Anda di halaman 1dari 75

Regulasi Bangunan Gedung Pada Kawasan Rawan

Bencana Alam Menurut Peraturan Daerah


Kabupaten Bangli

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Oleh :

I Putu Agus Astra Wigoena


NPM : 2110123022

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2023

i
Regulasi Bangunan Gedung Pada Kawasan Rawan
Bencana Alam Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Bangli

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Oleh :

I Putu Agus Astra Wigoena


NPM : 2110123022

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2023

ii
REGULASI BANGUNAN GEDUNG PADA KAWASAN RAWAN BENCANA

ALAM MENURUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI

Oleh :

I Putu Agus Astra Wigoena

NPM : 2110123022

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., MS. Dr. I Ketut Kasta Arya Wijaya, SH., M.Hum

NIDN : 0883080018 NIDN : 0826036901

Mengetahui :

Ketua

Program Studi Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Warmadewa

Dr. I Made Arjaya, S.H., M.H.

NIDN : 0808036501

iii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN ................................................................................. i
SAMPUL DALAM ................................................................................. ii
PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING............................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................ 11
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 11
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 11
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................ 12
1.4.1 Manfaat Teoritis ....................................................... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................ 12
1.5 Orisinalitas Penelitian ........................................................ 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................... 16
2.1 Landasan Konseptual ........................................................ 16
2.1.1 Regulasi .................................................................. 16
2.1.2 Bangunan Gedung.................................................... 21
2.1.3 Kawasan Rawan Bencana Alam.................................. 23
2.1.4 Peraturan Daerah ..................................................... 25
2.2 Landasan Teori................................................................. 35
2.2.1 Teori Hierarki Norma Hukum ..................................... 35
2.2.2 Teori Pembentukan Peraturan Perundangn-Undangan . 38
2.2.3 Teori Hermeneutika Hukum ....................................... 42
2.2.3 Teori Desentralisasi .................................................. 51
2.3 Kerangka Pikir .................................................................. 58

iv
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 59
3.1 Jenis Penelitian................................................................. 59
3.2 Pendekatan Penelitian ....................................................... 60
3.3 Sumber Bahan Hukum ...................................................... 61
3.3.1 Bahan Hukum Primer ................................................ 62
3.3.2 Bahan Hukum Sekunder............................................ 63
3.3.3 Bahan Hukum Tersier ............................................... 63
3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 63
3.6 Analisis Bahan Hukum ....................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 66

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan wilayah rawan terhadap ancaman bencana gempa

bumi, gelombang tsunami dan gerakan tanah dikarenakan posisi wilayah

Indonesia yang dikepung oleh tiga lempeng tektonik yakni Lempeng Indo-

Australian, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Pertemuan ketiga lembeng tersebut

dapat menimbulkan dampak yang besar, maka dari itu pemerintah Indonesia

berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mengantisipasi upaya pengurangan

resiko bencana baik itu sebelum atau setelah terjadinya bencana. Sesuai dengan

salah satu tujuan Negara Indonesia yang terdapat di dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)

alinea ke empat yaitu untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia.

Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

bahwa:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal

dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.”

Maksud dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa setiap orang berhak

untuk memiliki kehidupan sejahtera lahir dan batin, yaitu kehidupan yang aman,

penuh rasa damai baik dari sisi fisik maupun jiwa. Bebas dari ancaman yang

membuatnya tidak merasa aman.

1
2

Daerah-daerah yang terdapat di Indonesia saat ini banyak yang

merupakan daerah rawan bencana. Catatan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

menyatakan wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami diantarannya

Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng,

Jogjakarta, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulut,

Sulteng, Sulsel, Maluku Uatara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di

Papua serta Balikpapan.1

Berlandaskan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah

bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Sehingga diperlukan

upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi resiko bencana

sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulang Bencana, dijelaskan bahwa upaya pemerintah dalam

mengantisipasi terjadinya bencana di setiap daerah rawan bencana yaitu dengan

mitigasi bencana yaitu upaya untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh

bencana, selanjutnya tanggap darurat diartikan sebagai kecepatan dalam

pemberian bantuan saat terjadi bencana di suatu wilayah dan rehabilitasi

rekontruksi untuk membangun kembali kawasan yang rusak akibat bencana

dengan memperhatikan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana.

Indonesia sebagai negara yang rawan terhadap terjadinya bencana telah

mempunyai kemauan politik (political will) untuk menangulangi bencana yang

terjadi. Political will tersebut telah diwujudkan ke dalam peraturan perundang-

1
https://indonesiabaik.id/infografis/wilayah-rawan-gempa-di-indonesia , diakses
pada tanggal 21 Oktober 2022 pukul 23:14 WITA.
3

undangan melalui sebuah proses perumusan kebijakan (legal policy) sebagai

bagian dari politik hukum negara ini. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara

politik hukum dengan penanggulangan bencana. Berdasarkan hal tersebut, kajian

dalam tulisan ini menggunakan kerangka pemikiran yang berhubungan dengan

bencana dan norma hukum. Ada beberapa definisi tentang bencana, di antaranya

diberikan oleh International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) dan Asian

Disaster Preparedness Centre (ADPC) sebagai organisasi internasional yang fokus

pada bencana. Bencana menurut (ISDR), yaitu:2

“gangguan serius terhadap suatu sistem, komunitas, atau masyarakat

yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi, atau

lingkungan yang meluas melampaui kemampuan suatu komunitas atau

masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan sumber

daya sendiri (a serious disruption of the functioning of a community or a

society causing widespread human, material, economic, or environmental

losses which exceed the ability of the affected community/society to cope

using its own resources).”

Definisi yang hampir sama juga diberikan oleh UU No. 24 Tahun 2007

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 yang

menyatakan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

2
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, 2012, Manajemen Bencana, Bandung: Penerbit
Alfabeta, hal.10
4

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi bencana

tersebut mengandung tiga aspek dasar, yaitu:3

a. terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan

merusak (hazard);

b. peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,

penghidupan, dan fungsi dari masyarakat; dan

c. ancaman tersebut mengakibatkan korban, kerugian, dan

melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan

sumber daya yang dimilikinya.

Selain ketiga aspek dasar itu, bencana dipengaruhi oleh adanya pemicu

(trigger), yaitu ancaman bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), kapasitas

(capacity), dan risiko bencana (disaster risk).4 Berdasarkan trigger tersebut, jenis

bencana dikelompokkan dalam enam kelompok yaitu bencana geologi, bencana

hydro-meteorologi, bencana biologi, bencana kegagalan teknologi, bencana

lingkungan, dan bencana sosial. Adapun faktor-faktor penyebab bencana

menurut UU No. 24 Tahun 2007 ada tiga, yaitu faktor alam dan tanpa ada

campur tangan manusia, faktor non-alam (non-natural disaster), dan faktor

sosial/manusia (man-made disaster). Ini sesuai dengan pengelompokan bencana

berdasarkan sumber atau penyebabnya dari United Nations for Development

Program (UNDP). UNDP sebagaimana dikutip oleh Ramli mengelompokkan

bencana atas 3 (tiga) jenis, yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana

3
https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/18/manajemen-bencana/
diakses pada tanggal 23 Oktober 2022 Pukul 15.14 WITA
4
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, op.cit, hal. 14-32
5

sosial.5 Faktor terjadinya bencana secara umum disebabkan adanya interaksi

antara ancaman bahaya (hazard) dengan kerentanan (vulnerability). Kerentanan

oleh ADPC, sebagaimana dikutip oleh Nurjanah, dikelompokkan dalam lima

kategori, yaitu kerentanan fisik (physical vulnerability) , kerentanan sosial (social

vulnerability), kerentanan ekonomi (economic vulnerability), kerentanan

lingkungan (enviromental vulnerability), dan kerentanan kelembagaan

(institutional vulnerability).6 Bencana perlu dikelola secara terencana melalui

suatu proses yang disebut manajemen bencana sebagai upaya penanggulangan

bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana ini merupakan serangkaian

upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang mengantisipasi

risiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan

rehabilitasi.7

Penanggulangan bencana apabila dilihat dari aspek hukum tidak bisa

dilepaskan dari politik hukum yang berkaitan dengan bencana dan norma hukum

yang mengaturnya. Politik hukum ini merupakan aktivitas yang menentukan pola

atau cara membentuk hukum, mengawasi bekerjanya hukum, dan memperbarui

hukum untuk mencapai tujuan negara.8 Selain itu, politik hukum ini oleh Mahfud

MD diartikan sebagai:9

5
Soehatman Ramli, 2010, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
management), Dian Rakyat, Jakarta, hal. 17.
6
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, loc.cit, hal. 22.
7
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
8
Hendra Karianga, 2013, Politik Hukum dalam Pengelolaan Keuangan Daerah,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 23
9
Moh. Mahfud MD., 2010, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 1.
6

“legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan

diberlakukan, baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan

penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.”

Berdasarkan definisi politik hukum tersebut, politik hukum merupakan

piihan hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan sebagai suatu

kebijakan hukum (legal policy) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh

negara. Politik hukum untuk menentukan suatu legal policy yang akan atau telah

dilaksanakan oleh Pemerintah meliputi pembangunan hukum dan pelaksanaan

ketentuan hukum. Politik hukum dalam membuat legal policy ditentukan oleh

hukum positif, hukum yang dicita-citakan, perubahan masyarakat, proses

perubahan hukum, dan produk yang dihasilkan dari proses perubahan tersebut.

Politik hukum dapat dipahami secara komprehensif dari aspek proses

pembentukannya, aspek substansinya atau isi kebijakannya, dan penegakan

hukumnya dalam suatu sistem hukum. Mengenai sistem hukum ini, Lawrence M.

Friedman mengartikan sebagai satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga

unsur, yaitu: struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum

(legal culture).10 Berkaitan dengan unsur substansi dalam sistem hukum

tersebut, kajian politik hukum mengkaji kebijakan pemerintah dalam menetapkan

hukum, dengan isi kebijakan sebagai dasar pembenaran untuk menetapkan

hukum positif dan proses dalam menentukan kebijakan.11

10
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An Introduction, W.W. Norton &
Company, New York & London, hal. 5.
11
Siswono S., 2012, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor
35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, hal. 63.
7

Di Bali khususnya di Kabupaten Bangli, melalui Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bangli, mencatat, terdapat dua belas laporan

titik bencana di Kecamatan Kintamani. Seluruh laporan tersebut terjadi sejak

Januari - Februari 2021. Terdapat tiga titik lokasi kebakaran, lima lokasi tanah

longsor dan pohon tumbang, dan tiga titik lokasi banjir bandang. Untuk bencana

banjir bandang terdapat di Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan Banjar Hulun

Danu, Desa Songan A, dan 1 musibah disambar petir, Salah satu penyebab banjir

dan longsor di wilayah itu, karena tingginya intensitas hujan yang mengguyur

wilayah yang dikenal akan keindahan Danau Batur tersebut beberapa waktu lalu.

