Anda di halaman 1dari 96

SKRIPSI

UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK

PIDANA PENCABULAN

(PENELITIAN DI POLRES BADUNG)

Oleh :

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA

20180013053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR

2022

i
SKRIPSI

UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK

PIDANA PENCABULAN

(PENELITIAN DI POLRES BADUNG)

Oleh :

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA

20180013053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR

2022

ii
UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK

PIDANA PENCABULAN

(PENELITIAN DI POLRES BADUNG)

Oleh :

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA

20180013053

SKRIPSI INI DISUSUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR

SARJANA HUKUM

PADA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR

iii
HALAMAN PERSETUJUAN

TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL: 20 Juli 2022

PEMBIMBING

(Adrie, S.Sos., SH, M.H.)

NIDN: 0011036119

MENGETAHUI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DEKAN

(Dr. I Wayan Putu Sucana Aryana S.E., S.H., M.H.,)


NIDN: 0808 106 701

iv
SKRIPSI INI TELAH DIUJI DAN DIPERBAIKI

DOSEN PENGUJI

HARI :

TANGGAL :

WAKTU :

TEMPAT :

DOSEN PENGUJI

KETUA SEKRETARIS

() ()

NIDN: NIDN:

ANGGOTA

()

NIDN: 0011036119

v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Nyoman Agus Mahendra Data

NIM : 20180013053

Program Studi : Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah:

a. Asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik

di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai maupun perguruan tinggi

lainnya;

b. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen

pembimbing;

c. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama

pengarang atau dicantumlan dalam pustaka.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebanarnya, apabila dikemudian

hari terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Denpasar, April 2022

Materai
10.000

vi
Nyoman Agus Mahendra Data

NIM: 20180013053

vii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atau

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik

karena skripsi ini merupakan salah satu syarat guna menyelesaikan studi ilmu

hukum di fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai.

Penulis menyadari sepenuhnya karya ilmiah ini tidak mungkin bisa

diselesaikan dengan baik tanpa mendapatkan bimbingan, arahan, bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ni Putu Tirka Widanti, M.M., M.Hum., Rektor Universitas Ngurah

Rai Denpasar, karena telah memberikan fasilitas yang mendukung dalam

proses pembuatan skripsi ini.

2. Bapak Dr. I Wayan Putu Sucana Aryana S.E., S.H., M.H., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar atas kesempatan dan

arahan serta bimbingan kepada Penulis.

3. Bapak Cokorda Gede Swetasoma, SH., selaku Wakil Dekan Fakultas

Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar atas kesempatan dan arahan

serta bimbingan kepada Penulis.

4. Bapak I Made Artana S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Hukum

Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar yang telah banyak

memberikan nasehat, masukan, petunjuk dan motivasi kepada penulis.

viii
5. Bapak Adrie, S.Sos.,SH, M.H. Selaku dosen pembimbing penulisan

skripsi ini yang telah banyak memberikan nasehat, masukan, petunjuk dan

motivasi kepada penulis.

6. Bapak & Ibu tercinta serta seluruh anggota keluarga dan semua pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan,

motivasi, sumbangan pemikiran, bantuan materi maupun non materi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh

karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dan penulis terima dengan lapang

dada demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata penulis haturkan terima kasih.

Denpasar, April 2022

Nyoman Agus Mahendra Data

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN................................................................... i

HALAMAN SAMPUL DALAM.................................................................. ii

HALAMAN PERSYARATAN .................................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................ iv

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...................................................... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................ vi

KATA PENGANTAR................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah............................................................. 7

2. Landasan Teori dan Hipotesis......................................................... 7

2.1 Landasan Teori............................................................................ 7

2.2 Hipotesis..................................................................................... 17

3. Tujuan Penelitian............................................................................. 17

x
3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 17

3.2 Tujuan Khusus............................................................................ 18

4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 18

4.1 Manfaat Teoritis ......................................................................... 18

4.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 18

5. Metode Penelitian ........................................................................... 18

5.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 18

5.2 Sifat Penelitian............................................................................ 19

5.3 Jenis Data ................................................................................. 19

5.4 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 20

5.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data........................................ 21

BAB II TINJAUAN UMUM UPAYA KEPOLISIAN DALAM

MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN

1.

2.

1. Gambaran Umum Kepolisian Resor Badung...................................

2. Pengertian Tindak Pidana.................................................................

3. Pengertian Tindak pidana pencabulan..............................................

BAB III UPAYA KEPOLISIAN RESOR BADUNG DALAM

MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN

1.

2.

3.

xi
1. Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Badung...........................

2. Upaya Kepolisian Resor Badung Dalam Menanggulangi

Tindak Pidana Pencabulan ..............................................................

BAB IV KENDALA KEPOLISIAN RESOR BADUNG DALAM

MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN

1.

2.

3.

4.

1. Faktor-faktor terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten

Badung.................................................................................................

2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Resor Badung

Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencabulan ............................

BAB V PENUTUP

1.

2.

3.

4.

5.

1. Simpulan..............................................................................................

2. Saran ...................................................................................................

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

xii
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1 Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara yang berlandaskan hukum menggunakan aturan hukum untuk

mencapai tujuan kehidupan bernegara. Menurut Johan Nasution dalam buku

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut pasal 1 ayat 3 UUD 1945,

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum dalam mencari

keputusan objektif dari pihak pemerintah dan rakyatnya. Berikut ini bunyi

pasalnya: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”.

Eksistensi hukum sebagai suatu norma sosial yang hidup dan

berkembang untuk mengatur kehidupan masyarakat sangatlah penting adanya.

Hukum merupakan suatu landasan atau pedoman dalam menjalankan tatanan

bertingkah laku, ditujukan untuk melindungi kehidupan masyarakat. Pada

prinsipnya, hukum bisa diterima di tengah-tengah masyarakat apabila

dijalankan tanpa adanya unsur paksaan. Oleh sebab itulah hukum hendaknya

menjadi media revolusi yang bersifat progresif dan bukan bersifat regresif.

Dengan begitu hukum bisa dijadikan sebagai pendorong dan pelopor untuk

memperbaiki tatanan aktivitas publik sehingga dapat memberikan manfaat

bagi seluruh golongan.1

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang

1
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
h. 7-8

1
2

mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan

kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada

umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk

menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit

untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan

akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat.2

Banyaknya kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di sekitar kita

membuat orang orang menjadi resah, hal ini dapat diketahui melalui media

massa dimana seringkali meliput tindak pidana atau kejahatan yang terjadi di

masyarakat. Kejahatan sendiri tidak hanya merujuk pada kejahatan

pembunuhan, penganiayaan, pencurian, perampokan, tetapi juga kejahatan

pencabulan. Salah satunya tindak pidana pencabulan yang saat ini marak

terjadi yang mana sangat bertentangan dengan norma hidup yang dijunjung

tinggi oleh masyarakat Indonesia.

Menurut Adami Chazawi, tindak pidana pencabulan adalah suatu

tindak pidana yang melanggar norma kesopanan dan kesusilaan terhadap

seseorang mengenai aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti

anak, baik pria maupun wanita yang berhubungan dengan alat kelamin atau

bagian tubuh lainnya yang merangsang nafsu seksual dengan kekerasan

maupun tanpa kekerasan. Misalnya dengan menggosok-gosokan penis atau

vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang wanita.3

2
Annisa, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak korban Tindak pidana Pencabulan
di Kota Makassar (studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2010-2013). FIS Universitas
Negeri Makasar, h. 5
3
Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan,Raja Grafindo, Jakarta, h.
80
3

Pada saat ini kasus pencabulan sangatlah menghawatirkan yang

dimana tidak hanya satu orang pelaku namun bisa lebih dari satu pelaku yang

melakukan aksinya terhadap satu orang korban. Yang dimana pelaku

pencabulan melakukan berbagai modus untuk melancarkan aksinya, hal yang

paling banyak dilakukan di daerah-daerah rawan kejahatan. Tidak hanya disitu

saja yang lebih parahnya pelaku mengajak temannya untuk melakukan aksinya

kepada korban sehingga korban tidak berdaya.

Pencabulan termasuk dalam penggolongan jenis pidana kesusilaan. Di

Indonesia tindak pidana pencabulan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) pasal 290 ayat (2) dan (3) yang menyebutkan:

(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang

diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum

cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu

belum masanya buat kawin.

(3) Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau

patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun

atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat

kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya

perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan oranglain dengan tiada

kawin.”

Di Bali khususnya Kabupaten Badung yang sangat dikenal area

pariwisata dan banyak dikunjungi turis asing maupun domestik, tidak menutup
4

kemungkinan terkadinya tindak pidana pencabulan, hal tersebut dapat

dibuktikan melalui data tindak pidana pencabulan yang telah penulis

kumpulkan, data tersebut dapat penulis gambarkan sebagai berikut:

DATA

JUMLAH KASUS PENCABULAN

TAHUN 2019-2021

NO TAHUN JUMLAH KASUS

1 2019 8

2 2020 6

3 2021 11

JUMLAH 25

Sumber: Reskrim Polres Badung

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2019 terjadi 8

kasus pencabulan kemudian pada tahun 2020 6 kasus dan 2021 kembali terjadi

11 kasus. Sehingga dapat di lihat bahwa tindak pidana pencabulan masih

terjadi dan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi kembali.

Mengingat perbuatan pidana semacam ini rentan terjadi dan sulit untuk

diprediksi mengenai pelaku dan korbannya menjadikan sebuah peringatan

bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati khususnya meningkatkan

kewaspadaan dan keamanan kepada perempuan serta anak-anak agar tidak

menjadi korban tindak pidana pencabulan. Pencabulan sendiri merupakan

salah satu perbuatan yang bertolak belakang dengan norma yang ada di

Indonesia, karena pencabulan terjadi akibat paksaan yang dilakukan oleh

seseorang.
5

Adanya kasus kejahatan yang terjadi di suatu tempat pastinya akan

meresahkan masyarakat dan membuat masyarakat merasa tidak aman. Rasa

tidak aman tersebut menyebabkan terganggunya keleluasaan masyarakat

dalam menjalankan aktifitasnya. Rasa aman merupakan salah satu hak asasi

yang harus diperoleh atau dinikmati setiap orang, seperti yang tertuang dalam

UUD Republik Indonesia 1945 Pasal 28G ayat 1 “Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda

yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan

dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi”.

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis

masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan

nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh

terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman, yang

mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan

kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala

bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat

meresahkan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut tentu negara memberikan kewenangan

kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menjamin

tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna

mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan


6

keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi

hak asasi manusia.

Polisi memiliki peranan yang penting sebagai ujung tombak dalam

penegakan hukum di wilayah Republik Indonesia saat ini, ditambah tanggung

jawab yang diembannya cukup besar perlu adanya sinergisitas antara tugas

dan wewenang yang dimilikinya sebagaimana yang telah diatur didalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Sesuai dengan fungsinya yaitu dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu

fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, pelindungan, pengayom dan pelayan kepada

masyarakat”

Sehingga dikaitkan dengan keberadaan tindak pidana pencabulan yang

terjadi di Kabupaten Badung maka dalam dalam hal ini kepolisian harus

melakukan kewenangan dan tugasnya selaku oenegak hukum dan pelindung

masyarakat karena tindak pidana pencabulan tentu menimbulkan rasa tidak

aman dan nyaman serta dapat merugikan berbagai pihak.

