Anda di halaman 1dari 76

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SENGKETA HAK WARIS

TERHADAP ANAK ANGKAT MENURUT PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN
(Studi Putusan Nomor : 637/Pdt.G/2018/PNMdn)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Pada


Fakultas Hukum

Disusun Oleh :

DERLIANA TANJUNG
NIM.

FAKULTAS ILMU HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM
UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN
2023
HALAMAN PERSETUJUAN

ii
TINJAUAN YURIDIS TENTANG SENGKETA HAK WARIS
TERHADAP ANAK ANGKAT MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Studi Putusan Nomor : 637/Pdt.G/2018/PNMdn)

DERLIANA TANJUNG
NIM.

Telah siap untuk diujikan di hadapan Dewan Penguji Proposal Skripsi


Pada Hari ………….. Tanggal …………….

iii
Pembimbing Utama
Nama : ……………………. (............................. )
NIP/NIDN : …………………….

Pembimbing Pendamping
Nama : …………………… (............................. )
NIP/NIDN : ……………………

Mengetahui
Ketua Tim Skripsi

Budi Alamsyah Siregar, SE.,MM


NIDN. 0124098302

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan
disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 30 Juli 2023

( )

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................ii

PERNYATAAN.....................................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................6

1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................6

1.4 Manfaat Penelitian............................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................8

2.1 Gambaran Umum Tentang Hukum Waris.........................................8

2.1.1 Pengertian Hukum Waris........................................................8

2.1.2 Pengaturan Hukum Waris dalam Buku II KUHPerdata..........9

2.1.3 Pengertian Kedudukan dan Anak (Keturunan).....................10

2.1.4. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Waris Perdata...............12

2.1.5 Golongan Ahli Waris.............................................................15

2.2 Gambar Umum Tentang Pengangkatan Anak................................19

2.2.1 Pengertian Anak....................................................................19

2.2.2 Pengertian Pengangkatan Anak.............................................22

v
2.2.3 Tujuan Pengangkatan Anak...................................................23

2.3 Kompilasi Hukum Islam................................................................24

2.3.1 Kompilasi Hukum Islam tentang perlindungan anak............24

2.3.2 Undang-Undang Pengangkatan anak...................................27

BAB III METODE PENELITIAN......................................................................32

3.1 Lokasi Penelitian............................................................................32

3.2 Jenis Penelitian...............................................................................32

3.3 Sumber Data..................................................................................33

3.4 Teknik Pengumpulan Data.............................................................34

3.5 Teknik Analisis Data.....................................................................35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................36

4.1 Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Hukuman Tentang

Sengketa Hak Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Peraturan

Perundang-Undangan pada Putusan Pengadilan Negeri Medan

(Nomor: 637/Pdt.G/2018/PNMdn)................................................36

4.2 Analisis Kewajiban Notaris dalam Membuat Surat Keterangan

Waris Bagi Masyarakat Golongan Tionghoa yang Benar dan Sesuai

dengan Ketentuan Hukum..............................................................44

4.3 Kekuatan Hukum Surat Wasiat Terhadap Hak Anak Angkat Pada

Harta Warisan Orang Tua...............................................................56

vi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................65

5.1 Kesimpulan.....................................................................................65

5.2 Saran...............................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................68

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehadiran anak dalam rumah tangga selalu dinantikan dan diharapkan oleh

semua keluarga, dengan hadirnya anak dilingkungannya akan dirasa bisa

melengkapi kebahagiaan oleh setiap pasangan suami istri, namun hal ini akan

terbalik mana kalah jika salah satu pihak dalam keluarga tidak mampu

memberikan keturunan, hal ini tentu saja akan menimbulkan keresahan yang

sangat beralasan, karena kehadiran anak seperti merupakan suatu keharusan dan

kebanggaan dalam keluarga. Jika dalam suatu rumah tangga belum dikaruniai

seorang anak maka keluaraga tersebut terasa kurang lengkap tanpa adanya

kehadiran seorang anak. Maka tidak jarang bila mana dalam sebuah keluarga

melakukan berbagai upaya demi untuk mempuyai seorang anak, mulai dari

konsultasi pada pihak yang dianggap ahli dalam memecahkan masalahnya hingga

mencari alternatif apapun seperti adopsi, berobat, terapi kesehatan reproduksi dan

menggunakan teknologi kedokteran yang bisa mendatangkan anak.

Kehidupan perkawinan mencerminkan suatu tujuan untuk membentuk

keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam sebuah perkawinan

memiliki anak merupakan dambaan bagi setiap orang tua. Namun demikian

kenyataannya tidak sedikit pasangan suami istri yang telah menikah, tetapi tidak

memiliki keturunan. Begitu pentingnya arti kehadiran seorang anak dalam

perkawinan, sehingga di dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa tanpa

adanya anak, perkawinan yang telah berlangsung akan hampa karena tidak

1
2

tewujudnya suatu keluarga utuh yang didambakan.

Adanya pengangkatan anak, maka status anak angkat lebih diakui dan

mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dan hal yang menarik

dari anak angkat dalam pembagian warisan setiap anak mempunyai hak dan

kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Lembaga pengangkatan anak merupakan

suatu kebutuhan tersendiri bagi setiap keluarga yang membutuhkannya, dengan

maksud pengangkatan anak menjadi suatu tindakan mengambil anak orang lain

untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keterunannya sendiri berdasarkan

ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang

berlaku di masyarakat yang bersangkutan.1

Golongan Indonesia asli mengenal lembaga pengangkatan anak yang

diatur dalam hukum adat masing-masing yang bercorak pluralitas. Mengangkat

anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan di negara kita, oleh orang

Indonesia asli maupun oleh orang luar negeri. Pelaksanaan pengangkatan anak

berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1983,

Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979, Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak, staatblad 1917 No. 129 dengan yang

diatur oleh UU No. 23 tahun 2007, Yurisprudensi, Hukum Adat, Kompilasi

Hukum Islam.

Berlakunya peraturan-peraturan tersebut diatas, secara nasional namun

tidak mengenyampingkan hukum positif lainnya yaitu adat dan hukum agama.

Diharapkan terjadinya pengangkatan anak yang bertujuan untuk memberikan


1 ?
Arif Gosita, 2004. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Pressindo, hlm. 44
3

kehidupan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan anak. Sebagaimana telah

diketahui bersama bahwa anak selalu dilihat sebagai asal keluarganya, dipandang

sebagai tumpuan harapan orang tuanya kelak dikemudian hari ditumpahkan dan

dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak apabila orang tua sudah tidak

mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah serta sebagai ahli waris dalam

pewarisan hartanya.

Perbuatan pengangkatan anak mengandung konsekuensi-konsekuensi

yuridis bahwa anak angkat itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang

mengangkatnya. Diberbagai daerah di Indonesia anak angkat mempunyai

kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunan sendiri, juga termasuk hak

untuk dapat mewaris kekayaan yang ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu

meninggal dunia, akan tetapi dalam kenyataannya anak angkat yang sah masih

dianggap bukan bagian dari keluarga yang merupakan kesatuan masyarakat

terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sehingga mereka dianggap tidak

berhak atas harta peninggalan orang tuanya karena bukan ahli waris dari orang tua

yang mengangkatnya.

Untuk melindungi agar anak angkat tetap mendapatkan haknya atas harta

peninggalan orang tua angkatnya, maka orang tua angkat membuat hibah wasiat.

Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa

masih hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta

peninggalannya kepada ahli waris, yang baru akan berlaku setelah ia meninggal.

Di dalam Pasal 957 KUHPerdata disebutkan : “ Hibah wasiat adalah suatu

penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seseorang

atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti

misalnya, segala barang-barangnya bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan


4

hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya”.

Terdapat salah satu kasus tentang sengketa hak waris terhadap anak angkat

di wilayah Pengadilan Negeri Medan. Peneliti tertarik akan fenomena ini karena

peneliti khawatir kasus ini dibiarkan, banyak terjadi kasus yang sama tapi tidak

mencuak kepermukaan atau kemasyarakat dari kasus seperti ini. Peneliti menduga

bahwa banyak kasus yang serupa di wilayah Kota Medan yang tidak dilaporkan

oleh korban. Korban menganggap bahwa hak waris terhadap anak angkat itu

hanyalah hal yang biasa dan tidak layak untuk diketahui oleh orang lain.

Pengadilan Negeri Kota Medan adalah lokasi penelitian yang terletak dipusat

kota Medan Provinsi Sumatera Utara, peneliti mengambil keputusan hakim yang

timbul akibat sengketa hak waris anak angkat khususnya dikalangan Thionghoa di

Pengadilan Negeri Medan, peneliti merasatertarik akan fenomena ini karena

peneliti khawatir kasus ini dibiarkan, akan banyak terjadi kasus yang sama tapi

tidak mencuak ke permukaan atau kemasyarakat dari kasus seperti ini.

Berdasarkan Studi Putusan (Nomor:637/Pdt.G/2018/PNMdn) semasa

hidupnya Almarhumah Tan Soe Kie Alias Sukini ada membuat Akte Wasiat No. 6

tanggal 04 Desember 1989 yang dibuat dihadapan Roesli, SH., Notaris Kota

Medan yang terdaftar di Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat

Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan sebagaimana Surat No.

2.HT.05.02.754 Perihal Akta Wasiat a.n Alm. Ny Sukini (Tan So Kie) pada

tanggal 24 April 1993 yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan u.b. Direktur

Perdata., yang isinya mengwasiatkan “Sebidang tanah Hak Guna Bangunan

No. 439, luasnya lebih kurang 801 m2 (delapan ratus satu meter persegi), terletak
5

dalam Propinsi Sumatera Utara, Kotamadya Medan, Kecamatan Medan, Desa

Pusat Pasar, lebih jelas sebagaimana diuraikan dalam Sertipikat (Tanda Bukti

Hak) yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kotamadya Medan tanggal dau puluh

satu Juli seribu sembilan ratus delapan puluh satu (21-07-1981) nomor 3302/1981,

pengeluaran sementara pada tanggal dua puluh lima Juli seribu sembilan ratus

delapan puluh satu (25-07-1981) atas nama Sukini dh Tan So Kie.

Almarhum Tuan Goh Se Pan dan Almarhumah Tan Soe Kie Alias Sukini

telah melangsungkan perkawinan secara adat dan agama dan tidak didaftarkan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari perkawinan tersebut

telah menghasilkan 8 (delapan) orang anak.

Bahwa Penggugat II merupakan anak kandung dan ahli waris satu-satunya

dari Almarhumah Goh Giok Yen Alias Hani serta Penggugat III merupakan anak

kandung dan ahli waris satu-satunya dari Almarhurnah Tan Giok Hoa.

Berdasarkan hal tersebut Penggugat II dan Penggugat III merupakan ahli waris

pengganti dan memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan dalam

perkara aquo. Sampai dengan saat ini, isi dari Akte Wasiat No. 6 tanggal 04

Desember 1989 sebagaimana tersebut pada gugatan para penggugat belum

dijalankan oleh Almarhum Tuan Tan Thong Lay Alias Alimin Tan, Tuan Tan Tjie

Tong (ic. Tergugat I) dan Tuan Tan Bin Tang (ic. Tergugat II) selaku pelaksana

wasiat (executeur testamentair). Kondisi saat ini terhadap objek perkara aquo saat

ini dikuasai oleh Tergugat III.

