Anda di halaman 1dari 227

PERAN NOTARIS DALAM MENCEGAH

TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


PADA TRANSAKSI JUAL BELI TANAH MENURUT
UNDANG -UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014
TENTANG JABATAN NOTARIS

SKRIPSI
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM

OLEH :

I MADE KRISNA MAHESA PUTRA


NIM : 13.0123.0.02.035

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHENDRADATTA
DENPASAR
2017

i
NOTARY ROLE PREVENTING MONEY
LAUNDERING ON SALE BUY LAND
TRANSACTIONS ACCORDING TO ACT NO. 2 OF
2014 ABOUT NOTARY

THESIS
Submitted Partial Fulfillment of the Requirements for the Award Of
Bachelor of Law at The Faculty of Law

Submitted By :

I MADE KRISNA MAHESA PUTRA


NIM: 13.0123.0.02.035

FACULTY OF LAW
UNIVERSITY OF MAHENDRADATTA
DENPASAR
2017
ii
iiii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala anugrah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi atau tugas
akhir studi yang berjudul “PERAN NOTARIS DALAM MENCEGAH
TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA
TRANSAKSI JUAL BELI TANAH MENURUT UNDANG -UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS “. Skripsi ini
penulis susun untuk menyelesaikan Pendidikan pada Program strata 1 Jurusan
Ilmu Hukum, Universitas Mahendardatta.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
bantuan dari dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasi kepada :

1. Bapak Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendardatta


Wedastera Putra Suyasa III, SE, (MTRU) Msi. Selaku Pembina/Donatur
Yayasan Mahendradatta.
2. Bapak I Gusti Ngurah Wira Wedawitry Mahendradatta Wedastera Putra
Suyasa, S.sos, SH, MH, selaku Ketua Umum Yayasan Universitas
Mahendradatta.
3. Ibu Rektor Dr. Putri Anggreni, SE, MBA, Mpd,Selaku Rektor Universitas
Mahendradatta.
4. Ibu Ni Ketut Wiratny, SH., MH,Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mahendradatta.
5. Ibu Gusti Ayu Kade Komalasari, SH.,MH, Selaku Dosen Pembimbing I
6. Bapak Kadek Dony Hartawan, SH., M.Kn, Selaku Dosen Pembimbing II
7. Koordinator Bagian Skripsi Universitas Mahendradatta
8. Segenap Staff dan Karyawan di Lingkungan Universitas Mahendradatta
9. Bapak Notaris Ditempat saya bekerja Agung Satrya Wibawa Taira, SH.,
M.Kn yang sudah banyak memberikan ide dan waktu untuk ikut
memberikan saran yang baik untuk skripsi ini.

v
10. Bapak Lawyer Fahmi Yanuar Siregar, SH., LL.M yang telah membantu
untuk memberikan banyak materi dan arahan untuk penyelesaian skripsi
ini.
11. Orang Tua penulis, Bapak I Nyoman Yasa dan Ibu Ni Made Nuriani yang
telah memberi dukungan baik secara moril maupun materiil.
12. Kakak penulis Ni Putu Sri Risa Dewi, S.Si, yang telah mendukung dan
memberi semangat untuk menyelesaikan skripsi.
13. Kekasih penulis Sutiana Laia, SE, yang sudah memberikan semangat
dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi.
14. Segenap anggota keluarga yang telah banyak membantu dalam penulisan
Skripsi ini.
15. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian
ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan melimpahkan rahmat-nya serta
membalas budi baik Bapak / Ibu / Saudara sekalian. Sebagian akhir kata, dengan
penuh kerendahan hati saya sangat mengharapkan bimbingan dan saran-saran
yang sifatnya membangun demi penyempurnaan materi sikripsi ini.

Denpasar, 05 Juli 2017

Penulis

( I Made Krisna Mahesa Putra )

v
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI.................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................. iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................................ ix

ABSTRACT ............................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Permasalahan ............................................................................................... 1

1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

2. Rumusan Masalah ................................................................................... 17

3. Ruang Lingkup Masalah ......................................................................... 18

B. Kerangka Teoristis dan Hipotesis .............................................................. 18

1. Kerangka Teoristis .................................................................................. 18

2. Hipotesis ................................................................................................. 27

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 27

1. Tujuan Umum ......................................................................................... 27

2. Tujuan Khusus ........................................................................................ 28

D. Metode Penelitian......................................................................................... 28

1. Jenis Pendekatan ..................................................................................... 28

2. Jenis Penelitian........................................................................................ 29

3. Sumber Bahan Hukum ............................................................................ 30


4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................................................... 31

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum ......................................................... 32

BAB II TINJAUAN UMUMTENTANG NOTARIS DAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Pengertian Notaris .......................................................................................... 33

B. Pengertian Pencucian Uang ........................................................................... 52

C. Tindak Pidana Pencucian Uang ..................................................................... 64

BAB III PERAN NOTARIS DALAM HAL MENCEGAH TERJADINYA

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA TRANSAKSI

JUAL BELI TANAH

A. Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik........................... 73

B. Peran Notaris dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah .................................................................................. 80

C. Perlindungan Hukum bagi Notaris sebagai pihak pelapor atas transaksi

keuangan mencurigakan terkait tindak pidana pencucian uang pada transaksi

jual beli tanah ................................................................................................. 83

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP NOTARIS APABILA TIDAK

MELAPORKAN KECURIGAAN ATAS ADANYA TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Dampak bagi Notaris apabila tidak melaporkan adanya kecurigaan tindak

pidana pencucian uang pada transaksi jual beli tanah.................................... 89

B. Dampak bagi Notaris yang melaporkan adanya kecurigaan tindak pidana

pencucian uang pada transaksi jual beli tanah ............................................... 93


C. Akibat Hukum apabila Notaris tidak melaporkan kecurigaan atas adanya

tindak pidana pencucian uang ........................................................................ 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 98

B. Saran .............................................................................................................. 99

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN :
1. Berita Acara Bimbingan;
2. Surat Pernyataan Keaslian Tulisan;
3. Data Diri Mahasiswa.
4. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris.
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris.
6. Perpaduan Naskah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.

.
ABSTRAK

Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of
law. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum
Republik Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum. Konsep negara hukum
sebagaimana dirumuskan di dalam UUD 1945 mengandung arti seluruh warga
negara Indonesia harus tunduk pada hukum yang berlaku, salah satu fungsi hukum
adalah untuk mengatur tingkah laku manusia atau human tools dalam memenuhi
fungsi tersebut bisa dilakukan dengan pencegahan ataupun pemberian sanksi.
Dalam tindak pidana pencucian uang dimana dalam hal ini melibatkan peran
notaris sebagai pelapor, adalah suatu tindakan untuk mencegah digunakannya
uang hasil pencucian uang tersebut untuk membeli aset yang akta jual belinya
dilakukan dihadapan notaris.
Penulisan skripsi ini menggunakan dua rumusan masalah yaitu : pertama
Bagaimanakah peran Notaris dalam hal mencegah terjadinya tindak pidana
pencucian uang pada transaksi jual beli tanah ? sedangkan rumusan masalah yang
kedua adalah Bagaimanakah akibat hukum terhadap Notaris apabila tidak
melaporkan kecurigaan adanya tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual
beli tanah ?
Penulisan didalam skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif dengan ditunjang dengan data empiris yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan beberapa pihak terkait masalah yanga ada di dalam skripsi ini,
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan
dengan pendekatan Undang-undang, dalam artian penelitian hukum yang
dilakukan terkait dengan penelitian yang berkaitan dengan norma hukum tertulis (
Peraturan Perundang-undangan ), yang mengacu pada penelitian tentang
sistematika hukum dan menganalisis perangkat kaidah-kaidah hukum yang
terhimpun dalam suatu kodifikasi atau peraturan-peraturan tertentu.
Untuk dua rumusan masalah di atas ditemukan kesimpulan sebagai
berikut, pertamaPeranan seorang Notaris dalam hal mencegah terjadinya tindak
pidana pencucian uang pada transaksi jual beli adalah sebagai pelapor atas adanya
transaksi keuangan yang mencurigakan, Notaris melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Dan yang kedua Akibat hukum apabila Notaris tidak melaporkan
adanya tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual beli tanah yaitu Notaris
yang dalam menjalankan jabatannya mengetahui bahwa transaksi yang dilakukan
oleh klien adalah berindikasi pencucian uang namun tetap memberikan pelayanan
dengan menjadi wadah penyimpanan uang pelaku sebenarnya dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana.
Saran yang didapat dari kesimpulan yang telah tercantun didalam
kesimpulan ialah : sebagai pihak pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan
sudah seharusnya diatur dalam jabatan notaris serta akibat hukum apabilan notaris
mengetahui adanya tindak pidana pencucian uang maka sudah sangat seharusnya
notaris tersebut diberikan sanksi yang berat serta mencopot jabatannya sebagai
seorang pejabat publik.

Kata Kunci : Peran notaris, Pencucian uang, Transaksi jual beli tanah.
ABSTRACT

The Indonesian Law Country is inspired by the basic idea of rechtsstaat


and rule of law. This step is based on the consideration that the legal state of the
Republic of Indonesia is essentially a state law. The concept of a legal state as
defined in the 1945 Constitution implies that all Indonesian citizens must submit
to the applicable law, one of the functions of law is to regulate human behavior or
human tools in fulfilling the function can be done by prevention or sanction. In the
crime of money laundering which in this case involves the role of a notary as a
complainant, is an act to prevent the use of money laundering money to purchase
assets whose sale deed is done before a notary public.
Writing this thesis use two problem formulation that is: first How does
Notary's role in preventing the occurrence of crime of money laundering on sale
and purchase of land transaction? While the second formulation of the problem is
How does the legal effect of the Notary if not reporting suspicion of money
laundering on the sale and purchase of land transactions?
Writing in this thesis using normative legal research methods supported
by empirical data obtained from the results of interviews with some parties
related problems that exist in this thesis, The type of approach used in the
preparation of this thesis is done with the approach of the Act, in the sense of
research Laws relating to research relating to written legal norms (Laws and
Regulations), which refer to research on legal systematics and analyze the
instruments of legal rules compiled in a particular codification or regulation.
For the two formulation of the above problems found the following
conclusions: First the role of a Notary in the prevention of money laundering
crime on sale and purchase transactions is as a reporter of suspicious financial
transactions, Notary reports the suspicious financial transactions to the Financial
Transaction Reporting and Analysis Center (FTRAC). And the second result of
law if the Notary does not report the existence of money laundering crime in the
sale and purchase transactions of land that is Notary in the exercise of his
position know that transactions conducted by the client is indicative of money
laundering but still provide services by being a container of money money the
perpetrators can actually be prosecuted either Both civil and criminal.
Suggestions obtained from the conclusions that have been chronicle in
conclusion is: as the reporting party in suspicious financial transactions should
be regulated in the office of a notary and the legal effect of notary public know the
existence of money laundering crime then it is very should notarized the sanction
is given heavy and dismissed his position as A public official.

Keywords: Notary's roles, money laundering, Land Sale and


Purchasetransactions.
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan

1. Latar Belakang Masalah

Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of

law. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum

Republik Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam

konsep negara hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang

terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Yamin

menjelaskan pengertian Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu dalam

Negara dan masyarakat Indonesia, yang berkuasa bukannya manusia lagi seperti

berlaku dalam Negara-negara Indonesia lama atau dalam Negara Asing yang

menjalankan kekuasaan penjajahan sebelum hari proklamasi, melainkan warga

Indonesia dalam suasana kemerdekaan yang dikuasai semata-mata oleh peraturan

Negara berupa peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri. Indonesia

berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum

artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka.

Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan

tertinggi. Menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas ciri penting dari negara hukum

diantaranya adalah :

1. Supremasi hukum

2. Persamaan dalam hukum

3. Asas legalitas

4. Pembatasan kekuasaan
2

5. Organ eksekutif yang independent

6. Peradilan bebas dan tidak memihak

7. Peradilan tata usaha negara

8. Peradilan tata negara

9. Perlindungan hak asasi manusia

10. Bersifat demokratis

11. Sarana untuk mewujudkan tujuan negara

12. Transparansi dan kontrol sosial.

Sedangkan menurut Sudargo Gautama mengemukakan 3 ciri-ciri atau

unsur-unsur dari negara hukum, yakni:

1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan maksudnya

negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi

oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat

mempunyai hak terhadap penguasa.

2. Azas Legalitas Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang

telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau

aparaturnya.

3. Pemisahan Kekuasaan Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah

dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan

perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu

sama lain tidak berada dalam satu tangan.

Namun apabila dikaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan

orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa

Continental ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan


3

UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan

ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi

masalah kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja

bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan

yang paling depan dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.

Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan

tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus

ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak

atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu dalam Batang Tubuh

UUD 1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi

manusia antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945

setelah perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping

Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia

dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C,

28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam

konsep negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum

Anglo Saxon yang terkenal dengan rule of law. Dari penjelasan dua konsep

tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep negara hukum Indonesia tidak dapat

begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of

law, karena latar belakang yang menopang kedua konsep tersebut berbeda dengan

latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran

istilah negara hukum berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh


4

konsep the rule of law. Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula

istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum. Dari berbagai

macam pendapat, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of law maupun

rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan

sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan suatu

topik diskusi internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hak-

hak asasi manusia.

Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan konsep the

rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk mencoba menarik

perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-lebih lagi dengan

mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak dasar yang selalu

dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-rekannya dari

Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The

European Convention of Human Rights. Dengan demikian, lebih tepat apabila

dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945

merupakan campuran antara konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang

terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal

dengan the rule of law. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan

hukum yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di

tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang

demokratis dan tentu saja tidak mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum

yang bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran

hukum rakyat itulah yang diangkat, yang direfleksikan dan ditransformasikan ke

dalam bentuk kaidah-kaidah hukum nasional yang baru. Apabila dalam


5

Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak secara eksplisit

terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain halnya dalam

Konstitusi Republik Indonesia Serikat selanjutnya cukup disebut KRIS. Dalam

KRIS dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan

juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah negara hukum 1, meskipun

indonesia adalah negara hukum, Indonesia tidak terlepas dari yang namanya

tindak pidana salah satunya ialah tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah

dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang ada di Indonesia.

Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya cukup disebut UU

PPTPPU. Tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa dimaksud dengan

pencucian uang, karena dalam UU PPTPPU hanya menyebutkan bahwa

“pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak

pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.2 Secara etimologis,

istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yaitu “money” yang dapat

diartikan sebagai uang dan “laundering” yang juga dapat diartikan sebagai

“pencucian”, jadi, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa money

laundering merupakan pencucian uang harta yang diperoleh dari hasil kejahatan

kemudian disembunyikan dan disamarkan sehingga tampak harta tersebut

1
https://meilabalwell.wordpress.com/negara-hukum-konsep-dasar-dan-implementasinya-
di-indonesia/ diakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam 09 : 00 WITA.
2
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, 2014, Jakarta, hal. 21.
6

mendapatkan legitimasi hukum.3 Selanjutnya definisi atau pengertian Tindak

Pidana Pencucian Uang selanjutnya cukup disebut TPPU telah banyak diutarakan

oleh para ahli hukum, salah satunya adalah Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan

TPPU atau money Laundering sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perorangan maupun korporasi untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang

haram dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan

sehingga uang tersebut kemudian dapat tampak seperti uang yang halal ketika

dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut.

Berhubung TPPU atau money laundring merupakan salah satu aspek

kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan negara maka pada

gilirannya, sifat money laundring menjadi universal dan menembus batas-batas

yuridiksi negara, sehingga masalahnya bukan saja hanya ditingkat nasional

melainkan sampai pada tingkat internasional.4 Akibat TPPU juga secara langsung

maupun tidak langsung berdampak pada sistem perekonomian suatu negara.5 Oleh

karena itu negara-negara yang tergabung dalam G-7 yang terdiri dari Kanada,

Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat pada tahun 1989

membentuk suatu lembaga yang khusus memerangi TPPU atau money loundring

yaitu Financial Action Task Force on Money Laundering selanjutnya cukp disebut

FATF. Tugas pokok dari FATF ini adalah untuk menetapkan kebijakan,

mendorong perang dan perlawanan terhadap praktik TPPU. Dapat dilihat bahwa

pada pasal 17 ayat 1 UU PPTPPU nampaknya pembuat undang-undang masih

3
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal.
153.
4
Erman Raja gukguk, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang. hal. 3.
5
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, Bandung, Books Terrace &
Library, 2008, hal. 1.
7

fokus pada pencegahan dan pemberantasan TPPU pada sektor Penyedia Jasa

Keuangan selanjutnya cukup disebut PJK. Hal ini dapat dilihat bahwa kategori

profesi khususnya notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya cukup

disebut PPAT tidak dikategorikan sebagai pihak pelapor sebagaimana yang

ditentukan dalam pasal 17 ayat 1 UU PPTPPU. Padahal negara-negara seperti

Prancis, Rumania, Kanada, Belgia, Spanyol, Italia, Australia, bahkan Belanda

sudah memperluas cakupan pihak pelapor hingga profesi termasuk didalamnya

adalah Notaris dan PPAT. Di negara-negara tersebut notaris dan PPAT wajib

melaporkan transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna

barang/jasa kepada aparat penegak hukum.6

Dengan dimasukannya notaris dan PPAT sebagi pelapor atas transaksi

mencurigakan maka secara tidak langsung notaris dan PPAT berperan secara

langsung mewujudkan negara yang bersih, damai dan sejahtera. Selain itu secara

langsung laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan selanjutnya cukup disebut

TKM yang dilakukan oleh notaris dan PPAT membawa dampak positif bagi

notaris dan PPAT itu sendiri. Dampak positif pertama adalah laporan TKM yang

dilakukan oleh notaris dan PPAT dapat mengembalikan citra notaris dan PPAT

yang selama ini dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Selain itu dampak

positif yang secara nyata dirasakan oleh notaris dan PPAT yang dikategorikan

sebagai pihak pelapor adalah adanya suatu perlindungan hukum dari negara

karena dalam ketentuan pasal 29 UU PPTPPU mengatakan bahwa pihak pelapor

dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun

6
Adrian Sutedi,Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2008, hal. 264.
8

pidana kecuali terdapat unsur menyalahgunakan wewenangnya . 7 Namun,

pengertian Notaris yang sebenarnya yang didefenisikan di dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku tentang notaris yaitu Undang-Undang nomor 2

Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang

jabatan Notaris, pada Pasal 1 yang berbunyi Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sesuai dengan defenisi yang diberikan

sebelumnya bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta

otentik. Maka, akta otentik yang dibuat oleh notaris adalah akta sah yang

dapat dipercaya serta berkekuatan hukum tetap dimana apabila akta yang dibuat

ada bermasalah, maka hukum nasional akan berlaku terhadap permasalahan yang

ditimbulkan oleh akta ini.8 Seiring dengan perjalanan profesi notaris ini, tentu

perlu diketahui sebenarnya apa itu notaris, darimana sejarahnya notaris, dan apa

saja pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh notaris itu sendiri. Kita tidak mau

hanya mempunyai pengertian yang singkat tentang notaris seperti yang selama ini

banyak dianut oleh masyarakat umum bahwa notaris itu sama halnya seperti

dokter, dimana kantor notaris mempunyai tulisan dengan warna latar papan putih

dan kantor yang cenderung kaku, dan setiap orang yang datang ke kantor notaris

pasti tidak mengetahui mau berurusan apa dengan notaris. Selain itu, perlu

diketahui bahwa apa yang membuat notaris selama ini kurang dikenal secara luas

7
Pasal 29 UU PPTPPU “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor,
pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas
pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini”.
8
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 39
9

oleh masyarakat sebagai sebuah profesi yang sebenarnya dapat dijadikan tempat

bagi masyarakat jika ingin membuat perjanjian-perjanjian yang sifatnya otentik.9

Untuk hal tersebut maka perlu diberi uraian secara lengkap tentang notaris

yang ditinjau dari Undang-Undang nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris di dalam Bab III.

Salah satu profesi notaris adalah membuat akta perjanjian. Akta perjanjian itu

sendiri adalah akta yang dibuat oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak

telah sepakat untuk menaatinya. Perjanjian itu sendiri harus mempunyai

persyaratan-persyaratan sebagaimana dengan yang telah ditentukan di halaman

awal penulisan ini dimana kedua belah pihak telah sepakat untuk membuatnya

dengan bermacam jenis dan fungsi.

Maksud dari bermacam jenis adalah bahwa akta perjanjian itu mempunyai

jenis-jenis yang berbeda-beda, diantaranya perjanjian jual beli, perjanjian pinjam

pakai, perjanjian kredit, dan banyak lagi perjanjian-perjanjian lain yang ada.

Fungsinya juga bermacam-macam sesuai dengan nama perjanjian itu sendiri

seperti contoh perjanjian jual beli didalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata mempunyai penjelasan bahwa kesepakatan antara kedua belah

pihak dalam membuat hal jual beli terhadap suatu benda atau objek yang bisa

diperjual belikan dengan persyaratan yang telah mereka buat dan mereka setuju

untuk melaksanakannya dimana di dalam perjanjian ini si penjual akan

menyerahkan suatu benda dan pihak yang lain membayar dengan harga yang telah

disepakati tadi.

9
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38177/4/Chapter%20I.pdf diakses pada
tanggal 12 Maret 2017 jam 11 : 22 WITA.
10

Sama halnya seperti yang telah tertulis di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa segala hal yang diperjanjikan

itu tidak boleh melanggar ketentuan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku

termasuk juga apabila perjanjian tersebut tidak boleh melanggar kesusilaan dan

ketertiban umum.10 Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

materi penelitian ini sudah menunjukkan suatu bentuk prestasi yang penting untuk

dicermati yaitu prestasi untuk memberikan sesuatu yakni suatu prestasi yang

terlahir dari perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

dijanjikan,11 yang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut

sebagai perjanjian jual beli. Salah satu cara memperoleh tanah adalah melalui jual

beli. Jual beli hak atas tanah seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) harus dilakukan dihadapan yang berwenang, dalam hal ini adalah PPAT.

Dalam jual beli ada dua subyek yaitu penjual dan pembeli, yang masing-

masing mempunyai hak dan kewajiban, maka mereka masing-masing dalam

beberapa hal merupakan pihak yang melakukan kewajiban dan dalam hal-hal lain

merupakan pihak yang menerima hak. Ini berhubungan dengan sifat timbal balik

dari persetujuan jual beli (werdering overeenkomst).12 Dalam praktek disebut

jual beli tanah, yang dijual adalah hak atas tanahnya. Memang benar, dengan

10
Sudarsono, op.cit., hal. 232
11
Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
12
Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Memuat Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU
Medan, 2004, hal. 36.
11

tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai

dan mempergunakan tanah tersebut.13

Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat, jual beli atau pengalihan hak

ini dilakukan dihadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini

dilakukan dihadapan Notaris. Perikatan jual beli ini terjadi karena syarat-syarat

jual belinya belum semua terpenuhi, misalnya karena pajak-pajak Pajak

Penghasilan selanjutnya cukup disebut PPh, pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan selanjutnya cukup disebut BPHTB belum dibayar/dilunasi, belum

ada bukti pembayaran BPHTB, karena untuk pembayaran BPHTB ini harus

melalui proses verifikasi/validasi dari Dinas Pendapatan Kota Denpasar sesuai

dengan Perda BPHTB Nomor 7 Tahun 2010 Tanggal 29 Desember 2010 yang

diberlakukan di Kota Denpasar, atau harga yang belum dibayar lunas

(pembayaran berjangka) sesuai dengan kesepakatan, dan sebagainya. Disini

penjual dan pembeli secara bersama-sama mengikatkan diri dalam suatu akta

pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris, karena syarat-syarat bagi

terpenuhinya suatu jual beli tanah menurut ketentuan hukum tanah atau Undang-

Undang Pokok Agraria belum sepenuhnya dapat dipenuhi, baik oleh penjual

maupun pembeli. Sedangkan untuk tanah yang belum bersertifikat yaitu tanah

yang alas haknya berupa Surat Keterangan Camat, para pihak biasanya tidak

terlalu memperhatikan mengenai pajak-pajak ini, karena pembayarannya

dilakukan pada saat permohonan sertifikat pada kantor pertanahan setempat.