Dengan melihat kompleksnya permasalahan dari tindak pidana

pencabulan terhadap anak ini, penulis akan melakukan penelitian mengenai

“UPAYA KEPOLISIAN RESOR BADUNG DALAM

MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN

(PENELITIAN DI POLRES BADUNG)”

1.2 Rumusan Masalah


7

Berdasarkan uraian latar belakang, ada beberapa permasalahan yang

akan menjadi pembahasan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan

penelitian ini,antara lain :

1) Bagaimanakah upaya Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi

tindak pidana pencabulan?

2) Bagaimanakah kendala Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi

tindak pidana pencabulan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dan permasalahan akan diperinci per bab, maka perlu

diberi batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan diurai

nanti.

Ruang lingkup substansi dari penelitian ini yaitu permasalahan

pertama bagaimanakah upaya Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi

tindak pidana pencabulan. Secara mengkhusus ruang penelitian hanya

membahas upaya penanggulangan serta kendala yang dihadapi selama proses

pengupayaan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana pencabulan

kemudian lingkupnya hanya dilakukan di Kantor kepolisian daerah Badung.

2 Landasan Teori dan Hipotesis

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Konsep Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri

merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social


8

policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy).

Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari

kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan

sosial.4

Usaha mencegah kejahatan adalah bagian dari politik kriminal, politik

kriminal ini dapat diartikan dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas.

Sudarto menjelaskan:

a. Dalam arti sempit politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan

asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanngaran

hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti lebih luas ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan

polisi.

c. Sedang dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan,

yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang

bertujuan untuk menegakkan norma-normasentral dari masyarakat.5

Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penangulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan: 6

1) Penerapan hukum pidana (criminal law application);

2) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

4
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. h. 2.
5
Sudarto, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 113-114.
6
Barda Nawawi Arief, 2010 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 45
9

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Ada tiga cara penanggulangan yang bisa dilakukan terhadap kejahatan

yakni, pre-emtif, preventif dan represif.

1) Pre-emtif

“Pre-emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak

kepolisian untuk mencegah terjadinya kejahatan. Usaha-usaha yang

dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang baik sehingga norma-

norma tersebut terinternalisasi dalam setiap diri seseorang.” 7 Meskipun

ada kesempatan untuk melakukan kejahatan, tapi tidak ada niat untuk

melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi, dalam

usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

Dalam upaya penanggulangan pre-emtif ini pihak kepolisian sebagai

penegak hukum melakukan pencegahan terjadinya kejahatan dengan cara

memberikan pengertian tentang pentingya menaati hukum yang berlaku.

Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam upaya penanggulangan

kejahatan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui memengaruhi pola

kehidupan masyarakat melalui usaha yang sistematik untuk membangun

kesadaran masyarakat akan akibat tindak pidana dan dampak

penghukumannya. Misalnya, seorang terpidana akan dibatasi hak-hak

politiknya selama beberapa tahun setelah selesai menjalani proses

hukumannya.
7
M. Ali Zaidan, 2016, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta, h.11-12.
10

Pihak lain juga yang bisa menanggulangi kejahatan melalui upaya

pre-emtif adalah tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat bisa memengaruhi

masyarakat sekitarnya melalui usaha-usaha membangkitkan jiwa

kerohaniannya. Meskipun kegiatan ini telah dilakukan seringkali, namun

kegiatan yang demikian harus dipandang perlu sebagai upaya untuk

membangkitkan kesadaran akan sifat bahaya kejahatan terhadap diri

sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sementara usaha lain yang bisa

dilakukan oleh pihak lain yaitu pendidik adalah melakukan revitalisasi dan

reaktualisasi pendidikan karakter, pendidikan intervensi dan pendidikan

habituasi dan membangun kesadaran kecerdasan moral dan nilai.

2) Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya

pre-emtif yang masih dalam tahap pencegahan sebelum terjadinya

kejahatan. “Upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan

kesempatan untuk melakukan kejahatan. Mencegah kejahatan lebih baik

daripada mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali.”8

3) Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi kejahatan yang

tindakannya berupa penegakkan hukum dengan menjatuhkan hukuman.

“Penanggulangan yang dilakukan adalah dengan cara menindak para

pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya

kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya

8
Ibid h. 112.
11

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan

masyarakat.”9 Upaya ini juga bisa diiringi dengan tindakan yang cukup

tegas dari penegak hukum khususnya kepolisian baik berupa kontak fisik

maupun dengan menggunakan senjata api, jika keadaan mendesak untuk

menggunakannya. Hal ini dilakukan tak lain demi memberikan efek jera

kepada setiap pelaku kejahatan, agar tak melakukan kejahatan kembali.

Dalam hal penggunaan senjata api dan kontak fisik memang kepolisian

diperbolehkan asal dalam keadaan tertentu.

Upaya represif ini adalah upaya terakhir yang harus dilakukan,

karena upaya ini bersifat memberikan pelajaran kepada pelaku kejahatan

agar tak mengulangi perbuatannya, meskipun upaya ini terkesan sebagai

upaya pemberian efek jera saja. Jika upaya-upaya penindakan yang

dilakukan oleh penegak hukum sudah berjalan dengan baik, maka

diharapkan terjadinya kejahatan selanjutnya dapat ditanggulangi.

2.1.3 Teori Efektivitas Hukum

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya

hukum berlaku efektif. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas

dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana

hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,

kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.

Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi

kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya

9
Ibid h. 114.
12

karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada

kepentingannya.10

Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan

atau kemanjuran atau kemujaraban. Membicarakan keefektifan hukum tentu

tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait

yaitu karakteristik atau dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.11 Kata

efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau

sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer

mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau

menunjang tujuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang

ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya

suatu Undang-Undang atau peraturan Sedangkan penerapan itu sendiri adalah

keadaan dimana dia diperankan untuk memantau. 12 Jika dilihat dari sudut

hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang

yaitu polisi. Kata penerapan sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti

terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap

pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang

hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.

Menurut Soerjono Soekanto efektif adalah taraf sejauh mana suatu

kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika


10
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Penerbit Kencana.
Jakarta, h. 375.
11
Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, h.
67
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Balai Pustaka, Jakarta. h. 284.
13

terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai

sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga

menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,

pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun

juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur

yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka

tentu saja unsur paksaan ini pun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya

suatu ketentuan atau aturan hukum.13

Efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif

atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:

a. Faktor Hukum, Hal yang dimaksud dengan hukum adalah segala

sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai

kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan

mendapatkan sanksi yang tegas dan nyata.14 Sumber lain

menyebutkan bahwa hukum adalah seperangkat norma atau kaidah

yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan

untuk ketentraman masyarakat.15

b. Faktor Masyarakat secara bentuk masyarakat dapat dibedakan

menjadi dua tingkat kedalaman yang berbeda. Pertama, masyarakat

yang langsung dan spontan sedangkan yang keduaadalah

masyarakat yang terorganisir dan direfleksikan. Masyarakat

13
Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 8.
14
Yulies Tina Masriani. 2004, PengantarHukum Indonesia.Sinar Grafika. Jakarta. H. 13
15
Ibid. h. 13
14

dengan pola yang spontan dinilai lebih kreatif baik secara

pemikiran maupun pola tingkah laku sedangkan masyarakat yang

terorganisir memiliki pola pikir yang baku dan banyak perencanaan

yang disengaja.16 Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh

karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat

mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Masyarakat Indonesia pada

khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai

hukum. Faktor Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat mempunyai pengaruh

yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab

penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum

maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

c. Faktor Kebudayaan, kebudayaan memiliki fungsi yang sangat

besar bagi masyarakat dan manusia. Masyarakat memiliki

kebutuahan dalam bidang materiil dan spiritual. Untuk memenuhi

kebutuhannya sebagian besar dipenuhi kebudayaan yang

bersumber pada masyarakat itu sendiri. Tapi kemampuan manusia

sangat terbatas, dengan demikian kemampuan kebudayaan yang

merupakan hasil ciptaannya juga terbatas dalam memenuhi segala

kebutuhan.17 Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta


16
Alvin S Johnson. 2004, Sosiologi Hukum. Rineka Cipta. Jakarta, h. 194
17
Soerjono Soekanto. 1990, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Rajawali Persada.
Jakarta. h. 178
15

dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup. Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya

hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan)

harus mencermikan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat.

Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara

peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat,

maka akan semakin mudah menegakkannya.18

d. Faktor Sarana dan Fasilitas, tanpa adanya sarana dan fasilitas

tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung

dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup

tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang

baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan

seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak tepenuhi, maka mustahil

penegakan hukum akan mencapai tujuannya.19 Faktor Sarana atau

Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum. Sarana dan fasilitas

yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan

dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak

hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.

e. Faktor Penegak Hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Salah satu kunci dari keberhasilan dalam

penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak

18
Ibid. h. 12
19
Ibid h. 37
16

hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap

lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus

dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan. enegak hukum di

Indonesia ada beberapa jabatan untuk membantu danmengurus

faktor-faktor penegakan hukum agar maksud dari suatu hukum

dapat berjalan dengan lancar dan adil. Diantaranya20:

a. Pejabat Kepolisian

b. Jaksa

c. Hakim

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi

hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektifitas

penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor

penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan

oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun

dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga

merupakan panutan oleh masyarakat luas.

2.2 Hipotesis

1) Upaya Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi tindak

pidana pencabulan adalah menghilangkan kesempatan untuk

melakukan kejahatan. Mencegah kejahatan lebih baik daripada

20
Bambang Poernomo. 1988, Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku.
Yogyakarta. H. 25
17

mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali yang kemudian hal

ini akan dilakukan oleh kepolisian Resor Badung demi menutup

celah dilakukannya tindak pidana pencabulan.

2) Kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Resor Badung dalam

menanggulangi tindak pidana pencabulan yaitu dari segi

masyarakatx penegak hukum, hukum itu sendiri, kebudayaan, serta

sarana dan prasarana, hal ini merupakan berbagai hambatan yang

juga sekaligus akan mendukung jika memenuhi ketentuannya

namun bila hal hal tersebut tidak selaras maka akan menjadi sebuah

hambatan yang akan mempersulit upaya penanggulangan yang

akan dilakukan.

3 Tujuan Penelitian

3.1 Tujuan Umum

1) Sebagai media untuk menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis

2) Sebagai wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi khusus

dalam bidang penelitian.

3) Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada

program Strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Ngurah

Rai Denpasar.

3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui upaya Kepolisian Resor Badung dalam

menanggulangi tindak pidana pencabulan


18

2) Untuk mengetahui kendala Kepolisian Resor Badung dalam

menanggulangi tindak pidana pencabulan

4 Manfaat Penelitian

4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi mahasiswa khususnya

mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin mengetahui upaya serta kendala

Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan.

4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dan masyarakat luas guna pemahamam dalam literatur di

bidang hukum, khususnya mengenai upaya serta kendala Kepolisian Resor

Badung dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan.