Agar tidak menimbulkan salah pengertian dan penafsiran yang berbeda

dalam penelitian ini maupun dalam pembahasannya yang lebih lanjut bahwa

penulis merasa perlu untuk memberikan penegasan mengenai judul yang tertera

diatas. Penegasan pengertian judul dimaksud untuk lebih mempertajam dan


6

memperkhususkan fakta yang hendak diteliti dan diuji kebenarannya.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis merasa tertarik untuk

melakukan suatu penelitian dengan judul skripsi : “Tinjauan Yuridis Tentang

Sengketa Hak Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Peraturan Perundang-

Undang (Studi Putusan Nomor : 637/Pdt.G/2018/PNMdn)”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan serta uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada

latar belakang di atas, maka penulis menetapkan permasalahan pokok dalam

penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan hukuman

tentang sengketa hak waris terhadap anak angkat menurut peraturan

perundang-undang pada putusan Pengadilan Negeri Medan (Nomor:

637/Pdt.G/2018/PNMdn) ?

2. Bagaimana kewajiban notaris dalam membuat surat keterangan waris bagi

masyarakat golongan Tionghoa sesuai dengan ketentuan hukum ?

3. Bagaimana kekuatan hukum surat wasiat terhadap hak anak angkat pada

harta warisan orang tua ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk menyelesaikan tugas akhir yaitu skripsi dan mendapatkan gelar

sarjana hukum di Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.

2. Untuk mengetahui yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan

hukuman tentang sengketa hak waris terhadap anak angkat menurut


7

peraturan perundang-undang pada putusan Pengadilan Negeri Medan

(Nomor : 637/Pdt.G/2018/PNMdn) ?

3. Untuk mengetahui kewajiban notaris dalam membuat surat keterangan

waris bagi masyarakat golongan Tionghoa yang benar dan sesuai dengan

ketentuan hukum.

4. Untuk mengetahui kekuatan hukum surat wasiat terhadap hak anak angkat

pada harta warisan orang tua.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dilaksanakan penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangsih pemikiran

peneliti dalam rangka menambah wawasan ilmu tentang sengketa hak

waris terhadap anak angkat terutama yang mempunyai relevansi dengan

penelitian ini.

2. Kegunaan Praktis

- Penelitian ini sebagai sumber bacaan dan informasi bagi masyarakat luas

mengenai sengketa hak waris terhadap pengangkatan anak.

- Upaya peluasan pengetahuan bagi peneliti dalam mengidentifikasi

undang-undang yang berkaitan dengan pengangkatan anak.

- Acuan penelitian lebih lanjut bagi yang berminat melalui metode yang

digunakan dalam penelitian ini.

- Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai sengketa hak waris

terhadap pengangkatan anak di wilayah hukum kota Medan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Tentang Hukum Waris

2.1.1 Pengertian Hukum Waris

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang

yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

Menurut Sukanto mengatakan bahwa “hukum waris adalah peraturan yang

mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu

atau beberapa orang lain”2. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud:

perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi

para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara

mereka dengan pihak ketiga. Oleh karena itu berbicara tentang masalah pewarisan

apabila terdapat:

a. Ada orang yang meninggal.

b. Ada harta yang ditinggalkan dan

c. Ada ahli waris.

Menurut Oemarsalim mengatakan bahwa “warisan adalah cara penyelesaian

hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan

sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu

2 ?
Soejono Sukanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.
259.

8
9

meninggalkan harta kekayaan”.3 Istilah warisan diartikan sebagai cara

penyelesaian bukan diartikan bendanya, kemudian cara penyelesaian itu sebagai

akibat dari kematian seseorang.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa hukum waris itu

memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta

kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.

2.1.2 Pengaturan Hukum Waris dalam Buku II KUHPerdata

Hukum waris diatur di dalam Buku II, bersama-sama dengan benda pada

umumnya. Hal tersebut dikarenakan adanya pandangan bahwa pewarisan adalah

cara untuk memperoleh hak milik sebenarnya terlalu sempit dan bisa

menimbulkan salah pengertian, karena yang berpindah dalam pewarisan bukan

hanya hak milik saja, tetapi juga hak-hak kebendaan yang lain (hak kekayaan)

dandi samping itu juga kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Hukum

Kekayaan.4

Didalam Pasal 584 KUHPerdata meniru Pasal 711 Code Civil ditetapkan

bahwa: ”Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain,

melainkan dengan kepemilikan, karena perlekatan, karena kadaluwarsa, karena

pewarisan baik menurut Undang-Undang, maupun menurut surat wasiat.

Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata mengandung makna bahwa pewarisan

merupakan salah satu cara yang secara limitatif ditentukan untuk memperoleh hak

milik dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok daripada

benda yang merupakan benda yang paling pokok diantara benda-benda lain, maka
3 ?
Oemarsalim, 2012. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta,
hal. 50
4 ?
https://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/hukum-waris-perdata.html,diakses tanggal 18
Januari 2020.
10

hukum waris diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang

benda yang lain. Disamping itu penyebutan hak mewaris oleh pembentuk undang-

undang di dalam kelompok hak-hak kebendaan di dalam Pasal 528 KUHPerdata

adalah tidak benar. Untuk jelasnya Pasal 528 KUHPerdata menyebutkan: “Atas

sesuatu kebendaan (zaak), seseorang dapat mempunyai, baik hak untuk

menguasai, baik sebagai hak milik baik sebagai hak waris, baik sebagai hak pakai

hasil, baik sebagai hak pengabdian tanah, baik sebagai hak gadai atau hipotik”.

Disini ternyata bahwa hak mewaris disebutkan bersama-sama dengan hak

kebendaan yang lain, sehingga menimbulkan pandangan “seakan-akan” hak

mewaris “merupakan suatu hak kebendaan”. Hal ini disebabkan adanya pengaruh

dan Hukum Romawi yang menganggap warisan adalah zaak (tak berwujud)

tersendiri, dan para ahli waris mempunyai hak kebendaan (zakelykrecht) atasnya.

2.1.3 Pengertian Kedudukan dan Anak (Keturunan)

a. Kedudukan

Kedudukan adalah status hukum seseorang di dalam hukum. Dalam hal ini

adalah kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan baik dalam hubungan

keluarga dan pewarisan.

b. Anak (Keturunan)

Yang dimaksud dengan keturunan (afstamming) adalah hubungan darah

antara anak-anaknya dengan orang tuanya. Anak-anak yang dilahirkan dapat

dibedakan dalam dua golongan, yaitu:

1) Anak sah, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah,

mengenai keturunan yang sah menurut Pasal 250 KUHPerdata adalah


11

sebagai berikut :“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan

sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.

Berdasarkan rumusan Pasal 250 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa

hubungan anak dan bapak itu adalah hubungan yang sah. Bahwasanya seorang

anak itu dilahirkan dari seorang ibu, hal itu mudah saja pembuktiannya. Tetapi

bahwa seorang anak itu benar-benar anak seorang bapak, itu agak sukar

dibuktikan, sebab bisa saja terjadi bahwa orang yang membenihkan anak itu

bukan suami si ibunya. Maka dalam hal ini hubungan itu dimaksudkan untuk

kepastian hukum yang ditentukan di dalam Pasal 250 KUHPerdata.

2) Anak tidak sah atau juga bisa disebut anak luar kawin, adalah anak yang

dilahirkan diluar perkawinan atau dapat juga berarti anak yang dilahirkan

oleh seorang wanita yang melahirkan anaknya di luar suatu perkawinan

yang dianggap sah menurut hukum yang berlaku.

Anak luar kawin kemudian masih dibagi dua golongan lagi yaitu:

a. Anak-anak luar kawin dalam arti luas, yaitu semua anak yang lahir

tanpa perkawinan orang tuanya.

b. Anak-anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak-anak luar kawin

dalam arti luas, kecuali anak zinah (oversvelig) dan anak sumbang

(bloed schennis; incest).

Menurut Afandi mengatakan bahwa “anak zinah yaitu, anak yang

dilahirkan sebagai hasil dari suatu perzinahan (persetubuhan antara

seorang pria dan wanita yang bukan suami istri, sedangkan salah satu

diantaranya ada dalam perkawinan dengan orang lain). Sedangkan


12

anak yang lahir karena sumbang adalah anak yang dilahirkan seorang

perempuan yang dibenihkan seorang lelaki, sedangkan perempuan atau

lelaki yang membenihkan anak itu memiliki hubungan darah (incest)

sehingga menurut undang-undang mereka dilarang kawin”.5

2.1.4. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Waris Perdata

a. Cara-Cara Pewarisan

Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan disebut

pewaris, sedangkan harta yang ditinggalkan disebut harta warisan dan orang yang

menerima waris disebut ahli waris.

Ada dua cara untuk untuk pembagian warisan, yaitu:

1. Ahli waris yang mewaris berdasarkan ketentuan undang-undang

(abintestato), yaitu orang yang karena ketentuan undang-undang dengan

sendirinya menjadi ahli waris, yakni para anggota keluarga Si pewaris,

mulai dari yang terdekat (hubungan darahnya) sampai yang terjauh asalkan

ada ikatan keluarga/hubungan darah dengan si pewaris. Orang-orang ini

dikatakan mewarisi tanpa mewasiat.

2. Orang-orang yang menerima bagian warisan berdasarkan pesan terakhir

atau wasiat (testament) dari pewaris. Jadi mungkin kalau dalam hal ini

orang tersebut tidak mempunyai hubungan darah/ikatan keluarga apapun

dengan si pewaris.6

5 ?
Afandi, 2010. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta : Rineka
Cipta, hal. 147.
6 ?
http:anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/hukum-waris-menurut-bw.htm1,diakses
tanggal 16 Januari 2020.
13

Sifat Hukum Waris Perdata, yaitu menganut:

a. Menurut Oemarsalim, mengatakan bahwa “sistem individual (sistem

pribadi) dimana menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi)

bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku, atau

keluarga.”7

Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 852 jo.852 a

KUHPerdata tentang pewarisan para keluarga sedarah yang sah dan

suami atau istri yang hidup terlama.

Pasal 852 KUHPerdata, anak-anak atau sekalian keturunan

mereka walaupun dilahirkan dan lain-lain perkawinan sekalipun,

mewaris dari kedua orang tuanya, kakek, nenek atau semua keluarga

sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas dengan tiada

perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan

berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.

Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan yang meninggal

mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing

mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi

pancang, jika sekalian atau sekedar sebagian mereka bertindak

sebagai pengganti.

b. Sistem Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari

garis bapak saja tetapi juga sebaliknya dari garis ibupun dapat

mewaris, demikian juga saudara laki-laki mewaris dan saudara laki-

lakinya saudara perempuannya begitu juga, sistem bilateral ini dapat


7 ?
Oemarsalim, 2012, Op.Cit. hal. 50
14

dilihat dalam Pasal 850,13853 dan 856 KUHPerdata yang mengatur

bila anak-anak keturunannya serta suami atau istri yang hidup terlama

tidak ada lagi maka harta peninggalan dari yang meninggal diwarisi

oleh ibu dan bapak serta saudara laki-laki maupun saudara

perempuannya.

c. Sistem perderajatan artinya bahwa ahli waris yang derajatnya dekat

dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya. Untuk

menentukan tempat atau derajat seseorang ahli waris berkenaan

dengan hubungan keluarga.8

Jika seseorang mempunyai derajat berangka kecil hubungan

keluarga antara dua orang tersebut adalah sangat dekat. Apabila

derajat berangka besar maka pertalian keluarga itu jauh.

b. Syarat-Syarat Mewaris

Menurut Pasal 830 KUHPerdata, suatu pewarisan baru dapat dilaksanakan

kalau si pewaris (orang yang meninggalkan warisan) telah meninggal dunia.

Adapun syarat-syarat agar seseorang dapat menerima bagian warisan

adalah:

1. Pewaris telah meninggal dunia.

2. Pewaris memiliki sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan.

3. Orang tersebut harus termasuk sebagai ahli waris dan orang ditunjuk

berdasarkan wasiat si pewaris untuk menerima bagian warisan.

8 ?
Ibid., hal, 204
15

4. Orang-orang yang disebutkan dalam poin 3 di atas itu tidak atau bukanlah

orang dinyatakan sebagai orang yang tidak patut menerima warisan

menurut putusan pengadilan.

Seseorang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari

pewarisan adalah:

1. Apabila ia dihukum oleh hakim karena membunuh si peninggal warisan,

jadi ada keputusan hakim yang menghukumnya.

2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena

memfitnah si pewaris, dimana diancam dengan hukuman lima tahun atau

lebih.

3. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat

wasiat yang meninggal itu.

2.1.5 Golongan Ahli Waris

Menurut Abdulkadir mengatakan bahwa “ahli waris adalah setiap

orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban

menyelesaikan hutang-hutangnya”.9 Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah

pewaris meninggal dunia. Hak waris ini didasarkan pada hubungan perkawinan,

hubungan darah, dan surat wasiat yang diberikan kepada orang yang disebut

dengan istilah legataris, yang diatur dalam undang-undang. Tetapi legataris bukan

ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya

terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.

Asas Hukum Waris menurut KUHPerdata, yang mengatakan bahwa

keluarga sedarah yang lebih dekat menyingkirkan atau menutup keluarga yang
9 ?
Ibid., hal, 201
16

lebih jauh mendapat penerapan atau penjabarannya di dalam Buku II Titel ke XII

dengan judul: “Pewarisan para keluarga sedarah yang sah, dan suami atau istri

yang hidup terlama”10.

Keluarga sedarah menurut KUHPerdata disusun dalam kelompok yang

disebut dengan “golongan ahli waris”. Golongan tersebut terdiri dan golongan I

sampai dengan golongan IV, dihitung menurut jauh dekatnya hubungan darah

dengan si pewaris, dimana golongan yang lebih dekat menutup golongan yang

lebih jauh. Anak luar kawin yang diakui secara sah tak termasuk dalam salah satu

golongan tersebut, tetapi merupakan kelompok tersendiri. Prinsipnya, bila masih

ada ahli waris golongan yang lebih dekat dengan pewaris, maka golongan ahli

waris yang lebih jauh tertutup untuk mewaris. Mereka baru muncul menjadi ahli

waris, apabila para ahli waris gologan yang lebih dekat dengan pewaris sudah

meninggal dunia.

Masing-masing golongan ahli waris yang lebih dekat hubungan

perderajatannya dengan si pewaris, menutup mereka yang lebih jauh, tetapi

dengan mengindahkan adanya asas pengantian tempat. Perhatikan kata-kata

“masing-masing golongan”, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk antar

golongan, karena golongan yang lebih jauh baru muncul kalau golongan yang

lebih dekat telah meninggal semua.

Jadi sekalipun seorang cicit berada dalam derajat yang ketiga, sedangkan

saudara dalam derajat kedua, tetapi karena cicit ada dalam golongan kesatu,

sedangkan saudara ada dalam golongan yang kedua, maka saudara tidak dapat

menyingkirkan cicit, bahkan mereka tidak bisa mewaris bersama-sama, yang


10 ?
J. Satrio, 1992. Hukum Waris. Bandung : Alumni, hal, 99
17

terjadi adalah cicit menutup kesempatan saudara untuk menjadi ahli waris.

2.1.6 Hukum Waris Keturunan Tionghoa

Dalam melaksanakan pembagian warisan masyarakat Keturunan

Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan hukum yaitu Kitab Undang-undang

Hukum Perdata dan Waris Adat Keturunan Tionghoa. Akan tetapi masyarakat

Keturunan Tionghoa lebih memilih waris adat Keturunan Tionghoa dari

pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dikarenakan masyarakat

Keturunan Tionghoa sudah sejak turun-temurun melaksanakan warisan secara

adat dan masyarakat Keturunan Tionghoa selalu memegang teguh adat

istiadat Keturunan Tionghoa.

Waris Adat Keturunan Tionghoa adalah waris yang dilaksanakan

dalam kurun waktu yang lama dari sebelum masyarakat Keturunan Tionghoa

menjadi warga negara Indonesia sampai masyarakat Keturunan Tionghoa

menjadi warga negara Indonesia. Faktor yang menyebabkan penyimpangan

dalam pembagian waris adat Keturunan Tionghoa adalah dikarenakan

terjadinya pembauran atau asimilasi antara budaya Keturunan Tionghoa dengan

budaya setempat, penyimpangan tersebut adalah perempuan mendapatkan

warisan, Ahli waris perempuan yang mendapatkan warisan tidak boleh besar

dari warisan laki-laki atau biasanya dengan ketentuan 1/ ½. Oleh sebab itu maka

hukum waris adat Keturunan Tionghoa juga diakui oleh hukum positif

negara Indonesia akibat hukumnya adalah apabila terjadi suatu sengketa

warisan maka yang berperan dalam penyelesaiannya adalah orang-orang yang

di tuakan bisa juga paman ataupun tokoh masyarakat.


18

Dalam pembagian warisan secara adat keturunan Tionghoa, saudara

laki-laki bungsu berperan penting dalam mengurus harta warisan dan harus

memberikan contoh terbaik bagi saudara-saudaranya dan juga harus

mengurus abu leluhur. Apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan

secara adat Keturunan Tionghoa, maka akan diselesaikan secara

kekeluargaan. Apabila tidak mencapai kesepakatan maka akan ditempuh

dengan jalur hukum atau ke Pengadilan Negeri.

Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal

29 Mei 1963 Nomor 917/1963 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta 17

Oktober 1963 Nomor 588 menyatakan bahwa “pengangkatan anak di kalangan

masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia tidak lagi terbatas pada

pengangkatan anak laki-laki namun telah diperbolehkan juga pengangkatan

terhadap anak perempuan”. Hal yang juga dinyatakan dalam SEMA Nomor 2

Tahun 1979 juncto SEMA Nomor 6 Tahun 1983 terkait dengan

yurisprudensi terhadap pengangkatan anak perempuan”. Dengan kata lain hal ini

membawa akibat hukum bahwa anak angkat perempuan juga berhak atas

harta warisan dari orang tua angkatnya.

Hak Waris anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris

yang dimiliki oleh anak kandung sehingga adanya kondisi demikian

memberikan perlindungan terhadap anak, sehingga hak-hak anak akan

terlindungi dan kesejahteraan anak akan terjamin.

2.2 Gambar Umum Tentang Pengangkatan Anak

2.2.1 Pengertian Anak


19

Menurut keputusan konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden

Nomor 36 tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, setiap manusia yang

berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi anak

ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih cepat.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak menyatakan “yang dimaksud dengan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan

anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia

yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,

mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyatakan “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan adat di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subyek hukum

ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang

berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur.

Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang

berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subyek
20

hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum

pidana maupun hukum hubungan kontrak yang berda dalam lingkup hukum

perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.11

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai efektif

berlaku pada tanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan paradigma

hukum, diantaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara,

pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali

dalam hal penyelanggaran perlindungan anak, serta dinaikannya ketentuan pidana

minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya

sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi. Dalam tulisan ini penulis akan

membahas secara singkat beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut yang

dianggap “paradigma baru”.12

Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang

diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati

pemenuhan hak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,

etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik

dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung

jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyeleggaran

perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung

11
Maulana, 2009. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:Gramedia,
hal. 3
12
http://www.pn-palopo.go.id, Paradigma Baru Perlindungan Hukum, diakses pada
tanggal 22 Nopember 2019.
21

kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak didaerah yang

dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota layak anak,

serta memberikan dukungan sarana, prasana dan ketersedian sumber daya

manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Selain kewajiban dan bertanggung jawab sebagaimana di atas negara,

pemerintah dan pemerintah daerah juga menjamin perlindungan, pemeliharaan,

dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,

wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak,

mengawasi penyelnggaraan perlindungan anak, menjamin anak untuk

mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan

tingkat kecerdasan anak, serta kewajiban dan tanggung jawab yang paling

penting adalah meyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

untuk semua anak dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak

untuk memperoleh pendidikan serta memberikan biaya pendidikan atau bantuan

cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari kurang mampu, anak terlantar,

dan anak yang tinggal didaerah terpencil. Semoga amanah besar yang diberikan

oleh undang-undang ini dapat dilaksanakan oleh negara, pemerintah dan

pemerintah daerah demi mewujudkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap

anak yang merupakan generasi bangsa.

2.2.2 Pengertian Pengangkatan Anak

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014


22

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak jo. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak memberikan pengertian anak

angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga

orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang

tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain

untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri,

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan

sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.13

Lebih lanjut menurut Djaja S. Meliala mengemukakan bahwa adopsi atau

pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan

kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah.14

Menurut Soepomo, mengatakan bahwa adopsi atau pengangkatan anak

adalah mengangkat anak orang lain. Dengan adopsi atau pengangkatan

anak ini timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak

angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung.15

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan pengangkatan anak

adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain menjadi anak sendiri dan

bertanggung jawab membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak angkat

13 ?
Gosita, 2010. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan). Jakarta:FHUI, hal.
11
14 ?
Meliala S. Djaja, 2016. Pengangkatan Anak (Adopsi) Berdasarkan Adat Kebiasaan
Setempat dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia, hal. 9
15 ?
Soepomo, 2007. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Malang : Pradnya Paramita, hal. 17
23

tersebut. Proses pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan, ini

demi kepastian hukum mengenai perubahan status dari anak angkat tersebut

dalam keluarga orang tua angkatnya, misalnya karena anak angkat itu akan

menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, alasan dilakukannya pengangkatan

anak, dalam praktek seringkali karena sesuatu keluarga tidak atau belum

mempunyai anak, atau karena tidak mempunyai anak laki-laki atau anak

perempuan.