Tindakan pencegahan pun telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli

antara lain mengimbau warga meningkatkan kewaspadaan bagi yang bermukim

didaerah rawan bencana.12

Data yang dihimpun, kawasan zona merah rawan tanah longsor di

wilayah Kabupaten Bangli berada di Kecamatan Bangli, (jalur Selati menuju

Tanggahan Talangjiwa, Banjar Penglipuran menuju Dusun Buungan). Desa Tiga

disepanjang jalur Bangli menuju Desa Bangbang, jalur Tegalalang menuju

Tambahan, untuk Kecamatan Susut mulai masuk jalur wilayah Desa Susut,

pertigaan Demulih, Jalur Manuk menuju Susut, Lumbuan menuju Desa

Pengiangan untuk Kecamatan Kintamani, Jalur Bayung Gede menuju Belancan,

jalur Bantang menuju Singaraja, jalur ke Pinggan dan sekitarnya. Pasalnya,

daerah tersebut sebagian besar terdapat tebing-tebing yang terbentang di

12
https://arahkata.pikiran-rakyat.com/berita/pr-1281407504/bpbd-bangli-petakan-
12-titik-bencana-di-kintamani-berikut-rinciannya?page=2 diakses pada tanggal 3 Oktober
2022 Pukul. 14.14 WITA
8

sepanjang jalan. Daerah tersebut sering terjadi longsor karena kontur tanah yang

labil.13

Longsor adalah suatu proses geomorfologi dalam menuju keseimbangan

baru permukaan bumi. Longsor yang terjadi dalam skala besar sering

mendatangkan malapetaka karena bersifat destruktif yang menyebabkan

kerusakan besar berupa kerusakan bangunan, jalan, jembatan, dan permukiman

pada umumnya. Dewasa ini, beberapa kejadian bencana banjir dan longsor

sering melanda wilayah Bali. Semua kabupaten/kota di Provinsi Bali yaitu

Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bangli, Kota Denpasar, Badung, Tabanan

,Jembrana, Buleleng mempunyai kelas resiko tinggi.

Serangkaian upaya yang dilakukan dalam mengantisispasi dan

meminimalisisr terjadinya bencana adalah dengan penetapan kebijakan baik

dalam hal pencegahan, tanggap daurat, dan rehabiltasi. Seperti halnya dalam

Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Bangunan

Gedung disebutkan pada Pasal 1 angka 8 Bangunan gedung adalah wujud fisik

hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,sebagian

atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang

berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian

atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan

sosial,budaya, maupun kegiatan khusus.

Sementara dalam pasal 83 ayat (3) menyebutkan Dalam hal ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, Pemerintah Daerah

dapat mengatur mengenai persyaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di

13
Ibid.
9

kawasan rawan tanah longsor dalam peraturan Bupati. Hal ini mengindikasikan

bahwa bangunan gedung yang bediri diatas tanah yang berada pada kawasan

rawan bencana tanah longsor perlu diatur dalam peraturan Bupati.

Kemudian dalam pasal 84 ayat (3) menyebutkan Dalam hal ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, Pemerintah Daerah

dapat mengatur mengenai peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di

kawasan rawan terhadap pasang surut dalam peraturan bupati. Dalam pasal

tersebut disebutkan bahwa persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung

yang berada disekitar dikawasan rawan bencana pasang surut harus diatur

dalam peraturan Bupati.

Selain itu dalam pasal 85 ayat (3) menyebutkan Dalam hal ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, Pemerintah Daerah

dapat mengatur mengenai peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di

kawasan rawan banjir dalam peraturan Bupati. Diatur juga mengenai

kewenangan bupati dalam menetapkan kebijakan mengenai persyaratan

bangunan gedung yang berada di kawasan rawan banjir.

Dan dalam pasal 86 ayat (3) diatur Dalam hal ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat mengatur

mengenai peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan

bencana angin topan dalam Peraturan Bupati. Dalam hal persyaratan

penyelenggaraan bangunan gedung yang berada di kawasan rawan bencana

angin topan dapat diatur juga dalam Peraturan Bupati.


10

Pengaturan terkait pembangunan di kawasan rawan bencana perlu diatur

lebih khusus dalam Peraturan Bupati. Hal yang lebih terlihat dalam pasal 93

disebutkan Tata cara dan persyaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di

kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud Pasal 83, Pasal 84, Pasal

85, Pasal 86, dan Pasal 87 diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati.

Dalam pasal ini jelas memberikan kewenangan kepada bupati untuk

mengatur tata cara dan persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung di

kawasan rawan longsor melalui Peraturan Bupati.

Dalam penelusuran yang dilakukan oleh peneliti belum ditemukan

Peraturan Bupati Bangli yang mengatur berkenaan dengan tata cara pendirian

banguan gedung. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan norma, karena

belum di atur dengan tegas.

Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan

gambaran dan pertimbangan terkait pengaturan bangunan gedung di kawasan

rawan bencana. Untuk meminimalisir kerugian bila terjadinya bencana alam.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengambilan kebijakan

pemerintah maupun masyarakat sekitar dan masyarakat lainnya untuk

mengurangi resiko bencana alam.

Maka dari itu penulis tertarik meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan

ini dalam bentuk Tesis yang Berjudul “REGULASI BANGUNAN GEDUNG

PADA KAWASAN RAWAN BENCANA ALAM MENURUT PERATURAN

DAERAH KABUPATEN BANGLI”.


11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan bangunan gedung pada kawasan rawan

bencana alam di Kabupaten Bangli?

2. Bagaimana penyelesaian menurut hukum tentang kekosongan norma

terhadap pengaturan bangunan gedung pada kawasan rawan bencana

alam di Kabupaten Bangli?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam setiap aktivitas penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti

pada suatu kegiatan ilmiah dengan mengkaji dan menelaah suatu masalah,

sudah tentu sasarannya adalah untuk suatu tujuan tertentu. Dengan adanya

tujuan maka penelitian yang dilakukan akan lebih terarah dan jelas tentang

metode dan rencana kegiatan yang dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut

tujuan penelitian ini menyangkut tentang dua hal sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran serta dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan terutama yang berkaitan dengan bidang Ilmu Hukum.


12

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengenai tujuan khusus dari penelitian ini sesuai permasalahan yang

dibahas adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan bangunan gedung pada

kawasan rawan bencana alam di Kabupaten Bangli.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis penyelesaian menurut hukum tentang

kekosongan norma terhadap pengaturan bangunan gedung pada

kawasan rawan bencana alam di Kabupaten Bangli.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan terjawabnya permasalahan dalam penelitian yang disertai dengan

tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat

baik bagi dunia akademis maupun dalam kegiatan praktis. Manfaat penelitian

yang dimaksud adalah:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam hukum formil, khususnya

dalam hal pemahaman mengenai pentingnya peraturan hukum terkait dengan

regulasi bangunan gedung pada kawasan rawan bencana alam menurut

Peraturan Daerah Kabupaten Bangli.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

terkait kondisi yang nyata di masyarakat dalam hal regulasi bangunan gedung

pada kawasan rawan bencana alam. Pemerintah daerah dan masyarakat dapat
13

menjadikan tulisan ini sebagai acuan ketika akan menetapkan kebijakan dan

membangunan bangunan gedung pada kawasan rawan bencana alam.

1.5 Orisinalitas Penelitian

Originalitas dalam penelitian ini memiliki dua arti penting, yaitu pertama

dimaksudkan untuk menentukan posisi atau kedudukan penelitian ini diantara

penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Originalitas sangat penting

dipergunakan untuk melihat persamaan dan perbedaan antara penelitian yang

sedang dilakukan dengan penelitian yang sejenis sebelumnya. Kedua

dimaksudkan untuk menentukan teks – teks rujukan yang digunakan sebagai

acuan dalam merumuskan dan menyusun konsep – konsep atau teori – teori

yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini diharapkan

memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan penelitian sejenis.

No. Penulis Judul Rumusan Masalah Keterangan

1. Aida Syahfitri, Kajian Hukum 1. Bagaimana aturan Tesis tersebut


program studi Mengenai Peran hukum mengenai membahas
magister ilmu Pemerintah peran pemerintah mengenai Peran
hukum, Daerah Dalam daerah dalam Pemerintah dalam
Universitas Penyelenggaraan penyelenggaraan penyelenggaraan
Medan Area Perumahan dan perumahan dan perumahan dan
kawasan
Kawasan kawasan
permukiman?
Permukiman permukiman
2. Bagaimana
pertanggungjawab sedangkan penulis
an pemerintah akan membahas
daerah terhadap Regulasi Bangunan
perumahan dan Gedung Pada
kawasan Kawasan Rawan
permukiman? Bencana Alam
3. Bagaimana Menurut Peraturan
hambatan- Daerah Kabupaten
hambatan Bangli
pemerintah daerah
dalam
penyelenggaraan
14

perumahan dan
kawasan
permukiman?
2. Meiske, Status Hukum 1. Bagaimanakah Tesis tersebut
program studi Hak Milik Atas status tanah milik membahas
magister Tanah Yang Masyarakat yang di mengenai status
kenotariatan, Ditetapkan tetapkan sebagai hukum hak atas
Universitas Sebagai Zona zona merah tanah yang
Hasanuddin Merah pemerintah daerah ditetapkan sebagai
Kota Palu?
Pemerintah zona merah
2. Bagaimanakah
Daerah Kota Palu Pemerintah Daerah
upaya Pemerintah
daerah Kota Palu Kota Palu
Pasca Penetapan sedangkan penulis
Zona Merah? akan membahas
Regulasi Bangunan
Gedung Pada
Kawasan Rawan
Bencana Alam
Menurut Peraturan
Daerah Kabupaten
Bangli