5 Metode Penelitian

5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yang

bertujuan menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan

bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer

yang diperoleh di lapangan. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian

lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan

metodologis untuk mengungkapkan data yang diperlukan dalam penelitian

yang bersumber dari lokasi atau lapangan.21 Penelitian hukum empiris tidak

21
Kartini Kartono, 2012, Pengantar Metodologi, Alumni, Bandung, h. 28
19

hanya tertuju pada masyarakat tetapi pada penegak hukumnya juga dan

fasilitas yang diharapkan akan menunjang pelaksanaan peratuan tersebut.22

5.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptip analitis, melalui

penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendiskripsikan peristiwa dan kejadian

yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap

peristiwa tersebut.23

5.3 Jenis Data

1) Data Primer

Sumber Data Primer adalah sumber data atau keterangan yang

merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama

berdasarkan penelitian lapangan. Data primer dalam penelitian ini

diperoleh melalui keterangan dan informasi yang didapat dari

pihak Kepolisian Resor Badung secara khusus adalah penyidik dan

Sabhara.

2) Data Sekunder

Sumber Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan

kepustakaan, seperti peraturan perundang-undangan, dokumen,

laporan, buku ilmiah dan hasil penelitian terdahulu, yang terdiri

dari:

a) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, dalam penelitian ini adalah:


22
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, h. 32.
23
Peter Mahmaud Marzuki. 2005, Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Kencana Prenada
Media Group. Jakarta, h. 133.
20

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang berupa karya-karya ilmiah, buku-buku

dan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan

yang sesuai dengan judul skripsi.

5.4 Teknik Pengumpulan Data

1) Teknik Pengumpulan Data Kepustakaan dilakukan dengan cara

studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk

memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengidentifikasi

dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum berupa

peraturan, buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan

permasalahan. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat

ringkasan sacara sistematis.

2) Teknik pengumpulan data lapangan dilakukan dengan studi

lapangan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara terjun

langsung kelapangan untuk melakukan Interview atau wawancara

dengan informan.24

5.5 Teknik Pengolahan Dan Analisa Data

24
Amirudin dan H Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Jakarta, h. 32.
21

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan sesuai

dengan penelitian dan diteliti serta di evaluasi keabsahannya. Setelah itu

diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk

penarikan kesimpulan dilakukan secara kualitatif, sehingga di harapkan

memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.25

Pengolahan dan analisis data yang diperoleh dari penelitian baik

penelitian kepustakaan atau penelitian lapangan akan diolah dan dianalisis

secara deskriptif kualitatif yaitu penyusunan, interpretasi dan pemahaman

makna dengan mengkaitkan ketentuan yang berlaku dengan kondisi

masyarakat kemudian disajikan secara sistematis.

25
Ibid, h. 14
BAB II

TINJAUAN UMUM UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PENCABULAN

1. Gambaran Umum Kepolisian Resor Badung

Kepolisian Resor Badung terletak di Jl. Kebo Iwa No.1, Mengwitani,

Mengwi, Kabupaten Badung, Bali 80351. Visi Kepolisian Resor Badung

adalah “terwujudnya pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat yang

prima, tegaknya hukum dan keamanan dalam negeri yang mantap serta

terjalinnya sinergi polisional yang proaktif”. Misi Kepolisian Resor Badung,

adalah:

1) Melaksanakan deteksi dini dan peringatan dini melalui kegiatan/operasi

penyelidikan, pengamanan dan penggalangan;

2) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah,

responsif dan tidak diskriminatif;

3) Menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas untuk menjamin

keselamatan dan kelancaran arus orang dan barang;

4) Menjamin keberhasilan penanggulangan gangguan keamanan dalam

negeri;

5) Mengembangkan perpolisian masyarakat yang berbasis pada masyarakat

patuh hukum;

6) Menegakkan hukum secara profesional, objektif, proporsional, transparan

dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan;

22
23

7) Mengelola secara profesional, transparan, akuntabel dan modern seluruh

sumber daya Polri guna mendukung operasional tugas Polri;

8) Membangun sistem sinergi polisional interdepartemen dan lembaga

internasional maupun komponen masyarakat dalam rangka membangun

kemitraan dan jejaring kerja (partnership building/networking).

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan sebuah istilah yang umum dipergunakan

dalam undang-undang di Indonesia, dimana istilah tindak pidana lebih

menekankan kepada suatu tindakan yang mencakup pengertian melakukan

atau berbuat (aktif) serta tidak berbuat (pasif) dimana erat kaitannya dengan

suatu sikap batin seseorang yang berbuat atau bertindak. Tindakan ataupun

perbuatan yang dimaksud mengandung unsur ataupun sifat melawan hukum

dari suatu aturan hukum yang telah ada yang melarang tindakan tersebut

sehingga tindakan tersebut dapat dijatuhi hukuman.

Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit,

namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi

strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan

arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka

masing-masing.

Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang

diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, kata baar diterjemahkan sebagai

dapat dan boleh sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
24

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.26 Istilah Tindak Pidana adalah sebagai

terjemahan dari istilah bahasa belanda yaitu “Strafbaar feit”atau “Delict”. Di

dalam bahasa indonesia sebagai terjemahan dari strafbaarfeit atau delict

terdapat beberapa istilah seperti:

a. Tindak Pidana

b. Perbuatan Pidana

c. Peristiwa Pidana

d. Pelanggaran Pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum

f. Perbuatan yang dapat dihukum.27

Diantara keenam istilah di atas, menurut Prof. Sudarto bahwa

pembentukan undang-undang sudah tepat dalam pemakaian istilah tindak

pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang

telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Prof. Sudarto

diikuti oleh Teguh prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu

menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah

mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.28 Dari uraian tersebut

dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa strafbaarfeit kiranya dapat

dipahami sebagai sebuah tindak, peristiwa, pelanggaran atau perbuatan yang

dapat atau boleh dipidana atau dikenakan hukuman.

26
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 69
27
Ishaq dan Efendi, 2016, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo , Jakarta, h.
136
28
Teguh Prasetyo, 2016, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 49
25

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah

strafbaar feit adalah:

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-

undangan. Hampir seluruh peraturam perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya MR.

R Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana. Pembentukan

perundang-undangan juga pernah menggunakan istilah peristiwa

pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

dalam Pasal 14 Ayat 1.

3. Delik, berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk

menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

4. Pelanggaran Pidana, dapat dujumpai dalam buku Pokok-Pokok

Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni

dalam bukunya yang berjudul “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”.29

Adapun pendapat para sarjana dan beberapa ahli mengenai tindak

pidana sebagai berikut: Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu

sebenarnya adalah tindakan yang menurut rumusan Undang-Undang telah

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.30 Menurut Prof. Dr.

29
Adami Chazawi, Op. Cit, h. 67.
30
Simons, D, 2000, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli : Leerboek van Het
Nederlandse Strafrecht) ditrjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Pioner jaya, Bandung. h. 72.
26

Wiryono prodjodikoro bahwa “tindak pidana” adalah suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan.31 Moeljatno menggunakan istilah perbuatan

pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.32 R. Tresna menggunakan

istilah peristiwa pidana, yaitu suatu perbuatan manusia yang bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap

perbutan mana yang diadakan tindakan hukuman.33

Menurut Bambang Poernomo, tindak pidana yaitu perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran

pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan

umum.34 Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang

yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana

dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang

mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang,

sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana

(hukuman).35

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa

31
Dr. Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Pidana Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 59
32
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, h. 54.
33
Adhami Chazawi, Op. Cit., h. 34.
34
Bambang Poernomo. 2007. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghlmia Indonesia. Jakarta, h.
86.
35
Ibid h. 87
27

perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana, asal saja pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada

perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan

orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukan kepada orang yang

menimbulkannya kejadian itu.36

Dalam ilmu hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana itu di bedakan

dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.37

1. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri si pelaku tindak

pidana. Menurut Lamintang, unsur objektif itu adalah unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan

mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 38 Unsur

Objektif ini meliputi:

a) Perbuatan atau kelakuan manusia

b) Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik

c) Unsur melawan hukum

d) Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana

e) Unsur yang memberatkan pidana

f) Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.39

36
Kansil, C.S.T., 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana: Hukum Pidana untuk Tiap Orang,
Pradnya Paramita, Jakarta, h. 37
37
Sofjan Sastrawidjaja, 2005, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung, h. 117.
38
Lamintang, P.A.F., 2001, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 184.
39
Sofjan Sastrawidjaja, Op. Cit., h. 118.
28

2. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak

pidana. Unsur subjektif ini meliputi:

a) Kesengajaan (dolus)

b) Kealpaan (culpa)

c) Niat (voornemen)

d) Maksud (oogmerk)

e) Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade)

f) Perasaan takut (vrees)40

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak

pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah

harus ada sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan

uraian Undang-undang (wettelijkeomschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan

tanpa hak, kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu

diancam dengan hukuman.

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara

lain sebagai berikut: Menurut KUHP, dibedakan antara lain kejahatan

(rechtsdelict) yang dimuat dalam Buku II KUHP Pasal 104 sampai dengan

Pasal 488 dan pelanggaran (wetdelict) yang dimuat dalam Buku III KUHP

Pasal 489 sampai dengan Pasal 569.

40
Ibid h. 121
29

Kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan

meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan

pidana. Sedangkan, pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah

suatu perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana

karena ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pembagian

tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya

merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke

III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di

dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

1. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel

delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak pidana

formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang

dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Jika seseorang telah

berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan

tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari

perbuatan itu. Sedangkan, tindak pidana materil inti larangannya adalah

pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan

dan dipidana. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi

sedangkan cara melakukukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan.

2. Dilihat dari bentuk kesalahan, dibedakan tindak pidana sengaja (dolus

delicten) dan tindak pidana tidak disengaja (culpose delicten). Tindak

pidana kesengajaan (dolus) adalah tindak pidana yang memuat unsur


30

kesengajaan dalam rumusannya. Tindak pidana tidak disengaja adalah

tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam rumusannya.

3. Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana aktif/positif

(delik comissionis) dan tindak pidana pasif (omisionis). Tindak pidana

aktif (comissionis) adalah tindak pidana yang berupa perbuatan aktif.

4. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan

tindak pidana aduan dan tindak pidana biasa. Tindak pidana aduan timbul

oleh karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang

merasa dirugikan. Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang

sebagaian besar tercantum dalam KUHP dimana tanpa ada aduan dari

siapapun, pelaku dapat dituntut secara hukum.

5. Dilihat dari subyek hukumnya, dibedakan tindak pidana communia dan

tindak pidana propia. Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang

dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya. Tindak pidana memang

diberlakukan pada semua orang. Sedangkan, tindak pidana propia adalah

tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas

tertentu.

6. Berdasarkan berat ringannya ancaman pidana, dibedakan tindak pidana

bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat

(gequalificeerde delicten), dan tindak pidana yang diperingan

(gepriviligieerde delicten). Tindak pidana dalam bentuk pokok

dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurunsur yang tercantum

dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain
31

terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan,

dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan

kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan

unsur-unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas

dalam rumusan.

3. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas

seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun

wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan

atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut:

pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak

sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh) tidak susila, bercabul: berzinah,

melakakukan tindak pidana asusiala, mencabul: menzinahi, memperkosa,

mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor,

tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan).41 Pengertian perbuatan

cabul adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri

sendiri maupun dilakaukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan

dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

seksual.