Cara pembayaran yang dilakukan lunas sekaligus, akta pengikatan jual beli

ini kemungkinan untuk bermasalah sangat kecil dan bisa langsung ditindaklanjuti

13
Efendi Perangin-angin, Praktek Jual Beli Tanah, Manajemen PT. Raja Grafindo
Persada, 1994, hal. 8.
12

dalam Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk

seterusnya dilakukan balik nama hak atas tanah pada kantor pertanahan setempat

dan pembeli dapat secara sah memilikinya, karena peralihan haknya sudah

langsung terjadi namun untuk pembayaran yang dicicil (pembayaran berjangka)

sangat besar kemungkinan timbul permasalahan. Permasalahan yang dapat timbul

antara lain, ketidak sanggupan salah satu pihak (pembeli) untuk memenuhi

pelunasan pembayaran, atau pihak penjual tidak bersedia menyerahkan hak atas

tanahnya pada saat pelunasan pembayaran atau pada saat jangka waktu

pembayaran terakhir hampir tiba dengan alasan harga sudah tidak sesuai lagi.

Pertama sekali harus disadari, sesuai dengan maksud undang-undang, pengertian

pembayaran dalam hal ini harus dipahami secara luas, tidak boleh diartikan

dalam ruang lingkup yang sempit seperti yang selalu diartikan orang hanya

terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata-mata

tidaklah selamanya benar. Karena ditinjau dari segi yuridis, pembayaran prestasi

dapat dilakukan dengan melakukan sesuatu. Namun demikian, sekalipun pada

umumnya pembayaran menghapuskan hutang itu dimaksudkan untuk memenuhi

prestasi perjanjian sudah cukup bagi hukum.14 Pembayaran merupakan tindakan

nyata, namun dalam praktek terhadap hal-hal tertentu dalam pembayaran bertemu

tindakan nyata dengan tindakan hukum. Pada keadaan tertentu kerjasama dan

tindakan hukum menentukan sahnya pembayaran. Akan tetapi seperti yang

dikatakan bahwa pembayaran sudah dianggap sah dan menghapus perjanjian

apabila secara nyata uang diserahkan kepada penjual, tanpa tindakan hukum

selanjutnya. Sebab tanpa pelunasan, hanya masalah yang menyangkut soal

14
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal. 108.
13

pembuktian apabila terjadi perselisihan diantara para pihak. Kewajiban penjual

menurut Pasal 1474 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua :

1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli.

2. Kewajiban penjual memberi jaminan (vrijwaring) bahwa barang yang

dijual tidak mempunyai sangkutan apapun baik berupa tuntutan maupun

pembebanan.

Penyerahan barang dalam jual beli merupakan tindakan pemindahan

barang yang dijual kedalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada

penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis (juridische levering)

disamping penyerahan nyata (feitelijke levering) agar pemilikan pembeli menjadi

sempurna, penjual harus menyelesaikan penyerahan tersebut. Penyerahan nyata

yang dibarengi dengan penyerahan yuridis umumnya terdapat pada penyerahan

benda-benda tidak bergerak. Dalam transaksi jual beli ada beberapa kejahatan

yang di lakukan para pihak salah satu kejahatan white collar crime yang mendapat

perhatian khusus dari dunia internasional termasuk Indonesia adalah TPPU atau

yang lebih dikenal dengan istilah money laundering. Mengenai apa yang

dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering sampai sekarang masih

belum terdapat definisi atau pengertian yang universal dan komprehensif.15

Jual beli tanah merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-

hari di masyarakat. Apabila antara penjual dan pembeli sudah bersepakat untuk

melakukan jual beli tanah terhadap tanah yang sudah bersertifikat maka beberapa

langkah yang harus ditempuh adalah :

15
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, 2014, Jakarta, hal. 21.
14

1. Akta Jual Beli selanjutnya cukup disebut AJB Si penjual dan si pembeli harus

datang ke Kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. PPAT adalah

Pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang

mempunyai kewenangan membuat akta jual beli dimaksud. Siapakah Pejabat

yang berwenang membuat Akta Jual -beli tidak lain adalah beliau PPAT

Sementara (Camat Setempat) dan Notaris Yang sudah lulus seleksi UJIAN

PPAT biasanya ujian ini di laksanakn di kampus sekolah tinggi Pertanahan

Nasional selanjutnya cukup disebut STPN

2. Persyaratan AJB yang diperlukan untuk membuat Akta Jual Beli Tanah di

Kantor Pembuat Akta Tanah adalah :

A. Penjual selanjutnya cukup disebut Pihak Pertama membawa :

1. Pihak Pertama berikut suami/isteri Penjual

2. Asli Sertifikat hak atas tanah yang akan dijual.

3. Kartu Tanda Penduduk Suami dan Isteri yang masih berlaku.

4. Jika Suami/isteri penjual meninggal maka yang harus dibawa adalah Akte

Kematian.

5. Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Terahir dan lima tahun

kebelakang

6. Surat Persetujuan Suami/Isteri bagi yang sudah berkeluarga.

7. Kartu Keluarga.

B. Sedangkan calon pembeli selanjutnya cukup disebut Pihak Kedua membawa :

1. Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku

2. Kartu Keluarga.

3. Proses pembuatan akta jual beli di Kantot PPAT.


15

A. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.

1. Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan

pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.

2. Pejual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5% dari Harga

Transaksi di bayarkan di Bank atau Kantor Pos.

3. Penjual harus membayar Pajak Jual beli yaitu dari nilai transaksi –

(dikurangi) 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dikali 2.5%

4. Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah

tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan

batas luas maksimum.

5. Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam

sengketa.

6. PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual

sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank.

B. Pembuatan Akta Jual Beli.

1. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang

yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan.

2. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi

biasanya dari perangkat desa jika melalui PPAT Sementara (camat) dan

kedua pegawai Notaris Jika Melalui Notaris/ PPAT.

3. Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi

dan maksud pembuatan akta, Termasuk juga sudah lunas atau belum untuk

transaksinya.
16

4. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta

ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat

Akte Tanah.

5. Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu

lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan

pendaftaran (balik nama).

6. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.

C. Langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli

1. Sebelum Akta Jual beli didaftarkan atau diserahkan ke kantor Pertanahan

Setempat maka Yang harus dilakukan kwalidasi SSB dikantor PBB.

2. PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan

untuk keperluan balik nama sertifikat.

3. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak

ditandatanganinya akta tersebut.

D. Berkas yang harus diserahkan.

1. Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli atau

Kuasanya Jika Dikuasakan.

2. Akta jual beli PPAT yang sudah lengkap.

3. Asli Sertifikat hak atas tanah.

4. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk selanjutnya cukup disebut KTP pembeli

dan penjual yang masih berlaku dan di ligalisir.

5. Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Bumi dan Bangunan tahun Terahir, dan

Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
17

E. Prosesnya di Kantor Pertanahan

1. Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan

memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT,

selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan kepada

Pembeli.

2. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat

dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau

Pejabat yang ditunjuk.

3. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom

yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan

dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang

ditunjuk.16

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peran Notaris dalam hal mencegah terjadinya tindak pidana

pencucian uang pada transaksi jual beli tanah ?

2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap Notaris apabila tidak melaporkan

kecurigaan adanya tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual beli

tanah ?

16
https://dadangbussiness.wordpress.com/tata-cara-jual-beli-tanah/ diakses pada tanggal 22
Maret 2017 Jam 12 : 55 WITA
18

3. Ruang Lingkup Masalah

Uraian yang tertalalu luas akan menjadi mubazir dan kemungkianan akan

menyimpang dari permasalahan pokoknya. Untuk menghindari segala resikonya

tersebut penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas ke dalam lingkup

tertentu. Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas maka

penulis akan membatasi tulisan terhadap penulisan skripsi ini. Sebagaimana judul

di atas maka ruang lingkup masalahnya di batasi hanya pada bagaimanakah peran

notaris dalam hal mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah, dan bagaiamanakah akibat hukum terhadap Notaris

apabila tidak melaporkan kerucigaan adanya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah.

B. Kerangka Teoristis dan Hipotesis

1. Kerangka Teoristis

Sebuah tulisan ilmiah kerangka teori adalah hal yang sangat penting,

karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang relevan dalam

menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan

sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan.

Karena itu adalah sangat penting bagi seorang peneliti untuk menyusun kerangka

teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut

mana suatu masalah akan disoroti.17

Notaris adalah sebuah sebutan profesi untuk seseorang yang telah

mendapatkan pendidikan hukum yang dilisensi oleh pemerintah untuk melakukan

17
Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
19

hal-hal hukum, khususnya sebagai saksi penandatanganan pada dokumen. Bentuk

profesi notaris berbeda-beda tergantung pada sistem hukum.

Pekerjaan notaris dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada masa roma kuno,

di mana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu,

mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato. Istilah notaris diambil dari

nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan

orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi

hukum yang tertua di dunia.18

Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif,

ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila

ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi

dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk

memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan

notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk

kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah

untuk mencegah terjadinya masalah.

Peranan adalah berasal dari bahasa peran yang dalam kamus Bahasa

Indonesia berarti pemain19. Peran adalah orang yang mejadi atau melakukan

sesuatu yang khas, atau perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh

seseorang yang berkedudukan di masyarakat20. Jika ditujukan terhadap sesuatu

yang bersifat kolektif di masyarakat seperti organisasi dan lain-lain, maka peranan

berarti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh organisasi yang memiliki

18
https://id.wikipedia.org/wiki/Notaris diakses pada tanggal 17 Maret 2017 jam 14 : 30
WITA.
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia
20
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-peranan-definisi-menurut.html diakses
pada tanggal 22 Maret 2017 jam 17 : 00 WITA.
20

kedudukan di masyarakat. Menurut Soleman B Taneko, peranan adalah pola

tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memangku status atau kedudukan

tertentu21.

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 Undang-Undang No 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat

akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya22. Sejarah notariat

diawali tumbuh di Italia dimulai pada abad ke XI atau XII yang dikenal dengan

nama “Latinjse Notariat” yang merupakan tempat asal berkembangnya notariat,

tempat ini teletak di Italia Utara, dari perkembangan notariat di italia ini kemudian

meluas ke daerah Perancis dimana notariat ini sepanjang masa jabatannya

merupakan suatu pengabdian yang dilakukan kepada masyarakat umum yang

kebutuhan dan kegunannya senantiasa mendapat pengakuan dari masyarakat dan

dari Negara, dari perancis pada frase ke dua perkembangannya pada perumulaan

abad ke XIX lembaga notariat ini meluas ke negara lain di dunia termasuk pada

nantinya tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Nama Notariat dengan nama lembaga ini dikenal dimana-mana berasal

dari nama pengabdinya yang pertama yakni Notarius yang menandakan satu

golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis

tertentu akan tetapi yang dinamakan notarius yang dulu tidak sama dengan notaris

sekarang arti nama notarius secara lambat laun berubah dari artinya semula. pada

abad ke II dan abad ke III SM, bahkan jauh sebelumnya ada juga yang dinamakan

“Notarii” tidak lain adalah sebgai orang-orang yang memiliki keahlian untuk
21
Taneko, soleman B, 1986, konsepsi system sosial dan system sosial Indonesia, Fajar
Agung Jakarta, hal. 23
22
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
21

mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat didalam menjalankan pekerjaan

mereka yang sekarang disebut stenografen para notarii ini memiliki kedudukan

yang tinggi dimana pekerjaan mereka menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan

dalam kosistorium kaisar pada rapat-rapat yang membahas soal-soal rahasia

kenegaraan, jadi tidak mempunyai persamaan dengan notaris yang dikenal

sekarang.

Para notarii pada permulaan abad ke III sesudah masehi telah dikenal yang

dinamakan tabeliones sepanjang mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh para

tabeliones ini mereka mempunyai beberapa persamaan dengan para pengabdi dari

notariat oleh karena mereka orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan

masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat, walaupun jabatan

atau kedudukan mereka itu tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak

ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan sesuatu formalitas

yang ditentukan oleh Undang-Undang, para tabeliones dikenal semasa

pemerintahan ulpianus kenyataan para tabilones dari pengangkatannya oleh yang

berwajib tidak memperoleh wewenang sehingga akta-akta dan surat tersebut

hanya mempunyai kekuatan seperti akta dibawah tangan. Disamping para

tabeliones masih terdapat suatu golongan orang-orang yang menguasai teknik

menulis dinamakan tabularii yang memberikan bantuan kepada masyarakat

didalam pambuatan akta-akta dan surat-surat, para tabularii ini adalah pegawai

negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan

kota-kota dan juga ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip dari

magisrat kota-kota dibawah resort dimana mereka berada.23

23
www.id.wikipedia.org/wiki/notaris diakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam 16 : 00
WITA
22

Dapat di simpulkan dari beberapa pengertian di atas Peran Notaris adalah

perangkat tingkah laku yang harus dimiliki oleh seorang Notaris di masyarakat.

Dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban profesi Notaris dalam peranannya di

masyarakat di atur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris dan peraturan Kode Etik yang sudah ditetapkan dan digariskan oleh Ikatan

Notaris Indonesia sebagai organisasi yang menaungi para Notaris di Indonesia.

Tan Thong Kie menyebutkan bahwa kedudukan seorang notaris sebagai

suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani.

Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang

dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis

serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang

kuat dalam suatu proses hukum.

Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan

mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan

tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang

sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan,

sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate

offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful

actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan

proses pencucian.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini disahkan dan diundangkan

pada tanggal 22 Oktober 2010. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mencabut

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang


23

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undangan Nomor 25 Tahun 2003

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010, pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang lebih komprehensif,

cakupannya lebih luas dan ruang interpretasi lebih dipersempit.

Undang-Undang ini memberi tugas, kewenangan dan mekanisme kerja

baru bagi PPATK, pihak pelapor, regulator/lembaga pengawas dan pengatur,

aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya. Beberapa terobosan

pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 antara lain pengecualian

rahasia bank dan kode etik yang lebih luas, perluasan pihak pelapor serta

perluasan jenis laporan, penghentian sementara dan penundaan transaksi serta

non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan), tindak

pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu, penyidikan tindak pidana

pencucian uang oleh penyidik tindak pidana asal, penggabungan penyidikan

tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, kewenangan penyidik,

penuntut umum dan hakim untuk meminta keterangan tertulis mengenai harta

kekayaan kepada pihak pelapor, pergeseran beban pembuktian, pemeriksaan dan

putusan tanpa kehadiran terdakwa (fugitive disentitlement), serta perluasan alat

bukti.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan

amanat Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015, terdapat beberapa


24

Pihak Pelapor “baru” dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pindana

pencucian uang, sebagai berikut:

1. Perusahaan Modal Ventura;

2. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;

3. Lembaga Keuangan Mikro;

4. Lembaga Pembiayaan Ekspor;

5. Advokat;

6. Notaris;

7. Pejabat Pembuat Akta Tanah;

8. Akuntan;

9. Akuntan Publik; dan

10. Perencana Keuangan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur antara lain mengenai kewajiban

menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa, kewajiban pelaporan ke PPATK,

dan pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan ke PPATK. Perusahaan

Modal Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Lembaga Keuangan

Mikro, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor wajib menyampaikan laporan ke

PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU TPPU. Sedangkan Advokat,

Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akuntan, Akuntan Publik dan Perencana

Keuangan wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan ke

PPATK untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai:

1. Pembelian dan penjualan properti;

2. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan

lainnya;
25

3. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/

atau rekening efek;

4. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau

5. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.

Peraturan Pemerintah ini juga mengatur pengecualian kewajiban pelaporan

bagi advokat yang bertindak untuk kepentingan atau untuk dan atas nama

Pengguna Jasa, dalam rangka:

1. memastikan posisi hukum Pengguna Jasa; dan

2. penanganan suatu perkara, arbitrase, atau alternatif penyelesaian

sengketa.24

Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya

“uang haram” atau “uang kotor” (dirty money ). Uang dapat menjadi kotor dengan

dua cara, pertama, melalui pengelakan pajak ( tax evasion) , yang dimaksud

dengan “pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah

yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih

sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui

Teknik- teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antara lain penjualan obat-

obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drag sales atau drag

trafficking), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution),

perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras,

tembakau, dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco,

pornography), penyelundupan imigran gelap ( illegal immigration rackets atau

people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).

24
http://jdih.ppatk.go.id/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2015-tentang-pihak-
pelapor-dalam-pencegahan-dan-pemberantasan-tindak-pidana-pencucian-uang/ diakses pada
tanggal 22 Maret 2017 Jam 14 : 00 WITA.
26

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau

money laundering sebagai: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang

dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang

berasaldari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan

asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan

penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang

tersebut ke dalam sistem keuangan (finacial system) sehingga uang tersebut

kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.”

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebagai salah satu ahli hukum pidana,

memandang pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berupaya

menyembunyikan asal- usul uang sehingga dapat digunakan sebagai uang yang

diperoleh secara legal. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu kejahatan

kerah putih (white collar crime) di bidang perbankan, bahwa kejahatan ini

dilakukan oleh orang - orang yang memiliki pendidikan dan tingkat sosial serta

perekonomian yang tinggi. Dalam ketentuan mengenai pencucian uang antara

hasil tindak pidana ( proceed of crime) dengan tindak pidana asal (predicate

crimes) dijadikan satu ketentuan karena memang terkait sangan erat.25

2. Hipotesis

Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang

masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis

ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang akan

25
http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-tindak-pidana-pencucian-uang.html diakses
pada tanggal 22 Maret 2017 jam 14 : 30 WITA.
27

diteliti. Sehubungan dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, dapat

diberikan Hipotesis sebagai berikut :

a. Peranan seorang Notaris dalam hal mencegah terjadinya tindak pidana

pencucian uang pada transaksi jual beli adalah sebagai pelapor atas adanya

transaksi keuangan yang mencurigakan, Notaris melaporkan transaksi

keuangan mencurigakan tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK).

b. Akibat hukum apabila Notaris tidak melaporkan adanya tindak pidana

pencucian uang pada transaksi jual beli tanah yaitu Notaris yang dalam

menjalankan jabatannya mengetahui bahwa transaksi yang dilakukan oleh

klien adalah berindikasi pencucian uang namun tetap memberikan

pelayanan dengan menjadi wadah penyimpanan uang pelaku sebenarnya

dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penulisan ini adalah usaha untuk menyatakan suatu pikiran atau

pendapat secara tertulis dan sistematis dimana nantinya dapat di pakai sebagai

sumbangan buah pikiran dalam mendukung perkembangan ilmu hukum di

kemuadian harinya, disamping itu untuk mengetahui bagaimana peran seorang

notaris dalam tranksaksi jual beli, serta bagaiaman peran notaris dalam

memberantas tindak pidana pencucian uang yang di lakukan dalan transaksi jual

beli sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris.


28

2. Tujuan Khusus

Sedangkan yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk memenuhi persyaratan didalam menempuh ujian sarjana lengkap di

Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta.

2. Untuk melatih diri dalam menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis,

sehingga nantinya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di

bidang ilmu hukum.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah peran Notaris dalam hal mencegah

terjadinya tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual beli tanah dan,

4. Untuk mengetahui bagaimanakah akibat hukum terhadap Notaris apabila

tidak melaporkan kecurigaan adanya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah.

D. Metodelogi Penulisan

1. Jenis Pendekatan

Dalam melakukan sebuah penelitian hukum tidak dapat terlepas dengan

penggunaan metode penulisan. Karena setiap penelitian apa saja pastilah

menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat. Menurut

Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang di dasarkan

pada metode, sistimatika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan


29

menganalisanya.26 Adapun jenis pendekatan yang diagunakan dalam penyusunan

skripsi ini dilakukan dengan pendekatan Undang-undang, dalam artian penelitian

hukum yang dilakukan terkait dengan penelitian yang berkaitan dengan norma

hukum tertulis ( Peraturan Perundang-undangan ), yang mengacu pada penelitian

tentang sistematika hukum dan menganalisis perangkat kaidah-kaidah hukum

yang terhimpun dalam suatu kodifikasi atau peraturan-peraturan tertentu.

2. Jenis Penelitian

Seperti yang diungkapkan sebelumnya penelitian mempunyai berbagai

kategori. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan

hukum dari sisi normatifnya.27 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad,

penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis

dari berbagai aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi,

lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,

formalitas dan kedekatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum

yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.28

Karena tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi, maka penelitian hukum

normatif sering juga disebut “penelitian hukum dogmatis” atau “penelitian hukum

teoritis” (dogmatic or theoritical law research). Penelitian hukum yang normatif

adalah penelitian hukum yang di lakukan dengan cara meneliti bahan-bahan

26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986). hal. 3.
27
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing Malang, Jawa Timur, hal. 57.
28
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 101.
30

hukum pustaka.29 Dengan demikian, maka dengan pustaka yang nantinya

dijabarkan secara deskriptif. Sehingga Penelitian yuridis normatif adalah

penelitian terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan, perjanjian, putusan-putusan pengadilan, dan pendapat para

ahli hukum.30

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, penelitian akan menggunakan bahan

hukum primer dan sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer dan

sumber bahan hukum sekunder. Yang termasuk sumber bahan hukum primer

dalam penelitian ini adalah :

a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

e. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan

Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

29
Rony Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 21.
30
Ardana I Nyoman, 2013, Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembebanan
Hak Tanggungan, Universitas Mahendradatta, Denpasar, Tesis, hal. 23.
31

h. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam

Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

i. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor

dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

Disamping itu pada penelitian ini juga dipergunakan bahan hukum

sekunder berupa buku-buku sebagai refrensi dan bahan hukum tersier, yaitu bahan

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, internet, dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Melalui studi dokumen untuk dapat menemukan dan memilah bahan-

bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Pengumpulan

bahan yang di peroleh melalui jalan wawancara dengan salah satu Notaris Kota

Denpasar.

Studi kepustakaan, teknik ini merupakan teknik awal yang digunanakn

dalam setiap penelitian hukum. Metode pengumpulan bahan ini sangat bermanfaat

karena dapat dilakukan tanpa mengganggu objek maupun suasana penelitian.31

Studi kepustakaan ini dilakukan dalam mengumpulkan bahan-bahan hukum yang

relevan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Sedangkan studi

dokumen berupa data yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum yang berupa

Perundang-Undangan dan/atau peraturan-peraturan yeng berhubungan dengan

penelitian ini. Teknik pengumpulan bahan dengan studi pustaka menggunakan

31
Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 225.
32

penelusuran katalog-katalog. Yang dimagsud dengan katalog adalah suatu daftar

yang memberikan informasi mengenai koleksi yang dimiliki dalam suatu

perpustakaan.32

Wawancara dalam penelitian ini adalah proses tanya jawab secara lisan

dengan dua orang atau lebih dan bertatap muka mendengarkan informasi-

informasi atau keterangan secara langsung dari narasumber, wawancara yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur dimana peneliti

hanya menyediakan pertanyaan pokok-pokoknya saja , setelah narasumber sudah

selesai memberikan jawaban maka peneliti kembali memberikan pertanyaan-

pertanyaan tentang hal-hal yang belum jelas. Apabila peneliti memandang semua

informasi yang di berikan oleh narasumber sudah jelas maka peneliti akan beralih

pada pertanyaan dengan pokok-pokok bahasan yang lainnya.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Melalui analisis kualitatif yang disusun secara sistematis dan

menghubungkan atara data satu dengan data lainnya yang dilakukan melalui

interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, analisis ini

dilakukan melalui perspektif penulis dengan melakukan penfsiran-penafsiran

setelah memahami seluruh kualitas data yang telah dikumpulkan oleh peneliti.