2.2.3 Tujuan Pengangkatan Anak

Adopsi harus dilaksanakan demi kesejahteraan anak, hal itu

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak. Kemudian, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Pasal 39 butir 1, maka kesimpulannya pelaksanaan pengangkatan anak

dilakukan demi kepentingan yang terbaik si anak berdasarkan adat kebiasaan

setempat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Berbeda dengan peraturan perundangan, tujuan pengangkatan anak

dalam hukum adat, lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orang tua

angkat) akan kepunahan, maka calon orang tua angkat (yang tidak mempunyai

anak) mengambil anak dari lingkungan kerabatnya, dan berkedudukan sebagai

anak kandung dari orang tua angkat sehingga secara otomatis tidak memiliki

ikatan lagi dengan saudara sebelumnya.

2.3 Kompilasi Hukum Islam

2.3.1 Kompilasi Hukum Islam tentang perlindungan anak


24

Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad S.A.W., pengangkatan

anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dengan

istilah tabanni yang berarti mengambil anak angkat. Secara terminologis tabanni

menurut Wahbah Al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabbani) “Pengambilan

anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian

anak itu dinasabkan kepada dirinya”. Pengangkatan anak dalam pengertian

demikian jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan

seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan.16

Prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat

pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau

menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya tanpa harus memutuskan

hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang

tua angkatnya, serta tidak menjadikannya sebagai anak kandung dengan segala

hak-haknya. Anak angkat tidak memiliki hak waris sama dengan anak kandung

atau pengangkatan anak tidak mengakibatkan akibat hukum saling mewarisi, serta

orangtua angkat tidak menjadi wali terhadap anak angkatnya. Selain melarang

tawaruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkatnya. Islam juga

membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Allah SWT telah

menikahkan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy Al’ Asadiyyah bekas istri Zaid

bin Haritsah. Dengan tujuan wallahu a’lam supaya tidak ada keberatan bagi orang

Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak

angkat itu telah menyelesaikan keperluanya (setelah talak dan habis ‘iddahnya)

16 ?
Fauzan, M, 2010.Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2010, hal. 96.
25

sebagaimana firman Allah SWT dalam QS : Al-Ahzab ayat 37 yang artinya

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya

(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan

bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka,

apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada

istrinya.”

Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila

memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua biologis dan keluarganya.

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian

juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak

angkatnya.

c. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung kecuali sebagai tanda pengenal/alamat.

d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya.

Selanjutnya pendapat Majlis Ulama yang dituangkan dalam surat Nomor

U335/MUI/VI/1982 Tanggal 10 Juni 1982, adalah sebagai berikut:

a. Adopsi yang bertujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain

yang sifatnya unrtuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja

menurut Hukum Islam.


26

b. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat

(adopsi) oleh ayah/ibu angkat yang beragama Islam.

c. Pengangkatan anak angkat (adopsi) tidak akan mengakibatkan hak

kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu

adopsi tidak mengakibatkan hak waris/wali mewali dan lain-lain. Oleh

karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak

angkatnya hendaklah dilakukan pada masa sama-sama hidup sebagai hibah

biasa.

d. Adapaun adopsi yang dilarang, adalah, adopsi oleh orang-orang yang

berbeda agama, Pengangkatan anak angkat Indonesia oleh orang–orang

Eropa dan Amerika atau lain-lainnya.

Berdasarkan prinsip di atas, Islam tidak melarang memberikan berbagai

bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak

angkatnya, antara lain berupa:

a. Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian

hari.

b. Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari

1/3 (sepertiga) harta kekayaan orang tua angkat.

Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah

sebuah kedustaan, mencampur adukkan nasab, merubah hak-hak pewarisan yang

menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan

hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram, yaitu ber-khalwat.

(berkumpulnya mahram dengan yang bukan), dan mengharamkan yang halal,


27

yaitu menikah. Rasulullah SAW mengancam seseorang menasabkan keturunan

kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya : “ barang siapa yang dengan sengaja

mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui,

maka surga haram buatnya.

2.3.2 Undang-Undang Pengangkatan anak

Pengangkatan anak harus berdasarkan Peraturan Perundangan yang

berlaku, untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat

melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak. Untuk itu Pemerintah

mengeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yaitu, Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak

juga menyatakan bahwa, hubungan nasab tidak terputus dengan adanya lembaga

pengangkatan anak sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Pengangkatan

Anak bahwa, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak

yang diangkat dengan orang tua kandungnya, Kemudian Pasal 6 Peraturan

Pengangkatan Anak menyakan bahwa, orang tua angkat wajib memberitahukan

kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.

Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya dilakukan dengan

memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan

kesiapan anak apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah

siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati usia 18

(delapan belas) tahun .

Permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam diajukan ke


28

Pengandilan Agama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,

Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolute untuk menerima, memeriksa

dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum

Islam. Penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam oleh Pengadilan

Agama tidak memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. Anak

angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung dari orang tua

kandungnya.

Hubungan keperdataan anak kepada bapaknya (baik bapak biologisnya

meskipun yang bukan bapak biologisnya) yang dijelaskan dalam Pasal-Pasal

Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 yang

berbunyi : Hubungan keperdataan anak kepada bapaknya (baik bapak biologisnya

meskipun yang bukan bapak biologisnya) yang dijelaskan dalam Pasal-Pasal

Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 yang

berbunyi :

1. Pasal 99 : “Anak yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar Rahim dan dilahirkan

oleh isteri tersebut.”

2. Pasal 100

Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya.”


29

3. Pasal 101

“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak

menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”

4. Pasal 102

a. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu

180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya

perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya

melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia

mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

b. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak

dapat diterima.

5. Pasal 103

a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran

atau alat bukti lainya.

b. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya yang tersebut dalam ayat (1)

tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan

tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang

teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

c. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat (2),

maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum

Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak

yang bersangkutan.17
17 ?
Lihat Pasal 99-103 Kompilasi Hukum Islam.
30

Hukum perdata adalah segala aturan hukum yang mengatur hubungan

hukum antara dua orang yang satu dengan orang yang lain dalam hidup

bermasyarakat. Hubungan hukum tersebut menciptakan hak dan kewajiban

timbal balik bagi pihak-pihak yang sifatnya mengikat, artinya wajib dipenuhi

dengan iktikad baik, tidak boleh dibatalkan secara sepihak 18. Orang yang

dimaksud dalam hubungan hukum itu dapat berupa manusia pribadi ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa (gejala kodrati) atau berupa badan hukum ciptaan

manusia berdasar pada undang-undang yangberlaku (gejala yuridis). Orang

sebagai manusia pribadi atau badan hukum merupakan pendukung hakdan

kewajiban dalam hubungan hukum perdata.

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana orang harus bertindak dihadapan pengadilan dan cara bagaimana

pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan

berjalannya peraturan hukum perdata.19

Kata “acara” disini berarti proses penyelesaian perkara melalui

pengadilan. Tujuannya adalah untuk memulihkan hak seseorang yang

terganggu atau dirugikan oleh pihak lain, mengembalikan keadaan seperti semula

sebelum terjadi gangguan atau kerugian agar peraturan hukum perdata di patuhi

dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Secara fungsional dapat dirumuskan bahwa hukum acara perdata adalah

peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum

perdata sebagaimana mestinya, karena penyelesaian hukum acara perdata

18 ?
Ibid., hal. 3
19
Ibid. hlm, 11
31

perkara dimintakan melalui Pengadilan sejak diajukan gugatan sampai dengan

pelaksanaan putusan pengadilan.20

20 ?
Nargis, 2014. Sendi-Sendi Hukum Acara Perdata. Lampung:Justice Publisher hal, 3
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penetapan lokasi penelitian sangat penting dalam rangka mempertanggung-

jawabkan data yang diperoleh, dengan demikian maka lokasi penelitian perlu

ditetapkan terlebih dahulu. Dalam penelitian sesuai dengan judul yang penulis

tetapkan, maka lokasi yang penulis pilih adalah Pengadilan Negeri Medan yang

beralamat Jalan Pengadilan No. 8, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan

Petisah, Petisah Tengah, Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara 20236,

Indonesia.

Provinsi Sumatera Utara beribukota Medan merupakan salah satu kota

terbesar di Indonesia, Terletak antara 10-40 Lintang Utara, 980-1000 Bujur

Timur. Batas wilayahnya sebelah utara provinsi Aceh dan Selat Sumatera, sebelah

barat berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan Riau, sedangkan sebelah

Timur di batasi oleh Selat Sumatera, dengan jumlah penduduk di wilayah

Sumatera pada 2019 mencapai 58,46 juta jiwa yang terdiri atas 29,54 juta laki-laki

dan 28,92 juta jiwa perempuan.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dan empiris, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik

32
33

suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian bukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut terdiri dari:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

2. Penelitian terhadap sistematika hukum

3. Sejarah hukum:21.

Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas

hukum, sistematika hukum, serta sinkronisasi vertikal atas dokumen yang diteliti

terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data Primer dan

data Sekunder. Data primer “ialah data yang diperoleh secara langsung dari

objeknya.22 Adapun yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

terdiri dari :

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

21 ?
Soerjono Soekanto, 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hal. 51.
22
Rianto Adi, 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, hlm. 1
34

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

- Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005,

tentang Pengangkatan Anak.

- Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009

tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

2. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, literatur, tulisan-

tulisan, berita-berita koran dan hasil penelitian ilmiah yang berkaitan

dengan materi penelitian yang dapat memperkaya referensi dalam

penyelesaian penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yang terdiri dari kamus hukum, Kamus Besar

Bahasa Indonesia yang dapat memberikan penjelasan maupun petunjuk

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini

ditempuh prosedur sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, memahami dan

mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-

buku, dan peraturan hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.

2. Studi Lapangan

Studi ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer yang

dilakukan dengan menggunakan metode wawancara23.

23 ?
Sri Mamudji, 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:Raja
Grafindo Persada, hlm. 14
35

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis

kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang

teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan

interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, kemudian ditarik kesimpulan

sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai permohonan pengangkatan

anak.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Hukuman Tentang Sengketa

Hak Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Peraturan Perundang-

Undangan pada Putusan Pengadilan Negeri Medan (Nomor:

637/Pdt.G/2018/PNMdn)

Berdasarkan analisis peneliti terhadap peutusan bahwa penegakan hukum

terhadap sengketa hak waris terhadap anak angkat dalam putusan Nomor :

637/Pdt.G/2018/PNMdn sudah diterapkan sesuai dengan praturan perundangan-

undangan, yang mana di atur dalam Pasal 1005 KUHPerdata yang mana

pelaksana wasiat (executeur-testamentair) ditugaskan dan berkewajiban untuk

melaksanakan dan memastikan surat wasit itu sunguh0sungguh diaksanakan

menurut kehendak si meninggal. Menurut Pasal 1011 KUHPerdata telah

menggariskan dimana kedudukan pelaksana wasiat (executeur-testamentair)

adalah wakil dari Pewasiat yang ditugaskan untuk menjalankan semua kehendak

pewasiat yang dituangkan dalam wasiat tersebut sampai tuntas.