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah

segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji

41
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka. edisi ke 2. Jakarta, h. 893.
32

yang semua ada kaitannya dengan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-

ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua

bentuk-bentuk perbuatan cabul.42

J.M. Van Bemmellen mengemukakan bahwa perbuatan cabul itu

termasuk persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan cabul yang

bertentangan dengan alam. Larangan atau hukuman terhadap pelaku perbuatan

cabul43. Menurut Bemmellen ditunjukkan untuk melindungi anak-anak muda

(remaja) dari gangguan perkembangan seksual, dan perkosaan. Selain itu

menurut Bemmellen, larangan perbuatan cabul dan penghukuman kepada

pelaku adalah ditunjukkan untuk memelihara penyalahgunaan hubungan

tertentu, atau kekuasaan tertentu, misalnya orang tua kandung, orang tua tiri,

wali, majikan dan orang-orang yang menjadi pengasuh, pendidik, atau penjaga

anak-anak yang belum dewasa yang dipercayakan dan menjadi

tanggungjawabnya.44

Menurut Simon: “ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan

yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan

maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya

bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.45

Menurut Adami Chazawi perbuatan cabul segala macam wujud

perbuatan baik dilakukan sendiri maupun pada orang lain mengenai yang

42
Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, cet 1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 1.
43
Neng Djubaidah, 2010, Perzinaan, Cet. 1, Kencana Prenada Group, Jakarta, h. 75.
44
Ibid h. 76
45
Lamintang P.A.F, 2002, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, h. 159.
33

berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat

merangsang sesorang terhadap nafsu birahinya, seperti mengelus-mengelus

vagina atau penis, mencium mulut perempuan, memegang buah dada dan lain-

lain, yang tidak sampai dengan hubungan badan atau alat kelamin laki-laki

masuk ke alat kelamin perempuan.46 Menurut R. Soesilo menjelasakn

mengenai perbuatan cabul adalah “segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanaan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba

anggota tubuh dada alat kelamin dll.”47 Menurut PAF Lamintang dan Djisman

Samosir pencabulan adalah “perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang wanita utuk melakukan persetubuhan

diluar perkawinan dengan dirinya.”48

Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan

terhadap kesusilaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum

mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan

mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana sudah terdapat penambahan kata

“persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan tersebut dapat

dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda.

Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.

46
Adami Chazawi. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 80.
47
R. Soesilo. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Politea, Bogor. h. 212.
48
Lamintang, P.A.F. 2001, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Op. Cit., h. 193.
34

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak

pidana pencabulan terdapat beberapa pasal yang mengaturnya yaitu Pasal 287,

Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295,

dan Pasal 296.

Berdasarkan Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

Ayat (1) : “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanitayang bukan

istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya

bahwa umur wanita itubelum lima belas tahun, atau kalau

umumnya belum jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Ayat (2): “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur

wanita itu belum sampai dua belas tahun ataubila ada salah satu hal

tersebut dalam Pasal 291 danPasal 294.

Berdasarkan Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

Ayat (1): “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang

bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan

itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.

Ayat (2): “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan

pidana penjara paling lama delapan tahun


35

Ayat (3): “Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara

paling lama dua belas tahun.

Dalam Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang

menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun.

Berdasarkan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau

patut disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya

5 (lima) tahun”.

Pasal ini mengatur mengenai perbuatan cabul yang dilakukan

orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa yang berjenis kelamin

sama dengan pelaku. Dewasa berarti telah berumur dua puluh satu tahun

atau belum berumur dua puluh satu tahun tetapi sudah pernah kawin. Jenis

kelamin yang sama berarti laki-laki dengan laki-laki dan perempuan

dengan perempuan.
36

Berdasarkan Pasal 293 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

(1). “Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan,

atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum

dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal

tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus

diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2). Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap

dirinya dilakukan kejahatan itu.

(3). Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74, ditentukan buat satu-satu

pengaduan ini adalah 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) bulan”.

Adapun yang dimaksud dalam pasal ini adalah sengaja membujuk

orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul pada dirinya. Ketika membicarakan kejahatan

membujuk orang yang umurnya belum lima belas tahun untuk melakukan

perbuatan cabul dan yang dipergunakan yakni hadiah atau perjanjian

berupa uang, atau pengaruh yang berlebihan atau tipuan.49

Berdasarkan Pasal 294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:
49
R. Soesilo, Op.cit., h. 215.
37

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya,

anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau

dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan, atau

penjagaannya dianya yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara

paling lama tujuh tahun.

Diancam dengan pidana yang sama:

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena

jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya

dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara,

tempat pekerjaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit,

rumah sakit jiwa atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul

dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya”.

Adapun yang diancam dalam pasal ini adalah seseorang yang sengaja

melakukan perbuatan asusila atau cabul terhadap anak kandung, anak tiri,

anak angkat, dan anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur atau

belum ewasa yang tanggung jawab pemeliharaan, pendidikan, penjagaan, atau

semua kebutuhan atas anak tersebut ada pada atau menjadi tanggung jawab

pelaku.
38

Berdasarkan Pasal 295 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

“Diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan

cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah

pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum

dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya

diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang

belum cukup umur, dengan orang lain.

2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan

sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali

yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang

diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya

demikian, dengan orang lain”.

Jika yang melakukan kejahatan tersebut sebagai pencarian atau

kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Dalam Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

disebutkan:

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh

orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau

kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
39

Mengenai tindak pidana pencabulan, harus ada orang sebagai

subjeknya dan orang itu melakukannya dengan kesalahan, dengan

perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana pencabulan,

berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan.

Adapun nsur-unsur mengenai tindak pidana pencabulan menurut Pasal 82

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

adalah:

1. Unsur “Barang siapa”, dalam hal ini menunjukkan tentang subjek atau

pelaku atau siapa yang didakwa melakukan tindak pidana.

2. Unsur “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk anak atau untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.


BAB III

UPAYA KEPOLISIAN RESOR BADUNG DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PENCABULAN

1. Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Badung

Perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang sering terjadi di

kehidupan masyarakat. Perkosaan termasuk ke dalam kejahatan seksual karena

perbuatan atau tindakannya cenderung mengarah kepada hal-hal yang bersifat

seksualitas. Perkosaan dapat terjadi di ranah privat dan publik (komunitas/

masyarakat), yang korbannya selalu kaum perempuan. Kemudian dilihat dari

usia korbannya, perkosaan dapat terjadi pada orang yang berusia dewasa dan

anak-anak. Dalam konteks hukum pidana positif, perkosaan merupakan salah

satu tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

(KUHP).

Di dalam KUHP, tindak pidana perkosaan dikategorikan sebagai

kejahatan (rechtsdelicten) yang dicantumkan dalam Buku Kedua (II) Bab XIV.

Perkosaan dikategorikan sebagai kejahatan karena bertentangan dengan nilai

keadilan, terlepas apakah perkosaan diancam dalam suatu undang-undang atau

tidak.50 Tindak perkosaan sebagai kejahatan disebut sebagai kejahatan terhadap

50
Sudarto, 2013, Hukum pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto, Semarang. h. 94.

40
41

kesusilaan (misdrijven tegen de zeden), yang oleh pakar hukum disebut juga

dengan kejahatan mengenai kesopanan51 atau kejahatan terhadap kesopanan.52

Menurut Lamintang dan Theo Lamintang, yang dimaksud dengan

kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam Buku II Bab XIV KUHP di

dalam Wetboek van Strafrecht juga disebut sebagai Misdrijven Tegen de

Zeden.53 Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa kesulilaan

(zedenlijkheid) merupakan adat kebiasaan yang baik mengenai kelamin (seks)

seseorang.54 Jadi, kejahatan terhadap kesusilaan dapat diartikan sebagai

kejahatan yang melanggar adat kebiasaan yang baik mengenai kelamin (seks)

seseorang. Kejahatan terhadap kesusilaan di dalam Buku II Bab XIV KUHP

diatur mulai dari Pasal 281 sampai dengan Pasal 299. Kemudian terkait dengan

tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP.

Dalam perkembangannya, mengenai tindak pidana perkosaan juga diatur

dalam undang-undang khusus, yaitu: Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) dan Undang-Undang RI Nomor

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No

23 Tahun 2004). Larangan untuk melakukan perkosaan dan ancaman pidananya

51
Wirjono Prodjodikoro, 2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung. h. 111.
52
R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 204.
53
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan
& Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
54
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 112.
42

dalam UU No. 35 Tahun 2014 dicantumkan pada Pasal 76D jo. Pasal 81.

Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 2004, perkosaan dapat dikategorikan

sebagai kekerasan seksual sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 8 huruf dan

ancaman pidananya dicantumkan dalam Pasal 46.

Perkosaan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang diatur dalam

KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan (misdrijven

tegen de zeden). Maksud pembentuk undang-undang (KUHP) mengatur tindak

pidana perkosaan beserta ancaman pidananya adalah untuk meberikan

perlindungan terhadap orang-orang yang perlu dilindungi (perempuan) dari

tindakan-tindakan asusila (bertentangan dengan kesusilaan) berupa perkosaan.

Pengaturan tentang tindak pidana perkosaan di dalam KUHP dicantumkan

dalam Pasal 285, yang rumusannya: “Barang siapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,

diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12

(dua belas) tahun”. Apabila melihat rumusan tindak pidana perkosaan dalam

Pasal 285 tersebut di atas, maka termasuk ke dalam tindak pidana (delik) formal

karena perumusanya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang.

Menurut Andi Hamzah, padanan dari Pasal 285 KUHP di Ned. W.v.Si

adalah Artikel 242 yang terjemahannya: “Barangsiapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar

perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara


43

paling lama 12 (dua belas) tahun”.55 Lebih lanjut Andi Hamzah mengemukakan

bahwa bagian inti tindak pidana perkosaan (delicts bestanddelen), yaitu:

Dengan kekerasan atau acaman kekerasan

1) Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

2) Memaksa

3) Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu tidak

dapat melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan.

4) Dengan perempuan yang bukan istrinya

5) Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak

dinikahinya secara sah.

6) Terjadi persetubuhan

7) Melakukan persetubuhan berarti terjadi hubungan biologis antara pembuat

dan perempuan yang dipaksa tersebut.56

Berdasarkan wawancara dengan Ni Nyoman Ayu Inastuti selaku

Penyidik Polres Badung, tindak pidana pencabulan yang pernah terjadi di

Polres Badung tercatat dan dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut:57

DATA

JUMLAH KASUS PENCABULAN

TAHUN 2019-2021

NO TAHUN JUMLAH KASUS

55
Andi Hamzah, 2009, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di dalam KUHP, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 15.
56
Ibid.
57
Hasil wawancara dengan Ni Nyoman Ayu Inastuti selaku Penyidik Polres Badung,
pada 28 April 2022 pukul 08.00 wita
44

1 2019 8

2 2020 6

3 2021 11

JUMLAH 25

Sumber: Reskrim Polres Badung

Berdasarkan data pada tabel diatas, pada tahun 2019 tercatat terdapat 8

kasus pencabulan yang tercatat di Kepolisian Resor Badung, kemudia pada

tahun 2020 karena dampak Covid-19 jumlah kasus menurun menjadi 6 kasus,

namun pada tahun 2021 jumlah kasus kembali melonjak menjadi 11 kasus.

Data pada tabel tersebut menggambarkan bahwa kasus pencabulan yang

terjadi di Kabupaten Badung tidak mengalami penurunan, justru meningkat

dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadi penting untuk segera dicari upaya

penanggulangannya agar tindak pidana pencabulan ini tidak kembali

meningkat di tahun berikutnya.