32
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, hal. 104.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

A. Pengertian Notaris

Sejarah Notaris, Notaris berasal dari bahasa Romawi yaitu Notarius yang

memiliki arti sebagai juru tulis menulis. Nama Notarius berasal dari kata Nota

Literaria yang artinya tanda tulisan (letter mark) atau karakter yang menyatakan

suatu perkataan yang digunakan untuk menuliskan atau menggambarkan

sesuatu.33 Istilah ini lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula,

diperkirakan pada abad kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah

mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.34

Di Italia Utara yang merupakan kota pusat perdagangan, notaris dikenal

dengan sebutan Latijnse Notariaat. Karakteristik ataupun ciri-ciri dari lembaga ini

yang kemudian tercermin dalam diri notaris saat ini yakni :

1. diangkat oleh penguasa umum ;

2. untuk kepentingan masyarakat umum ; dan

3. menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.35

Di Indonesia, notaris sudah dikenal semenjak zaman Belanda ketika

menjajah Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan

di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan Notariat

33
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja
Grafindo Perasada, Jakarta, hal. 12.
34
Ibid., hal. 13.
35
G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga,
Jakarta, hal. 3.

33
34

yang diberlakukan di Indonesia.36 Pada waktu itu tepatnya pada tanggal 27

Agustus 1620, dibawah Pemerintah Belanda seseorang yang pertama kali diangkat

sebagai notaris adalah Meichior Kerchem. Sesudah pengangkatan yang dilakukan

oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen tersebut kemudian jumlah notaris

dalam Kota Jakarta ditambah, dan berhubung kebutuhan akan jasa notaris itu

sangat dibutuhkan yaitu tidak hanya dalam Kota Jakarta saja melainkan juga di

luar Kota Jakarta maka selanjutnya diangkat notaris-notaris oleh penguasa-

penguasa setempat. Dengan demikian mulailah notaris berkembang di wilayah

Indonesia.37

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris selanjutnya cukup disebut PJN

memberikan ketentuan tentang definisi notaris serta apa yang menjadi tugas

pokok notaris, yang menentukan sebagai berikut notaris adalah pejabat umum

(openbaar ambtenaar) yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta-akta

tentang segala tindakan, perjanjian dan keputusan-keputusan yang oleh

perundang-undangan umum diwajibkan, atau para yang bersangkutan supaya

dinyatakan suatu surat otentik. Menetapkan tanggalnya, menyimpan aktanya dan

memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipan, semuanya itu sepanjang

pembuatan akta-akta itu tidak juga diwajibkan kepada pejabat atau khusus

menjadi kewajibannya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dalam Lembaran Negara Republik Indonesia selanjutnya cukup disebut

LNRI Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia selanjutnya cukup disebut TLNRI Nomor 4432 Undang-Undang Nomor

36
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, hal. 15.
37
Ibid.,hal. 16
35

02 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris selanjutnya disebut dengan UUJN-P, Pasal 1 ayat (1)

yang menentukan sebagai berikut notaris adalah pejabat umum yang berwenang

untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, notaris adalah pejabat umum openbare

ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas dan

kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.38

Selain notaris, pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik

adalah pejabat lelang, pegawai pencatatan sipil burgerlijke stand, juru sita

deurwaarder, hakim, panitera pengadilan dan lain sebagainya.39 Seorang notaris

pada hakikatnya adalah seorang pejabat tempat bagi seseorang untuk memperoleh

nasehat yang bisa diandalkan. Dan segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan

dianggap benar, sehingga menjadi pembuat dokumen yang kuat dalam suatu

peristiwa hukum.

Pengertian pejabat umum berdasarkan Pasal 1 PJN maupun Pasal 1 ayat

(1) UUJN-P notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah serta

diberikan wewenang dengan tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat

umum. Notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dalam LNRI

Tahun 1974 Nomor 55, dan TLNRI Nomor 3041 Pasal 1 huruf a yang

menentukan sebagai berikut pegawai negeri adalah mereka yang setelah

38
R. Soegondo Notodisoerjono, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8
39
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
77.
36

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan

berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurutperaturan

perundang-undangan yang berlaku.

Jabatan notaris tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif, ataupun

yudikatif, notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan

di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat

dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk

memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan

notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan hukum untuk

kliennya, notaris tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk

mencegah terjadinya masalah40. Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka notaris

adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang berlaku.

Untuk dapat diangkat menjadi notaris seseorang harus memenuhi persyaratan

persyaratan berdasarkan Pasal 3 UUJN-P, yang menentukan sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.


b. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Berumur paling sedikit 27 tahun.
d. Sehat Jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat
dari dokter dan psikiater.
e. Berijazah sarjana hukum dan lulus jenjang strata dua kenotariatan.
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata bekerja sebagai karyawan notaris
dalam waktu 24 bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa
sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus srata dua
kenotariatan.

40
http://erepo.unud.ac.id/10273/3/0958e04618630c809f65ab5bf5891cc9.pdf diakses pada
tanggal 13 Maret 2017 jam 15 : 00 WITA.
37

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan notaris.
h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Sebelum menjalankan jabatannya notaris wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud berbunyi

sebagai berikut : “Saya bersumpah/atau berjanji Bahwa saya akan patuh dan setia

kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta

peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan

saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak. Bahwa saya

akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya

sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya

sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang

diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat

dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan nama atau

dalih apapun tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu

kepada siapapun.”

Pengucapan sumpah/atau janji Jabatan notaris dilakukan dalam waktu

paling lambat 2 bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai

notaris. Dalam hal tidak dilakukan sesuai waktu tersebut diatas maka keputusan

pengangkatan dapat dibatalkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

selanjutnya cukup disebut MENKUMHAM.


38

Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for

Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys

which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as

notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”41 Terjemahannya

yaitu notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan

dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai notaris dan pengacara dan sebagai

notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Pasal 1 UUJN menyebutkan bahwa,

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Dalam

Pasal 1 angka 1 UUJN-P menegaskan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-

Undang lainnya.”

G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian notaris adalah pejabat

umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum

atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta

otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan

grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak

juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris wajib

untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh

41
Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students,
bookboon.com, hal. 28.
39

menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak

berkepentingan.42

Menurut Habib Adjie, notaris merupakan suatu jabatan publik yang

mempunyai karakteristik yaitu sebagai jabatan. Undang-Undang Jabtan Notaris

selanjutnya cukup disebut UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan

jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang

yang mengatur jabatan notaris di Indonesia sehingga segala hal yang berkaitan

dengan jabatan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan notaris

merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan notaris

sebagai pejabat umum merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja

dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan, fungsi, dan kewenangan tertentu serta

bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.43

Pejabat umum yang dimaksudkan disini merupakan jabatan yang terkait

dengan unsur pemerintah yang diemban oleh seseorang yang merupakan pegawai

pemerintah. Tugas dan wewenang terkait jabatannya sebagai pejabat umum ini

merupakan wewenang yang diberikan secara khusus oleh peraturan perundang-


44
undangan untuk keperluan dan fungsi tertentu. Namun pejabat umum tidak

hanya jabatan notaris saja. Terdapat jabatan lain yang merupakan pejabat umum,

salah satu contohnya adalah PPAT yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai

hak katas tanah atau hak milik Atas Satuan Rumah Susun.

42
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.
43
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 32-34. (selanjutnya ditulis Habib Adjie I)
44
Ibid, hal. 17.
40

Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat

umum memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan

mandiri (independent), bahkan dengan tegas dikatakan “bukan sebagai salah satu

pihak”. Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya

memberikan pelayanan kepada masyarakat antara lain didalam pembuatan akta

autentik bukan merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris

selaku pejabat umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan

autentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris tidak

ada di dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang

berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena itu,

akta notaris atau akta autentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar”

tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak-pihak “berkata benar” seperti

yang termuat di dalam akta perjanjian mereka.45

Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari

Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata selanjutnya cukup disebut

KUHPer yang menyatakan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang

didalam bentuk yang ditentukan undang-undang dibuat oleh atau dihadapan

pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.

Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta autentik harus

dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum notaris berupa akta

autentik adalah merupakan produk pejabat umum. Akta autentik tidak dapat

dilepaskan dengan kekuatan pembuktiannya. Tujuan para penghadap datang ke

hadapan notaris dan meminta menuangkannya dalam akta autentik baik untuk

45
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
41

dibuat oleh notaris atau oleh penghadap adalah agar perbuatan hukum yang

dilakukan mendapatkan kepastian hukum. Para pihak dapat menjadikan

kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta autentik sebagai alat bukti yang

kuat dan sempurna. Pasal 1870 KUHPer mengatur bahwa akta otentik

memberikan kepastian di antara para pihak dan ahli warisnya atau orang-orang

yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang

termuat di dalamnya. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan

pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti

yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya

sendiri. Cukup dalam arti bahwa alat bukti tertentu tidak membutuhkan alat bukti

lain untuk membuktikan suatu peristiwa, hubungan hukum, maupun hak dan

kewajiban. Sebagai contoh, sertipikat tanah sebagai akta otentik memiliki

kekuatan pembuktian sempurna untuk membuktikan hak milik seseorang atas

tanah dalam sertipikat tersebut, tanpa membutuhkan keterangan saksi atau alat

bukti lainnya.46 Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja

dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani.47

Akta autentik yang merupakan produk hukum notaris ini dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu Relaas Acte dan Partij Acte. Kedua akta ini

merupakan akta autentik, namun memiliki perbedaan yaitu :48

1. Relaas Acte atau Berita Acara

Merupakan akta yang dibuat berdasarkan permintaan para pihak, terkait

mencatat dan menuliskan segala sesuatu yang disaksikan, didengar dan

46
M.Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, kajian
kontekstual mengenai system asas, prinsip, pembebanan dan standar pembuktian, UII Press,
Jogyakarta, hal. 43.
47
R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 48.
48
Habib Adjie I, Op.Cit., hal. 45.
42

dialami secara langsung oleh notaris, terkait segala sesuatu yang

disampaikan dan dilakukan para pihak.

2. Partij Acte atau Akta Pihak

Merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berdasarkan keinginan para

pihak yang dinyatakan dan disampaikan serta diterangkan sendiri oleh para

pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPer yang telah disebutkan diatas, akta

autentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dan dibuat

oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Akta autentik yang merupakan produk

hukum seorang notaris sebagai pejabat umum memiliki kekuatan pembuktian

yang penuh. Hal ini berdasarkan pada :

1. Kekuatan pembuktian lahir atau diri (Uitwendige Bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta autentik merupakan kemampuan akta itu

sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik. Jika dilihat dari

luar, sebagai akta autentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah

ditentukan mengenai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada

yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta autentik secara lahiriah.

Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal atau

membantah kebenaran akta autentik tersebut. Parameter untuk menentukan akta

notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan

baik pada minuta dan salinan, dan adanya awal akta yang dimulai dari judul

sampai dengan akhir akta. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak
43

memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan

bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta autentik.49

2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).

Akta notaris merupakan akta otentik yang membuktikan kebenaran yang

tercantum dalam akta tersebut yang dibuat berdasarkan keterangan dan kehendak

para pihak yang dinyatakan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris. Akta

notaris harus dapat menerangkan fakta dan memberi kepastian bahwa memang

benar para pihak telah menghadap dan menuangkan keinginan penghadap sesuai

dengan prosedur pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran

tentang kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap,

dan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,

disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat), dan mencatatkan keterangan

atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal yang

dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang harus dibuktikan dari formalitas

suatu akta yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,

tahun, dan pukul (waktu) menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang

menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan

didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan

atau keterangan para pihak yang diberikan /disampaikan di hadapan notaris, dan

ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun prosedur

pembuatan akta yang tidak dilakukan.50

49
Aditia Warman, 2014, Kedudukan Akte Otentik Sebagai Salah Satu Alat Bukti Ditinjau
Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Badung, hal. 9.
50
Ibid. hal. 10.
44

3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).

Secara sederhana dapat dikatakan, akta autentik memiliki kekuatan untuk

memberikan kepastian terhadap isi atau materi aktadan sebagai alat bukti yang sah

secara hukum untuk membuktikan keterlibatan para pihak yang membuat akta

atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada

pembuktian sebaliknya. Menurut Ahmadi Miru, apabila ada yang hendak

membantah kebenaran suatu akta autentik maka pihak yang membantah tersebut

harus membuktikan kepalsuan dari akta itu. Oleh karena itu, pembuktian akta

otentik disebut pembuktian kepalsuan.51

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang terkait jabatan sebagai notaris

yang membuat suatu akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna, seorang

notaris harus selalu mengacu pada ketentuan dalam UUJN, UUJN-P dan kode etik

profesi notaris. Dapat dilihat bahwa dalam melaksanakan tugas dan jabatan

notaris, terdapat kewenangan-kewenangan yang melekat pada jabatan notaris

antara lain yang terkait dengan :

a. Subjek

Hal ini berkaitan dengan subjek hukum yang berkepentingan terkait akta

yang akan dibuat yaitu orang (baik warga negara Indonesia atau warga negara

asing) atau badan hukum (badan hukum dalam negeri atau badan hukum asing).

Notaris berwenang membuat akta untuk setiap orang namun dengan pembatasan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 UUJN bahwa : Notaris tidak

diperkenankan membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang

mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan

51
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, hal. 15.
45

maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas

tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat

ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan

ataupun dengan perantaraan kuasa.

b. Objek

Hal ini berkaitan dengan objek dari pembuatan akta yang menurut

peraturan perundang-undangan jabatan notaris diperbolehkan untuk dibuat oleh

seorang notaris dan merupakan kewenangan notaris. Sepanjang tidak dikecualikan

kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya

disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 15 UUJN-P.

c. Waktu

Hal ini berkaitan dengan waktu pembuatan akta. Pembuatan akta yang

merupakan produk hukum notaris, harus dilakukan pada saat menjabat sebagai

notaris aktif, yang berarti tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara

waktu.

d. Tempat

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) menentukan

bahwa tempat kedudukan notaris adalah kabupaten atau kota dan wilayah jabatan

notaris meliputi provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka notaris memiliki

kewenangan untuk membuat produk hukumnya hanya pada wilayah jabatannya.

Kewenangan terkait jabatan notaris diberikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang khusus mengatur mengenai jabatan


46

notaris. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan memiliki beberapa sumber

yaitu:52

1. Atribusi, yaitu pemberian wewenang kepada suatu jabatan berdasarkan

suatu peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi, merupakan pengalihan atau pemindahan wewenang yang ada

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Mandat, merupakan pengalihan sementara karena yang bersangkutan

berhalangan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa notaris

sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi. Wewenang ini

diberikan langsung oleh undang-undang yaitu UUJN dan UUJN-P secara

langsung. Kewenangan notaris terkait jabatannya diatur dalam Pasal 15 UUJN-P.

Aturan ini menegaskan bahwa:

(1). Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2). Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. outl memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.

52
Habib Adjie I, Op.Cit.,hal. 77.
47

Kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UUJN-P tersebut dapat

dibedakan menjadi beberapa kewenangan. Sebagaimana diketahui bahwa

kewenangan notaris merupakan kewenangan atribusi, maka kewenangan tersebut

diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan-

kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan ini yang

menjadi dasar dalam melaksanakan tugas dan jabatan notaris. Kewenangan

tersebut apabila disimpulkan maka menjadi beberapa kewenangan yaitu :53

1. Kewenangan Umum Notaris

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN-P menentukan bahwa kewenangan

notaris adalah membuat akta secara umum. Namun dengan pembatasan, yaitu :

a. Tidak dikecualikan terhadap pejabat lain yang ditetapkan undang- undang.

b. Perbuatan, perjanjian maupun ketetapan yang terkait dengan pembuatan akta

harus berdasarkan pada hukum dan kehendak para pihak.

c. Terkait subjek hukum yang berkepentingan dalam akta harus berdasarkan

kehendak para pihak.

2. Kewenangan Khusus Notaris

Terkait dengan wewenang notaris dalam membuat akta terkait tindakan

hukum tertentu. Hal ini berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) UUJN-P seperti yang

telah disebutkan sebelumnya.

3. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian

Merupakan kewenangan lain yang akan ditentukan kemudian

berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan pembatasannya. Hal ini

berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUJN-P yang menegaskan mengenai wewenang

53
Op.Cit.,hal. 78.
48

lain (selain ayat (1) dan (2)) yang akan ditentukan kemudian berdasarkan

peraturan perundang- undangan.

Berikutnya mengenai kewajiban notaris ini diatur secara lengkap dalam

Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :

(1). Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban:


a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan notaris;
m. menerima magang calon notaris.

(2). Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta inoriginali.

(3). Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :


49

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.


b. Akta penawaran pembayaran tunai.
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga.
d. Akta kuasa.
e. Akta keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Uraian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a di atas ada disebutkan bahwa

seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran

merupakan hal yang penting karena jika seorang notaris bertindak dengan

ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan

menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap notaris tersebut, dan keseksamaan

bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang

notaris.54

Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai

profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu

sebagai berikut :55

a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral.

Etika menyentuh unsur paling hakiki dari diri manusia yakni nurani

(soul). Seperti rambu lalu lintas, etika memberi arah kepada seriap manusia untuk

54
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta,
hal. 41.
55
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4.
50

mencapai tujuan yang diinginkannya. Tanpa adanya etika, manusia tidak akan

menjadi mahkluk mulia yang memberi keberkatan pada seluruh alam.56

Moral adalah akhlak, budi pekerti yang berkaitan dengan baik buruk

yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Hati nurani

merupakan kesadaran yang diucapkan manusia dalam menjawab pertanyaan,

apakah sesuatu yang dilakukannya adalah perbuatan baik ataukah tidak baik, etis

ataukah tidak etis. Sedangkan integritas adalah kesadaran atas fungsi yang

diemban manusia di dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh apapun.57 Integritas

adalah hasil akhir dari pergulatan moral dan hati nurani yang terjadi di dalam diri

seorang notaris sehingga ia secara teguh mampu menjalankan tugas dan

tanggungjawabnya sebagai pejabat umum yang mengemban sebagian tugas

negara dan berpaku pada hukum yuridis formal yakni UUJN dan kode etik

notaris. Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4

mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga

sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode

etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris.

Kode etik notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh

perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut

“perkumpulan” berdasar keputusan kongres perkumpulan dan atau yang

ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua

anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai

56
Evie Murniaty, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode
Etik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal.
47.
57
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu,
Sekarang, Dan Di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 193.
51

notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti,

dan Notaris Pengganti Khusus”. Pengaturan mengenai kode etik notaris

diperlukan sebagai pegangan notaris dalam melaksanakan jabatannya. Sebab

seorang notaris dalam menjalankan jabatannya akan mendapat banyak tantangan

seperti ingin cepat memperoleh uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,

hal tersebut akan berpengaruh terhadap setiap akta yang dibuatnya dan juga

berpengaruh terhadap masyarakat yang menggunakan jasa notaris.58

Notaris berkewajiban untuk mempunyai sikap, perilaku, perbuatan atau

tindakan yang menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan

menjunjung tinggi harkat dan martabat notaris, tidak melakukan yang sebaliknya

sehingga dapat menurunkan citra, wibawa maupun harkat dan martabat notaris.

Seorang notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional,

berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan notaris dan

berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan

nama baik korps atau organisasi. Sebagai notaris, ia bertanggungjawab terhadap

profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.59 Dalam memberikan

pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada

masyarakat.

Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena

integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya.

Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-

cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena

58
Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Memuat
Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440.K/PDT/1996), Program
Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 37.
59
Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Ananta,
Semarang, hal. 133-134.
52

sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan

memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan

bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu,

yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-

mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama

manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul

akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan

dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan

berdosa kepada Tuhan.60

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sebagai seorang notaris

harus selalu mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundangan yaitu UUJN

jo UUJN-P dan Kode Etik Profesi Notaris. Hal ini karena selain jabatan sebagai

pejabat umum, notaris adalah merupakan salah satu profesi hukum sehingga

sangat perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi. Notaris

diharapkan memiliki integritas moral yang mantap, bersikap jujur terhadap klien

maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak

semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.61

B. Pengertian Pencucian Uang

Istilah pencucian uang (money laundering) telah dikenal sejak tahun

1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu kejahatan ini dilakukan oleh organisasi

kejahatan ”mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencucian pakaian

60
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
60.
61
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang,
hal. 93.
53

(laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat

pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis illegal seperti perjudian, pelacuran,

dan perdagangan minuman keras.62 Dalam Black’s Law Dictionary, Money

Laundering diartikan sebagai berikut:

“Term used to describe investment or other transfer of money flowingfrom


racketeering, drug transactions, and other illegal sources into legitimate
channels so that its orignal source can be traced.”63 Yang artinya : “Istilah
yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau transfer lain dari uang
yang mengalir dari pemerasan, transaksi narkoba, dan sumber-sumber ilegal
lainnya ke dalam saluran yang sah sehingga sumber orignal dapat ditelusuri”.

Lahirnya rezim hukum internasional anti pencucian uang ditandai dengan

dikeluarkannya The United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotics,

Drugs and Psychotrophic Substances of 1988 (Konvensi Wina 1988) yang

dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat

internasional terhadap pencucian uang.64 Dalam The United Nation Convention

Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotrophic Substances of 1988

yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1997, istilah Money Laundering diartikan dalam Pasal 3 ayat (1) b sebagai:65

“The conversion or transfer of property, knowing that such property is


derived from any serious (indictable) offence or offences, for the purpose of
concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person
who is involved in the commussion of such an offence or offences to evade
the legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the
true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to,
or ownership of property, knowing that such property is derived from a
serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in
such an offence or offences.” yang artinya :

62
Yunus Husein (c), Bunga Rampai Anti Pencucian Uang. (Bandung: Books Terrace &
Library), 2007, hal. 4.
63
Black Law Dictionary.
64
Yunus Husein (d), Negeri Sang Pencuci Uang, (Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima,
2005), hal. 13.
65
Yunus Husein (c), op. cit., hal. 4.
54

“Konversi atau pengalihan harta, mengetahui bahwa kekayaan tersebut


berasal dari setiap serius (dapat dituntut) pelanggaran atau pelanggaran,
untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan kekayaan yang tidak sah
atau membantu setiap orang yang terlibat dalam commussion dari kejahatan
tersebut atau pelanggaran untuk menghindari konsekuensi hukum dari
tindakannya; atau penyembunyian atau penyamaran hakikat sebenarnya,
sumber, lokasi, disposisi, gerakan, hak sehubungan dengan, atau
kepemilikan properti, mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari
(dapat dituntut) pelanggaran serius atau pelanggaran atau dari tindakan
partisipasi dalam suatu pelanggaran atau tindak pidana tersebut.”

Berdasarkan pada definisi di atas, money laundering atau pencucian uang

pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga

dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang

illegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari

kegiatan melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal

dari sumber yang sah/legal.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau

money laundering sebagai :

“rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang


atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang
tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan
penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang
tersebut ke dalam sistem keuangan (finacial system) sehingga uang tersebut
kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang
halal.”66

Harkristuti Harkrisnowo, sebagai salah satu ahli hukum pidana,

memandang pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berupaya

66
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), 2007, hal. 5
55

menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat digunakan sebagai uang yang

diperoleh secara legal.67

Pencucian uang dikriminalisisasi sebagai tindak pidana secara tegas

setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU TPPU). Dalam UU TPPU,

pencucian uang didefiniskan sebagai:

“perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,


menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.”

