalo

10 Yayasan Lembaga Bantuan C Jl. Beringin No 346 Kel.

Hukum Indonesia Gorontalo Huangobotu Kec. Dungigi


60

Kota Gorontalo

Sumber data : Biro Hukum Provinsi Gorontalo

Berdasarkan tabel diatas, dari 10 lembaga bantuan hukum yang berada di

Provinsi Gorontalo, terdapat 7 lembaga bantuan hukum dari Kota Gorontalo, 2

lembaga bantuan hukum berasal dari Kabupaten Gorontalo, Dan 1 lembaga

bantuan hukum berasal dari Kabupaten Pohuwato. Masih ada 3 Kabupaten yang

ada di Provinsi Gorontalo belum memiliki lembaga bantuan hukum yang

terakreditasi yaitu Kabupaten Boalemo, Kabupaten Bone Bolango dan

Kabupaten Gorontalo Utara.

Dari penjelasan diatas dapat dilihat masih minim jumlah lembaga bantuan

hukum di Provinsi Gorontalo yang terakreditasi. Berdasarkan penelitian, hal ini

menyebabkan sulitnya masyarakat miskin menjangkau lembaga pemberi

bantuan hukum yang terakreditasi dikarenakan lembaga pemberi bantuan hukum

lebih banyak di perkotaan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Usman Taip SH, MH

mengatakan bahwa kendala yang kami temui adalah terbatasnya lembaga

bantuan hukum yang terakreditasi. Di mana lembaga bantuan hukum yang

terakreditasi tersebut tidak tersebar secara merata di Kabupaten/kota se-Provinsi

Gorontalo, contohnya di Kabupaten Gorontalo Utara, yang belum terdapat

organisasi bantuan hukum yang terakreditasi. Sehingganya akses masyarakat

Provinsi Gorontalo khususnya masyarakat diluar Kota Gorontalo dan Kabupaten

Gorontalo sulit mengakses program bantuan hukum tersebut.65


65
Wawancara dengan Usman Taip, Tanggal 20 Juli 2022 di Biro Hukum Provinsi Gorontalo
61

Minimnya jumlah lembaga bantuan hukum yang terakreditas berbanding

terbalik dengan makin meningkatnya jumlah penduduk miskin yang ada di

Provinsi Gorontalo khususnya masyarakat msikin yang tinggal di pedesaan.

Berdasarkan survei pada September 2021 persentase penduduk miskin di

pedesaan sebesar 24,38 persen dibandingkan presentase penduduk miskin Maret

2022 24,42. Hal tersebut menggambarkan bahwa tingkat kemiskinan di

pedesaan mengalami kenaikan, sehingga potensi penggunaan atau pelayanan

lembaga bantuan hukum juga harus ditingkatkan.66

Untuk menjadi pemberi bantuan hukum yang terakreditasi dan terverifikasi

menjadi persoalan baru dan menjadi kendala dalam rangka menjamin dan

memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses

keadilan, mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan

prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum, menjamin kepastian

penyelenggaraan bantuan hukum secara merata di seluruh wilayah negara

Republik Indonesia, dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

66
https://gorontalo.bps.go.id di akses pada tanggal 05 Agustus 2022
62

4.2 Faktor Penghambat Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin Di Provinsi Gorontalo

4.2.1 Faktor Penegak Hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tersebut

mewajibkan seorang advokat atau penasihat hukum untuk memberikan

bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu secara cuma-

cuma berdasarkan syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang.

Sesuai dengan pasal 56 ayat (1) KUHAP tersangka wajib

didampingi oleh penasihat hukum. Jika tersangka orang miskin yang

disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati

atau ancaman pidananya 5 tahun atau lebih yang tidak memiliki

penasihat hukum sendiri, maka wajib memberikan bantuan hukum dari

pihak kepolisian maupun pengadilan untuk menyediakan penasihat

hukum.

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada kepala

bantuan hukum Provinsi Gorontalo menyampaikan dalam pelaksanaan

bantuan hukum, sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan

bahwa penasehat hukum harus secara professional dan tanpa pembedaan

perlakuan dalam memberikan bantuan hukum, namum dalam

prakteknya masih ada penasehat hukum yang menolak memberikan


bantuan hukum dengan alasan sibuk menangani perkara lainnya.67

4.2.2 Faktor Anggaran

Berdasarkan pasal 22 peraturan daerah Nomor 10 tahun 2015 tentang

penyelenggaraan bantuan hukum untuk masyarakat miskin bahwa pemerintah

dapat mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. 68

Kurangnya pendanaan atau anggaran sangat mempengaruhi jalannya

proses pemberian bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu. Meskipun

bantuan hukum yang diberikan secara gratis, tetapi biaya administrasi prosesi

dilapangan membutuhkan biaya, hal ini masih kurang dan hampir setiap bulan

terjadi saat proses layanan hukum berjalan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti di Biro Hukum,

terkait dengan pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di

Provinsi Gorontalo anggaran bersumber dari APBD, Anggaran yang

disediakan untuk setiap perkara berjumlah Rp 10.000.000 (sepuluh juta

rupiah). Berikut data yang peneliti temukan di Biro Hukum Provinsi

Gorontalot terkait dengan anggaran yang sudah digunakan :

