Anda di halaman 1dari 34

1

PROPOSAL TESIS

EKSEKUSI PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIPUTUS PENGADILAN

BERDASARKAN UNDANG UNDANG RI NOMOR 3 TAHUN 1971

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA

PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19

TAHUN 2020

Disusun oleh:

Nama : ARI HASTUTI

NIM : 2021010261075

Kelas : Eksekutif 2C

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS JAYABAYA
2

EKSEKUSI PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIPUTUS PENGADILAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 03 TAHUN 1971

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA

PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19

TAHUN 2020

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi telah membawa dampak yang buruk bagi bangsa ini karena

tindakan korupsi merupakan masalah yang sangat serius untuk diperangi di

negeri ini karena sampai menyebabkan stabilitas dan keamanan Negara dan

masyarakatnya. Korupsi merupakan salah satu penyakit birokrasi yang sering

menjerat para pajabat-pejabat pemerintahan negara Indonesia bahkan jauh

sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Melihat perkembangan ”virus”

korupsi di Indonesia dari berbagai penelitian, maka tidak salah adanya stigma

yang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Apabila

kita berbicara tentang korupsi memang tidak bisa dipungkiri, bahwa Indonesia

memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC (Vereenigde

Oostindische Compagnie) sebelum tahun 1800, yang mengajari masyarakat

untuk korupsi di segala bidang. Bahka ada ejekan yang menyebut VOC,

perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-

19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi). Namun,

sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro,


3

menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman

kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu jumlah pajak desa yang harus dibayar

sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat

yang masih buta huruf. Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa

tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil

panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk

(Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil

pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.1

Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar

untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-

pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa

Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan

dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan

kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-

konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas,

bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden

untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.2

Istilah korupsi pun menjadi sesuatu yang sering diucapkan maupun

diberitakan baik di media cetak maupun elektronik, seminar dan dunia

akademisi. Istilah korupsi sendiri berasal dari bahasa latin Corruptio atau

1
Santosa, Iwan, “Korupsi, dari kerajaan Nusantara hingga Reformasi”, https
://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi.dari.Kerajaan.Nusantara.hingga.Refor
masi
2
Rukmana, Aan, 2009, “Korupsi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah” dalam Korupsi Mengorupsi
Indonesia, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm.1045.
4

Corroptus, selanjutnya disebutkan bahwa Coruptio itu berasal dari kata

Corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Istilah dari bahasa latin inilah yang

turun ke bahasa Eropa, seperti Inggris (Corruption, Corrupt), Perancis

(Corruption) dan Belanda (Corruptie).

Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai

penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.

Sehingga memuat tiga unsur, pertama yaitu menyalahgunakan kekuasaan,

kedua yaitu kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun sektor

swasta) dan ketiga yaitu keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk

pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga bagi anggota

keluarga dan teman-temannya).3

Sedangkan tindak pidana korupsi dapat dijelaskan sebagai suatu

perbuatan curang yaitu dengan menyelewengkan atau menggelapkan keuangan

negara yang dimaksudkan untuk memperkaya diri seseorang yang dapat

merugikan negara.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ini sudah seharusnya

ditanggapi secara serius oleh berbagai pihak demi tercapainya salah satu tujuan

bangsa yaitu memajukan kesejahteraan umum bagi masyarakatnya

sebagaimana tercantum alinea ke-4 dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Oleh karena

salah satu penyebab dari terpuruknya sistem perekonomian bangsa ini adalah

3
Pope, Jeremi, 2003, “Panduan Transparency International 2002 : Strategi Memberantas Korupsi,
Elemen Sistem Integrasi nasional, alih bahasan Masri Maris”, Transparency International dan
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 6.
5

maraknya perkembangan tindak pidana korupsi yang merasuki berbagai bidang

mulai dari kesehatan, pendidikan, lingkungan bahkan sampai pelayanan sosial

di masyarakat. Efeknya berdampak sistemik dari lapisan masyarakat paling

bawah bahkan sampai para Pejabat Negara yang memiliki wewenang dan

kekuasaan dalam menjalankan jabatannya.4

Untuk itu pemerintah telah berupaya untuk mengoptimalkan

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan melakukan beberapa

kali pergantian undang-undang demi tercapainya kepastian hukum yang dicita-

citakan oleh pembentuk undang-undang khususnya Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan untuk

memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat

dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk

tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.5

4
Mochtar Lubis dan James Scott, 1985, “Bunga Rampai Korupsi”, LP3ES, Jakarta, hlm. XVI.
5
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
6