Pencucian uang dapat dialkuakan melalui berbagai sarana, seperti yang

dikemukan oleh Lester M. Joseph:

“some of the frequently utilized methods of money laundering include the


bulk cash smuggling of currency, trade-based money laundering through the
Colombian Black Market Peso Exchange System (BMPE); and the use on
money service business such as wire remitters, casas de cambio, vendors of
money orders and traveler’s checks and check cashers.” Yang artinya :

“beberapa metode yang sering digunakan pencucian uang termasuk


penyelundupan uang tunai sebagian besar mata uang, perdagangan yang
berbasis pencucian uang melalui Kolombia Black Market Peso Exchange
System (BMPE); dan digunakan pada bisnis jasa uang seperti jasa pengiriman
kawat, casas de cambio, vendor wesel dan cek perjalanan dan memeriksa
cashers”.

Ada beberapa tipologi pencucian yang yang telah diklasifikasikan oleh

Egmont Group, antara lain:68

67
Harkristuti Harkrisnowo, Kriminalisasi Pemutihan Uang: Tinjauan Terhadap UU No.
15 tahun 2002, Proceedings-Kerjasama Pusat kajian Huum dan Mahkamah Agung RI, cet. I.
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal. 143.
68
Financial Intelligence Unit /FIU’s in Action: 100 Cases from the Egmont Group.
56

a. Penyembunyian ke dalam struktur bisnis (concealment within business

structure), yaitu upaya untuk menyembunyikan dana kejahatan ke dalam

kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam perusahaan yang telah ada yang

dikendalikan oleh organisasi yang bersangkutan.

b. Penyalahgunaan bisnis yang sah (issue of ligitimate business), yaitu dengan

menggunakan bisnis yang telah ada atau perusahaan yang telah berdiri untuk

menjalankan proses pencucian uang tanpa perusahaan yang bersangkutan

mengetahui kejahatan yang menjadi suber dana tersebut.

c. Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu atau perantara (use of false

identities, documents or straw men) yaitu dengan menyerahkan pengurusan

asset yang berasal dari kejahatan kepada orang yang tidak ada hubungannya

dengan kejahatan tersebut dengan menggunakan identitas dan dokumen

palsu.

d. Pengeksploitasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi

internasional (exploiting international jurisdictional issues) dengan

mengekploitasi perbedaan peraturan dan persyaratan yang berlaku antara

negara yang satu dengan negara yang lain, misalnya menyangkut rahasia

bank, persyaratan identifikasi, persyaratan transaparansi (disclosure

requirements) dan pembatasan lalu lintas devisa (currency restriction).69

e. Penggunaan tipe-tipe harta kekayaan yang tanpa nama (use of anonymous

asset types) merupakan tipe paling sederhana seperti uang tunai, barang

konsumsi, perhiasan, logam mulia, sistem pembayaran elektronik (electronic

payment system) dan produk finansial (financial product).

69
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 127.
57

Adapun beberapa teknik pencucian uang yang terdiri atas:

a. Melalui sektor perbankan

Sistem perbankan tetap merupakan mekanisme yang paling penting

dalam usaha untuk dapat menyembunyikan hasil kejahatan dengan pola

penggunaan rekening dengan nama palsu, nama orang atau kepentingan yang

melakukan kegiatannya untuk pihak lain seperti pengacara dan akuntan.70 Bisa

juga dengan penggunaan perusahaan fiktif (shell of front companies) sebagai

pemegang rekening. Teknik yang lazim dengan menggunakan fasilitas wire

transfer atau yang lebih banyak digunakan saat ini adalah sistem electronic

banking dimana uang disimpan di suatu bank dan ditransfer secara elektronik

melalui internet.71

b. Melalui sektor non perbankan

Terjadinya pengalihan aktivitas pencucian uang yang sangat signifikan

dari sektor perbankan yang tradisional ke sektor keuangan non perbankan dan

bisnis nonkeuangan. Money changer semakin menjadi ancaman bagi

pemeberantasan TPPU karena lembaga ini tidak diatur secara ketat (not heavily

regulated).

c. Dengan menggunakan fasilitator profesional

Fasilitator ini memberikan jasa untuk membantu menyalurkan

keuntungan yang diperoleh dari kejahatan, mereka adalah solicitors, attorneys,

accountant financial advisor, notaries dan fiduciaries. Fasilitator tersebut

menawarkan kepada para pencuci uang anonimitas hal istimewa hubungan

solicitor-client previlege.

70
Finacial Action Task Force On Money Laundering, FATF-VII Report on
MoneyLaundering Typologies, Annex 3. 28 June 1996:5.
71
Ibid, hal. 6.
58

d. Dengan mendirikan perusahaan gadungan

Melalui entitas bisnis ini, pelaku membangun jaringan yang sangat rumit

dengan maksud menyembunyikan asal usul hasil kejahatan dan identitas pihak

terkait. Mereka akan bertindak atau menyediakan tenaga yang akan bertindak

sebagai directors, trustee atau partners.

e. Melalui bidang real estate

Hal ini sering dilakukan di negara bekas Uni Sovyet, selain itu pelaku

juga melakukan pembelian dan impor/ekspor emas dan perhiasan serta industri

kasino atau perjudian karena kasino memberikan kredit, melakukan penukaran

uang dan mengirimkan uang.

f. Melalui sektor asuransi

Pelaku membeli produk single premium insurance bond dan menjualnya

kembali dengan diskon sehingga pelaku memperoleh sisa nilai. Selain itu, produk

ini dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga

keuangan. Hanya saja dalam persentase yang signifikan, produk asuransi dijual

melalui lembaga intermediasi yang mana para pialang menjadi satu-satunya

penghubungan (personal contact) dengan nasabah.

g. Melalui industri sekuritas (perdagangan efek)

Industri ini menarik dan sering diinfiltrasi oleh pelaku pada tahap

layering karena sifat internasional, pasar sekuritas sangat likuid yang mana

transaksi dapat dibuat dan diselesaikan dalam waktu singkat, dan pialang sekuritas

beroperasi dalam lingkungan yang sangat kompetitif serta dibebarapa negara

rekening sekuritas dapat dibuka oleh perusahaan pialang sebagai nominees atau
59

trustee sehingga memungkinkan indentitas dari beneficiaries yang sesungguhnya

tersembunyi.

Pencucian uang sudah menjadi sebuah kejahatan bisnis yang tidak hanya

terjadi dalam lembaga keuangan, apakah itu perbankan maupun lembaga

keuangan non bank dalam lingkup kecil saja ataupun dimungkinkan dilakukan

oleh perorangan maupun korporasi melalui lintas negara (cross border) atau tanpa

batas tertentu lagi. Hal ini yang menyebabkan betapa sulitnya bagi negaranegara

untuk dilakukan pemeberantasan terhadap hasil kejahatan pencucian uang ini

secara optimal. Secara umum ada beberapa alasan mengapa money laundering

diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu:72

(1). Pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini

berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Fluktuasi yang tajam pada nilai

tukar dan suku bunga merupakan bagian dari akibat negatif dari pencucian

uang. Dengan adanya berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money

laundering dapat mempengaruhi perekonomian dunia;

(2). Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana akan lebih

memudahkan bagi aparat hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang

kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah

dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan ini, maka pemberantasan

tindak pidana sudah beralih orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah

menyita “hasil tindak pidana”;

(3). Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan

adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang

72
Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Jakarta: Books Terrace &
Library, 2007), hal. 265.
60

mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum

untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokok-tokoh yang ada di

belakangnya.

Faktor penyebab timbulnya money laundering begitu kompleks sekali.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab sekaligus merupakan pendorong

maraknya pencucian uang di Indonesia yang dilakukan oleh para pelaku praktik

pencucian uang didasari oleh:

a. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat, apalagi kerahasiaan ini untuk

kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang

menyimpan dananya di bank.73 Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal

kerahasiaan atas nasabah dan data-data rekeningnya, menyebabkan para

pemilik dana gelap sulit dilacak dan disentuh.74 Kerahasiaan bank

merupakan jiwa dari sistem perbankan yang didasarkan pada kelaziman

dalam praktek perbankan, perjanjian/kontrak antara bank dengan nasabah,

serta peraturan tertulis yang ditetapkan oleh negara. Ketentuan rahasia

bank sebagaimana diatur dalam UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dapat digunakan

sebagai alat untuk berlindung bagi pelaku kejahatan dengan

mempergunakan bank sebagai sarana untuk melakukan maupun

menyimpan dana hasil kejahatan. Dengan semakin meningkatnya

perhatian dunia internasional terhadap upayaupaya untuk memberantas

praktek pencucian uang, ketentuan menganai rahasia bank perlahan-lahan

73
Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 76.
74
H.T. Siahaan , Money Laundering Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, cet. 1,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 28.
61

mengalami pergeseran. Pasal 14 dan 15 UU TPPU secara jelas

menyebutkan perlindungan hukum bagi para penyedia jasa keuangan yang

menjalankan kewajiban pelaporan sebagaimana diamanatkan dalam UU

TPPU. Pasal 14 UU TPPU menyatakan bahwa: “pelaksanaan kewajiban

pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank,

dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaiman dimaksud dalam

undang-undang yangmengatur mengeani rahasia bank.” Sedangkan pasal

15 UU TPPU menyatakan bahwa: “Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta

pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas

pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

b. Ketentuan devisa bebas yang dianut oleh Indonesia memungkinkan para

pelaku usaha memiliki devisa, menggunakan untuk kegiatan apa saja dan

tidak ada kewajiban untuk menyerahkannnya kepada Bank Indoenesia.

Pemerintah juga membebaskan tanpa limit besarnya uang yang masuk.

Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai rekayasa pencucian uang

melalui transaksi lintas batas negara dalam tempo cepat dan sungguh sulit

untuk dilacak. Namun demikian dengan adanya perangkat peraturan yang

dikeluarkan oleh Bank Indonesia, diharapkan dapat meminimalisasi

kemungkinan terjadinya praktek pencucian uang khusunya di perbankan.

c. Globalisasi terutama perkembangan di sektor jasa keuangan sebagai hasil

proses liberalisasi, telah memungkinkan para pelaku kejahatan memasuki

pasar keuangan yang terbuka. Indonesia sebagai bagian dari dunia

internasional yang tidak bisa terlepas dari perkembangan ini.


62

d. Sangat cepatnya kemajuan teknologi di bidang informasi terutama

penggunaan media internet memungkinkan kejahatan terorganisir yang

dilakukan oleh organisasi kejahatan lintas batas (transnational organized

crime) menjadi berkembang dan mudah dilakukan. Makin maraknya

elektronik banking, ATM (Automated Teller Machine), dan wire transfer,

memberikan peluang untuk melakukan pencucian uang model baru

melalui internet atau cyberlaundering, cyberspace dan munculnya jenis

uang baru yang disebut electronic money atau e-money.

e. Dimungkinkannya pencucian uang dilakukan dengan cara layering,

dengan cara ini pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan

atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sebenarnya dari dana tersebut.

Deposan hanyalah sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah

dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut.

Bahkan pihak lain tersebut juga bukanlah pemilik yang sesungguhnya

melainkan juga hanya menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau

pihak lainnya. Hal ini dapat menyulitkan pendeteksian kegiatan pencucian

yang, begitu pula dengan tahap placement dan integration. Selain itu,

adanya ketentuan paerundang-undangan mengenai keharusan

merahasiakan hubungan antara lawyer atau akuntan dengan kliennya.

Dampak dari pencucian uang adalah sebagai berikut:75

a. Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate private

sectors);

b. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk);

75
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. hal. 18.
63

c. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss

revenue);

d. Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of finacial

markets);

e. Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh

pemerintah (risk of privatization efforts);

f. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost);

g. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic distortion and

instability);

h. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan

ekonominya (loss of control of economic policy);

i. Menimbulkan dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang telah

mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk

melakukan pengelolaan terhadap kebijakan ekonomi yang nantinya harus

memainkan peranan dalam upaya anti money laundering, misalnya seperti

pengawasan lalu lintas devisa (exchange control), pengawasan bank terhadap

pelaksanaan rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan pajak

(tax collection), pelaporan statistik (statistical reporting) dan perundang-

undangan (legislation);76

j. Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan peranan efisiensi

terhadap keuntungan yang telah terkikis oleh meluasnya insider trading,

kecurangan (fraud) dan penggelapan (embezzlement).

76
Peter J. Quirk, Money Laundering: Muddying the Macro Economic, March 1997, hal.
8-9.
64

C. Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu kejahatan kerah putih

(white collar crime) di bidang perbankan. Alasannya bahwa kejahatan ini

dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan dan tingkat sosial serta

perekonomian yang tinggi. Dalam ketentuan mengenai pencucian uang antara

hasil tindak pidana (proceed of crime) dengan tindak pidana asal (predicate

crimes) dijadikan satu ketentuan karena memang terkait sangan erat. Untuk

menentukan predicate crime penting sekali terutama dalam mempertimbangkan

jenis kejahatan apa saja yang menghasilkan uang dan juga berkenaan dengan

double criminality, yaitu bahwa kejahatan itu kalau dilakukan di luar wilayah

Republik Indonesia harus juga merupakan kejahatan menurut hukum Indonesia.77

Ketentuan mengenai jenis tindak pidana yang merupakan predicate crime dari

tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 2 UU TPPU. Dalam UU TPPU

diatur mengenai adanya sistem pembuktian terbalik dimana terdakwa diberikan

kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukanlah berasal dari

kejahatan.

Pendekatan anti money laundering merupakan suatu pendekatan baru

dimana di dalam pendekatan anti money laundering ini berusaha dilacak harta

kekayaan yang berasal dari tindak pidana tersebut, kemudian direkonstruksi dari

mana harta kekayaan itu dan tindak pidana apa yang melahirkan kekayaan

tersebut. Ini dapat disebut metode follow the money. Pada umumnya pendekatan

ini lebih mudah dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang mengejar

pelaku tindak pidana karena hasil tindak pidana itu adalah mata rantai yang paling

77
Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), cet. 1,
(Jakarta:Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003)., hal. 195.
65

lemah dari tindak pidana dan mengejar orang relatif lebih sulit. Dengan mengejar

hasil tindak pidana ini berarti kita menggempur lifeblood of the crime dan

menghilangkan motivasi orang yang melakukan kejahatan. Pendekatan ini

dilakukan melalui pendekatan hilir ke hulu.78

Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks.

Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing

berdiri sendiri, tetapi seringkali juga dilakukan bersama-sama yaitu placement,

layering dan integration.

Penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang

berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya

menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito dan lain-lain)

kembali kepada sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Placement

merupakan tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uang

yang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurang

menimbulkan kecurigaan dan pada akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem

keuangan.79 Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui

penyelundupan uang tunai, menggabungkan antara uang dari kejahatan dengan

uang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang

giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real

estate atau saham, atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau

transfer uang ke dalam valuta asing.80 Dengan demikian, melalui penempatan

78
Yunus Husein (c), op. cit., hal. 279.
79
Yenti Ganarsih, op. cit., hal. 55.
80
Yunus Husein (d), “Upaya Memberantas Pencucian Uang (Money Laundering) dan
Penerapan Ketentuan Know Your Customer,” (Makalah Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi
UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta 5 September 2002), hal. 3.
66

(placement), bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk

menyembunyikan asal-usul uang yang tidak sah tersebut.81

Layering yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal

dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan oleh Penyedia

Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke

Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dalam layering terjadi pemisahan hasil

kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa

tahapan transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan

hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan

dana dari beberapa rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya

melalui transaksi kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana

“haram” tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak

mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia

bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana dari

beberapa rekening ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks,

termasuk kemungkinan pembentukan rekening fiktif dengan tujuan

menghilangkan jejak.

Integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu

“legitimate explanation” bagi uang hasil kajahatan. Disini yang yang “dicuci”

malalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi

sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan

sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Integration ini

merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil

81
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 33.
67

kejahatan.82 Ada banyak cara melakukan integration, namun yang sering

digunakan adalah metode yang berasal dari tahun 1930-an yaitu metode loan-back

atau metode loan default. Metode loan-back meliputi simpanan berjumlah besar

yang biasanya disimpan di bank luar negeri. Kemudian bank membuat pinjaman

dari jumlah uang yang disimpan. Uang yang didapatkan dari pinjaman ini dapat

digunakan dengan bebas karena uang itu akan terlacak sebagai uang yang berasal

dari transaksi yang sah.83

Indonesia dalam hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga

tindak pidana :

1. Pertama : Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang

menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,

menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,

menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3

UU RI No. 8 Tahun 2010).

2. Kedua : Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap

Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

82
Yenti Ganarsih, op. cit., hal. 56.
83
Ibid.
68

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut

dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun,

dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8

Tahun 2010).

3. Ketiga : Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka

yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan

kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,

sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang

sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat,

yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan

denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

1. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak

pidana yaitu korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan

tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar

modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,

perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan,

penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di

bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan

perikanan, atau, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4
69

(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana

menurut hukum Indonesia.

2. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau

digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,

organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah

lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai

tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta

mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;

b. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

c. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

d. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang

berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai

Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan

dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT

Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group''

yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan
70

dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan

terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.

Perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks,

melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif,

memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke

berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force

(FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang

menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan

terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special

Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak

Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan

perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan

memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional

dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak

pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar

dapat diminimalisasi.

Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai

sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya

kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian


71

Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan,

Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan

dan Analisis Transaksi Keuangan selajutnya cukup disebut PPATK dalam

kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga

penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain

karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan

ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang

tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban

pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis

laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana

Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan

standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

antara lain:

1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian

uang;

2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;


72

3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;

4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;

5. Perluasan Pihak Pelapor;

6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa

lainnya;

7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;

8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;

9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap

pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke

luar daerah pabean;

10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk

menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;

11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan

PPATK;

12. Penataan kembali kelembagaan PPATK;

13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk

menghentikan sementara Transaksi;

14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian

uang; dan

15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak

pidana.84

84
https://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang diakses pada tanggal 10 April 2017 jam
14 : 30 WITA
BAB III

PERAN NOTARIS DALAM HAL MENCEGAH TERJADINYA TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG PADA TRANSAKSI JUAL BELI TANAH

A. Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik

Berbisnis dan bermasyarakat sehari-hari, banyak kegiatan yang dapat

menimbulkan perikatan. Perikatan dapat lahir dari persetujuan yang menimbulkan

hak dan kewajiban baik karena Undang-undang atau karena perjanjian yang

dibuat oleh antar pihak. Perikatan dapat dilakukan oleh subjek hukum, yaitu orang

alamiah (natuurlijk person) maupun badan hukum (Recht person) dengan syarat-

syarat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Perikatan dengan dasar

perjanjian dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum, Karena perikatan

dengan dasar perjanjian tersebut selain menimbulkan hak dan kewajiban dapat

juga menimbulkan suatu resiko hukum diantara para pihak, oleh karenanya

banyak pihak yang melakukan perjanjian tertulis dengan menggunakan jasa

notaris untuk membuat akta perjanjian sebagai alat pembuktiannya.

1. Akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik

Berdasarkan pasal 1867 Kitab Undang-undang hukum perdata atau

dalam bahasa belanda disebut sebagai Burgerlijk Wetbook yang biasa disingkat

BW, dikenal alat pembuktian tertulis sebagai berikut:

2. Pembuktian dengan tulisan/akta otentik

Berdasarkan pasal 1868 akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam

bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Berdasarkan pasal 1 angka 1

Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No 30

73
74

tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta otentik adalah Notaris.

3. Tulisan/akta di bawah tangan

Berdasarkan pasal 1874 Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan

adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan

rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang

pejabat umum.

4. Kewenangan Notaris

Berdasarkan pasal 15 Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,

Seorang Notaris memiliki kewenangan untuk membuat Akta otentik mengenai

semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,

menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain.

Selain dari pada kewenangan tersebut diatas, Seorang Notaris juga memiliki

kewenangan untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membukukan surat

di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli

surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis

dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan

kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan penyuluhan hukum


75

sehubungan dengan pembuatan Akta; membuat Akta yang berkaitan dengan

pertanahan; atau membuat Akta risalah lelang.

5. Kedudukan dan Wilayah Kerja Notaris

Berdasarkan pasal 18 Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dan pasal 17 Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, seorang Notaris

mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota serta mempunyai

wilayah jabatan yang meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat

kedudukannya, seorang Notaris tidak dapat menjalankan jabatannya diluar

wilayah jabatannya.

6. Anatomi Akta Notaris sebagai akta otentik

Sebagaimana telah dijelaskan dan disebutkan diatas, pasal 1868

mensyaratkan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang. Untuk memenuhi syarat otentik tersebut maka sebuah

akta Notaris harus memiliki anatomi akta yang sesuai dengan sebagaimana diatur

didalam pasal 38 Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai berikut:

Awal Akta atau kepala Akta memuat:

a. judul Akta;

b. nomor Akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

e. badan akta memuat hal-hal sebagai berikut:


76

f. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang

mereka wakili;

g. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

h. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan; dan

i. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

Akhir atau penutup akta memuat hal-hal sebagai berikut:

Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7) sebagai berikut:

(1). membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2

(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,

dan Notaris Pembacaan akta sebagaimana dimaksud diatas tidak wajib

dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena

penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya,

dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta

pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris

(2). uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahan Akta jika ada;

(3). nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan

tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan


77

(4). uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta

atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,

pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

Selain dari anatomi akta yang telah dijelaskan diatas, dalam membuat

akta seorang Notaris juga harus memperhatikan syarat mengenai pihak-pihak

yang menghadap dan saksi-saksi yang dapat digunakan dalam membuat akta

sebagaimana diatur didalam pasal 39 dan pasal 40 Undang-undang No. 2 tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris sebagai berikut:

Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan

cakap melakukan perbuatan hukum. Selain itu penghadap harus dikenal oleh

Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang

berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap

melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya,

pengenalan tersebut harus dinyatakan didalam akta.

Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang

saksi yang memenuhi syarat sebagai berikut:

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah

menikah;

b. cakap melakukan perbuatan hukum;

c. mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;

d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan


78

e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis

lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping

sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

Saksi sebagaimana dimaksud harus dikenal oleh Notaris atau

diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan

kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan atau pernyataan

tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.

7. Kekuatan pembuktian akta

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, pasal 1867 BW mengenal 2 alat

pembuktian tertulis, namun dengan perbedaan kekuatan pembuktian yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Kekuatan pembuktian dengan tulisan/akta otentik berdasarkan Pasal 1870

BW akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak

yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang

mendapatkan hak dari mereka. Untuk dapat dikatakan sebagai akta otentik maka

berdasarkan pasal 1868 BW suatu bukti tertulis harus memenuhi dua unsur, yaitu:

a. dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dan

b. dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di

tempat akta itu dibuat

Kekuatan pembuktian dengan tulisan/akta di bawah tangan Berdasarkan

pasal Pasal 1875 BW akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna apabila ada pengakuan dari orang-orang yang menandatanganinya, ahli

warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka.


79

8. Akibat hukum apabila anatomi akta Notaris tidak sesuai Undang-undang

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, akta yang dibuat oleh Notaris

merupakan akta yang otentik. Hal ini karena Berdasarkan pasal 1 angka 1

Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No 30

tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa Pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik adalah Notaris. Namun demikian untuk

memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka Notaris harus membuat akta yang

sesuai dengan yang diatur diatur didalam pasal 38 Undang-undang No. 2 tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris. Apabila terdapat kelalaian dari Notaris dalam membuat akta sehingga

tidak sesuai dengan yang diatur oleh undang-undang, maka unsur akta otentik

yang diatur dalam pasal 1868 BW tidak terpenuhi sehingga akta tersebut tidak lagi

memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana akta otentik, namun hanya memiliki

kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang sangat tergantung dari

pengakuan dari orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-

orang yang mendapat hak dari mereka. Hal ini dipertegas oleh pasal 41 Undang-

undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No 30 tahun

2004 tentang Jabatan Notaris dengan menyebutkan sebagai berikut:

“Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,

Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta di bawah tangan.”