Salah satu contoh kasus pencabulan yang terjadi di Kabupaten Badung

adalah Putusan Nomor 528/Pid.B/2019/PN Dps dengan Terdakwa FRESNAL

MANAFE ALS RICAD pada hari Selasa tanggal 26 Februari 2019 sekira

pukul 19.00 WITA atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan

Februari atau setidak-tidaknya dalam tahun 2019 bertempat di pinggir jalan

Drupadi Gang Kahyangan, Desa Seminyak Kecamatan Kuta Kabupaten

Badung Provinsi Bali atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar yang berwenang

memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan kekerasan atau ancaman


45

kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan

dilakukannya perbuatan cabul, yang dilakukan oleh Terdakwa pada hari

Selasa tanggal 26 Februari 2019 sekira pukul 19.00 WITA, saksi ESRA

OZEGE yang hendak pergi ke toko Holiday untuk membeli minuman dengan

memakai 1 (satu) buah baju kaos warna biru bergaris putih dan 1 (satu) buah

celana jeans warna putih berjalan kaki di pinggir jalan umum yang dapat

dilalui oleh orang dan kendaraan dari arah Villa Umasapna Jalan Drupadi,

Seminyak Kecamatan Kuta Kabupaten Badung (arah timur) menuju ke Toko

Holiday (arah barat). Selanjutnya Terdakwa datang dari arah timur menuju

barat mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Honda Vario warna hitam DK

334 ABG dengan mengenakan 1 (satu) buah kaos singlet warna hitam

bertuliskan Kuta Bali dan 1 (satu) buah celana pendek jeans warna putih.

Kemudian, Terdakwa datang dari belakang saksi ESRA OZEGE, merasa

bernafsu melihat bentuk tubuh saksi ESRA OZEGE sedang berjalan sendirian.

Lalu saat sepeda motor yang Terdakwa kendarai melewati saksi ESRA

OZEGE, Terdakwa melihat ke arah saksi ESRA OZEGE sambil terus

mengendarai sepeda motornya dan merasa semakin bernafsu dan bergairah

melihat saksi ESRA OZEGE. Selanjutnya, tidak beberapa jauh setelah

melewati saksi ESRA OZEGE, Terdakwa kemudian berbalik arah dari arah

barat menuju timur dan kembali melewati saksi ESRA OZEGE. Kemudian,

tidak berapa jauh setelah melewati saksi ESRA OZEGE tersebut, Terdakwa

kembali berbalik arah dari arah timur menuju arah barat lalu mendekatkan

sepeda motor yang sedang Terdakwa kendarai ke tubuh saksi ESRA OZEGE.
46

Lalu dengan sangat cepat, Terdakwa mencengkram, meremas dan menarik

payudara sebelah kanan saksi ESRA OZEGE dengan menggunaan tangan kiri

Terdakwa hingga saksi ESRA OZEGE merasa sakit pada payudara sebelah

kanannya, kemudian karena mersa sangat terkejut, saksi ESRA OZEGE

menangkis tangan Terdakwa dengan menggunakan tangan kanan saksi ESRA

OZEGE hingga lengan kanan saksi ESRA OZEGE mengalami sakit dan

memar, lalu saksi ESRA OZEGE berteriak “Come back... Come back here...

Telepon police” sambil melambaikan tangan. Teriakan dan lambaian tangan

saksi ESRA OZEGE tersebut didengar oleh saksi I KETUT WENTEN yang

sedang berjaga di Villa Rumi (sebelah timur saksi ESRA OZEGE). Namun

karena saksi ESRA OZEGE berteriak, Terdakwa langsung mengendarai

sepeda motornya lagi dan sempat tertawa ke arah saksi ESRA OZEGE lalu

pergi dengan sangat cepat meninggalkan sakai ESRA OZEGE. Kemudian,

saksi ESRA OZEGE berjalan sambil menangis sempat pergi ke Toko Holiday,

kemudian menceritakan kepada pemilik Toko Holiday yaitu saksi I GEDE

YADNYA YASA dan penerepti/petugas keamanan Desa yang sedang berjaga

yaitu saksi I GEDE ARIAWAN bahwa saksi ESRA OZEGE telah mengalami

tindakan pencabulan. Kemudian karena merasa sangat trauma dan malu, saksi

ESRA OZEGE pun kembali ke Villa Uma Sapna menemui saksi UYSAL

DIRENC lalu menceritakan kejadian yang telah saksi ESRA OZEGE alami

sambil menangis, lalu saksi UYSAL DIRENC bersama dengan saksi ESRA

OZEGE kembali lagi ke tempat kejadian perkara menuju Toko Holiday untuk
47

melihat rekaman CCTV mini market Holiday tersebut dan melaporkan

kejadian tersebut ke kepolisian setempat.

Apabila dilihat dari kronologi kejadian tersebut, kemudian melihat

pasal pencabulan dalam Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Barang Siapa

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang

untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul.

Dengan terpenuhinya kedua unsur tersebut, maka terdakwa dapat

dijatuhi hukuman pidana yang sesuai dengan putusan ini, pelaku dijatuhi

hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun sesuai dengan isi Pasal 289

KUHP dengan maksimal penjara 9 tahun. Namun hukuman ini sangat jauh

dari pidana maksimal pasal tersebut.

2. Upaya Kepolisian Resor Badung Dalam Menanggulangi Tindak Pidana

Pencabulan

Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan

atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan

badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah

perbuatan cabul. Perbuatan cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis

perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga termasuk

perbuatan persetubuhan di luar perkawinan58

58
Moch. Anwar, 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 2, Alumni,
Bandung, h. 231.
48

Pencabulan merupakan salah satu dari kejahatan seksual yang

diakibatkan dari adanya perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat

kita. Pencabulan adalah jenis kejahatan yang berdampak sangat buruk

terutama pada korbannya, sebab pencabulan akan melanggar hak asasi

manusia serta dapat merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap jiwa,

akal dan keturunan.

Penanggulangan pencabulan dilakukan dengan dua cara yakni upaya

represif dan upaya preventif. Yang dimaksud dengan upaya penanggulangan

tindak pidana pencabulan anak yang bersifat represif adalah upaya untuk

menangani atau memproses perbuatan cabul yang mengakibatkan dapat

terjadinya perbuatan melanggar hukum sesuai dengan undang-undang yang

berlaku, sehingga dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana.

Penal (hukum pidana) merupakan salah satu sarana yang dapat

digunakan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di kehidupan

masyarakat. Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dalam pembahasan

ini hakikatnya adalah upaya penegakan hukum pidana in concreto atau penerapan

hukum pidana di dalam kenyataan, sehinga dapat juga disebut kebijakan aplikatif

atau yudikatif. Kemudian penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dalam

konteks pembahasan ini juga termasuk ke dalam penanggulangan secara

represif, yaitu penanggulangan kejahatan yang ditempuh setelah terjadinya

kejahatan di kehidupan masyarakat.

Unsur tindak pidana perkosaan yang diperluas, salah satunya adalah

unsur “kekerasan atan ancaman kekerasan”. Sebelum menguraikan perluasan


49

makna unsur itu, maka terlebih dahulu dilihat makna yang telah ada yang

merujuk pada doktrin dan praktik peradilan pidana yang terjadi selama ini karena

KUHP tidak memberikan maknanya. Simons mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan kekerasan (geweld) adalah elke uitoefening van lichamelijke

kracht van niet al te geringe betekenis (setiap penggunaan tenaga badan yang tidak

terlalu tidak berarti) atau het aanwenden van lichamelijke kracht van niet al te

geringe intensiteit (setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan).59

Kemudian dalam komentarnya terhadap Pasal 89 KUHP, R. Soesilo

memberikan pengertian tentang “melakukan kekerasan”, yaitu mempergunakan

tenaga atau kekuatan jasmaniah tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya

memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,

menendang, dan lain sebagainya.60

Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrest-nya masing-masing tanggal 5

Januari 1914, NJ 1914 halaman 397, W. 9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,

NJ 1915 halaman 1116, mengenai ancaman akan kekerasan tersebut

disyaratkan, yakni:61

1. Dat de bedreiging is geuit onder zodanige omstandingheid, dat bij de

bedreigde de indruk kan worden min of meer ernstige inbreuk wiordt

gemaakt op zijn persoonlijke vrijheid (Bahwa ancaman itu harus

diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat

menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang

59
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit.
60
R. Soesilo, op.cit, h. 98
61
Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 99.
50

diancamkan itu benar- benar akan dapat merugikan kebebasan

pribadinya);

2. Dat des daders wil is gericht op het teweengbrengen van die indruk

(Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan

kesan seperti itu).

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang mengemukakan bahwa arrest-

arrest Hoge Raad tersebut belum memberikan penjelasan tentang apa yang

dimaksud dengan ancaman dengan kekerasan atau ancaman akan memakai

kekerasan karena arrest-arrest itu hanya menjelaskan tentang cara ancaman

harus diucapkan. Kekerasan merupakan perbuatan atau tindakan yang

dilakukan dengan memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan

(kuat), namun dapat juga dilakukan dengan memakai sebuah alat (tanpa

tenaga badan), seperti menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat leher

dengan seutas tali, menusuk dengan sebihlah pisau, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah suatu

ancaman, yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan

pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengannya, maka ia akan

melakukan sesuatu yang dapat merugikan kebebasan, kesehatan,

keselamatan nyawa orang yang diancam.62

Adami Chazawi mengemukakan bahwa kekerasan dalam pengertian

Pasal 285 KUHP dapat didefnisikan sebagai suatu cara atau upaya berbuat

(sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk

62
ibid
51

mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang

besar yang mengakibatkan orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik.

Dalam keadaan yang tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan

terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya

(walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan

sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang

bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Sifat kekerasan itu sendiri adalah

abstrak, maksudnya wujud konkret dari kekerasan bermacam-macam dan

tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang,

menusuk dengan pisau, dan lain sebagainya.63

Selanjutnya Adami Chazawi berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fsik yang

ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik,

dimana perbuatan fsik tersebut dapat berupa perbuatan persiapan untuk

dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa

kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau diwujudkan

jika ancaman itu tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan

pelaku.64

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa unsur “kekerasan”

dalam Pasal 285 KUHP dimaknai sebagai perbuatan (tindakan) yang

dilakukan baik dengan menggunakan tenaga badan maupun

menggunakan alat, seperti pistol, pisau, tali, dan lain sebagainya.


63
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, RajaGrafndo Persada,
Jakarta. h. 65
64
ibid
52

Kemudian unsur “ancaman kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP

dimaknai sebagai perbuatan mengancam akan menggunakan kekerasan itu

apabila seorang perempuan tidak mau menurut kehendak pelaku untuk

bersetubuh dengannya. Kekerasan baru dilakukan oleh pelaku, apabila

ancamannya tidak berhasil, dalam arti tidak mempengaruhi perempuan

untuk menuruti kehendaknya (bersetubuh). Kekerasan itu bersifat abstrak,

sehingga dalam praktik bentuknya berbeda-beda.