Selain itu Reformasi Hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana

korupsi tidak saja menyangkut reformasi peraturan perundang-undangan,

tetapi juga menyangkut penegakan dan struktur hukum. Essensi pengaturan

pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya ada 2 (dua) hal yang paling

pokok, yaitu sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif tersebut

terkait dengan adanya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi,

harapannya masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah

represif meliputi pemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan

sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin kerugian negara yang telah

dikorupsi bisa kembali.6

Pompe sebagaimana dikutip Eddy O. S. Hiariej menyatakan bahwa

terhadap perbuatan pidana sebagai pelanggaran norma harus dihukum untuk

menegakkan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum, sehingga

salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu masalah

penegakannya.7 Penegakan hukum yang tegas, konsisten dan terpadu sangat

penting bagi terwujudnya pilar-pilar keadilan dan kepastian hukum serta

membawa kemanfaatan bagi masyarakat yaitu timbulnya efek jera, sehingga

dapat mencegah seseorang yang hendak melakukan tindak pidana korupsi.

Pemerintah, khususnya aparatur penegak hukum, harus menjalankan proses

hukum dengan tegas, konsisten dan terpadu agar mampu menghasilkan

6
A. Djoko Sumaryanto, 2019, “Perspektif Yuridis Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi”,
7
Eddy O. S. Hiariej, 2012, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (Membangun Sarana
dan Prasarana Hukum yang Berkeadilan), Cet. 1, Sekjen Komisi Yudisial RI, Jakarta, hlm. 95.
7

penegakan hukum yang berkeadilan, memberikan kepastian hukum yang

diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, menimbulkan efek

jera, mencegah calon koruptor, mengoptimalkan pengembalian uang

negara/rakyat serta dampak positif lainnya.8

Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah instruksi dan arahan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sehingga dapat menjadi

acuan bagi para pihak di pemerintah pusat maupun daerah serta aparatur

penegak hukum yang menjadi subyek dalam proses penegakan hukum untuk

mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi salah satunya lembaga

kejaksaan.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga negara atau

lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang dituntut untuk

lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan

kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, termasuk upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi yang sejalan dengan ketentuan dan

prosedur hukum yang berlaku. Selain itu, kedudukan yang signifikan dari hak-

hak sosial dan ekonomi masyarakat serta upaya penyelamatan pembangunan

nasional, mengakibatkan misi pemberantasan tindak pidana korupsi semakin

berat. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan lagi sekedar penegakan

hukum, tetapi juga mengemban misi politik yang mampu memberi jaminan

8
Bambang Waluyo, 2017, Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 61
8

kepercayaan terpenuhinya hak-hak masyarakat tersebut yang diamanatkan oleh

konstitusi, yakni mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Upaya kongkrit untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada

proses pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya berupa pembayaran

uang pengganti oleh pelaku tindak pidana korupsi. Apabila pelaku tindak

pidana korupsi tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti

kerugian negara, maka berlaku ketentuan pidana penjara.9

Pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan yang dianggap

lebih bermanfaat daripada sekedar menjatuhkan hukuman pidana penjara

badan yang efeknya tidak secara langsung menyejahterakan masyarakat.

Tujuan uang pengganti adalah untuk mengganti kerugian negara, selain itu

layaknya sebuah pemidanaan, pidana pembayaran uang pengganti memiliki

tujuan untuk memberikan pembalasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Tujuan dari pembalasan ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku

agar tidak lagi melakukan tindak pidana, sekaligus memberikan efek deteren

kepada masyarakat yang belum melakukan tindak pidana agar tidak melakukan

tindak pidana.

Pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan yang diputuskan

kepada pelaku tindak pidana korupsi pada hakekatnya adalah sebagai upaya

untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak

9
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
9

korupsi. Mengutip pendapat Andi Hamzah bahwa uang pengganti adalah

merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana

korupsi dengan jumlah uang yang pernah ia korupsikan yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi

tersebut,10 maka pidana tambahan pembayaran uang pengganti perlu dituntut

dan diputuskan pada setiap kasus tindak pidana korupsi sebagai salah satu upaya

dari aparat penegak hukum untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.

Upaya penegak hukum ini sejalan dengan strategi pemberantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia yang meliputi tindakan pencegahan, penindakan

serta pengembalian keuangan negara. Ketiga langkah/ tahapan tersebut

menurut Marwan Effendi, merupakan “condition sine qua non” bagi

keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh; yang

tidak semata-mata hanya bertumpu pada banyaknya pelaku tindak pidana

korupsi yang dipidana tetapi terfokus kepada upaya mengembalikan kerugian

keuangan negara melalui penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran

uang pengganti.11 Pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana

korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengembalian tersebut tidaklah mudah

karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes yang pelakunya

berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting.

10
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia, 2000, hal
49.
11
Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005, hal 65
10

Pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi

harus berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan

tindak pidana korupsi. Kejaksaan sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh

undang-undang untuk melakukan eksekusi pidana tambahan berupa

pembayaran uang pengganti pun menjalankan proses ini dengan kehati-hatian

serta memperhatikan berbagai ketentuan dan instrumen yang telah dikeluarkan

oleh pembuat undang-undang. Prinsip kehati-hatian ini sangat diperlukan

karena dalam pembayaran uang pengganti bisa diartikan sebagai “penukaran”

kerugian keuangan negara atau harta benda yang telah diperoleh pelaku dari

hasil tindak pidana korupsi dalam wujud uang, harta, benda, barang atau aset

yang dapat dinilai dengan uang. Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah

membayar uang pengganti sesuai amar putusan pengadilan, maka pelaku

dibebaskan dari kewajiban menjalankan pidana tambahan dan hanya

menjalankan pidana pokok yaitu penjara badan. Sebaliknya, apabila pelaku

tindak pidana korupsi tidak membayar uang pengganti tersebut, maka pelaku

tindak pidana korupsi wajib menjalankan pidana penjara sebagai subsider

hukuman dari pidana uang pengganti.12 Lain halnya dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak

mengenal adanya subsider pidana penjara/pidana penjara pengganti, yang

12
Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menyebutkan : Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam Pasal 18
ayat (2) menyebutkan: Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dapat
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
11

berdampak kepada tidak terselesaikannya pembayaran uang pengganti atas

terpidana korupsi yang diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 secara tuntas. Tunggakan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi

menjadi permasalahan dari hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Kejaksaan

Republik Indonesia. Pada tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah uang

pengganti yang harus dieksekusi adalah sebesar Rp36.875.113.876.431,00

yang berada pada Bidang Tindak Pidana Khusus (PIDSUS) dengan nilai

sebesar Rp27.759.367.142.942,43 (75,28 %) dan pada bidang Bidang Perdata

Dan Tata Usaha Negara (DATUN) dengan nilai sebesar

Rp8.973.898.062.729,57 (24,34%).

Mengenai proses penyelesaian uang pengganti pada peraturan perundang-

undangan tindak pidana korupsi memiliki perbedaaan. Pada ketentuan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur 2 (dua) upaya yang

perlu dilakukan dalam penyelesaian uang pengganti, yaitu pertama: penyitaan

dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan

pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), kedua: melalui

putusan subsider pidana penjara. Artinya, berdasarkan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan terpidana untuk

mengganti dengan hukuman badan. Sedangkan penyelesaian uang pengganti

yang harus dibayar oleh terpidana atau eks terpidana yang inkracht berdasarkan

pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak


12

Pidana Korupsi belum terselesaikan, hal ini disebabkan karena penyelesaian

uang pengganti berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur sanksi bagi terpidana

atau eks terpidana yang tidak membayar uang pengganti dan tidak bersifat

subsider.