Jumlah Nominal
Tahun
perkara anggaran

2019 4 Rp 40.000.000

2020 5 Rp 50.000.000

67
Wawancara dengan Kepala Bantuan Hukum Provinsi Gorontalo tanggal 20 Juli 2022 di Biro Hukum
Provinsi Gorontalo
68
Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penyelengaraan Bantuan Hukum
Masyarakat Miskin

63
64

2021 7 Rp 70.000.000

2022 7 Rp. 70.000.000

Sumber Data : Biro Hukum Provinsi Gorontalo

Dari tabel diatas, menunjukkan pada tahun 2019 total anggaran yang

digunakan berjumlah Rp 40.000.000, tahun 2020 berjumlah Rp 50.000.000,

tahun 2021 berjumlah Rp 70.000.000, dan tahun 2022 berjumlah Rp

70.000.000. Dalam hal penganggaran Pemerintah Provinsi tidak mengalami

kendala. Namun pada tahun 2020 yang seharusnya biro hukum

menganggarkan 10 perkara litigasi akan tetapi telah memfokuskan anggaran

untuk penanganan pandemik.

4.2.3 Faktor Sarana Prasarana

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa tanpa adanya sarana atau

fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung

dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, dan peralatan

yang memadai.

Berdasarkan hasil penelitian di Biro Hukum Provinsi Gorontalo sarana dan

prasana yang berfokus pada sumber daya manusia, dianggap belum memadai

hal tersebut di perkuat oleh jumlah tenaga kerja yang bekerja di Biro Hukum.

Tercatat dari 28 orang tenaga kerja terdapat 5 orang megister hukum, 13 orang

sarjana hukum, 5 orang sarjana ekonomi dan 5 orang sekolah menengah atas.

Ini di anggap penting di perhatikan sebab dalam hal pemberian bantuan hukum
65

haruslah kiranya di perankan oleh disiplin keilmuan yang sesuai pada bidang

hukum itu sendiri.

Selain sumber daya manusia, faktor lain yaitu fasilitas yang ada di biro

hukum belum memadai. Berdasarkan hasil penelitian, biro hukum hanya

memiliki 1 unit mobil operasional yang digunakan, selebihnya menggunakan

alat transportasi sendiri. Karyawan biro hukum belum memiliki komputer dan

masih menggunakan laptop pribadi untuk menyelesaikan pekerjaan.


66

BAB V
PENETUP

5.1 Kesimpulan
1. Undang-undang No 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan peraturan

daerah Provinsi Gorontalo No 10 tahun 2015 tentang penyelenggaraan

bantuan hukum untuk masyarakat miskin berdasarkan uraian diatas maka jelas

bahwa peraturan ini tidak berjalan maksimal atau belum terimplementasi

dengan baik di lapangan karena masih banyak masyarakat miskin belum

mengetahui adanya lembaga bantuan hukum terutama masyarakat yang berada

di pedeesaan.

2. Faktor penghambat implementasi pemberian bantuan hukum bagi masyarakat

miskin di Provinsi Gorontalo adalah faktor penegak hukum, sarana prasarana.

Serta terbatasnya lembaga bantuan yang teragreditasi menjadi persoalan baru

dan menjadi kendala dalam rangka menjamin dan memenuhi hak bagi

penerima bantuan hukum.

5.2 Saran
1. Penulis menyarankan agar pemerintah Provinsi Gorontalo khususnya Biro

hukum melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai adanya peraturan