3. Nurhilma Status Hak Atas 1. Bagaimana Status Tesis tersebut


Lestari, Tanah Pasca Hak Atas Tanah membahas
program studi Bencana Masyarakat Pasca mengenai status
magister Likuifaksi dan Bencana Akibat hak atas tanah
kenotariatan, Bencana Tata Likuifaksi Di pasca bencana
Universitas Ruang Wilayah Kelurahan Petobo likuifaksi dan
Kota Palu?
Islam Malang Di Kota Palu Bencana Tata
2. Bagaimana
(Studi Kasus Ruang Wilayah Di
Penetapan
Likuifaksi Di Rencana Tata Kota Palu
Kecamatan Palu Ruang Wilayah sedangkan penulis
Selatan, Pada akan membahas
Kelurahan Perkembangan Regulasi Bangunan
Petobo) Kawasan Gedung Pada
Pemukiman Pasca Kawasan Rawan
Likuifaksi Di Kota Bencana Alam
Palu? Menurut Peraturan
Daerah Kabupaten
Bangli
4. Hj. Nira Proses 1. Apakah proses Tesis tersebut
Mirantie Penyusunan penyusunan membahas
Wirasaputri, Rencana Tata Rencana Tata mengenai Proses
SH program Ruang untuk Ruang di Wilayah Penyusunan
Propinsi Jawa
15

studi magister menjaga Tengah telah Rencana Tata


ilmu hukum, kelestarian fungsi sesuai dengan Ruang untuk
Universitas lingkungan hidup peraturan menjaga
Dinonegoro di wilayah Perundang- kelestarian fungsi
Proponsi Jawa undangan? lingkungan hidup di
2.
Apakah proses
Tengah wilayah Proponsi
penyusunan
Jawa Tengah
Rencana Tata
sedangkan penulis
Ruang di Wilayah
Propinsi Jawa akan membahas
Tengah telah Regulasi Bangunan
sesuai dengan Gedung Pada
peraturan Kawasan Rawan
Perundang- Bencana Alam
undangan ? Menurut Peraturan
3. Bagaimanakah Daerah Kabupaten
peran serta Bangli
masyarakat dalam
perencanaan Tata
Ruang di Wilayah
Propinsi Jawa
Tengah?
5. Dennyzul Kebijakan Hukum 1. Bagaimanakah Tesis tersebut
Syafardan, Pidana Tata kebijakan hukum membahas
program Ruang Sebagai pidana tata ruang mengenai
pascasarjana Upaya dalam upaya Kebijakan Hukum
magister ilmu Penanggulangan penanggulangan Pidana Tata Ruang
pelanggaran atsa
hukum, Terhadap Sebagai Upaya
pemanfaatan
Universitas Pelanggaran Atas Penanggulangan
ruang pada saat
Bhayangkara Pemanfaatan Terhadap
ini?
Jakarta Raya Ruang Di 2. Bagaimanakah Pelanggaran Atas
Indonesia prosfek kebijakan Pemanfaatan
hukum pidana tata Ruang Di Indonesia
ruang dalam upaya sedangkan penulis
penanggulangan akan membahas
pelanggaran atas Regulasi Bangunan
pemanfaatan Gedung Pada
ruang pada masa Kawasan Rawan
yang akan datang? Bencana Alam
Menurut Peraturan
Daerah Kabupaten
Bangli
16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Konseptual

Banyak pakar yang memberikan pengertian tentang landasan konseptual,

namun dalam penelitian ini landasan konseptual hendaknya dipahami sebagai

dasar dari cara berpikir dalam suatu penelitian. Landasan konseptual digunakan

sebagai media dalam rangka menjelaskan secara lebih rinci tentang variable

yang ada di dalam penelitian. Landasan konseptual ini membantu penulis dalam

menganalisis data yang mendukung penelitian sehingga semakin jelas

maknanya. Beberapa konsep tersebut diantaranya adalah:

2.1.1 Regulasi

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia membutuhkan suatu

keteraturan yang dapat menjamin kenyamanan dan keamanan individual

maupun kolektif. Oleh karena itu, berbagai regulasi diciptakan dengan

mengedepankan kepentingan umum. Sederhananya, regulasi adalah sekumpulan

instrumen abstrak yang disusun dalam sebuah kesatuan untuk mengontrol

tindakan atau perilaku orang akan suatu hal. Dengan adanya regulasi, manusia

dituntut untuk bertindak sesuai kehendak bebasnya tapi penuh dengan tanggung

jawab. Sebelum terbentuk menjadi sebuah regulasi yang utuh, ada proses

panjang yang harus dilalui para perumus regulasi. Utamanya, proses itu adalah

perumusan masalah, analisis, dan pencarian solusi. Tahap awal yang harus

dilakukan adalah mendata permasalahan yang menjadi kendala atau hambatan

bagi masyarakat.

16
17

Selanjutnya, permasalahan yang sudah dipetakan akan dianalisis melalui

kajian ilmiah dan akademis. Proses analisis ini juga seringkali melibatkan para

ahli di bidangnya. Setelah itu, perumusan solusi yang didasari pembahasan

masalah dan analisis sebelumnya akan disusun menjadi sebuah regulasi. Negara

atau pemerintah merupakan lembaga pencetus atau perumus utama sejumlah

regulasi yang mengatur kehidupan manusia. Selain itu, regulasi juga dibuat oleh

pihak swasta yang memiliki kewenangan tertentu.

Regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan.

Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan

perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu

keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang, dan mengikat umum. Regulasi adalah suatu peraturan yang dibuat

untuk membantu mengendalikan suatu kelompok, lembaga/organisasi, dan

masyarakat demi mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan bersama,

bermasyarakat, dan bersosialisasi.14 Sehingga tujuan dibuatnya regulasi atau

aturan adalah untuk mengendalikan manusia atau masyarakat dengan batasan-

batasan tertentu, dan regulasi tersebut diberlakukan pada berbagai lembaga

masyarakat baik untuk keperluan masyarakat umum maupun untuk bisnis. 15

Menurut M. Nur Solikhin, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

Indonesia (PSHK), bahwa setidaknya ada 2 (dua) masalah utama yang terjadi

dalam sistem regulasi di Indonesia, yaitu pertama, terus membengkaknya jumlah

peraturan perundangundangan di Indonesia. Kedua, banyak di antara peraturan

14
https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-regulasi.html diakses pada 6
Desember 2022 pukul. 18.30 Wita.
15
Ibid
18

perundang-undangan yang ada tersebut justru tidak sinkron satu sama lain.

Sehingga menurut Solikhin kedua masalah ini merupakan “bencana” yang

menghambat pembangunan negara. Untuk itu diperlukan upaya radikal yaitu

melalui reformasi regulasi yang sistematis.16

Fungsi utama regulasi adalah menjadi pengontrol segala tindakan

individu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah atau pihak yang mempunyai

kewenangan, dalam upaya menjaga suatu tatanan tetap teratur dan kondusif.

Fungsi lainnya ialah menimbulkan perasaan damai juga aman, melindungi hak

dan kewajiban, membuat disiplin dan patuh mereka yang berada di lingkup

regulasi, dan menjadi panduan berperilaku.

Dapat disimpulkan bahwa regulasi berfungsi membangun sistem

pengaturan dalam peranannya sebagai pengendali sosial. Mencegah individu dari

melakukan perbuatan yang berpotensi merugikan individu lain dan mengganggu

ketertiban. Regulasi memastikan tujuan bersama bisa tercapai.

Dalam penyusunan suatu regulasi agar dapat memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat, perlu diwujudkan regulasi yang sederhana dan tertib.

Sederhana yang dimaksudkan dalam hal ini menurut Bappenas adalah kuantitas

regulasi yang rasional, dan dengan perumusan yang mudah dipahami dan

dioperasionalkan. Bahwa semakin banyak regulasi maka tingkat kepatuhan akan

semakin rendah, dan semakin rumit perumusan suatu regulasi maka tingkat

kepatuhan akan semakin rendah. Sedangkan regulasi yang tertib adalah regulasi

yang sesuai dengan kaidah regulasi yang umum belaku, misalnya regulasi yang

16
https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-pembentukan-lembaga-khusus-
pengelola-reformasi-regulasi-lt5c07327ba1924 di akses pada 6 Desember 2022
pukul 19.02 Wita.
19

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi serta

regulasi yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku di

dalam pembentukan regulasi.17

Prosedur membentuk regulasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

mempunyai landasan tersendiri yang tercantum pada bagian menimbang

(konsiderans). Bagian menimbang huruf a undangundang tersebut menyatakan

bahwa pembangunan hukum nasional yang terencana, terpadu, dan

bekelanjutan harus benar-benar merefleksikan kedaulatan berada di tangan

rakyat dan menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

selanjutnya bagian menimbang huruf b menyatakan: cara untuk menguatkan

dan memperbaiki teknik pembentukan regulasi yang kontinu memerlukan tata

kekola yang baik serta memperbaiki tata cara pembentukan regulasi di mulai dari

tahap merencanakan, memantau, hingga meninjau. Mengacu pada dua

konsiderans di maksud pembentukan regulasi dalam rangka menjamin kepastian

hukum berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sehingga mampu meminimalisir disharmonisasi regulasi akibat tumpang tindih

regulasi dan juga obesitas regulasi.

Pakar hukum tata Negara menyatakan bahwa terdapat sejumlah kalangan

yang beranggapan hukum, aturan/regulasi maupun peraturan perundang-

17
Kedeputian Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Pedoman Penerapan
Reformasi Regulasi, 3–4.
20

undangan merupakan hal yang serupa.18 Padahal dalam perspektifnya beliau

memberikan suatu pernyaatan yaitu regulasi yang ruang lingkupnya meliputi UU

artinya UU adalah bagian dari peraturan perundang-undangann. Per-UU-an

mencakup undang-undang dan sejumlah per-UU-an lain, sedangkan hukum tidak

hanya sekedar dimaknai sebagai undang-undang semata tetapi dimaknai sebagai

beberapa aturan hukum dalam ruang lingkup yang lain seperti yurisprudensi,

hukum kebiasaan, dan hukum adat.19

Prosedur membentuk regulasi secara teknis diakomodir oleh pasal 16

sampai pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan setelah revisi, pasal 43 sampai dengan pasal 51

dan pasal 65 sampai dengan pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan dalam

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah serta perubahannya diatur dalam pasal 162 sampai dengan

pasal 173.

Penjelasan atas faktor-faktor dalam determinasi sebagaimana dijelaskan

di atas merefleksikan bahwa dalam membentuk suatu regulasi memiliki kaitan

dengan segala aktifitas dan tindakan berupa tahapan merencanakan, menyusun,

membahas, mengesahkan, dan menetapkan atau memberlakukan suatu undang-

undang.20 Dengan adanya analisis terhadap beberapa aturan hukum terkait

18
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill,
Jakarta, hal. 2-3
19
Ibid
20
pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
21

pembentukan per-UU-an, terkandung hakikat pelaksanaan pembentukan Per-UU-

an ialah jaminan kepastian hukum “Rechtzegerheid”.

Hans Kelsen penganut ajaran positivisme hukum mendudukan hukum

adalah sebuah sistem aturan. Aturan yang ada menegaskan pada aspek

“seharusnya” yang dalam bahasa pada umumnya disebut sebagai “das sollen”

tentunya menyertai sejumlah regulasi yang dilahirkan untuk memberikan

pengaturan terhadap suatu hal yang wajib untuk dilakukan. Aturan-aturan

tersebut merupakan refleksi atas tindakan warga Negara yang sesuai dengan

keinginan warga Negara pula. Sejumlah regulasi yang substransinya berisikan

kumpulan norma yang tidak berbentuk khusus atau masih dalam general menjadi

paduan bagi tiap-tiap orang dalam bersikap dalam kehidupan masyarakat, baik

itu dalam relasi dengan tiap orang ataupun dalam relasi antara orang satu

dengan kumpulan orang lainnya. Regulasi tersebut memberikan pagar pembatas

atau limitasi bagi seluruh masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama individu.