Kunarto dalam makalahnya menyebutkan di dalam kegiatan operasi

rutin, metode yang diterapkan dalam penanggulangan kejahatan dapat

dibedakan menjadi dua:

a. Upaya Represif Meliputi rangkaian kegiatan yang ditujukan kearah

pengungkapan terhadap semua kejahatan yang telah terjadi, yang disebut

sebagai ancaman faktual. Dalam hal ini bentuk kegiatan dapat berupa

penyelidikan, penyidikan, serta upaya paksa lainnya sesuai ketentuan

undang-undang.

b. Upaya Preventif Meliputi rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk

mencegah secara langsung terjadinya kejahatan, yang mencakup kegiatan-

kegiatan yang diperkirakan mengandung pilice hazard, termasuk juga

kegiatan pembinaan masyarakat, yang ditujukan untuk memotivasi

segenap lapisan masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam

mencegah, menangkal upaya kejahatan.65

65
Boentor. 2017. Peranan Kepolisian dalam Menangani Tindak Pidana Pelecehan
Seksual Terhadap Anak di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Mandau-Duri. JOM Fakultas
Hukum Volume IV Nomor 1, Februari 2017. Pekanbaru
53

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Gusti Agung Ayu Mas

Asriawathi selaku penyidik di Polres Badung, bahwa beliau mengatakan ada

beberapa upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian Resor Badung dalam

menangani dan mencegah tindak pidana Pencabulan yaitu:

1. Melakukan patrol rutin untuk meningkatkan suasana Kamtibmas dalam

kehidupan masyarakat, selain itu juga secara rutin memberikan

penyuluhan hukum terhadap masyarakat juga secara rutin memberikan

penyuluhan hukum terhadap masyarkat. Aparat Kepolisian dalam

melakukan patroli diharapkan mampu membangun komunikasi yang baik

dengan masyarakat sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara

polisi dengan masyarakat yang nantinya akan melahirkan kerjasama yang

baik di antara keduanya.

2. Menindak para pelakunya sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar ia sadar bahwa perbuatan yang dilakukan

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat,

sehingga ia kembali ke dalam masyarakat dan tidak melakukan kembali

kejahatan.66

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dibandingkan dengan Teori

Upaya oleh Kunarto, maka dapat dianalisis bahwa upaya patroli yang dan

penyuluhan yang dilakukan kepolisian termasuk kedalam upaya preventif,

sedangkan upaya penindakan sesuai dengan perbuatan dan hukum yang

66
Hasil wawancara dengan I Gusti Agung Ayu Mas Asriawathi selaku penyidik di Polres
Badung, pada 27 April 2022 pukul 13.00 wita
54

berlaku merupakan upaya represif sesuai dengan Teori Upaya oleh Kunarto

yang dijabarkan sebelumnya.


BAB IV

KENDALA KEPOLISIAN RESOR BADUNG

DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN

1. Faktor-faktor terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten

Badung Setiap orang di muka bumi ini tidak pernah menghendaki dirinya

menjadi korban kejahatan, begitu juga dengan anak, sebagian besar dari

mereka, khususnya anak yang masih balita, bahkan belum mengerti apa

artinya kejahatan apalagi sampai membayangkan dirinya menjadi korban

kejahatan. Mereka seringkali menjadi korban pelecehan seksual yang sama

sekali tidak mereka pahami, sementara dampak yang dialaminya kemungkinan

bisa mengganggu kejiwaaannya, berdampak negatif pada pertumbuhannya,

bahkan dapat menjadi beban mental seumur hidupnya.67 Perbuatan cabul yang

dilakukan oleh pelaku awalnya bukanlah perbuatan yang direncanakan tetapi

secara spontan terjadi karena pelaku dalam keadaan terdesak nafsu

seksualnya, dan pada saat ia ingin melampiaskan nafsunya tersebut.

Dengan terjadinya hal-hal tersebut di atas maka wajar bila

menimbulkan keresahan, karena tindak pidana seksual sebagai salah satu

kejahatan menimbulkan gangguan terhadap kesejahteraan dan ketentraman

masyarakat. Oleh karena itu dengan terjadinya tindak pidana seksual maka

terjadi pula ketersinggungan sosial yang sangat sulit untuk dimaafkan

sehingga timbul keresahan dalam masyarakat.

Secara umum akibat dari tindak pidana seksual terhadap anak adalah :
67
Mien Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung, h. 1-2

55
56

1. Akibat bagi diri sendiri (pelaku).

Pelaku akan mendapatkan celaan dari masyarakat dan apabila

perbuatan yang mereka lakukan sampai berakibat fatal bagi korban

khususnya, maka pelaku akan dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan.

Pelaku akan menderita dan juga bagi keluarganya akan menanggung

aib/malu terhadap korban dan masyarakat, jika pelaku keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi pembicaraan masyarakat, bahkan

masyarakatpun akan menolak kembali kehadirannya sebagai bagian dari

masyarakat.

2. Akibat bagi si korban.

Apabila ada kejahatan pasti akan ada korban, demikian juga

sebaliknya. Korban dari kejahatan adalah orang yang menderita fisik,

mental, sosial sehingga akibat dari tindak kejahatan, mereka yang mau

memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita.

3. Akibat bagi masyarakat.

Dengan adanya kejahatan tersebut masyarakat mengalami

keresahan/kekhawatiran dan ketentraman masyarakat akan terganggu.

Dalam hal ini, antara pihak pelaku dengan korban biasanya belum ada

hubungan sama sekali. Bisa juga sebaliknya, adanya hubungan dengan

korban dikarenakan saling mengenal, hubungan keluarga, dan hubungan

lainnya.68

68
Dhina Megayati. 2003. Tinjauan Kriminologis Tindak Pidana Seksual Terhadap Anak.
Fakultas Hukum, Universitas Mataram. NTB. h. 12
57

Kejahatan ini sudah pasti akan menimbulkan kerugian, kerugian yang

ditimbulkan oleh kejahatan itu biasanya berhubungan dengan kondisi dan

keadaan daripada si korban. Jadi, dapat ditarik kesimpulan tindak pidana

seksual ini akan merugikan baik terhadap si pelaku maupun terhadap si

korban, keluarga, dan masyarakat.

Menurut teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Satjipto

Raharjo yang mendefinisikan perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan tersebut diberikan kepada manusia pada umumnya agar mereka

dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Berdasarkan

teori ini anak berhak mendapatkan perlindungan hukum/pengayoman sesuai

dengan haknya sebagai anak.

Hukum melindungi kepentingan seseorang terutama melindungi anak

atau pengampunya dengan cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk

bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut. Pemberian kekuasaan,

atau yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara terukur, keluasan

dan kedalamannya sesuai dengan kepentingan anak.

Secara kriminologis ada 2 (dua) faktor utama yang menyebabkan

tindak pidana seksual terhadap anak, yaitu :

1. Faktor Intern : Faktor yang berasal dari diri pelaku, apakah faktor

keturunan, atau kebiasaan, atau faktor mental yang buruk.


58

2. Faktor Ekstern : Faktor yang berasal dari luar diri pelaku kejahatan,

seperti faktor lingkungan baik lingkungan tempat tinggal ataupun

lingkungan pergaulan.69

Jika dilihat dari faktor intern dan ekstern pelaku yang melakukan

tindak pidana seksual terhadap anak secara kriminologis pada kasus pencurian

ada kesamaaan dengan kasus tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak.

Faktor ini terutama berasal dari dalam diri pelaku dan dari luar diri pelaku.

Secara umum faktor-faktor yang menimbulkan tindak pidana dibagi

dalam 2 (dua) bagian yaitu :

1. Faktor Intern

Faktor ini dilihat khusus dari individu-individu serta dicari hal-hal yang

mempunyai hubungan dengan kejahatan.

2. Faktor Ekstern

Yang berpokok pangkal pada lingkungan, lain halnya dengan faktor intern

yang berpokok pangkal pada individu, dicari hal-hal yang mempunyai

korelasi dengan kejahatan, justru faktor-faktor inilah menurut para sarjana

merupakan faktor yang menentukan atau yang mendominir perbuatan

individu kea rah suatu kejahatan.

Kesimpulan dari 2 (dua) pernyataan diatas tersebut maka faktor yang

menyebabkan terjadinya tindak pidana, selain berasal dari diri pelaku juga

berasal dari luar diri pelaku.

69
M. Natsir. 2000. Pencurian Ternak Dalam Masyarakat Sasak. Universitas Brawijaya,
Malang, h. 106
59

Selain faktor-faktor diatas terdapat juga faktor lain yang menjadi

penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak yakni faktor moral

pelaku, Moral merupakan instrument penting yang didalamnya mengajarkan

tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan suatu hal yang sangat sentral

dalam menentukan tingkah laku sehingga apabila seseorang tidak memiliki

moral yang baik maka orang tersebut memiliki kecenderungan berbuat jahat.70

Berdasarkan wawancara dengan Dewa Ayu Sariwangi Ratna Dewi

selaku penyidik Polres Badung, beliau mengatakan faktor-faktor terjadinya

tindak pidana pencabulan di Kabupaten Badung, adalah:

a. Pengaruh perkembangan teknologi

Adanya perkembangan teknologi tentunya membawa pengaruh bagi

kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan

pengaruh negatif, dampak-dampak pengaruh teknologi tersebut kita

kembalikan kepada diri kita sendiri sebagai individu agar tetap menjaga

etika dan budaya, agar kita tidak terkena dampak negatif dari teknologi.

Namun Informasi yang tidak tersaring membuat tidak kreatif, perilaku

konsumtif dan membuat sikap menutup diri serta berpikir sempit. Hal

tersebut menimbulkan meniru perilaku yang buruk. Mudah terpengaruh

oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara

yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada

b. Situasi (adanya kesempatan)


70
I Putu Agus Setiawan, I Wayan Novy Purwanto, 2017, “Faktor Penyebab dan Upaya
Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga”. Jurnal, Fakultas
Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 12
60

Tindak Pidana bisa terjadi selain karena niat pelaku juga bisa terjadi jika

adanya situasi dan kesempatan yang ada.

c. Lingkungan.

Lingkungan juga mempengaruhi pribadi individu sehingga lingkungan

yang baik bisa membuat pribadi individu yang baik begitupula dengan

lingkungan yang buruk bisa menciptakan pribadi individu yang buruk.

d. Pengaruh pendidikan terhadap pecehan seksual

Pentingnya pendidikan sangatlah berpengaruh terhadap adanya tindakan

pelecehan seksual. Perempuan belum banyak kesempatan yang

dimilikinya untuk menikmati jenjang di kursi pendidikan yang lebih tinggi

sehingga perempuan belum mampu untuk menolak perlakuan, sikap dan

anggapan yang negatif terhadap dirinya, perempuan menunjukan reaksi

yang lebih sensitif sebagai mana akibat dari terjadinya pelecehan seksual.

e. Faktor keluarga dari sudut pandang faktor ekonomi.

Faktor ekonomi di keluarga juga dapat berpengaruh terutama pada faktor

ekonomi yang rendah memicu seseorang untuk melakukan perbuatan yang

dilanggar seperti kekerasan seksual sebagai jalan keluarnya dan sasaran

paling mudah yaitu perempuan yang memiliki kondisi fisik yang lebih

lemah sehingga dapat dengan mudah tindakan kejahatan seksual itu

dilakukan dan juga perempuan dapat juga dengan mudah di rayu dengan

rayuan sehingga kejahatan seksual dengan mudah di lakukan.

f. Pengaruh dari film atau berbau dengan pornografi.


