Anda di halaman 1dari 98

PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT KEROBOKAN

BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA

OLEH:

I PUTU ADI KARMA YUDHA

NIM: 2017.001.2755

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR

2023

i
PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT KEROBOKAN

BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA

OLEH:

I PUTU ADI KARMA YUDHA

NIM: 2017.001.2755

SKRIPSI INI DISUSUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

HUKUM

PADA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 21 SEPTEMBER 2023

PEMBIMBING

(Dr. I Made Artana, S.H., M.H)


NIDN: 0819057301

MENGETAHUI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DEKAN,

(Dr. I Wayan Putu Sucana Aryana S.E., S.H., M.H.,)


NIDN: 0808106701

iii
SKRIPSI INI TELAH DIUJI DAN DIPERBAIKI

DOSEN PENGUJI

HARI :

TANGGAL :

WAKTU :

TEMPAT :

DOSEN PENGUJI

KETUA
SEKRETARIS

(………………………………………..) (………………………………………..)
NIDN NIDN.

ANGGOTA

(………………………………………..)
NIDN:

iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : I Putu Adi Karma Yudha

NIM : 2017.001.2755

Program Studi : Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah:

a. Asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik
di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai maupun perguruan tinggi
lainnya;

b. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing;

c. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis


atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang atau dicantumlan dalam pustaka.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebanarnya, apabila dikemudian


hari terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Denpasar, September 2023

Materai
10.000

I Putu Adi Karma Yudha


2017.001.2755

v
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atau

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik

karena skripsi ini merupakan salah satu syarat guna menyelesaikan studi ilmu

hukum di fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai. Penulis menyadari sepenuhnya

karya ilmiah ini tidak mungkin bisa diselesaikan dengan baik tanpa mendapatkan

bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ni Putu Tirka Widanti, MM., M.Hum., Rektor Universitas Ngurah

Rai Denpasar, karena telah memberikan fasilitas yang mendukung dalam

proses pembuatan skripsi ini.

2. Bapak Dr. I W P Sucana Aryana SE.,SH., MH., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Ngurah Rai Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

Program Ilmu Hukum di Universitas Ngurah Rai.

3. Bapak Dr. I Made Artana SH., MH., selaku Ketua Program Studi Fakultas

Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar sekaligus Pembimbing I yang

telah banyak memberikan nasehat, masukan, petunjuk dan motivasi

kepada Penulis.

4. Orang tua serta seluruh anggota keluarga dan semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan,

vi
motivasi, sumbangan pemikiran, bantuan materi maupun non materi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak

terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh

karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dan penulis terima dengan lapang

dada demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata penulis haturkan terima kasih.

Denpasar, September 2023

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN......................................................................

HALAMAN SAMPUL DALAM....................................................................

HALAMAN PERSYARATAN.......................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.......................................................

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...........................................................

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1. Permasalahan....................................................................................

1.1. Latar Belakang Masalah ..........................................................

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................

1.3. Ruang Lingkup Masalah ..........................................................

2. Landasan Teori dan Hipotesis..........................................................

2.1. Landasan Teori..........................................................................

2.2. Hipotesis....................................................................................

3. Tujuan Penelitian ............................................................................

3.1. Tujuan Umum...........................................................................

3.2. Tujuan Khusus..........................................................................

4. Manfaat Penelitian...........................................................................

4.1. Manfaat Teoritis........................................................................

4.2. Manfaat Praktis.........................................................................

viii
5. Metode Penelitian.............................................................................

5.1. Jenis Penelitian

24

5.2. Sifat Penelitian

25

5.3. Jenis Data

26

5.4. Teknik Pengumpulan Data

27

5.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data....................................... 28

BAB II TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT

KEROBOKAN BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN

NARKOBA

2.1................................................................................................... Peng

ertian Desa Adat....................................................................... 30

2.2................................................................................................... Peng

ertian Narkoba.......................................................................... 38

2.3................................................................................................... Peng

ertian Pararem .......................................................................... 46

2.4................................................................................................... Peng

ertian Hukum Adat................................................................... 48

BAB III PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT KEROBOKAN

BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA

ix
3.1. Pelaksanaan Hukum Adat Dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat Kerobokan.............. 52

3.2. Implementasi Nyata Perlindungan Hukum Terhadap Hukum Adat

Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat

Kerobokan............................................................................... 60

BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT

KEROBOKAN BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN

NARKOBA

4.1.................................................................................................. Ham

batan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkoba di Desa Adat Kerobokan.......................................... 64

4.2.................................................................................................. Upa

ya Menanggulangi Hambatan Hukum Adat Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat

Kerobokan............................................................................... 67

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 70

5.2 Saran................................................................................................... 71

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

x
xi
BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkotika saat ini menjadi suatu masalah yang

semakin kompleks. Penyalahgunaan narkotika dapat merusak tatanan

kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat bahkan negara. Meningkatnya

penyebaran narkoba di Indonesia karena pertumbuhan penduduk yang

semakin pesat sehingga hal ini dimanfaatkan oleh mafia Narkotika untuk

memasarkan barang haram di wilayah Indonesia. Bali sebagai daerah

tujuan wisata yang telah mendunia sangat rentan terhadap penyebaraan

narkotika dan bahan berbahaya jenis lainnya. Untuk itu dibutuhkan sinergi

dari berbagai stakeholder dalam menekan dan memberantas ruang gerak

pengedar narkoba, baik yang bersekala besar maupun bersekala kecil.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

Efektivitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada

seluruh jajaran penegak hukum. Namun jika hanya mengandalkan jajaran

penegak hukum hal ini dirasa kurang untuk meminimalisir

penyalahgunaan Narkoba di Bali. Peran serta masyarakat sangat dibutuh

dalam hal pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba karena

hal ini diatur dalam Bab XIII Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 yang

1
menyatakan bahwa ; “Masyarakat mempunyai kesempatan ya,klking

seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika”.

Penyalahgunaan narkoba dapat mengakibatkan sindroma

ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan

petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga

berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini

merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Maka dari itu

perlunya pencegahan yang massif dari pihak penegak hukum dan

jajarannya namun tidak luput juga mengikutsertakan peranan masyarakat

yang berani dalam melaporkan dan ikut serta mencegah penyebaran dan

penyalahgunaan narkoba. Di Bali sendiri selain hukum positif yang

dijalankan pemerintah saat ini masyarakat Bali juga sangatlah taat dan

patuh pada hukum adat yakni seperti Awig-awig dan Prarem didalam

sebuah Desa Adat masing - masing.

Desa Adat atau disebut juga desa Pakraman menurut Pasal 1 angka
8 Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 1 Tahun 2019 adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan,
susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata
karma pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan
tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan
serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan sistem kesatuan hidup daerah Bali, dalam menjalankan

fungsinya desa pakraman mempunyai kedudukan yang bersifat otonom,

2
dalam arti setiap desa pakraman berdiri sendiri menurut aturan (awig-

awig) desa pakraman yang dirumuskan dan dijadikan pedoman bertindak

oleh setiap warga desa.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 18 Peraturan Daerah Provinsi Bali


Nomor 4 tahun 2019 jenis Pararem terdiri dari Pararem Penyacah
merupakan Pararem yang dibentuk untuk menjalankan Awig-awig,
Pararem Pangele merupakan Pararem yang dibuat untuk mengatur hal
yang belum terdapat dalam Awig-awig, dan Pararem Panepas Wicara yaitu
Pararem yang digunakan untuk penyelesaian perkara Adat/wicara.
Kenakalan remaja (juvenile delinquency) ialah perbuatan yang dilakukan
pada usia remaja atau transisi masa anak-anak ke dewasa dengan
melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat.

Anak remaja ialah bagian yang memiliki status dan peran yang

penting, dari kepentingan keluarga, remaja adalah generasi penerus yang

siap tumbuh menjadi dewasa, sebagai pewaris dan penerus keluarga.

Kenakalan pada remaja ternyata menimbulkan dampak seperti

menghambat upaya generasi remaja yang berkualitas. Oleh karena itu

harus diupayakan menciptakan remaja yang berkualitas dengan mencegah

timbulnya kenakalan remaja yang dapat merusak citra dan masa depan

remaja itu sendiri dan bahkan citra dan masa depan bangsa.1

Fungsi desa pakraman yang utama adalah memelihara, menegakan

dan memupuk adat istiadat yang berlaku di desa pakraman dan diterima

secara turuntemurun dari para leluhurnya. Namun sesuai dengan

perkembangan dan kemajuan masyarakat, fungsi desa bisa ditingkatkan

meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat lainnya, yaitu sebagai

1
Ni Made Widiari, dkk. Penerapan Sanksi Adat Bagi Penyalahgunaan Narkotika Di
Desa Adat Kesiman, Vol 2 No.2. Agustus 2021. h. 28.

3
kontrol social dimana suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk

bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat di daerah tersebut.

Guna menangkal peredaran Narkoba di lingkungan desa adat,

Pemerintah Kabupaten Badung melalui Dinas Kebudayaan

menyosialisasikan pembentukan pararem (aturan) mengenai narkoba. Hal

itu sejalan dengan permintaan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Bali. Kepala Dinas Kebudayaan, IB Anom Bhasma, menyatakan,

pembentukan pararem sudah disosialisasikan dan sudah dibahas pada

paruman (paruman) bendesa adat se-Badung beberapa waktu lalu.

Pembahasan pun dilakukan dengan melibatkan instansi terkait seperti

kepolisian dan BNNK Badung. bahkan, Pemkab Badung yang

mengusulkan pararem tersebut saat paruman bendesa adat.2

Fungsi prarem ini Sebagai Pedoman dalam Bertingkah Laku Hukum

Adat dalam fungsinya sebagai pedoman merupakan pedoman bagi

manusia dalam bertingkah laku, bertindak, berbuat di dalam masyarakat.

Pedoman ini merupakan landasan bagi masyarakat agar tidak melakukan

pelanggaran pelanggaran hukum yang sifatnya akan merugikan baik

terhadap diri sendiri atau juga masyarakat sekitar. Fungsi Pengawasan

dalam fungsi pengawasan ini, hukum adat melalui petugas-petugas adat

akan mengawasi segala tingkah laku anggota masyarakat agar sesuai

dengan hukum adat yang berlaku dalam contoh pelanggaran demokrasi.

Membina Hukum Nasional dalam rangka membina hukum nasional


2
Humas BNN Provinsi Bali, Bali Berlakukan Sanksi Adat Bagi Penyalahguna Narkoba,
https//bnn.go.id/bali-berlakukan-sanksi-adat-terhadap-penyalahguna-narkoba/ diakses pada 28 Mei
2023.

4
hukum adat tidak saja berarti menciptakan hukum baru yang memenuhi

tuntutan rasa keadilan dan kepastian hukum tetapi juga memenuhi tujuan

dan tuntutan naluri kebangsaan sesuai ideologi kebangsaan yakni

Pancasila. Membantu Dalam Praktik Peradilan dalam praktis dan praktik

peradilan, hukum adat dapat dipakai dalam memutus tujuan perkara-

perkara yang terjadi antarwarga masyarakat yang tunduk pada hukum adat.

Digunakan Sebagai Lapangan Hukum Perdata Sistem

pemerintahan hukum positif di Indonesia selain dikenal menganut

sistem hukum pidana didalamnya juga terdapat sistem hukum lain

yakni hukum perdata.

Dengan kata lain hukum adat ialah Hukum Adat adalah keseluruhan

peraturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di

pihak lain dalam keadaan tidak di kodifikasikan. Dengan kata lain Hukum

Adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Istilah Hukum

adat adalah terjemahan dari adatrecht yang pertama kali diperkenalkan

oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers pada

tahun 1893. Kemudian digunakan oleh Prof. Cornelis van

Vollenhoven yang dikenal sebagai penemu Hukum Adat dengan sebutan

Bapak hukum adat dan penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.

Sedangkan di Indonesia selain berlaku Hukum tertulis (peraturan

perundang-undangan) yang dibentuk oleh Negara, masih berlaku pada

Hukum Adat yang berasal dari Hukum kebiasaan dari bangsa Indonesia

Asli yang berlaku secara turun-temurun.

5
Berlakunya sesuatu peraturan hukum adat, tampak dalam penetapan

(putusan - putusan) petugas hukum, misalnya Putusan Kepala Adat,

Putusan Hakim Perdamaian Desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan

kompetensinya masing-masing. Hukum Adat adalah kebiasaan-kebiasaan

dan adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat, tetapi tidak

semua Hukum Adat merupakan Hukum.Hanya Adat yang bersaknsi yang

mempunyai sifat Hukum serta merupakan Hukum Adat (Van

Vollenhoven). Sanksinya berupa reaksi dari masyarakat hokum yang

bersangkutan. Sedang pelaksanaan sanksi itu dilakukan oleh penguasa

masyarakat hukum dimaksud (Ter Haar, dengan teori keputusannya).

Oleh Van Vollenhoven dikatakan bahwa hokum adat pada waktu


yang lampau dikatakan berbeda dengan yang sekarang, dengan demikian
Hukum Adat menunjukkan perkembangannya. Oleh Soepomo disebutkan
bahwa tiap peraturan Hukum Adat adalah timbul berkembang dan
selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedangkan peraturan
baru itu berkembang juga, akan tetapi peraturan baru itu akan lenyap
dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat
yang menimbulkan peraturan.

Apabila hakim menemui, bahwa ada peraturan-peraturan adat,

tindakan-tindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat dianggap patut dan

mengikat penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa

peraturan-peraturan itu harus di pertahankan oleh para petugas adat dan

para petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu terang

bersifat hukum. Oleh karena hukum adat memiliki dua unsur, yaitu :

1. Unsur Kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu

diindahkan oleh rakyat.

6
2. Unsur Psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat

bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.