Sebagai tindak lanjut atas penyelesaian tunggakan uang pengganti yang

inkracht berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jaksa Agung RI mengeluarkan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 tentang

Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa dalam penyelesaian uang pengganti

yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dilakukan

dengan 2 (dua) cara yaitu upaya penyelesaian tingkat pertama dan/atau upaya

penyelesaian tingkat lanjutan. Namun apakah penyelesaian sebagaimana

tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) tersebut dapat mewujudkan

kepastian hukum sebagaimana dalam Pasal 2 Perja tersebut yang menyatakan

penyelesaian uang pengganti untuk memberikan kepastian hukum terhadap

tunggakan uang pengganti yang diputus pengadilan sebagai pidana tambahan

terhadap terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, sehingga menjadi langkah yang

tepat, serta apakah akan berimplikasi positif terhadap negara serta para pihak
13

yang terkait. Bertolak dari latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik

untuk meneliti masalah penyelesaian uang pengganti yang diputus berdasarkan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan judul “ Eksekusi Pidana

Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Diputus

Pengadilan Berdasarkan Undang Undang Ri Nomor 3 Tahun 1971 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Peraturan Kejaksaan Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis akan meneliti dengan

rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana Implikasi Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus

Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana penerapan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus

Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari sudut pandang teori

Kepastian Hukum ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu :


14

1. Untuk mengetahui dan mengkaji Implikasi Peraturan Kejaksaan

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang

Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahi dan mengkaji penerapan Peraturan Kejaksaan

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang

Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

ditinjau dari sudut pandang teori Kepastian Hukum

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum, khususnya terhadap hukum pidana dalam

penyelesaian uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi yang

diputus pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi

hukum khususnya para pihak yang terlibat dalam penyelesaian uang

pengganti yang diputus pengadilan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Konseptual
15

a. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin, yakni
Corruptio atau Corruptus yang disalin ke berbagai bahasa.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata
corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Arti harafiah dari kata
itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sedangkan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi batasan bahwa
yang dimaksud dengan korupsi adalah ”setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara”.
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pengertian ini tindak pidana adalah rumusan tentang

perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan

yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan

perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut

digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana

korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertiannya ialah

rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang dilarang dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Pengertian Kerugian Keuangan Negara


16

Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan
kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat
dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Lembaga atau
instansi berwenang yang biasanya ditunjuk adalah BPK, BPKP dan
Inspektorat baik di tingkat pusat maupun daerah.

2. Kerangka Teoritis

a. Asas Kepastian Hukum

Analisis mengenai “Eksekusi Pidana Pembayaran Uang Pengganti


Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Diputus Pengadilan
Berdasarkan Undang Undang Ri Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Peraturan Kejaksaan
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020” dilihat dari perspektif
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, sesuai dengan teori
tujuan hukum menurut Gustav Radbruch, kepastian merupakan
tuntutan hukum ialah supaya hukum menjadi positif dalam artian
berlaku dengan pasti, kemanfaatan yang diartikan sebagai tujuan
hukum yang harus ditujukan pada sesuatu yang berfaedah atau
memiliki manfaat, dan keadilan dalam hal ini memposisikan
hukum yang berkehendak demi keadilan sebagai alat untuk
menciptakan kesejahteraan sosial agar menjadi alat pembenar
terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan
kewajiban.
Menurut para ahli hukum beraliran normatif/yuridis

dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis, bahwa


17

hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, hukum dinilai

sebagai kumpulan aturan semata yang terdapat dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan. Hukum tertulis dan tujuan