Apabila kelalaian dari Notaris tersebut mengakibatkan suatu kerugian bagi

para pihak yang memiliki kepentingan terhadap akta tersebut maka berdasarkan

pasal 84 Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, para pihak


80

dapat menuntut biaya, kerugian berikut bunganya kepada Notaris yang telah

melakukan kelalaian tersebut.

B. Peran Notaris dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang

pada transaksi jual beli tanah

Notaris dan PPAT sebagai pejabat umum dianggap kepanjangan tangan

dari Kemenkumham dalam membuat akta otentik dan kepanjangan tangan BPN

dalam membuat akta jual beli/peralihan hak dan menjadi bagian dari proses

pendaftaran tanah PP 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Untuk itu jika

ada notaris/ PPAT yang melakukan penyimpangan/pelanggaran, maka hal itu

dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan. Sebagai Pejabat umum,

notaris/PPAT diberikan kewenangan eksklusif oleh negara dalam membuat akta

otentik dalam rangka kepastian hukum suatu perbuatan hukum.

Pada pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang merupakan

perubahan atas Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, disebutkan : Definisi selain pegawai negeri yang menjadi

obyek dari tindak pidana korupsi adalah orang selain pegawai negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu. Meskipun ada limitasi dari tindak pidananya adalah

menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya. Pasal 1

UUJN tentang ketentuan umum semakin membuat terang posisi produk dari

notaris/PPAT, dimana di UUJN dikatakan bahwa protokol notaris adalah

kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara. Dan ini bisa menjadi obyek

gugatan judicial/constitutional review di Mahkamah Konstitusi.


81

Dalam konsiderans UUJN disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum, yang ini merupakan bagian dari tugas-tugas

administrasi negara/pemerintahan, maka dengan demikian notaris/PPAT dalam

posisi menjalankan sebagian dari tugas-tugas dan kewenangan administrasi

negara. Maka dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai

peristiwa, keadaan dan perbuatan hukum tertentu. Dan akta otentik tersebut

merupakan produk dari notaris/PPAT.

Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandupraja, dalam wawancara dengan

M. Winahyo Soekanto, dari medianotaris.com, seharusnya notaris/PPAT mampu

berperan aktif dalam kampanye pencegahan TPPU. Profesi ini seharusnya tidak

berhenti pada kebenaran formil identitas para pihak yang bertransaksi, tapi juga

proaktif dalam mengetahui profil dari para pihak yang melakukan transaksi.

Meski tidak perlu sampai melakukan pendekatan follow the money yang biasa

dilakukan PPATK. Sebagai perbandingan yang dapat ditiru dari apa yang sudah

berlaku dalam sistem perbankan nasional kita yaitu sistem NYC (know your

customer). Pasal 39 UUJN misalnya mewajibkan penghadap kehadapan notaris

harus cakap melakukan perbuatan hukum dan know your customernya ada pada

lanjutan pasal tersebut yakni penghadap harus dikenal notaris atau diperkenalkan

oleh dua orang saksi yang telah berumur 18 tahun. Dan pengenalan tersebut harus

dinyatakan secara tegas dalam akta. Tidak boleh dalam hal ini ada sekedar

formalitas yang banyak terjadi dalam praktek sekarang ini.

Mengenai TPPU ini sudah seharusnya notaris/PPAT mengetahui dengan

baik dan cukup mengingat pasal 15 ayat (2).e, yang mewajibkan notaris

memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Menurut


82

Pandu, seharusnya notaris dan PPAT ditetapkan berdasarkan undang-undang juga

menjadi pelapor kepada PPATK, atas transaksi mencurigakan, sebagaimana

perbankan nasional harus melakukannya kepada PPATK. Sayang hal ini masih

menemui berbagai kendala dari orang-orang yang tidak ingin transaksi-

transaksinya di depan notaris/PPAT diketahui oleh lembaga penegak hukum.

Terkait dengan profil klien atau customernya, mantan ketua PPATK, Junus

Husein, menginformasikan bahwa dahulu pada era kepemimpinan Ikatan Notaris

Indonesia oleh Notaris Sutjipto, UU TPPU sempat akan direvisi dengan

memasukkan ketentuan wajib lapor notaris mengenai transaksi bisnis yang

dilakukan kliennya yang jumlahnya besar atau ada indikasi tidak wajar atau

mencurigakan. Misalnya seorang pegawai negeri golongan II-a membeli rumah

seharga 2 Miliar. Jadi yang seperti ini termasuk kategori transaksi mencurigakan

karena ada gap yang lebar dengan profil customer/klien.

Lebih lanjut Junus Husein menyatakan isi revisi bagus karena notaris bisa

ikut mencegah tindak pidana pencucian uang. Selain itu menghindarkan notaris

terlibat tindak pidana atau terbawa-bawa tindak pidana yang terjadi atas kliennya.

Namun sayangnya waktu itu notaris tidak mau menerima usulan ini sehingga

sampai kini notaris tidak memiliki kewajiban lapor dimaksud. Dengan tidak

adanya kewajiban laporan ini sesungguhnya merugikan notaris sendiri. Karena

notaris bisa terbawa-bawa atau menghadapi paling tidak bisa mengahadapi

ancaman pidana pasal 55 yakni turut serta dan pasal 56 yakni ikut aktif membantu

kejahatan sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Jika


83

notaris tidak melaporkan transaksi yang mencurigakan, dan ternyata terjadi

kejahatan maka si notaris akan bisa terbawa-bawa kasus kejahatan dimaksud.85

Menurut salah satu Notaris kota Denpasar Agung Satrya Wibawa Taira

peran notaris dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah yaitu notaris mempunyai 2 ( dua ) peran dalam mencegah

terjadinya TPPU pada transaksi jual beli tanah yang pertama adalah notaris

dijadikan pihak pelapor terkait TKM yang dilaporkan kepada PPATK apabila

seorang notaris mencurigai salah satu pihak ( Pihak Pembeli ) dan/atau oknum

yang ingin melakukan TPPU pada transaksi jual beli tanah hal ini sudah sesuai

dengan UU PP TPPU yang mengatur pihak pelapor, sedangkan peran yang kedua

adalah apabila terjadinya sengketa TPPU terhadap transaksi jual beli tanah maka

notaris hanya sebatas menjadi saksi didalam persidangan atau pengadilan.

Agung Satrya Wibawa Taira juga menambahkan bahwa secara umum

peran notaris hanya sebagai penghubung kedua belah pihak apabila salah satu

pihak tidak mengerti tentang isi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli selanjutnya

cukup disebut dengan PPJB.

C. Perlindungan Hukum bagi Notaris sebagai pihak pelapor atas transaksi

keuangan mencurigakan terkait tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah

Konsep notaris dan PPAT sebagai pihak pelapor atas TKM terkait TPPU

harus dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, hal ini

sebagai konsekuensi atas ketentuan pengecualian kerahasiaan akta yang melekat

85
http://medianotaris.com/notaris_ppat_sebagai_agen_pencegahan_tppu_berita342.html
diakses pada tanggal 18 April 2017 jam 08 : 00 WITA.
84

pada Notaris dan PPAT yang hanya bisa dibuka jika Undang-undang menentukan

secara tegas. Jika penambahan kategori pihak pelapor dilakukan dengan

menggunakan Peraturan Pemerintah maka hal itu akan bertentangan dengan

ketentuan pengecualian kerahasiaan akta sebagaimana yang ditentukan dalam

pasal 16 ayat 1 huruf f Undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan

notaris. Pembaharuan UU PPTPPU dengan menambahkan profesi notaris dan

PPAT sebagai pihak pelapor atas transaksi keuangan mencurigakan terkait TPPU

adalah dengan cara menambahkan ketentuan profesi dalam ketegori pihak pelapor

sebagaimana yang telah ditentukan secara limitatif oleh pasal 17 ayat 1 UU

PPTPPU sehingga menjadi:

(1). Pihak Pelapor meliputi:


a. penyedia jasa keuangan:
Bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan
perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga
keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, custodian,
wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro,
pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran
menggunakan kartu, penyelenggara e-money dan/atau e-
wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam,
pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan berjangka komoditi, penyelenggara kegiatan
usaha pengiriman uang.
b. Penyedia barang dan/atau jasa lain:
perusahaan properti/agen properti, pedagang kendaraan
bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia,
pedagang barang seni dan antik, balai lelang.
c. Lembaga Profesi:
Advokat, Notaris, Kurator kepailitan, Akuntan publik,
Pejabat pembuat akta tanah, Konsultan bidang keuangan,
(2). Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Selain konsep hukum yang mengatur notaris dan PPAT sebagai pihak

pelapor atas TKM terkait TPPU, Pembaharuan UU PPTPPU juga perlu mengatur

mengenai laporan-laporan yang wajib dilaporkan oleh notaris dan PPAT. Fahmi
85

Yanuar Siregar berpandangan bahwa notaris dan PPAT wajib melaporkan setiap

transaksi keuangan mencurigakan terkait TPPU tanpa memperhatikan besarnya

nilai transaksi. Selain mengatur mengenai kewajiban-kewajiban bagi pihak

pelapor dalam melaporkan TKM, beberapa ketentuan dalam UU PPTPPU juga

memberikan perlindungan hukum kepada pihak pelapor yang melaporkan adanya

TKM kepada PPATK. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kunci

keberhasilan negara dalam mencegah dan memberantas TPPU adalah

keikutsertaan masyarakat terutama pihak pelapor dalam membantu aparat penegak

hukum. Peran penting pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU

seharusnya sejalan dengan perlindungan-perlindungan hukum yang diberikan oleh

negara. Secara tidak langsung laporan yang diberikan oleh pelapor kepada aparat

penegak hukum adalah perbuatan yang mengandung resiko yang besar terhadap

keselamatan dirinya, keluarganya serta harta benda miliknya sehingga negara

harus dapat memberikan kepastian hukum mengenai perlindungan hukum yang

diberikan kepada pelapor beserta keluarganya.

Perlindungan hukum bagi pihak pelapor atas transaksi keuangan

mencurigakan terkait tindak pidana pencucian uang dibagi menjadi dua yaitu

sebelum berlakunya UU PPTPPU dan sesudah berlakunya UU PPTPPU. Sebelum

berlakunya UU PPTPPU perlindungan atas hak-hak pelapor diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.86

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang saksi dan

korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

86
Secara khusus Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur
mengenai perlindungan bagi Pelapor, tetapi ketentuan yang ada dalam undang-undang ini berlaku
untuk saksi dan korban semua tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang.
86

akan, sedang atau telah diberikannya, ikut serta dalam proses memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan

keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang

menjerat, mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, mendapatkan

informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana

dibebaskan, mendapat identitas baru, mendapatkan tempat kediaman baru,

memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat

nasihat hukum;dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas

waktu perlindungan berakhir.87

Secara khusus perlindungan bagi Pelapor dan Saksi tindak pidana

pencucian uang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003

tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana

Pencucian Uang. Ketentuan teknis dalam pemberian perlindungan bagi pelapor

dan saksi dalam tindak pidana pencucian uang diatur melalui Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya cukup disebut KAPOLRI

Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus

terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ketentuan mengenai perlindungan khusus ditegaskan dalam pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap pelapor

dan Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang wajib diberikan

perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan

perkara Bentuk perlindungan khusus yang dimaksud adalah perlindungan atas

keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, perlindungan terhadap harta,

87
Sri Rejeki, Tesis, Perlindungan Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 79.
87

perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas, dan memberikan

keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa

pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara.88

Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan

KAPOLRI No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap

Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan khusus

menurut Peraturan KAPOLRI ini adalah suatu bentuk perlindungan yang

diberikan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberikan

rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan yang membahayakan diri

jiwa dan atau hartanya termasuk keluarganya. Pemohon perlindungan khusus

adalah pelapor, saksi, PPATK, Penyidik, Penuntut Umum atau hakim.

Pengaturan mengenai perlindungan bagi Pelapor dan Saksi dalam Undang-

Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang terdapat di dalam Bab IX yaitu terdapat pada pasal 83-87.

UU PPTPPU menegaskan pengaturan perlindungan-perlindungan hukum yang

diberikan kepada pihak pelapor atas jasanya yang melaporkan transaksi keuangan

mencurigakan terkait tindak pidana pencucian uang. Bentuk perlindugan hukum

pertama yang diberikan UU PPTPPU adalah adanya kewajiban hukum bagi

PPATK, penyidik, penuntut umum serta hakim untuk merahasiakan identitas dari

pelapor TPPU.89 Hal ini bertujuan agar pelapor merasakan keamanan terhadap

serangan balasan dari pelaku TPPU yang dapat membahayakan dirinya, keluarga

dan harta benda miliknya. Jika identitas pelapor terbuka makan UU PPTPPU

memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk meminta ganti rugi

88
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003
89
Pasal 83 ayat 1 UU PPTPPU
88

kepada pihak yang membocorkan identias pelapor. Bentuk perlindungan hukum

kedua yang juga merupakan perlindungan hukum paling penting adalah

terbebasnya pelapor dari segala tuntutan hukum baik perdata maupun pidana atas

segala laporan yang diberikannya kepada penegak hukum.90 Beberapa ketentuan

dalam UU PPTPPU menegaskan bahwa pihak pelapor atas kewajibannya

melaporkan transaksi keuangan mencurigakan terkait tindak pidana pencucian

uang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat 2, pasal 29, dan pasal 87 ayat 1 UU

PPTPPU.91 Dalam hal ini notaris dan PPAT yang dikategorikan sebagai pihak

pelapor atas transaksi keuangan mencurigakan tidak dapat dituntut oleh siapapun

baik perdata maupun pidana karena telah melaporkan transaksi keuangan

mencurigakan kepada PPATK.

90
Pasal 87 ayat 1 UU PPTPPU
91
Pasal 5 UU PPTPPU (1)“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini
Pasal 29 UU PPTPPU Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor,
pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan
kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
Pasal 87 ayat 1 UU PPTPPU Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut, baik secara
perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP NOTARIS APABILA TIDAK

MELAPORKAN KECURIGAAN ATAS ADANYA TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

A. Dampak bagi Notaris apabila tidak melaporkan adanya kecurigaan

tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual beli tanah

Pada saat ini modus pencucian uang telah bergeser, dimana dahulu

modus pencucian uang lebih difokuskan pada lembaga perbankan namun

seiring dengan semakin ketatnya lembaga perbankan di Indonesia maka

modus pencucian uang bergeser ke jual beli real estate. Secara langsung

maupun tidak langsung modus-modus ini menggunakan sarana notaris dan

PPAT untuk mencapai tujuannya yaitu mencuci uang haram menjadi uang

halal. Notaris dan PPAT yang memiliki kewenangan untuk membuat akta

otentik sebagai bukti telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan

masyarakat secara langsung dimanfaaatkan oleh pelaku pencucian uang. 92

Bahkan pada prakteknya tidak jarang notaris dan PPAT ikut serta berperan

dalam merekayasa bisnis atau investasi dalam dan luar negeri sehingga

seolah-olah hal tersebut memiliki legitimasi hukum. Tidak jarang juga

pelaku pencucian uang memberikan kuasa kepada notaris atas nama mereka

menyimpan, melakukan jual beli, menginvestasikan dana, dan aktifitas lain untuk

menutupi tujuan utamanya yaitu menyamarkan dan menyembunyikan asal-usul

92
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=188260&val=6466&title=URGEN
SI%20PENGATURAN%20NOTARIS%20DAN%20PEJABAT%20PEMBUAT%20AKTA%20T
ANAH%20SEBAGAI%20PIHAK%20PELAPOR%20ATAS%20TRANSAKSI%20KEUANGAN
%20MENCURIGAKAN%20TERKAIT%20TINDAK%20PIDANA%20PENCUCIAN%20UAN
G diakses pada tanggal 18 April 2017 jam 10 : 00 WITA.

89
90

harta yang diperoleh dari hasil kejahatan.93 Dengan dimanfaatkannya notaris

dan PPAT sebagai sarana pencucian uang ini membuat beberapa dampak

negatif terhadap negara dan juga terhadap notaris dan PPAT sendiri, dampak-

dampak negatif itu antara lain:

A. Tidak Maksimalnya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang di Indonesia.

Paradigma “follow the money”94 ini dalam memberantas tindak pidana

pencucian uang kurang efektif apabila tidak didukung dengan adanya

laporan-laporan transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pihak

pelapor. Laporan TKM ini merupakan salah satu unsur yang paling efektif

dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. Laporan TKM yang diberikan

oleh pihak pelapor kepada PPATK merupakan langkah awal bagi PPATK

untuk menelusuri para pelaku yang terlibat dalam pencucian uang serta

menelusuri aliran dana yang dilakukan pelaku TPPU. Dengan mengetahui

aliran dana TKM juga sangat membantu aparat penegak hukum untuk

mengungkap aktor-aktor dibalik tindak pidana pencucian uang yang

dilakukan oleh pelaku kejahatan.

Dampak dari Notaris dan PPAT yang tidak dikategorikan sebagai pihak

pelapor adalah Notaris dan PPAT tidak berkewajiban untuk melaporkan

transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna jasa.

93
Jazim Harnidi, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 53.
94
follow the money (“menelusuri aliran uang”) merupakan pendekatan baru untuk
memberantas tidak pidana pencucian uang, pendekatan ini lebih mudah dibandingkan
dengan pendekatan konvensional yang mengejar pelaku tindak pidana atau follow the
suspect karena pelaku atau saksi bisa saja berkata bohong, tetapi aliran uang tidak akan bisa
ditutup-tutupi. Paradigma baru dalam penanganan kejahatan ini juga memudahkan penegak
hukum untuk menelusuri tindak pidana pencucian uang serta tindak pidana lain dan tujuan yang
paling utama adalah mengembalikan kerugian negara yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Perlu dicatat bahwa hasil-hasil kejahatan merupakan “lifeblood of the crime”.
91

Padahal modus pencucian uang dengan menggunakan modus jual beli real

estate sedang marak terjadi di Indonesia.

Dengan tidak melaporkan adanya transaksi keuangan mencurig akan

maka aparat penegak hukum akan kesulitan dalam melakukan pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Padahal pada asasnya

pembangunan rezim anti pencucian yang kuat membutuhkan kerja sama

antara pihak pelapor, masyarakat, serta aparat penegak hukum.

B. Modus pencucian uang melalui jual beli real estate semakin marajalela.

Seiring dengan semakin ketatnya lembaga-lembaga perbankan

membuat para pelaku pencucian uang untuk mengalihkan modus pencucian

uangnya ke jual beli real estate/ tanah dan/atau bangunan. Modus pencucian

uang dengan cara jual beli real estate ini menjadi trend saat ini digunakan

oleh pelaku kejahatan yang ingin melakukan pencucian uang. Setidaknya

ada dua faktor pendukung mengapa pelaku pencucian uang pada saat

inilebih banyak menggunakan modus pencucian uang dengan cara jual

beli real estate yaitu, pertama real estate merupakan salah satu bentuk

investasi yang sangat menjanjikan menginggat nilai ekonomisnya

terus mengalami peningkatan yang pesat dari tahun ke tahun. Faktor

pendukung kedua mengapa pelaku pencucian uang pada saat ini lebih

banyak menggunakan modus pencucian uang adalah Notaris dan PPAT

tidak dikategorikan sebagai pihak pelapor dalam UU PPTPPU. Tidak

seperti lembaga perbankan danlembaga pembiayaan yang dikategorikan

sebagai pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan apabila terdapat

transaksi keuangan mencurigakan terkait TPPU, Notaris dan PPAT tidak


92

diwajibkan untuk melaporkan apabila terdapat indikasi transaksi

keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna jasa. Hal inilah yang

dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang,

Modus pencucian uang dengan menggunakan modus jual beli real estate ini

dilakukan dengan dua cara yang pertama jual beli real estate dilakukan

dengan pemalsuan identitas oleh pengguna jasa, yang kedua jual beli real

estate dilakukan dengan atas nama sanak saudara atau orang lain. Hasilnya

kasus TPPU di Indonesia dengan modus jual beli real estate semakin

marajalela. Contoh kasus yang masih hangat diperbincangkan adalah

mantan korlantas mabes Polri Irjen Djoko Susilo yang terjerat kasus

simulator Surat Ijin Mengemudi, Mantan presiden Partai Keadilan

Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah atas kasus suap

impor daging sapi, dan kasus yang melibatkan beberapa pejabat lain.

Mereka ini selain dijerat dengan undang-undang korupsi, mereka juga

dijerat dengan UU PPTPPU karena mereka telah mencuci uang hasil dari

tindak pidana korupsi.

C. Tercorengnya profesi Notaris dan PPAT karena dijadikan sarana pencucian

uang oleh pelaku pencucian uang.

Sebagai pejabat umum publik notaris dan PPAT hendaknya taat kepada

hukum, sumpah jabatan, kode etik. Notaris dan PPAT dalam menjalankan

profesinya harus memiliki prilaku professional dan ikut serta dalam

pembangunan nasional khususnya dibidang hukum. Namun akhir-akhir ini

profesi notaris dan PPAT dimanfaatkan jasanya oleh pelaku pencucian

uang untuk memuluskan aksinya untuk melakukan pencucian uang


93

terhadap uang yang diperoleh dari hasil kejahatan. Dengan dijadikan sebagai

sarana pencucian uang baik langsung maupun secara tidak langsung membuat

citra profesi Notaris dan PPAT tercoreng. Selain merusak citra personal

notaris, dimanfaatkannya notaris dan PPAT juga merusak citra lembaga

notariat dan PPAT.

B. Dampak bagi Notaris yang melaporkan adanya kecurigaan tindak

pidana pencucian uang pada transaksi jual beli tanah

Dengan dikategorikannya Notaris dan PPAT sebagai pihak pelapor atas

TKM terkait TPPU memberikan manfaat yang begitu besar kepada negara,

masyarakat, bahkan kepada profesi notaris dan PPAT itu sendiri. Manfaat dengan

adanya kebijakan ini bagi negara adalah membantu negara dalam mewujudkan

Indonesia yang bersih, jujur, dan sejahtera, Selain itu juga menegaskan kepada

dunia internasional bahwa Indonesia bukanlah sarang pencucian uang dan

mengangkat kembali reputasi Indonesia di mata internasional karena sebelumnya

telah ditetapkan sebagai salah satu negara yang masuk dalam NCCTs. Manfaat

bagi masyarakat adalah dengan adanya kebijakan/aturan tersebut maka uang hasil

kejahatan yang ingin dikaburkan oleh pelaku kejahatan melalui pencucian uang

akan dapat terdeteksi oleh aparat penegak hukum dan aparat penegak hukum

tersebut dapat mengambil langkah-langkah hukum seperti perampasan uang hasil

kejahatan tersebut. Dari sudut pandang pelaku maka dapat menghilangkan

motivasi pelakunya untuk melakukan kembali kejahatan karena tujuan pelaku


94

kejahatan untuk menikmati hasil-hasil kejahatannya akan terhalangi atau sulit

mereka lakukan.95

Selain membawa manfaat bagi negara dan masyarakat adanya kebijakan

yang mengatur profesi notaris dan PPAT sebagai pelapor dalam UU PPTPPU ini

juga memberikan manfaat kepada notaris dan PPAT dimana dapat

mengembalikan citra notaris dan PPAT yang selama ini dianggap sebelah mata

oleh masyarakat. Selain itu dampak positif yang secara nyata dirasakan oleh

notaris dan PPAT yang dikategorikan sebagai pihak pelapor adalah adanya suatu

perlindungan hukum dari negara karena dalam ketentuan pasal 29 UU PPTPPU

mengatakan bahwa pihak pelapor dalam menjalankan tugasnya tidak dapat

dituntut baik secara perdata maupun pidana kecuali terdapat unsur

menyalahgunakan wewenangnya. Hal ini menandakan bahwa notaris dan PPAT

dalam menjalankan jabatannya dan sebagai pihak pelapor tidak dapat dituntut baik

secara pidana maupun perdata oleh siapapun atas segala laporan TKM yang

diberikan oleh notaris dan PPAT kepada PPATK.