Eksistensi regulasi tersebut juga pelaksanaan regulasi itu diharapkan

menciptakan kepastian hukum baik secara materiil maupun formiil.21

2.1.2 Bangunan Gedung

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Kabupaten Bangli

Nommor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung, Bangunan gedung adalah

wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat

kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah

dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,

baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha,

21
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,
hal. 158
22

kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Sosok Bangunan Gedung tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan

Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung

ditegaskan bahwa sosok Bangunan Gedung adalah bentuk dasar, bentuk garis

luar dan bentuk kerangka bangunan yang dapat mengkomunikasikan karakter

bangunan.

Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban

hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, mengatur bahwa setiap

bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan

teknis bangunan. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan

penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, baik secara administrasi maupun

secara teknis, sehingga bangunan gedung di Kabupaten Bangli sesuai dengan

fungsi dan memenuhi keandalan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan

penggunaan serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Dalam

penyelenggaran bangunan gedung diupayakan masyarakat untuk terlibat dan

berperan serta secara aktif baik dalam pembangunan, pemanfaatan, dan

pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan

bangunan gedung. Perwujudan bangunan gedung juga harus dimulai dari

tahapan perencanaan bangunan gedung yang hasilnya sangat mempengaruhi

pada kualitas bangunan gedung dan kepuasan pengguna bangunan. Untuk

maksud tersebut perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran

penyedia jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang

jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen

konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa


23

pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh karena itu, pengaturan bangunan

gedung ini juga harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai

dengan peraturan perundang undangan. Secara umum pendirian bangunan di

Kabupaten Sleman diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7

Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung. Di dalam Perda ini diatur mengenai

syarat pendirian bangunan, prosedur, hak dan kewajiban termasuk larangan-

larangan serta memuat sanksi administratif maupun sanksi pidana.

2.1.3 Kawasan Rawan Bencana Alam

Kawasan Rawan Bencana adalah kawasan yang sering atau berpotensi

tinggi mengalami bencana alam. Suatu kawasan disebut sebagai rawan bencana

jika dalam jangka waktu tertentu mempunyai kondisi dan karakter geologis,

biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

teknologi yang kurang mempunyai kemampuan untuk mencegah, meredam, dan

mencapai kesiapan dalam menanggapi dampak buruk dari bahaya bencana.

Kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung, yakni kawasan

yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup

yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan Rawan

Bencana antara lain adalah kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan

rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang

pasang, dan kawasan rawan banjir.22

Penetapan daerah rawan bencana merupakan bagian dari mitigasi

bencana. Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi

22
https://bpbd.purworejokab.go.id/peta-daerah-rawan-bencana-tsunami, diakses
pada tanggal 24 Oktober 2022 pukul 18:14 WITA.
24

masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi

dilakukan dengan penataan tata ruang, pengaturan pembangunan,

pembangunan infrastruktur, tata bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan,

penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun moderen.

Di dalam mitigasi bencana juga perlu dilakukan sosialisasi demi

meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat yang bermukim di daerah

rawan dalam menghadapi bencana. Sehingga mereka mengetahui apa yang

perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika

bencana terjadi. Tidak kalah penting, mitigasi bencana harus meliputi pengaturan

dan penataan kawasan rawan bencana.

Peta Rawan Bencana merupakan peta untuk menggambarkan lokasi atau

tempat yang sering mengalami atau diperkirakan akan mengalami bencana

seperti banjir, kekeringan, longsor, tsunami maupun bencana alam lainnya.

berbeda dengan peta rupa bumi pada yang menyajikan informasi topografis dan

batas administratif, Peta rawan bencana berupa peta yang menyajikan satu atau

sejumlah informasi tematik.

Pembuatan peta rawan bencana merupakan salah satu aspek dari

mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Fungsi peta rawan bencana di

antaranya adalah untuk menentukanan perencanaan terhadap suatu wilayah

yang berpotensi terkena dampak bencana.Selain itu peta rawan bencana akan

menyediakan berbagai informasi tentang masalah kebencanaan pada satu

wilayah sebagai dasar bagi pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan

pengurangan risiko bencana.


25

Pada dasarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang ada di dunia

yang sering terjadi bencana alam. Hal tersebut disebabkan karena letak geografis

Indonesia berada di antara dua benua, sehingga dilalui oleh badai tropis alhasil

Indonesia rentan terhadap bencana. Salah satu bencana alam yang sering terjadi

pada Indonesia adalah tanah longsor. Adanya pembangunan yang ada selama ini

jarang sekali memperhatikan pembangunan berkelanjutan, sehingga secara tidak

langsung mampu merusak potensi alam yang ada.

Bebicara mengenai pembangunan berkelanjutan tentu saja terdapat

unsur yang mengupayakan sebuah pengaturan sert pengarahan untuk berbagai

kegiatan dengan tujuan menjaga keseimbangan lingkungan. Hal tersebut

merupakan piritas utama dari sebuah pembangunan berkelanjutan. Dari berbagai

upaya dilakukan juga harus mendapat suatu pengarahan serta persetujuan dari

badan pusat pelaksanaan. Salah satu upaya tersebut ialah melakukan sebuah

mitigasi bencana alam. Tujuan dari mitigasi bencana ialah mengurangi resiko

terjadinya korban bencana serta meningkatkan keselamatan dan kenyamanan

kehidupan, terutama pada masyarakat yang tinggal pada lokasi atau daerah yang

termsuk daerah rawan bencana.

2.1.4 Peraturan Daerah

Setiap pemerintahan daerah memiliki peraturan masingmasing sesuai

dengan kebutuhan dari daerah tersebut. Maksut dari pemerintahan daerah

melalui ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah juncto (jo.) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan dalam ayat (2): Pemerintahan Daerah


26

adalah penyelenggaran urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan

perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun ayat (3), Pemerintahan daerah adalah

kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang

memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

otonom.23

Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari teori peraturan

perundang-undangan, Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatakan

Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah baik

Provinsi dan Kota/Kabupaten. Pengertian Perda menurut Pasal 1 ayat (25)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah

Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan

nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.

Peraturan daerah adalah kebijakan yang telah ditetapkan oleh kepala

daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD), artinya, tiap-tiap daerah memiliki kewenangan untuk

membentuk Perda.

Menurut Aristo Evandy A. Barlian Peraturan Daerah adalah Peraturan

Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

23
Ani Sri Rahayu, 2018, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan
Aplikasinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal 2.
27

dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/walikota) .

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan

Perundangundangan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah terdiri atas :

a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut.

b. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan

persetujuan bersama Gubernur.

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di

kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

dibentuk oleh DPRD.

d. Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

e. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap

Peraturan Daerah Provinsi.24

Namun demikian, daerah tidak bisa serta merta dalam menyusun

peraturan yang berkaitan dengan daerah atau Peraturan Daerah, melainkan

harus mengacu pada perundangundangan yang ada. Ada beberapa persyaratan

yang harus dipatuhi daerah dalam melahirkan Perda, diantaranya Perda tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan

yang lebih tinggi, Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

24
Aristo Evandy A. Barlian, Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah
Baerdasarkan Hierarki Perundang –undangan Dalam Perspektif Politik Hukum, Jurnal
Hukum Vol. 10 Nomor 4, Oktober – Desember 2016, 608.
28

perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Perda diperlukan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

Dalam pembentukan peraturan daerah kabupaten/kota pada Pasal 63

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Perundang-Undanganan menjelaskan bahwa, Ketentuan mengenai

penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 56

sampai dengan pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.25 DPRD kabupaten/kota sebagai alat

kelangkapan daerah dimana mereka menjabat, beberapa tugas dari DPRD adalah

sebagai berikut :

a. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah

untuk mendapat persetujuan bersama.

b. Membahas dan menyetujia rancangan peraturan daerah tentang

APBD bersama dengan kepala daerah.

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah, APBD, kebijaksanaan

pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan

daerah, dan kerja sama internasional di daerah.

d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri

Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi, dan kepada Menteri Dalam

Negeri melalui gubernur bagi DPR daerah kabupaten/kota.

25
Citra Umbara, 2019, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Citra Umbara, Bandung, hal. 26.
29

e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan

wakil kepala daerah.

f. Memberikan pendapat dan pertimangan kepada pemerintah

daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.

g. Memberikan persetujuan terhadap rencanakerjasama internasional

yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

h. Meminta laporan keterangan pertangggung jawaban kepala

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

i. Membentu panitia pengawas pemilihan kepala daerah.

j. Melakukan pengawasan dan memintalaporan KPUD dalam

penyelenggaraan pemeilihan kepala daerah.

k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar

daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat. 26

Selain itu, juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintah Daerah Pasal 149 DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:

1) pembentukan Perda Kabupaten/Kota; anggaran; dan pengawasan.

2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan

dalam kerangka representasi rakyat di Daerah kabupaten/kota.

3) Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), DPRD kabupaten/kota menjaring aspirasi masyarakat.27

Namun dalam pembentukan perda kabupaten / kota, DPRD Kabupaten /

Kota harus berkoordinasi dengan pemimpin daerah sesuai dengan otonominya,

26
Ani Sri Rahayu, 2018, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan
Aplikasinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 104-105.
27
Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 149
30

yaitu bupati atau walikota yang memimpin daerah tersebut. Hal ini dijelaskan

dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah

Pasal 150 Fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara:

a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak

menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;

b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan

c. menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota bersama

bupati/wali kota. 28

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,

peraturan daerah mempunyai beberapa fungsi, diantaranya sebagai berikut:

a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah

dan tugas pembantuan sebagaimana diamantkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu 1945 dan Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah.

b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini peraturan daerah

tunduk kepada peraturan perundangundangan. Dengan demikian

peraturan daerah tidak boleh bertenttangan denganperaturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta

penyalur aspirasi masyarakat didaerah, namun dalam

28
Pasal 150, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
31

pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan

daerah.29

Melihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi peraturan

daerah adalah menjadi peraturan atau petunjuk mengenai hak, kewajiban,

pelanggaran dan sanksi yang berlaku bagi masyarakat dan membantu tegaknya

peraturan dan ketertiban di lingkungan yang ditempai oleh masyarakat.

Peraturan Daerah memiliki fungsi sebagai dasar, arah dan pedoman bagi

masyarakat dalam rangka menjadikan Kabupaten Demak sebagai lingkungan

bagimasyarakat yang harmonis.

Tujuan peraturan daerah adalah tercapainya suasana daerah yang

kondusif bagi terlaksananya peraturan perundangundangan yang ada.

Sedangkan peraturan daerah bertujuan untuk menciptakan situasi daerah yang

kondusif bagi pencapaian tujuan kemasyarakatan dan perilaku yang tidak

bertentangan dengan perundang-undangan.