pelaksanaan hukum merupakan jaminan terwujudnya kepastian

hukum. Meskipun, aturan hukum atau penerapan hukum terasa

tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi

mayoritas warga masyarakat. Pengutamaan tetap pada kepastian

hukum agar dapat ditegakkan.13

Teori Kepastian hukum menghendaki bahwa hukum

wajib ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan

tidak boleh ada penyimpangan. Selain itu, Kepastian hukum akan

memberikan perlindungan kepada Yustisiabel dari tindakan

sewenang-wenang pihak lain juga merupakan suatu usaha

menertibkan masyarakat.14 Tujuan dari asas kepastian hukum

ialah tercipta keteraturan dimana tiap orang akan mematuhi

norma yang ditetapkan dalam lingkungan masyarakat.15

Terkait hal tersebut maka dengan adanya Peraturan

Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 tentang

Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

13
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta : Chandra Pratama, 1993), hlm. 94.
14
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung : Citra Aditya
Bhakti, 1993), hlm. 2.
15
C.S.T Kansil & Christine S.Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana Untuk Tiap Orang (PT Pradnya
Paramita, Jakarta, 2004) hlm. 3.
18

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan dikaji apakah dapat

menjadi suatu terobosan dalam memberikan kepastian untuk

menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi yang diputus

menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana tidak mengenal

adanya subsider pidana penjara/pidana penjara pengganti secara

tuntas.

b. Asas keadilan

Teori keadilan berdasarkan pendapat Aristoteles, ialah

dapat ditemukan melalui karyanya nichomachean ethics, politics,

dan rethoric. Lebih khususnya dalam buku nichomachean ethics,

buku ini menjelaskan bagaimana keadilan berdasarkan filsafat

umum Aristoteles, dapat dianggap sebagai inti dari filsafat

hukumnya “karena hukum hanya bisa diterapkan dalam kaitannya

dengan keadilan”16

Aristoteles menekankan teori pada perimbangan atau

proporsinya, menurutnya didalam negara segala sesuatunya harus

diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan

itu harus terlihat melalui keadilan dan kebenaran. Penekanan

perimbangan pada teori keadilan Aristoteles dapat dilihat dari apa

16
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan Nusamedia: Bandung,
2004. Hl, 24
19

yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama

diantara orang-orang yang sama.17

Artinya ialah sisi yang satunya memang benar bila

dikatakan bahwa keadilan berarti bagi kesamaan hak, namun pada

sisi lainnya harus dipahami pula bahwa keadilan tidak berarti

kesamaan hak. Teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip

persamaan. Versi teori modern ini dirumuskan dengan ungkapan

bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan

secara sama dan hal yang tidak sama diberlakukan secara tidak

sama pula.18

Terkait hal tersebut maka akan dikaji terkait nilai rasa

keadilan di dalam proses penyelesaian uang pengganti dengan

adanya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2020 tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus

Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana salah satu

tujuan dibuatnya aturan tersebut karena Terkait penyelesaian

uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana atau eks

terpidana yang inkracht berdasarkan pada Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, karena di Undang-Undang tersebut tidak mengatur

17
J.H Rapar, Filsafat Politik Plato. Rajawali Pres: Jakarta, 1991. Hlm 82 didalam Bahder Johan
Nasution, Kajian filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikir Klasik Sampai Pemikiran
Modern. Jurnal Yustitia Vol.3 No. 2 Mei-Agustus 2014. Hlm 12
18
Ibid.
20

sanksi bagi terpidana yang tidak membayar uang pengganti dan

tidak bersifat subsider.

6. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Meneliti pada hakikatnya berarti mencari, yang dicari dalam

penelitian hukum adalah kaidah, norm atau das sollen. Pengertian

kaidah di sini meliputi asas hukum, kaidah hukum dalam arti nilai

(norm), peraturan hukum konkret dan sistem hukum. Oleh karena itu,

penelitian hukum dalam arti meneliti kaidah atau norma disebut

penelitian hukum normatif.19 Abdulkadir Muhammad menambahkan 1

(satu) jenis penelitian hukum lagi berdasarkan fokus penelitian

sehingga penelitian hukum dibagi menjadi 3 (tiga) jenis penelitian

hukum, yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum empiris,

dan penelitian hukum normatif empiris.20 Penelitian hukum normatif

empiris bermula dari ketentuan hukum positif tertulis yang

diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat

sehingga karena penggunaan kedua tahapan tersebut, maka penelitian

hukum normatif empiris membutuhkan data sekunder dan data primer.