Sebelum penulis menguraikan bagaimana penerapan hukum pidana dalam

Putusan Nomor : 637/Pdt.G/2018/PN-Mdn, menurut penulis perlu diketahui

terlebih dahulu bagaimana posisi kasus dan penjatuhan putusan oleh

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili

perkara ini.

36
37

1. Posisi Kasus

Semasa hidupnya Almarhumah Tan Soe Kie Alias Sukini ada membuat

Akte Wasiat No. 6 tanggal 04 Desember 1989 yang dibuat dihadapan Roesli, SH.,

Notaris Kota Medan yang terdaftar di Departemen Kehakiman Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan sebagaimana Surat No.

2.HT.05.02.754 Perihal Akta Wasiat a.n Alm. Ny Sukini (Tan So Kie) pada

tanggal 24 April 1993 yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan u.b. Direktur

Perdata., yang isinya mengwasiatkan “Sebidang tanah Hak Guna Bangunan

No. 439, luasnya lebih kurang 801 m2 (delapan ratus satu meter persegi), terletak

dalam Propinsi Sumatera Utara, Kotamadya Medan, Kecamatan Medan, Desa

Pusat Pasar, lebih jelas sebagaimana diuraikan dalam Sertipikat (Tanda Bukti

Hak) yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kotamadya Medan tanggal daupuluh

satu Juli seribu sembilan ratus delapan puluh satu (21-07-1981) nomor 3302/1981,

pengeluaran sementara pada tanggal dua puluh lima Juli seribu sembilan ratus

delapan puluh satu (25-07-1981) atas nama Sukini dh Tan So Kie.

Almarhum Tuan Goh Se Pan dan Almarhumah Tan Soe Kie Alias Sukini

telah melangsungkan perkawinan secara adat dan agama dan tidak didaftarkan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari perkawinan tersebut

telah menghasilkan 8 (delapan) orang anak yakni :

- Almarhumah Goh Giok Yen Alias Hani yang meninggal pada tanggal 05

September 2016, PENGGUGAT II.


38

- Almarhumah Tan Giok Hoa yang meninggal pada tanggal 02 Mel 2001,

Penggugat III.

- Almarhum Tan Thong Lay Alias Alimin Tan yang meninggal pada tanggal

19 Oktober 2012.

- Tan Giok Tjin.

- Tan Tjie Tong alias Hendrik Tanoto (ic. Tergugat I),

- Tan Giok Hun (ic. Tergugat III),

- Tan Giok Kim (ic. Turut Tergugat) dan

- Tan Bin Tang (ic. Tergugat II)

Bahwa Penggugat II merupakan anak kandung dan ahli waris satu-satunya

dari Almarhumah Goh Giok Yen Alias Hani serta Penggugat III merupakan anak

kandung dan ahli waris satu-satunya dari Almarhurnah Tan Giok Hoa.

Berdasarkan hal tersebut Penggugat II dan Penggugat III merupakan ahli waris

pengganti dan memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan dalam

perkara aquo.

Sampai dengan saat ini, isi dari Akte Wasiat No. 6 tanggal 04 Desember

1989 sebagaimana tersebut pada gugatan para penggugat belum dijalankan oleh

Almarhum Tuan Tan Thong Lay Alias Alimin Tan, Tuan Tan Tjie Tong

(ic. Tergugat I) dan Tuan Tan Bin Tang (ic. Tergugat II) selaku pelaksana wasiat

(executeur testamentair). Kondisi saat ini terhadap objek perkara aquo saat ini

dikuasai oleh Tergugat III.

Pada faktanya sejak Alrnarhumah Tan Soe Kie (Sukini) selaku pewasiat

pada 19 September 1992 hingga saat ini kewajiban penjualan dan pembagian
39

terhadap objek perkara a quo belum lah dijalankan oleh para pelaksana wasiat

yaitu Alm. Tuan Tan Thong Lay Alias Alimin Tan, Tuari Tan Tjie Tong (Ic.

Tergugat I) dan Tuan Tan Bin Tang (ic. Tergugat II).

Berdasarkan hal tersebut adalah wajar dan berdasar hukum agar

Majelis Hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini menghukum agar para

pelaksana wasiat (executeur-testamentair) yaitu Tuan Tan Tjie Tong

(ic. Tergugat I) dan Tuan Tan Bin Tang (ic. Tergugat II) untuk segera

meñjalankan kewajibannya sebagai pelaksana wasiat (executeur-testamentair)

secara sukarela paling lambat 6 (enam) bulan sejak Tergugat III mengosongkan

rumah dengan alas Hak Guna Bangunan Nomor 439, seluas 801 m2 (delapan

ratus satu meter persegi), terletak di jalan Bintang, Kotamadya Medan, Kecamatan

Medan Kota, provinsi Sumatera Utara dan apabila tidak dilaksanakan maka objek

perkara aquo akari dijual secara umum oleh Penggugat dan untuk kemudian

hasilnya akan dibagikan sesuai porsi masing-masing.

Perlunya tindakan pengurusan terhadap objek perkara aquo yang

merupakan harta wasiat maka adalah perlu bagi Majelis Hakim yang memeriksa

perkara ini untuk memerintahkan Tergugat III untuk segera mengosongkan objek

wasiat berupa rumah yang terletak dijalan Bintang, Kotamadya Medan, kecamatan

Medan Kota, provinsi Sumatera Utara dan menyerahkannya kepada pelaksana

wasiat. Sebagaimana pelaksana wasiat (executeur-testamentair) diatur dalam

Pasal 1005 KUHPerdata yang mana pelaksana wasiat (executeur-testamentair)

ditugaskan dan berkewajiban untuk melaksanakan dan memastikan surat wasit itu

sungguh-sungguh dilaksanakan menurut kehendak si meninggal. Pasal 1011


40

KUHPerdata telah menggariskan dimana kedudukan pelaksana wasiat (executeur-

testamentair) adalah wakil dari Pewasiat yang ditugaskan untuk menjalankan

semua kehendak pewasiat yang dituangkan dalam wasiat tersebut sampai tuntas.

2. Dalam Eksepsi

- Tentang Exceptio Plurium Litis Consortium (Gugatan tidak lengkap para

pihak).

Gugatan Penggugat terhadap Tergugat III mengenai Akta Wasiat No.

6 yang dibuat dihadapan Roesli Notaris di Medan adalah kurang pihak,

karena Akta Wasiat tersebut dibuat dihadapan Roesli Notaris di Medan,

maka Notaris tersebut juga harus ditarik sebagai Para Pihak, akan tetapi

Penggugat tidak mengikutsertakan Notaris yang telah mengeluarkan Akta

tersebut, maka sangat. nyata Gugatan Penggugat tidak sempurna secara

formal karena kurang subjek Hukum, sehingga sangat beralasan jika

Majelis Hakim dalarn perkara mi menyatakan Gugatan Penggugat tidak

dapat diterima.

- Penggugat II tidak mempunyai Legal Standing dalam mengajukan

Gugatan Bahwa orang tua Penggugat II yaitu Goh Giok Yen bukan

merupakan ahli waris dan Tan Soe Kie karena Goh giok Yen telah

mendapat warisan dan Goh Sei Pan, dengan demikian Penggugat II tidak

mempunyai kapasitas sebagai Penggugat karena orang tua Penggugat

mendapat warisan dan Goh Sei Pan.


41

3. Amar Putusan

Setelah Majelis Hakim mempertimbangkan segala sesuatunya dalam

perkara ini lalu menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

MENGADILI

DALAM EKSEPSI:

- Menolak eksepsi Tergugat-III

DALAM POKOK PERKARA:

- Menyatakan gugatan Penggugat-I, Penggugat-III dan Penggugat-III tidak

dapat diterima.

- Menghukum Penggugat-I, Penggugat-II dan Penggugat-III untuk

membayar perkara secara tanggung renteng yang ditaksir sampai saat ini

jumlahnya Rp. 2.721.000,- (dua juta tujuh ratus dua puluh satu ribu

rupiah).

4. Analisis Penulis

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan

kini sampailah kepada pembuktian yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari

putusan tidak lain adalah alasan-alasan Hakim sebagai pertanggung jawaban

kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian, sehingga

oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Alasan dan dasar daripada putusan

harus dimuat dalam pertimbangan putusan.

Majelis Hakim berpendapat bahwa yang dipermasalahkan dalam gugatan

aquo tidak menyangkut keabsahan dan Akta Wasiat, akan tetapi menyangkut

masalah internal keluarga, yaitu belum dilaksanakannya Akta Wasiat No.6 tanggal
42

04 Desember 1989 yang dibuat dihadapan Roesli, SH., Notaris Kota Medan, oleh

pelaksana wasiat, sehingga menurut hukum tidak ada keharusan notaris tersebut

ditarik sebagai pihak dalam perkara aquo, untuk itu eksepsi Tergugat-III yang

mengatakan gugatan kurang pihak karena notaris yang membuat surat wasiat no 6

tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara aquo dinyatakan ditolak karena eksepsi

tidak beralasan hukum.

Majelis Hakim berpendapat mewaris karena wasiat atau testamenter

adalah pewarisan yang diprioritaskan dan setiap orang yang ditunjuk sebagai

penerima wasiat dalam surat wasiat berhak menerima bagian yang ditetapkan

tersebut, dan orang yang ditunjuk sebagai penerima wasiat tidak kehilangan hak

sebagai penerima wasiat dengan alasan orang tersebut telah menerima warisan.

Dalam undang undang tentang kewarisan, tidak ditemukan ketentuan yang

melarang orang yang telah menerima warisan karena undang undang tidak

dibenarkan mewaris secara testamenter, untuk itu eksepsi Tergugat-III yang

mengatakan Penggugat-II tidak mempunyai legal standing dalam mengajukan

gugatan dalam perkara aquo dinyatakan ditolak karena eksepsi tidak beralasan

hukum.

Pelaksana wasiat (executeur-testamentair) diatur dalam Pasal 1005

KUHPerdata yang mana pelaksana wasiat (executeur-testamentair) ditugaskan

dan berkewajiban untuk melaksanakan dan memastikan surat wasiat itu sungguh-

sungguh dilaksanakan menurut kehendak si meninggal.

Pasal 1011 KUHPerdata telah menggariskan dimana kedudukan pelaksana

wasiat (executeur-testamentair) adalah wakil dan Pewasiat yang ditugaskan untuk


43

menjalankan semua kehendak pewasiat yang dituangkan dalam wasiat tersebut

sampai tuntas.