Desa Adat Kerobokan adalah salah satu desa terbesar di Kabupaten

Badung dengan Undang-undang Otonomi Daerah, desa Kerobokan dibagi

menjadi tiga pemerintahan yaitu: “Kerobokan Kaja, Kerobokan dan

Kerobokan Kelod”, dengan status Pemerintahanya memakai status

“Kelurahan”, namun tetap menjadi satu Desa Adat yakni “Desa Adat

Kerobokan”. Secara administratif, Desa Adat Kerobokan terdiri dari enam

wilayah kedinasan, yaitu:

1. Kelurahan Kerobokan Kaja Kecamatan Kuta Utara, terdiri


dari 11 banjar/dusun.
2. Kelurahan Kerobokan Kecamatan Kuta Utara, terdiri dari 10
banjar/dusun.
3. Kelurahan Kerobokan Kelod Kecamatan Kuta Utara, terdiri
dari 13 banjar/dusun.
4. (Bagian) Kelurahan Seminyak Kecamatan Kuta, terdiri dari 1
banjar/dusun.
5. (Bagian) Desa Padangsambian Kaja Kota Denpasar, terdiri
dari 4 banjar/dusun.
6. (Bagian) Desa Padangsambian Kelod Kota Denpasar, terdiri
dari 11 banjar/dusun.
7.
Desa adat memiliki peranan yang strategis sebagai garda terdepan

dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkoba. Menurut data yang disampaikan Kepala Badan

Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Bali yakni 3Dalam membangun desa

yang tanggap ancaman narkoba sebagai berikut :

3
Humas BNN. BNN Kabupaten Badung Sosiliasikan Bahaya Narkoba kepada
Bendesa di Kab. Badung. 14 Jul 2020. https://badungkab.bnn.go.id/bnn-kabupaten-badung-
sosiliasikan-bahaya-narkoba-kepada-bendesa-di-kab-badung/ diakses pada 20 Mei 2023.

7
1) Data kasus narkoba dari bulan Januari-Juni terjadi peningkatan
sebesar 5,1% dan berjumlah 429 kasus sampai akhir Juni
2020;
2) Badung mendapat peringkat 2 dari 9 kabupaten terbanyak
kasus narkotikanya. Terdapat 233 kasus pada tahun 2019 dan
55 kasus pada akhir Juni 2020;
3) Diharapkan 122 Desa Adat untuk membuat pararem;
4) Bagi yang melapor untuk mengikuti rehabilitasi identitasnya
akan dirahasiakan;

Di Badung Sendiri Program pemberdayaan Desa-desa Adat di Bali

menjadi program yang penting saat ini utamanya dalam menciptakan

kawasan yang bersih dari narkoba yang menjadi cikal bakal memperkuat

desa adat sebagai barisan terdepan melawan narkoba mengingat. Namun

walaupun telah dilakukan pemberdayaan tersebut, masih saja terjadi kasus

penyalahgunaan narkotika di daerah kabupatem Kabdung, khususnya yang

terjadi di Desa Adat Kerobokan dimana dapat disajikan melalui tabel

berikut ini:

TABEL

KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOBA

DESA ADAT KEROBOKAN

NO TAHUN JUMLAH KASUS

1 2020 2

2 2021 1

3 2022 4

TOTAL KASUS 7

8
Berdasarkan data diatas dapat dilhat bahwa terjadi peningkatan

kasus penyalahgunaan narkotika di wilayah desa adat kerobokan, sehingga

pihak desa adat harus melakukan upaya-upaya dalam memaksimalkan

perarem yang telah dibentuk.

Dengan memberdayakan Desa Adat sebagai garda terdepan

diharapkan menjadi solusi atas permasalahan narkoba yang kian

meningkat untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan, sehingga

dari uraian permaaalahan penyalahgunaan narkotika diatas maka penulis

akan meneliti “Pelaksanaan Perarem Desa Adat Kerobokan Badung

Terhadap Penyalahgunaan Narkoba”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan Badung

Terhadap Penyalahgunaan Narkoba?

2. Bagaimana hambatan dalam pelaksanaan perarem Desa Adat

Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang tidak relevan sehingga

menyebabkan penyimpangan terlalu jauh maka disini akan dibatasi sekitar

pokok permasalahannya yaitu: pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan

Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba. Dari judul tersebut penulis

9
hanya akan berada didalam ruang lingkup pararem penyalahgunaan

narkoba di Desa Adat Kerobokan.

2. Landasan Teori dan Hipotesis

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Teori Tujuan Hukum

Guna mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch

menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar

yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena dalam

realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan

kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya.

Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi

benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas

prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus

dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

a. Keadilan Hukum;

b. Kemanfaatan Hukum;

c. Kepastian Hukum.4

Dengan urutan prioritas sebagaimana dikemukakan

tersebut diatas, maka sistem hukum dapat terhindar dari konflik

internal. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch

tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara

tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa


4
Muhammad Erwin, 2012, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, h. 123

10
dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi

melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan

selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang

mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu,

Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan

menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain.5

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa


berubah-ubah. Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan
mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah tepi.
Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.
Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak
memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan
cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan,
karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan.
Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini.
Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian,
keadilan, persamaan dan sebagainya ketimbang mengikuti
Radbruch.6

2.1.2. Teori Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat Secara teori, terdapat beberapa

sarjana yang memberikan pengertian terhadap istilah masyarakat

hukum adat, namun tidak ada keseragaman pemakaian istilah di

antara para sarjana tersebut. Ada yang mengistilahkannya dengan

“masyarakat hukum”, “masyarakat hukum adat”, dan

“persekutuan hukum”. Dalam penelitian ini digunakan istilah

“masyarakat hukum adat”. Berikut ini dipaparkan beberapa

pengertian masyarakat hukum adat menurut para sarjana.

5
Ahmad Zaenal Fanani, 2011, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Varia Peradilan
No. 304, h 3.
6
Sidharta Arief, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, h. 20.

11
a) Ter Haar memberi istilah dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum, yakni kesatuan manusia yang teratur,
menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
penguasapenguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud
ataupun tidak berwujud. 7
b) Bushar Muhammad memberikan pengertian masyarakat
Hukum Adat (adatrechtsgemenschap), yakni masyarakat
hukum yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu
ketertiban berdasarkan kepercayaan, bahwa mereka semua
berasal dari satu 31 keturunan yang sama ataupun berasal dari
satu tanah tempat bermukim yang sama. 8
c) Hazairin memberikan pengertian masyarakat Hukum Adat,
yakni kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum; kesatuan penguasa; dan
kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas
tanah dan air bagi semua anggotanya. 9
d) Saragih menyebut dengan istilah persekutuan hukum, yakni
sekelompok orang-orang yang terikat sebagai satu kesatuan
dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat abadi, dan
memiliki pimpinan serta kekayaan baik berujud maupun tidak
berujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah
tertentu.10

Secara yuridis formal, pengertian masyarakat hukum adat

tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,

yakni sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1

angka 3). Mengacu pada pendapat para sarjana di atas, dapat

7
Ibid. h 30.
8
Ibid. h. 31.
9
Ibid. h 31.
10
Admin. Masyarakat Hukum Adat, https://suduthukum.com/2018/02/masyarakat-
hukum-adat.html, diakses pada 28 Februari 2023.

12
dikatakan bahwa unsur-unsur yang menjadi ciri dari masyarakat

hukum adat, yakni:

1) Kelompok manusia yang teratur dan terikat oleh


kesamaan keturunan (genealogis) atau kesamaan
wilayah (teritorial);
2) Menetap di wilayah/daerah tertentu (mempunyai
wilayah);
3) Mempunyai aturan hidup bersama berupa Hukum
Adat;
4) Mempunyai penguasa/pemimpin dan kelembagaan
adat; dan
5) Mempunyai kekayaan, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.

“Menurut Sumardjono ciri pokok masyarakat hukum adat


yakni merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan
tersendiri terlepas dari kekayaan perseorangan, mempunyai batas
wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu.”11
“Menurut Saragih, ada dua faktor pengikat anggota
persekutuan hukum yakni genealogis dan territorial, yang
selanjutnya menghasilkan tiga tipe pokok persekutuan, yakni
persekutuan hukum genealogis, territorial, dan genealogis-
teritorial. “

Pada masyarakat genealogis terdapat dua macam

persekutuan, yakni unilateral dan bilateral/parental, dan ditambah

satu bentuk khusus, yakni alternerend (berganti-ganti). Pada

masyarakat unilateral, anggota-anggotanya berdasarkan garis

keturunan satu pihak, yaitu pihak ayah atau pihak ibu. Jika garis

keturunan dari pihak ibu, maka masyarakat tersebut adalah

masyarakat matrilineal, dan jika garis 33 keturunan dari pihak

ayah, maka masyarakat tersebut adalah masyarakat patrilineal.

Selanjutnya, pada masyarakat bilateral, anggota-anggotanya

11
Rosmidah, 2001, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dan Hambatan Implementasinya. Sinar Grafika, Jakarta, h. 56.

13
menarik garis keturunan baik dari pihak ayah maupun dari pihak

ibu, sedangkan pada masyarakat alternerend, anggota-anggotanya

menarik garis keturunan berganti-ganti mengikuti bentuk

perkawinan orang tuanya. 12

2.1.3 Teori Penegakan Hukum

“Penegakan hukum yang dikaitkan dengan perlindungan

masyarakat terhadap kejahatan tentunya berkaitan dengan masalah

penegakan hukum pidana. Tujuan ditetapkannya hukum pidana adalah

sebagai salah satu sarana politik kriminal yaitu untuk “perlindungan

masyarakat” yang sering dikenal dengan istilah “social defence”.”13

Secara konsepsional, inti dari penegakkan hukum terletak pada

kegiatan meyerasikan hubungan nilai-nilai terjabarkan didalam kaidah-

kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang

mempunyai dasar filisofis tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut

sehingga akan tampak lebih konkrit.14

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan

ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi

12
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, dkk. 2016, Hukum Adat Lanjutan, Universitas
Udayana, Denpasar. h. 12.
13
Barda Nawawi Arief, 2008, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 11. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief
I)
14
Soerjono Soekanto 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)

14
kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses

perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.15 Penegakan hukum

merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep

hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum

merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Dalam

menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu:

kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

1) Kepastian hukum (rechtssicherheit)

“Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena

dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.16”

2) Manfaat (zweckmassigkeit)

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan

hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan

15
Dellyana, Shant. 2008, Konsep Penegakan Hukum. Liberty, Yogyakarta, h. 32
16
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
h. 160

15
bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan

atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

3) Keadilan (gerechtigkeit)

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan

atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan dan

penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat

menyamaratakan. Barang siapa yang mencuri harus dihukum : siapa

yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang

mencuri. Sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan

tidak menyamaratakan.Penegakkan hukum di Indonesia memiliki

faktor guna menunjang berjalannya tujuan dari penegakan hukum

tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di

Indonesia:

1) “Faktor Hukum, Hal yang dimaksud dengan hukum adalah


segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila
dilanggar akan mendapatkan sanksi yang tegas dan nyata.” 17
“Sumber lain menyebutkan bahwa hukum adalah seperangkat
norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku
manusia dengan tujuan untuk ketentraman masyarakat.”18
2) Faktor Kebudayaan, kebudayaan memiliki fungsi yang sangat
besar bagi masyarakat dan manusia. Masyarakat memiliki
kebutuahan dalam bidang materiil dan spiritual. Untuk
memenuhi kebutuhannya sebagian besar dipenuhi
kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Tapi kemampuan manusia sangat terbatas, dengan demikian
kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya
juga terbatas dalam memenuhi segala kebutuhan. 19
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
17
Yulies Tina Masriani. 2004, PengantarHukum Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta, h. 13
18
Ibid. h. 14

16
untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena
itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat
mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Masyarakat Indonesia
pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu
mengenai hukum. Faktor Masyarakat, yakni lingkungan di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum maka akan semakin
memungkinkan penegakan hukum yang baik.
3) Faktor Kebudayaan, kebudayaan memiliki fungsi yang sangat
besar bagi masyarakat dan manusia. Faktor Kebudayaan,
yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan
Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus
mencermikan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat.
4) Faktor Sarana dan Fasilitas, tanpa adanya sarana dan fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan
dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak
tepenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai
tujuannya.20 Faktor Sarana atau Fasilitas yang Mendukung
Penegakan Hukum. Sarana dan fasilitas yang mendukung
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak
hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.
5) Faktor Penegak Hukum, pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum. Salah satu kunci dari
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka
penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum,
keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan
diaktualisasikan. Penegak hukum di Indonesia ada beberapa
jabatan untuk membantu danmengurus faktor-faktor
penegakan hukum agar maksud dari suatu hukum dapat
berjalan dengan lancar dan adil. Diantaranya:
a. Pejabat Kepolisian
b. Jaksa
19
Soerjono Soekanto. 1990, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Rajawali Persada.
Jakarta, h. 178 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II)
20
Ibid. h. 37

17
c. Hakim21

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena

menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur

dari penerapan penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum

tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik

sentralnya.22 Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun

oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak

hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh

masyarakat luas. Penegakan hukum dalam Negara dilakukan secara

preventif dan represif.

1) Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah

agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga

masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan-

badan eksekutif dan kepolisian. Sedangkan

2) Penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif

telah dilakukan tetapi ternyata masih juga terdapat pelanggaran

hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum harus ditegakkan secara

preventif oleh alat-alat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil.

“Penegakan hukum represif pada tingkat operasionalnya didukung dan

melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu

dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan


21
Bambang Poernomo. 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku.
Yogyakarta, h. 25
22
Syahrin, Alvi, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, h. 87

18
hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai kepada

lembaga pemasyarakatan.”23

Tugas utama penegakan hukum adalah untuk mewujudkan

keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi

kenyataan. Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya

merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali.

2.1.4 Teori Efektivitas Hukum

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya

hukum berlaku efektif. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana

efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur

sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi

sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang

bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan

yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih

jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu

aturan hukum tergantung pada kepentingannya.24

Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek

keberhasilan atau kemanjuran atau kemujaraban. Membicarakan

keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap

karakteristik dua variable terkait yaitu karakteristik atau dimensi dari

23
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 111.
24
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Penerbit Kencana.
Jakarta. h. 375.

19
obyek sasaran yang dipergunakan.25 Kata efektif berasal dari bahasa

Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan

berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas

sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu


yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai
berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan Sedangkan penerapan itu
sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk memantau. 26 Jika
dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak
yang berwenang yaitu polisi. Kata penerapan sendiri berasal dari kata
efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu
perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari
segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.