Jika mengacu pada jenis penelitian hukum yang diuraikan di atas,

maka penulis mengelompokkan penulisan tesis ini pada penelitian

hukum normatif empiris. Penelitian hukum ini akan menggabungkan

19
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Op. Cit., hlm. 36.
20
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 52.
21

antara hukum normatif yang bersumber pada asas-asas dan doktrin

hukum, yang mana kaitannya dengan penelitian pada tesis ini merujuk

pada asas-asas dan doktrin hukum dalam penyelesaian eksekusi pidana

pembayaran uang pengganti yang diputus dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

pada Kejaksaan Republik Indonesia.. Lalu akan dikaitkan dengan

pelaksanaanya pada Lembaga Kejaksaan RI dengan penerapan asas-

asas dan doktrin hukum tersebut yang menjadi dasar pertimbangan

penyelesaian eksekusi pidana tambahan uang pengganti yang diputus

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan Republik Indonesia.

Penelitian hukum dilihat dari sudut sifatnya, dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) yaitu penelitian eksploratoris atau penjelajahan,

penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatoris.21 Penelitian

eksploratoris adalah penelitian yang dilakukan apabila pengetahuan

tentang suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali atau

bahkan tidak ada, kadang-kadang penelitian tersebut bermaksud untuk

memperoleh data awal.22 Penelitian deskriptif adalah penelitian yang

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya sedangkan penelitian

eksplanatoris adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menguji

21
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 50.
22
Ibid, hlm. 10.
22

hipotesa-hipotesa tertentu apabila pengetahuan tentang suatu masalah

sudah cukup.23

Apabila dilihat dari sudut sifatnya, maka penelitian ini dapat

dikualifikasikan sebagai penelitian deskriptif, dikarenakan penulis

berusaha mengungkapkan fakta dengan apa adanya. Hal ini berkaitan

dengan penyelesaian eksekusi pembayaran uang pengganti. Didasarkan

pada argumen bahwa penelitian tesis ini dimaksudkan untuk

memberikan data yang lebih lengkap mengenai dasar pemikiran

penyelesaian pembayaran uang pengganti ditinjau dari sistem hukum

yakni dari segi substansinya menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971, struktur pelaksanaannya yang dilakukan oleh Jaksa Eksekutor,

dan meliputi juga kondisi finansial dari terpidana yang turut

memengaruhi kemampuan membayar dalam tatanan praktik (eksekusi).

Apabila dilihat dari sudut bentuknya, penelitian hukum dapat

dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu penelitian diagnostik, penelitian

preskriptif, dan penelitian evaluatif.24 Penelitian diagnostik merupakan

suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan

mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala.25

Penelitian preskriptif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk

mengatasi masalah-masalah tertentu sedangkan penelitian evaluatif

23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 50
25
Ibid.
23

adalah suatu penelitian yang pada umumnya dilakukan apabila

seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan.26

Penelitian tesis ini apabila dilihat dari sudut bentuknya, maka

penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian preskriptif. Hal

ini karena penelitian ditujukan untuk melakukan penilaian terhadap

penerapan pidana tambahan uang pengganti yang telah tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dihubungkan dengan eksekusi

dari penyelesaian eksekusi pembayaran pidana tambahan uang

pengganti itu sendiri pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Penelitian ini pada pada akhirnya berfokus dalam mencari kelemahan

agar dapat diperbaiki kekuranganya dalam penyelesaian eksekusi

pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi yang

inkracht berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, serta

untuk menilai apakah telah sesuai dengan norma yang mengaturnya

dalam hal ini kepastian hukum.

b. Pendekatan Penelitian

Sebelum sampai pada jenis penelitian maka perlu diidentifikasi

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Menurut Peter

Mahmud Marzuki, dalam penelitian hukum terdapat beberapa

pendekatan. Macam-macam pendekatan yang digunakan di dalam

penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

26
Ibid.
24

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),

dan pendekatan konseptual (conseptual approach).27

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang-

undang dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang (statute

approach) yaitu dilakukan dengan menelaah semua undang-undang

dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani. Pendekatan kasus (case approach) yaitu dilakukan dengan

cara melakukan telaah terhadap penyelesaian eksekusi pidana

tambahan berupa pembayaran uang pengganti.28

Mengenai permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka

dalam mengkaji pada perumusan masalah yang pertama peneliti

menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu

dilakukan dengan menelaah regulasi yang melandasi Kejaksaan RI

dalam penyelesaian uang pengganti yang diputus pengadilan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal mana dikhususkan pada

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan aturan internal kejaksaan

yang memengaruhi budaya hukum aparat kejaksaan dalam

menjalankan tugasnya.