C. Akibat Hukum apabila Notaris tidak melaporkan kecurigaan atas

adanya tindak pidana pencucian uang

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa profesi notaris dan PPAT

secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan oleh pelaku untuk

memuluskan niatnya untuk melakukan pencucian uang. Dalam hal ini apabila

notaris dan PPAT mengetahui adanya tindak pidana pencucian uang maka notaris

dan PPAT juga dapat dikenakan pasal 3 UU PPTPPU sebagai pihak yang turut

95
Edi nasution, Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan, Jakarta, hal. 45.
95

serta membantu pencucian uang. Unsur subyektif dari pasal 3 UU PPTPPU96 ini

ada dua yaitu “yang diketahuinya” dan “patut diduganya”. Notaris yang dalam

menjalankan jabatannya sudah mengetahui bahwa transaksi yang dilakukan oleh

klien adalah berindikasi pencucian uang namun tetap memberikan pelayanan

dengan menjadi wadah penyimpanan uang pelaku sebenarnya dapat dikenakan

pasal 5 UU PPTPPU97 menyatakan bahwa barang siapa yang menerima uang atau

menguasai penempatan yang patut diduganya98 merupakan hasil dari tindak

pidana dapat dikenakan pencucian uang.

Apabila Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak mengetahui atau

tidak mencurigai adanya tindak pidana pencucian uang maka Notaris tidak dapat

dituntut baik secara perdata maupun pidana kecuali terdapat unsur

menyalahgunakan wewenangnya hal ini tertuang pada pasal Pasal 29 UU

PPTPPU yang berbunyi “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang,

Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata

maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang

ini”.

96
Pasal 3 UU PPTPPU “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).”
97
Pasal 5 UU PPTPPU Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
98
Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi
setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang
diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
96

Contoh kasus notaris yang didakwa pasal 3 dan 5 UU PPTPPU adalah

notaris Sri Dewi selanjutnya cukup disebut SD di Bogor atas kasus kredit fiktif

Bank Syariah Mandiri selanjutnya cukup disebut BSM. Notaris SD, merupakan

notaris yang ditunjuk langsung oleh pihak bank untuk membuat akta pengikat

perjanjian pembiayaan dengan akad murabahah. Notaris SD dinyatakan ikut

bersalah karena merupakan notaris yang mengikat proses pengajuan kredit fiktif

itu. SD juga diketahui membuat akta pembiayaan hanya dihadiri oleh tersangka

Iyan Permana tanpa debitur lainnya padahal dalam akta tertuang bahwa terdapat

debitur lain (tidak hanya iyan permana saja). Selain itu, dalam pembuatan akta

tersebut SD hanya menggunakan sertifikat tanah berupa salinan selanjutnya cukup

disebut foto copy sebagai agunan. Atas jasanya tersebut SD menerima dana hasil

kredit fiktif melalui transfer rekening sejumlah Rp. 2,6 miliar dan sejumlah uang

tunai. Selain menerima sejumlah uang SD juga menerima pemberian satu unit

mobil sedan Mercedes Benz C200. Atas perbuatannya tersebut, SD didakwa Pasal

64 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Perbankan Syariah, Pasal

264 ayat 1 KUHP atas pemalsukan dokumen oleh notaris, serta Pasal 3 dan atau

Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.99

Untuk itu perlu adanya peran serta masyarakat, dan pihak pelapor dalam

membantu penegakan hukum khususnya UU PPTPPU. Dengan mendasarkan pada

laporan dan/atau informasi dari Pihak Pelapor, instansi, atau pihak terkait lainnya,

selanjutnya PPATK melakukan analisis apakah benar transaksi yang dilaporkan

oleh pihak pelapor tadi betul merupakan transaksi yang bertujuan untuk

melakukan pencucian uang. Dengan mengetahui aliran dana TKM juga sangat

99
Polisi tangkap notaris kredit fiktif BSM
http://www.antaranews.com/berita/404016/polisi-tangkap-notaris-kredit-fiktif-bsm, diakses pada
tanggal 25 April 2017 Jam 12 : 00 WITA.
97

membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap aktor-aktor dibalik tindak

pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Selain mengungkap

tindak pidana pencucian uang, laporan TKM yang dilaporkan oleh pihak pelapor

juga bermanfaat bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana

awal yang dilakukan oleh pelaku yang selama ini tidak diketahui oleh aparat

penegak hukum. Dalam proses pembuatan surat dakwaan, laporan TKM juga

digunakan sebagai dasar bagi jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan

dan pelaku dapat diadili menurut sistem hukum yang berlaku.

Agung Satrya Wibawa Taira berpendapat bahwa akibat hukum apabila

notaris apabila tidak melaporkan kecurigaan atas adanya TPPU ada 2 ( dua ) yaitu

yang pertama apabila notaris mengetahui adanya indikasi tindak pidana pidana

pencucian uang namun tidak dilaporkankepada PPATK maka notaris tersebut

dianggap ikut serta dalam hal TPPU dan apabila terbukti maka notaris tersebut

dapat diturunkan atau diberhentikan dari jabatanya sebagai seorang pejabat publik

dan dapat dikenakan pasal 3 UU PP TPPU, yang kedua apabila notaris tidak ada

kecurigaan terkait indikasi TPPU maka notaris tersebut tidak dapat dituntut baik

itu secara perdata maupun secara pidana dan oleh siapapun serta dengan alasan

apapun juga, ini dikarenakan notaris tidak tahu dan tidak mencurigai salah satu

pihak dan/atau oknum yang ingin melakukan TPPU maka notaris tersbut

melanjutkan ketahap PPJB.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan semakin ketatnya lembaga perbankan dalam melakukan kegiatan

usahanya membuat para pelaku kejahatan untuk mengalihkan modus pencucian

uang melalui sarana jual beli tanah. Secara langsung maupun tidak langsung

modus ini melibatkan notaris dan PPAT dalam memuluskan aksinya, dalam

tindak pidana pencucian uang notaris berperan sebagai berikut :

1. Peran notaris dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang ada 2

( dua ) yaitu :

a. Peran notaris yaitu sebagai pihak pelapor dalam mencegah terjadinya

tindak pidana pencucian uang, notaris melaporkan indikasi dan/atau

kecurigaan terhadap adanya TPPU kepada PPATK, hal ini telah diatur

dalam pasal 17 ayat (1) UU PPTPPU.

b. Peran notaris dalam hal terjadinya sengketa terhadap kasus tindak pidana

pencucian uang yang melibatkan notaris didalamnya, notaris berperan

sebagai saksi didalam persidangan terkait kasus tindak pidana pencucian

uangnya yang dilakukan oleh salah satu pihak dan/atau oknum dalam

melaksanakan transaksi jual beli tanah.

2. Akibat hukum apabila notaris tidak melaporkan kecurigaan atas adanya

tindak pidana pencucian uang ada 2 yaitu :

a. Apabila notaris dan PPAT mengetahui adanya tindak pidana pencucian

uang maka notaris dan PPAT juga dapat dikenakan pasal 3 UU PPTPPU

sebagai pihak yang turut serta membantu pencucian uang serta notaris

98
99

yang dalam menjalankan jabatannya sudah mengetahui bahwa transaksi

yang dilakukan oleh klien adalah berindikasi pencucian uang namun tetap

memberikan pelayanan dengan menjadi wadah penyimpanan uang pelaku

sebenarnya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

b. Apabila Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak mengetahui atau

tidak mencurigai adanya tindak pidana pencucian uang maka Notaris

tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana kecuali terdapat

unsur menyalahgunakan wewenangnya yang diatur pada pasal Pasal 29

UU PPTPPU.

B. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah sebagai

berikut :

a. Notaris dalam hal menjalankan perannya sebagai pihak pelapor dalam

mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang pada transaksi jual beli

tanah sesuai dengan UU PP TPPU pada pasal 17 ayat ( 1 ), agar lebih bisa

dimaksimalkan dengan ditambahkan pada Undang-undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang jabatan Notaris yang diamana notaris harus dituntut untuk selalu

waspada terhadap modus pencucian uang yang tengah marak terjadi di

Indonesia serta dapat mengembalikan citra nama baik notaris dimata

masyarakat sebagai pejabat yang yang bertanggung jawab, dan jujur sesuai

dengan kode etik notaris.


100

b. Apabila notaris mengetahui adanya tindak pidana pencucian uang namun

tidak dilaporkan kepada PPATK, sudah seharusnya dihukum lebih berat

daripada pelaku pencucian uang dan apabila perlu dicopot dari jabatannya hal

ini dikarenakan selain notaris membantu melancarkan tindak pidana

pencucian uang notaris juga ikut menikmati hasil dari tindak pidana

pencucian uang baik itu berupa uang, tanah, rumah, mobil dan/atau yang

lainnya, namun apabila notaris tersebut benar-benar tidak mengetahui adanya

indikasi dan/atau kecurigaan atas adanya tindak pidana pencucian uang pada

transaksi jual beli tanah maka sudah seharusnya notaris mendapatkan

perlindungan hukum oleh aturan-aturan yang berlaku yang mencantumkan

nama notaris didalamnya.


DAFTAR BACAAN

A. Buku :

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, 2004, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung.

dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan


dan Pembiayaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000).

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung, PT Citra Aditya


Bakti, 2008.

Aditia Warman, 2014, Kedudukan Akte Otentik Sebagai Salah Satu Alat Bukti
Ditinjau Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan Notaris
Indonesia, Badung.

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo


Perkasa, Jakarta.

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, Bandung,


BooksTerrace & Library, 2008.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, 2004, Rineka Cipta.

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010.

Edi nasution, Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan, Jakarta.

Efendi Perangin-angin, Praktek Jual Beli Tanah, Manajemen PT. Raja


Grafindo Persada, 1994.

Erman Raja gukguk, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang


Tindak Pidana Pencucian Uang.

G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris


Reglement), Erlangga, Jakarta.

Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris


sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung. (selanjutnya
ditulis Habib Adjie I)
Harkristuti Harkrisnowo, Kriminalisasi Pemutihan Uang: Tinjauan Terhadap
UU No. 15 tahun 2002, Proceedings-Kerjasama Pusat kajian Huum
dan Mahkamah Agung RI, cet. I. (Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2003).

H.T. Siahaan , Money Laundering Pencucian Uang dan Kejahatan


Perbankan, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002).

Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Memuat Hukum Perdata, Fakultas Hukum
USU Medan, 2004.

Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi


Hukum, Ananta, Semarang.

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses,
Jakarta.

Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, 2006,


Bayu Media Publishing Malang, Jawa Timur.

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, 2006, Graha


Ilmu, Yogyakarta.

Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu,
Semarang.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996.

M.Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia,


kajian kontekstual mengenai system asas, prinsip, pembebanan dan
standar pembuktian, UII Press, Jogyakarta.

Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus), Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, 2001, Yogyakarta : Gajah


Mada University Press.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia
Dulu, Sekarang, Dan Di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta.

R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu


Penjelasan, Raja Grafindo Perasada, Jakarta.

R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.


R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Jakarta.

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, 2014, Jakarta.

Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, 1990,


Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris


Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986).

Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), 2007.

Taneko, soleman B, 1986, konsepsi system sosial dan system sosial


Indonesia, Fajar Agung Jakarta.

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), cet. 1,


(Jakarta:Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2003).

Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Jakarta: Books Terrace
& Library, 2007).

(c), Bunga Rampai Anti Pencucian Uang. (Bandung: Books


Terrace &Library), 2007.

(d), Negeri Sang Pencuci Uang, (Jakarta: Pustaka Juanda


Tigalima, 2005).

Jazim Harnidi, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2005.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432 ).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan


Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan


Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam


Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun


2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap
Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Website

https://meilabalwell.wordpress.com/negara-hukum-konsep-dasar-dan-
implementasinya-di-indonesia/diakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam
09 : 00 WITA.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38177/4/Chapter%20I.pdfdia
kses pada tanggal 12 Maret 2017 jam 11 : 22 WITA

https://dadangbussiness.wordpress.com/tata-cara-jual-beli-tanah/diakses pada
tanggal 22 Maret 2017 Jam 12 : 55 WITA

https://id.wikipedia.org/wiki/Notarisdiakses pada tanggal 17 Maret 2017 jam


14 : 30 WITA.

http://jdih.ppatk.go.id/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2015-tentang-
pihak-pelapor-dalam-pencegahan-dan-pemberantasan-tindak-pidana-
pencucian-uang/diakses pada tanggal 22 Maret 2017 Jam 14 : 00
WITA.
http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-tindak-pidana-pencucian-
uang.htmldiakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam 14 : 30 WITA.

www.id.wikipedia.org/wiki/notarisdiakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam


16 : 00 WITA

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-peranan-definisi-
menurut.htmldiakses pada tanggal 22 Maret 2017 jam 17 : 00 WITA.

http://erepo.unud.ac.id/10273/3/0958e04618630c809f65ab5bf5891cc9.pdf
diakses pada tanggal 13 Maret 2017 jam 15 : 00 WITA.

http://erepo.unud.ac.id/10273/3/0958e04618630c809f65ab5bf5891cc9.pdf
diakses pada tanggal 13 Maret 2017 jam 15 : 00 WITA.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang diakses pada tanggal 10 April


2017 jam 14 : 30 WITA

http://medianotaris.com/notaris_ppat_sebagai_agen_pencegahan_tppu_berita
342.html diakses pada tanggal 18 April 2017 jam 08 : 00 WITA.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=188260&val=6466&title
=URGENSI%20PENGATURAN%20NOTARIS%20DAN%20PEJAB
AT%20PEMBUAT%20AKTA%20TANAH%20SEBAGAI%20PIHA
K%20PELAPOR%20ATAS%20TRANSAKSI%20KEUANGAN%20
MENCURIGAKAN%20TERKAIT%20TINDAK%20PIDANA%20PE
NCUCIAN%20UANG diakses pada tanggal 18 April 2017 jam 10 : 00
WITA.

Polisitangkapnotaris kredit fiktif BSM


http://www.antaranews.com/berita/404016/polisi-tangkap-notaris-
kredit-fiktif-bsm, diakses pada tanggal 25 April 2017 Jam 12 : 00
WITA.

D. Surat Kabar dan Makalah

Ardana I Nyoman, 2013, Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam


Pembebanan Hak Tanggungan, Universitas Mahendradatta, Denpasar,
Tesis.
Evie Murniaty, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi
Pelanggaran Kode Etik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang
Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law


Students, bookboon.com.

Sri Rejeki, Tesis, Perlindungan Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
Universitas Indonesia, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Black Law Dictionary.

Yunus Husein (d), “Upaya Memberantas Pencucian Uang (Money


Laundering) dan Penerapan Ketentuan Know Your Customer,”
(Makalah Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi UU No. 15 tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta 5 September
2002).

Financial Intelligence Unit /FIU’s in Action: 100 Cases from the Egmont
Group.

Finacial Action Task Force On Money Laundering, FATF-VII Report on


MoneyLaundering Typologies, Annex 3. 28 June 1996.

Peter J. Quirk, Money Laundering: Muddying the Macro Economic, March


1997.
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Agung Satrya Wibawa Taira, SH.,M.Kn.

NIK : 5171020105850002

Pekerjaan : Notaris Kota Denpasar.

Alamat : Jl. Plawa GG. 9 A, Nomor 6, Denpasar.

2. Nama : I Putu Agus Radika Putra, SH.

NIK : 5171042711920004

Pekerjaan : Staff Notaris Kota Denpasar

Alamat : Jl. Cokroaminoto, Gang Angsoka, No. 4

Ubung, Denpasar.

3. Nama : Fahmi Yanuar Siregar, SH., L.LM.

NIK : 5171040901830002

Pekerjaan : Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum

Alamat : Jl. Hayam Wuruk No. 12A Denpasar.


DATA DIRI

1. NAMA : I Made Krisna Mahesa Putra

2. TEMPAT/TANGGAL LAHIR : Br. Anyar / 18 Mei 1995

3. JENIS KELAMIN : Laki-Laki

4. KONTAK PRIBADI

a. Alamat Rumah : Br. Anyar, Perean Kangin,

Kecamatan Baturiti, Kabupaten

Tabanan.

b. Nomor Telpon Rumah :-

c. Nomor Fax Rumah :-

d. Nomor HP : 085792165474/085792223010

e. E-mail : krisnabagus64@gmail.com

5. KONTAK TEMPAT KERJA

a. Nama Instansi/Perusahaan : Notaris Agung Satrya Wibawa

Taira, SH.,M.Kn

b. Alamat Instansi/Perusahaan : Jl. Surapati No. 23 Denpasar

c. Jabatan : Staff

d. Nomor Telepon : +628155797701

e. Nomor Fax :-
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG
JABATAN NOTARIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan;

b. bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum


dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan,
peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan
tertentu;
c. bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan
jaminan demi tercapainya kepastian hukum;

d. bahwa jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai


salah satu kebutuhan hukum masyarakat;

e. bahwa Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) yang


mengatur mengenai jabatan notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,


huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Jabatan Notaris;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JABATAN NOTARIS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

2. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat


sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia,
diberhentikan, atau diberhentikan sementara.

3. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai


Notaris untuk menggantikan Notaris yang
-2-

sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya


sebagai Notaris.
4. Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai Notaris
khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat
penetapannya sebagai Notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau
kota terdapat hanya seorang Notaris, sedangkan Notaris yang bersangkutan
menurut ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud.

5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk


perkumpulan yang berbadan hukum.
6. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.

7. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

8. Minuta Akta adalah asli Akta Notaris.


9. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian
bawah salinan akta tercantum frasa "diberikan sebagai salinan yang sama
bunyinya".
10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian
dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa "diberikan
sebagai kutipan".
11. Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan
kepala akta “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

12. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan
pada suatu wilayah jabatan Notaris.
13. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara
yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
14. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang kenotariatan.

BAB II
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN NOTARIS

Bagian Pertama
Pengangkatan

Pasal 2
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 3
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan


Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris
atas prakarsa sendiri atau
-3-

atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.

Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji
menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai


berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.

bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama,
mandiri, dan tidak berpihak. bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya,
dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya.
bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.”

Pasal 5
Pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal
keputusan pengangkatan sebagai Notaris.

Pasal 6
Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, keputusan pengangkatan Notaris dapat
dibatalkan oleh Menteri.

Pasal 7
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan
sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:

a. menjalankan jabatannya dengan nyata;


b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri,
Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan

c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan
cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain
yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan, Organisasi Notaris,
ketua pengadilan negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta bupati atau
walikota di tempat Notaris diangkat.
-4-

Bagian Kedua
Pemberhentian

Pasal 8
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:

a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. permintaan sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau

e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.

(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf


b dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh)
tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 9
(1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;

b. berada di bawah pengampuan;


c. melakukan perbuatan tercela; atau
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

(2) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan
Majelis Pengawas secara berjenjang.

(3) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.

(4) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 10
(1) Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a atau huruf b dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh
Menteri setelah dipulihkan haknya.

(2) Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


ayat (1) huruf c atau huruf d dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh
Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir.

Pasal 11
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.

(2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris
memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk Notaris
Pengganti.
(4) Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Majelis Pengawas Daerah menunjuk Notaris lain untuk
menerima Protokol
-5-

Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang diangkat
menjadi pejabat negara.
(5) Notaris yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan
pemegang sementara Protokol Notaris.
(6) Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan
Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali
kepadanya.

Pasal 12
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul
Majelis Pengawas Pusat apabila:
a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b. berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan


Notaris; atau
d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Pasal 13
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III
KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Bagian Pertama
Kewenangan

Pasal 15
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula :


a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam


buku khusus;
-6-

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau


g. membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 16
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai


bagian dari Protokol Notaris;
c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala


keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada


setiap akhir bulan;
k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling


sedikit 2 (dua) orang saksi dan
-7-

ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m. menerima magang calon Notaris.


(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal
Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:

a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;


b. penawaran pembayaran tunai;
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. akta kuasa;
e. keterangan kepemilikan; atau
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama,
dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu
dan satu berlaku untuk semua".

(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa
hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
k ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar
akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui,
dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan
dalam penutup
akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan
Notaris.
(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat
(7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat.

Bagian Ketiga
Larangan

Pasal 17
Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah


jabatan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
-8-

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,


kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.

BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, FORMASI, DAN WILAYAH
JABATAN NOTARIS

Bagian Pertama
Kedudukan

Pasal 18
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.

(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari
tempat kedudukannya.

Pasal 19
(1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya.

(2) Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat
kedudukannya.

Pasal 20
(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata
dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam
menjalankan jabatannya.

(2) Bentuk perserikatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan


Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.

Bagian Kedua
Formasi Jabatan Notaris

Pasal 21
Menteri berwenang menentukan Formasi Jabatan Notaris pada daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan mempertimbangkan usul
dari Organisasi Notaris.

Pasal 22
(1) Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan:
a. kegiatan dunia usaha;
b. jumlah penduduk; dan/atau
c. rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris setiap
bulan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Jabatan Notaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
-9-

Bagian Ketiga
Pindah Wilayah Jabatan Notaris

Pasal 23
(1) Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan Notaris
secara tertulis kepada Menteri.
(2) Syarat pindah wilayah jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut melaksanakan tugas jabatan pada daerah
kabupaten atau kota tertentu tempat kedudukan Notaris.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah


mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris.
(4) Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk cuti yang telah
dijalankan oleh Notaris yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pindah wilayah
jabatan Notaris diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24
Dalam keadaan tertentu atas permohonan Notaris yang bersangkutan, Menteri
dapat memindahkan seorang Notaris dari satu wilayah jabatan ke wilayah jabatan
lain.

BAB V
CUTI NOTARIS DAN NOTARIS PENGGANTI

Bagian Pertama
Cuti Notaris

Pasal 25
(1) Notaris mempunyai hak cuti.
(2) Hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diambil setelah Notaris
menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun.
(3) Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris
Pengganti.

Pasal 26
(1) Hak cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dapat diambil
setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun.

(2) Setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk
perpanjangannya.
(3) Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12
(dua belas) tahun.

Pasal 27
(1) Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan
penunjukan Notaris Pengganti.
(2) Permohonan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
pejabat yang berwenang, yaitu:
a. Majelis Pengawas Daerah, dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari
6 (enam) bulan;
b. Majelis Pengawas Wilayah, dalam hal jangka waktu cuti lebih dari 6
(enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
- 10 -

c. Majelis Pengawas Pusat, dalam jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu)
tahun.
(3) Permohonan cuti dapat diterima atau ditolak oleh pejabat yang berwenang
memberikan izin cuti.
(4) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat.
(5) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas
Wilayah.

Pasal 28
Dalam keadaan mendesak, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus
dari Notaris dapat mengajukan permohonan cuti kepada Majelis Pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).

Pasal 29
(1) Surat keterangan izin cuti paling sedikit memuat:
a. nama Notaris;
b. tanggal mulai dan berakhirnya cuti; dan
c. nama Notaris Pengganti disertai dokumen yang mendukung Notaris
Pengganti tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
(2) Tembusan surat keterangan izin cuti dari Majelis Pengawas Daerah
disampaikan kepada Menteri, Majelis Pengawas Pusat, dan Majelis
Pengawas Wilayah.
(3) Tembusan surat keterangan izin cuti dari Majelis Pengawas Wilayah
disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas Pusat.

(4) Tembusan surat keterangan izin cuti dari Menteri disampaikan kepada
Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas
Daerah.

Pasal 30
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengeluarkan sertifikat cuti.

(2) Sertifikat cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data
pengambilan cuti.
(3) Data pengambilan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat oleh
Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).