Dalam posita gugatan perkara aquo, Majelis Hakim tidak menemukan

adanya sengketa, tidak terdapat uraian perbuatan yang dilakukan para Tergugat

yang merupakan sengketa, baik berupa perbuatan ingkar janji ataupun perbuatan

melawan hukum yang rnengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya wasiat tersebut

atau yang menjadi kendala tidak dilaksanakannya wasiat tersebut, demikian juga

dalam petitum gugatan tidak ditemukan adanya petitum Tergugat-I dan Tergugat-

II dan Tergugat lainnya telah melakukan wanprestasi atau para Tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum.24

Bahwa tidak terdapatnya sengketa dalam gugatan perkara aquo, memberi

konsekuensi hukum, gugatan para Penggugat dalam perkara aquo tidak memenuhi

syarat sebagai sebuah gugatan, dan dengan tidak terpenuhinya syarat tersebut,

maka petitum gugatan dalam perkara aquo tidak beralasan hukum untuk

dipertimbangkan, dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Dari dasar pertimbangan hakim tersebut dapat disimpulkan dasar

pertimbangan hakim tersebut telah memenuhi keadilan bagi pemilik tanah, karena

ahli waris adalah pemilik yang sah atas tanah tersebut serta ahli waris tidak boleh

dirugikan. Berperkara dengan gugatan dipersidangan, bermakna ada sengketa, dan

sengketa tersebut diakibatkan adanya perbuatan “cidera janji”(wanprestasi) atau

karena adanya “perbuatan melawan hukum”, sehingga adanya suatu gugatan,

adalah hanya kriteria adanya sengketa, dan tidak dibenarkan ada gugatan tanpa
24 ?
Hasil Wawancara dengan Bapak Jamaluddin, SH., MH, Hakim di Pengadilan Negeri
Medan yang beralamat di Jalan alan Pengadilan No.8, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan
Medan Petisah, Petisah Tengah, Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara 20236.
44

adanya sengketa atau gugatan hanya ada, jika ada sengketa, tanpa sengketa, tidak

ada gugatan, dengan demikian adanya sengketa merupakan syarat mutlak adanya

gugatan.

4.2 Analisis Kewajiban Notaris dalam Membuat Surat Keterangan Waris

Bagi Masyarakat Golongan Tionghoa yang Benar dan Sesuai dengan

Ketentuan Hukum

Pembuatan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris sampai saat

ini masih mendapat kepercayaan oleh masyarakat, instansi-instansi pemerintah

maupun swasta, bahkan juga dari para debitur (mereka yang berhutang kepada)

warisan, seperti pihak asuransi dan bank untuk uang simpanan para nasabah. Bank

yang menyimpan harta pewaris, baik yang berupa uang tunai sebagai giro maupun

deposito, dapat mengetahui dengan pasti kepada siapa ia dapat membayarkan

uang atau menyerahkan harta tersebut kepada ahli waris yang berhak melalui

Surat Keterangan Waris. Kemudian Surat Keterangan Waris juga diperlukan oleh

Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang hendak membuat akta

pemindahan hak. Sehingga tidaklah mengherankan jika instansi pemerintah

maupun swasta menghendaki adanya suatu pegangan yang menjamin bahwa

mereka menyerahkan atau mengalihkan atau membayar kepada orang atau orang-

orang yang benar-benar berhak menerimanya. Karena itu dengan pembuatan Surat

Keterangan Waris oleh Notaris diharapkan mampu mencegah timbulnya

permasalahan yang diakibatkan oleh pewarisan dengan menetapkan ahli waris

yang berhak serta besar bagiannya masing-masing yang tepat.


45

Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini Surat Keterangan Waris

sangat diperlukan dalam hal untuk melakukan perbuatan hukum berupa

pengalihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris, seperti proses balik

nama sertifikat tanah dan pencairan deposito, demikian yang dinyatakan secara

tegas dalam Pasal 111 ayat (1c) butir 4 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor

3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Surat Direktorat Pendaftaran Tanah

tanggal 20 Desember 1969 Nomor 12/63/12/69 bahwa dalam melakukan

perbuatan hukum proses pendaftaran pengalihan hak atas tanah karena warisan

oleh ahli waris dapat dibuat dalam bentuk surat keterangan hak waris yang

kewenangan pembuatannya dibedakan berdasarkan golongan penduduk atau

subjek hukum yang meninggal dunia, sebagaimana berikut ini:

a. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris

yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang

saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat

tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.

b. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak

mewaris dari Notaris;

c. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat

keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Sedangkan khusus untuk pencairan deposito, sesuai dengan buku ke II

pedoman Mahkamah Agung, maka Surat Keterangan Waris boleh dibuat oleh

Notaris meskipun subjek hukumnya Warga Negara Indonesia keturunan


46

Tionghoa, Bumi Putera Muslim, dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur

Tengah seperti Arab, India, dan Pakistan.

Oleh karena itu, merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi Notaris

untuk membuat Surat Keterangan Waris yang benar dan sesuai dengan ketentuan

hukum yang ada, agar terhindar dari masalah pewarisan yang tidak hanya dapat

merugikan pihak ahli waris serta pihak ketiga, melainkan juga Notaris yang

bersangkutan dalam hal terjadi sengketa di Pengadilan dan sebagainya. Berikut

akan dijelaskan mengenai kewajiban Notaris dalam membuat Surat Keterangan

Waris yang benar dan sesuai dengan ketentuan hukum.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak menyatakan “yang dimaksud dengan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan

anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia

yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,

mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang

diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati

pemenuhan hak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
47

etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik

dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung

jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyeleggaran

perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung

kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak didaerah yang

dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota layak anak,

serta memberikan dukungan sarana, prasana dan ketersedian sumber daya

manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pada saat penghadap yang merupakan ahli waris datang menyatakan

kehendaknya untuk dibuatkan Surat Keterangan Waris, terlebih dahulu Notaris

mengumpulkan informasi secara lisan melalui tanya jawab dengan ahli waris yang

menghadap mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Pewaris semasa

hidupnya sehingga Notaris memperoleh informasi dan mengerti mengenai

permasalahan yang dimiliki dan yang harus diselesaikan dalam pembagian

warisnya. Guna mendukung informasi yang diperoleh dari Ahli Waris, maka

diperlukan dokumen-dokumen otentik yang membuktikan kebenaran pernyataan

ahli waris tersebut, yang dalam pengumpulannya didasarkan pada kenyataan yang

dapat berkembang sedemikian rupa sesuai dengan permasalahan waris yang

bersangkutan. Sebagaimana dalam Contoh Kasus pada Surat Keterangan Waris

Nomor 6 tanggal 04 Desember 1989 dari Almarhumah Tan Soe Kie Alias Sukini

yang dibuat oleh Roesli, SH, Notaris Kota Medan, maka dokumen-dokumen

otentik yang diperlukan adalah:


48

1. Akta Kematian Pewaris

2. Akta Perkawinan antara Pewaris dengan Almarhum Sukini yang

dikeluarkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil Kota Medan.

3. Akta kematian atas nama Goh Sei Pan Alias Goh Sei Hong

4. Akta Kelahiran Tuan Bambang Antono dahulu Ngo Kian Say.

5. Akte Wasiat yang telah dileges

6. Sertipikat Hak Gunan Bangunan atas nama Sukini Tan Soe Kie

7. Kutipan akta kematian atas nama Hani

8. Petikan dari daftar kelahiran atas nama Iwan.

9. Kartu keluarga atas nama Iwan

10. Kartu keluarga atas nama Ligianto Sedeli

11. Kutipan akta kematian atas nama Tan Giok Hoa.

12. Salinan akta surat keterangan waris atas nama Tan Giok Hoa

13. Kutipan akta kematian atas nama Lydia

14. Surat keterangan ahli waris atas nama Lydia

15. Surat keterangan kewarganegaraan atas nama Tan Giok Tjin

16. Kartu identitas masing-masing ahli waris

17. Surat keterangan dari Direktur Perdata, Direktorat Jendral Hukum dan

Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia tentang ada atau tidaknya wasiat yang dibuat oleh

pewaris. Dalam hal ini Notaris yang akan datang untuk melakukan

pengecekan terdapat atau tidaknya akta wasiat atas nama Pewaris pada
49

Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Selain melengkapi dokumen-dokumen autentik yang diperlukan Notaris

juga meminta para ahli waris membawa 2 (dua) orang saksi yang mempunyai

hubungan darah terdekat dengan almarhum atau yang mengenal betul almarhum

sejak lama bahkan sebelum menikah, yang dapat memberikan kesaksian

kebenaran bahwa almarhum mempunyai berapa orang istri dan berapa orang anak,

atau tidak mempunyai ahli waris golongan satu tetapi mempunyai saudara-saudara

kandung.

Terkait kewenangan Notaris yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a

UUJN bahwa Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan

dengan pembuatan akta, maka Notaris harus memberikan penyuluhan hukum

dalam hal pembuatan Surat Keterangan Waris bagi masyarakat golongan

Tionghoa terutama yang masih menggunakan Hukum Adat dalam pembagian

warisnya. Notaris harus menjelaskan bahwa dalam pembuatan Surat Keterangan

Waris tidak dapat berlaku Hukum Waris Adatnya yang menggunakan Sistem

kekerabatan Patrilineal dimana anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih

banyak dari anak perempuan yaitu dua berbanding satu (2:1). Karena, mengingat

bahwa Surat Keterangan Waris diperlukan untuk membuktikan kedudukan

seseorang sebagai ahli waris, yang dapat dipakai sebagai pegangan para ahli waris

dalam melakukan tindakan hukum terhadap harta peninggalan si pewaris seperti

melakukan proses peralihan hak, misalnya proses balik nama sertipikat tanah

maupun pengurusan pencairan deposito, yang dalam hal tersebut juga dikehendaki
50

oleh instansi-instansi terkait dibuat sesuai dengan hukum positif yang berlaku

dalam hal ini yaitu Sistem Hukum Waris Barat yang berlaku bagi masyarakat

golongan Tionghoa.

Prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat

pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau

menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya tanpa harus memutuskan

hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang

tua angkatnya, serta tidak menjadikannya sebagai anak kandung dengan segala

hak-haknya. Anak angkat tidak memiliki hak waris sama dengan anak kandung

atau pengangkatan anak tidak mengakibatkan akibat hukum saling mewarisi, serta

orangtua angkat tidak menjadi wali terhadap anak angkatnya. Selain melarang

tawaruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkatnya. Islam juga

membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Allah SWT telah

menikahkan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy Al’ Asadiyyah bekas istri Zaid

bin Haritsah. Dengan tujuan wallahu a’lam supaya tidak ada keberatan bagi orang

Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak

angkat itu telah menyelesaikan keperluanya (setelah talak dan habis ‘iddahnya)

sebagaimana firman Allah SWT dalam QS : Al-Ahzab ayat 37 yang artinya

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya

(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan

bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka,

apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada

istrinya.”
51

Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila

memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua biologis dan keluarganya.

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian

juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak

angkatnya.

c. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung kecuali sebagai tanda pengenal/alamat.

d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya.

Berdasarkan prinsip di atas, Islam tidak melarang memberikan berbagai

bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak

angkatnya, antara lain berupa:

a. Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian

hari.

b. Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari

1/3 (sepertiga) harta kekayaan orang tua angkat.

Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah

sebuah kedustaan, mencampur adukkan nasab, merubah hak-hak pewarisan yang

menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan

hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram, yaitu ber-khalwat.
52

(berkumpulnya mahram dengan yang bukan), dan mengharamkan yang halal,

yaitu menikah. Rasulullah SAW mengancam seseorang menasabkan keturunan

kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya : “ barang siapa yang dengan sengaja

mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui,

maka surga haram buatnya.