Sedangkan dalam mengkaji perumusan masalah yang kedua

peneliti menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach)

27
Peter Mahmud Marzuki, 2019, Penelitian Hukum, Prenadamedia Grup, Jakarta, hlm. 133.
28
Ibid., hlm. 133-136.
25

dan Pendekatan Komparatif (Comparative approach), Penggunaan

kedua pendekatan ini dilakukan dengan beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin terutama asas kepastian hukum yang

berkembang di dalam ilmu hukum, serta Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 yang menjadi acuan dasar dikaitkan dengan penerapannya

dalam perkara tindak pidana korupsi dengan Penghimpunan serta

penyajian data yang ada di Kejaksaan Republik Indonesia terhadap

penangan kasus-kasus yang berkaitan dengan penyelesaian pelaksanaan

eksekusi pidana pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah

adanya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2020 tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

c. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis dan Sumber Bahan-bahan Hukum Jenis dan sumber bahan-

bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif, terdiri

dari dari:29

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

secara yuridis.30 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

29
Tim Penyusun, 2020, Buku Pedoman Penulisan Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Jayabaya, Jakarta hlm. 9
30
Ibid.,hlm. 212
26

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum

primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah undang-undang

dan regulasi yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, yaitu

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor

31Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020

tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer.31 Bahan hukum sekunder, yang

terutama yaitu buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan

disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum, di samping itu juga

kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas keputusan

31
Ibid.
27

pengadilan.32. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu

buku teks ilmiah, Dokumen Rekapitulasi Data Uang Pengganti

Pidsus dan Datun Kejaksaan Republik Indonesia per 31 Desember

2021, karya ilmiah, jurnal hukum, serta website yang berkaitan

dengan penulisan tesis ini.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum komplementer untuk

bahan hukum sekunder dan tersier.33 Bahan hukum tersier dapat

berupa kamus, ensiklopedi, leksikon dan lain-lain. Penelitian ini

menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Indeks dan

Bibliografi.

d. Teknik Pengumpulan Data

Pada jenis Penelitian Hukum Normatif, data yang digunakan adalah

data sekunder, dengan menggunakan teknik (metode) pengumpulan data

berupa Studi Kepustakaan. Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan

dengan cara mengidentifikasi dan menginventarisasi aturan hukum

positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil

penelitian), dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan

dengan permasalahan hukum yang dikaji. Bahan-bahan hukum yang

sudah terkumpul, selanjutnya klasifikasi, diseleksi dan dipastikan tidak

32
Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm.195-196.
33
Suteki dan Galang Taufani, Op.cit, hlm. 215.
28

bertentangan satu sama lain, untuk memudahkan analisis dan

konstruksi.34

e. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan

penafsiran hukum (interpretasi) dan metode konstruksi hukum. Teknik

penafsiran hukum yang dipilih penulis adalah teknik sistematis.

Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan

menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undnag lain

atau dengan keseluruhan sistem hukum, sehingga tidak boleh

menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem

hukum. Hubugan antara keseluruhan peraturan tidak semata-mata

ditentukan oleh tempat peraturan itu terhadap satu sama lain, tetapi oleh

tujuan bersama atau asas-asas yang bersamaan yang mendasarkan pada

peraturan-peraturan.35

b. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran

secara umum di setiap bab-babnya, berikut sistematika dari penulisan Tesis

ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

34
Tim Penyusun, 2020, Buku Pedoman Penulisan Tesis, Magister Ilmu Hukum Program
Pasca Sarjana Universitas Jayabaya, Jakarta hlm. 10
35
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta hlm.56-63
29

pemikiran, metode penelitian dan terakhir mengenai

sistematika penulisan tesis.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA/ KERANGKA KONSEP DAN