(4) Pada setiap permohonan cuti dilampirkan sertifikat cuti sebagaimana


dimaksud pada ayat (2).
(5) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengeluarkan duplikat sertifikat
cuti atas sertifikat cuti yang sudah tidak dapat digunakan atau hilang,
dengan permohonan Notaris yang bersangkutan.

Pasal 31
(1) Permohonan cuti dapat ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan
cuti.
(2) Penolakan permohonan cuti harus disertai alasan penolakan.

(3) Penolakan permohonan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah dapat diajukan
banding kepada Majelis Pengawas Wilayah.
(4) Penolakan permohonan cuti oleh Majelis Pengawas Wilayah dapat diajukan
banding kepada Majelis Pengawas Pusat.
- 11 -

Pasal 32
(1) Notaris yang menjalankan cuti wajib menyerahkan Protokol Notaris kepada
Notaris Pengganti.
(2) Notaris Pengganti menyerahkan kembali Protokol Notaris kepada Notaris
setelah cuti berakhir.
(3) Serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis
Pengawas Wilayah.

Bagian Kedua
Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris

Pasal 33
(1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti
Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang
berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris
paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.

(2) Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris
Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang
ini menentukan lain.

Pasal 34
(1) Apabila dalam satu wilayah jabatan hanya terdapat 1 (satu) Notaris, Majelis
Pengawas Daerah dapat menunjuk Notaris Pengganti Khusus yang
berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan pribadi Notaris tersebut
atau keluarganya.

(2) Penunjukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disertai
dengan serah terima Protokol Notaris.
(3) Notaris Pengganti Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diambil sumpah/janji jabatan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

Pasal 35
(1) Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam
garis lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis
Pengawas Daerah.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3) Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan
Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara
Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris
meninggal dunia.
(4) Pejabat Sementara Notaris menyerahkan Protokol Notaris dari Notaris yang
meninggal dunia kepada Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.

(5) Pejabat Sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) dapat membuat akta atas namanya sendiri dan mempunyai Protokol
Notaris.
- 12 -

BAB VI
HONORARIUM

Pasal 36
(1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai
ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.

(3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek
setiap akta sebagai berikut:
a. sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen
gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah
2,5% (dua koma lima persen);

b. di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan


Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima
paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau

c. di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang


diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak,
tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan
aktanya.
(4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta
dengan honorarium yang diterima paling besar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

Pasal 37
Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma
kepada orang yang tidak mampu.

BAB VII
AKTA NOTARIS

Bagian Pertama
Bentuk dan Sifat Akta

Pasal 38
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;


c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
- 13 -

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,


kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat:


a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan


akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian.

(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara
Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan,
serta pejabat yang mengangkatnya.

Pasal 39
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan

b. cakap melakukan perbuatan hukum.


(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2
(dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau
diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas
dalam akta.

Pasal 40
(1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang
saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.

(2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;

b. cakap melakukan perbuatan hukum;


c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

(3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau
diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan
kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

(4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi


dinyatakan secara tegas dalam akta.
- 14 -

Pasal 41
Apabila ketentuan dalam Pasal 39 dan Pasal 40 tidak dipenuhi, akta tersebut
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Pasal 42
(1) Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang
tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan.

(2) Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta
ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang
disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan
dengan huruf dan harus didahului dengan angka.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat
kuasa yang belum menyebutkan nama penerima kuasa.

Pasal 43
(1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta
itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.

(3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta


tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.

(4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi
apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang
tidak menentukan lain.

(5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Pasal 44
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam
akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.

(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.

Pasal 45
(1) Dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian tertentu
dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan kepadanya.
- 15 -

(2)Apabila bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) diterjemahkan atau dijelaskan, penghadap
membubuhkan paraf dan tanda tangan pada bagian tersebut.

(3) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan secara tegas
pada akhir akta.

Pasal 46
(1) Apabila pada pembuatan pencatatan harta kekayaan atau berita acara
mengenai suatu perbuatan atau peristiwa, terdapat penghadap yang:

a. menolak membubuhkan tanda tangannya; atau


b. tidak hadir pada penutupan akta, sedangkan penghadap belum
menandatangani akta tersebut,
hal tersebut harus dinyatakan dalam akta dan akta tersebut tetap merupakan akta
otentik.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan
dalam akta dengan mengemukakan alasannya.

Pasal 47
(1) Surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di
bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta.

(2) Surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam
akta.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan
apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan
Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta.

Pasal 48
(1) Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih,
penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang
lain.
(2) Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan
dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda
pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Pasal 49
(1) Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta.
(2) Apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri akta, perubahan
tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk
bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

(3) Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah


mengakibatkan perubahan tersebut batal.

Pasal 50
(1) Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal
tersebut dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan
yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret
dinyatakan pada sisi akta.
- 16 -

(2) Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah
diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan
Notaris.
(3) Apabila terjadi perubahan lain terhadap perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), perubahan itu dilakukan pada sisi akta sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 49.

(4) Pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan
penambahan.

Pasal 51
(1) Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan
ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.

(2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan


membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada
Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara
pembetulan.

(3) Salinan akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) wajib disampaikan kepada para pihak.

Pasal 52
(1) Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris
baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis
ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila orang
tersebut pada ayat (1) kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam
penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di
hadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi
anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa
mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan.

Pasal 53
Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan
sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi :
a. Notaris, istri atau suami Notaris;
b. saksi, istri atau suami saksi; atau
c. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi,
baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa
pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat
ketiga.
- 17 -

Bagian Kedua
Grosse Akta, Salinan Akta, dan Kutipan Akta

Pasal 54
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta,
Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan
langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 55
(1) Notaris yang mengeluarkan Grosse Akta membuat catatan pada minuta akta
mengenai penerima Grosse Akta dan tanggal pengeluaran dan catatan
tersebut ditandatangani oleh Notaris.

(2) Grosse Akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan Notaris adalah
Salinan Akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

(3) Grosse Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bagian kepala akta
memuat frasa “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”, dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat
frasa “diberikan sebagai grosse pertama”, dengan menyebutkan nama orang
yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal
pengeluarannya.

(4) Grosse Akta kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berdasarkan penetapan pengadilan.

Pasal 56
(1) Akta originali, Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta yang
dikeluarkan oleh Notaris wajib dibubuhi teraan cap/stempel.

(2) Teraan cap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus pula dibubuhkan
pada salinan surat yang dilekatkan pada Minuta Akta.

(3) Surat di bawah tangan yang disahkan atau dilegalisasi, surat di bawah
tangan yang didaftar dan pencocokan fotokopi oleh Notaris wajib diberi
teraan cap/stempel serta paraf dan tanda tangan Notaris.

Pasal 57
Grosse Akta, Salinan Akta, Kutipan Akta Notaris, atau pengesahan surat di
bawah tangan yang dilekatkan pada akta yang disimpan dalam Protokol Notaris,
hanya dapat dikeluarkan oleh Notaris yang membuatnya, Notaris Pengganti, atau
pemegang Protokol Notaris yang sah.

Bagian Ketiga
Pembuatan, Penyimpanan, dan Penyerahan
Protokol Notaris

Pasal 58
(1) Notaris membuat daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan,
daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang
diwajibkan oleh Undang-Undang ini.
- 18 -

(2) Dalam daftar akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris setiap hari
mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapannya, baik dalam
bentuk Minuta Akta maupun originali, tanpa sela-sela kosong, masing-
masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-garis tinta, dengan
mencantumkan nomor urut, nomor bulanan, tanggal, sifat akta, dan nama
semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai
kuasa orang lain.

(3) Akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali yang dibuat dalam rangkap 2
(dua) atau lebih pada saat yang sama, dicatat dalam daftar dengan satu
nomor.
(4) Setiap halaman dalam daftar diberi nomor urut dan diparaf oleh Majelis
Pengawas Daerah, kecuali pada halaman pertama dan terakhir
ditandatangani oleh Majelis Pengawas Daerah.

(5) Pada halaman sebelum halaman pertama dicantumkan keterangan tentang


jumlah halaman daftar akta yang ditandatangani oleh Majelis Pengawas
Daerah.
(6) Dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar surat di bawah
tangan yang dibukukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris setiap
hari mencatat surat di bawah tangan yang disahkan atau dibukukan, tanpa
sela-sela kosong, masing-masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-
garis tinta, dengan mencantumkan nomor urut, tanggal, sifat surat, dan nama
semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai
kuasa orang lain.

Pasal 59
(1) Notaris membuat daftar klapper untuk daftar akta dan daftar surat di bawah
tangan yang disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1),
disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan.

(2) Daftar klapper sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nama semua
orang yang menghadap dengan menyebutkan di belakang tiap-tiap nama,
sifat, dan nomor akta, atau surat yang dicatat dalam daftar akta dan daftar
surat di bawah tangan.

Pasal 60
(1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris Pengganti atau Notaris
Pengganti Khusus dicatat dalam daftar akta.
(2) Surat di bawah tangan yang disahkan dan surat di bawah tangan yang
dibukukan, dicatat dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan
daftar surat di bawah tangan yang dibukukan.

Pasal 61
(1) Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya, menyampaikan secara tertulis
salinan yang telah disahkannya dari daftar akta dan daftar lain yang dibuat
pada bulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari pada bulan
berikutnya kepada Majelis Pengawas Daerah.

(2) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris,
secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan hal tersebut secara
tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah dalam waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
- 19 -

Pasal 62
Penyerahan Protokol Notaris dilakukan dalam hal Notaris:
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. minta sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

e. diangkat menjadi pejabat negara;


f. pindah wilayah jabatan;
g. diberhentikan sementara; atau
h. diberhentikan dengan tidak hormat.

Pasal 63
(1) Penyerahan Protokol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan
Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang
menerima Protokol Notaris.

(2) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a,


penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada
Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.

(3) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf g,


penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain
yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara
lebih dari 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b, huruf c,
huruf d, huruf f, atau huruf h, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh
Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis
Pengawas Daerah.

(5) Protokol Notaris dari Notaris lain yang pada waktu penyerahannya berumur
25 (dua puluh lima) tahun atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima
Protokol Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah.

Pasal 64
(1) Protokol Notaris dari Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara
diserahkan kepada Notaris yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.

(2) Notaris pemegang Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta.

Pasal 65
Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara
Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol
Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol
Notaris.
- 20 -

BAB VIII
PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN
PEMANGGILAN NOTARIS

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan


pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

BAB IX
PENGAWASAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 67
(1) Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri membentuk Majelis Pengawas.
(3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9
(sembilan) orang, terdiri atas unsur:
a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis
Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris
dan pelaksanaan jabatan Notaris.
(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris.

Pasal 68
Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat
(2) terdiri atas:
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.

Bagian Kedua
Majelis Pengawas Daerah

Pasal 69
(1) Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kabupaten atau kota.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur-unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
- 21 -

(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh
anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah
adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.

(5) Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang
ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah.

Pasal 70
Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;

b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu)


kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;

c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang


bersangkutan;
e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah
terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara


Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;
dan
h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis
Pengawas Wilayah.

Pasal 71
Majelis Pengawas Daerah berkewajiban:
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan
menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah
tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;

b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis


Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang
bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;

c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;


d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari
Notaris dan merahasiakannya;
e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris
yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.

f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.


- 22 -

Bagian Ketiga
Majelis Pengawas Wilayah

Pasal 72
(1) Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi.

(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Wilayah terdiri atas unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh
anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Wilayah
adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.

(5) Majelis Pengawas Wilayah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang
ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Wilayah.

Pasal 73
(1) Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan
atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas
Wilayah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;

d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang


menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;

e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;


f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.
(2) Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e bersifat final.
(3) Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara.

Pasal 74
(1) Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a bersifat tertutup untuk umum.

(2) Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan dalam sidang
Majelis Pengawas Wilayah.

Pasal 75
Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban:
a. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang
bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan
Organisasi Notaris; dan
- 23 -

b. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas


Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.

Bagian Keempat
Majelis Pengawas Pusat

Pasal 76
(1) Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara.

(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Pusat terdiri atas unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat dipilih dari dan oleh
anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Pusat
adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.

(5) Majelis Pengawas Pusat dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang
ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Pusat.

Pasal 77
Majelis Pengawas Pusat berwenang :
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan
dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana


dimaksud pada huruf a;
c. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
kepada Menteri.

Pasal 78
(1) Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 huruf a bersifat terbuka untuk umum.

(2) Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan sidang Majelis
Pengawas Pusat.

Pasal 79
Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 huruf a kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan
dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas
Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris.

Pasal 80
(1) Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, Majelis Pengawas
Pusat mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri.

(2) Menteri menunjuk Notaris yang akan menerima Protokol Notaris dari
Notaris yang diberhentikan sementara.

Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian
anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis
Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.
- 24 -

BAB X
ORGANISASI NOTARIS

Pasal 82
(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
(2) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan
organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 83
(1) Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.

(2) Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya


disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.

BAB XI
KETENTUAN SANKSI

Pasal 84
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k,
Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang
mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada Notaris.

Pasal 85
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1)
huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat
(1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1)
huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat
(1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1)
huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal
59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:

a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 86
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan jabatan Notaris tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
- 25 -

Pasal 87
Notaris yang telah diangkat pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
dinyatakan sebagai Notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 88
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan untuk diangkat
menjadi Notaris yang sudah memenuhi persyaratan secara lengkap dan masih
dalam proses penyelesaian, tetap diproses berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lama.

Pasal 89
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kode Etik Notaris yang sudah ada
tetap berlaku sampai ditetapkan Kode Etik Notaris yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.

Pasal 90
Lulusan pendidikan Spesialis Notariat yang belum diangkat sebagai Notaris pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku tetap dapat diangkat menjadi Notaris
menurut Undang-Undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 91
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah
diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;


3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil
Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 700);
4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan


Notaris,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 26 -

Pasal 92
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA, ttd
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 117


- 27 -

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG
JABATAN NOTARIS

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa
negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain, bahwa lalu lintas hukum
dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang
perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa
akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam
berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui
akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan
sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak
dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti
tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan
cepat.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta
otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena
diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk
memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para
pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang
termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para
pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan
akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi
para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk
menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris yang kini berlaku sebagian
besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia
Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah
terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
- 28 -

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 700);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur
tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua
penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi
hukum di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.

Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris,
sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik
merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang
bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun
Kutipan Akta Notaris.

Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus
diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara
memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan akta otentik diatur
untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam Undang-Undang ini. Demikian pula ketentuan
tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak
ahli/akademisi, di samping Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan
serta Organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan
perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b


Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 29 -

Huruf d
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah mampu secara jasmani dan rohani
untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai Notaris.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Yang dimaksud dengan “prakarsa sendiri” adalah bahwa calon notaris dapat memilih sendiri di
kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Notaris.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dan “pejabat negara” adalah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui Notaris yang
bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan nyata.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketidakmampuan secara rohani dan/atau jasmani secara
terus menerus dalam ketentuan ini dibuktikan dengan
surat keterangan dokter ahli.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 30 -

Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara berjenjang” dalam ketentuan ini dimulai dari Majelis Pengawas
Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, sampai dengan Majelis Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas. Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pertentangan kepentingan karena sebagai
Notaris, ia bersifat mandiri dan berkewajiban tidak berpihak.

Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 12 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b


Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat“ misalnya
berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat” adalah tidak memenuhi kewajiban dan melanggar
larangan jabatan Notaris.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 31 -

Ayat (2) Huruf a

Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri
oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup
dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta
dengan menyimpan akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau
penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah
dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Huruf c
Grosse Akta yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan ini adalah Grosse pertama, sedang
berikutnya hanya dikeluarkan atas perintah pengadilan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "alasan untuk menolaknya" adalah alasan yang mengakibatkan
Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris
sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan
bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-
undang.

Huruf e
Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-
surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan
akta tersebut.

Huruf f
Akta dan surat yang dibuat notaris sebagai dokumen resmi bersifat otentik memerlukan
pengamanan baik terhadap akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah
penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab.

Huruf g
Cukup jelas.
- 32 -

Huruf h
Kewajiban yang diatur dalam ketentuan ini adalah penting untuk memberi jaminan
perlindungan terhadap kepentingan ahli waris, yang setiap saat dapat dilakukan penelusuran
atau pelacakan akan kebenaran dari suatu akta wasiat yang telah dibuat di hadapan Notaris.

Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Pencatatan dalam repertorium dilakukan pada hari pengiriman, hal ini penting untuk
membuktikan bahwa kewajiban Notaris sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g telah
dilaksanakan.

Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan
saksi.
Huruf m
Penerimaan magang calon Notaris berarti mempersiapkan calon Notaris agar mampu menjadi
Notaris yang profesional.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas.

Pasal 17
Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa
Notaris.
Huruf a
Larangan dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada
masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam
menjalankan jabatannya.

Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Lihat Penjelasan Pasal 3 huruf g. Huruf d
Lihat Penjelasan Pasal 3 huruf g. Huruf e

Lihat penjelasan Pasal 3 huruf g. Huruf f

Cukup jelas. Huruf g


Cukup jelas.
- 33 -

Huruf h
Larangan menjadi “Notaris Pengganti” berlaku untuk Notaris yang belum menjalankan
jabatannya, Notaris yang sedang menjalani cuti, dan Notaris yang dalam proses pindah wilayah
jabatannya.

Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19 Ayat
(1)
Dengan hanya mempunyai satu kantor, berarti Notaris dilarang mempunyai kantor cabang,
perwakilan, dan/atau bentuk lainnya.

Ayat (2)
Akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor Notaris kecuali pembuatan akta-akta
tertentu.

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perserikatan perdata” dalam ketentuan
ini adalah kantor bersama Notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 21
Formasi adalah kebutuhan akan pengisian jabatan Notaris.

Pasal 22
Ketentuan mengenai Formasi Jabatan Notaris berlaku baik untuk pengangkatan pertama kali
maupun pindah wilayah jabatan Notaris.

Pasal 23 Ayat
(1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kabupaten atau kota tertentu” dalam ketentuan ini adalah kabupaten
atau kota tempat Notaris melaksanakan tugas jabatan Notaris pada saat pengajuan permohonan
pindah wilayah jabatan Notaris.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rekomendasi” dalam ketentuan ini hanya menyangkut kondite atas
prestasi kerja Notaris.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 24
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” antara lain karena bencana alam, keamanan, dan hal
lainnya menurut pertimbangan kemanusiaan.
- 34 -

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26 Ayat
(1)
“Pengambilan cuti setiap tahun” dalam ayat ini tidak mengurangi hak Notaris untuk mengambil
cuti lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Yang dimaksud dengan “keadaan mendesak” adalah apabila seorang Notaris tidak mempunyai
kesempatan mengajukan permohonan cuti karena berhalangan sementara.

Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen yang mendukung Notaris Pengganti adalah
sebagai berikut:
1. fotokopi ijazah paling rendah sarjana hukum yang disahkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan;
2. fotokopi kartu tanda penduduk yang disahkan oleh Notaris;

3. fotokopi akta kelahiran yang disahkan oleh Notaris;


4. fotokopi akta perkawinan bagi yang sudah kawin yang disahkan
oleh Notaris;
5. surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian setempat;

6. surat keterangan sehat dari dokter pemerintah;


7. pasfoto terbaru berwarna ukuran 3x4 cm sebanyak 4 (empat)
lembar; dan
8. daftar riwayat hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.
- 35 -

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35 Ayat (1)


Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini, “Pejabat Sementara Notaris” bertanggung jawab sendiri atas semua hal
yang dilakukannya dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 36 Ayat (1)


Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Akta yang mempunyai fungsi sosial, misalnya, akta pendirian yayasan, akta pendirian sekolah, akta
tanah wakaf, akta pendirian rumah ibadah, atau akta pendirian rumah sakit.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(2) Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum bertindak.
Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 36 -

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42 Ayat
(1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “digaris” dalam ketentuan ini adalah untuk menyatakan bahwa ruang
atau sela kosong dalam akta tidak digunakan lagi.

Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 43 Ayat
(1)
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk
pada kaidah bahasa Indonesia yang baku.

Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penerjemah resmi” adalah penerjemah yang disumpah.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah penghadap atau pihak yang
diwakili oleh penghadap.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.
- 37 -

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “15 (lima belas) hari” adalah dihitung
dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 62
Protokol Notaris terdiri atas:
a. minuta Akta;
b. buku daftar akta atau repertorium;
c. buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan di hadapan
Notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar;

d. buku daftar nama penghadap atau klapper;


e. buku daftar protes;
f. buku daftar wasiat; dan
g. buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.
- 38 -

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengawasan” dalam ketentuan ini
termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap
Notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Unsur pemerintah ditentukan oleh Menteri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “ahli/a kademisi” dalam

ketentuan ini adalah ahli/akademisi di bidang hukum.


Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “laporan dari masyarakat” termasuk
laporan dari Notaris lain.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.
- 39 -

Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bersifat final” adalah mengikat dan
tidak dapat diajukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Sanksi yang dikenakan kepada Notaris berlaku juga bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti
Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.
- 40 -

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4432


SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum


berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga
negara;
g. bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian,
penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan
atau oleh pejabat yang berwenang;
h. bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan
profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat,
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi
tercapainya kepastian hukum;
d. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;

Mengingat . . .
-2-

Mengingat: 1. Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
15. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4432);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS


UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 5, angka 6,


angka 7, angka 8, angka 9, angka 10, angka 12, angka
13, dan angka 14 diubah, serta angka 4 dihapus sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
g. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Pejabat . . .
-3-

2. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk


sementara menjabat sebagai Notaris untuk
menjalankan jabatan dari Notaris yang meninggal
dunia.
3. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk
sementara diangkat sebagai Notaris untuk
menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau
untuk sementara berhalangan menjalankan
jabatannya sebagai Notaris.
4. Dihapus.
5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan
Notaris yang berbentuk perkumpulan berbadan
hukum.
6. Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut
Majelis Pengawas adalah suatu badan yang
mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
Notaris.
7. Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah
akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini.
8. Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan
tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris,
yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
9. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari
seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta
tercantum frasa "diberikan sebagai SALINAN yang
sama bunyinya".
10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu
atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian
bawah kutipan Akta tercantum frasa "diberikan
sebagai KUTIPAN".

11. Grosse . . .
4-

Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk


pengakuan utang dengan kepala Akta "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah
Notaris yang dibutuhkan pada suatu Kabupaten/Kota.
Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang
merupakan arsip negara yang harus disimpan dan
dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.

2. Ketentuan Pasal 3 huruf d dan huruf f diubah, serta


ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan
surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata
dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja
sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat
24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada
kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas
rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata
dua kenotariatan;
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara,
advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain
yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap
dengan jabatan Notaris; dan
h. tidak . . .
-5-

h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan


putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 7
(5) Dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji
jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:
menjalankan jabatannya dengan nyata;
menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan
Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan
Majelis Pengawas Daerah; dan
menyampaikan alamat kantor, contoh tanda
tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel
jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri
dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang
pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan
Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta
Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat.
(6) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
peringatan tertulis;
pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat; atau
pemberhentian dengan tidak hormat.