Menurut Soerjono Soekanto efektif adalah taraf sejauh mana suatu


kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika
terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai
sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia
sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan
efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur
paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman
paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan ini pun erat
kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan
hukum.27 Efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
a) Faktor hukumnya sendiri
b) Faktor penegak hukum
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
d) Faktor masyarakat.
e) Faktor kebudayaan.28
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena

menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari

25
Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung. h.
67 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II)
26
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka, Jakarta. h. 284.
27
Soerjono Soekanto I, Op.Cit. h. 8.
28
Satjipto Raharjo, 2011, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, h. 25.

20
efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut

faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini

disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum,

penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan

hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.

Teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum, hukum dalam

masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi dua yaitu: (1) masyarakat

modern, (2) masyarakat primitif, masyarakat modern merupakan

masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas,

spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih, didalam

masyarakat modern hukum yang di buat dan ditegakan oleh pejabat yang

berwenang.29

2.2. Hipotesis
Berdasarkan rumsan masalah yang dirumuskan terdapat beberapa

hipotesis yakni :

1) Pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan Badung Terhadap

Penyalahgunaan Narkoba berdasarkan teori efektivitas hukum

menurut Soerjono Soekanto efektif adalah taraf sejauh mana suatu

kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan

efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu

hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah

perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum


29
Salim, H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Rajawali Press, Jakarta, h. 375

21
2) Hambatan dalam pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan

Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba berdasarkan teori

penegakan hukum adalah sesuai dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia menurut Soerjono

Soekanto, faktor-faktor tersebut yaitu faktor hukum, faktor

penegak hukum, faktor masyarakat, faktor sarana dan fasilitas, dan

faktor kebudayaan.

3. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, tujuan penulisannya dapat dibedakan atas

dua tujuan yaitu :

3.1 Tujuan Umum

Secara umum adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

4. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan

masyarakat.

5. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada

Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar.

3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

22
1. Untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan perarem Desa Adat

Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan perarem Desa Adat

Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba.

4. Manfaat Penelitian

4.1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana sehingga nantinya

dapat merumuskan pemikiran-pemikiran yang bersifat teoritis dalam

rangka memperdalam kajian terhadap hukum adat yang membantu hukum

positif dalam mengatur masyarakat khususnya pelaksanaan perarem Desa

Adat Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba.

4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi akademisi penelitian ini dapat menjadi literatur tentang

bagaimana hukum adat menjadi salah satu pendorong terciptanya

keteraturan dimasyarakat dan membatu hukum positif di Indonesia

2. Bagi masyarakat untuk dapat dipakai sebagai acuan bagi praktisi

hukum terkait dengan pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan

Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba.

5. Metode Penelitian

23
Metode penelitian yang digunakan adalah Kualitatif, penelitian

kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan,

persepsi pemikiran orang secara individual atau kelompok.30

5.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

“Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang mengkaji dan

mengalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat (law in action) data

utama yang digunakan adalah data yang bersumber dari lapangan. 31

Dengan menggunakan dua macam pendekatan penelitian dalam

mengumpulkan data yaitu library research (penelitian kepustakaan) dan

field research (penelitian lapangan)

a. Library research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang

menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan

menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan yang berkaitan

dengan skripsi ini, dan adapun bahan yang digunakan ialah buku-buku,

undang-undang, peraturan, jurnal atau artikel maupun sumber lain

seperti internet.

b. Field research (penelitian lapangan), yaitu penelitian lapangan yang

langsung dilakukan oleh peneliti dan langsung turun ke lapangan yang

dilakukan terhadap objek pembahasan yang menitikberatkan pada

kegiatan lapangan, yaitu dengan mengumpulkan data dari lapangan.


30
Ajat Rukajat, 2018, Pendekatan Penelitian kualitatif, Deepublish, Yogyakarta, h. 9.
31
Fakultas Hukum, 2015, Buku Pedoman Penyusunan Skripsi, Universitas Ngurah Rai,
Denpasar, h.18.

24
Dalam penelitian ini data diperoleh di Bendesa Adat Kerobokan dan

jajarannya serta Polsek Denpasar Barat sebagai polsek yang

mengayomi Desa Adat Kerobokan.

5.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian terdiri dari penelitian yang bersifat eksploratif,

penelitian yang bersifat deskriptif dan penelitian yang bersifat

eksplanatoris. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian yang sifatnya

deskriptif. Penelitian deskriptif secara umum bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala,

atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tindakan hubungan

antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian yang

bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya yaitu terkait dengan pelaksanaan perarem Desa Adat

Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba32.

5.3 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder.

1. Data Primer

32
Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, 2015, Dasar Metode Penelitian, Literasi Media
Publishing, Yogyakarta, h. 77.

25
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama

dilapangan yaitu baik dari responden maupun informan.33 Penelitian

ini data diperoleh melalui Bendesa Adat Kerobokan dan Polsek

Denpasar Barat terkait dengan pelaksanaan perarem Desa Adat

Kerobokan Badung Terhadap Penyalahgunaan Narkoba.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian

kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari

sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.34 Bahan hukum

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.35 Bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam

penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

dalam penelitian ini terdiri dari perundang-undangan yaitu : Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kemudian

dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada

Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tidak tiga ketentuan

utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan

dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu

33
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 141. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III)
34
Ibid. h. 142
35
Ibid. h. 143

26
Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat

(2) UUD 1945.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan hukum36. Dalam

penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks

karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum

dan perundang-undangan klasik para sarjana yang mempunyai

kualifikasi tinggi.

5.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Teknik Pengumpulan Data Lapangan

“Teknik pengumpulan data lapangan adalah teknik pengumpulan

data yang dilakukan lewat wawancara kepada informan. Peneliti

diposisikan sebagai pengamat atau orang luar.”37 Dalam penelitian

ini dengan melakukan wawancara dengan pihak Desa Adat

Kerobokan

2) Teknik Pengumpulan Data Kepustakaan

“Teknik pengumpulan data kepustakaan adalah teknik pengumpulan

data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta

36
Ibid, h.144.
37
Rulan Ahmadi, 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Negeri
Malang, Malang, h. 28.

27
berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin

dipecahkan.”38

5.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Objektivitas

Memastikan bahwa fenomena yang ada dalam fieldnote, dan

transkripsi wawancara, benar-benar berasal dari lapangan dan

informasi dari informan.

b. Keabsahan Data

Keabsahan data diartikan sebagai, setiap keadaan harus memenuhi

beberapa aspek yang dituju;

1) Menampilkan hal yang benar.

2) Mempersiapkan dasar-dasar data agar dapat diterapkan.

3) Mencari kenetralan dalam temuan agar dapat menyimpulkan hal

yang konkrit dan terarah.

Teknik analisis data pembahasan ini menggunakan metode

deskriptif analisis, yaitu proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke

dalam kategori, menysusun ke dalam pola dan membuat kesimpulan

sehingga mudah dipahami sendiri maupun orang lain. Dengan

menggunakan metode ini, penulis akan memberikan gambaran

mengenai pelaksanaan perarem Desa Adat Kerobokan Badung

Terhadap Penyalahgunaan Narkoba. Keseluruhan data yang


38
Moh. Nazir, 2008, Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. h. 20

28
terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah

dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis,

klasifikasikan, dan dihubungkan antara satu data dengan data lainnya.

Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan

disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.

29
BAB II
TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT
KEROBOKAN BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN
NARKOBA

2.1 Pengertian Desa Adat

Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “deca”,

seperti dusun, desi, negara, negeri, negari, nagaro, negory (nagarom), yang berarti

tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur, yang merujuk pada satu

kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas. Desa

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

1) Sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampong,

dusun;

2) Udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota;

(3) tempat, tanah, daerah.39

Istilah desa dalam bahasa Bali berasal dari bahasa Sansekerta yang lazim

dipergunakan dikalangan masyarakat umat Hindu di Bali sejak dulu. Akan tetapi

kapan kapan sesungguhnya mulai didirikannya desa-desa di Bali sebagai suatu

persekutuan hukum masyarakat, belumlah dapat diketahui secara pasti. Dengan

demikian maka sulit untuk menemukan data-data yang konkrit mengenai sejarah

39
Didik Sukrino, 2012, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang,
h. 59
31

desa, kecuali sekedar riwayatnya yang terdapat pada legenda-legenda dan cerita

rakyat di Bali yang diyakini pula kebenarannya.40

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun


2014 Tentang Desa, yang menentukan bahwa: Desa adalah desa dan desa adat
atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa mayarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sistem pemerintahan dalam ketatanegaraan Indonesia mengakui eksistensi
desa adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-
hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”
Dengan memperhatikan bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta penjelasannya, maka dilihat

bahwa otonomi dari persekutuan hukum yang berupa desa adat di Bali, tetap

dihormati sebagai suatu persekutuan yang asli. Pengertian Desa yang dimaksud

dalam penelitian ini tidak sama dengan pengertian Desa menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebab yang dimaksud

Desadalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah adalah

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut


desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”

40
I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat Dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali
Post, Denpasar, h. 6.
32

Sedangkan Desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Desa Adat

yang mana di Bali disebut sebagai Desa adat sesuai dengan Peraturan Daerah

Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa adat, yang menyebutkan bahwa:

“Desa adat adalah Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi


Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga,
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.”
Bali merupakan daerah yang memiliki aneka ragam adat, budaya serta

kebiasaan di setiap wilayahnya atau desanya termasuk peraturan di setiap desa

khususnya Desa adat atau desa adat yang cenderung berbeda dibandingkan desa

lainnya, hal ini juga membentuk sebuah sistem peraturan di sebuah desa berbeda

bahkan jika di lihat peraturan tersebut bisa di bagi menjadi 2 (dua) tipe peraturan,

yaitu peraturan di desa dinas dan Desa adat atau desa adat yang secara tugas

kepemerintahan sangat berbeda fungsi, tugas dan tanggung jawabnya41

Adat serta kebiasaan masyarakat Hindu di Bali dipelihara, dibina, dan

dipimpin oleh suatu lembaga yang dinamakan Desa Adat yakni suatu desa yang

berbeda status, kedudukan, dan fungsinya dengan desa dinas (desa administratif

pemerintahan), baik ditinjau dari segi pemerintahan maupun dari sudut pandang

masyarakat. Dengan penjelasan bahwa Desa Adat ialah desa yang dilihat

fungsinya di bidang adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan

dari lembaga adat), sedangkan Desa Dinas ialah desa yang dilihat fungsinya di

41
Ketut Arya Sunu, I. G., Sanjaya, D. B., & Sugiartha, W. 2015. Harmonisasi, Integrasi
Desa adat dengan Desa Dinas yang Multietnik dan Multiagama Menghadapi Pergeseran,
Pelestarian, dan Konflik di Bali. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 3(2), 446–458.
33

bidang pemerintahan merupakan lembaga pemerintahan yang paling terbawah

dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat yang

dalam definisinya adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang

mempunyai satu kesatuan tradisi serta tata krama pergaulan hidup masyarakat

umat hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan

desa yang mempunyai wilayah tertentu serta harta kekayaan sendiri dan berhak

mengurus rumah tangganya sendiri.

Secara umum dapat dibedakan dengan desa dinas yang definisinya bahwa

desa dinas mengatur hukum sesuai dengan hukum pemerintahan nasional yang

secara hirarki kepemerintahan merupakan struktur pemerintah pusat terbawah

yang bertugas di suatu wilayah kelurahan atau desa dinas, sedangkan desa adat

atau Desa adat mengatur hukum sesuai dengan hukum di Desa adat (hanya khusus

di wilayah desa tersebut). Peraturan-peraturan desa adat di Bali begitu beragam

serta berbeda antara desa satu dengan desa lainnya, sehingga banyak terdapat

peraturan adat yang ada di Bali.42 Peraturan-peraturan tersebut menyangkut aturan

tentang kelahiran, kehidupan, sampai kematian serta juga tentang hubungan

manusia dengan tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan alam atau

lingkungan (Palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia itu sendiri

(Pawongan).

42
Muin, F., & Mucharom, R. S. 2016. Desa dan Hukum Adat: Persepektif Normativitas
dan Sosiologis Keindonesiaan. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call for Paper
UNISBANK KE-2, 1(6), 461–468.
34

Di Bali secara formal Desa Adat pertama kali diatur berdasarkan Peraturan

Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan

Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi

Daerah Tingkat I Bali, pada Pasal 1 huruf e menyatakan pengertian desa adat

adalah:

“Desa adat sebagai desa dresta yaitu kesatuan masyarakat hukum adat di
Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata karma pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.”
Desa adat dapat digolongkan ke dalam masyarakat hukum adat yang

strukturnya bersifat territorial. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat

territorial adalah masyarakat hukum adat yangpara anggotanya merasa bersatu

dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum

adat yang bersangkutan, sehgingga terasa ada ikatan antara mereka masing-

masing dengan tanah tempat tinggalnya.Landasan yang mempersatukan para

anggota masyarakat hukum adat yang bersifat territorial adalah ikatan antara

orang dengan tanah yang didiami.43

Menurut I Ketut Sudantra Desa adat di Bali merupakan masyarakat hukum


adat dengan ciri khusus berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai
kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, yang dikenal dengan filosofi Tri Hita
Karana.44 Secara literlijk berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagiaan (hita)
yaitu Ida Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta)
dan manusa (manusia). Tri Hita Karana merupakan faktor signifikan bagi
terwujudnya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam dan manusia dengan Tuhannya.45

43
Bushar Muhammad, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita. Jakarta, h. 29
44
I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi
Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Denpasar, h. 53
35

Pengertian desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama

lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah desa

dipakai karena untuk kesatuan masyarakat yang terendah istilah desa telah

menjadi istilah umum. Dalam perspektif sosiologis, desa adalah komunitas yang

menempati wilayah tertentu imana warganya saling mengenal satu sama lain

dengan baik, bercorak homogeny, dan banyak bergantung pada alam.46

Dalam praktisnya, ada begitu banyak pengertian mengenai desa, namun,

secara garis besar, jika ditarik satu kesimpulan mengenai pengertian-pengertian

tersebut, maka desa akan meliputi kesatuan-kesatuan pemerintahan, kesatuan

ekonomi, kesatuan kulturil dan tradisionil yang kokoh dan kuat, dan disana-sini

sudah atau sedang mengalami perubahan maju ke arah perkembangan sebagai

akibat pengaruh perkembangan teknologi.47

Wirta Griadhi mengemukakan bahwa desa adat, merupakan “suatu


persekutuan hukum yang keberadaannya dilandasi oleh adanya kehendak
bersamadari orang-orang yang karena tuntutan kodratnya harus hidup bersama-
sama dalam suatu wadah yang dapat mempermudah dalam mewujudkan
kepentingannya, dengan demikian lahirnya desa adat dapat dikatakan karena
tuntutan kodratidari manusia”.48
45
Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik: Studi untuk Memahami Kompleksitas dan
Pengaturan Pengelolaan Irigasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 12.
46
Titik Triwulan dan Gunadi Widodo, 2011, HukumTata Usaha Negara dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 250.
47
Saparin, 1977, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 11.
48
Ketut Wirta Griadhi, 1981, Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan, dalam
Kertha Patrika No. 54 Tahun XVII Maret 1981, h. 58.
36

Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, ini

artinya desa adat mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah

tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan

yang lebih tinggi, sehingga isi dari otonomi desa adat seakan akan tidak terbatas. 49

Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Desa terdri atas Desa dan Desa

Adat. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabuaten/Kota dapat melakukan penataan Desa, penataan tersebut bertujuan:

a. Mewujudkan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa


b. Mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
c. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik
d. Meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa
e. Meningkatakan daya saing desa.

Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi

tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum

adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup

secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum

adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama

(kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari

suatu masyarakat hukum adat.50 Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan

kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat

yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi

“hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan

dalam masyarakat bersangkutan.51


49
Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar. h. 18.
50
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h. 2.
51
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar
Maju, Bandung, h. 1.
37

Disamping ikatan hukum adat, desa adat juga diikat oleh tradisi dan tata

krama. Tradisi adalah kebiasaan luhur dari leluhur yang diwariskan secara turun

temurun. Sedangkan tata karma adalah etika pergaulan, yang juga merupakan

norma dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya ditegaskan bahwa tradisi dan tata

karma itu berasal dari budaya atau ajaran agama hindu. 52 Desa adat mempunyai

hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, ini artinya desa adat mempunyai

otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum

adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga isi

dari otonomi desa adat seakan akan tidak terbatas.

Ada tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial

yaitu, masyarakat hukum desa, masyarakat hukum wilayah, dan masyarakat

hukum serikat desa. Dengan mengacu pada konsep di atas maka dapatlah

dikatakan bahwa keberadaan desa adat sebagai masyarakat hukum dapat dilihat

dari unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya kelompok orang sebagai satu kesatuan


2. Adanya tatanan organisasi yang bersifat tetap
3. Adanya kekuasaan sendiri sebagai kelompok otonom
4. Mempunyai harta kekayaan
5. Memiliki aturan-aturan hukum yang bersumber pada nilai-nilai
budayanya sendiri.53

Pengertian Desa adat (adat) dikemukakan oleh ahli hukum adat yaitu
Wayan P. Windia, menurutnya Desa adat (adat) adalah merupakan organisasi
masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal
bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan
pola interaksi sosial masyarakat Bali.54

52
Made Suasthawa Dharmayuda, Op.cit, h. 18.
53
Ibid. h. 30
54
Wayan P Windia, 2010, Bali Mawacara Menuju Bali Shanti, Udayana University Press,
Denpasar, h. 7.
38

Desa Adat sesungguhnya sejak awal telah ditata untuk menjadi desa

otonom (sima swatantra). Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan sejarah dimana

desa adat telah mengurus sendiri berbagai kepentingannya berlandaskan konsep-

konsep dan nilai -nilai Hindu.55 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat

dikemukakan bahwa Desa Adat merupakan suatu kumpulan atau persekutuan

masyarakat yang terorganisir, yang kemudian membentuk suatukumpulan

masyarakat yang menempati suatu wilayah tertentu secara tetap, serta memiliki

pemimpin atau penguasa dalam komunitasnya, mempunyai kekayaan, kesatuan

hukum dan memiliki nilai-nilai religi yang diyakini oleh masyarakat adat tersebut.

2.2 Pengertian Narkoba

Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, bahan adiktif

lainnya.56 Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris

narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal

dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak

merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu

yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.57 Dan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia mengistilahkan narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat

55
Suathawa Dharmayudha, 2004, Sekitar Hubungan Antara Desa adat Dengan Desa
Dinas, Universitas Udayana, Denpasar, h. 30.
56
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008,
Balai Pustaka, Jakarta. h. 66.
57
B.A Sitanggang, 1999, Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Karya
Utama, Jakarta. h. 13.
39

menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk

atau merangsang.58

Narkotika secara bahasa berasal dari bahasa inggris narcotics yang artinya

obat bius. Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman yaitu papaper

Somniferum, Erytheoxyion dan cannabis sativa baik murni maupun bentuk

campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan syaraf yang dapat membentuk

kita tidak merasakan apa-apa bahkan bila bagian tubuh disakiti sekalipun.59

Narkoba adalah obat untuk menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit,

dan menidurkan (dapat memabukkan, sehingga dilarang dijual untuk umum).

Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna, dan pengaruh terhadap

tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam dan bentuknya, narkoba

mempunyai banyak persamaan, diantaranya adalah sifat adiksi (ketagihan), daya

toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga

sifat inilah yang menyebabkan pemakai narkoba tidak dapat lepas dari

“cengkraman” nya.60

Narkoba terdiri dari dua zat, yakni narkotika dan psikotropika. Dan secara

khusus dua zat ini memiliki pengertian, jenis (golongan), serta diatur dengan

undang- undang yang berbeda. Narkotika diatur dengan Undang-Undang No.35

Tahun 2009, sedangkan psikotropika diatur dengan Undang-Undang No.5 Tahun

1997. Dua undang-undang ini merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk

meratifikasi Konferensi PBB Gelap Narkotika Psikotropika Tahun 1988.

58
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit. h. 65.
59
Andi Hamzah, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta. h.
11.
60
Subagyo Partodiharjo, 2010, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaanya,
Erlangga, Jakarta. h. 16.
40

Narkotika, sebagaimana bunyi pasal 1 UU No.22 Tahun 1997 di definisikan

sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik buatan

atau semi buatan yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

mengurangi sampai menimbulkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.61

Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum

seperti polisi (termasuk didalamnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim dan

petugas Pemasyarakatan. Selain narkoba, sebutan lain yang menunjuk pada ketiga

zat tersebut adalah NAPZA yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Istilah

NAPZA biasanya lebih banyak dipakai oleh para praktisi kesehatan dan

rehabilitasi. Akan tetapi pada intinya pemaknaan dari kedua istilah tersebut tetap

merujuk pada tiga jenis zat yang sama.

Secara etimologi narkoba berasala dari bahasa inggiris yaitu narcotics

ynag berarti obat bius, yang artinya sama dengan narcosis dalam bahasa Yunani

yang berarti membiuskan narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak

merasakan apa-apa.62 Sedangkan dalam kamus inggiris Indonesia narkoba berarti

bahan-bahan pembius, obat bius atau penenang.63 Secara terminologis narkoba

adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghiangkan rasa sakit,

menimbulkan rasa ngantuk atau merangsang.64

Wiliam Benton sebagaiaman dikutip oleh Mardani menjelaskan dalam


bukunya narokoba adalah istilah umum untuk semua jenis zat yang melemahkan
atau membius atau megurangi rasa sakit.65 Soedjono dalam patologi sosial
merumuskan defenisi narkotika sebagai bahan-bahan yang terutama mempunyai
61
BNN, Advokad Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas dan Rutan,
diakses dari situs resmi BNN, 17 Agustus 2023.
62
Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghali Indonesia, Jakarta. h. 17.
63
Hasan Sadly, 2000, Kamus Inggiris Indonesia, Gramedia, Jakarta. h. 390.
64
Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. h.
609.
65
William Banton, 1970, Ensiklopedia Bronitica, USA 1970, Volume 16, h. 23.
41

efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran. 66 Sementara Smith Kline
dan French Clinical memberi defenisi narkotika sebagai zat-zat yang dapaat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut
bekerja mempengaruhi susunan pusat saraf. Dalam defenisi narkotika ini sudah
termasuk jenis candu seperti morpin, cocain, dan heroin atau zat-zat yang dibuat
dari candu seperti (meripidin dan methodan).67

Sedangkan Korp Reserce Narkoba mengatakan bahwa narkotika adalah zat


yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, susunan pengamatan atau
penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan saraf. 68 Selanjutnya dalam
UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilngnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan.

Hari Sasangka juga menjelaskan bahwa defenisi lain narkotika adalah

candu, ganja, cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda

tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga

narkotika sintesis yang menghasilkan zat- zat, obat-obat yang tergolong dalam

Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.69

Selanjutnya dalam UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1

menyebutkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilngnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang

dibedakan dalam golongan-golongan.70 Lebih lanjut dalam Undang-Undang RI

66
Soedjono, 1997, Ptologi Sosial, Alumni, Bandung, h. 78.
67
Smith Kline dan French Clinical, 1969, A Manual For Law Enforcemen Officer Drugs
Abuse, Pensilvania, Philladelphia, h. 91.
68
Korp Reserce Polri Direktorat Reserce Narkoba, 2000, Peranan Generasi Muda Dalam
Pemberantasan Narkoba, Polri, Jakarta, h. 2.
69
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju,
Jakarta. h. 33-34.
70
Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba: Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Pidan
Nasional, Rajawali Press, Jakarta. h. 78.
42

No. 35 Tahun 2009 Tentang narkotika dijelaskan ada tiga jenis golongan

narkotika, yaitu :

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika hanya dapat digunakan untuk


tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Daun Koka, Opium, Ganja,
Jicing, Katinon, MDMDA/Ecstasy, dan lebih dari 65 macam jenis
lainnya.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk
pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif
ringan, tetapi bermanfaat dan berkhasiat untuk pengobatan dan
penelitian. Golongan 3 narkotika ini banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein,
Buprenorfin, Etilmorfina, Kodeina, Nikokodina, Polkodina, Propiram,
dan ada 13 (tiga belas) macam termasuk beberapa campuran lainnya.
Untuk informasi lebih mendalam tentang jenis narkotika dalam ketiga
golongan tersebut dapat dilihat di lampiran undang-undang narkotika
nomor 35 tahun 2009.

Menurut istilah kedokteran, Narkotika adalah obat yang dapat

menghilangkan terutama rasa sakit yang nyeri yang berasal dari viresal atau alat-

alat rongga dada dan rongga perut juga dapat menimbulkan efek stuporatau

bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau

kecanduan. Pengertian narkotika secara farmakologis medis, menurut

Ensiklopedia VI adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri

yang berasal dari daerah VISERAL dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong, masih sadar tapi harus digertak) serta adiksi.

Narkoba singkatan dari Narkotika dan obat-obat terlarang. Defenisi diatas

dapat disimpulkan bahwa Narkotika adalah sejenis zat atau obat yang jika
43

digunakan secara berlebihan dapat mempengaruhi atau bahkan dapat

menghilangkan kesadaran karena dapat mempengaruhi atau bahkan dapat

menghilangkan kesadaran karena dapat mempengaruhi fungsi syaraf sentral dan

dapat menimbulkan ketergantungan serta mengganggu kesehatan.71

Dari beberapa pengertina di atas dapat penulis simpulkan bahwa narotika

adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbuka

rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stufor serta dapat

menimbulkan adiksi atau kecanduan dan ditetapkan oleh menteri kesehatan

sebagai narkotika. Jenis Narkoba berdasarkan bahannya dapat dibedakan menjadi

3 bagian, narkoba alami, semi sintesis dan narkoba sintesis.

a. Narkoba alamai Narkoba alami merupakan jenis narkoba yang masih

alami dan belum mengalami pengolahan. Berikut ini penulis uraikan

contoh narkoba alami.

a) Ganja

Hari Sasangka menjelaskan bahwa ganja berasal dari tanaman cannabis

sativa, cannabis indica dan cannabis Americana. Tanaman tersebut termasuk

keluarga Urticaceae atau Moraceae. Tanaman Canabis merupakan tanaman yang

mudah tumbuh tanpa perawatan khusus. Tanaman ini tumbuh pada daerah

beriklim sedang dan tumbuh subur di daerah tropis.72

Suharno menjelaskan bahwa Ganja (cannabis sativa) merupakan tumbuhan


penghasil serat. Lebih dikenal karena bijinya mengandung tetrahidrokanabinol

71
Masruhi, 2000, Islam Melawan Narkoba, Madani Pustaka Hikmah, Yogyakarta. h. 1.
72
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pdana: Untuk
Mahasiswa, Praktisi dan Penyuluh Masalah Narkoba CV. Mandar Maju, Jakarta. h. 48.
44

(THC), zat narkotika yang membuat pemakainya mengalami eufhoria (rasa


senang yang berkepanjangan tanpa sebab).73

Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai dua meter. Berdaun

menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda. Ganja hanya

tumbuh di pegunungan tropis dengan elevasi di atas 1.000 meter di atas

permukaan air laut. Lebih jelas Mardani menjelaskan bahwa ganja adalah dammar

yang diambil dari semua tanaman genus cannabis termasuk biji dan buahnya

termasuk hasil pengolahan.74

Ada tiga jenis ganja, yaitu cannabis sativa, cannabis indica, dan cannabis

ruderalis. Ketiga jenis ganja ini memiliki kandungan THC berbeda-beda. Jenis

cannabis indica mengandung THC paling banyak, disusul cannabis sativa, dan

cannabis ruderalis. Karena kandungan THC inilah, maka setiap orang

menyalahgunakan ganja terkena efek psikoaktif yang membahayakan.Pengguna

ganja dalam dosis rendah akan mengalami hilaritas (berbuat gaduh), mengalami

oquacous euphoria (terbahak-bahak tanpa henti), mengalami perubahan persepsi

ruang dan waktu. Kemudian, berkurangnya kemampuan koordinasi,

pertimbangan, dan daya ingat, mengalami peningkatan kepekaan visual dan

pendengaran (tapi lebih kearah halusinasi), mengalami radang pada saluran

pernafasan dan paru-paru. Pada penyalahgunaan ganja dengan dosis tinggi,

berdampak pada ilusi delusi (terlalu menekankan pada keyakinan yang tidak

nyata), depresi, kebingungan, mengalami alienasi, dan halusinasi disertai gejala

psikotik seperti rasa ketakutan.