61

Di dalam lingkungan masyarakat ini anak-anak dapat memperoleh dengan

mudah hal-al yang berbau dengan pornografi banyak di lingkung

masyarakat yang memperjual belikan vcd,buku,film yang berbau dengan

pornografi sehingga anak dapat dengan mudah memperolehnya dan dari

situlah anak berdampak hal negatif setelah melihat-lihat yang membuat

anak berimajinasi dan terangsang sehingga tidak sedikit kasus pelecehan

seksual yang di lakukan oleh anak terjadi dengan meyaluarkan hasratnya

kepada objek/korban sehinggal tindak kejahatan seksual pun sering terjadi

dan bahkan terus bertambah dari hari ke hari.

g. Pengalaman pelecehan seksual dari faktor biologis.

Dilihat dari segi biologisnya, lelaki lebih cenderung berperan sebagai

pelaku kejahatan seksual dan perempuan berperan sebagai pelaku seks

pasif dengan ini dapat disimpulkan bahwa kasus pelecehan seksual

terhadap objek yang sering terjadi adalah lelaki yang berkemungkinan

lebih besar sebagai pelaku tindakan kejahatan seksual dan perempuanlah

kebanyakan sebagai korban tindakan tersebut. Hal ini dilakukan untuk

melancarkan hawa nafsu dan kebutuhan birahi untuk memuaskan diri

sendiri.

h. Penganiyaan emosional

Ketikan anak kurang mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari

keluarganya dan sering juga mendapatkan ancaman dari orang terdekatnya

sehinggi anak kehilangan rasa percaya diri dan harga diri yang berdampak

kepada anak. Kekerasan dapat sebagai salah satu bentuk agresi,


62

penganiyaan pada anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse.

Kekerasan kepada anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan seksual dan

kekerasan emosial. Biasanya di penganiyaan emosional inilah anak dapat

perlakuan fisik yang berupa pelecehan seksual dari orang tedekatnya

sehingga membuat anak perasa tertekan dan hilangnya percaya diri.

i. Pengaruh minuman dan obat-obatan terlarang

Dampak dari mengkonsumsi minuman dan obat obatan terlarang akan

membuat seseorang menjadi seperti bukan dirinya, pelaku yang

mengkonsumsi barang tersebut berasa bebas ketika ingin melakukan apa

yang di inginkannya dan disitulah perbuatan tindakan kejahatan seksual

terjadi, ketika pelaku tidak sadarkan diri dipengaruhi oleh barang tersebut

sehingga pelaku dapat brutal malakukan kejahatan seksual.

j. Pengaruh historis pernah menjadi korban

Biasanya korban pelaku kejahatan seksual tidak terima dengan kejadian

yang di alaminya terdahulu sehingga pelaku tersebut melampiaskan hal itu

kepada korbannya, agar pelaku melampiaskan hasrat dan dendam pada

dalam dirinya setelah perbuatan tersebut pelaku merasa puas dan tidak

memungkinkan pelaku ingin mengulangi perbuatan tersebut. 71

2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Resor Badung Dalam

Menanggulangi Tindak Pidana Pencabulan

71
Hasil Berdasarkan wawancara dengan Dewa Ayu Sariwangi Ratna Dewi selaku
penyidik Polres Badung, pada 28 April 2022 pukul 11.00 wita
63

Penegakan Hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah

pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan-peraturan hukum.

Pada dasarnya tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia di

atur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 22 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Dalam pasal tersebut menerangkan bahwa tugas

Polri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni: memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagai Lembaga penegak hukum, maka kepolisian mempunyai

peranan yang sangat besar dalam menjaga proses penegakan hukum yang

dapat dirasakan oleh semua elemen, terutama masyarakat sebagai elemen

utama yang harus dipastikan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya

dalam proses penegakan hukum dan keadilan di tengah tengah kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut Polri

berusaha keras untuk menjaga dan memelihara akan kondisi masyarakat

supaya terbebas dari rasa ketakutan atau kekhawatiran, sehingga masyarakat

mendapatkan rasa kepastian dan jaminan dari segala kepentingan, serta dapat

terbebas dari pelanggaran norma norma hukum.

Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan

atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan
64

badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah

perbuatan cabul. Perbuatan cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis

perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga termasuk

perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.72 Tindak pidana pencabulan diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke-

II yakni dimulai dari Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP, yang selanjutnya

dikatagorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Sedangkan tindak pidana

pencabulan terhadap anak yang diatur dalam KUHP diatur pada Pasal 290

KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 294 KUHP, Pasal 295

KUHP. Dan, pada Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak diatur pada Pasal 82.

Perluasan makna “kekerasan atau ancaman kekerasan” sebagai salah

satu unsur tindak pidana perkosaan yang dimaksud Pasal 285 KUHP patut

untuk diapresiasi dan seyogyanya menjadi rujukan aparat penegak hukum

pidana (terutama hakim) ketika menghadapi kasus perkosaan yang serupa

walaupun tidak diikuti Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dalam

rangka melindungi perempuan. Hal itu selaras dengan tujuan pembentuk

undang-undang mengatur tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP,

yaitu untuk melindungi kaum perempuan sebagai korban tindak perkosaan.

Dengan adanya perluasan makna “kekerasan atau ancaman kekerasan”

sebagai salah unsur tindak pidana perkosaan yang ditentukan Pasal 285

KUHP, maka perempuan yang mendapat perlindungan cakupannya lebih luas.

72
Moch. Anwar, 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 2, Alumni,
Bandung, h. 231.
65

Apabila tidak segera diadakan usaha-usaha untuk menganggulangi

timbulnya kejahatan secara umum dan tindak pidana pencabulan anak, maka

akan berkembang dari segi cara dan tekniknya. Dalam hal ini diperlukan

adanya upaya penanganan yang lebih intensif lagi, baik oleh aparat penegak

hukum maupun masyarakat. Menurut J. E Sahetapy: kejahatan merupakan

gejala sosial yang tidak mungkin dapat diberantas atau dihilangkan sama

sekali, melainkan hanya dapat ditekan atau dikurangi kwantitasnya 73.

Walaupun telah disadari bahwa memberantas kejahatan adalah suatu hal yang

sangat sulit yang tidak mungkin dihapuskan secara keseluruhan, namun sangat

diharapkan untuk dapat mengurangi baik secara kuantitas maupun kualitas

terjadinya kejahatan tersebut. Jadi setidaknya, ada usaha untuk menekan dan

mencegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya atau terjadinya kejahatan

tersebut.

Usaha penanggulangan suatu kejahatan, apakah itu menyangkut

kepentingan hukum seseorang, masyarakat maupun kepentingan hukum

negara, tidaklah mudah seperti yang dibayangkan karena hampir tidak

mungkin menghilangkannya. Tindak kejahatan atau kriminalitas akan tetap

ada selama manusia masih ada di permukaan bumi ini, kriminaitas akan hadir

pada segala bentuk tingkat kehidupan masyarakat. Kejahatan sangatlah

kompleks sifatnya, karena tingkah laku dari penjahat itu banyak variasinya

serta sesuai pula dengan perkembangan yang semakin canggih dan

dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan berpengaruh terhadap meningkatnya

73
J. E. Sahetapy, 1981, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendakatan Interdisipliner, cet. I, Sinar
Wijaya, Surabaya, h. 78
66

tindak pidana pencabulan, di mana semakin memuasnya informasi melalui

media elektronik maupun media cetak dari seluruh belahan dunia yang tidak

melalui tahap penyaringan terhadap adegan-adegan yang berbau negatif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Gusti Agung Ayu Mas

Asriawathi selaku penyidik di Polres Badung, bahwa beliau mengatakan ada

beberapa kendala-kendala pihak kepolisian Resor Badung dalam

menanggulangi tindak pidana Pencabulan yaitu Saksi dalam tindak pidana

pencabulan ini biasanya adalah pelaku itu sendiri (sebagai saksi dan sebagai

Korban). Selain saksi korban ada juga saksi-saksi lain seperti orangtua korban,

keluarga korban, teman korban, dan lainya. Akan tetapi kekuatan pembuktian

dari saksi selain saksi korban harus dikesampingkan sesuai ketentuan dalam

Pasal 185 KUHAP. Misalnya tersebut adalah orangtua korban yang

mengetahui informasi pencabulan tersebut hanya dari cerita anaknya (korban)

tanpa melihat langsung peristiwa tersebut. Kemudian keterangan saksi ini

dapat dikategorikan sebagai “testimonium de audio” yaitu keterangan yang

tidak mempunyai nilai bukti. Terdapat pula kendala kekurangan sumber daya

manusia di Kepolisian Resor Badung yang menyebabkan pihak kepolisian

tidak dapat melaksanakan patrol rutin dan menyeluruh.74

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dan dilihat dari Teori

Penegakan Hukum, maka dapat dianalisis bahwa kendala yang dialami

Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan

terdapat pada faktor hukum yang tidak dapat menjadikan keterangan orang tua

74
Hasil wawancara dengan I Gusti Agung Ayu Mas Asriawathi selaku penyidik di Polres
Badung, pada 27 April 2022 pukul 13.00 wita
67

sebagai saksi dengan kekuatan bukti, terdapat pula kekurangan penegak

hukum dalam menemukan bukti itu sendiri dan kekurangan sumber daya

manusia dalam melakukan patroli secara rutin dan menyeluruh yang

merupakan faktor penegak hukum.


BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Upaya Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi tindak pidana

pencabulan yaitu dengan Melakukan patroli rutin untuk meningkatkan

suasana Kamtibmas dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga secara

rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat juga secara

rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarkat. Kemudian

menindak para pelakunya sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar ia sadar bahwa perbuatan yang dilakukan

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat,

sehingga ia kembali ke dalam masyarakat dan tidak melakukan kembali

kejahatan.

2. Kendala yang dihadapi Kepolisian Resor Badung dalam menanggulangi

tindak pidana pencabulan Saksi dalam tindak pidana pencabulan ini

biasanya adalah pelaku itu sendiri (sebagai saksi dan sebagai Korban).

Selain saksi korban ada juga saksi-saksi lain seperti orangtua korban,

keluarga korban, teman korban, dan lainya. Akan tetapi kekuatan

pembuktian dari saksi selain saksi korban harus dikesampingkan sesuai

ketentuan dalam Pasal 185 KUHAP. Terdapat pula kendala kekurangan

sumber daya manusia di Kepolisian Resor Badung yang menyebabkan

pihak kepolisian tidak dapat melaksanakan patrol rutin dan menyeluruh.

68
69

5.2. Saran

1. Berdasarkan kendala aparat hukum yang kurang memadai dalam

melakukan patrol dan menemukan alat bukti, maka kepada Aparat

Penegak Hukum agar dapat mengatasi kendala penegak hukum yang

belum memadai dengan melakukan peningkatan jumlah personil yang

berpatroli dan meningkatkan upaya pencarian bukti dalam menegakkan

kasus pencabulan seperti bekerja sama dengan beberapa instansi terkait

seperti ahli digital forensik sehingga kasus pencabulan dapat memiliki

bukti yang kuat dan diproses secara hukum.