Ketentuan . . .
6-

e. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d diubah dan ditambah


1 (satu) huruf, yakni huruf e sehingga Pasal 9 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya
karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban
pembayaran utang;
b. berada di bawah pengampuan;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan
larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau
e. sedang menjalani masa penahanan.
(2) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi
kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Pengawas secara berjenjang.
(3) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas
usul Majelis Pengawas Pusat.
(4) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan
huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 11
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib
mengambil cuti.
(2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat
negara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

6. Ketentuan . . .
-7-

6. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 15 diubah, sehingga


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan
surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan
dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan;
atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

7. Ketentuan . . .
-8-

7. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 16
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan
menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari
penghadap pada Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau
Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan
untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang
dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh
guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan
menjadi buku yang memuat tidak lebih dari
50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak
dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan
wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta
setiap bulan;

j. mengirimkan . . .
-9-

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud


dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan
dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu
5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman
daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat
lambang negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi,
atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
(3) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam
hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
Akta penawaran pembayaran tunai;
Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak
diterimanya surat berharga;
Akta kuasa;
Akta keterangan kepemilikan; dan
Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Akta . . .
- 10 -

(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap,
ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang
sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis
kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU
BERLAKU UNTUK SEMUA".
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi
nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1
(satu) rangkap.
(3) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap
menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal
tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada
setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap,
saksi, dan Notaris.
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta,
komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan
jelas, serta penutup Akta.
Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta
yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak
berlaku untuk pembuatan Akta wasiat.
Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf
l dapat dikenai sanksi berupa:
peringatan tertulis;
pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat; atau
pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain . . .
- 11 -

(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada


ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi
berupa peringatan tertulis.

8. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16A
(1) Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), calon Notaris juga wajib merahasiakan segala
sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta.

9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 17
(1) Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7
(tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang
sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai
badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap . . .
- 12 -

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta


Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar
tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan
yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

10. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 19
(1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di
tempat kedudukannya.
(2) Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan
Notaris.
(3) Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan
tetap menjalankan jabatan di luar tempat
kedudukannya.
(4) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

11. Ketentuan . . .
- 13 -

11. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah serta
ayat (3) dihapus sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 20
(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk
persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan
kemandirian dan ketidakberpihakan dalam
menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dihapus.

(5) Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 22
(1) Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan:
a. kegiatan dunia usaha;
b. jumlah penduduk; dan/atau
c. rata-rata jumlah Akta yang dibuat oleh dan/atau
di hadapan Notaris setiap bulan.
(2) Formasi Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pedoman untuk
menentukan kategori daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Jabatan
Notaris dan penentuan kategori daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.

13. Ketentuan Pasal 32 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4)


sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32
(1) Notaris yang menjalankan cuti wajib menyerahkan
Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti.

(2) Notaris . . .
- 14 -

(2) Notaris Pengganti menyerahkan kembali Protokol


Notaris kepada Notaris setelah cuti berakhir.
(3) Serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dibuatkan berita acara dan disampaikan
kepada Majelis Pengawas Wilayah.
(4) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

(3) Judul Bagian Kedua BAB V diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Bagian Kedua
Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris

(5) Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 33
(2) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris
Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris adalah
warga negara Indonesia yang berijazah sarjana
hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor
Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.
(3) Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat
Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang ini
menentukan lain.

Pasal 34 . . .
- 15 -

16. Pasal 34 dihapus.

17. Ketentuan ayat (1) Pasal 35 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 35
Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau
keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan
semenda sampai derajat kedua wajib
memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kerja.
Apabila Notaris meninggal dunia pada saat
menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan
oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara
Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal Notaris meninggal dunia.
Pejabat Sementara Notaris menyerahkan Protokol
Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada
Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal
dunia.
Pejabat Sementara Notaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) dapat membuat Akta atas
namanya sendiri dan mempunyai Protokol Notaris.

18. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 37
(1) Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang
kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang
tidak mampu.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian . . .
16 -

pemberhentian dengan hormat; atau


pemberhentian dengan tidak hormat.

19. Ketentuan ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 38 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38
(1) Setiap Akta terdiri atas:
a. awal Akta atau kepala Akta;
b. badan Akta; dan
c. akhir atau penutup Akta.
(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat:
a. judul Akta;
b. nomor Akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan Akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak
penghadap;
c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan
dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal
dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup Akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau
Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemahan Akta jika
ada;
c. nama . . .
- 17 -

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,


pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal
dari tiap-tiap saksi Akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang
terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang
adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian serta
jumlah perubahannya.
(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara
Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga
memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan,
serta pejabat yang mengangkatnya.

20. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 39 diubah, sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun
atau telah menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau
diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan
oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dinyatakan secara tegas dalam Akta.

(3) Ketentuan ayat (2) Pasal 40 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 40
(1) Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan
perundang-undangan menentukan lain.

(2) Saksi . . .
18 -

Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus


memenuhi syarat sebagai berikut:
paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun
atau sebelumnya telah menikah;
cakap melakukan perbuatan hukum;
mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;
dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf;
dan
tidak mempunyai hubungan perkawinan atau
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis
ke samping sampai dengan derajat ketiga
dengan Notaris atau para pihak.
Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada
Notaris atau diterangkan tentang identitas dan
kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan
kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam
Akta.

2 Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 41
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan
Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan.

23. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal
43 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6)
sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
(1) Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam Akta, Notaris wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu
dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Jika . . .
19 -

b. Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat


dalam bahasa asing.
c. Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia.
d. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau
menjelaskannya, Akta tersebut diterjemahkan atau
dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
e. Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap
isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.

24. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 44 diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 44
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(6) Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut
ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan
Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan
menyebutkan alasannya.
(7) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
(8) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi,
dan penerjemah resmi.
(9) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan
penandatanganan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3)
dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

- Pelanggaran . . .
20 -

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada Notaris

25. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 48 diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 48
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
h. Isi Akta dilarang untuk diubah dengan:
1) diganti;
2) ditambah;
3) dicoret;
4) disisipkan;
5) dihapus; dan/atau
6) ditulis tindih.
i. Perubahan isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat
dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf
atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap,
saksi, dan Notaris.
1 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan
suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris.

(3) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 49 diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 49
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
c. Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta.
- Dalam . . .
21 -

(2) Dalam hal suatu perubahan tidak dapat dibuat di


sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir
Akta, sebelum penutup Akta, dengan menunjuk
bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar
tambahan.
(3) Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian
yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut
batal.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan
suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris.

27. Ketentuan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 50 diubah
dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga
Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50
(1) Jika dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata,
huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian
rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang
tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau
angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri Akta.
(2) Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda
pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap
pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (2).
(4) Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada
atau tidak adanya perubahan atas pencoretan.

(5) Dalam . . .
22 -

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta dalam
Pasal 38 ayat (4) huruf d tidak dipenuhi, Akta
tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris.

28. Ketentuan ayat (2) Pasal 51 diubah dan ditambah 1 (satu)


ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 51
(1) Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan
tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada
Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan
Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan
memberikan catatan tentang hal tersebut pada
Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan
nomor Akta berita acara pembetulan.
(3) Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatu Akta
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris.

29. Ketentuan . . .
23 -

f. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 54
(1) Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan,
atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan
Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang
berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau
orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

3. Ketentuan ayat (1) Pasal 60 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 60
(1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
Pengganti dicatat dalam daftar akta.
(2) Surat di bawah tangan yang disahkan dan surat di
bawah tangan yang dibukukan, dicatat dalam daftar
surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar
surat di bawah tangan yang dibukukan.

31. Ketentuan Pasal 63 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6)


sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63
(1) Penyerahan Protokol sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol
Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan
dan yang menerima Protokol Notaris.

(2) Dalam . . .
- 24 -

(2) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 62 huruf a, penyerahan Protokol Notaris
dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada Notaris lain
yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.
(3) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 huruf g, penyerahan Protokol Notaris
dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang
ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika
pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, atau
huruf h, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh
Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh
Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah.
(5) Protokol Notaris dari Notaris lain yang pada waktu
penyerahannya berumur 25 (dua puluh lima) tahun
atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima Protokol
Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah.
(6) Dalam hal Protokol Notaris tidak diserahkan dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Majelis Pengawas Daerah
berwenang untuk mengambil Protokol Notaris.

32. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 65
Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara
Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang
dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan
atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol
Notaris.

33. Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 65A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65A
Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 58 dan Pasal 59
dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian . . .
- 25 -

b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

34. Judul Bab VIII diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

BAB VIII
PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN
PEMANGGILAN NOTARIS

35. Ketentuan ayat (1) Pasal 66 diubah dan ditambah 2 (dua)


ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga
Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan
majelis kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-
surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat
berita acara penyerahan.
(3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
surat permintaan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban
menerima atau menolak permintaan persetujuan.

(4) Dalam . . .
- 26 -

(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak


memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis
kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan
persetujuan.

36. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66A
(1) Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri
membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2) Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh)
orang, terdiri atas unsur:
a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c. ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi,
syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan
anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan
Peraturan Menteri.

37. Ketentuan ayat (3) dan ayat (6) Pasal 67 diubah,


sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67
(1) Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis
Pengawas.
(3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:

a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;


b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
(4) Dalam . . .
- 27 -

(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur


instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis
Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh
Menteri.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan
Notaris.
(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris
Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris.

38. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 69 diubah dan di
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (2a) sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 69
(1) Majelis Pengawas Daerah dibentuk di
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat
(3).
(2a) Dalam hal di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris
tidak sebanding dengan jumlah anggota
Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk Majelis
Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa
Kabupaten/Kota.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah
dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota
Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang
sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat
Majelis Pengawas Daerah.

39. Ketentuan . . .
- 28 -

39. Ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a dan huruf e diubah


serta huruf g dihapus sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 73
(1) Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan atas laporan masyarakat
yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas
Daerah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan
sampai 1 (satu) tahun;
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis
Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan
oleh Notaris pelapor;
e. memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun
peringatan tertulis;
f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris
kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai
dengan 6 (enam) bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. dihapus.
(2) Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.
(3) Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
huruf f dibuatkan berita acara.

40. Ketentuan . . .
- 29 -

40. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan
tata kerja, anggaran serta tata cara pemeriksaan Majelis
Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.

41. Ketentuan ayat (2) Pasal 82 diubah dan ditambah 3 (tiga)


ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal
82 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82
(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi
Notaris.
(2) Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia.
(3) Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi
Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk
dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Notaris.
(4) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata
kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Organisasi Notaris.
(5) Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan, dan
pengawasan Organisasi Notaris diatur dengan
Peraturan Menteri.

42. Ketentuan . . .
- 30 -

42. Ketentuan Bab XI dihapus.

43. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 88
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. pengajuan permohonan sebagai Notaris yang sedang
diproses, tetap diproses berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.

b. masa magang yang telah dijalani calon Notaris tetap


diperhitungkan berdasarkan persyaratan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.

44. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal,


yakni Pasal 91A dan Pasal 91B yang berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 91A
Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 16
ayat (11) dan ayat (13), Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat
(4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54 ayat (2),
dan Pasal 65A diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 91B
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 31 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada


tanggal 15 Januari 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 3


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS

I. UMUM

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
setiap warga negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik
mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang
dibuat di hadapan atau oleh Notaris.
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam
memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Jaminan
perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum terhadap
pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan,
yang juga dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan
tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan
pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan undang-undang lain.
Beberapa ketentuan yang diubah dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, antara lain:
1. penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, antara
lain, adanya surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater serta
perpanjangan jangka waktu menjalani magang dari 12 (dua belas)
bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan;

2. penambahan . . .
-2-

2. penambahan kewajiban, larangan merangkap jabatan, dan alasan


pemberhentian sementara Notaris;
3. pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang melakukan
magang;
4. penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal tertentu,
antara lain, berupa pernyataan bahwa Akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
peringatan lisan/peringatan tertulis, atau tuntutan ganti rugi kepada
Notaris;
5. pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik yang
bersifat mutlak maupun bersifat relatif;
6. pembentukan majelis kehormatan Notaris;
7. penguatan dan penegasan Organisasi Notaris;
8. penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi dalam pembuatan Akta autentik; dan
9. penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis Pengawas.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani”
adalah mampu secara jasmani dan rohani untuk
melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai
Notaris.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
-3-

Huruf f
Yang dimaksud dengan “prakarsa sendiri” adalah
bahwa calon Notaris dapat memilih sendiri di kantor
yang diinginkan dengan tetap mendapatkan
rekomendasi dari organisasi Notaris.
Yang dimaksud dengan “menjalani magang atau
nyata-nyata telah bekerja” ditentukan berdasarkan
surat keterangan tanggal pertama kali
magang/bekerja di kantor Notaris.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dan
“pejabat negara” adalah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Huruf h
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui
Notaris yang bersangkutan telah
melaksanakan tugasnya dengan nyata.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
-4-

Huruf c
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan
tercela” adalah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, norma
kesusilaan, dan norma adat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara berjenjang” dalam
ketentuan ini dimulai dari Majelis Pengawas Daerah,
Majelis Pengawas Wilayah, sampai dengan Majelis
Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap
akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh
orang perseorangan atau oleh para pihak di
atas kertas yang bermaterai cukup dengan
jalan pendaftaran dalam buku khusus yang
disediakan oleh Notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
-5-

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa
pengangkatan Notarismenjadi Pejabat
Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan”,
antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi
yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),
membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat
terbang.

Angka 7
Pasal 16 Ayat
(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk menjaga keautentikan suatu Akta
dengan menyimpan Akta dalam bentuk
aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau
penyalahgunaan grosse, salinan, atau
kutipannya dapat segera diketahui dengan
mudah dengan mencocokkannya dengan
aslinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Grosse Akta yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan ini adalah Grosse pertama, sedang
berikutnya hanya dikeluarkan atas perintah
pengadilan.

Huruf e . . .
-6-

Huruf e
Yang dimaksud dengan "alasan untuk
menolaknya" adalah alasan yang
mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti
adanya hubungan darah atau semenda
dengan Notaris sendiri atau dengan
suami/istrinya, salah satu pihak tidak
mempunyai kemampuan bertindak untuk
melakukan perbuatan, atau hal lain yang
tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Huruf f
Kewajiban untuk merahasiakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan
surat-surat lainnya adalah untuk melindungi
kepentingan semua pihak yang terkait dengan
Akta tersebut.
Huruf g
Akta dan surat yang dibuat Notaris sebagai
dokumen resmi bersifat autentik memerlukan
pengamanan baik terhadap Akta itu sendiri
maupun terhadap isinya untuk mencegah
penyalahgunaan secara tidak bertanggung
jawab.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Kewajiban yang diatur dalam ketentuan ini
adalah penting untuk memberi jaminan
perlindungan terhadap kepentingan ahli
waris, yang setiap saat dapat dilakukan
penelusuran atau pelacakan akan kebenaran
dari suatu Akta wasiat yang telah dibuat di
hadapan Notaris.
Huruf j
Cukup
jelas. Huruf k
Pencatatan dalam repertorium dilakukan pada
hari pengiriman, hal ini penting untuk
membuktikan bahwa kewajiban Notaris
sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan
huruf g telah dilaksanakan.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m . . .
-7-

Huruf m
Bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani Akta di hadapan penghadap
dan saksi.
Huruf n
Penerimaan magang calon Notaris berarti
mempersiapkan calon Notaris agar mampu
menjadi Notaris yang profesional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Akta in originali” adalah
Akta yang dibuat oleh Notaris dengan menyerahkan
aslinya kepada pihak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup
jelas. Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup
jelas. Ayat (13)
Cukup jelas.

Angka 8
Pasal 16A
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 17
Cukup jelas.

Angka 10 . . .
-8-

Angka 10
Pasal 19
Cukup jelas.

Angka 11
Pasal 20
Cukup jelas.

Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 32
Cukup jelas.

Angka 14
Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 33
Cukup jelas.

Angka 16
Cukup jelas.

Angka 17
Pasal 35
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 37
Cukup jelas.

Angka 19
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
-9-

Huruf b
Yang dimaksud dengan “kedudukan
bertindak penghadap” adalah dasar hukum
bertindak.
Huruf c
Cukup
jelas. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 41
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 43
Ayat (1)
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan
ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada
kaidah bahasa Indonesia yang baku.
Ayat (2)
Cukup
jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain
penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan
terdaftar atau menggunakan staf pada kedutaan
besar negara asing jika tidak ada penerjemah
tersumpah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 24 . . .
- 10 -

Angka 24
Pasal 44
Cukup jelas.

Angka 25
Pasal 48
Cukup jelas.

Angka 26
Pasal 49
Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 50
Cukup jelas.

Angka 28
Pasal 51
Cukup jelas.

Angka 29
Pasal 54
Cukup jelas.

Angka 30
Pasal 60
Cukup jelas.

Angka 31
Pasal 63
Cukup jelas.

Angka 32
Pasal 65
Cukup jelas.

Angka 33
Pasal 65A
Cukup jelas.

Angka 34
Cukup jelas.
Angka 35 . . .
- 11 -

Angka 35
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penolakan dalam ketentuan ini disertai dengan
alasan yang sesuai dengan hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 36
Pasal 66A
Cukup jelas.

Angka 37
Pasal 67
Cukup jelas.

Angka 38
Pasal 69
Cukup jelas.

Angka 39
Pasal 73
Cukup jelas.

Angka 40
Pasal 81
Cukup jelas.

Angka 41
Pasal 82
Cukup jelas.

Angka 42
Cukup jelas.

Angka 43 . . .
- 12 -

Angka 43
Pasal 88
Cukup jelas.

Angka 44
Pasal 91A
Cukup jelas.
Pasal 91B
Cukup jelas.

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5491


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
JABATAN NOTARIS
PERPADUAN NASKAH
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
i. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.1
j. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk
sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan
dari Notaris yang meninggal dunia.2
k. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara
diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang
sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan
menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
l. Dihapus.3

5. Sebelumnya:
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
6. Sebelumnya:
2. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara
menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang
meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara.
3 Sebelumnya:
4. Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai Notaris khusus
untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya
sebagai Notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya

3
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

(3) Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan Notaris


yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum. 4
(4) Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas
adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. 5
(5) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik
yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 6
(6) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan
para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai
bagian dari Protokol Notaris. 7
(7) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta
dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa "diberikan
sebagai SALINAN yang sama bunyinya".8
(8) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau
beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta
tercantum frasa "diberikan sebagai KUTIPAN". 9
(9) Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang
dengan kepala Akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETU-

seorang Notaris, sedangkan Notaris yang bersangkutan menurut


ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud.
d. Sebelumnya:
Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang
berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
e. Sebelumnya:
6. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.
6 Sebelumnya:
7. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
7 Sebelumnya:
8. Minuta Akta adalah asli Akta Notaris.
(5) Sebelumnya:
1 Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada
bagian bawah salinan akta tercantum frasa "diberikan sebagai salinan
yang sama bunyinya".
(6) Sebelumnya:
10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa
bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa
"diberikan sebagai kutipan".

4
JABATAN NOTARIS

HANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan ekseku-


torial.
(7) Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang
dibutuhkan pada suatu Kabupaten/ Kota. 10
(8) Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan
arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11
(9) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum. 12
Penjelasan:
(7) UMUM
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Untuk
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti
tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan
peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam
memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Jaminan
perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum terhadap
pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan,
yang juga dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas,
fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan
pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan undang-undang lain.
Beberapa ketentuan yang diubah dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, antara lain:
f. penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, antara lain,
adanya surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater serta

(3) Sebelumnya:
a. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang
dibutuhkan pada suatu wilayah jabatan Notaris.
(4)
Sebelumnya:
h. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip
negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
12 Sebelumnya:

14. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang kenotariatan.

5
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

perpanjangan jangka waktu menjalani magang dari 12 (dua belas)


bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan;
2. penambahan kewajiban, larangan merangkap jabatan, dan alasan
pemberhentian sementara Notaris;
3. pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang
melakukan magang;
4. penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal
tertentu, antara lain, berupa pernyataan bahwa Akta yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan, peringatan lisan/peringatan tertulis, atau
tuntutan ganti rugi kepada Notaris;
5. pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik
yang bersifat mutlak maupun bersifat relatif;
6. pembentukan majelis kehormatan Notaris;
7. penguatan dan penegasan Organisasi Notaris;
8. penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi dalam pembuatan Akta autentik; dan
9. penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis
Pengawas. II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 1
Cukup jelas.

BAB II
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN NOTARIS
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 2
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Penjelasan:
Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. warga negara Indonesia;

6
JABATAN NOTARIS

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat
keterangan sehat dari dokter dan psikiater; 13
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-
turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; 14

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat,


atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-
undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.15
Penjelasan:
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah mampu secara
jasmani dan rohani untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban
sebagai Notaris.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f

(3)
Sebelumnya:
(2) sehat jasmani dan rohani;
(4)
Sebelumnya:
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor
Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris
setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
15 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h

7
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

Yang dimaksud dengan “prakarsa sendiri” adalah bahwa calon


Notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan
tetap mendapatkan rekomendasi dari organisasi Notaris.
Yang dimaksud dengan “menjalani magang atau nyata-nyata telah
bekerja” ditentukan berdasarkan surat keterangan tanggal
pertama kali magang/bekerja di kantor Notaris.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dan “pejabat negara”
adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan
sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik
Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.
bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah,
jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai
Notaris. bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa
pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada siapa pun.”

Penjelasan:

8
JABATAN NOTARIS

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan
terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.

Penjelasan:
Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, keputusan
pengangkatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.

Penjelasan:
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7 16
(1) Dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang
bersangkutan wajib:
a. menjalankan jabatannya dengan nyata;

16 Sebelumnya:
Pasal 7
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan
sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:
k. menjalankan jabatannya dengan nyata;
l. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri,
Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan
m. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta
teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan
pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan,
Organisasi Notaris, ketua pengadilan negeri, Majelis Pengawas Daerah,
serta bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat.

9
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada


Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan
c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan
paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan Notaris
berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang
bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris,
Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta
Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Penjelasan:
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui Notaris yang
bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan nyata.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 8
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan
hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. permintaan sendiri;

10
JABATAN NOTARIS

tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk


melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus
lebih dari 3 (tiga) tahun; atau
merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun
dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Penjelasan:
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketidakmampuan secara rohani dan/atau jasmani secara terus
menerus dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surat keterangan
dokter ahli.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 9
(1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b. berada di bawah pengampuan;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
jabatan serta kode etik Notaris; atau 17
e. sedang menjalani masa penahanan. 18

2 Sebelumnya:
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
3 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf e.

11
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

(3) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat


a. dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di
hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang.
(4) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
(5) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

Penjelasan:
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup
jelas. Huruf b
Cukup
jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
Huruf d
Cukup
jelas. Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara berjenjang” dalam ketentuan ini
dimulai dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas
Wilayah, sampai dengan Majelis Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup
jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 10
2 Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a atau huruf b dapat diangkat
kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya.
3 Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c atau huruf d dapat diangkat kembali menjadi
Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir.

12
JABATAN NOTARIS

Penjelasan:
Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11 19
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama
Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Penjelasan:
Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:
a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3
(tiga) tahun;
c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan Notaris; atau
19 Sebelumnya:
Pasal 11
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris
memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk Notaris Pengganti.
(4) Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Majelis Pengawas Daerah menunjuk Notaris lain untuk
menerima Protokol Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara.
(5) Notaris yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan
pemegang sementara Protokol Notaris.
(6) Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya.

13
PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 DENGAN NO. 2 TAHUN 2014

d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Penjelasan:
Pasal 12
Huruf a
Cukup
jelas. Huruf b
Cukup
jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang merendahkan
kehormatan dan martabat“ misalnya berjudi, mabuk,
menyalahgunakan narkoba, dan berzina.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat” adalah tidak
memenuhi kewajiban dan melanggar larangan jabatan Notaris.

Pasal 13
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Penjelasan:
Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dalam Peraturan Menteri.

Penjelasan:
Pasal 14
Cukup jelas.

14
JABATAN NOTARIS

BAB III
KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Pertama
Kewenangan
Pasal 15
(2) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 20
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Notaris berwenang pula:
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan Akta;
membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
membuat Akta risalah lelang. 21
20 Sebelumnya:

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
21 Sebelumnya Pasal 15 (2):

15

Anda mungkin juga menyukai