Peraturan daerah merupakan salah satu jenis perundang – undangan dan

bagian dari sitem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini

peraturan daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan

landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6)

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.30

29
Ani Sri Rahayu, 2018, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan
Aplikasinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 114.
30
Ibid 113.
32

Peraturan Daerah itu adalah bentuk peraturan perundang-undangan

dibawah Undang-Undang dan Perpu, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan

Presiden, akan tetapi, dari segi isinya maupun meknisme pembentukannya,

Peraturan Daerah itu mirip dengan undang-undang. Pertama, seperti undang-

undang maka organ negara yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan

daerah adalah lembaga legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. Jika

undang undang dibentuk oleh legislatif pusat dengan persetujuan bersama

dengan presiden selaku kepala pemerintahan eksekutif, maka perturan daerah

dibentuk oleh lembaga legislatif daerah bersama-sama dengan kepala

pemerintah daerah setempat. Dengan perkataan lain, sama dengan undang-

undang peraturan daerah juga merupakan produk legislatif yang melibatkan

peran para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang

berdaulat.31

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah pada pasal 145 ayat (1) sampai dengan ayat (7) menyatakan:

a. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama tujuh hari

setelah ditetapkan.

b. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang –

undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.

c. Keputusan Pembatalan Perda sebagaiman yang dimaksud pada

ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (

31
Jimly Asshiddiqie, 2014, Perihal Undang – Undang, PT. RajaGrafindo Persada,
Kota Depok, hal. 64
33

enam puluh ) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1).

d. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD

bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud;

e. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan

alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung;

f. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dikabulkan sebagian atau sepenuhnya, putusan Mahkamah Agung

tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak

mempunyai kekuatan hukum;

g. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Perda sebagaimana dimaksud ayat (3), Perda

dimaksud dinyatakan berlaku.32

Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan daerah

itu jelas merupakan salah satu jenis peraturan peraturan perundang-undangan

yang kedudukannya berada dibawah undang-undang. Jenis hierarki perturan

perundang-undangan itu ditentukan sebagai berikut :

32
Ibid 68.
34

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945;

b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Bahkan didalam Pasal 7 ayat (2) ditentukan pula bahwa Peraturan Daerah

sebagaiamana dimaksud meliputi:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah provinsi bersama gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala

desa atau nama lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata

cara pembuatan.

d. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan

Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.33

Jika ditelusuri dengan seksama, penempatan peraturan daerah sebagai

salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang- undangan yang dimaksukkan

ke dalam kelompok peraturan perundang-undangan tingkat pusat, baru terjadi

karena Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Dalam Pasal 2 TAP MPR ini, Jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan itu meliputi:

a. Undang-undang Dasar;

33
Ibid hal. 69
35

b. Ketetapan MPR/S;

c. Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

e. Peraturan Pemerintah;

f. Keputusan Presiden; dan

g. Peraturan Daerah.34

2.2 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang dipakai sebagai pisau analisa dalam rangka

memecahkan masalah yang sudah dirumuskan di dalam penelitian ini. Teori-teori

yang dimaksud adalah:

2.2.1 Teori Hierarki Norma Hukum

Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum

merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara

norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat

disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.35

Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan

norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih

tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk

kesatuan.

Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen “The unity of these norms is

constituted by the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined

34
Ibid Hal. 70
35
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa‟at, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,
Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 110
36

by another-the higher-the creation of which of determined by a still higher norm,

and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being

the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity”.36

Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pa da norma hukum

yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus

berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar ( grundnorm). Menurut

Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit

(abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.

Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh

Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma

hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu

keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma

hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang

dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht)

yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma

hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya

dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya

tercabut atau terhapus pula.37

Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki

norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum

(stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah

murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie

36
Hans Kelsen, 2009, General Theory of Law and State, Translated byAnders
Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, hal. 124
37
Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 25.
37

von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut

adalah:38 Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar

negara (Staatsgrundgesetz); Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan

Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome

Satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi

pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari

suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai

syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih

dahulu dari konstitusi suatu negara.39

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai

norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental

negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma

tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.40

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi

membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata

hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum

Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,

struktur tata hukum Indonesia adalah:41

38
Atamimi, A, Hamid S, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu
Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 287.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid.
38

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari

Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan

jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah

Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

2.2.2 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang

menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, yang menghendaki

dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam

hukum. Dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang

adalah produk yang dibentuk bersama antara DPR dan Presiden, dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan

terjemahan dari wettelijke regeling. Kata ivettelijk berarti sesuai dengan wet atau

berdasarkan wet. Kata wer pada umumnya diterjemahkan dengan undang-


39

undang dan bukan undang. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang.

maka terjemahan wettelijke regeling ialah peraturan perundang-undangan.42

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah

pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum

dalam arti yang luas. Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis

negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat

dan mengikat secara umum.43 Bersifat dan berlaku secara umum maksudnya

tidak mengidentifikasikan individu tertentu, schingga berlaku bagi setiap subjek

hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan

mengenai pola tingkah laku tersebut. Pada kenyataannya, terdapat juga

peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang berlaku bagi

kelompok orang-orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu.

Agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang

yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam menyusun

undang-undang, yaitu: landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Pentingnya

ketiga unsur landasan pembentukan undang-undang tersebut, agar undang-

undang yang dibentuk memiliki kaidah yang sah secara hukum, dan mampu

berlaku efektif karena dapat stau akan diterima masyarakat secara wajar, serta

berlaku untuk waltu yang panjang.44

Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya

kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan

42
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 25
43
Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan
Nasional, Fakultas Hukum Univertias Andalas, Padang, hal. 24
44
Ibid hal. 14
40

perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van

rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara

hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin) dibuat

oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak

merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.

Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daerah dan sebagainya harus pula

menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan adanya kesesuaian

bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur,

terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih

tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk

membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UUD

1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan

undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-undang hal itu diatur. Kalau

diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden. Maka Keputusan Presiden

tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara

tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan

mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan

DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tapa (mencantumkan) persetujuan DPRD

maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan

(pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam

Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan

mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang


41

tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-

undang tidak boleh" mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD.

Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat

lebih bawah.

Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya

(baca: peraturan perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-

kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat

berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti

masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya. Dasar

Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee)

yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan perundang-

undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertihan, kesejahteraan dan

sebagainya. Rechridee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik

dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan

kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia

gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut

pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan

mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yan melindungi nilai-nilai

maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-

nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, schingga setiap pembentukan

hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap

kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada


42

kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu

rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat

resmi seperti Pancasila.45

2.2.3 Teori Hermeneutika Hukum

Hermeneutika hukum adalah penafsiran yang digunakan untuk

mebebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif. Urgensi

penggunaan hermeneutika pada prinsipnya adalah sebagai upaya menemukan

dan menyajikan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apapun yang

digunakan untuk menyampaikan ide-ide. Urgensi lain dari hermeneutika untuk

mengkaji dan menggali maupu meneliti makna-makna teks baik dari perspektif

pengguna atau pembaca.

Sementara itu, apabila dikaitkan dengan keilmuan hukum adalah urgensi

hermeneutika adalah agar para pengkaji hukum dapat menggali dan meneliti

makna-makna hukum baik dari perspektif pembaca maupun dari pencari

keadilan. Untuk mengkaji, meneliti dan menggali makna-makna yang terkandung

dalam teks hukum maka digunakan metode interpretasi yang dalam keilmuan

filsafat dikenal dengan hermeneutika hukum. Secara etimologis, hermeneutika

merupakan padanan kata dari bahasa inggris yaitu “hermeneutics” dan dari

bahasa yunani “hermeneuein” yang berarti menerjemahkan atau bertindak

sebagai penafsir.46 Dalam konteks menerjemahkan sebuah teks berbahasa asing

ke dalam bahasa sendiri, maka perlu dipahami terlebih dahulu teks tersebut,

selanjutnya mencoba untuk memahami artikulasi melalui pemilihan kata-kata dan

45
Ibid, hlm. 15-16
46
F. Budi Hardiman, 2015, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher
sampai Derrida, Kanisius, Yogyakarta, hal.12.
43

rangkaan terjemahan. Kegiatan penerjemahkan bukankan sekedar menukar

kata-kata asing ke dalam kata-kata kita, melainkan memberi penafsiran. Dengan

demikian hermeneutika diartikan sebagai kegiatan untuk menyingkap makna

sebuah teks.

Selanjutnya teks yang dimaksud adalah bukan hanya dalam bentuk

tulisan kata-kata saja melainkan teks adalah prilaku, tindakan, norma, mimik,

tata nilai, isi pikiran, percakapan, bendabenda kebudayaan, objek-objek sejarah,

dan sebagainya atau dapat dikatakan bahwa apapun yang dapat dimaknai oleh

manusia maka itu juga dapat disebut teks sehingga memerlukan hermeneutika

untuk memahami semua itu.

Di sisi lain, dalam kaitannya dengan problem, khususnya problem hukum,

hermeneutika juga memiliki peran penting. Istilah problem berdasarkan Kamus

Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan masalah atau permasalahan. Dengan

demikian problem hukum dapat diartikan permasalahan-permasalahan yang ada

dalam hukum. Memahami arti kata problem tersebut maka dalam penggunaan

hermeneutika dapat digunakan sebagai cara atau metode dalam penyelesaian

suatu permasalahan yang ada pada hukum.

Jazim Hamidi menegaskan bahwa hermeneutika mempunyai peran

penting bagi pembentuk undang-undang dan peraturan kebijakan yang pada

tahap pembentukan sarat dengan kegiatan penafsiran.47 Peraturan kebijakan

yang sarat dengan kegiatan penafsiran juga termasuk didalamnya Peraturan

Daerah (Perda). Hal ini menandakan bahwa dalam konteks pembentukan Perda

sarat dengan kegiatan hermeneutika hukum atau penafsiran hukum.

47
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Filsafat dan Metoda Tafsir,
Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang, hal.99.
44

Schleiermacher mengemukakan hermeneutika sebagai seni memahami

yang mengandung makna sebagai proses yaitu proses mengungkap makna dari

bahasa, teks dan symbol.48 Lebih jauh, Schleiermacher juga mengkaitkan

hermeneutika dengan teks dan konteks. Hal ini dimaksud adalah bahwa dalam

memahami teks tidak bisa diabaikan konteksnya. Menurut Schleiermacher, dalam

memahami problem, khususnya problem hukum maka penafsiran yang dilakukan

adalah menafsirkan problematik teks hukum dengan melihat konteksnya.

Selanjutnya dalam gagasan Schleiermacher juga ditegaskan bahwa dalam bahwa

lingkaran hermeneutika juga perlu dipahami dan digunakan dalam memeahami

problem. Lingkaran hermeneutika Schleiermacher dapat dipahami sebagai

hubungan dialektis antara bagian-bagian dan keseluruhan teks dan sebaliknya.

Pada mitologi Yunani Kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari

kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan

menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi

mitos yang lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas

menafsirakan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.

Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian

hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan

sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci.49

Dalam konteks ilmu hukum, hermeneutika (Eng: hermeneutics) adalah

ilmu atau seni menafsirkan suatu pasal atau ketentuan (schriftverklaring).