Setelah penghadap hadir dengan melengkapi seluruh dokumen-dokumen

yang diperlukan disertai dengan 2 (dua) orang saksi, maka selanjutnya akan dibuat

Akta Pernyataan dihadapan Notaris. Akta Pernyataan ini merupakan akta autentik

dalam bentuk akta partij atau akta pihak yaitu akta yang dibuat dihadapan Notaris.

Notaris mengkonstantair seluruh pernyataan yang diberikan oleh seluruh Ahli

Waris kedalam suatu Akta Pernyataan tersebut. Oleh karena Akta Pernyataan ini

merupakan akta autentik, maka harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam

Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu:

1. Akta harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum

2. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang

3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai

wewenang untuk membuat akta itu.

Dalam isi Akta Pernyataan ini para penghadap akan menguraikan fakta-

fakta hukum terkait dengan diri Pewaris yang dapat mengakibatkan hubungan

hukum dengan Pewaris dalam pelaksanaan pembagian warisnya, seperti Pewaris

pernah melangsungkan perkawinan sah atau tidak, Pewaris memiliki anak atau

tidak, baik itu anak sah atau anak luar kawin yang diakui sah, atau anak adopsi,

terdapat anak yang menolak warisan atau dianggap sebagai tidak patut mewaris
53

atau tidak, serta terdapat surat wasiat atau tidak. Kemudian juga diuraikan

mengenai identitas 2 (dua) orang saksi serta hubungannya dengan pewaris yang

mempunyai hubungan darah terdekat dengan almarhum atau yang mengenal betul

almarhum sejak lama sehingga dapat memperkuat pernyataan yang diberikan oleh

para ahli waris dan bersedia mengangkat sumpah di hadapan yang berwenang.

Karena Notaris membuat Surat Keterangan Waris berdasarkan Pernyataan

yang dibuat oleh ahli waris, maka tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk

mengharuskan bahwa seluruh ahli waris harus turut hadir dalam pembuatan Surat

Keterangan Waris. Walaupun dikemudian hari ternyata ada Ahli Waris yang

menyatakan bahwa ia merupakan ahli waris dari pewaris namun tidak

dicantumkan dalam Surat Keterangan Waris, maka hal tersebut bukan kesalahan

Notaris dan terhadap Notaris tidak dapat dimintakan tanggung jawab karena

Notaris membuat Surat Keterangan Waris telah sesuai dan berdasarkan seluruh

fakta hukum yang dinyatakan dalam Akta Pernyataan yang dibuat oleh ahli waris

dihadapan Notaris dan surat-surat atau dokumen-dokumen autentik. Oleh karena

itu, untuk memperkuat dasar Notaris membuat surat Keterangan Waris atas

permintaan seluruh Ahli Waris dari Pewaris, maka Notaris dapat meminta para

ahli waris mengajukan permintaan tersebut secara tertulis dengan membuat Surat

Permohonan Pembuatan Surat Keterangan waris secara di bawah tangan.

Setelah dasar bagi Notaris membuat Surat Keterangan Waris yaitu Surat

Permohonan, Dokumen-dokumen Autentik, dan Akta Pernyataan lengkap, maka

Notaris dapat membuat Surat Keterangan Waris yang sistematikanya sebagai

berikut:
54

1. Judul dan Nomor yang dapat digunakan adalah Surat Keterangan Waris

atau Keterangan Hak Waris atau semacamnya yang serupa yang memiliki

arti sebagai Surat Keterangan Waris. Nomor Surat Keterangan Waris

diambil dari buku daftar Surat Keterangan waris bukan dari buku daftar

akta.

2. Uraian mengenai Nama dan tempat kedudukan Notaris, atau Notaris

Pengganti, atau Pejabat Sementara Notaris yang membuat dan

menandatangani Surat Keterangan Waris.

3. Uraian mengenai pembuatan Surat Keterangan Waris ini dibuat atas

permintaan dari siapa. Dalam hal ini adalah atas permintaan dari para

pihak yang berhak atas seluruh Harta Peninggalan Pewaris yaitu seluruh

ahli waris, baik ahli waris ab-intestato maupun ahli waris testamentair

yang juga sebagai penghadap dalam Akta Pernyataan.

4. Uraian mengenai dasar dibuatkannya Surat Keterangan Waris, yaitu Surat

Permohonan Pembuatan Surat Keterangan Waris, Surat-surat atau

Dokumen-dokumen Autentik, dan Akta Pernyataan.

5. Uraian mengenai fakta-fakta hukum terkait dengan diri Pewaris yang

dapat mengakibatkan hubungan hukum dengan Pewaris dalam

pelaksanaan pembagian warisnya.

6. Uraian mengenai terdapat atau tidaknya surat wasiat atas nama Pewaris

yang berdasarkan surat dari keterangan dari Direktur Perdata, Direktorat

Jendral Hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia, dalam Buku

Register Seksi Daftar Wasiat. Apabila terdapat Surat Wasiat atas nama
55

Pewaris, maka isi dari Surat Wasiat tersebut dikutip dan diuraikan sesuai

dengan bunyi aslinya dalam Surat Keterangan Waris.

7. Pendapat Hukum Notaris tentang Fakta-Fakta Hukum.

Dalam bagian ini Notaris memberikan pendapat hukumnya tentang

fakta-fakta hukum yang memiliki dampak bagi penentuan ahli waris dan

besar bagiannya masing-masing dengan didasari oleh ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam KUHPerdata. Seperti misalnya dalam contoh kasus

Surat Keterangan Waris Nomor 6 tanggal 04 Desember 1989, salah satu

anak Pewaris telah meninggal terlebih dahulu dari Pewaris dengan

meninggalkan istri dan anak-anak sah, maka dalam surat Keterangan

Waris akan diuraikan pendapat hukum Notaris yaitu berdasarkan Pasal

842 KUHPerdata anak-anak dari Almarhum Tuan Goh Se Pan tersebut

adalah ahli waris pengganti yang menggantikan Goh Giok Yen dahulu

Iwan sebagai ahli waris dari pewaris.

8. Penetapan Ahli waris dan besar bagiannya masing-masing.

Dalam Surat Keterangan Waris Notaris tidak hanya menyebutkan

nama-nama ahli waris yang berhak atas harta peninggalan Pewaris,

melainkan juga harus menyebutkan besar bagian yang berhak diterima

oleh masing-masing ahli waris. Bagian masing-masing ahli waris ini

mutlak harus disebutkan dalam Surat Keterangan Waris, karena apabila

tidak disebutkan maka akan memberikan penafsiran bahwa setiap ahli

waris yang disebutkan dalam Surat Keterangan Waris tersebut memiliki

bagian yang sama padahal tidak selamanya masing-masing ahli waris


56

memiliki bagian yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya walaupun

mereka mewaris dalam golongan yang sama. Dengan tidak

dicantumkannya besar bagian yang berhak diterima oleh masing-masing

ahli waris seperti dalam Surat Keterangan Waris Nomor: 06 yang dibuat

oleh Roesli, SH, Notaris Kota Medan dapat menimbulkan ketidakpastian

yang memungkinan timbulnya suatu sengketa dikemudian hari apabila

ternyata terdapat ahli waris yang berhak atas bagian yang lebih besar dari

ahli waris lainnya atau sebaliknya terdapat ahli waris yang mendapatkan

bagian yang lebih besar dari bagian yang seharusnya diterimanya sesuai

dengan KUHPerdata yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi ahli

waris lainnya.

9. Penutup Surat Keterangan Waris yang menguraikan sebagai berikut:

Mereka tersebut secara tersendiri berhak untuk menuntut dan

menerima seluruh barang baik yang yang bergerak maupun yang tidak

bergerak serta uang dan piutang yang termasuk dalam harta peninggalan

pewaris dan memberikan tanda penerimaan yang sah untuk segala

penerimaan.

10. Tempat dan tanggal pembuatan Surat Keterangan Waris serta Tanda

tangan Notaris yang membuat Surat Keterangan Waris.

4.3 Kekuatan Hukum Surat Wasiat Terhadap Hak Anak Angkat Pada

Harta Warisan Orang Tua

Penetapan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak adalah salah satu

dokumen hukum yang sangat penting. Dengan ditetapkannya seorang anak


57

menjadi anak angkat maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut

scolaholah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga, karena ia telah

terputus hubungan nasab dengan orang tua kandungnya dan lahir di tengah-tengah

keluarga baru dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan

anak kandung, maka kewajiban orang tua angkat tersebut mencatatkan anak

angkatnya itu ke Kantor Catalan Sipil untuk memperoleh semacam akta kelahiran

yang memuat peristiwa atau kejadian hukum yang timbul antara anak angkat dan

orang tua angkatnya. Dasar pengajuan pencatatan anak angkat ke Kantor Catatan

Sipil adalah penetapan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak.

Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak

telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak jo. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak memberikan pengertian anak

angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga

orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang

tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain

untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri,

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah

menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.25

25 ?
Arif Gosita, 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan). Jakarta : FHUI,
hlm. 11
58

Lebih lanjut Djaja S. Meliala mengemukakan bahwa adopsi atau

pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan

kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah.26

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, PP No.54

Tahun 2007 ini mengatur mengenai pengawasan-pengawasan adopsi, pengawasan

dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Sosial) dan masyarakat.

Pengawasan ini diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan atau

pclanggaran dalam proses pengangkatan anak. Dalam PP ini juga menguraikan

siapa saja atau lembaga mana saja yang layak diawasi, yaitu orang perseorangan,

lembaga pengasuhan, rumah sakit bersalin, praktek-praktek kebidanan, dan panti

sosial pengasuhan anak.

Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pcdoman dalam pelaksanaan

pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak,

syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, pengawasan dalam

pelaksanaan pengangkatan anak dan peiaporan. Dengan berlakunya Peraturan

Pcmerintah ini juga dimaksudkan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat mencegah

terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan

kesejahteraan anak demi masa dcpan dan kepentingan terbaik bagi anak. Pada saat

berlakunya Peraturan Pemcrintahan ini, semua peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan Peraturan Pemcrintah ini. Dalam prakteknya

pengangkatan anak dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam yaitu Adoptio


26 ?
Meliala S Djaja. 2016. Op.Cit. Bandung:Nuansa Aulia, hlm. 9
59

Plena yaitu adopsi yang mnyciuruh dan mendalam sekali akibat hukumnya. Anak

yang diangkat memutuskan sama sekali hubungan hukum dengan orangtua

kandungnya dan meneruskan hubungan hukum dengan orangtua yang

mengangkatnya. Akibat hukumnya, anak tersebut mempunyai hak waris daris

orangtua angkatnya dan tidak lagi mempunyai hak waris dari orangtua

kandungnya. Adoptio Minus Plena yaitu adopsi yang tidak demikian mendalam

dan menyeluruh akibat hukumnya Jadi disini hanyalah untuk pemeliharaan saja

sehingga dengan sendirinya tidak menimbulkan hak waris dari orangtua

angkatnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan

anak pasal 1 bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas

tahun), termasuk anak yang masih dalam kandung. Perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.27

Dari syarat di atas kita dapat melihat bahwa proses pengangkatan anak

pada prinsipnya bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan si anak dan tidak

dibenarkan melakukan pengangkatan anak untuk tujuan lain selain dari

kepentingan si anak. Selain memberikan syarat-syarat tertentu kepada anak yang

akan diangkat, negara juga memberikan syarat kepada calon orang tua angkat

yang akan melakukan pengangkatan anak sebagaimana diuraiakan sebagai

berikut:
27
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor : 35 Tahun 2014, Pasal 1.
60

1. Sehat jasmani dan rohani

2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) dan paling tinggi 55 (lima puluh

lima) tahun.