73
Soekarno, 1971, Perang Total Melawan Narkotika, Yayasan Generasi Muda, Surabaya.
h, 65.
74
Mardani, op.cit, h. 84.
45

Bahaya penyalahgunaan ganja secara teratur dan berkepanjangan akan

berakibat fatal berupa radang paru-paru, iritasi dan pembengkakan saluran nafas.

Lalu kerusakan aliran darah koroner dan berisiko menimbulkan serangan nyeri

dada, terkena kanker, menurunya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang

penyakit, serta menurunnya kadar hormone pertumbuhan seperti tiroksin.

Gangguan psikis berakibat menurunnya kemampuan berpikir, membaca,

berbicara, berhitung dan bergaul. Kecenderungan menghindari kesulitan dan

menganggap ringan masalah, tidak memikirkan masa depan dan tidak memilki

semangat juang. Menghentikan seorang pecandu ganja tidak mudah. Merawat dan

memulihkan pecandu ganja butuh perawatan terapi dan rehabilitasi secara terpadu

dan berkelanjutan.

b) Opium

Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di

pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter.

Daunnya jarang dengan tepi bergerigi. Bunga opium bertangkai panjang dan

keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga dengan

kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga

opium sangat indah hingga beberapa spesies Papaver lazim dijadikan tanaman

hias. Buah opium berupa bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.

Andi Hamzah menyebutkan bahwa opium adalah getah berwarna putih


seperti susu yang keluar dari kotak biji tanaman papaver samni verrum yang
belum masak.75 Dalam bahasa indonesia bermakna sari buah bunga candu.
Menurut Oxford English Dictionary, opium adalah suatu warna coklat yang
kemerah-merahan, memberi wewangian obat yang sangat kuat menyebabkan
kecanduan yang disiapkan dari getah kental yang dikeringkan dari kapsul bunga
75
Andi Hamzah dan R.M Surahman, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar
Grafika, Jakarta. h. 16.
46

candu opium, memiliki nama ilmiah Papaver Somniverum, digunakan secara


terlarang sebagai sebuah narkotika, dan adakalanya berhubungan dengan obat
medik sebagai obat penenang dan sebagai obat penghilang rasa sakit.76

Bunga candu opium atau papaver somniverum, adalah hanya satu dari

lebih 100 spesies tumbuhan bunga yang tumbuh di alam liar dan yang

dibudidayakan diseluruh dunia. Papaver somniverum adalah satu dari banyak

bunga yang berbeda, itu merupakan satu dari hanya dua spesies yang

menghasilkan morfin (morphine) / bahan aktif didalam opium, dan satu-satunya

secara aktif ditanam untuk memproduksi obat.

2.3 Pengertian Pararem

Pasal 1 angka 30 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019

Tentang Desa Adat di Bali dan Pasal 1 angka 14 Peraturan Gubernur Bali Nomor

4 Tahun 2020 menentukan bahwa Pararem merupakan aturan atau keputusan

Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan Awig-Awig atau mengatur hal-hal baru

dan/atau menyelesaikan perkara/wicara di Desa Adat. Pasal 18 ayat (2) Peraturan

Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 menentukan jenis Pararem sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

1. Pararem Penyacah, yaitu Pararem yang dibuat untuk melaksanakan

Awig-Awig;

2. Pararem Pangele, yaitu Pararem tersendiri yang dibuat untuk

mengatur hal yang belum diatur dalam Awig-Awig; dan

76
Dadang Hawari, 2012, Konsep Agama menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol dan
Zat Adiktif), Dana Bhakti Prima, Jakarta. h. 168.
47

3. Pararem Penepas Wicara adalah Pararem yang merupakan putusan

penyelesaian perkara adat/wicara.

Pasal 11 Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 ayat (1)

menentukan: Pararem Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 harus

disusun berdasarkan Pedoman Penyuratan Pararem Desa Adat. Ayat (2)

menentukan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh MDA

Provinsi difasilitasi oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat.

Pedoman Penyuratan Pararem ini secara garis besar bertujuan untuk

memberikan tuntunan bagi Desa Adat dalam menyusun Pararem baik dari segi

teknis maupun dari segi substansi, namun substansi Pararem secara detail

diserahkan kepada Desa Adat masing-masing sesuai dengan materi yang diatur

dan disepakati dalam Paruman Desa Adat.

Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali tidak

menentukan secara spesifik materi muatan (isi) Pararem. Tetapi dari ketentuan

Pasal 18 ayat (2) Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 dapat diketahui bahwa

materi muatan (isi) Pararem tergantung pada jenis-jenis Pararem, yaitu sebagai

berikut:

a. Pararem Panyacah, berisikan pengaturan lebih lanjut aspek-aspek


tertentu dalam Awig-Awig Desa Adat yang memerlukan pengaturan
lebih lanjut dalam Pararem;
b. Pararem Pangele, berisikan pengaturan aspek-aspek tertentu dalam
kehidupan Desa Adat yang belum diatur dalam Awig-Awig Desa
Adat, dapat berupa: (a) sima-dresta yang sudah berlaku di Desa Adat
tetapi belum tercakup dalam AwigAwig, (b) pengaturan aspek-aspek
tertentu dalam kehidupan Desa Adat yang belum diatur dalam Awig-
Awig tetapi perlu diatur untuk menghadapi permasalahan Desa Adat
yang sedang terjadi; dan/atau (c) pengaturan aspekaspek tertentu
dalam kehidupan Desa Adat yang belum diatur dalam Awig-Awig
48

tetapi perlu diatur untuk mengantisipasi tantangan atau permasalahan


yang mungkin dihadapi di masa depan.
c. Pararem Panepas Wicara, berisikan keputusan Desa Adat (Kertha
Desa) dalam menyelesaikan perkara adat/wicara tertentu yang terjadi
di Desa Adat, baik yang berhasil diselesaikan oleh Desa Adat secara
penengahan (mediasi) maupun yang diselesaikan secara pasukertan
(peradilan) yang melahirkan (panepas) keputusan.

2.4 Pengertian Hukum Adat

Dalam kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat secara umum istilah

hukum adat sangat jarang kita jumpai, dimasyarakat umum biasanya kita jumpai

hanya dengan menyebut istilah adat yang berarti sebuah kebiasaan dalam

masyarakat tertentu. Secara etimologi (bahasa) kata adat berasal dari bahasa arab

yakni “Adah” Yang berarti sebuah kebiasaan yaitu sebuah tingkah laku

masyarakat yang sering terjadi sedangkan kata hukum secara etimologi berasal

dari bahasa arab kata ‟Huk‟ yang artinya ketentuan atau suruhan, jadi bila

digabung antara hukum dan adat yang berarti suatu perilaku masyarakat yang

selalu terjadi secara terus menerus dan lebih tepatnya lagi bisa dinamakan sebuah

hukum kebiasaan. Namun sejauh ini perundang-undangan di Indonesia

membedakan antara istilah “adat” dan “kebiasaan” , sehingga “hukum adat” tidak

sama dengan “hukum kebiasaan”. “Kebiasaan” yang diakui di dalam perundangan

merupakan “Hukum Kebiasaan”, sedangkan “Hukum Adat” adalah hukum

kebiasaan di luar perundangan.

Ada dua pendapat mengenai asal kata adat. Disatu pihak ada yang

mengatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.

Sedangakan menurut Amura dalam Hilman menjelaskan istilah adatini berasal

dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh
49

orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal

dari dua kata, a dan dato.a berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang

bersifatkebendaan”.77 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adat adalah aturan

(perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan)

yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas

nilainilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya

berkaitan menjadi suatu sistem”.78

Istilah Hukum adat merupakan terjemahan dari istiah Belanda “Adat-

Recht”, yang pertama kali dikemukakan oleh ; Snouck Hurgronje. 79 Hukum Adat

adalah peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan

dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-

peraturan ini tidak tertulis serta tumbuh dan berkembang, maka hukum adat

memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula

masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan

tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Ada beberapa pendapat beberapa

tokoh mengenai arti hukum adat diantaranya ;

a) Menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai
hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks
peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian
lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk hukum adat dan hukum kebiasaan
memiliki perbedaan.

77
Hilman Hadikusuma, 2002, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, h. 14.
78
Depdikbud, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta, h. 56.
79
Prof. Iman Sudiyat, 2010, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 1.
50

b) Menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum


kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (das sein
das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan
yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-
perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama
menuju kepada Rechsvaardige Ordening Der Semenleving.
c) Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori
keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adaat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para
pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta
didalam pelaksanaannya berlaku secara serta-merta dan dipatuhi dengan
sepenuh hati oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa
pesengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa
Hukum Adat juga dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.80
d) Syekh Jalaludin menjelaskan bahwa Hukum Adat pertama-tama
merupakan persembunyian tali antara dulu dengan kemudian, pada
pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan
berulang-ulang. Hukum Adat tidak terletak pada peristiwa tersebut
melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut,
sedangkan yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang
berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu
peristiwa dengan peristiwa lain.
Tahun 1893 Snouck Hurgronje dalam A. Soehardisudah memperkenalkan
istilah hukum adat sebagai nama untuk menyatakan hukum rakyat Indonesia yang
tidak dikodifikasi. Menurut Snouck Hurgronjehukum adat merupakan suatu
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang berbentuk peraturan yang tidak
tertulis.81 Menurut Hazairin dalam Danito Darwis menjelaskan bahwa hukum adat
dalam kebulatannya mengenai semua hal ikhwal yang bersangkut paut dengan
masalah hukum yang dimaksud dengan masyarakat hukum adalah setiap
kelompok manusia dari kalangan bangsa kita yang tunduk kepada kesatuan
hukum yang berlaku.82

80
Imam Sudiyat, 1989, Azas-Azas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta. h. 7.
81
A. Soehardi, 1945, Pengantar Hukum Adat Indonesia, S-Gravenhage, Bandung. h. 45.
82
Danito Darwis, 1950, Landasan Hukum Adat Mkinangkabau, Majelis Pembina Adat
Alam Minangkabau (MPAAM), Jakarta. h. 53.
BAB III

PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT KEROBOKAN


BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA

3.1 Pelaksanaan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkoba Di Desa Adat Kerobokan

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam UU

Nomor 22 tahun 1999 yang telah diubah oleh UU Nomor 32 tahun 2004

memberikan keleluasan dan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan

urusan rumah tangganya sendiri. Dengan semangat otonomi daerah mendorong

masyarakat untuk mengatur daerahnya sendiri. Disamping itu, dalam upaya

mencapai tujuan dan cita-cita negara dan terselenggaranya kepemerintahan yang

baik, peran serta masyarakat merupakan prasyarat mutlak. Dimana masyarakat

merupakan komponen utama dalam penyelenggaraan otonomi, baik masyarakat

kota ataupun masyarakat adat di pedesaaan. Masyarakat kota mempunyai akses

yang mudah dengan penyelenggara pemerintahan sehingga memungkinkan

partisipasi yang lebih luas dibanding masyarakat pedesaan.

Desa Adat atau disebut juga desa Pakraman menurut Pasal 1 angka 8
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 1 Tahun 2019 adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak
tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata karma pergaulan hidup masyarakat
secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan
desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.

Berdasarkan sistem kesatuan hidup daerah Bali, dalam menjalankan

fungsinya desa pakraman mempunyai kedudukan yang bersifat otonom, dalam arti
52

setiap desa pakraman berdiri sendiri menurut aturan (awig-awig) desa pakraman

yang dirumuskan dan dijadikan pedoman bertindak oleh setiap warga desa. 83

Fungsi desa pakraman yang utama adalah memelihara, menegakan dan memupuk

adat istiadat yang berlaku di desa pakraman dan diterima secara turun-temurun

dari para leluhurnya. Namun sesuai dengan perkembangan dan kemajuan

masyarakat, fungsi desa bisa ditingkatkan meliputi seluruh aspek kehidupan

masyarakat lainnya, yaitu sebagai kontrol social dimana suatu proses

mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan

masyarakat di daerah tersebut.

Sehingga Desa Pakraman menjadi sebuah wadah dari adat istiadat,

sementara adat istiadat sebagai isi dari Desa Pakraman. Secara eksistensi dengan

ditetapkannya Peraturan Daerah Desa Adat di Bali Nomor 4 Tahun 2019 yang

menggantikan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 akan

merubah banyak wajah desa adat yang tumbuh berkembang selama berabad-abad

serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur

rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap

kelangsungan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Maksud

dari otonomi disini adalah Desa Adat di Bali mempunyai hak dan kewajiban

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya sendiri atau merupakan kekuataan

untuk mengatur warganya sehingga segala kepentingannya dapat dipertahankan.

83
Astiti Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 89.
53

Berdasarkan pada Pasal 104 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika yang menyatakan, masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Selanjutnya pada Pasal 105 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika yang menyatakan, masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab

dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika serta dalam Pasal 21 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun

2019 tentang Desa Adat di Bali dimana Desa Adat memiliki tugas mewujudkan

kasukretan Desa Adat yang meliputi ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan,

dan kedamaian sakala dan niskala. Sedangkan Wewenang Desa Adat diatur dalam

Pasal 23 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat

di Bali. Berdasarkan hal tersebut Desa Pakraman memiliki kesempatan yang

seluas-luasnya dalam membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

Narkoba.

Awig-awig sendiri merupakan produk hukum dari suatu organisasi

tradisonal di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh

seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota

organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-

patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan

rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang

bersangkutan. Realitas social bukanlah sesuatu yang statis. Semua masyarakat di

dunia ini selalu berubah, sehingga doktrin yang dianut orang sekarang ini adalah;
54

tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, yang kekal justru adalah perubahan itu

sendiri.