Hermeneutika berangkat dari “kecurigaan” akan suatu teks undang-undang,

F. Budi Hardiman, Op.Cit hal. 31.


48

Habibul Umam Taqiuddin. 2016. Hermeneutika Hukum Sebagai Teori Penemuan


49

Hukum Baru. Jurnal Jime. Vol. 2 No. 2. Hal. 327.


45

naskah, ataupun argumentasi yang dikemukakan hakim dalam putusannya.

Aksentualisasinya adalah upaya mencari jawaban dari “apa”. “kapan”, dan yang

paling mendasar adalah “mengapa”?. Dalam Black’s Law Dictionary,

hermeneutika didefinisikan sebagai :

“The science or art of construction and interpretation. By the phrase

“legal hermeneutics” is understood the systematic body of rules

which are recognized as applicable to the construction and

interpretation of legal writing.”

Michael N. Forster mendefinisikan hermeneutika dengan mengemukakan:

“...hermeneutics means the theory of interpretation, i.e. the theory of

achieving an understanding of texts, utterances, and so on (it does

not mean a certain twentieth-century philosophical movement)”50

Hermeneutika dalam pemikiran barat dikembangkan dan dipopulerkan

oleh para filsuf dan pakar hukum diantaranya Friedrich Schleiermacher

(Hermeneutika romantis), Wilhelm Dilthey (hermeneutika metodologis), Emilio

Betti, Martin Heidegger (Hermeneutika eksistensial/dialektis), Hans-Georg

Gadamer (hermeneutika dialogis/filosofis), Jurgen Habermas (hermeneutika

kritis), Paul Ricoeur (hermeneutika fenomenologis/naratif), E. D. Hirsch. Jr.,

Jorge J. E. Gracia, Jasques Derrida (Hermeneutika dekonstruksionis). Secara

umum Josef Bleicher membagi dan mengkerucutkan hermeneutika menjadi 3

tiga metode pencarian makna berdasar hubungan triadic antara teks, penggagas,

dan penafsir yakni: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan

hermeneutika kritis.

50
M. Natsir Asnawi, 2020, Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan
Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata, UII Press, Yogyakarta, hal. 3.
46

Gagasan hermeneutika modern barawal dari gagasan FDE.

Schleiermacher. Ia telah membawa kajian hermeneutik tidak hanya berkutat

pada lingkup penafsiran terhadap kitab suci. Lebih dari itu ia melihat

hermeneutik dapat bermanfaat besar bagi semua kalangan. Dan pada faktanya

terus berkembang ke semua bidang baik agama, sastra, sejarah, hukum,

maupun filsafat. Ia telah berjasa dalam membakukan hermeneutika sebagai

acuan dalam hal interpretasi secara metodologis. 51 Schleiermacher

mengemukakan hermeneutika sebagai seni memahami yang mengandung makna

sebagai proses yaitu proses mengungkap makna dari “bahasa”, “teks”, dan

“simbol”. Dalam memahami problem yang mendasarkan pada gagasan

Schleiermacher interpretasi yang berpengaruh adalah interprestasi psikologis dan

interpretasi gramatis/linguistik. Interpretasi psikologis menempatkan pada isi

pikiran penulis, sedangkan interpretasi gramatis menempatkan pada unsur-unsur

bahasa teks.52

Perkembangan selanjutnya oleh Wilhelm Dilthey. Hermeneutika berperan

sebagai fondasi ilmu kemanusiaan difungsikan sebagai landasan metodologis

bagi ilmu humaniora. Dilthey berusaha menggiring hermeneutika sebagai

landasan epistimologi bagi ilmu humaniora dan tidak hanya sekedar sebagai ilmu

penafsiran teks.53 Ia melakukan pengembangan gagasan dalam memahami

problem dengan menggunakan lingkaran hermeneutika terbuka yaitu dalam

memahami makna ada dipengaruhi oleh historis dan sosial kemanusiaan,

51
Edi Susanto, 2016, Studi Hermeneutika: Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,
hal. 6-7.
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2017. Urgensi Penggunaan Hermeneutika Hukum
52

Dalam Memahami Problem Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Kertha Patrika. Vol.
39 No. 3. Hal. 162-163.
53
Edi Susanto. Op., cit. Hal. 8.
47

sehingga makna tersebut dapat berubah makna menurut waktu dan hubungan-

hubungan yang terlibat melalui proses interpretasi.54

Tahap selanjutnya, kajian hermeneutika telah berhasil memasuki

pembahasan dalam ranah ontologis. Hermeneutika sebagai pemahaman

eksistensial dan fenomenologi eksistensi lebih difungsikan sebagai penafsiran

untuk melihat fenomena keberadaan manusia itu sendiri melalui bahasa.

Tokohnya adalah Martin Heidegger dan Hans G. Gadamer. Dalam perspektif

Heidegger hermeneutika bukan hanya sebagai metode filologi, melainkan

menjadi karakteristik manusia itu sendiri. Memahami dan menafsirkan

merupakan bentuk paling mendasar dari eksistensi manusia. Gadamer

memandang hermeneutika sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan

pemahamannya sebagai proses ontologis manusia. Pemahaman merupakan

modus eksistensi manusia. Peristiwa pemahaman merupakan peristiwa historis,

dialektis, dan linguistik.55

Hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam konteks ini hermeneutika

lebih difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara

menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol, yaitu dengan membuka

selubung yang menutupinya.56 Hermeneutika yang berpengaruh terhadap

memahami problem ini adalah hermeneutika dari Ricoeur yang menempatkan

pada upaya menyingkap makna yang tersembunyi di balik teks. Selanjutnya

Ricoeur juga menegaskan bahwa dalam menyingkap makna dalam teks, unsur

54
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 163.
55
Edi Susanto. Op., cit. Hal. 9.
56
Ibid
48

metodologi sangat diperlukan. Ricoeur menyebutnya sebagai jalan melingkar.57

Artinya dalam menyingkap makna dalam teks harus didahului dengan adanya

“metodologi”. Selanjutnya dapat dilakukan proses “memahami” dan

“menjelaskan”. Setelah ditemukan maknanya, dengan demikian selanjutnya

dapat dilakukan rekontruksi terhadap makna tersebut.

Drucilla Corneel bahkan menyebut bahwasannya hermeneutika hukum

merupakan bagian dari Critical Legal Studies (CLS) Movement (Gerakan Studi

Hukum Kritis) yang berusaha mewujudkan prinsip etis berupa keadilan serta

prinsip-prinsip politik akan janji keselamatan hukum. Corneel bahkan menentang

mereka yang menganggap hermeneutika hukum sebagai sebuah penemuan atau

apropriasi masa lalu dari visi keadilan kontemporer. 58

Francis Lieber menyatakan bahwa hukum mesti menggunakan

hermeneutika dalam memahami teks, kata, atau isi hukum itu sendiri.

Menurutnya hermeneutika bukan sekedar hal yang selalu ada dalam hukum dan

politik, melainkan menjadi bagian penting dalam hukum dan politik itu sendiri.

Maka para legislator, hakim, pengacara, dan administrator membutuhkan aturan-

aturan yang tepat, aman, dan sehat bagi interpretasi dan konstruksi.59

Hermeneutika menjadi kajian yang relevan sebagai alternatif metode

penemuan hukum. Yang mana hal tersebut diperlihatkan dengan ciri khasnya

yakni bingkai pemahaman melalui proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan

fakta-fakta. J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa lingkaran hermeneutical

dihasilkan dari proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Dalil

57
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 164.
58
Jazim Hamidi. Loc., cit.
59
Urbanus Ura Weruin, Dwi Andayani B., St.Atalim, 2016, Hermeneutika Hukum:
Prinsip dan Kaidah Interpretasi Hukum, Jurnal Konstitusi, Vol. 13 No. 1. Hal. 103.
49

hermeneutical bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya

kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta,

termasuk dalam paradigma dari Teori Penemuan Hukum dewasa ini.60

Fungsi dari tujuan hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah

untuk bringing the unclear into clarty (memperjelas sesuatu yang tidak jelas

supaya lebih jelas). Adapun menurut Gregory Leyh, tujuan hermeneutika hukum

untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum

didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Hans-Georg Gadamer

berpendapat bahwa hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna,

tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah orisinal dari

teks hukum. Serta Charter, berpendapat bahwa, pengalaman hakim pada saat

menemukan hukum dalam praktek di pengadilan memberikan dukungan bagi

konsepsi pragmatis dan interpretasinya.61

Dalam ranah kajian hukum, hermeneutika hukum ingin membantu yuris,

khususnya hakim, dalam membangun dan mengembangkan pemahaman secara

utuh terhadap teks-teks hukum. Hermeneutika bagi hakim pada dasarnya

berperan penting dalam menghindarkan hakim dari kesesatan dalam menafsir

teks-teks hukum (mislead). Selain berkutat pada dimensi menafsir suatu teks,

hermeneutika juga berkenaan dengan kegiatan konstruksi atau membangun teks

tertentu yang bermakna. Dengan demikian hermeneutika juga menjadi patron

bagi hakim dalam menyusun atau mengontruksi teks atau kaidah hukum tertentu

60
Dalam B. Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 209.
61
Abintoro Prakoso, 2016, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran, dan
Prosedur Dalam Menemukan Hukum, LaksBang Group, Yogyakarta, hal. 135.
50

dan menerapkannya pada kasus atau perkara in konkreto.62 Selain dari pada itu,

Hermeneutika hukum juga menganjurkan agar para pengkaji hukum supaya

menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna

dan/atau para pencari keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Sarat, “…as an

alternative, or addition, to (the study of legal) behavior”. 63

Menurut Jazim Hamidi, esensi dari hermeneutika hukum itu terletak pada

pertimbangan “trianggel hukum”-nya, yaitu suatu metode menginterpretasikan

teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya semata, tapi juga konteks

hukum itu dilahirkan, serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya

di masa kini dan mendatang. Salah satu kelebihan dari metode ini yakni terletak

pada cara dan lingkup interpretasinya yang “tajam”, “mendalam”, dan “holistik”

dalam bingkai keterkaitan antara “teks”, “konteks”, dan “kontekstualisasinya”.

Dengan demikian, peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan

tidak semata-mata dilihat/ditafsirkan dari aspek legalitas formal berdasar bunyi

teks-nya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar

belakangi peristiwa/sengketa itu muncul, apa akar masalahnya, adakah

intervensi politik yang membidani dikeluarkannya putusan itu, serta sudahkah

dampak putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan

(aspek sosiopolitik-kulturnya) di kemudian hari.64

Sebagaimana banyak menjadi rujukan para pakar hukum di Indonesia,

perkembangan hermeneutika dalam ilmu hukum di Indonesia banyak diilhami

oleh pemikiran B. Arief Sidharta (Almarhum). Melalui pemikirannya,

62
M. Natsir Asnawi. Op., cit. Hal. 3.
63
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, hal. 104-105.
64
Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 117-119.
51

hermeneutika semakin berkembang baik melalui tulisan-tulisan maupun kuliah

tamu yang diisi beliau. Shidarta mengatakan bahwa:

“Melalui pelbagai perpaduan cakrawala dalam dialogia rasional

(hermeneutika Gadamer) dalam forum-forum diskusi ilmiah hukum

terbuka diharapkan akan dihasilkan produk penafsiran hukum yang

paling akseptabel, yakni secara rasional dapat

dipertanggungjawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga

memiliki keberlakukan intersubjektif.”