daerah tentang bantuan hukum untuk masyarakat miskin

2. Menghapus persyaratan akreditasi untuk lembaga bantuan hokum. Agar

memberikan ruang kepada seluruh lebaga bantuan hukum untuk memberikan

pelayanan hukum yang optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2007. Pelaksanaan otonomi luas dengan pemilihan Kepala Daerah
Secara langsung. Jakarta:PT Raja Grasindo
Abd Muhaimin doholio,Implementasi pasal 3 peraturan bupati nomor 9 tahun 2010
tentang tugas dan fungsi kantor polisi pamong praja dalam rangka penegakan
peraturan daerah dikecamatan lemito pohuwato. 2011:9
A.W. Widjaja. 2002. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta : PT. Bumi
Aksara.
Ajie Ramdan, “Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional”, Bantuan hukum Sebagai
Kewajiban Negara Untuk Memenuhi Hak Konstitusional Fakir Miskin,
Volume 11, Nomor 2, Juni 2014, hlm 247-249.
Aditama Peratutan menteri social republik Indonesia tahun 2013
Ausaid,Ylbhi,Pshk,dan IALDF, 2008, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Pedoman
anda memahami dan menyelasaikan masalah hukum), Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, hlm.37-39.
A.Ahsin Thohari, 2016, Hak Konstitusional dalam Hukum Tata Negara
Indonesia,Penerbit Erlangga,Ciracas Jakarta, hlm.39
Ajie Ramdan,“Bantuan Hukum Sebagao Kewajiban Negara Untuk Memenuhi Hak
Konstitusional Fakir Miskin”,Jurnal Konstitusi, Volume II, Nomor 2, Juni
2014, hlm.247-249.
BN. Marbun.2003. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Budiman N.P.D.Sinaga, 2005, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari
Perspektif Sekretaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal.12
Budiman N.P.D. Sinanga, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: UII Pres. 2005)
h.113
Benuf Dan Azhar (2020) Metode Penelitian Hukum Sebagai Instrument Mengurai
Permasalahan Hukum Kontemporer. Jurnal Gema Keadilan (Issn:0852-011),
Fakultas Hukum Universitas Panigoro, Volume 7 Edisi I.
Dr.Oos M.Anwas, 2014, Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global, Alfabeta,
Bandung, hlm.84.
E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta, Bumi
Aksara, 2013, Hal. 56
Guntur Setiawan, Impelemtasi dalam Birokrasi Pembangunan, Balai Pustaka, Jakarta,
2004, Hal. 39
Hakki Fajriando,”Masalah Hukum Implementasi Pemenuhan Hak Atas Layanan
Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin(Law Problems In Implementing of
Right Fulfillment on Legal Aids To The Poor)”, Jurnal Penelitian HAM,
Volume 7,Nomor 2,Desember 2016,hlm.128
H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusi, Bandung. Mandar Maju, hlm. 61-63.

67
68

Lawrence M. Friedman, 2009, System Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, The Legal
System: A Sosial Science Perspektive, Nusa Media, Bandung, hlm 16.
Diterjemahkan dalam buku Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal
System: A Sosial Science Perspektive, Russel Soge Foundation, New York
Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, dkk., Dekonstruksi dan Gerakan
Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif, 2013, hlm.733.
Merile S. Grindle (Dalam Buku Budi Winarno). Teori dan Proses Kebijakan Publik,
Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, Hal. 21.
Maria Farida Indrati S 2007. Ilmu Perundang-undangan Cet. Ke-7. Yokyakarta:
Kanisius. hlm.202
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum,Grasindo, Jakarta, 2002,
Hal. 70.
Purwanto dan Sulistyastuti, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta, 1991, Hal. 21.
Prof. Drs. Haw. Widjaja. 2005. Penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia dalam
rangka sosialisasi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Jakarta: PT. Raja grafindo persada.
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009,
hlm.1
Srijanti & A. Rahman. Etika Berwarga Negara. ( ed.2). Jakarta: Salemba Empat, 2008.
hlm 106-107
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta
Suharto Edi ( 2005) membangun masyarakat memberdayakan rakyat, bandung: Refika
Suratman dan Philips (2013) Metode Penelitian Hukum.Bandung : alfabeta, viii, 256 h.
Susiadi, Metodologi Penelitian (Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan-
LP2M Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2015), hlm. 5.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2014, Panduan Bantuan
Hukum Di Indonesia Edisi 2014,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, hlm.468.
Yonna Beatrix Salamor, “Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin di
Kota Ambon”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni ISSN 2579-
6348 (Versi Cetak) Vol. 2, No. 1, April 2018, hlm. 278
Yusuf Saefudin, Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Bagi Rakyat miskin Di
Jawa Tengah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum, Jurnal Idea Hukum, 2015, Vol. 1, No.1, hal.
65-66.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999
Undang Nomor16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
69

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan, materi muatan Perda
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang RI No. 18 Tahun2003 tentang advokat
Undang-Undang RI nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan peraturan
pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 tentang syarat dan tata cara pemberian
bantuan hukum dan penyaluran dan bantuan hokum
Undang- Undang ini (Pasal 1 angka 3 UU No. 6 Tahun 2011)
Udang-Undang No. 16 Tahun 2011 yaitu pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terdapat dalam
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, sampai dengan pasal 19
Undang-undang Nomor 16 tahun 2011
UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Peraturan daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 tentang Peyelenggaraan Bantuan
Hukum Untuk Masyarakat Miskin
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945

Anda mungkin juga menyukai