Mengacu pada konteks masyarakat yang dinamis ini, maka penting dilihat

fungsi awig-awig baik sebagai alat control social (hukum sebagai sarana control

social) maupun sarana pembaharuan masyarakat (hukum sebagai sarana

perubahan social). Fungsi awig-awig sebagai alat control social berpijak dari

asumsi bahwa awig-awig mempunyai kemampuan mengontrol perilaku karma

desa dan menciptakan suatu kesesuaian dalam perilaku-perilaku mereka, preventif

maupun represif. Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dinayatakan bahwa

tidak ada awig-awig khusus yang mengatur tentang penyalahgunaan Narkoba,

seperti halnya jika tidak menyamabraya maka dikenai dedosan atau kesepekan.

Dalam masyarakat sering terjadi kasus-kasus (masalah) hukum baik yang berupa

pelanggaran hukum maupun sengketa. Termasuk dalam kasus penyalahgunaan

Narkoba, masyarakat adat Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, ada sebagian

warga masyarakat memilih cara-cara penyelesaian masalah melalui lembaga

peradilan, sebagian lainnya memilih cara-cara penyelesaian di luar pengadilan. 84

Cara-cara penyelesaian masalah di luar pengadilan dalam kenyataannya banyak

ragamnya, mulai dari negosiasi/perundingan. Mediasi (perundingan dengan pihak

ketiga), dan lain-lain.

Terkait dengan perkembangan upaya pencegahan penyalahgunaan dan

pengedaran narkoba di tingkat Desa Pakraman, sampai saat ini Desa Pakraman di

Kerobokan Baadung telah membuat pararem tentang penyalahgunaan narkoba.

84
Qamar Nurul et al, 2017, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods), CV.
Social Politics Genius, Makasar, h. 88.
55

Dengan dibuatnya pararem ini Desa Pakraman dapat membangun koordinasi yang

terstruktur melibatkan pecalang, Babinkamtibmas dan Babinsa hingga BNNK

Badung untuk disampaikan laporan jika ada kecurigaan terjadinya

penyalahgunaan dan peredaran narkoba di wilayah mereka. Pemkab Badung juga

akan melakukan pengawasan lanjutan yang melibatkan lembaga-lembaga terkait.

Desa mulai menggarap perarem narkoba, akan tetapi Majelis Madya Desa

Pakraman (MMDP) melarang desa pakraman mencantumkan sanksi kasepekang

(dikucilkan) kepada karma yang terbukti menyalahgunakan narkoba. Alasan

larangan mencantumkan sanksi kasepekang lantaran para penyalahguna narkoba

masih bisa direhabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba sanksinya sudah

secara tegas diatur dalam KUHP.85

Narkoba kini sudah tak lagi menjadi masalah Kota besar. Tapi, narkoba

sudah menerobos masuk ke desa. Penggunanya pun beragam, bukan hanya

kalangan orang kaya saja yang miskin pun ikut terjerat narkoba. Di Badung

misalnya beberapa desa masuk dalam zona merah peradaran narkoba. Peredaran

narkoba yang cukup masif di desa-desa, yang penggunanya banyak dari kalangan

muda-mudi desa, membuat Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bali lebih

intens turun ke desa-desa.86

Apabila di masyarakat ada sebagian yang berpendapat bahwa hukum adat

sudah mengalami perlunakan berlakunya pada era modern seperti ini, memang

pendapat tersebut ada benarnya. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa sistem

85
Prakoso, A., 2017, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Pessindo, Yogyakarta, h.
19
86
Sumarman, Anto, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adi Cita
Karya Nusa, Yogyakarta. h. 55
56

hukum yang dipakai di negara kita adalah sistem Eropa Kontinental. Pada sistem

Eropa Kontinental, hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) lebih

mempunyai fungsi yang lebih besar di dalam penyelenggaraan negara maupun

pengaturan masyarakat, jika dibandingkan dengan hukum yang tidak tertulis.

Dengan sistem Eropa Kontinental tersebut, hukum yang lebih dominan adalah

yang tertulis, dan hukum yang tidak tertulis (termasuk di dalamnya hukum adat)

disebut sebagai pelengkap saja.87 Akibatnya selama suatu masalah telah diatur di

dalam perundang-undangan dan ternyata isinya bertentangan/berbeda dengan

hukum adat, maka secara yuridis formal, yang berlaku adalah hukum tertulis.

Pararem yang ada akan mengikat seluruh krama adat di wilayah desa

pekramannya. Jika ada krama yang terlibat, maka pararem yang ada diterapkan,

krama yang terlibat akan kena hukuman positif dan juga sanksi adat.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa

Desa Adat Kerobokan beliau mengakatan bahwa Pelaksanaan Hukum Adat

Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat Kerobokan

adalah dengan menjalankan Pararem Desa adat Kerobokan, dimana pengaturan

terkait sanksi penyalahgunaan narkoba diatur dalam Pasal 4 dimana ancaman

sanksi berupa denda bagi krama (warga) yang diputus bersalah di pengadilan

karena terlibat kasus narkotika. Ada sanksi adat ringan, sedang, dan berat. Sanksi

berlaku jika krama diputus bersalah oleh pengadilan. Berlaku bagi semua krama,

baik krama mipil, krama tamiu dan tami. Untuk sanksi ringan berdasarkan

putusan pengadilan hukuman di bawah lima tahun, krama tersebut wajib

87
Wignjodipuro, Surojo, 1982, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Gunung Agung,
Jakarta. h. 26
57

melaksanakan pacaruan Eka Sato di Catus Pata Desa Adat, Sementara untuk

sanksi sedang, berdasarkan putusan pengadilan hukuman di atas lima tahun,

krama terbukti bersalah wajib melaksanakan Pecaruan Panca Sato di Catus Pata

Desa Adat. Sedangkan untuk sanksi adat berat, berdasarkan putusan pengadilan

hukuman diatas 10 tahun harus melaksanakan Pecaruan Panca Kelud di Catus

Pata Desa Adat. Dimana Percuaruan tersebut dilakukan sesuai dengan hari yang

ditentukan oleh banjar atau desa pakraman. 88

Terkait peran desa adat di Bali dalam mendukung progam penanggulangan

penyalahgunaan Narkoba, Kepala BNN Provinsi Bali pararem desa sangat efektif

guna menekan penggunaan dan peredaran Narkoba. Untuk masalah narkoba yang

pemakainya anak di bawah umur atau remaja desa pakrmanan memfasilitasi untuk

menempuh penyelesaian masalah secara kekeluargaan dengan aparat penegak

hukum ataupun dengan yang melaporkan si pengguna. Karena pada dasarnya

korban dari kejahatan penyalahgunaan narkotika itu adalah pengguna sendiri.

Peranan desa Adat selanjutnya memberdayakan sekaha truna truni dimana bekerja

sama dengan perangkat desa hal ini dilakukan dalam rangka memberdayakan

masyarakat desa usia muda dengan memberikan mereka kesempatan untuk

membuat program-program yang berhubungan dengan kreativitas remaja yang

bertujuan memberikan pengalihan kepada remaja sehingga terhindar dari

penggunaan Narkoba. Seperti misalkan Bazar Pemuda, Pembuatan Ogoh-Ogoh,

Turnamen Olah Raga dan lain sebagainya.Mengacu pada Teori Ilmu hukum hal

ini dikenal dengan sebutan “self victimizing victims”. Dan penyelesaian secara

88
Wawancara Dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa Desa Adat Kerobokan
Pada Hari Kamis 7 September 2023 Pada Pukul 10.00 Wita
58

kekeluargaan dalam Ilmu Hukum dikenal dengan bentuk penyelesaian secara

Restorative Justice merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam upaya

penyelesaian perkara pidana, berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam

sistem peradilan konvensional yang lebih menitik beratkan pada efek jera bagi

pelaku kejahatan (woman offender), sedangkan pendekatan Restorative justice

lebih menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan

juga masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.89

Upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat

dicapai dengan hasil maksimal apabila dilaksanakan secara terkoordinasi dan

terintegrasi dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Kegiatan pembinaan

dan sosialisasi penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan hari ini memiliki arti

yang sangat penting dan strategis dalam upaya untuk mengoptimalkan

pemberdayaan potensi masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam

pencegahan penyalahgunaan narkoba. Diharapkan ke depannya dengan adanya

dasar hukum berupa hasil keputusan Paruman Desa 'pararem' yang telah dibuat

akan meningkatkan kekuatan Desa Pakraman dalam upaya pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayah mereka masing-masing.

3.2 Implementasi Nyata Perlindungan Hukum Terhadap Hukum Adat

Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat

Kerobokan

89
Tarigan Jasa Irwan, 2017, Narkotika dan Penanggulangannya, Deepublish,
Yogyakarta. h. 102.
59

Pemberdayaan adalah rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan

adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, dan lembaga adat dapat lestari dan

makin kukuh, sehingga hal itu berperan positif dalam pembangunan nasional dan

berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat kemajuan dan

perkembangan zaman. Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang menjelaskan

berbagai upaya untuk memperkuat posisi seseorang untuk melalui pertumbuhan

kesadaran dan kemampuan individu yang bersangkutan untuk mengidentifikasi

persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-langkah mengatasinya.

Inti dari kegiatan pemberdayaan adalah motivasi untuk memahami kondisi

dan situasi kerja sehari-hari serta menumbuhkan kemampuan dan keberanian

mereka untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang mereka hadapi, sehingga

kuncinya adalah membangun partisipasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan

suatu proses perbaikan yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada

siapapun untuk mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat. Salah satu upaya

untuk mempercepat proses perbaikan dalam pemeberdayaan masyarakat adalah

pedampingan. Pedampingan sebagai suatu konsep berkembang, dengan adanya

kesadaran baru bahwa masyarakat bukanlah pihak yang tidak tahu dan tidak mau

maju sebaliknya saat ini mulai dikenali bahwa masyarakat adalah pihak yang mau,

memiliki pengetahuan lokal, mempunyai potensi besar serta kearifan tradisional.

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat,

khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya pembangunan

didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan perikehidupan mereka.

Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan
60

peluang dalam pembangunan yang dimilikinya sesuai dengan lingkungan sosial

ekonomi perkehidupan mereka sendiri. Sasaran utama dari pemberdayaan

masyarakat adalah membuka akses bagi kaum yang terpinggirkan dalam

pembangunan, termasuk kaum perempuan dan golongan tidak berdaya lainnya.

Untuk itu pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang

berjalan terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian

masyarakat, menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-maslah yang dihadapi.

Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya

topdown intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi

masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling

dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal didesa adalah pola

pemberdayaan yang sifatnya bottom up intervention yang meghargai dan

mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi

kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-

usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.

Sanksi adat adalah suatu upaya untuk mengembalikan keseimbangan

spiritual. Dengan kata lain sanksi adat tersebut merupakan usaha untuk

menetralisir pelanggaran yang terjadi sebagai akibat pelanggaran adat. Jadi sanksi

adat berfungsi sebagai penyeimbang untuk mengembalikan keseimbangan antara

dunia lahir dan duniawi. Bentuk sanksi adat terkait dengan nilai dan rasa keadilan

masyarakat yang saling bersangkutan. Peran dari sanksi adat adalah


61

menyeimbangkan dan memulihkan keseimbangan antara dunia sekuler dan dunia

kelahiran.90

Sanksi adat di Bali memiliki peran yang sangat penting dalam

memulihkan keseimbangan yang bergejolak. Sesuai konsep adat, tujuan saksi

(pidana) adalah mengembalikan keseimbangan alam semesta, yaitu keseimbangan

antara dunia kelahiran dan duniawi, guna menghadirkan rasa damai di antara

rekan senegaranya.91 Selain itu, hukuman harus adil, artinya hukuman tidak akan

ditujukan kepada orang atau kelompok atau korban tertentu, juga tidak ditujukan

kepada masyarakat, sehingga kehilangan ketimpangan. Sanksi adat senantiasa

berpedoman pada nilai-nilai dasar agama dan berupaya mewujudkan kesucian

desa demi tercapainya perdamaian.92

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa

Desa Adat Kerobokan beliau menyampaikan bahwa Implementasi Nyata

Perlindungan Hukum Terhadap Hukum Adat Dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat Kerobokan adalah desa Adat Kerobokan

telah diatur dalam parerem desa adat Kerobokan pada Pasal 3 terkait kewajiban

prajuru desa adat yaitu Prajuru Desa/Banjar Adat wajib menjaga palemahannya

agar bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan/ atau

sejenisnya. Bentuk menjaga Palemahan dengan cara :

a. Melakukan pendekatan kepada pihak keluarga yang


bersangkutan (Pemakai dan pengedar) penyalahgunaan dan
90
Manarisip, M, 2012, Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional, Jurnal Lex
Crimen, 1(4), h. 24-40.
91
Putri, K. A. M. P., & Puspitasari, 2018, Pengaruh Hukum Adat atau Awig-Awig
Terhadap Pengelolaan Dana Desa di Desa Banjar Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali, Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Humanika, 8(1), h. 1–13.
92
Windia P Wayan dan Sudantra Ketut, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Univ Udayana, Denpasar, h. 67.
62

peredaran gelap narkotika dan atau sejenisnya serta


melakukan Rehabilitasi (pembinaan dan edukasi ) kepada
keluarga dimaksud.
b. Bila pendekatan dimaksud (poin a) tidak dapat dilakukan,
maka Parajuru Desa/ Banjar Adat berhak melaporkan
kepada pihak berwenang/Penegak hukum untuk proses
lebih lanjut.
c. Apabila yang bersangkutan dinyatakan bersalah dalam
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap maka yang bersangkutan dikenakan Sanksi Adat oleh
Desa/Banjar Adat sesuai tingkat putusan dimaksud.
d. Apabila yang bersangkutan tidak terbukti bersalah maka
Parajuru Desa / Banjar Adat wajib merehabilitasi nama
baiknya.93

93
Wawancara Dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa Desa Adat Kerobokan
Pada Hari Kamis 7 September 2023 Pada Pukul 10.00 Wita
BAB IV

HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PARAREM DESA ADAT


KEROBOKAN BADUNG TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA

4.1 Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkoba di Desa Adat Kerobokan

Budaya hukum adalah tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan

terhadap suatu peristiwa hukum, yang menunjukkan sikap perilaku manusia

terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam

masyarakat. Sistem hukum itu merupakan hubungan yang kait mengkait diantara

manusia, masyarakat, kekuasaan dan aturan-aturan, maka titik perhatian

antropologi hukum pada perilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa hukum.