2.2.4 Teori Desentralisasi

Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Namun penyerahan wewenang ini tidak diberikan secara penuh. Bentuk dari

penggunaan asas Desentralisasi adalah adanya otonomi daerah. Otonomi daerah

merupakan sebuah kewenangan dimana suatu daerah memiliki tanggung jawab

terhadap urusannya sendiri.65

Konsep desentralisasi menurut Brian C Smith dalam prespektif politik

dalam Saiman menjelaskan desentralisasi pada masalah distribusi kekuasaan

berdasarkan dimensi wilayah atau teritorial suatu negara. Smith menjelaskan

bahwa konsep desentralisasi berkaitan dengan besaran pelimpahan kekuasaan

(power) dan kewenangan (authoriy) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke p

emerintah lokal melalui hirarki secara geografis di negara.66

65
Syamsuddin haris, 2007, Desentralisasi dan otonomi daerah, LIPPI pres, Jakarta,
hal 52
66
Saiman, 2017, Politik Perbatasan, Inteligensia Media, Malang, hal.29
52

Desentralisasi dapat membawa banyak dampak positif terutama bagi

daerah yang tertinggal. Mereka dapat mengembangkan daerahnya tanpa campur

tangan dari pemerintah pusat. Daerah akan secara mandiri mengembangkan

keunggulannya dalam berbagai aspek. Pada asas Desentralisasi daerah otonom

dapat mengurusi kebijakannya sendiri sehingga berdampak pada besarnya organ

pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini kemudian membuat sistem di dalam

pemerintahan menjadi sangat kompleks. Banyaknya struktur organisasi yang

dibentuk dalam pemerintah daerah dan pusat dapat menimbulkan lemahnya

koordinasi.67

Desentralisasi terbagi dalam beberapa bentuk kegiatan utama yaitu

desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi (dekonsentrasi).

Devolusi menurut Rondinelli adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi

kepada sub nasional dari pemerintah yang mempunyai tingkat otonomi tertentu

dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi tersebut.

Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit

pemerintah di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi

tertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri. Sedangkan

dekonsentrasi adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam

administrasi pemerintah pusat kepada unit-unit di daerah. Seperti yang sudah

dijelaskan diatas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah.

Menurut Haris, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk

menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur

tangan serta bantuan dari pemerintah pusat untuk meningkatkan daya guna dan

67
Josef Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 12
53

hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap

terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.68

Otonomi daerah memiliki dimensi politik, administratif dan keuangan,

kemudian di antara pemerintahan daerah modern, kebebasan politik dengan

landasan hukum yang berbasis luas, memberikan esensi bagi otonomi daerah. Ini

diperkuat dengan berbagai variasi derajat kebebasan di bidang administrasi dan

keuangan. Pada intinya otonomi daerah mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah adalah suatu badan hukum dengan hak yang

diperlukan bagi seorang subjek hukum;

b. Memiliki yurisdiksi hukum atas wilayah dan masyarakat setempat;

c. Masyarakat memiliki hak hukum untuk memilih pemerintahannya;

d. Sayap terpilih menikmati supremasi atas sayap lain dari

pemerintah daerah dan karenanya, ia memiliki tanggungjawab

utama untuk pemerintahan yang tunduk kepada hukum;

e. Menyusun anggaran lokal yang tunduk kepada hukum;

f. Mengatur urusan lokal melalui peraturan;

g. Membimbing, mengawasi, dan mengontrol pemerintah.69

Memahami otonomi daerah dalam konteks desentralisasi perlu dilihat dari

sudut bentuk-bentuk pemindahan kekuasaan yang keseluruhannya merupakan

keragaman semantik. Dalam istilah populer digunakan istilah devolusi,

desentralisasi, dekonsentrasi, dan delegasi, yang penggunaan istilahnya bisa

68
Syamsuddin haris, Op.Cit, Hal 56
69
MA Muthalib & Mohammad Akbar Ali Khan, 2013, Theory of Local Government
(Teori Pemerintahan Daerah), Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal.
265- 266.
54

terjadi proses campur aduk. Mengenai devolusi, maka ia memiliki beberapa

konotasi terkait politik dan hukum. Adapun untuk dekonsentrasi dan delegasi

adalah hanya memiliki konotasi administratif. Sedangkan desentralisasi adalah

memiliki konotasi yang bisa meluas, karena tidak saja secara administratif, tetapi

juga mencakup konotasi politik dan hukum.

Dalam konteks hubungan pusat-daerah, cara pandang sentralistik yang

cenderung hirarkis-dominatif dan melihat daerah sebagai sub ordinat pusat,

tentu sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi.

Resistensi daerah terhadap pusat pada dasarnya bersumber dari kecenderungan

cara pandang yang hirarkis-dominatif, sehingga kecil peluangnya bagi daerah

untuk berkembang sesuai kemampuan, potensi, dan keanekaragaman lokal

masing-masing. Guna proses penataan kembali hubungan Pusat Daerah ke arah

yang lebih konstruktif, sudah selayaknya dikembangkan pemikiran progresif yang

melandaskan relasinya pada karakteristik partnership dan interdependensi.

Artinya, meskipun secara hirarki pemerintah-pemerintah daerah berkedudukan

lebih rendah, tetapi karena terdapat berbagai komunitas lokal yang pada

dasarnya bersifat otonom, maka pengaturan hubungan pusat-daerah

meniscayakan karakteristik kemitraan dan saling ketergatungan tersebut.

Konsekuensi logis dari pemikiran di atas adalah perlunya diberlakukan

otonomi daerah yang bersifat kontrak sosial (social contract)antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah. Cara pandang demikian diharapkan sekaligus

bukan hanya menciptakan relasinya yang bersifat kemitraan dan saling

tergantung, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menjadi landasan bagi pengembangan
55

lebih harmonis antar kepentingan pusat-daerah itu sendiri.70 Kontrak sosial tadi

bisa mengambil model kesepakatan yang penting untuk dijalankan terkait mana

yang menjadi hak dan kewajiban bagi pusat di satu sisi dan bagi daerah di sisi

lain. Ini kalau dijalankan secara konsisten menjadi penting guna mencegah

gejolak daerah di tingkat lokal dan bahaya separatisme yang berpengaruh di

tingkat nasional. Keterlibatan para pihak dalam relasi Pusat-Daerah, dengan

karakteristik kemitraan dan interdependen serta tetap menjaga keharmonisan

interaksi politiknya, utamanya saat perumusan kebijakan dan pelaksanaannya di

lapangan. Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai salah

satu kamar parlemen di Indonesia setelah reformasi sistem politik 1998,

dianggap dapat menjadi wadah bagi rakyat daerah setempat untuk

memperjuangkan aspirasinya dan kepentingan pembangunan setempat

dihadapan pemerintah pusat. Melalui konstruksi hubungan pusat-daerah

demikian, bukan mustahil keseimbangan aspirasi yang diakomodasi dalam

programprogram pembangunan daerah dan agenda pembangunan nasionalbisa

mencegah meluasnya tingkat ketimpangan antar wilayah dan penduduk secara

berlebihan.

Dalam pembagian urusan antar pusat dan daerah pada perkembangan

terkini di Indonesia, setelah beberapa perubahan dalam peraturan perundang-

undangan pemerintahan daerah, maka penting dicermati pola kelembagaan

dalam distribusi kewenangan pemerintahan yang digunakan.

70
Syamsuddin Haris, 2007, “Otonomi Daerah, Demokratisasi dan Pendekatan
Alternatif Resolusi Konflik Pusat-Daerah”, dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi
& Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,
LIPI Press, Jakarta, hal. 74-75.
56

Dari pola distribusi kewenangan pemerintahan yang berdasarkan basisnya

di atas, maka dikenal dua dimensi dalam konteks hubungan pusat-daerah.

Dimensi 1 adalah yang beranjak dari antar organisasi sampai inter organisasi:

Hybrid Supervision. Selanjutnya, Dimensi 2 adalah beranjak dari Penggunaan

Wakil Pemerintah (generalis) sampai Instansi vertikal di daerah: Dual Functional.

Berdasarkan kedua dimensi hubungan pusat-daerah tadi, maka bisa dilihat sisi

penting dari urusan pemerintahan, yaitu berkaitan cara membaginya, yaitu: (1)

ultra vires doctrine, yang membaginya secara terperinci atau spesifik, (2) open

end arrangement), yang membaginya secara umum. Dalam praktek, Inggris

dianggap dekat dengan penggunaan sistem pembagian urusan yang menganut

doktrin Ultra Vires. Berbeda dengan negara Jerman setelah Perang Dunia ke II

yang dekat dengan Doktrin Open End Arrangements, di mana urusan dibagi

dengan campuran dominan subsidiary. Adapun contoh lain dari negara yang

menerapkan Doktrin Ultra Vires secara ketat, adalah Uni Soviet. Pada konteks UU

No. 23 Tahun tentang Pemerintahan Daerah, misalnya, pola pembagian urusan

pemerintahan yang digunakan adalah pola residual power atau open

arrangement. Bahkan, urusan pemerintahan dibagi menjadi urusan pemerintahan

yang bersifat absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan

umum. Ini bisa dibaca pada Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014. Urusan

pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

sepenuhnya dari pemerintah pusat Ini meliputi urusanurusan pemerintahan

sebagai berikut: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter,

fiskal dan agama. Sedangkan, urusan pemerintahan konkuren adalah urusan

pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah


57

provinsi dan kabupaten/kota. Adapun urusan pemerintahan umum adalah urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut

menunjukkan bahwa Indonesia masih menjalankan Bentuk Negara Kesatuan

secara ketat. Daerah diberikan kewenangan mengelola urusan pemerintahan,

namun ini sudah dirinci dalam regulasi perundang-undangan. Pemberian

kewenangan pada daerah untuk mengelola urusan pemerintahan sepenuhnya

tetap dikendalikan oleh pusat. Akibatnya, kendali pusat berupa petunjuk teknis

dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan (juknis) menjadi dominan dalam

pelaksanaan otonomi kewenangan daerah terhadap urusan-urusan

pemerintahan.71 Berkenaan dengan pengaturan regulasi daerah ke depannya,

tampaknya kendali pusat terhadap urusan pemerintahan daerah perlu

diperlonggar dengan memberikan otonomi yang lebih luas bagi daerah. Ini

misalnya, menyangkut pengelolaan sumber daya alam setempat sebagai bagian

dari urusan pemerintahan bersifat konkuren bisa dipertegas bagi kewenangan

otonom daerah, karena biasanya lebih terkait fungsi non pelayanan dasar.Tentu

saja pelonggaran otonomi daerah bagi pengelolaan urusan pemerintahan yang

lebih luas ini tetap berada dalam koridor Otonomi Simetris dalam bentuk Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

71
Septi Nur Wijayanti, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014”, dalam
Media Hukum Vol. 23 No. 2/ Desember 2014, h. 197-198.
58

2.3 Kerangka Pikir

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan;
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasioanl;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang;
9. Peraturan Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin
Mendirikan Bangunan;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah;
11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur
Bangunan Gedung.
12. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali;
13. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bangli;
14. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung.