2. Berdasarkan kendala yang terjadi pada saksi dalam tindak pidana

pencabulan yang biasanya adalah pelaku itu sendiri (sebagai saksi dan

sebagai Korban). Selain saksi korban ada juga saksi-saksi lain seperti

orangtua korban, keluarga korban, teman korban, dan lainya. Maka dari

itu, Kepada Masyarakat agar turut bekerja sama dan membantu dalam

pengawasan sekitar dan lingkungan demi membatasi ruang gerak para

pelaku tindak pidana pencabulan agar pelaku tidak dapat melakukan

aksinya dengan leluasa.


DAFTAR BACAAN

Buku-buku

Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada

Media, Jakarta,

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence). Penerbit Kencana. Jakarta,

Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan,Raja

Grafindo:Jakarta,

Amirudin dan H Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Raja Grafindo Jakarta,

Annisa, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak korban Tindak pidana

Pencabulan di Kota Makassar (studi Kasus Pengadilan Negeri

Makassar Tahun 2010-2013). FIS Universitas Negeri Makasar

Barda Nawawi Arief, 2010 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti Bandung,

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group

Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra

Aditya,

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka


Kartini Kartono, 2012, Pengantar Metodologi, Alumni, Bandung,

M. Ali Zaidan, 2016, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta,

Peter Mahmaud Marzuki. 2005, Penelitian hukum (edisi

revisi). Kencana prenada media group. Jakarta.

Satjipto Raharjo, 2011, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia,:

Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

HukumRaja Grafindo Persada, Jakarta,

Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta,

Sudarto, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung

Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia
DAFTAR INFORMAN

NAMA : Ni Nyoman Ayu Inastuti

NRP : 84080467

JABATAN : Penyidik

INSTANSI : Polres Badung

NAMA : I Gst Agung Ayu Mas Asriawathi, S.H

NRP : 81081294

JABATAN : Penyidik

INSTANSI : Polres Badung

NAMA : Dewa Ayu Sariwangi Ratna Dewi

NRP : 96120349

JABATAN : Penyidik

INSTANSI : Polres Badung


PEDOMAN WAWANCARA

NAMA : NI NYOMAN AYU INASTUTI

NRP : 84080467

JABATAN : PENYIDIK

INSTANSI : POLRES BADUNG

Pertanyaan : Berapakah jumlah tindak pidana pencabulan yang tercatat di

wilayah hukum Polres Badung?

Jawaban : Jumlah tindak pidana pencabulan yang tercatat di wilayah hukum

Polres Badung dapat dijabarkan sebagai berikut:

DATA

JUMLAH KASUS PENCABULAN

TAHUN 2019-2021

NO TAHUN JUMLAH KASUS

1 2019 8

2 2020 6

3 2021 11

JUMLAH 25

Sumber: Reskrim Polres Badung

Berdasarkan data pada tabel diatas, pada tahun 2019 tercatat

terdapat 8 kasus pencabulan yang tercatat di Kepolisian Resor


Badung, kemudia pada tahun 2020 karena dampak Covid-19

jumlah kasus menurun menjadi 6 kasus, namun pada tahun 2021

jumlah kasus kembali melonjak menjadi 11 kasus.

Denpasar, 28 April 2022


PENANYA
NARASUMBER

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA


NI NYOMAN AYU INASTUTI
NAMA : I GST AGUNG AYU MAS ASRIAWATHI, S.H

NRP : 81081294

JABATAN : PENYIDIK

INSTANSI : POLRES BADUNG

Pertanyaan : Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh pihak Polres Badung

dalam menangani dan mencegah tindak pidana Pencabulan?

Jawaban : Upaya yang dilakukan oleh pihak Polres Badung dalam

menangani dan mencegah tindak pidana Pencabulan yaitu:

1. Melakukan patrol rutin untuk meningkatkan suasana

Kamtibmas dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga

secara rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap

masyarakat juga secara rutin memberikan penyuluhan hukum

terhadap masyarkat. Aparat Kepolisian dalam melakukan

patroli diharapkan mampu membangun komunikasi yang baik

dengan masyarakat sehingga tercipta hubungan yang harmonis

antara polisi dengan masyarakat yang nantinya akan

melahirkan kerjasama yang baik di antara keduanya.

2. Menindak para pelakunya sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar ia sadar bahwa perbuatan yang

dilakukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan


merugikan masyarakat, sehingga ia kembali ke dalam

masyarakat dan tidak melakukan kembali kejahatan

Pertanyaan : Apa sajakah kendala-kendala yang dialami pihak kepolisian Resor

Badung dalam menanggulangi tindak pidana Pencabulan?

Jawaban : Kendala-kendala yang dialami pihak kepolisian Resor Badung

dalam menanggulangi tindak pidana Pencabulan yaitu Saksi dalam

tindak pidana pencabulan ini biasanya adalah pelaku itu sendiri

(sebagai saksi dan sebagai Korban). Selain saksi korban ada juga

saksi-saksi lain seperti orangtua korban, keluarga korban, teman

korban, dan lainya. Akan tetapi kekuatan pembuktian dari saksi

selain saksi korban harus dikesampingkan sesuai ketentuan dalam

Pasal 185 KUHAP. Misalnya tersebut adalah orangtua korban yang

mengetahui informasi pencabulan tersebut hanya dari cerita

anaknya (korban) tanpa melihat langsung peristiwa tersebut.

Kemudian keterangan saksi ini dapat dikategorikan sebagai

“testimonium de audio” yaitu keterangan yang tidak mempunyai

nilai bukti. Terdapat pula kendala kekurangan sumber daya

manusia di Kepolisian Resor Badung yang menyebabkan pihak

kepolisian tidak dapat melaksanakan patrol rutin dan menyeluruh.


Denpasar, 27 April 2022

PENANYA NARASUMBER

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA I GST AGUNG AYU MAS ASRIAWATHI


NAMA : DEWA AYU SARIWANGI RATNA DEWI

NRP : 96120349

JABATAN : PENYIDIK

INSTANSI : POLRES BADUNG

Pertanyaan : Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana

pencabulan di Kabupaten Badung?

Jawaban : Faktor-faktor terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten

Badung, adalah:

a. Pengaruh perkembangan teknologi

Adanya perkembangan teknologi tentunya membawa

pengaruh bagi kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi

yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif, dampak-dampak

pengaruh teknologi tersebut kita kembalikan kepada diri kita

sendiri sebagai individu agar tetap menjaga etika dan budaya,

agar kita tidak terkena dampak negatif dari teknologi. Namun

Informasi yang tidak tersaring membuat tidak kreatif,

perilaku konsumtif dan membuat sikap menutup diri serta

berpikir sempit. Hal tersebut menimbulkan meniru perilaku

yang buruk. Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai

dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara yang tidak

sesuai dengan norma-norma yang ada


b. Situasi (adanya kesempatan)

Tindak Pidana bisa terjadi selain karena niat pelaku juga bisa

terjadi jika adanya situasi dan kesempatan yang ada.

c. Lingkungan.

Lingkungan juga mempengaruhi pribadi individu sehingga

lingkungan yang baik bisa membuat pribadi individu yang

baik begitupula dengan lingkungan yang buruk bisa

menciptakan pribadi individu yang buruk.

d. Pengaruh pendidikan terhadap pecehan seksual

Pentingnya pendidikan sangatlah berpengaruh terhadap

adanya tindakan pelecehan seksual. Perempuan belum

banyak kesempatan yang dimilikinya untuk menikmati

jenjang di kursi pendidikan yang lebih tinggi sehingga

perempuan belum mampu untuk menolak perlakuan, sikap

dan anggapan yang negatif terhadap dirinya, perempuan

menunjukan reaksi yang lebih sensitif sebagai mana akibat

dari terjadinya pelecehan seksual.

e. Faktor keluarga dari sudut pandang faktor ekonomi.

Faktor ekonomi di keluarga juga dapat berpengaruh terutama

pada faktor ekonomi yang rendah memicu seseorang untuk

melakukan perbuatan yang dilanggar seperti kekerasan

seksual sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah

yaitu perempuan yang memiliki kondisi fisik yang lebih


lemah sehingga dapat dengan mudah tindakan kejahatan

seksual itu dilakukan dan juga perempuan dapat juga dengan

mudah di rayu dengan rayuan sehingga kejahatan seksual

dengan mudah di lakukan.

f. Pengaruh dari film atau berbau dengan pornografi.

Di dalam lingkungan masyarakat ini anak-anak dapat

memperoleh dengan mudah hal-al yang berbau dengan

pornografi banyak di lingkung masyarakat yang memperjual

belikan vcd,buku,film yang berbau dengan pornografi

sehingga anak dapat dengan mudah memperolehnya dan dari

situlah anak berdampak hal negatif setelah melihat-lihat yang

membuat anak berimajinasi dan terangsang sehingga tidak

sedikit kasus pelecehan seksual yang di lakukan oleh anak

terjadi dengan meyaluarkan hasratnya kepada objek/korban

sehinggal tindak kejahatan seksual pun sering terjadi dan

bahkan terus bertambah dari hari ke hari.

g. Pengalaman pelecehan seksual dari faktor biologis.

Dilihat dari segi biologisnya, lelaki lebih cenderung berperan

sebagai pelaku kejahatan seksual dan perempuan berperan

sebagai pelaku seks pasif dengan ini dapat disimpulkan

bahwa kasus pelecehan seksual terhadap objek yang sering

terjadi adalah lelaki yang berkemungkinan lebih besar

sebagai pelaku tindakan kejahatan seksual dan perempuanlah


kebanyakan sebagai korban tindakan tersebut. Hal ini

dilakukan untuk melancarkan hawa nafsu dan kebutuhan

birahi untuk memuaskan diri sendiri.

h. Penganiyaan emosional

Ketikan anak kurang mendapatkan rasa kasih sayang dan

cinta dari keluarganya dan sering juga mendapatkan ancaman

dari orang terdekatnya sehinggi anak kehilangan rasa percaya

diri dan harga diri yang berdampak kepada anak. Kekerasan

dapat sebagai salah satu bentuk agresi, penganiyaan pada

anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse.

Kekerasan kepada anak terbagi atas kekerasan fisik,

kekerasan seksual dan kekerasan emosial. Biasanya di

penganiyaan emosional inilah anak dapat perlakuan fisik

yang berupa pelecehan seksual dari orang tedekatnya

sehingga membuat anak perasa tertekan dan hilangnya

percaya diri.

i. Pengaruh minuman dan obat-obatan terlarang

Dampak dari mengkonsumsi minuman dan obat obatan

terlarang akan membuat seseorang menjadi seperti bukan

dirinya, pelaku yang mengkonsumsi barang tersebut berasa

bebas ketika ingin melakukan apa yang di inginkannya dan

disitulah perbuatan tindakan kejahatan seksual terjadi, ketika


pelaku tidak sadarkan diri dipengaruhi oleh barang tersebut

sehingga pelaku dapat brutal malakukan kejahatan seksual.

j. Pengaruh historis pernah menjadi korban

Biasanya korban pelaku kejahatan seksual tidak terima

dengan kejadian yang di alaminya terdahulu sehingga pelaku

tersebut melampiaskan hal itu kepada korbannya, agar pelaku

melampiaskan hasrat dan dendam pada dalam dirinya setelah

perbuatan tersebut pelaku merasa puas dan tidak

memungkinkan pelaku ingin mengulangi perbuatan tersebut.


Denpasar, 28 April 2022

PENANYA NARASUMBER

NYOMAN AGUS MAHENDRA DATA DEWA AYU SARIWANGI RATNA DEWI

Anda mungkin juga menyukai