Kaitan antara perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak pada

tanggapannya terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis dengan

sudut pandangan yang eklektika.94

Secara konseptual, budaya hukum menunjuk pada sikap dan tindakan yang

nyata-nyata terlihat, merupakan refleksi dari nilai-nilai dan orientasi serta harapan

yang ada pada seseorang atau kelompok. Dalam pelaksanaan upaya

penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh Desa Adat Kerobokan tentu

banyak menghadapi kendala-kendala dalam upaya penanggulangan

penyalahgunaan narkotika antara lain. Masyarakat sebagai sumber keterangan

terjadinya aksi penyalahgunaan narkoba takut skeptis masyarakat terhadap akibat

94
Siporin, Max. 1975. Introduction To Social Work Practice, Macmillan Publishing. Co.
Inc., New York. h. 9
64

yang ditimbulkan, meskipun sudah dilakukan penyuluhan-penyuluhan hukum.

Masyarakat merasa takut terhadap resiko yang mungkin dialaminya apabila

melaporkan aksi penyalahgunaan narkoba yang dialaminya atau yang

diketahuinya. Sulitnya melacak pengedar narkoba aparat disebabkan oleh

minimnya jaringan informasi tentang aksi yang melibatkan oknum tertentu.

Aparat desa sering kali terputus pada kalangan bawahan saja, sehingga sulit untuk

dapat melacak lebih lanjut. 95

Strategi pencegahan penyalahgunaan narkotika di Desa Adat Kerobokan

yang diterapkan secara preventive (Pencegahan atau pengendalian) yaitu dengan

sosialisai kepada masyarakat. Penyuluhan hukum dan sosilisasi dilaksanakan

bekerjasana dengan Pemerintah dan BNN Provinsi Bali. Penyuluhan Hukum

adalah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berupa

penyampaian dan penjelasan peraturan hukum kepada masyarakat dalam suasana

informal sehingga tercipta sikap dan perilaku masyarakat yang berkesadaran

hukum.96

Berdsarkan wawancara dengan apak I Ketut Gede Arya Kusuma Selaku

Bhabinkamtibmas Kelurahan Kerobokan beliau menjelaskan terdapat beberapa

Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di

Desa Adat Kerobokan yaitu:

1) Masyarakat menganggap para pengguna narkoba masih adalah hal


tabu, kerena masyarakat merasa malu keluarganya tersangkut paut
dengan narkoba, untuk keluarga ada yang takut anaknya ditangkap,
padahal sebenarnya kalau ditangkap bukan berarti dipenjara, tetapi

95
Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Rajawali Press, Jakarta.
h. 97.
96
Williams, David. 1995. Tax Law Design Anda Drafting. Chapter IV. International
Monetary Fund., Washington DC. h. 10
65

ada kemungkinan bisa direhabilitas dan rawat jalan, ini membuat


terkendala dalam menindak pengguna narkoba karena dari pihak
keluarga tidak mau kerja sama dengan pihak BNN dan perangkat
Desa Adat Kerobokan.
2) Masih awamnya masyarakat desa adat mengenai hukum-hukum bagi
pengguna penyalahgunaan narkoba khususnya Hukum adat yang
mengatur terkait penyalahgunaan narkotba, dan sebagian masyarakat
masih binggung dengan peraturan pemerintah Nomor 35 Tentang
Penyalahgunaan Narkoba. Ada standarnya batas pemakaian bagi
pengguna yang menggunakan narkoba sebanyak 3,5 gram, kalau
dibawah 3,5 gram wajib direhabilitasi, hal ini masih dipahami oleh
masyarakat.
3) Kurangnya sumber daya manusia dari Desa Adat dimana dalam
menentukan seorang melanggar hukum ada maka perlu dibuktikan
khususnya dalam penyalahgunaan narkoba dimana susahnya
menemukan alat bukti dimana aparat desa tidak semua memiliki
kemampuan untuk melakukan penyelidikan sehingga tak jarang
susahnya menemukan bukti sehingga sanksi adat tidak bisa diberikan
kepada pelaku.97

Berdasarkan wawancara diatas jika mengacu pada teori Efektivitas hukum

Menurut Soerjono Soekanto maka Hambatan Hukum Adat Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan terletak pada

bebera faktor yaitu faktor masyarkat dimana Masih awamnya masyarakat desa

adat mengenai hukum-hukum bagi pengguna penyalahgunaan narkoba, faktor

kebudayaan dimana Masyarakat menganggap para pengguna narkoba masih

adalah hal tabu, dan Fakor Penegak hukum dimana Kurangnya sumber daya

manusia dari Desa Adat dimana dalam menentukan seorang melanggar hukum

ada maka perlu dibuktikan khususnya dalam penyalahgunaan narkoba dimana

susahnya menemukan alat bukti dimana aparat desa tidak semua memiliki

kemampuan untuk melakukan penyelidikan sehingga tak jarang susahnya

menemukan bukti sehingga sanksi adat tidak bisa diberikan kepada pelaku

97
Wawancara Dengan Bapak I Ketut Gede Arya Kusuma Selaku Bhabinkamtibmas
Kelurahan Kerobokan Pada Hari Kamis 7 September 2023 Pada Pukul 13.00 Wita
66

4.2 Upaya Pengajuan Perlindungan Hukum Adat Dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan

Upaya penangulangan penyalahgunaan narkotika atau tindak pidana memiliki

dua upaya yaitu upaya penanggulangan yang pertama adalah upaya secara

preventive (Pencegahan atau pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi.

Kemudian upaya yang kedua adalah upaya secara represif (penindasan atau

pemberantasan, dan penumpasan) setelah kejahatan itu sudah terjadi. 98

Penanggulangan narkotika secara preventif pihak Desa Adat telah mengadakan

penyuluhan hukum serta sosialisasi tentang penyalahgunaan Narkotika kepada

masyarakat. Penyuluhan hukum dan sosialisasi tersebut dilaksanakan dengan

bekerja sama dengan Pemerintah dan BNN Provinsi Bali. Penyuluhan Hukum

adalah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berupa

penyampaian dan penjelasan peraturan hukum kepada masyarakat dalam suasana

informal sehingga tercipta sikap dan perilaku masyarakat yang berkesadaran

hukum.

Sedangkan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika, upaya

preventif (pencegahan) dirasa mempunyai peran yang sangat penting dan sangat

bermanfaat. Tapi untuk mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba, selain

tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan represif antara lain dengan

teknik rehabilitasi. Selain menjalankan upaya penanggulangan penyalahgunaan

98
I Kadek Hendra Wijaya, I Putu Sastra Wibawa, I Gusti Ngurah Alit Saputra,
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallalang,
Jurnal Hukum dan Kebudayaan Fakultas Hukum Universitas Hindu Indonesia Denpasar Volume
1, Nomor 4 November 2021 ISSN: 2722-3817, h. 12.
67

narkotika secara preventif, Desa Adat juga bisa menempuh melalui upaya represif.

Upaya represif yang dilakukan mempunyai maksud untuk menanggulangi

penyalahgunaan narkotika yang sudah terjadi di masyarakat. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan efek jera kepada pelaku penyalahgunaan narkoba.

Upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana dapat dibedakan

menajdi dua (2) yaitu upaya penanggulangan kejahatan jalur penal lebih menitik

beratkan pada sifat repressif (penindasan/pemberantasan/dan penumpasan)

sesudah kejahatan itu terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan

pada sifat preventive (Pencegahan/penangkalan/pengen dalian) sebelum kejahatan

itu terjadi. Mengingat upaya penanggulanga kejahatan lewat jalur non penal lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Dengan

demikian upaya non penal ini memiliki peranan yang besar untuk menanggulangi

kejahatan.99

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa

Desa Adat Kerobokan bahwa Upaya Menanggulangi Hambatan Hukum Adat

Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan adalah

berusaha mewujudkan desa adat yang bersih dari penyalahgunaan Narkoba tentu

tidak hanya tanggung jawab desa pakraman dimana upaya yang dilakukan

diantaranya :

99
Joewana Satya et.al, 2001, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Narkoba, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta, h. 113.
68

1) Melakukan pemasangan Baliho yang mengajak masyarakat

terutama Generasi Muda untuk menjauhi Narkoba

2) Melakukan sidak tes Narkoba ke seluruh Aparatur Sipil Negara

(ASN) di lingkungan Pemerintah Desa Adat Kerobokan, untuk

mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan Narkoba Peran

Desa Pakraman khususnya bendesa adat dalam pelaksanaan

pencegahan, pemberantasan penyalagunaan dan peredaran

gelap Narkotika sangat vital.100

Selain itu Bapak I Ketut Gede Arya Kusuma Selaku Bhabinkamtibmas

Kelurahan Kerobokan menambahkan bahwa kolaborasi antar instansi tekrait

dengan Bendesa adat sangat penting sehingga Bendsa adat sebagai garda terdepan

dalam menjadi pelopor dalam penyampaian informasi kepada masyarakat, deteksi

dini penyalahgunaan narkoba, menjadi tokoh dan pautan serta menjadi orang

pertama menerima laporan terkait dengan kegiatan pencegahan, pemberantasan

penyalagunaan dan peredaran gelap Narkotika di desanya.101

Berdasarkan hasil wawancara diatas jika mengacu pada teori penegakan

hukum yaitu dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan

yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan maka unsur yang diperhatikan

disini adalah kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat desa adat

Kerobokan agar terhindar dari penyalahgunaan narokba.

100
Wawancara Dengan Bapak Putu Sutarja Selaku Jero Bendesa Desa Adat Kerobokan
Pada Hari Kamis 7 September 2023 Pada Pukul 10.00 Wita
101
Wawancara Dengan Bapak I Ketut Gede Arya Kusuma Selaku Bhabinkamtibmas
Kelurahan Kerobokan Pada Hari Kamis 7 September 2023 Pada Pukul 13.00 Wita
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1) Pelaksanaan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkoba Di Desa Adat Kerobokan adalah dengan menjalankan Pararem

Desa adat Kerobokan, dimana pengaturan terkait sanksi penyalahgunaan

narkoba diatur dalam Pasal 4 dimana ancaman sanksi berupa denda bagi

krama (warga) yang diputus bersalah di pengadilan karena terlibat kasus

narkotika. Ada sanksi adat ringan, sedang, dan berat. Sanksi berlaku jika

krama diputus bersalah oleh pengadilan. Berlaku bagi semua krama, baik

krama mipil, krama tamiu dan tami. Untuk sanksi ringan berdasarkan

putusan pengadilan hukuman di bawah lima tahun, krama tersebut wajib

melaksanakan pacaruan Eka Sato di Catus Pata Desa Adat, Sementara

untuk sanksi sedang, berdasarkan putusan pengadilan hukuman di atas

lima tahun, krama terbukti bersalah wajib melaksanakan Pecaruan Panca

Sato di Catus Pata Desa Adat. Sedangkan untuk sanksi adat berat,

berdasarkan putusan pengadilan hukuman diatas 10 tahun harus

melaksanakan Pecaruan Panca Kelud di Catus Pata Desa Adat. Dimana

Percuaruan tersebut dilakukan sesuai dengan hari yang ditentukan oleh

banjar atau desa pakraman.

2) Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

di Desa Adat Kerobokan yaitu Masyarakat menganggap para pengguna

narkoba masih adalah hal tabu, Masih awamnya masyarakat desa adat
70

mengenai hukum-hukum bagi pengguna penyalahgunaan narkoba

khususnya Hukum adat yang mengatur terkait penyalahgunaan narkoba,

dan Kurangnya sumber daya manusia dari Desa Adat dimana dalam

menentukan seorang melanggar hukum ada maka perlu dibuktikan

khususnya dalam penyalahgunaan narkoba dimana susahnya menemukan

alat bukti dimana aparat desa tidak semua memiliki kemampuan untuk

melakukan penyelidikan sehingga tak jarang susahnya menemukan bukti

sehingga sanksi adat tidak bisa diberikan kepada pelaku.

5.2 Saran

1) Disarankan kepada pemerintah desa adat untuk berkolaborasi dengan

instansi – instansi terkait seperti BNN, Kepolisian, dan Instansi

Pendidikan guna membuat program penyuluhan secara berkala terkait

bahaya penyalahgunaan Narkoba kepada masyarakat khususnya generasi

muda sehingga dengan rutinnya penyuluhan tersebut dapat meminimalisir

penyalahgunaan narkoba.

2) Disarankan kepada masyarakat untuk mengawasi keluarga mereka

sehingga jika terdapat indikasi penyalahgunaan narkoba maka diharapkan

berkordinasi dengan pihak berwenang sehingga diharapkan dapat

mempermuda penanganan terhadap penyalahgunaan narkoba.


DAFTAR BACAAN

Buku:

A. Soehardi, 1945, Pengantar Hukum Adat Indonesia, S-Gravenhage. Bandung.

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Penerbit Kencana. Jakarta

Ajat Rukajat, 2018, Pendekatan Penelitian kualitatif, Deepublish, Yogyakarta.

Andi Hamzah dan R.M Surahman, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika,
Sinar Grafika. Jakarta.

Andi Hamzah, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika.


Jakarta.

Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.


Jakarta.

Artadi, I. K. 2012, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali
Post. Denpasar.

Astiti Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana, Bali
Atmosoeprapto.

B.A Sitanggang, 1999, Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika,


Karya Utama. Jakarta.

Bambang Poernomo. 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku.


Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 2008, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________________, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya.


Bandung.

Dadang Hawari, Konsep Agama menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol dan


Zat Adiktif). Dana Bhakti Prima, Jakarta.

Danito Darwis, 1950, Landasan Hukum Adat Mkinangkabau, Majelis Pembina


Adat Alam Minangkabau (MPAAM). Jakarta.
Dellyana, Shant. 2008, Konsep Penegakan Hukum. Liberty, Yogyakarta.

Depdikbud, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar
Maju. Jakarta.

Hariyono, B. Fakultas Hukum, Univeristas Ngurah Rai, 2015, Buku Pedoman


Penyusunan Skripsi, Alumni. Makaro. Denpasr.

Hasan Sadly, 2000, Kamus Inggiris Indonesia, Gramedia. Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 2002, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar


Maju, Bandung.