3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.

4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan.

5. Berstatus menikah paling singkal 5 (lima) tahun.

6. Tidak merupakan pasangan sejenis.

7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

8. Dalam keadaan mampu ekonomi maupun sosial.

9. Memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orangtua atau wali anak.

10. Membuat pemyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan sejak

ijin pengasuhan diberikan.

13. Memperoleh ijin Menteri dan/atau Kepala Instansi Sosial.28

Pengangkatan anak akan mempengaruhi kedudukan hak mewaris anak

angkat terhadap orangtua angkatnya. Pada prinsipnya pewarisan terhadap anak

angkat dikembalikan kepada hukum waris orangtua angkatnya. Didasarkan

pemikiran hukum, orangtua angkat berkewajiban mengusahakan agar setelah ia

meninggal dunia, anak angkatnya tidak terlantar. Untuk itu biasanya dalam

28
Witanto, D.Y. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin. Jakarta :
Prestasipustaka hal. 53
61

kehidupan bennasyarakat, anak angkat dapat diberi sesuatu dari harta pcninggalan

untuk bekal hidup dengan jalan wasiat. Keinginan terakhir ini, lazimnya

diucapkan pada waktu si peninggal warisan sudah sakit keras serta tidak dapat

diharapkan dapat sembuh lagi, bahkan kadang-kadang dilakukan pada saat

sebelum si pewaris menghembuskan nafas yang terakhir. Mengucapkan kemauan

yang terakhir ini, biasanya dilakukan dihadapan anggota keluarganya yang

terdekat dan dipercaya oleh si pewaris. Wasiat dapat dibuat oleh pewaris sendiri

atau dibuat secara notariil. Yang mana Notaris khusus diundang untuk

mendengarkan ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua orang saksi, dengan

cara demikian maka wasiat memperoleh bentuk akta Notaris dan disebut wasiat

atau testament.

Dalam hal pembuatan akta ini Notaris dapat memberikan nasehat kepada

pewaris sehingga akta wasiat yang dibuat tidak menyimpang dari aturanaturan

yang telah ditetapkan yang dapat menyebabkan akta tersebut cacat hukum. Wasiat

atau juga disebut testament adalah pernyataan kehendak seseorang mengenai apa

yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia. Ia dapat

memberikan harta kekayaannya kepada siapa yang pun yang dikehendakinya.

Karena hal demikian itu suatu hal yang khusus menyimpang dari kebiasaan dan

pemberian semacam itu harus ada pembuktian yang dapat diterima. Maka

pemberian itu dibentuk dalam suatu pesan kepada keluarganya. Dengan wasiat

maka seseorang yang tidak berhak mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta

warisan tertentu, ada kemungkinan mendapatkannya dikarenakan adanya pesan

atau amanat wasiat dari pewaris ketika masih hidup.


62

Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VII/2010

dikaitkan dengan ketentuan Anak Luar Kawin dalam hal pewarisan, majelis

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan). Dengan adanya

keputusan Malikamah Konstitusi tersebut maka perubahan besar terjadi dalam

sistem hukum perdata pun tak bisa dihindari. Dalam hukum waris, berdasarkan

KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapatkan warisan adalah anak luar kawin

yang telah diakui dan disahkan.

Berdasarkan atas kekuatan hukum waris dalam surat wasiat ini yang sesuai

dengan Pasal 933 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

"Surat wasiat tertulis sendiri, setelah ada dalam penyimpanan notaris

sesuai dengan pasal yang lalu, adalah sama kuatnya dengan surat wasiat

yang diselenggarakan dengan akta umum dan dianggaplah surat itu dibuat

pada hari pembuatan akta penyimpanan, dengan tak usah memperhalikan

akan tanggal yang dibubuhkan dalam surat wasiat sendiri. Surat wasiat,

yang sebagai tertulis sendiri disimpan oleh notaris, harus dianggap benar

seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh si yang mewariskan,

kecuali kemudian tcrbukti sebaliknya."

Menurut hukum Barat (KUHPerdata) terdapat pembalasan dalam hal

membuat wasiat yaitu tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagi-

bagikan kepada ahli waris yang disebut Legitieme portie. Hal ini diatur dalam

Pasal 913-929 KUHPerdata. Tujuan dari pembuatan undang-undang dalam

menetapkan Legitieme portie adalah untuk melindungi para ahli waris dari
63

tindakan pewaris yang tidak bertanggung jawab. Ada dua sistem Legitieme portie,

yaitu sebagai berikut:

1. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bagian tertentu dari seiuruh warisan

yang tidak dapat dilanggar dengan suatu ketetapan dalam testament.

2. Sistem Romawi, menetapkan bagian tertentu dari setiap ahli waris yang

tidak dikurangi dengan testament.

Adapun Legitieme portie yang diatur dalam KUHPerdata mcnganut sistem

Romawi. Hal ini diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata berikut ini.

Bagian mutlak atau Legitieme portie, adalah suatu bagian dari harta

peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut

undang-undang terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan

menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun

selaku wasiat. Apabila ketentuan-ketentuan mengenai bagian mutiak seperti yang

dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan bagian mutiak itu

dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah wasiat tersebut

dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan Undang-Undang khususnya

KUHPerdata. Jadi peraturan tentang bagian mutiak ini pada hakikatnya

merupakan pembatasan terhadap kebebasan orang yang membuat testament.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2007, pengangkatan anak tidak

mengakibatkan putusnya hubungan darah antara anak angkat dengan orangtua

kandungnya, sehingga anak angkat tetap mewarisi terhadap orangtua kandungnya

dengan kedudukan hak waris sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 852 KUH

Perdata. Adanya pengangkatan anak mengakibatkan perpindahan keluarga dari


64

orangtua kandungnya kepada orangtua yang mengangkatnya. Jadi status anak

angkat itu sama dengan anak sah dan didalam hukum waris ia disebut juga sebagai

ahli waris terhadap orangtua angkatnya.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis peneliti terhadap peutusan bahwa penegakan hukum

terhadap sengketa hak waris terhadap anak angkat dalam putusan Nomor :

637/Pdt.G/2018/PNMdn sudah diterapkan sesuai dengan praturan

perundangan-undangan, yang mana di atur dalam Pasal 1005 KUHPerdata

yang mana pelaksana wasiat (executeur-testamentair) ditugaskan dan

berkewajiban untuk melaksanakan dan memastikan surat wasit itu

sunguh0sungguh diaksanakan menurut kehendak si meninggal. Menurut Pasal

1011 KUHPerdata telah menggariskan dimana kedudukan pelaksana wasiat

(executeur-testamentair) adalah wakil dari Pewasiat yang ditugaskan untuk

menjalankan semua kehendak pewasiat yang dituangkan dalam wasiat tersebut

sampai tuntas.

2. Pembuatan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris sampai saat ini

masih dibutuhkan oleh masyarakat dan instansi-instansi pemerintah maupun

swasta. Oleh karena itu, merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi

Notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris yang benar dan sesuai dengan

ketentuan hukum yang ada, agar terhindar dari masalah yang tidak hanya

dapat merugikan pihak ahli waris serta pihak ketiga, melainkan juga Notaris

yang bersangkutan. Pengangkatan anak dalam Islam tidak merubah hubungan

hukum, nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga

65
66

asalnya, Pengangkatan anak tidak merubah status anak angkat menjadi anak

kandung dan tidak merubah status orang angkat menjadi orang tua kandung

serta tidak mengakibatkan saling mewarisi antara anak angkat dengan orang

tua angkat. Perubahan yang terjadi dalam pengangkatan menurut Hukum

Islam adalah perpindahan tanggung jawab pemeliharaan, pengawasan dan

pendidikan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.

3. Dengan adanya pengangkatan anak mengakibatkan perpindahan keluarga dari

orangtua kandungnya kepada orangtua yang mengangkatnya. Jadi kekuatan

hukum untuk mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya pun cukup

kuat karena status anak angkat itu sama dengan anak sah dan didalam hukum

waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap orangtua angkatnya.

5.2 Saran

1. Perlu diperhatikan dan dipahami perihal hak dan kewajiban yang akan

timbul pada diri orang tua angkat dan anak angkatnya. Penting untuk

melakukan pengangkatan anak sesuai hukum yang berlaku agar

didapatkan kepastian hukum dan penjelasan mengenai hak dan kewajiban

yang mengikutinya.

2. Bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya sebaiknya terus mengembangkan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Waris agar dapat membantu

masyarakat dalam menyelesaikan masalah waris melalui pembuatan Surat

Keterangan Waris yang sempurna dan tidak mengandung cacat hukum

sehingga dapat mencegah timbulnya masalah sengketa waris.


67

3. Bagi Masyarakat Tionghoa sebaiknya tidak lagi membedakan kedudukan

antara anak laki-laki dan anak perempuan sehingga dapat tercipta suatu

kepastian hukum dan keadilan diantara sesama ahli waris dan dapat mencegah

terjadinya perpecahan dalam keluarga karena masalah waris


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Ali Afandi, 2010. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta :
Rineka Cipta.

Abdulkadir, 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Fauzan. M. 2010. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,


Jakarta :PT Raja Grafindo.

Gosita Arif, 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan). Jakarta :


FHUI.

Lulik Djatikumoro, 2011. Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia. Bandung:


Citra Aditya.

Meliala S. Djaja, 2016. Pengangkatan Anak (Adopsi) Berdasarkan Adat


Kebiasaan Setempat dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Bandung : Nuansa Aulia.

Nilla Nargis, 2014. Sendi-Sendi Hukum Acara Perdata. Lampung : Justice


Publisher.

Oemarsalim, 2012. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Rineka


Cipta.

Rianto Adi, 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta : Granit.

Soeroso, R. 2014. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika

Soerjono Soekanto, 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.

Soepomo, 2007. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Malang : Pradnya Paramita.

Sri Mamudji, 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.

Satrio, J. 1992. Hukum Waris. Bandung : Alumni.

Witanto, D.Y, 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin.
Jakarta : Prestasi pustaka.

68
69

B. Undang-Undang
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan


Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang


Pengangkatan Anak.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang


Persyaratan Pengangkatan Anak.

A. Internet
https://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/hukum-waris-perdata.html,diakses
tanggal 18 Januari 2023.

http://anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/hukum-waris-menurut-bw.htm1,
diakses tanggal 16 Januari 2023.

Anda mungkin juga menyukai