REGULASI BANGUNAN GEDUNG PADA KAWASAN RAWAN BENCANA ALAM


MENURUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI

Pengaturan bangunan gedung pada Penyelesaian menurut hukum tentang


kawasan rawan bencana alam di kekosongan norma terhadap pengaturan
Kabupaten Bangli bangunan gedung pada kawasan rawan
bencana alam di Kabupaten Bangli

Teori Pembentukan Peraturan


Teori Heirarki Norma Hukum Perundang-Undangan
Teori Hermeneutika Teori Desentralisasi

Terwujudnya keteraturan dan kepastian hukum dalam pembangunan


kepemilikan bangunan gedung pada kawasan rawan bencana alam
Kabupaten Bangli
59

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode pada hakikatnya bermakna memberikan pedoman, tentang

bagaimana cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis, dan memahami

hukum yang dimaksud.72 Penelitian ilmiah merupakan prosedur dalam

mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Dengan kata lain ilmu merupakan

pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah, dan ideal dari ilmu adalah

untuk memperoleh interrelasi yang sistematis.73

Dalam rangka penyusunan karya tulis ini penulis akan mengumpulkan

serta menganalisa setiap bahan hukum yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan

suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah mempunyai susunan

yang sistematis, terarah dan konsisten.74 Adapun metode penelitian ini adalah

sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Pada penelitian ini dalam upaya mengkaji dan mencari pemecahan

terhadap masalah yang dikemukakan, maka jenis penelitian yang digunakan

adalah menggunakan penelitian normatif atau penelitian kepustakaan. Penelitian

hukum normatif menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku

hukum, pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau

72
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni,
Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal.43
73
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 44
74
Amirudin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 110

59
60

kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan setiap orang. 75

Penelitan hukum secara normatif artinya pengkajian didasarkan atas kaidah-

kaidah, norma-norma dan asas-asas untuk memperoleh sebuah simpulan

terhadap suatu permasalahan.

Menurut Peter Mahmud, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 76 Penelitian Hukum Normatif

yang nama lainnya adalah penelitian hukum doktrinal yang disebut juga sebagai

penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau

ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan

hukum yang lain.77 Penelitian hukum Normatif mencakup penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian

sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.78

3.2 Pendekatan Penelitian

Jenis Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksud adalah bahan untuk

mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti

untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum terdapat beberapa

pendekatan yaitu :79

75
Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung,hal.52
76
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal.35.
77
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif,
Cetakan ke-8, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.14
78
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,
hal.51.
79
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, hal.185-190.
61

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan

bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar

awal melakukan analisis.

Pendekatan konsep (Conseptual Approach), konsep-konsep dalam ilmu

hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum,

karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.

Pendekatan analitis (Analytical Approach), pendekatan ini dilakukan

dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam

perundang-undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau

makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis

dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah,

serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini akan

dibahas menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan konsep (conseptual approach) dan pendekatan analitis

(Analytical Approach).

3.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam Adapun sumber bahan hukum yang diperoleh dalam penulisan

tesis ini yaitu melalui penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian

terhadap bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian

melalui kepustakaan (Library Research). Bahan Hukum sekunder adalah bahan

hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari :


62

3.1.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan

hukum dalam penulisan tesis ini yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan;

6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan

Penataan Ruang;

9. Peraturan Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis

Izin Mendirikan Bangunan;

10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah;


63

11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan

Arsitektur Bangunan Gedung;

12. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali;

13. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli;

14. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan

Gedung.

3.1.2 Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa publikasi meliputi buku-buku teks,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan. Bahan-bahan hukum

sekunder yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik

penelitian.

3.1.3 Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedi dan seterusnya.80

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah Teknik

studi kepustakaan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan misalnya

memahami dan mengkaji lebih mendalam tentang literatur dan peraturan

perundang-undangan yang ada kolerasinya dengan pembahasan baik langsung

80
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.23
64

maupun tidak langsung.81 Menurut Ronny Hanitijo S, yang dimaksud dengan

studi kepustakaan adalah mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pandangan-

pandangan atau penemuan yang relevan dengan jalan mempelajari buku-buku

ilmiah yang ada hubungannya, kitab undang-undang, peraturan perundang-

undangan dan bahan ilmiah.82 Pengumpulan bahan hukum yang relevan dengan

permasalahan yang dibahas dilakukan dengan cara membaca dan mencatat

kembali bahan hukum seperti peraturan perundang-undangan, buku referensi

atau buku-buku ilmiah yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang

berhubungan dengan permasalahan ini.

3.6 Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis untuk

mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban terhadap permasalahan

83
penelitian.

Pada penelitian ini, analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan

dengan cara deskriptif analisis. Bahan hukum yang diperoleh dari literatur

maupun perundang-undangan, baik sebagai bahan hukum primer maupun

sekunder disajikan dengan cara deskriptif dapat berupa penggambaran bahan-

bahan hukum sebagaimana adanya. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan

analisa terkait dengan topik bahasan dalam penulisan ini.

Dari hasil penelitian yang terkumpul diklasifikasi dan diolah untuk

kemudian dianalisis. Hasil penelitian tersebut dikualifikasikan menjadi data yang

81
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 58.
82
Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Metodelogi Penelitan Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.23
83
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam
Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 152.
65

sudah dikumpulkan dan diolah guna perumusan kesimpulan penelitian tersebut.

Kemudian data hasil penelitian tersebut dianalisis secara mendalam.


66

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

Ali Khan, MA Muthalib & Mohammad Akbar, 2013, Theory of Local Government
(Teori Pemerintahan Daerah), Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Amirudin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Asnawi, M. Natsir, 2020,Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan
Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata , UII Press,
Yogyakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2014, Perihal Undang – Undang, PT. RajaGrafindo Persada,


Kota Depok.

Asshiddiqie, Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang
Hukum, Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI,
Jakarta.

Diantha, I Made Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam


Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Fajar, dan Yulianto Achmad, Mukti, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.

Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta.

H. Zainal Asikin, Amiruddin dan, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamidi, Jazim, 2011, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Filsafat dan Metoda Tafsir ,
Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang

Hardiman, F. Budi, 2015, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher


sampai Derrida, Kanisius, Yogyakarta.

Haris, Syamsuddin, 2007, “Otonomi Daerah, Demokratisasi dan Pendekatan


Alternatif Resolusi Konflik Pusat-Daerah”, dalam Syamsuddin Haris (editor),
Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi &
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta.

________________, 2007, Desentralisasi dan otonomi daerah, LIPPI Pres,


Jakarta.

Josef Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

66
67

Karianga, Hendra, 2013, Politik Hukum dalam Pengelolaan Keuangan Daerah ,


Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated byAnders
Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts,
USA.

M. Friedman, Lawrence, 1984, American Law: An Introduction, W.W. Norton &


Company, New York & London.

Mahfud MD., Moh., 2010, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill,


Jakarta.

___________, 1994, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan


Nasional, Fakultas Hukum Univertias Andalas, Padang.

____________________, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.

Muhamad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Prakoso, Abintoro, 2016, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran, dan


Prosedur Dalam Menemukan Hukum, LaksBang Group, Yogyakarta.

Rahayu, Ani Sri, 2018, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum,
dan Aplikasinya, Sinar Grafika, Jakarta.

Ramli, Soehatman, 2010, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster


management), Dian Rakyat, Jakarta.

S., Siswono, 2012, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor
35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta.

Saiman, 2017, Politik Perbatasan, Inteligensia Media, Malang.


Saptomo, Ade, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni,
Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Sidharta, Dalam B. Arief, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Soekanto dan Sri Mamudji, Soerjono, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan
ke-8, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
68

Soekanto, Soerjono, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, , UI Press, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanintijo, 1986, Metodelogi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta.

Sugiaharto, dkk, Nurjanah, R., 2012, Manajemen Bencana, Penerbit Alfabeta,


Bandung.

Sunggono, Bambang, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,


Jakarta.

Susanto, Edi, 2016, Studi Hermeneutika: Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,


Jakarta.

Wignjosoebroto, Dalam Soetandyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode, dan


Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang


Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

2. Jurnal

Barlian, Aristo Evandy A., 2016 Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah


Baerdasarkan Hierarki Perundang –undangan Dalam Perspektif Politik
Hukum, Jurnal Hukum Vol. 10 Nomor 4.
Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu, 2017, Urgensi Penggunaan Hermeneutika Hukum
Dalam Memahami Problem Pembentukan Peraturan Daerah . Jurnal Kertha
Patrika. Vol. 39 No. 3.
Taqiuddin, Habibul Umam, 2016, Hermeneutika Hukum Sebagai Teori Penemuan
Hukum Baru. Jurnal Jime. Vol. 2 No. 2.
Urbanus Ura Weruin, Dwi Andayani B., St.Atalim, 2016, Hermeneutika Hukum:
Prinsip dan Kaidah Interpretasi Hukum. Jurnal Konstitusi. Vol. 13 No. 1.
Wijayanti, Septi Nur, 2014, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2014”, dalam Media Hukum Vol. 23 No. 2.
69

3. Internet

https://indonesiabaik.id/infografis/wilayah-rawan-gempa-di-indonesia , diakses
pada tanggal 21 Oktober 2022 pukul 23:14 WITA

https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/18/manajemen-bencana/
diakses pada tanggal 23 Oktober 2022 Pukul 15.14 WITA

https://arahkata.pikiran-rakyat.com/berita/pr-1281407504/bpbd-bangli-petakan-
12-titik-bencana-di-kintamani-berikut-rinciannya?page=2 diakses pada
tanggal 3 Oktober 2022 Pukul. 14.14 WITA

https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-regulasi.html diakses pada


6 Desember 2022 pukul. 18.30 Wita

https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-pembentukan-lembaga-khusus-
pengelola-reformasi-regulasi-lt5c07327ba1924 di akses pada
6 Desember 2022 pukul 19.02 Wita.

https://bpbd.purworejokab.go.id/peta-daerah-rawan-bencana-tsunami, diakses
pada tanggal 24 Oktober 2022 pukul 18:14 WITA

4. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang


Wilayah Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan


Ruang.

Peraturan Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin


Mendirikan Bangunan.
70

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan


Arsitektur Bangunan Gedung.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Bali.

Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bangli.

Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan


Gedung.

Anda mungkin juga menyukai