Imam Sudiyat, 1989, Azas-Azas Hukum Adat, Liberty. Yogyakarta.

Joewana Satya et.al, 2001, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk
Mencegah Penyalahgunaan Narkoba, Penerbit Media Pressindo,
Yogyakarta.

Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Rajawali Press.


Jakarta.

Korp Reserce Polri Direktorat Reserce Narkoba, 2000, Peranan Generasi Muda
Dalam Pemberantasan Narkoba, Polri. Jakarta.

M. T., & Dkk. 2005, Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba: Dalam Perspektif Hukum Islam Dan


Pidan Nasional, Rajawali Press. Jakarta.

Masruhi, 2000, Islam Melawan Narkoba, Madani Pustaka Hikmah. Yogyakarta.

Moh. Nazir, 2008, Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Prakoso, A., 2017, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Pessindo.


Yogyakarta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.

Qamar Nurul et al, 2017, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods),
CV. Social Politics Genius, Makasar.

Rosmidah, 2001, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum


Adat Dan Hambatan Implementasinya. Sinar Grafika, Jakarta.
Rulan Ahmadi, 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas
Negeri Malang, Malang.

Salim, H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Tesis dan Disertasi, Rajawali Press, Jakarta.

Sandu Siyoto dan M. Ali Sodik, 2015, Dasar Metode Penelitian, Literasi Media
Publishing, Yogyakarta.

Satjipto raharjo, 2011, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.

Siporin, Max. 1975. Introduction To Social Work Practice, Macmillan Publishing.


Co. Inc. New York.

Smith Kline dan French Clinical, 1969, A Manual For Law Enforcemen Officer
Drugs Abuse, Pensilvania. Philladelphia.

Soedjono, 1997, Ptologi Sosial, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,


Jakarta.

_______________, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

_______________, 1990, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Rajawali Persada.


Jakarta,

Suartha, I. D. M. 2015, Hukum dan Sanksi Adat (Persfektif Pembaharuan Hukum


Pidana), Setara Press. Malang.

Subagyo Partodiharjo, 2010, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaanya,


Erlangga. Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,


Yogyakarta.

Sumarman, Anto, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adi
Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Sunggono Bambang, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,


Jakarta.

Syahrin, Alvi, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan.

Tarigan Jasa Irwan, 2017, Narkotika dan Penanggulangannya, Deepublish.


Yogyakarta.
Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

Widnyana, I. M. 1993, Tindak Pidana Narkoba di Indonesia, Universitas


Diponegoro. Semarang.

Wignjodipuro, Surojo, 1982, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Gunung


Agung. Jakarta.

Williams, David. 1995. Tax Law Design Anda Drafting. Chapter IV. International
Monetary Fund. Washington DC.

Windia P Wayan dan Sudantra Ketut, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Univ Udayana,
Denpasar.

Yulies Tina Masriani. 2004, PengantarHukum Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Jurnal:

Asep Bambang Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum Di Indonesia: Kritik Dan


Alternatif Solusinya.

Fransiska Novita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha


Pencegahan dan Penanggulangannya.

I Gusti Ketut Gede, I Wayan Wirga, I Gede Iwan Suryadi, 2016, Model
Pemberdayaan Desa Adat Pada Dua Desa Tujuan Wisata Di Bali
(Studi Komparatif Desa Adat Intaran Dan Kuta).

I Kadek Adi Surya, 2020, Peranan Desa Pakraman Dalam Menanggulangi


Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja Di Kecamatan
Kediri, Tabanan, Bali.

I Kadek Hendra Wijaya, I Putu Sastra Wibawa, I Gusti Ngurah Alit Saputra,
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Desa Adat Tegallalang,
Kecamatan Tegallalang, Jurnal Hukum dan Kebudayaan Fakultas Hukum
Universitas Hindu Indonesia Denpasar Volume 1, Nomor 4 November
2021 ISSN: 2722-3817.

Kadek Andy Krisnanta, I Made Suwitra, I Wayan Arthanaya, 2020,


Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Narkotika Melalui
Pararem Desa Adat Pancasari.
Manarisip, M, 2012, Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional, Jurnal Lex
Crimen, 1(4), h. 24-40.

Muhamad Jodi Setianto, Peranan Hukum Adat Bali (Pararem) Dalam Upaya
Pemberantasan Narkoba Di Kabupaten Buleleng, Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 2 (Mei, 2020).

Ni Putu Devi Ekayanti Ningsih Ida Ayu Nyoman Saskara, Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan Bali Untuk Bekerja Di
Sektor Publik Di Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung

Putri, K. A. M. P., & Puspitasari, 2018, Pengaruh Hukum Adat atau Awig-Awig
Terhadap Pengelolaan Dana Desa di Desa Banjar Kecamatan
Banjar Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, Jurnal Ilmiah Akuntansi
Dan Humanika, 8(1).

Rikardo Simarmata, Pendekatan Positivistik Dalam Studi Hukum Adat

Sanger, E. C. 2013, Penegakan Hukum terhadap Peredaran Narkoba di


Kalangan Generasi Muda, Lex Crimen, 2(4), 5–13.

Tyas Widyastini, Efektivitas Awig-Awig Dalam Pengaturan Kehidupan


Masyarakat Nelayan Di Pantai Kedonganan Bali.

William Banton, Ensiklopedia Bronitica, USA 1970, Volume 16.

Peraturan :

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang


Pelaksanaan UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan


Narkotika Nasional.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Pararem
Desa Adat Pancasari Nomor: 01/DPP-II/2019 Tentang
Narkotika/Sejenisnya.

Website / situs berita lainnya :


Admin_wp, Pangkalan Data Desa Adat Kerobokan – Badung, Bali, 2019,
http://www.wisnu.or.id/id/project/database-of-kerobokan-traditional-
village-badung-bali/, diakses tanggal 11 februari pukul 19.02

BNN, Advokad Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas dan


Rutan, diakses dari situs resmi BNN, 17 Agustus 2023.

Fikri hakim, 2021, Buntut Kasus Narkoba di Astanaanyar, Polrestabes Bandung


Sidak Seluruh Polsek,
https://ayobandung.com/read/2021/02/18/190366/buntut-kasus-
narkoba-di-astanaanyar-polrestabes-bandung-sidak-seluruh-polsek,
diakses 18 februari pukul. 21.11.

Humas BNN Provinsi Bali, Bali Berlakukan Sanksi Adat Bagi Penyalahguna
Narkoba, 2018, hhtps//bnn.go.id/bali-berlakukan-sanksi-adat-
terhadap-penyalahguna-narkoba/

https://badungkab.bnn.go.id/bnn-kabupaten-badung-sosiliasikan-bahaya-narkoba-
kepada-bendesa-di-kab-badung/

PERDA Prov. Bali No. 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah [JDIH BPK RI],
diakses tanggal 10 februari 2021 pukul 21.00.

Randy Ferdiansyah, Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch,


http://hukumindo.com/2011/11/artikel-politik-hukum-tujuan-
hukum.html, diakses tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 21.29.
DAFTAR INFORMAN

NAMA : AA PUTU SUTARJA

JABATAN : JERO BENDESA DESA ADAT KEROBOKAN

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

ALAMAT : DESA ADAT KEROBOKAN

NAMA : I KETUT GEDE ARYA KUSUMA

PANGKAT : AIPTU

JABATAN : BHABINKAMTIBMAS KEROBOKAN

PEKERJAAN : POLRI
LAMPIRAN
DAFTAR WAWANCARA

NAMA : AA PUTU SUTARJA

JABATAN : JERO BENDESA DESA ADAT KEROBOKAN

PERTANYAAN :

Bagaiaman Pelaksanaan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkoba Di Desa Adat Kerobokan?

JAWABAN :

Pelaksanaan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di

Desa Adat Kerobokan adalah dengan menjalankan Pararem Desa adat Kerobokan,

dimana pengaturan terkait sanksi penyalahgunaan narkoba diatur dalam Pasal 4

dimana ancaman sanksi berupa denda bagi krama (warga) yang diputus bersalah

di pengadilan karena terlibat kasus narkotika. Ada sanksi adat ringan, sedang, dan

berat. Sanksi berlaku jika krama diputus bersalah oleh pengadilan. Berlaku bagi

semua krama, baik krama mipil, krama tamiu dan tami. Untuk sanksi ringan

berdasarkan putusan pengadilan hukuman di bawah lima tahun, krama tersebut

wajib melaksanakan pacaruan Eka Sato di Catus Pata Desa Adat, Sementara untuk

sanksi sedang, berdasarkan putusan pengadilan hukuman di atas lima tahun,

krama terbukti bersalah wajib melaksanakan Pecaruan Panca Sato di Catus Pata

Desa Adat. Sedangkan untuk sanksi adat berat, berdasarkan putusan pengadilan

hukuman diatas 10 tahun harus melaksanakan Pecaruan Panca Kelud di Catus


Pata Desa Adat. Dimana Percuaruan tersebut dilakukan sesuai dengan hari yang

ditentukan oleh banjar atau desa pakraman.

PERTANYAAN :

Bagaiaman Implementasi Nyata Perlindungan Hukum Terhadap Hukum Adat

Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat Kerobokan?

JAWABAN:

Implementasi Nyata Perlindungan Hukum Terhadap Hukum Adat Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Di Desa Adat Kerobokan adalah desa

Adat Kerobokan telah diatur dalam parerem desa adat Kerobokan pada Pasal 3

terkait kewajiban prajuru desa adat yaitu Prajuru Desa/Banjar Adat wajib

menjaga palemahannya agar bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan/ atau sejenisnya. Bentuk menjaga Palemahan dengan cara :

a. Melakukan pendekatan kepada pihak keluarga yang

bersangkutan (Pemakai dan pengedar) penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan atau sejenisnya serta

melakukan Rehabilitasi (pembinaan dan edukasi ) kepada

keluarga dimaksud.

b. Bila pendekatan dimaksud (poin a) tidak dapat dilakukan,

maka Parajuru Desa/ Banjar Adat berhak melaporkan

kepada pihak berwenang/Penegak hukum untuk proses

lebih lanjut.
c. Apabila yang bersangkutan dinyatakan bersalah dalam

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap maka yang bersangkutan dikenakan Sanksi Adat oleh

Desa/Banjar Adat sesuai tingkat putusan dimaksud.

d. Apabila yang bersangkutan tidak terbukti bersalah maka

Parajuru Desa / Banjar Adat wajib merehabilitasi nama

baiknya

PERTANYAAN :

Bagaimana Upaya menanggulangi Hambatan Hukum Adat Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan?

JAWABAN:

Upaya Menanggulangi Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan adalah berusaha mewujudkan

desa adat yang bersih dari penyalahgunaan Narkoba tentu tidak hanya tanggung

jawab desa pakraman dimana upaya yang dilakukan diantaranya:

1) Melakukan pemasangan Baliho yang mengajak masyarakat

terutama Generasi Muda untuk menjauhi Narkoba

Melakukan sidak tes Narkoba ke seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di

lingkungan Pemerintah Desa Adat Kerobokan, untuk mencegah dan

menanggulangi penyalahgunaan Narkoba Peran Desa Pakraman khususnya


bendesa adat dalam pelaksanaan pencegahan, pemberantasan penyalagunaan dan

peredaran gelap Narkotika sangat vital


Wawancara Dengan AA Putu Sutarja, selaku Jero Bendesa Adat Kerobokan

PENANYA INFORMAN

(I PUTU ADI KARMA YUDHA) (AA PUTU SUTARJA)


NAMA : I KETUT GEDE ARYA KUSUMA

JABATAN : BHABINKAMTIBMAS KEROBOKAN

PERTANYAAN :

Apa Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di

Desa Adat Kerobokan?

JAWABAN :

Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di

Desa Adat Kerobokan yaitu:

1) Masyarakat menganggap para pengguna narkoba masih adalah hal

tabu, kerena masyarakat merasa malu keluarganya tersangkut paut

dengan narkoba, untuk keluarga ada yang takut anaknya ditangkap,

padahal sebenarnya kalau ditangkap bukan berarti dipenjara, tetapi ada

kemungkinan bisa direhabilitas dan rawat jalan, ini membuat

terkendala dalam menindak pengguna narkoba karena dari pihak

keluarga tidak mau kerja sama dengan pihak BNN dan perangkat Desa

Adat Kerobokan.

2) Masih awamnya masyarakat desa adat mengenai hukum-hukum bagi

pengguna penyalahgunaan narkoba khususnya Hukum adat yang

mengatur terkait penyalahgunaan narkotba, dan sebagian masyarakat

masih binggung dengan peraturan pemerintah Nomor 35 Tentang

Penyalahgunaan Narkoba. Ada standarnya batas pemakaian bagi


pengguna yang menggunakan narkoba sebanyak 3,5 gram, kalau

dibawah 3,5 gram wajib direhabilitasi, hal ini masih dipahami oleh

masyarakat.

3) Kurangnya sumber daya manusia dari Desa Adat dimana dalam

menentukan seorang melanggar hukum ada maka perlu dibuktikan

khususnya dalam penyalahgunaan narkoba dimana susahnya

menemukan alat bukti dimana aparat desa tidak semua memiliki

kemampuan untuk melakukan penyelidikan sehingga tak jarang

susahnya menemukan bukti sehingga sanksi adat tidak bisa diberikan

kepada pelaku

PERTANYAAN :

Bagaimana Upaya menanggulangi Hambatan Hukum Adat Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan?

JAWABAN :

Upaya menanggulangi Hambatan Hukum Adat Dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba di Desa Adat Kerobokan adalah melakukan kolaborasi

antar instansi tekrait dengan Bendesa adat sangat penting sehingga Bendsa adat

sebagai garda terdepan dalam menjadi pelopor dalam penyampaian informasi

kepada masyarakat, deteksi dini penyalahgunaan narkoba, menjadi tokoh dan

pautan serta menjadi orang pertama menerima laporan terkait dengan kegiatan
pencegahan, pemberantasan penyalagunaan dan peredaran gelap Narkotika di

desanya
Wawancara Dengan I Ketut Gede Arya Kusuma, selaku Bhabinkamtibmas
Kelurahan Kerobokan

PENANYA INFORMAN

(I PUTU ADI KARMA YUDHA) (I KETUT GEDE ARYA KUSUMA)

Anda mungkin juga menyukai