TEORITIS

Pada bab ini, akan dipaparkan dan dijelaskan yaitu asas-asas

pertanggungjawaban pidana dan teori-teori terkait rumusan

masalah. Grand theory yang akan dipilih adalah asas Kepastian

Hukum dan Apllied theory yang digunakan adalah asas

Keadilan. Selain itu akan dijelaskan tinjauan syarat formil

materil putusan pengadilan dan tinjauan tentang tindak pidana

korupsi. Pertanggungjawaban Pidana menurut para ahli dan

dasar hukumnya. Selain itu juga dijelaskan Tinjauan tentang

jenis dan tingkatan putusan pengadilan. Terakhir adaalah

tinjauan tentang Tindak Pidana Khusus.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi terkait pemaparan metode penelitian yang

dipergunakan dalam penulisan tesis.

BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini ada dua yang dianalisis dan dibahas yaitu,

a) tentang implikasi Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang

penggantai Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang


30

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kebijakan

Kejaksaan Republik Indonesia terkait penyelesaian uang

pengganti yang diputus Pengadilan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 03 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

b) Penerapan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang

Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari sudut pandang teori

Kepastian Hukum

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan rumusan masalah penelitian maupun hasil

penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Bahwa pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang

Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masih banyak

ditemukan kendala-kendala yang menjadi penghambat kelancaran

pelaksanaan optimalisasi penyelesaian tunggakan uang pengganti


31

yang diputus berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Bahwa penerapan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

19 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus

Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar dapat

memberikan kepastian hukum terhadap tunggakan Uang Pengganti

yang diputus Pengadilan sebagai pidana tambahan terhadap

terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan putusan sudah berkekuatan hukum tetap.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka saran

yang direkomendasikan adalah :

1. Agar kedepannya ada peraturan setingkat Undang-Undang yang

dapat mengikat semua pihak yang terkait agar tidak ada disparitas

ataupun perbedaan pandangan dalam penyelesaian tunggakan Uang

Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Perlunya pemingkatan kapasita di dalam SDM agar dapat bekerja

secara professional dan berintegritas.


32

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Santosa, Iwan, “Korupsi, dari kerajaan Nusantara hingga Reformasi”, https

://nasional kompas com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi dari Kerajaan

Nusantara hingga Reformasi

Rukmana, Aan, 2009, “Korupsi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah” dalam

Korupsi Mengorupsi Indonesia, Kompas Gramedia, Jakarta

Pope, Jeremi, 2003, “Panduan Transparency International 2002 : Strategi

Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi nasional, alih bahasan

Masri Maris”, Transparency International dan Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta

Mochtar Lubis dan James Scott, 1985, “Bunga Rampai Korupsi”, LP3ES, Jakarta

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

A. Djoko Sumaryanto, 2019, “Perspektif Yuridis Pengembalian Kerugian

Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”,

Eddy O. S. Hiariej, 2012, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia

(Membangun Sarana dan Prasarana Hukum yang Berkeadilan), Cet. 1,

Sekjen Komisi Yudisial RI, Jakarta

Bambang Waluyo, 2017, Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika


33

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta:

Gramedia, 2000, hal 49.

Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta : Chandra Pratama, 1993)

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,

(Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1993)

C.S.T Kansil & Christine S.Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana Untuk Tiap Orang

(PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004)

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan

Nusamedia: Bandung, 2004

Muhammad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Op, cit

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Dasar-Dasar Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

Rajawali Press, Jakarta

Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2003)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group,
34

2010

Tim Penyusun, 2020, Buku Pedoman Penulisan Tesis, Magister Ilmu Hukum

Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya,

Jurnal:

J.H Rapar, Filsafat Politik Plato. Rajawali Pres: Jakarta, 1991. Hlm 82 didalam

Bahder Johan Nasution, Kajian filosofis tentang Konsep Keadilan dari

Pemikir Klasik Sampai Pemikiran Modern. Jurnal Yustitia Vol.3 No. 2

Mei-Agustus 2014.

Anda mungkin juga menyukai